Rajawali Lembah Huai Jilid 06

Jilid 06

Terhadap Khabuli dan mengingat bahwa Khabuli adalah seorang panglima Mongol, maka kebenciannya terhadap permerintah Mongol yang menjajah semakin berkobar.

Tiba-tiba dia bangkit duduk, seluruh sendi tubuhnya menegang. Terdengar suara banyak orang menuju ke gua itu! Siapa lagi kalau bukan para pengejarnya? Tentu para anggota Jang- kiang-pang yang terus mengejar. Dia lalu menyingkap semak-semak, mengintai keluar.

Nampak sedikitnya dua puluh orang mendaki lereng itu dan dia terbelalak ketika melihat bahwa di antara orang-orang Jang-kiang-pang terdapat pula beberapa orang yang berpakaian seragam. Perwira-perwira pasukan pemerintah. Hemm, kiranya orang-orang Jang-kiang-pang sudah minta bantuan pasukan pemerintah, pikirnya geram. Apakah Khabuli berada di antara mereka? Kalau benar demikian, dia akan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membunuh panglima itu! Dengan pedang rampasan di tangannya yang masih berlumuran darah dan berbau amis, dia siap menanti mereka. Dia tahu bahwa dia meninggalkan jejak, dan orang-orang itu akhirnya tentu akan sampai di gua. Kalau mereka sampai tiba di dalam gua itu, tentu saja dia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan leluasa. Tempat itu terlampau sempit dan dia akan terhimpit. Dia melupakan rasa nyeri di pundak dan pahanya, melupakan tubuhnya yang sudah lemah. Melihat para perwira itu, seperti bangkit semangatnya karena dia harus membunuh Khabuli! Membayangkan betapa semalam Khabuli mempermainkan dan menghina tubuh dan kehormatan kekasihnya, kebenciannya memuncak dan melihat serombongan pengejarnya itu tiba di tempat terbuka yang datar, diapun meloncat keluar dan dengan pekik dahsyat seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang mereka, terutama kepada mereka yang berpakaian perwira.

“Hyaaaaatttt !!” Pedang di tangannya menyambar-nyambar ganas dan biarpun pasukan itu

segera mengeroyoknya, namun dua orang di antara mereka roboh terkena sabetan pedang. Bagaikan seekor harimau atau seekor rajawali terluka, Goan Ciang mengamuk dengan pedangnya. Dia sudah lupa akan keadaan dirinya, yang hidup pada saat itu hanyalah semangatnya untuk melawan, mengamuk dan membunuh musuh yang dibencinya. Ditambah lagi dia memainkan ilmu yang dia andalkan, yaitu Sin-tiauw-ciang-hoat, maka gerakannya bagaikan seekor rajawali yang menyambar-nyambar menyebar maut. Akan tetapi karena pihak pengeroyok cukup banyak dan di antara mereka terdapat banyak perwira yang tangguh, maka biarpun Goan Ciang berhasil merobohkan sedikitnya sepuluh orang, dia sendiri menderita luka-luka di seluruh tubuhnya. Hanya keadaan tubuhnya yang kuat itu saja yang membuat dia mampu menerima luka-luka itu dengan pengerahan tenaga sehingga tidak ada luka yang cukup parah untuk merobohkannya. Namun, dia merasa semakin lemah karena banyak darah keluar, maka akhirnya terpaksa dia melarikan diri.

”Kejar!” “Tangkap!” “Bunuh. !!”

Pasukan pemerintah dan orang-orang Jang-kiang-pang melakukan pengejaran dengan penasaran dan marah sekali karena banyak kawan mereka yang tewas atau terluka oleh amukan pemuda buronan itu. Mereka mengambil keputusan untuk mengejar sampai berhasil menangkap pemuda itu, bahkan perwiranya lalu minta bala bantuan dan menyebar pasukan untuk terus melakukan pencarian.

Sambil menahan rasa nyeri dan mengerahkan semua sisa tenaganya, Goan Ciang berhasil meloloskan diri dari pada pengejarnya dan dapat menumpang sebuah perahu nelayan melanjutkan pelariannya dengan perahu yang sedang mencari ikan di tepi sungai Yang-ce.

Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang sedang mencoba peruntungannya menangkap ikan dengan jala. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan perahunya terguncang. Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, pakaiannya robek-robek berdarah, tangan kanan memegang sebatang pedang yang juga berlumur darah, dari darat sejauh kurang lebih sepuluh meter telah meloncat ke atas perahunya!”

“Heiii...siapa...kenapa ” Nelayan itu berseru sambil menoleh dan terbelalak, mukanya

kemerahan dan dia marah, juga takut.

“Ssttt, paman. Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tolonglah aku. Aku dikejar-kejar pasukan, aku harus menggunakan perahumu ini untuk melarikan diri.” Tanpa banyak cakap lagi Goan Ciang mengangkat jangkar perahu, lalu mendayung perahu itu mengikuti arus dengan cepat ke tengah sungai. Nelayan itu terpaksa menarik jalannya.

“Siapakah engkau? Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menumpuk jala di perahu dan duduk memandang penuh perhatian.

“Nanti saja kuceritakan, sekarang bantulah aku melarikan diri, paman. Kalau paman menolak, aku tidak segan untuk menggunakan pedang ini yang telah membunuh banyak perajurit pasukan pemerintah.

Nelayan itu memang tidak perlu diancam lagi. Dia seorang nelayan sederhana yang tentu saja tidak ingin terlibat, akan tetapi melihat pemuda itu meloncat ke perahunya dan membawa pedang berlumur darah, dia sudah ketakutan. Diapun mengambil dayung kedua dan membantu pemuda itu mendayung perahu dengan cepatnya mengikuti aliran air sungai Yang- ce menuju ke timur.

Demikianlah, Cu Goan Ciang berhasil lolos dari pengejaran pasukan. Setelah dia mengaku kepada nelayan itu bahwa dia yang pernah menggegerkan bandar sungai Wu-han membela para pekerja kasar, nelayan itu tentu saja menghormatinya dan atas bantuan nelayan itu, Goan Ciang berhasil membeli obat-obat untuk luka-luka di tubuhnya, membeli pula pakaian kasar beberapa stel untuk mengganti pakaian pengantin yang masih menempel di tubuhnya, pakaian pengantin yang robek-robek oleh senjata para pengeroyok dan bernoda darah.

Setelah meninggalkan perahu dan nelayan itu di tempat yang jauh sekali dari Wu-han, dia melanjutkan perjalanannya melalui darat, berjalan kaki dan karena dia harus selalu hati-hati, bersembunyi dan tidak berani memperkenalkan diri, maka dia hidup sengsara sekali sebagai seorang buronan. Bahkan di mana dia melihat gambarnya ditempel di dalam kota dan dusun, dengan pengumuman bahwa dia adalah seorang penjahat dan pemberontak yang dicari-cari pasukan! Hal ini membuat dia semakin tidak leluasa bergerak. Kalau hanya dusun-dusun kecil dan dia lebih sering melanjutkan perjalanan di waktu malam. Dia tidak mungkin dapat bekerja untuk biaya hidupnya. Bekal uangnya sudah habis dan pakaiannya sudah tinggal menempel di tubuhnya. Itupun sudah penuh tambalan. Cu Goan Ciang terlunta-lunta dan kalau orang seorang bertemu dengan dia, tentu menganggap dia seorang jembel yang terlantar.

Pada suatu senja dia tiba di luar kota Nan-king. Kota yang besar, merupakan kota ke dua setelah kota raja Pe-king. Kota tua yang pernah menjadi kota raja. Biarpun keadaannya sudah seperti jembel dan mukanya penuh ditumbuhi brewok sehingga keadaannya berbeda sekali dengan gambar yang ditempel di dinding kota-kota besar, namun Goan Ciang tetap tidak mau memasuki kota Nan-king di waktu senja itu. Biasanya pintu gerbang kota lebih diteliti oleh para penjaga setelah hari mulai gelap.

Dengan perut perih karena lapar, tubuh dingin karena udara menjelang malam itu dingin dengan angin dari timur, tubuh lelah walaupun kini luka-lukanya telah sembuh semua. Goan Ciang memasuki sebuah kuil kosong yang berdiri terpencil di bukit kecil, sebelah kiri jalan raya yang memasuki pintu gerbang kota Nan-king. Melihat kuil itu berdiri terpencil dan ada jalan setapak menuju ke sana, diapun mendatangi kuil itu. Melihat bahwa kuil itu adalah kuil tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi, dia lalu memasukinya mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat itu.

Akan tetapi, biarpun dari luar nampak sudah kosong, setelah dia masuk ke dalam kuil yang besar namun keadaannya rusak dan kosong itu, di sebelah dalamnya sama sekali tidak kosong atau sepi. Banyak sekali orang di dalam kuil itu, para pengemis atau jembel yang semuanya memang mempergunakan tempat itu sebagai tempat bermalam mereka! Mereka tentulah para pengemis yang setiap hari berkeliaran di kota Nam-king, bekerja dengan cara meminta-minta, kemudian setelah matahari condong ke barat, mereka keluar kota dan melewati malam di tempat ini. Kuil ini merupakan sarang atau istana, hotel tanpa bayar bagi para pengemis!

Akan tetapi, agaknya para pengemis itu telah menjadi penghuni tetap di kuil itu, walaupun hanya penghuni malam karena kalau siang, tempat itu kosong sama sekali. Maka, begitu melihat ada seorang asing memasuki kuil, sedikitnya tiga puluh pasang mata mengikuti

gerak-gerik Goan Ciang dengan penuh perhatian dan kecurigaan, Tak seorangpun dari mereka rela kalau ada sudut yang telah menjadi tempat tinggal mereka terganggu orang asing. Mereka seperti sekumpulan binatang yang menjaga kandang masing-masing, kalau perlu dengan perkelahian!

Melihat betapa kuil itu, dari ruangan paling luar sampai paling belakang sudah ditempati orang sehingga sukar mencari tempat untuk melewatkan malam itu. Goan Ciang menjadi bingung juga. Apalagi tempat itu berbau apek dan lembab. Dia keluar lagi dan berdiri bengong di luar kuil. Haruskah malam ini dia berada di tempat terbuka, diterpa angin dan disiksa dingin dan kelaparan? Dia menengadah dan melihat betapa langit yang mulai gelap itu indah, bintang-bintang mulai nampak dengan sinar yang masih lemah disilaukan sinar matahari yang mulai mengundurkan diri. Langit cerah tiada awan. Dia menghela napas panjang. Langit demikian bersih dan damai, betapa jauh bedanya dengan keadaan di permukaan bumi yang kotor dan penuh penderitaan.

Dan di antara bintang-bintang yang mulai bermain mata dengannya, dia melihat sepasang mata Lee Siang! Dan nampak pula garis bentuk wajah gadis itu, kekasihnya, satu-satunya wanita yang pernah dikasihinya. Cantik, manis sederhana, gagah perkasa dan lembut.

“Lee Siang....moi-moi ” dia mengeluh penuh duka, teringat akan tubuh setengah telanjang

yang rebah dengan dada yang tertembus pedang. Dia meraba pedang yang disembunyikan di balik bajunya. Dia tidak akan berpisah dari pedang itu. Betapapun menyakitkan perasaan, namun pedang itulah satu-satunya benda terakhir yang pernah dekat dengan Lee Siang, teramat dekat karena pedang itu telah memasuki dada kekasihnya dan menembus jantungnya! Dan pedang itu pula yang telah dia pergunakan untuk membalaskan dendam kematian Lee Siang, membuntungi tangan Jang-kiang Sian-li Liu Bi, dan membunuh entah berapa banyaknya orang-orang yang mengeroyok dan hendak menangkap atau membunuhnya. “Siang-moi..” kembali dia mengeluh.

“Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya. “Ha-ha-ha-ha, seorang laki-laki pantang menghela napas dan mengeluh! Itu hanya sikap seorang yang lemah dan cengeng!”

Goan Ciang terkejut dan membalikkan tubuh, siap siaga menghadapi lawan. Akan tetapi dia tidak melihat ada orang yang hendak menyerangnya, hanya nampak seorang pengemis tua duduk di sana, bersandar dinding depan kuil, beralaskan jerami, duduk dengan santai dan memandangnya dengan sinar mata yang tajam dan mulut di balik kumis yang tersenyum mengejek.

Goan Ciang menghampiri kakek itu. Hanya seorang saja yang duduk di bagian luar kuil, yang terbuka dan tidak terlindung sama sekali. Kalau hujan akan kehujanan kalau angin bertiup akan kedinginan. Akan tetapi, setidaknya tempat itu tidak berbau apek dan hawanya segar dan bersih.

“Kakek yang baik, aku tidak mengeluh karena diri sendiri, melainkan karena mengingat keadaan orang-orang lain. Demikian banyaknya penderitaan kulihat di dunia ini.”

Kembali kakek itu tertawa, “Ha-ha-ha, kulihat engkau tadi masuk lalu keluar lagi. Tidak mendapatkan bagian tempat duduk atau tidur? Sama dengan aku. Nah, duduklah di sini, orang muda, kita dapat mengobrol dengan asyik!”

Goan Ciang tersenyum, mengangguk, lalu diapun duduk bersila di depan kakek itu. “Bagaimana kalau aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, kek?”

“Heh-heh, bagus sekali kalau begitu!”

Goan Ciang bangkit lalu keluar dari pekarangan kuil, mengumpulkan kayu kering. Setelah meraih cukup, dia kembali ke ruangan depan kuil itu dan segera membuat api unggun kecil yang ternyata menyenangkan mereka berdua. Selain api itu dapat mendatangkan kehangatan, mengusir nyamuk, juga mereka kini dapat saling pandang dengan cukup jelas.

”Aha, ternyata engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah! Dan kulihat engkau juga tidak malas dan cekatan!” kakek itu memuji setelah mereka duduk berhadapan lagi. “Engkau pantas kuberi upah beberapa teguk arak. Nah, minumlah!” Dia menyodorkan sebuah guci arak. Tanpa sungkan lagi Goan Ciang menerimanya, membuka tutup guci dan dia terkejut mencium bau arak yang amat sedap, arak yang jelas bukan arak murahan! Diapun mendekatkan guci ke bibirnya, dan minum beberapa teguk. Benar dugaannya.

“Wah, arakmu hebat, kek! Sedap dan enak sekali!”

“Heh-heh-heh, tentu saja. Arak ini mengandung jin-som dan rendaman janin kijang hanya menjadi minuman kaisar di istana, ha-ha!”

Goan Ciang terkejut. Dia pernah mendengar tentang arak yang dicampur jin-som dan rendaman janin kijang yang merupakan minuman yang selain lezat juga amat baik untuk kesehatan. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang jembel tua bisa mendapatkan minuman yang takkan terbeli oleh seorang hartawan sekalipun?

“Engkau sudah makan?” tiba-tiba kakek itu bertanya dan wajah Goan Ciang berubah kemerahan. Sejak kemarin dia belum makan! Diapun menggeleng kepalanya.

“Sejak kemarin siang aku belum makan, kek,” katanya.

Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, lalu dia memandang ke atas dan suara ketawanya memecahkan kesunyian malam, bergelak. Diam-diam Goan Ciang mendongkol, akan tetapi dia mulai memperhatikan kakek itu karena merasa bahwa sikap jembel tua yang biasanya lemah dan selalu hendak menarik perhatian dan iba hati orang lain. Kakek itu usianya sudah enam puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus rambutnya itu panjang putih tiap-tiapnya dibiarkan bergantung di punggung dan kedua pundak, juga kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Sepasang matanya agak sipit, akan tetapi amat tajam dan kadang mencorong penuh wibawa, akan tetapi wajahnya ramah dan mulutnya selalu dibayng senyum sabar. Sikapnya lincah dan jenaka, ramah. Pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih, jelas sering dicuci. Bukan pengemis sembarangan, pikir Goan Ciang.

“Ha-ha-ha, aku suka sekali engkau seorang laki-laki yang jujur! Kalau begitu, kebetulan akupun belum makan malam dan aku masih mempunyai bekal roti kering dan daging dendeng yang cukup untuk kita berdua. Mari makan bersamaku orang muda.”

“Aku memang lapar dan akan senang sekali makan bekalmu, kek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak dan malu. Aku seorang pemuda bagaimana mungkin aku harus menyusahkan dan mengganggu seorang tua sepertimu?”

Kakek itu tertawa lagi, “Heh-heh-heh siapa mengganggu siapa? Heh-heh, kalau begitu, ketika aku mengambil makanan dan minuman ini dari orang lain, akupun mengganggu mereka?

Tidak sama sekali. Marilah, orang muda. Kita makan dulu baru nanti mengobrol melewatkan malam. Kalau sudah makan, perut hangat dan semangat menjadi kuat!”

Goan Ciang memang lapar. Ketika kakek itu mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan, dia melihat roti dan daging yang memang cukup banyak untuk mereka berdua, maka dengan hati lega diapun ikut makan.

Dan dia mendapat kenyataan bahwa seperti juga mutu arak tadi, roti dan dendeng yang dimakannya bukan merupakan makanan murah, apa lagi hanya sisa. Jelas bahwa roti dan dendeng itu bukan hasil mengemis, melainkan merupakan makanan orang mewah, lezat dan tentu mahal harganya. Karena mereka makan dengan lahap, dan keduanya merasa kenyang, dan sehabis makan, mereka minum arak dari guci itu, bergantian karena di situ tidak terdapat cawan untuk minum.

Setelah selesai makan, Goan Ciang menambah kayu pada api unggun, lalu mereka berdua duduk saling berhadapan di lantai yang tertutup jerami. Angin malam semilir lembut membuat api anggun menari-nari.

“Orang muda, siapa namamu? Dari mana kau datang dan hendak ke mana?” Dia memandang pedang yang tadi oleh Goan Ciang dikeluarkan dan diletakkan di atas lantai. “Dan untuk apa engkau membawa-bawa pedang tanpa sarung itu?” Pedang itu memang hanya dibuntal kain butut oleh Goan Ciang dan selalu dia selipkan di pinggang, disembunyikan di balik bajunya. “Kalau ada perajurit keamanan melihatmu, tentu engkau akan ditangkap karena membawa pedang ini.”

Goan Ciang menarik napas panjang. Dia seorang pelarian, seorang buruan. Tidak perlu mencari penyakit dengan memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega untuk membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan dia.

“Kek, namaku. biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang ah, terus

terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan ingin pergi ke depan!” Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, “Aku, tidak mempermainkanmu, kek.

Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai tujuan perjalanan. Pedang ini adalah kawanku satu-satunya, untuk membela diri kalau diserang orang jahat.”

“Hemm, namamu Siauw Cu dan engkau hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki tujuan. Engkau jelas bukan anggota kaipang (perkumpulan pengemis) walaupun pakaianmu tambal-tambal. Aku yakin engkau tidak pernah mengemis.”

“Mengemis? Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik. Mengemis adalah pekerjaan yang hina!”

“Ha-ha-ha, jangan katakan bahwa engkau mencari nafkah dengan bekerja? Apa sih pekerjaanmu?”

Siauw Cu menggeleng kepalanya. “Aku memang tidak bekerja, kek, aku menganggur dan aku menyusahkan hatiku.”

“Engkau tidak bkerja, dan mengemis tidak sudi, Lalu apa yang kaumakan setiap hari? Mencuri?”

“Lebih baik mencuri daripada mengemis!”

“Heh-heh-heh, itu kan alasan seorang pencuri. Kalau seorang pengemis tentu akan mengatakan bahwa mengemis lebih baik daripada mencuri. Apa salahnya mengemis makanan kalau kita lapar dan tidak mampu membeli? Setidaknya, mengemis berarti mengetuk hati nurani manusia lain agar menaruh iba kepada sesamanya.”

“Akan tetapi, sekali mengemis akan membuat orang menjadi malas bekerja dan hanya mengandalkan pemberian orang saja, bahkan dia lalu mengemis bukan untuk keperluan makan, melainkan untuk mengumpulkan harta.”

“Heh-heh-heh, yang demikian bukan pengemis namanya, melainkan penipu. Sudahlah, jangan bicara tentang pengemis, kalau mereka tersinggung, semua penghuni kuil ini akan keluar dan memaki atau mengeroyokmu. Aku ingin bertanya, kenapa engkau tadi menghela napas dan mengeluh panjang pendek? Engkau kelihatan seperti orang yang bersusah hati. Kenapa?”

Goan Ciang termenung. Sejak kecil, dia memang lebih banyak mengenal susah daripada senang. “Siapa yang takkan susah hatinya melihat semua penderitaan yang mewarnai kehidupan manusia ini, kek? Di mana-mana aku melihat kesengsaraan manusia!”

“Heh-heh-heh, maksudmu kemiskinan dan penyakit, usia tua dan kematian?” “Bukan itu saja, juga kekecewaan-kekecewaan, harapan-harapan hampa, keputusasaan. Aku sendiri sejak kecil belum pernah menikmati kebahagiaan. Yang kukenal hanya penderitaan, duka nestapa, kekecewaan, dan kesusahan belaka. Apakah memang kehidupan ini berarti penderitaan dan kesusahan, kek?”

“Heii, orang muda. Jawab terus terang, apakah engkau pernah merasakan apa yang dinamakan kesenangan itu? Pernahkah engkau senang sejak kecil sampai sekarang?”

“Kalau itu tentu saja pernah, kek. Akan tetapi, kesenangan sekelumit yang disusul kesusahan segunung.”

“Heh-heh-heh, itulah sebabnya! Karena engkau pernah merasakan senang, maka engkau merasakan susah. Coba andaikata engkau selama hidupmu belum pernah merasakan senang, tidak mengenal senang, aku yakin engkau tidak pula mengenal susah. Mengejar kesenangan sama dengan mengejar kesusahan. Coba pikir, engkau tadi makan minum bersamaku, senang atau tidak?”

“Ya, tentu. senang, kek.”

“Nah, coba kalau sebelum makan minum engkau tidak merasakan susahnya dan derita perut lapar, apa engkau akan dapat menikmati senangnya makan? Kalau hendak menikmati enaknya minum, haruslah lebih dahulu menderita tidak enaknya haus. Kesenangan merupakan pengalaman, kenangan, dan kita ingin memilikinya secara abadi, sehingga kalau kesenangan itu lepas dari tangan, kita bertemu kesusahan. Senang dan susah sama saja, itu hanya permainan pikiran yang bergelimang nafsu. Nafsu membentuk si-aku yang ingin senang, tidak mau susah, lupa bahwa adanya senang karena adanya susah, adanya siang karena adanya malam. Itulah perimbangannya, yang satu mengadakan yang lain.”

“Tapi, kek. Bukankah semua orang juga begitu? Siapa yang mau susah? Bahkan senangpun kalau berekor susah, aku tidak mau. Aku ingin bahagia selamanya, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kebahagiaan.”

Kakek itu memandang penuh perhatian dan Goan Ciang menambahkan kayu pada api unggun sehingga nyala api membesar. “Orang muda, dalam pertanyaanmu sudah terdapat jawabannya. Aku melihat bahwa engkau bukan seorang yang tepat untuk mencapai kebahagiaan, melainkan seorang yang memiliki kemauan besar, memiliki bakat besar untuk mendapatkan kesenangan yang sebanyak-banyaknya. Berbakat untuk menjadi orang besar dengan kekuasaan yang tak terbatas!”

“Maksudmu bagaimana, kek?”

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak dapat mengatakan lebih dari itu, aku hanya membaca tanda-tanda pada wajahnya. Akan tetapi kembali tentang kebahagiaan, engkau sendiri tadi mengaku bahwa sejak kecil engkau belum pernah merasakan kebahagiaan. Nah, dengan begitu berarti engkau tidak mengenal kebahagiaan dan tidak tahu apa itu kebahagiaan, bukankah begitu?”

“Justru, karena itu aku sedang mencarinya, kek. Aku mendambakan kebahagiaan, aku ingin menemukan kebahagiaan.” “Heh-heh-heh, lucunya! Siauw Cu, aku mempunyai seorang kenalan, namanya Akong. Nah, dapatkah engkau mencarinya untukku? Engkau belum mengenalnya, belum mengetahui di mana dia dan tidak mengenal ciri-cirinya, hanya tahu bahwa namanya Akong. Dapatkah engkau menemukannya untukku?”

“Wah, jelas tidak mungkin, kek! Andaikan aku bertemu seorang yang namanya Akong sekalipun, aku tidak tahu apakah itu Akong yang benar ataukah Akong yang lain.”

“Bagus! Begitu pula dengan kebahagiaan. Kalau engkau belum pernah mengenalnya bagaimana engkau dapat menemukannya? Andaikata engkau bertemu dengan sesuatu yang kaunamakan kebahagiaan sekalipun, engkau tidak tahu apakah itu kebahagiaan yang asli ataukah yang palsu, seperti Akong tadi! Mengertikah engkau, Siauw Cu? Orang tidak mungkin mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang belum pernah dikenalnya. Kalau engkau mencari kesenangan, yaitu pengalaman menyenangkan hati seperti yang pernah kaualami atau yang pernah dialami orang lain dan yang engkau dengar orang lain menceritakannya kepadamu. Dan mencari kesenangan, seperti kita bicarakan tadi, sama dengan mencari kesusahan karena keduanya kait-mengait dan tak terpisahkan.”

Siauw Cu mengerutkan alisnya. Belum peernah dia mendengarkan pendapat seperti itu. Belum pernah dia bercakap-cakap dengan orang lain seperti yang dilakukannya pada malam hari sunyi di depan kuil kosong itu. Ia takjub, juga tidak mengerti. Apa yang diucapkan kakek itu hanya samar-samar saja dapat ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.

“Kakek yang baik, aku telah memberitahu namaku. Bolehkah aku mengetahui nama kakek yang bijaksana?”

“Bijaksana? Heh-heh-heh, aku sama sekali tidak bijaksana, sama seperti engkau dan orang lain. Kalau makan enak perut kenyang harus senang, heh-heh-heh! Kalau orang-orang menyebutmu Siauw Cu, maka orang-orang menyebut aku Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Berambut Putih). Engkau boleh sebut aku Lo-kai (Jembel Tua) saja.”

Akan tetapi Siauw Cu adalah seorang pemuda yang pandai membawa diri. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan mustahil kakek seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Pek-mau locianpwe (Orang Tua Gagah Berambut Putih), aku hanya ingin bertanya dan akupun mengharap locianpwe akan menjawab sejujurnya.”

“Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda.” Kata kakek itu, tidak kikuk disebut locianpwe. “Apakah locianpwe tidak seperti aku, tidak mendambakan dan tidak mencari kebahagiaan?”

Wajah yang keriputan dibungkus rambut putih itu berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum lebar sehingga kelihatan bahwa mulutnya tidak bergigi lagi, seperti mulut bayi yang belum tumbuh gigi. “Heh-heh-heh, aku tidak butuh kebahagiaan, orang muda. Untuk apa kebahagiaan? Tidak bisa dimakan, tidak bisa dipakai. Untuk apa? Aku adalah aku, seperti inilah, dan aku tidak ingin menjadi yang lain, tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin apa- apa. Kalau aku tua, tualah, kalau miskin, miskinlah, kalau sakit, sakitlah, kenapa harus mengeluh dan tidak menerima kenyataan? Kalau lapar, cari makan, kalau sakit, cari obat, itu saja. Aku tidak butuh bahagia. Nah, sekarang ini perutku kenyang, tubuh terasa nyaman, mataku mengantuk. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh bahagia, hanya butuh tidur!” Setelah berkata demikian, kakek yang tadinya duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring dan dalam beberapa detik saja dia sudah tidur pulas!

Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek yang tidur nyenyak itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung memandang api yang merah.

Pandang matanya kosong menerawang, menembus nyala api. Dia menemukan sesuatu, menemukan kenyataan pada diri kakek itu. Itulah bahagia! Itukah? Keadaan tidak ingin apa- apa, ituka yang dinamakan bahagia? Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apa- apa, seperti kakek itu? Menerima keadaan begitu saja? Mungkin bisa dilakukan seorang yang sudah tua seperti kakek itu. Akan tetapi dia? Dia masih muda, dia ingin memperoleh kemajuan dalam segala bidang! Dia bercita-cita. Dia ingin mengusir penjajah Mongol. Dia ingin memimpin rakyat membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dia ingin menjadi pemimpin besar rakyat jelata, ingin mencapai kekuasaan tertinggi! Dia sudah cukup menderita kekurangan, penghinaan, kerendahan. Dia ingin berkecukupan, berlebihan, dihormati dan disembah, dia ingin kedudukan setinggi-tingginya. Salahkah itu? Dia menoleh dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada tidurnya.

“Engkau boleh puas dengan keadaanmu, kek. Akan tetapi aku belum puas dengan keadaanku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, barulah aku akan merasa puas dan bahagia. Ya, puas dengan keadaannya itulah bahagia dan aku tidak berbahagia karena aku belum puas dengan keadaan diriku!”

Cu Goan Ciang masih diombang-ambingkan pikirannya sendiri, tidak tahu bahwa hati akah pikiran itu sudah dikuasai nafsu daya rendah. Oleh karena itu, apapun yang kita pikirkan selalu mempunyai satu tujuan, yaitu demi keenakan dan kesenangan diri pribadi. Dengan selimu dan kedok apapun, berselubung apapun yang menjadi tujuan pemikiran adalah keenakan dan kesenangan diri pribadi. Baik kesenangan dan keenakan diri jasmani maupun keenakan dan kesenangan diri bagian dalam, y aitu batin. Orang yang haus akan kebahagiaan adalah jelas merupakan orang yang tidak berbahagia. Kenyataannya bahwa kita ingin berbahagia menunjukkan bahwa kita tidak berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia? Yang tidak berbahagia itu bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam keadaan sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan? Yang terpenting bukan mencari- cari kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit, apakah kita butuh akan kesehatan lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan. Yang terpenting adalah mengamati, mempelajari, dan meyakinkan mengapa kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang mendatangkan ketidakbahagiaan itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada kebahagiaan? Tentu saja tidak butuh! Orang yang tidak sakit tidak butuh kesehatan karena memang sudh sehat. Orang yang tidak ‘tak berbahagia’ tidak membutuhkan kebahagiaan lagi karena sesungguhnya dialah orang berbahagia! Seperti juga kesehatan, kita tidak pernah menyadari kebahagiaan. Kalau kita sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya. Demikian pula kalau kita berbahagia, kita lupa atau tidak tahu bahwa kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita. Kalau kita sakit, baru kita rindu kesehatan, kalau kita sengsara baru kita mendambakan kebahagiaan! Pada hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya, tidak pernah meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!

Nafsu daya rendah telah mencengkeram kita lahir batin sehingga nafsu yang diikut-sertakan kepada kita dan yang semula dijadikan pembantu dan alat kita dalam kehidupan ini, berbalik memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu mencengkeram kita dan mendorong kita untuk selalu mengejar-ngejar keenakan dan kesenangan diri lahir batin. Hidup kita hanya diseret ke satu arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu keenakan dan kesenangan! Dan untuk mencapai tujuan ini, kita menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa bahwa kita ini manusia, mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan secara berlimpah-limpah. Kita melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan dalam mulut saja, itupun kita lakukan kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan! Kesengsaraan yang menimpa diri kita karena akibat ulah kita sendiri, membuat kita ingat kepada Tuhan, ingat untuk minta tolong, untuk minta dibebaskan dari kesengsaraan! Dalam keadaan menderita, baru kita menjerit-jerit minta ampun kepada Tuhan! Permintaan ampun seperti itu biasanya tidak ada gunanya, karena kita minta ampun dalam keadaan menderita, dengan satu tujuan terselubung, yaitu terlepas dari kesengsaraan! Permintaan ampun seperti itu hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan dan kesenangan karena bebas dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun sudah lupa lagi kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran, sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akah pikiran yang masih bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.

Bebas dari cengkeraman nafsu berarti selalu berada dalam bimbingan kekuasaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan merupakan suatu kebaktian kepadanya karena tidak ada saat di mana kita lupa kepadanya, seolah setiap denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan napas merupakan pujian dan pujaan kepadanya.

Malam semakin larut. Ketika Siauw Cu memandang ke arah kakek pengemis itu, dia tersenyum. Boleh jadi kakek itu merasa puas dan berbahagia, akan tetapi bagaimanapun juga dia hanya seorang kakek pengemis yang papa. Tidurnya saja di luar kuil tua, di tempat terbuka, keadaannya miskin sekali. Bagaimana kalau jatuh sakit? Tidak ada obat, tidak ada yang merawatnya, terlantar dan sengsara. Tidak ada uang pembeli makanan!

Siauw Cu menambahkan lagi kayu pada api unggun. Kehangatan api melindunginya dalam udara malam yang semakin dingin, membuat dia mengantuk. Dia memandang api dan melamun sambil melenggut. Dan dalam keadaan antara sadar dan tidak itu, dia melihat pelangi melengkung di depannya, pelangi yang berwarna, indah sekali seperti tangga yang menuju ke langit. Dan diapun bangkit, lalu berjalan menaiki tangga pelangi itu, makin lama semakin naik tinggi. Di ujung pelangi sana dia melihat sebuah bangunan yang besar dan indah, dan banyak perajurit menyambutnya dengan sikap hormat!

Tiba-tiba suara gaduh menariknya lepas dari dunia mimpi. Dia terkejut dan melihat bahwa tempat dia dan kakek itu berada, telah dikepung oleh belasan orang! Ada yang berpakaian pengemis, adapula yang berpakaian perajurit! Akan tetapi mereka itu bukan menyambutnya dengan hormat, melainkan mengancamnya dengan senjata di tangan. Ada beberapa orang di antar mereka memegang obor dan seorang yang berpakaian pengemis hitam-hitam berteriak dengan lantang.

“Tangkap dia!”

“Bunuh, dia berbahaya sekali!” teriak seorang pengemis berpakaian hitam yang lain.

Siauw Cu maklum bahwa tentu mereka itu datang untuk menangkapnya. Akan tetapi dia merasa heran mengapa ada pengemis-pengemis pakaian hitam yang ikut-ikutan membantu para perajurit. Ah, tentu mereka itu mata-mata pasukan keamanan yang menyamar pengemis dan bermalam di kuil itu untuk melakukan penyelidikan. Merekalah yang mengenalnya dan diam-diam melapor sehingga kini datang pasukan perajurit hendak menangkapnya. Diapun siap siaga dan cepat menyambar pedangnya yang dia letakkan di atas lantai. Ternyata api unggun yang dibuatnya telah padam, mungkin tadi dia telah tertidur sambil duduk dan bermimpi aneh. Mungkin sinar pelangi itu adalah sinar obor-obor yang dipegang oleh para pengepung.

Tiba-tiba seorang pengemis yang berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar dan memegang golok, sudah menerjang ke depan dan mengayun goloknya, akan tetapi tidak menyerang dirinya, melainkan membacok ke arah tubuh Pek Mau Lokai yang masih tidur pulas! Siauw Cu heran dan terkejut, akan tetapi dia cepat menggerakkan pedangnya sambil meloncat, melindungi kakek itu.

“Tranggg. !” Bunga api berpijar ketika pedangnya menangkis golok yang menyambar ke

arah kepala kakek pengemis itu. Penyerangan itu terkejut dan terhuyung ke belakang. Seorang yang berpakaian perwira melangkah maju dan terbelalak memandang kepada Siauw Cu.

“Heiii! Dia itu Cu Goan Ciang, pelarian yang kita cari!”

“Ah, sudah jelas sekarang! Pek Mau Lokai bergabung dengan pemberontak dan pembunuh perwira pasukan kerajaan!” Keadaan menjadi gaduh dan belasan orang itu siap mengeroyok Cu Goan Ciang dan juga kakek yang kini terbangun dan menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan.

“Wah-wah, apa yang terjadi? Begini banyak anjing menggonggong dan hendak menggigit Siauw Cu, apa yang terjadi?” Kakek itu mengambil tongkat bututnya.

“Pek-mao Lo-kai Tang Ku it, tidak perlu berpura-pura lagi. Engkau telah bergabung dengan Cu Goan Ciang si pemberontak!” bentak pengemis berjenggot lebat berpakaian hitam. “Bunuh dia!” Si kumis lebat menggerakkan goloknya menikam tubuh kakek yang masih duduk setengah rebah itu Cu Goan Ciang sendiri sudah diserang beberapa orang perajurit sehingga dia tidak lagi dapat melindungi kakek pengemis. Akan tetapi, dia terbelalak dan girang sekali melihat betapa kakek tua itu menggerakkan tongkatnya dan si kumis tebal terjungkal dan tidak dapat bergerak lagi. Tahulah dia bahwa kakek ini, seperti yang sudah diduganya, amat lihai dan sama sekali tidak membutuhkan bantuannya! Diapun menjadi bersemangat dan mengamuk di samping kakek itu yang kini memutar tongkat bututnya dan telah merobohkan empat orang berpakaian hitam-hitam!

Akan tetapi, para pengeroyok bertambah banyak. Kiranya hampir semua pengemis yang tadi tinggal di kuil, kini datang mengeroyok kakek rambut putih, sedangkan dari luar datang lebih banyak perajurit mengeroyok Cu Goan Ciang.

Betapapun lihainya Cu Goan Ciang, dikeroyok oleh banyak perajurit, dia terdesak hebat. Dia sudah berhasil merobohkan delapan orang pengeroyok, akan tetapi dia sendiri mulai menerima sambaran senjata lawan yang membuat dia luka-luka. Masih baik baginya bahwa di situ terdapat kakek pengemis yang ternyata lihai sekali sehingga para pengemis dan sebagian perajurit terpaksa mengeroyok kakek itu.

Agaknya kakek itupun maklum bahwa keadaan dia dan Siauw Cu tidak menguntungkan. Kalau dilanjutkan, tidak mungkin mereka akan mampu bertahan terus. Apa lagi kalau malam telah lewat dan cuaca menjadi terang. Akan datang lebih banyak perajurit dan akan semakin sukar bagi mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Tak lama kemudian, beberapa buah gulungan jerami yang diikat dan diberi minyak, terbakar bernyala-nyala, dilemparkan orang dari luar ke tempat pertempuran! Tentu saja pengeroyokan menjadi kacau karena semua orang takut terkena api yang bernyala-nyala itu.

Pek Mau Lokai menangkap lengan Siauw Cu. “Mari, kita tunggu kapan lagi?” katanya dan Siauw Cu merasa dirinya ditarik amat kuat. Diapun ikut melompat dan melarikan diri ke belakang kuil di mana terdapat sebuah hutan kecil. Kakek itu agaknya hafal akan jalan di situ, dia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon dan semak belukar. Siauw Cu hanya mengikuti saja dengan membuta. Tubuhnya terasa perih dan nyeri karena ada beberapa luka menggores kulitnya dan mengeluarkan darah. Di belakang mereka, terdengar teriakan orang dan dengan derap kaki mereka yang melakukan pengejaran.

Ketika mereka tiba di ujung yang lain dari hutan itu, terdengar derap kaki kuda dan ada tiga orang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis menunggang tiga ekor kuda dan menuntun dua ekor lagi.

Silakan Pangcu (ketua), dan maafkan kelambatan kami tadi karena kami harus membuat bola- bola jerami lebih dulu,” kata seorang di antara mereka.

“Siauw Cu, mari kita menunggang kuda dan pergi dari sini. Kalian bertiga bekerja dengan baik!” kata Pek Mau Lokai. Siauw Cu tidak membantah, lalu mereka menunggang dua ekor kuda tadi dan lima orang itupun membalapkan kuda melarikan diri dari tempat itu.

Cu Goan Ciang tidak merasa heran. Memang dia sudah menyangka bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka diapun menyebutnya lo-cian-pwe. Akan tetapi sama sekali ia tidak menyangka bahwa kakek itu ternyata adalah seorang kaipang-cu (ketua perkumpulan pengemis), dan tiga orang yang menolong mereka dengan melemparkan bola-bola jerami bernyala kemudian membawakan dua ekor kuda itu tentulah anak buahnya. Sama sekali keliru semua perkiraannya tadi mengira bahwa kakek itu hidup terlantar, miskin dan papa. Dari perjalanannya selama ini dia tahu bahwa biarpun namanya perkumpulan pengemis, perkumpulan kaum jembel, namun di antara mereka banyak yang memiliki kedudukan kuat dan sama sekali tidak miskin. Pakaian butut tambal-tambalan yang mereka pakai bukan pertanda kemiskinan, melainkan lebih sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota dari perkumpulan pengemis tertentu! Dan melihat pakaian Pek mau Lo-kai yang penuh tambalan namun bersih dan dari kain berkembang, juga ketiga orang pembantunya yang pakaian mereka juga tambal-tambalan akan tetapi dari kain berkembang, dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang pernah didengarnya sebagai perkumpulan pengemis yang kuat dan yang menentang pemerintah Mongol! Kini, tanpa disengaja, dia telah bertemu dengan ketuanya, bahkan makan dan tidur bersama di depan kuil di luar kota Nan-king itu.

Lima orang itu membalapkan kuda mendaki sebuah bukit dan matahari sudah mulai mengirim sinarnya mengusir kegelapan malam ketika mereka tiba di lereng bukit itu, di mana terdapat dinding batu yang panjang, mengandung banyak gua-gua besar. Dan belasan orang pengemis menyambut kedatangan ketua mereka dengan gembira.

Setelah dipersilakan turun dan memasuki gua terbesar di mana terdapat perabot rumah sederhana, Siauw Cu duduk berhadapan dengan Pek-mau Lo kai dan tiga orang anak buahnya tadi.

Kiranya aku berhadapan dengan Hwa Kaipang-cu,” kata Siauw Cu sambil memberi hormat kepada kakek itu. “Terima kasih, pangcu, dan terima kasih kepada tiga orang saudara ini.

Kalau tidak ada pertolongan kalian, tentu sekarang aku telah menjadi tawanan atau telah menjadi mayat.”

“Sudahlah, Siauw Cu. Kita di antara orang sendiri, kalau tidak saling bantu lalu siapa yang akan membantu kita?” kata Pek Mau Lokai. “Begitu bertemu di depan kuil itu dan mendengar engkau mengaku bernama Siauw Cu, aku sudah menduga bahwa engkau tentulah Cu Goan Ciang yang telah menggegerkan itu, yang dikagumi semua pejuang karena engkau telah berani membunuh perwira, kemudian membunuh banyak perajurit seorang diri saja, bahkan engkau berani menentang Jang-kiang-pang yang menjadi antek pemerintah Mongol. Engkau hebat, Siauw Cu, akan tetapi engkau juga bodoh!”

Siauw Cu mengamati wajah kakek itu dengan muka berubah merah. “Aku tidak mengerti apa yang lo-cian-pwe maksudkan.”

“Bahwa engkau bodoh? Ha-ha, mari perkenalkan dulu dengan tiga orang pembantuku ini.” Dia memperkenalkan tiga orang itu. Lee Ti atau Lee-pangcu berusia empat puluh tahun, merupakan ketua Hwa I Kaipang cabang wilayah barat, bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok. Pouw Sen berusia empat puluh tahun, ketua cabang di timur, bertubuh tinggi kurus dan mukanya putih tanpa kumis atau jenggot. Adapun orang ke tiga adalah Kauw Bok atau Kauw Pangcu, ketua cabang selatan bertubuh pendek gendut dan mukanya yang bulat itu selalu tersenyum cerah. Mereka itu menjadi ketua-ketua Hwa I Kaipang di tiga wilayah, dan mereka juga merupakan murid-murid dari Pek Mau Lokai Tang Ku It.

Setelah mereka saling berkenalan, seorang anggota kaipang datang menyuguhkan sarapan pagi. Siauw Cu dipersilakan makan bersama dan setelah makan mereka duduk bercakap- cakap.

“Sekarang harap pangcu suka menjelaskan mengapa aku disebut bodoh.” Siauw Cu bertanya kepada ketua itu.

Hwa I Kaipangcu Tang Ku It tertawa. “Bagus, engkau ingin mengetahui kekuranganmu sendiri? Itu pertanda baik, karena hanya orang yang mau mengetahui dan mengakui kekurangan sendiri sajalah yang mempunyai harapan untuk mendapatkan kemajuan dari kehidupan ini. Siauw Cu, aku mengatakan engkau gagah dan pemberani, akan tetapi bodoh. Bagaimana mungkin engkau seorang diri saja berjuang melawan penjajah yang merupakan sebuah kerajaan dengan ratusan ribu pasukannya? Baru menghadapi pengeroyakan puluhan orang perajurit saja engkau sudah luka-luka dan kalau dilanjutkan, engkau akan mati konyol. Kalau engkau berjuang seorang diri, sama saja dengan membunuh diri dan sama sekali tidak ada manfaatnya bagi rakyat.

Siauw Cu mengangguk-angguk. “Aku mengerti akan kesalahanku dan mohon petunjuk.”

“Engkau tidak mungkin berjuang melawan pemerintah Mongol tanpa mempunyai pasukan. Engkau harus menghimpun tenaga para patriot, barulah perjuanganmu ada artinya. Kamipun pejuang, dan sejak lama kami menghimpun tenanga, namun juga belum merasa cukup kuat untuk melawan pasukan pemerintah.” “Aku tidak dapat sesabat itu, pangcu, kata Siauw Cu. “Sampai kapan kita akan bergerak menentang penjajah kalau selalu merasa kurang kuat? Aku melihat penderitaan rakyat di mana-mana, aku melihat penindasan, dan aku ingin memberontak. Aku ingin menentang semua penjajah dan penindas, termasuk orang-orang sesat yang menjadi antek penjajah dan yang melakukan kejahatan terhadap sesama bangsa. Aku ingin menghancurkan mereka semua, perwira-perwira terkutuk yang mengganggu wanita, menindas rakyat!”

Pek Mau Lokai tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kami sudah mendengar tentang nasib nona Kim Lee Siang.”

Siauw Cu tercengang. “Ah, jadi pangcu sudah tahu akan hal itu?”

Ketua kaipang itu tersenyun. “Nah, engkau melihat bahwa kalau kita mempunyai banyak anggota, maka di mana-mana kita dapat menaruh penyelidik, dan kita dapat mengetahui banyak hal. Andaikata aku hanya seorang diri seperti engkau, Siauw Cu, tentu akupun tidak tahu apa-apa. Hanya ada satu hal yang membuat kami tidak mengerti. Mengapa seorang pejuang seperti engkau, yang menurut hasil penyelidikan mencinta nona Kim Lee Siang yang anti penjajah Mongol, dapat menjadi calon suami ketua Jang-kiang-pang? Dan kemudian bahkan engkau menyerangnya dan membuntungi lengannya setelah nona Kim Lee Siang membunuh diri?”

Siauw Cu mengepal kedua tangannya.

Diingatkan tentang peristiwa itu, dia teringat akan Lee Siang yang dicintanya dan wajahnya diliputi kedukaan, juga kebencian terhadap Liu Bi.

“Perempuan keparat itu!” katanya gemas. “Ketua Jang-kiang-pang itu meracuni sumoinya sendiri dan memaksaku untuk menikah dengannya. Kalau aku tidak mau, ia tidak akan memberi obat penawar kepada Lee Siang. Untuk menyelamatkan nyawa Lee Siang, terpaksa aku menerima permintaannya. Akan tetapi pada malam perayaan pernikahan itu, ia telah menyerahkan Lee Siang yang lemah dan dibius kepada jahanam Khabuli itu!” Mukanya berubah merah dan matanya mencorong penuh kemarahan. “Aku harus membunuh jahanam Mongol itu!!”

“Sabar dan tenanglah, Siauw Cu. Seorang laki-laki tidak hanya menuruti nafsu kemarahannya, dan seorang pejuang mengesampingkan urusan dan kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan perjuangan. Semua itu terjadi, juga semua penderitaan rakyat itu terjadi sebagai akibat dari satu sebab, yaitu penjajahan. Andaikata engkau berhasil membunuh Khabuli karena dia menyebabkan kematian nona Kim, akan muncul ribuan orang Khabuli yang lain, yang mengorbankan ribuan nona Kim yang lain! Andaikata engkau membunuh seorang penindas rakyat, masih akan bermunculan ribuan penindas yang lain. Satu-satunya jalan adalah melenyapkan penjajah dari bumi kita, barulah ada ketenteraman dan kesejahteraan bagi rakyat.”

Diam-diam Siauw Cu kagum kepada ketua pengemis itu. Apa yang diucapkannya memang benar dan tepat. Kalau dia ingin berhasil, dia harus menahan diri, tidak menuruti nafsu dendam pribadinya, dan dia juga harus dapat menghimpun tenaga dari rakyat jelata. Dia tidak seharusnya hanya mencurahkan perhatiannya untuk membalas kepada orang-orang seperti ketua Jang-kiang-pang dan perwira Khabuli saja, melainkan kepada pusatnya, yaitu kepada pemerintah Mongol, sang penjajah yang menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat, kesengsaraannya. Sejak kecil, dia telah menderita akibat penjajahan. Orang tuanya sakit dan mati karena kelaparan, dia sendiri hidup terlunta-lunta, semua itu karena keadaan kehidupan rakyat yang miskin dan sengsara, akibat penjajahan. Dia harus berusaha melenyapkan penjajah!

Melihat pemuda itu termenung, Pak-mau Lo-kai yang diam-diam merasa kagum dan suka kepada pemuda itu langsung mengulurkan tangan, “Cu Goan Ciang, kalau engkau sudah dapat mengerti apa yang kumaksudkan, tentu engkau tidak lagi memandang rendah dan hina kepada kita para pengemis.

“Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Sejak pertama kali kita berkenalan, apakah aku pernah memandang rendah kepadamu?”

“Bagus, kalau begitu, bagaimana kalau engkau kami tarik sebagai anggota Hwa I Kaipang? Aku ingin engkau menjadi pembantuku yang dapat ku andalkan dan kupercaya.

“Heii, tidak begitu mudah...!!” Tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dari luar gua. “Wah, si rewel itu akan membuat ulah lagi, heh-heh-heh!” Pek Mau Lokai berkata sambil

tertawa dan memandang keluar gua. Tiga orang ketua cabang juga memandang keluar sambil tersenyum. Melihat mereka semua memandang keluar gua, Siauw Cu juga menoleh dan dia melihat seorang gadis berdiri di depan gua. Gua itu agak gelap, dan di luar demikian terangnya sehingga gadis itu seperti berada di dalam sinar yang cerah dari atas. Seorang gadis yang manis sekali dengan pakaian tambal-tambalan dan berkembang-kembang, akan tetapi selain pakaian itu amat bersih, juga potongannya amat manis sehingga tidak seperti pakaian pengemis, melainkan seperti pakaian mode terakhir, model terbaru yang tentu akan menarik perhatian gadis-gadis lain! Rambutnya yang hitam dan lebat itu digelung ke atas, sembarangan saja agak awut-awutan dan diikat pita merah dan diperkuat tusuk sanggul dari perak berbentuk burung merak. Tidak memakai perhiasan lain, namun justeru kesederhanaannya itu bahkan menonjolkan kecantikannya yang alami. Dahinya berkulit halus seperti lilin, dengan anak rambut halus lembut melingkar mesra di dahi dan kening, sepasang alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis dan tidak ditambah penghitam apapun.

Sepasang matanya seperti mata burung Hong, tajam dan menantang namun mengandung kelembutan yang khas wanita. Kedua pipinya putuh kemerahan tanpa pemerah, hidungnya kecil mancung dan nampak lucu karena ujungnya agak berdongak, mulutnya amat manis, dengan sepasang bibir yang merah basah tanpa gincu, dan selalu dibayangi senyum dikulum dengan lesung pipit di sebelah kiri dan garis-garis manis di sebelah kanan. Dagunya yang meruncing memberi kesan wajah itu berbentuk seperti telur. Usianya tentu tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dengan tubuh yang tinggi ramping, kedua kaki panjang dan sepatu kulit hitam mengkilap itu sungguh tidak pantas dipakai seorang pengemis!

“Heii, anak bengal! Apa lagi kau ribut-ribut di situ?” teriak Pek Mau Lokai. “Kalau mau bicara, jangan berteriak-teriak dari luar, masuklah saja dan bicara yang baik dan pantas!”

“Kong-kong (kakek), aku tidak mau masuk! Di situ ada orang asing!”

Lee Ti, atau Lee-pangcu, ketua cabang Hwa I Kaipang di barat, tertawa dan berseru, “Hui Yen, kami adalah paman-pamanmu, bukan orang asing!” “Lee-susiok (paman guru Lee), aku tidak maksudkan kalian bertiga!” jawab gadis yang disebut dengan nama Hui Yen itu.

“Yen Yen, jangan tidak sopan. Tamu kita ini adalah Cu Goan Ciang, dan mulai hari ini dia menjadi saudara kita, menjadi pembantu utamaku di sini,” kata kakek Pek Mau Lokai sambil tersenyum. Gadis itu bernama Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen, berusia dua puluh tahun. Ia adalah cucu dalam dari Pek Mau Lokai Tang Ku It. Ayah dan ibu anak itu telah tewas dalam pertempuran besar antara kelompok Hwa I Kaipang yang diserbu pasukan pemerintah dan anggota kaipang lain yang memusuhi mereka.

“Justru itulah, kek, maka tadi aku mengatakan tidak boleh begitu mudah. Pembantu kakek berarti seorang yang akan memimpin kaipang kita, berarti dia haruslah seorang yang cakap dalam kepemimpinan, bijaksana, cerdik, berwibawa, dan terutama sekali memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada para anggota kita. Apakah orang muda itu memiliki kesemuanya itu?”

Pek Mau Lokai memandang kepada Siauw Cu sambil tersenyum lebar. “Begitulah cucuku itu, selalu ingin memuji orang!”

“Suhu, kami kira hal itu baik sekali. Kalau Cu-sicu ini menjadi pembantu suhu, sudah selayaknya kalau dia memperlihatkan kepandaiannya agar dilihat oleh para anggota sehingga kelak tidak akan ada anggota yang merasa penasaran dan ragu.”kata Lee Ti dan kedua orang rekannya juga mengangguk menyetujui.

Siauw Cu mengerutkan alisnya. “Mana aku berani kurang ajar terhadap cucu lo-cian-pwe yang lihai?”

“Ha-ha-ha, katakan saja engkau sungkan melawan seorang wanita! Akan tetapi biar ia seorang gadis, Yen Yen telah memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan tingkat para muridku yang lain. Dan biarpun ia cucuku, akan tetapi engkau tidak berkelahi melawannya, melainkan hanya bertanding untuk diuji kepandaianmu olehnya. Nah, sambutlah tantangannya, Siauw Cu.”

Terpaksa Siauw Cu bangkit dan keluar, diikuti Pek Mau Lokai dan ketiga orang ketua cabang. Siauw Cu merasa panas juga perutnya melihat gadis manis itu berdiri dengan pandang mata menantang dan senyum mengejek dan memandang rendah.

Diam-diam Yen Yen memperhatikan pemuda yang melangkah keluar dari dalam gua itu. Sejak ayah ibunya belum meninggal dua tahun yang lalu, ayah ibunya selalu mendesaknya agar mau menikah. Namun, Yen Yen selalu menolak. Banyak pinangan datang, namun terpaksa ayah ibunya menolak halus karena gadis itu tidak pernah mau dan mengatakan bahwa kalau ayah ibunya menerima pinangan orang, ia akan menolak dan pada hari pernikahan, ia akan minggat. Ia mengemukakan tekadnya bahwa kalau belum bertemu dengan seorang pria yang menjadi pilihan hatinya, ia tidak mau menikah. Setelah ayah ibunya meninggal, tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, tidak ada lagi orang yang mendesaknya untuk menikah. Kakeknya, yang menjadi pengganti ayah ibunya juga menjadi gurunya, tidak mendesak, hanya bertanya mengapa sampai berusia dua puluh tahun ia belum juga mau menjatuhkan pilihannya. Orang macam apa sih yang diharapkannya demikian kakeknya pernah bertanya. Ia menjawab bahwa pria itu harus memenuhi semua harapan hatinya, cocok dengan seleranya dan terutama sekali, harus dapat mengalahkannya dalam pertandingan silat.

Kini kedua orang muda itu saling berhadapan. Siauw Cu memandang dengan sikapnya yang tenang dan berwibawa, alisnya agak berkerut karena dia menganggap gadis ini terlalu sombong dan manja. Dan Yen Yen berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya seperti seorang nona majikan terhadap seorang muridnya. Sejenak mereka saling pandang, Siauw Cu menunggu dengan tenang, Yen Yen mengamati pemuda itu pernuh selidik dengan sikap menantang, seperti sikap ayam aduan berlagak sebelum bertanding.

“Hemm, orang muda, engkau memiliki kemampuan apa sih mau menjadi pembantu kakekku, ketua Hwa I Kaipang?” kata Yen Yen dengan sikap tinggi hati sekali. Kini Pek Mau Lokai dan tiga orang ketua cabang sudah keluar dari gua dan duduk di atas batu, menjadi penonton. Bahkan para anggota Hwa I Kaipang yang kebetulan melihat adegan itu, tanpa dipanggil sudah datang sehingga sebentar saja tempat itu sudah dikelilingi puluhan orang yang menonton dengan hati tegang dan wajah gembira. Mereka mengenal watak Yen Yen yang galak dan yang suka sekali memuji kepandaian orang. Dan banyak di antara mereka yang merasa iba kepada pemuda yang nampak pendiam dan sederhana itu, karena sukar mencari orang yang mampu menandingi kelihaian Yen Yen.

Mendengar gadis itu bicara kepadanya seolah-olah seorang dewasa terhadap seorang kanak- kanak, wajah Siauw Cu menjadi kemerahan dan sinar matanya menyambar dan berkilat.

“Nona kecil, karena usiamu tidak akan lebih tua dari aku, maka tidak semestinya engkau menyebut aku orang muda, seolah-olah engkau sudah tua renta dan pikun!”

Ucapan Siauw Cu ini bukan untuk melucu melainkan karena dia mendongkol, akan tetapi terdengar lucu sehingga Pek Mau Lokai tertawa bergelak dan para anggota Hwa I Kaipang juga tersenyum dengan hati khawatir karena tentu gadis itu akan marah sekali. Dan memang Yen Yen menjadi marah. Mukanya yang memang sudah putih kemerahan itu kini menjadi merah, seperti seekor bunglon yang berubah warna, matanya mencorong dan menggerakkan tangan kirinya, jari telunjuk kiri ditudingkan ke arah muka Siauw Cu.

“Bocah sombong!” Biarpun usiamu lebih tua dariku, dalam pandanganku engkau masih kanak-kanak, tahu? Dan seorang kanak-kanak seperti engkau ingin menjadi pembantu kakekku memimpin para anggota Hwa I Kaipang? Tidak begitu mudah, sobat!”

Panas juga rasa perut Siauw Cu. Gadis ini terlalu memandang rendah dan lidahnya tajam melebihi ujung pedang. Akan tetapi karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah cucu Pek Mau Lokai, diapun menahan diri. “Nona, bukan kehendakku untuk menjadi pembantu kakekmu, melainkan beliau sendiri yang mengkehendakinya.”

“Hemm, kukatakan tadi tidak semudah itu. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, engkau tidak pantas menjadi pembantu kakek. Hayo, coba kita lihat bersama apakah engkau mempunyai kemampuan untuk menandingi ilmu silatku. “Berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda dengan lagak yang gagah sekali.

Cu Goan Ciang tersenyum dan dia menoleh ke arah Pek Mau Lokai. Biarpun kakek itu tadi sudah menganjurkan agar dia menyambut tantangan gadis itu, tetap saja dia merasa sungkan dan tidak enak hati terhadap ketua Hwa I Kaipang. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, Pek Mau Lokai sambil tertawa mengangguk. Siauw Cu lalu melangkah maju menghampiri gadis itu. Dia melihat betapa kuda-kuda gadis itu gagah sekali, dengan kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang, kaki kiri ditekuk rendah, tangan kanan diangkat ke atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada.

Siauw Cu tidak berani memandang ringan. Gadis ini adalah cucu Pek Mau Lokai yang dia tahu amat lihai, maka tentu gadis inipun bukan orang lemah, bahkan mungkin merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi, kecerdikan Siauw Cu membuat dia dapat menduga bahwa dia a kan mampu menandingi gadis itu. Kalau tidak demikian halnya, tidak mungkin kakek itu mengangkatnya sebagai pembantu dan menganjurkan dia menyambut tantangan Yen Yen.

Kakek yang sakti itu sudah melihat sepak terjangnya ketika mereka di keroyok pasukan, tentu telah dapat mengukur kepandaiannya dan membandingkan dengan tingkat kepandaian Yen Yen.

“Kuharap nona tidak bersungguh-sungguh, kita bukan musuh yang sedang berkelahi,” dia mengingatkan.

Gadis itu cemberut. “Siapa yang memusuhimu? Kita sedang menguji kepandaian, bukan berkelahi. Tentu saja aku bersungguh-sungguh!” katanya.

“Baik, aku sudah siap. Silakan mulai, nona.”kata Siauw Cu dan diapun sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki seperti orang menunggang kuda, kedua tangan dirangkap di depan dada seperti memberi hormat dan begitu lawan bergerak, kedua tangannya turun ke dekat pinggang kanan kiri.

“Lihat seranganku, haiiittt !” Yen Yen berseru dan iapun menerjang dengan gerakan yang

dahsyat. Siau Cu terkejut dan kagum ketika merasa angin pukulan menyambar dengan kuatnya. Benar seperti dugaannya, gadis ini lihai sekali. Karena dia memang sudah menduga demikian, biarpun kaget, dia sudah siap sedia dan cepat dia menggerakkan kaki memutar tubuh miring sambil menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.

“Dukk-duk-dukk!” Tida kali berturut-turut dia menangkis pukulan berantai dari Yen Yen dan tangkisann yang ketiga kalinya membuat gadis itu agak terdorong ke belakang.

Yen Yen merasa penasaran. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, ia masih kalah kuat, maka ia lalu mempergunakan kecepatannya dan menyerang lagi dengan cepat dan bertubi- tubi. Namun, Siauw Cu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki pertahanan yang kokoh. Dia dapat pula mengimbangi kecepatan gerakan lawannya dengan langkah-langkahnya, bahkan dia juga mulai membalas dengan serangan yang tak kalah cepat dan kuatnya.

Terjadilah pertandingan yang membuat semua anggota Hwa I Kaipang merasa kagum. Inilah yang dikehendaki oleh Lee-pangcu ketika dia menyetujui Siauw Cu menerima tantangan itu. Dengan memperlihatkan ilmu silatnya yang ternyata mampu menandingi ilmu kepandaian Yen Yen, dengan sendirinya para anggota Hwa I Kaipang menjadi kagum dan tentu tidak akan ada yang merasa penasaran kalau nanti mereka mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu diangkat menjadi pembantu utama sang ketua.

Lima puluh jurus lewat dengan ramainya dan biarpun para anggota Hwa I Kaipang semua menganggap bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian seimbang dan pertandingan itu seru dan saling serang, namun Yen Yen sendiri, juga tiga orang ketua cabang dan tentu saja Pek Mau Lokai maklum bahwa Siauw Cu telah banyak mengalah dalam pertandingan itu. Balasan serangan pemuda itu bukan untuk mendesak, melainkan hanya dilakukan untuk membendung serangan lawan saja. Serangan balasannya hanya untuk melindungi dirinya, bukan untuk menjatuhkan lawan. Hal ini lama-kelamaan terasa juga oleh Yen Yen, membuat ia menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah dada lawan sambil mengerahkan seluruh tenaganya! Inilah serangan yang amat berbahaya sehingga Pek Mau Lokai sendiri mengerutkan alisnya, menganggap cucunya itu keterlaluan sekali karena serangan maut seperti itu tidak pantas dilakukan dalam pertandingan menguji kepandaian atau pi-bu (adu silat) persahabatan, bukan mengandung kebencian atau permusuhan. Akan tetapi, karena dia percaya akan kemampuan Siauw Cu, diapun tenang-tenang saja, tidak seperti tiga orang muridnya yang menjadi pucat wajahnya. Tiga orang ketua cabang ini memiliki ilmu kepandaian silat yang setingkat dengan Yen Yen dan mereka juga tahu betapa hebatnya ilmu yang juga mereka kuasai itu.

Siauw Cu merasakan sambaran angin dahsyat dari kedua tangan itu dan dia mengenal pukulan berbahaya, maka diapun segera menggunakan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika kedua tangan lawan lewat di bawahnya, kedua tangannya dengan tubuh menukik itu menyambar, mencengkeram ke arah kepala Yen Yen!

“Aihhh. !!” Tiga orang ketua cabang melompat berdiri saking kaget dan khawatirnya, hanya

Pek Mau Lokai yang tetap duduk tenang walaupun mukanya berubah kaget karena kalau tadi dia dapat mengenal ilmu silat Siauw Cu dengan jurus-jurus yang ampuh dari Siauw-lim-oai, kini dia tidak mengenal ilmu yang dipergunakan Siauw Cu ketika tubuhnya mencelat ke atas seperti burung itu. Dia yakin bahwa biarpun Siauw Cu dapat mencengkeram kepala dan menewaskan cucunya, namun pemuda itu tidak mungkin mau melakukannya. Dan benar saja, Siauw Cu sudah melompat turun lagi dan berkata lirih.

“Maafkan aku, nona.” Tangannya bergerak dan sebatang tusuk sanggul perak melayang ke arah gadis itu. Yen Yens cepat menyambutnya dan mukanya berubah kemerahan. Kiranya, tusuk sanggulnya telah dapat dicabut pemuda itu tanpa ia merasakannya! Ini saja sudah merupakan bukti nyata bahwa ia telah kalah, karena kalau pemuda itu menghendaki tadi dia telah mencabut tusuk sanggul, melainkan mencabut nyawanya melalui cengkeraman pada kepalanya!

Akan tetapi Yen Yen adalah seorang gadis yang galak dan tidak mudah mau menerima kekalahan walaupun sesungguhnya ia tidak sombong. Ia lincah dan agak binal, memandang rendah siapa saja sebelum ia yakin benar akan kemampuan orang itu. Kini, setelah menancapkan lagi tusuk sanggulnya dan peristiwa itu tidak dilihat para anggota Hwa I Kaipang, kecuali kakeknya dan tiga orang ketua cabang, ia lalu menggerakkan tangannya dan di lain saat ia telah mancabut sebatang tongkat sebesar ibu jari kakinya yang tadi ia selipkan di punggung. Ia memutar-mutar tongkat yang panjangnya satu meter itu di antara jari-jari tangan kirinya sehingga tongkat itu berputar cepat seperti kitiran.

“Orang She Cu, engkau boleh juga. Akan tetapi kalau engkau belum mengalahkan tongkatku, aku belum puas. Tongkat adalah senjata keramat para pengemis untuk menaklukkan setan dan iblis. Majulah dan keluarkan senjatamu!” tantangnya. “Nona, aku hanya mempunyai sebatang pedang, akan tetapi pedang itu hanya akan kupergunakan untuk menghadapi musuh.” Dia teringat akan pedangnya, pedang yang pernah menembusi dada Lee Siang kekasihnya, pedang yang sejak saat itu selalu dibawanya dan tadi dia tinggalkan di dalam gua karena dia tidak ingin menghadapi tantangan nona itu dengan senjata di tangannya. “Karena ini hanya merupakan pertandingan persahabatan, aku akan menghadapi tongkatmu dengan tangan kosong saja.”

“Ihhh, berani engkau memandang rendah tongkat kami? Ingat, ilmu tongkat kami Hok-mo- tuung (Tongkat Penakluk Iblis) tak terkalahkan di dunia ini!”

Mendengar ini, kakeknya tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yen Yen, jangan tekebur seperti itu! Engkau memalukan kakekmu saja. Mana ada ilmu yang tak terkalahkan di dunia ini. Tidak ada!”

Yen Yen memandang kakeknya. “Kek, kenapa kita harus merendahkan ilmu sendiri. Orang she Cu, kuperingatkan sekali lagi. Keluarkan senjatamu untuk menghadapi tongkatku!”

“Tidak nona, cukup dengan kedua tangan kakiku saja. Majulah, aku telah siap menghadapi tongkatmu!”

Marahlah Yen Yen. Ia menganggap pemuda itu yang telah berhasil mencabut tusuk sanggulnya, terlalu memandang rendah tongkatnya. “Baik, engkau sendiri yang mencari penyakit. Nah, sambutlah tongkatku!” Berkata demikian, ia menerjang dengan amat cepatnya.

Dengan sigap Siauw Cu mengelak ke samping, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya secara aneh! Dia menggerakkan tangan untuk menangkap ujung tongkat itu, untuk merampasnya, akan tetapi ujung tongkat tergetar dan lepas dari sambaran tangannya dan secara aneh telah meluncur dan menusuk ke arah antara kedua matanya!

“Ehh...!” Siauw Cu terkejut dan cepat melangkah mundur, akan tetapi kembali ujung tongkat itu telah menotoh jalan darah di depan tubuhnya secara bertubi-tubi. Dia mengelak ke sana- sini dan dalam waktu beberapa detik saja, ujung tongkat itu telah menyerang dengan totokan ke arah lima jalan darah di bagian tubuh depan.

Siauw Cu meloncat ke belakang dan agak terhuyung, dan tongkat itu sempat pula menotok pundaknya. Untung dia masih miringkan pundak sehingga tongkat itu tidak tepat mengenai jalan darah, akan tetapi tetap saja sempat membuat dia tergetar dan terhuyung, dan bajunya di bagian pundak itupun berlubang!”

“Nah, baru engkau merasakan sedikit kelihaian tongkatku!” kata nona itu dengan suara mengandung kebanggaan.

“Tongkatmu hebat, nona, akan tetapi aku belum kalah,” kata Siauw Cu penasaran dan begitu gadis itu menggerakkan tongkatnya lagi, diapun cepat memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat!

“Hemm...!” Pek-mau Lo kai berseru kagum dan dia tidak berkedip mengikuti gerakan- gerakan Siauw Cu ketika menghadapi desakan tongkat itu dengan ilmunya yang aneh. Dia melihat gerakan pemuda itu seperti seekor burung rajawali saja. Tangkisan yang biasanya dilakukan, lengan menuju ke luar, kini sebaliknya tangkisan itu dari luar ke dalam, disusul cengkeraman. Juga tubuh itu seringkali mencelat ke atas dan menukik seperti seekor burung rajawali menyambar. Kakek itu merasa kagum dan heran. Dia tak mengenal ilmu silat Siauw- lim-pai mengenai dasar gerakan ilmu silat itu yang kokoh kuat, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda ini, walaupun memiliki dasar gerakan kaki tangan Siauw-lim-pai, namun amat aneh gerakan kembangannya, mirip burung rajawali. Pernah dia melihat ilmu silat yang meniru gerakan burung rajawali, seperti yang terdapat pada aliran Kun-lun-pai, akan tetapi tauw-kun (silat rajawali) yang dimainkan pemuda ini berbeda sama sekali dan amat hebatnya.

Yen Yen sendiri menjadi bingung. Kini tongkatnya tak pernah mampu mendekati lawan, bahkan terancam untuk dirampas. Gerakan yang cepat, kadang mencelat ke atas itu amat membingungkannya. Baru belasan jurus saja, dua kali tongkatnya hampir terampas.

Lawannya menangkis dari luar ke dalam diteruskan cengkeraman dan dua kali sudah tongkatnya kena dicengkeram lawan, akan tetapi dapat ia tarik lepas kembali. Pek Mau Lokai maklum bahwa yang dua kali itu, kalau Siauw Cu menghendaki, tentu dia sudah dapat merampas tongkat, atau setidaknya mencengkeramnya patah-patah. Akan tetapi, agaknya pemuda itu tidak mau merusak tongkat, dan hal ini membuat dia semakin senang dan kagum. Memang ilmu silat tongkat cucunya belum sempurna benar. Kalau dia yang memainkan tongkat itu, tentu dia akan mampu mengimbangi ilmu silat aneh dari Siauw Cu.

Tiba-tiba tongkat itu menyambar dan tertangkap lagi oleh Siauw Cu. Sekali ini, Siauw Cu tidak merampas tongkat, tidak pula merusaknya, hanya menangkap dan menahan tongkat itu sehingga biarpun Yen Yen mengerahkan tenaga untuk menariknya kembali tongkat itu tidak dapat terlepas lagi. Hal ini menjengkelkan hati Yen Yen. Gerakan tongkatnya adalah gerakan seperti seekor ular. Kalau tangan biasa saja jangan harap dapat menangkapnya, karena gerakannya dapat berputar dan licin seperti tubuh ular. Akan tetapi, biarpun tadi dua kali Siauw Cu terpaksa melepaskan lagi, kini, dengan gerakan tangan seperti paruh rajawali mematuk, dia berhasil menangkap tongkat itu sehingga tidak dapat terlepas lagi! Dalam geramnya, Yen Yen menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah muka Siauw Cu.

Pemuda ini menggerakkan pula tangan kana, membentuk paruh rajawali dan tahu-tahu tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri gadis itu. Gadis itu menarik-narik dan meronta-ronta, namun baik tangan kirinya maupun tongkatnya tidak dapat terlepas lagi dari kedua tangan Siauw Cu. Mereka kini kelihatan saling tarik sehingga nampak lucu seperti dua orang kanak-kanak memperebutkan mainan!

“Lepaskan!” bentaknya, akan tetapi Siauw Cu tidak mau melepaskan, karena dia maklum bahwa begitu terlepas, gadis itu akan menyerangnya dari jarak dekat dan hal ini cukup berbahaya.

“Baik, kau menghendaki tongkatku! Nah, ambillah!” Tiba-tiba dengan marah ia melepaskan tongkatnya, lalu tangan kanannya menotok ke arah tenggorokan Siauw Cu!

Siauw Cu sudah menduga akan hal ini, maka cepat diapun menggigit tongkat itu dan kini tangan kirinya menyambut, menangkap pula pergelangan tangan kanan itu sehingga kini kedua tangan gadis itu tertangkap olehnya. Yen Yen semakin marah, menarik dan meronta, namun kedua tangan Siauw Ce seperti sepasang tangan baja yang amat kuat. Dan tiba-tiba Yen Yen menangis!

Siauw Cu terkejut bukan main, cepat melepaskan kedua tangan itu dan meloncat ke belakang, lalu menyerahkan tongkat itu kembali. “Maafkan aku, nona, terimalah kembali tongkatmu.” Akan tetapi gadis itu mendengus, membalikkan tubuhnya lalu berlari meninggalkan tempat itu, membuat Siauw Cu berdiri bengong dengan muka merah dan hati menyesal karena ia telah membikin marah cucu Pek Mau Lokai. Akan tetapi, tepuk tangan memujinya dan para anggota Hwa I Kaipang bertepuk tangan memuji, sedangkan Pek Mau Lokai tahu-tahu sudah berada di depannya dan menerima tongkat cucunya itu.

“Ha-ha-ha, engkau telah dapat menaklukkan cucukuyang seperti naga betina itu, ha-ha!’ Kakek itu tertawa-tawa gembira.

Tiga orang ketua cabang itu saling pandang, lalu mereka bertiga mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata. “Cu-sicu, kionghi (selamat)!”

“Ehh? Apa maksud paman bertiga?” tanya Siauw Cu heran mengapa tiga orang itu memberi selamat kepadanya. Pada hal, kemenangan dalam ujian silat itu lama sekali tidak perlu diberi selamat, apa lagi melihat akibatnya membuat gadis itu merasa jengkel dan marah.

Pek Mau Lokai yang menjawab, “Siauw Cu, engkau tidak tahu bahwa senjata tongkat bagi kami merupakan senjata andalan, juga merupakan tanda bahwa kami adalah anggota kaipang yang setia. Tongkat merupakan kawan dan senjata yang setia bagi kami dan tidak akan kami tinggalkan, apa lagi kami serahkan kepada orang lain. Kalau kami menyerahkan tongkat itu, berarti taluk, sama dengan menyerahkan hati, nyawa, dan badan. Dan kini cucuku yang selama ini menolak semua lamaran orang, menganggap tidak ada pria yang patut menjadi jodohnya, hari ini ia menyerahkan tongkatnya kepadamu! Ha-ha-ha, hal itu hanya mempunya satu arti, bahwa ia taluk kepadamu, dan ia menyerahkan hatinya kepadamu.” Dia tertawa, diikuti empat orang ketua cabang.

Mendengar ini, Cu Goan Ciang terkejut bukan main. “Ah, nona Tang menyerahkan tongkat karena tidak mampu merampasnya kembali dariku dan aku merasa menyesal sekali telah membuat ia marah. Bukan....bukan maksudku untuk. ”

“Siauw Cu, mari kita bicara di dalam.” Mereka masuk kembali ke dalam gua basar dan duduk di lantai bertilamkan tikar tebal. “Kuharap engkau jangan menyangka salah. Kami semua orang mengetahui bahwa dengan penyerahan tongkat tadi, Yen Yen telah menyatakan taluk padamu, dan ia kagum padamu, dan ia bahkan tentu akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi jodohmu. Akan tetapi, sama sekali bukan berarti bahwa ia akan memaksamu untuk menjadi jodohnya. Kami semua percaya akan cinta kasih kedua pihak dalam perjodohan. Jadi, kalau engkau tidak membalas perasaan hatinya, hal itupun tidak akan mendatangkan penyesalan apapun dan kami hanya akan menganggap bahwa kalian tidak berjodoh.”

“Akan tetapi, kalau boleh saya mengemukakan pendapat saya, Cu-sicu. Bukanlah sikap yang bijaksana kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis seperti Yen Yen. Ia cantik jelita, berbudi mulia, patriot sejati, berwatak pendekar, cerdik, dan memiliki ilmu silat tinggi. Para pemuda yang pernah mengenalnya, dari golongan kecil sampai golongan yang paling besar, semua kagum dan mengharapkan uluran kasihnya, namun semuanya ditolaknya. Dan kalau sekarang ia memilihmu, sicu, sungguh luar biasa sekali. Kalau engkau tidak menyambutnya ” kata Kauw Bok yang pendek gendut.

Tentu saja Siauw Cu merasa tidak enak sekali terhadap Pek Mau Lokai. Dia menarik napas panjang dan teringatlah dia akan wajah Kim Lee Siang. Dia tahu bahwa dia mencinta Lee Siang, dan baru saja dia ditinggal Lee Siang yang mati secara amat menyedihkan. Bagaimana dalam waktu beberapa hari saja, dia dapat melupakan Lee Siang dan menyambut uluran cinta seorang gadis lain?

“Tadi aku mendengar bahwa Pangcu dan semua anggota Hwa I Kaipang percaya bahwa cinta kasih kedua pihak dalam perjodohan. Kepercayaan ini sama dengan kepercayaanku.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar