Jilid 09
"Tunggu dulu!" teriaknya segera.
"Apakah kau sudah bersedia menyembah di depan ibumu?" tanya I Ki Hu dengan nada dingin.
I Giok Hong tidak menyahut. Dia mengulurkan tangannya ke dalam saku baju dan mengeluarkan sebuah benda yang sinarnya ber-kilauan. Ternyata Gin leng hiat ciang.
"Lihat lencana seperti bertemu dengan orangnya sendiri!" seru I Giok Hong.
I Ki Hu langsung tertegun. Karena lencana itu memang merupakan lambang dirinya. Siapa pun yang bertemu dengan lencana itu, dia seperti mewakili I Ki Hu sendiri. Dan apa pun yang diperintahkan, orang-orang dunia bu lim sampai saat ini belum pernah ada yang menentangnya. Sedangkan lencana Gin leng hiat ciang yang sekarang di tangan I Giok Hong, justru I Ki Hu yang menyerahkannya sendiri agar disampaikan kepada Leng Coa sian sing. I Ki Hu pernah menjanjikan Leng Coa sian sing untuk menggunakan-nya sebanyak dua kali.
Watak I Ki Hu memang angin-anginan. Tetapi apa yang pernah diucapkannya tidak pernah dijilat kembali. Karena itu telapak tangannya langsung terhenti di tengah udara.
"Apa yang kau inginkan?" tanya I Ki Hu de-ngan nada dingin.
"Aku hanya ingin meninggalkan tempat ini, tidak ada permintaan lainnya."
Trang!
I Giok Hong melemparkan lencana itu di depan kaki I Ki Hu. Laki-laki setengah baya itu menyepakkan kakinya, lencana itu mental di tengah udara dan disambut oleh tangan I Ki Hu.
"Giok Hong, dengan mengandalkan lencana ini, kau bisa meninggalkan tempat ini. Tetapi sadarkah kau bahwa sekali kau pergi, hubungan kita sebagai ayah dan anak pun sudah terputus?"
Tanpa berpikir panjang. I Giok Hong langsung menyahut. "Ayahnya sendiri yang tidak menginginkan putrinya. Bukan
putrinya yang tidak menginginkan ayahnya." I Ki Hu tertawa terkekeh-kekeh.
"Bagus sekali! Bagus sekali! Tetapi aku tetap mengharap kau dapat menjaga dirimu baik-baik!"
Tangannya merogoh ke dalam saku pakaiannya. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna hijau kemudian dilemparkannya ke atas tanah "Di dalam botol itu terdapat dua butir pil penyambung tulang. Bawalah dan sambung kem¬bali tulang kakimu yang patah itu!"
I Giok Hong tahu obat penyambung tulang buatan ayahnya manjur sekali. Tetapi wataknya yang keras membuat dia tidak sudi menerima pemberian I Ki Hu. Bahkan meliriknya sekilas pun tidak.
"Terima kasih!" katanya singkat.
Sret! Golok lemas pemberian Seebun Jit ditarik ke luar. Dia menggunakannya sebagai penyanggah. Kedua kakinya tidak dapat menapak di atas tanah. Dengan menahan sakit, ia melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika I Giok Hong baru melesat sejauh beberapa depa, tiba-tiba I Ki Hu berteriak.
"Tunggu dulu! Apa yang terjadi di dalam lem-bah Gin Hua kok?"
I Giok Hong sama sekali tidak menolehkan kepalanya.
"Tao Heng Kan menculik Lie Cun Ju. Tiga iblis dari keluarga Lung dan Leng Coa sian sing menim-bulkan masalah di dalam lembah Gin Hua kok. Entah mengapa mereka lari terbirit-birit. Seebun Jit sudah mati. Dan masih ada seorang laki-laki yang tinggi sekali meruntuhkan seluruh tembok yang mengelilingi lembah Gin Hua kok. Keadaan di dalam ataupun di luar kacau balau. Tao Heng Kan memanggil orang itu 'suhu'.”
Pada saat itu, hati I Giok Hong pedih tidak terkirakan. Sembari berkata, dia terus melesat lagi sejauh beberapa depa. Tulang di pergeiangan kakinya sudah patah karena tekanan I Ki Hu yang terlalu kuat. Saat ini persendiannya terasa nyeri. Meskipun untuk menyambungnya memang tidak terlalu sulit, tetapi gerakannya sekarang hanya mengandalkan sebilah golok, maka sulitnya bukan main. Tetapi I Giok Hong tetap tidak sudi memohon ayahnya. Dia lebih tidak sudi lagi menyembah di hadapan Tao Ling. Sedikit demi sedikit dia menggeser golok di tangannya. tidak berapa lama kemudian, sosok tubuhnya hanya meninggalkan bayangan yang berlompat-Iompat dan akhirnya menghilang dalam kegelapan malam.
Ketika bayangan I Giok Hong sudah tidak terlihat lagi, I Ki Hu baru menolehkan kepalanya dan memaksakan bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
"Anak ini sejak kecil sudah kehilangan ibunya, karena itu adatnya jadi keras. Harap Hu jin tidak mengambil hati atas sikapnya!"
Wajah Tao Ling tetap tidak menyiratkan perasaan apa-apa. "Kata-kata Hu kun (panggilan kepada suami) terlalu serius.
Karena aku, hubungan kalian ayah dan anak jadi retak. Justru
akulah yang bersalah."
I Ki Hu menghampirinya dan mengelus-elus rambut Tao Ling dengan lembut. Mulanya Tao Ling ingin menghindar, tetapi baru saja kepalanya dipalingkan sedikit, dia merasa menghindar pun tiada gunanya. Toh nasi sudah menjadi bubur. Dia membiarkan I Ki Hu membelai-belainya. Dan laki- laki setengah baya itu pun tampak sangat menyayanginya.
"Hu jin, kita juga harus melanjutkan perjalanan!"
Suara Tao Ling tidak menunjukkan perasaan apa pun.
Seperti orang yang mengigau dalam mimpi. "Mari kita berangkat!" sahutnya.
Pada saat ini, sebongkah hati Tao Ling mes¬kipun belum mati, tetapi sudah tidak jauh lagi dari ambang kematian. Beberapa hari yang lalu, dia merupakan seorang gadis yang lincah dan riang, tetapi beberapa hari kemudian, dia malah berubah menjadi pendiam dan murung. Bahkan dia sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia bisa menjadi istri si raja iblis yang menggetarkan dunia kang ouw ini.
Padahal dia sudah mengambil keputusan untuk tidak memikirkan apa pun, termasuk Lie Cun Ju. Tetapi ketika barusan dia mendengar I Giok Hong mengatakan bahwa Seebun Jit sudah mati dan kokonya yang tiba-tiba saja menjadi misterius dan jejaknya tidak ketahuan malah datang ke Gin Hua kok untuk menculik Lie Cun Ju. Hatinya yang mulai redup sinarnya tiba-tiba bergelora lagi.
Yang paling membingungkan, justru gerak gerik kokonya, Tao Heng Kan. Karena, apabila di dalam gedung Kuan Hong Siau, Tao Heng Kan tidak membunuh Li Po tanpa sebab musabab, dirinya juga tidak akan menemui berbagai kejadian yang janggal sampai sekarang ini.
Tentu saja, dia juga tidak akan menjadi istri Gin leng hiat ciang, I Ki Hu.
Namun kenyataannya, semuanya sudah terjadi. Tao Ling juga tidak menyalahkan Tao Heng Kan. Dia hanya menyesaikan nasibnya sendiri yang buruk. Dia menguburkan dalam-dalam kerinduannya terhadap Lie Cun Ju.
Rupanya dua hari yang lalu, I Ki Hu dan putrinya membawa Tao Ling meninggalkan Gin Hua kok. Kereta kuda itu dilarikan dengan cepat, tetapi baru menempuh perjalanan kurang lebih seratusan li, tiba-tiba I Ki Hu mengeluarkan suara seruan terkejut. Seakan ada sesuatu yang tiba-tiba teringat olehnya. la pun segera menghentikan kereta kudanya di tepi jalan. Kemudian dia melepaskan tali yang mengait pada leher seekor kuda putih.
"Giok Hong, cepat kau kembali ke Gin Hua kok dan bawa Lie Cun Ju kemari. Kita harus meng-ajaknya bersama-sama ke Si Cuan untuk menemui pasangan suami istri Pat Kua kiam, Lie Yuan!" kata I Ki Hu. I Giok Hong tidak banyak bertanya. Dia hanya mengiakan kemudian melesat ke atas kuda putih yang dilepaskan oleh I Ki Hu tadi lalu melesat kembali ke Gin Hua kok. Sedangkan apa yang dialaminya di dalam lembah itu sudah kita ketahui.
Sementara itu, setelah I Giok Hong kembali ke lembah Gin Hua kok, kereta kuda yang ditumpangi oleh I Ki Hu dan Tao Ling melaju lagi ke depan secepat kilat. Mereka menempuh perjalanan sejauh belasan li. Kemudian di sebuah padang rumput yang luas, I Ki Hu menghentikan keretanya.
Berduaan dengan si raja iblis yang meng-getarkan dunia kang ouw itu perasaan Tao Ling agak takut juga. Tetapi, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa I Ki Hu mempunyai pikiran untuk mengambilnya sebagai istri. Dia hanya khawatir I Ki Hu yang licik itu akan membunuhnya dengan kejam. Karena itu dia duduk sendiri di dalam kereta tanpa berani mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan bernafas pun tidak berani keras-keras.
I Ki Hu menyilangkan tangannya di depan dada. la berjalan mondar mandir di padang rum-put itu. Dengan rasa jenuh mereka terus menunggu, sampai matahari sudah tenggelam, ter-nyata I Giok Hong masih belum kembali juga. Sepasang alis I Ki Hu tampak menjungkit ke atas.
"Heran! Anak itu sudah pergi setengah harian, mengapa sampai sekarang belum kembali juga?" I Ki Hu seakan menggumam seorang diri. " Mungkin di dalani lembah terjadi sesuatu yang menunda kedatangannya." Tao Ling memaksakan dirinya menjawab.
Tiba-tiba I Ki Hu menolehkan kepalanya sambil tersenyum. "Tao kouwnio, ada sedikit ucapan yang ingin kusampaikan.
Entah Tao kouwnio bersedia meluluskannya atau tidak?"
Tao Ling melihat sepasang mata I Ki Hu menyorotkan sinar yang ganjil, ketika mengucapkan kata-kata itu. Jantungnya langsung berdebar-debar. "Urusan apa?" tanyanya lirih.
I Ki Hu melangkah setindak ke depan.
"Tao kouwnio mempunyai wajah yang cantik. Dari luar terlihat lembut, di dalam bijaksana. Aku sudah lama menduda, karena itu watak Giok Hong menjadi manja dan liar. Apakah Tao kouwnio bersedia mengikat diri denganku menjadi suami istri?"
Mendengar kata-katanya, persis seperti orang yang disambar petir. Mulutnya melongo, lidahnya kelu. Mana sanggup dia mengucapkan apa-apa?
I Ki Hu tersenyum.
"Tao kouwnio tidak mengucapkan sepatah kata pun, pasti hatimu sudah setuju. Kita menyembah langit dan bumi di sini saja. Bagaimana menurut pendapatmu?" Sembari berkata, dia mengulurkan tangannya menarik Tao Ling.
"Tidak! Tidak!" teriak Tao Ling ketika kelima jari tangan I Ki Hu hampir menyentuh pergelangan tangannya. I Ki Hu menggerakkan tangannya ke depan, tidak dibiarkannya Tao Ling menghindar. Sekejap saja pergelangan tangan Tao Ling sudah tercengkeram olehnya.
"Mengapa tidak?" tanya I Ki Hu.
Tao Ling merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas ketika I Ki Hu berhasil mencengkeram pergelangan tangannya. Tubuhnya bersandar di tern-pat duduk kereta dan hanya bisa berteriak dengan gugup.
"Tidak! Tidak!" teriak Tao Ling lagi.
I Ki Hu tersenyum tipis. Sepasang matanya menatap Tao Ling lekat-lekat. Kalau dinilai dari usianya, memang I Ki Hu pantas menjadi ayah Tao Ling. Tetapi karena tenaga dalamnya sudah men-capai taraf yang tinggi sekali, kelihatannya justru seperti laki-laki yang usianya belum mencapai empat puluhan tahun. Lagi pula wajahnya sangat tampan, sehingga orang tidak akan sebal melihatnya. Dan senyumannya barusan justru membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Tao Ling jadi meremang.
Dengan lemas dia memejamkan matanya, teli-nganya mendengar I Ki Hu berkata kembali.
"Tao kouwnio, apabila kau bersedia mengikat diri menjadi istriku, dendam permusuhan kedua orang tuamu yang aneh bam bisa terbalas."
Mendengar kata-katanya, Tao Ling jadi heran. Diam-diam dia bertanya kepada dirinya sendiri. "Dendam permusuhan orang tua? Apakah kedua orang tuaku sudah menemui bencana?" Rasa terkejut di dalam hatinya semakin bertambah.
"Apakah ayah ibuku telah dicelakai orang?" tanya Tao Ling.
"Urusan ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Sejak semula kau seharusnya sudah dapat menduganya," jawab I Ki Hu.
Tao Ling tahu kekuasaan I Ki Hu besar sekali. Apa pun tidak ada yang sulit baginya. Meskipun dia menginginkan Tao Ling menjadi istrinya, dan sekarang masih belum kesampaian, dia tetap tidak perlu mengucapkan kata-kata yang demikian untuk menakut-nakutinya. Hati Tao Ling semakin tercekat justru karena percaya apa yang dikatakan I Ki Hu.
"Ka . . . lau begitu, siapa . . . orang . . . nya yang a ... akan mencelakai ke . . . dua orang tua . . . ku?" tanyanya gugup.
"Untuk sementara aku masih belum tahu. Tetapi asal kita sudah sampai di Si Cuan, semuanya akan menjadi jelas. Ini urusan kecil, kalau kau sudah menjadi istriku, mungkinkah aku tidak membalaskan dendam kedua orang tuamu?"
Tao Ling terdiam beberapa saat. Dengan perasaan seorang gadis, ia mempertimbangkan situasi yang dihadapinya. Dia sudah melihat bahwa keinginan I Ki Hu tidak dapat dicegah. Jangan kata padang rumput ini begini sepi dan terpencil. Biarpun di depan khalayak ramai atau kota besar, kalau I Ki Hu sudah mempunyai ingatan untuk mengambilnya sebagai istri, siapa lagi yang dapat mencegahnya?
Perlahan-lahan dia memejamkan matanya. Dalam benaknya langsung terbayang wajah Lie Cun Ju. Mereka sudah mengalami suka duka bersama selama satu bulan lebih. Bahkan kaki mereka sama-sama pernah menginjak di pintu kematian, yang akhirnya mereka bisa meloloskan diri dari maut. Dalam hati Tao Ling, tadinya dia sudah yakin bahwa seumur hidupnya ini, ia tidak akan berpisah lagi dengan Lie Cun Ju. Taruhlah dirinya harus menjadi dayang I Giok Hong dan Lie Cun Ju harus menjadi penjaga malam di lembah Gin Hua kok, asal dapat bersama-sama untuk selamanya, ia tetap rela. Tetapi, ia tidak pernah menduga bisa terjadi perkembangan seperti sekarang ini.
Hati Tao Ling sedang merindukan Lie Cun Ju, tetapi telinganya justru mendengar I Ki Hu berkata lagi.
"Tao kouwnio masih tidak bersuara, itu tan-danya sudah setuju. Cayhe memberi hormat dulu kepadamu."
Tao Ling membuka matanya, dia melihat I Ki Hu sedang membungkuk dalam-dalam memberi hormat kepadanya. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang. I Ki Hu menegakkan tubuhnya dan berjalan pergi. Tao Ling tidak tahu apa yang hen-dak dilakukannya. Karena itu ia hanya melihat saja. Ternyata I Ki Hu menghampiri sebongkah batu besar dan mengguratkan jari tangannya di sana. Dalam sekejap mata sudah terbaca sebuah huruf 'hi' di atas batu besar itu. Kemudian I Ki Hu balik lagi. Tanpa dapat mempertahankan diri, Tao Ling membiarkan dirinya diseret oleh I Ki Hu dan melakukan penyembahan dengan menundukkan kepala tiga kali di atas tanah. Mereka menjalani upacara pernikahan dengan menyembah langit dan bumi. Dalam satu malam saja, Tao Ling sudah berubah menjadi istri resmi si raja iblis I Ki Hu.
Tiba-tiba saja hatinya terasa kebal. Dalam satu malam seolah-olah hatinya berubah menjadi kaku
dan membeku seperti salju di pegunungan Thai san. Tetapi bukan berarti hatinya tidak ada perasaan lagi. Paling tidak, jauh di lubuk hatinya, dia masih mengingat Lie Cun Ju.
Terdengar suara derap kaki kuda. Ternyata I Ki Hu sudah naik ke atas kereta dan melarikannya dengan kencang menuju Si Cuan. Kereta terus bergerak ke depan, sedangkan hati Tao Ling terus merindukan Lie Cun Ju. Pemuda yang pernah dicintainya, bahkan masih dicintainya sampai sekarang.
Tetapi di mana Lie Cun Ju sekarang? Mungkin pemuda itu berada pada jarak sejauh ribuan li, tetapi mungkin juga begitu dekat sekali sehingga hanya ada di sekitarnya. Hanya saja Tao Ling tidak tahu. Namun, bagaimana pun juga pemuda itu tidak ada di sisinya lagi. Pemuda itu sudah terpisah dengannya. Tetapi, seberapa jauh pun mereka ber-pisah, kasih sayang yang pernah terjalin di dalam hati mereka masih tetap terjalin dengan indah.
Berpikir sampai di sini, Tao Ling tidak dapat menahan keperihan hatinya. Dia menarik nafas panjang-panjang.
Helaan nafasnya justru mengejutkan I Ki Hu. Laki-laki itu segera menolehkan kepalanya.
"Hu jin, apa yang membuat hatimu gundah?" tanya I Ki Hu. "Tidak apa-apa," sahut Tao Ling cepat.
I Ki Hu turun dari kereta dan menghampirinya. Pada saat itu kereta kuda sudah sampai di tepian sungai. Mereka harus menyeberangi sungai itu baru dapat melanjutkan perjalanan. Jarak dari seberang sungai ke Si Cuan di mana keluarga Sang tinggal, hanya seratusan H. Tao Ling sendiri tidak tahu sudah berapa hari mereka menempuh per¬jalanan. Perasaannya seakan tidak berfungsi lagi. Ketika I Ki Hu menghampirinya, ia segera memalingkan wajahnya. Tampak air sungai beriak-riak, ombaknya bergulung-gulung. Arusnya deras sekali. Air mengalir ke bagian timur. Benak Tao Ling segera teringat pengalamannya ketika ter-hanyut arus sungai tempo hari. Kejadian itu pula yang mempertemukannya dengan Lie Cun Ju. Kembali hatinya terasa perih.
"Hu jin, kita menikah sudah enam hari. Tetapi setiap hari kau terus menghela nafas pendek, meng-hembuskan nafas panjang. Apakah hatimu sedang merindukan seseorang?" tanya I Ki Hu.
Tao Ling tertegun. Diam-diam dia berpikir, bagaimana I Ki Hu hisa tahu perasaannya.
Sebetulnya, kalau melihat keadaan Tao Ling sekarang, jangan kan I Ki Hu yang demikian cerdas, orang biasa pun dapat menduga apa yang menjadi ganjalan hatinya.
Sampai sekian lama Tao Ling tidak memberikan jawaban. "Hu jin, apakah pemuda yang sedang kau rindukan itu Lie
Cun Ju?" tanya I Ki Hu lagi.
"Bukan, bukan dia!" jawab Tao Ling dengan terkejut. I Ki Hu mengembangkan seulas senyuman.
"Semakin Hu jin tidak berani mengakui, aku justru semakin yakin. Memang dialah orangnya. Tapi, Hu jin ... apakah kau tahu siapa pemuda itu sesungguhnya?"
"Aku tidak tahu," jawabnya singkat, tetapi Tao Ling seakan sudah mengakui bahwa memang Lie Cun Ju yang dipikirkannya. Tadi dia tidak berani mengakui karena merasa takut apabila I Ki Hu sudah mengetahuinya maka iblis itu akan mem-bunuh kekasih hatinya. Selesai berkata, dia baru menyadari ucapannya barusan salah. Dengan panik ia menarik tangan I Ki Hu. "Jangan kau celakai dia!" katanya gugup.
I Ki Hu mengembangkan seulas senyuman kepadanya. "Apabila dia bukan putra tocu Hek cui to, tentu saja aku
tidak akan mencelakainya. Tetapi kalau dia ternyata orang
yang kucari-cari selama ini.He ... he ... he ... Api yang liar tidak dapat dipadamkan, angin musim semi terus silih berganti.Biar bagaimana pun, aku tidak akan membiarkan ia hidup di dunia ini."
Tubuh Tao Ling langsung gemetar mendengar kata-kata I Ki Hu. la sadar dirinya tidak mungkin bisa membujuk I Ki Hu. Karena itu dia pun tidak mengatakan apa-apa lagi.
Seorang diri I Ki Hu berjalan di tepi sungai.Tampak ada sebuah perahu melaju dari tengah-
tengah sungai. Gerakannya cepat sekali. Sekejap saja perahu itu sudah mulai terlihat jelas. Tubuh I Ki Hu berkelebat menghampiri kereta. Disingkapnya sebuah papan lalu mengeluarkan segulungan tali. Setelah itu dia melesat lagi ke tepi sungai. Gerakan tubuhnya bukan main cepatnya. Pada saat itu, perahu tadi kebetulan sedang melaju lewat. Tubuh I Ki Hu berputar, tangannya dihentakkan ke depan, terdengar suara desiran. Tali itu pun melayang ke arah perahu. Rupanya sejak tadi I Ki Hu sudah mengadakan persiapan. Tali yang dipegangnya mempunyai cantolan dari besi pada bagian ujungnya. Sentakannya begitu kuat, ujung
tali itu pun langsung menancap di bagian geladak perahu.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. Ujung tali yang satunya juga mempunyai pbsak besi. I Ki Hu menancapkannya di atas tanah.I Gerakan perahu pun tertahan oleh kedua tali yani' saling berkaitan itu. Gulungan tali itu sekarang berbentuk titian yang panjang. Tubuh I Ki Hu bergerak kembali. Dia mencelat ke atas tali dan berjalah\iengan cepat menuju perahu. Baru mencapai setengahnya, terlihat seseorang muncui dari dalam kabin perahu. Ketika melihat I Ki Hu berjalan di atas tali dan menuju ke perahu, orang itu tertegun sejenak. Cepat- cepat dia menyingkapkan pakaiannya dan menghunus sebilah golok. Tangannya mengayun ke depan untuk menebas tali yang mengait di geladak perahu itu.
Kalau ditilik dari gerakan tangan orang itu yang begitu cepat dan reaksinya yang spontan, kemungkinan besar seorang tokoh bu lim juga. Lagipula bukan tokoh sembarangan.
Pada saat itu, I Ki Hu baru mencapai setengah jalan, apabila orang itu berhasil menebas tali yang dijadikannya titian, pasti dia akan tercebur ke dalam sungai.
Sedangkan arus sungai itu begitu deras. Mes-kipun I Ki Hu memiliki ilmu yang tinggi sekali, tetap saja dia akan seperti tikus yang tercebur di parit.
Tetapi bagaimana pun ilmu kepandaian I Ki Hu memang sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Baru saja orang itu muncui dari dalam kabin, dan I Ki Hu melihat gerakan tubuh orang itu yang demikian gesit, ia langsung tahu ilmunya tinggi sekali. Dia sendiri sudah mempunyai persiapan. Ketika melihat orang itu mengeluarkan goloknya, dia langsung berseru
"Ada tamu yang berkunjung, masa tidak diterima?" Jari tangannya menyentak ke depan. Sebatang senjata rahasia melayang di udara dan meluncur tepat mengenai golok di tangan orang itu.
Tampak orang itu terhuyung-huyung kemudian menyurut mundur beberapa langkah. Golok di ta¬ngannya terlepas dan terdengarlah suara Trak! kemudian terbelah menjadi dua bagian.
Dalam waktu yang singkat itu, I Ki Hu sudah mencelat ke atas perahu. Orang itu terkejut setengah mati. Kepalanya langsung didongakkan.
"Siapakah Tuan?" tanya orang itu.
Padahal, I Ki Hu hanya sembarangan menarik perahu mana saja yang lewat guna menaikkan kereta kudanya ke atas agar bisa menyeberangi sungai. Dia tidak perduli siapa penumpang perahu itu. Lagi pula, di dalam hatinya, siapa pun orangnya, asal dia mengangkat tangannya, dia dapat membunuh orang itu seenaknya. Memang selamanya I Ki Hu tidak pernah memandang mata pada siapa pun. Tetapi ketika mendengar per-tanyaan orang tadi, dia merasa logat suaranya agak asing. Karena itu dia segera mendongakkan wajah-nya, tampak tubuh orang itu demikian kekar dan warna kulitnya agak kegelapan. Ternyata bukan orang Tiong goan.
"Cayhe she I."
Perlahan-lahan orang itu menyurut mundur lagi satu langkah.
"Mengapa Tuan menahan perahu kami?"
"Sungai ini sangat dalam, arusnya pun deras. Kami butuh perahu untuk menyeberangkan kereta kuda, karena itu meminjam perahu Tuan sebentar."
"Kami menyewa perahu ini justru karena ada urusan yang penting sekali. Mana bisa meminjamkannya kepada Tuan untuk menyeberangi sungai? Lagipula, geladak perahu ini juga tidak bisa memuat sebuah kereta," kata orang itu dengan nada marah.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak menjadi persoalan. Asal geladak perahu dihilangkan, kan kereta kuda kami bisa muat di atasnya."
Sembari berbicara, I Ki Hu maju ke depan dua langkah. Orang itu cepat-cepat menyurutkan tubuhnya ke belakang karena tadi dia sudah merasakan kehebatan I Ki Hu. Tiba-tiba I Ki Hu membungkukkan tubuhnya sedikit, telapak ta¬ngannya menghantam ke bagian geladak perahu. Saat itu juga, perahu itu berguncang dengan dahsyat. Terasa ada angin yang menderu-deru, papan yang menutupi bagian geladak berhamburan karena pukulan I Ki Hu. Terlihatlah sebuah celah yang besar.
Sekali lagi I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. "Dengan detnikian pasti muat, bukan?" Wajah orang itu pucat pasi seketika. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia berteriak. Entah bahasa apa yang digunakannya. Tetapi tampaknya I Ki Hu mengerti juga sedikit-sedikit. Dia seperti mengatakan nyali orang ini besar sekali atau semacam begitulah. Dia juga menanyakan kepada Lhama yang suci apa yang harus dilakukannya. Diam-diam I Ki Hu merasa geli. Kepalanya men- dongak ke dalam perahu, tanpa dapat ditahan lagi, hatinya langsung tercekat.
Rupanya tenaga pukulannya begitu kuat sehingga atap perahu itu pun tergetar dan jebol. Saat itu dia dapat melihat keadaan di dalam kabin perahu. Perabotan yang ada di dalamnya juga berantakan, tetapi ada tiga buah kursi yang masih terletak pada posisi semula. Di atas kursi itu duduk tegak tiga orang tanpa bergeming sedikit pun.
Justru tadi I Ki Hu melihat ilmu orang yang muncul dari dalam kabin itu cukup tinggi. Dia tidak ingin menunda waktu lama-lama, karena itu dia ingin orang itu tunduk kepadanya dengan meng-hantam ke arah geladak perahu. Pukulannya tadi menggunakan tenaga sebesar sembilan bagian. Maka dari itu pula, seluruh atap yang menutupi bagian atas perahu itu ikut jebol saking kuatnya. Begitu kuatnya angin yang terpancar dari pukulan I Ki Hu, ketiga orang yang duduk di dalam kabin itu seperti tidak merasakan apa-apa. Hal ini membuktikan bahwa mereka bukan lawan yang dapat dianggap ringan. Dengan mengembangkan seulas senyuman, I Ki Hu menatap ketiga orang itu. Tampak orang yang di tengah sudah tua sekali. Wajahnya sudah penuh dengan kerutan, tetapi sulit diduga berapa usia yang sebenarnya. Tubuhnya kurus seperti lidi. Dia adalah seorang pendeta atau lhama dari Tibet. Kedua orang yang di sisi kanan kirinya juga sama-sama pendeta. Kalau dilihat dari tampangnya, usia keduanya sekitar enam puluhan tahun. Telapak tangan ketiga orang itu dirangkapkan di depan dada. Maka mereka terpejam dengan tenang, seakan tidak menyadari apa pun yang terjadi di atas perahu.
Setelah menatap sesaat, hati I Ki Hu semakin penasaran. Segera tubuhnya berputar dan mencengkeram bahu orang itu.
"Siapa kalian?" bentaknya lantang.
Ketika I Ki Hu mengulurkan tangannya untuk mencengkeram, tampaknya orang itu ingin menghindar. Tapi gerakan tubuh I Ki Hu terlalu cepat, meskipun orang itu sempat menggeser ke samping sedikit, tetap saja bahunya kena tercengkeram I Ki Hu. Dia berusaha memberontak, tetapi kelima jari tangan I Ki Hu mencengkeramnya kuat-kuat. Terdengarlah suara krek! Krek! begitu sakitnya sehingga wajahnya pucat pasi. Tetapi mulutnya masih memaki dengan garang.
"Sebentar lagi kau akan mati, untuk apa kau sesumbar?"
I Ki Hu memperdengarkan suara tertawa yang dingin. Lengan tangannya dihentakkan. la bermaksud melemparkan orang tadi ke dalam sungai, tetapi haru saja dia mengangkat tuhuh orang itu, tiba-tiba kedua pendeta yang duduk di sisi kiri dan kanan membuka matanya. Mata mereka menyorot-kan sinar yang ganjil. I Ki Hu adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi. Apa pun yang menyangkut ilmu silat pasti dia tahu. Hatinya kembali tercekat. Diam-diam dia berpikir, ilmu yang dipelajari kedua pendeta ini mirip dengan ilmu Bit tat sin kang dari kaum pendeta berjubah kuning di pedalaman Tibet. Sinar mata mereka menyiratkan rona kekuningan. Dapat dipastikan bahwa kedudukan maupun tenaga dalam mereka dalam Oey kau (Agama Kuning) sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Berpikir sampai di situ, tanpa dapat dipertahankan lagi gerakan tangannya jadi lambat. Tampak lhama yang duduk di tengah-tengah mendongakkan kepalanya dan melirik ke kiri kanan. Kedua lhama yang duduk di sisinya pun memejamkan matanya kembali. Lhama tua itu herkata dengan nada perlahan dan seperti keenggan-engganan.
"Apabila I sicu ingin meminjam perahu, untuk apa harus melukai orang? Harap cepat m-nyeberangi sungai. Lo ceng (panggilan kepada diri sendiri yang kedudukannya seorang pendeta) ingin melanjutkan perjalanan secepatnya."
Tentu saja I Ki Hu menggunakan kesempatan untuk menatap ketiga pendeta itu. Tampak mereka memang mengenakan jubah pendeta berwarna kuning, tetapi karena sudah tua sekali, maka warnanya sudah pudar. Apalagi lhama yang duduk di tengah, bahkan pakaiannya sudah berubah warna menjadi agak kelabu.
I Ki Hu yakin mereka memang para pendeta dari Oey kau. Untuk sesaat dia juga tidak berani sembarangan bertindak, karena ilmu kepandaian yang diturunkan oleh agama yang satu ini mengandung keanehan tersendiri. Boleh dibilang berbeda dengan ilmu silat aliran mana pun di dunia ini. Diam- diam hati I Ki Hu juga merasa heran, karena selama ini para lhama dari Oey kau hanya menetap di wilayah Tibet atau Mongol. Mereka tidak pernah muncul di luaran. Apalagi kalau menilik usia ketiga orang ini yang sudah tinggi sekali, kedudukan mereka dalam agama itu jelas juga termasuk angkatan tua. Entah ada keperluan apa mereka datang ke Tiong goan? Mendengar nada suara lhama tua itu, tampaknya dia sudah bersedia meminjamkan perahu. Karena itu I Ki Hu merasa senang sekali. Dia melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu orang tadi.
"Apabila Taisu sudah bersedia meminjamkan perahu, cayhe juga tidak akan menyusahkan lagi." Tubuhnya berketebat ke depan perahu, dan dengan menggunakan tali tadi sebagai titian, dia kembali ke tepi sungai. Setelah itu dia menarik tali tadi agar perahu mendekat. Kereta kuda dinaikkan ke atasnya, tali yang digunakan digulung kembali lalu memutar haluan perahu untuk menyeberangi sungai.
I Ki Hu berdiri di samping kereta, dia khawatir ketiga Ihama itu tiba-tiba akan menimbulkan kesulitan baginya. Karena itu dia juga berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. Perahu melaju dengan cepat, sekejap kemudian mereka sudah berada di tengah-tengah sungai.
"Pukulan I sicu tadi, angin yang terpancar keluar mengandung hawa sesat, apakah I sicu ini orang dari Mo kau? Entah Mo kau kaucu, si tua Kwe lo sian sing tinggai di mana sekarang?" tanya pendeta yang duduk di tengah.
Mendengar pertanyaannya, I Ki Hu terkejut setengah mati. Karena si tua Kwe lo sian sing yang ditanyakan Ihama itu adalah mertuanya sendiri yang terbunuh di tangannya. Juga merupakan ketua angkatan ketiga puluh sembilan dari partai itu. Kaucu itu sendiri sudah mati tujuh belas tahun yang lalu. Boleh dibilang selama ini tidak ada orang yang pernah mengungkit lagi nama 'Kwe kau cu’.
"Entah untuk apa Taisu menanyakannya?" tanya I Ki Hu setelah tertegun sejenak.
"Dulu loceng mempunyai kesempatan bertemu satu kali dengan Kwe lo Kau cu. Kali ini kedatangan kami juga untuk mencarinya, tetapi ternyata setelah mencarinya sekian lama dan menanyakan kesana kemari, tidak ada seorang pun yang tahu kemana pindahnya orang tua itu." Hati I Ki Hu langsung merasa bangga mendengar ucapannya. Karena tujuh belas tahun yang lalu, I Ki Hu memberontak terhadap Mo kau dan membunuh tokoh-tokoh tingkat tinggi di dalam partai itu. Bahkan mertua dan istrinya sendiri juga dibunuh. Boleh dibilang hal ini sudah tersebar luas di dunia kang ouw. Tetapi Ihama tua tadi justru mengatakan 'tidak ada seorang pun yang menge-tahui kemana pindahnya Mo kau kaucu Kwe lo sian sing'. Hal ini membuktikan bahwa namanya benar-benar menggetarkan dunia kang ouw sehingga tidak ada seorang pun yang berani mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Karena itu pula, I Ki Hu langsung tertawa terbahak-bahak.
"Taisu ingin mencari Kwe kaucu, dari sini am-bil saja arah timur, kurang lebih tiga ratusan li, ada sebuah desa bernama Jit Hong ceng. Asal Taisu sudah sampai di sana pasti bisa tahu sendiri!"
Lhama tua itu tidak tahu bahwa Jit Hong ceng yang dikatakannya itu bukan sebuah desa, tetapi tanah pemakaman.
"Terima kasih atas petunjuknya," ucapnya.
Ketika pembicaraan berlangsung, perahu sudah berlabuh di tepi sungai. I Ki Hu dan Tao Ling segera turun dari perahu dengan membawa serta kereta kuda mereka. Perahu pun meluncur kembali. I Ki Hu memandanginya dengan perasaan ingin tahu.
Setelah perahu itu berada di kejauhan dan tinggal titik hitam, dia baru menolehkan kepalanya kembali. Diam-diam dia berpikir dalam hati. Diri-nya adalah menantu dari kaucu Mo kau, tetapi dia belum pernah mendengar bahwa antara para pendeta Tibet dengan Mo kau terjalin hubungan persahabatan. Ketiga pendeta tadi datang ke Tiong goan, pada suatu hari nanti, mereka pasti akan tahu juga bahwa Kwe kaucu sudah meninggal tujuh belas tahun yang lalu, bahkan seluruh tokoh pen-ting partai itu juga mati di tangannya. Apabila ketiga lhama tadi bermaksud membalaskan dendam bagi kaucu Mokau, berarti dia menemukan lawan berat yang sulit ditandingi.
Sembari berpikir, I Ki Hu menjalankan kereta kudanya. Kemudian dia berpikir lagi, ilmu kepan-daiannya demikian tinggi, rasanya tidak ada orang lagi di dunia ini yang sanggup menandingi. Lagipula ada beberapa tokoh berilmu tinggi yang dapat diperalatnya. Seandainya ketiga lhama itu akan mencarinya membalaskan dendam Kwe kaucu, dia juga tidak perlu takut. Akhirnya perasaan I Ki Hu jadi mantap, dia meneruskan perjalanan menuju Si Cuan.
Menjelang malam, mereka sudah sampai di sebuah jalan raya yang lurus dan lebar. Wilayah Si Cuan seperti sebuah perbukitan, jarang ada jalan raya. Tetapi jalan raya yang mereka lalui ini diatur dengan batu besar kecil sehingga terlihat rapi. Tanahnya datar, di kedua sisi tumbuh pepohonan yang rindang. Sekali lihat saja sudah dapat dipastikan bahwa jalan raya itu dibuat oleh seseorang. Kereta kuda yang ditumpangi oleh I Ki Hu dan Tao Ling dapat melaju cepat di atas jalan raya itu. Tiba-tiba terdengar suara desiran angin, selembar jala yang besar sekali tahu-tahu melayang turun dan menghadang di depan kereta.
Kejadiannya terlalu mendadak. I Ki Hu cepat-cepat menarik tali kendali kudanya agar berhenti. Tampak jala lebar itu terbuat dari semacam kawat, di bagian atasnya terdapat banyak duri tajam dari sejenis paku. Tajamnya bukan main. Dalam waktu yang bersamaan, mereka juga melihat ada enam-tujuh orang yang muncul dari pohon-pohon di kedua sisi jalan.
"Siapa yang datang?" tanya mereka serentak.
Melihat penghadangan yang lucu itu, I Ki Hu merasa kesal dan geli. Kereta kudanya sudah dihen-tikan. Tampak orang- orang yang muncul dari balik pohon masih muda-muda. Yang paling tua berumur sekitar tiga puluh tahun. Tampang mereka gagah-gagah. Dua di antaranya paling-paling berusia tujuh belasan tahun. Mereka berdiri di atas ranting pohon sehingga dapat dihayangkan bahwa ilmu Gin Kang mereka sudah cukup tinggi.
Meskipun sebelumnya I Ki Hu belum pernah mengunjungi keluarga Sang, kalau dihitung dari perjalanan yang telah ditempuhnya, tempat tinggal keluarga Sang sudah hampir sampai. Sedangkan jalanan lurus ini pasti milik keluarga Sang, dan tidak perlu diragukan lagi orang-orang yang mun-cul dari balik pohon pasti anggota keluarga itu pula. Mereka membuat jalan raya ini untuk menuju gedung keluarga Sang. Karena itu, I Ki Hu segera tertawa dingin. Dia menjalankan lagi keretanya maju sedikit.
"Tamu berkunjung dengan baik-baik, mengapa disambut dengan cara demikian tidak sopan?" katanya.
"Siapa yang Anda kunjungi?" tanya kedua pemuda yang berdiri di ranting pohon.
Jarak I Ki Hu sudah dekat sekali. Dia dapat melihat bahwa kedua pemuda itu tampan-tampan dan gagah. Di pinggang masing-masing terselip sebuah gantulan (Besi yang ujungnya berbentuk bola). Keluarga Sang memiliki dua macam ilmu yang terkenal. Yang satu justru ilmu gantulan itu, dan yang satunya lagi tujuh puluh dua cara menotok jalan darah manusia. Usia kedua pemuda ini masih muda sekali. Mungkin terhitung generasi ketiga dari Kakek berambut putih Sang Hao. I Ki Hu sendiri juga merasa malu apabila harus ber- gebrak dengan mereka. Karena itu dia hanya berkata dengan nada dingin.
"Aku mengunjungi Kakek berambut putih Sang Hao." "Kakekku tidak menemui siapa pun," sahut kedua pemuda
itu.
I Ki Hu tersenyum. "Orang lain boleh dia tolak tetapi terkecuali aku, dia harus mau!" Kedua pemuda itu memang cucu si Kakek berambut putih Sang Hao. Anggota keluarga Sang semuanya berilmu, tetapi tinggi rendahnya kepan-daian masing-masing berbeda. Kedua kakak beradik itu bernama Sang Cin dan Sang Hoat. Mereka terhitung generasi ketiga dalam keluarga Sang. Kedua pemuda itu juga merupakan cucu kesayangan Sang Hao. Karena itu, ketiga puluh enam jurus gantulan pemancar angin juga dikuasai sebagian.
Sebetulnya keluarga Sang terkenal karena ilmu ruyung saktinya. Tetapi senjata yang satu ini dianggap kurang praktis dibawa ke mana-mana dan juga tidak sesuai digunakan generasi muda. Karena itu kemudian hari Sang Hao mengubahnya dengan menggunakan gantulan sebagai senjata.
Bentuk ruyung dan gantulan memang hampir sama. Bedanya yang satu panjang, sedangkan yang lainnya pendek. Kepandaian Sang Cin dan Sang Hoat malah lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa anggota dari generasi kedua. Karena keduanya mendapat didikan langsung dari si kakek berambut putih Sang Hao. Tentu saja Sang Hao sendiri memiliki kepandaian yang sudah mencapai taraf tinggi sekali. Tetapi orang tua itu tidak berminat mencari nama di dunia kang ouw. Dia memilih menetap dengan tenang di gedung keluarga Sang di wilayah Si Cuan. Dia pun melarang anggota keluarganya atau murid-muridnya berkecimpung di dunia kang ouw. Karena itu pula Sang Cin dan Sang Hoat tidak tahu siapa I Ki Hu.
Mendengar nada bicara I Ki Hu yang sombong, kedua pemuda itu merasa jengkel.
"Pokoknya Yaya kami sudah mengatakan tidak ingin menemui siapa pun."
I Ki Hu merasa geli sekali. "Kalau dia tidak sudi menemuiku juga, terpak-sa aku menjadi tamu yang tak diundang."
Begitu I Ki Hu mengeluarkan perkataan tadi, orang-orang yang ada di atas pohon langsung mengeluarkan suara bising, mereka memaki-maki seenaknya.
"Dia kira dirinya hebat sekali, berani berbuat macam- macam di tempat tinggal keluarga Sang."
I Ki Hu tetap enggan berdebat dengan mereka. Dia hanya tersenyum dingin sedikit. Pada saat ini, jala besar yang terbuat dari kawat itu masih merin-tangi jalanan di depan mereka. Tentu saja kereta kuda tidak dapat dijalankan melewatinya. Tetapi dengan kepandaian I Ki Hu yang tinggi, untuk meloncati jala sepanjang tiga depaan saja tentu tidak jadi masalah. Ketika suara teriakan orang sudah reda, dia segera menyingkapkan tirai kereta.
"Hu jin, di depan ada jala kawat yang meng-hadang. Kereta tidak bisa maju lagi. Tetapi untung saja gedung kediaman keluarga Sang sudah dekat. Kita jalan saja sembari menikmati pemandangan alam," katanya kepada Tao Ling.
Perasaan hati Tao Ling terasa hampa, apa pun yang terjadi di depannya seakan tidak menarik perhatiannya. Apa pun yang dikatakan oleh I Ki Hu, dia hanya mengikuti saja. la tidak pernah membantah. Mendengar perkataan I Ki Hu barusan, dia hanya menganggukkan kepalanya. I Ki Hu membimbingnya turun dari kereta dan berjalan ke depan beberapa langkah.
Ketika melihat Tao Ling, orang-orang yang muncul dari balik pohon tadi langsung berteriak lagi. Suaranya bising sekali. Salah satunya bahkan berteriak sekeras-kerasnya.
"Wan! Tua bangka itu malah mempunyai istri yang begitu muda. Pasti bukan orang baik-baik jangan biarkan dia lolos!" "Tentu saja. Yaya toh sudah berpesan, siapa pun tidak boleh maju selangkah dari tempat ini, tidak perduli dia orang baik-baik atau bukan, pokoknya sama saja."
Ketika orang-orang itu berbicara, I Ki Hu tetap membimbing Tao Ling melangkah ke depan. Dia memperhatikan jala kawat yang membentang di depannya dengan seksama. Tingginya mencapai tiga depa. Lebarnya mencapai empat-lima depa. Kedua ujungnya dikaitkan pada pepohonan di kedua sisi jalan. Apabila dia nekat menerobos ke depan, bagi I Ki Hu sendiri tentu tidak jadi masalah. Tetapi kalau baru berjalan setengahnya, tiba-tiba orang-orang yang ada di atas pohon men-jatuhkan jala itu, tentu Tao Ling akan terluka parah terkena duri-durinya yang tajam. Mungkin malah bisa mati di tempat itu.
I Ki Hu tidak ingin menempuh resiko itu. Tiba-tiba dia men da pat akal. Dipungutnya beberapa butir batu di tepi jalan. Tangannya mengibas dan pinggangnya meliuk. Batu-batu itu pun melayang ke arah pepohonan di sisi jalan. Tahu-tahu keenam-tujuh orang yang ada di sekitar pepohonan sudah tertotok jalan darahnya.
Melihat dirinya sekali turun tangan sudah mencapai hasil yang gemilang, hati I Ki Hu terus bangga sekali. Dia tertawa terbahak-bahak. Diraihnya pinggang Tao Ling, sembari menghimpun hawa murninya. Dia mencelat setinggi satu depa lebih. Dengan menggunakan kawat jala sebagai tumpuan kakinya, dia mencelat lagi ke atas setinggi dua setengah depa. Sekejap mata saja dia sudah melayang turun kembali di seberang jala.
Setelah berhasil melewati jala kawat itu, I Ki Hu baru menolehkan kepalanya sambil tertawa.
"Kalian semuanya pasti keturunan Kakek berambut putih Sang Hao. Tentunya sudah mem-punyai dasar ilmu silat yang cukup kuat. Totokanku tadi tidak terlalu berat. Asal tenaga dalam kalian sudah mencapai tingkat yang lumayan, pasti bisa membebaskan sendiri totokanku tadi. Aku masih ingin menikmati kein-dahan pemandangan daerah ini, setelah berhasil melepaskan totokan kalian, silakan menyusul aku nanti!".
Tentu saja anggota keluarga Sang yang ada di atas pohon mendongkol sekali mendengar kata-kata I Ki Hu. Tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Hanya Sang Cin dan Sang Hoat berdua yang mengedarkan hawa murninya untuk membebaskan diri dari totokan. Pertama, memang tenaga dalam mereka yang paling kuat. Kedua, tempat mereka berdiri juga paling tinggi. Jadi batu yang disambit-kan I Ki Hu tadi hanya mengenai mereka dengan ringan. Setelah menghimpun hawa murninya sejenak, tubuh pun terasa pulih kembali.
"Jangan kabur!" teriak mereka.
Tubuh mereka berkelebat dari atas pohon dan melayang turun. Secepat kilat keduanya berlari tnengejar I Ki Hu dan Tao Ling.
Selesai berkata tadi, I Ki Hu langsung berjalan ke depan. Baru menindak beberapa langkah, dari belakang sudah terdengar suara teriakan Sang Cin dan Sang Hoat. Dia merasa kagum juga melihat cucu Sang Hao yang masih demikian muda dapat melepaskan diri dari totokannya dalam waktu yang demikian singkat.
I Ki Hu menolehkan kepalanya. Tangan kirinya tetap membimbing Tao Ling. Tangan kanannya mengibas. Terasa ada serangkum angin yang ken-cang menahan gerakan Sang Cin dan Sang Hoat.
Meskipun kedua pemuda itu masih belia dan tidak banyak pengetahuannya, mereka bukan orang bodoh. Saat itu mereka sudah bisa mem-bayangkan bahwa ilmu kepandaian lawannya tinggi sekali dan mereka pasti bukan tandingannya. Karena itu mereka menghentikan gerakannya. "Siapa Tuan sebetulnya?" tanya kedua pemuda itu.
Melihat kedua anak muda itu bisa melihat gelagat, I Ki Hu juga tidak mendesak lebih jauh. la tertawa terbahak-bahak.
"Siapa pun aku ini, apa persoalannya. Apakah ada sebagian orang yang tidak diijinkan mengun-jungi keluarga Sang?" ucap I Ki Hu.
Sang Cin tersenyum ramah.
"Harap Cianpwe jangan salah sangka. Yaya pernah berpesan bahwa ada beberapa orang yang dikecualikan!"
"Siapa saja orang-orang yang dikecualikan itu?" tanya I Ki Hu.
"Salah satunya, Bok Cin sian siang dari Bu Tong san," sahut Sang Cin.
I Ki Hu mendengus dingin.
"Mengapa Lo Sang (Si Sang tua) bisa meman-dang tinggi hidung kerbau itu?"
"Ada lagi Bu Kong Taisu dari Ngo Tay san," kata Sang Cin kembali.
I Ki Hu mendengar Sang Cin berturut-turut menyebut dua orang tokoh yang kepandaiannya memang tinggi dan sangat terkenal di dunia kang ouw, tetapi namanya sendiri masih belum disebut-kan, wajahnya mulai menyiratkan kemarahan.
"Siapa lagi?"
Sang Cin dan Sang Hoat saling pandang sekilas. "Yang satunya lagi tentu Tuan sendiri!"
I Ki Hu tahu kata-kata ini hanya ditambahkan kedua anak muda itu barusan saja. Tetapi dia senang melihat kecerdasan keduanya yang pandai mengambil hati.
"Apakah kalian tahu, siapa aku?" tanya I Ki Hu. Kedua pemuda itu tersenyum lagi.
"Langsung menyebut nama di hadapan orang yang lebih tua, sangat tidak sopan."
"Kalau kalian memang tidak tahu, untuk sementara aku juga tidak akan memberitahukan. Cepat antarkan kami menemui kakekmu!"
Wajah keduanya menyiratkan kebimbangan sekilas. Tetapi sekejap mata sudah pulih kembali seperti biasa.
"Baiklah. Harap Tuan mengikuti kami!"
I Ki Hu bukan tokoh sembarangan, meskipun perubahan wajah kedua pemuda itu hanya sekilas, dia sudah menduga bahwa mereka akan menggunakan akal licik lagi. Tetapi dia hanya ter-tawa dingin. Dengan membimbing Tao Ling, tanpa tergesa-gesa sedikit pun, dia mengikuti Sang Cin dan Sang Hoat dari belakang.
Sebentar saja mereka sudah berjalan sejauh satu li. Tiba- tiba tampak Sang Cin dan Sang Hoat membelok ke kiri. Dari jalan besar mengambil jalan kecil.
Jalan itu bukan saja berkelok-kelok, bahkan setelah berjalan dua-tiga depa, tampak di depan merupakan sebuah hutan bambu.
Pohon bambu di dalam hutan tidak banyak, tetapi batangnya besar-besar dan lurus sekali. I Ki Hu terus mengikuti dari belakang. Melihat kedua pemuda itu masuk ke dalam hutan, dia pun meng-ajak Tao Ling ikut masuk juga. Tetapi baru saja masuk dua langkah dia merasakan sesuatu yang kurang beres. Di sekitarnya hanya terlihat batang bambu yang warnanya hijau dan mereka tidak bisa menentukan arah yang harus dipilih.
I Ki Hu yakin batang-batang bambu itu disusun sesuai dengan bentuk semacam barisan. Dan sekarang dia bersama Tao Ling sudah terjebak ke dalam barisan itu. Mengingat kedua pemuda yang masih ingusan itu menjebaknya masuk ke dalam barisan bambu, I Ki Hu merasa geli.
"Bocah-bocah busuk, kemana perginya kalian?" ucap I Ki Hu pura-pura marah.
Terdengar suara Sang Cin menyahut.
"Ilmu kepandaian tuan sungguh mengejutkan. Mengapa tidak berusaha menemukan kami?" sahut Sang Cin.
Hati I Ki Hu sendiri juga geli namun jengkel. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia memutari batang-batang bambu itu. Setiap kali ber-putar, dia menggunakan tangannya mengerat batang-batang bambu itu.
Tidak lama kemudian, seluruh batang bambu yang ada dalam hutan itu sudah terkerat oleh tangannya. Kemudian dia memperdengarkan suara tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tertawanya sirap, sepasang lengan bajunya langsung mengibas, berpuluh batang bambu seperti diterpa angin kencang secara tiba-tiba. Terdengarlah suara bergemuruh, lalu batang-batang bambu itu pun rubuh semuanya di atas tanah.
Ada yang saling bertumpuan, ada pula yang melayang di udara. Dalam sekejap mata saja, suasana di dalam hutan itu persis seperti terjadi gempa yang hebat. Boleh dibilang tidak ada sebatang pun pohon bambu yang utuh.
Rupanya ketika mengerat batang-batang bambu sambil berputar tadi, I Ki Hu sudah mengerahkan tenaganya untuk mengguncangkan akar yang tertanam di bawah tanah sehingga ter-lepas. Begitu dikibas dengan lengan bajunya, otomatis seluruh batang bambu itu rubuh tidak karuan.
Suara yang bergemuruh itu mengejutkan Sang Cin dan Sang Hoat. Mereka memang sudah men-duga kepandaian I Ki Hu sangat tinggi, tetapi tidak menyangka tenaga dalamnya bisa sekuat itu. Belum lagi sempat keduanya berteriak, tiba- tiba tampak bayangan berkelebat, gerakannya seperti terbang. I Ki Hu mengulurkan sepasang tangannya dan tahu-tahu leher baju Sang Cin dan Sang Hoat sudah tercengkeram olehnya
Kedua pemuda ini sungguh tidak menyangka bahwa barisan Telaga Bambu yang selama ini sangat dibanggakan oleh keluarganya ternyata dapat dihancurkan dalam waktu yang singkat, wajah mereka pun tampak pucat pasi.
Hati I Ki Hu bangga sekali melihat rasa terkejut kedua anak muda itu. la tertawa terbahak-bahak.
"Ibarat jangkerik menghadang kereta. Ternyata kalian berani menjebak aku ke dalam barisan bambu itu. Ini namanya mencari penyakit sendiri, tahu?"
Sembari berkata, I Ki Hu segera mengerahkan tenaga dalamnya. Tanpa dapat ditahan lagi tubuh Sang Cin dan Sang Hoat melayang sejauh dua depa dengan menimbulkan suara desiran angin kemudian terbanting di atas tanah. Wajah keduanya langsung bengap dan memar di sana sini.
Untung saja kedatangan I Ki Hu ke tempat tinggal keluarga Sang memang tidak bertujuan mencari permusuhan dengan Kakek berambut putih, Sang Hao. Karena itu, tindak tanduknya pun tidak berniat mencelakai kedua pemuda itu. Sean-dainya dia membanting kedua pemuda itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya lebih ban yak lagi, tentu mereka sudah mati saat itu juga.
Sementara itu, Sang Cin dan Sang Hoat berusaha bangun. Namun baru saja terduduk tegak, I Ki Hu sudah melayang turun di hadapan mereka. Keduanya terkejut setengah mati. Dalam keadaan gugup, mereka masih herusaha menga-dakan perlawanan. Masing-masing segera mencabut gantulan yang terselip di pinggang kemudian dihantamkan ke arah I Ki Hu. Sekali lagi I Ki Hu tertawa terbahak-bahak, tubuhnya berkelebat, sepasang tangannya menjulur ke depan. Bret! Bret! Tahu-tahu kedua gantulan itu sudah tergenggam di telapak tangannya.
Sejak tadi I Ki Hu sudah mengerahkan tenaga murninya ke dalam telapak tangan. Kedua gantulan itu bukan saja tidak sempat melukainya, bahkan tenaga pantulan dari telapak tangannya begitu kuat, hingga kedua gantulan itu terhentak ke depan dan tepat mengenai wajah Sang Cin dan Sang Hoat.
Keduanya langsung memekik kesakitan. Tam-pak hidung dan bibir mereka berdarah. Kedua gantulan tadi kembali melayang di udara setelah menyampok muka keduanya. Terdengar suara ber-dengung-dengung dan timbul dua gurat cahaya seperti pelangi yang melintas.
Kali ini, Sang Cin dan Sang Hoat tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan. I Ki Hu mengeluarkan suara bentakan. Sekali lagi dia menerjang ke depan untuk mencengkeram kedua pemuda itu. Tetapi baru saja tubuhnya bergerak, dari belakangnya terdengar seseorang berkata.
"Jangan turunkan tangan keji!" Suara terdengar, orangnya pun tiba.
Tampak sesosok bayangan melesat datang ke arah mereka. Tetapi mana mungkin I Ki Hu memandang sebelah mata. Dia tetap menerjang ke depan dan mencengkeram lengan Sang Cin dan Sang Hoat. Setelah itu dia baru menolehkan kepalanya.
Tampak dua orang laki-laki berusia setengah baya dan seorang perempuan yang usianya sekitar empat puluhan tahun sudah berdiri di belakangnya dengan wajah menyiratkan perasaan terkejut.
I Ki Hu tahu ketiga orang ini pasti masih turunan si Kakek berambut putih Sang Hao. Karena itu dia segera tertawa dingin. "Dengan maksud baik aku datang kemari mengunjungi Kakek berambut putih, Sang Hao. Tetapi kedua bocah ini sungguh kurang ajar. Berani-beraninya mereka mengurung aku dalam barisan bambu. Karena itu aku memberi pelajaran sedikit kepada mereka agar kelak mereka tahu bahwa di atas gunung masih ada gunung, di antara yang jago masih ada orang yang lebih jago."
Wajah perempuan setengah baya itu menyiratkan kepanikan.
"Apa yang dikatakan Tuan memang tidak salah. Kedua bocah ini memang agak nakal. Lagipula pengetahuannya cetek. Punya mata tapi tidak bisa melihat Thai san. Akibatnya malah menimbulkan kesulitan bagi Tuan." Berkata sampai di sini, dia mendelik kepada Sang Cin dan Sang Hao.
"Kalian berdua, cepat minta maaf kepada Cianpwe ini!" bentak perempuan itu.
I Ki Hu tertawa lebar.
"Tidak perlu sampai minta maaf. Cayhe hanya ingin bertemu dengan Lo Sang." Tangannya mengendur, kedua pemuda itu didorong ke depan dan tepat berdiri di samping kiri kanan perempuan setengah baya itu.
Mimik wajah perempuan itu tampak agak lega.
"Tuan ingin bertemu dengan ayah . . . sebetul-nya tidak menjadi masalah, tetapi ayah . . ."
"Apakah Lo Sang tidak bersedia menemui siapa pun?" tanya I Ki Hu.
Wajah perempuan itu langsung berubah menjadi murung. "Sebetulnya hal ini merupakan rahasia keluarga kami, dan
kami tidak ingin orang luar me-ngetahuinya ..." "Piau moay (adik sepupu), masa kau akan men-ceritakan urusan ini kepada orang luar," tukas salah satu laki-laki setengah baya yang datang ber-sama perempuan itu.
Sepasang alis perempuan itu berkerut-kerut sekilas.
"Kalau tidak mengatakan secara terus terang, apakah kalian bisa menahan keinginan Tuan tamu ini?" sahut perempun itu.
Kedua laki-laki setengah baya itu menatap kepada I Ki Hu sejenak, kemudian mereka menundukkan kepalanya.
"Piau moay, bahkan namanya saja kau belum tahu, masa kau sudah ingin menceritakan urusan ini kepadanya?" kata salah satu laki-laki itu lagi.
I Ki Hu mendengar pembicaraan yang berlangsung di antara mereka. Diam-diam hatinya menjadi penasaran. Dia berpikir, kalau mendengar nada pembicaraan mereka, tampaknya telah terjadi sesuatu yang luar biasa dalam keluarga Sang. Sedangkan keluarga Sang ingin menutupi kejadian ini dari orang luar.
Setelah berpikir sejenak, I Ki Hu tahu bahwa ilmu kepandaian si Kakek berambut putih Sang Hao sangat tinggi. Apalagi anggota keluarga Sang semuanya mengerti ilmu silat. Bahkan ada beberapanya yang merupakan jago kelas satu. Seandainya ada seseorang yang bisa menimbulkan masalah di keluarga Sang, I Ki Hu benar-benar tidak sanggup membayangkan siapa orang itu.
"Entah siapa nama Tuan tamu yang mulia?" tanya perempuan itu.
"Cayhe she I, tinggal di lembah Gin Hua kok, wilayah barat."
Kedua laki-Iaki dan perempuan setengah baya itu terkejut setengah mati. Wajah mereka langsung pucat pasi. Bahkan tanpa disadari mereka menyurut mundur dua langkah. Apalagi Sang Cin dan Sang Hoat, wajah keduanya persis seperti mayat hidup.
I Ki Hu menyunggingkan seulas senyuman tipis. Setiap ada orang yang mendengar namanya langsung memperlihatkan perasaan terkejut, baginya merupakan sebuah kebanggaan.
"Kalian bertiga tidak perlu takut. Kedatangan cayhe tidak mengandung maksud jahat," ujar I Ki Hu.
Mimik wajah si perempuan yang paling cepat pulih kembali.
Tetapi masih memperlihatkan sedikit ketegangan.
"Entah ada keperluan apa I sian sing mengun-jungi kami? Tadi kedua putra kami berbuat kesalahan, harap I sian sing dapat memaafkan . . ."
I Ki Hu tidak memberi kesempatan kepada perempuan itu untuk menyelesaikan kata-katanya. Dia melirik sekilas kepada Sang Cin dan Sang Hoat. Wajah kedua pemuda itu tampak semakin tidak enak dilihat.
"Orang yang tidak tahu, tidak bersalah. Kalian tidak perlu khawatir."
Perempuan setengah baya itu memang putri si kakek berambut putih Sang Hao. Namanya Sang Ling. Begitu mendengar bahwa orang yang ada di hadapannya ternyata si Raja Iblis Gin leng hiat dang I Ki Hu, rasa terkejutnya benar- benar tidak terkirakan. Peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua putrinya. la juga tahu watak I Ki Hu yang senang orang bersikap rendah di depan-nya, maka dari itu cepat-cepat dia meminta maaf. Setelah mendengar jawaban I Ki Hu, hatinya baru merasa lega.
"Seandainya dari tadi kami tahu bahwa tamu yang berkunjung adalah I sian sing, seharusnya kami segera mengadakan penyambutan, tetapi sayangnya . . . keluarga Sang sedang tertimpa musibah . . ." "Sebetulnya apa yang terjadi? Dapatkah kau mengatakannya kepada cayhe?"
"Ayah ... Sang Hao sudah meninggal beberapa hari yang lalu."
Mendengar keterangan Sang Ling, tanpa dapat ditahan lagi bibir I Ki Hu mengeluarkan seruan terkejut. Seandainya orang lain yang mendengar berita itu, biarpun terkejut tetapi tidak seperti keadaan I Ki Hu saat itu. Mereka pasti bisa menduganya karena usia Sang Hao memang sudah lanjut. Biarpun ilmu kepandaiannya tinggi sekali, setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Tetapi bagi I Ki Hu lain. Sebab dari semua jejak yang telah berhasil ditelus ya, dia sudah men- duga bahwa telah terjadi senate dalam keluarga Sang. Karena itu pula, ketika mendengar cerita Sang Ling tentang kematian ayahnya, ia sudah membayangkan bahwa orang tua itu mati tidak wajar. Pasti ada sesuatu yang luar biasa.
Dan yang membuat I Ki Hu terkejut justru karena kepandaian Sang Hao yang sudah tinggi sekali. Bukankah aneh apabila seseorang yang ilmunya demikian tinggi bisa mati secara mendadak tanpa mengalami penyakit apa pun? Bukankah aneh apabila orang yang kepandaiannya demikian tinggi bisa mati tidak wajar?
"Bagaimana Lo Sang menemui kematiunnya? Dapatkah kau menceritakannya?" tanya I Ki Hu setelah perasaan terkejutnya reda.
Sang Ling melirik sekilas kepada I Ki Hu. Sepertinya dia merasa heran mengapa orang itu bisa menduga ada yang tidak wajar pada kematian ayahnya. Dia menarik nafas panjang.
"Sebetulnya memalukan kalau cerita ini ter-sebar di luaran, ayah ... mati karena ter . . . kejut."
I Ki Hu yang mendengarnya benar-benar merasa di luar dugaan. Dia malah mengira pende-ngarannya yang salah. "Mati terkejut?" Diam-diam hatinya berpikir, entah urusan apa di dunia ini yang dapat membuat si Kakek berambut putih Sang Hao demikian terkejutnya sehingga menemui kematian.
"Tidak salah," sahut Sang Ling. "Meskipun saat itu ayah tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun, tetapi kami melihat dengan jeias mimik wajahnya yang menyorotkan perasaan terkejut, Kemudian langsung mati. Di sini bukan tempat bicara yang leluasa, I sian sing. Bagaimana kalau I sian sing dan I hu jin mampir sebentar di tempat kediaman kami?"
Sebetulnya kedatangan I Ki Hu mempunyai tujuan tersendiri. Tetapi setelah mendengar berita dari Sang Ling bahwa ayahnya mati karena terkejut, timbullah perasaan ingin tahu di dalam hatinya. Malah dia mengenyampingkan dulu urusannya sendiri.
"Baik!" Dengan membimbing Tao Ling, dia mengikuti di belakang Sang Ling dan kedua lelaki tadi menuju gedung kediaman keluarga Sang.
Setelah berjalan kurang lebih setengah li, tam-pak sebidang tanah yang luas sekali. Di atasnya ada bangunan yang besar dengan atap merah dan tembok yang tinggi. Mereka masuk melalui pintu gerbang besar yang terbuat dari besi. Di dalamnya berjejer-jejer rumah dengan ukuran yang berbeda. Mereka menuju gedung yang terletak di tengah-tengah. Bentuknya paling besar dan berloteng.
Begitu masuk ke dalamnya, mereka langsung berhadapan dengan sebuah ruang tamu. Tuan rumah Sang Ling segera mempersilakan para tamunya duduk.
"Tentunya I sian sing merasa heran mengapa ayah bisa mati terkejut, bukan?"
"Ini merupakan berita teraneh yang pernah kudengar." Dia memalingkan kepalanya kepada Tao Ling. "Hu jin, benar tidak?" Tao Ling menemui berbagai kejadian yang tidak terduga, belakangan dia malah menjadi istri I Ki Hu. Sebetulnya tidak ada hal apa pun yang membangkitkan minatnya lagi. Tetapi mendengar berita kematian Sang Hao, sedikit banyaknya perasaan ingin tahunya tergugah juga. Karena itu dia pun menganggukkan kepalanya.
"Benar-benar kejadian yang aneh," gumam Tao Ling. "Kalau mempertimbangkan biang bencana ini, seharusnya
kesalahan ditujukan kepada Kuan Hoang Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan!" ucap Sang ling.
I Ki Hu bertambah bingung.
"Nama ketiga orang ini di dunia kang ouw memang cukup terkenal, tetapi tidak mungkin sam-pai Lo Sang mati terkejut karenanya," gumam I Ki Hu.
"Di sinilah letak keanehan kejadian ini. Kalau ingin cerita yang lebih jelas, kami harus memulainya dari setengah bulan yang lalu. Malam itu, tiba-tiba ada seseorang yang tubuhnya penuh berlumur darah menerjang masuk ke tempat tinggal kami ini. Ketika sampai di dalam, nafasnya tinggal satu-satu."
"Siapa orang itu?" tanya I Ki Hu.
"Orang itu kakak misan kami yang bernama Sang Cu Ce." Mendengar Sang Ling menyebut nama itu, sepasang alis I
Ki Hu tampak menjungkit ke atas. Sang Ling pun melanjutkan penuturannya.
"Pada saat itu, seperti biasanya setiap bulan sekali seluruh anggota keluarga Sang pasti berkumpul. Ayah juga hadir di tempat. Wajah yang lainnya langsung pucat mengetahui siapa yang menerjang masuk itu. Ayah segera menanyainya. Siapa musuh yang melukainya sedemikian rupa. Tetapi Sang Cu Ce hanya sempat mengucapkan beberapa patah kata, suaranya pun lirih sekali. Wajah ayah langsung berubah hebat. Tampaknya ayah terkejut sekali mendengar kata-kata kakak misan kami itu. Sang Cu Ce pun menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah mengucapkan beberapa patah kata tadi. Sikap ayah pun berubah. Tanpa mengucapkan apa-apa, orang tua itu langsung masuk ke kamarnya. Pertemuan kali itu pun terpaksa dibubarkan."
"Setelah kejadian itu, apakah ayah kalian tidak mengatakan apa yang diucapkan oleh Sang Cu Ce menjelang kematiannya?"
Sang Ling menggelengkan kepalanya.
"Ternyata I sian sing memang cerdas sekali. Ayah memang tidak mengungkitnya sama sekali, walaupun kami tahu, ketika Sang Cu Ce mengucapkan beberapa patah kata itu, suaranya lirih sekali. Orang lain pasti tidak bisa mendengarnya. Tetapi jarak ayah dengannya begitu dekat, pasti ayah bisa mendengarnya. Tetapi setelah kejadian itu, ternyata ayah pun tidak mengatakannya kepada kami," ujar Sang Ling menjelaskan.
I Ki Hu menegakkan tubuhnya sedikit. Bibir-nya mengembangkan senyuman.
"Hal ini justru membuat urusannya lebih aneh lagi," katanya.
"Tadinya kami mengira ada musuh tangguh yang akan menyatroni keluarga Sang. Karena itu, meskipun ayah tidak berpesan apa-apa, kami sendiri segera mengadakan persiapan untuk menjaga segala kemungkinan . . ." Berkata sampai di sini, Sang Ling menghentikan ceritanya sejenak. Seakan dia sedang merenungi kembali kejadian saat itu. Kemudian ia baru meneruskan kembali. "Tetapi beberapa hari telah berlalu, ternyata tidak ada kejadian apa pun dalam keluarga kami. Lima hari berlalu lagi, tiba-tiba kami kedatangan tamu. Tetapi yang datang ternyata Kuan Hong Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan. Kuan Hong Siau menjelaskan maksud kedatangannya. Kepada ayah ia mengatakan bahvva dia mengharapkan bantuan ayah untuk membebaskan jalan darah pasangan suami istri Lie Yuan. Tanpa curiga apa-apa, ayah langsung menyetujuinya. Ayah segera menghampiri pasangan suami istri Pat Kua kiam, tetapi setelah memperhatikan sejenak, tiba-tiba wajah ayah berubah hebat. Sesaat kemudian orang tua itu langsung terkulai di atas tanah. Ketika kami menghampirinya, ternyata ayah tidak tertolong lagi."
Setelah mendengar penuturan Sang Ling, I Ki Hu kembali mengembangkan seulas senyuman.
"Sang kouwnio menganggap kematian ayahniu disebabkan oleh Kuan Hong Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan. Bukankah itu namanya menuduh orang sembarangan? Lebih baik kalian keluarkan Kuan Hong Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan. Kedatanganku ke mari justru karena ingin bertemu dengan mereka."
Melihat I Ki Hu dapat menduga semuanya dengan tepat. Sang Ling dan yang lainnya terkejut setengah mati. Diam- diam mereka juga merasa kagum kepada si raja iblis ini.
"Kami hanya menyuruh beberapa anggota keluarga kami mengawasi mereka, sama sekali tidak bermaksud mencelakai mereka."
"Jalan darah pasangan suami istri Lie Yuan masih belum terbuka. Ada baiknya kita menengok mereka sekarang," kata I Ki Hu kembali
Wajah Sang Ling memperlihatkan kebim-bangan. Tetapi I Ki Hu tidak menunggu per-setujuan Sang Ling, ia langsung mengajak Tao Ling berdiri. Sang Ling maklum si raja iblis ini pantang dilanggar kemauannya.
"Boleh juga. Tetapi. . . ketika itu kanii melihat ayah kami tiba-tiba mati, karena emosi terjadilah sedikit perselisihan yang mengakibatkan perkelahian antara kami dengan Kuan Hong Siau. Sekarang dia masih menderita luka-Iuka. Entah ada keperluan apa I sian sing mencarinya?" "Urusan ini aku juga sudah menduganya. Tapi tujuanku sebenarnya ingin menanyakan sedikit persoalan kepada pasangan suami istri Lie Yuan. Pokoknya kalian mengantarkan kami menemui mereka saja."
Sang Ling tidak berani membantah. Dia mengajak I Ki Hu dan Tao Ling keluar dari ruangan besar itu, mereka menyusuri sebuah koridor panjang yang menembus ke sebidang tanah yang luas.
Di atas sebidang tanah itu berdiri sebuah ba-ngunan yang bentuknya kotak seperti penjara. Bahannya terbuat dari batu, tingginya kurang lebih tiga depa. Ketika tiba di depan bangunan itu, Sang Ling bertepuk tangan tiga kali. Tampak empat laki-laki bertubuh kekar muncul dari atap bangunan itu. Sang Ling memberi isyarat dengan gerakan tangan. Keempat orang itu menyembunyikan diri lagi. Tidak lama kemudian terdengar suara yang bergemuruh. Pintu batu bangunan itu pun dikerek dengan seutas rantai yang tebal dan menguak terbuka.
Sang Ling menggerakkan tangannya ke samping. "I sian sing, I hu jin, silakan masuk!"