Jilid 07
Perjodohan memang harus diadakan dengan dasar cinta kasih kedua pihak. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku berani mengatakan bahwa aku mencinta nona Tang yang baru saja kutemui sekarang? Aku akan bersikap palsu kalau aku mengaku cinta padanya sekarang, karena di dalam hatiku, sama sekali belum ada perasaan itu kepadanya kecuali perasaan kagum dan menyesal bahwa aku telah membikin dia marah. Pula, kita menghadapi tugas yang mulia, dan besar, bagaimana mungkin memikirkan urusan perjodohan? Oleh karena itu, kuharap agar Tang locianpwe, para pangcu dan seluruh anggota Hwa I Kaipang, terutama sekali nona Tang Hui Yen sendiri, suka memaafkan kalau aku belum dapat mengambil keputusan sekarang atau dalam waktu dekat mengenai perjodohan.”
“Bagus sekali!” Pek Mau Lokai berseru kagum. “Begitulah seharusnya sikap seorang pahlawan! Mendahulukan kepentingan perjuangan dan mengesampingkan kepentigan pribadi. Aku dapat menerima pendapatmu itu Siauw Cu, dan percayalah, Yen Yen juga bukan seorang gadis yang berpemandangan sempit. Aku akan menyampaikan perasaan dan pendapatmu itu kepadanya. Sekarang, mari kita bicara, tentang keadaan kita dan perjuangan kita.”
Mereka lalu berbincang-bincang, atau lebih tepat lagi, Cu Goan Ciang mendengarkan penjelasan mereka tentang keadaann Hwa I Kaipang dan perjuangan perkumpulan itu.
Hwa I Kaipang merupakan perkumpulan pengemis terbesar di seluruh wilayah Nan-kiang. Akan tetapi karena kaipang ini jelas anti pemerintah Mongol, bahkan beberapa kali menyerang markas pasukan pemerinta dan membunuh banyak tentara dan perwira, tentu saja perkumpulan ini dinyatakan sebagai perkumpulan pemberontak oleh pemerintah. Pasukan keamanan mengadakan pembersihan dari para anggota Hwa I Kaipang. Penangkapan dilakukan terhadap para pengemis baju kembang. Hwa I Kaipang melakukan perlawanan, akan tetapi pasukan keamanan terlampau kuat sehingga banyak di antara mereka yang gugur, termasuk ayah dan ibu Yen Yen yang tadinya menjadi tokoh terkemuka dari perkumpulan itu. Karena dimusuhi pemerintah dan dicap sebagai pemberontak maka tentu saja perkumpulan itu tidak lagi berani mempunyai rumah perkumpulan yang terang. Mereka tidak mempunyai markas tertentu, dan para anggotanya juga tidak lagi diharuskan memakai pakaian kembang kecuali kalau mereka mengadakan pertemuan rapat di suatu tempat yang ditentukan. Mereka tinggal di kuil-kuil tua, di gubuk-gubuk dan pondok darurat yang mereka dirikan di dalam hutan-hutan, bahkan tinggal di gua-gua. Akan tetapi, pemimpin besar mereka, Pek Mau Lokai Tang Ku It, walaupun usianya sudah enam puluh lima tahun, tidak pernah turun semangat.
Dia tetap memimpin para anggota Hwa I Kaipang, bahkan berusaha memperkenalkan perkumpulannya dan kadang-kadang masih memimpin anak buahnya untuk menentang para pembesar Mongol. Karena dikejar-kejar dan tentu ditangkap kalau ketahuan oleh petugas ada pengemis yang memakai pakaian berkembang, maka para anggota tidak berani memakai pakaian seperti itu. Yang masih tetap berani hanyalah para pemimpinnya saja, terutama Pek Mau Lokai sendiri, Tang Hui Yen atau Yen Yen, dan tiga orang ketua cabang. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi maka mereka berani menempuh bahaya itu.
“Berapakah jumlah anggota Hwa I Kaipang?” tanya Siauw Cu, hatinya tertarik sekali dan kagum mendengar bahwa para pengemis, justeru orang-orang yang paling miskin, memiliki semangat begitu besar dan keberanian yang luar biasa untuk menantang pemerintah penjajah yang amat kuat.
“Kalau dikumpulkan seluruhnya dari wilayah empat penjuru, anggota kita tidak kurang dari seribu orang,” kata Pek Mau Lokai.
Siauw Cu terkejut. “Ah, kalau begitu besar juga kekuatan Hwa I Kaipang. Apakah semua pengemis di wilayah ini menjadi anggotanya? Dan bagaimana dengan para pengemis yang mengeroyok kita di kuil itu?”
Pek Mau Lokai menghela napas panjang. “Aihh, itulah yang merisaukan hati dan mendatangkan penasaran. Di wilayah Nan-king terdapat banyak kelompok pengemis yang mempunyai perkumpulan masing-masing. Hal ini tidak mengapa karena mereka adalah rekan- rekan sependeritaan kami. Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah kenyataan bahwa ada perkumpulan pengemis yang cukup besar telah menjadi antek Mongol, bahkan mereka memusuhi kami. Kalau tadinya, di antara para kaipang terdapat persaingan biasa, akan tetapi yang dilakukan perkumpulan pengemis yang telah menjadi pengkhianat bangsa itu bukan persaingan, melainkan mereka diperalat oleh orang-orang Mongol untuk menumpas kami.
Mereka adalah Hek I Kaipang (Pengemis Baju Hitam).”
Siauw Cu menggeleng-geleng kepalanya. “Sungguh aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada sekelompok pengemis yang mau menjadi antek Mongol? Bukankah mereka itu sampai hidup melarat karena akibat penindasan kaum penjajah? Sepatutnya mereka itu menentang penjajah, bukan menentang saudara sependeritaan, apa lagi sama-sama anggota kaipang.”
Ketua Hwa I Kaipang tertawa. “Di dunia ini, kekuasaan apa yang mampu menandingi kekuasaan emas dan perak? Sebagian besar manusia diperbudak oleh harta benda karena mereka mengira bahwa dengan harta benda merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kesenangan. Mereka menganggap bahwa dengan harta benda, mereka dapat memenuhi semua keinginan mereka. Oleh karena itu, mereka silau oleh mengkilapnya emas dan perak dan mau melakukan apa saja demi memperoleh harta.”
Siauw Cu terkenang akan kehidupan orang tuanya. Mereka, ayah ibunya, dan banyak lagi penduduk desanya, bahkan kemudian dia tahu bahwa banyak lagi yang senasih di seluruh negara, mati karena sakit, karena kelaparan. Kalau mereka memiliki harta benda, tentu tidak akan mati kelaparan!
“Maaf, lo-cian-pwe. Bukankah manusia hidup ini memang tidak mungkin ditinggalkan harta benda? Bahkan untuk makan saja, untuk mempertahankan hidup, untuk sandang dan untuk tempat tinggal, kita membutuhkan harta benda.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Hai itu memang benar dan tidak dapat disangkal pula. Akan tetapi kalau orang mengejar harta benda,maka pengejaran itu mempeerbudaknya, dan dia akan mengejar dengan cara apa saja untuk mendapatkannya.. Tidak dapat disangkal bahwa hidup ini membutuhkan harta benda, akan tetapi apakah hanya harta yang menjadi syarat utama untuk dapt hidup senang? Siauw Cu, coba bayangkan, engkau memiliki harta benda yang paling banyak di antara seluruh manusia di dunia ini, akan tetapi tubuhmu tidak sehat, engkau sakit dan tak dapat turun dari pembaringan, tak dapat menikmati apa saja karena tubuhmu menderita sakit dan setiap saat disiksa nyeri. Dalam keadaan seperti itu, apakah harta bendamu yang berlimpah itu dapat melenyapkan kesengsaraanmu?” “Ah, tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Akan tetapi, kalau kita memiliki harta benda, kita dapat mencari obat dan mengundang tabib yang paling mahal sekalipun. Sebaliknya, kalau kita melarat, lalu jatuh sakit, untuk membeli obatpun tidak mampu.” Siauw Cu membantah karena dia yang sejak kecil mengalami kemiskinan tahu benar akan kesengsaraan itu.
Kakek itu mengangguk. “Ada benarnya kata-katamu itu, walaupun belum tentu tabib itu pandai dan obat mahal dapat menyembuhkan seseorang, apa lagi menahan nyawanya di badan dan kalau memang sudah tiba saatnya nyawa itu harus kembali ke asalnya. Sekarang, katakanlah engkau kaya raya dan sehat badanmu, akan tetapi bagaimana kalau keluargamu yang sakit? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan dan percekcokan di dalam keluargamu? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan antara engkau dan tetanggamu, masyarakatmu? Bagaimana kalau harta bendamu dirampas orang, engkau terancam kehilangan harta bendamu? Bagaimana kalau usia tua menggerumutimu, dan kalau kematian datang menjemput?”
Siauw Cu tertegun. “Aih, kalau diingat tentang banyaknya persoalan dan kesulitan yang kita dapat hadapi sewaktu-waktu dalam hidup, memang harta benda nampak tidak ada artinya, lo- cian-pwe. Apakah kalau begitu kita tidak perlu dengan harta?”
“Ha-ha-ha, tentu saja kita memerlukan harta, Siauw Cu, karena harta merupakan satu di antara kepentingan kita untuk dapat hidup layak di dunia ini, bahkan untuk dapat hidup wajar dan menikmati hidup. Hanya satu di antaranya, bukan kepentingan tunggal. Ingat ini! Siapa yang hanya mementingkan harta, mengira bahwa harta merupakan satu-satunya kebutuhan kita dalam kehidupan ini, dia akan kecelik, bahkan menyesal. Hidup merupakan suatu keadaan yang memiliki banyak macam kebutuhan, di antaranya harta, kesehatan, kerukunan dalam keluarga, kerukunan dalam masyarakat, dan banyak lagi. Selama nafsu menguasai diri kita, maka kita akan selalu mengejar kesenangan, lupa akan kebutuhan yang lain sehingga terjadi pertentangan dalam batin sendiri karena banyaknya kebutuhan yang saling bertabrakan. Seperti halnya para pimpinan Hek I Kaipang, karena mereka hanya mementingkan harta, maka mereka lupa diri dan rela mengkhianati bangsa sendiri, menjadi penjilat penjajah Mongol dan mau memusuhi golongan dan bangsa sendiri.”
Siauw Cu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan kakek itu. “Apakah yang menyeleweng dalam Hek I Kaipang hanya pimpinannya, lo-cian-pwe?”
Pek Mau Lokai menoleh kepada tiga orang muridnya dan berkata, “Kalian beri gambaran yang jelas kepada Siauw Cu, tentang keadaan kita, tentang perjuangan kita, tentang keadaan pihak musuh. Aku ingin beristirahat,” katanya dan diapun memasuki gua itu ke bagian dalam di mana terdapat ruangan yang menjadi kamarnya.
Lee Ti, Pouw Sen, dan Kauw Bok, tiga orang ketua cabang itu, lalu memberi penjelasan kepada Siauw Cu yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian.
Dahulu, Hek I Kaipang merupakan rekan seperjuangan dari Hwa I Kaipang. Apalagi karena ketua Hek I Kaipang masih terhitung murid keponakan Pek Mau Lokai sendiri. Akan tetapi dua tahun yang lalu, ketua Hek I Kaipang itu gugur ketika bertempur melawan pasukan pemerintah dan semenjak itu, ketuanya yang baru membawa Hek I Kaipang menyeleweng dan menjadi antek pemerinta penjajah Mongol. “Ketua Hek I Kaipang semenjak dua tahun yang lalu bernama Coa Kun dan terkenal dengan julukan Twa-sin-to (Golok Besar Sakti). Dialah yang menguasai Hek I Kaipang dan sejak itu dia menjadi ketua dua tahun yang lalu, perkumpulan itu merajalela karena tidak dimusuhi pemerintah, bahkan menjadi sekutu atau anteknya. Ilmu kepandaian Coa-pangcu itu lihai, terutama sekali ilmu goloknya. Akan tetapi, selihai-lihainya, kami masih mampu menandinginya. Hanya ilmu kepandaian puterinya yang amat hebat. Bahkan Yen Yen sendiri pernah bentrok dengannya, dan Yen Yen nyaris celaka di tangan puteri Coa-pangcu yang bernama Coa Leng Si itu.”
Tiga orang itu melanjutkan penjelasan mereka. Sejak Hwa I Kaipang menjadi buronan pemerintah, tidak pernah ada lagi ada beberapa bentrokan langsung antara Hwa I Kaipang dan Hek I Kaipang, walaupun Hek I Kaipang selalu membantu pasukan pemerintah. Seperti telah dialami sendiri oleh Siauw Cu, ketika dia dan Pek Mau Lokai dikeroyok pasukan pemerintah, beberapa orang anggota Hek I Kaipang ikut pula mengeroyok. Karena menjadi antek pemerintah Mongol, tentu saja pimpinan Hek I Kaipang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer.
Demikianlah, Siauw Cu menerima penjelasan dari tiga orang ketua cabang sehingga dia tahu benar keadaan Hwa I Kaipang dan keadaan perjuangannya, juga keadaan kota Nan-king dan siapa-siapa yang dapat dianggap kawan seperjuangan, dan siapa lawan.
Setelah para pimpinan Hwa I Kaipang berkumpul makan malam dalam gua besar itu, mengelilingi meja rendah dan duduk di lantai, barulah Siauw Cu bertemu dengan Yen Yen. Gadis itu bersikap biasa saja, tersenyum dan mengangguk kepadanya seolah-olah mereka sudah lama menjadi rekan dan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Hanya kakeknya dan tiga orang ketua cabang itu yang diam-diam merasa geli karena mereka melihat perubahan besar pada diri gadis itu. Biasanya, Yen Yen berpenampilan sederhana, akan tetapi malam ini, dara itu mengenakan pakaian baru, rambutnya disisir rapi, dan terutama sekali kalau tadinya dia lincah jenaka dan galak, periang, kini mendadak saja ia menjadi pendiam.
Tawanya yang bisana meledak bebas itu kini lenyap dan yang berbekas dari kelincahan dan kejenakaannya hanya tinggal senyumnya yang manis itu! Mereka semua tahu bahwa perubahan ini tentu karena kehadiran Siauw Cu!
Setelah makan malam, mereka duduk bercakap-cakap, dan sekali ini dihadiri pula oleh Yen Yen. Dalam percakapan inilah Siauw Cu mengemukakan pendapat dan usulnya.
“Kukira, cara perjuangan kita harus diubah.”katanya. “Penyerangan terhadap pasukan pemerintah merupakan perbuatan berbahaya yang akan menjatuhkan korban di pihak kita. Kita perlu menghimpun tenaga dan bersatu dengan rakyat. Tanpa bantuan rakyat, perjuangan kita takkan mungkin berhasil. Sebaiknya kalau kita mulai dari dusun-dusun. Kita baru menyergap kalau ada pasukan kecil yang terpencil sehingga kita yakin bahwa tidak akan ada anggota kita yang menjadi korban. Penyerangan ke kota harus dihentikan dan tunggu kalau sampai kekuatan kita lebih besar dari pada pasukan keamanan, baru kita melalukan penyerangan. Dan terutama sekali, kita harus bersatu dengan kelompok pejuang lainnya.
Bahkan kalau mungkin, kita harus mendekati Hek I Kaipang dan membujuk agar mereka kembali ke jalan suci perjuangan menentang penjajah dan membebaskan rakyat dari penindasan.”
Pek Mau Lokai mengangguk-angguk. Pouw Sen, ketua tinggi kurus muka putih yang memimpin cabang di timur berkata dengan nada memrotes, “Akan tetapi, kalau kita menghentikan serbuan-serbuan kita, berarti perjuangan kita mundur. Kita harus selalu ganggu dan kacaukan kedamaian di kota agar pemerintah penjajah selalu terpukul karena hal ini akan melemahkan mereka dan akan mengingatkan mereka bahwa para pejuang takkan pernah berhenti menentang mereka!”
“Pouw-pangcu benar, akan tetapi perjuangan bukan berarti dengan nekat menyerang dan mati konyol, mengorbankan banyak teman. Apa hasilnya? Apa artinya membunuh beberapa orang perwira dan beberapa puluh atau ratus tentara penjajah? Mereka dapat memperoleh penggantinya dalam sehari, bahkan lebih banyak lagi. Kita harus bekerja dengan berencana, dengan siasat bagaimana agar dapat merugikan dan melemahkan musuh dengan korban sedikit mungkin di pihak kita,” kata Siauw Cu penuh semangat. “Kita harus mengikutsertakan rakyat sebanyak mungkin. Barulah perjuangan kita ada artinya dan lebih banyak harapan untuk dapat berhasil.”
“Aku setuju dengan pendapat Cu-sicu! Memang selama ini kita hanya mengandalkan keberanian saja tanpa menggunakan perhitungan. Buktinya, sudah banyak di andtara kita yang tewas, bahkan ayah ibuku sendiri tewas, akan tetapi apa hasilnya? Begini-begini saja, bahkan kita menjadi orang-orang buronan yang tidak berani tampil terang-terangan. Kalau tidak diubah siasat kita seperti yang diusulkan Cu-sicu, kita tidak akan mendapatkan kemajuan setapakpun, bahkan mundur,” kata Yen Yen penuh semangat pula, terang-terangan menyokong pendapat pemuda itu.
Pek Mau Lokai tersenyum. “Aihh, sekarang aku baru merasakan betapa aku sudah terlalu tua untuk perjuangan. Pendapat dan siasatku ketinggalan jaman! Memang benar pendapat Siauw Cu yang didukung oleh Yen Yen. Nah mulai hari ini, aku wakilkan kepemimpinanku kepada Yen Yen dan Siauw Cu yang menjadi pembantu dan pendampingnya. Aku hanya akan menjadi penasihat saja. Aku sudah terlalu tua dan kurang semangat, aku khawatir kalau kulanjutkan memimpin langsung, Hwa I Kaipang akan menjadi semakin lemah.”
Tiga orang ketua cabang tidak menentang keputusan itu karena merasa tua sudah melihat kelihaian Siauw Cu. Hanya diam-diam mereka meragukan kepemimpinan pemuda yang kurang pengalaman itu. Bagaimana pemuda itu akan mengatur untuk mendapatkan biaya bagi seluruh anggotanya yang semua berjumlah seribu orang lebih itu?
Semua anggota yang berkumpul di tempat itu, yaitu mereka yang oleh kelompok kecil masing-masing diangkat sebagai wakil dan jumlahnya di tempat itu tidak kurang dari seratus orang, dikumpulkan dan malam itu juga, Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, yaitu bahwa mulai malam itu, dia menunjuk cucunya, Tang Hui Yen mewakili dia sebagai ketua umum, sedangkan Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantu utama. Tiga orang ketua cabang masih tetap menjadi ketua cabang masing-masing. Bukit penuh gua itu akan segera ditinggalkan malam itu juga dan akan tetap menjadi tempat pertemuan berkala. Masing- masing kelompok harus memberitahu tempat persembunyian masing-masing kepada ketua
cabang yang berdekatan sehingga mudah mengadakan saling hubungan. Juga ketua dan kedua wakilnya akan selalu mengadakan kontak dengan tiga ketua cabang agar mereka dapat saling berhubungan. Ketika Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, Cu Goan Ciang yang berdiri dekat Yen Yen membisiki gadis itu yang mengangguk-angguk. Setelah kakeknya selesai dengan pengumumannya, ia lalu mengangkat kedua tangan minta perhatian.
“Ketiga paman, pangcu dari timur, barat, dan selatan, juga semua saudara yang mewakili kelompok masing-masing! Sebagai pimpinan yang ditunjuk dan mewakili ketua umum, kami membuat pengumuman dan peraturan pertama yang harus dilaksanakan oleh setiap orang anggota. Mulai sekarang, mengingat bahwa kita semua menjadi orang buronan, juga mengingat bahwa seringkali pihak musuh menyamar sebagai anggota kita dengan pakaian berkembang, maka kita semua harus meninggalkan kebiasaan mengenakan pakaian berkembang.”
Terdengar suara protes di sana-sini, bahkan tiga orang ketua cabang itupun tidak setuju.
“Lalu apa artinya nama perkumpulan kita Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) kalau kita tidak boleh mengenakan pakaian berkembang?” terdengar Pouw Sen, ketua cabang dari timur dan semua anggota mendukung pertanyaan ini.
“Kita tetap anggota Hwa I Kaipang! Itu adalah nama perkumpulan kita. Bukankah sekarangpun banyak anggota kita terpaksa tidak mengenakan pakaian berkembang agar tidak dikejar-kejar petugas keamanan? Maksudku bukan untuk menghapus nama perkumpulan kita, melainkan sementara ini, demi keselamatan kita tanggalkan dulu pakaian berkembang itu.
Siapa yang merasa sayang, boleh memakia pakaian berkembang sebelah dalam dan ditutup dengan pakaian biasa! Pula, yang penting bukan pakaiannya, melainkan semangatnya, bukan?”
“Akan tetapi, bagaimana kita dapat saling mengenal tanpa pakaian seperti itu?” bantah pula Kauw Bo ketua cabang selatan dan kembali semua anggota mendukung pertanyaan ini.
Yen Yen mengangkat kedua tangan dan semua orang diam mendengarkan. “Aku sudah memikirkan hal itu. Mulai sekarang, kita boleh mengenakan pakaian apa saja asal jangan tambal-tambalan dana berkembang seperti yang biasa kita pakai. Kita mengenakan pakaian biasa, polos akan tetapi harus ada sulaman setangkai bunga di baju kita, di bagian mana saja dari baju kita karena itu hanya merupakan tanda bagi sesama anggota. Atau boleh juga mengantungi setangkai bunga dan memperlihatkan bunga itu kepada sesama anggota sebagai tanda pengenal, ditambah lagi dengan cara penghormatan atau salam seperti ini.” Yen Yen memberi contoh, merangkap kedua tangan dikepal di depan dada seperti penghormatan biasa, akan tetapi begitu kedua tangan yang dikepal itu menempel di dada, tangan kiri yang tadinya mengepal tangan kanan itu dibuka atau dikembangkan jari-jarinya ke atas, lalu ditutup kembali.
“Nah, mengertikah kalian dan apakah masih ada keberatan lainnya?”
Tidak ada yang menyatakan keberatan lagi setelah mereka mengerti apa yang dimaksudkan Yen Yen. Mereka semua tidak merasa asing kalau kini Yen Yen mewakili kakeknya, karena biasanya ia memang seringkali mewakili kakeknya dalam banyak hal, hanya biasanya belum diresmikan oleh ketua Hwa I Kaipang.
Pek Mau Lokai menyatakan pertemuan itu selesai karena semua laporan telah diterima sebelum Siauw Cu datang ke tempat itu, dan semua orang bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sepi. Tinggal Pek Mau Lokai, Yen Yen dan Siauw Cu bertiga saja.
“Nah, sekarang akupun akan pergi. Yen Yen mulai sekarang tanggung jawabmu besar. Berhati-hatilah dan cepat engkau cari aku kalau menemui kesulitan. Jangan memusuhi Hek I Kaipang secara terbuka. Mereka berbahaya. Sebaiknya, setelah kini ada Siauw Cu yang membantumu, segala hal kaurundingkan dengan dia. Engkau tahu ke mana harus mencariku, bukan?”
“Baik, kek. Aku tahu dan jangan khawatir, aku akan selalu berhati-hati seperti yang selalu kakek ajarkan.”
“Sukurlah, dan engkau masih kurang matang dalam ilmu Hok-mo tung-hoat (Silat Tongkat Penakluk Iblis) itu. Engkau dapat mematangkannya dengan berlatih melawan Siauw Cu. Nah, selamat tinggal. Siauw Cu, bantulah Yen Yen. Sampai jumpa.”
Siauw Cu cepat mengangkat kedua tangan ke depan memberi hormat dan teringat akan pesan Yen Yen tadi, dia mengembangkan tangan kiri yang terkepal itu sebentar, lalu mengepalnya kembali. Pek Mau Lokai tertawa. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Tanda sebagai isarat antar anggota itu bagus sekali.” Sambil masih tertawa gembira kakek itu pergi dengan gerakan yang cepat sehingga sebentar saja dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tinggal Yen Yen dan Siauw Cu yang masih berdiri berhadapan. Satu-satunya penerangan di situ hanya dua buah lilin besar yang berada di dinding gua.
“Heran, mengapa kita harus begini tergesa-gesa, malam-malan meninggalkan tempat ini? Apa lagi kakekmu yang sudah tua, kasihan dia pergi malam-malam ”
“Begini, Cu-sicu. ”
“Ahh, setelah kita menjadi rekan, perlukah engkau menyebut aku sicu (orang gagah) lagi, nona?”
“Hemm, dan engkau juga menyebutku nona!”
Siauw Cu menyadari kesalahannya. “Aku lebih tua darimu, sebaiknya kusebut engkau Yen- moi (adik Yen).”
“Dan engkau kupanggil Cu-toako (kakak Cu). Nah, begini, toako, menurut laporan penyelidik kita, mungkin sekali malam ini mereka akan menyerbu tempat ini. Berbahaya sekali kalau kita tidak pergi sekarang!”
“Mereka? Kaumaksudkan. ”
“Siapa lagi kalau bukan orang-orang Hek I Kaipang jahanam itu! Dan mereka tentu membawa majikan mereka, pasukan Mongol. Penyelidik kita sore tadi melihat bayangan orang berkelebat di bawah, mencurigakan sekali. Maka, kami lalu mengambil keputusan untuk cepat pergi agar jangan terkepung. Nah, mari kita pergi sekarang sebelum terlambat. Kita dapat bicara dalam perjalanan nanti.” Gadis itu memasuki gua dan mengambil sebuah buntalan pakaian. Kiranya dara ini sudah siap.
Setelah meniup padam dua batang lilin, Yen Yen melangkah keluar dan Cu Goan Ciang mengikutinya. Gadis itu lebih hafal jalan di situ. Malam hanya diterangi bintang-bintang saja, kalau tidak hafal benar jalan di daerah itu, orang dapat saja tersesat atau bahkan tergelincir ke dalam jurang.
Baru setengah jam mereka menuruni lereng bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak gua itu, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh dari depan. Yen Yen dan Siauw Cu dapat menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar, mengintai keluar! Nampak sinar obor dan bermunculan puluhan orang dari bawah, orang-orang yang memegang obor dan senjata tajam, jelas di bawah sinar api itu nampak orang-orang berpakaian perajurit dan mereka berpakaian tambal-tambalan serba hitam. Tentara kerajaan Mongol dan orang-orang Hek I Kaipang! Tiba-tiba Yen Yen mencengkeram lengan kiri Cu Goan Ciang. Pemuda ini terkejut dan menoleh. Dia melihat gadis itu tidak memandang kepadanya, melainkan ke depan agak kana. Dia mengikuti pandang mata itu dan alisnya berkerut. Jelas nampak seorang yang pakaiannya kembang-kembang! Anggota pengemis baju kembang! Dan agaknya Yen Yen mengenal orang itu. Sepasang mata gadis itu mencorong mengeluarkan sinar dan mulutnya terkatup tanda bahwa ia menahan kemarahan. Kemudian, tiba-tiba tangan kiri gadis ituu bergerak ketika si baju kembang lewat dalam jarak terdekat dari tempat persembunyian mereka. Terdengar pekik, lalu gaduh, dan Yen Yen sudah menarik tangannya, diajak menyusup pergi meninggalkan tempat itu. Mereka terus berlari menyusup-nyusup, makin jauh meninggalkan lereng bukit dan suara gaduh itu semakin tak terdengar, juga sinar obor itu di tangan banyak orang itu makin tak nampak.
Mereka berlari terus dan menjelang pagi, Yen Yen baru mengajak Siauw Cu berhenti di dalam sebuah gubuk di tepi sungai kecil. Tempat itu sunyi sekali dan agaknya gubuk ini memang merupakan tempat yang sudah amat dikenalnya. Gubuk itu nampak reyot dan tua, namun ketika mereka berdua masuk, ternyata rangkanya terbuat dari kayu yang kuat. Jelas ini sengaja dibuat oleh orang-orang Hwa I Kaipang untuk tempat istirahat atau sembunyi atau bermalam kalau perlu. Dalamnya kosong, akan tetapi di lantai terdapat banyak jerami yang bersih.
“Semalam kita tidak tidur. Kita harus tidur dulu melepas lelah dan mengumpulkan tenaga,” kata Yen Yen.
Cu Goan Ciang memandang aneh. “Ti....tiduar...?” tanyanya sambil memandang ke arah tumpukan jerami.
Gadis itu tertawa, tawanya bebas mengingatkan Goan Ciang kepada kakek Pek Mau Lokai, akan tetapi wajah gadis itu kemerahan, hal yang diketahui oleh pemilik wajah itu sendiri karena terasa mukanya panas dan jantungnya berdebar.
“Hushhh, maksudku, tidak tidur bergantian. Aku tidur dulu engkau berjaga di luar, nanti setelah aku terbangun, engkau mendapat giliran tidur dan aku yang berjaga di luar. Nah, keluarlah, aku mau tidur.” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menjatuhkan diri, rebah miring di atas tumpukan jerami! Goan Ciang melangkah keluar.
“Yen-moi dari sini kita akan ke mana !” dari luar dia bertanya.
“Bukan waktunya bicara. Aku mau tidur, perlu beristirahat. Besok setelah kita memulihkan tenaga kita bicara sepuasnya!” kata Yen Yen dan iapun tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Diam-diam Goan Ciang tersenyum. Gadis ini luar biasa, pikirnya dan diapun teringat kepada Lee Siang. Teringat akan gadis kekasihnya itu, wajahnya menjadi muram dan alisnya berkerut. Akan tetapi, dia mengepal tinju. Tidak! Aku tidak boleh menjadi laki-laki cengeng! Aku harus mengalahkan semua kelemahan i ni, pikirnya. Dia bercita-cita besar, apa akan jadinya dengan cita-citanya kalau urusan kematian kekasih saja membuat dia terkulai lemas? Dan apa gunanya disusahkan? Dia harus berani menghadapi kenyataan. Lee Siang sudah me ninggal dunia dan agaknya itulah yang terbaik bagi Lee Siang. Kalau ia masih hiduppun, aib dan penghinaan itu akan menghantui kehidupan selanjutnya, akan selalu merasa hina, rendah, kotor. Dia mengenal watak Lee Siang yang gagah dan keras. Banyak persamaan Yen Yen dengan Lee Siang. Hanya bedanya, Yen Yen benar-benar keras seperti baja, sedangkan Lee Siang masih memiliki kelemahan, yaitu amat setia dan penurut terhadap sucinya pada hal sucinya adalah seorang wanita yang amat kejam dan jahat. Lega hatinya kalau mengingat betapa dia telah membuntungi sebelah lengan Liu Bi. Setidaknya dia sudah dapat sedikit membalas kematian Lee Siang. Akan tetapi, tidak perlu berpikir tentang urusan pribadi, demikian dia mencela diri sendiri. Dia teringat akan percakapannya dengan Pek-mou Lo-kai. Memang, kalau dia benar-benar hendak berjuang, dia harus mengesampingkan semua urusan pribadi, mementingkan urusan perjuangan. Dan dia akan berjuang sekuat tenaga, demi demi
apa? Mulutnya tentu akan mudah mengatakan demi tanah air dan bangsa, membebaskan mereka dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi ada bisikan di hatinya yang sesungguhnya amat dibencinya. Bisikan liirih itu berkata bahwa dia berjuang demi mencapai puncak kekuasaan! Dia akan menunjukkan kepada dunia bahwa dia, anak dusun yang yatim piatu dan miskin, gelandangan yang tidak mempunyai rumah, dia dapat menjadi orang yang paling hebat di dunia ini, paling berkuasa! Dia berpegang kepada cita-cita ini, melekat dengan cita- cita ini sehingga dia dengan mudah dapat melupakan Lee Siang dan yang lain-lain. Biarlah Lee Siang mati sebagai pupuk bagi tercapainya cita-cita! Dan diapun duduk bersila di luar gubug itu, tidak berani tidur sama sekali, melainkan waspada menjaga kalau-kalau ada ancaman bahaya bagi mereka, yaitu dia dan Yen Yen.
Matahari mulai memuntahkan cahanya, menggugah ayam-ayam jantan dan burung-burung yang berkeruyuk dan berkicau dengan gembira menyambut datangnya fajar. Sudah kurang lebih dua jam Yen Yen tidur dan mendengar keruyuk ayam jago, dara yang peka inipun terbangun. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap, lalu meraih buntalan pakaian yang tadi ia pergunakan sebagai bantal, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Mendengar langkah lembut itu, Goan Ciang menoleh dan melihat Yen Yen yang rambutnya masih awut-awutan, namun kebetulan ia berdiri menghadap ke timur sehingga cahaya kemerahan jatuh ke mukanya, membuat ia nampak cantik jelita seperti dewi pagi, Goan Ciang memandang terpesona. Akan tetapi, cepat dia dapat menekan perasaannya dan bangkit berdiri.
“Kau sudah bangun?”
Yen Yen mengangguk, sebetulnya masih merasa sayang meninggalkan jerami empuk dan hangat itu, akan tetapi ia berkata, “Sekarang giliranmu tidur, aku berjaga di luar.”
“Tapi aku. ”
“Sudahlah, cepat tidur, pulihkan tenagamu, mungkin kita memerlukannya nanti.”
Goan Ciang tersenyum mendengar nada memerintah dalam ucapan itu dan seperti seekor anak domba penurut, diapun memasuki gubuk, diikuti pandang mata gadis itu yang tersenyum.
Ketika tiga jam kemudian gadis itu menggugahnya dengan panggilan dari luar, Goan Ciang terbangun.
“Cu-toako, bangun! Sudah siang, engkau sudah cukup tidur! Kita harus melanjutkan perjalanan kita!” Agaknya sudah berkali-kali gadis itu memanggilnya sehingga dalam suara itu terkandung nada jengkel.
“Baik, aku sudah terbangun!” kata Goan Ciang, menggeliat dengan enaknya mengurisr semua rasa lelah dan pegal-pegal pada sendi-sendi tulangnya. Dia menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, lalu merapikan rambutnya dengan kedua tangan, bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Begitu tiba di luar, dia terkejut bukan main. Tidak nampak Yen Yen di situ, melainkan seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti pemuda petani desa, pakaian butut dan muka serta tangannya tidak bersih, kepalanya tertutup caping petani butut pula.
“Heiii! Siapa engkau dan di mana nona yang tadi duduk di sini?” bentak Cu Goan Ciang, siap untuk menyerang karena dalam keadaan seperti itu, kecurigaan telah mencengkeram hatinya.
Pemuda remaja yang seperti petani lugu itu nampak ketakutan, membungkuk-bungkuk dan berkata suara gemetar, “Jangan marah, tuan. ”
“Cepat katakan siapa engkau dan di mana nona tadi, atau. akan kuhajar engkau! Cepat
jawab!!” Melihat orang itu ketakutan, kecurigaan hati Goan Ciang menjadi-jadi sehingga dia menggertaknya agar cepat mengaku karena dia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Yen Yen.
Pemuda itu menjadi semakin takut mendengar ancaman Goan Ciang. Dia menjatuhkan diri berlutut. “Ampun, kongcu, ampun tai-hiap....harap jangan pukul saya....ampun. ”
“Tolol, cepat jawab, pertanyaanku tadi!” Goan Ciang membentak dengan marah. “Nona...nona tadi telah pergi dan meninggalkan pesan untuk saya katakan kepadamu. ”
“Hayo katakan, apa pesan itu!” bentak pula Goan Ciang tak sabar lagi.
“Pesan nona adalah bahwa matahari telah naik tinggi akan tetapi kalau tidak dibangunkan, taihiap belum bangun itu tandanya taihiap malas, dan taihiap tidak mengenalnya, itu tandanya taihiap bodoh!”
“Hah. ??” Goan Ciang marah sekali dan maju hendak memukul, akan tetapi dengan gerakan
kilat, pemuda dusun itu sudah menyerangnya lebih dahulu dengan sebatang tongkat!”
“Ehhh. ??” Goan Ciang cepat mengelak, akan tetapi tongkat itu menyerangnya bertubi-tubi
dengan gerakan yang amat dahsyat, dan dia segera mengenal ilmu tongkat yang hebat itu. Itulah ilmu tongkat yang kemarin dimainkan oleh Yen Yen untuk menyerangnya! Diapun cepat memainkan Sin tiauw wu ciang hota untuk melindunginya, danbaru setelah dia memainkan ilmu ini, pemuda dusun itu terdesak dan akhirnya meloncat ke belakang, agak terhuyung.
“Kenapa engkau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya, mengira bahwa pemuda ini tentu seorang murid lain dari Pek Mau Lokai yang lihai sekali, tidak kalah lihai dibandingkan Yen Yen.
“Hemm, bukankah kakek memsan kepadaku agar mengajakmu berlatih untuk kemajuan ilmuku?” terdengar suara Yen Yen dan Goan Ciang kini terbelalak memandang pemuda remaja itu yang tertawa lepas di depannya, tawa khas Yen Yen!
“Yen-moi! Kau. ? Ih, apa-apaan engkau ini? Menyamar seperti ini dan mempermainkan aku. ”
“Toako, aku telah dikenal banyak orang, kalau tidak menyamar tentu dalam waktu setengah hari saja memasuki sebuah dusun atau kota aku akan dikenal dan ditangkap. Dan aku tidak mempermainkanmu, hanya untuk menguji apakah penyamaranku cukup baik.”
“Wah, baik sekali, Yen-moi. Sungguh mati, sedikitpun aku tidak pernah mengira bahwa engkaulah pemuda remaja dusun yang ketolol-tololan dan penakut ini! Engkau memang hebat!”
“Pemuda” yang nampak masih muda sekali itu tertawa. “Sudah, simpan pujianmu itu dan cepat mandi. Di sana ada sumber air jernih dan ini aku membawakan pengganti pakaian untukmu.” Dari buntelan pakaiannya, Yen Yen mengeluarkan satu stel pakaian berwarna biru terbuat dari kain yang kuat dan bentuknya sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai orang dusun. Akan tetapi pakaian itu bersih sekali.
Wajah Goan Ciang berubah kemerahan. “Aih, aku menyusahkanmu saja, Yen-moi. Akan tetapi, di tempat sunyi ini, dari mana engkau bisa mendapatkan pengganti pakaian untukku?” Dia mengamati wajah Yen Yen dan diam-diam merasa kagum dan geli. Setelah ini dia tahu bahwa ‘pemuda’ itu adalah Yen Yen, maka dari muka yang nampak kotor itu, dia dapat mengenal wajah Yen Yen.
“Tentu saja tidak mungkin mendapatkan pakaian di sini! Aku memang sengaja membawanya, kumintakan dari seorang di antara anggota kita yang kebetulan membawa bekal pakaian dan yang bentuk tubuhnya sama denganmu. Sudahlah, cepat mandi dan berganti pakaian, kita harus melanjutkan perjalanan.”
“Ke mana ”
“Nanti saja! Mandi dulu!” kata Yen Yen dengan sikap seorang ibu membentak anaknya yang banyak rewel.
Goan Ciang pergi ke sumber air yang memang airnya bening itu. Dia segera menanggalkan pakaiannya dan mandi, menggosok-gosok bersih debu yang menempel di kulit tubuh bersama keringat. Tangannya menggosok dengan batu halus, mulutnya bersiul dan matanya ber sinar- sinar, hatinya merasa gembira bukan main. Tiba-tiba siulnya terhenti dan dia termenung.
Betapa mudahnya dia melupakan Lee Siang! Akan tetapi, segera dia mengusir penyesalan ini. Untuk apa berduka terus mengenangkan seorang yang sudah mati? Tidak, masa depan yang harus dipandangnya, cita-citanya. Masa lalu sudah mati dan lewat, tidak boleh mengganggu ketenteraman hatinya. Kini bukan lagi Lee Siang yang harus dikenang, melainkan Yen Yen! Gadis inipun hebat, seperti Lee Siang, bahkan lebih lagi. Dengan Yen Yen di sampingnya, dia akan mampu berbuat banyak! Diapun bersiul lagi dan melanjutkan mandinya sehingga dia merasa segar lahir batin dan setelah mencuci pakaiannya, dia kembali ke gubuk dengan pakaian bersih yang ukurannya pas dengan tubuhnya.
Yen Yen menyambutnya dengan perintah. Twako, duduklah di atas batu ini dan jangan bergerak-gerak.” Dengan heran Goan Ciang duduk dan melihat gadis itu menghampirinya dengan sebuah kotak kecil di tangan. Ketika gadis itu berjongkok di depannya dan mengamati wajahnya dari jarak dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas gadis itu mengusap pipinya, dia semakin heran. “Hemm, apa lagi ini, Yen-moi?” akhinrnya saking tak tahan untuk mengetahui, dia bertanya.
“Aku sedang mempelajari bentuk mukamu, apa kiranya yang paling menonjol dan mudah diingat orang,” jawab Yen Yen. Goan Ciang tidak mengerti dan semakin heran, juga agak rikuh karena gadis itu mengamati wajahnya seperti orang mengamati dan menilai sebuah benda yang aneh!”
“Apa sih maksudmu?” tanyanya, alisnya berkerut.
“Alismu! Benar, alismu mempunyai bentuk istimewa, harus diubah!” “Apa? Apa maksudmu?”
“Toako, semua orang akan mengenalmu. Bahkan gambarmu dipasang di mana-mana sebagai seorang buruan. Apakah engkau senang dengan keadaan ini? Kita tidak akan dapat bergerak dengan leluasa. Engkaupun seperti aku, harus menyamar.”
“Hemm, itukah maksudmu! Kenapa tidak bilang sejak tadi? Akan tetapi, aku tidak pernah menyamar dan. ”
“Serahkan saja kepadaku. Bukankah engkau tadi tidak mengenalku? Aku ahli menyamar, dan kalau aku sudah selesai dengan wajahmu, bahkan orang yang paling dekat denganmu tidak akan mengenalmu lagi.”
“Kau hendak mencoreng moreng mukaku?”
“Tidak. Penyamaran dengan mencoreng moreng muka adalah penyamaran kasar dan bodoh, hanya dilakukan para pemain wayang di panggung, dengan bedak tebal, gincu dan sebagainya. Nah, duduklah diam. Aku akan mengubah sedikit bentuk alismu yang seperti bentuk golok itu.”
Goan Ciang maklum akan kebenaran pendapat Yen Yen. Memang dia akan dikenal orang di mana-mana karena pemerintah Mongol telah memasang gambarnya sebagai seorang buronan. Dan dia tentu tidak akan leluasa bergerak. Maka, diapun pasrah saja. Akan tetapi, melihat wajah gadis itu demikian dekat dengan wajahnya, walaupun itu sudah seperti wajah seorang pemuda, membuat dia merasa canggung dan untuk mengatasi getaran jantungnya, diapun memejamkan matanya. Dia tadi melihat gadis itu mengambil alis mata palsu, dengan bulu rambut alis yang aseli, menggunakan gunting dan merasa setelah dia memejamkan mata betapa gadis itu membongkar dan menambah rambut alisnya, menggunakan semacam getah sebagai alat penempel. Bentuk alisnya diubah, mungkin dipertebal dan diperpanjang.
“Alis tambahan ini akan melekat terus, biar kau gosok dan cuci dengan airpun tidak akan dapat lepas, kecuali kalau kaucabuti. Itupun mungkin akan membuat kulinya terluka dan berdarah. Satu-satunya cara untuk melepas alis palsu itu adalah menggunakan semacam minyak jarak yang ada padaku. Nah, sekarang giliran alismu sudah berubah. Matamu juga harus diubah bentuknya.”
Goan Ciang terkejut. “Ihh! Apakah mataku akan kausayat-sayat pelupuknya?”
Gadis itu tertawa dan Goan Ciang memejamkan mata lagi untuk melihat kilatan gigi putih seperti mutiara berderet, ujung lidah yang merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi.
“Tentu saja tidak! Matamu terlalu lebar, mudah diingat orang. Kalau ujungnya diberi sedikit goresan, akan nampak sipit seperti mata orang kebanyakan.” Gadis itu kini menggunakan pena bulu dengan semacam tinta hitam yang tidak dapat luntur, membuat garis di kedua tepi mata Goan Ciang. Seperti seorang pelukis, ia membuat garis hitam, lalu mundur untuk melihat hasilnya, mencoret lagi sampai akhirnya ia menghela napas lega dan puas.
“Bagus, sekarang bentuk matamu sudah berubah. Garis hitam di tepi matamu inipun tidak akan hilang oleh air, akan tetapi jangan digosok terlalu kuat kalau engkau mandi atau mencuci muka, terutama jangan dengan air panas. Sekarang, coba kulihat apa lagi yang perlu diubah agar wajahmu benar-benar kehilangan jejak bentuk lamanya.”
Sekarang Goan Ciang sudah menyerah benar-benar. Jari-jari tangan yang terasa halus dan hangat itu meraba-raba mukanya, membuat dia memejamkan mata dan merasa nyaman sekali, membuatnya mengantuk lagi!
“Hemm, coba kulihat. Telingamu tidak menyolok, seperti telinga orang biasa, akan tetapi dahimu terlalu lebar dan bentuknya mengandung wibawa, sebaiknya ditambah rambut di depan sehingga akan nampak lebih kecil. Kemudian, kalau ada kumis dan jenggot, ditambah sedikit cambang, dan bentuk gelung rambutmu diubah, hemm, tak seorangpun akan mengenalmu lagi, toako!” Gadis itu nampak gembira lalu mengerjakan semua rencananya itu. Menempel sana menempel sini dan dalam waktu kurang dari sejam, kini Goan Ciang telah berkumis, berjenggot dan cambangnya memanjang sampai ke pipi, dahinya tidak selebar tadi, matanya sipit dan alisnya tebal panjang!
“Nah, coba kau periksa wajahmu sendiri, masih kurang apa untuk mengubahnya menjadi lain sama sekali.” Gadis itu mengeluarkan sebuah cermin kecil bundar dan menyerahkannya kepada Goan Ciang. Ketika Goan Ciang melihat wajahnya sendiri dalam cermin, dia tertegun. Mukanya berubah merah. Dia seperti melihat seorang laki-laki lain, wajah yang tidak disukanya, dalam cermin itu! Dengan cambang, kumis dan jenggot, matanya sipit dan alis tebal, apa lagi dahi sempit itu dia kelihatan kejam dan licik!
“Ihh! Tampanku seperti seorang bandit!” serunya. Gadis itu tertawa senang. Makin kaget dan marah Goan Ciang, akan makin senanglah hatinya karena hal itu membuktikan bahwa pekerjaannya berhasil baik.
“Bagus, penyamaranmu sempurna, Hung-toako!” katanya seperti bersorak. “Hung-toako? Apa lagi ini?”
“Toako, tentu saja namamu harus diganti. Mulai sekarang engkau bernama Hung Wu dan aku menyebutnya Hung-toako (kakak Hung), sedangkan engkau menyebut aku Yen-te (adik Yen). Nama Yen adalah nama umum, aku tidak perlu mengganti nama sama sekali, cukup dengan nama Siauw Yen (Yen kecil) saja. Lebih mudah bagimu, bukan?”
Diam-diam Goan Ciang kagum bukan main. Gadis ini memikirkan segala hal. Seorang gadis yang amat cerdik, dan sekarang dia tidak merasa heran mengapa seorang kakek bijaksana seperti Pek-mou Lo-kai menyerahkan kepemimpinan perkumpulan besar seperti Hwa I Kaipang kepada seorang gadis! Kiranya gadis ini memang cerdik sekali. “Baiklah, Yen-te. Sekarang, kita akan ke mana?” “Memasuki kota Nan-king?”
Goan Ciang membelalakkan matanya, tidak menyadari betapa lucunya ketika dia terbelalak sehingga gadis yang berubah menjadi pemuda remaja itu tertawa terpingkal-pingkal sehingga kotak alat penyamaran yang dipegangnya terlepas, kotaknya terjatuh, tutupnya terbuka dan isinya berantakan. Sambil mengambili isi kotak, Yen Yen masih tertawa terpingkal dan kadang memegangi perutnya.
“Siauw Yen! Apa sih yang kau tertawakan sampai setengah mati begitu?” tanya Goan Ciang.
“Toako, ingat, jangan sekali-kali engkau membelalakkan matamu seperti tadi. Aku pasti tidak dapat menahan untuk tidak tertawa terpingkal-pingkal. Kalau matamu yang berubah sipit itu kaubelalakkan, aduh, sungguh lucu sekali, mengingatkan aku akan seorang badut di panggung wayang yang pernah kutonton ketika aku berkunjung ke kota raja Peking.”
“Hemm, engkau hendak mempermainkan dan mentertawakan aku?” kata Goan Ciang cemberut, marah karena dia dikatakan seperti badut.
“Maaf, toako. Maafkan adikmmu, ya? Sungguh mati, aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Bahkan itu tandanya bahwa penyamaranmu amat baik. Nah, mari kita berangkat, toako, sekali lagi maafkan aku!” Yen Yen memegang tangan pemuda itu dan menggandengnya. Lenyap seketika kemarahan dari hati Goan Ciang ketika mereka berjalan sambil bergandeng tangan.
“Yen-te, katakan, mau apa kita ke Nan-king? Bukankah tempat itu berbahaya sekali, penuh dengan pasukan keamanan dan mempunyai banyak perwira yang tangguh?”
“Kita harus menyelidiki para pengkhianat itu! Hek I Kaipang harus kita hancurkan! Merekalah yang mengkhianati kita. Para pengkhianat itu lebih berbahaya dari pada orang Mongol sendiri. Kalau orang Mongol, sudah jelas musuh kita. Akan tetapi para pengkhianat itu, merupakan musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Aku lebih membenci mereka dari pada para penjajah itu sendiri.”
“Hemm, itukah sebabnya engkau tadi membunuh anggotak Hwa I Kaipang yang agaknya mengkhianati kita dan melaporkan tentang pertemuan di bukit batu?”
Yen Yen mengangguk, “Aku serang dia dengan pisau terbangku. Pengkhianat seperti dia tidak boleh diampuni. Kalau dia tidak terlambat, tentu malam tadi kita telah dikepung pasukan! Ini semua gara-gara Hek I Kaipang, dan para kaipang yang rela menjadi antek penjajah Mongol!”
“Akan tetapi, hanya kita berdua, apa yang dapat kita lakukan menghadapi mereka? Kakekmu sendiri sudah memperingatkan agar kita berhati-hati kalau berhadapan dengan para pemimpin Hek I Kaipang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apa yang dapat kita lakukan?
Menyerbu Hek I Kaipang dengan tenaga kita berdua saja?”
“Aih, toako, apakah engkau kira aku begitu bodoh? Tidak, aku belum ingin bunuh diri dan mati konyol. Kita menyelundup ke Nan-king dan kita mempelajari keadaan. Kita menyelidiki sampai di mana keakraban hubungan antara Hek I Kaipang dan para pembesar Mongol. Dengan penyamaran ini, kita dapat bergerak leluasa, menjadi dua orang pemuda yang datang dari dusun ke kota itu, untuk mencari pekerjaan, mencari pengalaman atau sekadar bertualang. Kita tidak akan dapat menyolok, tidak akan ada yang mencurigai kita.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan hati Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, gadis yang luar biasa itu tidak pernah memperlihatkan dengan sikap, kata-kata maupun perbuatan tentang isi hatinya, yang oleh kakek Pek-mou Lo- kai dikatakan bahwa gadis itu telah memilih dia sebagai calon jodoh!
Kita tinggalkan dulu Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang menyamar sebagai kakak beradik dari desa yang pergi ke kota Nan-king, dan mari kita mengikuti perjalanan pemuda Shu Ta, sute dari Cu Goan Ciang. Pemuda murid Lauw In Hwesio ini melakukan perjalanan seorang diri.
Shu Ta juga seperti Cu Goan Ciang, yatim piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini. Usianya sebaya dengan suhengnya, sekitar dua puluh tahun. Akan tetapi pemuda yang tampan ini memiliki kecenderungan untuk brewok. Kumis dan jenggot serta cambangnya tumbuh dengan subur memenuhi setengah wajahnya yang tampan. Karena merasa belum pantas memelihara kumis jenggot, maka dia sering kali mencukurnya, akan tetapi baru dicukur beberapa hari saja sudah nampak rambut yang subur itu tumbuh lagi.
Berbeda dengan Goan Ciang yang agak pendiam, Shu Ta ini orangnya cerdik dan lincah, banyak akalnya. Ketika dia berpisah dari suhengnya, selama beberapa jam melakukan perjalanan seorang diri, perasaan hatinya tertekan, seolah dia merasa kehilangan. Sejak kecil, dia berada di kuil Siauw-lim-si, menjadi kacung kuil sampai dia bertemu dengan Goan Ciang, belajar silat bersama. Kemudian mereka berdua meninggalkan kuil untuk mencari pengalaman, dan bersama-sama menundukkan keluar Ji dan keluarga Koa di dusun Cang-cin sehingga kedua keluarga yang tadinya menjadi penindas rakyat itu berbalik kini menjadi dermawan dan pelindung rakyat di dusun itu.
Kalau Cu Goan Ciang dari dusun itu pergi ke kota Wu-han, maka Shu Ta pergi menuju ke kota Nan-king. Dia tidak menolak ketika hendak meninggalkan dusun itu dia diberi bekal oleh dua orang kakak beradik Koa. Dia memang membutuhkan biaya dalam perjalanan, sebelum dia mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Dan bekal yang diterimanya itu cukup untuk membiayainya melakukan perjalanan ke kota Nan-king. Dahulu, ayah dan ibunya pernah tinggal di kota besar ini. Di waktu dia berusia lima enam tahun, dia pernah tinggal di kota itu dan masih ingat akan kebesaran dan keindahannya, dan oleh karena itulah maka kini dia menuju ke Nan-king.
Seperti juga Cu Goan Ciang, di sepanjang perjalanan Shu Ta melihat kesengsaraan rakyat, terutama yang hidup di pedusunan dan dia merasa prihatin sekali. Agaknya pemerintah penjajah sama sekali tidak mau memperdulikan nasib rakyat dari negara yang dijajahnya. Para pejabat pemerintah penjajah hanya memikirkan kesenangan diri sendiri masing-masing, dari kaisarnya sampai pejabat paling kecil. Bukan saja mereka tidak memperdulikan nasib rakyatnya, tidak mengulurkan tangan untuk menolong, sebaliknya mereka bahkan melakukan pemerasan di sana-sini, demi untuk memenuhi kantung mereka yang sudah penuh.
Pada suatu hari, tibalah dia di jalan yang melintasi sebuah bukit kecil, di sebelah utara kota Nan-king. Dari tempat itu, ke Nan king masih sejauh tiga puluh li lagi. Tengah hari itu amatlah teriknya. Tubuh Shu Ta sudah basah oleh keringat, maka diapun berhenti di tepi jalan, duduk di bawah pohon besar yang rindang. Jalan itu sepi sekali. Dia menurunkan buntalan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah guci yang terisi air jernih.
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda. Dia memegang guci dan tidak jadi membuka tutupnya karena dua ekor kuda yang berlari congklang ke tempat itu menimbulkan debu.
Tidak sehat kalau dia minum pada saat itu, tentu banyak debu ikut memasuki mulutnya. Dia mengangkat muka memandang. Dua ekor kuda yang bagus, tinggi besar, jelas kuda-kuda pilihan yang mahal. Juga pakaian kudanya menunjukkan bahwa penunggangnya adalah orang-orang kaya. Dan memang benar. Pemuda dan gadis yang menunggang kuda itu jelas orang kaya, bahkan tentu bangsawan karena pakaian mereka yang indah. Dari model topi mereka, Shu Ta dapat menduga bahwa mereka yang berkedudukan tinggi dan kaya raya.
Yang mengherankan hatinya, kalau mereka itu putera dan puteri bangsawan tinggi Mongol, kenapa berkeliaran berdua saja tanpa pengawal? Biasanya, para pembesar Mongol kalau keluar kota selalu dikawal ketat karena tentu saja ada kemungkinan mereka diserang oleh para pemberontak, yaitu patriot-patriot yang memusuhi penjajah Mongol.
Kedua orang itu tiba-tiba menahan kuda mereka dan memandang kepada Shu Ta. Shu Ta yang tadi mengamati mereka, merasa canggung. Pemuda Mongol itu tampan dan gagah, akan tetapi gadis itu lebih hebat lagi. Begitu cantik jelita dan memiliki sepasang mata yang demikian tajam seperti sepasang bintang! Dia menjadi gugup dan menuangkan air jernih dari guci mulutnya. Dia mendengar suara wanita bicara kepada pemuda itu dan si pemuda bangsawan berseru.
“Heii, sobat, jangan dihabiskan air itu!”
Tentu saja dia terkejut dan heran, menunda minumnya dan menutupi lagi guci arinya dengan cepat agar tidak kemasukan debu yang masih mengepal. Kini dua orang muda bangsawan itu sudah turun dari kuda, membiarkan kuda mereka makan rumput dan mereka melangkah menghampirinya. Shu Ta tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang seperti orang kehilangan akal. Dia merasa heran mengapa tidak timbul kebencian dalam hatinya terhadap mereka, seperti yang dibayangkannya dahulu ketika dia masih berada di kuil. Kalau dia membayangkan orang Mongol, selalu timbul kebencian di hatinya karena mereka telah menjajah tanah air dan bangsanya. Akan tetapi, kini berhadapan dengan seorang pemuda dan seorang gadis Mongol, entah mengapa, dia tidak merasakan kebenciannya itu! Memang tidak mengherankan karena muda mudi itu sama sekali tidak mempunyai penampilan yang cukup untuk menimbulkan perasaan benci.. Mereka memiliki gerak-gerik yang lembut, sikap mereka halus dan pandang mata merekapun riang dan tidak mengandung kekerasan atau kesombongan seperti yang seringkali dia dengar.
“Maafkan kami, sobat. Tadi adikku melihat engkau minum dan kami memang sedang kehausan. Dalam keadaan hampir mati kehausan ini, tidak ada yang lebih nikmat dari pada air jernih. Kalau engkau tidak keberatan, sobat. Bolehkah kami minta sedikit air minum dari gucimu itu?”
Shu Ta memandang bengong. Dua orang muda bangsawan Mongol yang begitu kaya raya kini minta air minum darinya di tengah jalan yang sunyi? Dia sendiri tidak akan percaya kalau mendengar orang bercerita seperti itu. Biasanya, demikian yang sering didengarnya, orang- orang Mongol menganggap orang pribumi seperti binatang saja, memandang remeh dan rendah. Akan tetapi, pemuda bangsawan ini bersikap demikian ramah, sopan dan bersahabat. Minta air minum dari gucinya! Seperti dalam mimpi saja, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dia menyodorkan guci air minumnya yang masih tiga perempat penuh kepada pemuda bangsawan itu.
Pemuda Mongol yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu menerima guci air dan menyerahkannya kepada gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu tanpa bicara pula. Gadis itu menerima guci, menoleh dan memandang kepada Shu Ta dengan mata bintangnya, kemudian membuka tutup guci dan menengadahkan mukanya, lalu menuangkan air jernih dari guci itu ke dalam mulutnya yang dibuka sedikit. Gerakannya luwes dan tidak tergesa-gesa, air yang dituangkannya pun mengalir kecil memasuki rongga mulutnya dan nampak lehernya bergerak-gerak lembut ketika ia minum dan menelan air itu. Agaknya ia memang haus sekali, ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dan memberikan guci kepada kakaknya. Terdengar suaranya yang merdu dan sama sekali tidak terdengar asing, seolah ia seorang gadis Han aseli.
“Bukan main nikmat dan lezatnya air ini!”
Pemuda bangsawan itu tersenyum, lalu diapun minum beberapa teguk, kemudia menutup kembali guci itu dan menyerahkannya kepada Shu Ta yang masih tertegun.
“Enak sekali! Engkau tahu, adikku, apa yang membuat air jernih ini demikian enaknya?”
“Tentu saja aku tahu. Kehausan kita itulah yang menjadikan air apapun terasa enak, bukankah begitu?”
“Ha-ha, engkau pintar. Memang, tidak ada minuman yang enak melebihi enaknya air biasa bagi seorang yang kehausan, dan tidak ada makanan seenak makanan bagi seorang yang kelaparan!”
Shu Ta kagum. Dua orang kakak beradik bangsawan Mongol ini jelas bukan orang-orang sombong yang bodoh, mereka terpelajar.
“Banyak terima kasih atas kebaikanmu memberi minuman kepada kami, sobat. Kami juga ingin beristirahat di sini. Sekalian membiarkan kedua ekor kuda kami beristirahat. Hari amat panasnya. Kami tidak mengganggumu, bukan?” kata pemuda bangsawan itu.
Shu Ta tidak menjawab, seperti tadi, dia tidak mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala tanda bahwa dia tidak berkeberatan. Pemuda dan gadis itupun duduk di atas batu. Pemuda itu langsung duduk, akan tetapi gadis itu meniup untuk membersihkan debu dari batu sebelum ia mendudukinya.
Sejak tadi, Shu Ta memandang penuh perhatian karena dia benar-benar merasa heran bukan main. Mereka itu jelas anak-anak bangsawan Mongol, kaya-raya, pakaian mereka indah. Kuda mereka saja demikian hebat dan mahal harganya. Orang biasa bekerja beberapa tahun lamanya belum tentu dapat membeli seekor kuda seperti itu! Dan anehnya, mereka itu mau duduk-duduk di atas batu dengan dia, bahkan telah minum air jernih biasa dari guci airnya, minum tanpa cawan, dituang begitu saja ke mulut! Orang-orang apakah mereka ini? Dia memandang penuh perhatian. Pemuda Mongol itu berusiah dua puluh dua tahun, tampan dan gagah sekali, juga wajahnya cerah dan mulutnya selalu dihiasi senyum. Gerak-gerinya halus dan ketika bicara tadipun lembut dan kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Adapun gadis Mongol yang menjadi adiknya itu berusia delapan belas tahun, juga cantik jelita, terutama sekali matanya yang lebar dan tajam sinarnya itu dan mulutnya yang menggairahkan. Pendeknya, banyak pemuda dan gadis tentu akan terpesona dan tergila-gila melihat mereka berdua!
Agaknya sikap mereka yang lembut dan sama sekali tidak membayangkan kecongkakan sikap para bangsawan pada umumnyalah yang membuat Shu Ta sama sekali tidak merasa marah atau benci kepada mereka. Dia tahu bahwa andaikata kedua orang ini bersikap tinggi hati, pasti dia akan membenci mereka karena maklum bahwa mereka ini adalah orang-orang Mongol si penjajah!
Kakak beradik bangsawan Mongol itupun beberapa kali memandang kepada Shu Ta dan akhirnya gadis itu tertawa, suara tawanya merdu dan agak bebas, tidak seperti tawanya gadis Han yang biasanya menahan suara tawa mereka bahkan menutupi mulut dengan ujung lengan baju. Gadis ini tertawa begitu saja tanpa menutupi mulutnya dan dia teringat kepada Ji Kui Hwa, puteri Hartawan Ji di dusun Cang-cin itu. Kui Hwa juga suka tertawa bebas, akan tetapi masih menundukkan mukanya seperti hendak menyembunyikan mulutnya. Gadis Mongol ini tidak menunuduk malah mengangkat muka memandang langit sehingga Shu Ta dapat melihat mulut yang agak terbuka itu dan sekilas dapat melihat rongga mulut yang merah dan deretan gigi yang putih mengkilap.
“Heh-heh-heh, koko (kakak), sobat ini melihat kita seperti orang yang selamanya belum pernah melihat orang-orang seperti kita. Dipandang seperti itu, aku mempunyai perasaan aneh, seolah-olah mataku tiga, atau ada tanduk di atas kepalaku!”
Pemuda itu tertawa pula dan memandang kepada Shu Ta. “Moi-moi (adik), pemuda mana yang tidak akan memandangmu dengan terpesona? Engkau terlalu cantik jelita bagi mata setiap orang pemuda.”
“Ihhh, koko! Jangan mengejekku. Engkaulah yang terlalu tampan sehingga banyak gadis tergila-gila kepadamu dan mengitarimu seperti sekelompok kupu-kupu menyerbu setangkai kembang.”
“Wah, itu terbalik namanya, Mimi! Akulah kupu-kupu atau kumbangnya, dan merekalah kembang-kembangnya, ha-ha-ha!” Pemuda itu tertawa dan dia kini menghadapi Shu Ta. Suaranya ramah bersahabat ketika dia bicara kepada Shu Ta.
“Sobat, agar menenangkan dan meyakinkan hati adikku yang manja ini, maukah engkau mengaku sejujurnya, kenapa engkau memandangi kami seperti itu? Seperti orang terpesona dan terheran-heran?”
Sejak tadi Shu Ta telah mampu menguasai perasaannya. Dia melihat betapa kakak beradik ini bicara dalam bahasa pribumi yang amat fasih sehingga mudah diduga bahwa mereka memang sehari-hari mempergunakan bahasa pribumi, bukan bahasa Mongol. Juga mereka saling menyebut koko dan moi-moi seperti kebiasaan orang pribumi, Sebuah kenyataan menambah kekaguman dan keheranannya, yaitu betapa kedua orang muda bangsawan ini berwatak jujur, terus terang dan suka pula bergurau.
“Terus terang saja, aku memang terpesona dan terheran-heran, akan tetapi bukan karena keindahan wajah kalian, walaupun kalian tampan dan cantik seperti dewa dan dewi.”jawab Shu Ta yang memang pandai bicara sambil tersenyum, siap untuk menyerang keturunan penjajah ini secara halus.
“Ehh? Kalau begitu, apa yang kauherankan?” Gadis itu bertanya, ingin tahu sekali, “Jangan- jangan benar ada sesuatu yang aneh pada diriku! Apakah ada coreng moreng pada mukaku? Apakah ada pakaianku yang terbalik memakkainya, atau jangan-jangan tumbuh tanduk benar- benar di kepalaku!” Ia meraba-raba kepalanya yang tertutup topi bulu yang indah. Kakaknya tertawa mendengar kelakar adiknya dan Shu Ta juga tersenyum. Bagaimana mungkin dia dapat menyinggung perasaan hati seorang gadis yang begini polos dan lucu? Tapi ia seorang gadis Mongol, bantah pikirannya sendiri.
“Yang membuat aku heran adalah keadaan dan sikap kalian. Kalau kalian ini kakak beradik dari dusun, orang-orang miskin yang tidak mempunyai sepeserpun uang di saku, yang mempunyai kaki dengan sepatu butut yang melakukan perjalanan, dengan pakaian butut, yang setiapsaat disiksa rasa lapar dan haus tanpa mampu membeli makanan dan minuman, maka aku tentu tidak akan merasa heran melihat kalian minta air minum padaku dan duduk di sini bersamaku. Akan tetapi kalian adalah dua orang bangsawan muda yang kaya-raya, berlebih- lebihan dan berlimpahan, dua ekor kuda kalian saja akan mampu memberi makan kepada orang sedusun yang kelaparan kalau dijual. Dan kalian minta air minum padaku dan duduk di atas batu. Ini aneh sekali!”
Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka senyum pahit. Pemuda itu menarik napas panjang. “Aihh, sejak kami masih kecil, betapa seringnya kami mendengar keluhan dan protes, walaupun belum pernah ada yang bicara sedemikian terang- terangan dan tanpa takut seperti engkau, sobat! Kami kakak beradik sejak mulai dapat berpikir, telah melihat keadaan rakyat jelata yang dilanda kemiskinan, akan tetapi apa yang dilakukan oleh dua orang kakak beradik seperti kami? Eh, kalau boleh kami mengetahui, engkau ini siapakah? Jelas bukan pemuda dusun. Cara bicaramu teratur dan berisi. Apakah engkau seorang pendekar?”
Shu Ta menunduk, sikapnya acuh dan menggeleng kepala tanpa menjawab. Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian si adik yang bicara, “Sobat, kami tidak ingin memaksakan kehendak untuk berkenalan. Akan tetapi, engkau boleh tahu bahwa namaku Bouw Mi, biasa dipanggil Mimi, dan ini kakakku bernama Bouw Ku Cin dan kami berdua adalah putera dan puteri Menteri Bayan yang tinggal di kota raja Peking. Kami sedang melakukan perjalanan tamasya dengan tujuan terakhir kota Nan-king. Nah, kami sudah memperkenalkan diri. Apakah engkau masih terlalu tinggi untuk berkenalan dengan kami, dua orang muda bangsa Mongol yang merasa bahwa kami sama sekali bukan orang?”
Melihat Shu Ta masih bersikap acuh, walaupun di dalam hatinya Shu Ta terkejut setengah mati mendengar bahwa mereka ini putera Bayan, menteri yang amat berpengaruh dan besar kekuasaannya karena menjadi tangan kanan Kaisar Togan Timur, pemuda Mongol yang bernama Bouw Ku Cin itu menyambung kata-kata adiknya.
“Sobat, engkau sungguh tidak adil. Engkau menggambarkan kami berdua seolah-olah kami ini bukan manusia dan tidak sama dengan engkau atau dengan rakyat jelata. Pada hal, apa sih bedanya? Yang berbeda kan hanya pakaian kita saja. Coba engkau yang mengenakan pakaian ini dan aku mengenakan pakaianmu, apa bedanya? Takkan ada yang tahu bahwa engkau adalah engkau dan aku adalah aku, kalau kita bertukar pakaian.” Shu Ta tertegun. Wah, pemuda ini bukan seorang pemuda bangsawan kaya raya yang berkepala kosong! Juga gadis itu bicaranya sungguh lain, sedikitpun tidak mengandung sikap angkuh, bahkan begitu rendah hati untuk lebih dahulu memperkenalkan diri padanya. Pada hal, dilihat dari pakaiannya, mereka tentu mengira dia seorang pemuda dusun biasa! Sejak kecil Shu Ta tinggal di kuil dan selain ilmu silat, diapun dididik sastra dan tatasusila oleh para hwesio, maka melihat sikap kakak beradik itu, diappun merasa tidak enak. Maka, diapun bangkit dan memberi hormat kepada kakak beradik itu yang agaknya terkejut dan cepat merekapun membalas penghormatan itu dengan sikap yang sama, mengangkat kedua tangan depan dada.
“Harap kalian memaafkan sikapku tadi. Sudah terlalu banyak aku mendapatkan gambaran para bangsawan yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan nasib rakyat jelata, hidup bermewah-mewahan di atas tubuh rakyat jelata yang sekarat, dan biasanya berwatak sombong dan memandang rendah rakyat miskin. Aku tadinya tidak mengira bahwa kalian adalah dua orang muda yang terpelajar dan sopan, rendah hati dan tidak menghina rakyat kecil. Nah, namaku Shu Ta dan aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara di dunia ini, melihat banyak ketimpangan hidup dan ketidak adilan. Kalian memang memiliki sikap yang baik, otak yang cerdas, tidak sombong, namun sayang, kalian tergolong bangsawan tinggi yang kaya raya, keluarga penindas dan penjajah yang menyengsarakan rakyat.” Dengan berani Shu Ta menentang pandang mata mereka. Dia berdiri dan siap menanti kemarahan kakak beradik itu.
Akan tetapi, kakak beradik itu tidak menjadi marah, hanya mereka saling pandang dan muka mereka berubah agak kemerahan. Gadis itu sudah menjatuhkan diri duduk kembali ke atas batu, dan Bouw Ku Cin yang biasa dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw) itu menghela napas, dan diapun duduk kembali.
“Memang apa yang kaukatakan semua itu ada benarnya, saudara Shu Ta. Akan tetapi, urusan penjajahan itu apa sangkut-pautnya dengan kami berdua? Mengapa bangsa Mongol, bangsa nenek moyang kam i, telah menyerbu Cina dan menundukkannya, kemudia menjajahnya.
Akan tetapi hal itu telah terjadi hampir tujuh tahun yang lalu dan kami sama sekali tidak tahu akan isi hati mendiang Temucin, pemimpin besar bangsa Mongol yang kemudian menjadi Jenghis Khan. Kami baru dilahirkan kurang lebih dua puluh tahun yang lalu dan ketika kami terlahir, keadaan sudah begini, penjajahan sudah berlaku selama puluhan tahun. Kami tidak ikut melakukan penyerbuan, tidak ikut menjajah dan ahh. , aku tidak tahu lagi apa yang
harus aku katakan. Hanya ini, kawan. Kalau ada nenek moyang kita melakukan kesalahan, apakah kita juga diharuskan mempertanggung jawabkan perbuatannya?”
Shu Ta kembali tertegun dan diapun duduk kembali di atas batu, termenung memikirkan kata- kata itu. “Akan tetapi, kalian menikmati hasil penjajahan! Kalian hidup bermewah-mewahan sedangkan rakyat jelata hidup kelaparan. Apakah kalian tidak merasa malu, hidup senang di atas mayat rakyat jelata?”
Kini gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong menatap wajah Shu Ta. “Saudara Shu, jangan engkau sembarangan saja bicara, seenaknya saja menuduh kami! Kami dilahirkan dalam keluarga ayah kami dan sejak kami lahir, ayah kami sudah menjadi menteri. Dengan sendirinya kami hidup di istana ayah dan menikmati semua yang ada. Salahkah itu? Apakah kami, anak-anak ayah, harus meninggalkan keluarga ini dan hidup menderita kemiskinan bersama rakyat? Begitukah kehendakmu?” Kembali Shu Ta tertegun dan tidak mampu menjawab.
“Saudara Shu Ta, kami mengerti benar perasaanmu. Kami tidak menyalahkanmu kalau engkau membenci pemerintah karena pemerintah adalah pemerintah penjajah. Memang orang-orang Monglo menjajah rakyat pribumi Cina. Dan percayalah, semenjak kami mampu berpikir, kami berdua sudah tidak setuju dengan keadaan ini. Buktinya, sampai sekarang aku tidak pernah memegang jabatan apapun, selalu menolak desakan ayah. Dan kami bergaul dengan rakyat, kami tidak menghina, tidak menindas, tidak memusuhi rakyat. Bahkan di manapun, kapanpun, kami selalu siap membantu rakyat dengan segala kemampuan kami.
Jangan dikira bahwa seluruh bangsa Mongol merupakan orang-orang yang suka menindas dan menjajah. Yang menjajah itu adalah pemerintahannya, kerajaannya, bukan rakyat Mongol. Hal ini patut kauketahui, sobat! Nah, sekarang, maukah engkau bersahabat dengan kami?” Pemuda bangsawan itu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Akan tetapi Shu Ta pura-pura tidak melihat tangan itu.
“Maafkan aku. Kalau aku bersahabat dengan putera puteri Menteri Mongol, tentu semua orang akan memandang rendah kepadaku dan menganggap aku pengkhianat bangsa!”
Mimi marah sekali mendengar ucapan itu dan menolak pemuda dusun itu menolak uluran tangan kakaknya. Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Ingin ia mendamprat, akan tetapi kakaknya berkedip kepadanya dan dengan suara sungguh-sungguh akan tetapi mulutnya tetap tersenyum dia berkata.
“Saudara Shu Ta, apakah kaukira kalau engkau sudah memusuhi semua orang Mongol lalu engkau menjadi pahlawan? Apa manfaatnya kalau engkau hanya membenci dan memusuhi semua orang Mongol, apa manfaatnya bagi rakyat yang menderita? Apakah kalau engkau memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kami, bahkan andaikata engkau membunuh kami, hal itu dapat mengenyangkan perut rakyat yang lapar? Sobat, memusuhi dan membenci orang-orang Mongol, bukan satu-satunya cara untuk membela rakyat jelata.
Lihat kami ini. Kami dimaki sebagai keturunan Mongol, dibenci oleh orang-orang yang berpikiran sempit sepertimu, akan tetapi kami dapat lebih bermanfaat bagi mereka. Sudah banyak rakyat yang kubantu, baik sandang maupun pangan, banyak yang kami selatkan dari ancaman para penjahat! Dan kau. apa yang telah kaulakukan untuk rakyat? Hanya membenci
dan menghina orang Mongol. Itu saja?”
“Koko, mari kita pergi. Dia orang yang sombong dan dungu, tidak perlu banyak bicara, takkan dia mengerti!” kata gadis itu dan mereka berdua lalu melompat ke atas punggung kuda mereka. Cara mereka melompat ke punggung kuda, mengejutkan hati Shu Ta. Terutama gadis itu. Bagaimana mungkin seorang gadis bangsawan dapat melompat ke atas kuda yang tinggi itu dengan gerakan demikian ringannya? Tidak keliru lagi dugaannya, mereka itu tentulah dua orang muda yang pandai ilmu silat!
Shu Ta mengikuti mereka yang menjalankan kuda perlahan-lahan menuju ke selatan dengan pandang matanya. Beberapa kali dia menghela napas panjang. Ucapan pemuda itu tadi seperti telah menamparnya dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak tahu apa yang telah dia lakukan untuk rakyat semenjak dia meninggalkan kuil. Memang di dusun Cang-cin dia telah melakukan sesuatu untuk penduduk dusun itu, akan tetapi dia hanya membantu Cu Goan Ciang! Dia sendiri memang belum melakukan sesuatu yang bermanfaat, kecuali memperlihatkan kebenciannya kepada penjajah Mongol, kalau perasaan kebencian itu dapat dianggap sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat. Dia bangkit berdiri, menyambar buntalannya dan berjalan di jalan raya itu, ke selatan pula karena dia bermaksud pergi ke kota Nan-king.
Belum lama dia berjalan, dia melihat suara gaduh di depan dan nampak debu mengebul. Dia segera lari ke depan dan segera melihat belasan orang mengeroyok kakak beradik Mongol tadi! Setelah dekat, Shu Ta berdiri bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebetulnya, dia merasa heran kepada diri sendiri. Seharusnya dia mengeroyok pula dua orang Mongol itu, membantu belasan orang yang jelas merupakan orang-orang pribumi. Kenapa dia termangu dan meragu? Bukankah belasan orang itu adalah orang-orang pribumi, rakyat tertindas dan dua orang itu adalah bangsawan Mongol, sang penindas? Entah kenapa, dia diam saja dan memandang kagum. Tak salah dugaannya. Kakak beradik itu pandai silat, bukan hanya pandai bahkan lihai sekali! Mereka berdua sudah turun dari kuda mereka dan dengan pedang di tangan, mereka membela diri dan pengeroyokan enam belas orang yang memegang golok atau pedang, akan tetapi para pengeroyok itu sedikitpun tidak mampu mendesak kakak beradik itu! Gerakan pedang kedua orang Mongol itu cepat, kuat dan juga indah, dan Shu Ta dapat melihat bahkan gerakan pedang mereka mempunyai dasar gerakan pedang mereka untuk balas menyerang, dan Shu Ta maklum bahwa kalau mereka berdua membalas dengan pedang, tentu sudah ada pengeroyok yang roboh dan terluka parah atau tewas. Agaknya dua orang itu tidak mau melakukan pembunuhan!
“Keroyok terus!” teriak seorang yang bertubuh tinggi kurus.
“Bunuh penjajah itu!” teriak orang ke dua yang tinggi besar. Mereka berdua agaknya merupakan pimpinan karena kini mereka setelah mengeluarkan seruan itu, cepat meloncat dan menghampiri dua ekor kuda tunggangan kakak beradik itu, lalu melompat ke atas punggung dua ekor kuda yang besar, tinggi, dan kuat itu.
“Jangan kau bawa kudaku!” teriak Bouw Mimi.
“Pencuri kuda berkedok pejuang!” bentak pula Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan kedua kakak beradik ini telah meloncat dan mengejar dua ekor kuda yang akan dilarikan kedua orang pimpinan kelompok itu. Gerakan kakak beradik itu ternyata ringan dan cepat sekali. Mereka seperti dua ekor burung terbang saja dan sudah berada di atas punggung dua orang yang menunggang kuda. Sebelum dua orang itu dapat membela diri, kakak beradik itu telah menggerakkan tangan kiri mereka ke arah tengkuk dan dua orang perampas kuda itupun terpelanting roboh. Kakak beradik itu segera menangkap kembali kuda dan menenangkan kuda mereka. Ketika belasan orang itu melihat betapa dua orang pemimpin mereka dirobohkan, dan merekapun tadi sudah melihat betapa tangguhnya dua orang bangsawan Mongol itu, mereka lalu melarikan diri cerai berai, tidak memperdulikan lagi dua orang pemimpin mereka yang masih belum dapat bangun.
Sambil menuntun kuda mereka, kakak beradik itu menghampiri dua orang korban mereka. Kini, si tinggi besar dan si tinggi kurasa sudah dapat merangkak bangkit duduk. Melihat semua anak buahnya melarikan diri dan dua orang muda Mongol itu sudah berada di dekat mereka, keduanya menjadi ketakutan dan menggigil. Mereka tahu bahwa orang yang berani melawan orang Mongol dan tertangkap tentu akan dihukum siksa sampai mati. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bouw Ku Cin dan Mimi. “Ampun...ampunkan kami, kongcu.....siocia.....ampunkan kami ” mereka berdua meratap
ketakutan.
Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum. Mereka menyimpan kembali pedang mereka yang tidak bernoda darah. “Hemmm, katakan yang jujur, kalian tadi menghadang kami untuk melakukan perampokan, ataukah kalian ini orang-orang yang mengaku pejuang dan hendak membunuh kami karena kami adalah orang-orang Mongol?”
“Mengaku yang jujur kalau kalian ingin hidup!” Mimi membentak dengan nada mengancam. “Ampun, kongcu dan siocia....kami kami melihat dua ekor kuda ji-wi (kalian berdua) dan
pakaian yang indah...kami....kami perampok. ”
Bouw Ku Cin mengangguk-angguk, “Hemm, sudah kami duga. Kalian hanyalah perampok- perampok kecil yang mengaku sebagai pejuang. Begitukah? Ataukah kalian ini pejuang- pejuang yang melakukan perampokan?”
“Kami...kami hanya perampok. ”
“Dan mengaku pejuang?” “Be...benar ”
“Manusia hina!” bentak Mimi. “Orang macam kalian ini sebenarnya tidak pantas hidup. Kalian mengotorkan nama pejuang juga kalian mengacaukan keamanan dan mengganggu rakyat. Kalian hanya merugikan semua pihak.”
“Ampun, siocia....ampun kongcu. ” Dua orang itu berlutut dan membentur-benturkan dahi ke
atas tanah, ketakutan.
“Pergilah! Sekali lagi kami melihat engkau merampok dan mengaku pejuang, kami tidak akan mengampunimu lagi. Pergi!”