Rajawali Lembah Huai Jilid 08

Jilid 08

Dua orang perampok itu mengangguk-angguk, lalu bangkit berdiri dan melarikan diri dengan cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di dekat semak belukar, nampak bayangan orang berkelebat dan sinar pedang berkilat menyambar. Dua orang perampok itupun roboh dan tewas seketika.

Kakak beradik Mongol itu terkejut dan ketika mereka memandang penuh perhatian mereka mengenal Shu Ta yang sudah menyarungkan kembali pedangnya. Mereka saling memandang dengan pemuda yang telah mereka kenal itu.

“Saudara Shu Ta, kami sudah mengampuni mereka berdua, kenapa engkau membunuh mereka?” tegur Mimi dengan alis berkerut.

“Orang-orang macamm mereka itu harus dibasmi. Mereka itulah yang mencemarkan nama baik para pejuang, membuat para pejuang dipandang rendah sebagai penjahat-penjahat rendah. Penjahat-penjahat seperti mereka mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat, memaksakan kehendak mereka, merampok dan membunuh.”kata Shu Ta. Bouw Kongcu dan Mimi tidak berkata-kata lagi, dan Bouw Kongcu lalu mengambil sebatang golok besar milik para perampok yang tercecer, kemudian mempergunakan golok besar itu untuk menggali tanah. Shu Ta memandang dengan heran. Ketika melihat Bouw Siocia juga mengambil sebatang golok dan membantu kakaknya tanpa bicara, Shu Ta merasa semakin heran.

“Eh, apa yang kalian lakukan?” tanyanya menghampiri.

Bouw Kongcu menghentikan pekerjaannya, mengangkat muka memandang kepada Shu Ta lalu berkata, “Menggali lubang untuk mengubur dua mayat itu, apa lagi kalau bukan untuk itu?”

“Tapi....tapi mereka itu penjahat yang tadi hendak merampok dan membunuh kalian!” Shu

Ta berseru heran dan kaget.

“Kalau begitu, mengapa?” kata Bouw Siocia. “Mereka memang jahat, selagi masih hidup tadi! Kini, mayat mereka tidak dapat kita anggap jahat, dan kalau dibiarkan membusuk tanpa dikubur, hanya akan mengotorkan tempat ini dan akan mengganggu orang-orang hidup yang kebetulan lewat di sini.” Kakak beradik itu sudah melanjutkan penggalian mereka. Shu Ta merasa kagum bukan main. Dalam keadaan biasa saja, mana ada dua orang muda bangsawan, putera dan puteri Menteri Besar Bayan, mau menggali lubang kuburan mempergunakan golok saja? Apa lagi sekarang mereka menggali lubang untuk mengubur mayat dua orang perampok yang tadi menyerang mereka untuk merampok dan membunuh! Diapun merasa malu kepada diri sendiri, dan tanpa banyak cakap lagi diapun mengambil sebatang golok dan ikut menggali membantu mereka!

Setelah lubang cukup besar dan mereka mengubur dua sosok mayat itu, ketiganya duduk melepas lelah. Bouw Siocia atau Mimi menghapus keringat di lehernya dengan sehelai sapu tangan yang dibasahi ketika tadi ia dan kakaknya dan Shu Ta mencuci tangan di sumber air yang terdapat tak jauh dari situ.

Ketika tadi ikut menggali lubang, diam-diam Shu Ta berpikir bahwa apa yang diucapkan kakak beradik bangsawan Mongol tadi benar. Perjuangan mempunyai lapangan yang luas sekali. Bukan sekadar membenci orang Mongol, bukan sekadar memberontak dengan kasar, atau lebih-lebih lagi bukan dengan cara merampok seperti yang dilakukan para perampok itu. Dia seorang diri saja, menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bagaiman mungkin mampu berjuang, apa lagi kalau perjuangan itu bercita-cita mengusir penjajah dari tanah air?

Menghimpun tenagapun tidak merupakan hal yang mudah. Setelah bertemu kakak beradik Mongol ini, timbul suatu gagasan yang dianggapnya baik dan merupakan satu cara untuk berjuang yang lebih banyak harapannya untuk berhasil. Perjuangan yang dilakukan secara halus, yaitu menyusup ke dalam sarang musuh! Dia dapat mencari kedudukan di pemerintahan Mongol sehingga banyak hal yang menguntungkan para pejuang akan dapat dilakukan. Kalau dia bisa mendapatkan kedudukan yang baik di pemerintahan Mongol, yang sudah jelas dia dapat mengatur agar rakyat tidak terlalu ditindas oleh peraturan-peraturan yang mencekik dan memeras rakyat. Selain itu, dia dapat mengetahui keadaan dan kekuatan pemerintah Mongol, dan kelak kalu terjadi penyerbuan para pejuang, dia dapat membantu dari dalam! Tentu saja keadaan itu jauh lebih baik dari pada ka lau dia berada di luar dan hanya mampu melakukan gangguan-gangguan kecil.

Shu Ta memandang kepada mereka. Justeru pada saat itu, pemuda dan gadis bangsawan itu sedang memandang kepadanya, sehingga pandang mata mereka saling bertemu. “Sungguh aku merasa kagum kepada kalian berdua, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia. Apa yang kalian lakukan tadi, mengubur dua jenazah itu, membuat aku sadar bahwa kalian, biarpun bangsawan-bangsawan muda Mongol, adalah orang-orang yang berbudi baik!”

“Saudara Shu Ta, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan manusia baik atau buruk itu, yang ada hanyalah manusia hamba nafsu dan manusia yang menjadi majikan diri dari nafsunya sendiri. Kami kakak beradik selalu akan berusaha agar tidak menjadi hamba nafsu, sehingga perasaan prikemanusiaan tidak akan luntur dari hati kami. Hanya nafsu yang membeda- bedakan antara agama, agama, bangsawan atau tidak, martabat tinggi atau rendah.”

“Ucapan-ucapan Bouw Kongcu seolah keluar dari mulut seorang pendeta saja, dan membuat aku merasa kagum. Sekarang agaknya sikap kalian mendatangkan perubahan dalam pandanganku. Aku tidak lagi berani memandang rendah manusia Mongol atau bangsawan apapun juga, karena pada hakekatnya manusianya sama. Maukan kalian membantuku mencarikan pekerjaan yang sesuai untukku di Nan-king? Tentu kalian mempunyai hubungan yang luas dan sekiranya dapat membantuku mencarikan pekerjaan, aku akan berterima kasih sekali.”

Kakak beradik itu saling pandang dan Mimi bertanya sambil mengerutkan alisnya. “Apa yang kudengar ini, saudara Shu Ta? Engkau yang tadinya membenci Mongol kini malah hendak mengabdikan diri kepada pemerintah Mongol, pemerintah penjajah yang tadinya kaukutuk?”

Wajah Shu Ta menjadi kemerahan tetapi dia mengangkat muka, menatap wajah kakak beradik itu dengan berani. “Harap kalian tidak salah paham dan mengira bahwa aku tiba-tiba saja menjadi pengkhianat bangsaku. Baru saja aku membunuh dua orang perampok itu karena mereka adalah pengkhianat yang tidak segan merusak dan mencemarkan nama baik para pejuang. Tidak, Siocia, aku sama sekali bukan bermaksud mengkhianati para pejuang demi mencari kedudukan dan harta. Justeru niat ini timbul setelah aku menyadari kebenaran ucapan kalian tadi bahwa perjuangan bukan sekedar membenci pemerintah Mongol. Dengan menduduki jabatan di pemerintah penjajah, sedikit banyak aku akan dapat membantu agar rakyat tidak terlalu ditindas. Kalau dapat, aku ingin memperoleh kedudukan sebagai seorang perwira sehingga aku dapat mengawasi para pasukan Mongol agar tidak sewenang-wenang kepada rakyat jelata, dan akan kupergunakan kekuasaanku untuk menjaga ketenteraman dan membasmi para pengacau yang mengganggu rakyat.”

Kakak beradik itu mengangguk-angguk. “Hemm, keputusanmu ini bijaksana sekali, Saudara Shu Ta. Memang dengan jalan demikian, engkau dapat berbuat lebih banyak untuk rakyat dari pada sekadar membenci penjajah tanpa berbuat sesuatu. Akan tetapi, memasukkan engkau sebagai seorang pejabat pemerintah sama saja dengan memasukkan harimau ke dalam rumah kerajaan Goan (Mongol). Kalau sampai harimau itu membahayakan seisi rumah, bukankah berarti kami berdua yang bertanggungjawab?”

“Terserah penilaian Bouw-kongcu. Aku hanya minta bantuan, tentu saja kalau engkau percaya kepadaku. Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk rakyat. Kalau hanya tenagaku seorang diri saja, aku dapat berbuat apa terhadap kerajaan Goan? Akan tetapi kalau kalian khawatir, akupun tidak akan memaksa.”

Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bouw Kongcu berkata, “Saudara Shu Ta, engkau sudah minta bantuan kepada kami, hal itu saja menunjukkan bahwa engkau percaya kepada kami dan engkau beritikad baik. Kalau sebaliknya kami tidak percaya kepadamu, hal itu sungguh akan membuat kami merasa tidak enak sekali. Baiklah, kami akan mencoba membantumu, mencarikan pekerjaan untukmu. Akan tetapi, karena engkau menghendaki kedudukan sebagai perwira tentu saja kami harus melihat dulu kemampuanmu dalam ilmu silat.”

“Maksudmu, Bouw Kongcu?”

“Tentu saja kami hendak mengujimu,” kata Bouw Kongcu tenang.

“Baiklah, mudah-mudahan aku tidak akan mengecewakan, karena aku melihat tadi bahwa kalian adalah murid-murid Butong-pai yang amat lihai.”

“Bagus, nah, mari kita bertanding pedang sejenak agar aku dapat menilai apakah engkau cukup baik untuk menduduki jabatan perwira di Nan-king.” Berkata demikian, Bouw Kongcu sudah mencabut pedangnya. Shu Ta juga mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa lihainya bangsawan muda ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan setelah mencabut pedangnya, diapun sudah memasang kuda-kuda dengan teguh. Melihat gerakan Shu Ta membuka pasangan kuda-kuda, Bouw Kongcu berseru kagum.

“Ah, kiranya engkau murid Siauw-lim-pai!”

Diam-diam Shu Ta semakin kagum. Begitu melihat pasangan kuda-kudanya, pemuda Mongol itu mengenal ilmu silatnya. Inipun membuktikan bahwa Bouw Kongcu telah memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang ilmu silat.

“Aku sudah siap, mulailah, kongcu!” tantangnya.

Bouw Ku Cin mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada. Shu Ta mengelak ke samping sambil menangkis, lalu balas menyerang. Bouw Kongcu juga dapat menangkis dengan baik dan keduanya segera saling menyerang dengan cepat dan kuat. Ternyata setelah beberapa kali mengadu pedang, keduanya maklum bahwa dalam hal tenaga, mereka sama kuat. Akan tetapi Shu Ta memiliki dasar yang lebih kuat dan matang. Hal ini tidaklah mengherankan. Shu Ta sejak kecil menjadi murid para pendeta Siauw-lim-pai dalam kuil, biasa hidup kekurangan dan diharuskan memiliki disiplin dan ketekunan yang luar biasa. Sejak kecil dia tidak pernah berani melalaikan latihat silatnya, maka gerakannya lebih matang. Berbeda dengan Bouw Kongcu, putera seorang menteri besar, seorang bangsawan yang kaya raya dan sejak kecil biasa dimanja. Tentu saja seringkali dia malas berlatih dan guru-gurunya sendiri, para jagoan istana tidak ada yang berani bersikap keras kepadanya. Maka tentu saja latihannya tidak setekun Shu Ta. Setelah lewat dua puluh lima jurus, mulai nampaklah bahwa Shu Ta lebih tangguh. Mulailah Bouw Kongcu terdesak oleh pedang Shu Ta yang makin lama makin kuat.

Melihat kakaknya terdesak, Mimi merasa kagum sekali dan timbul kegembiraannya. Jarang ada pemuda yang mampu menandingi kakaknya dan ia sendiri memiliki kepandaian yang setingkat kakaknya. Iapun mencabut pedangnya dan berseru gembira.

“Saudara Shu Ta, akupun ingin menguji kepandaianmu, menemani kakakku. Apakah engkau tidak keberatan?” Mendengar ucapan dengan suara ramah itu, bukan suara orang marah, Shu Ta menjawab, “Silahkan, nona!”

Mimi menerjang maju dan kini kakak beradik itu mengeroyok Shu Ta. Setelah dikeroyok dua, terpaksa Shu Ta mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia mulai merasa betapa beratnya menandingi kakak beradik itu jika mereka maju berdua. Sekarang, barulah pertandingan berjalan seimbang, namun kalau itu merupakan perkelahian sungguh-sungguh, agaknya Shu Ta tidak akan mampu menang menghadapi pengeroyokan kedua orang bangsawan itu.

Setelah lima puluh jurus lebih, Bouw Kongcu berseru, “Sudah cukup!” dan diapun melompat ke belakang, diikuti adiknya. Kini kakak beradik itu dengan pedang di tangan, tersenyum memandang kepada Shu Ta penuh kagum, sebaliknya Shu Ta juga merasa kagum kepada mereka dan cepat dia memberi hormat.

“Aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah terhadap kalian!”

“Aihh, saudara Shu Ta sungguh merendahkan diri. Kami berdua maju mengeroyokpun tidak mampu mendesakmu!” kata Bouw Kongcu. “Dengan kepandaian seperti yang kaumiliki itu, kami akan berani mintakan pekerjaan untukmu kepada komandan pasukan yang berada di Nan-king.”

Mereka lalu berangkat memasuki kota Nan-king yang tidak jauh lagi, dan karena kakak beradik itu hanya memiliki dua ekor kida, maka Shu Ta mempersilahkan mereka untuk pergi lebih dahulu memasuki kota Nan-king. “Harap kongcu suka lebih dahulu memintakan pekerjaan itu kepada komandan pasukan keamanan di Nan-king, aku akan menyusul belakangan dan kita bertemu nanti di sana.”

Kakak beradik itu mengangguk, kemudian mereka menunggang kuda mereka mendahului berangkat ke kota itu. Shu Ta juga segera menuju ke Nan-king, hatinya penuh kegembiraan dan harapan. Dia harus dapat melakukan sesuatu untuk perjuangan mengusir penjajah Mongol dari tanah air, pikirnya. Dan dia akan dapat melakukan hal yang lebih berarti kalau dia menyusup ke dalam, apa lagi kalau dia dapat memperoleh kedudukan dan kekuasaan.

Setelah Shu Ta memasuki kota Nan-king, seregu pasukan yang agaknya sudah menunggu di pintu gerbagn, menghadangnya dan pemimpin regu itu bertanya dengan hormat apakah dia yang bernama Shu Ta. Tadinya, Shu Ta terkejut san meragu, takut kalau-kalau pasukan Mongol itu hendak menangkapnya. Akan tetapi melihat sikap mereka yang hormat dan lembut, diapun bertanya kembali.

“Apakah maksud kalian menanyakan namaku?”

Komandan regu itu tersenyum. “Kami diperintah oleh Bouw Kongcu untuk menjemput si-cu (orang gagah) di sini dan mengantar si-cu ke benteng di mana Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menanti bersama komandan kami.”

Shu Ta merasa girang dan diapun segera mengikuti regu itu menuju ke markas besar atau perbentengan pasukan keamanan yang bertugas di Nan-king. Dan di kantor tempat markas itu, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menantinya, dan di situ terdapat pula dua orang panglima. Yang menjadi panglima di benteng itu bernama Yatucin, akan tetapi dia mempergunakan nama pribumi menjadi Yauw Tu Cin atau lebih terkenal disebut Yauw- Ciangkun (Panglima Yauw). Dia seorang Mongol asli, mukanya persegi penuh kejantanan, dengan brewok tebal dan matanya bersinar-sinar, hidungnyaa dan mulutnya besar dan bibirnya tebal. Tubuhnya tinggi agak kurus, namun penuh dengan otot melingkar-lingkar, nampak kokoh kuat.

“Inilah saudara Shu Ta yang kami ceritakan tadi, Ciangkun,” kata Bouw Kongcu, lalu dia memperkenalkan dua orang panglima itu kepada Shu Ta. “Saudara Shu Ta, Yauw-Ciangkun ini adalah panglima yang menjadi komandan benteng di Nan-king ini, dan yang ini adalah saudara misan kami, juga seorang panglima yang menjadi komandan di kota Wu-han dan sekarang sedang datang berkunjung ke sini, dia adalah Panglima Khabuli.”

Shu Ta memberi hormat kepada dua orang panglima itu. Orang yang diperkenalkan sebagai Yauw-Ciangkun yang menjadi komandan pasukan di Nan-king itu memang pantas menjadi seorang panglima, berwibawa dan pembawaannya memang sebagai seorang militer yang kokoh dan gagah perkasa, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Diam-diam Shu Ta kagum kepada panglima ini. Seorang seperti ini, berbangsa apapun juga, tentu memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, tegas dan pemberani. Ketika dia memberi hormat dan memandang kepada panglima kedua yang diperkenalkan sebagai saudara misan dari kakak beradik itu, Shu Ta segera merasa kurang suka kepada panglima ini. Panglima Khabuli berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dengan kulit hitam tebal. Dia memang nampak gagah dan menyeramkan, akan tetapi pembawaannya menunjukkan bahwa dia seorang tinggi hati, angkuh dan membanggakan kedudukan dan kekuasaannya. Juga matanya yang sipit itu ketika memandang kepada Bouw Siocia, bersinar dan mulutnya tersenyum menyeringai ceriwis, membayangkan bahwa dia seorang laki-laki yang mata keranjang, juga sambaran kerling matanya membayangkan kelicikan.

Kalau Yauw-Ciangkun mengamati Shu Ta dengan penuh selidik, diam-diam merasa heran bahwa orang yang dipuji setinggi langit oleh kakak beradik itu, ternyata hanya seorang pemuda sederhana saja, dengan pakaian sederhana mendekati kasar, tubuhnya juga sedang saja, wajahnya tampan dan mulai tumbuh brewok di dagu dan pipinya, sebaliknya, Panglima Khabuli tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, adik-adikku yang baik, bagaimana seorang pemuda dusun macam ini kalian usulkan agar menjadi seorang perwira? Ha-ha, jangan-jangan kalau dia melihat pertempuran, mukanya berubah pucat dan dia akan lari tunggang-langgang!” Khabuli tertawa-tawa dan pandang matanya mengejek dan merendahkan sekali. Dia bersikap berani karena Bouw Kongcu dan Bouw Siocia adalah adik-adik misannya. Dia sendiri adalah keponakan Menteri Bayan, maka hubungan keluarga ini membuat dia berani bersikap kasar terhadap kakak beradik itu, berbeda dengan Yauw-Ciangkun yang bersikap hormat, bukan saja mengingat bahwa mereka ini putera puteri menteri yang paling berkuasa sesudah kaisar, juga karena dia tahu bahwa kakak beradik ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri.

“Panglima Khabuli, harap jangan menertawakan!” tegur Yauw-Ciangkun. “Bukankah Bouw Kongcu dan Bouw Siocia sendiri yang telah menguji kepandaian saudara Shu Ta ini?”

“Ha-ha-ha-ha!” kembali Khabuli tertawa bergelak. Sebetulnya, dalam hal kedudukan atau pangkat, dia masih kalah tinggi dibandingkan Yauw-Ciangkun. Akan tetapi karena mengandalkan pengaruh pamannya, yaitu Menteri Bayan, sudah terbiasa baginya untuk mengangkat diri sendiri dan bersikap angkuh. Dan para panglima yang biarpun memiliki kedudukan lebih tinggi darinya seperti Yauw-Ciangkun, terpaksa mengalah, mengingat akan Menteri Bayan. “Yauw-Ciangkun, apakah engkau mempercayai ujian yang diberikan kedua orang adikku itu? Ha ha, mereka masih amat muda, bagaimana mungkin akan mampu menilai tingkat kepandaian seseorang?”

Melihat sikap kakak misan itu, apa lagi sejak tadi pandang mata Khabuli seperti menggerayangi seluruh tubuhnya, Bouw Siocia sudah menjadi marah sekali.

“Kakak Khabuli, engkau terlalu memandang rendah orang!” bentaknya. “Sekarang begini saja, Yauw-Ciangkun. Biar kakak Khabuli yang sombong itu menguji sendiri kepandaian Shu Ta! Kalau dia kalah, dia harus minta maaf kepada saudara Shu Ta! Tentu saja kalau dia berani, atau mungkin dia hanya pandai menghamburkan suara yang tidak ada gunanya saja!”

Wajah yang kulitnya hitam dari muka Khabuli, menjadi semakin hitam, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Bagus! Dan bagaimana kalau pemuda dusun ini kalah olehku, Mimi yang manis? Mau engkau berjanji bahwa kalau dia kalah olehku, engkau harus menjamu makan minum padaku sampai mabok?” Ucapan ini mengandung kekurang ajaran, karena menjamu makan minum sampai mabok merupakan hal yang sma sekali tidak mungkin, mengingat bahwa Mimi adalah seorang gadis. Walaupun masih adik misannya sendiri. Akan tetapi ia sudah tahu akan tingkat kepandaian Khabuli yang tidak berselisih banyak dengan tingkatnya sendiri, maka tentu saja ia merasa yakin bahwa Shu Ta pasti akan mampu mengalahkannya.

“Baik! Kita bertaruh. Kalau kau menang, akan kujamu makan minum, sebaliknya kalau kau kalah, jangan melanggar janji, engkau harus minta maaf kepada saudara Shu Ta karena kau telah memandang rendah kepadanya!” kata Mimi.

Bouw Kongcu sebaliknya merasa tidak enak. Diapun tahu bahwa kakak misannya yang sombong itu pasti tidak akan menang melawan Shu Ta, maka diapun mendekat dan berkata, “Kakak Khabuli, harap jangan lanjutkan adu kepandaian ini, karena aku yakin bahwa engkau tidak akan menang. Sudahlah, kita serahkan saja kebijaksanaan untuk menerima dan memberi pekerjaan kepada saudara Shu Ta ini kepada Yauw-Ciangkun saja.”

Akan tetapi, ucapan Bouw Kongcu yang sebetulnya menyayangkan kalau sampai kakak misannya itu nanti kalah dan mendapat malu, bahkan membuat Khabuli semakin penasaran dan marah, menganggap bahwa adik misannya itu terlalu memandang rendah kepadanya.

“Adik Bouw Ku Cin, tanpa diuji, bagaimana kita dapat membuktikan kemampuan orang ini? Aku juga seorang panglima, sudah menjadi kewajibanku untuk ikut menguji agar pasukan kita tidak kemasukan orang yang tidak becus, agar Yauw-Ciangkun tidak menerima seseorang hanya karena orang itu kauusulkan untuk diterima. Nah, Shu Ta, majulah dan ingin kulihat kemampuanmu!”

Tentu saja Shu Ta merasa tidak enak sekali. Orang ini masih kakak misan dari kakak beradik Bouw, dan seorang panglima. Karena dia akan bekerja di bawah perintah Yauw-Ciangkun, maka tidak akan baik kalau dia melayani Khabuli ini tanpa persetujuan dari Yauw-Ciangkun, calon atasannya. Maka, diapun menghadapi Yauw-Ciangkun dan berkata dengan sikap tenang. “Saya mohon petunjuk Ciangkun, apa yang harus saya lakukan.”

Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk. Dia sendiripun kurang senang kepada Khabuli yang biasa mempunyai watak angkuh itu. Sekarang, kakak beradik Bouw sendiri yang mengusulkan agar Khabuli menguji kepandaian Shu Ta ini. Dia percaya bahwa kakak beradik itu tidak akan sembarangan menyuruh orang yang mereka calonkan itu menandingi Khabuli kalau mereka tidak yakin akan kemampuan Shu Ta. Maka, diapun mengangguk.

“Sebagai seorang calon perwira, engkau harus dapat membuktikan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh, oleh karena itu, setelah kini Khabuli-Ciangkun hendak mengujimu, tandingilah dia, saudara Shu Ta.”

Ruangan itu memang cukup luas dan dengan sikap tenang, setelah mendapatkan persetujuan Yauw-Ciangkun, Shu Ta lalu melangkah maju menghampiri Khabuli yang sudah berdiri di tengah ruangan dengan sikap bengis. Pria itu memang menyeramkan, tinggi besar hitam dan nampak kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, namun, Shu Ta melihat titik kelemahan, yaitu pada pandang matanya. Pandang mata Khabuli jelas memperlihatkan ketinggian hati. Orang seperti ini akan memandang rendah lawan dan itulah kelemahannya, karena sikap memandang rendah lawan menimbulkan kelengahan.

Kakak beradik Bouw tentu saja sudah yakin akan kemampuan Shu Ta, akan tetapi Yauw- Ciangkun memandang dengan khawatir. Ketika dua orang yang akan bertanding itu berdiri saling berhadapan, memang nampak jelas sekali perbedaannya, yaitu dalam penampilannya, Shu Ta kalah segala-galanya. Kalah tinggi besar, kalah kokoh dan agaknya sekali gebrakan saja pemuda sederhana itu akan roboh!

“Ciangkun, aku sudah siap,” kata Shu Ta. Sebelum kalimat ini habis diucapkan, Khabuli sudah mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah menerjang ke depan. Karena diapun dapat menduga bahwa orang sederhana ini tentu memiliki sedikit kepandaian maka diusulkan menjadi perwira oleh kakak beradik Bouw, biarpun dia memandang rendah, namun begitu menyerang dia sudah mengerahkan tenaganya sehingga terjangannya itu cepat dan kuat bukan main. Khabuli adalah seorang jagoan yang selain mempelajari ilmu silat, juga dia ahli ilmu gulat yang menjadi kebanggaan bangsa Mongol.

Karena itu, terjangannya itu selain mengandung pukulan kedua tangan yang dahsyat, juga jari-jari tangannya siap untuk menangkap anggota tubuh lawan. Sekali bagian tubuh lawan dapat dicengkeram jari-jari tangan yang hitam panjang itu, akan celakalah lawan!

Namun, Shu Ta yang sudah waspada dan tidak pernah memandang rendah lawan, menghadapi terjangan itu dengan gerakan lincah mengelak ke kanan sehingga tubuh tinggi besar itu bagaikan seekor gajah menyuruk ke depan. Shu Ta menggerakkan kakinya menendang ke arah tepi lutut kiri lawan, namun dalam keadaan tersaruk ke depan itu, Khabuli masih dapat mengangkat kaki mengelak dari tendangan. Dia membalik dan menyerang lagi dengan lebih ganas dari pada tadi. Serangannya bertubi-tubi, dan dia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Shu Ta untuk membalas. Dia menampar dari samping, menonjok dari depan, mencengkeram dari atas, dan kedua kakinya yang panjang dan besar itupun tidak tinggal diam, melengkapi hujan serangannya dengan tendangan-tendangan!

Agaknya, Khabuli bernapsu besar untuk merobohkan lawan, maka dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghujankan serangan. Kakak beradik Bouw yang melihat kegarangan Khabuli ini, mau tidak mau merasa khawatir pula, apa lagi Yauw- Ciangkun yang maklum betapa besar bahayanya melawan seorang yang kokoh kuat seperti Khabuli. Namun, Shu Ta masih bersikap tenang saja walaupun dia dihujani serangan. Dengan elakan-elakan cepar, mempergunakan keringanan tubuhnya, juga kadang dia menangkis dari samping, dia dapat menghalau semua terjangan yang ganas itum dan sengaja dia mengeluarkan suara seperti orang menertawakan lawan. Hal ini membuat Khabuli menjadi semakin marah dan penasaran. Dia menyerang terus, terpancing kemarahannya dan tanpa memperhitungkan apa-apa lagi, diapun mengerahkan seluruh tenaga dan menyerang bertubi- tubi. Pengerahan tenaga yang terus menerus ini, membuat dia sebentar saja, setelah lewat dua puluh lima jurus, menjadi terengah-engah dan tubuhnya sudah mandi keringat. Namun, panglima raksasa ini memang seorang yang terlalu tinggi hati. Dia tidak dapat melihat betapa lawannya amat lincah dan memiliki gerakan yang amat cepat, melainkan dia menganggap bahwa lawan yang sama sekali belum membalasnya itu terdesak dan gentar terhadap serangan-serangannya yang bertubi-tubi.

Setelah melihat lawan terengah-engah dan sambaran pukulan dan cengkeraman tangannya tidaklah seganas tadi, tanda bahwa tenaga lawan mulai berkurang, barulah Shu Ta mengirim serangan balasan. Ketika melihat lengan kanan lawan yang besar panjang itu menyambar lewat, secepat kilat dia menggunakan jari-jari tangan terbuka menghantam dari samping ke arah belakang siku lawan.

“Dukk...!!” Tangannya tepat sekali mengenai otot yang berada di dekat siku dan seketika lengan kanan Khabuli tergetar hebat dan seperti lumpuh. Pada saat itu, kaki Shu Ta juga menyambar dan mengenai belakang lutut kiri lawan.

“Dukkk...!!” Kembali Khabuli merasa betapa kakinya tergetar dan lumpuh, dan tak dapat pula dia menahan dirinya untuk jatuh berlutut dengan sebelah kakinya! Kalau Shu Ta menghendaki, tentu dia dapat mengirim serangan susulan pada saat lawan berlutut itu. Akan tetapi dia tidak melakukan hal itu, hanya menanti dengan berdiri tegak.

Terdengar tepuk tangan. Yang bertepuk tangan adalah Mimi karena gadis ini merasa girang sekali melihat jagoannya menang. “Kakak Khabuli, engkau sudah kalah!”teriaknya.

Akan tetapi Khabuli yang merasa penasaran dan marah, tidak percaya bahwa dia dapat dibuat jatuh berlutut oleh lawan, menggunakan kesempatan itu untuk melompat dan sekali terkam, kedua lengannya yang panjang itu telah berhasil menerkam tubuh Shu Ta. Mimi mengeluarkan seruan kaget, juga Bouw Kongcu terbelalak, maklum betapa bahayanya kalau orang sudah dapat diterkam oleh Khabuli seperti itu. Jari-jari tangan yang terlatih dengan ilmu gulat itu tentu akan dapat mematahkan tulang, mencekik dan mengunci, membuat lawan tidak mampu melepaskan diri lagi. Khabuli mengeluarkan gerengan seperti seekor beruang yang berhasil menangkap mangsanya. Agaknya, rasa malu karena tadi dijatuhkan, membuat panglima raksasa ini lupa bahwa dia sedang menguji kepandaian seorang calon, bukan sedang berkelahi melawan musuh! Dia sudah mengerahkan tenaga dan siap mematahkan lengan atau tulang punggung lawan.

Akan tetapi, sesungguhnya, Shu Ta bukan dapat diterkam karena lengah. Dia memang sengaja membiarkan dirinya diterkam untuk cepat menyudahi pertandingan itu. Maka, begitu kedua pundaknya dapat diterkamm sebelum lawan mampu mengerahkan tenaganya, secepat kilat kedua tangannya sudah melakukan totokan-totokan. “Tuk! Tuk!” Dua kali jari tangannya menotok dan seketika tubuh Khabuli menjadi lemas. Walaupun kedua lengan Khabuli masih merangkul dan menerkamnya, namun sesungguhnya, raksasa itu sudah kehilangan tenaga karena berada dalam keadaan tertotok! Shu Ta tidak ingin membikin malu lawan, maka diapun mengerahkan tenaga dan memanggul tubuh yang masih menerkamnya itu, membawanya ke meja dan mendudukkan tubuh Khabuli ke atas kursinya, kemudian, secepat kilat dia menggerakkan tangan memulihkan totokan lalu mundur, mendekati kursinya sendiri!

Bouw Kongcu dan Bouw Siocia bertepuk tangan dengan gembira. “Kakak Khabuli, engkau sudah kalah, hayo cepat minta maaf kepada saudara Shu Ta!” kata Bouw Kongcu.

Sekali ini, Khabuli tidak dapat lagi menyangkal kekalahannya. Dia maklum bahwa pemuda sederhana itu benar-benar amat lihai. Juga dia tahu bahwa Shu Ta sengaja tidak ingin merobohkannya dan membikin malu, maka diapun tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam.

“Kakak Khabuli, hayo kau mengaku kalah!” kata pula Mimi dengan gembira.

“Bouw Kongcu dan Bouw Siocia, sudahlah, sesungguhnya, Khabuli-Ciangkun telah bersikap mengalah. Dia memang hebat, memiliki tenaga yang kuat dan ilmu silat serta ilmu gulatnya lihat sekali,” kata Shu Ta yang tidak ingin menanam permusuhan dalam penyusupannya di pasukan Mongol.

“Saudara Shu Ta, melihat ilmu kepandaianmu, kami merasa gembira menerimamu sebagai seorang perwira dalam pasukan kami. Engkau kami beri tugas untuk mengajarkan ilmu silat kepada para perwira rendahan agar tingkat mereka bertambah.”

Khabuli yang merasa malu dan juga tidak enak untuk terus berada di siu, bangkit berdiri. “Ilmu totok dari saudara Shu Ta memang sungguh lihai sekali sehingga aku dapat dibuat tidak berdaya. Yauw-Ciangkun, aku masih mempunyai kepentingan lain di kota. Aku pergi dulu!

Tanpa menanti jawaban, Khabuli sudah melangkah keluar dari ruangan itu dengan tergesa- gesa.

Demikianlah, mulai hari itu, Shu Ta diterima sebagai seorang perwira baru, dan dia mendapat tugas untuk melatih ilmu silat kepada para perwira lain. Dia bekerja dengan baik, dan atas desakan kedua putera puteri Menteri Bayan itu, sebentar saja dia sudah mendapatkan kepercayaan dan kenaikan pangkat sehingga dia dipercaya untuk memimpin seregu pasukan. Shu Ta memang cerdik sekali. Setiap kali menerima tugas, selalu dia laksanakan dengan baik. Kalau pasukannya menerima tugas untuk menjaga keamanan, dia bersungguh-sungguh menumpas gerombolan penjahat sehingga setelah dia menjadi perwira keamanan, daerah Nan- king menjadi aman. Dan kalau dia menerima tugas untuk membasmi kelompok pemberontak, dia selalu berhasil memberi kabar kepada kelompok itu, sehingga pada saat dia dan pasukannya tiba, maka para pemberontak itu sudah kabur sehingga tidak terjadi pembasmian atau penangkapan.

Seperti yang telah dia perhitungkan dan harapkan ketika timbul pikirannya untuk menyusup menjadi seorang perwira kerajaan Mongol, Shu Ta dapat mulai mengumpulkan keterangan tentang keadaan kerajaan Mongol, tentang kekuatannya, dan tentang kemunduran- kemunduran yang sedang terjadi karena kaisarnya, yaitu Kaisar Togan Timur (1333-1368), bukan merupakan seorang kaisar yang bijaksana dan pandai seperti nenek moyangnya. Seluruh kekuasaan dikendalikan oleh para menteri, terutama Menteri Bayan, dan para thai- kam (orang kebiri), yaitu mereka yang mempengaruhi kaisar dari sebelah dalam istana.

Korupsi merajalela, pemerintahan lemah sekali dan pengendalian atau pengontrolan terhadap para pejabat di daerah hampir tidak ada lagi. Para pejabat di daerah dapat bertindak sesuka hati sendiri, dan kalaupun ada pemeriksa datang dari kota raja, pemeriksa itu tentu melaporkan yang baik-baik saja ke pusat karena dia sudah menerima suapan dari para pejabat daerah. Dalam keadaan pemerintah lemah seperti itu, di daerah selalu timbul pergolakan, gerombolan-gerombolan pemberontak bermunculan, gerombolan-gerombolan penjahat juga saling memperebutkan kekuasaan. Makin nampaklah oleh Shu Ta bahwa saatnya hampir masak untuk mengadakan pemberontakan besar-besaran yang pasti akan mampu menggulingkan pemerintah yang sedang dalam keadaan lemah itu. Apa lagi pemerintahan penjajah yang memiliki pamong praja yang korup itu amat dibenci rakyat, karena para pejabat itu melakukan penekanan, penindasan dan penghisapan. Pemerintah yang para pejabatnya korup, mementingkan kesenangan sendiri, di mana terjadi perebutan kekuasaan, pemerintah yang tidak disuka oleh rakyat jelata, condong untuk mudah berantakan dan roboh. Hanya pemerintah yang dipimpin oleh mereka yang benar-benar mencinta negara dan bangsa, mereka yang adil dan jujur, tidak korup, yang memiliki pasukan yang kokoh kuat dan taat serta setia, yang didukung oleh rakyat jelata, pemerintah seperti itu yang akan berhasil memajukan kehidupan rakyat dan memperkuat negara ddan pemerintahannya.

Hubungan Shu Ta yang kini disebut Shu-Ciangkun (Panglima Shu) dan kakak beradik Bouw semakin baik dan biarpun mereka tinggal saling berpisah jauh, karena kakak beradik itu tinggal di Peking, namun mereka sering saling memberi kabar dan setiap kali ada kesempatan, mereka saling bertemu, terutama kalau kakak beradik itu pergi ke Nan-king.

Kita tinggalkan dulu Shu Ta yang kini telah menjadi seorang panglima muda yang dipercaya di Nan-king, yang mendiami sebuah gedung dan memiliki belasan orang pengawal dan pelayan walaupun dia masih hidup membujang. Shu Ta sama sekali tidak tahu bahwa beberapa bulan kemudian setelah dia menjadi panglima di Nan-king, terjadi kegemparan dengan adanya berita tentang seorang pemberontak yang telah melakukan pembunuhan terhadap seorang perwira yang bertugas di Wu-han, bahkan gambarnya dipasang di mana- mana agar orang-orang mengetahui dan membantu pemerintah menangkap pembunuh itu.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal gambar itu sebagai suhengnya, Cu Goan Ciang! Akan tetapi tentu saja dia pura-pura tidak tahu, hanya memesan kepada semua anak buahnya bahwa kalau mereka sampai dapat bertemu dengan “pembunuh” itu, agar jangan dibunuh akan tetapi ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya. Orang itu amat penting, harus ditangkap dan dibawa membuka rahasia para pemberontak, demikian katanya, maka tidak boleh dibunuh dan dihadapkan kepadanya hidup-hidup. Tentu saja perintah ini dikeluarkan untuk melindungi Goan Ciang agar jangan sampai terbunuh.

Pada suatu pagi, seorang pemuda dusun yang nampak bodoh dan lugu, memasuki pintu gerbang kota Nan-king bersama seorang pemuda lain yang agak jangkung, juga seorang dusun yang kelihatan bodoh dan bermata sipit, jenggot dan kumisnya kacau tak terpelihara. Tidak ada seorangpun yang akan mengenal mereka, karena wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali dari keadaan asli mereka. Mereka adalah Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang melakukan penyamaran sebagai dua orang dusun yang bodoh dan sederhana seklai. Siapa akan mengira bahwa pemuda jangkung yang mukanya buruk dan licik, juga nampak amat bodoh itu, adalah Cu Goan Ciang yang baru saja menggegerkan Wu-han karena dia telah membunuh seorang perwira tinggi dan beberapa orang prajurit? Wajah aslinya tampan dan gagah, akan tetapi sekarang dia kelihatan seperti seorang pemuda dusun yang bodoh. Adapun pemuda ke dua yang nampak muda dan juga bodoh itu, lebih mengagumkan lagi kalau orang melihat wajah aslinya. Ia adalah seorang gadis yang cantik jelita, lincah jenakan, bahkan ia adalah wakil ketua umum dari Hwa I Kaipang yang terkenal! Adapun Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantunya.

Dua orang pimpinan Hwa I Kaipang ini sengaja menyamar dan memasuki Nan-king untuk menyelidiki tentang Hek I Kaipang yang kini agaknya diperalat oleh pemerintah Mongol, menjadi antek Mongol. Mereka ingin menyelidiki sampai berapa jauh hubungan atau persekongkolan antara Hek I Kaipang dengan para pembesar Mongol sehingga perkumpulan pengemis itu tega untuk mengkhiananti golongan sendiri, membantu para prajurit untuk menyerang Hwa I Kaipang.

Tidak sukar bagi kedua orang itu untuk membaur dengan banyak orang yang keadaannya mirip mereka. Di kota Nan-king memang setiap hari berdatangan penduduk dusun untuk menjual hasil sawah ladang mereka. Ratusan orang banyaknya, datang dari berbagai dusun di sekitar Nan-king. Para penghuni dusun ini seperti keadaan mereka berabad-abad yang lalu, masih sama saja. Rajin bekerja, sederhana, kurang akal sehingga hasil merekapun amat sederhana, namun agaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sederhana pula. Setiap hari atau beberapa hari sekali, setelah memetik hasil ladang mereka, para petani ini berangkat dari dusun pada pagi hari sekali, bahkan yang jaraknya agak jauh berangkat malam- malam, membawa obor di tangan, memikul barang dagangan berupa sayur mayur, buah- buahan dan sebagainya, untuk dibawa ke kota Nan-king dan tidak kesiangan tiba di pasar, di mana banyak orang berbelanja. Setelah dagangan mereka habis, biasanya mendapatkan uang tidak berapa banyak untuk ukuran orang kota, mereka menghabiskan pula uang itu untuk berbelanja bermacam keperluan, baju baru, sepatu atau makanan yang tidak terdapat di dusun untuk anak mereka. Mereka tidak tahu betapa hasil ladang mereka yang didapat dengan cucuran keringat ketika menanam, merawat, kemudian memtik dan memikulnya ke pasar, diharbai semurah-murahnya oleh orang kota, tidak tahu pula bahwa barang-barang yang mereka beli dari orang kota, dihargai amat mahal. Orang bodoh selalu menjadi makanan orang pintar, pada hal, sepantasnya orang pintar menjadi guru orang bodoh, orang kaya menjadi penderma orang miskin, orang kuat menjadi pelindung orang lemah dan selanjutnya. Sayang keadaan di dunia tidaklah demikian adanya. Yang kuat menindas yang lemah, yang pintar menipu yang bodoh, yang kaya merendahkan yang miskin.

Cu Goan Ciang yang menggunakan nama baru Hung Wu bersama Tang Hui Yen yang memakai nama Siauw Yen, memasuki pasar di mana terdapat banyak orang dusun. Mereka tadi telah membeli lima buah kue bakpouw untuk sarapan pagi. Mereka, seperti orang-orang dusun itu, tidak malu untuk makan bakpouw di tepi jalan, mendorong makanan itu ke dalam perut dengan air teh yang mereka bawa sebagai bekal, seperti kebiasaan orang-orang dusun pula. Hung Wu menghabiskan tiga buah bakpouw, masih menerima sepotong pula dari Siauw Yen karena gadis yang kini menjadi pemuda remaja itu hanya mampu menghabiskan satu setengah saja.

Mereka kini sengaja menghampiri sekelompok pengemis yang berkeliaran di dalam pasar, minta sedekah. Mereka melihat bermacam pengemis, dari yang tua sampai yang muda dan kanak-kanak, akan tetapi mereka itu adalah pengemis biasa, yaitu mereka yang hidupnya terlantar dan tidak termasuk pengemis yang berorganisasi. Tidak nampak seorangpun pengemis yang berpakaian hitam-hitam, yaitu anggota Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Diam-diam mereka berdua merasa heran. Mereka tahu bahwa Hek I Kaipang berpusat di Nan-king, dan merupakan perkumpulan pengemis yang berkuasa di Nan- king. Akan tetapi kenapa di kota Nan-king sendiri tidak nampak seorangpun pengemis anggota Hek I Kaipang?

Tiba-tiba Siauw Yen menyentuh tangan Hung Wu dan berbisik, “Hung-twako, kita ikuti dua orang anak itu.”

Hung Wu memandang dan melihat dua orang anak jembel yang tadinya dia lihat menghitung- hitung uang receh berkeping-keping kini berjalan keluar melalui pintu belakang pasar. Dia tidak tahu mengapa Siauw Yen mengajak dia mengikuti dua orang anak itu, akan tetapi dia tidak membantah dan dengan langkah santai agar tidak kentara mereka mengikuti dua orang anak-anak yang keluar dari dalam pasar melalui pintu belakang. Dua orang anak laki-laki berusia antara dua belas sampai lima belas tahun itu keluar dari pintu menuju ke sebuah jembatan. Di tebing dekat jembatan, bagian bawahnya, nampak seorang laki-laki setengah tua sedang duduk dan kini Hung Wu dan Siauw Yen memandang penuh perhatian karena laki- laki itu adalah seorang anggota Hek I Kaipang! Dua orang anak laki-laki itu menghampiri pengemis baju hitam yang menyambut mereka dengan mata melotot dan sikap bengis.

“Paman, kalau boleh, hari ini setoranku kukurangi tiga keping, besok akan kutambahkan tiga keping. Adikku sakit dan aku ingin membelikan buah yang segar untuknya,” kata anak yang lebih kecil dengan suara memohon. Sedangkan anak yang lain sudah menyerahkan uang yang dihitung oleh pengemis itu, jumlahnya sepuluh keping.

“Apa?” Si pengemis melotot dan membentak. “Kalau ingin mendapatkan penghasilan lebih, bekerjalah lebih giat! Tidak boleh potong, kalau setoranmu kurang, jari tanganmu yang akan kupotong!”

Anak itu menjadi ketakutan dan biarpun dia cemberut, dia menyerahkan semua uangnya yang jumlahnya juga hanya sepuluh keping. Setelah pengemis itu menerima uang mereka, kedua orang anak jembel itu pergi. Kemudian berdatangan para pengemis yang tadi dilihat oleh Hung Wu dan Siauw Yen di pasar, dan mereka semua menyetorkan uang kepada anggota Hek I Kaipang itu.

Hung Wu dan Siauw Yen saling pandang. Tanpa bicarapun mereka mengerti sekarang mengapa mereka tidak melihat seorangpum anggota Hek I Kaipang mengemis di kota Nan- king. Kiranya mereka itu sekarang bukan lagi mengemis sendiri melainkan menjadi pemeras para pengemis. Para pengemis yang melakukan pekerjaan mengemis, dan hasil pekerjaan itu harus disetorkan kepada mereka sebagai semacam “pajak”! Dan orang-orang Hek I Kaipang pasti tidak akan berani melakukan pemerasan seperti itu kalau tidak mendapat restu dari penguasa setempat. Agaknya inilah imbalan Hek I Kaipang membantu pasukan pemerintah untuk memusuhi golongannya sendiri. Mereka mendapatkan kekuasaan tertentu, di antaranya memungut pajak dari para pengemis lain yang bukan anggota Hek I Kaipang.

Hung Wu dan Siauw Yen lalu meninggalkan jembatan itu dan sehari mereka berkeliaran di kota dan melakukan penyelidikan. Akhirnya, mereka mengetahui bahwa benar seperti yang mereka duga, Hek I Kaipang kini benar-benar telah merupakan sebuah perkumpulan yang menjadi antek pemerintah Mongol, telah rela menjual golongan sendiri, bangsa sendiri, demi kemakmuran yang mereka peroleh dari pejabat setempat. Hek I Kaipang yang telah bersekongkol dan menjadi antek Mongol, dan untuk balas jasa, para pejabat tinggi memberi hak kepada mereka untuk memungut pajak para pengemis lain, dan menguasai pula tempat- tempat hiburan, seperti rumah-rumah pelesir, rumah-rumah judi dan lain-lain. Di tempat- tempat hiburan ini, merekapun memungut pajak besar dan tidak ada pengusaha rumah pelesir atau rumah judi yang berani menentang mereka karena di belakang para pengemis ini berdiri pembesar setempat. Tentu saja, Hek I Kaipang memperoleh penghasilan besar, pemasukan uang secara mudah sekali.

Lewat tengah hari, Hung Wu dan Siauw Yen mengaso di sebuah taman di kota, duduk di bangku. Mereka merasa lelah, juga marah, melihat betapa perkumpulan pengemis Hek I Kaipang kini jelas menjadi antek pemerintah dan kini mereka tahu mengapa Hek I Kaipang menyerang Pek Mau Lokai.

“Sungguh aneh,” kata Siauw Yen. “Dahulu Hek I Kaipang merupakan rekan dari Hwa I Kaipang, bahkan para pimpinan Hek I Kaipang adalah sahabat-sahabat baik kakekku. Apa lagi setelah ketua Hek I Kaipang yang baru adalah murid keponakan kakek sendiri, hubungan di antara kedua perkumpulan amat baik, bahkan bekerja sama dalam menentang pemerintah penjajah Mongol. Akan tetapi, sejak Coa Kun itu menjadi ketuanya, terjadi perubahan. Dan sekarang, kita melihat sendiri betapa Hek I Kaipang benar-benar menjadi antek dan bahkan mendapatkan kekuasaan di Nan-king. Hal ini berbahaya sekali.”

“Kurasa, jalan satu-satunya untuk melemahkan penjajah adalah menguasai Hek I Kaipang. Kurasa, para anggota Hek I Kaipang hanya terbawa oleh ketuanya, kalau kita mampu mengambil alih kepemimpinan atas para anggota Hek I Kaipang, kita dapat mengubah kemudi dan mengarahkan Hek I Kaipang kepada perjuangan.”

Mendengar usul Hung Wu atau Cu Goan Ciang itu, Siauw Yen mengangguk-angguk dan berkata, “Memang benar. Kakek pernah mengatakan pendapat seperti itu. Akan tetapi, bagaimana kita mampu mempengaruhi mereka atau mengambil alih kekuasaan? Dengan kekerasan, tentu akan terjadi pertempuran antara kedua kaipang, dan mengingat bahwa pasukan pemerintah tentu akan membantu Hek I Kaipang, sukar sekali bagi kita untuk mendapatkan kemenangan.”

“Tentu saja tidak dengan kekerasan, karena maksud kita bukan membasmi perkumpulan itu dan memusuhi anggotanya, melainkan menundukkan para pimpinannya agar kita dapat mengembalikan Hek I Kaipang ke jalan perjuangan.”

“Akan tetapi bagaimana caranya, toako? Hek I Kaipang memiliki pemimpin-pemimpin yang lihai. Ketuanya, Coa Kun itu lihai sekali terutama puterinya yang bernama Coa Leng Si, biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi ia memiliki kepandaian yang melebihi ayahnya! Aku sendiri bahkan pernah bertanding dengannya dalam sebuah bentrokan baru- baru ini, dan harus kuakui bahwa ia amat lihai dan kalau dilanjutkan tentu aku akan roboh olehnya.”

“Hemm, begitu hebatkah ia?”

“Masih ada para pembantu pimpinan yang juga lihai dan jangan dilupakan, setelah kini mereka membantu pemerintah, tentu mereka dekat dengan para jagoan Mongol yang berada di Nan-king. Tidak mudah menundukkan Hek I Kaipang sekarang ini, toako.”

“Akan tetapi, kita harus mencari jalan, harus menundukkan mereka dan merenggut mereka lepas dari pengaruh pemerintah Mongol. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita dapat bergerak bebas?” “Ssttt... lihat di sana, toako,” tiba-tiba Siauw Yen berbisik dan matanya memandang ke arah jalan. Hung Wu menengok dan diapun melihat apa yang menarik perhatian gadis yang menyamar sebagai pemuda itu. Seorang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berjalan di tepi jalan. Yang menarik perhatian mereka berdua adalah bahwa laki-laki itu mengenakan pakaian berkembang dan tambal-tambalan, pakaian seorang anggota Hwa I Kaipang!

“Jelas dia seorang yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang,” kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk. Peraturan pertama yang mereka berikan kepada para anggota dan yang segera ditaati, kini sudah menghasilkan buah. Dengan peraturan baru itu, kalau ada yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang, akan mudah dilihat dan segera dikenal. Kalau orang tinggi kurus itu seorang anggota Hwa I Kaipang yang asli tentu dia sudah tahu akan peraturan baru itu dan tidak akan mengenakan pakaian menyolok itu! Jelas, dia seorang mata- mata yang biasa menyelidiki Hwa I Kaipang. Mungkin orangnya pemerintah, mungkin pula orangnya Hek I Kaipang.

“Mari kita membayanginya,” kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk dan tersenyum, karena dia merasa semakin kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang bukan saja berjiwa pahlawan, patriotik, akan tetapi juga cerdik dan pemberani!

“Dia bukan anggota kita?” Dalam perjalanan membayangi pengemis itu, Hung Wu bertanya. Siauw Yen menggeleng kepala dan Hung Wu merasa yakin karena tentu saja gadis yang mewakili kakeknya memimpin Hwa I Kaipang ini sudah hafal akan semua anggota perkumpulan itu.

Tepat seperti telah diduganya, Siauw Yen melihat orang itu memasuki pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang. Di depan rumah itu terdapat papan nama besar dengan tulisan Hek I Kaipang yang coretannya gagah dan di pekarangan itu terdapat sebuah gardu penjagaan di mana terdapat belasan orang anggota Hek I Kaipang berjaga. Orang yang berpakaian pengemis baju kembang itu berhenti sebentar karena ditahan oleh para penjaga, akan tetapi setelah bicara sebentar, dia diperkenankan masuk.

Melihat ini, Siauw Yen berbisik kepada Hung Wu, “Toako, jelaslah bahwa pihak Hek I Kaipang menyebar mata-mata yang menyamar seperti anggota kita. Akan tetapi, dengan adanya peraturan baru kita, maka kini kita semua akan mudah menangkap mata-mata mereka. Kiranya sudah banyak yang kita dapatkan dalam penyelidikan kita tadi, mari kita pulang, toako.”

Hung Wu mengangguk, akan tetapi pada saat itu nampak sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dipersiapkan orang di pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang.

Siauw Yen memberi isarat kepada Hung Wu untuk menanti sebentar. Mereka dapat melihat seorang laki-laki yang berusia lima puluhan tahun, bertubuh sedang dan mukanya gagah sekali, seperti muka harimau, keluar dari dalam rumah itu bersama seorang kakek dan nenek yang keduanya sudah tua renta dan berjalan dibantu tongkat. Mereka bertiga naik ke dalam kereta dan Siauw Yen cepat memberi isarat kepada Hung Wu untuk segera pergi dari situ.

Siauw Yen mengajaknya menyelinap di tempat sepi dan berkata, “Toako, engkau harus membayangi kereta itu jangan dilepaskan. Laki-laki tadi adalah ketua Hek I Kaipang, Coa Kun. Kebetulan sekali dia hendak keluar kota dan yang menemaninya hanya seorang kakek dan seorang nenek yang sudah sangata tua. Inilah kesempatan tepat bagi kita untuk turun tangan, membunuh pengkhianat bangsa itu. Kalau dia mati dan Hek I Kaipang dipegang orang lain mungkin sikap mereka akan menjadi lain. Kau bayangi saja, jangan turun tangan karena dia cukup lihai. Aku akan mencari bala bantuan.” Tanpa menanti Hung Wu menjawab, Siauw Yen sudah menyelinap dan lenyap.

Hung Wu tinggal seorang diri, termangu. Namun, dia dapat melihat kebenaran dalam pendapat gadis itu. Memang sayang sekali kalau Hek I Kaipang dibawa menyeleweng oleh ketuanya, menjadi antek Mongol. Semua kekuatan yang ada pada rakyat yang terjajah harus dikerahkan, kalau hendak membebaskan diri dari belenggu penjajah. Terutama semua perkumpulan, harus bersatu padu. Kalau perkumpulan yang tidak mau bersatu, apa lagi yang bahkan berkhinat membantu penjajah, harus dibasmi, karena hal ini berarti merontokkan sebuah di antara gigi dan kuku penjajah.

Kereta itu mulai bergerak meninggalkan pekarangan. Hung Wu segera mengikutinya dari jauh. Untung baginya bahwa kereta itu oleh kusirnya, dijalankan lambat-lambat sehingga tidak sukar baginya untuk terus membayangi kereta itu. Kereta itu ternyata menuju ke utara dan keluar dari pintu gerbang utara. Hung Wu juga keluar dari pintu gerbang itu. Matahari sudah mulai condong ke barat. Hung Wu menduga-duga apakah Siauw Yen berhasil mendapatkan bala bantuan. Ah, gadis itu terlalu berhati-hati, pikirnya. Biarpun ketua Hek I Kaipang lihai, kalau dia, maju bersama Siauw Yen, tentu akan mampu mengalahkannya!

Bahkan dia sendiripun agaknya tidak takut menghadapinya. Bukankah Siauw Yen pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak gentar menghadapi ketua Hek I Kaipang, akan tetapi yang amat lihai adalah puteri ketua itu? Dan sekarang yang berada di dalam kereta hanyalah Coa Kun, sang ketua, bersama seorang kakek dan seorang nenek yang sudah tua renta dan nampak loyo. Juga kusirnya itu tentulah hanya anak buah biasa saja.

Pada waktu itu, karena tadi matahari amat teriknya, jalan yang keluar dari Nan-king ke utara itu nampak sunyi. Hal ini juga memudahkan Hung Wu untuk membayangi kereta yang kini berjalan agak cepat sehingga dia harus berlari.

Bagaimana kalau Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan? Dan bagaimana pula kalau Siauw Yen tidak dapat menyusulnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara? Apakah dia harus mengikuti terus sampai kelelahan? Atau harus membiarkan saja ketua Hek I Kaipang itu pergi tanpa mengganggunya? Akan tetapi, kalau dia turun tangan sendiri kemudian gagal, bukankah hal itu akan membuat Siauw Yen menjadi amat kecewa dan marah? Sungguh serba salah, pikirnya.

Setelah kini kereta tiba di jalan menuji perbukitan yang sunyi dan kereta dilarikan semakin cepat, Hung Wu mengeluh. Kalau begini terus, akhirnya sebelum mati tiba dia akan kehabisan tenaga dan semua usahanya membayangi akan sia-sia belaka. Sudah hampir dua jam dia membayangi dan belum juga Siauw Yen muncul. Sebaiknya, aku turun tangan sendiri, membunuh ketua Hek I Kaipang, pikirnya. Andai kata gagalpun, dia masih dapat menyelamatkan diri dan diapun tidak akan malu kepada Siauw Yen akan kegagalannya, karena setidaknya dia telah berusaha! Agaknya Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan, atau gadis itu mengambil jalan yang keliru ketika mengejarnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara.

Hung Wu mempercepat larinya, mendahului kereta. Setelah mendahului kereta dalam jarak tiga puluh meter, dia berhenti, membalik dan menghadang, mengangkat kedua tangan ke atas dan membentak kepada kusir agar menghentikan keretanya. Kusir kereta yang duduk di depan atas, melihat seorang pemuda jangkung berpakaian seperti seorang petani menghadang di tengah jalan dan membentak agar kerta dihentikan, tentu saja menjadi marah sekali. Dua ekor kudanya juga menjadi ketakutan ketika dihadang orang yang membentak-bentak. Kusir menghentikan keretanya lalu menghardik.

“Siapakah engkau yang tak tahu diri dan kurang ajar berani menghentikan kereta? Tidak tahukah siapa yang menjadi penumpang kereta ini? Minggir, atau aku akan menerjangmu dan melindasmi!” Tukang kereta menggerakkan cambuknya yang panjang untuk mengusir orang itu yang dianggapnya sinting atau kurang ajar. Cambuknya yang panjang menyambar ke arah kepala Hung Wu. Akan tetapi, pemuda ini menyambar ujung cambuk dan secara tiba-tiba seklai dia menarik cambuk itu sehingga kusinya yang memegang gagang cambuk terkejut dan terbawa jatuh dari atas keretanya!

“Heii, apa yang terjadi?” terdengar teriakan dari dalam kereta. Pintu kereta terbuka, tirainya tersingkap dan keluarlah tiga orang dari dalam kereta itu. Mereka adalah Coa Kun ketua Hek I Kaipang dan dua orang tua renta tadi. Seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya berusia delapan puluh tahun, memegang tongkat dan kurus, nampak ringkih dan loyo. Coa Kun melihat betapa kusirnya mengerang kesakitan dan tidak mampu bangun karena sebelah kakinya terkilir, ketika dai terbanting jatuh dari atas kereta. Marahlah ketua Hek I Kaipang itu.

“Jahanam keparat! Sudah gilakah engkau? Siapakah engkau berani menghadang keretaku? Apa matamu sudah buta, tidak melihat bahwa aku, ketua Hek I Kaipang yang menjadi penumpang kereta ini?”

Hung Wu memandang dengan mata bersinar-sinar. “Aku tahu bahwa engkau adalah Twa-sin- to Coa Kun, ketua Hek I Kaipang yang telah membawa perkumpulan itu menjadi pengkhianat bangsa, penjilat orang-orang Mongol. Karena itu, aku akan membunuhmu!”

“Keparat, engkaulah yang akan mampus di tanganku!” Coa Kun membentak dan diapun sudah menerjang maju dengan marah. Orang she Coa ini adalah ketua Hek I Kaipang, bukan saja kepandaiannya tinggi, akan tetapi dia juga telah bersekutu dengan pasukan pemerintah, tentu saja dia menyadari akan kekuasaannya. Kini muncul seorang pemuda dusun berani mati mengancam hendak membunuhnya, maka tentu saja dia marah bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengerahkan tenaganya dan dengan bertubi, tangan kananya mencengkeram ke arah kepala sedangkan tangan kirinya menyusul dengan tangan miring menghantam ke arah dada lawan.

Melihat gerakan lawan, tahulah Hung Wu bahwa nama besar ketua Hek I Kaipang ini bukan nama kosong belaka. Orang ini memiliki tenaga yang kuat, hal ini dapat dia ketahui dari sambaran angin pukulan yang menyerangnya. Diapun cepat mengelak dari cengkeraman tangan kanan ke belakang, lalu menyambut pukulan tangan lawan dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukkk!!” Keduanya tergetar, akan tetapi kalau Hung Wu hanya tergetar lengannya yang menangkis, dengan kedudukan kaki masih tegak, adalah pangcu (ketua) itu yang selain tergetar hebat, juga kakinya melangkah ke belakang dua langkah. Ini saja sudah membuktikan bahwa dia kalah tenaga melawan Hung Wu. Bukan main kagetnya Coa Kun. Tak disangkanya pemuda dusun yang nampak bodoh ini bukan saja mampu mengelak dan menangkis serangannya, bahkan dapat membuat dia melangkah ke belakang. Dia kalah kuat dalam hal tenaga! Kemarahan dan rasa penasaran membuat Coa Kun meraih gagang goloknya dan segera nampak sinar berkilat ketika golok besar yang tergantung di pinggang itu telah dicabutnya. Golok itu besarm lebar dan berkilauan, tentu tajam bukan main.

Melihat ini, Hung Wu tidak berani memandang ringan. Ketua Hek I Kaipang ini berjuluk Twa-sin-to (Golok Besar Sakti), tentu dia ahli bermain silat golok. Oleh karena itu, Hung Wu juga mencabut pedang yang tadinya disembunyikan di balik bajunya.

Coa Kun sudah menerjang lagi, kini sambil menggerakkan goloknya dan nampak gulungan besar sinar yang menyambar-nyambar. Namun, Hung Wu juga sudah menggerakkan pedangnya dan karena dia maklum betapa lihainya lawan, dan dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh ketua Hek I Kaipang ini, diapun segera menggerakkan pedangnya, menangkis dan balas menyerang dengan dasar ilmu silat Rajawali Sakti. Terjadi perkelahian yang seru, akan tetapi setelah lewat dua puluh jurus, perlahan-lahan ketua Hek I Kaipang mulai terdesak oleh gulungan sinar pedang di tangan Hung Wu. Ilmu silat Rajawali Sakti memang hebat, dan Coa Kun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget. Kakek dan nenek yang tua renta itu tetap menonton, berdiri seperti patung bertopang pada tongkat mereka. Kusir kereta sudah dapat bangkit kembali dan kini menenangkan dua ekor kuda penarik kereta, sambil memandang dengan gelisak ke arah perkelahian, karena dia melihat betapa ketuanya mulai terdesak.

Selagi Hung Wu mendesak lawannya dan merasa gembira karena besar harapannya dia akan berhasil, terdengar derap kaki kuda. Wajah Hung Wu berseri karena tanpa melihatpun dia hampir yakin bahwa tentu itu rombongan bala bantuan yang didapatkan Siauw Yen dan kini mereka datang untuk membantunya. Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa ketua Hek I Kaipang tentu akan dapat ditewaskan! Apa lagi ketika dia sempat melirik ke arah suara derap kaki kuda dia melihat bahwa penunggang kuda terdepan adalah seorang gadis! Siapa lagi kalau bukan Yen Yen!

Kini, rombongan orang yang jumlahnya belasan itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan suara wanita, “Ayah, biar aku yang melawannya!”

Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang menyambar ganas ke arahnya. Dia terkejut dan menangkis. “Tranggg...!!” Nampak bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu dan Hung Wu terkejut bukan main, cepat melompat ke belakang. Ketika dia memandang penuh perhatian, wajahnya berubah. Kiranya gadis itu bukan Yen Yen, melainkan seorang gadis yang lebih muda dari Yen Yen, cantik pula, dengan pedang di tangan. Dan belasan orang yang bersama gadis itu, lebih mengejutkan hatinya lagi. Terdapat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tinggi besar berkepala botak dengan jubah merah, dan yang lain adalah pasukan pemerintah, dapat dikenal dari pakaian seragam mereka! Celaka, dia belum berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, sekarang telah dikepung pasukan pemerintah, dan agaknya gadis berpakaian serba hijau yang tadi menyerangnya dengan pedang adalah puteri ketua Hek I Kaipang yang pernah dia dengar dari keterangan Yen Yen. Gadis yang membuat Yen Yen kewalahan dan katanya lebih lihai dibandingkan ketua Hek I Kaipang sendiri. Belum lagi kakek botak itu yang kini sudah turun dari kuda, dan berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong, yang dia duga tentulah seorang yang lihai pula.

“Siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang ayahku?” Gadis itu yang kini berdiri di depan Hung Wu, bertanya dengan suara nyaring.

“Tidak perlu tahu aku siapa, aku adalah orang yang akan membunuh semua orang yang menjadi pengkhianat bangsa dan menjadi antek penjajah Mongol!”

Mendengar ini, perwira yang agaknya memimpin pasukan itu mencabut goloknya dan berseru, “Kiranya seorang pemberontak! Tangkap! Bunuh dia!” Teriakan ini merupakan aba- aba dan disambut oleh anak buahnya dengan cabutan golok. Belasan orang prajurit itu segera mengepung dan mengeroyok, membantu gadis baju hijau yang juga sudah menerjang dengan pedangnya.

Begitu mereka saling serang, keduanya terkejut bukan main. Segera Hung Wu mengenal ilmu silat Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) persis seperti ilmu silat yang dikuasainya! Ini tidak mungkin! Demikian dia berpikir dengan kaget. Ilmu silat ini adalah ciptaan gurunya, Lauw In Hwesio, dan merupakan ilmu simpanan yang hanya diajarkan kepadanya saja, tidak pernah diajarkan kepada murid lain. Akan tetapi gadis ini kini memainkannya, dan permainannya begitu baik, bahkan tidak kalah olehnya!

Gadis baju hijau itupun terkejut bukan main, akan tetapi dengan penasaran ia menyerang terus sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan aneh karena mereka memiliki gerakan yang sama! Akan tetapi karena ternyata tingkat kepandaian antara mereka seimbang, dan masih ada belasan orang prajurit Mongol mengeroyoknya, sebentar saja Hung Wu terdesak dan terkepung ketat.

Tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek botak yang sejak tadi memandang penuh perhatian, “Leng Si, mundurlah, dan suruh semua prajurit mundur. Aku sendiri yang akan menghadapi pemuda ini!”

Mendengar ucapan parau itu, gadis berbaju hijau melompat mundur dan memberi aba-aba kepada pasukan kecil itu untuk mundur pula. Kemudian, kakek botak tinggi besar itu sekali menggerakkan kakinya, sudah berdiri di depan Hung Wu yang masih melintangkan pedang di depan dadanya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian pria botak itu berkata dengan suaranya yang parau.

“Orang muda, dari mana engkau mempelajari Sin-tiauw ciang-hoat? Apa hubunganmu dengan Lauw In Hwesio?”

Mendengar pernyataan ini, seketika Hung Wu tersadar. Gadis itu memiliki pula ilmu Sin- tiauw ciang-hoat, pada hal ilmu itu hanya dikuasai oleh dua orang yang merangkai ilmu itu, yaitu Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio. Karena itu, mudah diduga dengan siapa dia berhadapan.

“Lauw In Hwesio adalah guruku,” kata Hung Wu, “dan agaknya lo-cian-pwe tentu supek (uwa guru) Bouw In Hwesio.” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada agak meragu karena kakek di depannya itu tidak gundul sepenuhnya, melainkan botak dan memelihara rambut di bagian belakang dan kanan kirinya. Juga pakaiannya tidak seperti pakaian hwesio walaupun dia mengenakan jubah hwesio yang berwarna merah.

Kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya murid sute Lauw In Hwesio!” katanya. “Sungguh heranm kenapa sute mengajarkan ilmu itu kepada seorang pemberontak?” Hung Wu mengerutkan alisnya, “Suhu tentu akan merasa heran pula kalau mengetahui bahwa supek mengajarkan ilmu itu kepada seorang antek Mongol!” katanya dengan berani sambil memandang kepada gadis baju hijau tadi.

“Hemm, bocah sombong, berani engkau berkata demikian kepadaku? Aku tahu bahwa para pemberontak adalah orang-orang jahat yang mempergunakan kedok perjuangan untuk menutupi kejahatan mereka. Mereka hanya perampok dan mencuri. Nah, ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu dengan ilmu kami itu.” Setelah berkata demikian, Bouw In Hwesio yang kini tidak lagi menjadi hwesio itu sudah menggerakkan kedua lengannya dan dia maju menyerang. Begitu kedua tangan digerakkan, maka kedua lengan bajunya yang panjang, bagian dari jubah merahnya, menyambar dengan dahsyat ke arah Hung Wu.

Pemuda ini sudah siap. Biarpun supek sendiri, kalau dia menjadi antek Mongol berarti menjadi musuhnya! Maka, dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Kini terjadi perkelahian yang ditonton banyak orang, perkelahian yang menarik, di mana pedang berkelebatan disambut sepasang lengan jubah merah. Namun, karena memang kalah matang dalam ilmu Sin-tiauw ciang-hoat dna kalah tenaga sakti, sebentar saja Hung Wu terdesak dan hanya mampu memutar pedang melindungi tubuh tanpa mampu membalas lagi.

Pada saat itu terdengar bentakan, “Toako, jangan khawatir aku datang membantumu!” dan muncullah Siauw Yen.

“Siauw Yen, pergilah! Cepat larilah sebelum terlambat, siauw-te!” teriak Hung Wi, terkejut dan khawatir sekali melihat Yen Yen muncul dengan penyamarannya, seorang diri saja tanpa bantuan! Namun, Yen Yen adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan pemberani. Apa lagi ia merasa amat kagum kepada Hung Wu, bahkan pemuda itu telah diangkat menjadi pembantu utamanya. Oleh karena itu, melihat Hung Wu terancam bahaya, bagaimana mungkin ia dapat pergi begitu saja menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan pemuda itu terancam bahaya? Tadi ia sudah berusaha mencari bala bantuan, akan tetapi ia telah gagal. Ia hanya bertemu dengan dua orang saja anggota Hwa I Kaipang di kota Nan-king, dua orang anggota biasa yang ilmu kepandaiannya tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Hung Wu bertindak sendiri dan terancam bahaya, maka iapun melakukan pengejaran seorang diri dan muncul pada saat Hung Wu didesak seorang kakek yang amat lihai. Biarpun ia melihat bahwa selain kakek botak yang lihai, di situ terdapat pula belasan orang prajurit, bahkan ia mengenal pula kehadiran ketua Hek I Kaipang, yaitu Coa Kun, dan puterinya yang lihai di samping seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang tadi berkereta bersama ketua Hek I Kaipang, Yen Yen tidak merasa gentar. Ia harus membantu dan menolong Hung Wu, apapun yang terjadi, maka iapun sudah menerjang ganas, menyerang dan mengeroyok kakek botak yang kedua lengan jubahnya lihai bukan main itu.

Tongkatnya segera memainkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Hok-mo-tung.

Sesosok bayangan berkelebat dan gadis baju hijau Coa Leng Si sudah menggunakan pedang menyambut Yen Yen. Mereka berdua segera saling serang dengan seru, dan biarpun Yen Yen maklum akan kelihaian Leng Si, namun untuk dapat menolong Hung Wu, ia melawan dengan nekat dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hok-mo-tung.

Melihat permainan tongkat pemuda dusun yang masih remaja itu, Coa Kun segera mengenal ilmu itu sebagai ilmu andalan dari Hwa I Kaipang. Dia cepat melompat dan membantu puterinya dengan golok besarnya sambil berseru, “Mereka orang-orang Hwa I Kaipang.

Tangkap hidup-hidup!” Kini keadaan Hung Wu dan Siauw Yen tiada bedanya, sama-sama terdesak hebat oleh pihak lawan. Hung Wu yang melawan mati-matian, tidak berdaya karena yang menandinginya adalah supeknya yang tentu saja memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi.

Sedangkan Siauw Yen sendiri, melawan Leng Si seorang saja sudah kalah, apa lagi dikeroyok dua oleh gadis lihai itu dan ayahnya, ketua Hek I Kaipang. Gadis yang menyamar itu hanya mampu menggerakkan tongkat untuk melindungi dirinya saja. Akhirnya, hampir berbareng dengan Hung Wu, ia roboh tertotok oleh Leng Si. Hung Wu sendiri juga roboh lemas terkena totokan ujung lengan jubah Bouw In Hwesio.

“Akupun mengenal ilmu tongkat dan gerakannya, ayah. Kalau tidak salah, ia adalah cucu dari Pek Mau Lokai, gadis yang kabarnya kini menjadi pemimpin Hwa I Kaipang, yang bernama Tang Hui Yen.” Setelah berkata demikian, Coa Leng Si berlutut mendekati Siauw Yen yang rebah lemas tak berdaya. Leng Si menggosok sana-sini di muka, kepala dan leher. Leng Si, melepaskan kain penutup rambut dan sebentar saja nampaklah bahwa pemuda petani itu bukan lain adalah seorang gadis cantik!

“Hemm, benar katamu, Leng Si. Ia adalah Tang Hui Yen, tokoh Hwa I Kaipang. Kalau begitu, aku yakin bahwa yang seorang lagi inipun tokoh Hwa I Kaipang,” kata Coa Kun dan diapun berlutut mendekati Hung Wu dan seperti yang dilakukan puterinya tadi, dia menggosok muka Goan Ciang atau Hung Wu sehingga penyamaran pemuda itu terbuka dan nampak wajah aslinya. Begitu kelihatan wajah aslinya, perwira yang memimpin pasukan kecil itu berseru kaget.

“Ah, dia adalah pemberontak yang dicari itu! Dia Cu Goan Ciang!” “Cu Goan Ciang?” kata Coa Kun. “Hemm, siapa dia?”

“Pangcu, dia adalah pemberontak yang telah membunuh Bhong-Ciangkun dari Wu-han dan membunuh banyak prajurit kita. Bahkan Shu-Ciangkun telah memesan kepada kami bahwa kalau kami dapat menangkap Cu Goan Ciang, agar tidak dibunuh dan cepat dibawa menghadap Shu-Ciangkun, karena beliau hendak melakukan pemeriksaan dan memaksa dia menceritakan semua tentang para pemberontak. Pangcu, kami harap agar pangcu suka menyerahkan kedua orang tawanan ini kepada kami, karena sekarang juga akan kami hadapkan kepada Shu-Ciangkun.”

Pangcu dari Hek I Kaipang mengangguk-angguk. Dia mengenal siapa yang disebut Shu- Ciangkun itu. Seorang perwira tinggi yang biarpun baru beberapa bulan bertugas di Nan-king, namun telah membuat nama besar dan banyak juga membersihkan Nan-king dan sekitarnya dari gangguan para penjahat. Tentu saja dia tidak ingin membantah kehendak panglima baru yang menjadi tangan kanan atau pembantu utama Yauw-Ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan keamanan di Nan-king.

“Baik, akan tetapi agar kedua orang ini jangan sampai lolos dalam perjalanan, biar kita bersama kembali ke Nan-king. Baru setelah tiba di sana kalian boleh membawa mereka ke benteng.”

Tubuh kedua orang pemberontak yang masih lemas itu lalu ditelikung dan kaki tangan mereka dibelenggu. Mereka diangkat dan dimasukkan ke dalam kereta, kemudian rombongan itu berangkat menuju ke Nan-king. “Ayah, bagaimana ayah bersama kedua lo-cian-pwe (orang tua gagah) dapat berada di hutan dan dihadang oleh Cu Goan Ciang itu?” tanya Leng Si kepada ayahnya. “Aku sedang membujuk suhu untuk suka datang ke Nan-king, dikawal tiga belas orang prajurit seperti yang diperintahkan ayah. Akan tetapi, kenapa tahu-tahu ayah dan kedua orang lo-cian-pwe berada di hutan itu?”

“Karena tidak sabar menanti kembalimu, maka aku mengajak suhu dan subo untuk menyusul saja ke sana, dan aku sendiri yang akan membujuk gurumu. Syukurlah kalau beliau sudah mau datang bersamamu. Bagaimanapun juga, karena aku tidak sabar, maka kita berhasil menangkap dua orang tokoh Hwa I Kaipang, bahkan yang seorang adalah pemberontak yang dicari-cari oleh para panglima. Sekali ini kita berjasa besar!” kata ketua Hek I Kaipang itu dengan gembira.

Ternyata bahwa benar seperti dugaan Goan Ciang, kakek botak itu adalah Bouw In Hwesio, atau bekas hwesio Siauw-lim-pai. Dahulu, Bouw In Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim- pai yang berbeda dari para hwesio yang lain, suka sekali merantau. Dia adalah suheng dari Lauw In Hwesio, bahkan bersama Lauw In Hwesio, dia berhasil merangkai ilmu silat Sin- tiauw ciang-hoat yang ampuh. Dalam perantauan ini dia bertemu dengan Coa Leng Si dan gadis itu lalu menjadi muridnya selama dua tahun. Sebelum itu, Leng Si memang sudah merupakan seorang gadis yang lihai, karena ia puteri tunggal Twa-sin-to Coa Kun. Dia tinggal di lereng Bukit Bambu di luar kota Nan-king, dibuatkan sebuah rumah oleh muridnya dan pada hari itu, muridnya datang bersama seregu prajurit yang membawa surat dari Panglima Yauw dari Nan-king. Juga ketua Hek I Kaipang menyuruh puterinya untuk ikut membujuk agar Bouw In Hwesio suka datang ke Nan-king karena bantuannya amat dibutuhkan untuk menghadapi para pemberontak yang dipimpin orang-orang pandai. Bahkan Coa-pangcu berhasil pula mendatangkan dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek tua renta itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka berdua itu, bersama Bouw In Hwesio, diharapkan untuk dapat membantu pemerintah menundukkan para pimpinan pemberontak.

Karena tidak sabar menanti pulangnya Leng Si, maka Coa-pangcu mengajak suhu dan subonya untuk menyusul dengan kendaraan kereta.

Setelah tiba di Nan-king, kedua orang tawanan itu diserahkan kepada regu pasukan pemerintah untuk dibawa ke markas atau benteng dan dihadapkan kepada Shu-Ciangkun yang oleh Yauw-Ciangkun memang diserahkan tugas untuk mengatur keadaan di Nan-king dan sekitarnya, bukan hanya untuk membasmi gerombolan penjahat, akan tetapi terutama sekali para pemberontak.

Cu Goan Ciang atau Hung Wu dibawa ke dalam benteng dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan secara terpisah, walaupun bersebelahan. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara. Kini, Hung Wu yang dibelenggu kaki tangannya, duduk bersanding dinding kamar tahanan. Dia tahu bahwa dia menghadapi ancaman maut. Dia tidak takut, hanya merasa menyesal mengapa semua usahanya gagal dan kini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu untuk negara dan bangsanya. Semua cita-citanya kandas dan hancur.

Dia memang bodoh, sesalnya kepada diri sendiri. Terlalu memandang rendah kepada lawan sehingga bukan dia berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, bahkan dia yang tertawan, dan dia pula yang menyebabkan Yen Yen ikut tertawan. Akan tetapi, satu hal yang membuat dia paling penasaran adalah keadaannya supeknya, Bouw In Hwesio. Menurut suhunya, yaitu Lauw In Hwesio, supeknya itu seorang hwesio perantau yang bijaksana. Pada umumnya, para pendekar Siauw-lim-pai tidak suka kepada penjajah Mongol walaupun mereka tidak berdaya. Akan tetapi kenapa Bouw In Hwesio itu agaknya menjadi antek orang Mongol?

Memang aneh keadaan bekas tokoh Siauw-lim-pai itu. Memang dahulu dia dikenal sebagai seorang hwesio perantau yang bijaksana dan gagah perkasa. Akan tetapi, apa yang telah terjadi dua tida tahun yang lalu telah mengubah jalan hidupnya sama sekali.

Hampir tiga tahun yang lalu dia merantau sampai ke daerah Secuan, menyusuri sepanjang sungai Yang-ce. Pada suatu senja, ketika dia mendayung sebuah perahu kecil sederhana yang dibelinya dari seorang nelayan, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita di pantai yang sunyi dan penuh semak belukar itu. Mendengar jeritan ini, Bouw In Hwesio cepat mendayung perahunya ke tepi sungai dan sambil memegang ujung tali perahu, dia meloncat ke darat.

Setelah mengikatkan tali itu pada sebatang pohon, dia cepat berlari ke arah suara jeritan yang kini terdengar lagi.

Dia menyusup-nyusup di antara semak belukar dan pohon-pohon, dan ketika dia tiba di tengah hutan kecil itu, dia melihat tiga orang laki-laki sedang menggumuli seorang wanita! Wanita itu meronta-ronta, akan tetapi tidak mampu menjerit lagi karena mulutnya didekap tangan, pakaiannya koyak-koyak dan nyaris tiga orang laki-laki itu mencapai niat keji mereka, yaitu memperkosa wanita itu.

“Omitohud...!” Bouw In Hwesio berseru dan dia meloncat ke depan, kaki tangannya bergerak dan tiga orang laki-laki itu terpental dan terlempar dari wanita yang mereka gumuli. Wanita itu menangis dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kain robekan pakaiannya, matanya terbelalak memandang kepada Bouw In Hwesio sambil menggeser ke belakang ketakutan, seluruh tubuh menggigil dan tidak mampu bangkit berdiri saking takutnya.

Tiga orang laki-laki itu berlompatan berdiri dan mereka marah sekali ketika melihat bahwa yang menarik dan melemparkan mereka adalah seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar. Adapun Bouw In Hwesio ketika memandang kepada tiga orang itu, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat, yang agaknya sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, biasa mempergunakan kekerasan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka berusia empat puluh tahun lebih, memiliki perawakan yang kokoh kuat dan kini ketiganya sudah mencabut sebatang golok besar dan memandang kepadanya dengan wajah bengis. Ketika Bouw In Hwesio melirik ke arah wanita tadi, di melihat bahwa wanita itu berusia tiga puluh tahun lebih, seorang wanita yang berwajah sayu namun memang memiliki daya tarik, baik pada wajahnya yang lembut dan manis maupun pada tubuhnya yang ramping padat. Bukan wanita kaya, karena pakaian yang sudah koyak- koyak itu seperti pakaian wanita dusun saja, dari kain kasar yang murah. Namun ada sesuatu pada pandang mata wanita itu yang membuat Bouw In Hwesio mengambil keputusan untuk melindunginya.

“Hwesio keparat! Berani engkau mencampuri urusan kami?” bentak seorang di antara tiga pria itu, yang pipinya dihias codet.

“Omitohud, pinceng harap kalian bertiga suka bertaubat dan tidak melakukan perbuatan yang tidak senonoh dan jahat,” kata Bouw In Hwesio sambil mengerutkan alisnya.

“Hwesio yang bosan hidup!” bentak si codet dan bersama dua orang kawannya, dia menerjang ke depan, menyerang pendeta itu dengan goloknya. Dua orang temannya juga menyerang dari kanan kiri.

Diterjang tiga batang golok dari depan, kanan dan kiri, Bouw In Hwesio cepat menggerakkan kaki mundur. Dari sambaran golok dan cara tiga orang itu menyerangnya, tahulah hwesio ini bahwa dia berhadapan dengan tiga orang yang cukup tangguh. Maka, diapun segera memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat. Bagaikan seekor burung rajawali, tubuhnya berkelebat di antara tiga gulungan sinar golok.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar