Rajawali Lembah Huai Jilid 12

Jilid 12

Minuman segar hangat dan suasana hening dan tenteram di ruangan itu, ditunggui isterinya yang tenang dan sabar, akhirnya dapat meredakan kerisauan hati pria setengah tua itu. Dia menghela napas panjang.

“Betapa menjengkelkan melihat keadaan yang tidak baik akan tetapi diri tidak kuasa untuk memperbaikinya. Betapa menyedihkan melihat kerajaan yang tadinya jaya ini perlahan-lahan menghadapi keruntuhannya.”

Mendengar keluhan suaminya itu, sang isteri maklum bahwa kebekuan itu telah mencair dan sudah tiba saatnya baginya untuk bicara, siap membantu suaminya memikul beban tekanan batin yang menyusahkan hati suaminya itu,

“Suamiku, biasanya sehabis menghadap kaisar, engkau pulang dengan sikap gembira. Akan tetapi sekali ini sungguh amat berbeda, engkau pulang dan kelihatan murung. Kemudian ucapanmu tadi, sungguh aku tidak mengerti akan maksudnya. Kalau engkau tidak merasa keberatan, maukah engkau menceritakannya kepadaku?”

Menteri Bouw Yan mengepal tinju. “Sungguh membuat orang dapat mati penasaran. Aku, yang hanya seorang menteri, amat mengkhawatirkan keadaan kerajaan, amat prihatin. Akan tetapi dia, yang menjadi kaisar, bahkan acuh saja dan tenggelam ke dalam kesenangan. Setiap hari berpesta pora, sama sekali tidak mengacuhkan ketika ada laporan tentang pergolakan di selatan. Dan yang memuakkan, sebagian besar pejabat bahkan ikut-ikutan bersenang-senang. Mereka semua itu telah buta!”

“Harap tenang, suamiku. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di selatan yang amat menggelisahkan hatimu?” “Apa yang terjadi di selatan? Semua orang mengetahui. Di selatan timbul perserikatan orang- orang yang menentang kerajaan Goan. Dahulu, mereka hanya merupakan gerombolan- gerombolan kecil yang tidak berarti. Akan tetapi sekarang, mereka telah bersatu, dipimpin oleh seorang pemuda yang bersemangat tinggi, yang baru saja memenangkan kedudukan Beng-cu di dunia kang-ouw. Sungguh aku merasa khawatir sekali dan kekhawatiran ini kukemukakan kepada Sribaginda. Akan tetapi aku malah dianggap mengganggu kesenangan beliau dan dianggap penakut.”

“Suamiku, kenapa merisaukan segala macam pemberontakan di selatan? Bukankah sejak dahulu selalu ada saja gerombolan pemberontak yang mengacau dan selalu pasukan pemerintah dapat membasminya? Kalau sekarang ada pemberontakan di selatan, kirim saja pasukan untuk membasmi dan engkau tidak akan merasa risau lagi.”

“Pemberontakan silih berganti, hal ini saja sudah menunjukkan betapa lemahnya pemerintahan. Akan tetapi sekali ini bukanlah pemberontakan biasa, bukan sekedar gerombolan pemberontak yang mudah ditumpas! Aku mendengar kabar bahwa pemuda yang bernama Cu Goan Ciang, yang terpilih sebagai Beng-cu dan dijuluki Rajawali Lembah Huai, telah berhasil menghimpun banyak sekali pemuda dari dusun-dusun, dan banyak tokoh kang- ouw yang berkepandaian tinggi, membentuk sebuah pasukan yang kuat. Pasukan ini menamakan diri Beng-pai, dengan panji bertuliskan huruf Beng. Mereka bukan perampok- perampok, dan mereka sudah mulai menduduki daerah sekitar lembah Huai, dan menurut kabar, rakyat jelata mendukungnya, bahkan para hartawan dan tuan tanah menyumbangkan harta untuk membiayai pasukan mereka. Ini sungguh berbahaya sekali!!”

“Aih, kalau begitu, tidak semestinya pemerintah mendiamkannya saja. Sudah semestinya panglima membawa pasukan besar untukl menumpasnya,” kata sang isteri yang ikut merasa terkejut mendengar itu.

“Itulah yang membuat aku merasa jengkel. Sudah kulaporkan semua itu, akan tetapi kaisar yang haus kesenangan itu malah merasa terganggu kesenangannya dan menyuruh aku memadamkan api pemberontakan di selatan itu. Pada hal, kota raja inipun tak pernah bebas dari ancaman pemberontakan yang terjadi di sekitarnya. Biarpun pemberontakan di sekitar kota raja hanya terdiri dari gerombolan kecil yang mengadakan kekacauan dan perampokan, namun cukup memusingkan. Yang menyebalkan, para menteri juga ikut mencelaku yang katanya merasa iri karena tidak suka ikut berfoya-foya seperti mereka. Menyebalkan sekali!”

“Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang?” tanya isterinya khawatir.

“Aku melihat awan gelap datang dari selatan dan kalau aku bersikap seperti para penjilat itu, terjun ke dalam kesenangan dan foya-foya bersama Sribaginda, sudah pasti kerajaan ini akan segera hancur. Aku yang sejak muda mengabdikan diriku kepada kerajaan, tidak mungkin tinggal diam saja. Aku sendiri akan pergi ke Nan-king dan memimpin penumpasan Beng-pai yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang!”

“Ku Cin dan Mimi juga masih berada di sana!” kata isterinya. “Sebaiknya kalau mereka itu kausuruh kembali ke kota raja. Berbahaya sekali bagi mereka kalau sampai terjadi pergolakan dan perang di selatan.”

“Justeru tenaga mereka itu kubutuhkan. Mereka sudah beberapa lamanya tinggal di Nan-king, tentu lebih banyak mengetahui keadaan di sana. Aku membutuhkan bantuan orang-orang yang dapat dipercaya.”

Pada hari itu juga, Menteri Bouw Yan atau Bayan, mengumpulkan dua ratus orang prajurit pilihan dan bersama beberapa orang panglima yang membantunya, diapun berangkat dengan kereta menuju ke selatan. Kaisar yang dipamiti hanya menyetujui saja, dan para menteri yang lain menertawakan Bayan yang mereka anggap seperti anak kecil yang takut bayangan sendiri. Bagaimana mungkin segerombolan rakyat petani dapat merupakan ancaman bagi kerajaan Goan yang besar dan jaya?

Dua orang pemuda itu berjalan menyusuri sungai Huai. Keduanya berwajah tampan walaupun pakaian mereka seperti orang-orang muda, petani dusun yang sederhana. Yang seorang bertubuh tampan dan tegap, berusia sekitar dua puluh tiga tahun, dan yang kedua tentu adiknya karena wajah mereka mirip, akan tetapi adik ini lebih tampan dan tidak setegap kakaknya, dan usianya sekitar sembilan belas tahun. Mereka ini memang nampak sederhana, dengan caping petani, dengan kulit muka, leher dan tangan kecoklatan terbakar sinar matahari, dan pakaian mereka dari kain kasar. Namun, gerak-gerik mereka tidak seperi petani kasar, dan memang sesungguhnya mereka adalah dua orang muda bangsawan yang menyamar.

Mereka adalah Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi, dua orang putera dan puteri Menteri Bayan! Sudah lama mereka berada di Nan-king, selain membawa pesan ayah mereka kepada para pejabat di Nan-king, juga mereka melihat perkembangan keadaan di daerah selatan itu.

Mereka berdua mendengar pula akan hasil pemilihan Beng-cu yang jatuh ke tangan Cu Goan Ciang, pemberontak yang terkenal sebagai buruan pemerintah itu. Memang sejak pemilihan Beng-cu, Nan-king tidak pernah diganggu penjahat atau pemberontak dan hal ini berkat penjagaan ketat yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh panglima Shu Ta.

Kakak beradik bangsawan ini telah menjadi sahabat baik Shu Ta dan pergaulan mereka akrab. Biarpun di lubuk hatinya, Shu Ta adalah seorang yang berjiwa patriot dan membenci penjajah Mongol, akan tetapi dia harus mengakui bahwa kakak beradik itu adalah orang-orang yang berwatak baik dan gagah. Terutama sekali Mimi. Baginya, tidak ada gadis lain sehebat Bouw Mimi dan sejak pertemuan pertama kali, hatinya sudah tertarik sekali. Setelah mereka bergaul dan dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu berwatak baik dan gagah, bahkan dalam percakapan seringkali mencela politik bangsa Mongol yang melakukan penekanan terhadap rakyat, maka Shu Ta diam-diam sudah jatuh cinta kepada Mimi.

Ketika kakak beradik itu menyatakan hendak melakukan penyelidikan sendiri di daerah selatan Nan-king, di sepanjang sungai Huai yang kabarnya dijadikan pusat gerakan pemberontak, tentu saja Shu Ta merasa khawatir sekali.

“Kenapa engkau merasa khawatir, Shu-Ciangkun?” bantah Bouw Ku Cin ketika panglima itu membujuk agar mereka tidak pergi. “Bukankah berkat pembersihan yang kaulakukan dengan pasukanmu, selama ini Nan-king dalam keadaan aman dan tenteram, tidak ada penjahat atau pemberontak yang berani membikin kacau?”

“Dan lagi siapa yang akan mengetahui bahwa kami berdua adalah putera dan puteri menteri? Kami akan menyamar sebagai dua orang dusun, dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda. Aku ahli dalam penyamaran, Ciangkun. Kami berdua mampu berjaga diri,” kata pula Mimi sambil tersenyum. “Akan tetapi, kongcu dan siocia, sungguh perjalanan itu amat berbahaya. Biarpun di kota kelihatan tenang, akan tetapi siapa tahu keadaan di luar sana? Menurut kabar, terjadi pergolakan di sepanjang lembah Huai. Kalau ji-wi (anda berdua) ingin melakukan penyelidikan, sebaiknya disertai serombongan pengawal yang berkepandaian tinggi untuk menjamin keamanan ji-wi.”

“Ah, kami tidak suka!” kata Bouw Ku Cin. “Kami akan merasa canggung dan tidak bebas. Pula, kalau kami menyamar sebagai dua orang pemuda dusun, bagaimana mungkin mempunyai pasukan pengawal? Sudahlah, Ciangkun, jangan terlalu mengkhawatirkan diri kami.”

“Akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat membiarkan ji-wi pergi? Kalau sampai terjadi sesuatu dengan ji-wi, tentu aku akan ditegur dan bahkan mendapat kesalahan besar dari atasanku.”

“Kalau begitu, biar kami melapor dulu kepada paman Yatucin!” kata kakak beradik itu dan mereka segera menemui Yauw-Ciangkun. Panglima komandan pasukan di Nan-king inipun mencoba untuk membujuk kakak beradik itu agar mengurungkan niat mereka, akan tetapi, mereka nekat dan akhirnya panglima itupun tidak dapat mencegah. Hanya setelah mereka berdua pergi, Yauw-Ciangkun cepat memanggil panglima Shu Ta dan memerintahkan agar Shu-Ciangkun diam-diam menyuruh orang membayangi dan melindungi kakak beradik bangsawan yang nekat itu.

Demikianlah, pada pagi hari itu, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi menyamar sebagai dua orang pemuda dusun yang berjalan santai menyusuri sungai Huai. Untuk melengkapi penyamaran mereka, Bouw Ku Cin membawa segulung jala sedangkan Mimi membawa tangkai pancing. Mereka sama sekali tidak mencurigakan karena hampir semua orang muda yang tinggal di lembah sungai Huao hanya mempunyai pekerjaan bersawah ladang dan mencari ikan sebagai nelayan. Mereka itu petani dan juga nelayan.

Sudah sepekan lamanya mereka berkeliaran melakukan penyelidikan di sepanjang lembah Huai. Beberapa kali mereka dicurigai dan ditahan kelompok prajurit yang meronda atau melakukan penjagaan, namun Bouw Ku Cin dan adiknya segera dibebaskan kembali ketika mereka memperlihatkan sebuah surat kuasa yang dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh Yauw-Ciangkun. Dan mereka tidak pernah bertemu dengan para pemberontak, apa lagi mendapat gangguan mereka. Suasana di dusun sekitar lembah itu nampak tenteram dan tenang, para petani dan nelayan bekerja dengan santai. Dari keterangan para penduduk dusun, kakak beradik ini mendapatkan berita yang membuat mereka merasa penasaran dan juga marah. Ternyata bahwa yang suka mengacau dan mengganggu penduduk sama sekali bukan para pemberontak yang dipimpin oleh Cu Goan Ciang, bahkan sebaliknya, yang suka mengganggu adalah anak buah pasukan pemerintah! Setiap kali ada rombongan prajurit pemerintah melakukan perondaan di sebuah dusun, tentu terjadi hal-hal yang memuakkan.

Pasukan itu tidak segan-segan, dengan dalih melakukan pembersihan dan mencari pemberontak, untuk menggeledah setiap rumah rakyat dusun dan dalam pelaksanaan penggeledahan inilah terjadi hal-hal yang amat memalukan kakak beradik ini. Seringkali para prajurit pasukan Mongol itu merampas barang-barang berharga, juga memperkosa wanita- wanita, dan mereka meninggalkan sebuah dusun sambil menuntun kerbau atau sapi untuk mereka santap dalam berpesta malam nanti! “Bedebah mereka itu!” kata Bouw Ku Cin marah. “Kalau macam itu kelakuan pasukan kita, tentu saja rakyat berpihak kepada pemberontak! Aihhh, kelakuan para prajurit itulah yang akan menghancurkan kerajaan, dan pemberontakan yang terjadi di mana-mana adalah akibat dari pada kejahatan pasukan kita sendiri!”

“Tapi, kukira tidak semua prajurit kita seperti itu, koko,” bantah Mimi yang juga marah melihat ulah prajurit kerajaan. “Yang bertanggung jawab tentu saja komandan mereka, dan kurasa masih banyak komandan yang baik, misalnya paman Yatucin sendiri, atau Shu- Ciangkun...”

“Akan tetapi mereka tidak mungkin mengawasi seluruh pasukan! Dan biasanya, kesalahan yang dilakukan oleh seorang anggota saja dari sebuah pasukan, akan menodai nama baik seluruh pasukan itu. Tidak mengherankan kalau rakyat mulai bangkit memberontak karena mereka tentu saja menganggap bahwa kebusukan belasan orang prajurit itu merupakan cermin dari kebusukan pemerintah. Sungguh celaka!”

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya adiknya.

“Mari kita kembali ke Nan-king. Kita harus melaporkan ini kepada paman Yatucin dan Shu- Ciangkun. Mereka harus mengadakan pengamatan dan pembersihan di kalangan pasukan sendiri. Kalau keadaan seperti ini berkelanjutan, dan rakyat membencu pasukan pemerintah sebaliknya mendukung pemberontak, keadaan kita akan menjadi lemah sebaliknya pihak pemberontak semakin kuat.”

“Akan tetapi, koko. Kita hanya mendengar saja keterangan itu dari penduduk dusun. Bagaimana kita dapat melapor kalau kita tidak membuktikannya sendiri? Laporan kita harus berdasarkan kenyataan yang meyakinkan. Bagaimana kalau semua keterangan itu hanya fitnah belaka?”

“Aih, engkau benar juga, adikku! Kita harus mencari bukti walaupun aku tidak percaya kalau para penghuni dusun itu berbohong. Ketika mereka bercerita, mereka menganggap kita adalah pemuda-pemuda dari dusun lain. Perlu apa mereka berbohong kepada sesama rakyat dusun? Bagaimanapun juga, memang kita harus membuktikan kebenaran laporan kita. Kabarnya, para prajurit penjaga itu suka membuat kekacauan di dusun sebelah barat sana yang tidak jauh dari pos penjagaan. Mari kita ke sana.”

Setelah melakukan pengintaian tak jauh dari pos penjagaan pasukan penjaga keamanan, akhirnya pada suatu siang kakak beradik itu membayangi selosin prajurit yang melakukan perondaan. Dua belas orang itu agaknya sudah setengah mabok dan percakapan yang mereka lakukan ketika mereka meninggalkan pos penjagaan dalam barisan yang tidak rapi itu yang menarik perhatian Bouw Ku Cin dan Mimi untuk membayangi mereka.

Dua belas orang prajurit itu terdiri dari orang-orang berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian seragam dan di pinggang mereka tergantung golok. Pemimpin regu kecil ini seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dari obrolan mereka yang diselingi tawa, mudah diketahui bahwa selosin orang prajurit ini dalam keadaan setengah mabok.

“Ha-ha, pesta pernikahan puteri lurah So itu tentu meriah sekali!” “Arak dan daging berlimpahan!”

“Gadis-gadis cantik dari semua dusun tentu berkumpul di sana.” “Lurah jahanam, kita tidak diundang!”

“Ha-ha, biar tidak diundang, kitalah yang akan berpesta pora nanti. Makan daging sekenyangnya, minum arak sepuasnya, dan memilih gadis tercantik.”

“Aku ingin membawa dua orang gadis!”

Mendengar obrolan mereka yang dilakukan sambil tertawa-tawa itu, Mimi merasa muak dan marah sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di antara para prajurit kerajaan terdapat orang-orang semacam itu, yang tiada ubahnya gerombolan perampok saja. Kalau menuruti panasnya hati, ingin ia menyusul mereka dan menghajar mereka sepuas hatinya. Akan tetapi, Bouw Ku Cin melarangnya.

“Bukankah kau menghendaki bukti? Kalau hanya obrolan mereka itu, bukan bukti namanya. Apa lagi mereka dalam keadaan setengah mabok, mana omongan mereka dapat dipercaya? Kita lihat saja perkembangannya. Kalau mereka benar melaksanakan apa yang mereka ucapkan tadi, baru kita turun tangan.”

Mimi mengangguk karena ia dapat melihat kebenaran ucapan kakanya. Mereka membayangi terus dan tak lama kemudian rombongan itu telah tiba di luar sebuah dusun yang berada di Lembah Sungai Huai. Dari luar dusun saja sudah dapat terdengar suara musik yang menandakan bahwa di dalam dusun itu memang benar sedang diadakan sebuah pesta.

Rombongan prajurit itu semakin gembira dan mereka memasuki dusun dengan barisan yang tidak teratur lagi. Ku Cin dan Mimi juga memasuki dusun, berbaur dengan penduduk yang agaknya datang dari dusun lain dan ingin menonton keramaian.

Yang mempunyai kerja memang Lurah So, kepala dusun Lam-kiang yang cukup ramai karena daerah itu memang makmur, tanahnya subur dan perairannya mengandung banyak ikan. Sejak pagi tadi, rumah kepala dusun itu telah dihias dan sepasang mempelai telah duduk bersanding. Biarpun yang menikah adalah puterinya, namun karena dia kepala dusun, maka pengantin puteri belum dibawa pergi karena kepala dusun mengadakan penyambutan pengantin pria dengan pesta yang meriah.

Ruangan tamu di depan rumah, sebuah panggung bangunan darurat, telah penuh dengan tamu, bahkan di luar pekarangan juga terdapat banyak penduduk dusun yang menonton keramaian itu, mendengarkan musik dan nyanyian, dan menonton tarian. Bahkan mereka ini kebagian kue yang dibagikan oleh pelayan sehingga suasana menjadi gembira bukan main.

Akan tetapi selagi orang berpesta, muncul seorang laki-laki tinggi besar yang melangkah memasuki tempat pesta. Laki-laki ini usianya empat puluh tahun lebih, mukanya penuh brewok dan tubuhnya sungguh menakutkan, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya. Melihat orang ini, pihak tuan rumah mengira bahwa ada tamu yang datang terlambat, maka wakil tuan rumah cepat maju menyambut.

Tamu itu seperti tidak memperdulikan dua orang wakil tuan rumah yang menyambut. Dia celingukan memandang ke sana sini lalu berkata dengan senyum menyeringai, “Bagus! Perutku sang lapar, mulutku sedang haus, dan di sini terdapat arak dan makanan berlimpahan. Aku harus mendapatkan sebuah meja di tepi sana, di tengah terlalu banyak orang!”

Tentu saja dua orang yang menyambut itu menjadi tertegun. Seorang di antara mereka berkata, “Harap saudara memperkenalkan nama dan lebih dahulu memberi selamat kepada Lurah So.”

Akan tetapi orang tinggi besar itu hanya berkata, “Aku mau makan minum, bukan menemui Lurah So!” dan dengan langkah lebar dia menuju ke tepi ruangan itu dan menghampiri sebuah meja di mana duduk enam orang tamu.

“Heii, kalian semua pindah ke lain tempat. Meja ini untukku seorang!” katanya.

Tentu saja enam orang tamu itu menjadi marah. “Engkau ini manusia kurang ajar dari mana berani datang mengusir kami. Tuan rumah So telah menerima kami sebagai tamu, dan kau...”

Raksasa itu melotot. “Cerewet! Pergilah dan jangan banyak cakap atau kalian sudah bosan hidup?” Berkata demikian, orang itu menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan enam orang tamu itupun terpelanting ke kanan kiri! Raksasa itu terkekeh, lalu duduk menghadapi meja yang masih penuh hidangan, kemudian berseru sambil menoleh ke arah pihak tuan rumah.

“Heii, makanannya cukup, akan tetapi araknya kurang. Tambahkan arak!” Dan diapun mulai menggunakan sepasang sumpit, melahap makanan yang berada di atas meja, mulutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi sedang makan. Enam orang tamu itu tentu saja terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, Lurah So sendiri sudah maju dan dengan sikap ramah minta kepada enam orang itu untuk berpindah ke meja lain yang sengaja dipersiapkan untuk mereka. Dia sendiri lalau menghampiri raksasa yang duduk makan minum, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Harap lo-cian-pwe sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kunjungan lo-cian-pwe maka terlambat menyambut. Bolehkan kami mengetahui siapa nama lo-cian-pwe?”

Kakek raksasa itu menunda sumpitnya, menoleh dan memandang kepada Lurah So, “Siapakah engkau?”

“Saya adalah Lurah So yang merayakan pernikahan puteri kami...”

“Hemm, tuan rumah ya? Aku datang tidak diundang olehmu, melainkan diundang oleh bau arak dan masakan. Perutku sedang lapar maka aku ikut makan. Dan karena engkau sedang mempunyai kerja, kusumbangkan ini untuk pengantinnya!” Raksasa itu mengeluarkan sebongkah emas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Lurah So. Lurah itu menerimanya dengan terbelalak. Sumbangan itu sungguh royal bukan main. Tidak ada di antara semua tamu yang memberi sumbangan yang lebih berharga dari pada sebongkah emas itu.

“Terima kasih, akan kami catat sumbangan berharga dari lo-cian-pwe, akan tetapi atas nama siapakah?”

“Tulis saja dari Tay-lek Kwi-ong,” kata si raksasa dan diapun melanjutkan makan minum. Lurah So terkejut, bahkan para tamu yang mendengar disebutnya Tay-lek Kwi-ong (Raja Iblis Tenaga Besar) itu menjadi terbelalak dan jerih. Itu adalah nama julukan seorang tokoh sesat yang diketahui semua orang. Lurah So cepat menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri. Pesta dilanjutkan dan berguci-guci arak disuguhkan ke meja Tay-lek Kwi-ong yang minum arak seperti orang minum air putih saja. Karena raksasa itu makan minum sendiri dan tidak membuat ulah, maka pesta berjalan terus dengan lancar dan para tamu tidak lagi memperhatikannya. Juga pihak tuan rumah sudah merasa tenang kembali karena orang yang ditakuti itu ternyata tidak mengganggu, hanya ingin ikut makan minum dan memberi sumbangan yang puluhan kali lebih berharga dari pada hidangan yang disuguhkan kepadanya.

Akan tetapi, tiba-tiba para tamu yang duduk di bagian luar ruangan itu menjadi panik, bahkan para penonton yang berada di luar pagar pekarangan juga banyak yang berlarian menjauhkan diri. Ketika Lurah So dan keluarganya bangkit dan melihat, ternyata yang muncul adalah dua belas orang berpakaian prajurit! Tentu saja mereka semua menjadi pucat karena mereka sudah tahu bahwa setiap kali pasukan keamanan pemerintah memasuki sebuah dusun, tentu mereka akan bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi, karena dia seorang lurah yang merupakan ponggawa terendah dari kerajaan, diapun tergopoh menyambut, rombongan prajurit itu.

“Silahkan duduk, cu-wi (anda sekalian) yang mulia. Kebetulan kami sedang mengadakan pesta, mari silahkan cu-wi ikut menikmati hidangan,” kata Lurah So tergopoh-gopoh dan para pembantunya cepat menyiapkan sebuah meja besar untuk dua belas orang prajurit itu.

Para prajurit itu tersenyum mengangguk-angguk, memandang ke sekeliling. Para tamu wanita sudah ketakutan dan berusaha menyembunyikan diri. Kepala regu yang tinggi besar bermuka hitam segera memandang ke arah pengantin wanita dan dia tertawa bergelk.

“Ha-ha-ha, kiranya Lurah So sedang merayakan pernikahan anak perempuannya yang cantik. Mari, nona pengantin, sebelum engkau ikut dengan suamimu, mari menerima kehormatan dariku dan makan bersamaku!” Dia lalu melangkah lebar ke arah sepasang mempelai yang duduk bersanding dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah memegang lengan pengantin wanita lalu menariknya. Pengantin pria berusaha mencegah, namun sebuah tendangan membuatnya terjengkang. Sementara itu, sebelas orang anak buah komandang itupun sudah memilih wanita masing-masing, menyeret wanita pilihan mereka dari ruangan bagian wanita sehingga terdengar jerit dan tangis mereka.

Melihat ini, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah marah bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa ada serombongan prajurit yang demikiian jahatnya. Mereka sudah hendak turun tangan menghajar para prajurit itu, akan tetapi mereka didahului oleh Tay-lek Kwi-ong. Kakak beradik yang berdiri di antara para penonton yang berada di luar pagar pekarangan itu menahan diri ketika melihat raksasa itu menggebrak meha dan berteriak dengan marah.

“Dari mana datangnya selosin monyet busuk yang berani mengacau di sini dan mengurangi selera makanku? Hayo kalian cepat menggelinding pergi dari sini kalau tidak ingin kupatahkan leher kalian satu demi satu!”

Tentu saja para prajurit itu marah sekali dan maklum bahwa merekalah yag dimaki sebagai monyet busuk. Komandan yang itu melotot dan melepaskan nona pengantin yang diseretnya tadi. Nona pengantin itu terisak lari kembali menghampiri suami dan ayahnya. Si komandan tidak memperdulikannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri meja di mana Tay- lek Kwi-ong duduk sambil minum araknya. “Keparat busuk! Engkau pemberontak, ya?” bentak si komandan sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek brewok itu.

“Phuuuhhh. !” Tiba-tiba Tay-lek Kwi-ong menyemburkan arak dari mulutnya. Biarpun

hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan kekuatan sin-kang, maka ketika mengenai muka si komandan, rasanya muka yang hitam itu seperti diserang ratusan batang jarum! Dia berteriak kesakitan dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya yang pedih.

Pada saat itu, Tay-lek Kwi-ong sudah menggerakkan kakinya dan komandan itu kena tendangan di perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan menutupi muka. Entah mana yang lebih nyeri, mukanya yang pedih atau perutnya yang mulas.

Sebelas orang prajurit menjadi marah. Mereka melepaskan wanita-wanita yang tadinya mereka paksa untuk menemani mereka makan minum dan dengan golok di tangan, mereka sudah mengurung dan menyerang Tay-lek Kwi-ong! Tentu saja semua tamu menjadi ketakutan dan mereka lari berserabutan meninggalkan tempat pesta yang kini berubah menjadi tempat perkelahian itu. Bahkan mereka yang menjadi penonton di luar pekarangan juga melarikan diri ketakutan. Hanya ada beberapa orang saja yang tinggal, yaitu mereka yang memiliki keberanian, termasuk tentu saja Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi. Bahkan kakak beradik itu kini memasuki pekarangan untuk menonton perkelahian dari jarak lebih dekat.

Dan mereka kagum melihat sepak terjang kakek brewok raksasa tadi. Kakek itu menghadapi pengeroyokan sebelas orang prajurit yang memegang golok itu dengan tangan kosong saja. Jelas bahwa dia memandang rendah karena dia sama sekali tidak menyentuh golok besar yang berada di punggungnya. Akan tetapi, bacokan yang dilakukan bertubi-tubi itu tidak ada yang mengenai tubuhnya. Kaki tangannya bergerak, angin menyambar-nyambar dan sebelas orang itu bergelimpangan seperti daun-daun kering ditiup angin badai! Melihat ini, komandan muka hitam tadi yang kini sudah tidak begitu menderita karena nyeri di muka dan perutnya merasa jerih dan cepat dia memberi aba-aba, mendahului anak buahnya melarikan diri dari tempat itu. Tay-lek Kwi-ong mengejar mereka dengan suara tawanya, dan dia duduk lagi makan minum.

Lurah So menghampiri dan bersama sepasang pengantin, mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, melihat pengantin wanita, timbul gairah di hati Tay- lek Kwi-ong. Lengannya yang panjang terjulur dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap pinggang pengantin itu dan sekali tarik saja wanita yang menjadi ketakutan itu telah didudukkan di sampingnya! Semua orang terkejut dan Lurah So, juga mantunya, dengan sura ketakutan mohon agar pengantin wanita dibebaskan.

“Ha-ha-ha, baru saja aku menyelamatkan nyawa kalian sekeluarga dari tangan selosin monyet busuk tadi, apakah kalian begitu pelit untuk menyenangkan hatiku? Aku hanya ingin mengajak nona pengantin makan minum. Nah, kalian pergilah dan sediakan lagi arak untukku!” Dengan sumpitnya, Tay-lek Kwi-ong menjepit sepotong daging dan menyuguhkannya ke depan mulut kecil pengantin wanita itu. “Manis, makanlah ini.”

Pengantin wanita itu adalah seorang gadis yang usianya baru enam belas tahun, ia sudah ketakutan, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar bagaimana mungkin ia dapat menerima daging yang hendak disuapkan ke mulutnya itu. Ia menggeleng kepalanya dan menangis.

“Ha-ha-ha, jangan takut, manis!” kata Tay-lek Kwi-ong dan tangan kirinya memegang dagu gadis itu. Gadis itu tidak dapat menahan mulutnya yang terbuka dan daging itu dijejalkan ke mulutnya! “Ha-ha-ha, begitu baru manis!” kata Tay-lek Kwi-ong dan kini dia mendekatkan cawan penuh arak ke mulut yang mungil itu. “Sekarang minumlah, hayo kita minum bersama, kita bergembira hari ini!”

“Tay-lek Kwi-ong, engkau iblis jahat!” tiba-tiba Mimi yang tidak dapat menahan kemarahan hatinya, sudah berlari dan meloncat masuk ke dalam ruangan pesta yang kini telah ditinggal pergi sebagian besar dari para tamunya. Melihat adiknya sudah berlari, Bouw Ku Cin tentu saja tidak mau tinggal diam mengkhawatirkan adiknya dan diapun lari mengejar. Kini, kakak beradik itu telah tiba di depan kakek yang didampingin pengantin wanita yang menggigil ketakutan dan kakek berewok itu memandang mereka dengan alis berkerut.

“Hemm, kalian ini dua orang muda mau apa?” bentaknya.

Mimi yang sudah marah sekali menudingkan telunjuknya ke arah muka brewok itu. “Tadinya engkau kukira seorang gagah yang menentang perbuatan gerombolan pasukan yang jahat tadi, tidak tahunya engkaupun sama saja dengan mereka, suka menghina orang mengandalkan kepandaianmu.”

“Tay-lek Kwi-ong, bebaskan nona pengantin itu, biarkan ia kembali kepada keluarganya!” Bouw Ku Cin juga membentak dan pemuda ini sudah mencabut pedangnya.

Melihat ini, Tay-lek Kwi-ong tertawa. “Ha-ha-ha, kalian ini dua bocah sombong, berani menentang Tay-lek Kwi-ong. Apakah kalian iri melihat aku makan minum bersama nona pengantin?”

“Jahanam busuk, kalau tidak cepat kaulepaskan gadis itu, terpaksa kami akan menghajarmu!” bentak pula Mimi. Ucapan ini membuat Tay-lek Kwi-ong menjadi marah. Dia menyambar sebuah mangkok kosong dan melemparkan mangkok itu ke arah Mimi.

“Singgg...!!” Mangkok menyambar dengan cepat ke arah kepala Mimi. Akan tetapi, dengan sigap Mimi miringkan kepalanya dan mangkok itu meluncur lewat, tidak mengenai mukanya. Melihat ini, Tay-lek Kwi-ong menjadi semakin penasaran dan marah.

“Ha-ha-ha, kiranya kalian mempunyai sedikit kepandaian. Bagus, mari kita main-main sebentar!” katanya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menotok pengantin wanita sehingga gadis ini terduduk lemas di kursinya, “Kau tunggu aku membereskan dua orang muda lancang ini sebentar, sayang!”

Tay-lek Kwi-ong masih memandang rendah dua orang calon lawan, yang sudah mencabut pedang. “Kalian berani mengganggu aku, berarti kalian telah bosan hidup!” bentaknya dan dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, kemudian kedua lengannya yang panjang itu bergerak dari kanan-kiri, mencengkeram ke arah kakak beradik itu. Namun, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi bukanlah orang-orang muda yang lemah. Mereka mengelak sambil menggerakkan pedang. Dua batang pedang kini menyambar ke arah lengan raksasa itu, membacok dari samping. Tentu saja Tay-lek Kwi-ong terkejut dan cepat menarik kembali kedua lengannya, dan kini kedua kakinya secara beruntun mengirim tendangan. Biasanya, seperti terbukti ketika dia menghajar para prajurit tadi, tendangannya tidak pernah gagal.

Akan tetapi sekali ini, ketika kakak beradik itu mengelak, tendangannya hanya mengenai angin, bahkan sebaliknya kakak beradik itu sudah menyerangnya lagi dengan dahsyat. Tay- lek Kwi-ong terpaksa meloncat ke belakang dan kini dia tahu bahwa dua orang pemuda tani itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

“Singg...!!” Dia mencabut golok besarnya dan semua orang menjadi silau ketika memandang golok yang tajam berkilauan itu. Tay-lek Kwi-ong lalu mengamuk dan menyerang kakak beradik itu dengan golok besarnya. Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah siap dan merekapun melakukan perlawanan dengan gigih. Meja kursi beterbangan ketika diterjang oleh Tay-lek Kwi-ong dan segera terjadi perkelahian yang seru di dalam ruangan itu.

Karena khawatir kalau-kalau pengantin wanita yang masih duduk tak dapat bergerak di situ terkena sambaran senjata, Mimi menggunakan kesempatan selagi kakaknya mendesak lawan, ia cepat membebaskan totokan pengantin wanita itu dan mendorongnya pergi. Pengantin wanita itu dengan terisak dan ketakutan, lari dan disambut suami dan ayahnya.

Tay-lek Kwi-ong marah bukan main. Dengan tenaganya yang amat kuat, goloknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan kakak beradik itu segera terdesak. Setiap kali senjata pedang mereka bertemu golok hampir saja pedang itu terlepas dari pegangan karena telapak tangan mereka tergetar dan terasa panas.

Biarpun Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah mengerahkan seluruh tenagan dan mengerahkan jurus-jurus terampuh yang mereka kuasai, tetap saja mereka berdua bukan tandingan Tay-lek Kwi-ong dan makin lama mereka semakin terdesak oleh gulungan sinar itu. Tay-lek Kwi-ong sudah tertawa berelak karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu tak lama lagi dia akan mampu merobohkan dua orang yang berani melawannya itu.

Akan tetapi pada saat itu, nampak berkelebat empat bayangan orang dan di situ muncul empat orang pria yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tanpa banyak cakap lagi, mereka menggerakkan pedang dan mengeroyok Tay-lek Kwi-ong! Melihat empat orang ini, kakak beradik Bouw menjadi girang bukan main karena mereka mengenal bahwa empat orang ini adalah jagoan-jagoan di Nan-king yang berkepandaian tinggi. Mereka adalah empat orang yang diam-diam mendapat tugas dari Yauw-Ciangkun untuk mengawasi dan melindungi kakak beradik bangsawan itu. Ketika tadi terjadi keributan di tempat Lurah So mengadakan pesta pernikahan puterinya, empat orang itupun mengamati dari jauh karena mereka tahu bahwa dua orang muda bangsawan yang harus mereka lindungi berada di antara para penonton di luar pekarangan. Mereka tidak mau mencampuri keributan itu. Akan tetapi ketika dua orang bangsawan itu berlari masuk, merekapun cepat mendekat dan melihat kakak beradik itu terdesak oleh Tay-lek Kwi-ong, tentu saja mereka tidak mungkin dapat tinggal diam lagi. Andai kata kakak beradik itu berada di pihak yang unggul, tentu mereka akan diam saja dan tidak berani mencampuri, akan tetapi Bouw Kongcu dan Bouw Siocia terancam, mereka tidak boleh tinggal diam.

Melihat empat orang laki-laki yang melihat gerakannya amat tangguh itu ikut mengeroyok, Tay-lek Kwi-ong terkejut dan tokoh sesat yang cerdik ini segera menubruk ke arah Mimi. Sejak tadi dia tahu bahwa “pemuda” ini adalah seorang gadis yang menyamar pria, maka dengan cepat dia menubruk, memukul pedang Mimi dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sehingga gadis itu terhuyung dan pedangnya terlepas dan di lain saat, dia sudah menangkapnya dengan tangan kiri, menelikung kedua tangan gadis itu ke belakang dan menempelkan goloknya ke lehernya.

“Semua mundur atau kusembelih gadis ini!” bentaknya dengan nada suara mengancam. Melihat in, Bouw Kongcu terkejut dan berteriak agar empat orang jagoan itu mundur. Tay-lek Kwi-ong lalu memanggul tubuh Mimi yang sudah ditotoknya, dan dengan langkah lebar dia pergi meninggalkan tempat itu.

“Lepaskan adikku!” Bouw Kongcu meloncat dan melakukan pengejaran, diikuti oleh empat orang perwira pengawal.

Tay-lek Kwi-ong yang sudah tiba di luar dusun, berhenti dan tetap menempelkan goloknya di leher gadis yang masih dipanggulnya, “Kalau kalian mengejar, terpaksa akan kubunuh dulu gadis ini!”

“Tay-lek Kwi-ong, sebaiknya kau lepaskan gadis itu. Ia adalah Bouw Siocia, puteri Perdana Menteri Bayan dari kota raja!”

Mendengar ini, Tay-lek Kwi-ong terbelalak. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis yang menyamar pria, yang kini telah menjadi tawanannya, adalah puteri Menteri Bayan yang terkenal itu! Dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Tay-lek Kwi-ong, ingat. Kalau engkau tidak membebaskan Bouw Siocia, maka kerajaan tentu akan mengirim pasukan besar untuk mengejarmu dan engkau akan menderita hukuman yang paling berat. Lepaskan Bouw Siocia!” kata pengawal kedua.

Raksasa brewok itu tertawa. “Ha-ha-ha, kalau aku membebaskannya, tentu kalian akan menyerangku. Kalian kira aku bodoh?”

“Tidak!” kata Bouw Kongcu. “Kami berjanji tidak akan mengejarmu lagi kalau kau membebaskan adikku.”

“Hemm, siapa dapat mempercayai omongan penjajah? Dengan puteri ini di tanganku, aku akan aman, tak seorangpun berani mengganggu. Kalian pergilah, dan setelah aku yakin benar kalian tidak dapat mengejarku, baru aku akan membebaskan gadis ini.”

Empat orang itu saling pandang dengan Bouw Ku Cin. Pemuda itu tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan adiknya. Kalau mereka menggunakan kekerasan, iblis itu tentu akan membunuh Mimi dan mereka tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mencegahnya.

“Baik, Tay-lek Kwi-ong. Kami akan pergi. Akan tetapi, aku bersumpah. Kalau engkau tidak membebaskan adikku dan kalau engkau mengganggunya, aku akan mengerahkan pasukan untuk mencarimu sampai dapat!” Setelah mengeluarkan ancaman itu, Bouw Ku Cin mengajak empat orang pengawal meninggalkan kakek itu yang segera melanjutkan perjalanan sambil memondong tubuh Mimi.

Setelah melakukan perjalanan lebih dari dua jam, baru dia membebaskan totokan pada tubuh gadis itu dan menurunkannya. “Hayo jalan. Kau ikut aku dan kalau engkau tidak banyak membantah, aku tidak akan mengganggumu!”

“Tapi, bukankah engkau sudah berjanji kepada kakakku untuk membebaskan aku?” bantah Mimi.

“Ha-ha-ha, kalian yang untung dan aku yang rugi kalau kubebaskan engkau. Selama engkau bersamaku, siapa berani menggangguku? Ha-ha-ha, hayo jalan!”

“Tidak! Kau... kau mengingkari janji. Engkau pembohong, penipu!” Dengan berani Mimi lalu menerjang. Akan tetapi, tubuhnya masih terasa kaku karena selama dua jam lebih tidak mampu bergerak, maka dalam beberapa gebrakan saja ia sudah roboh terkena tamparan pada pundaknya.

“Hemm, lebih baik engkau tidak banyal membantah kalau tidak ingin tersiksa!” kata Tay-lek Kwi-ong.

“Aku hendak kaubawa ke mana?”

“Tidak perlu bertanya, ikut saja,” kata kakek itu sambil menyeringai. “Aku bukan orang tolol, tidak akan membahayakan diriku dengan mengganggumu. Akan tetapi, untuk menyelamatkan diriku, aku tidak segan untul menyiksa atau membunuhmu. Kalau engkau mentaatiku, kita sama-sama aman dan selamat.”

Mimi bukan seorang gadis bodoh. Ia harus bersabar. Selama iblis tua ini tidak mengganggunya ia akan bersikap tunduk dan taat sambil mencari kesempatan untuk melarikan diri. Demikianlah, ia menurut ketika disuruh berjalan dan ia tidak pernah membantah.

Sore hari itu mereka memasuki sebuah rumah makan di dusun Ki-ciu, dusun yang besar dan ramai di Lembah Sungai Huai. Mereka mengambil tempat duduk di meja paling ujung. Tay- lek Kwi-ong duduk menghadap keluar agar selain dapat mengawasi gadis itu, diapun dapat mengawasi orang-orang yang datang dari luar karena dia masih curiga kalau-kalau para perwira dari Nan-king membayanginya.

Seorang pelayan yang memakai topi kain menghampiri mereka. Pelayan itu menundukkan mukannya, akan tetapi Mimi dapat menangkap sinar mata tajam penuh selidik ditujukan kepadanya. Sejak ia dipaksa mengikuti Tay-lek Kwi-ong, ia sengaja menggosok kedua pipinya sehingga warna kecoklatan buatan itu luntur dan nampak kedua pipinya putih kemerahan, juga ia tidak lagi menggunakan suara pria, melainkan menggunakan suaranya sendiri. Hal ini ia lakukan agar semua orang tahu bahwa ia seorang wanita dan karena ia menggunakan pakaian pria, maka keadaan dirinya tentu akan menimbulkan perhatian orang lain.

Ketika pelayan itu dengan sikap hormat bertanya masakan apa yang hendak dipesan, Tay-lek Kwi-ong menyebutkan nama beberapa masakan dan minta disediakan arak, kemudian sambil lalu dia bertanya kepada Mimi. “Engkau hendak makan apa?”

Dengan suaranya yang merdu tapi lantang, Mimi menjawab, “Aku tidak mau makan!”

Sepasang alis mata yang tebal itu berkerut dan pandang mata itu penuh kemarahan. “Sejak tadi engkau tidak makan tidak minum, engkau tidak lapar.”

“Biar aku mati kelaparan, lebih baik!” kata pula Mimi dengan ketus. Ia melirik dan hatinya senang melihat betapa sikap dan ucapannya ternyata membuat pelayan itu seperti orang tercengang keheranan. Tay-lek Kwi-ong mendongkol bukan main. Sungguh akan merupakan perjalanan yang amat menjengkelkan sekali kalau tawanannya bersikap seperti ini. “Anak bandel, kaukira aku tidak mampu menjejalkan makanan ke dalam perutmu?” bentaknya dan kepada pelayan dia berkata, “Sudah, cukup itu saja pesananku dan cepat keluarkan!”

Karena ia sendiri memang merasa lapar dan tidak ingin mati kelaparan, dan sikap dan kata- katanya tadi hanya dimaksudkan untuk menarik perhatian orang, ketika hidangan dikeluarkan, Mimi mau juga makan sehingga hati Tay-lek Kwi-ong merasa lega. “Nah, begitulah. Jadi kita tidak saling menyusahkan,” katanya.

Setelah mereka keluar dari dusun Ki-ciu, Mimi berhenti melangkah dan bertanya, “Sebetulnya engkau hendak membawaku ke manakah?”

“Tidak perlu kau mengetahui.”

“Kalau tidak diberi tahu, aku tidak akan sudi berjalan!”

“Hemm, dan engkau lebih suka kuseret atau kutotok lalu kupanggul seperti tadi?”

Sebelum Mimi menjawab, terdengar suara gaduh dan dari pintu gerbang dusun itu keluar berlarian belasan orang. Pelayan muda yang agak jangkung tadi berlari di depan dan begitu mereka berhadapan dengan Tay-lek Kwi-ong dan Mimi, pelayan itu berseru, “Inilah orangnya yang menculik gadis itu!”

Tay-lek Kwi-ong memandang marah. “Mulut busuk! Siapa menculik gadis? Ini adalah anakku sendiri! Kalian mau apa?”

Semua orang tertegun, juga si pelayan yang tadi memberitahu bahwa ada orang menculik seorang gadis yang dipaksanya makan seperti yang didengarnya dari percakapan mereka tadi. Selagi semua orang kebingungan mendengar bahwa gadis berpakaian pria itu adalah anak kakek yang disangka penculik, Mimi sudah berteriak, “Aku bukan anaknya dan dia memang menculik aku! Dia penjahat besar, tolonglah aku!” Setelah berkata demikian, Mimi sudah menerjang dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Tay-lek Kwi-ong. Kakek ini menjadi marah sekali dan dia menangkis sambil mengerahkan tenaga sehingga tubuh gadis itu terhuyung. Sebuah tendangan mengenai lambungnya dan Mimi terpelanting pingsan.

Tay-lek Kwi-ong sudah marah dan ingin membunuh Mimi yang tadinya akan dijadikan sandera agar dia tidak dikejar pasukan. Akan tetapi, ketika dia meloncat ke depan untuk mengirim pukulan terakhir, tiba-tiba sesosok bayangan menyambar dan ada angin yang kuat sekali meluncur ke arah dirinya. Tay-lek Kwi-ong terkejut dan cepat menangkis. Dua buah lengan bertemu dan Tay-lek Kwi-ong terdorong ke belakang. Dia terkejut dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah si pelayan jangkung tadi. Kini pelayan itu tidak mengenakan topinya dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong.

“Tay-lek Kwi-ong, sungguh tidak kusangka seorang tokoh seperti engkau melakukan perbuatan rendah, menculik seorang gadis!” kata pemuda itu.

“Kau... kau Cu Goan Ciang...!” Tay-lek Kwi-ong berseru.

Seorang di antara mereka yang kini mengepungnya berkata lantang, “Tay-lek Kwi-ong, dia adalah Beng-cu, engkau jangan bersikap kurang ajar!”

Tay-lek Kwi-ong tertawa bergelak. “Beng-cu? Ha-ha-ha, aku baru mau mengakuinya sebagai Beng-cu kalau dia mampu menandingi dan mengalahkan aku!”

Cu Goan Ciang yang sedang menghimpun kekuatan memang seringkali menyamar untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan sekali ini dia menyamar sebagai seorang pelayan dari rumah makan yang memang khusus didirikan untuk menghubungi orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di situ. Ketika tadi Tay-lek Kwi-ong memasuki rumah makan bersama seorang gadis yang menyamar sebagai seorang pria, dia terkejut dan timbul kecurigaannya, apa lagi ketika melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu. Akan tetapi, Goan Ciang tidak melakukan sesuatu karena dia tidak ingin menimbulkan keributan di dalam dusun itu. Setelah Tay-lek Kwi-ong dan gadis itu meninggalkan rumah makan, dia lalu mengajak beberapa orang anak buahnya dan melakukan pengejaran sampai ke luar dusun.

Kini, mendengar ucapan Tay-lek Kwi-ong, Goan Ciang melangkah maju dan berkata dengan sikap tenang namun berwibawa.

“Tay-lek Kwi-ong, sikapmu ini bukan sikap seorang gagah. Engkau ikut dalam pemilihan Beng-cu dan engkau sudah kalah, sudah mengundurkan diri. Semua orang kang-ouw mengetahui bahwa akulah yang menang dan terpilih, kenapa engkau sekarang bersikap seperti ini? Dan engkau sudah menculik seorang gadis. Akuilah kekalahanmu dan bebaskan gadis itu dan kami akan menerimamu sebagai seorang kawan seperjuangan.”

“Cu Goan Ciang, aku mengaku bahwa aku gagal dalam pemilihan Beng-cu. Akan tetapi, dalam pemilihan itu aku dikalahkan oleh Thian Moko, bukan olehmu. Maka, kalau engkau ingin aku mengakui kau sebagai Beng-cu, kalahkan aku dulu! Kalau tidak, lebih baik engkau pergi dan jangan mencampuri urusanku dengan gadis itu.”

“Beng-cu, kiranya tidak perlu melayani si sombong ini! Biar kami yang akan menghajarnya,” kata beberapa orang pembantu Goan Ciang yang mengepung tempat itu.

Akan tetapi sambil tersenyum Goan Ciang mengangkat tangan ke atas mencegah mereka. Dia melihat dalam diri Tay-lek Kwi-ong seorang pembantu yang dapat diandalkan. Memang orangnya kasar dan tinggi hati, akan tetapi kalau dapat ditundukkan, dengan ketinggian hatinya tentu akan dapat menjadi seorang pembantu yang tidak mau kalah dalam membuat jasa oleh para pembantu lainnya.

“Baiklah, Tay-lek Kwi-ong, aku akan melayanimu untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.” Tentu saja jawaban Cu Goan Ciang ini sudah dia perhitungkan baik-baik. Cu Goan Ciang seorang yang amat cerdik dan ahli siasat maka dia telah yakin bahwa dia pasti akan mampu menundukkan raksasa ini, yang pernah dilihat sepak terjangnya ketika bertanding melawan Thian Moko tempo hari. Kalau dia tidak yakin, tentu dia tidak akan mempertaruhkan kedudukannya sebagai Beng-cu.

“Bagus! Akan tetapi, pertandingan ini harus diimbali taruhan yang cukup berharga. Kalau engkau kalah olehku, maka kedudukan Beng-cu harus diserahkan kepadaku!” Mendengar ini, para pembantu Cu Goan Ciang menjadi marah dan mereka sudah bersungut-sungut. Akan tetapi Cu Goan Ciang menyabarkan mereka dengan mengangkat tangan, lalu sambil tersenyum dia bertanya kepada raksasa itu. “Tay-lek Kwi-ong, kalau aku mempertaruhkan kedudukanku, tentu engkau juga mau mempertaruhkan sesuatu, bukan?”

“Aku mempertaruhkan nyawaku! Kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku!” kata raksasa yang berwatak keras itu.

“Tidak, Kwi-ong. Kalau aku kalah, engkau boleh menjadi Beng-cu, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menjadi pembantuku, bersama kami ikut berjuang menentang penjajah! Selain itu, aku ingin agar engkau membebaskan wanita itu.”

“Cu Goan Ciang, kalau aku kalah, aku akan menjadi pembantumu terbaik, dan aku akan mempersembahkan gadis itu kepadamu sebagai tanda takluk.”

Cu Goan Ciang mengerutkan alisnya. “Aku tidak butuh wanita!” bentaknya. Dia sudah mempunyai Tang Hui Yen sebagai calon isteri, bagaimana dia mau menerima persembahan seorang gadis lain?

“Ha-ha-ha, engkau tidak tahu siapa gadis itu. Ia adalah puteri Menteri Bayan!” “Ahhh...!!” Cu Goan Ciang dan para pembantunya berseru kaget dan Cu Goan Ciang lalu

berkata kepada para pembantunya, “Jaga baik-baik gadis itu, jangan sampai ia melarikan diri dan perlakukan ia dengan hormat dan baik!”

“Nah, bersiaplah engkau untuk menandingiku!” bentak Tay-lek Kwi-ong dan dia sudah mencabut golok besarnya dan memasang kuda-kuda di depan Cu Goan Ciang.

Cu Goan Ciang menyilangkan sebatang ranting kayu sebesar lengan di depan dada dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya membentuk cakar rajawali. Dia telah mengombinasikan ilmu silat Sin-tiauw ciang-hoat (Silat Rajawali Sakti) dan ilmu Hok-mo-tung (Tongkat Penakluk Iblis). Melihat lawannya hanya mempergunakan sebatang ranting sebagai senjata, Tay-lek Kwi-ong menjadi marah karena merasa dipandang rendah.

“Engkau mencari mampus!” bentaknya dan goloknya menyambar ganas, mendatangkan angin bersiutan dan nampak sinar terang menyambar-nyambar. Namun, dengan lincahnya Goan Ciang menghindarkan diri dan langsung saja ujung tongkatnya membalas dengan totokan ke arah ketiak kanan, sedangkan tangan kiri yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah kepala sebagai serangan susulan.

Raksasa brewok itu meloncat ke belakang menghindarkan diri sambil memutar goloknya, kemudian menyerang lagi dengan dahsyat. Bagaimanapun juga, dia merasa penasaran kalau tidak mampu mengalahkan pemuda itu. Dia memang pernah kalah oleh Thian Moko dan hal itu tidak membuat dia penasaran karena Thian Moko adalah seorang datuk yang memiliki nama besar di dunia persilatan. Akan tetapi Cu Goan Ciang? Hanya seorang pemuda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw walaupun namanya amat terkenal karena dia menjadi buruan pemerintah.

Pertandingan itu berlangsung dengan seru, membuat para anak buah Cu Goan Ciang merasa kagum sekali. Sementara itu, Mimi juga sudah siuman dari pingsannya dan melihat betapa penculiknya bertanding melawan seorang pemuda jangkung yang dikenalnya sebagai pelayan dalam rumah makan tadi, ia tertegun penuh keheranan. Pemuda pelayan itu ternyata mampu menandingi Tay-lek Kwi-ong! Ia tadinya ingin melarikan diri melihat penculiknya sedang sibuk bertanding, akan tetapi melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan nampak Tay-lek Kwi-ong yang makin lama semakin repot dan hanya main mundur, ia menjadi ingin tahu dan ingin melihat penculiknya itu dikalahkan orang. Pula, para anak buah Cu Goan Ciang hanya mengawasinya, tidak mengepung secara menyolok sehingga Mimi sama sekali tidak mengira bahwa andai kata ia melarikan diri, ia tentu akan dihalangi oleh mereka.

Tay-lek Kwi-ong semakin penasaran, akan tetapi juga mulai timbul rasa kagum dalam hatinya. Pemuda ini ternyata memang lihai bukan main. Biarpun senjatanya hanya sebatang ranting, akan tetapi dia sama sekali tidak mampu mendesak pemuda itu, bahkan beberapa kali dia terkena totokan ujung tongkat. Biarpun dia sudah melindungi tubuhnya yang kuat dengan kekebalan, tetap saja totokan itu membuat tubuhnya tergetar dan hampir saja dia roboh.

Namun, dia masih merasa penasaran. Kalau pemuda itu belum dapat merobohkannya, dia tidak akan dapat merasa yakin bahwa dia membantu seorang yang benar-benar tangguh.

“Hyaaattt...! Sing-sing-singgg...!!” Goloknya kini menyerang bertubi-tubi dengan bacokan beruntun. Bacokan itu terus berkelanjutan dari kiri ke kanan lalu membalik ke kiri dan membalik lagi. Cepat bukan main dan mengandung kekuatan dahsyat sehingga kalau bacokan itu mengenai tubuh lawan, tentu tubuh itu akan terbabat putus menjadi dua potong! Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tubuh lawan tiba-tiba lenyap. Dia hanya melihat bayangan seperti seekor burung saja melayang terbang ke atas. Sebelum hilang kagetnya, Cu Goan Ciang yang mempergunakan jurus dari Sin-tiauw ciang-hoat itu telah berada di belakang tubuh lawan, meluncur dari atas, tongkatnya menotok siku kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram pundak kiri lawan.

Tay-lek Kwi-ong tidak sempat mengelak. Goloknya terlepas dari tangan kanan yang tiba-tiba menjadi lumpuh, dan pundak kirinya terkena cengkeraman yang membuat dia berteriak kesakitan. Ketika Goan Ciang menarik keras, tubuh kakek raksasa itu tidak mampu bertahan lagi dan diapun roboh terpelanting keras!

Terdengar tepuk tangan. “Bagus, bagus, hantam saja! Tay-lek Kwi-ong itu penjahat besar yang kejam. Bunuh dia!” Yang bersorak itu adalah Mimi.

Tay-lek Kwi-ong bangkit dan menyeringai karena pundaknya terasa nyeri. Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cu Goan Ciang dan berkata dengan lantang, “Mulai saat ini, aku Tay-lek Kwi-ong menyatakan takluk dan siap membantu Beng-cu!”

Cu Goan Ciang tersenyum, merasa girang bahwa dia telah dapat menundukkan raksasa ini yang dapat diandalkan tenaganya dalam perjuangannya melawan penjajah. Akan tetapi Mimi terkejut dan heran mendengar ucapan raksasa itu. Pelayan rumah makan itu disebut Beng-cu! Pada hal, ia pernah mendengar bahwa yang terpilih menjadi Beng-cu di dunia kang-ouw adalah Cu Goan Ciang, orang yang dikenal sebagai buruan pemerintah! Saking heran dan ingin tahunya, Mimi melangkah maju dan memandang kepada pemuda pelayan rumah makan itu penuh perhatian, mengamati dari atas ke bawah dengan terheran-heran. Memang seorang pemuda yang gagah pikirnya, tinggi tegap dan tubuhnya tegak seperti seekor burung rajawali, matanya mencorong penuh wibawa. Akan tetapi pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pelayan!

“Apakah engkau ini... yang bernama Cu Goan Ciang??” Cu Goan Ciang tersenyum dan mengangguk, “Benar, Bouw Siocia, dan kami harap engkau suka ikut dengan kami sebagai tamu kami.”

Mimi membelalakan matanya. Ia tadi belum siuman dari pingsannya ketika Tay-lek Kwi-ong menceritakan kepada Cu Goan Ciang bahwa ia adalah puteri Menteri Bayan. “Kau... bagaimana bisa tahu...”

“Nona, mulai saat ini aku telah menjadi pembantu Beng-cu dan engkau menjadi tawanan Beng-cu,” kata Tay-lek Kwi-ong.

“Tidak! Aku tidak sudi!” kata Mimi dengan marah. Bagaimana mungkin ia membiarkan dirinya menjadi tawanan pemimpin pemberontak yang menjadi orang buruan pemerintah?”

“Bouw Siocia, kami berjanji tidak akan bertindak kasar kalau engkau suka menyerah dengan baik-baik. Percayalah, kami tidak akan mengganggumu, hanya menawanmu sebagai tamu kami demi kepentingan perjuangan kami,” kata Cu Goan Ciang.

Para pembantunya lalu menodongkan senjata dan Mimi tidak dapat berbuat apapun, kecuali menurut, dengan muka cemberut ia mengikuti rombongan itu pergi memasuki hutan.

Para pejabat di Nan-king menjadi gempar dan panik ketika Bouw Ku Cin pulang ke kota Nan- king dan melapor kepada Yauw-Ciangkun dan Shu-Ciangkun tentang ditawannya Mimi oleh Tay-lek Kwi-ong!

Panglima Yatucin mencak-mencak saking marahnya karena dia takut kalau sampai mendapat teguran dari Menteri Bayan tentang diculiknya puteri menteri itu dan dia berkata, “Keparat jahanam penjahat itu. Akan kuperintahkan seluruh pasukan untuk mengadakan pembersihan di mana-mana, mencari sampai dapat ditemukan Bouw Siocia dan penculiknya. Kalau sampai tertangkap, jangan bunuh jahanam itu akan tetapi serahkan kepadaku hidup-hidup, akan kukuliti dia hidup-hidup!”

“Harap Ciangkun tenangkan hati. Kalau kita menggerakkan pasukan, tentu lebih mudah bagi Tay-lek Kwi-ong untuk melarikan diri jauh-jauh sehingga sukar dicari jejaknya. Sebaiknya kalau Ciangkun menyerahkan kepada saya. Saya sendiri yang akan mencarinya, dibantu oleh beberapa orang yang saya percaya. Kalau dalam waktu seminggu saya belum berhasil, terserah kepada Ciangkun, kalau hendak mengerahkan seluruh pasukan.”

“Aku menyetujui usul Shu-Ciangkun,” kata Bouw Ku Cin. “Agaknya kakek raksasa itu menawan adikku hanya untuk dijadikan sandera agar dia tidak dapat diganggu oleh pasukan. Kalau dikerahkan pasukan besar-besaran, amat berbahaya bagi keselamatan adikku. Biarlah Shu-Ciangkun yang mencari secara diam-diam lebih dulu, dan aku akan ikut mencari.”

Yauw-Ciangkun terpaksa menyetujui usul Shu Ta itu. Akan tetapi Shu Ta menolak keinginan Bouw Ku Cin untuk ikut mencari. “Sebaiknya kalau Bouw Kongcu tidak ikut. Kongcu telah dikenal olehnya, maka begitu bertemu kongcu, tentu dia akan menjadi curiga dan melarikan diri bersama Bouw Siocia. Biarlah saya dan beberapa orang pembantu saya yang akan mencari, dan kami akan menyamar. Saya kira tidak akan terlalu sukar mencari seorang yang bentuknya seperti raksasa itu.” Akhirnya, pada hari itu juga, berangkatlah Shu Ta bersama empat orang perwira yang dipercayanya. Empat orang perwira ini adalah orang-orang sehaluan dengan dia, yaitu mereka yang berjiwa pahlawan dan bermaksud untuk membantu perjuangan menggulingkan pemerintah penjajah Mongol. Mereka berlima menyamar sebagai penduduk biasa, lalu keluar dari kota Nan-king, menuju ke Lembah Sungai Huai di utara.

Shu Ta maklum bahwa kalau dia ingin berhasil menemukan Tay-lek Kwi-ong dalam waktu seminggu, dia harus mendapat bantuan dari Cu Goan Ciang! Itulah satu-satunya jalan karena daerah itu berada di dalam kekuasaan Cu Goan Ciang. Bahkan siapa tahu kalau-kalau Tay-lek Kwi-ong malah sudah menjadi sekutu Cu Goan Ciang! Sebelum meninggalkan Nan-king, dia lebih dahulu mengirim seorang penghubung agar memberitahu kepada Cu Goan Ciang akan niatnya berkunjung ke markas laskar yang sedang dihimpun suhengnya itu. Dalam keadaan biasa, tentu saja tindakan ini amat berbahaya bagi kedudukannya, karena tentu akan menimbulkan kecurigaan Yauw-Ciangkun. Akan tetapi, dengan jalan mencari jejak orang yang menculik Bouw Mimi, tentu saja dia dapat pergi ke manapun tanpa dicurigai.

Biarpun demikian, Shu Ta dan empat orang kawannya amat berhati-hati melakukan perjalanan menyusuri sungai Huai. Ketika mereka bertemu dengan orang yang dijadikan penghubung, dan orang itu sedang kelihatan duduk di atas sebuah perahu dan memancing ikan, Shu Ta menyuruh empat orang kawannya untuk berpencar ke empat penjuru, memanjat pohon besar dan memeriksa keadaan sekeliling kalau-kalau ada orang lain yang mengawasi mereka. Setelah yakin bahwa tidak ada yang mengamati atau membayangi mereka, barulah lima orang itu naik ke perahu dan perahu diluncurkan perlahan ke tengah sungai.

“Beng-cu telah siap menyambut Ciangkun dengan gembira sekali,” kata penghubung itu. “Ketika Beng-cu bertanya kepentingan apa yang membuat Ciangkun hendak menemuinya, saya tidak dapat menjawab karena saya tidak mengetahui kepentingan Ciangkun.”

Shu Ta mengangguk senang, “Aku hanya rindu kepadanya dan ingin bercakap-cakap, cepat bawa kami ke sana.”

Perahu meluncur cepat dan menjelang senja, perahu mendarat di kaki sebuah bukit yang penuh hutan belukar. Daerah itu memang berbukit-bukit dan memang merupakan daerah yang baik sekali untuk menjadi markas laskar yang sedang dihimpun. Kalau sewaktu-waktu datang serangan pasukan pemerintah, laskar rakyat itu akan dapat menyelamatkan diri di bukit-bukit berhutan dan daerah itu tentu saja amat berbahaya bagi pasukan yang belum mengenal medan.

Setelah mereka mendaki bukit dan tiba di tepi hutan ketiga, serombongan orang menghadang di depan. Cu Goan Ciang memimpin rombongan itu dan dengan langkah lebar dia menyambut kedatangan Shu Ta. Keduanya saling pandang, lalu dengan gembira saling berpelukan.

“Suheng... engkau... hebat, suheng!” kata Shu Ta gembira.

“Engkau lebih hebat lagi, sute. Tanpa bantuanmu, tentu akan gagal semua usahaku. Mari kuperkenalkan dengan kawan-kawan kita.” Cu Goan Ciang memperkenalkan belasan orang pembantu utamanya yang merupakan pendekar-pendekar dan ahli siasat yang namanya sudah terkenal di dunia kang-ouw. Ketika diperkenalkan kepada seorang raksasa brewok, sebelum Cu Goan Ciang menyebut namanya, dengan hati berdebar Shu Ta mendahuluinya. “Bukankah saudara ini yang berjuluk Tay-lek Kwi-ong?”

Tay-lek Kwi-ong terbahak. “Ha-ha-ha, memang nama besar Panglima Shu bukan kosong belaka. Belum pernah kami saling bertemu, akan tetapi dia sudah dapat mengenalku!”

Shu Ta menahan kesabarannya, walaupun ingin dia mencekik orang yang telah menculik gadis yang membuatnya tergila-gila, yang diam-diam amat dicintanya itu. Dia memperkenalkan empat orang perwira pembantunya yang juga merupakan orang-orang sehaluan, yang membantu perjuangan dengan mempersiapkan diri sebagai perwira sehingga dapat membantu dari dalam.

“Sute, aku gembira sekali dapat bertemu denganmu. Banyak sekali yang perlu kita bicarakan. Akan tetapi, tentu engkau mempunyai kepentingan khusus maka engkau sampai mencari aku. Dan bagaimana engkau dapat pergi begitu saja berkunjung ke sini tanpa dicurigai?”

Kini Shu Ta tidak dapat menahan kemarahannya lagi terhadap Tay-lek Kwi-ong. Dia menudingkan telunjuknya kepada raksasa brewok itu dan berkata, “Suheng, semua ini gara- gara perbuatan Tay-lek Kwi-ong! Aku datang untuk mencari dia yang telah berani menculik Bouw Siocia, puteri Menteri Bayan. Kalau sampai terjadi hal yang tidak baik terhadap diri puteri itu, aku minta suheng menyerahkan dia padaku!” Wajahnya merah, matanya berkilat.

Melihat sikap sutenya ini, Cu Goan Ciang menjadi heran, akan tetapi dia memang cerdik dan sekilas pandang saja dia dapat menarik kesimpulan. Sutenya adalah seorang pejuang sejati yang membenci penjajah, bahkan rela memasuki bahaya dengan menjadi perwira untuk membantu perjuangan menjatuhkan pemerintah Mongol. Kini, melihat puteri seorang menteri Mongol tertawan, dia bukan merasa gembira, bahkan kelihatan marah sekali!

“Aihh, Shu-sutem engkau kenapakah? Kenapa marah-marah mendengar puteri Menteri Bayan ditawan orang? Hemm, tentu ada apa-apanya ini...” Dia menggoda, akan tetapi yang digoda tetap marah.

“Suheng, sebelum kita bicara tentang hal-hal lain, katakan dulu, di mana Mimi dan apa yang telah diperbuat Tay-lek Kwi-ong kepadanya!”

Kini yakinlah hati Cu Goan Ciang. Perkiraannya tidak salah. Sutenya telah jatuh cinta kepada puteri Menteri Bayan itu. Dan ini tidak mengherankan. Setelah menjadi tawanan di situ dan diberi pakaian wanita yang baik, gadis itu baru kelihatan amat cantik jelita dan gagah! Dan juga wataknya amat baik dan segera sudah menjadi akrab sekali dengan kekasihnya, yaitu Tang Hui Yen. Kedua orang gadis itu sudah seperti sahabat lama saja, berlatih silat bersama, bergurau bersama. Dari Yen Yen dia mengetahui bahwa Mimi sama sekali tidak menghiraukan tentang politik, dan berjiwa pendekar.

“Ha-ha-ha, tenangkan hatimu, sute. Nona Bouw Mimi memang berada di sini, menjadi tamu kehormatan kami.” Shu Ta membelalakan matanya, “Suheng! Jadi engkau yang menyuruh dia menculik Mimi?”

“Bukan begitu, akan tetapi kebetulan sekali Bouw Siocia dapat kami ambil alih dari tangan Tay-lek Kwi-ong yang hanya menawannya untuk disandera karena dia dikejar-kejar Bouw Kongcu dan para perwira. Tay-lek Kwi-ong juga merupakan seorang di antara kawan-kawan kita, pembantuku yang baik. Marilah, sute, mari kira bicara di tempat kami. Banyak yang dapat kita bicarakan dan tenangkan hatimu. Nona Mimi dalam keadaan sehat dan gembira, engkau dapat melihatnya sendiri nanti.”

Shu Ta merasa lega. Pandangan marah kepada Tay-lek Kwi-ong lenyap dan dia percaya sepenuhnya kepada suhengnya. Merekapun segera mendaki bukit itu dan ternyata di dekat puncak terdapat sebuah perkampungan. Dan Shu Ta diam-diam merasa kagum bukan main. Perkampungan itu seperti benteng saja! Terjaga ketat, dan biarpun dengan pakaian sederhana, namun anak buah suhengnya merupakan pasukan yang berpakaian seragam hitam, dan bendera dengan huruf BENG berkibar-kibar. Merekapun berbaris rapi menyambut kedatangan Beng-cu, dan ketika mereka melalui sebuah tempat tinggi, Cu Goan Ciang mengajak sutenya untuk naik dan memandang ke sekeliling.

“Lihat baik-baik, sute. Kami sudah siap. Tidak kurang dari seratus ribu prajurit dalam pasukan kami!”

Shu Ta berseru kagum. “Bukan main! Engkau hebat, suheng!” Dia melihat betapa di perbukitan sekeliling bukit itu, terdapat tenda-tenda hitam yang teratur rapi dan nampak jalan- jalan darurat yang menghubungkan satu bukit dengan yang lain. Kedudukan pasukan suhengnya ternyata sudah amat kuat, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya!

“Wah, pasukan ini sudah cukup kuat untuk merebut Nan-king, suheng!”

“Itulah yang perlu kita bicarakan. Mari kita ke tenda induk, akan tetapi sebaiknya engkau jangan bertemu dulu dengan nona Bouw. Setelah kita bicara nanti, baru engkau bertemu dan bicara dengannya. Agaknya ia... eh... kalian... saling mencinta, bukan?”

Wajah Shu Ta berubah merah sekali dan dia memegang tangan suhengnya. “Terus terang saja, suheng. Aku jatuh cinta padanya. Ia gadis yang baik sekali, dan aku cinta padanya, aku tidak ingin melihat ia terganggu atau celaka. Akan tetapi ia sendiri... ah, aku belum tahu apakah ia mencintaku walaupun pergaulan kami cukup akrab.”

“Kita bicarakan soal itu nanti, sekarang kita harus mengadakan perundingan penting dengan para pembantuku yang terpercaya.”

Mereka mengadakan rapat di dalam tenda besar yang di jaga ketat sehingga tidak ada orang lain yang dapat mengintai atau ikut mendengarkan apa yang sedang dibicarakan. Yang hadir dalam rapat itu adalah para pembantu Cu Goan Ciang sebanyak lima belas orang termasuk Tay-lek Kwi-ong, dan juga empat orang pembantu Shu Ta. Di kepala meja duduk Cu Goan Ciang, sedangkan Shu Ta duduk di sebelah kanannya, tempat yang paling terhormat di samping Beng-cu.

“Saudara sekalian harap dengarkan baik-baik apa yang akan dibicarakan antara aku dan sute Shu Ta karena ini merupakan rencana siasat kita selanjutnya. Nah, sute, kebetulan muncul peristiwa tertawannya Bouw Siocia, karena tadinya akupun sudah ingin mengadakan pertemuan denganmu untuk membicarakan rencana besar kita, yaitu menguasai kota Nan- king. Bagaimana kalau menurut pandangan dan siasatmu, sute?”

“Suheng, kekuatan pasukan suheng yang sebesar seratus ribu orang itu memang cukup kuat, akan tetapi kalau suheng hanya mengerahkan pasukan menyerbu Nan-king begitu saja, aku meragukan hasilnya, dan andai kata berhasilpun, tentu akan mengorbankan banyak sekali anak buah laskar suheng. Akan lebih menguntungkan kalau kita menggunakan siasat “Memancing Lembah Meninggalkan Sarang”.”

Cu Goan Ciang yang selalu kagum akan kecerdikan sutenya yang pandai mengatur siasat, apalagi setelah lama menjadi seorang panglima, segera minta penjelasan.

“Kita harus berusaha agar Yauw-Ciangkun membawa sebagian besar pasukannya keluar dari Nan-king, dan aku sendiri bersama pasukan yang sehaluan, yaitu pasukan bangsa Han yang setiap saat akan menanti perintahku sebanyak kurang lebih tiga ribu orang, akan tetap tingal di Nan-king. Harus diusahakan agar sisa prajurit yang pro pemerintah dan yang tinggal di benteng tidak begitu banyak jumlahnya. Setelah mereka keluar, pintu gerbang akan kami tutup dan kalau mereka kembali, kami akan melarangnya. Mereka tentu akan menyerbu dan kami melawan dari dalam. Saat itu, suheng bersama pasukannya datang menyerang sehingga kedudukan pasukan pemerintah terjepit.”

Cu Goan Ciang mengangguk-angguk dan para pembantunya merasa kagum dan menyetujui rencana itu yang sekali pukul akan dapat menghancurkan pasukan pemerintah.

“Hanya saja yang sulit, kita harus dapat mencari alasan yang tepat dan tidak mencurigakan untuk memancing Yauw-Ciangkun dan pasukannya keluar meninggalkan Nan-king,” kata pula Shu Ta.

“Aku sudah mempunyai akal itu, sute!” kata Cu Goan Ciang dengan gembira dan mata memandang kepada Shu Ta yang masih muda namun banyak akalnya itu! “Seolah Tuhan sudah membantu kita, maka kebetulan sekali Bouw Siocia menjadi tawanan kita. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan ini, untuk melancarkan usaha kita.”

“Harap kaujelaskan, suheng,” kata Shu Ta dan diam-diam dia merasa khawatir sekali. Biarpun dia rela berkorban nyawa sendiri demi perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol, akan tetapi agaknya dia akan merasa berat kalau harus mengorbankan diri Mimi yang dicintanya.

Melihat sinar mata sutenya, Cu Goan Ciang dapat menyelami kekhawatiran sutenya itu. “Sute, kita hanya mempergunakan nama Bouw Siocia saja tanpa mengganggunya. Kebetulan engkau mendapat tugas menyelidiki dan mencari Bouw Siocia, bukan? Nah, engkau pulang dan melapor kepada Yauw-Ciangkun bahwa Bouw Siocia berada di sini, di tangan kami dan kauceritakan bahwa kami sudah bersiap-siap untuk melakukan pemberontakan dan sedang menghimpun kekuatan. katakan saja bahwa kekuatan kita hanya ada belasan ribu orang.

Buatlah laporan agar mengejutkan dan juga memarahkan Yauw-Ciangkun sehingga dia akan mengerahkan pasukan seperti yang kaurencanakan tadi. Kita pancing agar dia membawa pasukannya menyerbu ke bukit ini.”

“Akan tetapi, hal itu akan mendatangkan pertempuran besar yang menjatuhkan banyak korban.”

“Sute, bagaimana mungkin dapat dicegah jatuhnya korban dalam pertempuran? Yang penting, korban di antara kita harus sesedikit mungkin dan di pihak musuh sebanyak mungkin. Kami akan mengatur jebakan untuk mereka. Sebagian dari pasukan kami akan diam-diam menuju ke Nan-king dan menjaga di luar pintu gerbang, dan sebagian lagi melakukan perang jebakan terhadap mereka. Daerah kami ini amat baik untuk menjebak musuh, banyak terdapat tebing dan jurang, juga lorong sempit. Pendeknya, kalau Yauw-Ciangkun berani membawa pasukannya ke sini, pasukan itu akan kami hancurkan. Kalau dia tidak terjebak, baru kita melaksanakan rencanamu tadi, yaitu menjepit mereka di luar kota Nan-king, engkau dan pasukanmu dari dalam, sedangkan pasukan kami dari luar. Akan tetapi, sebaiknya kalau mereka dapat terjebak dan dapat kami jepit di sini, sedangkan engkau dan pasukanmu melumpuhkan semua prajurit yang pro pemerintah dan masih berada di sana, juga menangkapi para pejabat yang pro pemerintah penjajah.”

Shu Ta kagum dan memberi hormat kepada suhengnya. “Suheng, pantas engkau terpilih menjadi Beng-cu. Memang engkau hebat. Aku setuju sekali!”

“Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Setujukah dengan rencana siasat kami tadi?”

Semua orang menyatakan persetujuannya. “Bagus, kalau begitu kita semua sudah sependapat. Sebelum kita mengatur pembagian kerja dan mengatur persiapan untuk melaksanakan rencana itu, di sini akan kutekankan kepada semua pembantuku, termasuk juga engkau dan pasukanmu, sute. Harap dengarkan baik-baik dan perhatikan baik-baik. Agar kita selalu ingat bahwa perjuangan yang kita lakukan dengan mempertaruhkan segalanya ini adalah demi membebaskan tanah air dan rakyat dari pada cengkeraman penjajah. Kita ini berjuang untuk menolong rakyat, ingat ini baik-baik, dan yang saya maksudkan dengan rakyat adalah seluruh penduduk kota Nan-king, tua muda, pria wanita, kaya miskin, pendeknya seluruhnya! Oleh karena itu, setiap kali pasukan kita memasuki dan merebut suatu daerah, dusun atau kota, kita harus melarang keras pasukan kita untuk mengganggu rakyat. Yang melakukan perampokan harus dihukum berat, dan terutama yang membunuh rakyat dan memperkosa wanita harus dihukum mati! Kita sedang berjuang, dan perjuangan kita masih jauh dan panjang. Sebelum kita dapat mengusir penjajah Mongol dari seluruh daratan Cina, perjuangan kita belum selesai, dan untuk itu kita harus dapat menarik dukungan rakyat. Dukungan itu akan dapat kita peroleh kalau kita benar-benar membebaskan rakyat dari kesengsaraan, bukan dengan cara mengganggu mereka. Mengertikah kalian semua?”

Shu Ta memandang kepada suhengnya dengan kagum. Di situlah letaknya rahasia keberhasilan suhengnya. Berjuang sebagai pahlawan dengan sikap sebagai pendekar. Itulah yang dikehendaki rakyat jelata, baik yang miskin maupun yang kaya. Rakyat tentu akan mendukung sepenuh hati kalau melihat pasukan yang membebaskan mereka dari kesengsaraan, dari penindasan, dengan sikap yang gagah perkasa, sebagai pendekar pembela keadilan dan kebenaran. Yang kaya akan rela menyumbangkan hartanya, yang miskin akan rela menyumbangkan tenaganya, yang pandai akan menyumbangkan akal dan kepintarannya. Hanya orang-orang jahat saja yang akan menjadi gentar berhadapan dengan pasukan seperti itu. Banyak memang kelompok pejuang pada waktu itu, orang-orang yang bergembar-gembor akan mengusir penjajah Mongol dari tanah air. Akan tetapi sepak terjang mereka sungguh tidak menyenangkan hati rakyat. Gerombolan ini lebih pantas disebut perampok dari pada pejuang. Mereka kalau menyerbu sebuah dusun, bukan hanya membunuh dan menumpas pasukan pemerintah, akan tetapi setelah memperoleh kemenangan, mereka berpesta pora dengan merampoki harta benda rakyat, dan menculik atau memperkosa wanita-wanita. Tentu saja rakyat tidak akan mendukung gerombolan seperti itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar