Pusaka Gua Siluman Jilid 01

Jilid 01

Sejauh mata memandang ke utara dari Pegunungan Ala-san. yang tampak hanjalah pasir belaka, pasir yang kadang-kadang diam mati tak bergerak sama sekali, akan tetapi ada kalanya pasir itu bergerak hidup, berombak seperti air laut mengalun. Inilah padang pasir Go-bi yang luasnya sukar diukur, yang panasnya sudah banyak mematikan para penyeberang yang kurang pengalaman dan yang terkenal sebagai lautan pasir karena memang kadang-kadang apabila angin bertiup, berombak, bergulung-gulung persis lautan, hanya bukan air yang dipermainkan oleh angin, melainkan pasir, pasir halus dan bersih.

Kalau orang sengaja berjaga di tepi laut pasir ini dan memperhatikan, kiranya belum tentu sebulan sekali ia melihat manusia di daerah ini. Apa lagi semenjak pemerintah Goan-tiauw, yaitu kerajaan dari Bangsa Mongol, sudah roboh dan orang-orang Mongol sudah dihalau kembali dl tempat asal mereka, daerah ini jarang dilalui orang.

Akan tetapi pada pagi hari itu, dari afah utara kelihatan dua titik kehitaman yang bergerak ke selatan perlahan-lahan. Setelah dua titik ini makin mendekati perbatasan atau pesisir laut pasir, ternyata bahwa mereka itu adalah dua orang yang menunggang onta yang berbulu kecoklatan. Orang pertama adalah seorang kakek gundul yang berwajah keren gagah berpengaruh. Pakaian dan kepalanya yang gundul itu seperti keadaan seorang hweslo (pendeta Buddha), akan tetapi sikapnya yang keren dan gagang pedang yang tersembul di balik punggungnya menandakan bahwa dia seorang ahli silat atau yang lebih terkenal dengan sebutan orang kang-ouw.

Orang ke dua adalah seorang nona muda seorang dara remaja berusia paling banyak lima belas tahun, cantik manis dengan Sepasang mata yang berseri dan berapi-api. Mata dan bibirnya jelas membayangkan bahwa dia gadis periang yang memandang dunia ini dengan hati lapang, tabah dan penuh semangat kegembiraan. Sepert juga kakek gundul itu, gadis ni membekal pedang yang tergantung di pinggang kirinya.

Hal ini memang tidak mengherankan karena pada waktu itu, pada masa peralihan dari Kerajaan Goan-tiauw yang hancur terganti oleh Kerajaan Beng di mana-mana tidak aman dan orang selalu melakukan perjalanan dengan membawa senjata untuk membela diri. Akan tetapi, melihat cara gadis cilik itu duduk di atas ontanya, mudah saja diduga bahwa seperti kakek itu, gadis inipun memiliki kepandaian ilmu silat.

Agaknya setelah melakukan perjalanan yang jauh, lama, amat sukar dan sengsara menyeberangi lautan pasir itu, kini kakek gundul tadi menjadi gembira melihat pegunungan yang hijau indah terbentang di depan, tanda bahwa mereka sudah akan segera tiba di daratan di mana terdapat pohon dan rumput, terutama sekali air. Kegembiraannya itu diperlihatkan dengan bernyanyi-nyanyi, suaranya keras, nyaring, jenggot dan kumisnya melambai-lambai tertiup angin yang kini tidak ditakutinya lagi karena mereka sudah hampir tiba di darat, akan tetapi kata-kata nyanyiannya itu berbeda dengan sikapnya yang gagah karena kata-kata nyanyiannya adalah sajak-sajak yang sebenarnya merupakan doa-doa dalam kitab Agama Budha.

"Kami ini suara angin mengeluh, merana, mencari ketenangan damai nan tak kunjung tiba.

ah, bukankah penghidupan di duniapun demikian pula? Keluh-kesah, tangis, badai, juang, lara...!" "lihh, kong-kong mengapa menyanyi lagu yang demikian menyedihkan?” Gadis cilik yang kedua pipinya kemerahan karena bakaran matahari itu mencela, hidungnya yang kecil mancung dikernyitkan tanda tak setuju akan nyanyian kakeknya. "Lagu apa sih itu?”

Sungguhpun kata-kata nyanyian itu menyedihkan, namun kakek itu tidak kelihatan sedih, bahkan nampak bersemangat. Dia tertawa lebar mendengar pertanyaan cucunya.

"Lee Ing, ini namanya lagu NYANYI ANGIN,” jawabnya lalu melanjutkan nyanyiannya dengan suara lebih keras lagi sehingga terdengar janggal di tempat yang amat sunyi itu.

"Dari mana dan untuk apa kita diadakan? Kita tak dapat memberi jawaban,

kami dan kalian ini Sama saja,

apa artinya semua kesusahan kita?

Apa pula artinya semua kesenangan kita?

Bahkan cinta kasihpun tidak kekal

adanya Jalan hidup bagaikan angin lalu belaka Sebentar bertiup, segera hilang pula!"

"Sedih.....sedih! Kong-kong, siapa sih yang mengarang lagu sedih seperti itu? Cengeng benar pengarangnya, ah!” kembali gadis yang dipanggil Lee Ing itu mencela.

“Hush, Lee Ing. Jangan bicara sembrono. Nyanyian ini adaiah nyanyian dewata yang tersembunyi di dalam angin lalu,” jawab kakek itu dengan sikap sungguh-sungguh.

"Hee? Nyanyian dewata?”

"Benar. Bagi telinga manusia biasa, memang suara angin hanya terdengar biasa pula. Akan tetapi ketika Sang Buddha masih menjadi Pangeran Sidharta, beliau mendengar nyanyian dewata ini terbawa oleh angin lalu, dan ini menjadi doa suci yang mengingatkan manusia akan keadaan hidup yang tidak kekal.”

“Ahhh, begitukah?” kata Lee Ing tertarik sekali. ’’Kalau begitu harap kau lanjutkan nyanyianmu tadi, kong-kong.”

Dua ekor onta itu berjalan perlahan-lahan. Kaki-kaki mereka bergerak dengan irama tetap dan otomatis, leher yang panjang itu bergerak-gerak maju mundur dan bibir yang njedir (ujungnya memanjang) itu masih selalu tersenyum mengejek dan sepasang mata mereka bersinarkan segala tahu. Derap kaki mereka di atas pasir tidak terdengar suaranya dan kembali kesunyian daerah pasir itu pecah oleh nyanyian kakek gundul yang melanjutkan nyanyiannya dengan suara lantang,

"Oh, putera Maya!

Kami telah berkeliling dunia,

kami telah melihat betapa banyaknya tangis dan duka nestapa di alam dunia"

Demikianlah, di padang pasir yang sunyi mati Itu terdengar nyanyian suci yang menjadi doa dalam kitab Buddha, di mana selanjutnya menuturkan betapa dalam pendengaran Pangeran Sidharta, sang angin memohon kepadanya untuk melepaskan hidupnya sebagai pangeran yang berenang dalam kebahagiaan duniawi untuk pergi berkelana, mencari kebenaran dan mencari jalan utama untuk membebaskan manusia dari pada ikatan hidup yang menimbulkan kesengsaraan. Gadis cilik itu kini tidak mencela lagi, bahkan mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang ia tahu bahwa kong-kongnya itu seorang alim yang amat tekun mempelajari Agama Budha akan tetapi baru kali ini ia mendengar doa yang dinyanyikan demikian menarik. Mungkin karena keadaan sunyi di mana ia tidak dapat mendengar apa-apa itulah yang membuat nyanyian kong-kongnya menarik. Padahal suaranya hanya nyaring saja, tidak merdu, dan isi atau kata-kata nyanyian itu termasuk "berat” dan sukar ditangkap inti sarinya bagi seorang gadis semuda itu.

Tak terasa lagi kakek dan cucu ini sudah sampai di kaki Pegunungan Ala-san dan sudah terasa kesejukan angin yang membawa hawa air Sungai Huang-ho yang berkelok di pegunungan itu. Juga sudah mulai kelihatan pohon-pohon dan rumput-rumput di sana-sini.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan dua orang laki-laki muncul dari balik sebatang pohon besar. "Orang tua, tinggalkan onta dan barang-barangmu!” Teriakan ini keluar dari mulut seorang di antara mereka yang berjenggot, usianya empat puluh tahun lebih. Orang ke dua masih belum, begitu tua, antara tiga puluh tahunan, matanya liar mengerling kepada Lee Ing, mukanya kekuningan. Ia tersenyum-senyum ceriwis sambil berkata,

"Twako, kali ini kau jangan halangi lagi kalau aku mengambil nona ini sebagai kawan hidupku”

"Siauwte. tutup mulutmu!" hentak si jenggot yang cepat melompat menghadapi kakek gandul itu. Gerakannya gesit sekali dan gerak-geriknya menandakan bahwa dia seorang ahli silat pandai, sungguhpun ia tidak kelihatan membawa senjata tajam.

"Hwesio, turunlah dari ontamu. Hanya kalau kau meninggalkan onta dan barang-barangmu saja kau dan nona ini boleh melanjutkan perjalanan,” kata pula si jenggot sambil memandang penuh ancaman.

Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa bergelak. "Apakah kalian ini perampok?" "Tak usah banyak tanya, lekas lakukan apa yang kuminta.” jawab si jenggot

"Omitohud! Lucu sekali. Kucing mencoba untuk menggonggong! Bocah, sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa kau ini bukan sebangsa perampok, masa masih hendak main gertak? Kalau kalian perampok, masa malu-malu mengaku kepadaku?”

"Twako. tak perlu banyak mengobrol. Aku hendak merampas nona manis ini lebih dulu!" seru perampok yang muda. Dengan peringas-peringis ia menghampiri Lee Ing. Sinar mata gadis ini mengeluarkan cahaya berapi biarpun mulutnya masih tersenyum manis dan tangan kanannya sudah meraba kantong hitam di dekat pinggang di mana tersimpan senjata rahasia piauw.

"Lee Ing. tahan!” seru kakek itu dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat turun dari atas punggung ontanya dan tahu-tahu ia sudah berada di depan perampok yang hendak mengganggu Lee Ing. Berdiri tegak dengan gagahnya. Melihat tubuh kakek yang tegap kuat dan sikapnya yang bersemangat ini, si ceriwis menjadi ragu-ragu dan mundur lagi mendekati kawannya yang berjenggot kambing.

Kakek gundul itu melangkah maju sampai ia berhadapan dengan dua orang perampok itu sedangkan Lee Ing tetap tenang duduk di atas ontanya. percaya bahwa kakeknya tak perlu dibantu karena ia sudah maklum akan kelihaian kakeknya. "Orang-orang muda, banyak pekerjaan baik dapat kalian lakukan, mengapa menjadi perampok? Banyak jalan terang mengapa memilih jalan gelap? Kulihat kalian belum biasa menjadi perampok. maka nasihatku, mundurlah sebelum terlanjur. Sekali melakukan kejahatan, nafsu akan menguasainya dan ia akan menjadi biasa, dikuasai oleh nafsu jahat. Mundur dan batalkanlah niat kalian merampok!”

"Di jaman sekacau ini, mana ada pekerjaan baik-baik? Mana ada pekerjaan halal? Pejabat-pejabat negeri melakukan korupsi, tiada bedanya dengan maling, pembesar-pembesar negeri mencekik rakyat, lebih jahat dari pada penyamun! Dari pada menjadi manusia-manusia seperti ini, lebih baik terang-terangan menjadi perampok, Sudahlah, jangan banyak cakap dan berikan barang-barang dan ontamu.” kata si jenggot, suaranya mengandung kegetiran.

Kakek itu menarik napas panjang. "Sifatmu gagah namun pandanganmu sesat orang muda. Seratus tahun Tiongkok dijajah oleh Bangsa Mongol dan baru duapuluh lima tahun lebih negaramu terbebas dari pada penjajahan. Sudah tentu saja bangsa yang baru terbebas dari pada penjajahan mengalami banyak rintangan berupa racun-racun peninggalan penjajah. Banyak bangsa sendiri yang berjiwa penjajah sehingga pembesar-pembesar main korup tanpa memperdulikan akan nasib rakyatnya sendiri. Akan tetapi adalah menjadi kewajiban orang-orang muda seperti kalian untuk berjuang terus, melenyapkan penjajah-penjajah baru bermuka bangsa sendiri ini dan bukan sekali-kali pada tempatnya kalau kalian malah menambahkan beban rakyat dengan terjun sebagai perampok!”

"Setan tua jangan banyak mulut! Tinggalkan barang-barang dan nona itu untuk menjadi punyaku!" seru perampok muda bermuka kuning yang tidak sabar lagi menanti pidato kakek itu sampai habis, lalu secepat kilat ia menyerang dengan pukulan ke arah dada lawan.

Kakek gundul itu menghela napas. "Diajar dengan kata-kata tidak mempan, perlu dihajar dengan tangan kiranya!" Cepat ia menangkis pukulan itu dan diam-diam ia kaget karena pukulan si muka kuning itu ternyata antep dan keras disertai tenaga Iweekang yang cukup lihai. Maka ia tidak berani memandang ringan, cepat membalas serangan lawan Kalau perlu orang jahat harus diingatkan dan diinsyafkan, akan tetapi kalau jalan ini tidak berhasil, harus disingkirkan agar jangan mengganggu rakyat, pikirnya.

Memang kakek ini seorang penganut Agama Budha, akan tetapi sebetulnya dia bukan pendeta dan belum melakukan pantang membunuh, apa lagi karena sebagai seorang ahli silat dia mempunyai pandangan gagah, tidak pantang membunuh penjahat. Seperti orang-orang gagah lain juga dia berpedoman "membunuh seorang penindas menolong seratus orang tertindas”.

Melihat kawannya sudah bertempur dengan kakek gundul itu dan tahu bahwa kakek itu ternyata bukan "makanan empuk”, si jenggot berseru keras dan maju menyerang pula. Dengan jari-jari terbuka ia menyerang kakek itu dan dari gerakannya ini lawannya dapat melihat bahwa si jenggot adalah eorang ahli tiam-hoat (ilmu menotok dengan dua jari. Sebaliknya, si muka kuning itu selalu melakukan gerakan tangan mencengkeram, tanda bahwa dia mahir Ilmu Kin-na-jiu-hoat atau ilmu mencengkeram (semacam yiu-yit-su).

Akan tetapi kakek gundul ini ternyata benar lihai sekali. Biarpun dikeroyok dua dan di punggungnya tergantung pedang, dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan menyambut serangan dua orang lawannya dengan dua tangan kosong pula. Ketika kakek ini menggerakkan kedua lengannya, angin dingin bersuitan dan dengan angin pukulan saja ia dapat menangkis serangan-serangan lawan.

Kaget sekali dua orang perampok itu. Si muka kuning mengeluarkan pekik tinggi seperti seekor burung, kemudian tiba-tiba tubuhnya juga m a yang ke atas seperti burung terbang dan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala yang gundul dari lawannya. Inilah gerak tipu Hui-eng-hian- jiauw (Burung Garudi Mengulur Cakar) yang amat lihai, juga digerakkan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya sehingga kalau kepala yang gundul kelimis itu terkena cengkeraman tentu akan bolong- bolong menjadi seperti sarang lebah! Dan pada saat yang sama, bahkan lebih cepat datangnya, si jenggot memekik keras dan tangan kirinya menyambar ke depan dengan dua jari terpentang menusuk ke arah mata gundul itu dengan gerak tipu Pek-ho-tok-hi (Bangau Putih Mematuk Ikan).

Dapat dibayangkan betapa lihainya dua serangan berbareng dari depan dan atas ini sehingga Lee Ing yang duduk tenang-tenang di atas punggung ontanya menjadi kaget. Diam-diam gadis ini menyiapkan dua batang piauw (senjata rahasia) untuk membantu kakeknya apa bila perlu.

Akan tetapi kakek gundul itu tenang sekali. Kedua kakinya tidak berubah masih dalam keadaan bhesi terpentang tegak, akan tetapi tiba-tiba bagian tubuhnya yang atas tersentak ke belakang, ditekuk bagian pinggang sehingga serangan dua orang itu mengenai tempat kosong, lalu gerakan ini dilanjutkan dengan gerak tipu Heng-pai-Hud-ya (Tangan Miring Memuja Budha). kedua tangan diturunkan berbareng dengan tubuh atasnya, dengan tangan miring ia menahan ke arah pergelangan lengan dua

orang lawannya. Si jenggot masih sempat menarik kembali tangannya akan tetapi si muka kuning terlambat karena tubuhnya masih belum turun di atas tanah.

"Krekk!" Begitu lengannya tertabas oleh tangan kakek yang dimiringkan itu, ia menjerit dan pergelangan tangannya putus tulangnya.

"Pergilah menebus dosamu di depan Giam-kun (Malaikat Maut)!" bentak kakek itu yang mengirim tendangan kilat. Kakek ini terkenal dengan ilmu tendangannya dan di utara ia terkenal dengan julukan Soan-hong-twi (Tendangan Berantai) karena ilmu tendangannya sukar dilawan.

"Aauuukk!" Begitu kena tendang perutnya, tubuh si muka kuning terlempar dan jatuh berdebuk di atas tanah dengan perut seperti ditekuk, mukanya menjadi lebih kuning lagi dan ternyata nyawanya telah meninggalkan raganya!.

"Hwesio kejil Kau ini seorang pendeta akan tetapi hatimu kejam tidak pantang membunuhi” si jenggot berteriak marah melihat kawannya tewas.

"Omitohud, orang macam aku ini mana bisa menjadi pendeta? Aku bukan hwesio dan aku tidak pantang membunuh Ketika bangsa kami berjuang melawan orang Mongol, aku selalu ikut berjuang dan entah sudah berapa ratus anjing Mongol kubunuh Kawanmu tadi selain menjadi perampok juga mata keranjang dan menghina cucuku, kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, tentu menimbulkan banyak malapetaka, terutama sekali untuk para wanita cantik."

Mendengar bahwa kakek gundul ini juga musuh orang-orang Mongol, sikap si jenggot menjadi agak berubah. "Orang tua, kau berbangsa apakah?"

"Aku adalah anggauta Suku Bangsa Hsi-sia," berkata kakek itu, nada suaranya tinggi menandakan bahwa ia merasa bangga menjadi Bangsa Hsi-sia. Memang orang boleh merasa bangga karena suku bangsa ini terkenal sebagai suku bangsa gagah perkasa yang pantang mundur menghadapi penjajahan Mongol Bangsa Hsi-sia melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan ketika bala tentara Mongol menyerbu mereka dan boleh dibilang seluruh suku bangsa ini habis musnah dibunuh oleh orang-orang Mongol yang jauh lebih banyak jumlahnya. Hanya sedikit sekali orang Hsi- sia yang dapat meloloskan diri dari pembasmian ini. di antaranya kakek gundul itulah. Mendengar bahwa kakek itu Suku Bangsa Hsi-sia, lenyap sikap bermusuhan dari si jenggot. Dengan nada ingin tahu sekali ia bertanya, "Ah, siapakah nama lo-enghiong (pendekar tua)?"

"Namaku Haminto!" jawab kakek itu sederhana.

Akan tetapi mendengar nama ini, si jenggot menjadi kaget sekali dan berteriak girang. "Ah,

kiranya Haminto lo-enghiong! Aku dan kawanku yang tewas ini adalah bekas anak buah Souw- taihiap.”

Sekarang Haminto yang biasa disebut Haminto Losu itu yang kaget, juga gadis cilik itu tercengang lalu melompat turun dari ontanya menghampiri si jenggot itu. "Apa kau bicara tentang Souw Teng Wi? Di mana ayahku itu sekarang?"

Laki-laki berjenggot itu memandang kepada Lee Ing dan berseru, "Jadi nona ini puteri Souw-taihiap? Aduh celaka! Salah suteku sendiri sudah berani menghina Souw-siocia, pantas dia menerima hukuman mati. Haminto lo-enghiong dan Souw-siocia, kita adalah orang orang sendiri, harap maafkan kelancanganku dan suteku tadi." Si jenggot lalu memberi hormat.

Mereka lalu saling menuturkan keadaan masing-masing. Ternyata bahwa kakek gundul itu adalah Haminto Losu, seorang tokoh besar dari Suku Bangsa Hsi-sia yang tidak saja amat terkenal karena semangat dan kegagahannya bersama, bangsanya memerangi orang-orang Mongol, akan tetapi juga lebih terkenal lagi setelah Namilana, puteri tunggalnya, menikah dengan Souw Teng Wi. Souw Teng Wi ini adalah seorang pahlawan bangsa yang tiada hentinya memimpin para patriot untuk mengusir penjajah Mongol. Di dalam barisan pemimpin pemberontak Cu Goan Ciang yang terkenal dalam sejarah Tiongkok. Souw Teng Wi tidak asing lagi karena dialah seorang di antara pembantu- pembantu Cu Goan Ciang yang amat besar jasanya.

Souw Teng Wi gagah perkasa, murid tersayang dari partai persilatan Kun-lun-pai, yang berjiwa patriot sejati. Ketika gerakan Cu Goan Ciang mencapai puncaknya, Souw Teng Wi mengirim isterinya ke utara. Dia sedang berjuang, tidak tentu tempatnya dan memang selama ini Namilana. isterinya yang setia dan mencinta itu berjuang bersama di sampingnya. Akan tetapi ketika melihat isterinya mengandung dan perang besar berkobar hebat Souw Teng Wi menitipkan isterinya itu kepada mertuanya, yaitu Haminto Losu Dibawalah Namilana yang sedang mengandung itu oleh ayahnya kt Utara melalui padang pasir Go-bi, ke tempat aman.

Akan tetapi sungguh malang nasib Namilana. Ketika tiba saatnya ia melahirkan seorang anak perempuan, orang-orang Mongol yang terusir dari bumi Tiongkok membanjiri daerah utara dan dalam keadaan terjepit dan terusir. Bangsa Mongol ini kembali melakukan perampokan dan pembunuh an sebagai pelampiasan marah karena terpukul hancur di selatan, Terpaksa Namilana yang baru saja melahirkan itu dibawa mengungsi oleh ayahnya, melakukan perjalanan jauh dan sukar, bersembunyi-sembunyi dan mengalami banyak ketegangan. Hal ini mengguncangkan jantungnya dan karena tubuhnya masih lemah habis melahirkan anak pertama, ibu muda ini jatuh sakit yang membawa nyawanya pulang ke alam baka. Kasihan Haminto Losu yang ditinggali seorang bayi berusia beberapa bulan.

Haminto Losu memelihara cucunya dengan penuh cinta kasih dan memberi pelajaran ilmu silat kepada cucunya itu yang diberi nama Souw Lee Ing. Akan tetapi makin besar Lee Ing makin rewel menanyakan ayah bundanya. Setelah mendengar bahwa ayahnya bernama Souw Teng Wi dan menjadi pejuang di selatan, ia merengek-rengek mengajak kong-kongnya menyusul. Selalu Haminto Losu mencegahnya mengingat akan jauh dan berbahayanya perjalanan. Baru setelah Lee Ing berusia lima belas tahun dan kepandaian silatnya sudah lumayan untuk menjaga diri, ia menuruti permintaan gadis itu dan berdua pergi melakukan perjalanan ke selatan bertemu dengan dua orang perampok itu.

Dengan amat terharu si jenggot itu mendengarkan penuturan singkat Haminto Losu, kemudian ia mengubur jenazah kawannya yang mati oleh kakek itu, dibantu oleh Haminto Losu. Kakek ini merasa menyesal sekali telah menendang mati bekas anak buah mantunya sendiri, akan tetapi apa mau dikata, sudah terlanjur dan si muka kuning itu memang mencari kematian sendiri.

Si jenggot itu she Lo bernama Houw. Kawannya juga bernama Houw akan tetapi she Can. Setelah mereka menjadi perampok, mereka menyesuaikan nama menjadi Lo Houw (Macan Tua) dan Siauw Houw (Macan Muda). Keduanya adalah bekas anak buah Souw Teng Wi di dalam pasukan pemberontak dan keduanya ikut pula berjuang mengusir pemerintah penjajah Goan-tiauw. Akan tetapi, setelah pemerintah penjajah berhasil terusir, terjadi perebutan kekuasaan atau perebutan pahala Mereka yang kurang kuat dilempar ke samping dan mereka yang kuat berebutan pahala seperti anjing-anjing berebut tulang. Lo Houw dan Siauw Houw termasuk mereka yang disebut "krucuk" dan terlempar ke samping, dilupakan oranglah jasa para krucuk ini, padahal di dalam pertempuran-pertempuran ketika perang dulu, justeru para krucuk ini yang akan lebih dulu mati karena berjuang paling depan!

Lo Houw dan Siauw Houw menjadi sakit hati lalu menjadi berandal di perbatasan utara itu. Sayangnya Siauw Houw si muka kuning itu timbul nafsu jahatnya dan sering kali mengganggu para wanita di daerah itu, biarpun Lo Houw sudah sering kali menasihati dan melarangnya. Akhirnya ia menemui kematiannya di tangan Haminto Losu yang gagah perkasa, mertua dari bekas pemimpinnya sendiri.

Haminto Losu menarik napas panjang. "Memang itulah sayangnya, sicu. Di waktu tenaga kita diperlukan, kita disanjung-sanjung dengan kata-kata muluk dan manis. Akan tetapi setelah cita-cita tercapai dan tenaga kita tak diperlukan lagi, orang lupa sudah kepada kita, bahkan menganggap kita sebagai bahaya bagi mereka. Aah, manusia' Akan tetapi, benar-benar kau keliru kalau hendak memuaskan sakit hatimu dengan menjadi perampok. Lo-sicu. Kau terlalu mementingkan diri sendiri."

Biarpun merasa tanduk atas kata-kata bijaksana kakek itu. Lo Houw merasa penasaran juga disebut mementingkan diri sendiri, maka bantahnya, "Lo-enghiong, mengapa aku disebut mementingkan diri sendiri? Bukankah para petugas yang korup itu yang terlalu mementingkan diri sendiri?”

"Betul, memang mereka itu manusia-manusia berhati busuk, akan tetapi kita sedang bicara tentang dirimu. Kalau sudah tahu mereka itu busuk, mengapa ditiru? Mereka memeras rakyat, mencatut uang negara demi kepentingan sendiri. Kalau sekarang kaupun merampok untuk kepentingan sendiri, apa bedanya itu? Dahulu kau rela mempertaruhkan nyawa untuk berjuang membebaskan rakyat dari pada penindasan kaum penjajah, mengapa setelah perjuangan itu berhasil baik, kau lalu merusak sendiri bangunan yang kau-bantu mendirikan dengan perjuangan? Lo-sicu, apakah kau tidak marah kalau ada orang mengatakan bahwa dahulu kau berjuang untuk diri pribadi?"

"Tentu saja' Seorang gagah berjuang demi bangsa dan negara" jawab Lo Houw tegas.

"Nah, kalau demikian, mengapa kau penasaran setelah sekarang tidak mendapat pahala? Bukankah perjuangan suci tidak mengharapkan balas jasa? Dan perjuangan belum selesai, Lo-sicu. Selama rakyat masih menderita, selama masih ada penghisapan dan penindasan antara manusia, perjuangan orang-orang gagah seperti Lo-sicu inilah untuk membasmi para koruptor, para pengisap darah dan keringat rakyat sampai tercapai kemakmuran rakyat jelata di mana tidak ada lagi penindasan, tiada lagi kelaparan dan ketidak-adilan."

Kali ini Lo Houw tunduk betul-betul atas kebijaksanaan kakek gundul berbangsa Hsi-sia yang terkenal gagah perkasa itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata sambil berlinang air mata, "Lo- enghiong benar siekali! Selama ini boanpwe benar-benar tersesat dan percuma saja perjuangan bertahun-tahun di samping Souw-tai-hiap."

Haminto Losu tersenyum pahit. "Betapapun juga, aku tidak terlalu menyalahkan kau yang

disakitkan hatimu. Memang manusia-manusia yang hanya tahu enaknya saja, yang tidak ikut berjuang mati-matian membela negara akan tetapi sekarang tinggal nongkrong di atas kursi kebesaran menjilati darah dan peluh rakyat yang berceceran di sepanjang jalan, mereka itu terkutuk dan hina sekali. Yang sudah biarlah lalu, Lo-sicu. Belum terlambat bagimu untuk memperbaiki hidup untuk menebus dosa dan melanjutkan perjuanganmu sebagai seorang patriot bangsa, seorang ksatria yang gagah perkasa. Sekarang harap kau-beritahukan. di mana adanya Souw-taihiap mantuku?"

"Sayang sekali aku tidak dapat memberi keterangan di mana adanya Souw-taihiap, karena sudah lima tahun berpisah. Semenjak Souw-taihiap dimusuhi oleh para tokoh di istana dan melenyapkan diri, tak seorangpun mengetahui di mana dia berada. Ah, kalau ada Souw-taihiap, tak mungkin kami menjadi perampok dan tidak mungkin Siauw Houw tewas hari ini." Lo Houw menarik napas panjang.

"Dimusuhi pembesar istana? Aneh sekali! Bukankah mantuku itu dahulu menjadi tangan kanan Thai Cu (Kaisar) ketika kaisar menjadi pemimpin pemberontak Cu Goan Gang?"

"Souw-taihiap agaknya hendak menghalangi para koruptor dan penjilat itu dan hendak membela rakyat, maka ia dimusuhi. Adapun Thai Cu sendiri mana bisa tahu akan keadaan rakyat jelata? Thai Cu terlampau dipengaruhi pembesar-pembesar korup itu agaknya. Ahh, kalau ada Souw-taihiap di sini "

"Lo-sicu, kalau begitu marilah kau bersama kami pergi mencari mantuku itu. Di mana kiranya dia berada menurut pendapatmu?”

"Kaum bangsawan yang menjilat Thai Cu selalu mengelilingi kaisar dan sekarang kota raja dipindah dari utara ke selatan, yaitu di Nan-king. Tak salah lagi tentu Souw-taihiap juga berada tak jauh dari Nan king. Sebaiknya kita mencari ke selatan" jawab Lo Houw.

Berangkatlah mereka bertiga ke selatan, melalui Pegunungan Ala-san terus ke selatan. Setelah tiba di tembok besar. Haminto Losu lalu menjual dua ekor onta itu. Perjalanan ke selatan memerlukan banyak biaya, pula dua ekor binatang ini tidak tepat lagi untuk melakukan perjalanan di pedalaman, terlalu lambat. Setelah menyeberangi tembok besar, tiga orang ini melanjutkan perjalanan dengan ilmu lari cepat menuju ke selatan.

Tiga orang itu melakukan perjalanan cepat. Ilmu lari cepat Lo Houw, biarpun tidak sehebat Haminto Losu, namun masih lebih tinggi daripada ilmu lari cepat Lee Ing sehingga perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Namun tetap saja mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan sebelum tiba di Pegunungan Cin-ling-san pada pagi hari itu. Pemandangan di pegunungan ini amatlah indahnya sehingga beberapa kali Lee Ing membujuk kakeknya supaya berhenti mengaso sambil menikmati pemandangan alam yang demikian indahnya. Gadis yang semenjak kecilnya tinggal di daerah Go-bi yang penuh gunung pasir ini tentu saja amat terpesona menyaksikan pemandangan alam yang indah dari tanah yang amat suburnya. Tak jauh dari tempat mereka berhenti mengaso, kelihatan sebatang anak sungai yang amat jernih airnya dan pada saat itu, sepasang kijang bersama tiga ekor anaknya, minum air sungai. Tiga ekor kijang kecil itu berjingkrakan dengan lompatan-lompatan lucu dan aneh, membuat Lee Ing tertawa geli.

"Alangkah lucunya!” kata gadis ini dengan wajah berseri. Akan tetapi pada saat itu terdengar lapat- lapat suara gendewa menjepret dan lima buah anak panah menyambar dan di lain saat lima ekor binatang yang cantik itu terjungkal dengan jantung tertembus anak panah! Kijang jantan menggelepar gelepar, empat ekor kakinya bergerak-gerak lalu mengejang dan diam.

Akan tetapi kijang betina masih dapat memaksa empat kakinya bangkit berdiri, terhuyung-huyung menghampiri bangkai tiga ekor anaknya, mengeluarkan suara mengembik yang menyayat hati, lalu menciumi tiga ekor kijang kecil itu dan akhirnya iapun terguling, kakinya menyepak-nyepak dalam sakratul maut kemudianpun diam.

"Kejam sekali...!" Lee Ing melompat bangun dan berdiri tegak dengan kedua tangannya yang kecil terkepal keras. Dua titik air mata meloncat keluar di atas pipinya, la merasa ngeri dan tertusuk perasaannya melihat betapa lima ekor binatang yang indah itu terbunuh secara keji, terutama sekali ia merasa kasihan melihat induk kijang itu.

"Manusia keji!” makinya lagi.

Akan tetapi Haminto Losu dan Lo Houw melihat lain. Mereka ini bukan tertarik oleh matinya lima ekor binatang itu, melainkan tertarik akan kelihaian orang yang melepas anak panah. Dari suara menjepret tadi dapat diketahui bahwa yang melepas anak-anak panah itu hanya satu orang, dengan sekali lepas pula. Sekali lepas dapat memanahkan lima buah anak panah yang tepat mengenai dada lima ekor kijang yang berpencaran, benar-benar merupakan kepandaian ilmu memanah yang hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa tiga ekor anak kijang tadi berpencaran dari induknya dan berloncat- loncatan amat sukar dipanah.

"Hebat ilmu memanah itu!" seru Lo Houw perlahan.

Muncullah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, mukanya segi empat, pakaiannya seperti pakaian pemburu, perawakannya tegap dan mukanya dicukur licin. Dengan gerakan lincah orang ini melompat-lompat dari gerombolan pohon menghampiri lima korbannya yang menggeletak di tepi anak sungai.

"Suheng, lihat apa yang dihasilkan oleh anak-anak panahku!" teriak orang itu girang dan bangga. "Makan besar kita kali ini!"

"Manusia keji, kau makan ini piauw-ku!"

"Lee Ing, jangan. !” Haminto Losu mencegah, akan tetapi terlambat, tiga batang piauw menyambar

cepat dari tangan Lee Ing ke arah tiga jalan darah di tubuh laki-laki yang memanah lima ekor kijang tadi.

Akan tetapi laki-laki itu ternyata lihai sekali. Biarpun ia tengah membungkuk melihat lima korbannya dengan wajah girang sehingga tiga batang piauw itu menyambarnya dari belakang, namun dengan tenang-tenang saja ia menggerakkan gendewanya ke belakang tanpa menoleh dan “trak-trak-trak!” tiga batang piauw itu terpukul runtuh. Haminto Losu kaget melihat ini. Kalau tidak tinggi ilmunya dan sudah mempunyai pendengaran tajam sekali, tak mungkin menangkis datangnya senjata rahasia lawan secara demikian, tanpa menoleh tanpa melihat! la memang sudah menduga bahwa pemburu itu tentulah seorang pandai, maka menyesal sekali tadi ia tidak keburu mencegah Lee Ing melepas piauw.

"Siluman betina dari mana berani bermain gila di depan Houw-cam-khoa?” pemburu itu membentak. Ia belum melihat siapa yang melepas piauw, akan tetapi mendengar bentakan Lee Ing tadi tahulah ia bahwa yang menyerangnya secara menggelap adalah seorang wanita.

Lee Ing hendak bergerak akan tetapi lengannya sudah disentuh Haminto Losu yang menyabarkannya. Akan tetapi Lo Houw tiba-tiba melompat keluar dan berseru, "Kami yang melepas piauw karena muak melihat kekejamanmu membunuhi kijang kecil. Seorang pemburu yang gagah hanya akan membunuh binatang hutan yang buas, andaikata membunuh kijang tentu hanya membunuh yang tua, tidak nanti tega membunuh tiga ekor kijang kecil!"

Suara Lo Houw terdengar marah. Memang Harimau Tua ini marah sekali mendengar orang itu memakai julukan Houw-cam-khoa yang berarti Algojo Harimau! Sementara itu Haminto Losu yang khawatir kalau-kalau terjadi salah paham dan pertengkaran, cepat menarik lengan Lee Ing dan melompat keluar. Sebelum pemburu itu sempat menjawab marah, lebih dulu Haminto Losu maju ke depan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Sicu gagah sekali, memiiiki ilmu panah yang mengagumkan dan gerakan Sian-jin-siu-cu (Dewa Menyambut Mustika) tadi benar-benar hebat. Harap maafkan cucuku yang tergerak hatinya dan tidak tega menyaksikan kijang-kijang kecil terbunuh lalu berlancang tangan menyambitkan piauw- nya.”

Melihat munculnya kakek gundul yang memujinya dan merendah minta maaf, apa lagi melihat kenyataan bahwa yang menyerangnya tadi hanyalah seorang dara cilik yang cantik manis, maka kemarahan di hati pemburu itu lenyap tiga perempat bagian, la hanya mengerling marah ke arah Lo Houw, kemudian iapun mengangkat tangan membalas penghormatan Hanfinto Losu. Pemburu inipun menyangka bahwa kakek gundul ini tentu seorang hwesio maka katanya,

"Losuhu, aku Houw-cam-khoa Lie Siong sejak kecil menjadi pemburu dan belum pernah melihat orang mencegah pemburu membunuh korbannya. Akan tetapi oleh karena losuhu demikian ramah, biarlah urusan kecil ini dihabiskan saja. Tidak tahu losuhu ini siapakah dan dari golongan mana?" Mata pemburu itu mengerling ke arah Lee Ing dengan senyum kemudian lirikannya menyambar ke arah Lo Houw penuh selidik.!

Sebetulnya Haminto Losu tidak ingin memperkenalkan diri, akan tetapi melihat pemburu itu sudah memperkenalkan nama, tidak baik kalau ia tidak menjawabnya. Sambil tersenyum merendah ia menjawab. “Lohu tidak mempunyai golongan atau partai, lohu seorang pengembara jauh dari utara, bernama Haminto dan cucuku ini..”

Tiba-tiba sikap pemburu itu berubah dan "sratt!" golok panjang di pinggangnya telah tercabut sehingga Haminto Losu menghentikan ucapannya saking heran dan kagetnya.

"Suheng, lekas ke sini ada musuh” teriak Houw-cam-khoa Lie Siong dengan nyaring, kemudian ia menudingkan ujung goloknya ke muka Haminto Losu sambil memaki, Kiraku siapa, tak tahunya sebangsa iblis biadab dari utara?" “Sicu, aku dari Suku Bangsa Hsi-sia, bagaimana kau anggap biadab?” Haminto Losu berseru marah, habis kesabarannya menyaksikan sikap pemburu itu.

"Bangsa Hsi-sia atau bangsa iblis neraka, siapa perduli? Paling baik kau lekas tinggalkan bumi di mana kau berpijak, tak boleh bangsamu yang hina menginjak tanah airku?" seru pemburu itu dengan angkuh sambil melintangkan golok di depan dada.

Haminto Losu menarik napas panjang. Dia sudah mendengar berita angin bahwa semenjak orang selatan berhasil mengusir penjajah Mongol yang selama seabad lebih menjajah tanah air mereka dan membuat rakyat banyak yang menaruh dendam, maka banyak orang selatan menjadi mata gelap dan membenci setiap orang yang datang dari daerah utara di luar tembok besar. Tidak hanya orang Mongol bekas musuh itu yang dibenci, juga suku bangsa-suku bangsa lain yang tinggal di utara mereka anggap musuh besar.

"Sicu, sabarlah. Kami Bangsa Hsi-sia sejak dulu bahu-membahu dengan Bangsa Han dalam perjuangan melawan bangsa penjajah Mongol. Dan kedatanganku di Tiong-goan sekarang ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mencari mantuku "

"Cukup! Lekas balikkan ekormu dan pergi kembali ke utara! Kalau tidak, golokku takkan memberi ampun!” bentak Lie Siong.

"Kong-kong, binatang ini menghina sekali, biar kuhajar dia!” seru Lee Ing yang sudah hampir tak dapat menahan kesabarannya.

"Omitohud, kau benar-benar mendesak sekali, orang muda. Apa boleh buat, aku Haminto bukanlah seorang yang suka mencari permusuhan, akan tetapi lebih-lebih lagi bukan seorang pengecut. Marilah, biar kurasakan bagaimana lihainya golokmu!" Sambil berkata demikian, Haminto Losu mendahului cucunya, melompat ke depan menghadapi pemburu itu sambil mencabut pedangnya. Orang tua ini dapat menduga bahwa Houw-cam-khoa Lie Siong adalah seorang lihai dan bukan lawan Lee Ing, maka ia maju sendiri dan ia sudah mencabut pedangnya untuk menghadapi golok panjang lawan. Akan tetapi, dengan gerakan cepat sekali Lo Houw melompat dan mengeluarkan auman seperti harimau, pedang tajam sudah berada di tangan kanannya. Itulah pedang Lee Ing yang dipinjamnya.

"Lo-enghiong, menghadapi anjing kecil mengapa mempergunakan tongkat besar? Biarkan aku menghadapi kirik (anjing kecil) ini!” bentaknya sambil terus menyerang Lie Siong dengan tusukan pedang. Gerakannya Cepat dan kuat sekali karena datang-datang si jenggot ini sudah mainkan ilmu- pedang Kun-lun-pai, yang dulu ia pelajari dari pahwalan Souw Teng Wi. Dengan gerak tipu Kim-ke- tok-siok (Ayam Emas Mematuk Gabah) ia menusuk perut lawannya, cepat dan mengandung tenaga besar sampai terdengar angin bersiut.

Biarpun tadi ia merasa marah kepada Lo Houw yang sudah bersikap galak kepadanya, akan tetapi melihat si jenggot ini seperti orang Han, Lie Siong cepat menangkis dan melompat mundur.

"Tahan dulu, si gundul ini memang bangsa biadab yang harus diusir atau dibunuh. Akan tetapi kau ini kulihat seorang Han, mengapa membantu bangsa biadab?"

"Jahanam tengik! Lo-enghiong ini jasanya seribu kali lebih besar dalam perjuangan mengusir orang Mongol dari pada kau yang hanya becus membunuhi kijang-kijang lemah. Cih, tak tahu malu! Kalau hendak memamerkan kepandaian, aku Lo Houw musuhmu!” “Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah sebulan lebih aku tidak bertemu dengan harimau, aku Houw-cam- khoa Si Algojo Harimau, dan sekarang ada harimau tua gila datang mencari mampus. Bagus, kau manusia tak tahu malu memang lebih baik mampus!” Setelah mengeluarkan kata-kata sindiran ini, Lie Siong cepat mainkan goloknya dan sinar putih bergulung-gulung padat. Inilah sinar golok yang dimainkan dengan baik sekali. Diam-diam Lo Houw terkejut akan tetapi tidak mau berlaku ayal, cepat pedangnya digerakkan dan di lain saat dua orang ini sudah bertempur hebat dan seru.

"Sute, kau bertempur dengan siapa?” tiba-tiba terdengar suara keras dan belum lenyap gema suaranya orangnya sudah datang di situ, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, berusia tiga puluh lima tahun dan mukanya angker sekali. Inilah Tiat-ciang-kui Yo Ban Si Iblis Bertangan Besi, suheng dari Lie Siong. Tangan kirinya menyeret bangkai biruang yang besar dan masih hangat, binatang ini baru saja dibunuhnya. Melihat bangkai biruang itu sama sekali tidak terluka, dapat diduga bahwa ia dibunuh bukan dengan senjata tajam. Memang, Yo Ban yang memiliki kedua kepalan besi seperti julukannya, telah membunuh binatang liar yang kuat ini hanya dengan pukulan tangannya belaka!

Ketika muncul di situ melihat sutenya bertempur melawan seorang laki-laki berjenggot sedangkan di situ berdiri pula seorang kakek gundul dan seorang dara cilik, Yo Ban ragu ragu.

"Suheng, anjing tua gundul itu adalah Bangsa Hsi-sia, lekas usir atau bunuh dia!”

Aneh sekali, mendengar kata-kata sutenya ini. Yo Ban lenyap keraguannya dan sikapnya berubah keren. Ia melemparkan bangkai biruang ke samping, lalu menghampiri Haminto Losu. Tangannya diulur hendak mencengkeram pundak sambil membentak, "orang biadab pergilah kamu!”

Haminto Losu adalah seorang tua yang sedang meyakinkan pelajaran Agama Buddha. Kesabarannya besar Namun dia masih manusia biasa dan kesabaran ada batasnya Beberapa kali setelah orang mendengar bahwa dia bukan Bangsa Han. ia dihina. Sebagai seorang Hsi-sia yang terkenal gagah perkasa dan berdarah panas serta patriotik, bangun semangatnya karena bangsanya dihina.

Cepat ia mengelak lalu mencabut pedangnya sambil membentak, "Pemburu-pemburu yang kasar dan tidak tahu aturan! Jangan kira aku Haminto takut berkelahi!”

Cepat pedangnya digerakkan dan sinar kehijauan dari pedangnya bergulung-gulung mengurung lawannya yang juga sudah menggerakkan sebatang ruyung yang dicabutnya dari pinggang. Biasanya Yo Ban hanya mengandalkan dua kepalan tangannya, bahkan ketika ia menghadapi biruang tadi, ia menjatuhkan binatang itu dengan pukulan tangan kosong. Akan tetapi melihat cara kakek gundul ini menggerakkan pedangnya, tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang terlalu berbahaya kalau dilawan tanpa senjata maka ia cepat mencabut ruyungnya yang jarang ia gunakan itu.

Haminto Losu adalah seorang ahli silat terkenal di utara di antara Bangsa Hsi-sia. Selain ia pandai dalam ilmu gulat utara yang hampir menyerupai Ilmu Kin-na-jiu-hwat (ilmu tangkap seperti yiu-yit- su), juga ia pandai dalam ilmu pedang dari barat. Dari mantunya, Souw Teng Wi, ia pernah mendapat petunjuk-petunjuk dalam Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat. maka kini ilmu pedangnya adalah gabungan ilmu pedang Kun-lun dan ilmu pedang dari See-thian (dunia barat), cukup cepat dan kuat gerakannya. Bagaikan elang menyambar, pedang itu ia putar-putar di atas kepala kemudian menerjang turun bergerak membabat ke arah leher lawan disusul gerak tusukan ke arah dada.

Ilmu serangan ini kalau dalam Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat disebut Hun-ka-kim-liang (Memasang Penglari Emas), akan tetapi melihat diputar-putarnya pedang di atas kepala dan melihat kedudukan kaki, terang bahwa gerak tipu ini sudah berubah banyak sehingga hanya mata seorang ahli pedang yang paham tentang Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat saja yang akan dapat mengenal ilmu ini.

Tiat-ciang-kui Yo Ban tahu menghadapi serangan berbahaya. Cepat ruyungnya diputar menangkis pedang sambil melompat mundur untuk menghindari serangan susulan yang menusuk dada itu, kemudian setelah tahu bahwa tenaganya hanya kalah sedikit oleh lawan, ia maju dengan beringas, mengirim hantaman ke arah pinggang lawan dengan gerak tipu Sabuk Kemala Melilit Pinggang, sedangkan tangan kirinya dikepal melakukan pukulan Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Mengambil Hati) ke arah dada Haminto Losu. Inilah serangan Pembalasan yang tak kalah hebatnya. Haminto Losu menggerakkan pedangnya menangkis.

"Traanggg   !" Bunga api memuncrat menyilaukan mata dan kedua orang itu melompat ke belakang

memeriksa senjata masing-masing. Bentrokan senjata tadi dapat membuat lengan tangan mereka tergetar. Akan tetapi kalau Haminto Losu masih tetap pasangan kakinya, adalah Yo Ban tergempur bhesinya sehingga kaki kirinya agak tergeser, inilah menandakan bahwa Iweekangnya masih kalah setingkat oleh kakek gundul itu. Diam-diam ia merasa kaget sekali dan berlaku lebih hati-hati, Pertempuran dilanjutkan dengan seru, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus kelihatanlah bahwa memang Haminto Losu masih menang setingkat. Baiknya kakek ini masih merasa sungkan untuk membunuh lawannya, maka beberapa kali ia membiarkan kesempatan baik terlewat begitu saja.

Di lain fihak, si jenggot Lo Houw terdesak hebat oleh Houw-cam-khoa Lie Siong. Repot sekali ia melayani golok algojo harimau itu yang mendesaknya bertubi-tubi diselingi ketawa mengejek, "Nah. nah, sebentar lagi kubeset kulitmu, macan ompong!”

Lee Ing menjadi gemas sekali melihat lagak Lie Siong. Ia tahu bahwa ilmu silatnya masih terlampau rendah untuk membantu, apa lagi sekarang pedangnya sudah dipinjam oleh Lo Houw. Akan tetapi dengan piauwnya ia dapat membantu juga dan beberapa kali ia melepaskan piauw dengan cepat untuk mengeroyok Lie Siong. Bantuan ini merepotkan Lie Siong dan keadaan Lo Houw agak longgar dari pada desakan golok lawannya. Akan tetapi, Lie Siong benar benar lihai sekali. Semua serangan piauw dapat ia tangkis atau dielakkan dengan mudah dan tak lama kemudian habislah dua puluh batang piauw bekal Lee Ing, habis disambitkan tanpa guna.

"Haha-ha-ha, mana lagi piauwmu. bocah manis? Hati-hati kau, sekarang aku belum sempat membalas, akan tetapi nanti kau harus menebus setiap piauw dengan sebuah ciuman!” Lie Siong mengejek Lee Ing sambil mendesak Lo Houw dengan goloknya.

"Jahanam keparat! Jangan kau menghina puteri dari Souw Teng Wi taihiap!” Lo Houw membentak marah sekali sambil memutar pedangnya dengan nekat.

Disebutnya nama ini benar-benar mengagetkan hati Lie Siong. Di sebelah sana terdengar jerit kesakitan dan Yo Ban terlempar ke belakang, pundaknya terluka oleh babatan pedang Haminto Losu sehingga Ruyungnya terlempar. Di saat itu juga, setelah mendengar disebutnya nama Souw Teng Wi, Lie Siong berseru kaget, dan ia tak dapat mengelak lagi ketika Haminto Losu sudah maju membantu Lo Houw dan membabat pahanya sehingga terluka dan ia roboh terguling.

"Siapa tadi menyebut nama....... Souw Teng Wi taihiap. ?" Yo Ban bertanya dengan mata terbelalak

lebar.

Haminto Losu berseru keras dan pedangnya menangkis pedang Lo Houw karena si jenggot yang marah sekali ini secara sembrono sudah melangkah maju untuk menusuk lawannya yang sudah roboh terluka. "Lo-sicu, tahan senjata!" kata Haminto Losu dan pedang Lo Houw terpental karena tangkisannya yang keras. Kemudian Haminto Losu menghampiri dua orang lawan yang sudah terluka itu sambil berkata,

"Apakah ji-wi (tuan berdua) mengenal Souw Teng Wi?”

"Tentu saja kami tahu, dia seorang pahlawan bangsa yang terhormat, tidak seperti kau ini     bangsa

biadab. ” kata Lie Siong sambil mendelik.

"Keparat, berani kau memaki kong-kongku!" bentak Lee Ing, akan tetapi Haminto Losu melarang dia berbuat sesuatu.

"Haminto, kau orang Hsi-sia jangan sombong! Tunggu guru kami datang mengambil nyawamu!” kata Yo Ban yang lalu bersuit keras sekali, memberi tanda kepada gurunya yang berada di tempat agak jauh dari situ.

"Sicu, kau yang tadi mencari urusan, bukan kami!” jawab Haminto Losu yang segera menarik tangan Lee Ing dan mengajak cucunya itu pergi. “Lo-sicu, hayo kita melanjutkan perjalanan.”

Haminto Losu tergesa-gesa pergi dari tempat itu. berlari cepat setengah menyeret tubuh cucunya. Berkali-kali Lee Ing menyatakan ketidak-puasannya, demikian pula kedengaran Lo Houw bersungut- sungut.

"Dua orang manusia itu sombong dan kurang ajar. Aku tidak puas kalau belum mengetok kepala mereka!”

"Benar sekali kau, paman Lo. Kong-kong terlalu sabar dan mengalah. Mereka yang kurang ajar, setelah mereka roboh mengapa kita yang melarikan diri terbirit-birit? Sungguh membuat penasaran dalam hati,” kata Lee Ing.

Akan tetapi anehnya. Haminto Losu tidak menjawab, bahkan mempercepat larinya sehingga tubuh Lee Ing seakan-akan diangkatnya dan Lo Houw terengah-engah mengerahkan seluruh tenaga untuk mengimbangi kakek ini dan agar jangan ketinggalan. Terus saja Haminto Losu mengajak mereka lari ke selatan, tidak memperdulikan cucunya sudah mahdi keringat dan kepalanya yang gundul itupun sudah penuh peluh, seakan-akan tidak mendengar betapa napas Lo Houw sudah mendengus-dengus seperti kerbau kepanasan. Sementara itu, matahari sudah mulai turun ke barat.

“Lo-enghiong. aku.... aku tak kuat.... lagi I” kata Lo Houw terputus-putus dengan

napas senin kemis. Setengah hari lebih berlari-lari secepat itu memang benar-benar menghabiskan napas. Lee Ing sendiri sekarang sudah tidak lari lagi melainkan dikempit oleh kongkongnya yang juga sudah nampak lelah dan napasnya memburu.

Haminto Losu mengendorkan larinya, akan tetapi tetap tidak mau berhenti. "Kita jalan saja ”

kalanya dan demikianlah.

L o Houw dipaksa melanjutkan perjalanan dengan jalan, tidak lari lagi sehingga biarpun kedua kakinya lelah, namun ia dapat "mencari napas”. Lee Ing dan Lo Houw sudah tidak bertanya-tanya lagi karena selama itu Haminto Losu tidak menjawab semua pertanyaan mereka.

Setelah malam tiba, barulah Haminto Losu berhenti berjalan. Mereka sudah melakukan perjalanan hampir dua ratus lie jauhnya dan kini tiba di lereng bukit batu karang. Akan tetapi tak jauh dari i situ, di tepi sebuah jurang, mengalir sebatang anak sungai sehingga hawa di situ amat enak dan sejuk. Bagaikan tidak bertulang lagi Lo Houw dan Lee Ing menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar pada batu karang melepaskan lelah. Juga Haminto Losu duduk bersila mengatur napasnya diturut segera oleh L.o Houw dan Lee Ing. Tak lama kemudian Lo Houw pergi mencari air yang mereka minum dengan enaknya.

Bulan purnama muncul dan pemandangan malain itu di lereng bukit batu karang sungguh indah. Bulan bundar kuning emas merupakan lampu indah sekali, tidak saja menyinarkan cahaya yang lembut terang mengagumkan, juga mendatangkan hawa sejuk sekali. Di sana-sini muncul bintang gemerlapan menghias angkasa biru, berkedap-kedip seperti mata gadis-gadis kahyangan bermain mata kepada Dewa Bulan, akan tetapi dewa itu teguh hatinya bercahaya tenang dan tenteram. Batu- batu karang yang menjulang tinggi di lereng itu terkena cahaya bulan menjadi keputihan, indah seperti menara-menara kuno. Juga tanah menjadi keputihan, putih dan bersih. Benar-benar tempat yang pada siang harinya gundul dan kering ini sekarang disulap oleh cahaya bulan menjadi lempat yang hanya terdapat di alam mimpi. Beginilah agaknya pemandangan di permukaan bulan itu sendiri!

"Kong-kong tadi berlari-larian seperti orang ketakutan, sebetulnya apakah gerangan yang ditakutkan? Dua orang Iawan itu tidak mampu mengalahkan kong-kong, mengapa kita yang menang harus lari ketakutan?" akhirnya Lee Ing yang tak sabar lagi bertanya kepada kongkongnya. Juga Lo Houw biarpun tidak berani bertanya, memandang kepada kakek itu dan menanti jawabannya dengan mata penuh pertanyaan.

Haminto Losu menarik napas panjang. "Lee Ing, kau seperti burung yang keluar dari sarang, tidak tahu kelihaian orang-orang kang-ouw di daerah Tiong-goan ini. Aku sudah mendengar berita angin tentang adanya orang-orang kang-ouw yang anti kepada orang-orang utara yang bukan berbangsa Han, hal ini timbul sebagai akibat sakit hati dan dendam terhadap penindasan penjajah Mongoi. Kau lihat sendiri betapa dua orang pemburu tadi bernafsu sekali untuk mengusir atau membunuh aku sampai terjadi pertempuran. Kemudian aku berhasil mengalahkan mereka karena mereka terlengak dan terkejut mendengar nama ayahmu. Agaknya mereka mengindahkan ayahmu, sedangkan aku sudah melukai mereka. Coba saja bayangkan. Kalau mereka itu mengindahkan ayahmu berarti mereka itu orang segolongan sendiri dengan kau, dan aku yang lancang ini sudah melukai mereka! Kalau sampai kawan-kawan mereka datang dan memusuhi kita bukankah itu berarti aku menyeretmu ke dalam permusuhan dengan golongan sendiri? Karena aku tidak ingin hal itu terjadi, aku lebih baik pergi cepat-cepat dari tempat itu agar urusan tidak menjadi makin hebat."

Mengertilah kini Lee Ing dan Lo Houw mengapa kakek itu tadi berlari-larian sehari penuh seperti orang ketakutan. Diam-diam Lo Houw memuji pandangan kakek ini yang jauh dan mendalam. Akan tetapi Lee Ing menjadi penasaran "Kong-kong, kalau kita berada di fihak benar, mengapa takut menghadapi permusuhan? Kalau kita benar, berarti mereka yang memusuhi kita dan kita hanya membela diri. Biarkan mereka datang. aku yang akan menghadapi mereka!” Ucapan ini gagah, akan tetapi menggelikan. Gadis yang belum seberapa kepandaiannya ini, yang sekarang kelelahan sampai hampir tak dapat berdiri sungguhpun tadi ia lebih banyak digendong dari pada lari sendiri, bagaimana akan menghadapi mereka yang lihai? Baru dua orang itu tadi saja sudah amat lihai, apa lagi guru mereka!

"Enak saja kau bicara. Lee Ing. Kalau memang benar mereka itu tergolong kawan-kawan ayahmu masih mendingan karena aku dapat mengharapkan kau akan terlindung dan mereka tidak akan mau mengganggumu. Akan tetapi siapa tahu kalau-kalau mereka itu bukan kawan-kawan mantuku Souw Teng Wi sebaliknya adalah musuh-musuhnya? Tentu mereka takkan mau melepaskanmu dan aku melarikan diri tadi adalah untuk menjaga keselamatanmu cucuku. Pendeknya, sebelum kita dapat bertemu dengan ayahmu dan sebelum kau berada di dekat ayahmu, hatiku akan selalu merasa gelisah. Di Tiong-goan ini jauh sekali bedanya dengan di utara, di mana kita boleh merasa aman karena aku sudah mengenal betul keadaan dan watak orang-orang di sana. Di sini, aahhh..., orang- orang kang-ouw terlalu banyak yang sakti dan hebat, mereka itu aneh-aneh wataknya, sukar diajak urusan."

Kata-kata Haminto Losu terhenti secara tiba-tiba dan wajahnya berubah pucat, tangannya cepat memegang lengan Lee Ing dan ia bersiap-siap melindungi cucunya yang dikasihinya sepenuh jiwa itu. Ia mendengar sesuatu yang belum terdengar oleh Lee Ing, bahkan belum terdengar oleh Lo Houw.

Melihat sikap kong-kongnya seperti orang ketakutan, Lee Ing menghibur, "Kong-kong. jangan takut. Andaikata mereka itu musuh ayah, biarlah mereka datang. Kebetulan sekali, kita mendapat kesempatan untuk membantu ayah membasmi musuh-musuhnya! Kalau kita kalah, sampai mati-pun aku tidak penasaran demi untuk membela ayah yang tak pernah kulihat itu, hitung-hitung aku berdarma bhakti kepada orang tua."

"Husshhh...." kata Haminto Losu, akan tetapi kata-katanya tertahan karena mendadak, seperti siluman saja, di depan mereka sudah berdiri seorang laki-laki gundul yang mukanya buruk dan menggelikan. Orang itu sukar ditaksir usianya, melihat keriput-keriput pada mukanya itu tentu usianya sudah lanjut, sedikitnya limapuluh tahun, akan tetapi sepasang matanya kocak dan bening seperti mata bocah, kepalanya gundul akan tetapi tidak sekelimis kepala Haminto Losu, melainkan di sana ada titik rambut hitam menjongat seperti duri tumbuh di padang pasir, kepala itu kecil bundar seperti bola, hidungnya bengkok ke bawah seperti tidak bertulang, mulutnya mewek dan jenggotnya pendek-pendek jarang seperti rambut di kepalanya. Ia mengenakan pakaian sederhana, gerombyongan tidak keruan bentuknya dan sikapnya seperti hwesio.

“Kau inikah puteri Souw Teng Wi?” hwesio itu yang tadinya berdiri dengan kedua lengan bersedakap, kini menudingkan telunjuk kanannya ke arah Lee Ing. Karena munculnya orang gundul ini seperti setan, begitu tiba-tiba, Lee Ing, Lo Houw dan Haminto Losu untuk sejenak ternganga saja di atas tanah. Kini mereka melompat bangun dan Lee Ing menjawab dengan suara nyaring,

"Betul aku Souw Lee Ing puteri Souw Teng Wi. Kau ini siapakah, orang tua?”

"Heh-heh-heb-heh...!” Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawanya tidak keras akan tetapi mengandung pengaruh yang mendebarkan jantung sehingga Haminto Losu kaget bukan main. Dari suara ketawanya dan munculnya yang tiba-tiba tadi saja sudah membuktikan bahwa hwesio ini adalah seorang sakti, Iweekangnya hebat dan ginkangnya tinggi sekali.

"Pantas pantas! Ayah naga tentu puterinya bukan sebangsa cacing. Kau berbakat dan bertulang baik, mari kau ikut dengan aku. nona!”

"Nanti dulu, orang tua. Kau siapakah dan mengapa aku harus ikut dengan kau? Aku hendak pergi mencari ayahku,” jawab Lee Ing, tetap tabah.

Kembali hwesio itu tertawa ngikik. Mendengar suara ketawa ini, orang yang bernyali kecil akan meremang bulu tengkuknya, seperti mendengar suara ketawa setan atau orang gila.

"Pinceng bernama Bu Lek Hwesio dan aku mengajakmu menemui ayahmu. Marilah!” Sambil berkata demikian. kedua tangannya bergerak-gerak maju dan iapun melangkah ke depan. Lee Ing bergerak mundur dan Haminto Losu memegang lengan gadis itu. Akan tetapi bukan main hebatnya, semacam tenaga menarik yang seperi angin puyuh datang membetot tubuh Lee Ing dan biarpun Haminto Losu mengerahkan Iweekangnya, di lain saat tangan gadis itu sudah dipegang oleh Bu Lek Hwesio yang masih tertawa-tawa.

"Nanti dulu, sahabat!” Haminto Losu melompat ke depan menghadapi hwesio aneh itu. Haminto Losu merasa curiga dan tidak percaya kepada hwesio thi yang lihai sekali. Tidak bisa ia mempercayakan cucunya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya baik baik. "Tanpa bukti- bukti yang nyata tidak bisa kau membawa cucuku begitu saja”

“Apakah kau yang bernama Haminto dan yang tadi melukai dua orang anak muridku?" hwesio itu bertanya, matanya disipitkan, kepala ditarik ke belakang.

Haminto Losu cepat mengangkat tangan memberi hormat. "Memang betul, aku yang rendah bernama Haminto dan tidak kusangkal bahwa tadi aku telah bertempur dengan dua orang muda sampai mereka itu terluka. Akan tetapi, adalah mereka yang terlalu mendesak dan memaksaku. Sesungguhnya kami datang ke Tiong-goan bukan dengan maksud mencari permusuhan, melainkan hendak mencari mantuku, Souw Teng Wi ayah cucuku ini. Kalau betul sahabat dapat memberi keterangan di mana adanya Souw Teng Wi, aku akan menghaturkan terima kasih dan merasa bersyukur sekali dan biarlah aku sendiri mencarinya bersama cucuku." Sudah jelas bahwa Haminto Losu berlaku mengalah dan merendah sekali, ia berlaku hati-hati karena belum tahu orang macam apakah yang ia hadapi ini, kawan ataukah lawan.

“Hemm...” Bu Lek Hwesio mengeluarkan suara di hidung, nadanya memandang rendah sekali, "dua orang muridku memang tidak keliru, semua orang utara yang biadab kalau berani menyeberangi tembok besar ke selatan, harus dibasmi habis agar jangan terulang kembali penjajahan oleh orang- orang biadab dari utara! Akan tetapi sayang mereka itu tidak teliti, kalau kau menjadi mertua Souw- taihiap tentu saja merupakan kekecualian dan boleh diampuni, akan tetapi tetap saja tidak boleh terus ke selatan. Sekarang nona Souw sudah bertemu dengan pinceng, serahkan dia kepada pinceng untuk dipertemukan dengan ayahnya. Dia bertulang baik, kiranya patut menjadi murid pinceng. Adapun kau sendiri, lebih baik lekas kembali ke utara sebelum bertemu dengan kawan-kawan lain yang takkan mau mengampunimu." Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Lee Ing dan berkata "Hayo, nona Souw, kita pergi sekarang juga!"

Tangannya bergerak perlahan, namun Lee Ing tak dapat mengelak dan tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena dipegang oleh hwesio itu. "Nanti dulu, losuhu!” seru Lee Ing. "Biarpun kau bermaksud baik, akan tetapi aku masih belum melihat buktinya. Losuhu hendak mengambil murid kepadaku, mudah saja. Akan tetapi kong-kongku inipun seorang ahli silat yang pandai Kalau losuhu tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, untuk apa aku belajar ilmu silat darimu?”

Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh. "Keras dan jujur seperti ayahnya! Souw-siocia, kau masih belum percaya kepada pinceng? Ha-ha, boleh sekali, suruh kongkongmu itu maju, biar kita main-main sebentar. Kalau aku tidak bisa mengalahkannya dalam sepuluh jurus, anggap saja aku tidak berharga menjadi gurumu.”

Sikap yang sombong ini memanaskan perut Lo Houw. la mendahului Haminto Losu, melompat dan mengaum seperti harimau menghadapi Hu Lek Hwesio. "Hwesio sombong, coba kau-hadapi aku lebih dulu!” katanya memasang kuda-kuda. “Kau siapakah?” tanya Bu Lek Hwesio dan dari sepasang matanya yang tajam itu menyambar sinar berapi-api. Haminto Losu dapat melihat ini dan hatinya tidak enak, cepat ia mendahului Lo Houw menjawab,

“Dia adalah Lo Houw, seorang pahlawan patriot yang dahulu berjuang di bawah pimpinan Souw Teng Wi.”

Bu Lek Hwesio mengangguk angguk. “Baiknya dia menyebutkan hal ini, kalau tidak jangan harap kau akan dapat bernapas lagi. Majulah!”

Lo Houw tidak menjadi gentar, dengan auman keras ia menyerbu, kedua tangannya bertubi-tubi melakukan tusukan yang merupakan totokan berbahaya. Bu Lek Hwesio tidak bergerak, tetap berdiri dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Padahal tangan kiri dan kanan dari Lo Houw sudah bergerak dan jari jarinya sudah menotok, yang kanan mengarah leher yang kiri mengancam dada! Ketika jari-jari itu hampir menyentuh sasaran. Bu Lek Hwesio hanya miringkan sedikit lehernya, totokan pada leher itu tidak mengenai sasaran sedangkan totokan pada dadanya diterima begitu saja! “Krek!!” Lo Houw menjerit dan melompat mundur sambil memegangi jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang ternyata sudah patah-patah tulangnya.

Bu Lek Hwesio tersenyum mengejek dengan mulutnya yang selalu merengek itu. "Hanya begitu saja kemampuanmu?”

Lee Ing kagum bukan main, akan tetapi Haminto Losu sudah melompat sambil mencabut pedangnya. ’’Sahabat, kepandaianmu hebat. Biarlah aku yang bodoh mencoba-coba untuk memuaskan hati cucuku, pula agar aku yakin bahwa cucuku berada di tangan yang cukup kuat untuk menuntunnya mencari ayahnya."

"Majulah, orang Hsi-sia!” Bu Lek Hwesio menantang, masih tetap berdiri dengan dua lengan bersedakap tenang-tenang saja. Agaknya ia tidak bersenjata dan hendak menghadapi pedang Haminto Losu dengan tangan kosong. Haminto Losu maklum bahwa hwesio ini lihai sekali, maka ia cepat berseru "Lihat pedang!” dan melakukan serangan hebat dengan babatan pedang-nya disusul oleh tendangan Soan-hong-twi yang amat berbahaya itu.

"Bagus!” Bu Lek Hwesio berseru dan benar-benar luar biasa sekali, tidak diketahui atau dilihat gerakannya tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke kiri sehingga babatan pedang dan tendangan yang dilakukan amat cepatnya itupun tidak mengenai sasaran.

"Satu jurus!” kata Bu Lek Hwesio sombong. Haminto Losu menjadi penasaran sekali mendengar ini karena ternyata hwesio itu benar-benar hendak membuktikan bualnya kepada Lee Ing tadi bahwa dia akan dapat merobohkan Haminto Losu dalam sepuluh jurus! Bagaimana juga, Haminto Losu bukanlah seorang ahli silat biasa, melainkan seorang tokoh yang memiliki ilmu pedang hebat, di samping ini ilmu tendangannyapun terkenal ditambah ilmu cengkeraman model Mongol. Bagaimanakah ia akan dapat dirobohkan begitu saja dalam sebuluh jurus? Hwesio sombong ini biarpun kepandaiannya lebih tinggi dari padaku, akan tetapi terlalu sombong dan harus diberi malu, pikir Haminto Losu dan ia berlaku hati-hati sekali.

Kembali ia menyerang dengan pedangnya, akan tetapi kali ini serangannya hanya mempergunakan tiga bagian saja dari pada kepandaiannya, yang tujuh bagian ia pergunakan untuk menjaga diri agar jangan sampai kalah dalam sepuluh jurus. Biarpun dengan cara demikian ia tidak mungkin dapat mengirim serangan-serangan berarti, namun penjagaannya menjadi amat kuat dan kiranya tidak mungkin orang dapat merobohkan dalam sepuluh jurus, apa lagi orang itu bertangan kosong. “Dua jurus!” Bu Lek Hwesio menghitung lagi sambil mengelak perlahan, biarpun ia tahu akan perubahan ini namun ia bersikap biasa seolah-olah tidak tahu. Kembali Haminto Losu menyerang, cepat sekali ia menyerang bertubi-tubi menggunakan jurus demi jurus akan tetapi semua ia lakukan dengan mengerahkan hanya tiga bagian ilmunya. Maksudnya agar supaya cepat-cepat ia menghabiskan sepuluh-jurus karena kalau sudah lewat sepuluh jurus belumi juga hwesio itu mampu mengalahkan nya berarti ia menang!

"Tiga jurus! Empat jurus..... lima jurus... enam jurus!” Karena serangan-serangan Haminto Losu bertubi-tubi dan amat cepat datangnya sambil mengelak ke sana ke mari Bu Lek Hwesio menghitung dengan cepat pula. Kembali Haminto Losu menyerang bertubi-tubi dengan gerak tipu menyerupai Kongciak-kai-peng (Merak Membuka Sayap) disusul Sian-jiu-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan) kemudian Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung).

Dengan gerakan perlahan namun selalu tepat sekali Bu Lek Hiwcsio mengelak lari dua seiangan pertama sambi I menghitung "Tujuh jurus..... delapan jurus ”

Serangan ketiga, Hun-in-toan-san itu dilakukan dengan membabatkan pedang ke arah leher. Serangan ini lebih berbahaya dari pada serangan yang sudah-sudah. Namun Bu Lek Hwesio berdiri tegak tidak mengelak sama sekali, bahkan mulutnya dengan nada mengejek menghitung, "Sembilan jurus!" Tiba-tiba pedang yang menyambar itu terhenti di tengah udara dan ternyata punggung pedang sudah kena dijepit oleh dua jari tangan kiri Bu Lek Hwesio. Karena pedangnya terhenti di tengah udara, Hamimo Losu tercengang dan tak dapat terus menyerang melainkan dengan kaget sekali berusaha menarik pulang pedangnya. Namun pedang itu seakan-akan terkait oleh jepitan baja yang amat kuat.

Haminto Losu mengerahkan tenaga, kemudian hendak menggunakan saat terakhir itu menyelesaikan jurus ke sepuluh. Namun, sebelum kakinya menendang, tiba-tiba jepitan pedang dilepaskan oleh Bu Lek Hwesio sambil berseru, "Jurus ke sepuluh!” dan... tubuh Haminto Losu terhuyung-huyung lalu roboh. Ternyata ketika pedang dilepas tiba-tiba, tubuh Haminto Losu menjadi miring dan sebeluin ia dapat memperbaiki posisinya tangan kanan Bu Lek Hwesio bergerak perlahan ke depan menyentuh pundaknya, hanya dengan sebuah jari telunjuk. Inilah ilmu totok It-ci-san (Totokan Satu Jari) yang lihai bukan main sampai Haminto Losu tak dapat mempertahankan dirinya lagi yang sudah terasa lumpuh dan jatuh duduk di atas tanah dengan lemas!

"Nona Souw, kau lihat, kongkongmu dalam sepuluh jurus roboh!” kata Bu Lek Hwesio yang berjingkrak-jingkrak kegirangan, berputar-putar dan bertepuk-tepuk tangan gembira sekali seperti bocah menang main bola!

Lee Ing yang mengkhawatirkan keadaan kong-kongnya, segera menghampiri kakek itu. Haminto Losu duduk bersila mengumpulkan napas, ketika melihat Lee Ing mendekati, cepat ia berbisik di telinga gadis itu, "Dia lihai, kau boleh turut dia dengan baik, akan tetapi hati-hati, dia tak boleh dipercaya "

Kemudian Haminto Losu setelah memulihkan kembali jalan darahnya, melompat berdiri dan menjura sambil berkata. "Bu Lek Losuhu benar-benar sakti, aku yang bodoh mengaku kalah dan sekarang amanlah hatiku menyerahkan cucuku dalam tanganmu. Harap kau orang tua dapat segera membawanya ke depan Souw Teng Wi mantuku!"

Memang Haminto Losu mempunyai pemandangan luas dan perhitungan yang masak. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh oleh Bu Lek Hwesio yang memiliki Ilmu totok It-ci-san yang lihai dan tenaga Iweekang yang hebat. Kalau ia nekat melawan mempertahankan Lee Ing, takkan ada gunanya, bahkan akan mendatangkan sikap tidak enak terhadap Lee Ing. Maka ia mengalah, mundur bukan karena takut, melainkan untuk mengatur siasat dan untuk "memberi muka" kepada Lee Ing. la tahu akan watak gadis itu yang jujur dan berani mati, kalau sampai ia bersikap bermusuh terhadap hwesio itu, tentu Lee Ing akan membelanya dan akan memusuhi hwesio itu pula. Dan ini berbahaya sekali bagi keselamatan cucunya itu.

"Nona Souw, mari kita pergi!” seru Bu Lek Hwesio tanpa memperdulikan lagi kepada Haminto Losu dan Lo Houw. Lee Ing ingin sekali mengucapkan selamat berpisah kepada kongkongnya yang ia sayang, akan tetapi ia, tidak mempunyai kesempatan lagi. Tubuhnya melayang dan seperti daun kering tertiup angin ia dipegang lengannya oleh hwesio lihai itu yang mengangkatnya lalu membawanya lari secepat terbang. Kedua kaki gadis itu tidak menyentuh tanah dan angin bertiup kencang di pinggir kedua telinganya.

Setelah hwesio itu pergi, barulah Haminto Losu membanting-banting kaki dan wajahnya yang sudah tua menjadi berduka sekali. Ditariknya napas panjang berkali-kali, lalu katanya perlahan, "Celaka... hwesio itu aku masih ragu-ragu dan tidak percaya. Lo-sicu kita harus cepat-cepat pergi mencari Souw Teng Wi. dia harus tahu bahwa anaknya pergi bersama Bu Lek Hwesio... ah, mudah-mudahan saja kekhawatiranku ini keliru dan Bu Lek Hwesio benar-benar seorang sahabat mantuku...”

Lo Houw dapat mengerti perasaan orang tua ini, karena diapun merasa curiga dan kurang percaya kepada Bu Lek Hwesio yang aneh sikapnya dan lihai itu. Tanpa menunda waktu lagi keduanya malam itu juga terus melanjutkan perjalanan ke selatan.

Setelah kekuasaan Mongol lenyap dan bumi Tiongkok dan pemerintah dikuasai oleh Kerajaan Beng- tiauw, orang-orang gagah yang tadinya ikut berjuang merasa berjasa. Maka di mana mana timbullah perkumpulan-perkumpulan orang gagah seperti cendawan di musim hujan. Segala sesuatu itu tentu berputar pada pokok atau sumbernya. Pada waktu itu, pemerintah Beng-tiauw yang batu berdiri penuh dengan pembesar-pembesar yang korup dan palsu. Mereka ini seporti anjing-anjing yang tadinya kelaparan sekarang berebut tulang. Tadinya terjajah oleh Bangsa Mongol, sekarang mereka yang tadinya ketika terjadi perang sama sekali tidak berani muncul bahkan sebagian besar menjilat- jilat pantat kaisar dan para pembesar Bangsa Mongol, sekarang setelah kekuasaan dipegang oleh bangsa sendiri lalu berebutan muncul dan mengarang cerita menonjolkan jasa-jasanya.

Maka muncullah pembesar-pembesar korup, dan tentu saja para pembesar yang memang terdiri dari patriot-patriot tulen yang tadinya berjuang membela negara dan sekarang dalam jabatannya masih merupakan pemimpin yang setia dan bijaksana bagi rakyat, dimusuhi oleh para pembesar bermoral bejat itu. Timbullah dua aliran di lingkungan pembesar, dua aliran yang memperebutkan simpati Kaisar Beng-tiauw yang pertama, Thai Cu. Dalam hal menjilat dan merebut hati, memang orang-orang yang palsu wataknya lebih pandai dari pada orang-orang yang jujur, maka condonglah hati Thai Cu kepada mereka ini yang merupakan tikus-tikus berkaki dua.

Di luar istana, para orang gagah yang mendirikan perkumpulan-perkumpulan juga terjadi perpecahan Semua orang gagah maklum belaka bahwa pendekar atau pahlawan Souw Teng Wi adalah seorang pahlawan patriot yang telah berjuang mati-matian dalam pergerakan mengusir Bangsa Mongol dan tadinya merupakan tangan kanan dari Kaisar Thai Cu ketika kaisar itu masih menjadi pemimpin pemberontak Cu Coan C'iang. Akan tetapi oleh karena para penjilat palsu itu maklum akan watak gagah perkasa dari Souw Teng Wi dan maklum pula bahwa kalau sampai orang she Souw ini mendapat kedudukan tinggi sudah tentu mereka akan dibasmi olehnya, dengan segala akal dan tipu daya mereka berusaha agar supaya Souw Teng Wi jangan diterima oleh kaisar. Dan berhasillah mereka memfitnah Souw Teng Wi di depan kaisar sehingga ia dituduh hendak memberontak dan hendak merampas kedudukan kaisar. Kaisar memerintahkan penangkapannya atas diri Souw Teng Wi bekas tangan kanannya ini sehingga pendekar ini melarikan diri dan selama ini ia bersembunyi, tak seorangpun tahu di mana tempat persembunyiannya.

Para pembesar durna itu sedemikian jauh pengaruh dan siasatnya sehingga mereka berhasil pula mempengaruhi kaisar untuk mengusir putera-nya. pangeran yang gagah adil dan jujur, di mana pangeran inipun secara terang-terangan memusuhi para durna. Hal ini membuai para durna itu merasa khawatir dan mencari akal sehingga akhirnya mereka berhasil membuat kaisar mengangkat Pangeran Yung Lo sebagai raja muda dan ditempatkan di Peking, bekas kota raja Kerajaan Goan- tiauw. Pada lahirnya saja Pangeran Yung Lo diangkat sebagai raja muda, akan tetapi sebenar inilah hasil siasat para durna yang hendak menjauhkan pangeran itu dari kota raja yang baru, Nanking.

Karena timbulnya dua aliran ini, di mana tentu saja aliran pembesar-pembesar yang setia dan baik lemah sekali keadaannya, timbul pula dua aliran pada dunia kang-ouw dan terjadilah persaingan dan permusuhan. Tadinya memang orang-orang kang-ouw ini tidak mencampuri urusan pemerintahan dan seperti biasanya para orang gagah ini tidak mengacuhkan hal itu. Akan tetapi ada dua hal vang membuat orang-orang gagah bangkit dan terjadi perpecahan yang menimbulkan adanya dua aliran atau dua golongan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar