Rajawali Lembah Huai Jilid 05

Jilid 05

Cu Goan Ciang maklum bahwa kalau dia tidak cepat bertindak, kekalahan ini akan menimbulkan dendam yang berkelanjutang yang akhirnya hanya akan merugikan kedua pihak, maka dia lalu berkata kepada guru silat itu. “Kwa-kauwsu, sebaiknya kalau permusuhan ini diakhiri sampai di sini. Perjodohan tidak mungkin dapat dipaksakan. Engkau telah membunuh empat orang pembantu utama pangcu dari Jang-kiang-pang di lain pihak, sepuluh orang muridmu juga tewas. Habisi saja permusuhan ini dan anggap saja bahwa Nona Liu Bi bukan jodohmu.”

Guru silat itu dengan wajah lesu dan masih menunduk, mengangguk dan berkata lemah, “Aku mengaku kalah. ”

“Nanti dulu, terlalu enak kalau hanya bergitu, “kata Liu Bi penasaran. “Kalau dia masih tinggal di sini, aku tidak tanggu bahwa lain kali tidak akan terjadi bentrokan lagi karena kami tentu tidak mudah melupan begitu saja penghinaan yang telah dia lakukan terhadap kami.”

“Hemmm, lalu apa yang kau kehendaki, pangcu?” tanya Cu Goan Ciang.

“Dia harus pergi dari sini dan membubarkan Yang-ce Bu-koan dan tidak pernah lagi memperlihatkan mukanya di sini. Kalau hal itu tidak dia lakukan, terpaksa aku akan membunuhnya!” Cu Goan Ciang, mengerutkan alisnya. Memang harus dia akui bahwa guru silat itu telah membuat kesalahan, namun hukuman yang dideritanya sekarang sudah cukup hebat. Sepuluh orang muridnya tewas, niatnya memperisteri ketua Jang-kiang-pang gagal dan namanya pun jatuh. Akan tetapi, Liu Bi menuntut yang lebih keras lagi, menunjukkan bahwa watak ketua Jang-kiang-pang ini berwatak keras, tidak selembut watak Kim Lee Siang. Akan tetapi, dia hanya orang luar dan urusan itu adalah urusan pribadi antara Liu Bi dan Kwa-kauwsu, maka diapun tidak dapat mengambil keputusan.

“Bagaimana pendapatmu, Kwa-kauwsu?”

Guru silat itu mengangguk dengan wajah muram. “Hemm, kaukira aku masih sudi tinggal di sini setelah aku kalah oleh bocah she Cu ini? Jangan khawatir, hari ini juga aku akan membubarkan Yang-ce Bu-koan dan akan meninggalkan tempat ini.”

Legalah hati Goan Ciang. Kiranya guru silat ini sudah patah hati dan malu untuk tetap tinggal di situ sehingga memudahkan apa yang dikehendaki Liu Bi, maka tidak akan menimbulkan persoalan lagi.

Ketika dengan sikap ramah, Liu Bi mempersilakan Goan Ciang untuk singgah di perkumpulannya untuk ikut merayakan kemenangan itu, dia hendak menolak, akan tetapi ketika Lee Siang juga ikut mengundangnya, dia tidak dapat lagi menolak. Bagaimanapun juga, dia tertarik sekali kepada Lee Siang dan dia ingin mengenal lebih dekat dua orang kakak beradik seperguruan itu. Mereka ini merupakan tenaga-tenaga yang kuat dan baik sekali kalau kelak dia membutuhkan persekutuan seperti yang dicita-citakannya. Demikianlah, diapun ikut pulang bersama Liu Bi dan Lee Siang dan diperlakukan dengan sikap hormat oleh para anggota Jang-kiang-pang yang menganggapnya sebagai seorang yang telah menyelamatkan ketua mereka. Karena dia sendiri masih menjadi buronan pemerintah, maka Goan Ciang juga tidak menolak ketika Lee Siang menyarankan agar untuk semetara dia bersembunyi di perkumpulan itu.

Setelah tinggal di perkumpulan Jang-kiang pang selam dua minggu, hubungan Goan Ciang dengan kedua orang kakak beradik seperguruan itu menjadi akrab dan kini dia mulai mengenal betul watak kedua orang gadis itu. Dia semakin kagum kepada Lee Siang karenaa biarpun gadis ini menjadi wakil pimpinan perkumpulang Jang-kiang-pang yang mengutamakan kekerasan, namun pada hakekatnya Lee Siang adalah seorang wanita yang berwatak pendekar yang gagah perkasa, bahkan dalam percakapannya dengan gadis itu, Goan Ciang dapat menyelami watak Lee Siang yang sebetulnya patriotik karena gadis ini diam- diam membenci penjajah Mongol, cocok dengan wataknya sendiri. Akan tetapi sebaliknya, ketua Jang-kiang-pang, yaitu Jang-kiang Sian-li Liu Bi, adalah seorang wanita yang haus akan kekuasaan dan kemewahan sehingga dia tidak segan-segan untuk membantu pemerintah Mongol dan bersahabat baik dengan para pejabat tinggi.

Kedua orang gadis itu memang cantik. Bahkan kalau diukur tentang kecantikan, Liu Bi lebih cantik dari Lee Siang karena Liu Bi pandai berhias, genit dan pandai sekali memikat hati pria, pandai memainkan mata dan senyum memikat. Dan walau usianya sudah tiga puluh tahun, namun Liu Bi nampaknya sebaya dengan suaminya yang baru berusia delapan belas tahun itu. Namun, dalam hal ilmu kepandaian silat, ilmu mereka tidak banyak selisihnya, hanya ada satu kelebihan Liu Bi, yaitu bahwa ia selain ilmu silat, juga memiliki keahlian dalam hal penggunaan racun, ilmu yang tidak dipelajari oleh Lee Siang. Betapapun juga, ada rasa kagum dalam hati Goan Ciang terhadap Liu Bi. Wanita itu memang genit dan bergaul akrab dengan para pejabat pemerintahan Mongol, akan tetapi ia bukan golongan wanita cabul. Ia bahkan angkuh terhadap pria, bukan wanita murahan. Itulah sebabnya pula mengapa sampai berusia tiga puluh tahun, ia belum mau menikah dan seperti yang telah dilakukan terhadap Kwa-kauwsu, kalau ada pria berani meminangnya, ia selalu menolak dengan cara yang kasar. Agaknya, di dunia ini tidak ada seorangpun pria yang cukup pantas untuk menjadi suaminya!

Setelah tinggal di tempat itu selama belasan hari dan setiap hari bergaul dengan Lee Siang, kalau bercakap-cakap selalu keduanya saling merasa cocok, kalau berlatih silat mereka saling mengagumi, maka bukan hal yang aneh kalau mulai timbul perasaan aneh dalam hati kedua orang muda ini. Perasaan yang dimulai pada saat pertama kali ketika mereka duduk berhimpitan dalam joli itu, kemudian dipupuk oleh saling pengertian dan kecocokan hati dan selera. Mulailah terdapat sesuatu yang lain dalam sikap mereka, dalam pandangan mereka, dalam suara mereka kalau mereka saling berhadapan. Bahkan, tidak bertemu sebentar saja timbul perasaan rindu dalam hati Goan Ciang terhadap Lee Siang.

Suatu senja yang indah di taman bunga belakang rumah besar Liu Bi yang juga menjadi tempat tinggal Lee Siang dan di mana Goan Ciang menjadi tamu, Goan Ciang duduk di atas bangku, berhadapan dengan Lee Siang, di dekat kolam ikan emas dan keduanya nampak bercakap-cakap dengan asyik. Di antara percakapan mereka, nampak tatapan mata yang mengandung sinar kemesraan, senyum yang membayangkan kebahagiaan hati.

“Engkau ingin tahu riwayatku, Siang moi. Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik. Riwayatku hanya mendatangkan kenangan sedih saja,” kata Goan Ciang menjawab pertanyaan gadis itu.

“Aih, twako, kita sudah saling kenal dengan akrab, bahkan menurut perasaanku seolah kita telah menjadi sahabat baik selama bertahun-tahun. Tentu janggal sekali kalau aku tidak tahu riwayat hidupmu, siapa engkau dan dari mana engkau berasal. Aku ingin tahu sekali, twako. Akan tetapi kalau engkau berkeberatan menceritakan kepadaku, akupun tidak berani memaksamu.”

“Siang-moi, terus terang saja, kepada siapapun juga aku tidak akan suka menceritakan riwayatku yang penuh lembaran hitam. Akan tetapi kepadamu lain lagi, Siang-moi, Aku tidak mau engkau menyangka aku tidak percaya kepadamu. Nah, dengarlah riwayat seorang yang hanya satu kali ini saja menceritakan riwayatnya pada orang lain”

“Cu twako...! Jangan memaksa diri, kalau engkau merasa keberatan dan hendak merahasiakan, akupun tidak suka memaksamu dan sunggu, aku tidak akan merasa kecewa...”

Goan Ciang tersenyum. Betapa lembut dan mulia hati gadis ini. “Aku tidak akan memaksa diri, Siang moi. Kepadamu, aku tidak mungkin dapat menyimpan rahasia. Nah, dengarlah. Aku adalah seorang yang berasal dari sebuah dusun Cang-sun, dusun yang terletak di lembah suang Huai. Aku sudah yatim piatu, ayah ibuku meninggal dunia karena bahaya kelaparan dan penyakit. Sejak kecil aku hidup miskin sampai makanpun tidak dapat kenyang setiap hari.” Dengan ringkas namun jelas dan tidak menyembunyikan rahasia, Goan Ciang menceritakan riwayatnya dengan perasaan seperti mencurahkan segala himpitan perasaan hatinya kepada seseorang yang dipercaya sepenuhnya, bahkan yang menjadi tempat yang dianggap paling aman untuk mencurahkan semua isi hatinya. Diceritakannya betapa dia pernah menjadi penggembala ternak, kemudian menjadi kacung di kuil, menerima banyak penghinaan, lalu belajar ilmu dari Lauw in Hwesio da n menjadi seorang gelandangan sampai dia tiba di Wu- han dan dalam perkelahian membunuh Bhong-Ciangkun dan bertemu dengan Lee Siang yang menolongnya.

“Nah, demikianlah riwayatku, Siang moi. Aku seorang pemuda dusun yang miskin dan hina...”

”Cukup, twako. Riwayatmu menarika sekali dan engkau adalah seorang yang digembleng oleh kehidupan sejak kecil. Pantas engkau kini menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin. Aku kagum sekali padamu.”

Wajah Goan Ciang berubah merah karena di dalam hatinya, dia merasa gembira bukan main. Tadinya dia khawatir kalau riwayatnya akan membuat gadis itu memandang remeh kepadanya. Tidak tahunya gadis itu malah memujinya. Sungguh seorang gadis yang luar biasa.

“Sekarang giliranmu, Siang moi. Setelah aku menceritakan pengalamanku, sudah sepantasnya kalau engkaupun menceritakan riwayatmu kepadaku agar kita dapat lebih mengenal keadaan diri masing-masing. Tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan.”

Lee Siang tersenyum, “Riwayatku juga tidak kalah suram dibanding riwayatmu, twako. Biarpun engkau yatim piatu, namun engkau mendapat kesempatan pernah mengenal dan melihat wajah ayah ibumu sebelum mereka meninggal. Aku lebih parah lagi dari itu karena aku tidak pernah mengetahui bagaimana wajah ayah dan ibu kanduku.”

“Aduhh, kasihan sekali engkau, Siong moi!”kata Goan Ciang setulus hatinya.

Gadis itu tersenyum manis. “Tidak perlu dikasihani, twako. Aku sendiri sudah tidak mempunyai perasaan iba kepada diri sendiri. Sejak bayi aku telah dijual oleh orang tuaku kepada seorang keluarga kaya she Kim. Bahkan siapa nama keluarga ayahku yang asli, akupun tidak tahu. Oleh keluarga yang membeliku, aku diberi nama Kim Lee Siang dan kami tinggal di kota Nam-ki di selatan. Karena tidak tahu siapa nama keluarga ayah kandungku, mana akupun menerima namaku itu sebagai nama sendiri sampai sekarang. Tadinya aku tidak tahu bahwa aku bukan anak kandung keluarga Kim. Akan tetapi, setelah aku remaja, aku mendengar rahasia itu dari seorang pelayan keluarga Kim, mejelang kematiannya. Bukan aku saja yang mendengarnya, akan tetapi juga kakakku laki-laki, yaitu putera tunggal keluarga Kim. Dan sejak itu sikapnya terhadap diriku berubah sama sekali.”

“Riwayatmu menarik sekali, Siang moi!”

“Ah, sebetulnya tidak ada yang menarik, hanya menyedihkan. Sejak kecil, aku dan kakak angkat yang tadinya kuanggap kakak kandung itu, mempelajari ilmu silat dan karena dia memang tidak berbakat, dia selalu kalah olehku. Setelah kami menjelang dewasa, ketika itu aku berusia enam belas tahun dan dia berusia dua puluh tahun, pada suatu malam dia mendengar bahwa aku bukan adik kandungnya, bahkan bukan apa-apanya, dia dia mencoba

merayuku. Ketika kutolak, dia lalu nekat hendak memperkosaku.

“Hemmm ”Goan Ciang mengerutkan alisnya, membayangkan betapa kakak itu seorang

yang rendah wataknya. “Aku melawan dan tanpa kusengaja, tahu-tahu aku telah membacoknya dengan pisau dan membunuhnya.”

“Ahh...!” Goan Ciang terkejut.

“Sungguh mati, aku tidak sengaja membunuhnya, twako. Karena dia hendak memaksa aku melawan dan aku menyambar sebatang pisau dan mengancamnya, untuk menakut-nakutinya agar dia sadar dan tidak nekat. Akan tetapi dia agaknya sudah gila. Dia nekat bahkan menyerangku, terpaksa aku melawan dan tanpa kusadari, pisau di tanganku sudah membacok lehernya dan diapun tewas!” Gadis itu menghela napas panjang dan memejamkan mata, seolah hendak mengusir kenangan itu.

“Tidak perlu terlalu disesalkan dan diingat, Siang moi. Bagaimanapun juga, engkau tidak sengaja dan tidak bersalah. Dialah yang keterlaluan.” Goan Ciang menghibur.

Gadis itu membuka matanya dan memandang kepada Goan Ciang dengan sinar mata berseri. “Terima kasih, twako. Setelah peristiwa itu terjadi, ayah dan ibu angkatku menjadi marah dan bukan saja mereka tidak mengakuiku lagi dan mengusirku, bahkan hampir saja aku dikeroyok dan dibunuh. Aku melarikan diri dan sejak itu aku hidup sebatang kara. Akhirnya aku mendapatkan seorang guru silat yang sakti dan bersama suci Liu Bi aku memperdalam ilmu silat. Dan sekarang aku menjadi pembantu suci yang menjadi ketua Jang kiang-pang. Berkat pertolongan suci, maka aku seolah mendapatkan hidup baru karena ialah yang menolongku ketika aku terlunta-lunta, dan ia pula yang minta kepada guru kami untuk menerimaku sebagai murid. Ia melimpahkan kasih sayang kepadaku dan aku menganggap ia sebagai pengganti keluargaku. Demikianlah riwayatku, twako, riwayat yang sama sekali tidak menarik dan menyedihkan saja.”

“Kita berdua mempunyai latar belakang dan nasib yang tak jauh berbeda, Siang moi. Berapa usiamu sekarang Siang moi?”

Gadis itu memandang kepada Goan Ciang sambil tersenyum. “Delapan belas tahun lebih.” “Dan engkau belum mempunyai tunangan?”

“Apa, twako?” Gadis itu terbelalak heran.

“Maksudku, apakah engkau belum mempunyai calon jodoh, calon suami?”

Wajah itu kemerahan, tersipu dan ia menggeleng kepala, lalu bertanya, “Kenapa engkau bertanya tentang itu, twako?”

Goan Ciang juga tersenyum, “Ah, hanya ingin tahu saja.”

Kini gadis itu menatap wajah Goan Ciang dengan penuh selidik, wajahnya sendiri berseri dan senyumnya menggoda dan manis sekali. “Dan bagaiman engkau sendiri, twako? Berapa usiamu dan apakah engkau belum menikah?”

Kini Goan Ciang yang tertegun dan mukanya berubah agak kemerahan. “Usiaku dua puluh tahun lebih, Siang moi, dan aku belum...belum menikah dan belum mempunyai calon isteri. Akan tetapi, kenapa engkau bertanya tentang itu?”

“Mengapa? Hanya ingin tahu saja, twako, kata gadis itu, suaranya menirukan jawaban Goan Ciang tadi. Pemuda itu tertawa, gadis itupun tertawa dan merekapun tertawa karena merasa lucu. Akan tetapi, seperti permulaannya, tawa mereka itupun berhenti tiba-tiba dan mereka saling pandang, seperti terpesona.

“Twako, kenapa engkau memandang seperti itu?”

“Dan engkau mengapa pula memandang seperti itu? Sinar matamu seperti menembus jantungku rasanya.”

“Entahlah, aku. ” Lee Siang tak dapat melanjutkan, mukanya berubah merah sekali dan

iapun menundukkan mukanya. Goan Ciang bangkit berdiri, menghampiri dan berdiri di depan gadis yang masih duduk di bangku itu dan dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin dan agak gemetar. Lee Siang mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh keheranan, juga tersipu.

“Siang moi, kita berdua berasal dari tempat yang rendah, kita sebatang kara dan tidak berarti. Maukah engkau mengarungi samudera kehidupan yang buas ini bersamaku, mencari pantai bahagia untuk kita berdua?”

Sepasang mata yang jeli itu menyelidik. “Apa maksudmu, twako?”

“Siang-moi, maukah engkau menjadi isteriku?”

Kini sepasang mata itu terbelalak kaget, akan tetapi Lee Siang tidak menarik kedua tangannya yang masih digenggam Goan Ciang.

“Kenapa, twako? Kenapa engkau melamarku untuk menjadi isterimu? Kenapa?”

Goan Ciang menatap tajam dan tersenyum. “Siang moi, masih kautanya lagi kenapa aku ingin engkau menjadi isteriku? Karena aku kagum padamu, karena aku cinta padamu, sejak kita duduk di dalam joli itu. Maukah engkau, Siang moi?”

Goan Ciang menarika kedua tangan itu sehingga Lee Siang juga bangkit berdiri, saling berhadapan, dekat, kedua tangan saling berpegang.

“Akupun kagum kepadamu, twako. ” akhirnya gadis itu berbisik, mengaku sejujurnya.

“Dan cinta?”

Gadis itu harus mengangkat muka untuk menatap wajah Goan Ciang. Dua pasang mata saling tatap, bertaut seperti saling menyelidiki. “Aku...aku tidak tahu. akan tetapi aku kagum dan

suka padamu...bukan mustahil inilah perasaan cinta itu. ”

“Siang moi, jadi engkau..mau menjadi isteriku?”

Gadis itu mengangguk sambil tersenym dan saking girangnya Goan Ciang mendekap kepala gadis itu sehingga muka Lee Siang seperti hendak dia benamkan ke dalam dadanya. Tiba-tiba terdengar bentakan lembut, Siang moi...!”

Bagaikan diserang seekor ular, Lee Siang melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang dan mereka berdua memutar tubuh dan melihat Liu Bi telah berdiri di situ dengan alis berkerut dan sepasang mata memandang kepada mereka dengan tajam penuh selidik.

“Sumoi, apa yang kaulakukan ini?” kembali suara itu lembut menegur dan sinar mata itu berkilat menyambar ke arah muka Lee Siang.

“Suci, aku...” gadis itu tergagap dan tersipu.

Sepasang alis yang indah bentuknya ditambah penghitam alis itu berkerut semakin dalam dan sinar matanya menatap wajah kedua orang muda itu bergantian, lalu terdengar berkata, “Begitu mudahnya? Sumoi, lupakah engkau bahwa aku adalah pengganti gurumu, keluargamu, bahkan orang tuamu? Begitu saja engkau hendak menjadi isteri orang tanpa memperdulikan aku?”

Lee Siang terkejut dan baru menyadari bahwa ia memang terlalu lancang mengikat janji perjodohan dengan Goan Ciang tanpa memberi tahu kepada sucinya terlebih dahulu atau setidaknya minta persetujuannya.

“Suci, maafkan....aku.....kami.....semua terjadi begitu tiba-tiba dan. ”

“Sumoi, masuklah. Aku mau bicara denganmu!” kata Liu Bi dan sumoinya mengangguk, mengerling kepada Goan Ciang lalu melangkah pergi meninggalkan taman, memasuki rumah dengan patuh.

Kini Liu Bi berdiri berhadapan dengan Goan Ciang. Pemuda ini memberi hormat dan berkata, “Pangcu, harap engkau suka memaafkan Siang moi. Ia benar, cinta kami begitu tiba-tiba, dan. ”

“Sudahlah, jangan bicarakan hal itu dahulu, Cu enghiong. Biarkan kami bicara dulu karena urusan perjodohan amatlah penting dan tidak dapat diambil keputusan sedemikian mudahnya. Engkau tentu mengerti apa yang kumaksudkan. Kami adalah wanita, harus memperhitungkan baik-baik tentang perjodohan agar tidak menyesal kemudian.”

Goan Ciang mengangguk, “Aku mengerti, pangcu.”

“Nah, selamat malam, Cu-enghiong.” Ketua yang cantik itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan Goan Ciang yang masih berdiri terlongong sambil mengikuti langkah sang ketua. Langkah yang gontai dan indah, lenggang seperti menari, membuat pinggang yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti batang pohon itu tertiup angin, dan pinggul yang menonjol seperti bukit itu menari-nari ke kanan kiri. Baru Goan Ciang menyadari bahwa senja telah berubah malam dan diapun perlahan-lahan kembali ke kamarnya di bagian belakang rumah besar itu.

“Sumoi, kenapa engkau begitu lancang, begitu mudah jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang belum kau kenal benar keadaannya?” di dalam kamarnya di mana ia memanggil sumoinya itu, Liu Bi menegur Lee Siang. Gadis itu duduk di atas kursi dengan muka tunduk dan merah tersipu. “Suci, kami sudah saling mencinta dan aku kagum kepadanya. Dia gagah perkasa, ilmu silatnya tinggi.”

“Sumoi, kau tahu berapa usiamu?” “Delapan belas tahun lebih, suci.” “Dan kau tahu berapa usiaku?”

“Kalau. kalau tidak salah, suci pernah mengatakan usia suci tiga puluh tahun, wlaupun aku

tidak pernah dapat mempercayai karena suci kelihatan tidak lebih tua dari pada aku.”

“Nah, aku yang sudah tiga puluh tahun usiaku belum menikah? Apakah engkau benar-benar sudah mencinta Cu Goan Ciang?”

“Sudah, suci.”

“Dan setelah engkau menikah dengan dia, engkau lalu akan ikut pergi dengan dia?”

Gadis itu mengangguk. “Cu-twako seorang yang hidup sebatang kara, kami berdua akan bertualang bersama, membangun kehidupan baru dalam sebuah rumah tangga yang berbahagia, suci.”

Tiba-tiba sikap ketua Jang-kiang-pang itu berubah. Wajahnya berseri gembira dan senyumnya manis sekali. Ia merangkul sumoinya dan mencium kedua pipinya.

“Ah, aku ikut merasa gembira, sumoi! Aku senang sekali kalau engkau berbahagia.”

Tentu saja Lee Siang yang tadinya merasa khawatir mendapat teguran dan kemarahan sucinya, kini menjadi girang bukan main, Ia balas merangkul dan kedua matanya basah. “Terima kasih, suci. Engkau memang orang yang paling berbudi di dunia ini bagiku. Terima kasih.”

“Aku harus memberi selamat kepadamu dan kita rayakan kebahagiaan ini dengan minum anggur!” Liu Bi lalu pergi ke sebuah almari di mana tersimpan beberapa guci anggur yang tua dan baik. Lee Siang yang mengetahui bahwa sucinya seorang peminum yang kuat, tersenyum. Ia sendiri tidak begitu suka minum anggur keras seperti sucinya, akan tetapi sekali ini, untuk merayakan kebahagiaannya dan untuk menyenangkan hati sucinya yang telah menyetujui perjodohannya dengan Goan Ciang, ia siap untuk minum sampai mabok sekalipun.

Tak lama kemudian, di dalam kamar yang mewah dan diterangi lampu gantung berwarna warni itu, dua orang pimpinan Jang-kiang pang sudah minum anggur dengan gembira.

Dengan setulus hati Liu Bi berkali-kali memberi selamat kepada sumoinya dengan mengajaknya minum secawan anggur. Karena merasa telah memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka mereka tidak mudah menjadi mabok. Biarpun demikian, tetap saja berkurang kewaspadaan Lee Siang, apa lagi ia merasa terlalu gembira melihat sikap sucinya sehingga ia tidak melihat ketika sucinya menaburkan bubuk putik dari dalam sebuah botol kecil ke dalam cawan anggurnya, ketika kembali sucinya mengajaknya minum. Begitu minum habis secawan anggur yang sudah diberi bubuk putik di luar tahunya itu, tiba- tiba Lee Siang merasa pening dan lemas. Ia terkejut sekali, memandang kepada cawannya, lalu kepada sucinya. Nampak tubuh sucinya, seperti berputaran, demikian pula seisi kamar itu.

“Suci, aku.....aku pulang...aneh sekali...”

Dan kini terjadi perubahan pada wajah Liu Bi. Ia tertawa dan suara tawanya amat mengejutkan hati Lee Siang. Gadis itu berusaha sekuat tenang untuk membelalakan matanya agar dapat melihat dengan jelas.

“Tidak aneh, sumoi, karena memang anggur yang kauminum tadi telah kuisi racun!” “Suci.....! Kau. kau meracuni aku? Suci, mengapa? Mengapa kau lakukan ini, suci?” Lee

Siang terkejut bukan main, dan terheran. Ia memaksa diri agar tidak jatuh pingsan walaupun pusing di kepalanya semakin menghebat, pandang matanya berkunang dan tubuh terasa lemas dan berat.

“Hi-hi-hik,” ketua itu tertawa dan kini tawanya terdengar aneh dan mengerikan bagi Lee Siang. “Aku selalu sayang padamu, sumoi, akan tetapi kalau engkau hendak merebut pria pilihanku, terpaksa engkau kusingkirkan!”

“Apa....? Maksudmu...engkau...engkau. ”

“Ya, sejak semula aku telah jatuh cinta kepada Cu Goan Ciang dan aku sudah mengambil keputusan untuk menarik dia menjadi suamiku!”

“Tapi.....tapi..bukankah suci mencinta Perwira Khabuli ?”

“Huh, raksasa kasar itu? Itu hanya demi kedudukan, aku muak melihatnya. Aku mencinta Cu Goan Ciang, dan engkau tidak boleh merampasnya dariku, sumoi.”

“Tapi suci, kalau benar demikian, tidak perlu suci meracuni aku. Aku suka mengalah, suci. Demi Tuhan, kalau aku tahu suci mencinta twako, aku akan mundur, aku akan rela mengalah karena aku sayang padamu, aku menghormatimu. Mengapa harus meracuni aku, suci?”

“Aku tahu dan aku percaya bahwa engkau akan mengalah kepadaku, akan tetapi aku meracunimu agar dia mau menjadi suamiku.”

“Suami ” suara Lee Siang semakin lemah. Gadis ini terlalu heran melihat betapa sucinya

yang saling sayang dengannya kini dapat berlaku sedemikian curang dan kejam kepadanya! Dalam keadaan hampir pingsan dan setengah sadar ia masih melihat sucinya tersenyum mengejek dan bicara dengan suara yang semakin lirih.

“Tenanglah, sumoi. Kalau dia sudah setuju menjadi suamiku, engkau pasti akan kuberi obat penawar. Akan tetapi kalau dia menolak, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membiarkan engkau mati. Racun itu akan membunuhmu selama tiga hari, jadi dalam waktu tiga hari ini, mudah-mudahan Cu Goan Ciang akan suka menjadi suamiku, “ Lee Siang tidak kuat menahan lagi dan iapun terkulai dan tentu akan roboh kalau tidak cepat sucinya merangkul kemudian memondong tubuhnya dan membawa Lee Siang ke dalam kamar gadis itu sendiri, merebahkan tubuh yang pingsan itu ke atas pembaringan, kemudia memanggil pelayan dan menyuruh pelayan menjaga dan merawat Lee Siang yang ia katakan sedang menderita sakit.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Goan Ciang sudah bangun dan setelah mandi dan berganti pakaian, dia segera pergi mengunjungi kamar Lee Siang. Akan tetapi, pintu kamar itu masih tertutup dan dia mengetuknya perlahan. Ketika daun pintu kamar terbuka, yang muncul adalah seorang gadis pelayan, yaitu seorang anggota Jang-kiang-pang.

“Ah, selamat pagi, Cu-enghiong,” kata pelayan itu dengan sikap hormat.

“Selamat pagi. Di mana Kim Siocia?” demikian sebutan bagi Lee Siang untuk para anggota perkumpulan itu.

“Kim Siocia belum bangun dari tidurnya, taihiap (pendekar besar),” kata lagi pelayan itu.

“Aneh sekali! Biasanya ia bangun pagi-pagi sekali, kenapa sekarang belum bangun? Ada apakah dengannya?”

“Kim Siocia sakit, taihiap. Malam tadi ia dipondong oleh pangcu masuk kamar ini dan tertidur atau pingsan, sampai sekarang belum terbangun. Keadaannya mengkhawatirkan, taihiap.”

Mendengar ini, Goan Ciang terkejut bukan main dan dia cepat mendorong pelayan itu ke samping lalu menerobos masuk untuk memeriksa sendiri keadaan kekasihnya. Ketika dia melihat tubuh Lee Siang rebah telentang di atas pembaringan dan tertutup kelambu, tanpa ragu lagi dia menyingkap kelambu dan duduk di tepi pembaringan. Dia terkejut bukan main melihat wajah kekasihnya yang cantik manis itu, dengan rambut kusut akan tetapi tidak mengurangi kecantikannya, nampak membiru dan pucat sekali.

“Siang moi !” dia berseru dan meraba tangan kekasihnya. Dia semakin terkejut. Tangan itu

panas bukan main. Kekasihnya menderita demam! Kenapa? Pada hal semalam dalam keadaan sehat. Cepat dia memeriksa denyut nadi gadis itu. Denyut nadinya kacau sebentar cepat sebentar lambat. Setelah memeriksa leher, dada, membuka pelupuk matanya, tahulah Goan Ciang bahwa sumoinya keracunan. Keracunan hebat sekali!

Pelayan tadi berdiri di belakangnya, memandang dengan wajah khawatir. Goan Ciang memandangnya penuh selidik. “Katakan, apa yang terjadi semalam? Apakah Nona Kim berkelahi dengan seseorang?”

“Saya tidak tahu, taihiap. Setahu kami, semalam Kim Siocia dan pangcu bergembira di kamar pangcu, minum-minum anggur. Akan tetapi, tahu-tahu malam tadi pangcu memondong tubuh Kim Siocia memasuki kamar ini, merebahkannya dan menyuruh saya melakukan penjagaan dan merawatnya.”

“Di mana pangcu?”

“Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun dan menjenguk ke sini, kemudian memesan agar saya menjaga di sini, karena ia hendak berjalan-jalan di taman.” Mendengar itu, cepat Goan Ciang berlari keluar kamar dan langsung dia lari ke dalam taman di mana semalam dia saling menyatakan cinta dengan Lee Siang. Seperti ada perasaan yang menuntunnya, dia langsung saja pergi ke dekat kolam ikan emas, tempat di mana dia bermesraan dengan Lee Siang semalam dan benar saja di atas bangku di mana semalam Lee Siang duduk, nampak Liu Bi duduk seorang diri, seolah-olah ia sedang melamun dan melihat ikan emas hilir mudik berenang dengan indahnya di dalam kolam yang airnya jernih. Ketua itu nampak cantik sekali, dengan wajah yang segar karena pagi itu telah mandi, rambutnya yang hitam halus berombak itu digelung rapi ke atas seperti gelung rambut puteri bangsawan, dihias permata indah. Wajah itu segar dan cantik, dengan penghitam alis, pemerah bibir dan pipi, dan pakaiannyapun baru dan indah terbuat dari sutera mahal dan potongannya agak ketat membungkus tubuhnya yang langsing dan padat. Seorang wanita yang amat cantik menggairahkan. Goan Ciang dapat menduga bahwa wanita itu tentu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya karena dengan ketajaman perasaan dan pendengarannya yang terlatih, mestinya ia tentu sudah mendengar langkah kakinya.

“Selamat pagi, pangcu.”dia berkata setelah berdiri dalam jarak dua meter di belakang wanita itu.

Liu Bi menoleh dan pura-pura hanya mengangkat sepasang alis yang hitam itu ke atas, matanya mengerling tajam dan bibirnya yang kemerahan itu tersenyum.

“Aihhh. selamat pagi, Cu-twako! Sudah berapa kali aku mengingatkan agar kau jangan

menyebut pangcu kepadaku! Sebut saja Bi moi (adik Bi), tidak maukah engkau akrab dengan aku?”

Goan Ciang yang ingin menyenangkan hatinya dan ingin sekali mendengar tentang kekasihnya, membalas senyumnya. “Tentu saja, Bi-moi.”

“Nah, begitu lebih akrab, bukan? Toako, pagi-pagi benar engkau sudah bangun dan nampak segar, sudah mandi dan berganti pakaian. Apakah pelayan telah mengantar sarapan pagi untukmu?”

“Belum, dan biarlah nanti saja, Bi moi. Aku sengaja mencarimu di sini untuk menanyakan sesuatu.”

“Apa yang hendak kau tanyakan, twako yang baik?”

“Aku ingin bertanya tentang Siang-moi! Apakah yang terjadi dengannya maka ia dalam keadaan seperti itu, keracunan hebat? Apa yang terjadi semalam ketika ia minum-minum anggur denganmu, Bi-moi?”

Mendengar ini, Liu Bi tersenyum. Senyumnya memang manis sekali. Sepasang bibir lembut itu merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih dan karena mulut itu agak ternganga ketika senyum, nampak rongga mulut yang kemerahan dan ujung lidah yang merah muda. “Engkau tahu bahwa ia keracunan hebat? Akan tetapi engkau tentu tidak tahu bahwa kalau ia tidak mendapatkan obat penawar yang ampuh, dalam waktu tiga hari ia pasti akan mati dan tidak ada obat apapun di dunia yang akan mampu menyembuhkannya.”

Wajah Goan Ciang berubah agak pucat dan matanya terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh selidik. “Pangcu. eh, Si moi, apa yang telah terjadi dengannya. Mengapa ia dapat keracunan seperti itu?”

Senyum itu melebar dan kerlingnya menyambar tajam. “Semua itu karena salahmu, twako.” “Salahku?” Apa maksudmu, Bi-moi?”

“Semalam itu, engkau merayu dan menjatuhkan hati sumoi. Itulah kesalahanmu yang mengakibatkan kini sumoi terpaksa harus menderita seperti itu.”

“Maksudmu?” Goan Ciang sungguh tidak mengerti dan menjadi bingung.

“Karena engkau membuat aku membenci sumoiku yang tadinya sudah kuanggap sebagai murid atau adik sendiri. Ia minum anggur yang kucampuri racunku yang amat kuat!”

“Pangcu!!!” Goan Ciang meloncat dan mukanya berubah merah, kedua tangannya gemetar karena timbul perasaan marah yang hebat yang membuat dia hampir tak dapat menahan diri untuk tidak menyerang wanita cantik itu.

Akan tetapi, Liu Bwe tersenyum dan bangkit berdiri, agaknya sudah siap dan berkata lembut, “Tenanglah, twako.”

“Pangcu. ”

“Ingat, Bi-moi, bukan pangcu.”

“Baiklah, Bi-moi!” kata Goan Ciang gemas.

“Apa artinya semua ini? Kalau engkau yang meracuni Siang-moi, engkau harus cepat memberinya obat penawar!”

“Kalau aku menolak?”

“Demi Tuhan! Aku akan memaksamu!”

“Memaksaku? Hik-hik, lucunya. Pertama, belum tentu engkau dapat mengalahkan aku, apa lagi kalau aku mengerahkan semua anak buahku. Kedua, andaikata engkau mampu mengalahkan aku sekalipun, menyiksa atau membunuh sekalipun, aku tidak akan mau membiarkan kau pergi dan dalam waktu tiga hari, tetap saja sumoi akan mati dalam keadaan tersiksa! Nah, kau tetap hendak memaksaku?”

Goan Ciang seorang cerdik dan dia tahu bahwa wanita itu bukan hanya menggertak saja. “Lalu, apa kehendakmu, Bi-moi? Engkau meracuni sumoimu sendiri karena ia cinta kepadaku dan hal ini membuatmu membencinya. Kenapa? Engkau tidak mau mengobatinya, kenapa?”

“Cu Goan Ciang, engkau seorang laki-laki, masihkah perlu bertanya lagi sebabnya? Aku tidak ingin ia menjadi isterimu! Itulah sebabnya!”

“Tapi kenapa? Andaikata engkau tidak menyetujui perjodohan kami, dan engkau melarangnyapun, tidak perlu engkau meracuninya dan mengancam nyawanya! Tidak perlu engkau membunuhnya!” “Cu-twako, apakah engkau menghendaki agar ia hidup kembali? Engkau ingin agar sumoi mendapatkan obat penawar dan nyawanya tidak terancam oleh racun itu?”

“Tentu saja! Bi Moi yang baik, tolonglah jangan sampai Siang-moi terancam bahaya maut. Kasihan ia! Bukankah engkau sayang kepadanya, Bi-moi? Tolonglah, berilah obat penawar agar ia sembuh.”

“Tentu saja aku sayang kepadanya. Akan tetapi, peristiwa semalam membuat aku tega membunuhnya, twako.”

“Akan tetapi kenapa? Apa salahnya kalau dia mencintaiku dan aku mencintainya? Apa salahnya dengan itu?”

“Salahnya adalah karena dia membuat aku iri hati, membuat aku cemburu setengah mati. Goan Ciang terbelalak saking kaget dan herannya. “Cemburu? Ehh...apa maksudmu, Bi-

moi?”

“Maksudku, aku tidak ingin engkau menjadi suami sumoi, akan tetapi aku ingin engkau menjadi suamiku, Cu Goan Ciang!”

Goan Ciang tertegun, sejenak tidak mampu bicara, bahkan tidak mampu berpikir karena hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya. Selama belasan hari tinggal di situ dia hanya akrab dengan Lee Siang. Biarpun ketua inipun bersikap ramah kepadanya, namun tak pernah dia melihat tanda-tanda behwa wanita ini tertarik kepadanya. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini menghendaki agar dia menjadi suaminya, dan tega meracuni sumoi yang disayangnya untuk merebut dia dari tangan sumoinya.

“Tapi...tapi aku sungguh tidak mengerti, Bi-moi. Kenapa begini mendadak dan keinginan itu

sungguh. rasanya tak masuk akal dan aneh!

“Apakah yang aneh, twako? Selama ini aku tidak menikah karena kuanggap tidak ada pria yang cocok untuk menjadi suamiku. Ketika aku bertemu denganmu, melihat sepak terjangmu, segera aku yakin bahwa engkaulah satu-satunya pria yang cocok untuk menjadi suamiku.

Krena itu, tentu saja aku benci dan marah melihat sumoi hendak merebutmu. Malam tadi, kami berdua masih sama-sama bebas, kami saling mencinta dan. ”

“Cukup! Sekarang tinggal terserah kepadamu. Kalau engkau suka menikah denganku, sumoi tidak akan mati. Aku akan memberi obat pemunah racun dan ia akan sembuh kembali.

Sebaliknya, kalau engkau menolak, dalam tiga hari sumoi pasti tewas dan tidak ada obat di dunia ini yang akan mampu menyembuhkannya.”

“Ahhh. ! saking bingungnya, Goan Ciang tidak mampu bicara, hanya berdiri mematung dan

memandang wanita itu dengan m ata terbelalak mulut ternganga. Perlahan-lahan mukanya berubah merah sekali saking marahnya. “Jang-kiang Sian li Liu Bi, engkau adalah seorang wanita berhati iblis! Akan kuhancurkan engkau dan perkumpulanmu!” Dia membentak dan siap menyerang.

Liu Bi tersenyum mengejek dan sekali ia mengeluarkan suara bersuit nyaring, dari segenap penjuru bermunculan anak buahnya yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang mengepung tempat itu. “Engkau memilih sumoi mati tersika dan engkau sendiri mampus oleh pengeroyokan kami? Ingat, aku sendiri saja belum tentu engkau mampu mengalahkan!” katanya.

Goan Ciang tidak takut mati, tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat keadaan kekasihnya, dia gelisah sekali. “Kalau aku menuruti kehendakmu, engkau benar- benar akan menyembuhkan Siang-moi?” akhirnya dia bertanya. “Maukah engkau bersumpah?”

“Kau laki-laki gila! Janji ketua Jang-kiang pang lebih kuat dari pada sumpah. Pula, aku sayang kepada sumoi dan hanya karena engkau maka aku tega meracuninya.”

Diam-diam Goan Ciang mengasah otaknya. Yang terpenting adalah menyelamatkan Lee Siang lebih dahulu, pikirnya. “Berilah waktu kepadaku sampai besok, dan biarkan aku menjaga Siang-moi dan bicara dengannya dahulu sebelum aku memberi keputusanku besok.” Dia minta waktu sehari semalam agar dia dapat berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sin-kangnya, juga kalau gadis itu siuman, dia ingin bicara dengan Lee Siang tentang niat gila Liu Bi yang hendak menariknya sebagai suaminya.

Tentu saja Liu Bi dapat menduga apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu dan hanya tersenyum, lalu mengangguk, “Baiklah, aku tidak tergesa- gesa. Akan tetapi ingat, kalau sampai besok malam engkau belum memberi jawaban berati sudah terlambat untuk menolong sumoi.. Bahkan obatku sekalipun tidak akan ada gunanya lagi. Besok siang harus sudah ada keputusan darimu.”

“Baik,” kata Goan Ciang dan Liu Bi memberi isarat kepada semua anak buahnya sehingga mereka mundur. Dengan langkah gontai Goan Ciang lalu menuju ke kamar Lee Siang, memasuki kamar itu dan menyuruh pelayan yang berjaga di situ keluar. Lalu dia duduk di tepi pembaringan setelah menutupkan daun pintu kamar itu.

Dengan hati-hati Goan Ciang lalu memeriksa lagi keadaan kekasihnya. Dia pernah mempelajari ilmu pengobatan, walaupun tidak banyak, dari gurunya ketika dia berada di kuil Siauw-lim-pai. Setidaknya, oleh Lauw In Hwesio dia diajar bagaimana caranya mengobati luka oleh senjata tajam, bahkan sedikit tentang pengobatan menggunakan tenaga sin-kang seperti mengobati luka dalam dan menggunakan sin-kang mengusir hawa beracun dari dalam tubuh korban.

Dengan hati-hati dia lalu duduk bersila di dekat tubuh kekasihnya, kemudian menghimpun tenaga melalui pernapasan, dan menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung Lee Siang setelah dia membalikkan tubuh kekasihnya itu sehingga rebah miring. Dia lalu mengerahkan sin-kang, disalurkan melalui kedua telapak tangan, menggetar memasuki tubuh Lee Siang dari punggung.

Tak lama kemudian, Lee Siang mengeluh, membuka mata, kemudian berkata, “Hentikan...twako, hentikan. !”

Goan Ciang terkejut dan melepaskan kedua tangannya. Gadis itu telentang lagi dan napasnya terengah, akan tetapi ia telah siuman. Dahi dan lehernya penuh keringat. Goan Ciang menggunakan ujung lengan bajunya menghapus keringat itu. “Bagaimana rasanya, Siang-moi?” “Lemah....pusing. ”

“Kenapa engkau menghentikan usahaku untuk mengusir racun dari tubuhmu?” “Twako, kalau kaulakukan itu....aku....aku akan segera mati ”

Tentu saja Goan Ciang terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Apa? Kenapa begitu..?”

Lee Siang kini sudah sadar sepenuhnya dan ia menghela napas panjang. “Racun yang telah masuk ke tubuhku ini amat kuat, bukan saja meracuni darahku, akan tetapi juga merampas tenaga saktiku. Kalau diobati dengan pengerahan sin-kang, maka tenagamu yang menyusup ke dalam tubuhku tidak dapat kubantu dengan tenagaku sendiri dan akibatnya bahkan akan mempercepat jalannya racun. Tanpa diobati, aku akan bertahan tiga hari. Hanya suci yang memiliki obat pemunahnya ”

“Betapa kejamnya Liu-Bi !” kata Goan Ciang dengan gemas.

“Jangan berkata demikian, twako. Suci menyayangku. ”

“Omong kosong ! Menyayangmu dan meracunimu, hendak membunuhmu?” “Hai itu ia lakukan karena ia mencintamu, twako.”

“Apa? Kau sudah tahu? Gila benar! Ia mengatakan bahwa ia baru akan memberimu obat penawar racun kalau aku mau menikah dengannya! Aku tidak sudi!”

“Ahhh...Cu-twako..., kuminta kuharap, jangan engkau menolak permintaannya. Menikahlah

engkau dengannya, twako. kata gadis itu dengan suara tersendat bercampur tangis.

Goan Ciang tertegun, terkejut, heran dan penasaran sekali. Kekasihnya ini bahkan minta kepadanya agar dia mau menikah dengan Liu Bi! Kekecewaan menyusup ke dalam hatinya. Tak disangkanya bahwa kekasihnya yang amat dia cinta dan kagumi ini ternyata pada saat terakhir adalah seorang penakut. Takut mati. Akan tetapi dia menghibur dirinya. Siapa yang tidak akan takut kalau sudah dicengkeram racun seperti yang dialami Lee Siang dan tahu bahwa kalau dia menolak menikah dengan ketua Jang-kiang-pang, dalam waktu tiga hari nyawanya akan melayang?

“Tidak, Siang-moi. Dan jangan engkau takut. Aku akan mencarikan obat untukmu, kalau perlu aku akan menangkap Liu-Bi, menyiksa dan memaksanya agar ia suka mengobatimu sampai sembuh. Kalau perlu akan kuhancurkan seluruh Jang-kiang-pang ini!”

“Twako, engkau salah sangka! Aku tidak takut mati, twako, sama sekali bukan karena aku takut mati maka  aku memohon engkau suka menikah dengan suci.”

“Lalu kenapa engkau minta aku melakukan hal yang gila itu?”

“Twako, aku kasihan dengan suci. Aku sayang padanya, aku berhutang budi padanya, aku berhutang budi padanya, aku ingin melihat ia berbahagia. Kalau engkau suka memenuhi permintaanya, menjadi suaminya dan ia berbahagia, akupun akan merasa berbahagia pula. Mengertikah engkau, twako? Bukan karena aku takut mati, melainkan aku ingin membahagiakan suci. Andaikata aku tahu bahwa suci mencintamu, sudah pasti aku mengeraskan hati menolak cintamu, mengubur perasaan cintaku padamu sebagai rahasia yang akan kubawa mati.”

Kembali Goan Ciang terkejut bukan main. Kekasihnya ini adalah seorang gadis luar biasa, penuh kejutan. “Jadi, engkau sama sekali tidak menyesal telah diracuni sucimu sendiri?”

Mulut itu tersenyum dan ia menggeleng kepala. “Mengapa mesti menyesal? Suci melakukan ini untuk memaksamu menerima permintaannya. Aku mengenal suci. Ia harus mendapatkan apa saja yang dikehendakinya. Aku hanya menyesal, mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa suci mencintaimu.”

“Tapi..., lalu bagaimana dengan kau?” Dengan cintamu? Cinta kita?”

“Twako, aku rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan suci. Rela kehilangan engkau, kehilangan cintaku, bahkan aku rela mati demi untuk suci. Maka, sekali lagi aku mohon padamu, twako, terimalah suci sebagai isterimu. Kalau engkau menolak, aku akan mati penasaran, twako...”

Goan Ciang terkejut bukan main. Gadis ini rela patah hati, bahkan rela mati demi kebahagiaan iblis betina itu! Melihat pemuda itu duduk tertegun dan mematung dengan wajah pucat, akan tetapi matanya berkilat penuh penasaran dan kemarahan. Lee Siang menangis terisak-isak.

Goan Ciang diam saja, akan tetapi tangis itu semakin mengguguk seperti menusuk-nusuk jantungnya.

“Sudahlah, Siang-moi, jangan menangis. Permintaanmu itu sungguh tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku dapat menerimanya. Aku cinta padamu, dan aku sama sekali tidak mencintainya, bahkan muak dan benci rasa hatiku terhadapnya karena perbuatannya terhadap dirimu.”

Mendengar ucapan itu, Lee Siang memaksa diri untuk menghentikan tangisnya. Setelah berhasil, ia lalu berkata, suaranya gemetar, “Dengar, twako. Kalau engkau menikah dengan suci, engkau akan membahagiakannya, berarti engkau juga membuat aku berbahagia.

Sedangkan kau sendiri aku yakin bahwa engkau akan dapat mencintai suci. Ia seorang wanita yang hebat segala-galanya melebihi siapa saja, melebihi aku. Ia amat lembut dan penuh kasih sayang kepada orang yang dicintanya. Ia hanya kejam dan keras kalau kehendaknya dihalangi. Kita bertiga akan merasa bahagia, twako. Akan tetapi kalau engkau menolak, aku akan. benci sekali kepadamu! Aku bahkan minta kepada suci agar untuk sementara aku

diberi penawar dan aku akan membantunya memusuhimu. Aku bersumpah untuk melakukan itu, twako!”

Goan Ciang tercengang, wajahnya berubah, pucat kini. Agaknya tidak ada jalan lain. Tentu saja dia tidak menghendaki Lee Siang mati keracunan, apa lagi kalau gadis itu sam pai membencinya, dan kalau mati sampai arwahnya menjadi setan penasaran! Kalau dia menerima permintaan Liu Bi, berarti dia berkorban demi kekasihnya ini.

Sampai lama dia tak bergerak seperti patung sampai tangan gadis itu menyentuh lengannya, dan Lee Siang sudah bangkit duduk. “Bagaimana, twako? Sudikah engkau memenuhi permohonanku?”

Goan Ciang menoleh. Mereka duduk dengan muka saling tatap, lalu Goan Ciang mengangguk lesu. “Baiklah, akan tetapi ingat, aku melakukan ini hanya demi engkau, Siang-moi, hanya demi keselamatanmu.”

“Dan aku melakukan ini hanya demi kebahagiaan suci, twako, kita berdua berkorban, engkau untuk aku dan aku untuk suci. Alangkah indahnya hidup ini kalau kita dapat berkorban demi orang lain. ” Gadis itu terisak, akan tetapi bukan karena duka, melainkan karena bahagia.

“Siang moi !” Goan Ciang tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun merangkul gadis

itu dan mendekap kepalanya di dadanya. “Siang-moi, apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu, selamanya..”

Dari dada pemuda itu, Lee Siang berbisik, “Akupun demikian, twako. Biar aku tidak menjadi isterimu, aku akan tetap mencintaimu selama hidupku. Biar cinta kita tidak berakhir dengan pernikahan, namun kita masing-masing menyadari bahwa kita saling mencinta, sampai akhir hayat ” Dengan lembut Lee Siang lalu melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang merebahkan

kembali tubuhnya yang lemah.

“Twako, keluarlah dan katakan kesanggupanmu kepada suci, agar ia cepat tahu dan berbahagia. Percayalah, kalau ia merupakan orang yang paling berbahagia, aku adalah orang paling berbahagia ke dua setelah dia.”

Goan Ciang menunduk dan menghentikan ucapan gadis itu dengan mencium mulutnya, dan pada saat itu, dua titik air matanya jatuh menimpa pipi Lee Siang. Kemudian, dia cepat turun dan meninggalkan kamar itu, diikuti pandang mata Lee Siang dan gadis inipun tersenyum bahagia!

Tebing bukit yang menjadi markas Jang-kiang pang itu ramai dan meriah sekali. Semua bangunan tempat tinggal para anggotanya dirias, terutama sekali bangunan besar megah yang menjadi tempat tinggal ketua mereka. Sang ketua yang cantik itu merayakan pernikahannya dengan Cu Goan Ciang!

Suasananya amat meriah dan semua orang nampak bergembira ria. Pesta pernikahan itu diadakan secara mewah, dibangun panggung besar yang khusus untuk pesta dan semua anggota Jang-kiang pang mengenakan pakaian baru. Tamu-tamu berdatangan pada sore hari itu, dan di antara para tamu yang sebagian besar adalah orang-orang kang-ouw, terdapat pula banyak orang-orang berpakaian sebagai pembesar dan bangsawan. Akan tetapi di antara para pembesar itu, yang nampak menyolok dan disambut dengan penuh kehormatan adalah seorang pria raksasa. Tidak mengherankan kalau dia dihormati karena orang ini adalah Panglima Khabuli! Usia panglima yang masih bujangan ini sudah empat puluh tahun dan dia memang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar, karena dialah panglima pasukan di Wu-han. Bahkan kepala desa Wu-han sendiri tunduk dan segan kepadanya bukan hanya karena Panglima Khabuli memegang kekuasaan atas pasukan keamanan di daerah Wu-han, akan tetapi terutama sekali karena panglima raksasa hitam ini adalah keponakan dari Menteri Bayan, tangan kanan Kaisar yang amat terkenal di kota raja. Dengan demikian, dapat dibilang bahwa Khabuli merupakan orang yang paling berkuasa di Wu-han! Orangnya memang mengesankan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat seperti benteng. Kulitnya yang agak hitam itu mengkilap seperti berminyak, namun wajah itu tidak kelihatan buruk, bahkan menarik karena nampak jantan. Segala yang ada pada dirinya menimbulkan kesan tebal dan bulat namun tidak gemuk, melainkan kokoh. Matanya lebar dan hidungnya besar. Mulut yang bibirnya tebal itu selalu dihias senyum, akan tetapi tarikan hidungnya membayangkan keangkuhannya dan rasa diri penting.

Di antara para penyambut tamu, yaitu para murid kepala atau anggota tingkat atas dari Jang- kiang-pang, nampak pula kesibukan Lee Siang. Gadis ini sudah sehat kembali, berkat obat penawar dari sucinya, semua racun telah keluar dari tubuhnya. Namun, akibat racun itu, dia masih kehilangan tenaga sinkangnya sehingga untuk sementara waktu, menurut keterangan Liu Bi untuk waktu kurang lebih tiga bulan, Lee Siang hanya merupakan seorang wanita yang tidak memiliki kelihaian luar biasa. Ia memang tidak kehilangan jurus-jurus silatnya, akan tetapi kalau di dasar ilmu silat itu tidak terkandung tenaga yang kuat, apa artinya? Tenaganya seperti tenaga wanita biasa yang sama sekali tidak tahu ilmu silat saja.

Lee Siang nampak cantik manis dan wajahnya berseri gembira. Bukan gembira palsu, melainkan ia benar-benar gembira dan merasa berbahagia melihat sucinya merayakan pesta pernikahannya dengan Cu Goan Ciang! Bahkan ia sendiri yang membantu sucinya berias, dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan melihat betapa cantiknya sucinya dalam pakaian pengantin! Sungguh luar biasa sekali perasaan kasih sayang dan kesetiaan dalam hati Lee Siang terhadap sucinya. Sedikitpun tidak terkandung perasaan iri atau cemburu, walaupun sampai saat itu, ia tetap mencinta Goan Ciang sepenuh hati.

Ketika Lee Siang menyambut para tamu dengan sikap yang ramah dan suasana amat meriah karena musik telah dimainkan sejak tadi oleh para pemusik paling kenamaan dari Wu-han. Ruangan panggung yang luas itu mulai dipenuhi para tamu dan ketika Khabuli dan empat orang pengawalnya muncul, Lee Siang sendiri tergopoh menyambut, mewakili sucinya yang masih belum muncul karena sedang dirias di kamar pengantin.

Ketika Lee Siang memberi hormat menyambutnya, Khabuli tersenyum lebar dan memandang kepada Lee Siang seolah seekor ikan besar yang hendak menelan ikan kecil.

“Selamat datang, Ciangkun (panglima), silakan duduk di kursi kehormatan.”kata Lee Siang sambil mempersilakan tamunya untuk duduk di deretan kursi kehormatan, yaitu dekat tempat duduk mempelai, Khabuli memberi isarat kepada empat orang pengawalnya untuk duduk di tempat tamu biasa, sedangkan dia sendiri dengan langkah yang gagah, menggiringkan Lee Siang yang membawanya ke deretan kursi kehormatan, sedangkan para tamu yang sudah hadir, memandang dengan hormat, bahkan mereka yang dilewati panglima itu bangkit memberi hormat.

“Ah, Kim Siocia, engkau sungguh nampak cantik jelita sekali sore ini!” demikian kata panglima itu setelah dia dipersilakan duduk. Lee Siang yang mendengar pujian itu, memberi hormat dan tersipu.

“Terima kasih atas pujian Ciangkun.”

“Sungguh, aku tidak hanya memuji kosong. Engkau tidak kalah cantik dibandingkan sucimu.” Lee Siang merasa tidak enak, Ia tahu bahwa antara sucinya dan panglima ini terjalin hubungan yang akrab sekali, bahkan pernah ia mengira bahwa sucinya akan menikah dengan panglima yang biarpun usianya sudah empat puluh tahun akan tetapi masih bujang ini.

“Tidak ada wanita yang secantik suci,” demikian katanya lirih.

Panglima itu mengangguk, “Aku tahu, apa lagi kalau sekarang ia mengenakan pakaian pengantin. Mana pengantinnya, kenapa belum keluar?”

“Nanti, sebentar lagi, Ciangkun. Belum selesai berias, “ hati Lee Siang semakin tidak enak. Baru kemarin panglima ini datang bertamu dan melakukan pembicaraan berdua saja dengan sucinya. Ia dapat menduga bahwa tentu sucinya menjelaskan tentang cintanya kepada Cu Goan Ciang maka menikah dengan pemuda itu, dan mungkin sucinya minta maaf kepada sang panglima. Dan melihat sikap Panglima Khabuli, hatinya juga lega karena agaknya sang panglima sudah dapat menerima kenyataan itu dan tidak akan membuat ribut. Kebetulan para tamu berdatangan lagi sehingga Lee Siang mendapat kesempatan untuk minta maaf dan meninggalkan panglima itu yang kini bercakap-cakap dengan para tamu lain yang mendapatkan kehormatan, seperti para pejabat tinggi dan para undangan, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw.

Hanya karena nama besar Jang-kiang Sian Li sajalah maka tak seorangpun mencurigai pengantin pria. Andaikata ada yang mengenalinya dan menghubungkannya dengan perusuh yang membunuh Bhong-Ciangkun di Wu-han, tentu hal itu akan dilupakan atau dianggap tidak ada. Bagaimanapun juga, orang itu telah melangsungkan pernikahan dengan ketua Jang- kiang-pang, menjadi suami dari ketua yang disegani itu. Akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenal pengantin pria, dan sama sekali tidak pernah dapat menduga bahwa pelarian itulah yang kini menjadi orang paling beruntung dapat mempersunting ketua yang cantik jelita, gagah perkasa dan kaya raya itu.

Ketika sepasang pengantin keluar ke ruangan pesta, semua orang bangkit berdiri dan memberi selamat. Semua orang juga kagum melihat pengantin puteri yang demikian cantiknya, seperti bidadari baru turun dari kayangan. Dan juga mereka semua memuji pengantin pria yang gagah dan tampan, yang cocok sekali untuk menjadi suami ketua Jang-kiang-pang. Musik dibunyikan semakin meriah dan pestapun dimulai. Masakan-masakan yang mewah, mahal dan lezat dihidangkan, juga anggur dan arah yang terbaik.

Panglima Khabuli mendapat kehormatan pertama, yaitu duduk semeja dalam perjamuan itu dengan sepasang mempelai, ditemani pula oleh Lee Siang yang terpaksa ikut duduk karena diminta oleh pengantin puteri. Meja istimew itu hanya dihadapi sepasang mempelai, Lee Siang, dan Panglima Khabuli. Mempelai wanita nampak cantik dan berbahagia, demikian pula dengan Panglima Khabuli yang selalu tersenyum dan tertawa-tawa, menggoda sepasang mempelai dan mengucapkan selamat berulang kali dengan secawan arak. Ketika diperkenalkan, dia bersikap ramah kepada Cu Goan Ciang, dan Goan Ciang juga terpaksa harus bersikap manis dan hormat kepadanya. Bahkan wajah Lee Siang juga nampak bergembira dan murah senyum. Agaknya gadis ini tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia menjadi orang kedua yang paling berbahagia setelah sucinya. Hanya Goan Ciang seorang di antara mereka berempat yang terpaksa menggunakan kekuatan batinnya untuk menahan derita yang dirasakannya sebagai siksaan di saat itu. Andaikata Lee Siang tidak duduk semeja dengan mereka, agaknya tidak akan sedemikian hebat siksaan batin yang dideritanya saat itu. Gadis yang merupakan satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya, duduk semeja dengan dia yang bersanding sebagai pengantin pria dengan wanita lain yang tidak dicintainya! Beberapa kali dia mencuri pandang ke arah waja Lee Siang, untuk menangkap sedikit saja rahasia hati gadis itu. Namun, tidak ada sedikitpun kepura-puraan dalam kegembiraan gadis itu. Demikian wajar, dan diapun percaya bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh telah rela, demi kasihnya kepada sucinya.

Diam-diam Goan Ciang terpaksa memasang muka gembira itu, dan mengeluh dalam hatinya. Dia seoranglah yang sungguh menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk kebahagiaan sucinya, akan tetapi kekasihnya itu benar-benar ikut berbahagia. Hanya dia seorang yang berkorban demi keselamatan Lee Siang, berkorban dengan hati yang hancur!

“Ha-ha-ha, kalian sungguh merupakan pasangan yang amat serasi, yang cocok, seperti pengantin dari kahyangan saja! Belum pernah selama hidupku aku melihat sepasang mempelai yang begini hebat. Yang wanita cantik jelita seperti dewi, yang pria tampan gagah seperti dewa. Aku harus memberi selamat lagi,” kata Khabuli sambil tertawa dan mukanya yang hitam itu semakin mengkilap, matanya yang lebar bercahaya. “Selamat kepada kalian!” katanya sambil mengangkat cawan pula menyambut, dan terpaksa Lee Siang juga ikut minum pula anggur dari cawannya. Sebetulnya, ia sudah merasa pusing karena selain ia tidak begitu suka minum banyak anggur keras, juga keadaan dirinya yang masih lemah membuat ia tidak kuasa menolak pengaruh anggur.

“Ha-ha-ha, aku merasa gembira sekali. Malam ini adalah malam yang amat berbahagia karena ketua Jang-kiang-pang akhirnya menemukan jodohnya. Setelah kakak seperguruannya menikah, tinggal adik seperguruannya. Bagaimana, Kim Siocia, kapan tiba giliranmu? Ha-ha- ha!”

“Aih, Ciangkun...!” Lee Siang tersipu dan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Sucinya tertawa manis dan menyentuh lengan sumoinya.

“Sumoi adalah seorang gadis istimewa, harus mendapatkan suami yang istimewa pula. Bukankah engkau juga berpendapat demikian, koko?”

Goan Ciang terkejut. Lee Siang tak pernah memandang kepadanya, melirikpun tidak. Dan kini Liu Bi bertanya tentang jodoh Lee Siang. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan mengangguk. “Pendapatmu benar.”

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita semua telah sepakat! Untuk itu, mari kita doakan agar nona Kim segera menemukan jodohnya. Mari kita minum tiga cawan arak untuk itu!”

Lee Siang hendak memrotes karena ia telah merasa pening, akan tetapi melihat betapa sepasang mempelai juga minum dengan sikap senang, iapun tidak berani mengecewakan hati sucinya. Iapun memaksa diri minum tiga cawan anggur yang dituangkan ke dalam cawannya oleh tangan panglima sendiri, mendahului para pelayan yang berada di sekeliling meja.

Setelah minum tiga cawan anggur, Lee Siang tidak dapat menahan lagi dan iapun berkata dengan suara keluhan lirih, “Aih...maafkan....kepalaku pusing, suci...” dan iapun meletakkan kepalanya ke atas kedua tangan di meja. Goan Ciang memandang dengan iba.

“Aih, sumoi, engkau memang tidak kuat minum.” Ia lalu memberi isarat kepada seorang pelayan yang menjadi kepercayaannya. “Antar nona Kim ke kamarnya, ia perlu mengaso dan tidur.” Pelayan itu memberi hormat lalu membantu Lee Siang yang sudah dalam keadaan setengah sadar, terhuyung dan dipapah oleh para pelayan meninggalkan ruangan pesta.

Biarpun hatinya merasa kasihan sekali, akan tetapi Goan Ciang tidak memperlihatkan sikap ini, bahkan kini dia nampak lega dan gembira. Lebih baik begitu, pikirnya. Biar Lee Siang mabok dan tidak ingat apa-apa lagi, terbuai dalam tidur pulas! Maka, diapun melayani panglima yang amat kuat minum arak itu dengan gembira. Akhirnya, Liu Bi yang kalah lebih dahulu.

“Aihh, aku sudah terlalu banyak minum, kepalaku sudah mulai terasa pusing. Lebih baik kita istirahat, aku tidak dapat minum lagi ” ia mengeluh. Panglima Khabuli tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, pengantin wanita sudah ingin mengajak pengantin pria ke kamar. Saudara Cu, sebaiknya engkau cepat membimbing isterimu ke kamar kalian, ha-ha-ha!”

Liu Bi tersipu, “Ihh, panglima. Agaknya engkaupun sudah mulai mabok. Hati-hati, kalau sampai terlalu mabok engkau tidak bisa pulang!”

“Hemm, apa susahnya kalau mabok di sini? Apakah aku tidak boleh tidur di sini dan melepaskan mabokku di sini sampai besok pagi?”

“Tentu saja boleh, panglima. Engkau adalah tamu kehormatan kami. Pelayanku akan menunjukkan kamar tamu terbaik untukmu. ” Liu Bi bangkit dan agak terhuyung. Karena di

situ banyak tamu, demi kepantasan Goan Ciang cepat menggandeng lengan isterinya sehingga mereka berdiri bergandengan.

“Para tamu yang terhormat!” kata Panglima Khabuli sambil tersenyum dan mukanya yang kehitaman itu kemerahan, tanda bahwa dia sudah dipengaruhi minuman keras. “Kami memberitahukan bahwa sepasang mempelai sudah cukup makan minum dan kini hendak meninggalkan ruangan, memasuki kamar pengantin mereka. Mohon doa restu dari saudara sekalian!” Dia tertawa-tawa dan para tamu menyambut dengan tawa gembira pula. “Silakan saudara sekalian makan minum sampai selesai!”

Dengan tersipu Goan Ciang dan Liu Bi bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu, diiringkan para pelayan yang mengantar kedua mempelai sampai ke depan kamar pengantin. Keduanya lalu memasuki kamar dan daun pintu kamar ditutup. Para pelayan yang terdiri dari gadis-gadis muda yang manis itu meninggalkan kamar itu sambil tersenyum-senyum dan tersipu.

Biarpun hampir tanpa semangat, mau tidak mau Goan Ciang malam itu tidur sebagai suami isteri dengan Liu Bi. Dia mendapat kenyataan bahwa apa yang dikatakan Lee Siang tentang sucinya memang benar. Liu Bi seorang wanita yang hebat, penuh gairah dan amat mesra.

Namun, tetap saja semalam itu dia lebih banyak melamun dan memikirkan Lee Siang sehingga berulang kali isterinya menegurnya.

Menjelang pagi, ketika dengan manja dan mesra Liu Bi merangkulnya dan dia menanggapi kembali Liu Bi menegur, “Engkau kenapa sih?” Kita sudah menjadi suami isteri dan malam ini adalah malam pengantin pertama kita, kenapa engkau banyak melamun? Apa yang kaupikirkan?” Dalam suaranya yang sejak tadi lembut dan mesra, kini terkandung teguran. “Tidak apa-apa, aku hanya lelah dan ingin tidur,” kata Goan Ciang, dan dia membalikkan tubuh membelakangi isterinya.

Liu Bi bangkit duduk dan ia menjadi marah. “Aku tahu, engkau tentu memikirkan sumoi, bukan? Hemm, tidak perlu kaupikirkan lagi. Pada saat engkau menjadi suamiku, ia telah menjadi isteri Khabuli Ciangkun!”

Goan Ciang tersentak kaget, bangkit duduk dan menghadapi isterinya, memandang dengan alis berkerut, “Apa yang kaumaksudkan!”

Liu Bi tersenyum manis. “Malam ini, sumoi juga berpengantinan dengan Panglima Khabuli di dalam kamarnya!”

Tentu saja Goan Ciang terkejut bukan main. “Kau.....! Kau. ! Ah, jadi kau sengaja membuat

Siang-moi mabok, kemudian kauberikan ia kepada jahanam itu?”

“Benar, dan apa hubungannya denganmu? Ia adalah sumoiku, dan Panglima Khabuli seorang laki-laki yang baik dan pantaas menjadi suaminya. Mereka memang kujodohkan agar engkau tidak lagi memikirkan sumoi dan.  ”

“Keparat!” Goan Ciang menyambar pakaiannya, meloncat turun dari pembaringan, mengenakan baju dan cepat meloncat keluar dari kamar itu.

“Koko. !” Liu Bi berteriak memanggil akan tetapi dia tidak perduli. Dengan marah Liu Bi

membereskan pakaiannya sebelum lari mengejar. Hari masih pagi sekali. Hampir seluruh penghuni rumah itu masih tertidur karena semalam mereka tidur sampai larut malam. Goan Ciang sudah lari ke kamar Lee Siang dan dengan kemarahan meluap dia mendorong daun pintu yang tertutup dari kamar itu. Ternyata daun pintu tidak terkunci dari dalam dan dengan mudah terbuka. Sebatang lilin masih bernyala di atas meja dan diapun meloncat ke dalam.

Tiba-tiba dia berdiri kaku dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan. Di situ, dia melihat Lee Siang rebah telentang seorang diri dengan pakaian setengah telanjang, kedua tangannya masih memegang pedang yang menembus dadanya sampai ke punggung! Matanya terbuka dan gadis itu telah tewas, akan tetapi agaknya belum lama benar karena darah itu masih belum kering.

“Siang-moi !! Goan Ciang berteriak dan menubruk ke atas pembaringan, merangkul dan

mengangkat kepala gadis itu, dirangkulnya tidak perduli betapa tangan dan pakaiannya terkena darah.

“Siang-moi....ahhh, Siang moi !” Dia mengeluh dan menangis, tahu atau dapat menduga apa

yang telah terjadi. Tentu dalam keadaan lemah dan mabok, mungkin juga terbius, gadis ini semalam telah menjadi korban kebiadaban panglima Mongol itu, dan pada pagi harinya, ketika panglima itu pergi, dan mendapat kesempatan, Siang-moi membunuh diri. Masih belum kering air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu.

“Siang-moi !” Goan Ciang berteriak lagi mendekap muka itu ke dadanya.

Pada saat itu, terdengar suara orang di pintu. “Sumoi ! Apa yang telah terjadi?” Liu Bi

memasuki kamar itu dan berdiri di dekat pembaringan, wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat sumoinya telah tewas dengan pedang masih menembus dadanya. Iapun mengerti apa yang telah terjadi. Tak disangkanya sumoinya mengambil keputusan pendek dan nekat. Apa salahnya menjadi isteri Panglima Khabuli yang selain berkuasa, juga cukup gagah dan jantan? Ia sendiri, andaikata tidak bertemu dengan Goan Ciang, tentu akan menjadi isteri panglima itu dengan siapa ia telah menjalin hubungan yang mesra selama lebih dari setahun ini.

Begitu mendengar suara Liu Bi, Goan Ciang seperti kemasukan setan saking marah, benci dan sakit hati.

Dia mencabut pedang dari dada Lee Siang, kemudian bagaikan seekor harimau, dia meloncat turun dari pembaringan dan pedangnya menyambar ganas, menyerang kepada wanita yang baru semalam menjadi isterinya.

“Koko...!” Liu Bi terkejut dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi ia terguling oleh tendangan Goan Ciang. Dengan kemarahan yang meluap Goan Ciang telah mempergunakan gerakan Sin-tiauw ciang-hoat, tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali menyambar dan pedangnya berkelebat cepat membacok ke arah leher Liu Bi. Wanita itu yang tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan tangan kirinya menangkis.

“Crokkk!” Lengan kiri itu bertemu pedang yang dibacokkan dengan sepenuh tenaga dan dengan itupun buntung! Melihat lengan itu buntung, darah muncrat dan Liu Bi menjerit lalu roboh, Goan Ciang seperti baru sadar. Dia berdiri tertegun. Bukan Liu Bi yang harus dibunuhnya akan tetapi Panglima Khabuli, pikirnya. Liu Bi memang bersalah dan sudah menerima hukumannya! Pada saat itu, berdatanganlah para anggota Jang-kiang-pang dan melihat betapa ketua mereka merintih-rintih dengan lengan kiri buntung dan Goan Ciang berdiri di situ dengan pedang di tangan, juga melihat Lee Siang rebah tewas di pembaringan, mereka segera mengepung dan mengeroyok Goan Ciang!

Goan Ciang mengamuk dengan pedang yang telah membunuh kekasihnya dan membuntungi lengan ketua Jang-kiang-pang tadi. Akan tetapi, pihak pengeroyok semakin banyak sehingga dia kewalahan dan akhirnya, setelah merobohkan belasan orang, dia sendiri terkena sabetan golok dan tusukan tombak sehingga terluka pada pundak kiri dan paha kanannya. Maklum bahwa kalau dilanjutkan akhirnya dia akan roboh, Goan Ciang lalu meloncat dan melarikan diri, dikejar para anggota perkumpulan itu. Akan tetapi, cuaca yang masih gelap menguntungkan Goan Ciang dan diapun dapat meloloskan diri di tebing itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Goan Ciang telah berada jauh dari tempat itu dan dia hampir pingsan saking kelelahan dan kehilangan darah ketika dia menggulingkan tubuhnya di sebuah gua yang tertutup batu-batu dan semak-semak mengering sehingga tidak nampak dari luar, di lereng sebuah bukit.

Biarpun seluruh tubuhnya nyeri dan lelah, namun Goan Ciang tidak merasakan semua itu karena hati dan pikirannya masih dipenuhi kenangan tentang Lee Siang yang membuat dia serasa jantungnya seperti diremas-remas. Ingin rasanya dia berteriak-teriak menangis, perasaan hatinya hancur penuh penyesalan, tersayat-sayat duka yang menimbulkan dendam. Lee Siang membunuh diri, tentu karena telah kehilangan kehormatannya, semalam dipermainkan oleh Khabuli dalam keadaan tidak berdaya, selain lemah kehilangan tenaganya akibat racun, juga ia dalam keadaan mabok. Semua itu karena ulah Liu Bi yang ingin menjauhkan Lee Siang darinya. Dendam kebencian memenuhi hatinya. Terhadap Liu Bi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar