Peninggalan Pusaka Keramat Jilid 08

Jilid 08

"Seebun Jit, orang yang melihat seharusnya mendapat bagian," kata Leng Coa sian sing.

"Leng Coa sian sing, di tanganku sekarang ada tiga buah naga emas, apakah kau masih berani bergebrak denganku?" sahut Seebun Jit sambil melintangkan goloknya di depan dada.

"Di dalam lembah ini tidak ada orang lain seandainya aku membunuhmu, rasanya tidak mungkin ada yang mengetahui," ucap Leng Coa sian sing dengan tawa cekikikan.

Wajah Seebun Jit tidak menyiratkan perasaan takut sedikit pun. Dia malah tertawa terbahak-bahak.

"Leng Coa sian sing, sudah cukup lama kau mengasingkan diri di wilayah barat ini. Kehidupan-mu tenang dan damai. Mengapa kau masih ingin menceburkan dirimu dalam kancah dunia bulim yang tidak habis-habisnya saling membunuh dan memperebutkan nama kosong? Pemilik naga emas ini bagai dewa yang sakti. Tidak ada hal yang tidak diketahuinya. Apabila kau berniat mengelabuinya, mungkin lebih sulit daripada terbang ke angkasa," kata Seebun Jit. Wajah Leng Coa sian sing berubah hebat.Tampaknya dalam hati dia merasa agak takut, tetapi dalam sekejap mata penampilannya sudah pulih lagi seperti semula.

"Seebun Jit, waktu kematianmu sudah tiba, buat apa kau membuka mulut sesumbar yang tidak-tidak?" Dia melangkah ke depan dua tindak. 'Cambuk kumala' yang rebah di tangannya langsung dikibaskan ke depan, tepat mengenai betis Seebun Jit.

Luka Seebun Jit sudah parah sekali. Dia mempertahankan diri berdiri dengan goloknya sebagai penopang. Begitu kena tersapu, Seebun Jit langsung jatuh ambruk di atas tanah.

Leng Coa sian sing maju ke depan satu langkah, kakinya sudah siap menginjak dada lawannya. Tiba-tiba Seebun Jit melihat ada tiga sosok ba-yangan yang berkelebat di mulut lembah. Diam-diam hatinya merasa girang.

"Leng Coa sian sing, ada orang yang datang," katanya.

Pada saat itu Leng Coa sian sing juga sudah mendengar suara langkah kaki. Hatinya tercekat. Apalagi setelah Seebun Jit mengibaskan tangannya melemparkan ketiga buah naga emas itu ke tempat yang jauh. Dalam waktu yang bersamaan, ketiga orang yang tadi berkelebat di mulut lembah juga sudah menghambur ke dalam. Ternyata memang tiga iblis dari keluarga Lung. Begitu melihat sinar berkilauan melesat la hi terjatuh di atas tanah, mereka segera menghampirinya. Setelah melihat dengan jelas bahwa benda itu adalah tiga buah naga-nagaan dari emas yang panjangnya satu cun lebih, wajah mereka langsung berseri-seri.

"Tong tian pao Hong! (Naga pusaka penembus langit)." Seru mereka serentak.

Setelah mengeluarkan seruan tadi. Tanpa bersepakat lagi ketiganya langsung menerjang ke arah tiga naga emas itu. Leng Coa sian sing yang melihat ketiga iblis dari keluarga Lung akan memungut naga-nagaan dari emas, langsung panik. 'Dia berteriak sekeras-kerasnya.

"Tunggu dulu!" Lupa sudah dia akan tujuan semula yang ingin membunuh Seebun Jit. Tubuh-nya membalik lalu melesat bagai terbang, gerakan-nya memutar bagai angin topan. Setelah tujuh-delapan kali putaran, dia langsung menerjang ke arah tiga iblis dari keluarga Lung. 'Cambuk kumala' di tangannya mengeluarkan suara desisan yang aneh. Binatang itu menjulurkan kepalanya dan menyapu tiga orang itu.

Tiga iblis dari keluarga Lung mengeluarkan suara pekikan yang menyeramkan. Mereka melon-cat ke samping untuk menghindarkan diri. Tetapi sekejap kemudian mereka berkumpul kembali dan mengurung Leng Coa sian sing. Keempat orang itu pun terlibat perkelahian yang seru. Tampak ba-yangan manusia berkelebat kesana kemari. Bayangan ular yang mirip pecut lemas juga bergerak kian kemari. Pertarungan itu sungguh sengit. Sedangkan ketiga naga- nagaan dari emas itu belum sempat dipungut oleh siapapun dan masih menggeletak di atas tanah.

Seebun Jit melihat keempat musuhnya terlihat dalam perkelahian yang seru. Matanya menatap lekat-lekat pada ketiga naga-nagaan dari emas yang tergeletak di atas tanah. Hatinya timbul perasaan sayang. Ketiga naga-nagaan dari emas itu merupakan benda yang diinginkan setiap tokoh persilatan di bulim. Sekarang benda itu justru hanya berjarak tiga-empat depa di hadapannya.

Seebun Jit juga tahu, apabila dia merayap ke depan untuk memungut ketiga naga-nagaan dari emas itu, tiga iblis dari keluarga Lung beserta Leng Coa sian sing yang terlibat perbentrokan justru karena benda yang sama, pasti tidak akan membiarkannya. Bisa jadi mereka malah bersatu untuk mengeroyok dirinya.

Dengan kata lain, meskipun Seebun Jit bisa mendapatkan ketiga naga-nagaan dari emas itu, dia pasti terbunuh di dalam lembah Gin Hua kok. Menurut cerita yang tersebar di dunia kang ouw, naga-nagaan yang sejenis jumlahnya ada tujuh buah. Walaupun dia bisa mendapatkan semuanya sekaligus, namun kalau akibatnya seperti itu, apa gunanya?

Seebun Jit merenung dengan termangu-mangu sekian lama. Leng Coa sian sing dan tiga iblis dari keluarga Lung yang bertarung mati-matian juga tidak memperhatikan gerak gerik Seebun Jit.

Sebenarnya tidak ada kesulitan bagi tiga iblis untuk mengalahkan Leng Coa sian sing. Semestinya manusia pemelihara ular itu sudah bisa dikalahkan sejak tadi. Namun karena sebelumnya Lung Sen dan Lung Ping pernah terluka di tangan Seebun Jit, maka gerakan kaki mereka menjadi kurang gesit. Sedangkan Leng Coa sian sing merasa, dirinyalah yang seharusnya mendapatkan ketiga ekor naga-nagaan itu. Dengan menggunakan 'cambuk kumala'-nya sebagai senjata, dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi tiga iblis dari keluarga Lung.

Leng Coa sian sing memijit keras-keras bagian ekor ularnya. Cambuk Kumala kesakitan, maka menjadi buas seketika. Asal Leng Coa sian sing menggerakkan tangannya sedikit saja, ular itu langsung menyeruduk ke depan dengan kalap. Serangannya merupakan gerakan yang sulit ditirukan oleh manusia. Lagipula tindakannya kalap seperti tidak memperdulikan mati hidupnya sendiri. Inilah perbedaan ular dengan manusia. Manusia, pasti mempunyai berbagai pertimbangan, sedangkan ular hanya ingin melepaskan dirinya dari rasa sakit. Hal lain tidak diperdulikan.

Terdengar suara desisan yang semakin lama semakin keras. Ular itu menyemburkan bisanya kesana kemari. Tiga iblis dari keluarga Lung tidak berani melawan dengan kekerasan. Karena itu, meskipun bertiga mereka mengeroyok satu orang, hasilnya sampai sekian lama tetap seimbang. Seebun Jit sendiri sudah merayap sampai keluar mulut lembah. Di kejauhan terlihat debu beterbangan di angkasa. Tentu kuda I Giok Hong yang sedang mengejar Tao Heng Kan. Seebun Jit menarik nafas panjang, setelah itu dia menepi untuk merawat lukanya.

***

Tao Heng Kan yang berlari secepat kilat meninggalkan Gin Hua kok, dikejar ketat oleh I Giok Hong di belakangnya.

Beberapa bulan yang lalu, ilmu kepandaian Tao Heng Kan masih belum terhitung apa-apa, tetapi sejak pertandingan ilmu melawan Li Po di gedung kediaman Kuan Hong Siau, tampaknya dia menemukan suatu mukjijat yang membuat ilmu silatnya maju pesat. Kalau tidak, ketika dia bertarung melawan I Giok Hong di dalam lembah Gin Hua kok tadi, tidak mungkin tenaga dalamnya bisa seimbang dengan gadis itu.

Meskipun ilmu silat Tao Heng Kan mengalami kemajuan pesat, tetapi saat itu dia sedang memanggul Lie Cun Ju. Ditambah lagi tunggangan I Giok Hong yang merupakan kuda pilihan. Maka semakin lama jarak ked'ua orang itu pun semakin mendekat.

Tao Heng Kan menolehkan kepalanya. Tampak cahaya putih berkilauan. Gerakan I Giok Hong dan kudanya seperti melesat tanpa memijak tanah. Jarak mereka sekarang tinggal tiga-empat depa. Dalam hati dia sadar tidak bisa lolos dari kejaran gadis itu. Karenanya, dia segera menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan memaksakan kakinya berhenti berlari. Setelah itu dia berdiri tegak dengan pedang melintang di depan dada.

"I kouwnio, antara kita tidak ada permusuhan apa pun.

Untuk apa kau mendesakku sedemikian rupa?"

Baru saja ucapannya selesai, I Giok Hong sudah menyusul tiba. Tangan kirinya menarik tali kendali kuda erat-erat, kemudian tubuhnya bergerak turun dengan lincah. Dalam sekejap mata dia sudah berdiri di hadapan Tao Heng Kan sambil tertawa dingin. Tangannya menunjuk kepada Lie Cun Ju yang ada dalam panggulan pemuda itu.

"Kau berani masuk ke dalam Gin Hua kok secara sembarangan. Hal itu sudah merupakan kesalahan besar.

Apalagi kau berani menculik orang lembah itu."

"I kouwnio, aku menculik orang ini bukan atas kemauanku sendiri. Aku terpaksa melakukannya. Seandainya I kouwnio bisa melapangkan hati sedikit, aku juga tidak ingin bergebrak dengan nona. Dengan demikian masing-masing tidak akan mengalami kerugian apa-apa," kata Tao Heng Kan sambil menarik napas panjang.

I Giok Hong mendengus dingin.

"Kenapa? Kau kira kalau terjadi perkelahian, aku akan kalah di tanganmu?"

Bibir Tao Heng Kan bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya dia membatalkan niatnya. Kakinya menyurut mundur satu iangkah.

"Kalau I kouwnio berkeras ingin berkelahi, silakan membuka serangan!" ujar Tao Heng Kan kemudian.

I Giok Hong adalah seorang gadis yang sangat cerdas. Sejak tadi dia sudah melihat ada ucapan yang ingin dikatakan oleh Tao Heng Kan tetapi dibatalkannya. Meskipun dalam hati dia merasa benci melihat tindakan Tao Heng Kan yang seenaknya menculik Lie Cun Ju dari lembah Gin Hua kok, malah ketiga batang senjata rahasia yang dilontarkannya hampir saja melukai dirinya, tetapi sejak Tao Heng Kan bertanding ilmu dengan Li Po di gedung kediaman Kuan Hong Siau, lalu mem-bunuhnya tanpa sebab musabab yang pasti, hal ini sudah diketahui seluruh bu Hm, bahkan Tao Heng Kan dianggap sebagai tokoh yang misterius. Ketika I Giok Hong menolong Lie Cun Ju dan Tao Ling yang hampir mati di dalam gedung 'Ling Wei piau kiok', dia justru mengira Lie Cun Ju adalah Tao Heng Kan. Namun akhirnya ternyata dugaannya salah. Karena itu dia merasa tidak memerlukan pemuda itu dan melemparkannya ke tepi jalan begitu saja.

Sekarang ini, di dalam hatinya justru timbul perasaan ingin tahu tentang diri pemuda tampan yang berdiri di hadapannya itu. Sebetulnya apa yang membuat Tao Heng Kan tiba-tiba membunuh LiPo.

"Apa yang ingin kau katakan barusan? Meng-apa akhirnya kau tidak jadi mengatakannya?" tanya I Giok Hong.

Tao Heng Kan tertegun. Seakan dia menjadi bimbang karena I Giok Hong berhasil menebak isi hatinya. Tampak dia menarik nafas panjang.

"I kouwnio, seandainya terjadi perkelahian di antara kita, mungkin aku tidak dapat mengalahkanmu. Tetapi kalau kau sampai melukaiku sedikit saja, bisa menimbulkan kemarahan seorang tokoh besar. Mungkin ayahmu sendiri tidak sanggup berbuat apa-apa terhadap tokoh yang satu ini."

I Giok Hong mendengar nada suara Tao Heng Kan yang serius dan wajahnya juga menandakan bukan orang yang sedang bergurau. Tetapi dia tidak percaya di dunia bu lim ada tokoh yang ayahnya sendiri tidak berani mencari gara-gara dengannya. Tapi di samping itu dia juga tahu Tao Heng Kan tidak berdusta. Kemarahan dalam hatinya agak reda seketika, bibirnya tertawa sumbang.

"Kalau begitu, kau tidak ingin berkelahi de-nganku, justru karena kebaikanku sendiri?"

Wajah Tao Heng Kan menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali.

"Memang demikianlah maksudku," ujar Tao Heng Kan. "Boleh saja aku tidak berkelahi denganmu, asal kau kembalikan orang yang kau panggul itu. Aku pun akan menyudahi urusan ini," kata I Giok Hong.

Kata-kata dan tingkah laku I Giok Hong kali ini sudah terhitung sungkan sekali. Karena Gin leng hiat dang I Ki Hu tidak pernah memandang sebelah mata terhadap siapa pun, sebagai putrinya jelas I Giok Hong mempunyai sifat yang sama. Apabila dia bersedia melepaskan Tao Heng Kan begitu saja, bagi orang yang mengenalnya benar-benar merupakan suatu kejadian yang langka. Bahkan I Giok Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia demikian menaruh simpatik terhadap pemuda tam¬pan yang ada di hadapannya ini.

Di dalam hati Tao Heng Kan juga dapat merasakan sikap istimewa I Giok Hong terhadap dirinya. Tetapi dia benar-benar mempunyai kesulitan tersendiri yang membuatnya tidak dapat menyerahkan Lie Cun Ju.

Tao Heng Kan menyelinap ke dalam lembah Gin Hua kok untuk menculik Lie Cun Ju sebetulnya mendapatkan waktu yang tepat. Karena pada saat itu Seebun Jit sudah terluka parah, I Ki Hu pun sedang bepergian. Tetapi semua ini dilakukannya bukan karena dia sudah mengintai datangnya kesempatan. Kalaupun saat itu Seebun Jit belum terluka dan I Ki Hu ada di dalam lembah Gin Hua kok, tetap dia harus menculik Lie Cun Ju.

Karena itu, mendengar permintaan I Giok Hong, dia terpaksa tertawa getir serta meng-gelengkan kepalanya.

"I kouwnio, aku tahu sikapmu yang rela melepaskan aku pergi begitu saja merupakan hal yang sulit ditemui. Tapi . . . aku masih mempunyai satu permohonan, entah I kouwnio bersedia me-ngabulkannya atau tidak?"

Sembari berkata, sepasang mata Tao Heng Kan yang menyiratkan penderitaan menatap I Giok Hong lekat-lekat. Gadis itu sendiri merasa bahwa selama ini hatinya belum pernah mempunyai perasaan yang demikian ganjil. Tanpa terasa wajahnya menjadi merah. Diam-diam dia berpikir dalam hati.

"Aneh sekali! Rasanya aku ingin mendengarkan perkataannya. Mengapa bisa mempunyai perasaan seperti ini? Apa sebabnya?"

Di dalam hatinya berpikir, tetapi mulutnya sudah langsung menjawab.

"Ada urusan apa? Silakan utarakan saja!"

Wajah Tao Heng Kan langsung berseri-seri. Padahal sebelumnya wajahnya yang tampan selalu murung. Tetapi begitu terlihat cerah, malah penampilannya semakin gagah. Sungguh tidak mudah menemukan pemuda yang demikian tampan dan enak dipandang. Tanpa dapat ditahan lagi, hati I Giok Hong bergetar.

"Seandainya I kouwnio bisa mengijinkan aku membuka Lie kongcu ini, seumur hidup aku tidak akan melupakan budi kebaikan nona," ujar Tao Heng Kan.

Mendengar ucapannya, I Giok Hong menjadi tertegun. Aku membawa Tao Ling mengikuti tia menuju Si Cuan yang jauh. Tahu-tahu di tengah perjalanan, tia menghentikan kereta kuda dan ber-pesan wanti-wanti agar aku kembali ke Gin Hua kok dan membawa Lie Cun Ju menuju rumah kediaman keluarga Sang di Si Cuan. Tia me-ngatakan kami akan bertemu di sana. Bahkan ketika menyampaikan perintah itu, sikap tia serius sekali. Sedemikian seriusnya sampai aku belum pernah melihatnya. Ini berarti perintahnya itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sean¬dainya aku menemuinya dengan tangan kosong, kemungkinan aku akan mendapatkan hukuman berat, pikirnya dalam hati.

Seandainya permintaan Tao Heng Kan saat ini merupakan hal yang lainnya, mungkin I Giok Hong bisa mengabulkannya mengingat pemuda itu sudah menarik simpatinya. Tetapi justru hal inilah satu-satunya permintaan yang tidak dapat dikahulkan.

Dia termenung beberapa saat. Teringat kembali kata- katanya sendiri yang demikian tegas tadi, dia jadi tidak enak hati. Bibirnya memaksakan seulas senyuman.

"Tao kongcu, urusan ini aku sendiri tidak bisa mengambil keputusannya."

Rona berseri-seri di wajah Tao Heng Kan sirna seketika. "Apakah ayahmu menyuruhmu kembali ke Gin Hua kok

untuk mengambil orang ini?"

I Giok Hong menganggukkan kepalanya, "Dugaanmu memang benar."

Wajah Tao Heng Kan berubah hebat. Kakinya menyurut mundur beberapa langkah.

"I kouwnio, ini ... ini . . ." Sampai cukup lama dia tergagap tanpa dapat meneruskan kata-katanya.

I Giok Hong merenung sejenak.

"Tao kongcu, apakah keadaanmu sama denganku? Yakni menculik orang ini bukan atas kemauan sendiri, melainkan atas desakan orang lain? Dan apabila kau tidak sampai membawa orang ini, kau akan tertimpa musibah besar?"

Wajah Tao Heng Kan pucat pasi. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Karena itu I Giok Hong justru semakin yakin bahwa dugaannya tidak salah.

"Kalau begitu, aku tidak usah menanyakan siapa orang itu. Aku sudah dapat membayangkan bahwa orang itu berilmu tinggi sekali. Biarpun kita bergabung menghadapinya, kita tidak sanggup mengalahkanriya . . ."

Berbicara sampai di situ, wajahnya yang cantik kembali merah padam. "Aku justru mempunyai sebuah jalan yang mungkin bisa menguntungkan kita bersama. Sekarang ini ayah dan adikmu sedang menunggu di Si Cuan. Bagaimana kalau kita bersama- sama menuju tempat itu dulu, setelah bertemu dengan tia dan adikmu, baru kita tentukan kembali langkah berikutnya."

Tao Heng Kan terkejut setengah mati mende-ngar keterangan I Giok Hong.

"Adikku bersama-sama dengan ayahmu sekarang?"

I Giok Hong menganggukkan kepalanya. Baru saja gadis itu ingin menjawab pertanyaan Tao Heng Kan, tiba-tiba di belakangnya terdengar sebuah suara.

Suara itu persis seperti langit akan runtuh atau bumi membelah dalam waktu seketika. Baik Tao Heng Kan maupun I Giok Hong sama-sama terkejut. Serentak mereka menolehkan kepalanya. Tampak dari lembah Gin Hua kok yang terlihat dari kejauhan ada empat orang yang berlari-lari kalang kabut. Gerakan tubuh keempat orang itu cepat sekali. Meskipun jaraknya sangat jauh, dapat dipastikan bahwa mereka adalah Leng Coa sian sing dan tiga iblis dari keluarga Lung.

Lari mereka bukan seperti tiga orang yang bersaudara itu mengejar seorang lawan, atau yang satu mengejar yang tiga. Bahkan tampaknya keem¬pat orang itu seperti melarikan diri secara serabutan seakan ingin menyelamatkan jiwa masing- masing. Dua di antaranya, yakni Lung Sen dan Lung Ping malah tampak bergulingan karena terjatuh-jatuh. Mereka lari kalang kabut, tam¬paknya seperti lupa bagaimana mengerahkan ilmu ginkang yang mereka kuasai.

I Giok Hong yang melihatnya sampai terheran-heran. Gadis itu berpikir dalam hati.

"Keempat orang itu, tokoh-tokoh kelas satu di dunia bu lim. Mengapa tiba-tiba berlari-Iari seperti orang yang ketakutan? Mungkinkah tia sudah kembali ke Gin Hua kok?" Baru saja I Giok Hong ingin menghambur ke depan untuk melihat apa yang sedang terjadi, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang menggelegar. Sumbernya dari lembah Gin Hua kok. Gadis itu segera menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Tampak batu-batu dinding di mulut lembah terpental dan berhamburan sehingga menimbulkan debu-debu yang tebal. Bahkan batu-batu itu melambung tinggi sampai kurang lebih tiga depa. Rasa terkejut I Giok Hong tak terkirakan lagi. Sejak kecil dia dibesarkan dalam lembah Gin Hua kok. Bahkan dinding batu yang berhamburan itu merupakan tempat bermainnya ketika masih anak-anak. Dia mengenal sekali kekokohan dinding batu itu. Tetapi siapa orangnya yang mempunyai kekuatan demikian besar, yang mampu menghantam batu itu sehingga pecan berhamburan?

Karena terkejutnya, langkah kaki I Giok Hong terhenti. Gadis itu tidak melangkah maju lagi. Tampak Leng Coa sian sing dan tiga iblis dari keluarga Lung bergerak semakin cepat ke arahnya. Gerakan keempat orang ini benar-benar menggunakan kecepatan yang semaksimal mungkin. Suara ledakan di belakang semakin bergemuruh sehingga gendang telinga terasa ngilu. Wajah keem¬pat orang itu tampak semakin pucat pasi. Dan saat itu sudah semakin mendekat ke arah I Giok Hong dan Tao Heng Kan. Wajah mereka penuh dengan debu, keringat membasahi seluruh tubuh, dan sikap mereka tampak benar-benar panik. Ketika sampai di depan I Giok Hong dan Tao Heng Kan, mereka sempat berhenti sejenak untuk menolehkan kepala melihat keadaan lembah Gin Hua kok. Kemudian mereka sama-sama mengluarkan suara pekikan histeris lalu meneruskan langkah kaki mereka untuk berlari ke depan.

Hati I Giok Hong dilanda rasa penasaran yang tidak terkirakan. Tanpa menunggu sampai jarak mereka terlalu jauh, dia langsung menghentakkan sepasang kakinya dan melesat melewati keempat orang itu. Dalam sekejap mata dia berhasil melewati atas kepala keempat orang itu dan menghadang di depan mereka. Pecut di tangannya segera diayunkan ke depan agar mereka tidak berani menerjang terus ke depan.

"Apa yang terjadi di dalam lembah?" ben-taknya segera.

Keempat orang itu tidak memberikan jawaban. Gerakan tubuh mereka terhenti.

"Minggir!" bentak Lung Goan Po.

Lung Sen dan Lung Ping segera bergerak ke samping dan terus berlari ke depan. Sedangkan Leng Coa sian sing lebih licik. Dari tadi dia sudah melihat tubuh I Giok Hong yang bergerak ingin menghadang mereka. Baru saja I Giok Hong melayang turun, dia sudah membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu dengan mengambil jalan memutar.

I Giok Hong sadar, bahwa menghadang keem¬pat orang dengan seorang diri itu bukan suatu hal yang mudah. Ternyata ketiga orang lainnya melarikan diri tanpa memperdulikan apa pun. Seandainya menghadapi Lung Goan Po seorang diri, I Giok Hong tentu tidak merasa khawatir.

I Giok Hong langsung mengeluarkan suara ter-tawa yang nyaring. Pecut di tangannya diayunkan untuk mengirimkan sebuah totokan ke bagian dada Lung Goan Po.

"Ketiga orang yang lainnya sudah melarikan diri, kau kira kau dapat lolos begitu saja?" bentak I Giok Hong.

Melihat pecut di tangan I Giok Hong melayang ke arahnya, Lung Goan Po segera membungkukkan tubuhnya dan berguling di atas tanah. Meskipun tubuh Lung berbentuk pendek gemuk, kecepatan gerakannya tidak sembarangan bisa diikuti orang lain. Setelah bergulingan tiga kali, tahu-tahu tubuhnya sudah berada pada jarak sejauh lima depaan.

Pakaian I Giok Hong tampak mengibar-ngibar. Tampaknya dia tidak sudi melepaskan orang itu begitu saja. Pecut di tangannya kembali diayunkan. Terdengar suara Tar! Tar! Tar! Tar! sebanyak empat kali. Semuanya mengarah ke tubuh Lung Goan Po.

Keempat pecut itu bukan main cepatnya, orang lain yang menyaksikan pasti hanya sempat melihat lintasan cahaya perak. Keempat serangannya mengenai tubuh Lung Goan Po. I Giok Hong khawatir tenaganya terlalu kuat sehingga orang itu tidak kuat menahannya. Apabila orang itu sampai mati, berarti gagal keinginan I Giok Hong untuk mengajukan pertanyaan. Karena itu dia segera menyurutkan tenaganya. Tetapi tidak disangka-sangka, kesempatan itu digunakan oleh Lung Goan Po. Iblis itu mengeluarkan suara raungan dan menerjang ke arah I Giok Hong sambil mencengkeram. Rangkuman angin yang kencang menerpa ke arah gadis itu.

I Giok Hong langsung tertegun. Ketika gadis itu memperhatikan keadaan Lung Goan Po. Dia heran melihat pakaian orang itu terkoyak di sana-sini kena lecutan pecut, tetapi kulitnya hanya meninggalkan jalur nierah darah sebanyak em pat tempat. Dia tidak terluka parah hanya kulit tubuhnya yang lecet sedikit.

Saat itu I Giok Hong haru menyadari bahwa nama besar tiga iblis dari keluarga Lung ternyata bukan nama kosong. Mereka masing-masing memiliki ilmu yang tinggi, bahkan menguasai sejenis ilmu yang dapat melindungi luar tuhuh. Mereka benar-benar bukan tokoh sembarangan.

Sikap I Giok Hong tinggi had, seperti ayahnya sendiri.

Tanpa sadar dia berseru memuji.

"Ilmu kebal yang mengagumkan," ucap I Giok Hong.

Tanpa menunggu terjangan Lung Goan Po sam¬pai, tubuhnya segera menggeser ke samping, pecut-nya disentakkan ke depan. Terlihat tali pecut itu melayang, kemudian membentuk lingkaran serta mengincar telapak tangan Lung Goan Po yang sedang mencengkeram ke arahnya. Pecut perak diayunkan dengan menggunakan jurus yang lihai sekali. Ketika I Giok Hong dilarikan, I Ki Hu memberontak terhadap pihak mokau dan membunuh ketua serta beberapa pen-tolannya yang berilmu tinggi. Setelah itu I Giok Hong dibawa serta menetap di lembah Gin Hua kok. Kemudian mereka jarang muncul di dunia kang ouw, karena I Giok Hong masih terlalu kecil. Sedangkan ilmu pecut ini diciptakan oleh I Ki Hu dengan menghabiskan waktu selama belasan tahun. Dalam setiap jurusnya pecut itu dapat membentuk tiga buah lingkaran. Ketika menghadapi Tao Heng Kan di Gin Hua kok, I Giok Hong justru menggunakan ilmu pecutnya yang hebat sehingga tubuh pemuda itu terlilit.

Ketika I Giok Hong mengayunkan pecutnya sehingga melingkar, tampaknya sekejap lagi tangan Lung Goan Po pasti akan terlilit. Tetapi justru sampai pada waktunya, laki-laki bertubuh gemuk pendek itu mencelat ke udara dan tiba-tiba mengirimkan dua buah tendangan. Tangannya yang tadinya bergerak mencengkeram malah ditarik kembali. Sedangkan tubuhnya terlentang ke belakang seperti dalam posisi tertidur di tengah udara.

Manusia bukan burung, tentu saja tidak bisa tidur di awang-awang. Lung Goan Po melakukan gerakan itu juga hanya sekejapan saja. Tetapi kakinya yang tiba-tiba mengirimkan tendangan justru menggunakan jurus yang hebat sekali. Sasarannya jantung I Giok Hong.

Pecut I Giok Hong luput dari sasarannya. Melihat Lung Goan Po menggunakan jurus serangan yang aneh, I Giok Hong menjadi semakin bersemangat. Dia tertawa merdu sambil menghen-tukkan sepasang kakinya. Tubuhnya mencelat ke atas kurang lebih satu depa setengah. Pakaiannya yang putih berkibar-kibar. Bukan main indahnya. Dengan melayang di udara, gadis itu menghentakkan pecutnya sehingga membentuk sebuah lingkaran dan ditujukan ke hagian leher Lung Goan Po.

Kali ini, tubuh Lung Goan Po sedang mencelat di tengah udara. Sudah pasti dia tidak bisa menghindar lagi. Apalagi gerakan pecut I Giok Hong cepatnya bagai kilat. Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari mulut Lung Goan Po. Sepasang tangannya melindungi lehernya dengan panik. Tetapi tetap saja terlambat. Lehernya sudah terjerat oleh pecut I Giok Hong.

Setelah serangannya berhasil, I Giok Hong tetap tidak membiarkan lawannya begitu saja. Dia mengerahkan tenaga dalamnya. Lung Goan Po hampir putus nafasnya. Begitu disentakkan oleh I Giok Hong, tubuh iblis itu langsung melayang di udara dan terlempar sejauh enam-tujuh depa. Dia kelabakan setengah mati. Terdengar suara buk! Tubuhnya pun terhempas di atas tanah.

Pecut di tangan I Giok Hong laksana seekor uiar yang hidup. Lilitannya di leher Lung Goan Po begitu erat. Baru saja tubuh iblis itu menghempas di atas tanah, I Giok Hong sudah menghentakkan pecutnya kembali sehingga sekali lagi tubuh lawan¬nya melayang di udara. Lalu dibanting lagi ke atas tanah. Demikianlah dia melakukannya sebanyak tujuh-delapan kali berturut-turut. Meskipun Lung Goan Po pernah mempelajari ilmu kebal, sehingga dia dapat melindungi bagian luar tubuhnya agar tidak terluka parah. Tetapi berulang kali diangkat kemudian dibanting oleh I Giok Hong, mesti saja dia merasa isi perutnya seperti diaduk-aduk. Apalagi leher merupakan anggota tubuh yang pen-ting. Nafasnya pun menjadi sesak serta matanya berkunang-kunang. Hampir saja dia tidak dapat mempertahankan kesadarannya.

Setelah sembilan kali berturut-turut I Giok Hong mempermainkan Lung Goan Po, ia baru menghentikan gerakan pecutnya. Terdengar nafas Lung Goan Po tersengal- sengal. I Giok Hong me-ngendurkan genggaman tangannya. "Apa yang terjadi di dalam lembah? Cepat katakan!" bentak I Giok Hong.

Dada Lung Goan Po bergerak naik turun. Tubuhnya terkulai di atas tanah. Matanya mendelik ke atas, mana mungkin dia mempunyai tenaga untuk menjawab pertanyaan I Giok Hong.

I Giok Hong tertawa terkekeh-kekeh. Dia melihat Tao Heng Kan masih berdiri dengan termangu-mangu sambil memondong Lie Cun Ju.

"Dasar goblok! Mengapa kau tidak mengguna-kan kesempatan di saat aku bergebrak dengannya untuk melarikan diri?" kata I Giok Hong.

Wajah Tao Heng Kan merah padam. Dia menolehkan kepalanya dan menatap ke arah lem¬bah Gin Hua kok.

I Giok Hong melihat wajah Tao Heng Kan yang tampak menyiratkan ketegangan dan ketakutan. Matanya menatap ke arah Gin Hua kok lekat-Iekat. I Giok Hong merasa heran, dia segera mengikuti pandangan mata pemuda itu. Setelah melihat de¬ngan tegas, dia pun terkejut setengah mati. Ternyata getaran yang terjadi di dinding sekitar Gin Hua kok semakin menjadi-jadi. Bahkan suaranya pun makin menggelegar seakan terjadi gempa bumi yang dahsyat.

I Giok Hong tertegun sesaat.

"Siapa yang menghantam tembok sekitar Gin Hua kok?" tanyanya panik.

I Giok Hong mengayunkan pecutnya sambil berlari ke arah Gin Hua kok. Tetapi dia baru berlari beberapa langkah, tiba- tiba sesosok bayangan berkelebat. Orang itu menghadang di depannya. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata Tao Heng Kan.

Tampak wajahnya menyiratkan kepanikan. "I kouwnio, cepatlah naik ke atas kuda dan tinggalkan tempat ini. Kalau lebih lama sedikit, pasti akan terlambat!"

Mendengar kata-kata Tao Heng Kan yang serius dan menyiratkan ketulusan, I Giok Hong tahu apa yang dikatakan pemuda itu untuk kebaikan dirinya sendiri. Hatinya langsung tergerak. Tapi dia tidak ingin pergi begitu saja.

"Tao Kong Cu, kau tidak perlu mencampuri urusanku!" kata gadis itu.

Lengan bajunya berkibar, dia melesat melewati samping Tao Heng Kan dan berlari menuju lembah Gin Hua kok. Tetapi ketika jaraknya dengan mulut lembah masih sepuluh depaan, tiba-tiba terdengar lagi suara gemuruh tadi. Ketika dia memperhatikan, ternyata sebagian lagi tembok yang me- ngelilingi lembah itu runtuh berserakan.

Di balik kepulan debu yang beterbangan di udara dan sekitarnya, terlihat sesosok bayangan tinggi kurus melesat dengan kecepatan yang sulit diuraikan dengan kata-kata dan menerjang ke arah I Giok Hong.

Melihat tembok yang mengelilingi lembah tern-pat tinggal rubuh tidak karuan, sukma I Giok Hong seakan melayang. Sesaat dia jadi termangu-mangu. Dia hampir tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Di dunia ini mana mungkin ada orang yang bisa berlari secepat itu?

Gerakannya bahkan seperti terbang. Orang itu menerjang ke arahnya.

"Jangan dilawan!" teriak orang itu.

I Giok Hong dalam keadaan panik. Dia tidak mendengarkan teriakan orang itu. Ketika I Giok Hong mengayunkan pecutnya ke depan, kelihatannya pecut di tangannya telak mengenai orang itu. Tetapi kenyataannya justru tubuh orang itu melesat melewatinya. I Giok Hong tertegun. Apakah orang itu hanya sesosok bayangan? Mengapa pecut yang sudah telak mengenai tubuhnya bisa meleset? pikirnya dalam hati.

Tetapi bagaimana pun I Giok Hong adalah putri seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi sekali. Setelah merenungkan sejenak, dia pun tahu sebab musababnya. Ternyata gerakan orang tadilah yang terlalu cepat. Begitu sampai di depannya langsung melesat melewatinya.

Tepat pada detik itu, I Giok Hong menganggap orang itu masih di depan matanya. Tetapi nyatanya hanya bayangan yang masih tertinggal saking cepatnya tubuh orang itu berkelebat. Karena itu pula pecutnya hanya mengenai tempat yang kosong. Bahkan orang itu pun sudah tidak kelihatan lagi. Entah kemana perginya.

Meskipun I Giok Hong sangat cerdas dan dalam sekejap sudah tahu sebab musababnya, tetap saja sudah terlambat. Dia merasa pundaknya mengencang. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya. Ter¬nyata bahunya dicengkeram oleh sebuah tangan yang kurus dan panjang. Bahkan tidak mirip ta¬ngan manusia. Dia pun hanya dapat melihat tangan orang itu tanpa dapat melihat bagian lainnya.

Begitu terasa ada lima jari yang mencengkeram pundaknya, I Giok Hong segera mengedarkan hawa murninya untuk mengadakan perlawanan. Tetapi rasa sakitnya semakin menjadi-jadi, tanpa dapat ditahan lagi wajahnya pucat pasi dan keringat di-ngin bercucuran.

"Suhu, aku . . . sudah berhasil . . . ma . . . ri kita . . . tinggal. . . kan . . . tempat ini!" Terdengar teriakan Tao Heng Kan dengan gugup.

Pikiran I Giok Hong tergerak. Diam-diam dia berkata dalam hati. "Rupanya orang itu suhunya Tao Heng Kan. Tetapi entah siapa? Mengapa dia sanggup meringkus dirinya dengan demikian mudah?"

I Giok Hong berusaha memberontak. Tetapi bukan saja dia tidak sanggup melepaskan diri, bahkan tulang di pundaknya terasa seperti remuk saking sakitnya. Juga seperti meminta lawannya agar memperkeras cengkeramannya. Karena itu dia tidak berani sembarangan bergerak lagi.

Terdengar suara orang itu yang dingin dan menyeramkan. "Di dalam lembah Gin Hua kok ada tiga batang benda

pusaka. Dari mana asalnya?"

Nada suara Tao Heng Kan sendiri terdengar gemetar.

"A ... ku ti. . . dak tahu." Dari nada suaranya saja sudah dapat dipastikan bahwa dia belum pernah berbohong sebelumnya.

Orang itu mengeluarkan suara terkekeh-kekeh yang menggidikkan hati.

"Kemari dan tikam dia sampai mati!"

Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi tubuh I Giok Hong bergetar. Dari pembicaraan yang berlangsung antara Tao Heng Kan dan orang itu, dapat dipastikan bahwa pemuda itu jeri sekali terhadap gurunya. Sekarang orang itu justru menyuruhnya menikam I Giok Hong, kemungkinan dia akan menuruti perkataan gurunya itu.

Sungguh tidak disangka dirinya yang demikian cantik dan berilmu tinggi terpaksa harus menerima kematian di luar lembah Gin Hua kok yang merupakan tempat tinggalnya sendiri.

Setelah menunggu beberapa saat, belum juga terdengar Tao Heng Kan menuruti perkataan gurunya itu. Juga tidak terlihat bayangan pedang yang berkelebat menikam jantungnya. Sesaat kemudian, baru terdengar lagi suara Tao Heng Kan yang gemetar.

"Su . . . hu, a . . . ku ti . . . dak sang . . . gup." Diam-diam hati I Giok Hong merasa girang. Perasaannya menjadi agak lega. Walaupun dia mengerti, Tao Heng Kan mengatakan tidak sanggup membunuhnya, mungkin gurunya akan memaksakannya kembali. Atau kalau dia tetap menolak, gurunya pasti akan turun tangan sendiri. Meskipun akibatnya sama-sama mati, asal bukan Tao Heng Kan yang turun tangan melakukannya. Karena itu, hatinya merasa terhibur mendengar kata-kata pemuda itu. Pada dasarnya antara dia dengan Tao Heng Kan tadinya berhadapan sebagai musuh. Tetapi di saat yang demikian genting, ter-nyata Tao Heng Kan menyatakan tidak sampai hati membunuhnya. Apa maksud hati pemuda itu? Ten-tunya sudah dapat diduga. Justru karena ini pula I Giok Hong merasa terhibur.

Terdengar suara yang menyeramkan itu ber-tanya. "Mengapa kau tidak sanggup melakukannya?" "A ... ku sen

. . . diri ... ti ... dak tahu a... pa sebabnya," jawab Tao Heng Kan.

Orang itu mendengus dingin.

"Jadi semua yang kukatakan sudah kau lupakan?"

Suaranya begitu kaku tanpa kelembutan sedikit pun dan bagi orang yang mendengarnya pasti merasa menggidik dan menusuk gendang telinga. I Giok Hong berada di sampingnya, hatinya merasa tidak enak mendengar suara itu.

"Murid tidak berani melupakan perkataan yang pernah Suhu katakan."

"Kalau kau tidak melupakannya, mengapa kau belum turun tangan juga?" Tao Heng Kan menarik nafas panjang. I Giok Hong merasa bagian bawah ketiaknya agak dingin. Dia segera menundukkan kepalanya. Tampak sebatang pedang telah menekan jalan darah di bagian bawah ketiaknya. Ternyata rasa dingin itu terasa karena pedang itu telah mengoyak pakaian-nya dan ujung pedang telah menyentuh kulit tubuhnya. I Giok Hong menolehkan kepalanya kembali, tepat pada saat itu Tao Heng Kan juga sedang menatap kepadanya. Tampak wajah pemuda itu menyiratkan penderitaan yang tidak terkatakan. Pandangan matanya seperti kosong dan terpaku ke depan. Ketika dia melihat sinar mata I Giok Hong, tanpa dapat mempertahankan diri lagi tubuhnya bergetar. Kakinya menyurut mundur satu langkah.

Kelima jari tangannya mengendur. Pedang yang tadinya menekan di bawah ketiak I Giok Hong segera memperdengarkan suara Trang! dan terlepas jatuh di atas tanah.

Terdengar orang tadi meraung marah. Tiba-tiba tangannya melepas kemudian secepat kilat menotok jalan darah pada pundak I Giok Hong. Setelah itu terdengar suara plak! Plak! sebanyak dua kali. Tidak usah diragukan lagi tentu Tao Heng Kan kena ditempeleng oleh gurunya. Kemudian terdengar lagi dia membentak dengan suara marah.

"Coba ulangi kembali apa yang pernah kuajarkan!" Tao Heng Kan terdiam sejenak.

"Di bawah pedang ada perasaan, apa pun tidak dapat berhasil, apabila pedang tanpa perasaan, persoalan apa pun dapat diselesaikan," kata Tao Heng Kan.

"Kalau kau sudah tahu bahwa pedang yang tanpa perasaan baru bisa menyelesaikan semua persoalan, mengapa kau masih tidak menikamnya? Apakah kau akan membiarkan pedangmu berperasaan?" "Su . . . hu, a ... ku ... a ... ku," kata Tao Heng Kan dengan suara parau.

Tidak menunggu Tao Heng Kan menye¬lesaikan kata- katanya, terdengar orang itu men¬dengus marah.

"Cepat ambil pedang itu, jangan ucapkan kata-kata yang tidak ada gunanya!"

Pada saat itu jalan darah I Giok Hong sudah tertotok. Jelas tubuhnya tidak dapat bergerak. Karena itu dia hanya dapat mendengar pem-bicaraan antara Tao Heng Kan dengan gurunya, tetapi tidak dapat melihat gerak-gerik mereka. Dia tidak tahu apakah Tao Heng Kan menuruti perkataan gurunya mengambil pedang itu. Hatinya terasa berdebar-debar, perasaannya kacau balau. Dia juga merasa bingung karena tidak mengerti makna pembicaraan kedua orang itu.

Justru di saat dia tidak mengerti apa yang akan dialaminya, tiba-tiba dari belakang punggungnya terdengar suara angin berdesir seperti senjata tajam yang digerakkan di udara. Ketika mulai terdengar, suara itu seperti bergerak cepat sekali. Namun sesaat kemudian melemah dan dalam waktu yang bersamaan terdengar suara Tao Heng Kan yang mirip keluhan.

"Suhu, aku benar-benar tidak sanggup," ucap Tao Heng Kan.

"Kau pasti sanggup, bahkan kau tidak akan menikamnya dari belakang. Putarlah ke depannya dan tikam tepat di jantungnya. Inilah yang dinamakan pedang tanpa perasaan."

Baru saja perkataan orang itu selesai, I Giok Hong melihat Tao Heng Kan sudah berjalan dengan terhuyung-huyung ke depannya. Pemuda itu tidak memanggul Lie Cun Ju lagi. Entah kapan dia meletakkan pemuda itu. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang, tetapi pergelangan tangannya justru tampak gemetar terus. Kalau dilihat dari langkah kakinya yang limbung, tam-paknya pemuda itu berjalan ke depannya bukan atas kehendak dirinya sendiri. Tetapi didorong oleh gurunya.

Pada saat ini perasaan I Giok Hong bukan main tegangnya. Dia dapat mendengar bahwa orang itu tidak akan turun tangan sendiri, melainkan dia mengharuskan Tao Heng Kan yang melakukannya. Untuk mengokohkan prinsipnya yang entah 'Pedang tanpa perasaan semuanya dapat diselesaikan' apa tadi. Dengan kata lain, mati hidupnya tergantung pemuda itu sendiri.

Karena itu sepasang mata I Giok Hong yang indah menyorotkan sinar yang mengandung penderitaan menatap Tao Heng Kan lekat-Iekat. Tetapi ketika Tao Heng Kan berjalan ke arahnya, kepala pemuda itu sudah menunduk dalam-dalam. Dia tidak berani memandang sinar mata I Giok Hong.

"Kau masih belum turun tangan juga?" tanya guru itu lagi. Tiba-tiba   Tao   Heng   Kan   mendongakkan   kepalanya.

Penderitaan yang tersirat di wajahnya sudah mencapai titik

puncaknya. Tetapi sekejap kemudian tampak tersirat keriangan di wajahnya, Meskipun kejadiannya hanya sekejap mata, tetapi I Giok Hong yang sejak tadi menatapnya sempat memperhatikan perubahan wajahnya itu.

Belum sempat I Giok Hong mengerti apa arti perubahan wajahnya tadi, tiba-tiba pergelangan tangan Tao Heng Kan bergerak. Sinar tajam berkilauan, ternyata pedang di tangan Tao Heng Kan sudah menusuk ke dalam jantungnya.

I Giok Hong bukan gadis sembarangan. Ilmu silatnya tinggi sekali. Ketika meiihat gerakan pedang Tao Heng Kan, dia segera sadar bahwa pemuda itu sudah mengambil keputusan yang bulat. Dia tidak mungkin menghunjamkan pedangnya setengah jalan atau tidak sampai hati lagi seperti sebelumnya.

Dalam waktu yang demikian singkat, I Giok Hong teringat perasaan hatinya yang berbunga-bunga ketika mendengar Tao Heng Kan mengata-kan tidak sampai hati membunuhnya. saat itu baru menyadari betapa bodohnya dia.

Tao Heng Kan meluncurkan pedang demikian cepat. Belum lagi pikiran I Giok Hong habis, dadanya sudah terasa nyeri. Ternyata pedang itu sudah menghunjam ke dalam. Mata I Giok Hong habis, dadanya sudah terasa nyeri. Ternyata pedang itu sudah menghunjam ke dalam. Mata I Giok Hong menjadi gelap seketika. Dia merasa tubuhnya seperti selembar kertas yang melayang tertiup angin. Telinganya masih sempat mendengar orang itu tertawa dengan terkekeh kemudian berkata, "Mari kita pergi!"

I Giok Hong mendengar desir angin yang semakin lama semakin menjauh. Lalu tidak terde-ngar lagi, karena orangnya sendiri sudah terkulai pingsan di atas tanah.

***

Entah berapa lama sudah berlalu. Lambat laun kesadarannya tergugah kembali. Ketika dia mem-buka matanya, tampak matahari sudah di ufuk barat. Hari sudah menjelang senja. Sebentar lagi malam akan merayap. I Giok Hong membiarkan matanya terpejam beberapa saat.

I Giok Hong membuka matanya kembali dan menatap ke sekelilingnya. Tampak bebatuan dan rerumputan di sekitarnya penuh dengan percikan darahnya. Tapi yang paling banyak nodanya justru pakaiannya yang putih. Bahkan hampir seiuruhnya terpercik darahnya sendiri.

Mendapatkan dirinya masih belum mati, I Giok Hong justru merasa keheranan. la ingin memak-sakan dirinya untuk bangkit dan duduk. Tetapi baru saja bergerak sedikit, telinganya sudah mendengar seseorang berkata, "Sio cia, jangan bergerak!"

I Giok Hong sudah lama tinggal bersama-sama dengan Seebun Jit di dalam lembah Gin Hua kok, tetapi selania itu dia belum pernah menemui sikap seperti sekarang ini. Tampak pinggangnya agak menekuk dan berdiri di samping I Giok Hong. Seandainya tidak ada golok yang dijadikan penyanggah, mungkin orang tua itu sudah terkulai jatuh sejak tadi.

I Giok Hong ingin menggerakkan mulutnya untuk berbicara, tetapi dia tidak mempunyai tenaga sedikit pun.

"Siocia, antara aku dan ayahmu terdapat permusuhan yang dalam. Dan sampai sekarang masih belum terselesaikan. Sekarang aku sedang menderita luka parah. Tetapi tampaknya luka yang kau derita justru lebih parah lagi. Seandainya pedang Tao Heng Kan tadi menusuk lebih dalam satu dua cun saja, tidak usah diragukan siocia sekarang pasti sudah terkapar menjadi mayat. Tetapi aku berniat menolongmu agar bisa hidup terus, asal kau bersedia mengabulkan permintaanku."

Selesai mengucapkan kata-kata itu, suasana jadi hening esaat. I Giok Hong menatap ke atas langit. Tampak beberapa ekor elang sedang beter-bangan mengelilingi tempat itu. Tiba- tiba saja timbul rasa takut dalam hatinya. la takut menerima kenyataan dirinya akan mati. Lagi pula dia tidak rela dirinya yang masih demikian muda mati begitu saja. Dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk bertanya.

"Permintaan ... a ... pa?"

Seebun Jit maju selangkah kemudian menatap I Giok Hong lekat-lekat. I Giok Hong dapat melihat sinar mata Seebun Jit yang mengandung kekalutan hatinya. Seperti ada keinginan mebiarkan I Giok Hong mati cepat-cepat, tetapi juga ada keinginan membiarkan dia hidup terus agar permintaannya dapat terlaksana.

Beberapa saat kemudian, baru terdengar Seebun Jit menarik nafas panjang sambil mendo-ngakkan wajahnya menatap langit.

"Seebun Jit ... Seebun Jit ... Tidak disangka kau akan mengorbankan selembar jiwamu untuk menyelamatkan putri musuhmu sendiri. Tetapi selain ini, apakah masih ada car a lainnya?" tanya I Giok Hong.

I Giok Hong tahu, selania tinggal di dalam lembah Gin Hua kok, Seebun Jit setiap waktu mencari kesempatan untuk melampiaskan keben-cian hatinya kepada ayahnya ataupun dirinya. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, maka dari awal hingga akhir dia tidak pernah melakukan apa-apa. Ayahnya sendiri berkali-kali memperingatkan dirinya agar berhati-hati terhadap Seebun Jit. Ayahnya pernah mengatakan bahwa Seebun Jit adalah tokoh golongan hitam yang dulunya sangat terkenal. Meskipun di luarnya tampak dia patuh sekali kepada mereka ayah dan anak, tetapi sebetul-nya mereka memelihara musuh da lam selimut.

Justru karena ilmu kepandaian Seebun Jit mempunyai keistimewaan tersendiri dan cukup tinggi. Maka I Giok Hong pun tidak segan-segan memanggilnya 'paman'. Tentu saja Seebun Jit tidak akan mengajarkan ilmu kepandaiannya kepada I Giok Hong juga tidak akan belajar darinya. Tetapi terhadap kejadian yang aneh bagaimana pun dalam dunia bu lim, boleh dikatakan bahwa pengetahuan Seebun Jit sangat luas. Dia sering mengungkitnya di hadapan I Giok Hong. Karena itu, kalau ditilik dari luarnya, hubungan mereka baik- baik saja. Meskipun kenyataannya dalam hati masing-masing terdapat ganjalan yang tidak pernah diperlihatkan. Sampai saat ini Seebun Jit baru menyatakan isi hatinya secara terus terang.

I Giok Hong hanya memandang Seebun Jit lekat-lekat. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Sekali lagi Seebun Jit menarik nafas panjang.

"Siocia, aku ingin mengajukan sebuah permin-taan kepadamu. Tetapi apakah kau bersedia melaksanakannya?"

I Giok Hong tidak mengerti urusan apa yang dimaksud oleh Seebun Jit. Untuk sesaat dia tidak tahu harus menjawab apa. Wajah Seebun Jit tiba-tiba saja menjadi garang. Dia membentak dengan suara keras.

"Perempuan she I, apakah selembar nyawa Seebun Jit kurang berharga ditukar dengan sekali anggukan kepalamu?"

"Jit siok, katakan ... lah ... a ... pa ... per . . . minta . . . anmu!" kata I Giok Hong dengan susah payah.

"Seandainya kau bersedia melaksanakan permintaanku, maka aku akan mengoperkan darah yang ada dalam tubuhku ke dalam lukamu. Dengan demikian, bukan saja jiwamu akan tertolong, bah-kan tenaga dalammu akan bertambah. Kau jawab dulu, kau bersedia mengabulkan permintaanku atau tidak?"

Saat itu I Giok Hong merasa tubuhnya sudah terlalu lemah. Dirinya bagai ada di ambang kematian. Asal suara ucapan Seebun agak keras sedikit saja, telinganya terasa mendengung-dengung. Dengan susah payah dia baru berhasil menyimak apa yang dikatakan Seebun Jit.

Sampai Seebun Jit menyelesaikan kata-katanya, I Giok Hong baru menyadari lukanya ternyata demikian parah. Kalau tidak, mana mungkin Seebun Jit sudi mengorbankan dirinya untuk menolong I Giok Hong. Tentu saja dia tidak tahu bahwa watak Seebun Jit sangat keras, pen-diriannya kukuh sekali. Dia Sudan bertekad untuk membalaskan dendam penolongnya yakni tocu Hek cuito yang dibunuh oleh I Ki Hu. Tetapi Seebun Jit juga sadar bahwa ia tidak punya kesempatan lagi.Lukanya terlalu parah.

Seebun Jit mengerti satu hal. Walaupun lukanya dapat disembuhkan, kepandaiannya sudah menyusut terlalu banyak. sekarang saja dia bukan tandingan I Ki Hu. Apalagi setelah lukanya sembuh dan kepandiannya semakin menurun. Karena itulah dia bersedia menolong I Giok Hong agar cita-citanya yang belum tercapai semasa hidup dapat dilaksanakan oleh gadis itu. Juga demi keselamatan Lie Cun Ju. I Giok Hong merenung sejenak. Dia tahu, apabila tidak mengabulkan permintaan Seebun Jit, pasti dirinya akan mati. Permintaan apa pun yang diajukan orang itu, asal bukan mati, dia tidak akan menolaknya. Biarpun permohonan Seebun Jit itu mungkin suatu yang membahayakan jiwanya, se-tidaknya dia juga sudah memperoleh keuntungan.

I Giok Hong menggeretakkan giginya erat-erat. "Baik, Jit ... siok, aku ber ... se ... dia."

Seebun Jit menatapnya lekat-lekat.

"Aku tahu kalian ayah dan anak memang berhati keji dan tidak segan membunuh siapa saja. Tetapi aku juga tahu bahwa kalian mempunyai satu segi kebaikan, yakni selalu memegang janji. Namun, karena hal ini penting sekali bagiku, aku minta kau bersumpah!"

"Ka . . . lau . . . aku sam . . . pai . .. menya . . . lahi... jan .

. . ji, biarlah ... a ... ku mati . . . dengan ... pe ... dang menembus di. .. jan . . . tung."

Tampaknya Seebun Jit puas terhadap sumpah yang diucapkan gadis itu.

"Baik, dengarkan baik-baik permintaanku! Aku ingin kau mencari Lie Cun Ju sampai ketemu dan sampaikan padanya agar jangan melupakan apa yang pernah kukatakan kepadanya. Ilmu kepandaiannya tidak seberapa, kau juga hams melindunginya apabila dia sampai berhadapan de¬ngan musuh. Tidak perduli siapa pun musuhnya, pokoknya kau harus membantunya sekuat tenaga!"

I Giok Hong mendengarkan permintaan Seebun Jit dengan seksama. Setelah selesai, ia merasa per¬mintaan orang itu tidak terlalu sulit. Dengan kekuatan ayahnya dan dia sendiri, apahiia ingin melindungi seseorang yang tidak memiliki ilmu sama sekali pun, juga bukan ha! yang sulit. Dia tidak perlu turun tangan sendiri. Dengan lencana Gin leng hiat ciang, dia bisa memerintahkan tokoh mana pun untuk melakokan tugas itu.

"Apa masih ada yang Iain?" tanya I Giok Hong.

"Siocia, kau jangan menganggap permintaan ini terlalu ringan!"

"A . . . ku tahu!" sahut I Giok Hong.

Seebun Jit menarik nafas panjang. Kemudian dia mengangkat goloknya yang tadi dijadikan tongkat penyanggah tubuhnya.

"Siocia, aku mempunyai dua macam hadiah yang akan kuberikan kepadamu. Pertama, golok lemas ini. Yang satu lagi tempat tidur pusaka yang dinamakan Ban nian si ping. Kau harus merebahkan diri di atasnya selama satu kentungan. Tidak boleh sembarangan bergerak, satu kentungan ke¬mudian, kau boleh bangun. Tetapi satu kentungan lagi, kau harus kembali merebahkan diri di atasnya dan kali ini tidak boleh bergerak sefama tujuh hari tujuh malam. Di bagian atas tempat tidur itu aku meninggaikan sebuah kitab kecil yang berisi tujuh belas jurus terampuh yang pernah kupelajari. Senjatamu sendiri seutas pecut, tentu ilmu yang kau miliki jauh lebih hebat. Tetapi tujuh belas jurus yang kutulis itu merupakan kombinasi antara pecut dengan golok lemas ini, kau belum pernah mem-pelajarinya."

I Giok Hong mengunggukkan kepalanya. Tiba-tiba Seebun Jit mengangkat goloknya ke atas kemudian memotong urat nadi pergeiangan tangannya sendiri. Darah langsung mengucur dengan deras. Seebun Jit cepat-cepat membungkukkan tubuhnya lulu menempelkan pergeiangan tangan yang disayatnya tadi ke luka di dada I Giok Hong. Seebun Jit menekannya kuat-kuat. I Giok Hong merasa ds dalam tubuhnya ada darah hangat yang mengalir. Tidak lama kemudian, keadaannya sudah seperti sebelumnya. Matanya terasa ingin dipejamkan agar dapat tertidur dengan pulas. Seehun Jit sendiri sudah Terkulai di samping tubuh I Giok Hong. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sudah dingin dan kaku. Ternyata Seebun Jit sudah mati kehabisan darah.

Udara lambat laun meajadi gelap. I Giok Hong tahu dirinya telah tertolong. Dia membiarkan tubuhnya oerbanng di atas tanah. Tanpa bergerak sedikit pun dia melewati .sepanjang malam.

Pada hari kedua, I Giok Hong merasa hawa murni di dalam tubuhnya sudah dapat diedarkan dengan lancar. Dia bangun dan beriatih ilmu. Sampai menjelang sore harinya, I Giok Hong baru menghentikan gerakannya. Cepat-cepat dia memanggul jenasah Seebun jit kemudian mencelat ke atas kudanya. Tidak lupa dia mengambil golok lemas yang dihadiahkan orang tua itu. Kemudian melesat ke arah lembah Gin Hua kok.

Sesampainya di dalam lembah Gin Hua kok, mata I Giok Hong membelalak. Hatinya terkejut bukan kepalang. Keadaan di dalam lembah itu kacau balau, seperti baru terjadi peperangan dahsyat dan beribu-ribu tentara dan kuda yang mengacak-acak tempat itu.

Tanaman dan rerumputan rusak tidak karuan. Tidak terlihat keindahan yang memukau seperti sebelumnya. I Giok Hong termangu-mangu. Dia tahu semua ini merupakan hasil perbuatan guru Tao Heng Kan. Tetapi sampai sekarang dia masih belum tahu siapa orang itu sebenarnya.

I Giok Hong memanggul jenasah Seebun Jit ke ruangan batu tempat tinggal orang itu semasa hidupnya. Kemudian dia menggali tanah di sana dan menguburkannya asal-asalan. Setelah itu dia berdiam diri beberapa saat. Hatinya sedang mempertimbangkan apakah dia harus menuruti perkataan Seebun Jit agar merebahkan dirinya di atas tempat tidur Ban nian si ping selama tujuh hari tujuh malam? Seandainya dia menuruti kata-kata orang tua itu, bukankah dia bisa mati kesal terkurung di dalam ruangan batu itu selama tujuh hari? Dengan membawa pikiran itu, akhirnya dia hanya mengambil kitab kecil peninggalan Seebun Jit. Matanya melirik sekilas ke arah tempat tidur Ban nian si ping itu. Setelah itu dia keluar dari ruangan batu tersebut dan mencelat ke atas kuda putihnya serta meninggalkan Gin Hua kok.

I Giok Hong tidak ingin merebahkan dirinya di atas tempat tidur Ban nian si ping selama tujuh hari tujuh malam. Bahkan dia meninggalkan Gin Hua kok dengan tergesa-gesa. Tujuannya ingin bertemu dengan I Ki Hu secepatnya agar dapat menceritakan peristiwa yang terjadi di dalam Gin Hua kok kepada ayahnya.

Karena itu pula, begitu meninggalkan lembah Gin Hua kok, dia langsung memacu kudanya menuju wilayah Si Coan. Ketika itu, ia dan ayahnya membawa Tao Ling meninggalkan Gin Hua kok. Baru menempuh perjalanan sejauh seratus li lebih, tiba-tiba ayahnya menyuruh ia pulang ke lembah dan mengajak Lie Cun Ju menemuinya.

Saat itu, I Ki Hu juga mengatakan bahwa dia akan menempuh perjalanan dengan lambat dan menunggu I Giok Hong datang dengan membawa Lie Cun Ju. I Giok Hong menyadari bahwa keper-giannya sudah memakan waktu sehari lebih. Tetapi ayahnya tidak balik ke lembah Gin Hua kok untuk menengok keadaannya. Hatinya menjadi bingung.

Namun gadis itu selalu beranggapan bahwa ilmu kepandaian ayahnya demikian tinggi. Mana mungkin terjadi apa~apa pada dirinya. Mungkin orang tua itu sudah tidak sabar menunggunya sehingga berangkat terlehih dahulu menuju Si Cuan.

Karena itu dia melarikan tunggangannya secepat kilat, siang malam tanpa istirahat sedikit pun. Kira-kira tengah malam, remhulan bersinar dengan terang, tiba-tiba di kejauhan terlihat  sebuah kereta  berwarna putih  keperakan berhenti di tengah padang rumput.

Hati I Giok Hong melonjak kegirangan. Baru saja ia ingin membuka mulut memanggil ayahnya, tiba-tiba dia melihat ada sisatu benda yang aneh di samping kereta kudanya.

Setelah memperhatikan dengan seksama, hati I Giok Hong jadi tertegun Ternyata benda itu adalah sebuah pedupaan tempat menancapkan hio. Di atasnya memang tertancap beberapa batang sarana sembahyangan itu. Diam-diam I Giok Hong berpikir, aneh sekali! Mungkinkah tia mengadakan upacara sembahyang" pengangkatan saudara dengan seseorang di sini? Cepat-repat dia melajukan kudanya untuk maju beherapa depa. Ternyata dia melihat lagi sebuah batu. besar di samping wadah pedupaan itu. Sedangkan di atas batu itu lerukir tulisan 'hi' yang artinya hahagia.

Hampir saja ! Giok Hong tertawa geli melihatnya. Kalau hanya sebuah tempat pedupaan saja, dia masih merenungkan adanya kemungkinan ayahnya menjalankan upacara sembahyangan mengangkat saudara dengan seseorang. Tetapi de¬ngan adanya tulisan 'hi' yang terukir di atas batu, berarti ada sepasang kekasih yang menjalankan upacara perkawinan dengan menyembah langit dan bumi. Tentu saja tidak mungkin ayahnya yang menikah.

Saat ini hati I Giok Hong benar-benar dilanda kebingungan. Dia segera menghentakkan sepasang kakinya dan melesat ke depan.

"Tia, aku sudah kembali!"

Tampak tirai penutup kereta kuda tersingkap, Gin leng hiat ciang I Ki Hu yang namanya menggetarkan dunia persilatan turun dari kereta itu. Setelah melihat I Giok Hong orang tua itu menarik nafas panjang.

"Aih! Kenapa hanya kau seorang?" tanya I Ki Hu. "Tia, di dalam lembah Gin Hua kok telah ter¬jadi sesuatu yang penting . . . ketika aku sampai…”

I Giok Hong tergesa-gesa ingin menceritakan apa yang terjadi di dalam lembah Gin Hua kok, tetapi I Ki Hu tidak memberinya kesempatan.

"Giok Hong, tia di sini juga ada urusan yang penting. Untuk sementara tunda dulu ceritamu mengenai Gin Hua kok!" tukas I Ki Hu.

I Giok Hong jadi bingung.

"Tia, kau ada urusan penting apa di sini? Apakah kau sudah tahu apa yang terjadi dalam lembah Gin Hua kok?" tanya I Giok Hong.

I Ki Hu tertawa lebar.

"Urusan yang terjadi pada jarak seratus li lebih, mana mungkin aku bisa mengetahuinya? Giok Hong, tia sudah menduda sejak lama. Sekarang baru timbul ketnginan untuk beristri lagi. Mengapa kau masih belum mengucapkan seLamat kepada ayahmu ini?"

Tubuh I Giok Hong langsung bergetar. Hampir saja dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Tia ... a ... pa yang kau ka . . . takan?" tanya I Giok Hong.

Di dalam lembah Gin Hua kok, sejak kecil I Giok Hong hidup bersama ayahnya. Dia belum pernah mendengar ayahnya mengatakan akan menikah atau mengambil istri lagi. Ketika ia melihat tulisan di atas batu besar tadi, I Giok Hong hampir saja tertawa geli dan merasa yakin bukan ayahnya yang sedang menjalankan upacara pernikahan.

Tetapi, sesuatu yang dianggap paling mustahil toh akhirnya menjadi kenyataan.

"Aku sudah menjalankan upacara pernikahan di tempat ini.

Cepat kau temui ibumu yang baru!" ucap I Ki Hu.

Mendengar kata-kata ayahnya yang bersungguh-sungguh dan mimik wajahnya yang serius, I Giok Hong sadar apa yang didengarnya memang kenyataan. Bukan I Ki Hu yang sedang bergurau dengannya. Ia menolehkan kepala kembali melihat tulisan di atas batu tadi. Kali ini dia baru memperhatikan bahwa tulisan itu demikian rapi dan tidak ada bekas pahatan sedikit pun. Hal ini membuktikan bahwa ayahnya membuat tulisan itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke ujung jari dan menekannya di atas batu itu.

Untuk sesaat, kekalutan dalam hati I Giok Hong langsung mencapai puncaknya. Sejak kecil dia hidup berdampingan dengan ayahnya. Mereka saling memperhatikan dan saling mencintai. Selama itu pula tidak ada seorang ibu pun yang menemani mereka.

Di dalam hati I Giok Hong, dia merasa hanya mempunyai seorang ayah. Tidak mempunyai ibu. Walaupun kadang- kadang dia suka menanyakan prihal ibunya kepada ayahnya, tetapi I Ki Hu tidak pernah menjawabnya

Dan sekarang, tiba-tiba ada seorang perempuan asing yang menjadi ibunya. Bahkan ia harus memanggil 'mama' pada perempuan asing itu. Bagi I Giok Hong, hal ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Karena itu pula, dia terdiam untuk beberapa saat.

"Tia, aku tidak sudi menemuinya." Akhirnya I Giok Hong menjawab dengan tegas.

Wajah I Ki Hu langsung berubah angker dan berwibawa. "Giok Hong, kau tidak senang dengan tindakan ayahmu

ini?" bentaknya garang.

"Anak tidak berani," jawab gadis itu. "Kalau begitu, cepat temui ibumu!" Tangan I Ki Hu terulur dan pergelangan tangan I Giok Hong telah tercengkeram olehnya. Dia menyeret anak gadis itu ke arah pintu kereta. Bellim lagi sampai, lengan bajunya sudah dikibas-kan, tirai penyekat kereta itu pun tersingkap.

Hati I Giok Hong tercekat seketika. Di samping itu, dia meragukan pandangan matanya sendiri. Siapa yang menjadi istri I Ki Hu? I Giok Hong memandang dengan mata terbelalak. Tanpa sadar tangannya menuding ke da lam kereta.

"Kau . . . rupanya engkau orangnya."

Rupanya di dalam kereta duduk seorang gadis yang usianya hampir sebaya dengan I Giok Hong. Gadis ini tidak asing baginya. Karena dia adalah putri Pat Sian kiam Tao Cu Hun suami istri, yakni Tao Ling.

Meskipun I Giok Hong adalah seorang gadis yang sangat cerdas. Tetapi dia sama sekali tidak membayangkan ayahnya akan memilih seorang istri yang patut menjadi putrinya. Lebih- lebih tidak membayangkan bahwa gadis itu adalah Tao Ling.

Untuk sesaat I Giok Hong tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tetapi ada satu hal yang diyakininya. Biar bagaimana pun dia tidak sudi mengakui Tao Ling sebagai pengganti ibunya.

Mata I Giok Hong menatap Tao Ling lekat-lekat. Wajah gadis itu tampak menyiratkan perasaan yang aneh. Pandangan matanya kosong. Seakan tidak memperdulikan peristiwa apa pun yang terjadi di hadapannya. Urusan sehebat apa pun tidak akan mempengaruhinya. I Giok Hong menatapnya sejenak, kemudian tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya dan bermaksud melesat pergi.

"Berhenti!" bentak I Ki Hu. I Giok Hong tidak berani membangkang. Tetapi meskipun langkah kakinya terhenti, ia tidak membalikkan tubuhnya sama sekali. Ia berdiri membelakangi I Ki Hu dan Tao Ling.

Wajah I Ki Hu berubah tidak enak dilihat.

"Giok Hong, mengapa kau masih belum menyembah?" kata I Ki Hu dengan nada dingin.

I Giok Hong tetap berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Hawa amarah dalam dada I Ki Hu langsung meluap.

"Giok Hong, rupanya di dalam pandangan matamu sudah tidak ada ayahmu lagi?"

"Tentu saja dalam pandanganku, ayahku masih ada. Tetapi apabila menyuruh aku sembarangan menyembah seseorang dan memanggilnya 'ibu', aku tidak dapat melakukannya," sahut I Giok Hong tegas.

Selama hidupnya, baru kali ini I Giok Hong bersikap demikian keras kepala di hadapan ayahnya. Di satu pihak, emosi dalam hatinya seakan membara, tetapi di pihak yang lain, dia juga merasa takut. Karena dia paham sekali watak ayahnya. Apabila laki-laki itu sudah membenci seseorang, biarpun putrinya sendiri, ia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas.

Ternyata memang benar. Baru saja ucapannya selesai, terasa ada angin yang menyambar dari belakangnya. I Giok Hong sadar, seandainya gerakan ayahnya yang menimbulkan sambaran angin itu, meskipun dia menghindar juga tidak ada gunanya. Karena itu, dia diam saja tanpa bergerak sedikit pun.

Pundak I Giok Hong terasa memberat, tangan I Ki Hu telah menekannya. Dengan keras I Ki Hu membalikkan tubuh putrinya. Setelah itu tenaga dalamnya dikerahkan ke arah telapak tangan.

"Berlutut!" bentaknya keras. Telapak tangannya menekan di pundak I Giok Hong, begitu tenaganya dikerahkan. Gadis itu merasa seakan ada benda yang beratnya ribuan kati menindih pundaknya. Sepasang lututnya jadi lemas, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

Tetapi watak I Giok Hong sangat keras. Saat itu juga, dalam hati dia berseru.

"Tidak! Aku tidak boleh berlutut!" Dengan panik dia menghimpun hawa murninya dan menyentakkannya ke atas. Tetapi, mana mungkin tenaga dalamnya dapat menyaingi I Ki Hu?"

Sesaat kemudian terdengar suara Krek! Krek! Rasa nyeri menyerang kedua pergelangan kakinya sampai-sampai dia hampir tidak dapat mempertahankan diri. Matanya berkunang- kunang, kemudian bluk! Tentu karena dia mengerahkan tenaganya untuk mengadakan perlawanan, maka tulang kecil di pergelangan kakinya langsung patah seketika.

Begitu sakitnya sampai seluruh tubuh, I Giok Hong gemetar. Keringat dingin menetes membasahi keningnya. Tetapi dalam hati dia merasa senang, karena dari awal hingga akhir ia tetap tidak menyembah Tao Ling.

I Ki Hu melihat putrinya rela membiarkan tulang kakinya patah tetapi tetap tidak bersedia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tao Ling. Tidak timbul perasaan iba sedikit pun di hatinya, bahkan dia semakin marah. Mulutnya mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan terdengar menyeramkan.

"Giok Hong, nyalimu sungguh besar. Rupanya kau sudah berani melawan aku?" tanya I Ki Hu.

I Giok Hong menenangkan perasaanya. Dia juga mengeluarkan suara tertawa yang dingin.

"Tia, kau yang memaksa anak melakukannya. Jangan menyalahkan aku!" I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.

"Aku tidak mempunyai anak seperti kau!" Tangannya segera melayang dan menampar wajah I Giok Hong.

I Giok Hong sungguh bermimpi pun tidak pernah membayangkan ayahnya akan memutuskan hubungan dengannya. Pipinya terasa perih. Namun dalam sekejap mata I Ki Hu sudah mengangkat tangannya kembali. Tetapi kali ini dia hanya menekan pundak I Giok Hong. Gadis itu segera menahan kedua tangannya di atas tanah. Pokoknya, bagaimana pun dia tidak sudi menjatuhkan diri berlutut.

Tenaga dalam I Ki Hu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Bahkan orang yang dapat menandinginya di dunia kang ouw, mungkin dapat terhitung dengan jari. Tadinya I Giok Hong bermaksud menopang tangannya di atas tanah dan mencelat ke belakang. Tetapi tekanan di pun-daknya demikian kuat. Bukan saja tubuhnya tidak dapat terangkat, bahkan tulang kedua lengannya pun hampir patah seperti tulang di pergelangan kakinya.

Tanpa dapat menahan diri lagi, tubuhnya terkulai di atas tanah. Dan tiba-tiba pinggangnya seperti terantuk sebuah benda yang keras. Suatu ingatan melintas di benaknya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar