Jilid 22 (Tamat)
"Kakek badut, kaulah yang lucu. Aku tidak mengandalkan kepandaian apa-apa karena aku tidak bermaksud buruk. Terus terang saja, aku kasihan kepada penduduk An-yang dan hendak menolong, akan tetapi hanya dengan Jenderal Gan Lee Kong aku mau bicara."
"Apa kau berniat menyerang ayah?" pemuda itu membentak dan busur di tangan kirinya sudah tergetar.
"Aku tidak bersenjata, menghadapi ayahmu dan kalian semua aku bisa berbuat apakah? Masa seperti aku ini bersikap seorang calon pembunuh?
Kira-kira, dong!" kata Lee Ing setengah berkelakar sungguhpun hatinya gentar juga, takut kalau-kalau pemuda itu tetap mencurigainya dan mengeroyok.
Tidak saja tugasnya akan sia-sia, malah keadaannya akan berbahaya sekali.
Pemuda itu ragu-ragu, lalu menoleh kepada kakek itu. Matanya meminta pendapatnya.
"Siapa sih badut tua ini?" Lee Ing sengaja bertanya untuk memperlihatkan bahwa dia memang sedikitpun tidak gentar karena tidak bersalah.
"Dia ini pembantu kami, bernama Ang Sinshe" jawab Gan Kun yang lalu melanjutkan ucapannya untuk bertanya kepada kakek itu, ‘’Bagaimana, Ang Sinshe, apa yang harus dilakukan dengan bocah ini?"
Ang Sinshe terbatuk-batuk sebelum menjawab. Dia, sejak kota An-yang dikepung sudah berada di situ membantu Gan Lee Kong. Sebetulnya dia juga setengah hati membantu jenderal itu, akan tetapi karena kebetulan dia berada di An-yang ketika kota itu dikurung sehingga ia harus membantu pula kalau tidak ingin menjadi tahanan di kota itu pula karena ia menerima banyak hadiah dari Gan Lee Kong yang mengetahui bahwa Ang Sinshe adalah seorang sakti, maka kakek ini lalu menjadi pembantunya. "Heh-heh-heh, orang muda berhati, naga. Akan tetapi sombong sekali... sombong sekali. Mana boleh sembarang orang saja mengadakan pertemuan dengan Gan-goanswe? Hendak kulihat apakah kau cukup berharga Untuk menghadap beliau." Setelah berkata demikian, kakek jubah merah ini melangkah maju setindak, tangan kaitannya digerakkan ke depan dan... lengan itu mulur terus hendak mencengkeram pundak Lee Ing!
Para tentara yang hadir di situ mengeluarkan seruan heran dan kagum. Kakek itu berdiri dalam jarak antara dua meter dari pemuda mata-mata musuh itu, akan tetapi bagaimana tangan kurus kering itu bisa mulur seperti karet?
Lee Ing juga kaget, akan tetapi dia tidak heran. Ilmu Seperti ini tidak sukar dipelajari dan diapun dapat kalau mau. Dengan tenang ia miringkan pundaknya, tangan kirinya menyampok tangan lawan itu sambil berkata, "Badut tua, tanganmu menjijikkan sekali!"
Bagi pandang mata orang-orang lain, tangkisan itu biasa saja seperti lumrahnya tangkisan ilmu silat. Akan tetapi tidak demikian bagi Gan Kun dan terutama bagi Ang Sinshe sendiri. Gan Kun sudah mengukur kepandaian Ang Sinshe dan maklum bahwa Iweekang yang dimiliki kakek itu, jarang ada orang sanggup menangkis serangannya. Bila pemuda itu dapat menangkisnya berarti bahwa pemuda remaja ini benar-benar lihai. Adapun Ang Sinshe diam-diam terkejut sekali karena dari tangkisan itu saja ia dapat mengetahui bahwa pemuda aneh ini memiliki Iweekang yang belum tentu kalah olehnya sendiri!
Ia mengangguk-angguk. "Boleh, boleh. Dia pantas menghadap Gan-goanswe," kata Ang Sinshe kepada Gan Kun. Putera jenderal itu lalu mempersilahkan Lee Ing berjalan di sampingnya.
"Marilah, saudara Oei Hong yang gagah, mari kuajak kau menghadap ayah." Lee Ing hanya mengangguk dan tersenyum girang karena tugasnya berjalan dengan baik. Ang Sinshe berbisik di dekat telinga Gan Kun,
"Ciangkun, hati-hati. Bocah ini harus dijaga benar-benar jangan sampai ia melakukan sesuatu yang merugikan dan jangan sampai dapat lolos."
Gan Kun hanya mengangguk sambil melirik ke arah Lee Ing atau yang pada saat itu sudah berganti nama menjadi Oei Hong. Akan tetapi Oei Hong diam saja, berjalan dengan kepala tunduk. Padahal dia tadi mendengar jelas apa yang dibisikkan oleh Ang Sinshe. juga biarpun kepalanya tunduk, sinar matanya menyambar ke sana ke mari, memeriksa kekuatan lawan dan melihat keadaan di sini. Aku harus berhati-hati, pikirnya. Ternyata di sini banyak orang pandai dan penjagaan sungguh kuat, Sekali gagal aku takkan dapat meloloskan diri.
Seperti juga terhadap Gan Kun, pertemuan pertama dengan Gan Lee Kong menimbulkan rasa kagum di hati Lee Ing. Gan Lee Kong sudah berusia enam puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih tegap, tinggi besar dan sikapnya gagah seperti pahlawan besar Kwan Kong. Seperti juga Gan Kun, jenderal ini selalu berpakaian perang. Suaranya nyaring, bicaranya singkat berisi, seorang jantan sejati. Setelah mendengarkan laporan singkat puteranya, ia memandang kepada Oei Hong yang duduk di depannya dengan sikap hormat akan tetapi tidak merendah, lalu berkata,
"Jadi namamu Oei Hong dari barisan Siok Beng Hui dan sengaja masuk ke sini hendak bicara dengan aku? Bicaralah!" Menghadapi orang yang gagah dan sikap yang angker ini, Lee Ing tidak mau main- main. Ia berdiri lalu menjura dan berkata,
"Harap goanswe maafkan bahwa saya berani mencuri masuk ke kota ini. Sebetulnya, seperti sudah saya katakan kepada Gan-ciangkun, saya memasuki kota ini dengan maksud baik. Ada dua alasannya, pertama karena saya merasa kasihan melihat kehancuran kota dan kebinasaan penduduknya di depan mata. Ke dua, karena... karena saya ingin membalas sakit hati kepada Siok Beng Hui!"
Gan Lee Kong mengelus-elus jenggotnya yang masih hitam. Sebagai seorang panglima ulung, tentu saja ia tidak sembarangan percaya omongan orang yang baru dijumpai, apa lagi orang dari fihak musuh.
"Tak usah plintat-plintut dan banyak rahasia, coba terangkan apa maksudmu dengan alasan itu!" Gan Lee kong membentak, suaranya keren sekali sehingga kalau yang dibentaknya itu bukan Lee Ing, kiranya sudah akan terbang sebagian besar semangatnya dan kalau orang berniat membohong, tentu akan lenyap keberaniannya. Akan tetapi Lee Ing tetap tenang-tenang saja.
"Goanswe. alasan pertama adalah karena saya telah cekcok dengan Siok Beng Hui ketika saya memprotes niatnya membumihanguskan kota ini. Karena kau ditantang berperang di tempat terbuka tidak mau dan mereka tidak kuat membobolkan pertahanan benteng kota ini, maka Siok Beng Hui mengambil keputusan menghujani kota ini dengan panah berapi sampai seluruh kota semua termakan api!" Gan Lee Kong menggebrak meja sehingga tergetar ruangan itu.
"Aku tidak takut! Mati mempertahankan kota adalah mati terhormat!"
"Sayang sekali saya harus menyatakan bahwa pikiranmu sempit dalam hal ini, goanswe," kata Lee Ing dengan tabah.
"Kurang ajar!" Gan Kun membentak marah dan sudah melangkah maju hendak menampar orang yang anggapnya tidak tahu adat itu.
Ang Sinshe menyeringai dan maju pula. "Apakah hamba harus pukul kepala bocah ini, goan-gwe?"
.
Akan tetapi Gan Lee Kong menggoyang tangan menyuruh mundur puteranya dan Ang Sinshe. "Hanya" ada dua kemungkinan mengenai anak ini, "kalau tidak miring otaknya tentu mempunyai keberanian yang luar biasa. Biarkan dia bicara. He bocah she Oei. coba kau jelaskan mengapa kau katakan pikiranku sempit."
"Pikiranmu dalam hal ini sama sempitnya dengan pikiran Siok Beng Hui! Kalian berdua hanya memikirkan bagaimana supaya menang atau kalah dalam perang. Memikirkan mati sebagai pahlawan."
"Tentu saja, goblok! Laki-laki sejati harus berpikiran demikian!"
"Boleh, boleh sekali untuk kau. atau Siok Beng Hui, atau puteramu ini karena kalian memang orang- orang peperangan. Akan tetapi apakah patut kalau harus mengorbankan nyawa dan keselamatan kota ini? Mereka-sama sekali tidak ingin perang, mereka malah benci. Apa lagi karena yang dibela adalah kekuasaan lalim dan buruk di selatan! Tidak! Tak boleh rakyat jelata harus menderita karena keluarga kaisar berebutan tahta kerajaan. Yang perang boleh perang karena memang itu tugasnya dan sudah diberi gaji, akan tetapi rakyat jangan diganggu."
Untuk sejenak Gan Lee Kong tertegun tak dapat menjawab, tiba-tiba ia berdiri dari tempat duduknya dan bertanya keras "Mengapa kau katakan ini semua? Apa maksudmu sebenarnya?"
"Maksudku menolong rakyat agar jangan menjadi korban, baik oleh sepak terjangmu maupun sepak terjang Siok Beng Hui. Harus dicegah jangan sampai-rumah-rumah rakyat dimakan api." "Ha-ha, kau punya siasat? Coba katakan, apa yang harus kami lakukan untuk mencegah hal itu terjadi?"
"Jalan satu-satunya ialah kau menyatakan takluk dan menyerah..."
"Jahanam!" Gan Lee Kong menyambar bangku dan melemparkannya kuat-kuat ke arah Lee Ing. Lee Ing menyampok dengan tangan kiri dan bangku itu hancur berantakan, Gan Lee Kong terkejut.
"Ahay kiranya kau berkepandaian. Tentu kau diutus oleh Siok Beng Hui untuk membujuk aku menyerah. Ha-ha-ha, alangkah bodohnya, alangkah gobloknya. Orang she Oei, selain tipu muslihatmu ini tidak berhasil, juga jangan harap kau bisa keluar dari sini. Kepung dan jangan biarkan dia lolos!"
Para pemimpin pasukan mengeluarkan aba-aba dan ribuan orang serdadu sudah membendung jalan keluar, tak mungkin bagi Lee Ing untuk pergi dari situ. Akan tetapi dia tetap tenang dan berkata, "Gan-goanswe, kau keliru. Kalau aku diutus sebagai mata-mata, masa aku terus terang seperti ini? Tadi kukatakan bahwa kedatanganku dengan dua alasan. Alasan pertama sudah kuceritakan, alasan ke dua belum kau dengar."
"Bicaralah, bicaralah sepuasmu sebelum nyawamu melayang."
"Alasan ke dua adalah karena aku sakit hati kepada Siok Beng Hui, maka aku membuka rahasia ini. Bagiku tidak perduli apakah kau atau dia yang kalah. Akan tetapi hatiku sudah sakit sekali. Aku... aku memperebutkan seorang gadis dengan Siok Beng Hui dan aku. aku kalah." Wajah Oei Hong yang
tampan itu menjadi merah.
"Hemmm...... hemmm lalu mengapa kau suruh aku takluk dan menyerah?"
"Belum habis siasatku kuceritakan. Kau menulis surat kepada Siok Beng Hui, menyatakan mau menyerah dan takluk kalau Siok Beng Hui sendiri suka datang minta maaf atas gangguannya terhadap kota ini. Dia tidak boleh membawa pengawal kecuali calon mantunya dan bujang-bujang pembawa barang antaran. Hanya dengan syarat ini kau mau menyerah."
Gan Lee Kong melengak. "Kau...... kau suruh aku.... bermain curang? kau maksudkan kalau dia datang lalu. aku menahannya?"
Lee Ing mengangguk tersenyum. "Goanswe, dalam ilmu perang bukankah selalu dipergunakan siasat-siasat? Kalau siasat itu dibandingkan dengan tipu muslihat, mana perbedaan antara curang dan tidak? Siok Beng Hui hendak menghujani rumah-rumah penduduk dengan api, bukankah itu lebih curang lagi?"
Gan Lee Kong mengelus-elus jenggotnya. Memang ia juga amat khawatir mendengar kota itu akan dibumihanguskan dari luar. Kalau terjadi demikian, memang ia tidak berdaya, rumah-rumah hangus, ransum terbakar habis dan keadaan menjadi kacau yang berarti dia akan kalah.
"Begitu mudah. apa kau kira Siok Beng Hui begitu tolol dan mempercayai suratku?"
"Mengapa tidak? Siok Beng Hui sudah kukenal baik dan aku tahu betul bahwa sebenarnya dia amat kagum kepadamu dan amat segan. Karena itu, aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa suratmu yang dibawa oleh puteramu sendiri pasti akan dipercayainya." Gan Lee Kong tidak menjawab lagi. Beberapa lama ia mengelus-elus jenggotnya. "Biarkan aku berpikir.. Ang Sinshe, biarkan bocah she Oei ini
bermalam di sini, jaga baik-baik, layani baik-baik akan tetapi jangan sampai dia lari. Eh, orang she Oei. Mengapa kau mengatur semua siasat ini untukku? Apa keuntunganmu?"
"Aku hanya menuntut sebuah hadiah, yaitu calon mantu Siok Beng Hiu, kalau sudah tiba di sini menjadi bagianku." Gan Lee Kong menggeleng-geleng kepala.
"Kau... kau setan cilik!" Akan tetapi Lee Ing hanya tersenyum lalu tinggalkan ruangan itu dengan tenang, diantar oleh Ang Sinshe menuju ke kamarnya yang sudah disediakan.
Setelah mengadakan perundingan masak-masak dengan puteranya dan pembantu-pembantunya, akhirnya Gan Lee Kong menjalankan siasat pemuda Oei Hong itu. la menulis sepucuk surat dialamatkan kepada Siok Beng Hui, menyatakan bahwa karena ransumnya sudah mulai habis, terpaksa ia menyerah. Akan tetapi, demikian tulisnya dengan nada angkuh, ia hanya mau menyerah kalau Siok Beng Hui sendiri datang menjemput ke dalam kota tanpa pengawal, kecuali anak mantunya sebagai pelayan dan beberapa orang bujang.
Demikianlah, pada keesokan harinya pintu gerbang kota dibuka sedikit dan seorang penunggang kuda membawa bendera putih menggebrak kudanya keluar dari pintu gerbang yang segera ditutup kembali. Penunggang kuda ini adalah Gan Kun yang membawa surat ayahnya. Setibanya dibarisan musuh, ia lalu dijemput dan diantarkan ke markas Siok Beng Hui. Siok Beng Hui yang tahu bahwa pemuda gagah ini adalah putera jenderal Gan Lee Kong, menerimanya dengan ramah dan dapat dibayangkan betapa girang hati Siok Beng Hui membaca surat Jenderal Gan itu.
Tahulah ia bahwa tugas yang dijalankan oleh Lee Ing telah berhasil baik sekali. Akan tetapi ia mengerutkan keningnya ketika membaca bagian yang minta supaya ia diantar oleh mantu perempuannya. Ini tidak ada dalam rencana tugas Lee Ing, pikirnya, la tidak tahu bahwa Lee Ing sengaja mengatur demikian selain untuk mempertebal kepercayaan Jenderal Gan, juga untuk menambah kawan yang kuat.
"Baiklah, sampaikan kepada ayahmu yang terhormat bahwa siang nanti aku akan datang menjemputnya di dalam kota An yang. Kau boleh pulang lebih dulu," jawabnya kepada Gan Kun yang segera membalapkan kudanya kembali ke kota.
Siok Beng Hui cepat mengatur persiapan dan merundingkan dengan Siok Bun, Siok Ho dan lain lain panglima. Siok Bun dan beberapa orang panglima yang boleh diandalkan kepandaiannya, di antaranya sebagian besar anggauta Tiong-gi-pai menyamar sebagai pelayan yang membawa peti- peti terukir dan ditutup kain sutera seperti biasanya orang mengirim upeti, sedangkan Siok Ho berdandan indah untuk mengatarkan calon ayah mertuanya.
Demikianlah, menjelang tengah hari kembali pintu gerbang dibuka setelah para penjaga kota An yang melihat datangnya rombongan itu. Tentu saja sebelumnya diadakan pengawasan teliti, akan tetapi Siok Beng Hui hanya diiringkan oleh seorang nona cantik dan di belakangnya, rombongan pelayan terdiri dari dua belas orang yang memikul barang-barang sumbangan dan mereka ini sama sekali tidak membawa senjata. Keadaannya sama sekali tidak mencurigakan, maka Gan Lee Kong yang melakukan pengintaian sendiri dari atas memperbolehkan pintu gerbang dibuka.
Jenderal Gan Lee Kong menerima rombongan itu di dalam ruangan besar, di mana dengan angkernya ia duduk di atas kursi berpakaian lengkap dikawal puteranya dan Ang Sinshe serta beberapa orang panglima lainnya. Oei Hong, pemuda yang mengatur siasat baginya, juga berada di luar ruangan untuk menyergap begitu ia memberi tanda.
"Aha, saudara Siok Beng Hui, selamat datang di An-yang!" demikian sambutan Jenderal Gan dengan suaranya yang nyaring. "Mulai detik ini kau menjadi tawanan kami sebagai jaminan supaya pengepungan kota ini dibuka!" Sambil berkata demikian ia meloloskan golok besarnya. Inilah isaratnya dan Gan Kun serta semua panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Siok Beng Hui pura-pura terkejut. "Eh, Gan-goanswe mengapa bersikap begini? Kami datang memenuhi suratmu dan kami bermaksud baik. Lihat saja kami sudah membawa barang berharga untuk goanswe. Apapun yang dikehendaki goanswe biarlah aku lebih dulu menyelesaikan tugasku menyampaikan barang sumbangan." Ia memberi tanda kepada para "pelayan" yang segera menurunkan pikulan dan membuka peti-peti itu.
Oei Hong, pemuda yang tersenyum-senyum itu melangkah maju dan menarik tangan Siok Ho. "Gan- goanswe. nona ini adalah kekasihku, sekarang sudah kembali kepadaku. Terima kasih atas bantuanmu!" Gan L.ee Kong hanya tertawa saja dan membiarkan Oei Hong menarik tangan Siok Ho yang kelihatannya mandah saja dipeluk oleh "pemuda" itu. Padahal diam-diam Siok Ho meloloskan dua batang pedang yang ia sembunyikan di bawah pakaiannya, sebatang adalah Li-lian-kiam dan yang sebatang lagi pedangnya sendiri.
Pada saat peti peti itu dibuka, terjadilah keributan yang mendadak dan yang tak tersangka-sangka sama sekali oleh Gan Lee Kong dan anak buahnya. Bagaikan kilat cepatnya, para "pelayan" yang dua belas orang banyaknya itu masing-masing mengambil barang-barang dari dalam peti yang ternyata bukan lain adalah senjata-senjata mereka!
"Celaka!" seru Gan Lee Kong, akan tetapi cepat sekali Lee Ing dan Siok Ho sudah melompat dengan pedang di tangan. Lee Ing maklum bahwa yang paling berbahaya adalah Ang Sinshe, Gan Lee Kong, dan Gan Kun. Maka ia cepat menggunakan. Li-Han-kiam untuk menyerang Gan Lee Kong. Jenderal ini menangkis cepat, namun tangan kiri Lee Ing sudah menotok dan merobohkannya. Juga Siok Ho dan Siok Bun sudah menubruk Gan Kun dan membuatnya tidak berdaya.
Beberapa orang panglima maju, akan tetapi disambut anggauta-anggauta Tiong-gi-pai dan terjadi pertempuran hebat di dalam ruangan itu. Ang Sinshe marah sekali, akan tetapi ia mendapat lawan Lee Ing yang mengerjakan pedangnya cepat sekali, membuat Ang Sinshe kewalahan. Ujung lengan baju Ang Sinshe yang biasanya amat berbahaya itu kini tak banyak berdaya menghadapi gerakan pedang Lee Ing sehingga dalam belasan jurus saja sudah terbabat putus.
"Siok-twako, lekas buka pintu gerbang!" seru Lee Ing sambil mendesak Ang Sinshe, Seperti telah diatur dalam siasat mereka, Siok Bun diikuti Siok Ho dan yang lain-lain menyerbu keluar sambil berteriak-teriak,
"Jenderal Gan dan puteranya sudah tertangkap, tak perlu kalian melawan pula!" Mereka berlari sambil merobohkan setiap penghalang dan tak lama kemudian mereka sudah mengamuk di belakang pintu gerbang. Akhirnya mereka berhasil membuka pintu gerbang dan para pasukan yang sudah siap-siap di luar, melihat dibukanya pintu gerbang, dengan sorakan riuh menyerbu maju. Terjadilah perang hebat.
Penjaga-penjaga di atas tembok mencoba menahan serbuan ini dengan anak panah dan batu, akan tetapi karena pintu gerbang sudah terbuka, para penyerang tidak mengenal takut. Mereka terus menyerbu tanpa memperdulikan jatuhnya kawan-kawan dan akhirnya bobollah pertahanan kota An- yang. Ang Sinshe akhirnya harus mengakui keunggulan Lee Ing. Ia roboh dengan dada tertusuk pedang, napasnya empas-empis dan ia menggeletak bersama Jenderal Gan dan yang lain-lain. Setelah Jenderal Gan dibebaskan totokannya oleh Lee Ing, ia memandang pemuda ini dengan mata mendelik. "Jahanam pengecut! Tidak tahunya kau memang mata-mata Siok Beng Hui. Sayang aku sampai dapat tertipu oleh seorang iblis licik semacam kau."
"Gan-goanswe, dia itu adalah nona Souw Lee Ing, puteri tunggal Souw-taihiap. Dia hanya menjalankan tugas yang diatur oleh The-taijin," kata Siok Beng Hui membela Lee Ing.
Gan Lee Kong makin membelalakkan matanya, lalu menarik napas panjang.
"Yung Lo dibantu orang-orang pandai, bagaimana ia tidak akan berhasil? Aku sudah tua, tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, hidup lebih lama lagi untuk apa?" Setelah berkata demikian, jenderal tua ini menggigit sendiri lidahnya sampai putus dan ia roboh tak bernyawa lagi. Gan Kun menggigit bibir menyaksikan peristiwa ini. la tidak menangis, hanya air matanya mengalir turun dan mukanya menjadi pucat.
Karena jenderal dan puteranya berada dalam kekuasaan Siok Beng Hui dan kawan-kawannya, maka para panglima dan tentara musuh tidak berani lancang menyerang mereka yang berada di dalam ruangan itu. Perang terjadi amat kejam dan cepat dan berakhir di sore hari. Sebagian besar bala tentara penjaga An-yang tewas dan yang lain-lainnya kabur ke selatan atau ditawan.
Atas pertolongan Siok Beng Hui, kelak Gan Kun diampuni, malah diberi kedudukan oleh Kaisar Yung Lo yang tahu mempergunakan orang pandai. Setelah selesai menduduki An-yang dan memulihkan keadaan di kota itu menjadi aman kembali, Siok Beng Hui memimpin pasukan-pasukannya terus menuju ke selatan. Dalam serangan-serangan selanjurnya,jasa Souw Lee Ing amat besar, di samping bantuan Siok Bun dan Siok Ho.
Ternyata Lee Ing membuktikan dirinya sebagai seorang patriot wanita sejati, tidak kecewa menjadi puteri tunggal Souw Teng Wi, pahlawan rakyat yang terkenal itu. Akan tetapi, sering kali Siok Ho mendapatkan gadis itu duduk termenung dan dua butir air mata membasahi pipinya. Tahulah Siok Ho bahwa Lee Ing terkenang kepada Liem Han Sin dan gadis inipun ikut bersedih.
Waktu berjalan amat cepatnya. Dua tahun terlewat semenjak perang dimulai. Bala tentara Beng- tiauw yang mencoba mempertahankan kekuasaan lama, makin lama makin mundur dan serbuan bala tentara dari utara makin mendesak maju ke selatan.
Dalam sebuah pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang bermusuhan, di antara para tawanan yang terluka hebat, Siok Beng Hui melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu bukan lain adalah Pek Ke Cui, orang bermuka seperti katak yang berpedang ular. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pek Ke Cui adalah murid dari Im-kan Hek-mo dan dahulu bersama Gak Seng Cu murid Tok-pi Sin-kai, Pek Ke Cui ini pernah menyerang Siok Beng Hui kemudian dikalahkan oleh Lee Ing.
Berbeda dengan Gak Seng Cu yang tidak mau mencampuri perang, adalah Pek Ke Cui kena dibujuk oleh golongan selatan sehingga la ikut membantu. Akhirnya ia terluka dan tertawan oleh pasukan Siok Beng Hui dan berhadapan dengan bekas kawan ini dalam keadaan terluka parah. Dadanya ditembusi anak panah dan pahanya hampir putus oleh sabetan pedang. Napasnya Sudah empas- empis ketika ia diperiksa oleh Siok Beng Hui. Siok Beng Hui juga telah diberi tahu oleh Siok Bun tentang Han Sin dan tentang kedukaan hati Lee Ing karena selalu memikirkan Han Sin. Maka ketika melihat Pek Ke Cui, ia lalu bertanya, "Saudara Pek, keadaanmu sudah payah. Sebelum kau meninggalkan dunia ini, mengingat akan hubungan guru-guru kita, maukah kau memberi keterangan sedikit kepadaku?"
Pek Ke Cui' menganggukkan kepalanya lalu berkata dengan suara lirih, "Sudah banyak kesalahanku, yang terakhir kena bujuk, tidak tahunya pemerintah isinya barang-barang busuk, seperti menteri durna. Patut suhu marah-marah dan mencari-cariku.." Ucapannya sudah setengah mengigau, tubuhnya panas sekali.
"Saudara Pek, kau yang datang dari kota raja selatan. Apakah kau tahu tentang diri seorang bernama Liem Han Sin, yang setahun yang lalu ditawan oleh kaki tangan Auwyang Peng?"
"Auwyang Peng..... manusia busuk... orang lain disuruh perang dia sendiri menyembunyikan harta bendanya, tahu-tahu sudah meletakkan jabatan pindah ke dusun.. pengecut busuk. "
"Tahukah kau di mana adanya orang bernama Liem Han Sin yang ditahannya?" Siok Beng Hui mendesak.
Akan tetapi keadaan Pek Ke Cui sudah payah, ia hanya menggeleng-geleng kepala dan mengoceh tentang pembesar-pembesar korup di kota raja selatan. Tak lama kemudian ia menghembuskan napas terakhir. Malamnya Siok Beng Hui menceritakan kepada Lee Ing tentang pembicaraannya dengan Pek Ke Cui.
"Ternyata bangsat besar Auwyang Peng dan kaki tangannya sudah meninggalkan kota raja dan mengungsi ke dusun," katanya.
"Tentu ke dusun Ki-chun, si pengecut itu!" kata Siok Bun gemas.
"Ke manapun juga dia pergi, akan tiba saatnya aku membalaskan dendam Kun-lun-pai kepada Tok- ong dan kawan-kawannya!" kata Siok Ho penuh dendam.
Lee Ing diam saja, mengerutkan kening. "Sayangnya dia tidak tahu tentang Liem-hiante " kata pula
Siok Beng Hui dengan hati-hati sekali agar jangan menyinggung perasaan Lee Ing. Juga kali ini Lee Ing diam saja.
Tiba-tiba Siok Bun menepuk-nepuk pahanya dan kelihatan girang. "Ah, mengapa aku sampai lupa? Setelah jahanam itu mengundurkan diri ke Ki-Chun, terbukalah jalan untuk menyerbu tempatnya dan membalas semua sakit hati! Nona Souw, dulu kau tidak berhasil menyerbu karena jahanam Auwyang itu masih tinggal di kota raja dan keadaan kota raja tentu saja terjaga kuat sekali dalam perang seperti ini. Sekarang dia sudah pindah ke Ki-chun, kita mendapat kesempatan baik. Siapa tahu kalau-kalau saudara Liem Han Sin juga ditahan di sana!"
Mendengar ucapan ini, baru tampak terbangun semangat Lee Ing. Akan tetapi ia masih ragu-ragu dan hanya bertanya, "Apakah kau pikir begitu?"
"Tentu saja, tepat kata-kata Bun-ko tadi, adik Lee Ing," kata Siok Ho girang.
"Mari kira bersama menyerbu ke sana, sudah gatal-gatal tanganku hendak memberi rasa kepada jahanam Auwyang itu."
"Aku juga akan menyertai kalian," kala Siok Bun tanpa berpikir panjang karena merasa gembira. Lee Ing menoleh kepada Siok beng Hui dan berkata, "Siok-lopek, bagaimana pendapatmu, kalau aku pergi ke selatan mencari jahanam Auwyang apakah kau tidak keberatan? Apakah tenagaku masih amat dibutuhkan di sini?"
Siok Beng Hui menarik napas panjang. Tentu saja ia amat membutuhkan tenaga Lee Ing, akan tetapi iapun maklum bahwa gadis ini pergi bukan semata-mata hendak mencari Auwyang Peng dan kaki tangannya, melainkan terutama sekali hendak mencari Han Sin.
"Pergilah, anakku, pergilah kalau kau menghendaki demikian. Tentu saja bantuanmu di sini tak ternilai harganya, akan tetapi kau sudah cukup membantu, lagi pula pada waktu ini kita tidak menghadapi musuh tangguh. Kalau kau berniat ke selatan, berangkatlah sekalian kau selidiki keadaan musuh di sana!"
"Ayah, aku dan dia inipun ingin menyertai nona Souw," kata Siok Bun menuding kepada kekasihnya.
Siok Beng Hui mengerutkan keningnya. "Sebetulnya tugasmu belum selesai, kalau semua pergi..." akan tetapi ia lalu memandang kepada calon mantunya dan akhirnya berkata, "Baiklah, kalau kalian hendak pergi bersama nona Lee Ing, akupun tidak keberatan."
Lee Ing tidak banyak cakap pada malam hari tu, malah sore-sore ia sudah memasuki kamarnya dan tidur, akan tetapi ketika pada keesokan harinya semua orang mencarinya, nona itu ternyata sudah tidak berada lagi di dalam kamarnya. Yang ada hanya tulisannya di atas sehelai surat yang ditujukan kepada Siok Bun dan Siok Ho. Surat itu singkat saja,begini bunyinya:
"Biar aku pergi sendiri, kalian harus membantu Siok-lopek di sini. Sampai berjumpa kembali." Demikianlah bunyi surat itu dan Siok Bun bersama kekasihnya hanya dapat saling pandang dan menarik napas panjang.
"Memang dia betul sekali. Perjuangan belum selesai. Kalau kita berdua pergi bersama Lee Ing, bagaimana dengan ayah? Dia memerlukan bantuan kita apa lagi setelah Lee Ing pergi."
Siok Ho hanya mengangguk, akan tetapi kemudian berkata lirih, "Selain itu, mungkin Lee Ing menganggap bahwa kepandaian kita kurang tinggi. Memang, kalau di sana masih ada Tok-ong dan kawan-kawannya, kita takkan dapat membantu Lee Ing, malah merepotkan saja..."
Memang dugaan Siok Ho ini tepat sekali. Lee Ing maklum betapa besar bahayanya melakukan perjalanan ke selatan, apa lagi mencari orang macam Auwyang Peng yang dilindungi oleh orang- orang pandai. Kalau Siok Ho dan Siok Bun ikut, ia merasa kurang leluasa.
Lee Ing melakukan perjalanan lewat tengah malam menjelang fajar. Ia mengenakan pakaian pria dan melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan seluruh kepandaiannya dan andaikata ada orang yang melihat dia keluar malam hari itu, tentu orang itu tidak mengira bahwa bayangan yang berkelebat itu adalah bayangan orang.
Melakukan perjalanan pada waktu perang sedang hangat-hangatnya memang tidak mudah. Apa lagi di daerah perbatasan. Beberapa kali Lee Ing ditahan dan disangka mata-mata. Akan tetapi berkat kepandaiannya, selalu ia dapat meloloskan diri dan setelah ia tiba di dekat Nan-king, dia tidak pernah mengalami gangguan lagi. Apa lagi dia berpakaian pria dan kelihatan seperti seorang kongcu yang sedang melarikan diri ke selatan menjauhi perang. Tidak ada orang yang mencurigainya. Namun demikian, Lee Ing tidak berani coba-coba memasuki kota raja, karena berbeda dengan tempat-tempat lain, di kota raja dilakukan penjagaan amat keras dan setiap orang yang masuk ke kota raja tentu selalu diawasi dan dicurigai, kecuali mereka yang sudah dikenal dan mempunyai hubungan keluarga dengan penduduk kota.
Lee Ing mengambil jalan memutar, menyeberangi Sungai Huai dan Sungai Yang-ce dan mengambil jalan di sebelah barat An-hwei lalu membelok ke timur memasuki Propinsi Cekiang. Karena sebelumnya ia sudah minta keterangan sejelasnya tentang letak dusun Ki-chun kepada Siok Beng Hui yang pembantunya banyak orang-orang selatan, maka kini Lee Ing tidak bingung-bingung lagi. Hanya dua tiga kali ia bertanya jalan pada kaum tani dan akhirnya ia memasuki dusun Ki-chun.
Lee Ing berlaku hati-hati sekali, tidak langsung memasuki dusun itu di waktu siang, la bersembunyi di luar dusun dalam sebuah hutan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba, ia memasuki dusun dengan jalan sembunyi. Dengan cermat la memeriksa keadaan dusun itu. Ternyata dusun itu cukup makmur, dengan penghasilan penduduknya dari dua sumber, yaitu menggarap tanah dan memungut hasil laut. Banyak rumah besar di dusun Itu, akan tetapi di antaranya terdapat sebuah gedung baru yang seperti istana.
Berdebar hati Lee Ing ketika ia bersembunyi di tempat gelap memandangi gedung itu. Kalau betul Auwyang Peng tinggal di dusun ini, tentu gedung inilah tempat tinggalnya, demikian pikirnya. Akan tetapi ia tidak berani berlaku lancang. Ia takkan mau menyerbu sebelum yakin benar bahwa rumah itu betul tempat tinggal musuhnya. Cepat ia meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam hutan lalu beristirahat di atas pohon. Pada keesokan harinya, ia sengaja mencegat seorang petani tua yang lewat di pinggir hutan. Tentu saja petani itu kaget melihat seorang pemuda asing di tempat itu.
"Lopek," Lee Ing memberi hormat, ‘'harap lopek sudi menolongku. Aku datang dari An-hwei dan hendak mencari seorang pamanku yang kabarnya sudah mengungsi di dusun Ki-chun ini. Pamanku itu she Liok, apakah betul dia pindah ke sini?"
"She Liok...? Memang banyak orang pindah ke sini, pembesar-pembesar dan x hartawan-hartawan, akan tetapi kurasa tidak ada yang she Liok." Kakek itu mengerutkan kening, berpikir-pikir.
"Betul, tidak ada yang she Liok, orang muda." Lee Ing memperlihatkan muka kecewa. "Sayang sekali. Pamanku itu pindah dari kota raja, kabarnya dengan banyak kawan-kawannya dari kota raja pula."
"Memang banyak pembesar-pembesar kota raja. Kalau begitu, lebih baik kau bertanya saja kepada mereka yang datang dari kota raja."
"Mereka itu siapa saja, lopek? Orang-orang She apa? Barangkali saja ada yang kukenal." "Ada she Thio, ada she Gui, ada pula bekas menteri she Auwyang "
"Nah, bekas menteri itu barangkali aku kenal. Bukankah dia bernama Auwyang Peng dan puteranya bernama Auwyang Tek?"
"Betul," jawab kakek itu singkat dan keningnya berkerut seperti orang tak senang, la lalu menggerakkan kaki hendak pergi.
"Nanti dulu, lopek. Di mana rumah Auwyang-taijin itu?"
"Di mana lagi kalau bukan di istana paling indah itu. " jawab kakek itu sambil ngeluyur pergi. Lee Ing girang sekali. Tidak salah dugaannya, rumah gedung itulah tempat tinggal musuh besarnya. Kelihatannya malam tadi sepi-sepi saja, akan tetapi ia harus berlaku hati-hati. Siapa tahu kalau-kalau bekas menteri durna itu memasang perangkap dan bersiap sedia menanti penyerbuan musuh. Kali ini ia tidak boleh gagal. Kalau mereka tidak bisa mengeluarkan han Sin dalam keadaan sehat, mereka akan tahu rasa! Sehari itu Lee Ing tidak mau memperlihatkan diri kepada Umum.
la bersembunyi saja di dalam hutan dan makan roti kering yang memang dibawanya sebelum ia memasuki dusun Ki-chun. Setelah malam tiba dan keadaan menjadi gelap, barulah ia bertukar pakaian, la hendak terang-terangan menghadapi Auwyang-Taijin dan kaki tangannya, tidak perlu lagi menyamar, la hendak melunasi kontan semua hutang-pihutang dengan Auwyang Peng sekaki tangannya. Harus selesai dan beres pada malam
hari ini juga! Kemudian mulailah ia memasuki dusun itu dan berjalan di dalam bayangan yang gelap.
Setelah tiba di depan gedung besar itu, ia menyelinap dan mempergunakan kepandaiannya untuk melompat ke atas pohon besar yang tumbuh di sebelah kiri gedung, la berjongkok di atas cabang pohon sambil mengintai. Rumah itu diterangi banyak lampu, akan tetapi penerangan yang menyorot keluar dan ruangan belakang adalah penerangan yang paling besar, la menanti beberapa lama sambil melamun. Terbayang semua pengalamannya dahulu, betapa ia diculik Mo Hun dan hampir celaka di tangan iblis itu.
Betapa ayahnya dibikin buta dan disiksa oleh Tok-ong Kai Song Cinjin. Betapa jahatnya Auwyang Tek bersama kaki tangannya dan betapa kekasihnya, Liem Han Sin. juga celaka di tangan kaki tangan menteri durna itu. Teringat akan ini semua, Lee Ing menggigit bibirnya dan hatinya panas bukan main. Tangan kanannya meraba-raba gagang pedang dan kalau orang melihat sinar matanya, tentu akan kaget dan takut. Sinar mata itu seakan-akan mengeluarkan api. seperti mata harimau di tempat gelap mencorong!
Menjelang malam, setelah suasana di sekeliling tempat itu sunyi benar, baru terdengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di sebelah belakang gedung itu, dan Lee Ing dapat menduga adanya beberapa orang yang sedang mengobrol di dalam ruangan yang paling terang. Cepat ia melompat dari cabang pohon itu ke atas genteng, la amat berhati-hati, mengerahkan ginkangnya sehingga ketika kedua kakinya menginjak genteng, hanya menimbulkan suara tidak lebih berisik dari pada kalau ada sehelai daun kering rontok ke atas genteng itu.
Setelah tiba di atas genteng ruangan itu dan mengintai ke bawah, Lee Ing mengertak gigi dan matanya bersinar-sinar. Lengkap semua musuh-musuhnya duduk menghadapi meja hidangan di dalam ruangan itu. Auwyang Peng yang tinggi kurus duduk di kepala meja, pakaiannya mewah dan sikapnya masih seperti seorang menteri tulen.
Di kirinya duduk Auwyang Tek, pemuda pesolek yang masih kelihatan kesombongannya. Di sebelah kanan bekas pembesar duduk Tok-ong Kai Song Cinjin, lalu Toat-beng-pian Mo Hun dan Ma-thouw koai-tung Kui Ek dan paling akhir Yokuto, hwesio dari Jepang itu. Mereka semua menghadapi meja besar yang penuh hidangan. Enam orang pelayan muda dan cantik-cantik melayani mereka. Dari atas genteng saja Lee Ing sudah mencium bau arak wangi. Semua nampak gembira sekali.
"Apakah perahu-perahunya sudah siap semua?" terdengar Auwyang Peng mengajukan pertanyaan kepada Yokuto di antara- gelak tawa mereka.
"Sudah, sudah siap. Sewaktu-waktu kalau taijin hendak berangkat, tinggal memasang layar saja," jawab orang Jepang itu. "Sebetulnya aku tidak senang harus bersembunyi di pulau kosong itu." kata pula Auwyang Peng.
"Tidak apa, ayah. Hanya untuk sementara waktu. Kalau perang sudah berakhir dan keadaan aman betul, kita bisa pindah lagi ke kota besar dan hidup tenteram. Sementara itu, dengan adanya suhu dan para locianpwe yang mengawani kita, siapa orangnya yang berani mengganggu?" kata Awyang Tek sambil minum araknya.
Kau betul.. kau betul hayo tambah arak lagi, kita harus makan minum sepuasnya untuk mengantar
keselamatan pelayaran kita besok pagi-pagi."
Lee Ing berdebar hatinya. Tak salah lagi, pembesar korup ini tentu merasa kurang aman di dusun ini dan bersama kaki tangannya hendak bersembunyi ke seberang laut, ke pulau kosong, tentu saja membawa serta harta benda hasil korupsinya.
"Semua gara-gara gadis siluman itu, sampai-sampai terpaksa kita mesti menyembunyikan diri," kata pula Auwyang Peng.
"Aaah, gadis seperti itu apa sih artinya?" Yokuto menyombong. "Kalau dia berani muncul, serahkan saja kepada pinceng, akan pinceng tangkap dan ikat seperti Orang mengikat ayam."
"Ha-ha-ha, tapi jangan dibunuh, Yokuto suhu, berikan padaku!" kata Auwyang Tek tanpa malu-malu lagi, biarpun ayahnya berada di situ.
Lee Ing menggigit bibir, tak dapat ia menahan lagi kemarahannya. "Brak!" genteng diinjaknya pecah dan ia melompat turun ke dalam ruangan itu, sengaja ia melompat turun di atas meja di depan mereka! Tentu saja semua orang menjadi kaget setengah mati. Auwyang Peng sampai menjadi pucat dan berteriak. "Ayaaaaaa..!"
"Manusia-manusia anjing, aku Souw Lee Ing sudah datang hendak menuntut balas! Tok ong iblis gundul, kau mau maju satu-satu ataukah mukamu sudah begitu tebal untuk mengeroyokku?"
Tok-ong tak sempat menjawab. Sebagai seorang tokoh besar tentu saja ia merasa malu mengeroyok dan untuk menghadapi Lee Ing iapun tidak takut, percaya penuh akan kepandaiannya sendiri yang selama ini terus ia latih dan tambah.
"He, anjing gundul kate, kau tadi hendak menangkap dan mengikatku seperti ayam. Hayo lekas lakukan, hendak menunggu apa lagi?" Lee Ing menudingkan telunjuk ke arah hidung Yokuto.
Dihina seperti itu, Yokuto marah sekali. Di Jepang dia terkenal sebagai seorang guru besar yang pandai ilmu silat dan ilmu tangkap (yudo). Biarpun ia maklum bahwa Negara Tiongkok jauh lebih besar dari pada negerinya dan mempunyai banyak sekali orang pandai sehingga kepandaiannya sendiri tidak ada artinya, namun menghadapi seorang gadis muda seperti Lee Ing tentu saja ia tidak gentar. Melihat gadis itu menudingkan telunjuk di depan hidungnya, secepat kilat ia lalu menyambar tangan gadis itu dan di lain saat pergelangan tangan Lee Ing telah digenggamnya erat erat!
Auwyang Tek berseru, "Bagus!!" dan menjadi girang sekali. Juga ayahnya, Auwyang Peng kelihatan gembira karena jagonya sudah dapat menangkap pergelangan tangan gadis musuhnya itu. Tok-ong Kai Song Cinjin tersenyum dan kawan-kawannya juga nampak gembira. Sebaliknya, enam orang pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar cepat-cepat mengundurkan diri, berlari-lari di atas kaki-kaki mereka yang kecil itu ke sebelah belakang. Akan tetapi, kalau tadi Yokuto dapat menangkap pergelangan tangan Lee Ing, bukanlah karena Yokuto terlalu cepat bagi Lee Ing. Sesungguhnya adalah Lee Ing sendiri yang sengaja tidak mengelak malah menggunakan tangan yang diulur tadi sebagai umpan pancing. Ketika Yokuto menangkap tangannya, ia menganggap pancingannya berhasil. Dengan pengerahan Iweekangnya yang luar biasa, ia menyendal tangannya dengan gerakan mendadak dan... tubuh Yokuto tertarik ke atas!
Yokuto memekik keras, akan tetapi dengan gaya indah Lee Ing sudah mengayun tubuh jago kate itu sehingga kepala yang gundul berada di bawah dan kakinya di atas. Sebelum Yokuto sempat mempertahankan diri, Lee Ing sudah membanting tubuh itu dan..."cepp.....!!" kepala gundul itu tepat sekali masuk ke dalam kwali besi tempat bubur panas. Lucu sekali keadaan jago Jepang itu. Tinggal kaki dan tangannya saja bergerak-gerak, kepalanya tergodok ke dalam bubur panas.
"Setan!" Auwyang Peng memukul-mukul meja dan Mo Hun sudah bangkit dari duduknya, menjura kepada Auwyang Peng sambil berkata, "Taijin, ijinkan hamba menghajar siluman ini!"
Auwyang Peng mengangguk dan "tar tar-tar!" cambuk kelabang di tangan Mo Hun menjetar-jetar dan menyambar-nyambar ke arah Lee Ing yang masih berdiri di atas meja. Lee Ing menendang tubuh Yokuto yang sudah berkelojotan dan.. tak dapat dicegah lagi tubuh itu menjadi korban pukulan- pukulan Toat-beng-pian (Cambuk Pencabut Nyawa) yang dipergunakan Mo Hun untuk menyerang. Tanpa dapat menjerit lagi karena kepalanya terpendam dalam bubur, Yokuto terlempar dan roboh dengan tubuh rusak, dan tewas di saat itu juga.
"Iblis pemakan otak, kau ke sinilah kalau berani!" Lee Ing mengejek sambil melompat turun dari atas meja. Mo Hun memutar piannya dengan kemarahan meluap-luap, la sudah tahu akan kelihaian Lee Ing, akan tetapi ia masih mengandalkan kepandaiannya sendiri dan senjatanya yang jarang gagal, apa lagi di situ banyak teman-temannya, hatinya menjadi besar. Dengan gerengan seperti seekor singa kelaparan, Mo Hun menubruk maju dan pian di tangannya itu sekaligus melakukan tiga macam serangan. Pertama menghajar kepala disusul sabetan pada leher dan sodokan ke arah perut.
"Tak perlu kau berlagak dengan pianmul" Lee Ing mengejek sambil menggerakkan tubuhnya dengan cara aneh ke kanan kiri dan semua serangan itu mengenai tempat kosong. Sementara itu diam-diam Tok-ong Kai Song Cinjin sudah memberi isyarat kepada Kui Ek untuk maju membantu Mo Hun. Kui Ek tidak berahi membantah Memang iapun merasa lebih tabah kalau mengeroyok, karena tahu bahwa kalau ia melawan seorang diri, tak mungkin ia menang. Tanpa banyak cakap lagi ia melompat ke depan dan tongkatnya yang panjang itu mengimbangi permainan cambuk Mo Hun, merupakan serangan yang ampun dan berbahaya.
Lee Ing tidak mau membuang banyak waktu. Dengan gerakan kilat sehingga tak dapat diikuti oleh pandangan mata, ia sudah mencabut Li-lian-kiam, pedangnya yang pendek dan tipis. Tampak sinar terang berkelebatan ketika ia mainkan pedangnya itu untuk menghadapi cambuk Mo Hun dan tongkat Kui Ek. Biarpun pedangnya hanya pendek dan tipis, namun berkat kegesitannya, sinar pedangnya melebar dan memanjang, tidak saja dapat menangkis semua serangan senjata dua orang lawannya, malah masih dapat mengurung dan membuat dua orang kosen itu kewalahan.
Yang hebat, sinar pedang itu di tangan Lee Ing sebentar mengandung hawa panas dan tiba-tiba berubah dan mengandung hawa dingin. Inilah daya tenaga Im-kang dan Yang-kang yang dimajukan secara berganti-ganti untuk membuyarkan pengerahan tenaga lawan. Hanya seorang yang sudah memiliki sin-kang (hawa sakti) dalam tubuh setinggi Lee Ing saja yang akan dapat mempergunakan dua macam hawa yang bertentangan itu sekehendak hatinya dan secara berganti-ganti. Mo Hun dan Kui Ek, dua orang jago yang banyak pengalamannya dalam pertempuran, yang sudah membunuh entah berapa banyak musuh, sekarang menjadi bingung sekali menghadapi amukan Lee Ing, murid Gua Siluman itu. Dalam jurus ke tiga puluh saja, ujung pedang Lee Ing sudah membabat putus ujung cambuk Mo Hun dan pundak Kui Ek sudah berdarah karena ’"tercium" ujung sinar pedang Li-lian-kiam. Patahlah semangat dua orang itu dan mereka mulai kacau gerakan-gerakan mereka.
Melihat ini, kecutlah hati Auwyang Peng. Ia memberi isyarat kepada Tok-ong untuk maju. Tok-ong di dalam hatinya girang, karena melihat permainan Lee Ing, iapun akan lebih merasa aman kalau maju bersama Kui Ek dan Mo Hun. Akan tetapi untuk menutupi malunya, ia berkata keras-keras.
"Sebetulnya tak perlu mengeroyok, akan tetapi kalau taijin menghendaki, biarlah pinceng maju. Ji-wi sicu jangan kuatir, biar pinceng bantu tangkap siluman ini!" Setelah berkata demikian, Tok-ong Kai Song Cinjin menerjang maju dengan kebutan di tangan kiri dan tasbeh di tangan kanan. Gerakannya hebat sekali, mendatangkan angin berputar-putar.
"Bagus, sekarang lengkap musuh-musuhku!" Lee Ing berseru dan tiba-tiba tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri. Gadis ini telah mengeluarkan ilmu silatnya yang paling hebat, yaitu bagian-bagian paling sukar dari ilmu silat warisan gurunya. Saking cepatnya gerakan- gerakannya, kadang-kadang ia lenyap dan kadang-kadang ia kelihatan berdiri tak bergerak seperti pa-tung! Benar-benar ilmu silat yang aneh sekali sehingga Tok-ong Kai Song Cinjin sendiri sampai menjadi bingung dan tidak dapat menduga perubahan-perubahan yang terjadi dalam gerak-gerik gadis itu.
Karena maklum bahwa tiga orang musuhnya ini tak boleh dipandang ringan, Lee Ing mengumpulkan semangatnya dan tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan yang demikian nyaring dan aneh, jeritan yang seperti bukan keluar dari mulut seorang manusia, lebih patut keluar dari mulut seorang iblis. Tok- ong Kai Song Cinjin cepat-cepat mengeluarkan auman seperti singa karena ia merasa kedua tangannya gemetar ketika mendengar jerit itu. Kui Ek dan Mo Hun menjadi lumpuh seketika dan saat itu dipergunakan oleh Lee Ing untuk menggerakkan pedang dan tangan kirinya.
Dalam saat hampir bersamaan, leher Mo Hun putus oleh pedang Li-lian-kiam, kepalanya menggelinding di pojok dan dari lehernya muncrat darah segar, sedangkan Kui Ek roboh binasa dengan dada pecah terkena pukulan tangan kiri gadis itu yang menggunakan Iweekang sepenuhnya. Bukan kepalang kagetnya hati Tok-ong Kai Song Cinjin melihat kejadian ini. Tak tersangka-sangka sama sekali bahwa gadis itu dapat bergerak secepat itu. la menjadi panik dan dalam keadaan terdesak, ujung pedang Li-lian-kiam sudah mendekati lehernya. Tok-ong berseru keras dan menge- butkan lengan bajunya untuk menangkis.
"Brett!" ujung lengan bajunya terpotong oleh pedang dan masih saja ujung pedang itu menikam leher. Cepat Tok-ong melempar diri ke belakang dan bergulingan menjauhi Lee Ing. Pada waktu itu, Auwyang Peng yang melihat tewasnya Kui Ek dan Mo Hun, cepat pergi bersama puteranya hendak melarikan diri.
"Bangsat rendah, hendak lari ke mana?" Lee Ing untuk sesaat tidak memperdulikan Tok-ong dan sebaliknya ia melompat cepat sekali mengejar Auwyang Peng dan Auwyang Tek yang hendak lari melalui pintu samping. Gerakan Lee Ing cepat bukan main sehingga lompatannya tadi membuat ia melewati kepala dua orang itu dan tahu-tahu ia sudah berdiri di hadapan mereka. Auwyang Peng menjadi pucat, sedangkan Auw-yang Tek yang melihat musuh besarnya sudah menghadang di depannya, menjadi nekat. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang Lee Ing dengan pukulan Hek-tok-ciang.
"Brett!" ujung lengan bajunya terpotong oleh pedang dan masih saja ujung pedang itu menikam leher.
"Plak! Plak!" Lee Ing menyambut pukulan dua tangan itu dengan telapak tangannya. Dua tangan bertemu dan akibatnya hebat. Auwyang Tek terjengkang mundur dan dari mulutnya menyembur darah hitam. Ia terkena pukulan Hek-tok tiang sendiri yang membalik ketika hawa pukulan itu terbentur dengan hawa pukulan Lee Ing yang jauh lebih kuat. Auwyang Tek roboh dan tewas di saat itu juga, tewas Oleh pukulan Hek-tok-ciang yang sudah membinasakan entah berapa banyak orang itu. Auwyang Peng memandang dengan mata terbelalak, kemudian tanpa malu-malu lagi pengecut ini menjatuhkan diri berlutut di depan Lee Ing.
"Nona... am.... ampunkan....... ampunkan aku yang sudah tua...!" hampir ia pingsan takutnya. Sikapnya ini tidak membuat Lee Ing menjadi kasihan, malah sebaliknya membuat gadis itu makin benci dan jijik. Sikap bekas menteri durna itu tiada ubahnya seekor cacing merayap rayap kepanasan.
"Bluk!" Sebuah tendangan membuat Auwyang Peng terjengkang. Sambil menangis saking takutnya, ia merayap dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seorang penjilat di depan kaisar.
"Hayo katakan di mana adanya Liem Han Sin?" bentak Lee Ing dengan suara keren.
"Oohhh.... dia.... dia...." bekas pembesar itu tak dapat melanjutkan kata-katanya saking gagapnya dan pada saat itu lantai di bawahnya telah basah semua! Benar-benar kelihatan sekali sifat pengecut yang amat hina dalam diri bekas pembesar koruptor bejat ini.
"Kauapakan dia? Hayo lekas bicara!" Lee Ing membentak lagi sambil menodongkan pedangnya di leher Auwyang Peng.
"Tidak.... tidak kuapa-apakan... dia.... dia diculik orang sebulan yang lalu...... lenyap dari kamar tahanan..."
"Awas kalau kau bohong!"
"Ti... tidak...." Pada saat itu, belasan batang anak panah menyambar ke arah Lee Ing. Gadis ini melompat ke atas dan..... "cap-cap!" sedikitnya empat batang anak panah yang tadinya ditujukan kepada Lee Ing mendapatkan sasaran di tubuh Auhryang Peng!
Tentu saja bekas pembesar korup ini berkelojotan dan mampus tak lama kemudian. Segala macam kemuliaan dan harta benda yang ia dapat dengan jalan korupsi dan menggencet rakyat, ternyata ia tinggalkan, tidak ia bawa serta ke neraka. Ketika Lee Ing memandang, ternyata yang melepaskan anak panah adalah para tukang pukul atau penjaga keamanan yang memang dipelihara oleh Auwyang Peng untuk menjaga keamanannya di kampung itu.
Lee Ing marah sekaii. Tubuhnya berkelebat dan tak lama kemudian terdengar pekik-pekik kesakitan dibarengi robohnya banyak orang penjaga. Yang lain-lain melarikan diri cerai-berai di malam gelap itu. Lee Ing celingukan, mencari-cari di mana adanya Tok-ong Kai Song Cinjin. Ketika tadi ia mengejar Auwyang Peng dan Auwyang Tek, Tok ong secara licik dan diam-diam lalu melarikan diri, setelah menyuruh penjaga-penjaga menghujankan anak panah. Lee Ing lalu menangkap seorang penjaga yang sudah terluka dan mengancamnya,
"Hayo katakan di mana adanya si gundul Tok-ong Kai Song Cinjin?" "Ham..... hamba..... ti... tidak tahu " penjaga itu berkata ketakutan.
Pikiran Lee Ing berputar. Ia teringajt akan pembicaraan mereka tadi tentang perahu-perahu yang hendak membawa mereka ke pulau kosong. "Hayo katakan di mana Auwyang Taijin menaruh perahu-perahunya yang hendak membawanya ke pulau!"
"Di... di pantai sebelah selatan. kira-kira tiga puluh li dari sini." Lee Ing menendang penjaga itu lalu
lari cepat-cepat menuju ke timur.
Menjelang pagi ia sampai di pantai laut, lalu ia berlari ke selatan di sepanjang pantai itu. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat ada lima buah perahu besar di pantai, siap untuk diberangkatkan. Dan alangkah girangnya ketika ia melihat seorang berkepala gundul berada di sebuah perahu. Tok-ohg Kai Song Cinjin berada di sana! Ia mempercepat larinya.
Agaknya Kai Song Cinjin juga sudah melihat kedatangannya karena perahu yang ditumpanginya segera bergerak ke tengah. Dengan bantuan tiga orang anak buah perahu, Kai Song Cinjin melarikan diri. Kakek gundul itu tertawa bergelak ketika melihat Lee Ing marah-marah di pinggir pantai.
Akan tetapi Lee Ing tidak putus harapan, la melompat ke atas sebuah perahu yang kosong. Biarpun belum berpengalaman benar, tetapi ia pernah menjalankan perahu bersama ayahnya ketika ia dan ayahnya dahulu merampas perahu bajak laut Sim Kang, la cepat mendayung perahu itu ketengah, lalu memasang layar. Perahunya meluncur cepat dan ia memegang kemudi, mengerahkan perahunya mengejar perahu Kai Song Cinjin!
Akan tetapi Lee Ing kalah pengalaman. Yang mengemudikan perahu di depan itu adalah tiga orang nelayan pandai, sedangkan dia tidak mempunyai pembantu dan cara ia memasang layar juga kurang sempurna. Baiknya, perahunya itu kosong sedangkan perahu kai Song Cinjin membawa muatan berpeti-peti, muatan yang berat karena terisi barang-barang berharga seperti emas dan perak. Karena inilah maka ia tidak tertinggal terlalu jauh.
Menjelang tengah hari, dua perahu yang berkejaran itu memasuki daerah yang berpulau. Sebentar saja Lee Ing kehilangan jejak perahu di depan, la menjadi jengkel sekali, juga penasaran. Sampai hampir senja ia berputaran di utara pulau-pulau itu, namun sia-sia saja. Tidak kelihatan perahu Kai Song Cinjin!
Karena sudah lelah, ia lalu minggirkan perahunya mendekati sebuah pulau yang terbesar, pulau yang subur tanahnya karena di situ penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika perahunya sudah menempel pantai, ia mengeluarkan seruan girang karena kini terlihatlah perahu Kai Song Cinjin, sudah diseret naik ke darat dan tertutup oleh pepohonan, pantas saja tidak kelihatan dari laut.
Cepat Lee Ing melompat dan lari cepat memasuki pulau berhutan itu.. Dan kembali ia tercengang karena dari jauh ia sudah mendengar orang bertempur. Makin dekat ia makin jelas mendengar seruan-seruan mereka dan kagetlah ia ketika terdengar pula hawa pukulan yang membuat daun- daun pohon berkerosakan seperti ada angin besar. Orang-orang pandai kiranya yang bertempur, pikirnya sambil mempercepat larinya.
Tiba-tiba ia berhenti dan memandang dengan bengong. Ternyata Kai Song Cinjin sedang sibuk sekali melayani serangan dua orang kakek yang menyerangnya secara aneh karena kakek yang pertama buntung kedua lengannya sedangkan yang kedua buta kedua matanya! Mereka itu bukan lain adalah Tok-pi Sin-kai dan Im-kan Hek-mo, dua orang tokoh besar persilatan yang dulu karena kalah olehnya lalu Tok-pi Sin-kai membuntungi lengan sendiri yang tinggal sebelah sedangkan Im-kan Hek-mo mencokel keluar kedua biji matanya! Sekarang dua orang kakek itu menyerang Kai Song Cinjin dengan hebat sekali.
Lee Ing kagum bukan main melihat cara Tok-pi Sin-kai bertempur. Biarpun kedua lengannya sudah buntung, hanya tinggal sebatas siku, namun dua lengan pendek ini masih dapat melakukan pukulan- pukulan hebat. Dan Im-kan Hek-mo yang kedua matanya sudah berlubang besar dan kosong itu, seperti tidak buta saja, menyerang dengan gerakan leluasa sekali. Celakalah Kai Song Cinjin karena terpaksa ia harus mengakui keunggulan dua orang kakek yang sudah menjadi penderita cacad itu! Dia, tokoh besar Tibet selama ini jarang menemui tandingan, sekarang kewalahan menghadapi serangan-serangan dua orang kakek yang buta dan buntung!
"Sin-kai dan Hek-mo, jangan mendesak pin-ceng. Kalau kalian mau, ambillah Semua harta di perahu itu!" kata Kai Song Cinjin terengah-engah kehabisan napas dan sudah lemas sekali.
"Ha-ha-ha, Tok-ong. Tempo hari kau mengandalkan keroyokan, maka dapat mengusir kami, sekarang rasakan pembalasan dua orang kakek cacad. Ha-ha!" Tok-pi Sin-kai tertawa mengejek.
"Ji-wi locianpwe, jangan biarkan dia lolos!" teriak Lee Ing dari jauh sambil berlari mendekat. Mendengar suara ini. Tok-ong menjadi pucat sekali.
"Celaka." teriaknya dan saking kagetnya ia berlaku lambat sehingga tongkat ular di tangan Im-kan Hek-mo dengan keras menusuk lambungnya disusul oleh dua pukulan lengan buntung Tok-pi Sin-kai.
"Aduhhhh. I" Tok-ong Kai Song Cinjin terhuyung-huyung. Pada saat itu Lee Ing sudah datang dekat.
Melihat ini, Tok-ong saking takutnya lalu melompat jauh sekali menjauhi gadis itu, tanpa melihat lagi ke mana ia melompat. Di lain saat terdengar jerit yang menyayat hati ketika tubuh Kai Song Cinjin yang sudah terluka berat itu meluncur ke dalam jurang yang amat dalam, untuk menemui maut dengan tubuh hancur tak berbekas lagi karena jurang itu dasarnya penuh batu-batu karang yang tajam meruncing!
Lee Ing menjenguk ke dalam jurang dan menarik napas panjang. Habislah semua musuh-musuhnya, terbalaslah semua sakit hati. Akan tetapi apa artinya semua itu kalau Han Sin tak dapat ia temukan? Teringat akan kekasihnya itu yang tak mungkin dapat ia jumpai kembali karena semua orang yang dulu menawannya kini sudah mati semua. Lee Ing menjatuhkan diri berlutut di atas tanah lalu menangis terisak-isak!
"Eh, eh. musuh tewas kok malah menangis. Aturan mana ini?" terdengar suara mencela di belakangnya, suara Tok-pi Sin-kai yang kecil nyaring.
"Nona, tangismu menyedihkan hatiku. Kenapa kau menangis? Coba kau ceritakan kepada kami. Tak pantas murid pandai dari Bu-Beng Sin-kun yang gagah perkasa menangis begini menyedihkan. apalagi sebagai puteri Souw Teng Wi. pantang menangis!" Im-kan Hek-mo juga mencela dengan suaranya yang parau besar. Dicela begitu, makin hebat tangis Lee Ing. Ia merasa sengsara, nelangsa, dan terharu.
"Ji-wi locianpwe tidak tahu," katanya terisak isak, "mereka itu, Tok-ong dan kawan-kawannya yang jahat... mereka telah menangkap Sin ko. sekarang mereka sudah mati semua, ke mana aku harus
mencari Sin-ko. ??"
"Ah, kiranya urusan yang kau tangisi hanya demikian sepele (sederhana), kalau hanya begitu saja, aku si buta masih dapat membantumu. " kata Im-kan Hek-mo. Mendengar ini Lee Ing melompat
bangun dan memegang tangan Iblis Hitam Akhirat itu.
"Locianpwe, harap jangan main-main. Benarkah kau dapat memberi petunjuk di mana adanya Sin- ko?"
"Nanti dulu," Tok-pi Sin-kai mencela, "nona Souw, apakah kau betul-betul cinta kepada Liem Han Sin?"
Saking tegang dan girang karena timbul harapan, Lee Ing sampai tidak memperhatikan bagaimana dua orang ini tahu bahwa yang ia panggil Sin-ko adalah Liem Han Sin. Mukanya menjadi merah sekali mendengar pertanyaan Itu, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab,
"Dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kuharapkan menjadi.... menjadi kawan
selamanya "
"Jadi kau mau berkorban apa saja demi keselamatannya?" tanya pula Tok-pi Sin-kai. "Aku bersedia! Biar berkorban nyawa sekalipun," jawab Lee Ing dengan isak ditahan.
"Bagus! Kalau begitu, kau ajarkan kepada kami pukulan-pukulan Bu-Beng Sin-kun yang terpenting, yang kau pakai mengalahkan kami tempo dulu. Kalau- kau meluluskan permintaan ini, baru kami hendak menjamin pertemuan kembali dengan Sin-komu itu."
Wajah Lee Ing berseri. "Betulkah? Locianpwe, jangan permainkan aku seorang gadis sengsara. Betulkah itu?"
"Kami sudah tua bangka hampir mampus, perlu apa main-main? Hayo lekas kau buka rahasia ilmu Bu-Beng Sin-kun yang mengalahkan kami."
"Baik, perhatikan sungguh-sungguh." Dengan jelas tanpa menyembunyikan sesuatu Lee Ing lalu bersilat, memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat peninggalan Bu-Beng Sin-kun yang ia pergunakan untuk mengalahkan dua orang tokoh itu. Tok-pi Sin-kai memandang penuh perhatian. Im-kan Hek-mo miringkan kepala untuk menangkap gerakan-gerakan itu dengan pendengarannya.
Sampai setengah hari ia memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu. Hari sudah terganti malam, akan tetapi dua orang kakek itu masih belum puas. Silih berganti mereka mengajak Lee Ing bertanding setelah mereka mempelajari gerakan-gerakan itu. Mula-mula mereka masih belum mampu mengalahkan Lee Ing, akan tetapi setelah berganti-ganti bertempur semalam suntuk, pada waktu fajar menyingsing akhirnya Lee Ing dapat mereka kalahkan!
"Sudah puaskah ji-wi sekarang?" tanya Lee Ing dengan lesu sambil merayap bangun dari tanah di mana ia tadi terjungkal. Tok-pi Sin-kai dan Im-kan Hek-mo tertawa bergelak-gelak. "Ha-ha-ha, Bu-Beng Sin-kun, pada saat-saat terakhir kamilah yang lebih unggul."
"Ji-wi locianpwe, aku telah memenuhi kehendak ji-wi, sekarang harap ji-wi memenuhi janji," kata Lee Ing penuh harapan. Ia mau melakukan segala permintaan dua orang kakek aneh itu karena memang merekalah harapannya terakhir untuk bertemu kembali dengan Han Sin.
"Boleh, boleh, akan tetapi kau harus berjanji dulu."
"Berjanji apa lagi?" tanya Lee Ing sambil memandang Im-kan Hek-mo yang berkata itu dengan tajam.
"Berjanji bahwa kelak kalau kau mempunyai putera, anakmu itu harus menjadi murid kami. Biar andaikata kami sudah mampus sebelum anakmu terlahir, kelak kau harus memberi tahu anakmu bahwa gurunya adalah Im-kan Hek-mo dan Tok-pi Sin-kai. Mengerti?"
Wajah I ee Ing menjadi makin merah. Aneh-aneh saja dua orang kakek ini. Sekarang ia tahu mengapa mereka memaksanya mengeluarkan ilmu silat yang mengalahkan mereka. Kiranya dua orang ini masih saja berwatak tak mau kalah dan biarpun sudah mati kelak, ingin nama mereka menduduki tempat tertinggi! Benar-benar pikiran kakek-kakek yang sudah berubah menjadi kanak-kanak lagi.
"Baiklah, aku berjanji."
"Nah, kalau begitu, kau masuklah ke dalam hutan ini, lurus saja sampai kau melihat sebuah bangunan kelenteng tua. Kau boleh tunggu di situ, kami pasti akan membawa Han Sin kepadamu."
Lee Ing tidak melihat lain pilihan lagi kecuali menurut. Hatinya berdebar tidak karUan dan dengan patuh ia berjalan menerjang hutan itu. Tiba-tiba datang angin ribut dan udara yang tadinya terang, matahari pagi yang sudah muncul tadi, sekarang menghilang lagi. Udara tertutup mendung, pohon- pohon hutan doyong seperti hendak menimpa Lee Ing, akan tetapi gadis itu seperti dalam mimpi berjalan terus ke depan. Akhirnya, betul saja ia melihat sebuah kelenteng tua di tengah hutan itu.
Debar jantungnya menghebat. Apakah dua orang kakek itu tidak menipunya? Betulkah mereka hendak datang membawa Han Sin padanya? Ia menengok ke belakang. akan tetapi belum kelihatan kakek itu mengejarnya. Lee Ing ragu-ragu dan hatinya tidak enak. Sampai berapa lama ia harus menunggu? Udara makin gelap dan dua titik air membasahi pipi Lee Ing. Air hujan? Ataukah air mata? Keduanya mungkin karena mendung sudah amat tebal dan hati Lee Ing sudah amat berduka.
Tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki di belakangnya, dari rumah kelenteng itu datangnya. Ia menengok dan.... seketika itu Lee lng berdiri kaku seperti patung. Matanya terbelalak penuh air, bibirnya gemetar. Tak salahkah penglihatannya? Betulkah Liem Han Sin yang berdiri di depannya itu, dalam jarak kurang lebih lima meter? Hujan-pun turun menyaingi air mata Lee Ing.
"Ing-moi !" Suara ini menerangi hati Lee Ing, lebih terang dari pada cahaya kilat yang menyambar
pada saat itu. "lng-moi !!"
"Sin-ko.....! Kaukah ini.....? Sin-ko. !!" Hampir terjungkal Lee Ing ketika kakinya tersaruksaruk berlari
ke depan dengan kedua lengan terbuka. Pemuda itupun berlari maju dan di lain saat mereka sudah saling rangkul dan dekap. "lng-moi.... akhirnya kita berkumpul kembali..." kata Han Sin dengan isak tertahan.
"Sin ko. " hanya demikian Lee Ing dapat berbisik, harinya penuh kebahagiaan, aman dan tenteram
rasanya dalam pelukan sepasang lengan yang kuat dari pemuda pujaan hatinya ini. Hujanturun dengan lebatnya dan dua orang muda yang sedang terlelap dalam kemesraan pertemuan mengharukan itu seperti tidak merasakan timpaan air hujan yang membuat mereka basah kuyup.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam pondok itu disusul suara Tok-pi Sin-kai, "Han Sin bocah totol! Apa kau mau membiarkan calon isterimu yang terguncang hatinya itu masuk angin?"
Han Sin sadar. Ia menggandeng tangan Lee Ing dan berlarilah keduanya sambil tertawa-tawa seperti dua orang anak kecil bermain-main dalam hujan, lari ke arah pondok untuk menghadap dua orang kakek itu yang sudah menanti di dalam pondok. Setelah memasuki pondok, Han Sin dan Lee Ing menjatuhkan diri berlutut di depan Im-kan Hek-mo dan Tok-pi Sin-kai yang sudah duduk di atas kursi.
"Terima kasih atas pertolongan suhu berdua sehingga teecu dapat bertemu kembali dengan Ing- moi " kata Han Sin terharu.
"Bodoh, bukan kami yang mempertemukan kalian, akan tetapi cinta kasih yang murni dan hati yang baik. Lagi pula, kami bukan gurumu lagi, akan tetapi kami adalah guru-guru dari puteramu kelak. Calori isterimu sudah menjanjikan hal ini kepada kami. Bukankah begitu, nona Souw?"
Han Sin memandang kekasihnya dengan heran akan tetapi Lee Ing hanya tersenyum malu-malu.
Kemudian berceritalah mereka. Baru Lee Ing tahu
bahwa sebetulnya Han Sin ditolong oleh dua orang kakek itu ketika mereka mengetahui bahwa pemuda murid Im-Yang- Thian-Cu itu ditahan oleh Tok-ong dan kawan-kawannya. Sebulan yang lalu mereka melakukan penculikan atau pertolongan membebaskan Han Sin dari kamar tahanannya sehingga terjadi pertempuran yang hampir saja menewaskan mereka karena dikeroyok. Mereka membawa Han Sin ke pulau kosong itu, sengaja hendak menanti datangnya Auwyang Peng yang mereka tahu hendak menyembunyikan hartanya di tempat itu.
"Kami merasa malu kepada Pek-kong-Sin-ciang Bu Kam Ki, maka untuk menebus dosa yang dulu, kami sengaja menolong Han Sin sekalian untuk mengambilnya sebagai murid," kata Im-kan -Hek-mo.
"Akan tetapi sekarang tidak lagi, kami lebih suka menjadi guru-guru puteranya," sambung Tok-pi Sin- kai.
Han Sin dan Lee Ing, atas petunjuk dua orang kakek sakti itu, mengangkut harta benda Auwyang Peng itu ke utara dan diserahkan kepada Siok Beng Hui untuk biaya penyerbuan. Juga mereka, di samping Siok Bun dan Siok Ho yang girang bukan main melihat kedatangan mereka, berjuang bahu membahu dan dua pasang orang muda ini berjanji baru mau menikah setelah kekuasaan lalim di selatan sudah dapat ditumbangkan.
Akhirnya, setelah terjadi perang selama empat tahun, robohlah kekuasaan selatan dalam tahun 1403. Raja Muda Yung Lo menjadi Kaisar Beng-tiauw dengan gelar Kaisar Ceng Tsi, naik tahta dan mengendalikan pemerintahan sampai dua puluh satu tahun lamanya. Ibu kota dipindah ke Peking dan kota Nan-king merupakan ibu kota ke dua.
Rakyat mulai bernapas lega dan bergembira pula. Terutama sekali dua pasang mempelai yang melakukan upacara pernikahan, yaitu Liem Han Sin dengan Souw Lee Ing dan Siok Bun dengan Oei Siok Ho, kebahagiaan mereka sukar dilukiskan lagi. Dalam perayaan ini, hadir pula Haminto Losu, kakek dari Lee Ing yang sengaja datang dari utara untuk ikut bergembira minum arak wangi bagi keselamatan pernikahan cucunya yang tercinta.
Tidak ketinggalan Tok-pi Sin-kai dan lm-kan Hek-mo guru-guru putera Han Sin dan Lee Ing yang belum terlahir, mereka minum-minum arak sampai sepuasnya, ditemani oleh Bu Kam Ki yang memerlukan hadir pula.
Sekianlah, cerita PUSAKA GUA SILUMAN ini berakhir sampai di sini dengan catatan pengarang bahwa selama dunia masih berputar, keadilan Tuhan masih akan tetap berjalan. Siapa jahat dia akan terhukum, siapa baik dia akan berjasa.
Masih belum terlambat selagi masih hidup bagi siapapun juga untuk menyadari akan hal ini, membuka mata menginsyafi kesesatan sendiri agar cepat mengatur langkah melalui jalan benar sebagai seorang manusia yang tahu akan kemanusiaannya, sebagai mahluk paling mulia di alam semesta ini!
T A M A T