Peninggalan Pusaka Keramat Jilid 04

Jilid 04

"Terima kasih atas petunjukmu, tapi tadi kau mengatakan biar hagaimana kalian toh akan mati, apa maksudmu?"

"Lie kouwnio, biar kami katakan juga percuma . . ." Berkata sampai di sini, tiba-tiba seperti ada sesuatu yanjn teringat olehnya. "Lie kouwnio, ada sedikit urusan yang ingin kami minta bantuanmu, apakah kau tidak keberatan?"

Tao Ling sendiri seorang gadis yang berjiwa pendekar dan herhudi luhur, seperti ayahnya. Dia segera menganggukkan kepalanya.

"Harap Ciang cianpwe katakan saja!" jawab Tao Ling. "Apabila pemilik rumah ular sakti bersedia mengobatimu,

tolong kau sampaikan kepadanya bahwa sepasang elang dari Hian Tiong mengirim salam. Juga katakan kepadanya bahwa kami saat ini dikejar oleh kereta putih itu. Keadaan kami sangat gawat. Harap dia mengingat hubungan lama dan datang secepatnva memberikan pertolongan!" ujar si Elang Besi Ciang Pek Hu.

Tao Ling mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Ciang Pek Hu menyelesaikan kata-katanya. Diam-diam hatinya menjadi bingung.

Ciang Pek Hu mengatakan bahwa mereka dikejar oleh kereta putih itu dan keadaannya gawat sekali sehingga meminta pertolongan dari pemilik rumah ular sakti. Tetapi kenyataannya kereta itu sudah lewat tiga hari yang lalu dan jauhnya dari tempat ini mungkin ada lima ratus li. Apalagi tadi mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengejar kereta itu!

Tampaknya Ciang Pek Hu dapat melihat kebimbangan hati Tao Ling.

"Lie kouwnio, usiamu masih muda sekali. Di dalam dunia kang ouw bariyak peristiwa aneh yang tidak dapat kau pahami. Asal kau sampaikan perkataan kami tadi kepada orang yang itu, kami sudah terima kasih!" ucap Ciang Pek Hu sambil lertawa getir.

"Baik." Tao Ling menganggukkan kepala. Tao Ling tahu bahwa kedua orang ini berjiwa pendekar. Kata-katanya tadi pasti mempunyai alasan tersendiri.

Ciang Pek Hu menarik tali kendali kudanya. Kedua ekor kuda pilihan itu pun melesat pergi bagai terbang. Dalam sekejap mata tinggal dua titik bitam tampak di kejauhan,

Tao Ling berdiri termangu-mangu beberapa saat. Gadis itu ingat ucapan Ciang Pek Hu yang mengatakan dirinya terkena racun yang aneh, mungkin ada hubungannya dengan ular kecil yang digigitnya. Tetapi kalau dia pergi menemui pemilik rumah ular sakti, tentu dia tidak hisa mencari Lie Cun Ju lagi.

Tao Ling teringat ucapan si gadis cantik pemilik kereta perak. Gadis itu melemparkan Lie Cun Ju ke tepi jalan sudah helasan hari yang lain. Apabila benar, kemungkinan Lie Cun Ju saat ini sudah mati. Hatinya menjadi bimbang untuk memutuskan apa yang harus diperbuatnya.

Tiba-tiba di kejauhan berkumandang suara batuk kecil. Tao Ling menolehkan kepalanya. Dia melihat di kejauhan ada sesosok bayangan. Bentuk sosok gemuk membengkak, dengan bertumpu pada sebatang bamhu dan menghampiri ke arahnya dengan lambat. Ketika Tao Ling melihat orang ilu masih berada di kejauhan, hatinya sudah terkesiap. Karena barusan dia mendengar suara batuk kecil seperti jaraknya tidak seberapa jauh. Sedangkan di tempat yang demikian terpenci! tidak mungkin ada orang tua yang datang, orang itu pasti seorang tokoh bu lim yang sakti!

Ketika pikiran Tao Ling masih melayang-layang, jarak orang itu sudah semakin dekat. Tampak tubuhnya seperti limbung, dengan sebatang bambu sebagai penumpu. Jalannya lambat sekali. Tetapi kenyataannya bahkan cepatnya tidak terkirakan. Karena dalam sekejap mata, orang itu sudah tidak jauh darinya. Sekali lagi Tao Ling terperanjat, karena orang yang ketika dilihatnya dari kejauhan itu tampak gemuk membengkak.

Akan tetapi setelah dekat ternyata dia sedang memanggul orang.

Dua orang yang merapat menjadi satu. Dari jauh bentuknya seperti bagian atas tubuh orang itu membengkak. Pantas kalau pertama-tama Tao Ling terkejut, karena dia melihat bentuk tubuh orang itu yang aneh dan cara jalannya yang seperti merayap tetapi kenyataannya cepat bukan main!

Sedangkan orang yang dipanggulnya, kepalanya tertunduk dan wajahnya tidak dapat ter-lihat jelas. Tetapi bentuk tubuh dan pakaiannya tidak akan dilupakan oleh Tao Ling. Dialah Lie Cun Ju yang dirindukannya selama hampir satu bulan.

Orang tua itu masih melangkah menghampiri dengan bantuan batang bambu di tangannya. Dia seakan tidak melihat keberadaan Tao Ling. Dilewatinya gadis itu tanpa melirik sedikit pun.

Tao Ling termangu-mangu melihat Lie Cun Ju yang dipanggul orang tua itu. Justru di saat yang beberapa detik itu, tahu-tahu si orang tua sudah melangkah sejauh tiga- empat depa. "Lie toako, lo pek, tunggu dulu!" Tao Ling memanggil dengan panik.

Orang tua itu seakan tidak mendengar panggilan Tao Ling.

Dia terus melangkahkan kakinya.

Malah jarak mereka semakin lama semakin jauh. Tidak lama kemudian, yang tampak hanya bayangan punggungnya. Pakaiannya melambai-lambai, rasanya sulit menyusul kedua orang itu.

Tapi, mana mungkin Tao Ling menyudahinya begitu saja? Biarpun orang tua itu sudah jauh sekali, dia tetap mengerahkan segenap kemampuannya mengejar ke depan. Kurang lebih setengah kentungan kemudian, tiba-tiba dia melihat sebuah sungai kecil. Jernihnya bukan main. Bahkan batu-batu kerikil yang ada di dalam air bisa dihitung karena terlihat jelas sampai ke dasarnya. Di seberang sungai ada beberapa batang pohon Liu yang sudah tua. Pemandangan di tempat itu hampir mirip dengan daerah Kang Lam. Tiba-tiba hati Tao Ling tergerak. Dia ingat kata-kata yang diucapkan Ciang Pek Hu. Dia mempunyai dugaan bahwa tempat ini mungkin kediaman Tuan Ular Sakti. Mungkinkah orang tua yang bertemu dengannya tadi Tuan Ular Sakti?

Setelah merenung sejenak, sepasang kakinya langsung menghentak dan meloncat ke seberang sungai. Dia mendarat turun di depan pepohonan Liu tadi. Dia melihat di batang pohon Liu yang terbesar terukir tiga huruf, 'Leng Coa ki' (Rumah kediaman Ular Sakti). Mungkin ketika mengukir tulisan itu, pohon tersebut belum sebesar sekarang, karena itu bentuk tulisannya jadi melebar tidak teratur. Tapi untungnya masih bisa terbaca.

Dugaan Tao Ling tidak salah, apalagi di samping beberapa pohon itu ada beberapa pondok. Baru saja kakinya berjalan setengah tindak, sekonyong-konyong dia menyurutkan langkahnya kembali. Ternyata ketika dia mendongakkan kepalanya, di atas pohon terdapat kira-kira delapan ekor ular yang besarnya selengan manusia dewasa dan panjang kurang lebih satu depaan. Ular-ular itu sedang merayap turun dan menghadang jalan-nya. Warna ular itu sama seperti warna daun pohonnya sehingga bila tidak diperhatikan dengan seksama, pasti tidak terlihat.

Diam-diam Tao Ling berpikir dalam hati.

Ketujuh-delapan ekor ular itu pasti berbisa sekali. Biarpun ular biasa saja sudah tidak mudah dihadapi, apalagi ular berbisa. Apalagi kedatanganku kemari, ada sedikit permohonan kepada pemilik rumah. Kediamannya itu dinamakan Leng Coa ki (Rumah kediaman Ular Sakti), dengan demikian kemungkinan ular-ular ini adalah peliharaannya. Seandainya aku sampai melukai ular peliharaannya, bukankah mencari masalah baru dengan pemilik rumah itu?

Dengan dasar pikiran demikian, Tao Ling segera menyurutkan langkahnya mundur beberapa tindak, kemudian berseru dengan lantang.

"Boanpwe Tao Ling, ada urusan penting ingin menemui cu jin, mohon kesediaan cu jin mengijinkan boanpwe masuk ke dalam!"

Baru saja ucapannya selesai, segera terdengar sahutan dari inulut seorang kakek tua.

"Biar urusan yang bagaimana pentingnya, tetap harus menunggu beberapa saat!"

Ternyata orang yang tinggal di pondok ini bukan orang yang menyepikan diri dan tidak bersedia bertemu dengan orang luar. Buktinya sekali mengajukan permohonan, langsung mendapat jawaban darinya. Suaranya terdengar sudah tua sekali. Mungkin memang orang tua yang ditemuinya di perjalanan tadi. Dia menyuruh tamunya menunggu beberapa saat. Ton Tao Ling tidak ada urusan iainnya apa salahnya menunggu beberapa saat? Dengan menyilangkan tangannya di depan dada, Tao Ling berjalan mondar mandir di sekitar pepohonan itu. Saat itu dia baru memperhatikan bahwa di ranting-ranting pohon itu terdapat ular-ular kecil yang berbisa dan jumlahnya harnpir tidak terhitung.

Melihat ular-ular kecil itu, hati Tao Ling agak takut. Dia terus mengundurkan diri sehingga tidak terasa sudah sampai di tepian sungai. Saat itu dia baru bercermin pada permukaan air sungai yang jernih. Saking terkejutnya dia sampai menyurut mundur beberapa langkah.

Hampir saja dia tidak mempercayai pandangan matanya sendiri. Setelah menenangkan hatinya, dia baru melangkah mendekati tepian sungai kembali. Sekali lagi dia berkaca di permukaan sungai. Ternyata apa yang dilihatnya tidak berubah. Entah sejak kapan, di bagian lehernya penuh dengan bercak-bercak merah yang besar kecilnya tidak sama. Bentuknya seperti bunga Tho.

Bahkan di wajahnya juga sudah terlihat beberapa bercak yang sama. Padahal Tao Ling seorang gadis yang cantik. Kulitnya putih bersih. Tetapi dengan adanya bercak-bercak merah, wajahnya menjadi lain bahkan membawa kesan agak mengerikan.

Saat itu juga, Tao Ling baru sadar mengapa sepasang Elang dari Hian Tiong terkejut sekali ketika pertama kali melihatnya. Rupanya wajahnya penuh dengan bercak-bercak merah itu. Mungkin mereka menyangka telah bertemu dengan makhluk aneh. Hal ini tidak mengherankan, sedangkan Tao Ling sendiri saja sempat terkejut setengah mati ketika pertama bercermin di permukaan air sungai itu.

Di samping itu, Tao Ling juga bingung, dari mana datangnya bercak-bercak merah itu? Sampai sekian lama dia berdiri dengan termangu-mangu. Matanya memandangi permukaan air sungai. "Siapa yang mencari aku?" Tao Ling mendengar suara.

Tao Ling terkejut setengah mati, dia langsung menolehkan kepalanya. Orang yang berdiri di bawah pohon Liu yang besar itu ternyata memang kakek yang dilihatnya memanggul Lie Cun Ju tadi. Dia mengenakan pakaian berwarna abu-abu, tubuhnya kurus seperti lidi. Tangannya masih menggenggam batang bambu. Kakek itu mengenakan jubah besar. Dilihat dari jauh seperti sehelai jubah yang digantungkan di bawah pohon.

Tao Ling segera maju ke depan dan menjura dalam-dalam. "Boanpwe Tao Ling menghadap locianpwe!"

"Tidak usah banyak peradatan. Apakah kedatanganmu ini ingin memohon aku menawarkan racun yang mengendap dalam tubuhmu?" tanya orang tua itu sambil mengangkat batang bambunya dan menahan gerakan tubuh Tao Ling.

"Pasti aku terkena sejenis racun yang aneh makanya timbul bercak-bercak merah di seluruh wajah dan leher.Tapi aku tidak merasakan apa-apa, hanya sedikit gatal di bagian leher. Lebih penting menanyakan keadaan Lie toako," ujar Tao Ling dalam hati.

"Locianpwe, orang . . . yang kau panggul tadi . . . adalah sahabat baik boanpwe. Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya gadis itu.

"Hm! Delapan bagian hampir mati," dengus orang berjubah abu-abu itu.

"Locianpwe, apakah masih ada harapan untuk menolongnya?" Tao Ling bertanya dengan panik.

"Kalau sudah sampai di Leng Coa ki» otomatis akan tertolong!"

Hati Tao Ling menjadi lega mendengar jawaban orang tua itu. Hitung-hitung rejekinya dan Lie Cun Ju cukup besar. Setelah melalui beberapa kali cobaan, ternyata masih bisa meloloskan diri dari kematian. Justru ketika hatinya masih merasa senang, dia mendengar orang tua itu berkata lagi.

"Tetapi kau sendiri, aku tidak berjanji bisa menyembuhkannya!"

"Apakah racun yang mengendap dalam tubuhku demikian hebat?" Tao Ling bertanya dengan hati terkesiap.

"Apakah ular yang menggigitmu itu warnanya belang- belang merah putih dan bagian ekornya terdapat sepasang keliningan serta besarnya setelunjuk tangan? Ular itu bernama Tho hua mia (Nasib bunga Tho), setelah digigit olehnya, di seluruh wajah timbul bercak-bercak merah, lalu tidak bisa tertolong lagi!"

"Locianpwe, ular itu tidak menggigit boanpwe, tapi boanpwe yang menggigitnya," jawab Tao Ling dengan tertawa getir.

"Omong kosong!" Orang (ua itu terkejut hukan main. "Mana mungkin hoanpwe berani berbohong?"

Tao Ling segera menuturkan secara ringkas apa yang dialaminya setelah terlempar dari kereta yang ditumpangi gadis cantik itu. Orang tua itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sepasang ma-tanva menatap Tao Ling dengan tajam ketika gadis itu menyelesaikan ceritanya.

"Kalau hegitu, Tho Hua Mia mati di tangan-mu?"

Hati Tao Ling terkejut melihat orang tua itu tiba-tiba menjadi marah. Dia memberanikan dirinya menjawab.

"Boanpwe tidak tahu ular itu peliharaan locianpwe sehingga dalam keadaan terpaksa, boanpwe menggigitnya sampai mati."

Wajah orang tua itu berubah lembut kembali. "Mari ikut aku ke dalam pondok." Dia membalikkan tubuhnya dan melalui beberapa batang pohon liu tersebut. Tao Ling segera mengikutinya dari belakang. Ular-ular yang melingkar di atas ranting-ranting pohon seakan takut sekali kepada si orang tua. Mereka menyurutkan tubuhnya dan bersembunyi di balik gerombolan dedaunan. Diam-diam Tao Ling merasa heran.

Setelah masuk ke dalam pondok, Tao Ling melihat keadaan di dalamnya sangat teratur dan rapi. Kursi dan meja juga bersih sehingga tidak terlihat setitik debu pun. Tao Ling sadar orang tua ini pasti menyukai kebersihan.

"Tanpa disengaja kau telah makan dua butir buah merah itu. Namanya Te hiat ko (Buah darah bumi). Buah itu memang aneh, juga langka. Bila tidak melihat darah manusia, selamanya buah itu tidak akan matang. Pada saat itu lukamu parah sekali, kau memuntahkan darah beberapa kali. Darah itulah yang terhisap oleh buah Te hiat ko itu sehingga secara kebetulan kau berhasil menikmati cairannya yang menetes ke dalam mulutmu. Hal ini membawa suatu keberuntungan bagi dirimu. Dengan bantuan cairan buah itu, racun ular kecil itu jadi terdesak di salah satu bagian tubuhmu, tidak terpencar kemana-mana. Kalau tidak tentu saat ini kau sudah mati. Tidak usah khawatir, dengan ban-tuanku, racun itu pasti dapat terdesak keluar. Tapi . . . apakah akar dan daun pohon Te hiat ko itu sempat kau cabut atau tidak?"

"Ada!" sahut Tao Ling. Dia segera menge-luarkan kepalan akar dan daun tanaman itu dari dalam saku pakaiannya.

Orang tua itu seakan melihat benda pusaka saja, dia langsung mengulurkan tangannya menyambut akar dan dedaunan itu

"Ikut aku!" katanya kemudian.

Mereka masuk ke ruangan yang lain. Di sana terdapat berbagai jenis botol yang terbuat dari batu kumala. Botol-botol itu berjejer pada sebuah rak yang menempel di dinding pondok. Di atas sebuah balai-balai, berbaring Lie Cun Ju. Ketika Tao Ling memperhatikannya dengan seksama, dia terkejut setengah mati.

Tanpa sadar mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut. Ternyata wajah Lie Cun Ju saat itu pucat pasi dan demikian putihnya seperti selembar kertas. Tampangnya bahkan lebih tidak enak dilihat daripada orang mati sekalipun. Padahal ini sudah ada dalam dugaan Tao Ling, tapi dia tetap merasa terkejut juga ketika melihatnya langsung. Apalagi di atas tubuh Lie Cun Ju terdapat beberapa ekor ular kecil berwarna kebiru-biruan. Dapat dipastikan semuanya merupakan ular berbisa dan ular-ular itu bukan hanya merayap di tubuh Lie Cun Ju, bahkan membuka mulutnya lebar-lebar dan menggigit setiap urat darah yang penting di tubuh pemuda itu.

Melihat keadaan itu, jantung Tao Ling langsung berdegup keras. Perasaannya memang sangat mengkhawatirkan keadaan Lie Cun Ju. Dia langsung mempunyai pikiran "Kakek tua ini pasti bukan orang baik-baik." Membawa pikiran itu, dia segera membalikkan tubuhnya kemudian membentak.

"Apa yang kau lakukan pada diri Lie toako?"

Orang tua aneh itu hanya menundukkan kepalanya mempermainkan akar dan dedaunan yang diberikan oleh Tao Ling tadi. Terhadap pertanyaan Tao Ling yang kasar, dia seakan tidak mendengarnya.

"Kau mencelakai Lie toako sedemikian rupa, kau malah mengatakannya sedang menolongnya!" Tao Ling membentak lagi sambil melangkahkan kakinya.

"Siapa yang mencelakai Lie toakomu?" tanyanya dingin.

Tao Ling tidak tahu masalah yang sebenarnya, dia menganggap orang tua itu mencelakai Lie Cun Ju malah sengaja mungkir. Pemuda itu sudah melalui berbagai penderitaan bersama-sama dengannya, meskipun kokonya, Tao Heng Kan membunuh Li Po, abangnya Lie Cun Ju, tetapi hubungan mereka baik-baik saja. Apalagi di dalam hati sudah timbul perasaan sukanya kepada pemuda itu, mana sudi dia menerima begitu saja Lie toakonya dicelakai orang? Pokoknya dia harus membalaskan dendam bagi Lie toako!

Walaupun Tao Ling menyadari bahwa orang tua itu bukan tokoh sembarangan, tetapi hawa amarah dalam dadanya telah meluap. Dia tidak berpikir panjang lagi. Cring! Dia mencabut pedang dari selipan ikat pinggangnya kemudian melan-carkan sebuah serangan ke arah si orang tua!

Wajah kakek itu langsung berubah melihat tindakannya. "Bocah cilik, tampaknya kau benar-benar sudah bosan

hidup?" Tubuhnya hanya menggeser sedikit. Serangan Tao Ling segera melesat lewat di sampingnya.

Sejak meneguk cairan buah Te hiat ko, tenaga dalam Tao Ling sudah bertambah kuat. Gerakan tubuhnya juga jauh lebih ringan, hanya saja dirinya sendiri belum menyadarinya. Sampai keadaannya menjadi panik karena memikirkan keselamatan Lie Cun Ju, dia melancarkan jurus serangan ke arah orang tua tadi. Hatinya baru terkesiap, diam-diam dia berpikir dalam hati.

Tia sering mengatakan aku tidak becus mempelajari Pat Sian Kiam. Setelah bertahun-tahun melatihnya masih belum menunjukkan kebolehan apa-apa. Kalau dibandingkan dengan koko, terpautnya jauh sekali. Tetapi seranganku ini cepat dan keji, sehingga jurus Menteri mempertahankan negara ini menunjukkan kehebatannya.

Nyalinya jadi besar menemukan kemajuan dirinya. Melihat orang tua itu mengelakkan serangannya, tubuhnya segera berputar dan melancarkan jurus Sastrawan Meniup Seruling. Pedangnya mula-mula dilintangkan seperti orang yang sedang meniup seruling, kemudian kakinya maju setengah tindak dan sekonyong-konyong pedangnya menghunjam ke depan. Timbul bayangan bunga-bunga dari gerakan pedangnya, cahaya keperakan berkilauan. Pedangnya bergerak lurus mengancam tenggorokan si Orang tua.

Kakek tua itu mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.

"Benar-benar bocah yang belum mengerti urusan!"

Tubuhnya disurutkan, kakinya tidak bergerak. Dengan mudah lagi-lagi dia menghindarkan diri dari serangan Tao Ling!

Hati gadis itu semakin lama semakin sewot. "Gerakan kakek ini aneh sekali," pikirnya dalam hati. Seandainya saat ini dia bisa berpikir dengan tenang dan kepala dingin, meskipun ilmunya mengalami kemajuan, tetapi dua kali berturut-turut dia melancarkan serangan dan semuanya dapat dihindarkan dengan mudah oleh orang tua itu. Hal ini membuktikan ilmu kepandaian orang tua itu jauh lebih tinggi daripadanya. Apabila dia langsung menghentikan serangannya, mungkin tidak sampai menimbulkan berbagai masalah di hari kelak. Tetapi sayangnya dia terlalu panik melihat keadaan Lie Cun Ju. Orang yang dilanda emosi memang biasanya tidak berpikir panjang. Dua kali serangannya yang gagal malah membuat hati Tao Ling semakin panas. Pergelangan tangannya digetarkan. Pedangnya diputar kemudian tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan. Dengan posisi agak miring, dia mengerahkan jurus Kakek Tua Merwnggang Keledai. Serangannya yang ketiga kali ini semakin hebat dan ganas.

Mimik wajah orang tua itu sejak tadi memang sudah tidak enak dipandang. Ketika serangan ketiga Tao Ling meluncur datang, wajahnya yang tersorot cahaya pedang malah menyiratkan kegusaran. Tangan kanannya memasukkan akar dan dedaunan Te hiat ko ke dalam jubahnya. Tubuhnya bergerak sedikit dengan gaya tenang dia malah maju menyongsong pedang Tao Ling yang sedang meluncur ke arahnya. Tiba-tiba tangannya yang seperti tengkorak itu mengulur ke depan. Belum sempat Tao Ling menghindar, tahu-tahu pergelangan tangannya telah dicengkeram oleh orang tua itu.

Tao Ling merasa terkejut, mendadak se-rangkum angin kencang sudah menahan gerakan pedangnya. Hatinya terkesiap. Saat itu dia baru teringat, kakek ini berilmu tinggi. Seandainya dia ingin membunuh Lie Cun Ju, tentu dia tidak akan menggunakan ularnya yang kecil-kecil tapi berbisa itu. Keadaan Lie Cun Ju sedang terluka parah. Sekali hantam saja nyawanya pasti melayang

Ketika dia ingin menanyakan hal itu sampai jelas, terlambat sudah. Tangan orang tua yang seperti tengkorak itu telah mencengkeram pergelangan tangannya erat-erat. Persendian pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang. Keringat yang membasahi keningnya menetes dengan deras.

Orang tua itu memuntir tangan Tao Ling. Gadis itu merasa setengah badannya seakan lumpuh. Kelima jari tangannya merenggang, pedang perak pun terlepas dari tangannya.

Terdengar orang tua itu membentak dengan suara yang dalam.

"Sudah dua puluh tahun lebih, tidak ada seorang pun yang berani turun tangan kepadaku. Siapa kau sehingga nyalimu demikian besar, hah?"

Tadinya Tao Ling niasih ingin berdebat, tetapi pergelangan tangannya masih dicengkeram oleh kakek tua itu. Dia mencoba menghimpun hawa murni dalam tubuhnya untuk memberikan perlawanan, ternyata rasa sakitnya semakin menjadi. Keringat dingin mengucur semakin deras. Maka dia tak sanggup lagi membuka suara.

Tampak sepasang mata orang tua itu memancarkan hawa pembunuhan yang tebal. Hati Tao Ling semakin merasa ketakutan. Baru saja dia berusaha berteriak, tiba-tiba dari luar pondok berkumandang suara seorang gadis yang nyaring dan merdu.

"Apakah Leng Coa Sian Sing ada di rumah?Ular-ular peliharaanmu semuanya tidak becus."

Wajah orang tua itu tiba-tiha berubah. Tangan-nya yang mencengkeram pergelangan tangan Tao Ling mengendur. Tetapi belum sempat gadis itu melakukan gerakan apa-apa, jalan darah di bawah leher dan pundaknya sudah tertotok. Cara turun tangannya cepat sekali.

"Antara aku dan kalian selamanya tidak pernah ada hubungan apa-apa. Untuk apa kau mencariku?" ujar orang tua itu dengan nada marah.

Saat itu jalan darah Tao Ling sudah tertotok. Gadis itu tidak bisa bergerak atau bersuara. Tetapi telinganya masih dapat mendengar dengan jelas. Dia mengenali suara di luar pondok seperti suara si gadis secantik bidadari yang melemparkannya keluar dari kereta.

Terdengar gadis itu tertawa terkekeh-kekeh.

"Leng Coa Sian Sing, tempat tinggal kita demikian dekat, sejak dulu seharusnya kita mempunyai hubungan. Karena itu, aku sengaja datang berkunjung. Mengapa sian sing malah tampaknya kurang senang?" ujar gadis yang ada di luar pondok itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Leng Coa Sian Sing (si kakek tua) bimbang sejenak, kemudian dia keluar juga dari ruangan itu sekaligus merapatkan pintunya. Tao Ling tidak bisa melihat keadaan di luar. Akan tetapi dia masih bisa mendengar pembicaraan antara Leng Coa Sian Sing dengan gadis itu.

"Ada petunjuk apa yang hendak kau berikan? Silakan katakan langsung!" Nada suaranya terdengar agak angkuh, namun di dalamnya terselip sedikit kekhawatiran. Sekali lagi gadis itu tertawa cekikikan.

"Aku mendengar berita, bahwa salah satu dari dua orang yang kupungut tempo hari dan kuanggap akan menjadi mayat, bahkan kau hidupkan lagi. Seandainya orang itu benar- benar tidak mati, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya."

"Aneh! Aku tinggal di sini sudah lama, selamanya tidak pernah menginjakkan kaki keluar dari wilayahku ini, mana mungkin ada orang yang kutolong?"

Suara tertawa gadis itu masih terdengar terus.

"Leng Coa sian sing, harap jangan mungkir lagi. Orang yang melihatmu itu sudah mengatakan terus terang. Masalah ini besar sekali. Selamanya kau hidup menyempilkan diri di tempat ini, untuk apa tanpa sebab musabab kau mencari perkara karena orang itu?" ucap gadis cantik itu sambil tertawa terkekeh-kekeh yang tiada henti-hentinya.

"I kouwnio, apa yang kau katakan, aku tidak mengerti sama sekali!"Leng Coa sian sing tertawa dingin.

"Leng Coa sian sing, taruhlah di hadapanku kau masih bisa mungkir.Kau sudah menyembunyikan orang itu, tetapi kau ingin mengelabui aku. Tapi biar bagaimana kau tidak bisa mengelabui tiga iblis keluarga Lung dari gunung Ling San, Kui Cou," ujar gadis cantik itu sambil tertawa terbahak-bahak.

Leng Coa Sian Sing tampaknya terkejut setengah mati.

Untuk sesaat dia sampai berdiam diri.

"Tiga Iblis dari Keluarga Lung? Tiga Iblis dari Keiuarga Lung?" Nada suaranya mengandung kegentaran yang tidak terkirakan.

"Tidak salah. Tiga Iblis dari Keluarga Lung. Secara diam- diam mereka telah menyusup ke wilayah barat ini. Karena orang yang kau tolong itu sudah memergoki mereka. Maka dari itu, biar bagaimana pun mereka ingin membunuh orang itu. Coba kau pikirkan baik-baik, apakah kau sendirian sanggup menghadapi mereka?"

Sekali lagi Leng Coa Sian Sing terdiam. Tao Ling yang ikut mendengarkan sampai mengernyitkan keningnya.

"Tiga iblis dari keluarga Lung yang disebut gadis itu pasti ketiga orang bertopeng yang mencelakai aku dan Lie toako itu. Selama ini aku sering mendengar cerita tentang tokoh- tokoh di dunia kang ouw dari ayah dan ibu. Mengapa belum pernah mendengar mereka menyebut nama Tiga Ibiis Keluarga Lung dari gunung Liang San di Kui Cou?" gumam Tao Ling dalam hati.

"I kouwnio, orang yang kau katakan itu laki-laki atau perempuan?" tanya Leng Coa Sian Sing.

"Leng Coa Sian Sing, apakah kedua orang itu benar-benar tertolong olehmu? Kalau memang benar, aku menginginkan kedua-duanya. Entah Leng Coa Sian Sing bersedia memandang muka ayah dan menyerahkannya kepadaku?"

Hati Tao Ling panik sekali mendengar permintaan gadis itu. Dia sadar meskipun wajah Leng Coa Sian Sing selalu dingin dan tidak enak dilihat, tapi bagaimana pun dia merupakan tuan penolong bagi Lie Cun Ju. Saat ini penuida itu masih terbaring di atas balai-balai, wajahnya pucat pasi, namun setidaknya masih hidup. Sedangkan gadis itu memang cantik jelita bagai bidadari, tapi hatinya kejam, dan turun tangannya keji. Seandainya terjatuh ke tangan gadis itu, tentu akibatnya mengerikan. Karena itu, dia berharap Leng Coa Sian Sing menolak permintaannya.

Leng Coa sian sing merenung sekian lama. Kemudian baru terdengar suaranya kembali.

"I kouwnio, ada sesuatu yang ingin kutanyakan," tanya orang tua itu. "Mengapa Leng Coa Sian Sing demikian sungkan? Ada apa silakan katakan saja."

"Kedua orang itu, baik yang iaki-laki maupun yang perempuan tidak memiliki ilmu yang seberapa hebat. Boleh dibilang bocah masih ingusan dalam ilmu silat. Tapi mengapa tiga iblis dan Nona I sendiri demikian memandang tinggi mereka dan mengejarnya sampai kemana pun?" ujar Leng Coa Sian Sing.

Gadis itu berdiam diri beberapa saat.

"Tiga iblis dari keluarga Lung mengejar mereka karena jejak mereka datang ke wilayah barat secara tiba-tiba dipergoki oleh kedua orang itu. Mengenai aku sendiri, Leng Coa sian sing, bisakah kau mengurangi rasa ingin tahumu?"

"I kouwnio, apakah kau kira bisa menggertak aku?" sahut orang tua itu.

Pembicaraan kedua orang itu terdengarnya sungkan sekali. Tetapi dari nadanya siapa pun dapat mengetahui bahwa mereka sedang saling berkutet, dan siapa pun tidak ada yang sudi mengalah.

Lagi-lagi gadis itu tertawa cekikikan. Suara tawa itu demikian merdu, tetapi di dalamnya terselip pengaruh yang kuat dan membuat orang bergidik.

"Leng Coa sian sing, dengan kekuatanku seorang diri, tentu saja aku tidak berani menekanmu. Tetapi siok siok (paman) ku masih ada di luar. Dia sedang menunggu jawaban dariku . . ."

Tao Ling yang mendengarkan pembicaraan mereka dari ruang satunya langsung menyadari, bahwa orang yang dipanggil siok-siok oleh gadis itu pasti si orang tua bertubuh kurus yang ikut menyuapinya di dalam kereta tempo hari.

Entah apa yang dikatakan Leng Coa Sian Sing. Tao Ling berusaha mendengarkan dengan seksama. Tetapi keadaan di ruang satunya bahkan sunyi senyap. Sampai beberapa saat baru terdengar Leng Coa Sian Sing berbicara. Namun suaranya begitu lirih sehingga Tao Ling tidak berhasil men- dengarkannya.

"Kalau begitu, sekarang aku mohon diri!" sahut gadis itu. Tao Ling memang tidak tahu apa yang dibicarakan Leng

Coa Sian Sing kepada gadis itu, tetapi mendengar gadis itu berpamitan, setidaknya perasaan Tao Ling menjadi lega.

"Maaf tidak mengantar . . . sampaikan salam kepada ayah dan pamanmu!" ucap Leng Coa Sian Sing.

Suara pintu terbuka disusul dengan suara ringkikan kuda lalu derap langkahnya yang menjauh. Pasti gadis cantik itu datang dengan keretanya yang mewah dan sekarang sudah pergi lagi.

Tidak lama kemudian, Leng Coa Sian Sing masuk lagi ke dalam rumah. Dia menatap Tao Ling beberapa saat. Pandangan matanya agak aneh. Tetapi Tao Ling tidak bisa menerka apa maksud hatinya. Orang tua itu mengulurkan tangan dan menepuk kedua jalan darahnya yang tertotok.

Sekarang Tao Ling bisa bergerak juga bisa berbicara. Dia segera bertanya kepada Leng Coa sian sing, "Locianpwe, apakah I kouwnio itu sudah pergi? Siapa dia sebetulnya?"

"Tidak lama lagi kau pasti tahu sendiri, buat apa bertanya?" ujar Leng Coa Sian Sing sambil tersenyum aneh.

Tao Ling tidak tahu apa yang terkandung dalam hati kakek itu. Terpaksa dia menghentikan pertanyaannya.

Leng Coa Sian Sing mengulurkan tangannya mengambil salah sebuah botol dari ratusan botol yang berjajar di rak dinding. Dituangkannya tiga butir pil kemudian berkata, "Minumlah tiga butir pil ini! Dalam waktu satu kentungan kecuali mengedarkan hawa murni dalam tuhuh, tidak boleh sembarangan bergerak. Besok bila melihat ada bercak-bercak merah di telapak tanganmu, kau baru temui aku lagi!" Tao Ling melihat orang tua itu sudah melupakan urusan pertarungan mereka tadi. Hatinya malah jadi tidak enak.

"Locianpwe, maafkan kesalahan boanpwe tadi!" ucap Tao Ling

"Tidak perlu banyak bicara!" tukas orang tua itu. "Locianpwe, entah bagaimana keadaan Lie toako? Apakah

membahayakan jiwanya?" tanya Tao Ling sambil matanya

melirik Lie Cun Ju.

Leng Coa Sian Sing tersenyum.Senyumannya kali ini juga terasa tidak wajar. Sekali lagi Tao Ling tertegun. Entah apa yang dirahasiakan orang tua ini? Setelah tersenyum, Leng Coa Sian Sing berkata dengan perlahan, "Di saat kau mendesak racunmu ke telapak tangan, mungkin dia sudah dapat berbicara."

Tao Ling melihat keseriusannya. Rasanya orang tua itu tidak mungkin berdusta. Perasaan Tao Ling jadi lega. Dia segera menepi ke sudut ruangan dan bersila sambil memejamkan mata.

Sejak meneguk cairan buah Te hiat ko, aliran darah Tao Ling beredar dengan lancar. Hawa murni dalam tubuhnya bahkan seperti meluap-luap. Tidak berapa lama kemudian, dia memusatkan seluruh konsentrasinya untuk mendesak racun di dalam tubuhnya ke bagian telapak tangan. Meskipun demikian, suara di sekelilingnya masih bisa terdengar dengan jelas.

Entah berapa lama dia duduk bersila, tiba-tiba telinganya mendengar suara Leng Coa Sian Sing. "Racun ular itu sudah terdesak ke bagian telapak tanganmu. Kau sudah boleh bangun sekarang!"

"Masa begitu cepat sudah satu kentungan?" tanya Tao Ling bingung. Tao Ling membuka mata dan menolehkan kepalanya. Tampak Lie Cun Ju sudah duduk bersandar. Wajahnya tampak masih pucat, tetapi dia sudah bisa tersenyum.

"Lie toako, apakah kau sudah sembuh?" Tao Ling bertanya dengan gembira.

"Boleh dibilang aku sudah sampai di depan pintu neraka, tetapi ditarik kembali," sahut Lie Cun Ju.

Tao Ling masih ingin berbicara dengan Lie Cun Ju, tetapi dicegah oleh Leng Coa Sian Sing. Tao Ling menolehkan kepalanya. Tampak tangan orang tua itu menggenggam sebatang jarum sepanjang tiga inci, sinarnya berkilauan.

"Rentangkan telapak tanganmu, aku akan mengeluarkan cairan racun di dalamnya!"

Tao Ling mengulurkan telapak tangannya. Hatinya terkejut tidak kepalang. Tampak telapak tangannya penuh dengan bercak-bercak merah berbentuk bunga bwe. Begitu indahnya sehingga tampak seperti lukisan. Tetapi kalau dipandang lama-lama agak mengerikan seakan mengandung sesuatu kegaiban yang sesat. Baik telapak tangan kiri maupun kanan, kedua-duanya dipenuhi hercak yang sama.

Tao Ling sudah melihat kehebatan Leng Coa Sian Sing menyembuhkan Lie Cun Ju. Hatinya semakin yakin dengan keahlian orang tua itu. Kedua telapak tangannya diulurkan ke depan dan diletakkan di atas meja. Leng Coa Sian Sing segera menusuk bagian tengah gambar bunga Tho yang ada di telapak tangan gadis itu dengan jarumnya. Kemudian dengan menggunakan jari tangannya dia menekan pinggiran bercak bunga Tho itu. Jarum emas yang digunakan Leng Coa Sian Sing cukup besar. Tao Ling yakin, asal sekitar tempat yang ditusuk tadi ditekan kuat-kuat, racun ular tadi pasti akan menyembur keluar.

Tetapi setelah menekan heberapa kali, tampak wajah Leng Coa Sian Sing menunjukkan perubahan. Warna bercak bunga Tho di telapak tangan Tao Ling masih berwarna merah segar, tidak memudar sedikit pun.

"Aneh sekali!" Dia mencabut jarum tadi. Dan ditusukkannya kembali ke bercak bunga Tho yang kedua. Di setiap telapak tangan Tao Ling memang ada bercak lima kuntum bunga Tho. Tetapi sampai semuanya ditusuk dan ditekan oleh Leng Coa Sian Sing, bercak itu tetap saja tidak ada setitik pun racun ular yang keluar.

"Locianpwe, apakah racunnya tidak dapat dikeluarkan?" tanya Tao Ling penasaran.

Leng Coa Sian Sing tidak langsung menjawab. Dia mengulurkan tangannya untuk meraba denyut nadi di pergelangan tangan Tao Ling. Kemudian dia menyimpan kembali jarum emasnya. "Racun-nya tidak dapat dikeluarkan lagi!" ucapnya.

"Tapi, a . . . ku tidak apa-apa?" ucap Tao Ling tertegun. "Kau tidak akan apa-apa!" sahut Leng Coa Sian Sing.

Tadinya Tao Ling mengira Leng Coa Sian Sing hanya membesar-besarkan hatinya.

"Locianpwe, katakan terus terang!"

"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!" Berkata sampai di sini, dia menjadi bimbang sesaat. Kemudian dia baru melanjutkan kembali kata-katanya. "Lain kali apabila kau bergebrak dengan seseorang, harap jangan menggunakan kekerasan. Terlebih-lebih terhadap saudara kandungmu atau saudara seperguruanmu sendiri, jangan sekali-kali mengadu pukulan!"

"Locianpwe, apa maksud kata-katamu barusan?" tanya Tao Ling. Hatinya bingung setelah mendengar nasehat dari Leng Coa Sian Sing. "Pokoknya kau turuti saja perkataanku tadi. Tidak usah banyak tanya!" ucap Leng Coa Sian Sing.

Tao Ling tahu, percuma dia bertanya terus, karena itu dia tidak berkata apa-apa lagi.

Enam hari teiah berlalu. Luka dalam yang diderita Lie Cun Ju sudah mulai sembuh. Dia sudah bisa bergerak dan berjalan. Pada hari ketujuh, Tao Ling sedang berbincang-bincang dengan pemuda itu di ruangan dalam. Tiba-tiba mereka mendengar suara seorang gadis.

"Leng Coa Sian Sing, aku datang untuk memenuhi perjanjian!"

Begitu mendengar suara itu, Tao Ling segera mengenalinya bahwa itu suara si gadis berpakaian putih. Hatinya terkejut sekali. Dari celah pintu dia mengintip keluar. Dia melihat gadis itu sudah masuk ke dalam pondok.

"Ternyata kedatangan I kouwnio tepat waktu sekali!" sambut Leng Coa Sian Sing.

Lie Cun Ju yang duduk di samping Tao Ling segera melihat perubahan hebat pada wajah gadis itu.

"Tao kouwnio, siapa yang datang?" tanyanya lirih.

Dengan tergesa-gesa dan nada berbisik Tao Ling segera menceritakan pengalamannya ketika ditolong gadis itu. Tiba- tiba wajah Lie Cun Ju juga jadi pucat pasi.

"Dia bermarga I?" tanya Lie Cun Ju.

Tao Ling tidak menjawab, dia hanya men-ganggukkan kepalanya.

"Bagaimana dengan luka kedua orang itu?" tanya gadis itu lagi.

"Sudah sembuh. I kouwnio adalah orang yang aku percayai. Apakah benda yang sudah dijanjikan itu dibawa? Kalau tidak, aku tidak akan menyerah-kan kedua orang itu kepada kouwnio!" sahut Leng Coa Sian Sing.

Mendengar sampai di sini, hati Tao Ling semakin terkesiap. Tidak heran Leng Coa Sian Sing mengobati mereka dengan hati-hati, ternyata dia menginginkan suatu benda dari Si Gadis Cantik itu.

Benar-benar hati manusia sulit diraba! Tao Ling segera menoleh kepada Lie Cun Ju. Pemuda itu memberikan isyarat dengan tangannya sambil berkata, "Tao kouwnio, kita tidak boleh terjatuh ke tangan orang she I itu!"

Dalam keadaan gugup Tao Ling mengintip lagi dari celah pintu. Tampak gadis itu mengeluarkan sebuah lencana berbentuk persegi dan panjangnya satu cun. Warnanya keperakan berkilauan. Tidak terlihat jeias tulisan apa yang tertera di atasnya.

"Ayah bilang, penggunaan tiga kali terlalu banyak. Kau hanya boleh menggunakannya sebanyak dua kali, kemudian langsung dikembalikan!" kata gadis itu.

Ketika melihat lencana perak itu, hati Tao Ling agak tergerak. Dia rasanya pernah mendengar orang mengatakan sesuatu tentang lencana semacam itu. Tetapi karena hatinya sedang panik, untuk sesaat dia tidak bisa mengingatnya kembali. Tampaknya masih ada sedikit pembicaraan yang akan berlangsung di antara mereka. Mengapa tidak menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri?

Tao Ling dan Lie Cun Ju bergegas meloncat keluar lewat jendela. Tao Ling memapah Lie Cun Ju dan herlari ke depan. Baru berlari sejauh dua depa, dia sudah mendengar suara gadis itu bertanya.

"Leng Coa Sian Sing, dimana kedua orang itu?" "Eh? Tadi mereka masih ada di sini. Mungkinkah mereka sudah melarikan diri?" jawah Leng Coa Sian Sing dengan nada terkejut.

Pada saat ini Tao Ling baru menyadari bahwa tujuh hari yang lalu, Leng Coa Sian Sing telah menghianati mereka bahkan menukar jiwa mereka dengan sesuatu benda! Karena itu, setelah si Gadis yang cantik itu pergi, dia memperlihatkan sinar mala dan senyuman yang aneh.

Tanpa berpikir banyak lagi, Tao Ling segera menyeret tangan Lie Cun Ju dan bersembunyi di halik sebatang pohon Liu yang besar.

"I kouwnio jangan gusar, asal mereka belum terialu jauh, dengan seruling pemanggil ular ini, kau tidak takut mereka bisa terbang kemana!"

Kemudian Tao Ling dan Lie Cun Ju juga mendengar suara seruling yang memekakan telinga. Suaranya melengking dan semakin lama nadanya semakin tinggi.

Baru saja suara seruling itu berbunyi, langsung terdengar suara desiran di sana sini. Ketika melihat ke sekitarnya, kedua orang itu langsung terkejut setengah mati. Ternyata di sekitar mereka bermunculan ular-ular yang entah jumlahnya berapa banyak dan berbagai jenis. Mereka bergerak keluar karena mendengar irama seruling yang ditiup Leng Coa Sian Sing.

Tao Ling dan Lie Cun Ju sadar. Leng Coa Sian Sing tidak tahu berapa lama mereka melarikan diri, karena itu dia menggunakan seruling untuk memerintahkan ular-ularnya agar mengejar. Mereka khawatir apabila nada seruling itu bertam-bah tinggi, mereka pasti sulit meloloskan diri dari tempat itu.

Dalam keadaan panik, dengan tanpa sadar mereka menolehkan kepalanya. Tampak di tepi sungai berhenti sebuah kereta berwarna putih keperakan, sinarnya berkilauan. Keempat ekor kuda yang menarik kereta itu sedang meringkik- ringkik dengan keras.

Hati Tao Ling tergerak. Tanpa ragu sedikit pun dia langsung menyeret tangan Lie Cun Ju. Mereka berlari menuju kereta tersebut. Meskipun keadaan Lie Cun Ju sudah pulih, tetapi luka yang dideritanya tempo hari terlalu parah, apalagi dia tidak mendapatkan buah berkhasiat tinggi Te hiat ko seperti Tao Ling. Saat ini dirinya seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat, sebagaimana biasanya orang sehabis menderita sakit parah. Sesampainya di samping kereta, nafasnya tersengal-sengal.

Saat itu Tao Ling juga tidak memperdulikan lagi batas antara laki-laki dan perempuan. Dia langsung membopong tubuh pemuda itu naik ke atas kereta, dia sendiri juga loncat ke dalam.

Suara irama seruling yang ditiup Leng Coa Sian Sing semakin melengking. Terasa angin berdesir-desir, ratusan ular berbisa menyembulkan kepalanya dan menjulurkan lidahnya serta melata ke arah kereta.

Ada beberapa ekor yang geraknya lebih cepat. Binatang melata itu sudah sampai di sisi kaki kuda, sehingga kuda itu ketakutan dan meringkik terus. Tao Ling segera mengeluarkan beberapa batang senjata rahasia dan dilontarkannya ke arah ular-ular itu. Tangannya yang sebelah sekaligus menggerakkan tali kendali. Keempat ekor kuda itu pun melesat secepat kilat meninggalkan tepi sungai itu.

Saking cepatnya kereta itu, telinga Tao Ling dan Lie Cun Ju sampai mendengar suara angin menderu-deru dari kiri kanan kereta. Mereka bagai melayang di atas angkasa dengan mengendarai awan.

Dalam hati Tao Ling kagum sekali dengan kuda-kuda pilihan itu. Ketika dia menolehkan kepalanya, Leng Coa ki hanya tinggal tampak setitik hijau yang kecil saja. Dalam waktu yang sangat singkat, mereka sudah menempuh jarak tujuh-delapan li. Masih belum terlihat ada orang yang mengejar. Tao Ling baru bisa menghembus-kan nafas lega.

"Lie toako, kali ini kembali kita berhasil meloloskan diri dari kematian!" ucap Tao Ling samhil menolehkan kepalanya ke arah Lie Cun Ju.

"Takutnya belum tentu!" sahut pemuda itu.

Di samping kereta Tao Ling menemukan pecut perak yang digunakan gadis cantik itu. Dia melontarkannya dua kali. Kereta kuda itu meluncur semakin cepat.

"Meskipun gadis she I itu mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, tetapi belum bisa dia mengejar kereta kuda ini," kata Tao Ling.

"Tao kouwnio, apakah kau tidak pernah mendengar orang mengungkit soal Gin leng hiat ciang (Lencana perak telapak darah)?"

Tao Ling langsung tertegun. Hampir saja dia terjatuh dari kereta kuda.

"Betul. Tadi aku justru melihat gadis itu menyerahkan sebuah lencana berwarna keperakan kepada Leng Coa sian sing!" serunya

"Aih! Apabila benar Gin leng hiat ciang I Ki Hu yang mencari kita, rasanya kita tidak mungkin bisa meloloskan diri!"

Mendengar Lie Cun Ju mengungkit soal Gin leng hiat ciang, hati Tao Ling semakin ketakutan. Tentu bukan tidak ada sebab musababnya, karena empat huruf itu, boleh dibilang tidak ada seorang pun di dunia kang ouw yang tidak mengetahuinya. Tetapi orang yang benar-benar berani menyebutnya, justru sedikit sekali. Bukan karena apa-apa, tapi karena takut ditimpa bencana. Rupanya Gin leng hiat ciang I Ki Hu sudah terkenal sejak belasan tahun yang lalu. Tetapi saat itu, dia belum berhasil melatih ilmu telapak darah. Bahkan ilmu warisan Mo Kau pun baru dilatihnya sampai tingkat keenam.

Tadinya I Ki Hu seorang sastrawan gagal. Malah kalau tidak salah dia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Namun ketika sedang berpesiar melihat-lihat keindahan pemandangan, seorang gadis yang ternyata putri tunggal Cousu Mo Kau (Agama sesat) saat itu secara kebetulan melihatnya dan jatuh cinta kepadanya. Gadis itu bukan main jeleknya. Sedangkan I Ki Hu seorang pemuda yang gagah dan tampan. Tentu saja dia tidak akan tertarik kepada gadis yang sedemikian buruk rupanya. Tetapi sebagai seorang rakyat jelata, mana mungkin dia bisa melawan kekuatan Mo Kau yang namanya sudah tersohor sejak ratusan tahun yang lalu?

Dalam keadaan terpaksa, dia pun menikah dengan putri Mo Kau itu. Tapi pada dasarnya I Ki Hu adalah manusia yang cerdik. Sikapnya pun hati-hati. Setelah menikah dengan gadis Mo Kau itu, tidak sekalipun dia menunjukkan sikap kurang senangnya. Dengan keras dia melatih ilmu warisan Mo Kau yang paling hebat.

Gadis itu mengira suaminya mencintainya dengan setulus hati. Para jago Mo Kau diperintahkan mengelilingi seiuruh dunia untuk mendapatkan berbagai dedaunan atau rerumputan yang dapat menambah kekuatan. Dia mencekoki suaminya dengan berbagai obat-obatan berkhasiat tinggi. Dalam waktu sepuluh tahun, ilmu Mo Kau  I Ki Hu sudah mencapai tingkat keenam. Berarti lebih tinggi dari Cousu Mo Kau dan putrinya sendiri.

Saat itu, seiuruh bu lim masih belum tahu bahwa di dalam Mo Kau telah muncul seorang jago berilmu tinggi. Sampai I Ki Hu memalingkan wajahnya dari putri iblis itu. Dia memperhitungkan kebencian yang terpendam di dalam hatinya selama bertahun-tahun. Dia mengungkit masalah ketika dia dipaksa menikah dengan putri Mo Kau itu. Bahkan kata-katanya yang manis selama sepuluh tahun ini ternyata palsu semuanya. Akhirnya terjadi pertarungan antara I Ki Hu dengan cousu Mo Kau dan putrinya. Perlu diketahui bahwa ilmu Mo Kau mempunyai satu keistimewaan. Setiap kali tingkatannya naik, maka tenaga dalam orang itu pun bertambah satu kali lipat.

Pada saat itu, ilmu yang dilatih cousu Mo Kau baru mencapai tingkat kelima. Sedangkan putrinya malah baru mencapai tingkat keempat. Dalam tiga puluh jurus saja, cousu Mo Kau sudah berhasil dibunuh oleh I Ki Hu. Sedangkan putrinya terluka parah.

Enam Tancu Mo Kau yang terdiri dari enam orang jago pengurus cabang pusat, timur, utara, selatan, barat, serta pendopo langit (bagian hukum) ikut mengeroyok I Ki Hu. Namun mana mungkin kepandaian mereka dapat menandingi menantu cousu Mo Kau itu? Malah malangnya, mereka berenam mati di tangan I Ki Hu.

Ketika dia hendak turun tangan membunuh putri cousu Mo Kau, perempuan itu berkata, "Perasaanku terhadapmu keluar dari hati yang setulusnya. Mungkin dulu aku tidak seharusnya memaksamu menikah denganku. Setelah kita menikah, aku selalu baik terhadapmu. Akan tetapi kau menghina aku buruk rupa. Sekarang kau malah memalingkan kepala, aku memang kalah denganmu, tetapi sekarang aku sedang mengandung anakmu. Bagaimana kalau kau beri aku kesempatan untuk melahirkan dulu anak ini, kemudian baru bunuh diri?"

I Ki Hu sudah menelan segala penderitaan dan menahan kebenciannya selama sepuluh tahun. Hatinya juga keji sekali. Dia tidak mempunyai sedikit perasaan pun terhadap putri Mo Kau itu. Ternyata dia tidak mengabulkan permintaan putri ketua Mo Kau itu dan bersiap turun tangan membunuhnya.

Saat itu putri ketua Mo Kau sedang hamil tujuh bulan. Begitu melihat wajah I Ki Hu menyiratkan hawa pembunuhan, dia segera menghimpun hawa murninya dan mendesak janinnya keluar dari rahim. Kemudian dia sendiri memotong nadi tangannya dan mati seketika.

I Ki Hu melihat bayi yang terlahir itu seorang bayi perempuan. Wajahnya justru bertolak belakang dengan ibunya. Walaupun dipaksa lahir dalam keadaan prematur, tetapi suara tangisannya nyaring dan lantang. Pipinya berona kemerahan. Sungguh seorang bayi yang cantik. Tadinya I Ki Hu sudah mengangkat tangannya hendak menghantam kepala bayi itu. Tetapi melihat bayi itu begitu menarik dan lucu, timbul juga perasaan sayangnya sebagai seorang ayah. Dia segera memutuskan tali pusat bayi itu kemudian melepaskan mantelnya serta digunakan untuk membungkus bayi yang masih merah itu.

Para pemhaca, cerita yang dikisahkan di atas tidak ada hubungannya lagi dengan cerita ini. Tetapi bayi yang dilahirkan secara paksa itu justru si gadis cantik berpakaian putih yang kemudian diberi nama I Giok Hong!

Dalam waktu dua kentungan, I Ki Hu membunuh ketua Mo Kau, putri tunggalnya serta keenam kepala cabang partai itu. Sisa murid Mo Kau yang masih cecere mana mungkin melakukan perlawanan terhadap I Ki Hu. Dengan panik mereka berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Selesai memhunuh tokoh-tokoh penting partai itu, I Ki Hu pun melangkah keluar dari markas pusat Mo Kau. Dia menimbun ratusan batang kayu hakar di sekeliling gedung itu kemudian disiramnva dengan minyak tanah. Kemudian api pun menvala dengan berkobar-kobar. Dalam waktu satu hari satu ma lam gedung bekas markas Mo Kau yang besar itu punah dilalap si Jago merah. Dengan demikian, partai Mo Kau yang pernah mengejutkan dunia bu lim selama tiga ratus tahun itu pun hilang dari permukaan bumi.

Tidak sampai tiga bulan, peristiwa ini sudah tersiar ke seluruh dunia kang ouw. Sekaligus nama I Ki Hu juga terangkat ke atas. Tidak sedikit tokoh-tokoh yang mempunyai hubungan baik dengan pihak Mo Kau mencarinya untuk memhalas dendam. Namun satu persatu berhasil dikalahkan oleh I Ki Hu. Bahkan Tocu dari Hek cui to (Pulau Air hitam) di wilayah Pak Hai yakni Hek kiam Cui Hun 'Pedang hitam pengejar sukma' Ci Cin Hu yang tergolong jago kelas satu dari golongan hitam juga turun tangan sendiri. Akhirnya I Ki Hu terluka karena tangan tokoh yang satu ini. Tapi sayangnya dia tidak membasmi I Ki Hu dan membiarkannya pergi begitu saja. Hal ini justru menimbulkan bencana bagi Ci Cin Hu.

Dua tahun kemudian, ilmu Mo Kau yang dilatih I Ki Hu sudah mencapai tingkat ketujuh. Bahkan dia berhasil melatih ilmu telapak darah yang terkenal paling sulit dipelajari dalam aliran Mo Kau. I Ki Hu langsung menyeberang ke laut utara dan mencari Hek kiam cui hun Ci Cin Hu untuk membalas kekalahannya tempo hari. Seluruh anggota pulau Air hitam baik yang masih ada hubungan darah dengan Ci Cin Hu maupun ketiga muridnya, semua mati di tangan I Ki Hu. Ci Cin Hu sendiri mati di bawah telapak darah lawannya ini. Cara turun tangannya sungguh telengas. Seluruh bu lim sampai meleletkan lidah mendengar berita ini. Kemudian dia mendengar selentingan di dunia kang ouw bahwa Ci Cin Hu masih mempunyai seorang putra yang usianya belum ada satu tahun. Kebetulan di saat terjadi pembantaian, bayi laki-laki itu tidak ada di tempat. Hal ini menimbulkan keresahan bagi I Ki Hu. Dia mengelilingi dunia untuk menemukan bayi laki-laki itu.Maksudnya tentu ingin membasmi rumput sampai ke akar- akarnya.

Di mana pun dia singgah selalu ada tokoh berilmu tinggi di dunia bu lim yang terbunuh di bawah telapak darahnya. Karena itu, namanya semakin terkenal. Lencana perak yang dikeluarkannya mendapat julukan 'bertemu dengan lencana laksana bertemu dengan orangnya sendiri'. Walaupun seorang bocah cilik yang membawa lencana itu, sedangkan Anda kebetulan seorang tokoh kelas satu di dunia bu lim, tapi Anda pasti tidak berani memandang rendah bocah itu.

Dengan demikian I Ki Hu malang melintang di dunia bu lim selama tiga-empat tahun. Entah dia berhasil menemukan putra Ci Cin Hu atau tidak. Kemudian dia jarang lagi berkecimpung di dunia persilatan. Orang-orang bu lim hanya tahu dia menetap di wilayah Tibet. Walaupun orangnya sendiri sudah jarang muncul, tetapi mengungkit nama Gin leng hiat ciangnya, masih banyak orang yang merasa gentar. Selama beberapa tahun belakangan ini, ilmu Mo Kau sin kangnya malah sudah mencapai tingkat sembilan.

Coba bayangkan saja, dengan kepandaian Tao Ling dan Lie Cun Ju. Mungkinkah mereka berani melawan I Ki Hu? Jangan kan mereka berdua, bahkan pasangan suami istri Pat Kua kim gin kiam, Lie Yuan dan pasangan suami istri Pat Sian kiam Tao Cu Hun sendiri juga tidak sanggup berbuat apa-apa terhadap iblis yang satu ini!

Sementara itu, Tao Ling berusaha menenangkan hatinya. Dia hanya berharap lebih cepat meloloskan diri. Berkali-kali dia mengayunkan pecut di tangannya. Keempat ekor kuda pilihan itu pun semakin kalap larinya. Dalam waktu dua kentungan, mereka sudah menempuh perjalanan sejauh tujuh puluhan li. Matahari sudah mulai turun ke ufuk barat. Baru saja perasaan Tao Ling agak senang, tetapi ketika melihat ke arah matahari di depannya dia merasa terkejut bukan kepalang.

"Lie toako, celaka!" teriaknya panik. "Ada apa?" tanya Lie Cun Ju ikut gugup.

"Kau lihat matahari itu? Kita justru melaju menuju barat. Bukankah kita semakin mendekati tempat tinggal si raja iblis I Ki Hu?" jawab Tao Ling sambil menunjuk ke depan.

"Cepat belokkan kudanya! Cepat!" ucap Lie Cun Ju dengan terkejut. Dengan sekuat tenaga Tao Ling menarik tali laso pengendali keempat ekor kuda itu. Dia bermaksud memutar arah hewan-hewan itu. Tetapi kuda-kuda itu justru tidak sudi mendengarkan perintahnya. Tao Ling menambah tenaganya dan menarik sekali lagi tali kendali itu erat-erat. Kuda-kuda itu hampir tidak sanggup melawan tenaga Tao Ling. Terdengar ringkikan yang keras, kuda mulai membelok arah. Namun tiba- tiba trakkk! tubuh Tao Ling hampir terpental ke belakang karena tali kendali yang digenggamnya putus.

Begitu tali kendali itu putus, kuda-kuda itu kembali meluruskan derap kakinya dan melesat menuju arah semula. Kalau Tao Ling hanya seorang diri, mungkin dia akan nekat loncat dari dalam kereta. Tetapi Lie Cun Ju baru sembuh dari luka parah, tentu dia tidak sanggup terbanting keras-keras di atas tanah. Bahkan kemungkinan luka dalamnya akan kambuh kembali.

Seandainya Tao Ling bermaksud meninggalkan Lie Cun Ju untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tentu dia tidak perlu menunggu sanipai hari itu. Ketika di atas perahu menghadapi ketiga iblis keluarga Lung, tentunya dengan mudah dia dapat meloloskan diri dari maut. Juga tidak perlu menanggung luka parah ketika berada di gedung 'Ling Wei piau kiok'. Meskipun telah timbul per-musuhan di antara keluarga Lie dan keluarga Tao, tetapi hubungan antara Tao Ling dengan Lie Cun Ju justru baik sekali. Bahkan mereka tidak mempersoalkan permusuhan di antara keluarga mereka.

Ketika keempat ekor kuda itu berlari semakin kencang, bukan saja Tao Ling tidak meloncat keluar meninggalkan Le Cun Ju, dia bahkan memeluk tubuh pemuda itu erat-erat seakan takut dia terjatuh keluar kereta.

Beberapa kentungan kembali berlalu, tampak keempat ekor kuda itu berlari masuk ke dalam sebuah lembah. Di permukaan lembah rasanya ada dua orang yang menjura ketika melihat kereta kuda itu lewat. Tampangnya seperti sepasang elang dari Hin Tiong. Tetapi karena laju kereta itu terlalu cepat, Tao Ling tidak sempat melihat mereka dengan jelas.

Kuda itu terus melesat ke depan, di bagian samping dan belakang kereta timbul kepulan debu yang tebal. Tetapi setelah masuk ke bagian dalam lembah itu keempat kuda itu pun melambat. Dari bagian depan terasa angin berhembus sepoi-sepoi sehingga menimbulkan perasaan sejuk dan nyaman, membuat semangat seseorang tergugah.

Tao Ling dan Lie Cun Ju mengedarkan pandangan matanya. Tampak sekeliling lembah itu penuh dengan bukit- bukit yang tinggi dan rendah. Bagian tengah lembah itu terdiri dari padang rumput yang luas. Dari tembok-tembok bukit menjuntai tanaman merambat yang berbunga putih sebersih salju dan menampakkan pemandangan yang indah. Di sebelah bawah bukit bagian utara, terdapat sebuah batu alam berwarna putih. Begitu indahnya pemandangan di tempat itu seakan taman firdaus.

Di sisi kiri kanan batu putih itu terdapat dua buah kolam berbentuk bundar. Airnya beriak-riak dan jernih sekali!

Tao Ling dan Lie Cun Ju dibawa kereta kuda sampai ke tempat itu. Menghadapi pemandangan yang demikian indahnya, hati mereka tidak gembira sedikit pun. Bahkan semakin ketakutan. Karena mereka dapat menduga, kuda- kuda pilihan itu mengenal jalan dengan baik. Dan mereka dibawa menuju tempat tinggal Gin leng hiat dang I Ki Hu!.

Kedua orang itu tertegun beberapa saat. Baru saja mereka bermaksud meloncat turun dari kereta untuk menentukan langkah selanjutnya, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan melesat dari samping kanan.

"Siocia sudah pulang? Ayahmu memang sedang menantikan kedatanganmu!" seru orang itu. Dalam sekejap mata orang itu sudah sampai di sisi kereta. Ketika bertemu pandang dengan Tao Ling dan Lie Cun Ju, orang itu langsung tertegun. Tao Ling mengenali bahwa orang yang datang itu adalah kakek yang bersama si gadis cantik dalam kereta tempo hari.

"Aih! Rupanya kalian. Mengapa kalian datang kemari? Mengantarkan kematian?" Kakek itu mengeluh sambil menarik napas panjang.

Tao Ling sungguh tidak menduga, sepanjang perjalanan mereka menemui mara bahaya. Bahkan Leng Coa sian sing menyembuhkan mereka dengan tujuan mendapat sesuatu dari I Giok Hong. Dan di kediaman Gin leng hiat ciang ini, ada orang yang menaruh perhatian kepada mereka!

"Loya, mohon ulurkan budi, tolonglah kami!" kata Tao Ling cepat.

Kakek itu menolehkan kepalanya kemudian menggeleng dua kali, "Aku tidak sanggup menolong kalian!"

Sambil berkata demikian, kakek itu berulang kali mencibirkan bibirnya ke arah mulut lembah.

Tao Ling tahu kakek ini berniat menolong mereka, cepat- cepat dia memapah Lie Cun Ju dan membantunya turun dari kereta.

"Loya, budi pertolonganmu tidak akan kami lupakan. Mohon tanya siapa panggilan Loya?" tanya Tao Ling dengan suara berbisik.

Kakek itu tidak menjawab. Malah dia melangkah meninggalkan mereka. Tao Ling tahu kakek itu takut mengejutkan si raja iblis I Ki Hu. Cepat-cepat dia mengundurkan diri ke mulut lembah. Belum lagi dia menggerakkan kakinya untuk berlari, dari dalam lembah terdengar seseorang bertanya, "Siapa yang mengunjungi lembahku ini?"

Tao Ling dan Lie Cun Ju tertegun. Ketika memalingkan kepalanya, ternyata di samping kereta sudah berdiri seseorang. Tadi mereka melangkah mundur menuju mulut lembah. Berarti pandangan mat a mereka menghadap ke dalam. Saat itu mereka belum melihat siapa-siapa. Sekarang begitu mereka membalikkan tubuhnya, orang itu sudah berdiri di samping kereta. Benar-benar tidak bisa dibayangkan bagaimana dia bisa sampai ke tempat itu!

"Hamba juga tidak tahu siapa mereka. Hamba hanya melihat mereka datang dengan kereta siocia. Begitu kereta berhenti, mereka langsung turun dan berjalan keiuar. Mungkin teman-teman siocia, hamba tidak berani bertanya," jawab kakek itu.

Orang itu mengeluarkan suara seruan lalu memandang ke arah Tao Ling dan Lie Cun Ju. Tao Ling mendongakkan wajahnya. Tampak usia orang itu sekitar lima puluhan. Dia mengenakan pakaian seperti sastrawan berwarna hijau. Lengan dan bagian bawah pakaiannya melambai-lambai karena hembusan angin. Penampilannya berwibawa. Di bawah dagunya tumbuh jenggot yang teratur rapi. Matanya berkilauan, alisnya berbentuk golok. Wajahnya putih bersih. Walaupun sudah setengah baya, ketampanannya masih terlihat jelas. Sepasang tangannya disilangkan di bagian belakang. Sinar matanya seperti cahaya kilat dan saat itu sedang menatap Tao Ling dan Lie Cun Ju dengan tajam.

Hati Lie Cun Ju tercekat setengah mati. Dia tahu laki-laki setengah baya ini pasti Gin leng hiat ciang I Ki Hu, si raja iblis yang paling ditakuti di seluruh dunia bu lim.

"Cepat pergi!" ucap Tao Ling. Lambat sedikit tamatlah riwayat kita. Tao Ling sendiri sudah dapat menduga siapa orang itu.

Maka dia cepat menarik tangan Lie Cun Ju.

Lie Cun Ju membalikkan tubuhnya dengan tergesa-gesa, tetapi baru saja kaki mereka hendak melangkah, di belakang mereka sudah terdengar suara orang tadi.

"Kalian berdua, harap tunggu sebentar!" ujarnya.

Suaranya lembut sekali, tidak memaksa. Tetapi suara itu justru keluar dari mulut Gin leng hiat ciang I Ki Hu, siapa yang berani membantah?

Kedua orang itu segera membalikkan tubuhnya. Namun lagi-lagi mereka tertegun, ternyata baru saja kata-katanya selesai, orangnya sudah herdiri di hadapan mereka.

Padahal jarak mereka dengan I Ki Hu tadinya kira-kira lima- enam depa, benar-benar membuat orang bingung. Bagaimana cara orang itu melangkah sehingga bisa sampai secepat itu.

Tao Ling khawatir Lie Cun Ju mengatakan hal yang membuat orang itu marah. Cepat dia menjura dalam-dalam.

"Entah Locianpwe ingin memberikan petunjuk apa?"tanyanya sopan.

I Ki Hu memperhatikan Lie Cun Ju beberapa saat. "Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.

Mendengar nada suaranya yang lembut, Lie Cun Ju juga ikut menjura memberi hormat.

"Boanpwe Lie Cun Ju, ayah berjuluk Pat Kua kiam, Lie Yuan."

Sepasang alis I Ki Hu menjungkit ke atas. Sekali lagi dia memperhatikan Lie Cun Ju dengan sek-sama. Tiba-tiba dia menanyakan sebuah pertanyaan yang benar-benar tidak manusiawi. "Apakah Pat Kua kiam Lie Yuan itu ayah kandungmu?" Lie Cun Ju merasa mendongkol juga geli mendengar pertanyaan ini. Untung saja sikapnya masih kekanak-kanakan, dia hanya menganggap pertanyaan I Ki Hu itu lucu sekali. Apabila orang lain yang mendapat pertanyaan seperti itu, pasti marah besar.

"Sudah tentu Lie Yuan ayah kandung boanpwe!" I Ki Hu malah tertawa dingin dua kali.

"Takutnya justru belum tentu!" Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya. Tidak terlihat bagaimana tubuhnya bergerak. Padahal tangannya tidak bisa menjangkau tubuh Lie Cun Ju, tetapi entah mengapa tahu-tahu lengan baju pemuda itu sudah tercengkeram oleh jari tangannya. Terdengar suara bret! Ternyata lengan baju luar dalam pemuda itu ditariknya kuat-kuat sehingga terkoyak semua.

Lie Cun Ju terkejut setengah mati. Tetapi karena dia baru sembuh dari luka parah, mana berani dia melawan I Ki Hu? Setelah lengan pakaiannya terkoyak, dia baru menyurut mundur satu langkah. Tao Ling yang berdiri di samping dapat merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Cepat-cepat dia maju dua langkah dan menghadang di depan Lie Cun Ju.

"Locianpwe, meskipun kami berdua bersalah masuk ke dalam lembahmu, tapi . . ."

Dalam keadaan panik, Tao Ling mengucapkan kata-kata itu. Tapi belum sempat diselesaikannya, lengan I Ki Hu sudah mengibas sedikit.

Tao Ling merasa ada serangkum tenaga yang lembut namun kuat sekali menerpa ke arahnya. Tubuhnya menjadi limbung dan terpental sejauh beberapa langkah.

Tangan I Ki Hu masih mencengkeram lengan Lie Cun Ju. Matanya yang menyorotkan sinar tajam memperhatikan seluruh lengan Lie Cun Ju dengan seksama. Hati Tao Ling takut dan bingung. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan raja iblis itu. Tetapi dia juga sadar bahwa dirinya bukan tandingan I Ki Hu. Karena itu terpaksa dia pasrah dengan nasib mereka.

I Ki Hu memperhatikan beberapa saat, kemudian dia melepaskan cengkeraman tangannya.

"Dimana pasangan suami istri Lie Yuan sekarang?" tanyanya kembali.

Lie Cun Ju baru sempat menghembuskan nafas lega. Tetapi benaknya langsung bergerak. Iblis ini tiba-tiba menanyakan tentang orang tuanya. Tampaknya niat orang ini tidak baik. Karena itu dia menjawab.

"Kami berpisah di Si Cuan. Sudah lebih dari sebuian tidak pernah bertemu. Entah dimana mereka sekarang?"

I Ki Hu mendengus dingin kemudian membalikkan tubuhnya. Tao Ling melihat orang itu menyudahi persoalan begitu saja, hatinya hampir melonjak kegirangan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara seruan yang merdu dari mulut lembah.

"Huh! Kalian berdua melarikan keretaku, tidak tahunya malah datang kesini."

Hati Tao Ling seperti diganduli beban berat secara tiba-tiba. Entah kesialan apa yang sedang merasuki dirinya sehingga begitu banyaknya masalah yang tidak habis-habisnya, pikirnya dalam hati. Tampaknya sejak awal hingga akhir, mereka tetap tidak dapat meloloskan diri dari cengkeraman orang-orang itu.

Mereka berdua tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan tiga iblis dari keluarga Lung. Tapi mereka dikejar-kejar bukan tanpa alasan. Karena kedatangan mereka ke wilayah barat itu tanpa disengaja kepergok oleh dia dan Lie Cun Ju. Tetapi antara dia dengan gadis itu justru tidak ada kaitan apa pun. Mengapa dia terus mengejar mereka tanpa berhenti sebelum berhasil mendapatkannya? Tao Ling benar-benar tidak habis pikir. Diam-diam dia berpikir, untung tak dapat dihindar, malang tak dapat ditolak. la pun membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lantang.

"I kouwnio, aku rasa kita tidak pernah saling mengenal, tetapi mengapa berkali-kali mendesak .kami dan tidak bersedia melepaskan kami?"

Gadis cantik itu melesat datang dari luar lembah. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman.

"Tao kouwnio, kapan aku pernah mendesakmu, jangan sembarangan berbicara lho!"

"Kalau kau memang tidak berniat mendesak kami, harap biarkan kami meninggalkan tempat ini, kami tentu akan berterima kasih sekali kepadamu!" ucap Tao Ling.

Kalian di tengah perjalanan diserang oleh tiga iblis dari keluarga Lung. Apabila bukan aku yang memberikan pertolongan, tentu saat itu kalian sudah menjadi mayat. Kebetulan pula aku membawa kalian ke wilayah barat ini sehingga kau bisa bertemu dengan Leng Coa sian sing. Masa kau begitu mudah melupakan budi seseorang?"

Mendengar kata-katanya yang tajam, untuk sesaat Tao Ling terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar