Rajawali Lembah Huai Jilid 02

Jilid 02

Tiba-tiba kakek itu bangkit dan biarpun tubuhnya kurus bungkuk, kini dia kelihatan penuh semangat dan keberanian. “Pertolongan? Kedermawanan? Huh, kini aku tidak perduli lagi, aku sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini, semua telah dirampas oleh Ji wan-gwe dengan alasan membayar hutang berikut bunganya yang berlipat ganda. Semua milikku sudah diambilnya, dan sekarang masih juga hendak memeras tenagaku yang sudah tua? Dia bukan penolong, bukan dermawan, melainkan lintah darat, penjahat kejam yang bersembunyi di balik kekayaannya!”

“Kakek Coa tua bangka yang bosan hidup! Berani kau memaki-maki Ji wan-gwe? Kalau tidak ada beliau, kau sudah mati kelaparan!” teriak dua orang itu marah.

“Siapa bilang? Justeru karena ada dia, kami semua warga dusun terancam kelaparan. Sawah ladang kami telah dirampasnya, tenaga kami diperas! Jahanam, setan busuk!”

Dua orang itu marah-marah dan sekali pukul, tubuh kakek itu terpelanting keras, namun kakek itu masih memaki-maki dengan marahnya. Dua orang tukang pukul itu hendak menghujankan pukulan lagi, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan sekali orang itu menggerakkan tangan mendorong, dua orang tukang pukul terpental dan terjengkang seperti dilanda badai. Mereka terkejut dan ketika memandangm mereka melihat seorang pemuda tinggi tegap telah berdiri di depan mereka dengan mata mencorong. Pemuda lain yang juga tegap sedang membantu kakek Coa bangun.

“Bocah setan, siapa kau berani mencampuri urusan kami? Apakah engkau minta dihajar pula?” bentak tukang pukul yang kumisnya panjang.

Biarpun marah menyaksikan kekejaman dua orang tukang pukul itu dan mendengar pertengkaran tadi, Cu Goan Ciang masih bersikap tenang. Dia hanya menghadapi kaki tangan hartawan Ji, dua orang yang hanya melaksanakan tugas karena memang itu pekerjaannya, walaupun pekerjaan itu jahat.

“Siap aku tidaklah penting. Kalian ini kaki tangan hartawan penghisap darah rakyat yang patut dihajar! Pergilah dan jangan lagi mengganggu paman ini!”

Dua orang tukang pukul itu tentu saja tidak takut. Mereka mencabut golok dari pinggang. Sudah terlalu sering golok itu mereka cabut untuk menakuti-nakuti orang, untuk mengancam dan kalau perlu melukai atau membunuh. Karena golok itu merupakan modal mereka bekerja dan dipercaya Ji wan-gwe, maka mereka selalu mengasah senjata itu sehingga nampak berkilauan tajam.

“Orang muda, engkau dan kawanmu itu agaknya bukan penduduk dusun ini. Jangan mencampuri urusan kami dan cepat pergi keluar dari dusun sebelum terlambat. Kami masih mau memaafkan kalian karena sebagai orang luar, kalian tidak tahu akan keadaan di dusun kami,” kata si kumis panjang.

Pada saat itu terdengar bentakan halus namun nyaring, suara orang wanita, “Apa lagi yang terjadi di sini? Tanah kuburan adalah tempat yang suci, kenapa kalian begini tidak tahu sopan dan aturan, ribut-ribut di tempat suci?”

Cu Goan Ciang dan Shu Ta menoleh, demikian pula kakek itu dan dua orang tukang pukul. Ternyata yang menegur itu adalah seorang gadis yang berusia sekitar tujuh belas tahun. Shu Ta terbelalak dan seperti terpesona melihat gadis yang wajah dan bentuk tubuhnya aduhai itu! Wajah itu cantik manis dan bentuk tubuhnya menggairahkan, dengan, lekuk lengkung yang sedang berkembang. Pakaiannya tidak terlalu mewah, namun jelas tidak sama dengan pakaian para gadis petani. Pakaiannya juga putih mulus dan halus, tidak ada bekas pekerjaan berat.

Ketika dua orang tukang pukul yang galak itu melihat siapa yang menegur mereka, sungguh aneh sekali, mereka kelihatan ketakutan dan sikap yang galak itu terbang entah ke mana, berubah menjadi sikap menunduk dan menjilat. Mereka segera membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada gadis muda itu.

“Nona, maafkan kami. Bukan maksud kami membuat ribut di tanah kuburan, akan tetapi kakek Coa ini yang keterlaluan. Begitu banyak dia berhutang budi kepada wan-gwe, akan tetapi dia meninggalkan pekerjaannya dan berada di sini. Agaknya dia sudah lupa bahwa tiga hari yang lalu, kalau tidak ada wan-gwe, dia tidak akan mampu mengubur mayat isterinya dengan baik,” kata si kumis panjang.

Gadis itu mengerutkan alisnya, pandang matanya berkilat marah. “Huh, kiranya kalian adalah tukang-tukang pukul menjemukan itu! Siapa bisa percaya omongan kalian? Kakek Coa, ceritakan apa yang telah terjadi? Aku lebih percaya keteranganmu dari pada kata-kata mereka ini.” Ketika menghadapi kakek Coa, suara nona muda itu terdengar lembut.

“Siocia, saya tidak menyangkal bahwa saya telah banyak memperoleh pinjaman uang dari Ji wan-gwe. Akan tetapi semua pinjaman itu telah saya bayar dengan berlipat ganda sehingga semua sawah ladang saya kini menjadi miliknya. Namun semua itu masih belum cukup dan saya diharuskan bekerja di sawah ladang yang tadinya milik saya turun temurun. Karena saya masih berkabung dan saya ingin menunggui kuburan isteri saya, maka saya hari ini belum dapat bekerja di ladang. Akan tetapi dua orang ini datang dan hendak memaksa saya, bahkan akan memukuli saya. Kemudian datang kedua pemuda ini yang menolong saya.”

Sepasang mata yang indah itu kini menyapu wajah Cu Goan Ciang dan Shu Ta. Melihat Cu Goan Ciang yang berada di depan menghadapi dua orang tukang pukul, gadis itu bertanya, “Sobat, apakah kalian hendak membela kakek Coa ini?”

“Kami selalu siap membela siapa saja yang ditindas kekuasaan jahat,” jawab Cu Goan Ciang dengan sikap tenang.

Gadis itu tersenyum dan matanya bersinar-sinar. “Hemm, agaknya kalian berdua bukan orang sini. Beranikah kalian melawan dua orang jagoan ini? Mereka itu kuat dan lihai!”

“Kenapa tidak berani?” Shu Ta yang kini menjawab sambil tersenyum mengejek ketika dia melirik ke arah dua orang jagoan itu. “Jangankan hanya mereka berdua saja, biar ditambah sepuluh orang lagi kami berani melawan mereka! Akan kutonjok hidungnya sampai berdarah dan kucabut kumis panjang itu!” Shu Ta memang berwatak lincah dan nakal, maka dia sengaja mengejek si hidung besar yang akan ditonjok hidungnya dan si kumis panjang akan dicabut kumisnya.

“Bagus!” Gadis yang lincah itu berseru gembira, “Kalau begitu, kenapa kalian tidak bertanding saja? Dua lawan dua, sudah adil. Heii, kalian lepaskan golok kalian dan lawan dua orang pemuda ini dengan tangan kosong saja. Baru sekarang aku melihat ada orang berani melawan kalian, hendak kulihat sampai di mana keberanian dan kehebatan mereka ini!”

Sungguh aneh. Dua orang jagoan itu agaknya seperti mati kutu berhadapan dengan gadis itu dan mereka mentaati perintahnya. Mereka melemparkan golok mereka ke atas tanah, kemudiang keduanya menghampiri Shu Ta dan Cu Goan Ciang. Si kumis panjang menghadapi Shu Ta sedangkan si hidung besar menghadapi Cu Goan Ciang. Gadis itu sendiri lalu mendekati kakek Coa, seperti melindungi. Kakek Coa nampak khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan khawatir terhadap dua orang pemuda yang mencoba untuk membelanya itu. Dia tidak ingin melihat mereka dihajar oleh dua orang tukang pukul yang dia tahu amat kejam. Karena gelisah, wajahnya pucat dan kakinya gemetar, lalu duduk di dekat kuburan isterinya.

Shu Ta maju menghadapi si kumis panjang yang matanya sipit dan agak juling itu. Dia menggapai dengan tangan kirinya dan berkata, “Majulah, dan berikan kumismu kepadaku untuk kucabuti!” Ejekan ini membuat si kumis panjang marah sekali.

“Bocah sombong, kuhancurkan kepalamu!” bentak si kumis panjang dan dia sudah menerjang maju sambil mengirim pukulan bertubi-tubi. Akan tetapi gerakan orang kasar itu tentu saja tidak ada artinya bagi pendekar muda murid Siauw-lim-pai itu. Dengan mudah Shu Ta mengelak ke kanan kiri, kemudian ketika mendapat kesempatan baik, kakinya bergerak dan ujung sepatunya mengenai perut si kumis panjang.

“Ngekkk!” Biarpun tendangan itu tidak dilakukan dengan terlalu kuat, cukup membuat si kumis membungkuk memegangi perutnya dan saat dia membungkuk itulad dipergunakan oleh Shu Ta untuk menyambarkan tangan ke depan dan... sekali renggut, kumis panjang itupun jebol dan di atas bibir itu menjadi merah karena berdarah!

“Aduh... aduh...!!” Si kumis panjang menggereng, akan tetapi Shu Ta sudah melompat ke dekat suhengnya yang masih terus menangkis dan mengelak dari serangan bertubi yang dilakukan si gendut besar.

“Suheng, serahkan si hidung besar ini kepadaku!” kata Shu Ta dan diapun menyambut serangan si hidung besar. Terpaksa Cu Goan Ciang mundur dan diapun kini menghadapi si kumis panjang yang masih marah-marah dan menerjang membabi buta.

Cu Goan Ciang hanya ingin memberi pelajaran karena dua orang ini hanyalah kaki tangan hartawan Ji. Yang kikir, kejam dan penindas rakyat adalah hartawan itu, sedangkan kaki tangan ini hanyalah orang-orang yang berwatak rendah, demi mendapatkan upah mereka ini tidak segan-segan melaksanakan perintah majikan mereka untuk bersikap keras dan kejam terhadap penduduk dusun yang miskin. Maka, melihat si kumis panjang sudah kehilangan kumisnya dan atas bibirnya berdarah, diapun mengakhiri perkelahian itu dengan sebuah tendangan yang mengenai dada si kumis panjang. “Desss...!” Tubuh si kumis panjang terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah.

Pada saat yang hampir berbareng, Shu Ta sudah berhasil menonjok hidung besar lawannya seperti yang dikatakannya tadi.

“Prottt!” Bukit hidung itu pecah dan berdarah, sedangkan tubuh si hidung besar terhuyung ke belakang.

Terdengar orang bertepuk tangan. Kiranya gadis manis tadi yang bertepuk tangan memuji. Dua orang tukang pukul itu menjadi marah bukan main. Mereka telah dihina orang di depan nona mereka lagi, dan yang membuat mereka menjadi semakin mendongkol adalah karena justeru nona majikan mereka itu memuji dan bersorak berpihak kepada dua orang pemuda asing yang telah menghina mereka. Mereka segera mencabut golok yang tadi mereka lempar ke tanah dan memutar golok itu di atas kepala, siap menyerang dua orang pemuda yang nampak tenang-tenang saja.

“Bocah setan, mampus kau sekarang!” bentak bekas si kumis panjang itu karena sekarang dia tidak berkumis lagi sambil memutar goloknya, sedangkan si hidung besar hanya mengeluarkan suara tidak karuan karena suaranya menjadi bindeng seperti orang bicara dengan hidung dijepit.

Akan tetapi sebelum dua orang pemuda itu menyambut, nampak bayangan berkelebat didahului sinar terang dan terdengar suara berkerontangan. Dua orang jagoan itu berteriak kaget dan terhuyung ke belakang dengan mata terbelalak karena golok di tangan mereka telah buntung. Kiranya gadis manis itu yang tadi menyambut mereka dengan pedang di tangan, sekali tangkis ia telah membikin buntung dua batang golok itu!

“Sudah kukatakan kalian tidak boleh menggunakan senjata golok, dan kalian masih berani membangkang!” bentak gadis itu galak.

Dua orang jagoan tinggi besar itu menundukkan mukanya dan nampak ketakutan.

“Maafkan kami, nona,” kata yang kehilangan kumis panjang, sedangkan si hidung besar yang remuk hanya menggumam saja.

“Sudahlah, pergi kalian dari sini. Menjemukan saja!” nona itu berseru galak dan bagaikan dua ekor anjing yang ketakutan, dua orang itu segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ sambil menunduk.

Cu Goan Ciang dan Shu Ta kagum sekali, terutama Shu Ta yang berwatak gembira. “Wah, hebat sekali, nona. Sungguh tidak kusangka, di dusun yang sunyi ini terdapat seorang pendekar wanita ahli pedang seperti nona!” katanya sambil memberi hormat. Siauw Cu diam saja, hanya memandang dan tersenyum melihat sikap sutenya yang dianggapnya agak mencari muka dengan pujiannya.

Sementara itu, kakek Coa memberi hormat kepada gadis itu dan berkata dengan suara khawatir, “Siocia, terima kasih atas pertolonganmu, akan tetapi harap siocia sampaikan kepada Ji wan-gwe bahwa bukan sekali-kali saya bermaksud untuk membangkang dan tidak mau bekerja. Akan tetapi saya ingin berkabung di kuburan isteri saya sampai besok. Lusa pagi saya pasti akan bekerja seperti biasa di ladang ayahmu, siocia (nona).” “Sudahlah, jangan khawatir, paman,” kata gadis itu dengan sikap acuh.

Mendengar ucapan kakek itu, Siauw Cu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong ketika menyambar ke wajah gadis itu. “Jadi engkau ini puteri Hartawan Ji Sun?” tanyanya.

Mendengar pertanyaan yang diajukan dengan suara yang kaku ini, gadis itu mengerutkan alisnya dan balas memandang dengan kaku pula. “Benar, namaku Ji Kui Hwa, puteri Hartawan Ji Sun. Habis mengapa?”

Siauw Cu tidak menjawab, melainkan menarik tangan Shu Ta dan tanpa memperdulikan lagi kepada gadis itu, dia berkata, “Sute, mari kita pergi!” Diapun mengajak sutenya pergi ke kuburan ayah dan ibunya yang berada di sudut kiri tanah kuburan itu. Gadis itu terbelalak, kemudian alisnya berkerut karena ia mendongkol bukan main melihat sikap dua orang pemuda itu, apa lagi sikap pemuda tinggi tegap yang memandang kepadanya dengan sinar mata merendahkan. Tadinya, ia tertarik melihat dua orang pemuda yang mampu menghajar dua orang tukang pukul ayahnya, dan ingin berkenalan. Akan tetapi melihat sikap pemuda tinggi tegap itu, tentu saja ia merasa malu kalau harus mengejar mereka. Iapun membanting kaki kirinya untuk melampiaskan kejengkelan hatinya, lalu meninggalkan tempat itu dengan bersungut-sungut.

Setelah tiba di depan kuburan ayah ibunya, Siauw Cu menjatuhkan diri berlutut dan sampai beberapa lamanya dia termenung dan terpekur. Hatinya diliputi keharuan melihat kuburan ayah ibunya tidak terawat, penuh dengan rumput alang-alang menjadi seperti semak belukar. Setelah menghormati kuburan orang tuanya sambil berlutut, dia lalu membersihkan kuburan itu, mencabut rumput dan tumbuh-tumbuhan. Tanpa diminta, Shu Ta yang tadi ikut pula berlutut memberi hormat, kini ikut pula membantu suhengnya membersihkan makam itu.

Kakek Coa yang tadi, datang terbungkuk-bungkuk menghampiri mereka. Dia memandang kepada dua orang pemuda itu, lalu kepada kuburan yang kini sudah dibersihkan. “Siapa... siapakah kalian? Ada hubungan apakah dengan keluarga Cu yang dimakamkan di sini?”

Cu Goan Ciang melangkah maju menghampiri kakek itu. Tentu saja sejak tadi, setelah mendengar disebutnya nama keluarga kakek itu, dia teringat. Kakek ini dahulu merupakan tetangga dan sahabat baik mendiang ayahnya. “Paman Coa, apakah paman lupa kepadaku? Ini adalah kuburan ayah dan ibuku.”

Sepasang mata yang sayu itu terbelalak dan kakek itu mengamati Siauw Cu dari kepala sampai kaki. “Ayah ibumu...? Kalau begitu... kau... kau adalah... Siauw Cu yang dulu itu?”

Shu Ta tertawa. “Paman yang baik, suheng bukan lagi Siauw Cu (Cu Kecil), melainkan seorang pemuda dewasa, namanya Cu Goan Ciang.”

“Ah...ahhh... kami semua mengenalmu sebagai Siauw Cu. Bukankah engkau dahulu bekerja kepada Lurah Koa, kemudian... kemudian engkau menjadi buruan yang dikejar-kejar? Siauw Cu, kenapa engkau berani datang ke sini? Kalau sampai Lurah Koa mengetahui berbahaya sekali bagimu. Sebaiknya engkau cepat pergi dari dusun ini!”

“Paman Coa, tenanglah dan mari kita duduk dan bicara. Aku bahkan ingin sekali mendengar segala tentang dusun kita ini darimu. Paman, kita berdua tadi ketika memasuki dusun, melihat para warga dusun, bekerja di sawah ladang yang subur. Agaknya keadaan di dusun ini sudah berbeda dari dahulu, paman. Tentu warga dusun kini tidak begitu menderita lagi, dengan memiliki sawah ladang yang subur itu...”

“Siapa memiliki sawah ladang subur? Tidak ada seorangpun di antara kami warga dusun yang memiliki sebidang tanah lagi. Semua telah menjadi milik Hartawan Ji!” kata kakek Coa dengan sikap marah.

“Ehhh? Bukankah di dusun ini terdapat kepala dusun? Apakah warga dusun tidak lapor kepada lurahnya?” Shu Ta membantah penasaran.

“Lurah? Hemm, Koa cung-cu (Lurah Koa) yang kaumaksudkan, orang muda? Tidak ada bedanya! Kalau hartawan Ji itu serigala, Lurah Koa adalah harimaunya. Kami semua warga dusun diperas, diharuskan membayar pajak dan segala sumbangan lain oleh Lurah Koa.

Kemudian, kalau kami membutuhkan biaya, hartawan Ji yang mengulurkan tangan memberi pinjaman yang bunganya mencekik leher. Akhirnya, setelah beberapa tahun lamanya, seluruh milik kami jatuh ke dalam tangan hartawan Ji atau Lurah Koa.”

Cu Goan Ciang mengepal tinju. “Hemm, kalau begitu, sejak delapan tahun yang lalu, keadaan di dusun ini masih sama saja dan tidak ada perubahan, paman?” tanyanya.

“Perubahannya ada, yaitu keadaan kami menjadi semakin buruk. Dusun ini menjadi milik mereka berdua, dan kami semua hanya menjadi semacam budak belian mereka belaka, kami menjadi tenaga kerja yang paling murah. Kemiskinan saja bagi kami sudah terbiasa, yang lebih menyiksa adalah ulah para jagoan mereka yang suka mengganggu anak bini orang.”

Shu Ta menjadi marah. “Suheng, keadaan macam ini tidak boleh kita diamkan saja! Kita harus turun tangan!”

Cu Goan Ciang juga marah, namun dia dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang. “Bersabarlah dulu, sute. Kita harus mencari jalan terbaik untuk meluruskan yang bengkok, menertibkan keadaan dan menolong mereka yang tertindas. Kalau hanya menuruti nafsu amarah tidak akan mengobati penyakitnya. Paman Coa, kalau kaukatakan bahwa hartawan Ji itu kikir dan kejam, hal itupun sejak dulu aku sudah mengetahui. Akan tetapi kulihat puterinya tadi tidaklah nampak jahat.”

“Ah, memang Ji-siocia itu amat baik. Semua orang mengetahu itu dan mereka semua menghormatinya. Bahkan Ji-siocia banyak membantu kami, walaupun hal itu dilakukan diluar tahu ayahnya yang kikir dan kejam. Kalau tidak ada Ji-siocia, tentu keadaan kami akan lebih parah lagi karena selain para jagoan yang suka mengganggu anak isteri orang, juga putera tertua dari Lurah Koa seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita mana saja.

Akan tetapi, Ji-siocia selalu menentangnya sehingga mereka semua itu tidaklah terlalu berani.”

“Putera Lurah Koa yang tertua, maksudmu Koa Hok, paman?”

“Benar, adiknya juga kejam, akan tetapi tidak suka mengganggu wanita.”

Setelah mendapatkan keterangan yang jelas tentang dua keluarga yang berkuasa di dusun itu, Goan Ciang mengajak Shu Ta untuk meninggalkan tanah kuburan. Matahari telah naik tinggi. “Apa yang akan kaulakukan sekarang, suheng? Apakah akan kaubiarkan saja hartawan Ji dan Lurah Koa merajalela di dusun ini dan menekan warga dusun?”

“Tentu saja tidak, sute. Aku pasti akan bertindak, akan tetapi sungguh tidak baik kalau kita hanya menyerang dan menghajar mereka. Hal itu tidak akan menolong warga dusun, bahkan sebaliknya, kelak mereka akan semakin digencet lagi sebagai balas dendam dua keluarga itu terhadap kita. Kita harus mencari jalan yang paling baik, akan tetapi aku belum menemukan jalan itu.”

“Ah, serahkan saja kepadaku, suheng. Aku mempunyai akal yang baik!” kata Shu Ta dan Cu Goan Ciang gembira sekali. Dia percaya akan kecerdikan sutenya ini, dan tentu sekali ini sutenya telah mempunyai akal yang amat baik. Mereka berhenti dan berunding, mengatur siasat seperti yang direncanakan Shu Ta yang cerdik, kemudian melanjutkan perjalan menuju ke rumah Lurah Koa.

Lurah dusun Cang-cin bernama Koa Tong Lun. Karena kedudukannya, dia merupakan orang yang paling berkuasa di dusun kecil itu, dan dia merasa seolah dirinya seorang raja dan dusun itu adalah negaranya, warga dusun adalah rakyat yang harus tunduk kepadanya. Segala peraturan yang dibuatnya sendiri merupakan hukum yang harus ditaati, karena siapa berani melanggar peraturan yang telah dia tetapkan, tentu akan berhadapan dengan pasukan kecil terdiri dari dua losin orang yang merupakan pasukan keamanan baginya. Tentu saja sikapnya terhadap warga dusun yang miskin itu amat kejam berbeda dengan sikapnya terhadap hartawan Ji. Hartawan itu mempunyai tukang-tukang pukul, pula dengan hartanya, hartawan itu dapat berbahaya bagi Lurah Koa, karena hartawan Ji mempunyai hubungan dengan para pejabat yang lebih tinggi kedudukannya di kota. Oleh karena itu, kedua orang penting di dusun ini, yang seorang penting karena kedudukannya, yang ke dua penting karena kekayaannya, dengan sendirinya bergaul akrab, bahkan seolah menjadi sekutu menghadapi rakyat yang mereka peras habis-habisan demi kepentingan dan kesenangan diri mereka sendiri dan keluarga mereka.

Koa cung-cu (Lurah Koa) mempunyai tiga orang isteri, akan tetapi dari tiga orang isteri itu, hanya isteri pertama yang mempunyai dua orang anak laki-laki yang bernama Koa Hok kini berusia dua puluh dua tahun, dan Koa Sek yang berusia dua puluh tahun. Kedua orang anak inilah yang delapan tahun lalu pernah berkelahi dengan Cu Goan Ciang, menyebabkan Goan Ciang terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan akhirnya ditampung di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid Lauw In Hwesio. Mereka berdua kini telah menjadi dua orang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Koa Hok bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, wataknya tinggi hati dan mata keranjang. Adapun adiknya, Koa Sek bertubuh tegap langsing, pendiam, akan tetapi dia memandang remeh kaum wanita dan perangainya kejam dan licik. Kakak beradik ini sejak kecil mempelajari ilmu silat dari guru-guru yang didatangkan ayah mereka dari kota dan membayar tinggi sehingga kini mereka menjadi dua orang pemuda yang pandai silat dan tidak ada seorangpun dari para pengawal ayah mereka yang mampu menandingi dan mengalahkan mereka dalam ilmu silat. Tentu saja mereka berdua menjadi kebanggaan Lurah Koa yang amat memanjakan mereka sehingga kakak beradik ini malang-melintang di dusun itu. Biarpun Lurah Koa sudah sering membujuk, namun kedua orang puteranya itu masih belum mau menikah, walaupun mereka, terutama sekali Koa Hok, bukan pemuda-pemuda alim yang tidak suka bergaul dengan wanita.

Matahari sudah naik tinggi. Para petani sudah lebih dari empat jam bekerja di ladang, sejak matahari terbit. Namun, Koa Hok dan Koa Sek masih mendengkur di kamar masing-masing karena dua orang pemuda ini, seperti biasa, bergadang sampai jauh malam. Tidur malam- malam, bangun siang-siang, inilah kebiasaan mereka. Bekerja berat enggan, menghambur uang seenaknya, itulah kesenangan mereka. Tidak mampu mencari namun pandai membuang.

Ketika memasuki dusun Cang-cin, Siauw Cu atau yang lebih tepat kita sebut Cu Goan Ciang karena dia bukan anak kecil lagi, dan sutenya, Shu Ta melihat betapa dusun itu nampak sunyi. Agaknya semua penduduk, besar kecil, pria dan wanita, semua bekerja di sawah ladang!

Semua tenaga di dusun itu dikerahkan untuk menggarap sawah ladang milik hartawan Ji dan Lurah Koa, semua warga dusun bekerja keras demi menambah kekayaan mereka berdua.

Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu telah berdiri di depan sebuah rumah gedung besar yang tidak pantas berdiri di dusun yang amat miskin itu, di antara rumah-rumah penduduk yang amat sederhana dan buruk. Kandang kuda yang nampak di sebelah kiri agak ke belakang dekat gedung itu saja sudah mengalahkan semua rumah warga dusun dalam hal keindahannya. Goan Ciang berdiri dan tertegun. Ketika dia masih bekerja kepada Lurah Koa, gedung itu belum sedemikian indahnya. Sungguh besar sekali kemajuan yang diperoleh lurah itu selama delapan tahun ini.

Dua orang penjaga yang tadinya berada di gardu penjagaan depan gedung itu keluar dan menghampiri dua orang pemuda yang berdiri di luar pintu gerbang.

“Haii! Kalian ini dua orang pemuda tidak bekerja di sawah ladang, malah berkeliaran di sini!” bentak seorang di antara mereka. Sikap mereka galak dan mengancam sehingga mudah diambil kesimpulan bahwa para petugas keamanan ini sudah biasa bersikap kasar dan menindas terhadap warga dusun.

Sebelum Cu Goan Ciang atau Shu Ta menjawab, muncul seorang petugas lain dari dalam gardu. Dia ini seorang yang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan mukanya penuh bekas cacar atau bopeng. Usianya sekitar empat puluh tahun dan sikapnya angkuh sekali. Dari pakaiannya dan pedang yang tergantung di pinggang, yang berbeda dari kedua orang pertama, mudah diduga bahwa dia tentulah petugas yang lebih tinggi kedudukannya. Memang orang ini adalah Bong Kit, kepala pasukan keamanan Lurah Koa yang jumlahnya dua losin orang itu.

Sebagai orang yang paling berkuasa di antara dua losing penjaga keamanan, tentu saja Bong Kit sadar betul akan kepentingan dirinya, dan hal ini membuat dia berwatak sombong bukan main. Bahkan dalam hal kesombongan, dia tidak mau kalah bersaing melawan majikannya.

“Ha, kalian tentu bukan penduduk sini. Siapa kalian dan mau apa berkeliaran di dusun ini?” Bong Kit membentak dengan sikapnya yang sombong.

Sesuai dengan rencana yang sudah diatur bersama Shu Ta tadi, Goan Ciang menjawab dengan tenang. “Kami adalah kenalan keluarga Koa cung-cu, dan kami datang berkunjung untuk bicara dengan Lurah Koa.”

Mendengar bahwa dua orang pemuda itu sahabat Lurah Koa, tentu saja Bong Kit dan kawan- kawannya menjadi terkejut. Mereka tadi bersikap kurang hormat terhadap dua orang tamu sahabat majikan mereka! Maka, berubahlah sikap mereka dan wajah Bong Kit yang buruk dan menyeramkan itu, kini berubah cerah berseri dengan senyum menyeringai dia memberi hormat. “Aih, kiranya ji-wi kong-cu (dua orang tuan muda) adalah tamu dari majikan kami. Kalau begitu, silahkan masuk dan duduk di ruangan tamu, biar kami melaporkan kepada majikan kami tentang kunjungan ji-wi (anda berdua).”

“Terima kasih,” kata Goan Ciang yang saling lirik dengan sutenya, diam-diam merasa geli, juga girang bahwa siasat mereka berjalan dengan mulus.

Setelah mereka dipersilahkan duduk di ruangan tamu yang luas dan indah di sebelah kiri beranda gedung itu, Bong Kit bertanya, “Siapakah nama ji-wi yang akan saya laporkan kepada majikan kami?”

“Namaku Cu Goan Ciang dan dia ini bernama Shu Ta” kata Goan Ciang tanpa ragu lagi. Seorangpun di dusun itu tidak yang tahu akan namanya, karena dahulu, semua orang mengenalnya sebagai Siauw Cu (Cu Kecil) seperti semua anak di dusun itu yang hanya dikenal nama kecil atau nama panggilannya saja.

Bong Kit meninggalkan mereka untuk melapor ke dalam. Tak lama kemudian, muncul Koa cung-cu, diiringkan oleh Bong Kit yang agaknya bertugas pula sebagai pengawal pribadi di samping mengepalai pasukan pengawal yang selosin orang banyaknya. Melihat munculnya seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bersikap angkuh, dengan pakaian rapi dan mewah seperti pakaian seorang menteri saja, Goan Ciang segera mengenalnya sebagai Lurah Koa Tong Lun. Akan tetapi, lurah itu sendiri sama sekali tidak mengenalnya dan setelah menatap wajah kedua orang tamu mudanya dengan penuh perhatian, dia memberi isarat dengan tangan mempersilahkan kedua orang pemuda itu duduk, kemudian terdengar sang lurah berkata dengan nada suara seperti seorang raja menegur hamba sahayanya.

“Pengawal melaporkan bahwa kalian datang untuk bicara denganku dan bahwa kalian adalah kenalanku. Pada hal, rasanya aku belum pernah melihat kalian. Apa maksud kalian berbohong dan ingin menghadap kami?”

Goan Ciang memberi hormat sambil duduk. “Maafkan kami, paman...”

Sepasang alus yang jarang itu berkerut. “Apa kaubilang? Paman? Aku bukan pamanmu!” Goan Ciang berpura-pura terkejut dan ketakutan. “Lalu... saya harus menyebut apa?”

“Hemm, aku penguasa di sini, semua orang menyebut aku taijin (orang besar) dan sebagai tamu, engkaupun harus menyebut taijin kepadaku,” kata sang lurah dengan sikap angkuh.

Goan Ciang mengangguk-angguk. “Baiklah, maafkan kami, taijin karena kami belum tahu akan peraturan itu. Biarpun kita belum pernah saling berkenalan, akan tetapi kami berdua sudah mendengar nama besar Koa-taijin dan kami mendengar bahwa dalam masa yang tidak aman ini, taijin membutuhkan bantuan orang-orang yang boleh diandalkan. Nah, kami berdua adalah kakak beradik seperguruan yang baru saja tamat belajar silat dan kalau taijin dapat menerima kami sebagai pengawal, maka kami tanggung bahwa keselamatan dan keamanan taijin akan terjamin.”

Mendengar ucapan itu, Lurah Koa otomatis menengok dan memandang kepada Bong Kit. Keduanya bertemu pandang dan wajah Bong Kit menjadi semakin buruk, kehitaman karena dia marah sekali mendengar dua orang pemuda itu melamar untuk menjadi pengawal. Lurah Koa lalu tertawa bergelak dan kembali memandang kepada dua orang pemuda itu.

“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang bocah sungguh tekebur. Keamananku sudah terjamin dan tidak akan ada orang yang berani mengacau di dusun kami ini! Kami tidak membutuhkan pengawal baru, karena kami sudah mempunyai dua losing orang pengawal yang amat kuat dipimpin oleh Bong Kit ini, selain itu, juga dua orang putera kami adalah pendekar-pendekar yang tak terkalahkan.”

Cu Goan Ciang kembali saling pandang dengan Shu Ta dan mereka tersenyum geli mendengar kesombongan itu keluar dari mulut sang lurah. Memang sudah mereka perhitungkan kemungkinan sambutan seperti itu, maka sesuai dengan rencana mereka, kini Shu Ta yang menjawab. “Akan tetapi, Koa-taijin, bagaimana mungkin taijin mempercayakan keselamatan taijin sekeluarga kepada dua losing orang pengawal yang dipimpin oleh seorang macan ompong seperti itu? Ya, macan ompong. Memang kelihatannya saja dua losin orang pengawal taijin itu ganas dan kuat, namun mereka itu hanyalah sekelompok macan ompong yang tidak bertaring tidak berkuku lagi.”

“Bocah sombong! Berani engkau menghina pengawalku yang dua losin itu?” Lurah Koa berseru marah sedangkan Bong Kit mengepal tinjunya yang besar sambil melotot kepada Shu Ta.

“Koa-taijin,” kata Cu Goan Ciang. “Sute sama sekali tidak menyombongkan diri, tidak membual atau menghina para pengawal taijin. Kalau muncul gangguan orang jahat di dusun ini, pasti pengawal-pengawal taijin tidak akan berdaya dan keselamatan taijin sekeluarga akan terancam. Untuk meyakinkan hati taijin, bagaimana kalau kami berdua mengadakan percobaan untuk menguji penjagaan keamanan terhadap keluarga taijin?”

Lurah Koa berkerut dan matanya memandang tajam penuh selidik. “Percobaan apa yang kaumaksudkan? Jagalah kata-kata kalian, atau aku akan menyuruh pengawal unutk menangkap kalian dan menghajar kalian!”

“Sekali lagi, kami tidak bermaksud menghina, melainkan bicara sebenarnya, taijin. Percobaan yang saya maksudkan adalah begini. Biarlah kami berdua berperan sebagai dua orang penjahat yang datang untuk menangkap dan menculik dua orang putera taijin. Dua losin orang pengawal itu boleh mencoba menghalangi, juga dua orang putera taijin boleh melawan. Kami akan mengalahkan mereka dan menangkap dua orang putera taijin dan membawa mereka menghadap taijin. Bagaimana?” kata Cu Goan Ciang.

Lurah Koa terbelalak, lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apakah kalian ini dua orang bocah yang sudah gila? Kalian berdua akan menangkap dua orang putera kami dan mengalahkan semua pengawalku dan dua orang puteraku. Kalian gila!”

“Kami gila atau tidak, kita sama lihat saja dalam percobaan ini, taijin,” kata Shu Ta. “Akan tetapi, kalian dapat dihajar sampai mampus oleh para pengawal kami sebelum dapat

bertemu dua orang puteraku! Andai kata kalian dapat melampaui para pengawal, kalianpun akan dihajar oleh dua orang puteraku yang lihai.” “Koa-taijin, kami datang untuk minta pekerjaan, bukan untuk membuat ribut. Kami hanya ingin membuktikan kemampuan kami dan membuktikan betapa lemahnya penjagaan para pengawal taijin. Oleh karena itu, kami tidak akan mencelakai siapapun, dan kami juga tidak akan melukai dua orang putera taijin.”

“Tapi ini berbahaya bagi kalian. Kalian dapat dihajar mampus oleh pasukan pengawal kami!” “Kalau terjadi demikian, kami tidak akan penasaran, taijin,” kata pula Cu Goan Ciang.

“Taijin, serahkan saja dua bocah gila ini kepadaku untuk kuhancurkan mulut mereka yang lancang sekarang juga!” kata Bong Kit yang sejak tadi hanya menahan kemarahannya. Kalau saja dia tidak berada di depan majikannya, kalau dua orang bocah sombong itu bicara seperti itu di luar tadi, tentu sejak tadi dia sudah turun tangan menghajar mereka.

“Koa-taijin,” kata pula Cu Goan Ciang dengan cepat. “Kami kira tidak ada yang merugikan taijin dalam percobaan ini. Kalau kami gagal dan tidak mampu, sampai terbunuh oleh para pengawal taijin, taijin tidak rugi dan kamipun tidak akan penasaran. Sebaliknya, kalau kami yang menang, taijin mendapatkan kami sebagai pengawal yang dapat diandalkan, bukankah taijin pula yang untung?”

Mendengar ucapan masuk di akal ini, Lurah Koa mengangguk-angguk. “Baiklah, kami menerima usul percobaan ini! Bagaimana dan kapan dimulainya?”

Tentu saja Cu Goan Ciang dan Shu Ta yang mengatur siasat agar mereka dapat menaklukkan lurah ini dengan halus, girang melihat siasat mereka berjalan dengan baik. “Sekarang juga, taijin. Kami berdua akan keluar dari dusun, kemudian kami memasuki dusun melalui pintu gerbang dan mulai saat itu, semua pengawal taijin boleh menghalangi kami. Kami akan terus masuk dan mencoba untuk menangkap kedua orang putera taijin. Tentu saja merekapun boleh bersiap siaga melawan kami. Bagaimana?”

Lurah Koa tertawa, juga kini Bong Kit tertawa, karena mereka menganggap dua orang pemuda ini gila atau setidaknya juga terlalu sombong dan tidak tahu diri.

“Baik, baik, kita mulai sekarang juga. Nah, keluarlah kalian dari dusun ini agar kami dapat membuat persiapan,” kata sang lurah.

Cu Goan Ciang dan Shu Ta lalu keluar dari gedung itu, terus berjalan cepat keluar dari dalam dusun Cang-cin. Bong Kit mengumpulkan semua anak buahnya yang dua losing banyaknya dan menceritakan bahwa ada dua orang pemuda gila yang melamar menjadi pengawal dan kini menyombongkan diri untuk diuji, yaitu mereka mencoba untuk menculik dua orang putera lurah dan akan menghadapi mereka semua sebagai lawan! Mendengar ini, dua losing pengawal itu tertawa geli, akan tetapi juga marah karena mereka menganggap dua orang pemuda itu sombong dan memandang rendah mereka. “Kalau kita mengeroyok mereka, kita hajar mereka habis-habisan, bahkan kalau mereka mampuspun, Lurah Koa tidak akan marah kepada kita,” kata Bong Kit kepada mereka.

Sementara itu, Cu Goan Ciang dan Shu Ta, seperti yang mereka rencanakan, keluar dusun dan menemui warga dusun yang masih sibuk bekerja di sawah ladang. Kepada semua warga dusun, mereka menyatakan bahwa mereka berdua akan menandingi pasukan pengawal Lurah Koa, dan mereka berdua akan menaklukkan sang lurah agar kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap warga dusun itu dapat dihentikan. Dua orang pemuda itu menganjurkan agar seluruh penduduk menjadi penonton dan menyaksikan bagaimana mereka berdua akan mengalahkan semua pengawal, dan menangkap dua orang pemuda putera sang lurah.

Mendengar ini, tentu saja semua warga dusun menjadi terkejut bukan main. Apa lagi ketika kakek Coa muncul dan dengan lantang berteriak memberitahu bahwa pemuda yang tinggi tegap dan gagah itu adalah Siauw Cu, yang delapan tahu lalu kematian orang tuanya kemudian menjadi penggembala ternak milik Lurah Koa dan kemudian melarikan diri karena memukuli dua orang putera lurah itu dan menjadi buronan yang tak pernah dapat ditemukan para kaki tangan sang lurah. Warga dusun kini mengenal Cu Goan Ciang sebagai Siauw Cu dan merekapun semakin geger. Ada yang menjadi gembira dan penuh semangat mendukung usaha Siauw Cu untuk membebaskan mereka dari penindasan, ada pula yang ketakutan, takut kalau terbawa-bawa dan mereka akan menerima hukuman dari para pengawal yang galak dan ganas. Akan tetapi, akhirnya sebagian besar warga dusun itu kembali ke dusun dan mengikuti dua orang pemuda itu dari belakang untuk melihat apa yang akan terjadi.

Ketika dua orang pemuda murid Siauw-lim-pai itu memasuki pintu gerbang, seperti yang sudah mereka duga, mereka dihadang oleh sekelompok penjaga keamanan yang jumlahnya lima orang. Melihat kedua orang muda itum seorang di antara para penjaga memukul kentungan dan berlari-larianlah para pengawal yang lain ke pintu gerbang itu. Kiranya, Bong Kit telah membagi-bagi pasukannya untuk melakukan penjagaan di empat penjuru untuk menghadang. Kiranya, dua orang pemuda itu memegang janji, masuk melalui pintu gerbang dan tidak menggunakan akal menyelunduo seperti yang mereka khawatirkan. Karena bunyi kentongan itu, maka sebentar saja Cu Goan Ciang dan Shu Ta yang sudah memasuki pintu gerbang, terkepung oleh dua losin petugas keamanan yang dipimpin oleh Bong Kit yang berdiri dengan garang, dengan senyum sinis karena dia yakin bahwa dua orang ini tidak mungkin akan dapat menandingi anak buahnya yang dua losin orang banyaknya, apa lagi hendak menculik dua orang kongcu yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada dia sendiri.

“Ha-ha-ha-ha, bocah-bocah sombong. Hendak kulihat, apa yang dapat kaulakukan terhadap kami dua puluh lima orang?” Dia melihat pula betapa semua warga desa berdatangan memasuki pintu gapura dengan sikap takut-takut akan tetapi juga ingin tahu. Melihat ini, Bong Kit tidak marah, bahkan dengan gembira dia berteriak kepada mereka, “Haiii, kalian semua, kebetulan kalian pulang dan dapat melihat keramaian. Dua orang bocah lancang ini ingin menjadi pengawal dan mengalahkan kami, ha-ha-ha. Kalian lihatlah betapa kami akan menghajar mereka. Kalian boleh nonton dan nanti segera kembali ke sawah untuk bekerja!”

Melihat lagak Bong Kit, Shu Ta sudah hendak turun tangan, akan tetapi suhengnya berbisik, “Tunggu dulu. Lihat siapa yang datang, biar mereka menyaksikan agar mereka menyadari kekuatan kita.”

Shu Ta mengangkat muka memandang dan dia melihat betapa Lurah Koa datang bersama dua orang pemuda yang berpakaian mewah dan berwajah tampan karena mereka itu pesolek.

Mudah diduga siapa dua orang pemuda itu. Tentulah dua orang putera Lurah Koa. Di pinggang mereka berdua tergantung sebatang pedang dan langkah mereka dibuat-buat seperti langkah seorang pendekar asli, mirip langkah harimau.

Lurah Koa telah tiba di situ dan melihat dua orang pemuda itu sudah dikepung semua anak buahnya, diapun tersenyum mengejek. “Kalian sudah dikepung, dan di sini dua orang anakku telah siap siaga. Bagaimana kalian hendak menculik mereka? Ingin sekali aku melihatnya!”

Inilah yang dikehendaki Cu Goan Ciang dan Shu Ta. Semua telah berkumpul di situ dan warga dusun juga telah berkumpul untuk menjadi penonton dan saksi. Cu Goan Ciang tersenyum, lalu berkata lantang. “Koa-taijin, lihatlah betapa semua anak buahmu tidak ada gunanya. Dalam waktu singkat, aku dan sute akan mengalahkan mereka!”

Setelah berkata demikian, Cu Goan Ciang dan Shu Ta bergerak ke depan. Para tukang pukul atau jagoan pengawal lurah itu menyambut dengan pengeroyokan. Mereka, dipimpin oleh Bong Kit, selain memandang rendah dua orang pemuda itu, juga tentu saja merasa malu kalau harus mengeroyok dua orang yang tidak bersenjata itu denggan menggunakan senjata tajam pada hal jumlah mereka sudah demikian banyaknya.

Para warga dusun yang berkumpul di situ dan menjadi penonton dari jarak yang cukup jauh, terbelalak dan merasa khawatir sekali. Bagaimana mungkin dua orang pemuda itu akan mampu melawan para tukang pukul yang sedemikian banyaknya? Mereka sudah mengenal benar keganasan dan kekejaman para tukang pukul itu. Tentu tak lama lagi kedua orang pemuda itu akan terkapar di atas tanah, berlumur darah, mungkin tewas.

Akan tetapi, mereka semakin terbelalak dan menahan napas ketika melihat betapa setiap kali dua orang pemuda itu bergerak, pasti ada pengeroyok yang terpelanting! Dalam beberapa gebrakan saja, dua orang pemuda itu telah membuat delapan orang pengeroyok terlempar dan terpelanting.

Bong Kit menjadi marah sekali kepada anak buahnya yang dianggapnya tidak becus. Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor beruang, dia sendiri terjun dan dengan tubuhnya yang tinggi besar dia menerjang ke arah Goan Ciang. Kedua lengan yang panjang itu, dengan kedua tangan terbuka, seperti hendak menerkam ke arah kedua pundak pemuda itu. Melihat serangan yang hanya mengandalkan tenaga seperti seekor binatang buas ini, Cu Goan Ciang mengelak ke samping dan pada saat tubuh lawan terjerumus ke depan, kakinya menyambar, ujung sepatunya mencium sambungan lutut kanan dan tak dapat dicegah lagi, Bong Kit jatuh berlutut. Sebelum dia mampu bangkit, sebuah tamparan hinggap di pundaknya dan Bong Kit merasa seperti disambar petir, tubuhnya terpelanting keras dan sejenak dia menjadi pening.

Kalau saja Bong Kit bukan orang yang selalu mengandalkan kekerasan dan memandang rendah orang lain, tentu dia akan menyadari bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dia biasanya selalu menang, selalu ditakuti orang, apa lagi mengandalkan banyak anak buahnya. Setelah mengguncang kepala dan mengusir kepeningan kepalanya, dia bangkit berdiri, mencabut pedangnya dan berteriak kepada anak buahnya untuk membunuh dua orang pengacau itu!

Sudah ada sepuluh orang yang terpelanting dalam gebrakan pertama itu, maka para pengeroyok itupun menjadi jerih dan begitu mendengar aba-aba Bong Kit yang telah mencabut pedang, mereka semuapun mencabut senjata mereka. Ada yang memegang golok, pedang, tombak, ruyung dan mereka kini mengepung dua orang pemuda itu dengan sikap bengis dan mengancam. Mereka yang tadi terpelanting juga sudah bangkit dan siap menerjang karena memang Goan Ciang dan Shu Ta tidak berniat melukai mereka.

Melihat betapa dua puluh lima orang itu sudah memegang senjata semua, Goan Ciang lalu berteriak ke arah kepala dusun yang masih berdiri didampingi dua orang puteranya. “Koa- taijin, lihatlah betapa tidak ada gunanya semua pengawal tai-jin, hanya mengandalkan kekerasan saja tanpa memiliki kepandaian yang berarti!”

Mendengar seruan ini, tentu saja Bong Kit menjadi marah. Dia menggerakkan pedangnya dan memberi isarat kepada para pengikutnya. Ributlah dua puluh lima orang itu mengepung dan mengeroyok Goan Ciang dan Shu Ta. Dua orang pemuda ini maklum bahwa dikeroyok demikian banyaknya orang yang memegang senjata tajam, mereka tidak boleh lengah.

Merekapun menggerakkan kaki tangan dan berkelebatan di antara para pengeroyok. Terdengar teriakan-teriakan dan senjata-senjata itu terlepas dari tangan pemegangnya, jatuh berkerontangan dan bagaikan serumpun alang-alang dibabat, dua puluh lima orang itu, termasuk Bong Kit, berpelantingan dan jatuh bangun! Mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang lagi karena didahului oleh gerakan dua orang muda itu yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi.

Tentu saja Lurah Koa terbelalak dan terkejut bukan main. Apa lagi ketika dua bayangan itu setelah merobohkan semua pengeroyok, tiba-tiba berkelebat dan tahu-tahu telah berada di depannya.

“Maafkan ji-wi kong-cu (tuan muda berdua), kalian terpaksa menjadi tawanan kami!” kata Goan Ciang.

Dua orang pemuda itu marah sekali. Biapun mereka juga terkejut melihat betapa dua orang pemuda itu mampu merobohkan semua pengeroyok, namun mereka berdua bukan orang- orang lemah.

“Singgg...!” Keduanya sudah mencabut pedang masing-masing. Tadi mereka sudah mendengar dari ayah mereka bahwa dua orang pemuda itu melamar sebagai pengawal dan kini sedang diuji kemampuan mereka dengan dikeroyok dua puluh lima orang pengawal yang hendak mencegah mereka berdua menawan kedua orang putera lurah!

“Hemm, jangan kira mudah menawan kami berdua!” bentak Koa Hok dan diapun sudah menyerang Goan Ciang dengan tusukan pedangnya. Adiknya, Koa Sek, juga sudah memutar pedang dan menyerang Shu Ta.

Kesenangan adalah kekuasaan. Kekuasaan memungkinkan nafsu yang menguasai diri manusia untuk mencapai segala yang dikehendakinya, dan mencapai segala yang dikehendaki tentu saja mendatangkan kesenangan bagi diri pribadi. Kekuasaan juga membuat kira merasa bahwa diri kita penting, berarti, menonjol. Tanpa ada kekuasaan atas siapa saja, baik atas orang-orang yang berkedudukan lebih rendah dari pada kita, bawahan kita, keluarga kita, anak-anak kita, tanpa adanya perasaan bahwa kita berkuasa atas mereka, maka hidup ini akan terasa kosong, tidak ada artinya, sepi dan membosankan. Seperti juga milik atau kelebihan yang lain pada diri kita, kekuasaan juga memabokkan, dapat membuat kita lupa diri dan melakukan apapun demi untuk mempertahankan atau merampas kekuasaan itu. Kekuasaan, seperti kelebihan lain, mengikat dan membelenggu kita kuat-kuat sehingga orang yang memiliki kekuasaan tak dapat lagi melepaskan diri, bahkan tidak dapat lagi menikmati hidup tanpa kekuasaan. Ada yang begitu kehilangan kekuasaan, orang merasa demikian kosong, tidak berarti, duka dan sengsara. Ada pula yang mempertahankan kekuasaan dengan taruhan nyawa. Demikian lemahnya kita kalau sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu sehingga segala yang sesungguhnya hanya menjadi pelengkap hidup, seperti kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan sebagainya, kita jadikan yang terpenting, lebih penting dari pada nyawa!

Mendengar, bahwa mereka telah diterima sebagai pengawal, Cu Goan Ciang dan Shu Ta memberi hormat dan Cu Goan Ciang berkata, “Terima kasih atas kepercayaan Koa-taijin. Akan tetapi, kalau kami hanya diterima sebagai pengawal, lalu siapa yang akan menjadi kepala atau komandan kami, orang yang lebih pandai dari kami?”

Lurah itu saling pandang dengan kedua orang puteranya, lalu menoleh kepada Bong Kit yang hanya menunduk dengan muka merah karena dia sudah merasa kalah dan tidak lagi berani berlagak.

“Baik, kalian berdua kami angkat menjadi kepala pengawal, memimpin dua puluh lima orang pengawal kami yang sudah ada,” kata Lurah Koa.

Cu Goan Ciang mengangguk-angguk dan sesuai dengan rencana dia dan sutenya, dia lalu berkata, “Baik, taijin. Kami berdua menerima pengangkatan itu, dan demi keamanan dusun ini terutama keluarga taijin, kami berdua akan mengadakan peraturan baru. Untuk itu, kami mohon taijin dan ji-wi kong-cu untuk berunding dengan kami di rumah taijin, sedangkan kepada semua pengawal, kami perintahkan untuk berjaga di luar.”

Lurah Koa menyewa tukang pukul, dan hal ini dia lakukan karena pertama, hartawan Ji memiliki juga tukang-tukang pukul yang banyak dan kuat di samping puterinya yang lihai dan banyak membikin pusing karena gadis itu terkenal suka menentang tindakan para tukang pukulnya terhadap warga dusun. Dan kedua, hartawan itu telah menggunakan banyak uangnya untuk menjalin persahabatan dengan para pembesar yang berkuasa di kota, maka diapun tidak berani sembarangan bertindak takut akan turun tangannya para pejabat tinggi yang akan melindungi hartawan Ji. Akan tetapi sekarang, dengan adanya dua orang pemuda perkasa yang amat lihai ini, terbuka jalan baginya untuk memaksa hartawan Ji bertekuk lutut dan mengakui kekuasaannya di dusun itu.

Koa Hok dan Koa Sek duduk di kanan kira ayahnya. Dua orang pemuda inipun mengamati Cu Goan Ciang dan Shu Ta dengan penuh perhatian dengan hati yang kagum dan juga penasaran. Tadinya, mereka berdua menganggap bahwa mereka berdua merupakan orang- orang paling jagoan di dusun itu. Kini, tidak disangka sama sekali, kebanggaan hati mereka itu hancur lebur di tangan dua orang pemuda ini! Akan tetapi, untuk melampiaskan rasa penasaran, mereka tentu saja tidak berani. Semua anak buah mereka telah kalah, juga mereka berdua bukanlah lawan dua orang pemuda perkasa ini! Seperti juga jalan pikiran ayah mereka, karena merasa tidak mungkin memaksakan kehendak mereka kepada dua orang pemuda ini, mereka berniat untuk menarik mereka menjadi kawan yang setia dan yang menurut permintaan mereka, dan seperti Lurah Koa, dua orang pemuda yang selalu dimanja itupun memikirkan apa yang akan dapat mereka capai dengan bantuan dua orang pengawal baru ini.

“Nah, Cu Goan Ciang dan Shu Ta, setelah kalian kini menjadi pimpinan pasukan, berarti menjadi tangan kanan kami, lalu apa yang akan kalian lakukan, peraturan apa yang akan kalian adakan untuk menjamin keselamatan keluarga kami? Sebagai balas jasa, kalian akan kami beri rumah tinggal yang indah, pakaian baru dan banyak, juga segala kebutuhan kalian akan kami penuhi!” kata sang lurah dengan wajah berseri. “Koa-taijin, sebelum kami membuat peraturan baru, kami ingin mengingatkan taijin akna keadaan taijin di sini. Taijin menjadi kepala dusun, menjadi lurah di sini karena adanya rakyat atau warga dusun Cang-cin, bukan? Andai kata dusun ini kosong tidak ada penduduknya, hanya keluarga taijin sendiri, apakah taijin akan tetap menjadi lurah?”

Pertanyaan yang diajukan Shu Ta ini membuat sang lurah dan dua orang puteranya terbelalak. Pertanyaan yang amat aneh, belum pernah selamanya pertanyaan seperti itu terpikir oleh mereka.

“Tentu saja tidak!” akhirnya lurah itu berkata sambil mengerutkan alisnya. “Seorang kaisar sekalipun tentu tidak akan menjadi kaisar kalau tidak ada rakyatnya. Kenapa engkau mengajukan pertanyaan seaneh itu? Apa maksudmu?”

Shu Ta tersenyum. “Tepat sekali, taijin. Bahkan seorang kaisarpun tidak akan menjadi kaisar tanpa adanya rakyat. Berarti yang mengangkat kaisar, juga lurah, adalah rakyat. Tanpa ada rakyat, takkan ada lurah, sebaliknya tanpa adanya lurah sekalipun, rakyat akan tetap hidup. Bukankah begitu?”

Lurah itu semakin kecut hatinya, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat membantah. “Tentu saja, andai kata aku tidak menjadi lurah, akupun menjadi rakyat biasa. Tapi apa maksudmu?”

“Begini, taijin. Pengertian ini jelas menunjukkan bahwa yang terpenting adalah rakyat. Lurah diadakan untuk kepentingan rakyat, untuk mengatur keperluan rakyat, bukan sebaliknya, bukan rakyat diadakan demi kepentingan lurah. Bukankah begitu?”

Kembali terpaksa Lurah Koa mengangguk-angguk. “Lalu?”

“Contohnya dusun Cang-cin ini. Kalau taijin sebagai lurah ingin hidup aman, harus rakyatnya dulu dibikin aman hidup mereka, kalau lurahnya ingin makmur, harus rakyatnya dibikin makmur dulu, kalau ingin senang, harus rakyatnya lebih dulu dibikin senang. Bagaimana mungkin lurahnya hidup aman kalau kehidupan rakyatnya tidak aman?”

“Hemm, orang muda, apa sesungguhnya maksudmu? Bukankah dusun inipun dalam keadaan aman? Rakyat di dusun ini tidak pernah diganggu penjahat. Mana ada penjahat berani masuk ke sini? Akan kami hancurkan!”

Kini Cu Goan Ciang yang bicara. “Memang tidak ada penjahat dari luar masuk, taijin. Akan tetapi di dalam dusun sendiri penuh dengan orang jahat!”

Mendengar ucapan Cu Goan Ciang itu, ayah dan dua orang anaknya itu saling pandang, kemudian mereka terbelalak memandang kepada Goan Ciang dan hampir berbareng mereka berseru, “Tidak mungkin! Mana ada orang jahat di sini?”

Goan Ciang tersenyum. “Mungkin bagi sam-wi (anda bertiga) mereka tidak jahat, akan tetapi tanyalah kepada warga dusun. Dua puluh lima orang anggota pasukan keamanan itu melakukan pemerasan, penindasan, penyiksaan, pemukulan bahkan tidak segan membunuh, tidak segan mengganggu anak isteri warga dusun. Kalau perbuatan seperti itu bukan perbuatan penjahat, lalu apakah harus dikatakan perbuatan baik?”

“Tapi mereka itu menjaga keamanan dan menghukum warga dusun yang melanggar peraturan, tidak kami suruh melakukan kejahatan!” teriak sang lurah.

Goan Ciang tersenyum. “Mungkin taijin tidak menyuruh mereka, akan tetapi karena merasa berkuasa, mereka bertindak sewenang-wenang. Orang-orang seperti mereka itu bagaikan anjing-anjing liar, kalau majikannya tidak memuaskan hati, mereka akan membalik dan menggerogoti majikan sendiri.”

“Ahhh...!” Wajah lurah itu berubah. Tak pernah terpikirkan olehnya akan kemungkinan para tukang pukulnya itu membalik dan mengganggu dia dan keluarganya. “Lalu... lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Kita tadi telah sependapat bahwa yang terpenting adalah kehidupan rakyat, yaitu warga dusun ini, taijin. Taijin harus memakmurkan mereka, barulah kehidupan taijin sekeluarga akan makmur. Karena itu, pertama-tama yang akan kami berdua lakukan adalah menyingkirkan orang-orang yang menindas rakyat, yaitu dua puluh lima orang pengawal itu. Sekarang juga, kita harus memecat mereka dan mengusir mereka dari dusun ini.”

Tiga orang itu terbelalak. “Tapi... tapi... tanpa mereka... siapa yang akan menjaga keamanan?” teriak sang lurah.

“Hemm, lupakah taijin akan peristiwa tadi? Dua puluh lima orang itu hanya bisa sewenang- wenang mengganggu rakyat atau warga dusun yang lemah dan tidak berdosa, akan tetapi sekali menghadapi gangguan dari luar, baru kami berdua saja yang muncul, mereka sudah tidak ada artinya! Orang-orang macam itu yang taijin andalkan untuk menjaga keselamatan taijin sekeluarga?”

Lurah itu terpaksa mengangguk-angguk. “Tapi... tapi bagaimana kalau mereka menolok dan mereka membalas dendam karena dipecat, lalu mengganggu dusun ini...?”

Shu Ta tertawa. “Ha-ha-ha, mana mereka berani, taijin! Biar mereka itu ditambah seratus orang lagi, kalau mereka berani membikin kacau, akan kami hadapi berdua dan akan kami tumpas sampai habis!”

“Nah, taijin tinggal memilih. Tetap menggunakan mereka dan kami akan pergi dari sini, atau memecat mereka dan kami berdua membantu taijin?” tanya Goan Ciang.

“Terserah... terserah... silahkan, akan tetapi kalian yang memecat mereka, bukan kami...”

“Mari kita keluar dan melaksanakan keputusan pertama ini sekarang juga, taijin,” kata Cu Goan Ciang. Terpaksa lurah itu bersama dua orang puteranya ikut keluar dan mereka berlima berdiri di beranda depan. Cu Goan Ciang memberi isarat kepada dua puluh lima orang petugas keamanan itu untuk berkumpul dan mendekat. Mereka datang berbondong dan berkumpul di bawah anak tangga beranda, dipimpin oleh Bong Kit. Mereka siap menerima perintah dari pimpinan baru itu. Kini mereka tidak merasa penasaran lagi, bahkan berbesar hati karena merasa mempunyai dua orang pimpinan yang boleh diandalkan sehingga mereka tentu akan lebih berani dalam sepak terjang mereka, lebih buas dari pada yang sudah-sudah.

“Kalian semua dengarlah baik-baik. Kami telah mengambil keputusan bahwa karena kami tidak lagi membutuhkan tenaga kalian dua puluh lima orang, maka mulai detik ini kalian dipecat. Kalian boleh membawa seluruh milik kalian dan hari ini juga kalian harus meninggalkan dusun Cang-cin dan tidak boleh lagi memasuki dusun ini. Siapa berani masuk akan berhadapan dengan kami dan akan dihukum berat. Nah, laksanakan!”

Tentu saja semua orang itu terbelalak dan terheran-heran, bagaikan disambar petir di siang hari terang. Sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa akan terjadi perubahan yang begini mendadak. Setelah terhenyak sejenak saking terkejut, mulailah mereka itu berisik dan bicara sendiri riuh rendah, semua menyatakan sikap yang tidak mau menerima dan penasaran.

Melihat ini, Cu Goan Ciang mengeluarkan bentakan yang disertai tenaga khikang sehingga terdengar lantang dan nyaring sekali, membuat lurah itu sendiri hampir terjengkang sehingga cepat dirangkul kedua orang puteranya. “Diaaaamm!! Kalian tidak perlu merasa penasaran. Sepantasnya kalian diusir dengan hajaran keras karena selama ini kalian tiada ubahnya sekelompok perampok jahat yang mengganggu keamanan dusun ini! Koa-taijin masih berlaku murah hati dan hanya memecat dan mengusir kalian. Kalau ada yang masih penasaran, boleh maju dan menghadapi kami!”

Ditantang seperti itu, tentu saja tidak ada yang berani maju. Biarpun mereka merasa marah, penasaran dan sakit hati, namun mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi dua orang pemuda itu.

Shu Ta menyusulkan ancamannya. “Kalau di antara kalian ada yang merasa sakit hati dan mendendam, lalu datang mengganggu dusun ini, kami tidak akan memberi ampun lagi dan akan membunuh kalian!”

Para penghuni dusun itu hanya terbelalak dan terheran-heran melihat dua puluh kima orang, dipimpin oleh Bong Kit, berbondong-bondong meninggalkan dusun Cang-cin sambil membawa buntalan besar di punggung mereka dan di belakang mereka berjalan pula isteri dan anak-anak mereka. Tidak kurang dari seratus orang, yaitu dua puluh lima orang tukang pukul berikut keluarga mereka, meninggalkan dusun itu! Tentu saja di dasar hati mereka merasa girang seperti melihat sekumpulan iblis meninggalkan dusun itu, akan tetapi juga terdapat perasaan khawatir seperti yang dirasakan Lurah Koa kalau-kalau gerombolan tukang pukul itu akan membalas dendam. Mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, berhati kejam sekali. Hanya hartawan Ji yang diam-diam merasa gembira. Kalau Lurah Koa ditinggalkan semua tukang pukulnya, maka dialah yang berkuasa di dusun itu!

Mendengar betapa dua orang pemuda yang ia jumpai di kuburan itu kini menjadi pengawal Lurah Koa dan mengalahkan dua puluh lima orang tukang pukul sang lurah, bahkan kemudian memecat dan mengusir semua tukang pukul bersama keluarga mereka meninggalkan dusun, diam-diam Ji Kui Hwa merasa kagum. Akan tetapi, teringat akan peristiwa di kuburan, hatinya merasa tidak enak. Ia tahu bahwa ayahnya, sebagai hartawan di situ yang mempunyai banyak sekali sawah ladang, juga mempunyai sedikitnya dua puluh orang tukang pukul yang biasa bertindak kejam terhadap para petani. Ia sendiri sudah seringkali menentang tukang-tukang pukul ayahnya sendiri, dan sudah sering membujuk ayahnya agar jangan menyuruh tukang-tukang pukul itu bersikap keras kepada para petani, namun selalu bujukannya tidak berhasil. Dan kini ia mulai merasa khawatir.

Ketika Kui Hwa menghadap ayahnya, dia melihat ayahnya sedang mengadakan pertemuan dengan Ban Su Ti, kepala para tukang pukul ayahnya dan lima orang anak buahnya. Ban Su Ti adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek dan berperut gendut, nampak kokoh kuat, dan dialah orang kepercayaan hartawan Ji yang mengepalai kurang lebih dua puluh orang tukang pukul. Melihat wajah mereka yang nampak tegang, Kui Hwa menduga bahwa mereka tentu sedang membicarakan peristiwa yang terjadi pada Lurah Koa itu, dan mungkin juga karena laporan dua orang tukang pukul ayahnya yang tadi dihajar oleh dua orang pemuda asing itu.

“Ayah, apakah ayah sudah mendengar tentang Lurah Koa...”

“Kami sedang membicarakan urusan itu. Kebetulan engkau datang, Kui Hwa. Duduk di sini, aku ingin mendengar pendapatmu pula. Juga ingin bertanya kepadamu tentang peristiwa yang terjadi di tanah kuburan tadi.”

Kui Hwa duduk di dekat ayahnya dan cemberut. “Dua orang pembantu ayah tadi keterlaluan. Kakek Coa tidak bekerja di sawah hari ini karena dia berkabung di makam isterinya. Dua orang itu hendak memaksanya bekerja bahkan lalu memukulinya. Ini sudah keterlaluan, ayah! Andai kata tidak ada dua orang pemuda asing itu muncul, aku sendiri kalau melihatnya tentu akan menghajar orang-orang kita sendiri.”

“Kui Hwa! Omongan apa yang kaukeluarkan itu? Kakek Coa dihajar karena dia memang membandel dan sudah sepantasnya dia bekerja di sawah! Dia telah menerima banyak pertolongan dariku. Bahkan ketika isterinya meninggal, siapa yang memberinya uang sehingga dia dapat mengubur mayat isterinya dan membayar semua keperluan sembahyang? Aku! Ketika terjadi musim kering, siapa yang memberi pinjaman kepadanya untuk makan setiap hari dan untuk membeli benih padi? Aku! Tidakkah sudah sepatutnya kalau dia kini bekerja untukku? Dia membandel, membangkang, sudah sepantasnya kalau dia dihajar!”

“Ayah, aku tahu semua itu. Aku tahu pula kakek Coa telah membayar dan melunasi semua hutangnya kepadamu berikut bunganya yang berlipat kali lebih besar dari pada jumlah pinjaman. Sawah ladangnya telah dibayarkan kepadamu, semuanya telah habis berpindah tangan kepadamu. Ayah, sudah sepatutnya kalau sebagai seorang hartawan ayah menolong penghuni dusun yang miskin, kenapa ayah ingin memperbesar kekayaan dengan jalan memeras rakyat?”

“Apa kau bilang? Memeras rakyat? Kau tahu, yang kaumakan sejak engkau lahir, pakaiannmu itu, perhiasan, semua isi rumah ini, semua itu adalah hasil usahaku! Itu yang kaukatakan hasil pemerasan?”

Kui Hwa menarik napas panjang. Percuma saja mengingatkan ayahnya yang selalu merasa benar sendiri. “Sudahlah. Ayah. Sekarang muncul dua orang pendekar muda itu di dusun kita. Mereka telah menguasai Lurah Koa, mengusir semua tukang pukulnya. Nah, apa yang harus ayah lakukan? Aku yakin bahwa mereka berdua pasti akan menentang semua sikap anak buah ayah yang kadang terlalu keras terhadap penghuni dusun.”

“Justeru kami sedang membicarakan urusan itu. Kui Hwa, kiranya tidak percuma saja aku mengeluarkan banyak sekali uang untuk mengundang guru-guru silat dari kota yang jauh dan mendidikmu. Engkau harus menggunakan kepandaiannmu untuk membantu ayahmu.”

“Bantuan apa yang dapat kuberikan, ayah? Apa yang ayah rencanakan?” tanya Kui Hwa. “Dengar, Kui Hwa. Peristiwa yang terjadi pada Lurah Koa itu justeru amat baik dan menguntungkan kita. Kitalah yang terkuat di dusun ini sekarang, setelah Lurah Koa tidak mempunyai anak buah lagi.”

“Tapi, ayah di sana ada dua orang pemuda itu...”

“Ji-siocia (nona Ji), urusan dua orang bocah itu, saya yang akan membereskan kalau mereka berani banyak ulah di dusun ini,” kata Ban Su Ti si gendut dengan sikap sombong.

Kui Hwa memandang dengan alis berkerut dan mata marah. “Huh, siapa percaya bualanmu? Dua orang suhengku (kakak seperguruanku), yaitu kakak beradik Koa saja tidak mampu menandingi mereka. Apa lagi engkau! Melawan akupun engkau tak mampu menang!” bentaknya.

“Tidak salah, siocia, kalau saya maju sendiri. Akan tetapi kalau anak buah saya lima puluh orang, pasti kita akan dapat menghancurkan dua orang itu!” bantah Ban Su Ti.

“Lima puluh orang? Anak buahmu hanya dua puluh orang, dan aku sangsi apakah kalain dapat mengalahkan mereka. Ingat, dua puluh lima orang anak buah Lurah Koa juga tidak mampu mengalahkan mereka. Sudahlah, aku tidak percaya bualanmu. Ayah, bagaimana rencana ayah? Kalau rencana itu baik, tentu aku akan membantumu.”

“Begini, Kui Hwa. Kesempatan baik ini tidak dapat kulewatkan begitu saja. Kita harus memperkuat diri dan memperbesar kekuasaan sehingga kelak, akulah yang menggantikan Lurah Koa menjadi orang yang paling berkuasa di sini.”

“Ayah...!!”

“Dengar dulu! Ban Su Ti akan segera menghubungi Bong Kit dan kawan-kawannya yang telah diusir oleh Lurah Koa. Kita tarik mereka sehingga mereka akan memperkuat pasukan pengawal kita. Kemudian, kita tundukkan dua orang pengawal baru dari Lurah Koa itu dan dengan kekuasaan kita, mudah saja menggulingkan Lurah Koa yang kita anggap tidak mampu lagi, dan aku menggantikan kedudukannya sebagai lurah di sini.”

“Ayah, untuk apa harus begitu? Apakah ayah ingin aku membantu ayah sehingga aku harus bermusuhan dengan kedua orang suhengku sendiri?”

“Tidak bermusuhan, anakku. Kita bahkan membantu Lurah Koa untuk menyingkirkan dua orang pemuda yang menekannya! Nah, setelah dua orang pemuda itu berhasil ditundukkan atau diusir pergi, semua penghuni akan melihat betapa lemah dan tidak mampunya Lurah Koa menjadi penguasa di sini, dan akulah yang lebih pantas. Aku yang akan menggantikannyaa menjadi orang yang paling berkuasa dan paling kaya di dusun ini. Lurah Koa akan menjadi pembantuku, dan seorang di antara kedua puteranya, kalau memang kau suka, dapat saja menjadi mantuku.”

“Ihh, ayah!” Kui Hwa mengerutkan alisnya dan kedua pipinya menjadi merah. “Aku hanya melihat mereka sebagai kakak seperguruan karena kebetulan saja Lurah Koa dan yang mendatangkan seorang guru dari selatan untuk mengajar kami. Kalau ayah hendak mengandalkan puluhan orang mengeroyok dua orang pemuda itu, aku tidak dapat membantumu, ayah. Suhu pernah memesan agar aku yang sudah mempelajari ilmu silat darinya, bersikap gagah dan tidak melakukan kecurangan. Mengeroyok dua orang dengan lima puluh anak buah? Huh, memalukan!”

Selagi hartawan Ji hendak membantah dan memarahi puterinya, tiba-tiba masuk seorang anak buah dan segera memberi hormat kepada hartawan Ji, lalu berkata, “Saya mohon maaf kalau mengganggu, akan tetapi saya hendak menyampaikan berita yang penting.”

“Cepat bicara!” hartawan Ji berkata.

“Seorang di antara kedua pemuda yang berada di rumah Lurah Koa, dia bernama Cu Goan Ciang dan dia dahulu adalah anak dari dusun ini, dikenal dengan nama panggilan Siauw Cu, bekas penggembala hewan milik Lurah Koa.”

“Ahhh!” hartawan Ji berseru dengan kaget dan heran, “Sekarang aku ingat. Siauw Cu, anak yang kematian ayah ibunya, kemudian karena ditolong Lurah Koa lalu menjadi kacung yang bekerja di sana!”

“Siapakah itu Siauw Cu, ayah?” Kui Hwa tertarik mendengar bahwa seorang di antara dua pemuda yang lihai itu adalah anak yang berasal dari dusun ini.

“Dia dahulu, beberapa tahun yang lalu, adalah pemuda yatim piatu dari dusun ini. Miskin dan tak berkeluarga. Dia bekerja pada Lurah Koa, akan tetapi pada suatu hari, dia berkelahi dengan kedua orang putera Lurah Koa dan melarikan diri, dikejar-kejar anak buah Lurah Koa karena dia memukuli dua orang anak lurah itu sampai pingsan. Namun, pengejaran itu tidak ada hasilnya. Dan sekarang, dia muncul lagi dan mengacau di rumah keluarga Koa. Nah, kaulihat, Kui Hwa. Dia anak yang jahat sekali. Ketika kecil ditolong Lurah Koa, bahkan penguburan jenazah orang tuanya dibiayai oleh Lurah Koa, kemudian dia diambil sebagai kacung, diberi pekerjaan sehingga dapat makan kenyang dan pakaian utuh. Akan tetapi apa balasannya? Dia berkelahi dengan kakak beradik Koa, memukuli mereka sampai pingsan lalu minggat. Sekarang, setelah dewasa, datang lagi dan membikin kacau keluarga Koa yang pernah menolongnya!”

Terbakar juga hati Kui Hwa mendengar ini. Pemuda itu, seorang di antara dua pemuda itu, sungguh tidak mengenal budi. “Yang manakah dia yang bernama Cu Goan Ciang atau Siauw Cu itu? Yang brewokan atau yang tinggi?” Ia memandang kepada pelapor tadi.

“Yang tinggi tegap, nona.”

“Hemm, suatu waktu aku sendiri akan menghajarnya!” kata Kui Hwa.

“Kau bantu saja kami, Kui Hwa. Kelak kita serbu dan tangkap mereka, dan engkau boleh menghajarnya sampai mati!”

“Tidak, ayah! Aku tidak mau menggunakan banyak orang melakukan pengeroyokan. Aku tidak mau bertindak curang!” Setelah berkata demikian, dengan bersungut gadis itu meninggalkan ayahnya.

Setelah semua tukang pukul berikut keluarga mereka pergi meninggalkan dusun Cang-cin, Cu Goan Ciang dan sutenya mengajak Lurah Koa dan kedua orang puteranya masuk dan bercakap-cakap di ruangan dalam. Setelah mereka berlima duduk mengelilingi meja besar dan air teh, Goan Ciang memandang kepada ayah dan dua orang anak itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia bertanya.

“Nah, sekarang Koa-cungcu (Lurah Koa) dan ji-wi kong-cu (kedua tuan muda), pandanglah aku baik-baik dan coba ingat, apakah kalian bertiga tidak lagi mengenal aku?”

Ayah dan kedua orang anaknya itu terkejut dan terheran mendengar ucapan Cu Goan Ciang yang mengubah sikapnya itu. Namun, mereka tetap tidak dapat mengingat siapa pemuda ini sesungguhnya, sementara itu, Shu Ta hanya tersenyum dan minum tehnya, hanya menjadi penonton saja.

Goan Ciang memandang kepada kakak beradik Koa yang kini telah menjadi dua orang pemuda yang gagah itu. “Koa Hok dan Koa Sek, lupakah kalian ketika kalian mengeroyok aku di luar dusun dahulu itu, ketika aku sedang menggembala ternak milik ayah kalian?”

Dua orang pemuda itu mengamati wajah Goan Ciang, kemudian mereka saling pandang dan kejutan pada pandang mata mereka menandakan bahwa mereka mulai dapat mengingat dan mengenal siapa pemuda tinggi tegap yang duduk di depan mereka itu.

“Kau... Siauw... Siauw Cu...?” kata mereka hampir berbareng.

Goan Ciang mengangguk sambil tersenyum, dan Lurah Koa yang tadinya tidak percaya mendengar seruan dua orang puteranya, kini baru tahu bahwa memang benar pemuda ini adalah Siauw Cu.

“Siauw Cu...! Kau... kau berani...” akan tetapi dia menghentikan kemarahannya ketika bertemu pandang dengan mata Goan Ciang.

“Lurah Koa, sepatutnya aku harus menghukum engkau dan dua orang puteramu, akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah pula berbuat baik kepadaku dan kepada orang-orang di sini, maka aku mengambil keputusan untuk memaafkanmu asal kalian dapat mengubah cara hidup yang sesat ini. Engkau sebagai lurah dusun ini terlalu mabok akan kekuasaan dan kesenangan sendiri, tidak perduli akan kesengsaraan rakyat penghuni dusun. Mereka sudah diperas dengan pinjaman berbunga oleh hartawan Ji, dirampas sawah ladang mereka sebagai pembayaran hutang, akan tetapi bukan saja engkau tidak perduli, bahkan engkau membebani mereka dengan pajak paksaan yang besar, demi memperbesar kekayaanmu. Engkau dan hartawan Ji berdua telah memeras dan menghisap darah penghuni dusun, seperti dua ekor lintah gemuk, seperti dua ekor serigala buas.”

“Tapi... tapi... Siauw Cu. Bukankah aku yang menolongmu ketika ibumu meninggal dunia, memberimu peti mati dan memberimu pekerjaan dan...”

“Engkau memberi peti mati hanya karena ingin kubalas dengan tenagaku yang bekerja menggembala ternakmu. Mengapa tidak kautolong ketika keluarga ayahku dilanda kebinasaan karena kelaparan? Engkau sebagai kepala dusun tidak bertanggung jawab! Dan tahukah engkau kenapa kedua orang puteramu ini menggeletak pingsan di luar dusun itu?”

“Kata mereka... karena kaupukuli...”

“Bagus! Mereka sejak kecil belajar silat dan aku tidak boleh dekat, bagaimana mungkin aku berani memukuli mereka? Ketahuilah, karena aku lebih cepat dapat menguasai ilmu silat, mereka membenciku dan ketika aku menggembala, mereka menghadangku dan merekalah yang memukuli aku. Aku melawan dan mereka roboh pingsan. Dan engkau mengirim tukang- tukang pukulmu untuk mencari aku, dan andai kata aku dapat ditemukan dan ditangkap, tentu engkau akan menyuruh tukang-tukang pukulmu untuk menyiksa dan membunuhku.”

“Ah, tidak... Siauw Cu...”

“Sudahlah, akupun tahu akan segala yang kaulakukan melalui tukang-tukang pukulmu. Akan tetapi aku bukan datang untuk membalas dendam. Aku hanya ingin agar semua penindasan terhadap penghuni dusun ini dihentikan!”

“Siauw Cu, maafkan kami,” kata pula Koa Hok, diikuti oleh adiknya, Koa Sek.

“Bagus, kalian minta maaf, berarti kalian menyadari akan kesalahan kalian. Kalian, adalah pemuda-pemuda, jangan mengikuti jejak ayahmu yang kotor, bahkan kewajiban kalian untuk mengingatkan ayah kalian. Sekarang, semua tukang pukul sudah kita usir. Selanjutnya, semua sawah ladang yang pernah kausita, harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Dan mengenai pajak, memang sudah semestinya penghuni dusun yang berpenghasilan, dikenakan pajak untuk membangun dusun, akan tetapi jangan sekali-kali menekan dan sewenang- wenang. Kalau semua ini tidak segera dilaksanakan sekarang juga, kami berduapun tidak dapat bersikap lunak.”

“Baiklah... akan kulaksanakan kehendakmu, Siauw Cu,” kata Lurah Koa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar