Jilid 04
Tiba tiba pandang matanya tertumbuk pada benda hitam yang menjulang tinggi di tengah laut, tak jauh di sebelah kanannya Benda itu adalah dua buah batu karang yang berbentuk menara. Dilihat dari jauh tentu dikira menara buatan manusia, akan tetapi sebenarnya batu-batu karang buatan alam. Girang hati Lee Ing. Biarpun yang tampak itu bukan sebuah pulau yang subur, akan tetapi jauh lebih aman dari pada papan yang selama beberapa hari ini menjadi kawan dan penolong satu- satunya, la mendayung dengan tangannya, papan meluncur perlahan menuju batu karang.
Mendapatkan batu karang ini, timbul tenaga baru dalam diri Lee Ing. Ia memanjat dan girang melihat batu karang yang kokoh kuat itu, yang tidak bergeming menghadapi hantaman air mengombak. Lee Ing tidak melupakan papannya yang telah menolong nyawanya dan menjadi kawannya. Dibawanya papan itu naik ke atas batu karang. Memang dalam keadaan seperti itu orang akan memperhatikan hal-ha! kecil dan remeh, Juga Lee Ing demikian, timbul rasa sayang dan setia kawan dalam hatinya terhadap papan itu.
Sampai tiga hari tiga malam Lee Ing berada di sepasang menara batu karang itu. Keadaan yang amat tidak enak, akan tetapi bagi Lee Ing yang berwatak periang itu dianggap amat menguntungkan, jauh sekali lebih baik, lebih aman, dan lebih "enak" dari pada di atas papan. Di situ ia bisa tidur nyenyak, bisa berlindung dari terik matahari dengan bersembunyi di dalam celah yang terdapat di antara dua buah menara batu karang, dan dapat menangkap ikan-ikan kecil yang kebetulan lewat dekat. Di situ ia tidak khawatir akan diganggu dan dibuntuti oleh hiu-hiu yang mengancam.
Biarpun pikirannya tenang dan api kegembiraan hidupnya tak pernah padam, namun Lee Ing tidak pernah lupa untuk memikirkan jalan keluar dari "penjara" ini. Setiap kali ia naik ke puncak batu karang, memandang ke empat penjuru untuk melihat tanda-tanda apakah di dekat situ terdapat pulau atau daratan.
Pada hari ke lima, ketika ia sedang melihat-lihat ke empat penjuru seperti biasa, tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, la melihat titik hitam yang makin lama membesar dan mulai kelihatanlah bentuk-bentuk layar. Sebuah perahu layar. Benar-benar mengharukan sekali melihat sikap Lee Ing pada saat itu. Gadis ini kebingungan, dengan gagap-gagap seperti ayam hendak bertelur ia naik turun menara batu karang itu sambil memutar-mutar kain ikat rambutnya dan berteriak-teriak sekuat tenaga.
"Heeeeeiii, tukang perahu... ke sinilah...! Sahhabat baik, putar perahumu ke sini...! Aku hendak ikut...!" Demikian teriakannya berulang-ulang sambil memutar-mutar kain di tangannya. Beberapa ekor burung belibis laut sampai kaget dan terbang meninggi. Tentu rnereka ini kaget dan takut melihat mahluk aneh di atas batukarang itu!
Perahu layar makin mendekat. Lee Ing berjingkrak-jingkrak di atas batu karang, dibilang tertawa air matanya bercucuran, kalau menangis mengapa suaranya bergelak tertawa. Saking girangnya gadis ini menangis sambil tertawa. Baru ia tenang kembali setelah perahu datang dekat dan ia melihat dua orang laki-laki tinggi besar berdiri di dek, memandangnya dengan mata terbelalak. Dua orang itu yang seorang berusia tiga puluh tahun lebih, yang ke dua sudah lima puluh tahun. Muka mereka menghitam terbakar panas matahari. Mereka bukan nelayan, karena pakaian mereka seperti pakaian ahli silat.
"Benarkah apa yang kulihat ini?" Akhirnya yang tua dapat mengeluarkan kata-kata, suaranya besar dan kasar. "Seorang gadis muda cantik seorang diri di atas batu karang ini?" "Entah cantik entah tidak, akan tetapi aku memang seorang gadis muda. Orang tua baik, lekas dekatkan perahumu, aku hendak ikut menumpang ke darat!” jawab Lee Ing.
Akan tetapi dua orang yang bertugas sebagai juru mudi itu tidak bergerak mendekatkan perahu, kini yang muda bertanya, suaranya kecil tinggi tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, "Kau ini siluman, peri atau manusia? Kau wanita muda cantik jelita seorang diri di sini, mana bisa jadi? Jangan-jangan kau siluman ikan. "
Kini tiga orang lain datang ke dek itu, pakaian mereka serupa, seperti pakaian tentara seragam. Melihat Lee Ing, tiga orang inipun bengong terheran.
"Sam-ko, dia itu ikan duyung!" seru seorang,
"Mana bisa Ikan duyung tak berbaju, di atas gadis di bawah ikan. Dia itu lengkap gadis dari atas ke bawah, berpakaian pula," bantah yang lain.
"Tentu siluman.... siluman ikan atau siluman ular "
Lee Ing membanting-banting kaki dengan gemasnya. Pada saat itu terdengar suara keras sekali dan parau dari sebelah dalam "Mengapa haluan perahu diputar? Ada apa ribut-ribut di atas itu?"
Lima orang anak buah perahu besar itu menghentikan keributan dan yang tua menjawab hormat, "Loya, di atas batu karang terdapat seorang gadis cantik."
"Dekatkan perahu, biarkan dia naik kalau dia orang baik-baik." Suara parau tadi terdengar pula.
Beramai perahu didekatkan, akan tetapi sebelum mereka menurunkan tali, Lee Ing yang sudah naik ke puncak batu karang dan melihat jarak perahu tidak jauh lagi, mengumpulkan seluruh kekuatan yang masih ada, mengerahkan ginkangnya dan melompat ke atas dek. Karuan saja lima orang itu menjadi kaget setengah mati, mengira "siluman" ini hendak menyerang dan makan mereka. Dayung digerakkan, golok dicabut akan tetapi Lee Ing mengangkat tangan dan berkata.
"Aku hanya mau menumpang, ikut ke darat. Mengapa kalian begini tolol? Aku orang biasa apa mata kaIian suudah buta?"
Mendengar gadis jelita itu bisa memaki-maki seperti wanita biasa, lima orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak dengan perasaan lega. Banyak lagi anak buah perahu mendatangi, ada belasan orang banyaknya. Mereka ini orang-orang kasar dan menghujankan pertanyaan kepada Lee Ing.
"Siapa nona? Bagaimana bisa berada di batu karang?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini diajukan bertubi-tubi sampai Lee Ing sukar menjawab.
"Satu-satu.. satu-satu kalau bertanya. Masa menggonggong menyalak seperti anjing-anjing kelaparan. Mulutku hanya sebuah mana bisa melayani begini banyak orang?" Kembali semua orang tertawa riuh-rendah mendengar jawaban-jawaban dan sikap Lee Ing yang lincah dan lucu.
"Cantik sekali.." "Manis, menggiurkan!" "Anak yang lucu!"
Banyak pujian semacam ini dilontarkan orang yang rata-rata merasa tertarik, bukan hanya oleh kecantikan Lee Ing dan sikapnya yang lincah, akan tetapi juga ingin sekali tahu bagaimana gadis itu dapat berada di atas batu karang seorang diri.
Sebelum Lee Ing menuturkan riwayatnya, tiba-tiba semua orang berdiam dan membuka jalan. Terdengar orang berkata perlahan, "Minggir, loya datang!"
Dari balik pintu manusia itu muncul seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaian nya juga seperti seorang ahli silat, malah dipunggungnya nampak tersembul dua gagang ruyung dan di pinggangnya tergantung kantong piauw, akan tetapi sikapnya lembah lembut. Ia mengerutkan kening ketika melihat Lee Ing. tanyanya tenang,
"Nona siapa? Bagaimana bisa berada di atas batu karang?"
Akan tetapi, pertanyaan yang sudah sering didengarnya bertubi-tubi dari para anak buah perahu itu tidak mengherankan hati Lee Ing, bahkan tidak dihiraukan sama sekali. Sebaliknya, orang yang baru datang itu berikut anak buahnya memandang heran kepada Lee Ing yang tidak menjawab melainkan celingukan ke kanan kiri dan hidungnya yang kecil mancung itu berkembang-Kempis, mencium-cium sesuatu seperti anjing mencium bau tulang.
Hidung belasan orang itu ikut berkembang-kempis mencium-cium, mencari apakah ada apa-apa dan kembali mereka memandang Lee Ing. Gadis ini masih mengembang kempiskan hidungnya yang bagus, lalu berkata,
"Enak.... enak.... masakan ca-udang ini enak sekali, sayang terlalu banyak jahe.... hemmm, enak, perutku lapar..!"
Pecah suara gelak ketawa mendengar ucapan Lee Ing ini. Tidak tahunya hidung kecil mancung itu mencium-cium bau masakan yang keluar dari dapur perahu ini. Orang yang dipanggil loya itu mengamat wajah Lee Ing yang agak pucat dan tubuhnya nampak lemas, lalu katanya memberi perintah,
"Sediakan makan minum untuk nona ini. kemudian bawa dia menghadapku di ruang dalam.” Setelah berkata demikian, ia pergi mentastiki bilik perahu yang besar.
Dengan gembira dan tertawa-tawa para anak buah perahu mengajak Lee Ing memasuki ruangan makan dan di situ Lee Ing dijamu dengan makanan enak.
Penciumannya memang tajam dan betul saja yang tercium olehnya tadi adalah masakan ca-udang. Tanpa sungkan-sungkan lagi Lee Ing menyerbu hidangan, makan sekenyangnya. Selama delapan hari ia hanya makan daging ikan mentah dan minum air hujan, air embun dan kadang-kadang air laut.
Setelah perutnya kenyang oleh makanan dan hangat oleh arak, timbul rasa mengantuk yang luar biasa. Ia membersihkan mulut dan bibir dengan mata melenggut, kemudian tak tertahankan lagi la merebahkan kepala di atas meja berbantal tangan. Di lain saat gadis ini sudah pulas di situ!
Anak buah perahu tidak ada yang berani mengganggu, hanya tertawa tawa lalu pergi memberi laporan kepada majikan mereka. Yang-dilapori hanya mengangguk saja dan memesan agar supaya nona itu jangan diganggu dan cepat diajak nenghadap untuk diperiksa dan ditanyai Setelah bangun dari tidurnya. Akan tetapi, selama berhari-hari Lee Ing yang menderita kesengsaraan lahir batin, mengalami ketegangan hebat dan beberapa kali terlepas dari cengkeraman maut. Sekarang ia menemukan obatnya, karena obatnya bukan lain hanya tidur disertai hati aman dan perut kenyang, maka sampai sehari semalam ia tidur pula di atas kursi berbantal meja, tidak tahu bahwa perahu besar yang ditumpaningnya sudah berlayar pergi melanjutkan pelayarannya.
Perahu apakah itu dan siapa mereka yang menjadi penghuni perahu layar besar ini? Sudah bertahun- tahun perahu layar besar yang pada puncak tiang layar terdapat bendera tengkorak merah ini menjadi momok yang ditakuti oleh semua perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Laut Po- hai. Inilah perahu bajak laut yang dikepalai oleh orang berusia empat puluh tahun lebih tadi, yang bernama Sim Kang berjuluk Siang-Pian-hai-liong (Naga Laut Bersenjata Sepasang Pian). Tidak saja Siang-pian-hai-liong Sim Kang amat terkenal akan kekejaman dan kelihaian senjata piannya, juga anak buahnya yang berjumlah tiga puluh orang rata-rata adalah bajak-bajak laut berpengalaman yang ganas dan kuat.
Di samping ini, Sim Kang masih mengandalkan putera tunggalnya, Sim Hong Lui yang juga amat lihai ilmu silatnya, kalau tak boleh dibilang lebih lihai dari ayahnya. Selain mendapatkan ilmu silat dari ayahnya, juga pemuda berusia dua puluh tahun ini mewarisi ilmu silat dari ibunya yang sudah hidup terpisah dari ayahnya, lsteri Sim Kang adalah seorang pendekar wanita anak murid Hoa-lian-pai, murid terkasih dari Lui Siu Niang-niang ketua Hoa-lian-pai di kaki Pegunungan Ta-pie-san.
Dahulu sebelum menjadi kepala bajak, Sim Kang bekerja sebagai seorang piauwsu (pengawal kiriman) yang terkenal gagah dan disegani para kaum liok-lim (golongan penjahat). Dalam usia dua puluh tahun ia telah menjunjung tinggi namanya sebagai seorang gagah. Kemudian ia berjumpa dengan pendekar wanita Yap Lee Nio yang berjuluk Hui-ouw-tiap (Kupu-kupu Terbang) dan yang menjadi seorang perampok budiman tunggal.
Sesuai dengan ajaran gurunya, Lui Siu Niang-niang ketua Hoa-lian-pai. Yap Lee Nio membantu rakyat miskin dengan jalan mencegat para saudagar, merampas sebagian barangnya dan membagi-bagikan kepada fakir miskin! Pada suatu hari ia bertemu dengan piauwsu muda Sim Kang, terjadi perebutan dan pertempuran. Keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri!
Akan tetapi semenjak Kerajaan Beng berdiri, perusahaan Sim Kang menjadi bangkrut. Isterinya hendak kembali menjadi perampok. Sim Kang tidak setuju dan terjadi percekcokan dalam krisis rumah tangga ini. Yap Lee Nio memang berwatak keras, apa lagi memang kepandaiannya lebih tinggi dari pada suaminya, la menjadi marah dan meninggalkan suami dan putera tunggalnya, yaitu Sim Hong Lui. Ditinggal oleh isterinya yang tercinta, Sim Kang menjadi rusak hatinya dan ia bahkan lalu nekat menjadi... bajak laut.
Mula-mula perbuatannya ini hanya untuk mengimbangi kesesalan isterinya, akan tetapi lambat-laun setelah ia mendapat nama terkenal, ia tidak bisa lagi melepaskan pekerjaan ini. Demikianlah, yang wanita menjadi perampok tunggal, si suami menjadi bajak laut, dan puteranya.. ke sana ke mari mengunjungi ayah bundanya untuk menerima pelajaran ilmu silat.
Watak seorang anak dibentuk oleh keadaan orang tuanya sendiri. Perpisahan suami isteri ini membuat Sim Hong Lui kurang pendidikan moral, dan pergaulan dengan para anak buah bajak membuat ia tersesat dan terkenal sebagai pemuda... ugal-ugalan perusak anak bini orang. Sayang sekali! Wajahnya tampan sikapnya halus dan kepandaiannya tinggi.
Karena Sim Hong Lui sering kali mendarat untuk menemui ibunya, dari pemuda ini Sim Kang mengetahui daratan dan mengetahui pula tentang keadaan negara, la juga mendengar tentang Souw Teng Wi yang dikejar-kejar oleh kaisar dan kaki tangannya. Sim Kang dahulu pernah menjadi sahabat baik Souw Teng Wi ketika ia masih menjadi piauwsu. la hanya ikut menyesal mendengar akan nasib buruk sahabatnya itu. Akan tetapi lebih dari itu, tidak. Sim Kang dahulu berbeda dengan Sim Kang sekarang. Dahulu sebelutn menikah ia adalah seorang pendekar gagah, akan tetapi hidup di atas lautan sebagai bajak, ditambah penderitaan dan sakit hatinya ditinggal isterinya, membuat Sim Kang berubah menjadi seorang manusia yang buas, kejam, dan gila harta.
Sebagai bajak laut yang malang-melintang di perairan Laut Po-hai. Sim Kang tentu saja mempunyai beberapa pulau kecil kosong tempatnya menyembunyikan hasil rampasannya. Pada Suatu hari ketika ia singgah di pulau kosong terpencil ini dan dari atas dek perahunya melihat anak buahnya menurun-nurunkan barang yang baru ia dapat rampas dari perahu pedagang, tiba-tiba ia melihat anak buahnya lari cerai-berai ketakutan, kembali ke perahu.
"Celaka, loya. Di depan gua penyimpan barang ada seorang gila yang lihai. Dua orang kawan telah ia bunuh," seorang di antara para bajak itu melapor.
Sim Kang dan puteranya, Sim Hong Lui cepat melompat ke darat, membawa senjata dan cepat berlari ke tempat itu. Dari jauh mereka sudah mendengar suara orang berteriak-teriak,
"Serbuuu...! Kawan-kawan seperjuangan, serbu dan ganyang habis musuh-musuh kita! Jangan takut mati. Mari kita pertahankan tanah air dengan titik darah penghabisan. Mati dalam perjuangan membela nusa bangsa adalah mati mulia. Serbuuu..!!"
Mendengar suara ini, Sim Kang terkejut. Kemudian ia dan puteranya melihat seorang laki-laki pakaiannya kotor dan compang-camping tidak karuan, rambutnya awut-awutan, mukanya penuh cambang yang tidak terpelihara, matanya liar. Orang ini usianya sebaya dengan Sim Kang perawakannya sedang. Berdiri dengan kedua kaki terpentang gagah di depan gua, tangannya menuding ke sana ke mari seakan-akan seorang jenderal perang memberi aba-aba kepada deretan pohon-pohon yang dianggap laskarnya. Tidak jauh dari kakinya menggeletak mayat dua orang anak buah bajak.
"Dari mana datangnya orang gila itu?" Sim Hong Lui membentak marah sambil mencabut pedangnya.
"Hong Lui, tunggu...!" Sim Kang mencegah namun terlambat. Gerakan pemuda itu cepat sekali. Ia telah mewarisi ginkang ibunya yang lihai, sekali tubuhnya berkelebat ia telah berada di depan orang gila itu dan pedangnya yang lebih menyerupai golok itu dikerjakan cepat menyerang. Sekaligus ia telah menyerang dengan tiga tikaman dan dua bacokan. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja dapat memecah sejurus serangan dengan lima kali pukulan berbahaya. Pemuda itu sengaja melakukan serangan ini untuk cepat-cepat membunuh orang gila yang telah menewaskan dua orang kawannya.
Orang gila itu berdiri miring, tangan kirinya masih bertolak pinggang dan tadi tangan kanannya yang menuding ke sana ke mari memberi aba-aba. Sekarang menghadapi serangan ini, ia seperti tidak tahu, tubuhnya tetap seperti tadi, tangan kirinya tetap bertolak pinggang. Hanya tangan kanan yang tadi menuding-nuding itu kini dibuka jari-jari tangannya dan lima kali ia menyentil dengan jari-jari telinjuk dan ibu jarinya.
"Ting-ting-ting-ting-ting!" Lima kali serangan pedang itu "bertemu" atau dipapaki oleh kuku jari telunjuk orang gila itu dan tiap kali pedang itu membalik bagaikan ditangkis oleh tongkat baja! Sim Hong Lui kaget setengah mati, cepat melompat ke belakang. Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan orang gila itu seperti karet molor ke depan, lebih panjang satu kaki dari pada biasanya dan tahu-tahu pundak Sim Hong Lui sudah dipegang dan sekali banting Hong Lui jatuh terguling.
"Ha-ha-ha-ha! Musuh sudah kehabisan orang! Kutu rambut macam ini dijadikan panglima. Ha-ha- ha!"
Dengan bulu roma berdiri semua menghadapi kehebatan orang ini, Sim Hong Lui mencoba untuk meraih pedangnya yang tadi terlepas dari tangan saking kerasnya ia terbanting. Kalau ia tidak memiliki kekebalan, tentu tulang-tulangnya hancur akibat bantingan tadi. Akan tetapi, sebelum tangannya sempat menyambar pedangnya, kaki telanjang orang gila itu sudah mendahului menginjak pedang dan "krakkk!" pedang itu diinjak patah-patah menjadi lima potong! Kemudian orang gila itu mengangkat kaki, menginjak kepala Hong Lui! Pemuda ini masih dapat mengelak sambil menggelundung ke kanan, akan tetapi sambil tertawa-tawa orang itu terus melangkah mengejarnya, mengancam hendak menginjak kepalanya.
Tadinya Sim Kang bengong terlongong-longong melihat kesaktian orang gila itu. Ilmu kepandaian puteranya bukanlah kepandaian biasa saja. Bahkan jarang ada orang mampu menandingi ilmu pedang Sim Hong Lui. Akan tetapi bagaimana orang gila itu dengan mudah dapat menangkis pedang dengan kuku jari kemudian merobohkan anaknya itu bagaikan orang merobohkan batang padi saja? Dan injakan pada pedang itu! Bukan main! Pedang itupun terbuat dari pada baja yang kuat sekali bagaimana kaki telanjang mampu menginjaknya sampai patah-patah menjadi lima? Dan sekarang kaki yang ampuh dan kuat melebihi kaki gajah itu sedang berusaha menginjak kepala puteranya!
"Souw Teng Wi...!!" Sim Kang berseru keras memanggil. Tadinya ia sudah ragu-ragu bahwa ia tentu menduga keliru. Memang betul begitu bertemu dengan orang gila itu, ia mengenal wajah dan potongan tubuh sahabat baiknya Souw Teng Wi, pendekar besar yang menjadi buronan. Akan tetapi menyaksikan kesaktian tadi ia sudah ragu-ragu. Ia tahu betul sampai di mana kepandaian Souw Teng Wi murid Kun-lun-pai itu, biarpun lihai, hanya setingkat dengan dia dan setingkat pula dengan Sim Hong Lui karena kepandaian pemuda itu sudah menyusulnya. Akan tetapi, benar Souw Teng Wi atau bukan, tiada salahnya mencoba memanggilnya. Apa lagi ia memang tidak ada daya lain untuk menolong nyawa puteranya.
Ternyata usahanya berhasil! Orang gila itu mendadak menghentikan pengejarannya kepada Hong Lui dan memutar tubuh menghadapi Sim Kang dengan mata terbelalak. Kesempatan ini tidak disia- siakan oleh Hong Lui yang melompat bangun dan. lari menjauhi orang gila itu, berhenti agak
jauh untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi. Selama hidupnya baru kali ini Hong Lui merasa ngeri!
"Siapa..... siapa memanggil namaku.....?" Orang gila itu berkata dan aneh sekali, ia kelihatan ketakutan! Sim Kang menjadi girang sekali, la melangkah maju di depan orang gila itu. Tak salah lagi, ia berhadapan dengan Souw Teng Wi, bekas sahabat baiknya.
"Souw Teng Wi, jangan takut. Lupakah kau kepadaku? Aku sahabat baikmu, Sim Kang! Dahulu menjadi piauwsu di Leng-an.”
Memang benar orang gila itu adalah Souw Teng Wi! Sungguh mengenaskan nasib pendekar besar, pejuang rakyat yang berjiwa patriot ini. Karena di fitnah ia menjadi buronan, menderita sengsara di perantauan, menyeberang laut dan tinggal di pulau-pulau kosong. Akhirnya ia menghilang dan kini ia muncul kembali dalam keadaan menyedihkan, pikirannya terganggu, seperti orang gila akan tetapi ilmu kepandaiannya meningkat beberapa kali dan menjadi orang sakti! Kini ia menatap wajah Sim Kang dengan mata liar dan tajam, kemudian agaknya ia teringat dan kenal wajah ini. "Kau Sim Kang kenalanku? Mengapa kau menjadi anjing Mongol?”
"Tidak, tidak, kawan! Jangan salah sangka. Aku, dan puteraku tadi, juga kawan-kawanku semua sama sekali bukan kaki tangan Mongol. Juga bukan kaki tangan kaisar yang mengejar-ngejarmu! Tidak, kami adalah orang-orang sendiri, semua kawan baik. Seperti juga kau, kami memusuhi orang-orang Mongol dan memusuhi pembesar-pembesar jahat penjilat kaisar, sahabatku Souw Teng Wi."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Souw Teng Wi menangis menggerung-gerung, menggosok-gosok kedua mata dengan tangannya seperti anak kecil.
"Kasihan kaisar buta, kaisar bodoh dipermainkan oleh dorna celaka. Kasihan rakyatku.......” Ia meratap-ratap.
Sim Kang adalah seorang cerdik. Dia yang menjadi bajak laut, bagaimana mau bicara tentang rakyat? Namun dia mempunyai pikiran yang amat baik, yaitu baik bagi dirinya sendiri. Ia melihat bahwa bekas pendekar besar Souw Teng Wi ini benar-benar sudah menjadi gila dan percaya kepadanya.
Melihat kepandaian Souw Teng Wi yang demikian hebat, bukankah akan menguntungkan sekali baginya apa bila ia dapat mempergunakan tenaganya? Di samping itu, puteranya akhir-akhir ini mendengar berita bahwa Kaisar Thai Cu di Nan-king menyediakan jumlah hadiah yang amat besar bagi siapa yang dapat menangkap pemberontak Souw Teng Wi.
Dengan sikap ramah-tamah dan suara halus lembut yang sudah menjadi sifatnya menyembunyikan kekejian hatinya, Sim Kang memeluk pundak Souw Teng Wi dan ikut mengeluarkan air mata. Apa lagi Souw Teng Wi yang sudah tidak beres otaknya, andaikata ia tidak gila sekalipun kiranya akan sukar melihat bahwa yang keluar dari mata Sim Kang adalah air mata buaya!
Demikianlah, terbujuk oleh sikap baik Sim Kang dalam usahanya untuk menyembunyikan diri dari kejaran kaisar, Souw Teng Wi yang sudah linglung itu menurut saja dibawa oleh "sahabat baiknya" ini ke perahu. Mulai saat itu ia ikut berlayar di atas perahu bajak. Tak seorangpun anak buah bajak berani main-main dengan Souw Teng Wi yang setiap hari hanya duduk melamun, kadang-kadang bicara seorang diri itu. Mereka menyebutnya Souw-suhu.
Beberapa hari kemudian semenjak Souw Teng Wi berada di atas perahu, Sim Kang sudah dapat memetik hasil dari pada siasatnya. Kebetulan sekali perahunya bertemu dengan perahu besar yang tiga buah banyaknya. Dari jauh saja sudah dapat dilihat bahwa itulah perahu-perahu Kerajaan Beng yang megah dan kuat. Memang Kaisar Beng sedang mengutus orangnya menuju ke seberang laut untuk mengadakan hubungan baik dengan penduduk pulau-pulau seberang lautan yang sering kali merupakan gangguan, terutama bangsa kate dari Jepang. Dalam perjalanan muhibah ini, utusan itu membawa banyak harta yang hendak dipergunakan sebagai hadiah-hadiah persahabatan.
Sudah tentu saja "ikan" segemuk ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Sim Kang. Biarpun setiap perahu besar dijaga oleh sepasukan tentara kerajaan berjumlah lima puluh orang yang amat kuat, hati Sim Kang tidak menjadi gentar. Ia mempersiapkan anak buahnya dan memotong jalan yang ditempuh oleh tiga buah perahu layar besar itu.
"Hee, kalian ini mau apa? Apakah tidak tahu bahwa kami membawa utusan kaisar? Hayo minggir, atau kalau ada keperluan lekas panggil pemimpinmu datang menghadap taijin," tegur seorang penjaga perahu terdepan dengan suara keras. Sim Kang tertawa bergelak, tangan kirinya bergerak dan penjaga di perahu depan itu menjerit terus roboh ke dalam air. "Ada bangsat... ada bajak...!” Riuh-rendah suara di atas kapal layar itu.
"Dengarkan baik-baik, para utusan kaisar!" Suara Sim Kang terdengar mengatasi kegaduhan- kegaduhan itu. "Aku Siang-pian Hai-Iiong memerintahkan agar sebuah di antara tiga kapal layar ini diserahkan kosong kepadaku. Orang-orangnya-boleh lekas pindah ke kedua perahu yang lain, baru boleh melanjutkan perjalanan tanpa gangguan. Kalau tidak segera mentaati perintah, terpaksa senjata-senjataku bicara dan contohnya sudah kalian lihat tadi!"
"Waduh, waduh sombongnya!" Terdengar bentakan dari atas perahu. "Mana sih cecongornya Siang- pian Hai-liong? Hendak kulihat sampai di mana lihainya sepasang piannya. Kalau dapat mengalahkan aku Hui-houw Twa-to (Harimau Terbang Golok Besar) baru boleh menyombongkan kepandaian!"
Sim Kang belum pernah mendengar julukan ini maka ia tertawa besar dan menantang, "Harimau terbang atau babi terbang aku tidak takut! Kalau mau mengantarkan nyawa datanglah di sini, kita boleh mengadu kepandaian."
"Kau tentu akan mengeioyok." terdengar pula suara tadi.
"Dalam pertandingan pibu seorang gagah pantang mengeroyok. Satu lawan satu!" jawab Sim Kang, "Ha-ha, memangnya aku takut dikeroyok? Su-siok, mari kita mencoba bajak laut itu!"
Tiba-tiba dari kapal layar besar itu melayang turun dua orang. Yang seorang adalah seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning, inilah agaknya yang berjuluk Hui-houw Twa-to karena di pinggangnya tergantung golok besar. Orang ke dua adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, rambutnya sudah putih semua, tidak bersenjata apa-apa kecuali sebatang tongkat bambu. Gerakan dua orang ini ketika melayang turun demikian ringannya, membuktikan adanya ginkang yang lihai. Akan tetapi Sim Kang yang percaya akan kepandaiannya sendiri tidak menjadi gentar.
Laki-laki tinggi besar bermuka kuning itu segera menantang, "Bajak tak tahu diri, berani mencoba membajak perahu-perahu utusan kerajaan. Mana itu Siang-pian Hai-liong, boleh mencoba kepandaian aku orang she Ma!" Memang si tinggi besar ini adalah kepala pengawal yang bernama Ma Him berjuluk Hui-houw Twa-to dan ia segera meloloskan golok besarnya yang mengkilat, berat dan tajam.
Sim Hong Lui memapakinya sambil mencabut keluar goloknya yang kecil dan panjang. Sambil tersenyum mengejek ia membentak, "Segala gentong kosong berani menantang ayahku? Tak usah ayah yang maju, aku puteranya cukup untuk menyadarkan kau dari mimpi muluk. Terimalah ini!" Tanpa memberi kesempatan lagi Hong Lui menyerang, gerakannya cepat sekali dan golok setengah pedang itu bergerak-gerak aneh dan cepat.
"Ha-ha, anak masih bau bawang berani berlagak? Bagus!" Si Harimau Terbang menggerakkan golok besarnya menangkis keras dengan maksud sekali tangkis membuat senjata lawan terlepas.
Akan tetapi terdengar suara keras dibarengi muncratnya bunga api dan keduanya merasa tangan mereka tergetar. Baru kagetlah hati Ma Him dan ia tidak berani banyak membuka mulut lagi, melainkan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan berat. Di saat lain kedua orang jagoan ini telah bertempur seru.
Lima puluh jurus telah lewat namun keduanya masih belum ada yang kalah. Biarpun begitu, mata para ahli di situ sudah melihat perbedaan permainan kedua orang ini. Sim Hong Lui menang cepat dan menang lihai ilmu silatnya, sebaliknya Ma Him menang tenaga. Kakek bertongkat bambu itu mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa murid keponakannya yang kasar dan bermulut besar itu akan kalah kalau dilanjutkan.
Benar saja dugaannya. Pedang di tangan Hong Lui bergerak cepat sekali sampai tak terlihat oleh Ma Him yang sudah pening. Terdengar ia mengeluh dan goloknya terlepas, lengannya keserempet senjata lawan dan berdarah, akan tetapi hanya luka kulit dagingnya saja.
Hong Lui tidak mau melepaskan lawan begitu saja. Biarpun sudah jelas bahwa lawannya kalah, akan tetapi ia belum puas kalau tidak membunuhnya. Cepat ia menerjang lawan yang sudah terluka dan tidak bersenjata itu dengan senjata yang seperti pedang setengah golok itu. dibabatkan cepat ke arah leher Ma Him.
"Traanngg!" Senjata di tangan Hong Lui terlepas ketika tertangkis oleh sebatang tongkat bambu. Ternyata kakek berambut putih sudah menolong Ma Him.
"Curang!" seru Sim Kang marah sambil melompat maju. "Mengapa perwira kerajaan tidak tahu aturan dan melakukan pengeroyokan?"
Kakek berambut putih itu tersenyum ramah. "Bukan mengeroyok, melainkan mencegah anakmu yang melanggar peraturan pibu. Sudah terang bahwa Ma Him kalah, mengapa masih mendesak hendak membunuh? Kulihat orang muda ini mewarisi ilmu pedang Hoa-lian-pai. Benar-benar Lui Siu Niang-niang sudah tersesat terlampau jauh, mengajarkan ilmunya kepada segala perampok dan bajak laut."
Sim Kang terkejut. Seperti diketahui, Lui Siu Niang-niang adalah guru dari isterinya dan ketua dari Hoa-lian-pai. Sekali melihat ilmu silat Hong Lui yang campuran itu dapat mengenal ilmu pedang Hoa- lian-pai, tentu kakek ini bukan orang sembarangan. Apa lagi agaknya malah sudah mengenal Lui Siu Niang-niang.
"Kau orang tua siapakah?"
"Lohu dipanggil Thian Te Cu, nama asli sudah lupa. Sekarang membaktikan diri kepada raja baru yang arif bijaksana, kau ini anak masih hijau hendak merajalela. Lebih baik kau dan anak buahmu menaluk dan membantu negara, memperkuat negara dari serangan lawan. Bukankah lebih baik? Kalau kalian menaluk lohu suka mintakan ampun."
Sim Kang marah sekali. "Orang tua pikun jangan mengacau! Bukankah dalam pibu tadi murid keponakanmu sudah kalah oleh puteraku?"
"Akan tetapi masih ada aku yang belum kalah..."
Sim Kang tidak menanti sampai kakek itu habis bicara. Dilihatnya bahwa kakek itu hanya memegang tongkat bambu. Tadi pedang anaknya terlepas mungkin karena anaknya sudah terlampau lelah menghadapi Ma Him yang bertenaga besar. Cepat ia menyerang kakek itu dengan sepasang piannya yang selama ini menjunjung tinggi namanya. Pertama-tama pian di tangan kirinya menyabet ke arah leher memancing kakek itu menangkis. Karena gerakannya memang cepat dan mantap, benar saja Thian Te Cu mengangkat tongkat bambu menangkis. Inilah yang diharapkan oleh Sim Kang. Ia menggerakkan pergelangan tangan kirinya dan senjata pian seperti pecut itu segera melibat tongkat bambu dan pian di tangan kanannya bekerja menghantam pinggang orang selagi lawan
tidak dapat berjaga karena senjatanya terlibat pian kiri!
Sim Kang terlalu gegabah memandang ringan kakek berambut putih yang hanya memegang sebatang tongkat bambu butut itu. Thian Te Cu adalah seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang terkena bujukan menteri dorna Auwyang Peng. Bersama suhengnya (kakak seperguruannya) Ma- thouw Koai-tung Kui Ek guru Ma Him dia juga merupakan sekutu Auwyang Taijin dan tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Mana Sim Kang mampu mengalahkannya?
Diserang hebat seperti itu oleh Sim Kang, Thian Te Cu tertawa bergelak.
"Ilmu siang-pian permainan bocah ini mana ada gunanya?" Dengan tenang sekali ia mengangkat tangan kiri menangkis pian yang mengancam pinggangnya. Kembali Sim Kang menggerakkan pergelangan tangannya dan pian kedua inipun melibat lengan kakek itu.
Akan tetapi begitu kakek ini menggerakkan kedua tangan membetot, terdengar suara keras dan sepasang pian lemas itu putus di tengah-tengah seperti disambar gunting tajam! Sim Kang terhuyung-huyung ke belakang dan Thian Te Cu tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha-ha, kepala bajak. Apakah kau masih belum mau menakluk?"
"Tunggu dulu," kata Sim Kang dengan muka pucat. "Kita masih seri. Kita masing-masing kalah satu kali menang satu kali. Tunggu, aku akan mendatangkan kawan dan pembantuku yang setia."
"Ha-ha, boleh kalau masih ada lagi," tantang Thian Te Cu memandang rendah.
Sim Kang lari memasuki bilik perahunya dan menghampiri Souw Teng Wi yang sedang duduk melenggut, sama sekali tidak ambil perduli akan suara ribut-ribut di luar tadi, la baru membuka mata ketika pundaknya dipegang dan di-guncang-guncang oleh Sim Kang yang kelihatan cemas sekali.
"Celaka, Souw-twako celaka sekali..!"
"Memang celaka anjing-anjing Mongol, biar mereka mampus. Ha-ha-ha!" jawab Souw Teng Wi.
"Bukan, bukan begitu, saudaraku. Yang datang ini adalah utusan kaisar dari Nan-king, hendak menangkapmu. "
"Celaka dua belas! Aku harus bersembunyi!" Souw Teng Wi melompat hendak lari. Memang semenjak ingatannya terganggu, selalu Souw Teng Wi hendak menyembunyikan diri, takut ditangkap.
"He, Souw-twako. Mengapa lari? Mereka bukan hanya hendak menangkapmu, juga hendak membunuh aku dan semua kawan. Kau berkepandaian tinggi, takut apakah? Kalau kau melawan, mereka itu bukan apa-apa bagimu!"
Souw Teng Wi menggeleng kepala dengan sedih. "Tidak bisa aku melawan. Kaisar bukan seorang jahat, hanya bodoh mau dipengaruhi para durna. Bagaimana aku bisa melawan Kaisar Thai Cu yang membangun Kerajaan Beng? Tak mungkin, tak mungkin. Lebih baik aku lari."
"Husshh, nanti dulu, sahabat baik. Kau tidak tahu, biarpun mereka itu utusan kaisar, namun mereka ini adalah kaki tangan para durna. Kaisar sendiri tak pernah hendak menangkapmu, semua adalah gara-gara pembesar durna. Kalau sekarang kau membalas dendam kepada kaki tangan para durna bukankah berarti kau membebaskan kaisar dari pengaruh busuk?"
Memang Sim Kang cerdik sekali dan sebaliknya Souw Teng Wi sudah tak dapat berpikir apa-apa. Mendengar ini merahlah mukanya dan diangkat dadanya. "Mana mereka? Mana anjing-anjing busuk penghianat bangsa itu?" katanya. Dengan langkah tegap dan gagah seperti seorang jenderal perang Souw Teng Wi berjalan keluar diantar oleh Sim Kang. Seluruh anak buah bajak menahan napas. Mereka memang tahu bahwa "tamu" aneh ini lihai bukan main, seorang berotak miring, tetapi mana mampu menandingi kakek yang
demikian lihainya, yang dengan sekali gebrak saja sudah mengalahkan kepala mereka?
Di lain fihak, Thian Te Cu dan Ma Him menjadi bengong ketika melihat bahwa "jago" yang dibawa datang oleh kepala bajak itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, rambutnya riap-riapan dan penuh bulu tak terpelihara, matanya merah liar dan menyeramkan.
Begitu tiba di tempat itu. Sim Kang lalu berkata kepada Souw Teng Wi,
"Souw-twako, itulah kapal mereka dan kakek inilah kaki tangan durna-durna itu!"
Souw Teng Wi memandang kepada Thian Te Cu dengan muka merah kemudian ia menggereng keras sekali. Beberapa orang anak bajak yang berdir. dekat terpelanting mendengar suara ini, bahkan Ma Him sendiri, juga Sim Kang dan Sim Hong Lui, menggigil seluruh tubuhnya! Hanya Thian Te Cu yang dapat menahan getaran sinkang dan khikang yang hebat ini, yang keluar dari suara Souw Teng Wi yang sedang marah. Akan tetapi kakek ini menjadi pucat karena selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan orang yang begini pandai mempergunakan gerengan singa.
"Siapa hendak menangkapku? Aku Souw Teng Wi tidak takut menghadapi segala penghianat!" Ma Him pernah melihat Souw Teng Wi. Tadipun ia merasa kenal orang gila ini, dan baru sekarang ia yakin bahwa inilah Souw Teng Wi.
"Dia pemberontak Souw Teng Wi...!" Dalam ketegangan dan kegembiraannya melihat orang buronan yang akan menghasilkan hadiah besar sekali kalau tertangkap itu, Ma Him menjadi lupa bahwa yang hendak ditangkapnya memiliki kepandaian tinggi.
Kembali terdengar gerengan dan sebelum Ma Him sempat mengelak, ia telah kena dipegang oleh Souw Teng Wi. Memang aneh sekali. Jarak antara Souw Teng Wi dan Ma Him masih ada dua meter lebih. Akan tetapi hanya dengan mengulur badan dan lengan tanpa mengubah kedudukan kaki, Souw Teng Wi telah berhasil mencengkeram pundak Ma Him dan ditariknya mendekat tanpa Ma Him dapat berdaya apa-apa.
"Kau kaki tangan durna! Ha-ha, pergilah menghadap Giam-ong!" Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ma Him telah disempal menjadi dua. Dengan memegang pundak kanan kiri, Souw Teng Wi telah menyempal tubuh itu hingga pecah di tengah-tengah, darah muncrat membasahi mukanya tanpa diperdulikannya. la tertawa terbahak-bahak seperti iblis yang amat menyeramkan.
Thian Te Cu marah dan kaget sekali. Ia segera menggerakkan tongkat bambunya dan menotok ke arah ulu hati Souw Teng Wi. Totokannya tepat
mengenai dada yang setengah telanjang itu, akan tetapi anehnya, ujung tongkat bambu itu meleset seperti mengenai kulit ular yang licin.
"Kau juga penghianat bangsa?" kata Souw Teng Wi sambil menggeser kakinya maju. "Kau juga harus mampus!” Akan tetapi Thian Te Cu adalah seorang ahli silat yang lihai sekali. Serangan balasan Souw Teng Wi yang memukul kepalanya dapat ia elakkan dan lapun membalas. Segera keduanya bertempur seru dan ramai. Sementara itu di kapal layar terdengar terikan-teriakan, "Pemberontak Souw Teng Wi.....
pemberontak Souw Teng Wi !"
Adapun Sim Kang melihat bahwa Souw Teng Wi sudah mulai ¡mengamuk, juga tidak tinggal diam. Ia memerintahkan anak buahnya untuk mendekatkan perahu pada kapal besar itu. Seorang anggauta bajak yang berlaku lancang hendak mencari jasa, menggunakan tombak menyerbu Thian Te Cu membantu Souw Teng Wi. Akan tetapi tombaknya yang mengenai punggung Thian Te Cu patah menjadi dua, dia sendiri tertangkap pinggangnya dan sekali banting tubuh bajak itu melesak ke dalam papan dan tewas, hebat sekali tenaga yang diperlihatkan oleh kakek itu dan semua bajak tidak berani sembarangan bergerak.
"Serbu kapal!" Sim Kang memberi aba-aba dan ia bersama puteranya memimpin tiga puluh orang anak buahnya mulai menyerbu kapal keraja-an. Terjadi perang tanding yang ramai karena anak buah kapal itupun tidak mau menyerah begitu saja.
Pertempuran antara Souw Teng Wi dan Thian Te Cu tidak berlangsung lama.
Tongkat bambu di tangan Thian Te Cu amat lihai dan sudah puluhan tahun entah berapa banyak korban roboh oleh senjata ini. Akan tetapi menghadapi Souw Teng Wi yang memiliki ilmu aneh dan sakti, tongkat bambu itu tidak ada artinya sama sekali. Baru dua puluh jurus Thian Te Cu mendesak secara bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dibarengi gerengan seperti setan, tongkat itu sudah dapat dirampas oleh Souw Teng Wi dan diremas-remas hancur menjadi bubuk.
Kemudian Souw Teng Wi melancarkan serangannya, menubruk seperti harimau. Dilihat begitu saja, agaknya serangan ini dilakukan dengan membabi-buta, tidak memakai peraturan silat, akan tetapi Thian Te Cu kaget bukan main karena melihat gerakan yang aneh dan lihai dibarengi hawa pukulan yang mendatangkan hawa dingin menyusup tulang. Tahulah ia bahwa Souw Teng Wi mempergunakan pukulan sakti yang mengandung hawa "Im" atau yang disebut lm-kang, sari dari pada hawa dingin.
Cepat ia menangkis, dua tangan bertemu dan masing-masing mengerahkan Iweekangnya. Namun, muka Thian Te Cu makin lama makin pucat, tubuhnya mulai menggigil.! Tidak kuat ia menerima Im- kang yang amat kuat dan dahsyat dari lawannya. Dari pucat mukanya berubah menjadi biru, matanya mendelik dan tak lama kemudian ia menjerit lalu roboh, tubuhnya kaku dan dingin tak bernyawa pula seperti ikan direndam es!
Souw Teng Wi tertawa bergelak. "Mampuskan semua penghianat! Hayo maju, Serbuuu !!"
Sikapnya seperti seorang pemimpin pasukan memberi aba-aba, kemudian sekali menggerakkan kaki, tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas kapal layar kerajaan di mana telah terjadi pertempuran hebat antara anak buah bajak melawan anak buah kapal layar itu. Tadinya memang para pengawal sudah kewalahan menghadapi serbuan bajak laut yang dipimpin oleh Sim Kang dan Sim Hong Lui yang gagah perkasa. Sekarang, kedatangan Souw Teng Wi benar-benar membikin mereka jerih sekali.
Sepak-terjang Souw Teng Wi bukan sepak-lterjang manusia biasa, mayat bergelimpangan ke mana saja orang ini bergerak. Mulailah anak buah kapal melarikan diri, melompat ke dalam air laut dan berenang sedapatnya. Akan tetapi sebagian besar dari mereka tewas disambar ikan hiu yang banyak terdapat di perairan itu. Dua buah kapal layar lain sudah mendekat untuk membantu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa Thian Te Cu dan Ma Him, dua orang kepala pengawal yang diandalkan melindungi keselamatan para utusan itu sudah tewas, para pembesar yang berada di dalam kapal pertama cepat memberi perintah supaya dua kapal itu melarikan diri, kembali ke pantai. Hanya beberapa orang saja anak buah kapal yang diserbu itu dapat ditolong, yaitu mereka yang melompat ke laut dan yang beruntung tidak menjadi santapan ikan-ikan hiu. Dari mereka inilah semua orang mendengar tentang munculnya Souw Teng Wi si pemberontak sebagai seorang gila yang menyeramkan.
Ramai hal ini dibicarakan dan tak lama kemudian setelah dua kapal itu berlabuh dan orang-orangnya kembali ke kota raja, semua orang di kota raja mendengar bahwa pendekar besar Souw Teng Wi masih hidup, menjadi seorang pemimpin bajak laut yang ganas! tentu saja Auwyang-tajjin merasa kaget sekali, apalagi berita bahwa Souw Teng Wi telah membunuh Thian Te Cu. benar-benar mengejutkan semua orang, terutama jago-jago menteri dunia itu seperti Ma-thouw Koai-tung Kui Ek dan lain-lain Thian Te Cu memiliki kepandaian yang tinggi dan di dunia ini amat jarang ada orang dapat melawannya. Bagaimana Souw Teng Wi yang dulu diketahui berkepandaian biasa saja dapat menewaskannya?
Sementara itu, Sim Kang giiang bukan main, la mendapatkan sebuah kapal layar yang amat baik, juga beberapa orang anak buah kapal rampasan itu menyatakan takluk dan menjadi anak buah bajak. Mulai saat itu Sim Kang mempergunakan kapal rampasan itu dan anak buahnya bertambah banyak. Terhadap Souw Teng Wi ia menyatakan terima kasihnya, akan tetapi Souw Teng Wi mana mau tahu tentang terima kasih.
"Mereka itu penghianat-penghianat bangsa, harus dibasmi habis!" katanya.
Biarpun dengan adanya Souw Teng Wi, keadaan bajak laut Sim Kang makin kuat lagi, namun diam- diam ia tidak suka kepada bekas pemimpin pejuang ini. Watak Souw Teng Wi terlalu aneh dan kepandaiannya terlalu tinggi sehingga amat berbahaya. Dan dia sama sekali tidak dapat menguasainya.
Pernah terjadi Sim Kang menghukum seorang anak buah bajak yang diketahui mencuri barang rampasan, yaitu sebuah mainan batu giok. Sim Kang menyuruh seorang pembantunya melaksanakan hukumannya, yaitu memaku jari-jari tangan kanan orang itu pada sebuah papan, disaksikan oleh semua anggauta bajak agar yang lain takut untuk melakukan pencurian.
Jari tangan di bagian kuku dipaku atau dipantek pada papan, dapat dibayangkan nyerinya. Pantekan pertama adalah ibu jari. Baru sekali paku itu dipukul menembus kuku dan menancap papan, pencuri itu sudah melolong-lolong kesakitan dan sambatnya menyayat hati para pendengarnya. Pantekan ke dua pada kuku jari telunjuknya membuatnya meraung seperti kerbau disembelih.
Pada saat pekik ke dua ini terdengar, tiba-tiba muncul Souw Teng Wi yang tadinya ditinggal seorang diri melcnggut di ruang bawah kapal. Mata Souw Teng Wi merah berputaran liar, kemudian ia melompat, menubruk bajak yang melaksanakan hukuman, mengangkatnya dan menjungkir balikkannya, kemudian sekali banting tubuh bajak ini ambles ke dalam papan dek yang menjadi ambrol. Kepala dan tubuh bajak itu masuk terus ke bawah, hanya kelihatan dua kakinya sebatas lutut saja dan orang ini mati seketika itu juga.
Sebelum Sim Kang berani mencegah, bajak ke dua yang tadi bekerja sebagai pembantu algojo, memegangi orang yang terhukum, mendapat giliran. Souw Teng Wi nengulur tangan, orang itu menjerit ketakutan, akan tetapi orang-orang melihat tubuhnya melayang tinggi ke atas, sampai hampir sama tingginya dengan puncak tiang layar, kemudian dari atas ia jatuh melayang ke bawah dengan kecepatan luar biasa. Semua orang menahan napas menanti kepala orang itu remuk terbanting ke lantai.
"Souw Teng Wi, jangan bunuh dia...!" Sim Kang berseru.
Nampaknya sudah terlambat karena begitu ucapan ini berakhir, orang yang dilontarkan itu sudah hampir terbanting ke papan dek. Akan tetapi dengan langkah lebar Souw Teng Wi sudah berada di situ dan dengan enak saja ia menerima tubuh yang terbanting itu lalu dilemparkan ke atas dek di mana orang sial ke dua itu rebah dengan muka pucat seperti mayat dan tak dapat berkata apa-apa kecuali memandang Scuw Teng Wi dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Sim Kang sudah menghampiri Souw Teng Wi. alisnya berkerut, hatinya tidak senang.
"Souw-twako, mengapa kau membunuh orang sendiri?" tanyanya, biarpun hatinya panas dan tidak senang namun suaranya tetap halus, tidak berani ia bermain kasar terhadap orang aneh itu.
"Dia manusia kejam, menyiksa orang. Aku tidak suka melihat orang disiksa, menyiksa hanya perbuatan binatang buas yang keji!" jawab Souw Teng Wi bersungut-sungut, agaknya tidak puas mengapa ia tidak boleh membunuh orang yang tadi dilontarkan ke atas.
"Kau tidak suka melihat orang dihukum, akan tetapi kau membunuh seorang pembantuku, bahkan yang seorang pula hampir kau bunuh juga. Bukankah kau keliru dengan perbuatanmu itu?"
Souw Teng Wi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, membunuh berbeda dengan menyiksa. Membunuh musuh berarti berjasa terhadap negara, membunuh orang keji berarti menyelamatkan rakyat dari pada kekejiannya. Akan tetapi menyiksa adalah perbuatan yang membuktikan akan kerendahan budi si penyiksa. Mana kau tahu akan sifat membunuh dan menyiksa?"
Bagi Sim Kang, jawaban ini adalah jawaban kacau-balau dari seorang gila. Maka ia menjadi penasaran dan membantah lagi. "Kau tidak tahu, Souw-twako. Akulah yang menyuruh orang ini dihukum. Dia adalah seorang pencuri, mencuri sebuah barang berharga di atas kapal ini. Bukankah sudah sepatutnya seorang pencuri dihukum?" katanya sambil menudingkan jari telunjuk kepada pencuri yang kini duduk menggigil ketakutan itu. Saking takutnya melihat sikap Souw Teng Wi yang sedang kumat itu, pencuri ini sampai lupa akan rasa nyeri pada ibu jari dan telunjuknya yang terpantek pada papan.
"Mencuri apa?" tanya Souw Teng Wi, matanya yang merah ditujukan kepada Sim Kang yang menjadi bergidik melihatnya. Sim Kang mengeluarkan batu giok berbentuk burung hong yang amat indah itu, memperlihatkannya kepada Souw Teng Wi sambil berkata,
"Inilah benda berharga yang coba dicuri." Sekali menggerakkan tangan. Souw Teng Wi sudah merampas batu giok itu. menimang-nimangnya dan memandangnya sambil tertawa bekakakan.
"Ha-ha-ha-ha, bukan salahnya, melainkan salahmu sendiri. Mengapa benda seperti ini dianggap berharga? Jangan menganggap benda ini berharga dan orang lain takkan mencurinya. Jangan diperlihatkan benda ini kepada orang lain, agar tak akan ada pencuri datang. Lebih tepat lagi, jangan mengadakan barang-barang yang kau sebut berharga, siapakah yang timbul keinginan mencuri? Ha- ha-ha ha!" la menghampiri pencuri itu yang menggigil makin keras. "Kau suka benda ini? Kau anggap berharga? Lihat!" Sekali meremas, batu giok burung hong itu hancur menjadi bubuk putih. "Lihat, ini benda yang tadi, tahu? Masih inginkah kau mencurinya?" Pencuri itu menggelengkan kepala dengan muka pucat. Souw Teng Wi tertawa lagi sambil melemparkan bubukan batu giok ke atas, ia lalu menari-nari di sekeliling dek kapal itu."Siapa sudi mencuri kalau orang menyatakan bahwa benda itu tidak berharga? Tentu tak ada yang ingin mencurinya!" la mengayun tangan kanannya dan “prak!” debu mengepul dan kepala singa-singaan batu itu sudah lenyap, hancur menjadi debu, yang tinggal hanya tubuh singa yang tak berkepala.
“Ha-ha-ha, sekarang siapa bilang dia berharga? Dan siapakah yang sudi mencurinya? Ha-ha-hal”
"Gila!" Suara ini terdengar dari mulut Sim Hong Lui yang saking gemasnya tak dapat menahan lidahnya. Souw Teng Wi mengerling ke arahnya dan tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu yang menjadi pucat seketika.
"Pakaianku ini, siapa yang sudi mencurinya? Karena tidak berharga. Pakaian orang muda ini dikatakan berharga dan bagus, hati-hati, nanti ada yang mencurinya. Lebih baik dibikin tidak berharga!" Cepat sekali kedua tangan Souw Teng Wi bergerak-gerak dan di lain saat hanya terdengar suara "brett-brett-brettt!” Ketika ia menghentikan gerakan tangannya, keadaan Hong Lui lucu sekali. Celananya tinggal sepotong, bajunya compang-camping. ikat rambutnya putus, tali pinggangnya bolong-bolong, pendeknya semua barang indah yang menempel di tubuhnya tidak utuh lagi. Bahkan pedangnya sudah tidak bergagang lagi, karena gagangnya sudah remuk.
"Lihat, lihat, siapa mau mencuri barangnya? Ha-ha-ha!” Sim Kang terkejut bukan main. Benar-benar susah mengurus orang gila ini. Ia menghampiri dan menjura kepada Souw Teng Wi.
"Souw-twako memang berkata benar. Aku menerima salah dan maafkan semua kesalahan kami yang sudah membikin hatimu tidak senang." Souw Teng Wi menudingkan telunjuknya kepada Sim Kang sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, siapa bicara tentang salah benar? Kau tidak becus memimpin, tentu anak buahmu brengsek!" Setelah berkata demikian, sambil berjingkrakan orang gila ini kembali ke kamarnya di bawah dek. Sim Kang menjadi bingung sekali, la segera berunding dengan Sim Hong Lui.
"Dia harus segera diserahkan ke Nan-king,” bisik si ayah. "Kalau dia terus di sini, biarpun keadaan kita kuat, akhirnya kita bisa celaka. Lebih baik kau pergi ke Nan-king mencari hubungan untuk urusan penyerahan orang gila ini. Kalau bisa diserahkan kepada Auwyang taijin. tentu hadiahnya lebih besar lagi."
"Akan tetapi kita sudah mendapat nama buruk dengan tewasnya Thian Te Cu di kapal kita,” bantah puleranya.
"Bisa diatur. Katakan bahwa yang membunuh adalah Souw Teng Wi dan bahwa kita tadinya dipaksa olehnya, habis perkara Melihat kepandaiannya, siapa yang tidak percaya kalau kita akui dia sebagai kepala kita?"
Hong Lui mengangguk-angguk dan demikianlah, mereka mencari kesempatan baik untuk "menjual" Souw Teng Wi. Akan tetapi sebelum Hong Lui pergi meninggalkan kapal untuk mencari hubungain ke kota raja Nan-king, terjadi hal yang hebat lagi di kapal itu. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, dari pergaulan yang tidak sehat dengan anak buah bajak, Hong Lui menjadi seorang pemuda binal dan ugal-ugalan.
Pada suatu hari dia bersama beberapa orang anak buah bajak dengan perahu-perahu kecil turun ke darat dan kembalinya membawa seorang wanita muda yang cantik sebagai tawanan. Sim Kang tahu akan hal ini, akan tetapi ia mendiamkannya saja karena sudah biasa puteranya itu membawa gadis- gadis dan wanita-wanita muda sebagai tawanan ke kapal.
Akan tetapi kali ini, wanita muda itu tidak turut dengan suka rela, melainkan dipaksa. Wanita ini adalah isteri seorang nelayan yang diculik dengan paksa oleh Hong Lui, tertarik akan kecantikan wanita ini. Suaminya, si nelayan yang malang, dipukul sampai pingsan di tepi pantai. Tak seorangpun menghiraukan hal ini. Para anak buah bajak hanya tertawa-tawa melihat Hong Lui menyeret wanita itu ke dalam kamarnya. Akan tetapi Souw Teng Wi yang seperti biasa duduk melamun di kamarnya, tiba-tiba melompat bangun. Telinganya yang tajam mendengar suara wanita menangis.
Alangkah kagetnya hati Hong Lui ketika ia sedang duduk makan minum bersama dua orang bajak kaki tangannya di dalam kamar dan memaksa wanita itu untuk makan minum pula bersamanya, tiba- tiba pintu kamarnya roboh tertendang dan masuklah SouwTeng Wi! Sekali pandang saja Souw Teng Wi yang biarpun sudah gila namun jiwa ksatrianya tetap tidak meninggalkannya, tahu bahwa wanita ini tentu orang yang diculik ke situ.
"Siapa wanita ini? Mengapa menangis?” tegurnya kasar.
Dua orang bajak dan Heng Lui tak dapat menjawab dan wanita itu yang melihat masuknya seorang laki-laki aneh dan menyeramkan, jatuh berlutut dan berteriak-teriak "Kembalikan aku ke pantai... kembalikan aku kepada suamiku...!"
Souw Teng Wi meloncat ke dalam, sekali tendang meja penuh makanan itu terbalik ke atas pembaringan. "Siapa menculik dia ke sini?" bentaknya. „
"Souw-pek-pek. mereka ini.... dua orang durhaka ini yang menculiknya .. aku tidak tahu apa-apa...!"
Baru saja Hong Lui menghentikan kata-katanya, terdengar suara keras dari dua buah kepala orang yang diadu satu kepada yang lain. Dua orang bajak itu roboh terkulai dengan kepala pecah dan tak bernapas lagi.
"Antar dia kembali kepada suaminya!” bentak Souw Teng Wi dan Hong Lui tak berani berayal pula, cepat menyuruh seorang bajak njembawa wanita itu dengan perahu ke darat. Sim Kang juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Kalau begini naga-naganya, anak buahku bisa habis dibunuhi orang gila ini," pikirnya.
Semenjak itu, mereka menjaga diri hati-hati sekali agar jangan menyinggung perasaan Souw Teng Wi, menjaga agar orang gila itu tidak "kumat." Sementara itu, Hong Lui meninggalkan kapal untuk mencari hubungan dalam urusan menyerahkan pemberontak Souw Teng Wi.
Demikianlah, kapal layar itu sedang dalam perjalanan untuk menjemput Hong Lui kembali di pantai Po-hai ketika kapal ini kebetulan sekali lewat di dekat batu karang di mana Souw Lee Ing terdampar dan Sim Kang menolong gadis itu naik ke kapalnya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, saking lelahnya karena penderitaan selama delapan hari di tengah laut, setelah makan kenyang Souw Lee Ing tidur pulas di atas kursinya. Suara gaduh di perahu itu sama sekali tidak didengarnya. Ia tidak tahu bahwa kapal itu telah menuju ke pantai dan tidak tahu pula bahwa seorang pemuda tampan yang baru naik ke kapal itu memandangnya dengan sepasang mata penuh gairah, seperti mata pencuri melihat emas. Pemuda itu adalah Hong Lui yang menjadi kagum bukan main menyaksikan gadis secantik itu berada di atas kapal. Belum pernah ia melihat seorang gadis secantik ini dan sekaligus hatinya jatuh bangun.
"Ayah, aku harus mendapatkan gadis ini. Dia patut menjadi isteriku! Inilah gadis idaman hatiku yang sering kujumpai di alam mimpi," katanya. Sim Kang hanya tersenyum dan berkata.
"Itu urusan mudah, urusan nanti. Sekarang lebih baik kita bicara tentang urusan yang lebih penting lagi.” Dengan ogah-ogahan Hong Lui meninggalkan gadis yang masih tidur pulas itu dan ikut dengan ayahnya ke kamar untuk bicara tentang urusan "penjualan" Souw Teng Wi.
Sementara itu, malam tiba dan keadaan di kapal sunyi sekali. Tanpa diketahui oleh siapapun juga. Lee Ing terbangun dari tidurnya karena pundaknya ditekan orang. Ketika gadis ini tersentak kaget, sebuah tangan yan berbulu dan kasar mendekap mulutnya, mencegah ia berteriak, kemudian pemilik tangan itu, seorang anak buah bajak tinggi besar, hendak memeluk dan memondongnya.
Lee Ing adalah seorang gadis kang-ouw yang cerdik. Ia maklum akan niat jahat orang ini, maka iapun tidak mau berteriak. Siapa tahu kalau ia berteriak, kawan-kawan orang ini malah hendak mencelakakannya. Ia dapat mengerti bahwa orang ini hanya bertenaga besar akan tetapi tidak pandai silat atau hanya seorang yang mengerti silat biasa saja, ini dapat dibuktikan dari gerak-gerik orang itu. Maka ia menurut saja tubuhnya dipondong dan pada saat yang baik, tangannya meluncur, terus menotok jalan darah kai-hu-hiat di pundak orang itu.
"Bukk!" Orang itu roboh tak berkutik lagi. Juga tidak dapat mengeluarkan suara. Lee Ing marah bukan main. Ia ingin memukul pecah kepala orang kurang ajar ini, akan tetapi takut kalau mendatangkan urusan besar. Segera ia meninggalkan orang itu dan menyelinap pergi. Ia tidak tahu jalan, akan tetapi ia ingin bertemu dengan majikan kapal yang kemarin bersikap lemah lembut itu, untuk melaporkan tentang kekurang-ajaran anak buahnya.
Berindap-indap ia berjalan menuruni anak tangga ke ruangan tengah dan tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap perlahan dari sebuah kamar. Yang membuat hatinya berdebar dan cepat ia mengintai mendengarkan, adalah terdengaraya nama "Souw Teng Wi" disebut-sebut.
Kapal sedang bergerak-gerak perlahan dipukul ombak maka biarpun Sim Kang dan puteranya berkepandaian tinggi, mereka tidak mendengar gerakan Lee Ing yang mengintai dari balik jendela bilik kapal. Lee Ing melihat dua orang duduk menghadapi meja yang dipasang di tengah bilik. Lampu minyak tergantung di pojok bergoyang-goyang. mendatangkan bayang-bayang menyeramkan di dalam kamar yang suram itu. Lee - Ing mengenal seorang laki-laki setengah tua yang membawa senjata pian dan di depan laki-laki ini duduk seorang laki-laki muda yang tampan.
"Semua sudah diatur beres, ayah. Hadiah sudah disediakan dan begitu kita menyerahkan Souw Teng Wi, mati atau hidup, kita tinggal membawa hadiah itu. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin menyerahkan orang gila itu dalam keadaan hidup," terdengar pemuda itu berkata dan Lee Ing tahu bahwa pemuda itu adalah putera orang yang ramah itu.
Sim Kang mengangguk-angguk. "Memang tidak mungkin, kepandaiannya hebat dan ia susah diurus. Akan tetapi bagaimana bisa membuat dia tidak berdaya? Jangankan dia dalam keadaan sadar, sedang tidur saja tak mungkin bisa didekati. Telinganya amat tajam pendengarannya, ada tikus lewat saja ia terbangun, marah-marah dan belum mau tidur lagi sebelum ia dapat menangkap dan membunuh tikus itu. Bagaimana kita bisa menawannya?"
Pemuda itu tersenyum lalu berkata, suaranya bisik-bisik, "Jangan khawatir, ayah. Aku sudah bertemu dengan Auwyang kongcu yang terkenal dengan ilmunya Hek-tok-ciang Auwyang-kongcu adalah seorang ahli racun dan ia sudah memberi racun yang apabila di campur dengan minuman arak, sama sekali tidak kentara ataupun terasa. Nyawa si gila sudah di tanganku!"
Sim Kang tertawa girang dan ayah serta anak itu nampaknya puas sekali. Adalah Lee Ing yang berdiri menggigil di luar. Ayahnya masih hidup! Ayahnya telah gila dan sekarang hendak diracun oleh ayah dan anak ini! Ayahnya berada di dalam kapal ini! Dengan kaki gemetar Lee Ing meninggalkan tempat pengintaiannya dan berindap-indap menuruni tangga menuju ke bilik yang paling bawah. Anak buah bajak sudah pada tidur, ada yang bermain kartu di ruangan atas, akan tetapi keadaan di bawah sunyi sekali. Tiba-tiba Lee Ing mendengar suara orang bersungut-sungut.
"Pejuang-pejuang sekarang gentong kosong belaka. Tingkahnya seperti rampok, mana bisa disebut patriot sejati? Ah, masa kejayaan telah lampau... di mana pasukanku? Mengapa aku berada di kapal ini?" Kemudian disusul makian perlahan, "Bangsat Mongol penjajah laknat...! Pembesar-pembesar durna penghianat bangsa yang harus mampus!"
Berdiri bulu tengkuk Lee Ing mendengar suara ini. Semenjak ia dilahirkan, belum pernah melihat wajah ayahnya, belum pernah mendengar suara ayahnya. Bahkan ibunyapun ia tidak pernah mengenalnya karena ibunya sudah meninggal dunia ketika ia baru berusia dua bulan! Akan tetapi suara ini membuat hatinya berdebar keras. Benar-benarkah ayahnya yang bicara di dalam bilik itu? Ia menahan napas dan menolakkan pintu bilik perlahan-lahan. Pintu tidak terkunci dan terbuka. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan berambut awut-awutan dengan muka penuh berewok, duduk bersandar dinding menghadapi lilin dalam keadaan melamun.
"Siapa kau berindap-indap mengintaiku?" tanya laki-laki itu acuh tak acuh, kemudian mengangkat muka memandang. Alangkah menyedihkan muka itu bagi Lee Ing, muka yang kotor bermata merah, mulutnya membayangkan kehancuran hati.
Sebaliknya, ketika Souw Teng Wi melihat gadis itu di depannya, ia tersentak kaget bagaikan disambar petir. Ia menjadi seperti lumpuh, tak mampu berdiri hanya memandang dengan bengong. Bibirnya yang kering bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara dan aneh sekali bagi Lee Ing dari sepasang mata yang merah itu bercucur an airmata!
Lee Ing bertindak menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Souw Teng Wi. Entah mengapa, biarpun belum yakin benar apakah orang ini ayahnya, ada perasaan aneh yang memaksanya untuk berlutut dan hatinya penuh diliputi rasa kasihan kepada orang terlantar ini. Mereka kini berhadapan, saling pandang, Lee Ing berlutut dan Souw Teng Wi duduk.
"Namilana... Milana isteriku sayang... kau.... kau datang menyusulku....?" bisik-bisik ini terdengar oleh Lee Ing dan seketika itu juga air mata bercucuran dari kedua mata Lee Ing. "Milana isteriku manis... kau masih ingat kepadaku, Souw Teng Wi suamimu...?" Ucapan-ucapan ini adalah kata-kata yang seringkali keluar dari mulut Souw TengWi baik dalam tidur niaupun kalau sedang melamun, penuh rasa rindu kepada isterinya yang tercinta, isterinya yang terpaksa berpisah dari padanya ketika sedang mengandung. Kini Lee Ing tidak ragu-ragu lagi. Tak salah lagi, orang inilah adanya Souw Teng Wi, ayahnya, la menubruk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
"Ayah... ayahku...! Aku Souw Lee Ing puteri-mu! Aku adalah anakmu, dan Namilana adalah ibuku....
ayah, ibu... ibu sudah..." Lee Ing tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia terisak-isak di dalam pelukan ayahnya
Terjadi keanehan dalam detik-detik itu. Kegilaan seakan-akan lari pergi untuk sementara dari kepala Souw Teng Wi. Agaknya pertemuan yang amat mengharukan hatinya ini, melihat wajah gadis yang seperti pinang dibelah dua dengan wajah Namilana isterinya, mendengar pengakuan bahwa gadis ini adalah puterinya, seketika itu juga ia menjadi waras.
“Apa kau bilang...? Kau ...kau anakku? Kau anak Namilana yang sedang mengandung ketika pulang ke utara ?" Souw Teng Wi berkata campur tangis sambil memandang muka puterinya.
Lee Ing tak mampu mengeluarkan suara saking terharunya. Ia hanya menatap wajah ayahnya matanya penuh air mata, bibirnya komat-kamit tanpa mengeluarkan suara. lalu mengangguk- angguk.
"Ya, Thian Yang Maha Kuasa!" Souw Teng Wi memuji nama Tuhan. "Kau... kau anakku...? Siapa namamu tadi ?
"Souw Lee Ing sudah lama aku mencarimu, ayah."
Souw Teng Wi menciumi jidat puterinya, air matanya jatuh membasahi jidat itu dan ia mendekap kepala puterinya ke dadanya yang serasa hampir meledak saking bahagianya.
"Souw Lee Ing. aduh, bagus sekali namamu, anakku. Kau seperti ibumu benar eh, mana ibumu?
Mana Namilana isteriku dan mana Haminto Losu mertuaku?" Ia teringat dan bertanya sambil memandang muka puterinya.
Lee Ing menangis makin keras sampai sesenggukan, lama baru ia bisa menjawab, "Ayahku, ibu Namilana sudah meninggal dunia ketika aku baru berusia dua bulan dan... dan kong-kong " Lee Ing
tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terdengar Souw Teng Wi mengeluh panjang dan tubuhnya menjadi lemas. Ternyata ia pingsan menyandar dinding.
Pada saat itu, terdengar tindakan kaki orang dan muncullah Sim Kang dan Sim Hong Lui di depan pintu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak lebar. Melihat gadis itu memeluk Souw Teng Wi, benar-benar merupakan penglihatan yang luar biasa bagi mereka. Tadi ayah dan anak ini selesai bicara dan Hong Lui mengundurkan diri untuk kembali kepada gadis yang telah menarik hatinya.
Akan tetapi ia melihat tempat duduk gadis itu kosong dan melihat pula seorang anggauta bajak menggeletak tak berdaya karena tertotok jalan darahnya. Tentu saja Hong Lui menjadi kaget sekali dan cepat ia pergi ke kamar ayahnya memberi laporan. Berdua lalu keluar mencari dan akhirnya mereka mendengar suara di kamar Souw Teng Wi yang berada di tingkat bawah.
Ketika Lee Ing melihat ayah dan anak ini menyusul datang ia melepaskan pelukannya dari pundak ayahnya dan melompat berdiri, siap melindungi ayahnya.
“Jangan sentuh ayahku! Jangan kalian mengganggu ayah!” desisnya marah dengan mata mengancam. Tentu saja Sim Kang dan Sim Hong Lui melengak melihat sikap gadis ini.
"Ayahmu...?" Sim Kang berkata heran, "Kau. kau ini siapakah, nona?"
"Aku Souw Lee Ing dan dia ini ayahku. Awas kalau kalian berani mengganggunya, lebih dulu kubunuh kalian!”
Menggelikan sekali sikap Lee Ing ini dan Sim Kang tersenyum. Tentu saja ia sama sekali tidak takut terhadap gadis muda remaja ini, biarpun gadis ini mengaku sebagai anak Souw Teng Wi. "Gadis gila jangan kau main-main! Minggirlah!" kata Sim Kang yang sama sekali tidak mau percaya bahwa gadis yang ia dapatkan terdampar di atas batu karang ini adalah anak Souw Teng Wi. la melangkah maju hendak menangkap pundak gadis itu. Akan tetapi biarpun gerakan itu cepat sekali sehingga pundak Lee Ing tertangkap tanpa gadis itu sempat mengelak sekali menggerakkan pundaknya Lee Ing telah dapat melepaskan diri! Inilah ilmu gulat yang ia pelajari dari kakeknya.
"Jangan bunuh ayahku, kalian orang-orang jahat"
Selagi Sim Kang dan Sim Hong Lui hendak menangkap gadis itu, terdengar suara "uuhh" dan tubuh ayah dan anak itu terhuyung mundur sampai ke pintu.
"Apakah kalian sudah bosan hidup hendak mengganggu Namilana isteriku?" bentak Souw Teng Wi yang sudah meloncat berdiri, sikapnya menyeramkan.
"Ayah, aku bukan ibu. Aku Souw Lee Ing anakmu..." kata Lee Ing sedih melihat ayahnya telah "kumat" pula gilanya.
"Ah, yaaa... kau Lee Ing anakku...., aduh Namilana ...Namilana isteriku, kau berada di mana ?" Dan
Souw Teng Wi menangis lagi, Lee Ing ikut menangis melihat keadaan ayahnya itu.
Diam-diam Sim Kang terkejut setengah mati. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa gadis ini ternyata benar-benar puteri orang gila ini. Akan tetapi dasar ia cerdik sekali. Cepat ia merobah sikap dan menjufa sambil berkata dengan muka berseri.
"Ahh, kiranya betul puteri Souw-twako? Sungguh kebetulan. Ini namanya berkah Thian kepada kita semua. Secara tidak terduga kami telah menolong puteri Souw-twako yang terdampar di batu karang. Ah, Souw-twako. Kionghi (selamat), kiong-hi! Pertemuan yang amat membahagiakan, mengapa harus menangis sedih? Sudah sepatutnya dirayakan. Souw-twako, aku permisi dulu untuk menyiapkan perayaan pertemuanmu dengan puterimu yang
cantik ini." Ia lalu mengundurkan diri bersama Hong Lui yang terpaksa kali ini menggigit jari.
Tentu saja kalau nona ini puteri Souw Teng Wi, ia tidak berani main gila di depan Souw Teng Wi. yang lihai sekali itu. Namun diam-diam ia masih mengandung harapan besar. Souw Teng Wi diracun, mayatnya dijual kepada Auwyang-taijin dan puterinya menjadi miliknya. Aduh senangnya! Sementara itu, setelah menangis Souw Teng Wi menjatuhkan diri di lantai dan tidur pulas, sama sekali tidak bangun lagi. Lee Ing yang merasa amat kasihan melihat ayahnya, tidak mau mengganggu, bahkan duduk menjaga ayahnya dan menatap wajah ayahnya dengan cinta kasih yang besar. Setelah ia pahdang dengan seksama, hatinya girang mendapat kenyataan bahwa sebetulnya ayahnya mempunyai wajah yang tampan dan gagah sekali.
Sayang ayahnya agaknya terserang penyakit ingatan, pakaiannya tidak karuan, wajahnya kotor dan penuh rambut yang tidak terpelihara
Berkali-kali Lee Ing meneteskan air mata mengenangkan penderitaan ayahnya dan ia juga merasa gelisah kalau teringat akan percakapan Sim Kang dan puteranya yang mempunyai rencana hendak membunuh ayahnya dengan racun. Aku harus menggagalkan usaha keji mereka, aku harus membela ayah biarpun aku kehilangan nyawa untuk itu, demikian Lee Ing mengambil keputusan.
Pada keesokan harinya, ketika Souw Teng Wi bangun, ia pertama-tama kaget melihat seorang gadis cantik duduk di dekatnya. Akan tetapi Lee Ing segera memegang tangannya dan berkata lemah lembut penuh kesayangan, "Ayah, aku Lee Ing anakmu. Souw Lee Ing puteri tunggalmu." Untuk sejenak Souw Teng Wi melongong dan memandang kepada Lee Ing dengan sinar mata kosong, kemudian ia mengangguk-angguk dan bersungut-sungut.
"Ya.... ya.. kau Lee Ing anakku dan ibumu Namilana telah mati " Suara ini kosong dan sinar matanya
membayangkan kedukaan dan kekecewaan besar sekali. Lee Ing terkejut dan berduka, Ia mengerti bahwa kegirangan pertemuan antara ia dan ayahnya itu menjadi hampa bagi ayahnya karena mendengar bahwa ibunya telah mati.
"Ayah, hati-hatilah, ayah. Dua orang majikan kapal itu hendak membunuhmu," bisiknya sambil memegang lengan ayahnya.
"Apa ? Hemm, biarlah. Tak seorangpun dapat membunuh aku. Ha-ha-ha!" Suara ketawanya keras
menggema di kamar itu, mengagetkan Lee Ing dan gadis ini segera jatuh terduduk dengan badan serasa lumpuh. Ia telah terkena pengaruh suara ketawa penuh tenaga Iweekang yang tinggi
Souw Teng Wi menariknya bangun dan mengamat-amatinya, keningnya berkerut.
"Kau Lee Ing anakku, akan tetapi tubuhmu lemah sekali. Kau perlu dilatih supaya jangan selemah ini."
Lee Ing girang sekali. "Baik, ayah. Aku ingin sekali belajar ilmu agar menjadi kuat seperti ayah dan dapat menjaga keselamatan ayah."
"Nah, kau siaplah!" Pada saat itu dan di tempat itu juga Souw Teng Wi mulai memberi latihan ilmu silat kepada anaknya! Akan tetapi latihan ini tidak karuan awal mulanya, amat sukar bagi Lee Ing untuk mengikutinya. Ilmu silat yang diajarkan oleh ayahnya itu demikian aneh, gerakan-gerakannya sukar diikuti sehingga ia harus mencurahkan segenap perhatiannya, baru ia dapat menangkap satu dua jurus.
Selagi ayah dan anak ini sibuk berlatih, muncul Sim Kang yang tersenyum sambil menjura. "Wah, kalau ayah dan anak memiliki kegagahan, pagi-pagi sudah berlatih silat. Hebat... hebat!" Ia lalu menjura kepada Souw Teng Wi dan berkata, "Souw-twako, perjamuan untuk merayakan pertemuanmu dengan puterimu telah kami siapkan. Mari kita naik ke ruangan atas."
Souw Teng Wi mengangguk-angguk dan menggandeng tangan anaknya. Lee Ing menjadi pucat dan hatinya berdebar tidak karuan. Ia merapatkan tubuhnya kepada ayahnya dan diam-diam ia membenci orang she Sim ini yang dianggapnya sopan santun dan halus pada lahirnya, namun di dalam hati mengandung maksud keji sekali. Melihat sikap mereka yang takut-takut terhadap ayahnya, Lee Ing dapat menduga bahwa ilmu kepandaian ayahnya tentu hebat dan tentu ayahnya sanggup melindungi diri. Maka ia hendak melihat dulu perkembangannya, baru turun tangan kalau sekiranya ayahnya terancam bahaya.