Sakit Hati Seorang Wanita Jilid 02

Jilid 02

“AGAKNYA kalian belum dapat me mbayangkan akan bahaya besar yang mengancam kita. Apakah kalian tidak menyadari bahwa Pui Ki Cong itu adalah putera kepala jaksa di Thian-cin? Lihat saja sepak-terjangnya. Ditolak lamarannya, dia malah me mbawa pasukan pengawal untuk menghukum kita. Untung bagi kita bahwa perhitungannya keliru. Kalau dia datang bersama pasukan besar yang jumlahnya puluhan atau ratusan orang, tentu kita tadi tidak akan mampu menyelamatkan diri dan entah bagaimana nasib kita. Oleh karena itu, sekarang juga kita harus pergi dari sini sebelum pasukan yang lebih besar datang untuk menangkap atau me mbunuh kita."

"Aku tidak takut!" Cui Hong berteriak. "Mereka itu jahat dan aku akan melawan mere ka, akan kuhajar mere ka!"

"Cui Hong, jangan bicara seperti anak kecil," ayahnya menegur. "Keberanian tanpa perhitungan bukan merupakan kegagahan, melainkan   suatu   kebodohan.   Hanya menganda lkan keberanian me lawan pasukan besar pemerintah dengan nekat, hal itu berarti bunuh diri. Ucapanmu itu menimbulkan keraguan apakah engkau ini me mang gagah atau bodoh."

Cui Hong dapat melihat kebodohannya dan iapun tidak me mbantah lagi hanya mengepa l tinju karena marah sekali kepada Pui Ki Cong yang menjad i biang keladi semua ini.

"Akan tetapi, suhu. Sudah jelas bahwa sumoi tidak bersalah, kita tadi hanyalah membela diri. Kalau kita tidak bersalah, kenapa kita harus pergi? Bukankah melarikan diri seperti juga menga ku bersalah? Kita tidak bersalah, dan pemerintah tentu dapat menilainya. " Lu San juga me mbantah karena diapun merasa penasaran mengapa mere ka yang diganggu, malah kini mereka yang harus me larikan diri. Gurunya menarik napas panjang. "Memang mendatangkan rasa penasaran sekali, Lu San. Akan tetapi engkau harus menyadari bahwa dalam keadaan pemerintah le mah seperti ini, kaisar tidak berwibawa sa ma sekali sehingga kita sendiri bingung siapa sebenarnya yang berkuasa. Oknum-o knum yang me megang jabatan itu ataukah hukum pe merintah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, bisa saja kita dituduh sebagai pemberontak dan dihadapkan kepada pasukan keamanan pe mer intah. Karena itu, satu-satunya jalan adalah menghindarkan bentrokan lebih lanjut dan melarikan diri sejauh mungkin dari sini."

Dengan hati penuh duka dan penasaran, terpaksa Cui Hong mentaati ayahnya dan mereka bertiga lalu berkemas. Kepada, beberapa orang murid yang rumahnya berdekatan dan sudah berdatangan mendengar keributan yang terjadi di rumah guru mereka, Kim Siok meninggalkan pesan agar mereka tidak menca mpuri urusan itu dan sebaiknya menjauhkan diri jangan sampai terlibat kalau pihak pe mbesar she Pui itu mencari gara-gara di antara murid-muridnya. Mereka bertiga hanya dapat me mbawa barang-barang kecil dan berangkatlah mereka meninggalkan Ang-ke-bun pada hari itu juga.

Apa yang dikhawatirkan guru silat Kim Siok me mang tidak berselisih jauh dengan kenyataannya. Jaksa Pui menjadi marah bukan main ketika dia melihat puteranya babak belur dan kepalanya tumbuh benjolan besar ketika terjatuh dari atas kuda. Ada dua hal yang me mbuat pe mbesar itu marah. Pertama karena kelancangan puteranya yang membawa pasukan untuk bertindak sendiri. Ke dua karena puteranya telah dipukul dan dihina orang.

"Ayah, kita akan kirim pasukan besar untuk menangkap dan menghukum mereka!" kata Pui Ki Cong yang merasa malu dan marah sekali.

"Bodoh! Kau hendak menar ik perhatian orang seluruh Thian-cin? Memukul anjing tidak perlu menggunakan tongkat terlalu besar. Akan memalukan saja kalau kita harus menggunakan pasukan. Apalagi, urusan ini adalah urusan pribadi, bukan urusan pemer intah."

"Akan tetapi, apa sukarnya mengalihkannya menjadi urusan pemerintah, ayah? Bukankah mereka telah melabrak pasukan pengawal dan berarti mereka itu telah me mberontak? Anggap saja mereka pemberontak-pe mberontak dan ayah berhak untuk me mbas minya dengan pasukan, bukankah begitu?"

"Bodoh! Mana ada pe mberontak hanya tiga orang dan alangkah me ma lukan kalau harus menundukkan tiga orang saja me mperguna kan pasukan besar. Tidak, suruh orang panggil ke sini Thian-cin Bu tek Sa m-eng!"

Pui Ki Cong terbelalak. "Bu-tek Sa m-eng? Tapi   mana

mereka mau me mbantu kita dan..... mereka bukan pembunuh-pembunuh bayaran."

"Hemm, kau tahu apa? Mereka itu haus akan kedudukan dan kini aku akan me mberi kesempatan kepada mereka untuk meraih kedudukan. Kalau aku menjanjikan kedudukan dan me mper kenalkan mere ka ke kota raja, tentu mereka mau me mbe kuk tiga orang itu."

"Bagus, kalau mereka yang maju, tentu tiga orang itu dapat dibekuk. Akan tetapi, jangan boleh me mbunuh mereka, ayah. Aku ingin mendapatkan mereka hidup-hidup di tanganku!"

Sang ayah yang sangat sayang kepada puteranya itu tersenyum dan mengangguk angguk.

"Hayo cepat kirim utusan kepada mereka!"

Pui Ki Cong lalu cepat mengutus pengawal me ngundang tiga orang jagoan itu dan pengawal itu tentu saja tahu ke mana harus mencar i mereka. Nama besar tiga orang jagoan itu amat terkenal. Baru julukannya saja Thian-cin Bu-tek Sa m- eng (Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin! Tak la ma kemudian, tiga orang penunggang kuda me masu ki pekarangan yang luas dari rumah gedung pembesar Pui. Melihat lagak dan pakaian saja, mudah diduga bahwa tiga orang penunggang kuda ini adalah jago-jago silat. Mereka menunggang kuda dengan cara yang gagah, duduk dengan tegak di atas kuda mere ka yang tinggi besar. Siapakah tiga   orang   gagah   ini   dan    mengapa    mereka   berani me mperguna kan julukan yang demikian tekebur, yaitu Tiga Orang Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin?

Seorang di antara mereka berna ma Gan Tek Un berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berperawakan sedang, mukanya bersih dan termasuk tampan juga, akan tetapi wajah yang tampan bersih itu dingin sekali, jarang tersenyum dan matanya amat tajam men usuk. Pakaiannya indah, model pakaian pendekar yang serba ringkas. Sepasang pedang tergantung di punggungnya, bersilang dengan ronce-ronce merah dan kuning.

Orang ke dua bernama Koo Cai Sun, usianya juga kurang lebih t iga puluh lima tahun. Tubuh orang ini agak ge muk, terutama di bagian perutnya yang gendut. Mukanya juga bersih karena dia berkulit putih kuning, muka yang bulat karena gemuk. Sepasang matanya yang lincah mengerling ke kanan kiri itu, mulutnya yang bibirnya agak tebal dan selalu tersenyum-senyum ge mbira, menunjukkan dengan jelas bahwa dia seorang mata keranjang dan so mbong, pakaiannya pesolek, bahkan dari pakaian itu berha mburan bau minyak wangi me lebihi wanginya pakaian pelacur di waktu ma la m. Rambutnya disisir licin bekas minyak. Di pinggangnya, secara menyolok sekali, tampak terselip sepasang to mbak pendek, yaitu senjata siang-kek, tombak cagak yang pendek, yang di kedua gagangnya dipasangi tali merah.

Adapun orang ke tiga berna ma Louw Ti, usianya juga sebaya, kurang lebih tiga puluh lima tahun, la dapat dibilang buruk rupa di antara ketiganya. Hidungnya pesek dan tubuhnya pendek tegap na mpak kuat sekali. Mukanya hitam dan matanya menyeramkan. Dia tidak me mbawa senjata, akan tetapi di pinggangnya melingkar sebuah benda yang menarik. Itulah sebatang cambuk hitam yang ujungnya dipasangi kaitan baja!

Tiga orang ini sebenarnya berasal dari aliran yang berbeda. Akan tetapi secara kebetulan, tiga orang ini sama-sama menjad i murid seorang pertapa tersesat, seorang tokoh sakti dari dunia hita m.

Karena mereka seguru, maka mere ka la lu bersatu dan me mang tingkat kepandaian mereka sa ma. Mereka bertiga, dengan kepandaian mas ing-masing, sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dilawan. Apalagi mereka bersatu dan saling bela, tentu saja kekuatan mereka menjad i berlipat ganda. Inilah sebabnya, mereka menjadi jumawa dan merasa tidak ada lagi yang ma mpu menand ingi mereka dan mereka berani me mperguna kan julukan Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin. Bukan hanya karena kepandaian mereka yang tinggi yang me mbuat mereka berani me makai julukan ini, juga terutama sekali karena mereka me mpunyai hubungan yang amat baik dan erat dengan kalangan atas, dengan pejabat- pejabat tinggi yang berkuasa di Thian-cin. Inilah sebabnya maka para pendekar, walaupun merasa penasaran mendengar tentang julukan mereka yang amat tekebur itu, mereka segan untuk menentang mereka yang berlindung di balik kekuasaan para pejabat dan membiarkan mereka mabo k dalam kejumawaan mereka.

Tiga orang itu me makai julukan Sa m-eng (Tiga Jagoan atau Tiga Pendekar) karena me mang mereka merasa diri mereka sebagai pendekar-pendekar silat yang   tangguh.   Mereka me mang bukan penjahat, dalam arti kata tidak melakukan pekerjaan sebagai penjahat. Hal ini sa ma sekali bukan berarti bahwa mereka adalah pendekar-pendekar budiman yang suka meno long sesama hidup, menentang yang kuat menindas dan me mbe la kaum le mah tertindas. Sama sekali t idak. Bahkan kadang-kadang, di luar kesadaran mere ka sendiri, tiga orang ini, dalam kepongahan dan kemabokan mas ing-masing, suka me lakukan hal-hal yang bertentangan dengan sikap seorang pendekar. Kadang-kadang mereka itu dipergunakan oleh para pejabat tinggi untuk me mbela kepentingan sang pejabat. Akan tetapi mereka bertiga ini terkenal sebagai jagoan-jagoan bayaran yang menuntut bayar-an tinggi.

Demikianlah sedikit tentang keadaan tiga orang jagoan yang kini diundang oleh Pui Taijin itu. Mendengar undangan dari pejabat yang penting ini, tentu saja tiga orang jagoan yang tempat tinggalnya berpisah, akan tetapi ketiganya sama- sama tinggal di kota Thian-cin, cepat-cepat berkumpul dan segera datang berkunjung ke rumah gedung Pui Taijin.

Pembesar gendut itu menya mbut mereka di dalam ruangan khusus yang biasa dia pergunakan untuk me mbicarakan urusan rahasia. Setelah pelayan mengeluarkan hidangan, mereka mulai dengan perundingan mere ka dan daun pintu dan jendela ditutup rapat, para pelayan tidak diperkenankan mende kat. Yang berada di dalam kamar itu hanyalah tiga orang jagoan itu bersama Pui Taijin dan Pui Ki Cong. Pertama- tama Pui Taijin sendiri mengucapkan sela mat datang dengan secawan arak, mempersilakan mereka makan minum dan diapun menya mpaikan kehendaknya minta bantuan dari tiga orang pendekar itu.

"Keluarga Kim itu jelas menghina kami sekeluarga, berani menghina kami dan me lawan pasukan pengawal. Mereka itu jelas me mberontak, atau setidaknya memperlihatkan sikap me lawan alat negara dan memberontak. Akan tetapi karena jumlah mereka hanya bertiga, kami merasa malu kalau harus mengerahkan pasukan untuk menangkap mereka. Oleh karena itu, kami mengharap bantuan sam- wi untuk menangkap mereka." "Tapi harap sa m-wi jangan sekali- kali me mbunuh mereka, bahkan jangan melukai nona Kim. Tangkap mereka hidup- hidup dan seret mereka ke sini." Pui Ki Cong mena mbahkan perintah ayahnya.

Koo Cai Sun yang bermuka bulat dan selalu tersenyum itu me ma inkan biji matanya yang berminyak itu, menyumpit sepotong daging dan me masukkan daging itu ke mulutnya. Sambil mengunyah daging babi berminyak itu dia berkata, "Aha, agaknya kongcu tertarik kepada nona Kim itu, sudah dapat dipastikan bahwa ia tentu a mat cantik jelita!"

"Aihh, nona itulah yang menjadi gara-gara semua ini." Pui Taijin berkata gemas. "Dan anak yang kurang hati-hati ini. bernasib sial. Mula- mula dia berte mu dengan nona itu dan tertarik. Kami mengaju kan pinangan. Pinangan ditolak, bahkan keluarga itu menghina kami. Dia me mbawa selosin pengawal untuk me mber i hajaran, akan tetapi malah dilabrak o leh guru silat Kim, puterinya dan calon mantunya."

"Apakah yang taijin maksudkan dengan guru silat Kim itu adalah Kim Siok, guru silat dari Ang-ke-bun itu?" tiba-tiba Gan Tek Un yang sejak tadi diam saja bertanya.

"Benar, dialah orangnya, guru silat kampungan itu," kata Pui Ki Cong.

Tiga orang jagoan itu saling pandang, "Hemm," kata Louw Ti yang ber muka hitam itu sa mbil me mandang wajah Pui Kongcu. "Guru silat kampungan? Dia adalah murid S iauw-lim- pai yang cukup lihai ilmu silatnya."

"Akan tetapi bagaimanapun juga aku tidak percaya kalau sam-wi takut me lawannya." kata Pui Ki Cong. Pemuda ini me mang cerdik dan licik sekali. Ucapannya ini merupakan kesengajaan untuk me mbangkitkan ke marahan mereka karena harga diri mere ka disinggung dan kegagahan mereka diragukan. "Takut? Huh, setanpun kami tidak takut melawannya!" kata Louw Ti setengah me mbentak dan dia m-dia m Ki Cong merasa girang karena pancingannya mengena.

"Ka mipun sudah tahu bahwa keluarga Kim itu me miliki kepandaian silat yang lihai sehingga pasukan pengawal kamipun dihajar oleh mereka. Karena itulah ma ka kami sengaja mengundang sa m-wi untuk minta bantuan sa m-wi, karena siapa lagi , kalau bukan sa m-wi yang akan ma mpu menyeret mereka bertiga ke sini." kata Pui Taijin dan ucapan ini cocok sekali dengan pancingan puteranya.

Koo Cai Sun yang merupakan orang paling pandai dan paling suka bicara di antara mereka bertiga, kini mewa kili saudara-saudaranya berkata kepada Pui Taijin, "Harap taijin jangan khawatir. Memang Kim Kauwsu itu murid S iauw-lim-pai yang lihai, akan tetapi bagi kami dia itu bukan apa-apa. Kami tanggung dalam waktu singkat kami akan dapat menyeret mereka bertiga itu sebagai tawanan ke sini. Akan tetapi, kami mengharap agar taijin suka me mperti mbangkan permintaan kami bertiga tempo hari yang sampai kini belum juga taijin penuhi."

"Ahh, tentang kedudukan itu? Jangan khawatir. Kami sudah mencari-carikan di kota raja dan kami sudah mengadakan hubungan di sana. Kalau sam-wi berhasil me mbantu kami, kami akan menyerahkan surat perkenalan dan tanggungan agar sam-wi dapat diterima menjadi calon-calon perwira di kota raja. Kalau mungkin di istana, kalau tidak tentu di dalam pasukan pengawal para pejabat tinggi di sana."

Tentu saja tiga orang jagoan itu merasa gembira bukan ma in. Hanya ada satu cita-cita mereka yang belum tercapai, yaitu kedudukan tinggi karena mereka tahu bahwa kedudukan tinggi mendatangkan kekuasaan yang jauh bedanya dari kekuasaan yang datang karena ilmu silat mereka. Kekuasaan yang didapat dari kedudukan atau jabatan jauh lebih besar pengaruhnya. "Baiklah, taijin." kata Koo Cai Sun.

"Sekarang juga kami akan menangkap keluarga Kim itu." "Mungkin mere ka me larikan diri dari Ang- ke-bun. Harap

sam-wi mencarinya sampai dapat kalau mereka telah me larikan diri," kata sang pembesar.

"Tentu saja kami akan me lakukan pengejaran. Mereka takkan dapat lari jauh." jawab Gan Tek Un.

"Akan tetapi saya mohon dengan sangat kepada sam-wi agar nona Kim jangan dilukai, dan jangan..... diganggu, ingat, ia itu milikku, calon selirku....." kata Pui Ki Cong sambil me mandang tajam wajah bulat Koo Cai Sun. Dia sudah mendengar tentang jagoan ini, seorang mata keranjang yang tidak me lewatkan wanita cantik begitu saja.

Koo Cai Sun terkekeh dan matanya makin menyipit. "Ha- ha-ha, kongcu aku masih tahu pere mpuan mana yang boleh kuja mah dan ma na yang tidak. Tentu saja aku tidak akan mengganggu dara cantik yang me mbuat kongcu tergila-gila itu, ha-ha!"

Kim  Kauwsu  bersa ma  puterinya  dan  muridnya men inggalkan Ang-ke-bun dan me larikan diri me nuju ke selatan kemudian me mbelok ke barat. Setelah melakukan perjalanan cepat selama tiga hari, sampailah mereka ke kaki Pegunungan Tai-hang-san dan mereka pada pagi hari ke empat berhenti di tepi sebuah sungai yang melintang dan menghadang perjalanan mereka. Banyak sudah bukit dan hutan mereka lalui, dusun-dusun kecil mereka lewati. Setelah berada di lembah sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang indah itu, cuaca yang cerah dan suasana yang sunyi dan tenang me mbuat hati mereka merasa tenang pula.

"Ayah, kita akan menuju ke manakah?" Cui Hong bertanya kepada ayahnya selagi mereka makan bekal makanan mereka yang kemar in mere ka beli dari sebuah dusun. Mereka duduk di bawah sebatang pohon besar dan sinar matahari pagi menerobos di antara celah-celah daun pohon itu, menimpa tempat mereka beristirahat dengan sentuhan-sentuhan hangat dan halus.

"Sebaiknya kita pergi ke kota Tai-goan. Di mana aku me mpunyai seorang sahabat baik. Tentu untuk se mentara waktu dia akan suka mena mpung kita, sementara kita berusaha mencari sumber penghasilan baru. Kita harus hidup baru di te mpat itu, dan sebaliknya kalau kita berganti na ma."

Dara itu mengerutkan alisnya, juga Lu San merasa tidak setuju. Dua orang muda itu merasa betapa sikap orang tua itu terlalu ketakutan. Kalau menuruti hati mereka, lebih baik mereka tetap tinggal di dusun dan melawan mati- matian terhadap setiap pengganggu yang berani datang mengusik mereka.

Agaknya guru silat itupun dapat menduga akan isi hati puterinya dan muridnya, maka diapun menarik napas panjang. "Cui Hong, dan Lu San, aku tahu bahwa kalian merasa tidak puas dengan sikapku yang melarikan diri seolah-olah takut menghadap i bahaya. Memang terus terang saja, aku merasa takut."

"Ayah.....!" Ucapan ayahnya itu hebat sekali bagi Cui Hong yang sejak kecil mengang gap ayahnya orang yang paling hebat, paling gagah dan tidak mengenal takut. Dan sekarang ayahnya begitu saja mengaku bahwa dia takut!

Orang tua itu me megang tangan anaknya. "Aku me mang takut sekali, bukan takut kalau aku sa mpa i terkena celaka. Akan tetapi aku takut kalau-kalau engkau, Cui Hong, kalau- kalau kalian berdua tertimpa malapetaka. Kalian tidak tahu betapa kejam dan jahatnya manusia-manusia di dunia ini. Aku ingin me lihat kalian terhindar dari bencana. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan kalian, kalau kalian sudah menjadi suami isteri, aku sendiri akan menggabungkan diri dengan para pemberontak." "Suhu, apa maksud ucapan suhu ini?" Lu San terkejut mendengar ini. Belum pernah suhunya bicara seperti itu, apalagi menyatakan hendak bergabung dengan pe mberontak.

"Ketahuilah kalian. Pada waktu ini, pemerintah amat le mah, Kaisar telah menjad i seperti boneka saja. Yang berkuasa adalah pejabat-pejabat setempat dan mereka yang me miliki kekuasaan. Kabarnya, di kota raja sekalipun yang berkuasa adalah pejabat-pejabat dan di istana yang berkuasa adalah pejabat-pejabat thai-kam. Kejahatan merajale la, perbuatan- perbuatan tak patut dan tidak adil terjadi di mana- mana. Karena   itu,    orang-orang   gagah   yang   berjiwa   patriot me mberontak terhadap pemerintah yang dianggap tidak becus. Mereka me mberontak untuk me mbentuk pe mer intahan baru yang bijaksana dan adil. Sudah la ma aku me mikir kan hal itu dan siapa kira hari ini kita sendiri ma lah menjad i korban keganasan seorang pejabat yang sewenang-wenang. Hal ini mendorong se mangatku untuk me mbantu para pemberontak, yaitu menggulingkan pemer intah lalim dan mendir ikan pemerintah baru yang sehat. Dengan demikian, maka tidak akan sia-sialah aku menghabis kan sisa hidupku. Aku mendengar bahwa banyak sekali para pendekar gagah perkasa yang masuk menjadi pe mbantu suka rela dari pasukan pe mberontak yang disebut pejuang-pejuang rakyat."

"Kalau begitu, teecu ikut, suhu!" kata Lu San penuh semangat.

"Aku juga ikut, ayah!" sambung Cui Hong.

Tiga orang itu terseret oleh semangat perjuangan yang timbul karena perhatian yang mereka alami akibat gangguan seorang pejabat. Demikian tersentuh rasa hati mereka oleh kegembiraan se mangat itu sehingga mereka tidak begitu me mperhatikan bunyi derap kaki kuda yang datang dari jauh. Setelah tiga orang penunggang kuda itu tiba di situ dan berloncatan turun, barulah Kim Kauwsu, puteri dan muridnya terkejut dan mereka pun me ngenal tiga orang itu. Jagoan- jagoan sombong yang menyebut diri Thian-cin Bu-tek Sa m- eng!

Tiga orang itu dengan sikap tenang mena mbatkan kuda mereka pada batang pohon dan mereka lalu melangkah maju mengha mpiri Kim Siok dan dua orang muda itu. Koo Cai Sun me mperhatikan dara remaja yang nampak berdiri dengan gagahnya itu dan tiba-tiba dia tertawa bergelak.

hal 24-25 gak ada

“orang juga." kata Koo Cai Sun, masih tersenyum mengejek dan pandang nyatanya seperti menggerayangi seluruh bagian tubuh yang ranum dari remaja itu.

Karena tidak me lihat cara lain untuk menghindarkan bentrokan, Kim Kauw-su me mbentak dengan marah, "Ah, kalau begitu, benar ucapan anakku tadi bahwa kalian adalah tiga ekor anjing penjilat dan pe mburu dari jaksa Pui?"

"Ha-ha-ha, benar Benar! Kami adalah tiga ekor anjing pemburu yang mengejar-ngejar tiga ekor tikus yang melarikan diri, ha-ha!" kata Koo Cai Sun yang pandai bicara itu.

"Ayah, menghadapi anjing perlu bertindak, bukan bicara!" Tiba-tiba Cui Hong sudah menerjang ke depan, mengir im tendangan yang amat keras dan cepat ke arah perut Koo Cai Sun yang gendut. Akan tetapi, orang ini sambil terkekeh sudah menge lak dengan menarik tubuh ke belakang, bahkan dia berusaha menyambar dengan tangannya untuk menangkap kaki Cui Hong yang menendang. Dara itu terkejut dan cepat menarik kemba li kakinya, kemudian menyerang lagi dengan kedua tangannya, mengir im pukulan-pukulan beruntun.

"Aha, kuda betina liar ini sungguh menarik!" kata Koo Cai Sun dan dengan mudah dia menghindarkan diri dari semua serangan itu dengan elakan dan tangkisan. jelas bahwa dia hendak me mper ma inkan gadis itu karena dia tidak me mba las serangan-serangan itu, hanya me mbiarkan gadis itu menyerang terus yang semua dapat dihindarkannya dengan mudah, bahkan dalam serangan jurus ke lima, sambil menge lak dia berhasil meng usap dagu runcing itu.

"Aih, manisnya!"

Tentu saja Cui Hong menjadi marah dan menyerang semakin dahsyat. Hal itu me mbuat Lu San juga marah sekali.

"Manusia busuk!" bentaknya dan dia-pun terjun ke dalam perkelahian itu, hendak me mbantu sumo inya atau tunangannya. Akan tetapi, dari kanan menyambar tubuh Gan Tek Un yang sudah menghadangnya sehingga merekapun segera berkelahi dengan seru.

Hati guru silat Kim Siok terkejut dan khawatir sekali ketika dia me lihat gerakan dua orang yang sudah berkelahi dengan anak perempuan dan muridnya. Tahulah dia bahwa tiga orang lawan ini bukan hanya berna ma kosong saja dan biarpun mereka meng gunakan julukan yang terlalu so mbong, na mun Tiga Jagoan   Tanpa Tanding dari Thian-cin   ini ternyata me mang lihai sekali. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menyertai anak dari calon mantunya untuk me mbela diri dan me lawan mati- matian. Hanya Louw Ti seorang yang masih belum me mperoleh tanding, maka diapun tak mengeluarkan kata-kata lagi, langsung saja menyerang Louw Ti yang pendek tegap itu dengan pukulannya yang ampuh.

Louw Ti meng hadapi serangan itu dengan tenang. Pukulan itu bukan pukulan biasa, melainkan pukulan dari jurus Ilmu Silat Sin-ho-kun (Silat Bangau Sakti), dilakukan dengan sempurna dan didorong oleh tenaga sinkang yang a mat kuat. Namun Louw Ti tidak mengelak, sengaja tidak mengelak me lainkan me nyambutnya dengan tangkisan sa mbil mengerahkan tenaganya pula karena dia ingin meng uji kekuatan pihak lawan.

"Dukkk......!" Dua tenaga yang amat kuat bertemu melalui dua lengan itu dan akibatnya, tubuh Kim Siok terdorong ke belakang sa mpai dia terhuyung, sebaliknya, Louw Ti masih berdiri tegak, matanya melotot lebar dan mulutnya bergerak ke arah senyum mengeje k. Dalam perte muan adu tenaga gebrak pertama ini, mereka berdua sudah ma klum akan kekuatan mas ing-masing dan dia m-dia m guru silat Kim terkejut bukan ma in karena dia tahu bahwa tenaganya masih kalah jauh dibandingkan dengan lawan yang bertubuh pendek tegap bermuka hita m ini. Dengan sudut matanya diapun me lihat betapa keadaan anak perempuan dan muridnya sudah payah, terdesak terus oleh pihak lawan dan mudah diduga bahwa mereka berdua itu pasti akan kalah. Maka, dengan menebalkan muka, de mi kepentingan puterinya, dia segera berkata dengan lantang.

"Tahan dulu.    !!"

Tiga orang itu menahan serangan mereka dan me langkah mundur sa mbil me mandang dengan sikap me mandang rendah. Bagaimanapun juga, tentu akan lebih menyenangkan dan lebih mudah bagi mereka kalau t iga orang buruan ini menyerahkan diri dengan suka rela agar tidak susah-susah lagi mere ka menggir ing tawanan itu ke Thian-cin. Inilah sebabnya mengapa mereka me nahan serangan mereka ketika mendengar suara Kim Siok.

"Bu-tek Sa m-eng, kalian bertiga adalah orang-orang gagah. Kalau me mang kami dianggap bersalah, biarlah se mua kesalahan itu aku sendiri yang akan menanggungnya. Kalian kasihanilah puteriku dan muridku yang tidak berdosa ini. Biarkan mereka berdua pergi dan aku yang akan menerima segala macam hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami."

"Ayah!" "Suhu. !"

Dua orang muda itu me mandang kepada Kim Siok dengan mata terbelalak dan alis berkerut. Tentu saja mereka merasa tidak setuju sa ma sekali dengan sikap Kim Kauwsu itu. "Ha-ha-ha-ha! Kim Siok, untuk apa kami hanya me mbawa pulang seorang seperti engkau? Yang dibutuhkan adalah puterimu, dan engkau bersama muridmu ini harus ikut pula untuk mener ima hukuman!" kata Koo Cai Sun sambil tertawa mengejek. "Daripada kami harus menggunakan kekerasan dan bagaimanapun juga kalian takkan dapat menandingi kami, lebih baik kalian bertiga lekas berlutut dan me nyerah saja."

"Singgg....!" Nampa k sinar berkilat ketika Cui Hong sudah mencabut pedangnya. Karena mereka bertiga me larikan diri dari bahaya, maka dari rumah mere-ka telah me mpersiapkan senjata dan kini dara itu yang menjad i marah sekali mendengar ucapan Koo Cai Sun, sudah mencabut pedangnya. "Manusia so mbong, lihat pedang!" bentaknya dan iapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Koo Cai Sun dengan tusukan ke arah dada.

"Heh-heh, liar dan panas!" Si perut gendut itu mengelak dengan cepatnya.

Akan tetapi Cui Hong menyerang terus dengan tusukan- tusukan dan bacokan-bacokan bertubi-tubi dan berbahaya sekali.

Melihat sumo inya sudah maju lagi, Lu San juga mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap diapun sudah menggerakkan pedang menyerang Gan Tek Un yang juga cepat mengelak dari serangan-serangan pedang yang cukup berbahaya itu. "

Kim Siok menghela napas panjang. Usahanya gagal! Tidak ada jalan la in kecuali melawan mati- matian. Maka diapun me lolos sabuknya yang merupakan senjatanya yang ampuh dan dengan sabuk ini diapun menyerang Louw Ti. Louw Ti menge luarkan dengus mengejek dan tahu-tahu ca mbuk hitamnya yang disebut Toat beng-joan-pian (Cambuk Pencabut Nyawa ) sudah berada pula di tangannya. "Tar-tar-tarrr.....!" Cambuknya meledak-ledak me nyambut sambaran sabuk Kim Siok dan kedua orang ini segera berkelahi dengan seru. Nampak gulungan sinar putih dan hitam dari senjata mere ka menya mbar-nyambar.

Perkelahian antara Cui Hong dan Koo Cai Sun terulang kembali, akan tetapi biarpun kini Cui Hong me nggunakan pedang, tetap saja keadaan mereka tidak seimbang. Koo Cai Sun juga me mpergunakan senjatanya, yaitu sepasang tombak pendek, akan tetapi sepasang senjata ini hanya dia pergunakan untuk me nangkis dan menganca m saja. Dia tidak bermaksud melukai gadis itu seperti yang telah dipesankan dengan sungguh-sungguh oleh Pui Ki Cong. Kalau dia menghenda ki, dengan ilmu kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, akan mudah bagi Koo Cai Sun untuk merobohkan gadis itu. Dia me mper mainkan sambil tertawa-tawa, dan hanya mena mbah tenaganya setiap kali menangkis sehingga beberapa kali ha mpir saja pedang di tangan Cui Hong terlempar lepas.

Tidak banyak perbedaannya dengan keadaan Lu San. Pemuda ini menga muk dengan pedangnya, akan tetapi semua gerakan pedangnya itu mene mui jalan buntu dan kandas dalam gerakan sepasang pedang Gan Tek Un. Jagoan ini menggunakan sepasang pedang dan dengan pedang pasangan yang digerakkan secara hebat, sepasang pedang itu demikian ganasnya seperti sepasang naga terbang dan bermain-main di angkasa, sesuai dengan ilmu pedangnya, yaitu Siang-liong Kia m-sut (Ilmu Pedang Sepasang Naga). Lu San sungguh bukan lawan seimbang dari Gan Tek Un dan setelah me mper mainkan pemuda ini sela ma t iga puluh jurus lebih, tiba-tiba Gan Tek Un mengeluarkan bentakan keras dan tahu-tahu pedang di tangan Lu San terlepas dan pemuda itupun terpelanting roboh karena pundak kanannya tercium ujung pedang dan ada otot di pundaknya yang putus! Robohnya Lu San disusul dengan robohnya Cui Hong. Dara ini dirobohkan oleh Koo Cai Sun yang merasa sudah cukup me mper ma inkannya. Tiba-tiba pedang di tangan dara itu tertangkap oleh kaitan senjata siang-kek di tangannya dan sekali me mbuat gerakan me mutar, pedang itupun patah dan karena tangannya terasa nyeri, terpaksa Cui Hong melepaskan gagang pedang. Sebelum dara ini ma mpu menjaga diri, tahu- tahu lawannya yang amat lihai telah menotoknya dan robohlah ia tanpa terluka, terkulai dalam keadaan lumpuh dan tak ma mpu bergerak lagi.

Melihat betapa dua orang kawannya sudah merobohkan lawan, Louw Ti mengeluarkan suara me lengking nyaring sekali dan kini gerakan cambuknya berubah ganas bukan main. Guru silat Kim Siok terkejut. Dia sendiri adalah seorang ahli bermain senjata lemas seperti ca mbuk atau sabuknya, akan tetapi kini dia tahu bahwa dia telah bertemu dengan seorang yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih t inggi. Dia mencoba untuk mengerahkan seluruh tenaga dan me mutar senjata sabuknya itu dengan sebaik mungkin, me mainkan ilmu silat yang mendarah daging kepadanya. Sabuknya me mbuat gerakan menyambar-nyambar dan me mbentuk lingkaran cahaya putih. Akan tetapi, cambuk di tangan Louw Ti menge luarkan suara meledak-ledak, me mbuat gerakan me lecut-lecut secara aneh, kadang-kadang menyambar- nyambar dari atas, bawah, kanan kiri dan depan belakang, sukar sekali untuk dibendung. Apalagi setiap lecutan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga sabuk di tangan Kim Kauwsu kadang-kadang me mbalik ketika terbentur senjata lawan. Dia   tidak   tahu   bahwa   lawannya   telah me ma inkan Ilmu Cambuk Pencabut Nyawa yang dahsyat sekali.

Kim Siok terlalu la ma men inggalkan dunia persilatan. Semenjak kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menje lajah dunia persilatan dan tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw, telah terjadi banyak perubahan dan banyak bermunculan tokoh-tokoh yang lihai. Juga telah terjadi perkembangan yang luas dalam ilmu silat sendiri. Karena ini, biarpun dia setiap hari me latih diri dengan mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, namun sela ma dua puluh tahun dia tidak mena mbah pengetahuannya dalam ilmu silat. Maka, begitu bertemu tanding tangguh, yang me ma inkan ilmu silat baru yang sama sekali tidak dikenalnya, dia menjad i bingung.

"Tar-tar-tarrr..... robohlah kamu!" terdengar   Louw   Ti me mbentak dan ujung ca mbuknya yang dipasangi mata pisau tajam itu menya mbar turun secara bertubi-tubi. Kim Siok terkejut mengelak dan me mutar sabuknya me lindungi dirinya, namun terlambat.

"Crokkk.. aughhhh...." Dan robohlah guru silat itu, dari kaki kanannya di bagian lutut bercucuran darah karena sambungan lututnya hampir putus disa mbar mata pisau di ujung ca mbuk lawan tadi. Juga di pergelangan tangannya mengucurkan darah dan terpaksa dia me lepaskan sabuknya. Karena luka di lutut dan pergelangan tangan, guru silat itu tidak ma mpu me lakukan perlawanan lagi dan diapun roboh terguling tanpa dapat mengelak ketika Louw Ti mena mbah kan totokan yang me mbuat kaki tangannya lumpuh.

"Ha-ha-ha, Kim Siok. Kiranya engkau dan puterimu beserta muridmu ini tidak seberapa hebat. Engkau me mang orang keras kepala dan tolol. Kalau saja kau-berikan puterimu kepada Pui-kongcu, tentu tidak akan begini jadinya dan engkau akan hidup terhormat dan makmur."

"Bunuhlah aku, tapi bebaskan anakku berdua itu." Kim Siok masih mencoba untuk me mbujuk karena dia a mat meng khawatirkan nasib puterinya. Akan tetapi tiga orang itu hanya tertawa-tawa dan Koo Cai Sun lalu mengang kat tubuh Cui Hong yang sudah tak ma mpu bergerak, meletakkan tubuh itu melintang di atas punggung kudanya. Lalu dia sendiri me loncat naik dan tubuh dara itu me lintang mene lungkup di depannya. "Mari kita cepat bawa mereka!" katanya dan dua orang temannya juga segera me mbawa tawanan masing-mas ing. Kim Siok dan Lu San yang juga sudah tidak ma mpu bergerak karena ditotok, juga mereka dibelenggu kaki tangannya, diikat di atas punggung kuda. Lalu tiga orang jagoan itu me larikan kuda masing-masing me mbawa tawanan itu menuju ke Thian- cin, me mbayangkan kedudukan terhormat yang akan mereka terima sebagai hadiah Pui Taijin.

"Ha, nona manis, akhirnya engkau terjatuh ke dalam tanganku!"

Cui Hong rebah di atas pe mbaringan dengan kaki tangan terikat. Tadi ia dile mparkan oleh Koo Cai Sun ke atas pembaringan di dalam kamar itu, dan sambil terkekeh Koo Cai Sun menyerahkannya kepada Pui Ki Cong.

"He-heh-heh, Pui-kongcu. Nih, kuda betina liar itu. Ia panas dan liar, akan tetapi aku menepati janji, ia tidak kusentuh! Ha- ha, me mang ia menarik sekali, tapi aku tidak menyentuhnya." Jagoan itu tertawa bergelak.

"Terima kasih, Koo-enghiong, terima kasih." kata Pui Ki Cong dan setelah jagoan itu keluar dari kamar, dia cepat menutup kan daun pintu dan mengha mpiri pe mbaringan dengan mulut menyeringai.

"Kim Cui Hong, kalau engkau dahulu menerima pinanganku, tentu tidak perlu dilakukan kekerasan seperti ini. Akan tetapi sekarang masih belum terlambat, manis, aku sungguh cinta pada mu dan kalau engkau mau dengan suka rela menjad i isteriku, aku akan me mbujuk ayahku agar ayahmu tidak menerima hukuman berat." Pui Ki Cong duduk di tepi pe mbar ingan dan men gulur tangan untuk me mbelai dagu yang meruncing man is itu.

Cui Hong menggera kkan kepalanya menge lak dari belaian itu. Totokan pada tubuhnya telah punah akan tetapi ikatan pada kaki tangannya kuat sekali, me mbuat ia tidak ma mpu menggerakkan kaki tangannya. "Tidak sudi aku! Lebih baik mati!" ia me mbentak dan melotot kepada pe muda itu.

"Ah, nona man is, kenapa engkau berkeras hati? Ingatlah, engkau sudah tertawan, juga ayahmu dan muridnya itu. Betapa mudahnya menjatuhkan hukuman kepada kalian bertiga dengan dalih pe mberontak. Kalau engkau berkeras dan meno lak, aku dapat mendapatkan dirimu, kalau perlu dengan perkosaan. Apa kau lebih suka diperkosa dan melihat ayahmu dan muridnya itu mati tersiksa? Ataukah engkau lebih baik menyerahkan diri baik-baik kepadaku, menjadi isteriku, sedangkan ayahmu mungkin akan dibebaskan?"

Ki Cong me mbujuk dan meray u. Dia ingin mendapatkan diri gadis ini dengan suka rela karena dia benar-benar tertarik oleh kemurnian dan kecantikan aseli dara puteri guru silat ini. Kalau harus me mperkosanya, sungguh kurang menyenangkan dan tidak akan me muaskan hatinya. Pula, hal ini menyinggung harga dirinya. Sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan kaya, belum pernah ia harus me mperkosa wanita. Semua wanita yang digodanya dan dirayunya, satu demi satu pasti akan tunduk bertekuk lutut, menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya. Memperkosa wanita, sama saja mengaku bahwa dia ditolak dan tidak dikehendaki wanita itu!

Tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah yang cantik manis dan dan agak pucat itu. Sepasang mata yang jeli itu menatap wajah Pui Ki Cong penuh selidik, kemudian bibir yang mungil dan walaupun dalam keadaan tegang dan lelah masih na mpak segar merah me mbasah itu, bergerak mengajukan pertanyaan lir ih.

"Be..... benarkan..... kau akan me mbebaskan ayahku kalau aku. aku menyerahkan diri dengan suka rela pada mu?"

Wajah pemuda bangsawan itu berseri gembira. "Tentu saja! Ha-ha, nona Kim yang baik, apakah kau belum percaya kepadaku? Apakah aku harus bersu mpah? Aku cinta padamu dan kalau kau mau mener ima cintaku, dengan suka rela, engkau akan menjadi seorang isteriku yang tercinta dan tentu saja aku akan me mbebaskan ayah mu yang menjad i ayah mertuaku!"

"Kalau begitu.... demi keselamatan ayah.... akui... aku menyerah. Tapi..... harap bersikap sabar denganku, kongcu. Aku..., aku masih belum dewasa "

Wajah dara itu menjadi merah sekali dan ia tidak berani menentang pandang mata pe muda itu yang kini tersenyum penuh kegembiraan.

"Tentu saja, manisku! Aku cinta pada mu, aku akan bersikap sabar.... ah, girang rasa hatiku kalau kau mau menyerahkan diri dengan suka rela." Dan dia-pun merangkul hendak menc ium mulut yang sejak pertama kali dilihatnya telah me mbuatnya tergila-gila itu.

"Aih, nanti dulu, kongcu....." Cui Hong mir ingkan mukanya menge lak. "Aku ..... tidak enak sekali terbelenggu seperti ini..... kenapa kau tidak melepaskan ikatan tangan kakiku? Aku sudah menyerah. demi keselamatan ayah."

"Ah, aku sampai lupa! Maafkan, kekasihku, aku a kan cepat me lepaskan ikatan kaki tanganmu." Dengan penuh kegembiraan, sambil menggunakan jari-jari tangannya kadang-kadang menco lek sana-sini dengan sikap genit, Ki Cong lalu me mbuka ikatan tangan kaki Cui Hong. Dia sudah me mbayangkan betapa akan gembira dan nikmatnya kalau nanti gadis re maja ini me nyerahkan diri dengan hati terbuka kepadanya.

Dengan kedua tangan ge metar karena gejolak hatinya, Ki Cong melepaskan ikatan-ikatan pada pergelangan kaki dan tangan Cui Hong dan me mbantu gadis itu bangkit duduk. Cui Hong mengurut-urut pergelangan kaki dan tangannya, yang terasa kaku dan nyeri setelah ikatannya dibuka.

"Mari kuurut kakimu, manis." Ki Cong segera meraba kaki itu dengan tangan panas me mbelai, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut setengah mati karena tengkuknya sudah dicengkeram dan gadis itu sekali meloncat sudah turun dari atas pembaringan dan tangan kirinya mencengkera m tengkuk, tangan kanannya siap me mukul kepala.

"Jangan bergerak!" bentaknya. "Hayo cepat perintahkan agar ayahku dan suhengku dibebaskan!"

Ki Cong terkejut bukan main, bergerak meronta hendak me lepaskan diri. "Akan tetapi, nona. "

"Diam dan jangan bergerak! Hemm, kalau tidak cepat kaubebaskan mereka, akan kuhancurkan kepalamu!" Dan ia me mper kuat cengkera mannya sehingga tengkuk Ki Cong rasanya seperti dijepit besi membuat pe muda itu gelagapan dan sesak napasnya.

"Ba..... baik..... baik....., tapi..... mereka tidak ditahan di sini "

Pemuda itu merasa mendongko l, menyesal, marah akan tetapi juga ketakutan. Tak disangkanya sama sekali bahwa dara remaja itu dapat me mperguna kan siasat selicik itu. Sedikitpun tidak na mpak kepura-puraannya ketika tadi mau menyerahkan diri, nampak de mikian sungguh-sungguh. Dia sama sekali tidak tahu bahwa seorang manusia, dalam keadaan terhimpit, akan ma mpu me lakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Dalam hal ini, Cui Hong tidak hanya meng khawatirkan diri sendiri, melainkan ia ingin sekali menyelamatkan ayahnya dan suhengnya.

"Jangan bohong! Hayo panggil pengawalmu dan katakan bahwa ayahku dan suhengku harus dibebaskan dan dibawa ke sini. Cepat, atau akan kupatahkan batang lehermu!" Kemba li cekikannya pada tengkuk menguat dan Ki Cong dengan ketakutan lalu me manggil pengawalnya.

Dua orang pengawal mengetuk daun pintu karena daun pintu itu tadi dikunci dari dalam oleh Ki Cong. "Apakah kong- cu me manggil ka mi?" de mikian terdengar teriakan dari luar. Melihat sebatang pedang me nghias dinding, sebatang pedang yang tidak begitu baik akan tetapi indah ukirannya dan lebih menyerupai hiasan daripada! senjata, Cui Hong lalu menya mbar senjata itu, menghunusnya dan mene mpelkannya pada leher Ki Cong yang men jadi se ma kin ketakutan.

"Cepat buka pintu dan perintahkan! dia   agar   cepat me mbawa ayahku dan suhengku ke sini. Cepat!"

Dengan todongan   pedang   di   tengkuknya,   Ki   Cong me mbuka daun pintu dan dua orang pengawal itu terbelalak me lihat betapa majikan mereka ditodong pedang oleh gadis yang menjadi tawanannya. Tentu saja mereka terheran-heran. Tadi, di luar pintu di mana mereka ditugaskan men jaga keamanan,   mereka    kasak-kusuk    dan    terkekeh-kekeh me mbicarakan dan me mbayangkan betapa majikan muda mereka tentu tengah me mper mainkan gadis tawanan itu yang mereka na makan sebagai "me metik bunga" atau "menyembelih ayam". Siapa kira, kini maj ikan muda mereka itu sama sekali tidak men ikmati tawanannya, bahkan ditodong oleh tawanan itu, mukanya pucat tubuhnya gemetar seperti orang r-serang dema m.

"Cepat..... pergi ke te mpat tahanan.... dan bawa dua tawanan itu ke sini "

"Siapa, kongcu? Tawanan yang mana? " Dua orang pengawal itu masih bingung dan gugup.

"Guru silat Kim Siok dan muridnya yang tertawan. Bebaskan dan bawa   mereka   ke sini, atau.... aku akan me mengga l leher kongcu kalian ini. Cepat!" bentak Cui Hong dan ujung pedang itu ia te mpelkan pada tengkuk Ki Cong sehingga terluka sedikit dan berdarah.

"Cepat...... lakukan perintah itu, cepat.....!" Ki Cong berkata dan dua orang pengawal itu kini maklum apa yang terjadi. Ternyata tawanan ini, dara yang mereka sudah dengar pandai ilmu silat ini, telah berhasil me loloskan diri sehingga keadaannya menjadi terbalik, kongcu mereka kini menjadi tawanan. Mereka mengangguk dan bergegas pergi dari situ untuk melaksanakan perintah. Tempat tahanan berada di belakang gedung besar.

Setelah dua orang pengawal itu pergi, Cui Hong menotok jalan darah tawanannya dan Ki Cong roboh dengan le mas. Cepat dara itu mempergunakan tali yang tadi dipakai untuk meng ikatnya, kini ia me mperguna kannya untuk meng ikat kaki tangan Ki Cong dengan erat. Ia tahu bahwa ia berada di dalam guha singa dan kalau tiga orang jagoan yang pernah menang kap ia dan ayahnya itu muncul, berarti keselamatannya terancam. Akan tetapi ia mempunyai tawanan penting dan dengan adanya pemuda ini di dalam kekuasaannya, tiga orang jagoan itu tidak akan mampu mengganggunya. Ia bertekad untuk me mbebaskan ayahnya dan suheng-nya, dengan jalan menjadikan Ki Cong sebagai sandera yang amat berharga. Ia harus berlaku hati-hati sekali dan karenanya, ia baru merasa tenang setelah pemuda itu dibelenggu kaki tangannya dan membiarkan pe muda itu roboh di atas lantai, sedangkan ia sendiri lalu duduk di atas bangku, siap dengan pedang di tangan menodong ke arah pe muda itu dan menghadap ke arah pintu.

Seperti dapat diduga oleh dara perkasa itu, perbuatannya me mbuat gedung menjad i ge mpar! Tentu saja pembesar Pui merasa bingung dan khawatir sekali. Memang mudah mengerahkan pasukan pengawal untuk mengeroyok gadis itu, akan tetapi bagaimana dengan keselamatan nyawa puteranya? Untung masih ada Thian-cin Bu-tek Sa m-eng yang sedang dijamu dengan hidangan mewah oleh pembesar itu. Tiga orang jagoan inilah yang bersikap tenang dan merekalah yang mengatur siasat untuk meng hadapi kenekatan Cui Hong.

Hampir habis kesabaran Cui Hong menanti di dalam kamar itu dengan daun pintunya terbuka dan pedang siap di tangan. Pui Ki Cong mengeluh perlahan-lahan, akan tetapi pemuda itu terlampau ketakutan untuk dapat bicara atau banyak bergerak. Pandang mata Cui Hong ditujukan ke luar kamar dan ia melihat betapa keadaan di luar kamar itu sunyi saja, tidak na mpak ada gerakan apa-apa.

Akhirnya dua orang pengawal itu muncul di depan pintu dan Cui Hong cepat mene mpe lkan ujung pedangnya di dada Ki Cong. "Mana mereka? " bentaknya kepada dua orang pengawal itu. "Awas kalau kalian menipuku, dada kong-cu kalian ini akan kurobek-robek!"

"Tolol kalian! Mana tawanan itu?" Ki Cong juga berseru dengan ketakutan melihat betapa dua orang pengawal itu kembali dengan tangan kosong.

"Ampun, kongcu, a mpunkan kami." kata seorang di antara mereka sedangkan orang ke dua hanya me mandang dengan muka pucat. "Para penjaga di kamar tahanan tidak percaya kepada kami dan tidak mau menyerahkan dua tawanan itu. Mereka minta agar kongcu sendiri yang datang ke sana, baru mereka ma u percaya."

"Keparat....!" Makian ini keluar dari mulut Cui Hong dan kembali ujung pedangnya mene mbus baju dan me lukai kulit dada Ki Cong yang menjer it kesakitan, atau lebih lagi, karena ketakutan.

"Ampun." dia   meratap,   "biarlah aku sendiri      yang

me mbebaskan mereka. "

Cui Hong me mutar otaknya. Kalau dibiarkan berlarut-larut dan ayah serta suhengnya tidak cepat dibebaskan, pihak musuh akan dapat mengatur siasat. Memang lebih ba ik kalau pemuda ini yang me mbebaskan sendiri dua tawanan itu. Kalau ia terus menodongnya, pihak lawan tidak akan ma mpu mengganggunya dan terpaksa harus me menuhi tuntutannya.

"Baik, mar i kita bebaskan mereka!" katanya dan dengan pedangnya ia me mbabat tali pengikat kedua kaki Ki Cong, lalu ia me mbebaskan totokannya dari tubuh pemuda itu. Pemuda itu dapat bergerak lagi dan dengan susah payah karena kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu, dia bangkit berdiri, dibantu dengan sepakan kaki oleh Cui Hong. Dengan tangan kiri me ncengkera m ra mbut kepala, tangan kanan menodongkan pedang yang dite mpelkan di leher pe muda itu, Cui Hong lalu me nodongnya keluar dari kamar, didahului oleh dua orang pengawal, yang bersikap ketakutan dan menjadi petunjuk jalan menuju ke kamar tahanan yang berada di belakang gedung.

Hati Cui Hong diliputi penuh kecurigaan dan ia bersikap hati-hati sekali, tak pernah melepaskan kewaspadaan dan dengan keras mencengkera m ra mbut kepada Ki Cong dan terus mene mpelkan pedangnya di leher orang itu. Ia merasa lega ketika t iba di ruang tahanan, me lihat bahwa di situ tidak nampak penjaga-penjaga yang siap mengeroyoknya, bahkan para penjaga nampak menyingkir dan berdiri di tepi yang aman. Dan hatinya girang sekali ketika t iba di sebuah tikungan sempit, dari jauh ia me lihat ayah dan suhengnya di dalam sebuah kamar kerangkeng, terbelenggu dan duduk di atas lantai dalam keadaan selamat.

"Ayah....!" Tak tertahankan lagi keharuan hatinya dan ia berteriak me manggil.

Tiba-tiba ayahnya berseru, "Hong-ji, hati.. hati    !"

Akan tetapi terlambat. Karena pada saat itu, perhatian Cui Hong tertarik kepada ayah dan suhengnya sehingga ia tidak me lihat betapa tiba-tiba ada sebuah tubuh menubruknya dari kanan. Tentu saja ia cepat menggerakkan pedangnya menya mbut tubrukan orang itu tanpa melepaskan ja mbakan tangan kirinya dari ra mbut kepala Ki Cong.

"Crokkkk........!" Perut orang yang menubruknya itu terbacok dan darah muncrat- muncrat ke Cui Hong. Tentu saja gadis ini merasa terkejut dan ngeri. Biarpun sejak kecil ia belajar ilmu silat, akan tetapi belum pernah ia me mbunuh orang, apalagi me mbacok perut sampai muncrat-muncrat darahnya seperti itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang menubruknya   itu ternyata   tidak menubruk, me lainkan dilontarkan orang dan orang itu sa ma sekali tidak ma mpu men gelak atau menang kis ketika dibacoknya. Karena kaget dan ngeri, otomatis me lepaskan ja mbakan ra mbut Ki Cong dan melompat ke belakang agar tidak terkena darah. Dan pada saat itu, muncullah Koo Cai Sun dan Gan Tek Un. Gan Tek Un menyambar tubuh Ki Cong dan Koo Cai Sun sudah menyerang Cui Hong dengan kedua tangannya. Gadis ini berusaha me mbela diri, akan tetapi ia me mang kalah jauh, dan juga sudah lelah sehingga sebuah tendangan yang mengenai lututnya me mbuat ia terpelanting dan sebelum ia dapat bangkit berdiri, Kuo Cai Sun sudah me nubruknya dan beberapa orang pengawal maju dan me mbelenggu kaki tangannya!

Cui Hong meronta-ronta dan me maki- ma ki, akan tetapi sia- sia saja dan di lain saat ia sudah tidak ma mpu bergerak, kaki tangannya ditelikung dengan a mat kuat. Tiba-tiba Pui Ki Cong tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, bocah liar. Engkau me mang tidak boleh disayang! Engkau me mang ingin disiksa, diperkosa, dan dihina. Aku akan me mpermainkan engkau sa mpa i meratap- ratap minta a mpun, sampai engkau me nyesal pernah dilahirkan oleh ibumu!" Setelah berkata demikian, dalam kemarahannya Ki Cong mengayun tangannya mena mpar muka gadis yang sudah tak berdaya rebah di atas lantai itu.

"Plak! Plak!" Dua kali tangannya mena mpar, sampai panas rasanya mengenai kedua pipi gadis itu saking kerasnya. Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya tetap melotot penuh kebencian. Melihat ini, kemba li Pui Ki Cong tertawa mengejek. Dia merasa amat penasaran dan marah. Beberapa kali dia mengalami penghinaan gadis ini dan kemarahannya me mbuat dia lupa diri bahwa di situ terdapat tiga orang jagoan itu, dua orang tawanan dan beberapa orang pengawal yang menjadi penonton.

"Ha-ha-ha, setelah ditampar engkau berta mbah cantik!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia merangkul leher Cui Hong dan mencium mulut yang dikaguminya itu. Dia menc ium dengan rakus, seperti orang kehausan memperoleh minuman segar yang diteguknya dengan ln-hap.

"Aaughhhh.......!!" Tiba-tiba Ki Cong menjer it dan meronta- ronta, akan tetapi deretan gigi putih kecil- kecil yang amat kuat itu tidak mau melepaskannya, karena seperti seekor singa menggigil korbannya. Ki Cong meronta-ronta dan mengaduh- aduh, darah bercucuran dari mulutnya. Melihat ini, Koo Cai Sun cepat menotok jalan darah di leher Cui Hong dan gadis itu terkulai, gigitannya terlepas.

"Aduhhhh..... iblis betina..... aduhhhh” Ki Cong bangkit dan menutup i mulutnya yang bercucuran darah. Bibirnya yang bawah hampir putus oleh gigitan Cui Hong, gigitan yang dilakukan penuh kebencian tadi. Mulut gadis itupun juga berlepotan darah yang keluar dari luka di bibir Ki Cong dan gadis itu, biarpun sudah tertotok le mas, masih ma mpu me ludahkan darah yang menodai mulutnya.

Koo Cai Sun tertawa. "Ain, kongcu, tidak perlu tergesa- gesa. Sudah kukatakan bahwa d ia ini seekor kuda betina liar, ganas dan panas. Kalau engkau ma mpu menjinakkannya, wah, dia akan hebat sekali. Akan tetapi sebaliknya, ia dapat me mbawa kau terjun ke jurang, ha-ha!"

Pui Ki Cong menjadi se makin penasaran dan marah. Dengan kasar dia lalu menggunakan sehelai saputangan untuk diikatkan di depan mulut Cui Hong, kemudian ia me mondong tubuh gadis itu dan dibawanya kembali ke dalam kamarnya, diikuti suara ketawa ketiga orang jagoan itu.

Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Kim Siok dan Lu San menyaksikan semua. Mereka tidak berdaya, dibelenggu dengan kuat. Timbul tekad dalam hati mereka untuk mencari kesempatan, me mberontak dan kalau perlu me mpertaruhkan nyawa untuk mencoba menyelamatkan Cui Hong.

-oo0dw0oo-

"Tar! Tar! Tarr.   !!"

Berulang kali ca mbuk itu melecut dan men impa tubuh Cui Hong. Gadis itu terlentang di atas pembaringan dengan tangan dan kaki terpentang dan terikat pada kaki pembaringan. Cambuk itu diayun oleh Ki Cong dan me lecut tubuhnya, menggigiti kulitnya melalui robekan baju. Pakaian gadis itu koyak-koyak oleh lecutan ca mbuk dan bahkan kulitnya yang putih mulus itu mulai penuh dengan garis-garis merah, ada pula yang mengeluarkan darah. Namun tidak satu kalipun terdengar keluhan dari mulut Cui Hong. Ia merapatkan bibirnya, bahkan kalau terlalu nyeri, digigitnya bibir sendiri dan matanya tetap melotot menatap wajah penyiksanya. Habis koyak-koyak seluruh pakaiannya dan yang tinggal hanyalah belenggu pada mas ing-masing tangan dan kakinya.

Kadang-kadang datang pula perasaan takut dan ngeri yang bergelombang dan ha mpir menenggelamkan kesadarannya, rasa takut yang jauh lebih hebat dan lebih besar daripada rasa nyeri karena siksaan ca mbuk itu. la berharap agar orang itu menca mbukinya terus sampai ia mati. Tidak, ia tidak takut mati. Kalau ia mati, ia akan terbebas dari siksaan ini, terutama sekali siksaan rasa takut yang mengerikan. Hanya satu hal yang me mbuat ia penasaran kalau ia mati, yaitu ia tidak akan lagi ma mpu me mbalas dendam kepada keparat ini.

"Bunuhlah aku, bunuhlah, hanya demikian bisik suara hatinya ketika akhirnya Ki Cong menghentikan siksaannya. Dia me le mparkan ca mbuk yang berlepotan darah itu, dan mengusap peluh yang me mbasah i tubuhnya. Matanya liar menatap seluruh tubuh yang ditinggalkan pakaian yang sudah koyak-koyak dan kulit I putih mulus yang dihiasi garis-garis merah. Memandang dengan penuh gairah nafsu dan Ki Cong lalu duduk di tepi pe mbaringan, kedua tangannya mengusap- usap seperti hendak mengobati atau mengusir semua rasa nyeri.

Berdebar jantung Cui Hong dan seluruh tubuhnya terasa menggigil. Rasa ngeri dan takut menyerangnya dan ketika Ki Cong mendekapnya dan menciuminya, iapun terkulai dan roboh pingsan. Ia tidak tahu apa-apa lagi, tidak merasakan apa-apa lagi seperti orang pulas atau mati.

Nafsu birahi timbul karena gambaran pikiran. Tanpa adanya pikiran yang mengga mbarkan hal-hal yang ada hubungannya dengan nafsu berahi, maka nafsu itu t idak akan timbul begitu saja. Dan menurutkan nafsu birahi, tanpa dikendalikan kebijaksanaan dan kesadaran akan me mbuat seseorang menjad i ha mba nafsu berahi. Dan celakalah badan dan batin kalau orang sudah menjad i hamba nafsu. Nafsu apa saja, termasuk nafsu berahi. Dalam cengkera man nafsu, orang akan lupa diri dan sanggup melakukan apa saja, bahkan kadang- kadang me lakukan hal-hal yang me langgar segala hukum kemanusiaan atau kesusilaan, kadang-kadang malah mengarah kepada perbuatan keji dan kejam sekali, tanpa me mperdulikan keadaan orang lain, yang terpenting adalah me menuhi dorongan hasrat untuk me muaskan nafsu sendiri yang mendesak-desak.

Dendam me mbuat seseorang dapat melakukan kekeja man yang luar biasa. Dendam adalah nafsu kebencian, dan seperti juga nafsu berahi, sekali orang dicengkera m, ma ka orang itu akan menjad i boneka, menjadi ha mba daripada nafsunya sendiri. Pui Ki Cong menaruh dendam kebencian yang cukup menda lam terhadap Cui Hong. Mula- mula karena dia kecewa bahwa hasrat hatinya tidak mendapat sa mbutan. Kemudian dia merasa dihina oleh gadis itu, dan terutama sekali merasa tersinggung rasa harga dirinya oleh semua penolakan dan penghinaan itu. Apalagi setelah berkali-kali dia gagal, bahkan hampir celaka di tangan Cui Hong. Rasa suka karena dorongan birahi berubah men jadi kebencian, dendam kebencian yang amat besar. Kebencian men imbulkan hasrat ia melihat orang yang dibencinya itu menderita sehebat-hebatnya. Dendam kebencian hanya dapat dipuaskan kalau me lihat orang yang dibencinya itu menderita hebat. Karena dirinya dicengkeram dua maca m nafsu yang amat berbahaya itu, nafsu birahi dan nafsu kebencian, maka perbuatan Ki Cong terhadap diri Cui Hong sungguh d i luar batas perike manusiaan. Segalanya tidak dipantangnya untuk dilakukan terhadap Cui Hong, untuk dapat menghina sehebat-hebatnya, untuk dapat memuaskan hasrat hatinya sedalam-dalamnya.

Begitu siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya ternoda, tanpa mengeluh atau menangis, Cui Hong pingsan lagi. Berulang kali ia sadar dan pingsan lagi, dan akhirnya ia hanya rebah terlentang seperti mayat, pandang matanya kosong ditujukan ke langit-langit kamar itu dan ia sama sekali tidak perduli lagi akan dirinya, sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi dengan dirinya. Bahkan ia hanya me mandang kosong ketika Ki Cong men ggodanya dengan kata-kata, dengan perbuatan, seolah-olah semua itu hanya terjadi dalam mimpi buruk. Ia hanya menanti datangnya saat terbangun dari tidur agar mimpi buruk itu dapat terhenti. Akan tetapi mimpi buruk itu berkelanjutan dan tak pernah terhenti, baru berhenti kalau ia tenggelam kembali ke dalam ketidaksadaran! Wajah Ki Cong terukir di dalam lubuk hatinya, tanpa disadarinya. Wajah seorang laki-laki yang kemerahan, penuh peluh, yang matanya kemerahan, hidungnya kembang- kempis, mulutnya dengan bibir pecah menjendo l itu terengah- engah. Ia takkan pernah melupakan wajah itu!

Cui Hong lupa segala. Lupa akan waktu. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tersiksa di dalam kamar itu. Ia tidak ingat apa-apa lagi t idak tahu bahwa sudah sehari se ma lam ia tersiksa secara me la mpaui batas itu. Ki Cong juga lupa diri. Hanya berhenti menyiksa gadis itu untuk makan dan minum, yang diantarkan oleh seorang pengawal. Kini hatinya tenteram dan dia boleh me lakukan apa saja tanpa gangguan karena tiga orang jagoan itu berada tak jauh dari kamarnya. Di kamar sebelah, selalu siap melindunginya.

Ki Cong agak mabok, terlalu   banyak   minum arak. Diha mpirinya gadis itu dan dituangkannya arak dari cawan ke mulut Cui Hong yang setengah terbuka. Gadis itu menelannya dan tersedak. "Heh-heh-heh, Cui Hong, manisku. Bagaimana, apakah sekarang engkau sudah tunduk dan takluk kepadaku? Ha-ha-ha.....!" Dia me nunduk untuk menc ium dengan buas.

"Brakkk......!!" Tiba-tiba daun pintu jebol dan dua laki-laki berloncatan masuk. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ki Cong ketika dia melihat bahwa yang menjebo l daun pintu itu adalah guru silat Kim Siok dan Lu San!

"Tolooonggg......! Toloooongggg....!!" Dia berteriak-teriak ketakutan.

Pada saat itu, tiga bayangan orang berloncatan masuk sebelum Kim Siok dan muridnya terbelalak me mandang ke arah dipan di mana Cui Hong rebah seperti mayat itu dapat me lakukan sesuatu, tiga orang jagoan itu telah menerjang mereka. Kim Siok dan Lu San tadi berhasil melepaskan diri dari ikatan kaki tangan mere ka dengan susah payah, meroboh kan enam orang penjaga dan lari ke kamar itu. Sekarang, melihat tiga orang tangguh itu menerjang, mereka menga muk dan sekali ini mereka berkelahi seperti dua ekor harimau terluka. Mereka marah, benci dan sakit hati melihat keadaan Cui Hong sehingga mereka menjadi nekat, tidak me mperdulikan nyawa sendiri dan menerjang dengan ganas dan dahsyat.

- oo o 0dw0 ooo - 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar