Jilid 08
Kai Song Cinjin kini sudah berdiri, ternyata tubuhnya tinggi besar dan sikapnya keren. "Wat Siok Hosiang. pinceng sengaja datang melerai, oleh karena Mo Hun sicu pada waktu ini bekerja sama dengan pinceng melindungi keangkeran kerajaan. Oleh karena di antara pinceng dan Siauw-lim-pai memang tidak pernah ada permusuhan, pinceng anggap habis sampai di sini saja. Kecuali kalau Mo Hun sicu mengadakan pertempuran dengan orang-orang Siauw-lim-pai tidak di depan pinceng, hal itu adalah urusan pribadi dan masa bodoh. Harap kau suka menerima kata-kata pinceng ini dan mengundurkan diri."
Wat Siok Hosiang sudah merasa dikalahkan, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi hanya memandang kepada Mo Hun dengan mata berkilat. "Lain kali kita bertemu kembali," katanya kepada Mo Hun lalu menyeret tongkatnya pergi dari situ.
Mo Hun tertawa bergelak dan suara ketawanya segera diikuti oleh kawan-kawannya ketika mereka melihat fihak Tiong-gi-pai juga mengundurkan diri tanpa bersuara lagi. Kekalahan dnri fihak Tiong-gi- pai kali ini benar-benar menyakitkan hati, terutama sekali bagi Siok Beng Hui. Juga Kwee Cun Gan merasa penasaran tidak mendapat perkenan dari Raja Muda Yung Lo yang masih segan memusuhi pembesar pembesar yang disayang oleh ayahnya, untuk menghadapi pertandingan pibu, mereka selalu menderita kekalahan.
Siok Bun dalam keadaan lerluka berat mendaki Bukit Thien-mu-san. Bukit ini letaknya tidak jauh dari kota raja Nan-king, merupakan bukit yang subur dan mengandung hutan-hutan lebat. Sudah belasan tahun di dalam sebuah di antara hutan-hutan di gunung ini terdapat seorang aneh yang keadaannya lebih tepat disebut gila.
Para pemburu dan penebang kayu kadang-kadang melihat orang ini tertawa-tawa dan bicara seorang diri di dalam hutan, ada kalanya sampai berbulan-bulan orang tidak melihatnya-Kadang- kadang ia kedapatan berada dalam sebuah rumah gubuk di dalam hutan itu, duduk samadhi seorang diri. Sukar sekali mengajak orang ini bicara, karena selain ia jarang bicara dengan orang, kalau sudah bicara ngacau tidak karuan. Akan tetapi karena sudah banyak sekali orang mengaku ditolong nyawanya dari semacam penyakit berat, ia mendapat julukan Koai-yok-sian atau Dewa Obat Gila, karena kepandaiannya mengobati seperti dewa akan telapi wataknya seperti orang gila!
Pada siang hari itu, ketika Siok Bun mendaki Bukit Thien-mu-san, keadaan di perjalanan sunyi sekali. Tiba-tiba kesunyian terpecah oleh suara orang yang berlari-lari dari bawah dan terkejutlah hati Siok Bun menyaksikan belasan orang berlari-lari cepat mendaki bukit. Melihat cara orang-orang itu berlari cepat, mudah dikenal bahwa mereka adalah orang-orang kang ouw yang berkepandaian tinggi. Cepat Siok Bun menyelinap ke dalam semak-semak dan membiarkan mereka itu lewat, la melihat dua belas orang yang sikapnya gagah, tujuh orang masih muda, yang empat sudah tua dan seorang lagi adalah nenek bongkok, berlari sambil bercakap-cakap.
"Dia aneh dan gila, bagaimana kalau tidak mau menolong?" kata seorang.
"Kita paksa dan siksa dia sampai menuruti" kata nenek itu yang menyeret tongkatnya.
Setelah mereka lewat dekat, baru ketahuan oleh Siok Bun bahwa mereka itu masing-masing menderita luka, baik luka luar badan maupun luka dalam. Agaknya mereka baru saja mengalami pertempuran dan menderita kekalahan, seperti dia! Anehnya, luka pada tubuh mereka itu bertanda jari tangan merah. Siok Bun benar-benar heran sekali, keadaan mereka tak jauh dengan keadaannya sendiri, hanya bedanya, kalau ia dilukai oleh tangan hitam, mereka itu agaknya dilukai oleh tangan merah.
Melihat cara mereka bergerak itu menunjukkan bahwa mereka berkepandaian, dan dapat dibayangkan betapa lihainya orang genangan merah yang mengalahkan mereka. Siapakah dia yang bertangan merah? Siok Bun sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh besar di dunia kang- ouw, akan tetapi belum pernah mendengar tentang orang yang memiliki tangan merah.
Hemmm, sikap mereka ini bukan seperti orang baik-baik, pikir Siok Bun. Tentu mereka akan minta pertolongan Koai-yok-sian, akan tetapi mereka hendak memaksanya Diam-diam ia lalu mengikuti mereka itu naik ke puncak, karena hutan di mana ahli pengobatan gila itu tinggal adalah hutan dekat puncak. Benar saja dugaannya. Rombongan dua belas orang itu memasuki hutan dan tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gubuk butut. Mereka berkumpul di depan pintu gubuk yang tertutup dan menggedor-gedor pintu itu.
"Hee, Koai-yok-sian, bukalah pintu, kami mau bicara!" kata seorang di antara mereka yang masih muda.
"Koai yok sian, keluarlah untuk mengobati kami!" kata nenek bongkok yang menyeret tongkat. Nenek ini terluka pada pipi kirinya yang ada tanda lima jari tangan merah. Wajahnya jadi menggelikan sekali.
Tak lama kemudian, dari dalam terdengar suara parau terkekeh-kekeh mentertawakan mereka, disusul kata-kata yang tidak karuan, "Heh-heh-heh, banyak lalat busuk. He-he-heh!" Nenek itu nampaknya menjadi marah. Tangan kirinya didorongkan ke depan dan"brakk!" pintu itu pecah berantakan.
"Orang gila, jangan kau berani mempermainkan kami. Dengarlah, kami Hek-lim Ngo-tai-ong (Lima Raja Hutan Hitam) yang datang, minta kau mengobati kami. Kami akan memberi hadiah banyak emas kalau kau mau. kalau tidak, hemmm, jangan harap bisa hidup dengan badan utuh lagi. Hayo keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara yang tenang namun berpengaruh dari dalam, di sebelah belakang gubuk itu, "Koai-yok-sian, biarkan saja mereka itu. Kalau ada yang berani masuk, pinto yang akan usir."
Suara ini menandakan bahwa selain si gila, masih ada orang lain di dalam gubuk itu. Hal ini membuat dua belas orang itu tercengang. Seorang di antara mereka, laki-laki tua bercambang bauk, menjadi marah. Dengan golok terhunus ia melompat ke dalam gubuk melalui pintu yang sudah ambruk daun pintunya itu.
Akan tetapi, begitu ia melompat masuk, ia terlempar keluar kembali dalam keadaan tubuh lemas lumpuh terkena totokan yang luar biasa hebatnya! Beberapa orang kawannya maju menolong, akan tetapi akhirnya hanya nenek bertongkat itu saja yang mampu membebaskan totokan itu. Mereka menjadi panik, hendak menyerbu tidak berani.
"Bakar saja gubuknya! Bakar, tentu si gila mau keluar," kata seorang. Semua setuju dan hendak membakar gubuk itu. Pada saat itu Siok Bun melompat keluar dari sembunyinya, mencabut keluar senjata kaitannya dan membentak,
"Kalian ini perampok-perampok sungguh tak tahu malu! Beginikah cara orang datang minta tolong? Benar bocengli (tidak tahu aturan)! Kalau kalian nekat hendak membakar rumah orang yang kalian hendak mintai tolong, terpaksa aku Siok Bun tidak mau tinggal diam begitu saja!"
Melihat yang muncul adalah seorang pemuda yang pundak kirinya sudah terluka hebat, tentu saja kawanan perampok itu tidak takut. Malah tiga orang muda di antara mereka sambil tertawa mengejek lalu menyerbu dengan golok di tangan. Seorang di antara yang tiga ini membentak.
"Kau ini tikus dapur yang sudah mau mampus, masih banyak tingkah!" Akan tetapi begitu Siok Bun menggerakkan kaitannya, tiga orang itu menjerit dan golok mereka terlempar, lengan tangan mereka sudah tergores ujung kaitan!
Empat orang kakek dan seorang nenek yang menjadi kepala-kepala rampok itu, menjadi kagum dan juga marah. Segera mereka semua maju untuk mengeroyok Siok Bun, namun Siok Bun tidak menjadi gentar. Sudah kepalang, pikirnya. Biarpun dia terluka parah dan tenaganya tinggal setengah bagian saja, namun lebih baik mati mempertahankan kebenaran daripada berpeluk tangan saja menyaksikan kejahatan dilakukan orang. Ia memutar kaitannya dan di lain saat ia telah dikeroyok. Ternyata kepandaian lima orang itupun lihai. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, biarpun Siok Bun sudah terluka. tentu SioK Bun dapat melawan mereka Akan tetapi celakanya, orang-orang itu maju bersama dan mendesaknya. Keadaan Siok Bun benar-benar berbahaya sekali.
"Orang muda sombong, kepandaianmu boleh juga " Nenek itu berkata sambil mendesak dengan tongkatnya. "Kau juga terluka, lebih baik kita sama-sama menyeret keluar Koai-yok-sian untuk mengobati kita." Memang nenek itu kurang nafsunya berkelahi dalam keadaan terluka hebat oleh tangan merah. "Cih! Siapa sudi bersekutu dengan sekawanan perampok jahat yang tidak mengenal perikemanusiaan? Jangan kata kalian hendak minta pertolongan tuan rumah, baru datang sebagai tamu saja sudah berlaku kurang patut. Kalian pantas dihajar!"
"Pemuda goblok, dalam keadaan begini kau masih tinggi hati? Kau yang patut dihajar. Hayo pukul mampus anjing ini!" Nenek itu menjerit dan mempercepat gerakan tongkatnya. Juga kawan- kawannya bergerak makin cepat dan dalam jurus-jurus berikutnya Siok Bun sudah tak dapat membalas serangan mereka, hanya memutar kaitannya membela diri.
Akan tetapi karena luka di pundak kirinya sakit sekali, ia telah mendapat bacokan yang menyerempet pahanya. Darah mengalir membasahi celananya. Namun pemuda yang gagah perkasa ini pantang mundur atau menyerah, terus melakukan perlawanan. Tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua orang terlempar dari tempat pertempuran. Ketika kawanan perampok itu menengok, si nenek berseru kaget.
"Celaka... Ang-sin-jiu datang...!" Dan berlari-larianlah mereka sambil menyeret kawan yang terluka. Sebentar saja tempat itu ditinggalkan oleh kawanan perampok tadi. Siok Bun melihat seorang pemuda yang tampan sekali mengejar mereka. Iapun ikut mengejar.. menyeret kakinya yang terluka karena ingin tahu siapa Ang-sin-jiu dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan gerakan yang cepat dan ringan, pemuda tampan itu sudah dapat menyusul kawanan perampok. Sekali melompat ia telah melewati nenek yang galak tadi dan begitu ia mengulur tangan memegang pundak nenek itu, si nenek tak dapat bergerak dan berdiri gemetar!
"Ang-sin-jiu ampunkan aku yang sudah tua..." katanya.
Pemuda itu tersenyum dan sekarang Siok Bun dari tempat intaiannya melihat wajah yang ganteng sekali, dengan mata jeli dan tajam, hidung mancung dan bibir yang merah tersenyum-senyum. Bukan main tampannya pemuda ini, pikir Siok Bun. tampan dan gagah. Akan tetapi mengapa kedua telapak tangannya itu putih bersih saja, tidak merah?
"Hek-lim Ngo-tai ong, kalian sudah menerima hajaran dari aku. Hajaran itu bukan membikin kalian kapok, malah di sini kalian berani mengganggu dan mengeroyok orang Apakah kalian baru kapok kalau nyawa kalian sudah meninggalkan raga?" Suara pemuda itu halus.namun mengandung pengaruh dan ancaman, membuat dua belas orang itu menjadi pucat.
"Siauw-hiap, mohon sudi memberi ampun kepada kami," kata seorang di antara empat kakek dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuiti oleh sebelas orang kawannya. "Sesungguhnya kami tidak bermaksud mengganggu Koai-yok-sian atau pemuda ini, akan tetapi kami merasa khawatir dan gelisah karena, karena kami sudah terluka oleh siauw-hiap"
Pemuda itu tersenyum dan biji matanya dimainkan, seakan-akan merasa geli. "Apakah kalian menganggap aku ini raja akhirat yang suka mencabut nyawa? Memang kalian sudah kuberi tanda, akan tetapi aku masih belum tega untuk mencabut nyawa. Entah kalau kelak melihat kekejian kalian lagi, sudah pasti aku takkan memberi ampun." Ia mengeluarkan bungkusan kertas dari saku bajunya dan melemparkannya ke tanah. "Di dalam bungkusan ini terdapat duapuluh empat butir obat. Makanlah seorang dua butir dan tanda-tanda merah itu dalam Waktu sebulan akan lenyap. Tanpa obat ini, biarpun kalian takkan mati, tanda itu selamanya takkan bisa hilang lagi. Nah, pergilah!" Duabelas orang itu menjadi girang sekali, ber-kali-kali mengucap terima kasih lalu beramai-ramai pergi turun gunung. Siok Bun keluar dari tempat sembunyinya. Ia amat tertarik oleh kegagahan pemuda itu dan ingin berkenalan.
Melihat Siok Bun muncul, pemuda itu tersenyum, dan menjura. "Saudara benar gagah perkasa dan berbudi mulia. Siauwte (adik) merasa kagum sekali. Bolehkan siauwte mengetahui nama saudara yang terhormat?"
Siok Bun makin tertarik dan suka kepada pemuda yang amat sopan dan ramah ini. Melihat keadaannya, memang pemuda ini tidak lebih tua dari padanya, bahkan lebih patut kalau masih disebut remaja, sungguhpun sikap yang sopan merendah itu membuktikan adanya pendidikan baik dan pengalaman luas. Iapun balas menjura dengan kaku karena pundak dan pahanya sakit-sakit.
"Aku yang bodoh bernama Bun she Siok. Tentangkepandaianku amat memalukan untuk dibicarakan, sebaliknya saudaralah yang patut dipuji dan amat mengagumkan hatiku. Siapakah saudara dan apa betul saudara yang mereka sebut-sebut... Ang-sin-jiu (Si Tangan Merah Sakti)?"
Sejak mendengar nama Siok Bun, pemuda itu sudah mengangkat muka memandang penuh perhatian. "Saudara she Siok. ? Masih ada hubungan kiranya dengan Pek-kong Sin-kauw Siok Beng
Hui, melihat senjata yang saudara bawa itu?" "Dia adalah ayahku."
"Aah, pantas... pantas. Nama besar Siok lo-cianpwe sudah lama kudengar di mana-mana. Kiranya puteranyapun demikian gagah perkasa." Tiba-tiba wajah pemuda tampan itu nampak kaget alisnya yang hitam sekali berkerut. "Aah.. luka di pundakmu itu... bukankah itu bekas Hek-tok-ciang. ?"
Pada saat itu Siok Bun sudah hamipir tidak kuat menahan rasa sakit di pundaknya. Apa lagi ia habis bertempur hebat, peredaran darahnya cepat sehingga hawa racun itu menggelapkan pikirannya.
Akan tetapi ia menggigit bibir menahan diri. "Betul... Hek-tok-ciang. aduh... maaf kepalaku
pening... tak kuat lagi..." Dan Siok Bun selanjutnya sudah tidak ingat lagi. la terguling dan tentu roboh terbanting di atas tanah kalau saja pemuda itu dengan tangkasnya tidak segera menyambar tubuhnya dan merebahkannya di atas rumput.
"Kasihan... pemuda gagah perkasa " terdengar pemuda itu berbisik. Dengan cepat tanpa ragu-ragu
lagi pemuda itu merobek baju di bagian pundak yang terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak ketika dengan teliti ia memeriksa, la nampak ragu-ragu dan gelisah dan terdengar ia berkali-kali berkata seorang diri. "Haruskah aku. ?" Lalu dijawabnya sendiri, "Mengapa
tidak? Dia gagah perkasa lagi bijaksana dan mulia hatinya, putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui yang dipuji puji namanya oleh sucouw "
Dengan cekatan ia memijit jalan darah di sana-sini sampai akhirnya Siok Bun siuman kembali dari pingsannya. Melihat ia rebah dan pemuda tampan tadi duduk di dekatnya, Siok Bun segera melompat bangun. Akan tetapi pemuda itu cepat menekan pundaknya dan berkata lirih namun keren,
"Siok-twako, jangan bergerak. Lukamu hebat dan darahmu mulai keracunan, karena tadi kau mengerahkan tenaga ketika bertempur. Tenanglah, biar siauwte mencoba mengobatimu. Jangan membantah dan jangan bicara, biar siauwte menerangkan. Siauwte bernama Oei Siok Ho murid Kun- lun-pai. Oleh sucouw, siauwte sudah dilatih memiliki Ilmu Ang-sin-ciang, di dalam darah siauwte mengandung racun merah yang dapat melawan keganasan racun hitam. Kita dari satu golongan, kau percayalah, siauwte sanggup mengobati lukamu dan mengusir racun Hek-tok-ciang dari pundakmu."
Siok Bun memandang dengan mata kagum, juga terharu melihat orang yang baru saja dijumpainya sudah suka menolongnya. Akan tetapi ketika pemuda yang bernama Oei Siok Ho itu mulai melakukan cara pengobatannya, hatinya menjadi terharu sekali dan ia merasa kaget. Siok Ho ternyata mulai menyedot darah dari luka di pundak itu dengan mulutnya! Kalau tidak mendengar kata-kata tadi, tentu ia tidak akan membiarkan orang berlaku sedemikian berbahaya. Ia tahu bahwa racun Hek-tok-ciang amat berbahaya dan lihai.
Bagaimana pemuda ini berani menyedotnya dengan mulut? la meramkan matanya. Tak sanggup menyaksikan pertolongan yang mengandung pengorbanan besar ini. Tidak saja pemuda ini terancam keselamatannya, juga siapa orangnya tidak merasa jijik menyedot darah keracunan dari luka orang lain? Apa lagi baru saja bertemu! Ketika ia meramkan matanya, dengan kagum ia merasa betapa tenaga sedotan, mulut pemuda itu kuat sekali. Bibir pemuda itu hangat-hangat menempel kulit pundaknya dan dari mulut terdapat tenaga menyedot yang memaksa darahnya mengalir ke pundak.
Tak lama kemudian Siok Ho meludahkan darah yang sudah menghitam dan berbau busuk. Tak terasa lagi mengalir dua titik air mata dari mata Siok Bun yang dimeramkan. Jangankan sampai tertolong nyawanya, andaikata tidak tertolong sekalipun dan ia mati, rohnya akan selalu berhutang budi kepada pemuda luar biasa ini.
Tiga kali Siok Ho menyedot dan banyak darah yang keluar, akan tetapi Siok Bun menjadi makin lemas tubuhnya. Dengan jari-jari tangan cekatan Siok Ho lalu membungkus luka itu setelah menempeli obat bubuk. Kemudian ia duduk bersila di depan Siok Bun yang juga bersila di atas tanah.
"Siok-twako, sekarang kau harus mengumpulkan seluruh perhatian dan tenaga dalam, buka serhua jalan darahmu, terutama di lengan kiri karena aku akan memberikan darahku, yang mengandung racun merah ke dalam tubuhmu."
"Akan tetapi. ." bantah Siok Bun kaget.
"Ssttt, diamlah! Itulah cara pengobatan satu-satunya Andaikata Koai-yok-sian suka menolongmu, hal ini kuragukan, karena orangnya sinting, belum tentu ia sanggup mengusir racun hitam di pundakmu, kecuali kalau ia memiliki katak merah. Sudah, kau bersiaplah, aku hanya menolong karena kita sama- sama manusia segolongan pula, menolongmu bukan berarti aku menyumbang nyawaku."
Setelah berkata demikian, pemuda itu mengambil sebatang jarum perak yang cepat ia tusukkan ke lengannya, tepat pada jalan darah besar, kemudian iapun melubangi kulit lengan kiri Siok Bun. Setelah itu menempelkan lengannya pada lengan Siok Bun, tepat pada kulit yang sudah dilubangi dari mana darahnya mengalir keluar memasuki lengan Siok Bun.
Pemindahan atau pengoperan darah macam ini tak dapat dilakukan secara begitu saja kalau kedua orang itu tidak memiliki k pandaian tinggi. Andaikata yang memiliki kepandaian tinggi hanya Oei Siok Ho seorang, takkan mungkin ia dapat memindahkan darahnya kalau si penerima tidak memiliki tenaga dalam untuk menyedot darah itu ke dalam lengannya sendiri. Dengan cara bersila keduanya mengerahkan tenaga, Oei Siok Ho mendorong darahnya keluar, sebaliknya Siok Bun mengerahkan tenaga menerima darah itu.
Siok Bun merasa darah yang panas sekali memasuki lengannya, membuat kepalanya pening sekali. Akan tetapi ia bertahan dan berkat latihan Iweekangnya yang sudah dalam ia dapat menahan juga. Tiba tiba Siok Bun muntah-muntah dan karena mereka berhadapan, tentu saja ia mengotori pakaian Oei Siok Ho. Akan tetapi pemuda aneh yang menolongnya itu malah tertawa puas.
"Tertolong sudah... syukur..!" Dan ia melepaskan lengannya.
Ketika Siok Bun sudah sehat kembali dari rasa pusing dan muak, ia memandang dan. pemuda itu
nampaknya lelah bukan main, duduk sambil meramkan mata, napas memburu dan mukanya yang tampan menjadi agak pucat, peluhnya memenuhi muka dan leher. Tergerak hati Siok Bun. la mengulurkan tangan dan menggunakan ujung lengan baju menyusuti peluh di muka dan leher itu, akan tetapi Oei Siok Ho cepat menolak tangannya, lalu memandang dan tersenyum.
"Selamat, Siok-twako. Kau sudah tidak terancam maut lagi." Dan pemuda luar biasa ini bangkit berdiri. Siok Bun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan penolongnya.
"In-kong (tuan penolong), aku Siok Bun sampai mati takkan melupakan budi yang mulia ini. Andaikata di dunia ini aku tidak dapat membalas budimu, biarlah di penjelmaan kelak aku menjadi kuda atau anjingmu "
Oei Siok Ho dengan gagap-gugup mengangkat bangun Siok Bun. "Aih...aih... kenapa kau memakai sungkan-sungkan seperti ini, Siok-twako? Tak baik dilihat orang. Aku sudah merasa puas kalau kau mengaku aku sebagai seorang sahabatmu."
"Sahabat? Kau lebih dari adikku sendiri! Biarlah mulai saat ini, kalau aku tidak terlalu kurang ajar dan lancang, kau kuanggap saudaraku. Saudara Oei. berapakah usiamu, tua mana kau dengan aku?"
Oei Siok Ho tersenyum. "Usiaku delapan belas tahun."
Siok Bun menggeleng-geleng kepala. "Usia delapan belas tahun sudah memiliki kepandaian sehebat ini, bukan main! Oei-siauwte, kau adalah adikku. Aku sudah berusia dua puluh tahun. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara "
Akan tetapi, aneh sekali. Oei Siok Ho menggeleng kepala. "Tak usah, cukup kalau kita bersahabat atau bersaudara, tak perlu mengangkat saudara dan bersumpah. Hati manusia selalu berubah, tidak akan tetap. Alangkah mengecewakan kalau kelak seorang di antara kita melanggar sumpah. Eh, Siok- twako, apakah kau cukup kuat untuk bertanding?"
"Apa...? Bertanding dengan siapa?" Siok Bun cepat menengok ke kanan kiri khawatir kalau-kalau muncul musuh.
"Dengan aku!"
Siok Bun sampai melongo mendengar ini. "Aku...? Bertanding dengan.. dengan... kau...? Apa artinya?"
Oei Siok Ho bicara dengan sikap bersungguh-sungguh, "Dengarlah, Siok-twako. Sesungguhnya akupun mempunyai permusuhan dengan musuh-
musuhmu, dengan pemilik Hek-tok-ciang. Baik kuceritakan secara ringkas saja." Maka berceriteralah Oei Siok Ho tentang keadaan di Kun-lun-san beberapa tahun yang lalu.
Seperti pembaca tentu masih ingat, beberapa tahun yang lalu. Tok-ong Kai Song Cinjin pergi menantang ke Kun-lun-pai untuk melampiaskan kemarahan hatinya terhadap Souw Teng Wi yang menjadi anak murid Kun-lun-pai. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mulut Tok-ong Kai Song Cinjin sampai rusak dalam pertempurannya melawan Souw Teng Wi. Dengan hati geram Kai Song Cinjin menuju ke Kun-lun dikawani oleh Ma thouw Koai-tung Kui Ek membawa pasukan.
Di tengah perjalanan Kai Song Cinjin bertemu dengan Toat-beng-pian Mo Hun yang akhirnya ikut pula ke Kun-lun-pai untuk mengobrak-abrik partai persilatan itu. Pertempuran hebat terjadi di Kun- lun-pai di mana orang-orang Kun-lun-pai banyak sekali yang tewas. Yang lain melarikan diri dan hanya Swan Thai Couwsu guru besar Kun-lun-pai berhasil mengusir Kai Song Cinjin (bagian ini akan diceritakan di bagian belakang), akan tetapi guru besar yang sangat tua ini juga menderita luka berat.
Di antara anak murid Kun-lun-pai, terdapat Oei Siok Ho yang masih muda sekali akan tetapi bersemangat besar, tak pernah meninggalkan couw-sunya dalam pertempuran itu. Melihat bakat baik dalam diri Oei Siok Ho dan melihat bahwa dirinya takkan lama lagi hidup di dunia, Swan Thai Couwsu lalu mewariskan kepandaiannya kepada Oei Siok Ho, bahkan memberi ilmu pukulan Ang - sin-ciang untuk melawan Hek-tok-ciang dari Kai Song Cinjin.
"Demikianlah Siok-twako, pengalaman dan riwayat ringkasku. Karena kau terluka oleh Hek-tok-ciang, aku harus tahu sampai di mana kepandaian orang yang mempergunakannya. Cara terbaik adalah mengukur kepandaianmu."
"Dia itu murid Kai Song Cinjin, namanya Auwyang Tek, putera Menteri Auwyang Peng yang jahat. Kepandaiannya tidak berapa tinggi, setingkat dengan aku, hanya Hek-tok ciang yang dipergunakan memang hebat." Siok Bun lalu menuturkan jalannya pertandingan. Kemudian ia memaksa diri bertanding dua puluh jurus melawan Oei Siok Ho, sampai pemuda itu merasa puas karena dapat mengira-ngira sampai di mana tingkat kepandaian Auwyang Tek.
"Aku harus berlatih lagi, sedikitnya setahun. Melihat kepandaianmu, tingkatku juga tidak banyak lebih tinggi dari tingkat Auwyang Tek," kata Oei Siok Ho.
Pada saat itu, dari gubuk Koai-yok-sian berkelebat bayangan dua orang yang cepat sekali gerakannya. Melihat ini, Oei Siok Ho berkata, "Selamat berpisah, twako. Lebih baik kita berpisah sekarang, sampai bersua kembali!"
Siok Bun hendak mencegah, akan tetapi pemuda itu sudah berkelebat lenyap dari depannya. Siok Bun masih merasa lemah sekali tubuhnya, pula merasa takkan sanggup mengejar. Ia hanya menghela napas dan menanti datangnya dua orang tadi. Mereka itu benar-benar memiliki gerakan yang cepat sekali dan sekali lagi Siok Bun menghela napas. Terlalu banyak orang pandai di dunia ini dan ia makin lama makin merasa dirinya tidak berarti.
Dua orang itu adalah pemuda tinggi tegap yang berwajah gagah dan tampan, bersama seorang kakek berpakaian tosu yang sikapnya angker, matanya mengandung sinar galak dan selalu muram. Tosu itu memandang kepada Siok Bun dan bertanya, suaranya bernada kaku, "Di mana tikus-tikus tadi?"
Siok Bun merasa heran, juga tidak senang melihat sikap orang demikian kasar, akan tetapi ia menjawab juga, "Kalau lotiang maksudkan para perampok tadi, sudah lama mereka melarikan diri." Jawaban ini juga mengandung sindiran bahwa setelah bahaya lewat baru orang datang!
Tosu itu mengibaskan tangannya ke kiri dan... sebatang pohon besar yang tumbuh di situ tumbang mengeluarkan suara keras. "Kalau tidak terlambat, mereka akan terbasmi habis!" kata tosu itu yang kemudian. berdiri menjauh tidak perduli lagi kepada Siok Bun. Pemuda ini menjadi pucat Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa tosu itu benar-benar hebat, malah jauh lebih lihai dari pada Oei Siok Ho! Ia memandang kepada pemuda ganteng yang masih berdiri di depannya dan ternyata pemuda ini sudah menjura kepadanya. Sikap pemuda ini tidak sehalus Oei Siok Ho, namun cukup hormat dan sinar matanya mengandung kejujuran.
"Saudara yang gagah, kaukah yang sudah berhasil mengusir mereka?" tanya pemuda itu.
Siok Bun menggeleng kepalanya "Bukan, aku malah hampir tewas oleh mereka kalau tidak tertolong orang lain."
Pada saat itu, terbongkok-bongkok keluar dari gubuknya, Koai-yok-sian berjalan menyusul dan sudah tiba di situ. Siok Bun memandang penuh perhatian dan melihat orang yang dijuluki "Dewa Obat" itu benar-benar tidak seberapa, bahkan tidak patut menjadi orang pandai. Orangnya sudah tua, paling sedikit enam puluh tahun, rambutnya seperti sarang burung, pendek awut-awutan di atas kepala, kering keriting seperti habis didekatkan api panas atau mungkin karena kepalanya selalu panas maka rambut itu tumbuhnya seperti rumput di musim kering.
Tubuhnya bongkok, bongkoknya menjuru di punggung seperti telah putus tulang punggungnya dan bersambung kembali dalam keadaan bengkong. Kepalanya kecil, leher panjang, dan mukanya penuh keriput dan tahi lalat sehingga sukar sekali melihat bayangan perasaan pada mukanya. Mulutnya yang sudah ompong sama sekali itu nyoprat-nyaprut selalu bergerak-gerak seperti orang mengunyah sesuatu. Pendeknya, gambaran orang yang tidak mendatangkan kesan istimewa pada hati. Akan tetapi, seburuk itu rupanya, datang-datang kakek bongkok ini mengeluarkan ucapan yang mengejutkan dan mengagumkan hati Siok Bun.
"Heh-heh-heh racun Hek-tok-ciang terusir pergi oleh racun merah! Hebat... hebat... orang muda, bagaimana bisa ada racun merah dalam darahmu?"
Kakek itu memandang kepada Siok Bun penuh perhatian. Mendengar ucapan ini, Siok Bun segera menaruh hormat kepada kakek yang tak seberapa itu, karena benar-benar pandang mata kakek ini berbeda dengan orang lain.
"Ucapan lo-sinshe memang tepat sekali. Aku telah menjadi korban pukulan Hek-tok-ciang dan baru saja ada orang menolongku. Tadinya aku berniat datang pada lo-sinshe memohon obat, akan tetapi terhalang oleh adanya gerombolan orang jahat tadi. Baiknya aku bertemu dengan seorang anak murid Kun-lun-pai dan mendapat pertolongan darinya."
"Aneh... aneh, apakah kau bertemu dengan Swan Thai Couwsu? Apa mungkin Swan Thai Couwsu keluar dari lubang kubur untuk menolongmu?"
Sebelum Siok Bun menjawab, pemuda di depannya tadi telah melangkah maju dan dengan penuh gairah bertanya, "Saudara yang gagah, katakanlah, apakah betul kau terkena Hek-tok-ciang? Kau telah dilukai oleh siapakah?"
"Memang aku telah bertempur melawan Auwyang Tek dan terluka "
Pemuda ini kini memegang tangannya dan bertanya, wajahnya berseri, ‘Saudaraku, kau tentu membela Tiong-gi-pai maka kau sampai bertempur dengan iblis Auwyang Tek itu. !"
Siok Bun tercengang "Memang, aku bertempur di fihak Tiong-gi-pai " "Bolehkah aku mengetahui namamu? Aku bernama Liem Han Sin, ayahku Liem Hoan pernah ditolong oleh Tiong-gi-pai..."
Siok Bun menjadi girang sekali dan memeluk pundak pemuda ganteng itu.
"Ah, kiranya kau saudara Liem Han Sin? Tentu saja aku mengenal Liem-lopek beliau menjadi anggauta kami. Aku Siok Bun. "
"Hemmm, kau putera Siok Beng Hui ?" tiba tiba tosu yang sejak tadi diam saja itu bertanya kepada
Siok Bun.
Siok Bun mengangguk membenarkan, la masih belum tahu siapa adanya tosu itu dan melihat sikap yang kaku dan kasar, ia mendongkol juga. Akan tetapi tosu itu segera berkata kepada Liem Han Sin dengan suara ketus,
"Nah, kau dengar tidak? Putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui juga tidak mampu melawan, terluka dan ayahnya tidak mampu menolong. Mana bisa kau melawan Kai Song Cinjin? Perlu apa semua pertempuran itu, hanya menyia-nyiakan nyawa saja? Han Sin, lebih baik kau pergi ikut aku. mencucikan diri melepaskan Ikatan duniawi!"
Han Sin menjatuhkan diri berlutut di depan losu itu. "Suhu, tak mungkin teecu dapat melakukan hal itu. Harap ampunkan bahwa kali ini teecu tidak memenuhi perintah suhu. Auwyang Tek si laknat telah membunuh dua orang saudara perempuanku, sudah membuat keluarga teecu cerai-berai dan kocar-kacir. Kalau bukan teecu yang membasmi manusia itu siapa lagi! Bahkan teecu mohon bantuan suhu dalam usaha teecu ini "
"Huh, gila kau! Pinto tidak sudi berurusan dengan segala keruwetan dunia dengan kekejiannya. Perduli apa pinto dengan pertentangan antara Raja Beng dan puteranya?"
"Kalau begitu, teecu mohon doa restu, karena teecu hendak pergi bersama saudara Siok Bun ini, menuju ke kotaraja menghadapi Auwyang Tek."
Siok Bun sekarang baru tahu bahwa tosu galak ini bukan lain adalah guru Liem Han Sin, maka iapun tidak berani berlaku kurang hormat. "To-liang, biarpun pada pangkalnya pertentangan itu merupakan pertentangan kaisar dan puteranya, namun sesungguhnya merupakan pertandingan antara yang baik dan yang jahat. Menteri durna Auwyang Peng telah mengumpulkan orang-orang jahat menindas rakyat dan para patriot, kalau bukan orang-orang gagah di dunia yang membasminya, tentu keadaan rakyat akan terjepit dan tertindas oleh kekuasaan jahat."
"Hayaaa, kau ini anak kecil tahu apa tentang baik dan jabat?" Tosu itu mencela Siok Bun, kemudian ia menarik napas panjang, memandang muridnya.
"Kau ada bakat baik menjadi pendeta suci, akan tetapi memang nasib manusia itu tak dapat diubah lagi, seluruhnya berada di tangan Yang Kuasa. Kau hendak kembali ke dunia ramai, baiklah. He, si gila, orang Kun-lun telah dapat mengobati luka bekas Hek-tok-ciang. Pinto masih belum percaya apakah orang segila kau juga dapati" Tiba-tiba ia menegur dan membentak Koai-yok-sian.
"Heh-heh-heh, Im-yang Thian-cu iblis muram, kau sejak mudamu masih begitu saja. Apa hanya Swan Thai Couwsu saja yang dapat mencari katak merah? Aku si gila juga dapat. Kau lihat ini?" Koai-yok- sian mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya yang tidak karuan itu dan ternyata yang dikeluarkan itu adalah sebuah katak merah yang sudah mati dan kering. Tiba-tiba tangan tosu yang bernama Im-yang Thian-cu itu menyambar dan... bangkai katak itu sudah berpindah tangan. Gerakan Im-yang Thian-cu itu cepat bukan main sampai Siok Bun sendiri tidak melihat gerakan tangannya.
Dewa Obat itu tidak menjadi kaget, malah tertawa terkekeh-kekeh. "Memang obatku hanya boleh diambil dengan kekerasan. Heh-heh-heh, kau masih selalu tangkas, iblis muram! Akan tetapi jangan kira kau bisa menangkan aku. Kau sudah mengambil katak merah untuk muridmu, akan tetapi tanpa mengerti cara penggunaannya, apa sih artinya? Paling-paling muridmu akan mampus terkena racun merah. Heh-heh-heh!"
Im-yang Thian-cu terkejut sekali. Cepat tangannya menyambar dan ia telah menyambar tongkat yang dipegang oleh Koai-yok-sian, kemudian sekali menggentak, tubuh kakek bongkok itu bersama tongkatnya melambung tinggi ke atas, lalu bergulingan turun kembali seperti hendak terbanting ke atas tanah. Anehnya, begitu dekat dengan tanah, secara otomatis tubuh bongkok itu bisa membalik dan kedua kakinya turun lebih dulu dengan ringan. Diam-diam Siok Bun meleletkan lidah. Biarpun tidak sehebat kepandaian Im-yang Thian-cu. namun dewa obat itu juga bukan orang sembarangan.
"Apa kau menghendaki aku menggunakan kekerasan memaksamu memberi keterangan sampai roh mu melayang keluar dari tubuh?" Im-yang Thian-cu membentak.
"Heh-heh-heh, ada kalanya dahulu kumelihat kau meminta-minta kalau terpaksa. Mengapa sekarang tidak?"
Aneh sekali, tiba-tiba Im-yang Thian-cu lalu i mengangkat kedua tangan dan menjura sampai dalam di depan Si Dewa Obat.
"Twako yang baik, tolonglah adikmu kali ini. Biar kelak aku sembahyang dengan tiga batang hio harum di depan makammu." kata Im-yang Thian-cu.
Siok Bun melihat ini semua seperti orang melihat dua badut berlagak, akan tetapi anehnya mereka itu bersungguh-sungguh. Si Dewa Obat lalu berkata,
"Kalau orang makan katak itu, ia akan mampus. Jemur kering, tumbuk hancur, bagian kepala obat luka, bagian badan obat minum. Segala Hek-tok saja sih apa artinya?" Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuh dan pergi menuju ke gubuknya.
"Kau sudah mendengar semua, bukan? Nih, terimalah katak merah untuk melindungimu dari ancaman Hek-tok-riang." Kakek itu memberikan katak dan membalikkan tubuh hendak pergi, akan tetapi ia menoleh kembali dan berkata.
"Ingat, Han Sin. Gurumu masih selalu menantimu untuk memimpinmu ke arah jalan terang. Insyaflah bahwa segala keduniawian takkan mendatangkan bahagia abadi." Kemudian kakek itu berkelebat dan lenyap.
"Gurumu itu hebat, akan tetapi kelihatan galak," Kata Siok Bun kepada Liem Han Sin.
Pemuda ini menarik napas panjang. "Memang wataknya keras dan aneh, akan tetapi dialah manusia terbaik bagiku di dunia ini. Saudara Siok, mari kita kembali ke kota raja, bawa aku kepada ayah dan kepada Kwee-lo-enghiong."
Berangkatlah dua orang! muda perkasa ini, menuruni Bukit Thien mu-san yang pada hari itu benar- benar tidak seperti biasanya, mengalami peristiwa-peristiwa aneh dan cukup hebat. Di bagian depan sudah diceritakan tentang Liem Han Sin, pemuda yang mula-mula memasuki Nan- king bersama ayahnya, Liem Hoan, dan dua orang saudara perempuannya, Liem Kui Lan dan Liem Siang Lan. Seperti telah kita ketahui, Auwyang Tek tertarik oleh kecantikan dua dara remaja ini, lalu mengganggunya sehingga terjadi pertempuran hebat. Namun dua orang gadis cantik itu tidak tertolong, diculik oleh Auwyang Tek dan terdapat telah mati dua-duanya di dalam kamar Auwyang Tek. Liem Hoan sendiri tertolong oleh Tiong-gi-pai dan Liem Han Sin pemuda yang gagah itu ditolong oleh Im-yang Thian-cu yang kebetulan berada di kotaraja.
Im-yang Thian-cu adalah seorang tokoh aneh di dunia kang-ouw sebelah selatan. Tosu ini selain berwatak keras dan aneh, juga tidak mau tahu akan urusan dunia. Sikapnya tidak membela siapa- siapa tidak menentang siapa-siapa akan tetapi juga keras hati dan tidak mau kalah, la amat sayang kepada Han Sin dan menurunkan kepandaian silatnya, terutama sekali menurunkan ilmu silatnya yang paling terkenal yang menggunakan sepasang senjata yang berlainan sama sekali bentuknya, di tangan kanan sebatang pit (alat tulis) dan di tangan kiri adalah sebuah kipas, la menamai senjatanya ini Yang-pit Im-san (Pensil Yang dan Kipas Im) sesuai dengan ilmu silat itu sendiri yang mempergunakan tenaga campuran Im dan Yang. Di sini letaknya kelihaian ilmu silat ini, karena dua senjata itu berlainan tenaga yang dipergunakannya.
Liem Han Siu adalah seorang pemuda yang cerdas dan tekun belajar. Sampai jauh malam ia mempelajari ilmu ini bertahun-tahun, di bawah bimbingan suhunya yang juga tidak mengenal lelah. Latihan puncak dilakukan di depan sebatang lilin yang dinyalakan. Im-yang Thian-cu yang sudah mencapai puncak kesempurnaan ilmu ciptaannya ini, kalau bersilat di depan api lilin sedikitpun tidak berguncang dan lilin yang mencair segera menjadi keras kembali terkena hawa dingin yang keluar dari kebutan kipas. Sebaliknya, biarpun ia berdiri jauh dari lilin itu, sekali ujung pit-nya melakukan gerakan menotok ke arah api lilin, api itu akan terdorong dan bergoyang.
Setelah tamat belajar, Liem Han Sin mulai mengajukan isi hatinya di depan suhunya, yaitu hendak membalas kejahatan Auwyang Tek. Gurunya selalu mencegahnya, menyatakan bahwa Auwyang Tek sebagai murid Kai Song Cinjin tidak mudah dihadapi dan pula, dengan filsafatnya yang aneh Im-yang Thian-cu hendak menarik murid ini menjadi seorang pendeta dan pertapa yang menyucikan diri. Namun Han Sin terus-menerus menyatakan ketetapan hatinya sehingga akhirnya Im yang Thian-cu kalah.
"Yang dapat melindungi nyawamu dari Hek-tok-ciang hanya katak merah dan di dunia ini kiranya dalam waktu sepuluh tahun belum tentu kita bisa mencarinya. Kecuali kalau kita pergi kepada Koai- yok-sian, si gila itu tentu mempunyainya. Tidak ada obat aneh di dunia ini yang tidak dipunyai si gila itu.
Demikianlah karena sayang kepada muridnya, Im-yang Thian-cu membawa muridnya pergi ke Thien- mu-san untuk mencari Koai-yok-sian yang sebetulnya adalah kenalan baik semenjak ia masih muda. Seperti kita semua ketahui, kebetulan sekali di Thien-mu-san mereka bertemu dengan Siok Bun. Tentu saja perampok yang begitu masuk gubuk lalu tertotok itu adalah perbuatan Im-yang Thian-cu yang menotoknya dengan pit dari jarak jauh.
Kedatangan Liem Han Sin bersama Siok Bun yang sudah sembuh disambut dengan penuh kegembiraan oleh Tiong-gi-pai Apalagi Liem Hoan yang bertemu kembali dengan puteranya Dipeluknya puteranya itu dan diajaknya ke kamar di mana ayah dan anak ini berkongkouw sampai puas. Siok Bun juga menceritakan segala pengalamannya kepada ayahnya. Siok Beng Hui menarik napas panjang. "Orang yang berada di fihak benar selalu akan mendapat pertolongan Thian, karena inilah keadilan Thian. Swan Thai Couwsu dari Kun-lun-pai sudah memiliki seorang ahli waris yang tepat sekali, karena kalau menurut penuturanmu itu, pemuda itu tentulah seorang yang memiliki pribudi mulia."
Ang-lian-ci Tan Sam Nio yang kegirangan melihat puteranya sembuh kembali juga berkata, "Bun-ji, orang seperti itu patut kau jadikan kawan selama hidupmu."
"Memang, ibu. Anak juga merasa berhutang budi kepadanya dan anak tadinya hendak mengangkat sumpah untuk menjadikannya saudara angkat. Akan tetapi anehnya, dia tidak mau menerimanya."
"Memang aneh, dia sudah berkurban seperti itu, mengapa tidak mau mengangkat saudara?" tanya ibunya lagi.
"Dia bilang bahwa persumpahan mengangkat saudara merupakan ikatan yang akan amat mengecewakan kelak apa bila seorang di antaranya melanggarnya."
Siok Beng Hui dan isterinya saling pandang dan mengangguk-angguk memuji. Benar seorang pemuda pilihan yang mempunyai pandangan jauh dan luas, pikir mereka. Sementara itu, Liem Hoan merasa bangga sekali bahwa puteranya menjadi murid Im yang Thian-cu tokoh besar yang terkenal itu. Lebih-lebih girang dan bangga hatinya bahwa pulangnya Han Sin ini adalah untuk membalaskan sakit hati kedua anak perempuannya yang tewas secara menyedihkan dalan tangan Auwyang Tek.
"Bagus, Han Sin. Memang sudah menjadi tugasmu untuk melawan Auwyang Tek si manusia laknat. Bukan saja untuk membalaskan sakit hati kita dahulu, akan tetapi juga untuk mengangkat nama Tiong-gi-pai, perkumpulan bercita-cita luhur yang setia kepada kepahlawanan Souw-taihiap." Ayah ini lalu menceritakan kepada anaknya tentang perjuangan Tiong-gi-pai, juga tentang Souw Teng Wi yang kini sudah selamat berada di Peking, dilindungi oleh Raja Muda Yung Lo.
"Sayang Souw-taihiap sekarang sudah berubah ingatan, sudah seperti gila Kalau tidak, tentu dia akan dapat memimpin Tiong-gi pai, karena menurut penuturan Pek kong Sin-kauw, kepandaian Souw- taihiap luar biasa sekali, jauh lebih lihai dari pada Pek-kong Sin-kauw Siok taihiap sendiri." Liem Hoan menutup penuturannya.
Kwee Cun CJan dan semua anggauta Tiong-gi-pai mengucapkan selamat dan menyatakan kegirangan hati mereka melihat kembalinya Liem Han Sin yang menjadi murid orang pandai dan Siok Bun yang sudah sembuh kembali. Lebih besar rasa girang mereka ketika mendengar bahwa Han Sin mengajukan diri untuk menjadi jago dalam pibu melawan Auwyang Tek yang sombong.
Segera tantangan diajukan dan pada keesokan harinya, kembali rombongan yang bermusuhan sudah saling berhadapan di dalam hutan. Kali ini, fihak Auwyang Tek hanya dihadiri oleh pengawal- pengawalnya saja, dan sebagai tetuanya hanya nampak Ma-thouw Koai-tung Kui Ek, sedangkan Mo Hun dan Kai Song Cinjin tidak kelihatan. Juga dua orang jagoan dari Jepang tidak nampak. Agaknya fihak Auwyang Tek memandang rendah kepada fihak Tiong-gi-pai yang memang selalu kalah saja itu.
Akan tetapi ketika Auwyang Tek mengenal bahwa penantangnya adalah pemuda saudara dua orang dara yang dahulu menjadi korbannya, mukanya menjadi agak pucat Ia maklum bahwa kini ia bukan menghadapi pibu yang sifatnya mengadu kepandaian, melainkan mengadu nyawa karena persoalannya adalah persoalan sakit hati dan membalas dendam. Namun sifat sombongnya mengalahkan kegelisahannya dan ia tersenyum-senyum ketika berkata kepada Liem Han Sin, "Aha, kiranya anak wayang yang dahulu itu, mau mengantarkan nyawa agaknya! Majulah!" Ia tidak bertanya nama tidak apa karena memang ia sengaja bersikap memandang rendah. Wajah Liem Han Sin sudah menjadi merah saking marahnya melihat musuh besarnya. Cepat ia mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu sebatang pit dan sebatang kipas, bentaknya penuh geram,
"Auwyang Tek manusia busuk. Biarlah hari ini menjadi hari kematianmu atau kematianku! Lihat serangan!"
Auwyang Tek biarpun mulutnya tersenyum mengejek, namun matanya awas memandang dan sekali lihat saja ke arah dua macam senjata lawan, ia tahu bahwa lawannya telah mempelajari ilmu silat tinggi. Ia berlaku hati-hati dan cepat mengelak lalu balas menyerang dengan pukulan andalannya, yaitu Hek-tok-ciang. Han Sin yang sudah maklum dan mendengar akan kelihaian pukulan ini juga tidak berani berlaku sembrono, cepat ia mengebut dengan kipasnya dan membarengi mengirim totokan dengan pitnya.
Pertempuran segera berjalan seru sekali. Kali ini Auwyang Tek benar-benar menemui tandingannya. Pertempuran berjalan lebih ramai dari pada ketika ia melawan Siok Bun. Maka Auwyang Tek juga tidak berani main-main lagi, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya yang ia perdalam setiap hari dari gurunya,Kai Song Cinjin.
Auwyang Tek lebih tua beberapa tahun dari Han Sin. Juga putera Menteri ini menang pengalaman karena dia sudah terlalu sering bertempur. Berbeda dengan Han Sin yang baru saja turun dari perguruan. Namun oleh karena Han Sin mendapatkan guru yang mengajarnya dengan sungguh- sungguh dan dia sendiri belajar penuh ketekunan dan cita-cita untuk membalas dendam, maka oleh gurunya ia memang digembleng untuk menghadapi pukulan-pukulan berbisa seperti Hek-tok-ciang dan kini ia tahu bagaimana harus menghadapi Auwyang Tek musuh besarnya.
Dengan kipas di tangan kirinya, Han Sin selalu berhasil mengebut serangan pukulan lawan. Hawa pukulan Hek-tok-ciang kandas dan buyar setiap kali terkena kebutan kipas yang penuh dengan hawa Im-kang itu. Di lain fihak, sasaran pit di tangan kanan Han Sin sebegitu jauh selalu mengenai tempat kosong atau dapat tertangkis oleh tangan Auwyang Tek yang dilindungi oleh sarung tangan yang tidak takut menghadapi senjata tajam.
Dua orang pemuda ini saling serang dengan seru dan mati-matian. Kepandaian mereka ternyata setingkat. Pertandingan berjalan dalam tempo cepat, membuat mereka yang menonton menjadi tegang dan kagum. Liem Hoan yang tentu saja menjagoi puteranya itu kelihatan tidak mau diam, seperti seorang botoh jago melihat jagonya bertanding.
Auwyang Tek benar-benar tangguh. Sebagai murid Kai Song Cinjin, dia benar-benar merupakan lawan berat bagi Han Sin. Kalau saja Liem Han Sin tidak memegang sepasang senjata Yang-pit Im-san yang luar biasa itu, tentu dia sendiri takkan sanggup menghadapi Hek-tok-ciang yang hebat itu. Baik kipas maupun pit merupakan senjata yang dapat melakukan serangan maut, maka sebegitu lama Auwyang Tek tidak berani berlaku sembrono, selalu menangkis atau mengelak dari sambaran sepasang senjata itu.
Setelah seratus jurus lebih bertanding mati-matian, Auwyang Tek menjadi penasaran sekali dan timbul kenekatannya. Pada saat pit di tangan kanan Han Sin menyambar, ia cepat menangkapnya dengan gerak tipu Kauw-ong-pok-sit (Raja Kera Menyambar Makanan). Gerakan ini cepat sekali dan tahu-tahu pit itu telah dapat ia tangkap. Untuk dua detik keduanya saling betot merampas senjata itu. Han Sin mempergunakan kesempatan ini untuk menghantam dengan kipasnya ke arah kepala lawannya! Auwyang Tek mengeluarkan seruan keras, tangan kanannya menerima pukulan kipas itu. Saking hebatnya pertemuan antara tangan dan kipas, keduanya terpental mundur dan pegangan Auwyang Tek pada pit tadi terlepas. Namun pengaruh Hek-tok-ciang tadi benar-benar hebat, membuat Han Sin tergetar ketika terpental mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Auwyang Tek untuk berkelebat cepat ke sebelah kanan lawannya dan mengirim pukulan Hek-tok-ciang dengan tangan kanan!
Han Sin maklum akan datang bahaya besar, kipas dan pitnya digerakkan berbareng menapaki musuh dan... "plak! plak! tak!" kedua orang pemuda itu mengeluh, keduanya terhuyung ke belakang lalu roboh! Ternyata bahwa pukulan Hek-tok-ciang yang ampuh dari Auwyang Tek telah meninggalkan bekas di pundak kanan Han Sin. Baju di bagian ini hitam menghangus, tembus sampai ke kulit dagingnya. Han Sin terluka berat, menderita luka dalam terkena racun Hek-tok-ciang yang jahat.
Di lain fihak, Auwyang Tek juga tak dapat menghindarkan pukulan-pukulan Han Sin tadi. Tangan kirinya, pada pergelangannya, terkena totokan pit sedangkan dadanya dihajar oleh kipas sehingga darah segar mengalir dari mulutnya, ia muntah darah! Liem Hoan ccpa melompat dan menubruk pu- teranya, dibantunya puteranya itu supaya bangun berdiri. Di lain fihak. Auwyang Tek yang sudah tak dapat bangun itu juga ditolong oleh seorang pengawalnya yang menggendongnya.
Sarung tangan kiri Auwyang Tek sampai terlepas oleh totokan tadi. Keduanya payah dan hanya dapat saling pandang dengan penuh kebencian Hebatnya, Auwyang Tek masih dapat menyeringai dan berkata mengejek,
"Kalau kau besok masih hidup, kita lanjutkan penandingan ini!"
Liem Han Sin lebih parah lukanya karena keracunan. namun pemuda ini mengepal tinjunya dan berkata, "Sekarangpun aku masih bersedia mengadu nyawa!"
Akan tetapi tentu saja ayahnya tidak mengijinkan dan begitulah, pertandingan hari itu boleh dibilang berakhir dalam keadaan "seri." Kedua rombongan kembali ke tempat masing-masing dan pertandingan berakhir. Kedua orang muda itu mendapat perawatan di tempat masing-masing, namun ternyata bahwa keadaan Han Sin lebih payah. Biarpun ia mempunyai katak merah, namun oleh karena pukulan yang dilakukan Auwyang Tek tadi mengenai secara tepat, ia harus beristirahat paling cepat setengah bulan baru kiranya dapat bertanding lagi.
Celakanya, tiga hari kemudian Auwyang Tek sudah menantang-nantang lagi! Ketika tidak ada pelayanan, pemuda ini membabi-buta, membunuhi orang-orang yang dianggapnya bersimpati kepada Tiong-gi-pai. Memang belum berani dia menyerang sarang Orang Tiong-gi-pai begitu saja tanpa seijin ayahnya, namun ia tidak ragu-ragu membunuh orang-orang yang ia anggap musuhnya, atau sedikitnya orang-orang yang menaruh simpati kepada Tiong-gi-pai. Tentu saja dengan alasan bahwa orang-orang itu adalah orang-orang jahat yang hendak mengacau kota raja! Fihak Tiong-gi- pai mendenga r ini semua hanya bisa menggigit bibir dan membanting-banting kaki.
Orang-orang gagah ini sebetulnya sudah tidak sabar lagi dan ingin mereka mengadakan perang total terhadap kaki tangan Auwyang-taijin. Biarpun fihak musuh banyak yang kuat, namun dalam perang total berbeda dengan pibu yang dilakukan seorang lawan seorang. Tentu saja karena mereka memang kalah banyak, fihak Auwyang-taijin selalu dapat mengeluarkan jago yang lebih kuat. Berbeda dalam perang terbuka, di mana mereka dapat melakukan perlawanan gerilya seperti ketika menghadapi pasukan Mongol dahulu.
"Kita serbu saja gedung menteri durna itu malam hari!" kata seorang. "Kita bakar gedungnya dan hujani anak panah dari tempat gelap," kata orang ke dua.
Kalau didiamkan saja, siapa yang kuat menahan tindasan mereka!" protes orang ke tiga. Semua orang Tiong-gi pai hanya segan bertindak karena mereka ini masih menaruh harapan kepada Raja Muda Yung Lo di Peking. Dan oleh karena Raja Muda Yung Lo telah mengirim utusannya, yaitu Pek- kong Sin-kauw Siok Beng Hui, para anggauta Tiong-gi-pai yang dipimpin oleh Kwee Cun Gan ini mendesak pendekar kaitan itu.
Siok Beng Hui sendiri memang sudah tak dapa menahan kemarahan hatinya menyaksikan sepak terjang Auwyang Tek dan kawan-kawannya. Demikianlah, setelah Han Sin terluka, Pek-kong Sin kauw Siok Beng Hui berkata kepada Tiong-gi-pai, "Baiklah, sekarang aku akan pergi ke utara, minta perkenan yang mulia dan minta bala bantuan. Di utara juga banyak terdapat orang pandai dan kalau yang mulia mengijinkan, kita gempur menteri-menteri durna itu."
Orang-orang Tiong-gi-pai bersorak gembira. Hari itu juga Siok Beng Hui, Tan Sam Nio, dan Siok Bun berangkat ke utara menunggang kuda. Orang-orang Tiong-gi pai sementara itu tidak mau melakukan gerakan apa-apa. Diam-diam mereka bersembunyi dan merawat luka Han Sin yang sudah mulai sembuh Biarpun fihak Auwyang Tek gembar-gembor menantang pibu, mereka berlaku pura-pura tidak mendengar saja. Kalau ada beberapa orang Tiong-gi-pai yang berada di kota kebetulan bertemu dengan kaki tangan Auwyang Tek yang sengaja mencari-cari dan memancing-mancing keributan, orang-orang Tiong-gi-pai ini menyingkirkan diri dan menelan segala penghinaan dengan sabar. Semua mentaati pesan ketua mereka, Kwee Cun Gan yang melarang anak buahnya bentrok dengan fihak musuh sebelum mendapat berita dari utara.
Tentu saja dengan tidak adanya pergerakan dari fihak Tiong-gi-pai, fihak Auwyang Tek menjadi makin berani dan binal. Auwyang Tek makin sewenang-wenang, merampasi anak bini orang lain semaunya saja. Kaki tangannya juga berlaku lebih sewenang-wenang lagi, mengambili harta dan sawah orang seperti mengambil warisan nenek moyangnya sendiri saja.
Untuk kesekian kalinya sejak sejarah berkembang, rakyat kecil pula yang menanggung akibat semua ini. Rakyat kecil, petani miskin yang tidak mempunyai apa-apa yang dapat melindungi hidup mereka dari perasan fihak yang lebih kuat. Biarpun dunia sudah ada kaisar, ada orang-orang berpangkat, ada bala tentara, tetap saja hukum rimba masih berlaku di mana-mana, seolah-olah dunia ini masih merupakan hutan belantara yang hanya ditinggali oleh binatang binatang penghuni rimba belaka.
Bagaimana dapat dikatakan hukum rimba? Si jagoan menindas si Iemah si kaya memeras si miskin, orang berpangkat memeras pedagang, majikan memeras buruhnya dan mereka yang tertindas dan terperas itu tidak mempunyai pelindung sama sekali. Bukankah ada petugas-petugas keamanan dan hakim? Demikian orang bertanya. Memang ada. Bahkan petugas-petugas keamanan yang berpakaian mewah dan hakim-hakim dengan pakaian kebesaran dan gedung-gedung indah. Namun petugas-petugas hamba hukum ini sudah berjiwa pedagang. Hanya untung rugi saja yang terdapat dalam kamus haii mereka. Ada tuntutan? Ada perkara? Nanti dulu, dilihat siapa yang bisa "menguntungkan" Siapa salah siapa benar? Nanti dulu, itu soal sepele, yang perlu, siapa yang menguntungkan bisa berhak menang perkara!
Inilah keadaan kerajaan baru di Nan-king pada masa itu. Penjahat, hartawan, bangsawan dan pembesar bersekutu menjadi iblis-iblis penindas. Mereka berpesia-pora di atas kepala rakyat kecil. Sungguh menyedihkan. Hanya para pendekar dan patriot gagah perkasa yang terbuka mata hatinya dan dapat meneropong ini semua. Namun apa daya mereka? Persekutuan, penjahat-hartawan- bangsawan pembesar itu terlampau kuat. Setiap perlawanan ditindas dan entah sudah berapa banyak pendekar-pendekar tewas oleh komplotan ini. Kaisar bukan seorang jahat, bahkan bekas patriot dan pejuang rakyat, akan tetapi, seperti kebanyakan manusia di atas bumi ini, hati dan pikiran mudah terpengaruh oleh keadaan. Dahulu pejuang rakyat ketika hidup dalam perjuangan di samping atau di tengah-tengah rakyat.
Sekarang sesudah menjadi kaisar, yang mendampingi bukan rakyat lagi melainkan pembesar korup, menteri-menteri durna. Mana kaisar tahu akan penderitaan rakyat? Hidup rakyat dinilai dari hidup sendiri. Dia sekarang sudah mulia, sudah makmur, hidup serba cukup berlimpah-limpah penuh kebahagiaan, tentu rakyat juga begitu keadaannya! Manusia! Memang serba bodoh, lalim, mahluk kurang penerima yang kadang-kadang menyulap diri sendiri seperti pintar, bijaksana dan budiman. Hanya pada lahirnya saja kelihatan demikian, namun pada batinnya tetap mahluk bodoh, lalim dan kurang penerima! Seperti badut di belakang topeng. Seperti kudis tertutup baju baru.
Rakyat sudah kehabisan pilihan. Pindah ke utara, biarpun di sana berkuasa Raja Muda Yung Lo yang lebih bijaksana, tetap saja selalu terganggu oleh penjahat-penjahat bangsa sendiri yang merajalela di samping penyerbuan orang-orang Mongo! yang hendak membalas dendam atas kekalahan mereka. Pindah ke selatan, terdapat gangguan srigala-srigala dalam negeri, di samping gangguan-gangguan anjing-anjing dari luar daratan berupa bajak-bajak laut Jepang Tinggal di pedalaman, diterkam oleh lintah-lintah darat berupa hartawan-hartawan tuan tanah yang merupakan raja-raja kecil karena terlindung oleh petugas-petugas negara yang sudah gendut perutnya karena makan sogok! Serba susah, serba sulit!
Tiong-gi-paii pada masa itu merupakan satu satunya perkumpulan yang menentang kekuasaan sewenang-wenang dari pada menteri-menteri durna. Namun apa artinya Tiong-gi-pai yang hanya beberapa puluh orang saja anggautanya? Menghadapi Auw-yang Tek dan kaki tangannya saja sudah kewalahan. Bahkan akhir-akjiir ini semenjak perginya Siok Beng Hui ke Peking, Tiong-gi-pai tidak berani sembarangan bergerak lagi.
Setelah sembuh dari sakitnya, Liem Han Sin secara nekat menyerbu ke gedung Menteri Auw-yang Peng dengan maksud membunuh dan membalas dendam kepada Auwyang Tek. Mula-mula ayah nya melarangnya, namun pemuda yang bersemangat baja ini diam-diam pada suatu malam menyerbu juga. Berhasil memasuki gedung, merobohkan empat lima orang penjaga. Akan tetapi sial baginya, sebelum bertemu dengan Auwyang Tek, lebih dulu ia tersasar memasuk kamar Kai Song Cinjin!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya pemuda gagah itu ketika ia berhadapan dengan Kai Song Cinjin yang duduk bersila sambil meramkan mata di atas pembaringan yang bertilamkan kain sutera halus. Ia cepat-cepat hendak keluar lagi, akan tetap sekali Kai Song Cinjin menggerakkan tangan ke arahnya, pemuda ini tidak mampu keluar lagi! Ada sambaran tenaga dan tangan kakek tua itu yang membetotnya kembali.
''Orang muda, kau datang mau apa?" tanya Kai Song Cinjin tenang-tenang saja. Liem Han Sin bukan seorang penakut, la sudah memperhitungkan ketika hendak menyerbu bahwa ia menghadapi bahaya besar dalam penyerbuan ini. dan bahwa ia bertaruh dengan nyawa. Tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai dari fihak musuh, ia tidak sudi membohong,
"Aku datang hendak mencari Auwyang Tek, hendak minta ganti nyawa dua orang saudara perempuanku yang sudah ia bunuh!" Kai Song Cinjin tersenyum. Ia sudah mendengar tentang pertandingan pibu antara muridnya dan pemuda bernama Liem Han Sin murid Im-yang Thian-cu.
"Hmm, jadi kau murid Im-yang Thian-cu? Benar-benar tosu kurang makan itu tidak tahu diri dan tak dapat mengajar adat kepada muridnya. Kau sudah kalah pibu, mengapa nekat menyerbu ke sini? Kau mengandalkan apa? Kalau tidak pinceng beri hajaran, kau bisa menimbulkan keributan di rumah Auwyang taijin. Pergilah!"
Kai Song Cinjin mengebutkan tangannya ke arah Han Sin. Pemuda ini kaget bukan main, karena biarpun tangan kakek itu tidak menyentuhnya. namun ia merasa dadanya sakit sekali, sebelah tubuhnya serasa lumpuh, la tahu bahwa ia telah menderita luka dalam akibat pukulan yang luar biasa dari seorang sakti. Sambil menggigil bibir menahan sakit pemuda ini bertanya, "Kau sudah melukai seorang muda. Siapakah kau?"
"Ha-lia, kau hendak mengadu kepada Im-yang Thian-cu? Boleh, katakan bahwa kau menerima pelajaran dari Tok-ong!"
Diam-diam Han Sin mengeluh. Pantas saja begini sakti. Tidak tahunya inilah orangnya yang bernama Tok-Ong Kai Song Cinjin Si Raja Racun! Gurunya sendiri, lm-yang Thian-cu, sudah berkali-kali mengaku tak dapat menandingi hwesio dari Tibet ini. Apa lagi dia Dengan tubuh dan hati sakit, Liem Han Sin memaksa diri keluar dari gedung itu dan kembali ke tempat ayahnya, tentu saja ayahnya terkejut melihat puteranya pulang dengan wajah pucat. Setelah bajunya dibuka, ternyata di dada sebelah kanan pemuda itu terdapat tanda titik-titik merah.
Kwee Cun Gan cepat memanggil ahli pengobatan untuk memeriksa luka ini, akan tetapi semua ahli pengobatan di kota itu tidak ada yang mampu menyembuhkan luka Liem Han Sin. Hanya memberi obat penahan nyeri saja. Pemuda ini makin lama makin lemah dan sebelah kanan tubuhnya sudah lumpuh seperti orang terkena penyakit pianswi. Keadaannya benar-benar amat menyedihkan. Liem Hoan tak suka makan, tak nyenyak tidur, setiap saat berada di samping puteranya sambil menghela napas panjang pendek.....
Souw Lee Ing menikmati pemandangan alam di sepanjang perjalanannya setelah ia keluar dari Gua Siluman, la boleh diumpamakan sebagai seorang yang baru keluar dari hukuman atau sebagai seekor burung yang baru terlepas dari kurungan. Selama empat lima tahun ia mengeram diri di dalam Gua Siluman, hidup seorang diri dan terasing sama sekali dari dunia ramai. Sekarang ia melihat segala sesuatu nampak indah menarik, bahkan orang-orang dan suara mereka merupakan hal yang amat menyenangkan hatinya.
Tentu saja ini adalah akibat dari pada pengasingannya yang bertahun-tahun itu, karena memang manusia dapat menghargai segala sesuatu di permukaan bumi itu kalau sudah merasa betapa rindunya ia akan semua itu apa bila ia berada seorang diri di tempat terasing dan sunyi. Umpamanya saja, setiap orang akan merasa jijik dan segan mendekati apa bila bertemu dengan seorang pengemis kotor berpenyakitan, apa bila pertemuannya itu terjadi di dunia ramai, di kota misalnya. Akan tetapi apa bila pertemuan itu terjadi di tempat sunyi, di tempat yang membuat ia terasing dari dunia ramai, kiranya pertemuan dengan seorang sesama hidup, seorang manusia, betapa kotor dan rendah menurut ukuran orang kota sekalipun, ia akan suka sekali mengajaknya bicara.
Demikian juga dengan Lee Ing. Begitu keluar dari Gua Siluman, biarpun ia bertemu dengan Hui-ouw- tiap Yap Lee Nio yang dulu berkeras hendak membunuhnya dan menjadi musuh besar ayahnya, ia tidak tega untuk mencelakainya. hanya merampas pakaiannya dan mempermainkannya sedikit. Akan tetapi setelah berbulan-bulan ia berada di dunia ramai dan melihat betapa jahat dan palsunya sebagian besar manusia di dunia ini, hatinya mulai tawar lagi dan mulailah ia membedakan antara manusia baik-baik dan manusia-manusia jahat.
Apa lagi setelah ia melakukan perjalanan makin dekat dengan kota raja, la melihat rakyat yang tertindas, pembesar pembesar korup dan jahat yang bersekongkol dengan tuan-tuan tanah yang merupakan raja-raja kecil di dusun masing-masing, melihat orang-orang yang berkepandaian dan kuat menindas yang lemah. Hatinya menjadi panas dan timbul sifat ksatrianya.
Di mana-mana Lee Ing turun tangan memberi hajaran kepada orang-orang yang mengandaikan kepandaian menindas, si lemah, memberi hukuman kepada hartawan-hartawan atau okpa-okpa yang jahat, yang demi kemurkaan hati yang tak kenal puas itu tidak segan-segan untuk memeras darah dan keringat rakyat petani. Tidak segan pula gadis remaja ini turun tangan membasmi para pembesar yang korup dan mengandalkan kekuasaannya dan pasukannya untuk bertindak seperti kaisar sendiri terhadap rakyat yang menjadi makin payah terjepit.
Gerak-gerik Lee Ing demikian cepat sampai-sampai tidak ada orang yang melihatnya, baik mereka yang ia tentang maupun mereka yang ia tolong? Ia datang dan pergi seakan-akan tanpa bayangan, hanya meninggalkan bekas sepak terjangnya yang cukup mengecilkan nyali para orang jahat dan membesarkan hati rakyat yang tertindas. Sering kali terjadi seorang pembesar tinggi, tanpa mengetahui siapa yang melakukannya tahu-tahu telah digantung di tengah kota, atau hartawan tuan tanah yang tahu-tahu kehilangan daun telinganya, kehilangan sebagian emas simpanannya atau mendapatkan surat ancaman supaya mengembalikan tanah yang dirampasnya dari para petani dusun.
Ada pula yang tahu tahu telah tewas di dalam kamarnya dan gadis dusun yang diculik dan hendak dijadikan selir secara paksa tahu-tahu telah lenyap dan telah berada kembali di rumah orang tuanya. Juga di dusun-dusun banyak terjadi hal aneh, misalnya di rumah keluarga miskin yang hampir mati kelaparan tahu-tahu terdapat beberapa potong emas.
Semua ini bekas tangan Souw Lee Ing gadis remaja puteri yang telah mewarisi kepandaian tinggi sekali dan ternyata begitu keluar dari Gua Siluman tidak menyia-nyiakan kepandaian yang diwarisinya dan jiwa ksatria ayahnya yang mengalir di tubuhnya itu menuntut supaya ia turun tangan dan bertindak langsung membantu rakyat kecil.
Melihat betapa makin dekat kota raja makin banyak terjadi kejahatan dan penindasan, Lee Ing menjadi ingin sekali cepat-cepat memasuki kota raja. Pada suatu hari ia telah berada di pantai Sungai Huai. Pemandangan di sepanjang pantai sungai ini amat indahnya, juga hawanya amat sejuk. Lee Ing yang merasa kepanasan timbul keinginan hatinya hendak mandi..
Tempat itu memang sunyi sekali, tidak kelihatan ada orang, karena memang bagian yang penuh batu karang ini tidak didatangi oleh para nelayan. Lee Ing mencari tempat yang cukup bersih, lalu menanggalkan pakaiannya dan menaruh pakaian itu di atas batu karang. Dia sendiri lalu turun ke dalam air yang amat jernih, di bagian di mana air sungai sukar didatangi orang karena tempat itu penuh batu karang yang tinggi dan licin, maka di situ sunyi saja tidak ada orang lain.
Lee Ing tidak merasa ragu-ragu untuk mandi tanpa pakaian. Ia tidak mempunyai pakaian lain kecuali yang dipakainya, yaitu pakaian hijau yang ia ambil dari badan Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio. Melihat air jernih kehijauan yang membayangkan batu-batu karang dan tetumbuhan itu mendatangkan rasa sejuk dan segar, Lee Ing tertawa girang dan berenang ke sana ke mari sambil memukul-mukul air seperti anak bermain-main dengan riang gembiranya.
"Heeeiii ! Kau benar-benar gadis nakal, terlalu sekali!" Tiba-tiba terdengar suara orang menegur.
Lee Ing terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa di tempat seperti itu ada orangnya. Ia menengok ke kanan dan. melihat seorang pemuda tampan sekali sedang duduk dengan enaknya memegangi sebatang bambu pancing. Pemuda itu memandang kepadanya dengan kening berkerut tanda hati kesal.
Tentu saja Lee Ing cepat-cepat selulup, menyembunyikan tubuhnya di dalam air sampai ke dagunya. Pantas saja ia tadi tidak melihat pemuda itu, karena pemuda itu duduk di atas batu karang di balik batu karang besar sehingga tadi antara dia dan pemuda itu teraling batu karang yang menonjol ke sungai. Juga tentu saja ia tidak mendengar apa-apa karena pemuda itu duduk seperti patung memancing ikan!
Wajah Lee Ing menjadi merah seperti udang direbus. Dia seorang dara berusia sembilan belas tahun dan tentu saja hatinya berdebar tidak karuan karena ada seorang pemuda melihat ke arahnya sedangkan ia sama sekali tak berpakaian. Sungguhpun tubuhnya tersembunyi di dalam air, namun air itu jernih sekali.
"Kau. manusia kurang ajar!"’ bentak Lee Ing sambil melototkan matanya.
Pemuda mi membelalakkan matanya terheran-heran, kemudian bertanya dengan suara penasaran, "Eh, eh, kau yang nakal dan mengganggu orang lain, sekarang tiada hujan tiada angin memaki aku kurang ajar, coba jelaskan alasannya."
"Laki-laki tak tahu diri! Ada seorang wanita mandi di sini dan kau... matamu melotot tak tahu malu, Hayo kau melihat ke jurusan lain, kalau tidak, awas kau akan kukorek keluar biji matamu yang kurang ajar itu!" Lee Ing makin marah karena dalam anggapannya ia melihat sepasang mata pemuda itu yang jernih dan tajam seperti bintang nampak bersinar-sinar dan wajah yang tampan itu berseri seakah-akan merasa geli dan senang hati menggodanya.
Pemuda itu tersenyum mendengar makian ini, senyumnya manis sekali membuat pipi Lee Ing menjadi makin merah. Akan tetapi baiknya pemuda itu tidak menggoda lebih lanjut dan benar saja memalingkan muka ke lain jurusan. Mendapat kesempatan baik ini. Lee Ing lalu berenang ke tempatnya yang tadi Kini ia teraling oleh tonjolan batu karang dan pandangan pemuda itu, cepat- cepat melompat ke darat dan memakai lagi pakaiannya.
"Akan kuhajar dia...!" pikirnya dan di dalam kepalanya sudah di rencanakan cara bagaimana sebaiknya memberi hajaran kepada pemuda itu. Di tampar pipinya sampai biru atau dilempar saja dia ke air? Sambil memikirkan rencana ini, tak terasa Lee Ing menggerakkan kedua tangannya untuk membereskan rambutnya yang awut-awutan dan basah, membereskan pula pakaiannya.
Seakan-akan kedua tangan itu bergerak tanpa ia kehendaki untuk membuat ia nampak cantik menarik! Sayang aku tidak mempunyai pakaian lain untuk berganti sehabis mandi, pikirnya. Ah, mengapa pula harus berganti pakaian, dan mengapa pula aku harus bersolek? Lee Ing berdebar jantungnya dan ia mencela diri sendiri.
"Lee Ing, sejak kapan kau menjadi pesolek? Genit benar!" Ia memukul pipinya sendiri perlahan lalu berlari-lari menuju ke tempat pemuda pengail ikan itu.
la lihat pemuda itu masih duduk anteng seperti tadi, sepasang matanya ditujukan ke air, atau lebih tepat ke ujung tali pancing yang berada di permukaan air. Setelah dekat Lee Ing mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar ganteng, terutama? sekali bibir dan matanya amat manis menarik hati. Belum pernah Lee Ing melihat pemuda setampan ini. Tampan, ganteng dan halus gerak-genknya, seperti seorang pemuda terpelajar.
Tadinya ia sudah gemas dan sudah gatal-gatal tangannya hendak memberi hajaran atas sikap pemuda yang dianggapnya kurang ajar itu. Pemuda itu menengok sambil tersenyum dan berkata, "Ah, kau jelita sekali!" Pujian ini demikian sewajarnya dan pada mata pemuda ini tidak nampak sinar mata yang biasanya berpancaran keluar dari mata laki-laki yang melihatnya. Biasanya mata laki-laki memandangnya seperti pandangan singa kelaparan dan pujiannya mengandung nafsu dan gairah. Akan tetapi pujian pemuda tampan ini sewajarnya, terus terang dan sederhana. Kembali Lee Ing merasa mukanya panas dan ia tidak tahu betapa sepasang pipinya menjadi kemerahan, membuat ia nampak makin cantik.
Biarpun pada pandang mata pemuda itu tidak ada tanda-tanda ceriwis, namun pujiannya membuat Lee Ing marah. Ia sudah mengepal tinju dan membentak, "Kau pemuda tak tahu aturan!"
Pemuda itu tertegun. "Lho, kau memaki aku lagi. Tadi kau memaki aku kurang ajar karena aku sudah duduk di sini melihatmu mandi, sungguhpun aku yang datang lebih dulu dan bukan aku yang sengaja melihat kau mandi di depanku. Sekarang kau bilang aku tak tahu aturan. Apa lagi alasannya!"
"Kau seorang laki-laki berani memuji-muji kejelitaan wanita, bukankah itu tak tahu aturan dan menandakan bahwa kau seorang yang kurang ajar sekali?"
Pemuda itu tersenyum dan kembali jantung Lee Ing berdetak lebih cepat Senyum pemuda ini seakan-akan dapat membetot jantungnya dan meruntuhkan semangatnya.
"Nona yang jelita, kau benar-benar tidak adil dan keliru sekali pandanganmu itu. Aku seorang yang suka akan keindahan, kalau aku melihat tamasya alam yang indah, aku suka memujinya, kalau melihat bunga mekar semerbak, aku suka pula memuji-mujinya. Sekarang aku melihat kau begini cantik jelita, tak tertahan lagi mulutku memuji, pujian yang keluar dari lubuk hati. Mengapa hal ini dianggap tak tahu aturan? Malah ini menandakan bahwa aku tahu akan keindahan, tahu menghargai yang indah-indah."
"Hemmm, kau. penyair?"
Pemuda itu menggeleng kepala dan memandang dengan lucu, agaknya geli hatinya. "Bukan, aku kau lihat sendiri, aku pengail pada saat ini. Mengapa kau mengira aku penyair?"
Lee Ing gelagapan. Tadi ia bertanya karena mendengar kalimat-kalimat yang amat indah bagi pendengarannya dan ia teringat akan ayahnya yang suka membuat syair.
"Karena.... karena seorang penyair cinta akan keindahan."
Pemuda itu mengangguk angguk. "Memang, setiap orang seniman selalu dapat menghargai keindahan alam dan akupun tak berani mengaku sebagai seorang seniman. "
"Kau pengail? Itukah pekerjaanmu?" tanya Lee Ing yang entah bagaimana sudah lupa lagi akan niatnya hendak memberi "hajaran" tadi.
Pemuda itu tersenyum. "Kau bicara sambil berdiri saja seperti hakim memeriksa penjahat. Di sini banyak batu halus, enak diduduki. Kalau kau mau duduk bukankah akan lebih enak kita mengobrol! Jangan kau takut, aku hanya seorang biasa saja, seorang pemuda yang tidak berbahaya. Namaku Oei Siok Ho. Timbul rasa kagum dalam hati Lee Ing akan sikap pemuda ini yang makin lama makin tampak kejujuran dan kesederhanaannya, namun amat pandai bicara yang indah-indah. Timbul sifatnya sendiri yang polos dan jujur.
"Aku tadi ingin sekali memberi hajaran kepadamu," katanya sambil duduk di depan pemuda itu. di alas sebuah batu yang hitam halus dan bersih.
Siok Ho tersenyum lagi. "Begitukah? Mengapa tidak kau lanjutkan keinginanmu itu? Kau tentu marah dan hendak melemparkan aku ke dalam air, bukan?"
Lee Ing kaget, akan tetapi melihat sinar mata yang berseri penuh tawa itu, ia tertawa gembira. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya sambil tersenyum juga.
"Tentu demikian kira-kira perasaan seorang gadis kalau merasa diperlakukan kurang ajar oleh seorang pria yang tidak dikenalnya. Akan tetapi jangan kau lakukan hal itu, karena kalau aku tercebur di dalam air, tentu ikan-ikan akan lari lagi dan tidak mau mendekati pancingku. Sedangkan perutku sudah lapar bukan main. Tadinya ikan-ikan besar sudah ada yang mendekat, sebelum aku berhasil, eh, muncul kau dari balik sana dan membikin takut ikan-ikan besar. Sekarang ikan-ikan itu sudah mulai mendekat, jangan kau ceburkan aku!"
Lee Ing tersenyum geli. Pemuda ini pandai juga melucu, pikirnya. Karena kini Siok Ho memandang ke arah air, Lee Ing mulai memperhatikannya. Benar tampan, pikir Lee Ing dan ia merasa malu kepada hatinya sendiri mengapa begitu tertarik dan tergila-gila kepada pemuda yang tidak dikenalnya ini. Seperti seorang siucai (mahasiswa) muda, pikirnya. Akan tetapi mengapa memancing seorang diri di tempai sunyi ini? Dan alangkah asyiknya, nampaknya senang bukan main menanti ikan besar mendekat. Sampai lama Siok Ho tak bergerak-gerak anteng dan seperti sudah lupa bahwa di sampingnya terdapat seorang gadis jelita memandanginya dari samping.
"Apa sih umpannya untuk memancing?" Lee Ing akhirnya bertanya karena sudah tidak sabar lagi menanti orang yang diam saja seperti patung itu.