Rajawali Lembah Huai Jilid 01

Jilid 01

Penjajahan seperti tercatat di dalam sejarah negara manapun di permukaan bumi ini, tidak pernah mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat bangsa yang dijajah.

Biarpun sudah menjajah Cina hampir seabad lamanya (1280-1368), kerajaan Goan-tiauw, yaitu bangsa Mongol, tidak pernah membahagiakan sebagian besar rakyat Cina. Yang makmur hanyalah orang-orang yang memperoleh kedudukan di pemerintahan, baik dia bangsa Mongol sendiri maupun bangsa pribumi yang setelah mendapatkan kedudukan lalu melupakan bangsanya sendiri, bahkan menjadi pemeras bangsanya sendiri demi kesenangan diri pribadi. Para pejabat itu, dari pusat sampai ke daerah, mabok kesenangan dan untuk membiayai kesenangan ini, mereka tidak segan-segan menindas rakyat dengan pemungutan pajak yang besar, dengan pengerahan tenaga rakyat tanpa bayar dan sebagainya.

Rakyat, terutama rakyat kecil di pedesaan menderita hebat. Kalau hasil panen mereka baik panen hasil tanaman di sawah ladang, maupun panen hasil penangkapan ikan di perairan, sebagian dari hasil mereka masuk ke dalam gudang pejabat daerah, dan mereka masih untung mendapatkan sisa hasil itu untuk dimakan sekeluarga mereka. Akan tetapi, celakalah kalau alam tidak membantu mereka, kalau terjadi banjir atau musim kering yang lama. Dari sawah ladang atau dari perairan mereka tidak memperoleh hasil, dan dari para pejabat mereka tidak menerima bantuan, bahkan kesempatan itu dipergunakan oleh para tuan tanah dan para pejabat untuk mengulurkan hutang kepada mereka dengan bunga yang akan mencekik leher mereka di kala alam lebih ramah dan panen berhasil baik. Dalam keadaan seperti ini, banyak rakyat kecil terpaksa mengorbankan puteri-puteri mereka yang berkulit bersih berwajah cantik sebagai pembayaran hutang mereka kepada para tuan tanah dan pembesar, untuk dijadikan selir mereka. Juga banyak anak laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat dikorbankan menjadi hamba sahaya, seperti budak belian. Dalam keadaan seperti itu pula, banyak terjadi hal-hal yang mengerikan. Ada keluarga yang terpaksa membunuh anak-anak sendiri, terutama yang perempuan, karena tidak sampai hati melihat mereka itu mati kelaparan, dan untuk meringankan keluarga! Ada pula yang menjual anak-anak mereka untuk menjadi budak, dalam hal ini tentu saja kalau anak mereka itu sehat dan mungil.

Penjajah tetap penjajah. Mereka adalah bangsa lain yang menjajah demi kepentingan bangsa lain. Kalaupun sekali waktu ada penjajah menunjukkan perhatian terhadap rakyat bangsa yang dijajah, hal itu dilakukan hanya untuk mengelabui rakyat agar tunduk terhadap segala peraturan dan perintah mereka. Pada hakekatnya mereka menguras seluruh kekayaan bangsa yang mereka jajah, hasil tanah dan airnya, tenaganya, demi kemakmuran bangsa yang menjajah itu sendiri.

Pemerintah kerajaan Mongol, seperti para penjajah lain di manapun juga, tidak pernah berhasil mendapatkan dukungan rakyat. Makin banyak saja rakyat yang melakukan perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan. Banyak bermunculan perkumpulan- perkumpulan yang selalu mengganggu keamanan, merampok dan menentang semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Pada permulaan abad ke empat belas, pemerintah kerajaan Goan itu semakin lemah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan, terutama di bagian selatan. Banyak daerah dikuasai para pemberontak.

Ketika musim kering yang berkepanjangan datang melanda Cina, banyak sekali rakyat kecil yang meninggal dunia karena kelaparan. Ditambah lagi gerombolan-gerombolan perampok dan pemberontak yang membutuhkan ransum, tidak segan-segan merampoki rakyat sendiri, membuat penderitaan rakyat semakin hebat. Bencana kelaparan itu melanda pula sepanjang Lembah Sungai Huai. Setiap hari terdengar ratap tangis keluarga yang ditinggalkan anggota keluarga yang mati kelaparan atau juga mati oleh penyakit yang berjangkit di antara mereka. Dan nampak setiap hari usungan mayat yang akan diperabukan atau dimakamkan.

Bencana hebat melanda keluarga Cu di sebuah dusun kecil di Lembah Sungai Huai. Pada suatu malam, terdengar tangis sedih seorang anak laki-laki di sebuah rumah reyot mirip gubuk. Yang menangis itu adalah Cu Goan Ciang, seorang anak laki-laki yang usianya sekitar dua belas tahun, dan dia menangisi mayat ibunya yang baru saja meninggal dunia karena kelaparan dan penyakit pula. Ayahnya sudah lebih dulu meninggal beberapa pekan yang lalu. Seluruh keluarganya tewas, dan dua orang kakaknya, seorang adiknya, ayahnya, dan kini ibunya. Seorang demi seorang mati karena kelaparan atau penyakit.

Anak laki-laki yang kurus kering itu, tinggal kulit membungkus tulang, yang mungkin juga akan menyusul seluruh keluarganya, entah beberapa hari lagi, kini menangis meratap-ratap dan memanggil ibunya. Tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang cekung karena dia sudah kehabisan air mata. Tubuhnya yang kurus itu sudah tidak dapat diperas mengeluarkan keringat atau air mata lagi sudah seperti sebatang pohon kering kerontang.

Beberapa orang tetangga datang menjenguk. Akan tetapi yang dapat mereka lakukan hanyalah menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Apa lagi yang dapat mereka lakukan?

Keadaan mereka tidak lebih baik dari pada keadaan keluarga Cu itu. Para tetangga prianya hanya dapat bergeleng-geleng dan menghela napas, dan tetangga wanita hanya dapat ikut menangis. Seseorang menganjurkan Cu Goan Ciang untuk minta bantuan hartawan Ji di dusun itu, atau kepala dusun Koa. Hanya dua orang itulah yang hidup makmur dan kaya raya di dusun itu. Hartawan Ji adalah seorang tuan tanah yang memiliki tanah yang luas sekali, sedangkan kepala dusun Koa juga terkenal kaya raya dan memiliki banyak ternak.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cu Goan Ciang sudah berlutut di depan pintu rumah gedung hartawan Ji. Para pelayan yang mendengar ratapannya bahwa dia datang untuk mohon bantuan hartawan Ji karena ibunya, satu-satunya keluarga yang masih ada, meninggal dunia semalam dan dia membutuhkan peti mati, ada yang menaruh iba dan melaporkan kepada Ji wan-gwe (Hartawan Ji). Akan tetapi hartawan itu yang merasa jengkel karena merasa diganggu di pagi yang cerah itu, mengerutkan alisnya setelah dia melihat anak itu. “Huh, kalau kami meminjamkan sebuah peti mati, lalu kapan dia akan dapat membayarnya? Dia sendiri sudah kurus kering, dan mungkin beberapa hari lagi dia akan menyusul ibunya. Tidak, aku tidak dapat membantu anak yang sudah mau mati ini.” Setelah berkata demikian, dia masuk lagi ke dalam.

Cu Goan Ciang hanya dapat menangis tanpa air mata dan diapun tertatih-tatih pergi ke rumah kepala dusun Koa, Koa-cung-cu (kepala dusun Koa) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tinggi kurus dan wataknya angkuh. Dia keluar ketika dilapori penjaga bahwa anak laki-laki Cu datang menghadap sambil menangis untuk melaporkan kematian ibunya.

“Hemm, ibumu mati kenapa engkau menangis di sini?” tanya Koa cung-cu dengan sikap acuh dan angkuh.

Cu Goan Ciang atau yang biasa disebut Siauw Cu (Cu Kecil) segera berlutut dan membentur- benturkan dahinya di atas tanah. “Taijin (orang besar), saya Siauw Cu mohon dikasihani, tai- jin adalah kepala dusun kami, kepada siapa lagi saya dapat memohon pertolongan? Mohon taijin memberi sebuah peti mati untuk jenazah ibu saya, dan saya akan suka bekerja melakukan apa saja untuk membalas budi tai-jin...”

Pada saat itu, banyak orang yang sedang lewat, berhenti karena tertarik melihat peristiwa itu. Melihat adanya banyak orang, Lurah Koa tersenyum dan memasang aksi sebagai seorang dermawan besar, apa lagi karena di antara para penduduk dusun yang nonton itu terdapat beberapa orang wanita muda. Lurah Koa memang terkenal mata keranjang dan suka berlagak kalau dekat dengan wanita-wanita muda.

“Siauw Cu, engkau benar sekali datang kepadaku untuk minta bantuan. Baiklah, aku akan memberi peti mati dan memperbolehkan engkau menggunakan tanah kuburan untuk memakamkan jenazah ibumu. Selanjutnya, engkau kuberi pekerjaan menggembala kerbau. Bagaimana, maukah engkau?”

Tentu saja Siauw Cu menjadi girang bukan main. Dia bukan hanya menerima pertolongan untuk pemakaman ibunya, bahkan diberi pekerjaan sebagai penggembala kerbau. Cepat di membentur-benturkan dahinya di tanah, menghaturkan terima kasih dan Lurah Koa tersenyum-senyum sambil melirik ke sana sini dengan lagak seorang dewa penolong!

Kebaikan tidak mungkin dilatih. Tidak mungkin mengajar seseorang untuk menjadi baik. Kebaikan yang dilatih, dipelajari dan disengaja, jelas bukanlah kebaikan lagi namanya.

Kebaikan yang dilakukan karena perhitungan hati akal pikiran hanyalah pekerjaan nafsu yang menjadikan perbuatan baik itu sebagai sarana, sebagai cara untuk memperoleh sesuatu. Hasil dari kebaikan yang disengaja itu mungkin balas jasa, atau nama baik, atau bahkan imbalan di alam baka kelak. Dan kebaikan seperti ini adalah palsu, hanya dilakukan orang yang munafik seperti Lurah Koa. Dia melakukan kebaikan terhadap Siauw Cu karena ingin memamerkan “kebaikannya”, ingin dipuji.

Kebaikan adalah suatu sifat dari seseorang, seperti harum setangkai bunga, seperti kicau seekor burung, sifat dari seseorang yang tidak dikuasai nafsu pada saat melakukannya. Kalau hati terisi kasih sayang, maka akan muncul kebaikan dalam semua perbuatannya terhadap orang yang dikasihi. Andai kata Lurah Koa merasa iba kepada Siauw Cu atau kepada siapa saja tanpa perhitungan, maka dorongan atau landasan iba kasih ini dengan sendirinya menjadikan perbuatannya terhadap Siauw Cu baik, tanpa dibuat menjadi baik, tanpa disengaja dan tanpa disadari bahwa dia melakukan sesuatu yang baik.

Demikianlah, setelah selesai memakamkan ibunya, Siauw Cu meninggalkan gubuk kosong yang berdiri reyot hampir roboh di tanah orang lain itu, dan mulailah dia bekerja sebagai penggembala kerbau milik Lurah Koa.

Siauw Cu bekerja dengan rajin karena di tempat Lurah Koa itu setidaknya dia mendapatkan makan kenyang dua kali sehari. Biarpun yang diberikan kepadanya hanya makanan sederhana, namun cukup mengenyangkan sehingga dalam waktu beberapa bulan saja, kesehatannya telah pulih, tubuhnya berisi daging dan otot dan karena pada dasarnya dia memang tinggi tegap maka anak berusia dua belas tahun ini kelihatan seperti sudah berusia lima belas tahun saja. Dia mendapatkan pula pakaian, walaupun dari kain kasar, namun dapat berganti pakaian setiap hari. Bagi Siauw Cu, untuk sementara waktu semua itu cukuplah.

Pada hal, sejak kecil anak yang terlahir dari keluarga miskin ini mempunyai cita-cita yang amat besar. Dia melihat kehidupan sengsara dan miskin di keluarganya, juga di keluarga para petani lainnya, dan hal ini menimbulkan tekad di hatinya bahwa kelak dia harus dapat mengubah keadaan hidup yang sengsara seperti ini.

Kerajaan Mongol yang dibangun di atas genangan darah dan mayat rakyat Cina, selalu memerintah dengan tangan besi. Sudah menjadi watak bangsa nomad ini untuk bersikap keras dan tegas, watak yang dibentuk nenek moyang mereka karena keadaan hidup yang serba sulit dan keras di utara. Oleh karena itu, rakyat yang tertindas selalu terhimpit dan banyak di antara rakyat yang memberontak. Namun selalu pemberontakan itu dapat dihancurkan pasukan Mongol yang memang amat kuat dan pandai dalam perang itu.

Bagaimanapun juga, pemberontakan-pemberontakan itu memusingkan Kaisar Togan Timur (1333-1368), kaisar terakhir dinasti Goan. Sikap pemerintahan keras yang dilakukan oleh perdana menterinya, yaitu Menteri Bayan, tidak menolong keadaan bahkan membangkitkan kemarahan dan kebencian rakyat yang bernyala-nyala sehingga setiap ada gerakan pemberontakan di mana-mana mendapat sambutan dan dukungan rakyat jelata.

Menteri Bayan memang kejam dan keras, disamping kelicikan dan kecerdikannya. Dia memerintah dengan tangan besi. Menteri Bayan inilah yang mengeluarkan peraturan yang disetujui oleh Kaisar Togan Timur, yaitu larangan bagi rakyat pribumi untuk menggunakan warna kuning emas pada pakaian mereka, melarang rakyat menggunakan bahasa Mongol, bahkan melarang penggunaan kata atau huruf yang bermakna “kebahagiaan” dan “usia panjang”. Bahkan kemudian, setelah mencatat nama keluarga para pemimpin pemberontakan yang selama ini dapat dihancurkan, Menteri Bayan mengeluarkan usulnya yang amat kejam, yaitu agar Kaisar memerintahkan pasukan di seluruh negeri untuk mencari dan membunuh semua pribumi yang mempunyai nama keluarga Chang, Wang, Liu, Li dan Chao! Pada hal, lima nama keluarga ini merupakan keluarga terbanyak di seluruh daratan Cina, sehingga andai kata perintah itu dikeluarkan, usul Menteri Bayan itu diterima oleh kaisar, tentu akan ada jutaan manusia dibantai dan lebih dari setengan jumlah rakyat akan habis binasa! Namun, Kaisar Togan Timur tidak menerima usul ini.

Keadaan di seluruh daerah menjadi semakin kacau, kehidupan rakyat jelata semakin sengsara. Kekacauan muncul di mana-mana sebagai akibat kurang berwibawanya pemerintah yang tidak disuka oleh rakyat. Golongan-golongan sesat bermunculan, membentuk perkumpulan- perkumpulan yang bersaing, bukan saja untuk menentang kekuasaan pemerintah Mongol, namun celaka bagi rakyat, mereka bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dan wilayah di mana mereka menindas rakyat. Memang demikian watak golongan sesat. Mereka menentang pemerintah penjajah bukan karena panggilan darah patriot, bukan untuk membela rakyat, bukan untuk membebaskan bangsa dan tanah air dari cengkeraman penjajah, melainkan untuk kepentingan diri sendiri, untuk mencari kekuasaan dan kemuliaan. Maka, terjadilah bentrok dan persaingan di antara mereka sendiri. Dan Menteri Bayan yang cerdik itu mempergunakan keadaan ini untuk keuntungan pemerintahnya, yaitu sengaja dia mengirim orang-orang untuk menyusup ke dalam perkumpulan-perkumpulan itu mengadu domba dan menyelewengkan gerakan perjuangan menjadi gerakan persaingan antara gerombolan yang berebutan kekuasaan!

Dalam keadaan tertindas seperti itu, mulailah rakyat giat mempelajari ilmu silat. Kalau pemerintah menindas dan tidak ada lagi yang dapat diharapkan rakyat untuk melindungi mereka, maka jalan satu-satunya adalah memperkuat diri untuk mempertahankan hidup. Dan mereka harus kuat, maka di mana-mana orang gemar dan giat sekali mempelajari ilmu silat.

Di perkampungan sepanjang Lembah Sungai Huai, rakyatpun keranjingan belajar silat. Dan guru-guru palsupun bermunculan. Mereka yang hanya tahu sedikit ilmu silat, lalu membuka perguruan, membohongi penduduk dusun yang bodoh sehingga mereka mau membayar untuk dapat berguru kepada guru-guru silat seperti itu. Dan kalau perlu rakyat makin memperkuat ikatan pinggang mereka demi mampu membayar guru-guru itu untuk belajar silat.

Siauw Cu atau Cu Goan Ciang juga terkena demam silat. Dia memang seorang remaja, yang bertubuh tinggi tegap dan memiliki pembawaan tubuh yang kuat, dengan daya tahan ulet karena sejak kecil dia hidup dalam keadaan yang sukar, dan selain tenaganya besar dan pemberani, dia juga cerdik dan berbakat. Mulailah dia ikut-ikut mempelajari ilmu silat yang sedang mewabah di dusunnya. Dia berbakat besar dan memiliki daya ingat yang kuat sehingga beberapa kali melihat saja seseorang melakukan gerakan silat, dia dapat menirunya dengan baik.

Karena belajar ilmu silat merupakan mode yang sedang melanda di seluruh negeri, dan anak- anak sampai para pemuda akan merasa ketinggalan jaman kalau tidak ikut mempelajarinya, maka dua orang anak laki-laki dari Lurah Koa yang berusia dua belas dan empat belas tahun juga tidak mau ketinggalan. Bahkan Lurah Koa yang ingin membanggakan para puteranya, sengaja mengundang seorang guru silat untuk mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Teng- kauwsu (guru silat Teng) adalah seorang guru silat yang kabarnya datang dari kota raja dan pandai, dan dia menuntut bayaran tinggi kalau ada orang ingin menjadi muridnya karena sudah pasti tidak akan mampu membayar upahnya. Akan tetapi, Lurah Koa membayarnya dengan royal, bahkan memberi tempat tinggal kepada Teng-kauwsu. Karena keroyalan sang lurah, maka guru silat Teng ini dengan penuh semangat mengajarkan ilmu silat kepada Koa Hok dan Koa Sek, dua orang putera Lurah Koa itu.

Setiap sore, kalau Siauw Cu selesai menggiring puluhan ekor kerbau ke dalam kandangnya, dia selalu menyapu pekarangan depan dan belakang. Dalam kesempatan inilah dia diam-diam mengintai kedua orang putera lurah itu berlatih silat di kebun belakang, dipimpin oleh Teng- kauwsu. Dia merasa tertarik sekali, dan setiap kali dia melihat gerakan-gerakan silat itu dan mendengarkan penjelasan Teng-kauwsu kepada dua orang muridnya yang agaknya bebal dan sukar menguasai setiap jurus gerakan silat, maka pada malam harinya, di kamarnya dekat kandang, Siauw Cu melatih diri dan mencoba untuk memainkan jurus-jurus yang dilihatnya sore tadi. Hal ini berlangsung sampai berbulan lamanya tanpa kecurigaan Teng-kauwsu maupun kedua orang pemuda remaja putera lurah yang menganggap bahwa seorang anak penggembala kerbau seperti Siauw Cu, mana mungkin ikut belajar silat? Apa lagi Siauw Cu berada di situ untuk menyapu dan membersihkan pekarangan dan kebun.

Pada suatu sore yang cerah, seperti biasa Siauw Cu mengandangkan ternak yang digembalanya, kemudian menyapu pekarangan dan kebun. Ketika dia menyapu kebun, diapun mengintai ke arah dua orang putera lurah yang sedang berlatih silat dan agaknya sekali ini guru silat Teng nampak kesal dan marah-marah.

“Bagaimana sih kalian ini? Sudah sebulan berlatih belum juga dapat menguasai sebuah jurus tendangan saja?” katanya dengan nada tidak sabar lagi. Mendengar ini, Siauw Cu menghampiri mereka sambil tetap menyapu, mengumpulkan daun kering yang banyak rontok berhamburan di sekitar tempat itu. Dan diapun melihat betapa dengan susah payah, kakak beradik Koa itu mencoba untuk melakukan jurus tendangan yang bagi mereka amat sukar itu. Dan Siauw Cu meras heran. Jurus tendangan itu sudah dilatih sebulan lebih, bahkan dia sudah beberapa kali mengintai dan mempraktekkannya di kamar tidurnya. Dia sudah dapat melakukan jurus tendangan itu. Memang sukar, karena tendangan itu dilakukan dengan tubuh berputar pada tumit kiri, sedangkan kaki kanan yang menendang membuat gerakan memutar, menendang ke arah muka lawan dengan belakang kaki. Agaknya kedua orang kakak beradik itu tidak dapat menguasai keseimbangan tubuh mereka, pikir Siauw Cu. Kedua tangan harus dipentang dan ini merupakan pengatur keseimbangan tubuh.

“Coba kau, Koa Sek, kau ulangi lagi jurus itu. Ingat, sasaran tendangan berputar itu adalah muka lawan dan kena atau tidak muka lawan oleh tendanganmu, kakimu harus berputar dan berakhir dengan tubuh membuat kuda-kuda rendah untuk menjaga serangan balasan lawan,” kata guru silat itu dengan suara mengandung kekecewaan dan kemarahan.

Koa Sek yang berusia dua belas tahun itu mencoba lagi. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian kepada kakinya sehingga lupa mengatur keseimbangan tubuhnya dan ketika dia sudah melakukan tendangan berputar, hampir dia terpelanting dan ketika mengakhiri tendangan berputar, tubuhnya sampai berjongkok. Sang guru membanting kakinya.

“Salah! Keliru lagi, sungguh bodoh! Coba kau, Koa Hok!” katanya kepada putera lurah Koa yang berusia empat belas tahun.

Koa Hok dengan sikap takut-takut karena telah beberapa kali diapun seperti adiknya, gagal melakukan jurus tersebut, kini bersiap untuk mencoba lagi. Melihat itu, di luar kesadarannya sendiri Siauw Cu yang merasa penasaran itu menghentikan pekerjaannya dan diapun berdiri dan mengamati gerakan yang dilakukan Koa Hok. Kini Koa Hok mulai dengan jurus itu, mula-mula tubuhnya membuat kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, kedua lutut ditekuk dan kedua tangan dikepal di pinggang. Kemudian, kakinya menggeser, mengubah kuda-kuda miring, lalu melangkah dua kali ke depan, dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan kaki kanannya membuat gerakan berputar dalam tendangan yang kuat. Akan tetapi, tubuhnya kehilangan keseimbangan seperti adiknya tadi dan biarpun dia dapat mengakhiri tendangan, namun tubuhnya terhuyung.

“Celaka! Tendangan seperti itu akan membuat kedudukanmu lemah. Sekali sapu saja lawan akan mampu merobohkanmu karena kaki kirimu lemah. Coba ulangi lagi!” kata sang guru kepada Koa Hok yang mukanya menjadi merah dan hampir menangis. Pada saat dia akan membuat gerakan tendangan itu untuk kedua kalinya, tiba-tiba terdengan seruan, “Twa-kongcu (tuan muda besar), kembangkan kedua lengan seperti burung rajawali untuk mengatur keseimbangan tubuhmu!”

Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya yang bicara itu adalah Siauw Cu dan anak ini, dengan sapu di tangan, terkejut sendiri dan mukanya berubah merah. Dia telah bicara di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa penasaran melihat kakak beradik itu tidak dapat melakukan gerakan jurus itu. Teng-kauwsu sendiri tercengang mendengar itu. Apa yang diucapkan kacung itu sungguh tepat. Dia sendiri tidak melihat kelemahan kedua orang muridnya dan baru sekarang dia melihat bahwa letak kesalahan yang membuat dua orang kakak beradik itu gagal adalah gerakan kedua lengan yang kurang berkembang! Dan kacung itu begitu melihat telah dapat menemukan kelemahan dan kesalahan mereka!

Koa Hok dan Koa Sek memandang marah. Mereka sebagai putera-putera lurah memang berwatak tinggi hati dan sombong, selalu memandang rendah kepada orang lain, apa lagi Siauw Cu yang menjadi penggembala dan kacung mereka.

“Siauw Cu, engkau sungguh lancang!” tegur Koa Hok.

“Siauw Cu, tutup mulutmu, engkau tahu apa sih?” tegur pula Koa Sek.

Akan tetapi guru silat itu menggapai ke arah Siauw Cu. Diapun tahu bahwa anak laki-laki jangkung ini adalah kacung dan penggembala kerbau milik keluarga lurah.

“Siauw Cu, ke sinilah!” katanya memerintah.

Siauw Cu, dengan sapu masih di tangan, melangkah menghampiri dengan sikap menyesal mengapa dia tadi lancang mulut. “Maafkan saya...” katanya dan siap menerima hukuman karena dia merasa bersalah.

“Siauw Cu, mulutmu yang lancang perlu dihajar!” teriak Koa Hok yang marah karena merasa malu di depan gurunya bahwa kacungnya berani memberi petunjuk kepadanya.

“Suhu, biar teecu (murid) yang menghajarnya!” kata pula Koa Sek marah dan dia sudah melangkah maju menghampiri Siauw Cu, siap untuk memukul dan Siauw Cu juga diam saja, siap pula menerima hukuman.

“Nanti dulu, jangan pukul!” kata Teng-kauwsu dan dia menghampiri Siauw Cu, lalu berkata. “Siauw Cu, engkau berani memberi petunjuk berarti engkau dapat melakukan gerakan jurus tendangan berputar tadi. Dapatkah engkau melakukannya?”

Siauw Cu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan mengangguk. Kakak beradik itu berseru marah. “Sombong! Tidak mungkin engkau bisa! Kami saja yang sudah berlatih selama sebulan belum dapat menguasainya, dan kau bilang dapat melakukannya?” bentak Koa Hok.

Dia hendak menampar, akan tetapi gurunya mencegah. “Siauw Cu, kalau engkau mampu melakukan gerakan jurus tendangan itu dua kali berturut-turut dengna benar dan baik, maka engkau akan kami ampuni. Kalau engkau tidak mampu, akan kubiarkan kedua orang muridku menghajar atas kelancangan mulutmu. Bagaimana, dapatkah engkau melakukannya?” Tentu saja Siauw Cu tidak ingin dihajar. Setelah mengangkat muka memandang wajah tiga orang itu bergantian, diapun mengangguk dan berkata tenang. “Akan saya coba melakukannya.”

Guru dan dua orang muridnya itu tentu saja merasa heran dan tertarik sekali. Siauw Cu melepaskan sapunya, lalu mengikatkan dua ujung bajunya di depan perut, melepaskan pula sepasang sepatunya yang butut karena kalau dipakai menendang kuat, jangan-jangan sepasang sepatu butut yang kebesaran itu akan terlepas dari kaki dan mengenai guru dan murid- muridnya itu. Setelah itu, diapun melakukan gerakan jurus tendangan itu, seperti yang seringkali dia latih di dalam kamarnya. Gerakannya tangkas dan kuat, dan ketika dia melakukan tendangan, kedua lengannya berkembang seperti sayap rajawali dan tendangan berputar itu kuat dan cepat, juga tegak dan dia melanjutkan dengan tendangan berikutnya, diulang bukan hanya dua kali seperti yang diminta Teng-kauwsu, melainkan lima kali berturut-turut dan diakhiri dengan kuda-kuda merendah dengan kedua tangan disilangkan depan dada, berjaga-jaga!

Teng-kauwsu terbelalak. Gerakan itu memang belum sempurna, masih kaku, akan tetapi sudah benar dan jauh lebih baik dibandingkan gerakan kedua orang muridnya!

“Siauw Cu, engkau pernah mempelajari ilmu silat di mana?” tanya Teng-kauwsu.

“Bagaimana saya dapat belajar ilmu silat? Saya tidak akan mampu membayar seorang guru. Saya hanya ikut-ikut belajar dan melihat teman-teman berlatih.”

“Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau dapat melakukan gerakan jurus tendangan tadi?”

“Saya... saya hanya melihat kalau kedua kongcu berlatih, sambil menyapu kebun... maafkan saya...”

Diam-diam guru silat itu merasa heran dan kagum. “Sudah, pergilah dan mulai sekarang engkau tidak boleh mengintai lagi,” katanya kesal kepada dua orang muridnya yang bodoh. Setelah Siauw Cu pergi, dia mengomel kepada dua orang murid itu. “Apakah kalian tidak malu? Kalian yang kulatih, selama sebulan belum juga mampu melakukan gerakan jurus tendangan tadi, sedangkan penggembala kerbau itu, hanya dengan mengintai saja mampu melakukannya. Kalian kalah oleh kacung kalian!”

Omelan Teng-kauwsu ini membuat kakak beradik itu menjadi malu dan diam-diam mereka menjadi marah sekali kepada Siauw Cu. Setelah mereka berdua kembali ke dalam rumah, mereka kasak kusuk membicarakan Siauw Cu dan mengambil keputusan untuk menghajar kacung yang membuat mereka merasa malu itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai condong ke barat, Cu Goan Ciang atau Siauw Cu (Cu kecil) menggiring kelompok kerbau yang digembalakannya menuruni lereng bukit yang ditumbuhi banyak rumput segar itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul kakak beradik Koa di tempat sunyi itu dan dari sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka itu marah sekali.

“Berhenti dulu kau, jembel yang tak mengenal budi!” bentak Koa Hok. Tentu saja Siauw Cu merasa terkejut dan heran. “Twa-kongcu (tuan muda besar), ada apakah?”

“Anak setan, engkau masih pura-pura bertanya setelah kemarin menghina kami depan suhu?” kata pula Koa Sek.

Siauw Cu teringat dan menjadi semakin heran. Dia tidak merasa bersalah, kenapa kini dikatakan tidak mengenal budi bahkan menghina?

“Nanti dulu, twa-kongcu, siauw-kongcu, apa salahku maka kalian marah-marah kepadaku?”

“Keparat kau!” Koa Hok memaki. “Kalau bukan ayah yang menolongmu, apakah engkau tidak akan mati kelaparan?”

“Mayat ibumu tentu akan terlantar tidak dapat dikubur dan menjadi makanan anjing kalau tidak dibelikan peti mati dan diberi tanah oleh ayahku!” teriak pula Koa Sek.

Wajah Cu Goan Ciang berubah kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan yang ditahan-tahan. “Jangan kalian membawa-bawa nama mendiang ibuku yang tidak tahu apa- apa. Kalau aku dianggap bersalah, akulah yang bertanggung jawab dan tidak ada sangkut- pautnya dengan mendiang ibuku!”

Mendengar suara yang meninggi dari kacung penggembala itu dan melihat dia mengangkat muka dan menegakkan badan, dua orang kakak beradik itu menjadi semakin marah dan merasa ditantang.

“Eh, eh, engkau hendak melawan kami?” bentak Koa Sek, dan diapun sudah menerjang ke depan dan menggunakan kepalan tangan kanan menjotos ke arah dada Siauw Cu.

“Dukk!!” Siauw Cu memiliki tubuh yang kuat dan biarpun pukulan itu tidak cukup keras untuk dapat merobohkannya, namun karena dia menerimanya begitu saja tanpa mengelak atau menangkis, diapun terhuyung ke belakang. Koa Hok tidak mau ketinggalan dan diapun menerjang maju dan menampar muka Siauw Cu, mengenai dagunya dan membuat Siauw Cu hampir terpelanting. Dan kedua orang kakak beradik itu lalu menghujankan pukulan dan tendangan, membuat pakaian Cu Goan Ciang robek-robek dan muka dan tubuhnya babak- belur.

Akan tetapi, karena dua orang kakak beradik Koa itu terus saja memukulinya, akhirnya dia merasa kesakitan juga. Mula-mula dia tidak melawan karena ingat bahwa dia berhadapan dengan dua orang putera majikannya, akan tetapi rasa nyeri membuat dia lupa akan hal itu. Nalurinya untuk mempertahankan diri dan menyelematkan nyawanya membuat Siauw Cu tiba-tiba melakukan perlawanan. Ketika dia menerima tendangan kaki Koa Sek ketika tubuhnya sudah terguling ke atas tanah, dia menangkap kaki itu dengan kedua tangannya, lalu sekuat tenaga dia menarik dan memutar kaki itu. Tak dapat dicegah lagi, tubuh Koa Sek terputar dan terbanting ke atas tanah. Siauw Cu menubruk dan menghantami muka anak itu dengan kedua kepalan tangannya sampai muka itu berdarah-darah, dan Koa Sek yang tadinya berteriak-teriak itu tidak lagi mengeluarkan suara.

Koa Hok yang melihat adiknya ditindih dan dipukuli, sejak tadi menghantami Siauw Cu, namun penggembala itu tidak memperdulikan. Ketika sebuah hantaman di belakang telinga kirinya datang dengan kerasnya, tubuh Siauw Cu terguling dan dia melepaskan tubuh Koa Sek yang tak bergerak lagi. Koa Hok marah bukan main melihat keadaan adiknya yang mukanya berlumuran darah dan agaknya pingsan itu maka diapun memperhebat serangannya memukuli Siauw Cu sampai jatuh bangun.

Siauw Cu maklum bahwa putera majikannya yang dua tahun lebih tua darinya ini pasti tidak akan mau mengampuninya dan mungkin akan membunuhnya. Diapun mempertahankan diri, menggigit bibir menahan sakit dan bangkit berdiri. Ketika sebuah tendangan menyambar perutnya, diapun teringat akan gerakan-gerakan silat yang pernah dipelajarinya dan dia menangkis dengan lengannya. Kemudian, dia mulai melawan, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Namun, ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dipelajarinya secara liar tanpa pengawasan maupun bimbingan guru, maka tentu saja tidak teratur dan diapun beberapa kali harus menerima hantaman tangan Koa Hok yang lebih mahir bersilat. Ketika kepalanya mulai terasa pening oleh pukulan-pukulan dan tendangan dan seluruh tubuhnya terasa nyeri, teringatlah Siauw Cu akan jurus tendangan yang tidak dapat dilakukan dengan baik oleh kedua orang kakak beradik itu. Dan tiba-tiba, setelah melihat kesempatan, tubuhnya lalu membuat gerakan jurus tendangan itu. Kakinya berputar dan melayang menjadi tendangan berputar yang kuat.

“Dess!!” Tendangan itu tepat mengenai muka Koa Hok dan sedemikian kerasnya sehingga tubuh Koa Hok terjengkang ke belakang, terbanting keras dan tidak mampu bangkit lagi karena kepalanya terbanting ke atas tanah keras sehingga diapun pingsan seperti adiknya.

Siauw Cu berdiri terbelalak memandang tubuh kakak beradik itu. Timbul perasaan takut dan ngeri karena dia mengira bahwa dia telah membunuh Koa Hok dan Koa Sek, dan dia membayangkan hukuman yang akan diterimanya sebagai pembunuh! Dia membunuh dua orang putera lurah! Tentu dia akan disiksa, akan dihukum mati. Bayangan yang mengerikan menghantuinya, dan perasaan takut mendatangkan tenaga baru dalam dirinya. Tanpa banyak berpikir lagi, diapun segera lagi tunggang langgang seperti dikejar setan, meninggalkan dua orang saudara yang masih menggeletak pingsan dan semua kerbaunya, lari menuju puncak bukit, ke arah yang berlawanan dengan dusun tempat tinggalnya.

Malam tiba dan Siauw Cu berlari terus melewati puncak bukit. Malam itu di langit banyak bintang dan muncul bulan sepotong sehingga biarpun dia belum pernah melintasi bukit, dia dapat terus berjalan menuruni puncak bukit di sebelah sana. Tidak nampak atau terdengar adanya orang-orang yang mengejarnya sehingga hatinya merasa lega dan setelah bulan menghilang di langit barat dan cuaca menjadi gelap, diapun terpaksa berhenti dan tertidur di bawah sebatang pohon besar di kaki bukit berikutnya.

Pada waktu fajar menyingsing, dia terbangun mendengar derap kaki kuda lapat-lapat seperti menggugahnya. Dia teringat akan keadaannya, cepat bangkit dan ketika dia memandang ke arah bukit yang semalam dia turuni, dia terkejut melihat bayangan beberapa orang penunggang kuda menuruni lereng bukit itu. Tentu orang-orang yang mengejarnya, orang- orangnya Lurah Koa yang tentu marah sekali dan hendak menangkap dan menghukumnya! Ketika terbangun tadi, dia merasa betapa tubuhnya nyeri semua, bahkan untuk bangunpun terasa kaku dan nyeri. Akan tetapi begitu melihat para penunggang kuda itu, lupalah dia akan semua rasa nyeri dan diapun sudah melompat dan lari mendaki bukit ke dua yang berada di depannya. Dia berlari sambil menyusup-nyusup di balik semak-semak agar tidak nampak dari jauh, tidak perduli betapa kulit tubuhnya yang sudah hampir tidak tertutup pakaian yang robek-robek kini menjadi babak belur oleh semak belukar. Akan tetapi tentu saja larinya seorang anak berusia dua belas tahun, apa lagi yang sudah luka- luka dan kelelahan, tidak mampu melawan cepatnya larinya kuda. Para pengejar itu semakin dekat saja, membuat Siauw Cu menjadi semakin panik. Sepatunya telah terlepas dan terpental entah ke mana, telapak kedua kakinya sudah melepuh, dia terpincang-pincang dan mukanya pucat, tubuhnya gemetar saking lelahnya dan terasa nyeri di mana-mana. Oleh karena itu, ketika di lereng bukit itu dia melihat sebuah bangunan kuil di depan, tanpa ragu lagi dia berlari ke kuil itu. Melihat pintu depan pekarangan kuil itu terbuka, diapun berlari masuk, mengejutkan beberapa orang hwesio yang sedang bekerja membersihkan pekarangan di pagi hari itu.

“Heiii, siapa kau dan mau apa...” Akan tetapi pertanyaan itu dihentikan ketika hwesio itu melihat Siauw Cu terguling roboh dan pingsan.

Ketika dia siuman, Siauw Cu mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar di kuil itu, dan dia melihat seorang hwesio berusia lima puluhan tahun duduk di atas kursi sambil memandangnya penuh perhatian. Dia mengeluh, bangkit duduk dan cepat dia turun dari pembaringan dan berlutut di depan hwesio itu.

“Losuhu, saya mohon pertolongan suhu...”

“Omitohud... anak baik, siapakah engkau dan mengapa engkau berlari-lari dan luka-luka?” suara hwesio itu lembut dan sikapnya ramah dan halus.

“Saya Cu Goan Ciang atau Siauw Cu, dari dusun Lembah Sungai Huai...” ia lalu menceritakan tentang dirinya dan betapa dia berkelahi melawan dua orang putera majikannya sehingga mereka roboh pingsan. Dia menceritakan sebab perkelahian dan hwesio itu mendengarkan sambil mengangguk-angguk.

“Kalau saya tidak dihajar dan hampir dibunuh, tentu saya tidak berani melawan mereka, suhu. Sekarang, saya dikejar-kejar dan tentu saya akan ditangkap dan dihukum, mungkin dibunuh. Tolonglah saya, suhu...”

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan terdengar suara banyak orang di depan kuil. “Ah, mereka telah tiba di depan kuil, suhu, tolonglah saya.” Siauw Cu meratap.

“Omitohud... jangan khawatir, Siauw Cu.” Hwesio itu mencabut sebatang pisau tajam dan menghampiri Siauw Cu yang memandang terbelalak dengan wajah pucat.

“Engkau mau menjadi calon hwesio? Rambutmu harus dicukur habis.”

Sambil berlutut Siauw Cu mengangguk-angguk. “Saya mau... saya mau asal suhu menyelamatkan saya...”

“Diamlah, pinceng (aku) akan mencukur rambutmu.” Dan diapun menggerakkan pisau yang tajam itu. Luar biasa sekali, hwesio itu membabat rambut dari kepala Siauw Cu seperti membabat rumput saja, dengan amat cepat dan rambut itupun sudah bersih, gundul dan sedikitpun kulit kepala tidak terluka. “Nah, kau cepat pakai jubah ini,” katanya sambil melemparkan pakaian yang diambilnya dari kotak besar. Siauw Cu cepat mengenakan pakaian yang longgar itu, jubah hwesio, kemudian dia digandeng dan diajak memasuki sebuah ruangan di mana sudah duduk bersila belasan orang anak yang sebaya dengan dia. Mereka sedang tekun menghafal kitab dengan suara lirih.

“Nak, kau duduklah di sini dan contoh mereka,” kata hwesio itu sambil menyerahkan sebuah kitab, lalu keluar dari ruangan itu.

“Kami datang untuk bertanya apakah ada seorang anak laki-laki masuk dan bersembunyi dalam kuil ini!” terdengar seruan seseorang di luar kuil. Hwesio itu, Lauw In Hwesio yang menjadi kepala kuil, cepat keluar dan dialah yang menjawab karena para hwesio yang berada di depan tidak berani menjawab.

“Omitohud, apakah yang terjadi? Cu-wi (anda sekalian) mencari siapakah? Di sini tidak ada penjahat, tidak ada orang bersembunyi.”

“Kami mencari seorang anak laki-laki yang jahat sekali, losuhu. Dia telah melukai dua orang putera kepala dusun kami. Dia jahat dan berbahaya, oleh karena itu, kalau dia berada di sini, harap suhu suke menyerahkannya kepada kami.”

“Omitohud, di sini tidak ada anak laki-laki jahat, yang ada hanyalah para murid yang tekun mempelajari kitab suci. Tidak ada orang jahat...” kata hwesio itu dengan suara tegas. Di dalam hatinya, dia tidak merasa berbohong karena kini anak yang mengaku bernama Siauw Cu itu telah menjadi muridnya, telah menjadi calon hwesio dan tentu saja bukan anak jahat! Jadi keterangannya itu sama sekali tidak berbohong.

“Cari ke dalam kuil! Dia pasti bersembunyi di sini tanpa diketahui para hwesio!” terdengar teriakan seorang di antara mereka.

“Losuhu, terpaksa kami akan melakukan penggeledahan ke dalam kuil. Siapa tahu anak itu menyelundup masuk tanpa ada yang mengetahui,” kata pemimpin rombongan.

“Omitohud, sudah kami katakan tidak ada. Kalau hendak menggeledah, silahkan, akan tetapi jangan mengganggu tempat-tempat sembahyang dan tidak mengganggu para murid yang sedang berdoa, belajar ataupun bersamadhi.”

Orang-orang utusan Lurah Koa tidak berani bersikap sembarangan terhadap para hwesio. Mereka tahu bahwa para hwesio itu selain dihormati penduduk, juga banyak orang-orang pandai di antara mereka. Maka, mereka lalu mengadakan pencarian di dalam kuil. Ketika melongok ke dalam ruangan di mana terdapat belasan orang anak berpakaian dan berjubah pendeta, berkepala gundul, sedang tekun membaca kitab, mereka hanya melongok dan mengamati sebentar saja. Semua anak di situ berkepala gundul, jelas tidak ada anak yang mereka cari. Akhirnya, setelah yakin bahwa buronan mereka tidak berada di dalam kuil, rombongan itu lalu meninggalkan kuil untuk mencari di tempat lain.

Setelah para pencari itu pergi, Siauw Cu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lauw In Hwesio, menghaturkan terima kasih dan mohon agar dia diperkenankan menjadi murid di kuil itu. “Omitohud, kedatanganmu seperti dituntun oleh Yang Mahakuasa saja, Siauw Cu. Ceritakan riwayatmu dengan singkat agar kami dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat diterima sebagai murid ataukah tidak.”

Siauw Cu lalu menceritakan keadaan dirinya, betapa keluarganya habis binasa oleh wabah penyakit, dan betapa dia hidup sebatang kara di dunia ini, kemudian bekerja pada Lurah Koa dan terjadi peristiwa perkelahian dengan kedua putera lurah itu.

“Sungguh, losuhu. Bagaimana mungkin teecu (murid) berani melawan kedua orang putera lurah majikan teecu itu kalau saja teecu tidak terancam bahaya maut. Mereka memukuli dan menendangi teecu dan sekiranya teecu tidak akan membela diri dan melawan, tentu mereka akan membunuh teecu,” demikian dia mengakhiri ceritanya.

Lauw In Hwesio mengangguk-angguk. “Keadaanmu memang memungkinkan engkau kami terima sebagai murid kuil ini. Akan tetapi, Siauw Cu, tahukan engkau kuil apa tempat tinggal kita ini?”

“Teecu tidak tahu, suhu, mohon petunjuk.” “Ini adalah sebuah kuil Siauw-lim!”

Siauw Cu terbelalak. Dia sudah banyak mendengar tentang Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) yang menjadi pusat orang-orang yang berilmu tinggi. Banyak pendekar silat yang terkenal merupakn murid-murid dari Siauw-lim-pai! Maka diapun segera memberi hormat.

“Ahh, harap maafkan, karena teecu tidak tahu. Akan tetapi teecu merasa amat berbahagia kalau dapat menjadi murid Siauw-lim...”

Lauw In Hwesio tersenyum, akan tetapi pandang matanya tetap tajam dan berwibawa. “Engkau tahu, menjadi murid Siauw-lim-pai tidaklah mudah. Banyak orang datang untuk minta menjadi murid, dan entah berapa ratus atau ribu orang kami tolak karena mereka tidak berbakat, atau tidak bersemangat dan tidak tahan derita. Apa lagi murid yang menjadi calon hwesio. Engkau harus berani dan mampu menjauhi segala macam kesenangan duniawi, mencurahkan seluruh perhatianmu hanya kepada pembacaan kiab suci, berdoa, bermeditasi, melakukan pekerjaan berat, dan berlatih silat. Semua ini harus kaulakukan setiap hari tanpa mengeluh!”

“Teecu sanggup, suhu!”

“Omitohud, kita lihat saja nanti. Akan tetapi karena engkau datang seolah dituntun tangan Yang Mahakuasa, kami tidak akan menolakmu, apa lagi engkau sudah menjadi gundul dan mengenakan jubah hwesio. Kami menerimamu dan namamu tetap Siauw Cu. Akan tetapi, kalau engkau tidak taat kepada peraturan yang berlaku di sini, setiap saat engkau akan dikeluarkan dan tidak diperbolehkan lagi tinggal di sini.”

Siauw Cu menyanggupi sambil berlutut, hatinya girang bukan main karena dia mengharapkan untuk menerima pelajaran dari kuil Siauw-lim-si yang termashur itu.

Badan, pikiran, dan jiwa merupakan tiga kesatuan yang menghidupkan manusia di permukaan bumi ini dan ketiganya membutuhkan “makanan” agar dapat menjadi sempurna. Makanan bagi badan tentu saja kebutuhan hidup termasuk pangan, sandang, dan papan berikut segala keperluan dalam kehidupan jasmani. Makanan bagi hati akal pikiran adalah pelajaran segala macam ilmu agar kehidupan ini dapat terisi oleh pekerjaan dan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupan dalam memenuhi segala kebutuhan. Adapun makanan bagi jiwa adalah kebaktian kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.

Tiga kebutuhan pokok itu dapat diperoleh Siauw Cu dalam kuil Siauw-lim. Setiap hari dia disuruh bekerja keras, merawat taman, membersihkan kuil, menyapu pekarangan, memikul air, dan mencari kayu bakar. Pekerjaan yang amat berat namun baik sekali bagi badannya, karena selain pekerjaannya itu menghasilkan kebutuhan hidup para hwesio, juga sekaligus melatih badannya sehingga tubuhnya menjadi kuat. Bahkan cara-cara melakukan pekerjaan itu tidak sembarangan saja, melainkan teratur, dengan cara-cara tertentu sehingga pekerjaan itu sekaligus merupakan semacam latihan untuk memperoleh kekuatan dan juga keringanan tubuh.

Setelah sehari penuh bekerja keras, pada malam harinya dia digembleng oleh para hwesio untuk belajar membaca menulis, kemudian membaca kitab suci, berdoa dan bersamadhi. Dalam hal makanan, Siauw Cu tidak kekurangan. Dia dapat makan sekenyangnya, walaupun di kuil itu tidak pernah disuguhkan makanan yang berasal dari makhluk bernyawa, tidak pernah ada daging, hanya nasi dan sayur-sayuran belaka. Juga tidak ada minuman keras seperti arak atau anggur, yang ada hanya air putih jernih, atau air teh yang bening. Namun banyak buah-buahan mereka makan karena kuil itu memiliki ladang sayur dan kebun buah sendiri.

Keadaan itu cukup menyenangkan bagi Siauw Cu, untuk tahun-tahun pertama. Terutama sekali karena dia dapat belajar membaca dan menulis. Ternyata dalam ilmu ini diapun amat berbakat sehingga dalam waktu hampir dua tahun saja dia telah lancar membaca kitab-kitab yang berat, juga tulisannya bagus dan kuat. Dan pandai pula membaca sastra, pandai pula memecahkan arti dari sajak-sajak pasangan yang mengandung arti yang mendalam dan luas. Hwesio ahli sastra yang bertugas mengajar di kuil itu merasa sayang kepadanya karena belum pernah selama ini dia mendapatkan seorang murid sepandai Siauw Cu. Dan ketika di perpustakaan kuil itu Siauw Cu menemukan kitab-kitab sejarah yang bercerita tentang kepahlawanan dan perang, dia merasa amat tertarik dan hampir semua kitab tentang perang dibacanya sampai habis.

Kalau dalam hal pelajaran sastra Siauw Cu merasa gembira dan puas, sebaliknya dia kecewa sekali karena setelah bekerja keras selama dua tahun, belum juga dia diajar ilmu silat! Pada hal, dia tahu bahwa Siauw-lim-si merupakan pusat pendidikan ilmu silat yang tinggi. Sering kali dia termenung dan kalau dia melihat para murid yang sudah dilatih ilmu silat, dia mengintai dan ingin sekali ikut berlatih. Namun, peraturan di situ amat kera, pernah dia dihukum bekerja sampai jauh malam hanya karena dia berani mengintai para murid yang berlatih ilmu silat.

Kini usianya sudah empat belas tahun dan bentuk tubuhnya sudah seperti seorang laki-laki dewasa atau seperti yang sudah berusia delapan belas tahun. Wajahnya tampan dan pembawaannya gagah dan berwibawa. Semenjak dia berada di kuil itu, belasan orang murid calon hwesio yang sebaya dengan dia, semua tunduk kepadanya dan menganggap dia sebagai pemimpin! Memang Siauw Cu memiliki pembawaan seorang pemimpin. Dia suka memberi contoh, suka membantu dan bertanggung jawab sehingga para teman atau saudara seperguruannya segan dan suka kepadanya, mencontoh dan membenarkan semua sikapnya. Dan biarpun dia belum menerima pelajaran ilmu silat, namun tidak ada saudara seperguruan yang berani menentangnya, biarpun mereka ada yang sudah mulai dilatih ilmu silat. Hal ini adalah karena Siauw Cu memang memiliki bakat dan tubuh yang kokoh, tenaga yang besar dan sedikit gerakan silat yang pernah dipelajarinya dan dilatihnya dahulu telah mendarah daging pada tubuhnya. Pernah ada dua orang calon pendeta yang ingin merampas pengaruhnya, dan di luar kuil, hanya disaksikan para calon pendeta, Siauw Cu bertanding dikeroyok dua oleh mereka berdua dan akhirnya dua orang calon pendeta yang sudah setahun berlatih silat itu dapat dia robohkan, dan sejak saat itu, tidak ada lagi calon pendeta yang berani menentangnya. Dia disegani dan disuka karena dia tidak bersikap jagoan, melainkan bersikap sebagai pemimpin.

Pada suatu sore, setelah menyelesaikan tugas pekerjaannya yang paling berat di antara para rekannya, Siauw Cu memberanikan diri menghadap ketua kuil, yaitu Lauw In Hwesio. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang sedang duduk bersila dan membaca kitab itu.

“Eh, Siauw Cu, ada keperluan apakah engkau menghadap pinceng?” tanya Lauw In Hwesio dengan lembut.

“Maafkan teecu yang berani menghadap tanpa dipanggil, twa-suhu. Teecu hanya mohon penjelasan mengapa sampai sekarang teecu belum juga diberi pelajaran ilmu silat. Teecu ingin sekali berlatih silat, suhu.”

Mendengar ini, hwesio itu tertawa. “Omitohud, satu di antara penghalang bagi orang yang ingin menguasai ilmu dengan sebaiknya adalah ketidaksabaran, Siauw Cu. Apakah engkau sudah tidak sabar lagi?”

“Sama sekali tidak demikian, twa-suhu. Bukankah selama dua tahun ini teecu melaksanakan segala perintah dan tugas dengan sebaiknya tanpa mengeluh dan tanpa bertanya-tanya? Kalau sore ini teecu terpaksa bertanya bukan karena teecu tidak sabar lagi, melainkan karena teecu ingin tahu dan ingin memperoleh kepastian apakah teecu di sini akan mempelajari ilmu silat ataukah tidak.”

“Apa yang mendorongmu bertanya demikian?”

“Karena teecu melihat betapa para saudara lain yang sebaya dengan teecu, yang teecu lihat tidak berbakat dan lemah, malah sudah mulai diajar berlatih silat.”

Lauw In Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, dengarkanlah. Siauw Cu karena engkau berhak mengetahui. Jangan dikira bahwa selama ini pinceng tidak memperhatikanmu. Justeru engkau yang kurang perhatian sehingga tidak melihat perkembangan pada dirimu. Engkau harus menyadari bahwa keadaan dirimu sekarang dibandingkan dua tahun lalu sudah seperti langit dengan bumi. Kiranya tidak ada penggemblengan ilmu silat di dunia ini yang dapat membuat dirimu seperti sekarang ini selama dua tahun. Engkau sejak datang ke sini telah digembleng dengan inti dan dasar dari semua ilmu silat!”

“Ehhh? Apa yang twa-suhu maksudkan? Teecu tidak mengerti...”

“Siauw Cu, di sini memang ada dua cara mengajarkan ilmu silat, dan ada dua macam murid yang mempelajari ilmu silat. Yang pertama adalah calon para hwesio dan hwesio yang memang berbakat untuk menjadi pendeta. Kepada mereka ini diajarkan ilmu silat yang khas untuk menjaga kesehatan mereka sebagai olah raga, agar jasmani mereka segar dan sehat, sesuai dengan rohani mereka yang digembleng melalui ajaran kerohanian. Kepada mereka ini, ilmu silat yang diajarkan hanya gerakan-gerakan yang bermanfaat bagi kesehatan mereka saja karena sebagai pendeta, mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan kekerasan. Adapun yang ke dua adalah para murid yang bukan calon pendeta. Kepada mereka ini diajarkan ilmu silat melalui penggemblengan jasmaniah, sejak dari awa; dan dari dasar. Karena itu pertama kali, sebelum mengajarkan ilmu silat, tubuh si murid harus digembleng sehingga tubuh itu menjadi kuat, seolah-olah kulitnya menjadi tembaga, ototnya menjadi kawat baja dan tulang- tulangnya menjadi besi. Murid seperti ini diharapkan kelak menjadi pendekar yang mempertahankan kebenaran, membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat jahat. Mengertikah engkau?”

Kalau tadinya pemuda berusia empat belas tahun itu murung dan penasaran, begitu mendengar keterangan ini, wajahnya berubah cerah dan matanya bersinar-sinar.

“Suhu yang mulia, kalau begitu, teecu bukan seorang calon hwesio?”

Lauw In Hwesio menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Engkau tidak berbakat menjadi pendeta, Siauw Cu. Engkau lebih berbakat menjadi pendekar atau pemimpin rakyat yang menentang penindasan karena itulah, sejak semula engkau digembleng dengan pekerjaan berat yang hasilnya akan membuat tubuhmu menjadi kuat.”

“Terima kasih, suhu! Mulai saat ini, teecu akan melakukan pekerjaan apa saja yang diberikan kepada teecu dengan senang hati!”

Dan memang kenyataannya demikian. Kalau tadinya, pekerjaan berat itu dilakukan oleh Siauw Cu walaupun secara baik namun dengan hati yang gundah dan kecewa, kini dia melakukan pekerjaan itu dengan semangat yang meluap dan dengan wajah cerah gembira. Kemajuannyapun pesat sekali sehingga akhirnya, mulailah dia dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh Lauw In Hwesio sendiri. Ketua kuil yang sakti ini maklum bahwa Siauw Cu memiliki bakat besar dan tulang yang baik sekali, maka dia sendiri yang menangani penggemblengan terhadap Siauw Cu. Seperti juga cara menggembleng tubuhnya agar kuat, ilmu silat yang diajarkanpun akan terasa amat berat bagi orang yang tidak memiliki semangat membaja dan tekad yang kokoh kuat. Baru pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja amat melelahkan kalau tidak dapat dibilang menjemukan. Kuda-kuda itu harus kokoh kuat dan selalu diuji oleh Lauw In Hwesio. Kalau dalam keadaan memasang kuda-kuda itu, tubuh Siauw Cu didorong dari arah manapun secara tiba-tiba kedua kakiknya masih melangkah, satu di antara telapak kakinya masih meninggalkan tanah, maka kuda-kuda itu dianggap masih belum kuat dan dia harus berlatih terus. Latihannya, kadang Siauw Cu harus selalu dalam keadaan memasang kuda- kuda yang kokoh kalau dia memasak air, mengipasi api sampai air itu mendidih. Ada kalanya dia diharuskan dalam keadaan memasang kuda-kuda kalau dia membelahi kayu membuat kayu bakar yang dapat berlangsung sampai berjam-jam! Pada mulanya, setelah latihan seberat itu, berjongkokpun dia tidak mampu karena urat-urat di kakinya seperti telah berubah menjadi kawat yang kaku dan keras!

Namun, akhirnya dia dapat menguasai kuda-kuda yang kokoh kuat sehingga kalau tiba-tiba dia didorong dari manapun, kedua kakinya itu hanya bergeser tanpa ada yang terangkat dari tanah.

Penggemblengan seperti itu dilakukan oleh Lauw In Hwesio selama bertahun-tahun sampai pemuda itu berusia dua puluh tahun. Biarpun di kuil itu terdapat pula beberapa orang murid bukan calon hwesio, namun tak seorangpun mampu menandingi Siauw Cu, baik dalam hal ilmu silat maupun kekuatan. Bahkan makin nampaklah bakatnya untuk menjadi pemimpin karena dalam segala peristiwa yang terjadi di kuil itu, kalau membutuhkan bantuan tenaga para murid, Siauw Cu selalu diangkat menjadi pemimpin karena dia memang pandai mengatur, penuh semangat, dan penuh prakarsa dan daya cipta.

Pada suatu malam terang bulan, ketika Siauw Cu sedang berlatih silat di taman bunga belakang kuil yang dirawatnya, seorang diri dan tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba sesosok tubuh manusia berkelebat dan terjun ke dalam lingkaran latihan silat menyerang Siauw Cu. Pemuda ini segera mengenal suhunya, maka giranglah hatinya. Kemajuan besar selalu didapatkannya kalau gurunya ini mau mengajaknya berlatih silat seperti itu. Diapun, seperti selalu dianjurkan Lauw In Hwesio kalau berlatih, tidak bersikap sungkan lagi dan dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaga karena maklum bahwa gurunyapun akan bersungguh-sungguh untuk mengalahkannya! Jurus demi jurus mereka keluarkan, saling serang dan saling desak. Diam-diam Lauw In Hwesio kagum sekali kepada muridnya ini. Dia sendiri sudah tidak mampu mengalahkan muridnya karena semua jurus dapat dilayani dengan baiknya oleh Siauw Cu, juga dalam hal tenaga, dia hampir tidak dapat menandingi karena dia sudah tua sedangkan Siauw Cu sedang kuat-kuatnya! Mulailah hwesio tua ini merasa lelah sekali dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia yang akan kalah.

Tiba-tiba hwesio tua itu mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama sekali. Kini tubuhnya melayang dan berloncatan tinggi ke atas, lalu menyambar turun dengan serangan yang amat dahsyat dan asing bagi Siauw Cu! Pemuda ini berusaha untuk mempertahankan diri, namun dia hanya mampu bertahan selama sepuluh jurus saja menghadapi ilmu silat aneh itu dan akhirnya dadanya dapat diterjang Lauw In Hwesio sampai dia jadi terjengkang!

“Suhu, ilmu apakah yang suhu mainkan ini?” Tanpa memperdulikan dadanya yang agak nyeri dan pinggulnya yang tadi menghantam tanah, Siauw Cu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan mengajukan pertanyaan itu. Gurunya berdiri terengah-engah, tersenyum girang sekali.

“Omitohud... kalau pinceng (aku) tidak mempunyai ilmu simpanan tadi, tentu sudah kalah olehmu, Siauw Cu.”

“Suhu! Selama ini teecu selalu mentaati karena teecu yakin bahwa suhu adalah seorang yang berhati mulia, tidak pernah berbohong. Akan tetapi, suhu mengatakan bahwa semua ilmu silat Siauw-lim-pai yang pernah suhu pelajari, telah suhu ajarkan kepada teecu semua. Akan tetapi kenapa sekarang suhu mempunyai ilmu silat yang tidak teecu kenal?”

“Omitohud, berdosalah pinceng membohongimu, Siauw Cu. Pinceng tidak pernah berbohong dan tidak akan berbohong. Memang sesungguhnyalah bahwa semua ilmu silat Siauw-lim-pai yang pinceng kuasai, telah pinceng ajarkan kepadamu, tidak ada satupun yang tertinggal.

Kalau tadi pinceng mengeluarkan ilmu silat yang tidak kaukenal itu, adalah karena terpaksa. Kalau tidak mengeluarkan ilmu simpanan itu, bagaimana mungkin pinceng dapat mengatasimu? Akan tetapi, ilmu silat itu bukanlah ilmu silat aliran Siauw-lim-pai, karena itulah maka tidak pinceng ajarkan kepadamu.”

“Ah, begitukah, suhu? Kalau begitu mohon suhu mengampuni teecu yang menyangka suhu berbohong tadi. Ilmu apakah itu tadi, suhu dan kenapa pula suhu menguasai ilmu silat yang bukan Siauw-lim-pai, dan mengapa tidak diajarkan kepada teecu?”

“Ilmu silat itu memang bukan ilmu silat Siauw-lim-pai dan pinceng mendapatkannya secara kebetulan saja.” Hwesio tua itu lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, ketika dia dan seorang suhengnya berjalan-jalan di puncak pegunungan mereka berdua melihat seekor burung rajawali yang besar sedang berkelahi dengan seekor harimau memperebutkan bangkai seekor kijang. Perkelahian itu seru bukan main. Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio mengintai dan menonton. Sebagai ahli-ahli silat Siauw-lim-pai, mereka berdua sudah mempelajari semua ilmu silat Siauw-lim-pai dan mereka telah memiliki kepandaian yang matang dan tinggi. Di Siauw-lim-pai terdapat bermacam ilmu silat, bahkan ada ilmu silat Bangau Putih, akan tetapi ketika mereka berdua melihat perkelahian itu,mereka tertegun. Mereka juga menguasai ilmu silat Houw-kun (Silat Harimau) yang gerakannya meniru gerakan harimau, akan tetapi kini harimau itu tidak berdaya menghadapi burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas dengan ganas dan dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, keduanya mencurahkan perhatian dan mengingat semua gerakan rajawali ketika bertanding melawan harimau.

Akhirnya, harimau itu melarikan diri dengan tubuh luka-luka, dan rajawali itu menyambar bangkai kijang, dibawa terbang untuk diberikan kepada anak-anaknya di sarangnya, entah di mana.

Setelah melihat perkelahian hebat itu, Lauw In Hwesio dan suhengnya, Bouw In Hwesio, berdua mulai merangkai ilmu silat berdasarkan gerakan rajawali ketika berkelahi melawan harimau tadi. Dan akhirnya, setelah bersusah payah selama satu tahun, mereka berdua berhasil merangkai sebuah ilmu silat baru, yaitu ilmu silat Rajawali Sakti. Karena ilmu itu bukan ilmu keturunan dari Siauw-lim-pai, keduanya berjanji untuk menyimpan ilmu itu untuk mereka berdua saja, dan bahkan merahasiakannya dari para murid Siauw-lim-pai yang lain. Di Siauw- lim-pai memang ada peraturan keras bahwa seorang murid tidak boleh mencampurkan ilmu silat Siauw-lim-pai yang asli dengan ilmu lain, bahkan seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh memainkan ilmu silat yang bukan Siauw-lim-pai. Peraturan kuno yang keras ini mungkin diadakan demi menjaga kemurnian ilmu silat aliran itu.

“Demikianlah, Siauw Cu. Hanya kami berdua yang menguasai ilmu silat itu dan tadi terpaksa pinceng mainkan untuk mengatasimu. Bagaimanapun juga, bagaimana mungkin pinceng sebagai gurumu tidak mampu mengalahkanmu?”

Mendengar ini, Siauw Cu segera memberi hormat sambil berlutut. “Suhu, teecu mohon agar suhu sudi mengajarkan ilmu silat Rajawali sakti itu kepada teecu.”

Lauw In Hwesio adalah seorang hwesio tua yang bukan saja pandai ilmu silat dan ilmu keagamaan, akan tetapi diapun mempelajari ilmu perbintangan dan dia dapat meramalkan bahwa muridnya ini berbeda dengan orang lain dan kelak akan dapat memperoleh kedudukan tinggi sebagai seorang pemimpin.

“Siauw Cu, ilmu ini hanya dikenal oleh pinceng dan suheng Bouw In Hwesio yang sekarang entah merantau ke mana. Pinceng dapat mengajarkan kepadamu, akan tetapi hanya dengan dua syarat.”

“Apakah syarat itu, suhu?”

“Pertama, ilmu ini tidak boleh kaupergunakan untuk membantu pemerintah kerajaan penjajah Mongol. Ke dua, dalam mempergunakan ilmu Rajawali Sakti ini, engkau tidak boleh mengaku sebagai murid Siauw-lim-pai.”

Siauw Cu yang memang tidak ingin menjadi hwesio, juga sama sekali tidak ingin mengabdi kepada pemerintah penjajah yang telah menyengsarakan kehidupan rakyat jelata termasuk mendiang kedua orang tuanya, tentu saja dapat menerima syarat itu dengan gembira.

“Baik, suhu. Teecu bersumpah untuk memenuhi kedua syarat itu!” katanya tegas dan gembira.

Demikianlah, selama berbulan-bulan Siauw Cu mempelajari dan melatih Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) itu dari gurunya dan setelah dia berhasil menguasainya dengan baik, Lauw In Hwesio memanggilnya menghadap.

“Siauw Cu, kini tiba saatnya bagimu untuk terjun ke dunia ramai, mempergunakan semua kepandaian yang selama ini dengan tekun kau pelajari di sini agar semua jerih payahmu tidak sia-sia belaka. Akan tetapi ingat, engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang selain mempelajari ilmu silat, juga memperoleh gemblengan dasar watak yang baik sebagai seorang gagah dan budiman. Ingatlah selain bahwa Siauw-lim-pai menentang segala bentuk kejahatan, dan bahwa engkau sebagai murid Siauw-lim-pai kalau sampai menyeleweng dan menjadi jahat, kelak engkau akan hancur oleh para murid Siauw-lim-pai sendiri.”

“Teecu akan selalu ingat semua petunjuk, nasihat dan perintah suhu.”

Berangkatlah Siauw Cu meninggalkan kuil itu. Ketika menuruni lereng itu, beberapa kali dia menengok ke arah bangunan kuno yang dikelilingi pagar tembok yang kehijauan karena lumut itu, dan hatinya terharu. Delapan tahun yang lalu, dalam usia dua belas tahun, dia melarikan diri dari kejaran anak buah Lurah Koa dalam keadaan luka-luka ke dalam kuil dan diterima, dilindungi oleh para hwesio di situ, bahkan diterima menjadi murid oleh Lauw In Hwesio. Andai kata tidak ada kuil itu dan para penghuninya, tentu dia tertangkap oleh anak buah Lurah Koa dan mungkin saja dia akan dihajar sampai mati karena dia telah berkelahi melawan dua orang putera lurah itu sampai mereka berdua roboh pingsan.

Dia tidak mendendam kepada mereka. Selama delapan tahun di kuil itu, dia sudah menerima gemblengan lahir batin oleh Lauw In Hwesio sehingga dia merasakan benar, bukan hanya mengerti, betapa dendam merupakan racun yang merusak diri sendiri. Dendam dapat menghambat kemajuan lahir batin, dendam dapat mengeruhkan pikiran, bahkan mendorong orang melakukan kekejaman dan kejahatan demi pelampiasan dendam. Dendam merupakan satu di antara usaha setan untuk melumpuhkan manusia, untuk membuat manusia bertekuk lutut kepada daya-daya rendah yang menguasai hati akal pikiran.

Tidak, dia tidak menaruh dendam kepada siapapun juga. Semua yang terjadi adalah sesuai dengan garis. Tidak perlu mendendam, karena dendam itu sendiri akan merupakan awal dari mata rantai karma yang tiada berkeputusan. Pengertian saja tidak akan ada gunanya tanpa pelaksanaan, bagaikan bunga yang rontok sebelum menjadi buah. Yang terpenting adalah pelaksanaannya, dan pelaksanaan inilah yang amat sukar karena bertentangan sengan kekuasaan nafsu. Semua orang tahu belaka apa yang disebut perbuatan jahat, namun mereka tidak mampu menahan nafsu yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu. Setiap orang pencuri tahu belaka, mengerti bahwa mencuri itu tidak baik dan tidak sepantasnya dilakukan, namun dorongan nafsu tak dapat mereka lawan dan merekapun mencuri, berlawanan dengan pengetahuannya tadi. Demikian pula dengan pelaku perbuatan sesat apapun. Pengetahuan saja tidak akan mampu melawan kekuasaan nafsu.

Tidak, aku tidak mendendam, demikian Siauw Cu yang menjenguk isi hatinya berkata penuh keyakinan dalam hatinya. Dia memang hendak menuju ke kampung halamannya, tanah tumpah darahnya, yaitu tempat di mana darah ibunya tertumpah ketika melahirkan dia. Dia ingin menjenguk dan bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Selain itu, yang terpenting, dia hendak melihat keadaan para warga dusun itu. Sudah adakah perubahan yang membaik selama delapan tahun ini? Dia ingin melakukan sesuatu demi kesejahteraan hidup para warga dusun yang dia tahu selama ini hidup dalam keadaan yang menyedihkan sekali, jauh di bawah garis kemiskinan!

Apa yang dapat dia lakukan untuk mereka? Dia sendiri tidak tahu. Dia sendiri adalah seorang pemuda miskin. Dia meninggalkan kuil tanpa bekal apapun, kecuali beberapa stel pakaian sederhana yang terbuat dari kain kasar sederhana pula, seperti pakaian para pendeta di kuil.

Kepalanya tidak dicukur gundul seperti para murid yang menjadi calon pendeta, namun tetap saja, ketika dia tinggal di kuil, pakaiannya sederhana sekali, disesuaikan dengan kehidupan kuil. Tentu saja dia tidak dapat memberikan bantuan berupa benda kepada warga dusun. Dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan, dan hal itu akan dilihatnya saja nanti perkembangannya kalau dia sudah tiba di dusunnya.

“Suheng (kakak seperguruan)...! Perlahan dulu...!”

Seruan ini mengejutkan hati Siauw Cu. Cepat dia menahan langkahnya dan membalik. Sesosok tubuh seorang pemuda berlari-lari dari belakang mengejarnya dan setelah dekat diapun mengenal pemuda itu dan dia tersenyum.

“Heii, Shu-sute (adik seperguruan Shu)! Mau ke mana kau?” tanya Siauw Cu gembira. Pemuda yang datang itu adalah Shu Ta, seorang di antara para murid di kuil itu yang bukan calon pendeta, seperti juga dia. Bahkan Shu Ta ini tadinya seorang kacung kuil sudah bekerja di kuil sebelum dia datang, akan tetapi Shu Ta yang sebaya dengannya, baru belajar silat sesudah dia, maka Shu Ta menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan dia menyebutnya sute (adik seperguruan). Dan biarpun dalam hal ilmu silat, sutenya itu biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjol, namun dalam hal kecerdikan, Siauw Cu sering kali dibuat kagum. Sutenya ini mempunyai banyak sekali akal untuk mengatasi kesukaran dan sudah sering kali sutenya meringankan beban pekerjaan mereka ketika berada di kuil menggunakan akalnya yang banyak. Sutenya ini benar-benar amat cerdik dan kinipun dia tidak terlalu heran melihat sutenya dapat keluar dari kuil, entah dengan cara bagaimana,

“Aku memang mengejarmu, suheng. Akupun meninggalkan kuil!” kata pemuda itu gembira.

Siauw Cu mengerutkan alisnya dan menatap wajah sutenya penuh perhatian dan teguran. “Shu-sute, kau... minggat dari kuil?”

Pemuda itu tertawa dan walaupun usianya juga sekitar dua puluh tahun, namun dia nampak seperti kanak-kanak ketika tertawa. “Ha-ha-ha, Cu-suheng, kaukira aku ini orang macam apa? Aku sudah menerima budi yang berlimpah dari suhu dan para saudara di kuil Siauw-lim-si.

Untuk membalas budi itupun aku belum mampu, bagaimana mungkin aku berani minggat? Tidak, suheng. Setelah mendengar suheng meninggalkan kuil, aku segera menghadap suhu dan mohon perkenan suhu untuk turun gunung pula. Dan suhu sudah memberi ijin. Aku turun gunung, keluar dari kuil dengan resmi, tidak minggat.” “Begitu mudahnya? Akal apa yang kaupergunakan maka suhu dapat memberi ijin sedemikian mudahnya kepadamu, sute?”

Shu Ta tertawa. “Aih, suheng. Terhadap suhu, mana aku berani main akal-akalan? Aku hanya menceritakan kepada suhu tentang kesengsaraan rakyat jelata di bawah penindasan pemerintah penjajah Mongol seperti yang banyak kita dengar dari rakyat di sekitar daerah ini, dan aku menceritakan keinginanku untuk membantu rakyat, berjuan untuk menentang pemerintah penjajah. Nah, suhu memberi restu dan mengijinkan aku keluar dari kuil.”

Siauw Cu mengangguk-angguk. Dia sudah tahu bahwa sutenya ini selalu bicara tentang perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Diam-diam dia sendiripun menyetujui sikap itu. Dia sendiripun membenci penjajah yang jelas menyengsarakan rakyat.

“Sute, cita-citamu memang baik sekali. Akan tetapi, hanya dengan tenagamu, atau katakanlah tenaga kita berdua, bagaimana mungkin kita akan mampu menentang pemerintah yang memiliki pasukan ratusan ribu orang banyaknya. Untuk menentang pemerintah penjajah, kita harus menghimpun tenaga rakyat sebanyak mungkin dan untuk pekerjaan seperti itu, bukanlah hal yang mudah. Setidaknya kita harus memiliki biaya yang besar, sedangkan kita memiliki apa?”

“Memang benar pendapatmu, suheng. Akan tetapi, kalau memang kita memiliki kemauan besar, memiliki semangat, kiranya pekerjaan itu tidaklah terlalu sukar, atau setidaknya bukan hal yang mustahil. Mari kita bekerja sama untuk maksud itu, suheng.”

Siauw Cu menggeleng kepala. “Sebaiknya, kalau kita berpencar dan mencari pengalaman lebih dahulu di dunia persilatan, sute. Kita melakukan penjajagan dan hubungan dengan orang-orang kang-ouw, melihat bagaimana sikap mereka dan melihat kemungkinan untuk menghimpun tenaga. Kelak, kalau tiba waktunya, kita dapat bergabung dan bekerja sama.”

Shu Ta mengangguk-angguk. “Pendapatmu baik dan tepat, suheng. Baiklah, mari kita berlumba untuk menghimpun tenaga. Akan tetapi, sekarang suheng hendak ke manakah?”

“Aku hendak kembali dulu ke kampung halamanku, dusun Cang-cin untuk bersembahyang di makam ayah ibuku.”

“Aih, dusunmu yang penuh kesengsaraan itu?” Shu Ta sudah pernah mendengar cerita Siauw Cu tentang dusunnya, dan tentang keadaan suhengnya itu. “Kalau begitu, akupun ingin ikut denganmu dan melihatnya, suheng.”

“Baik, sute. Mari kita pergi. Dusunku tidak terlalu jauh dari sini, hanya di balik bukit depan sana itu.” Mereka lalu berjalan berdampingan menuruni bukit!

Para penghuni dusun Cang-cin sedang bekerja di sawah ladang, di luar dusun. Matahari telah naik tinggi dan mereka semua memandang heran kepada dua orang pemuda yang berjalan menuju ke dusun itu. Dusun di Lembah Sungai Huai itu merupakan dusun kecil yang tidak pernah dikunjungi orang luar, maka kedatangan setiap orang asing tentu akan menarik perhatian mereka. Itulah sebabnya, ketika dua orang pemuda itu melangkah perlahan memasuki dusun, mereka semua memandang penuh perhatian dan keheranan. Pemuda pertama berusia dua puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya sederhana namun sikapnya tegak anggun berwibawa. Langkahnya tegap, wajahnya tidak dapat dibilang tampan, namun jantan dengan dagu yang membayangkan kekerasan hati, sepasang mata yang mencorong tajam penuh semangat dan wibawa. Langkahnya bagaikan langkah harimau. Dia menggendong sebuah buntalan kain kuning yang tidak seberapa lebar, buntalan yang terisi beberapa stel pakaiannya. Pakaian yang menutupi tubuhnya amat sederhana, seperti pakaian pendeta, hanya potongannya lebih ringkas.

Pemuda kedua sebaya, akan tetapi wajahnya tampan dan tubuhnya kekar. Pada wajahnya mulai nampak rambut halus dan dapat dilihat bahwa kelak akan menjadi seorang laki-laki tampan gagah berewok. Pandang matanya tidak terlalu tajam seperti pemuda pertama, akan tetapi mata itu bergerak-gerak dengan lincah dan nampaknya dia cerdik sekali. Di punggungnya juga terdapat buntalan pakaian, akan tetapi di pinggangnya tergantung sebatang pedang dengan sarung pedang sederhana.

Mereka adalah Siauw Cu dan Shu Ta. Siauw Cu juga memandang ke arah para petani yang bekerja di sawah ladang dan wajahnya cerah, sikapnya ramah terhadap mereka karena dia maklum bahwa mereka adalah warga dusunnya. Akan tetapi, karena delapan tahun telah lewat, tidak ada seorangpun di antara mereka yang dikenalnya atau mengenalnya. Ketika dia meninggalkan dusun itu, usianya baru dua belas tahun, masih kanak-kanak, sekarang dia kembali dalam usia dua puluh tahun lebih, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.

Yang membuat hati Siauw Cu gembira adalah melihat betapa sawah ladang itu penuh dengan padi dan gandum yang subur. Agaknya kini keadaan dusun itu sudah makmur, pikirnya.

Mereka memiliki sawah ladang yang demikian subur, berarti mereka tidak akan menderita kelaparan seperti ketika dia masih tinggal di dusun itu. Melihat para penghuni dusun bekerja di sawah ladang yang subur, mendatangkan perasaan gembira di hati Siauw Cu dan diapun mengajak sutenya untuk pergi ke tanah kuburan yang berada di pinggir dusun sebelah barat.

Tanah kuburan itu penuh dengan kuburan, lama dan baru. Ketika mereka tiba di tanah kuburan, keduanya berhenti dan melihat dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar membentak-bentak seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang tubuhnya kurus dan agak bungkuk.

“Siang begini engkau sudah meninggalkan sawah, tua bangka tak tahu diri!” bentak seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu.

“Kakek Coa, kalau engkau tidak cepat kembali ke sawah dan melanjutkan pekerjaanmu, terpaksa kami akan menghajar dan menyeretmu biarpun engkau sudah tua dan berpenyakitan!” kata orang ke dua.

“Apakah engkau ingin menyusul isterimu yang baru tiga hari mati?” bentak orang pertama.

Kakek itu tidak memperdulikan ancaman mereka, bahkan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, bertiarap di atas gundukan tanah kuburan yang baru itu dan menangis.

“Aku tidak sudi kembali ke sawah. Aku masih berkabung, aku ingin menemani isteriku... bunuhlah aku kalian kehendaki!” Dua orang tinggi besar itu saling pandang. Yang pertama yang kumisnya panjang masih mencoba untuk membujuk kakek itu. “Kakek Coa, ingatlah, engkau tidak akan dapat mengubur mayat isterimu tiga hari yang lalu, tidak akan mendapatkan peti mati dan tanah kuburan ini kalau tidak atas pertolongan dan kedermawanan Ji wan-gwe (hartawan Ji). Juga setiap hari, nasi siapa yang kaumakan? Untuk semua itu, Ji wan-gwe hanya minta engkau bekerja di sawahnya, bukankah itu sudah adil?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar