Pengemis Tua Aneh Jilid 4

Jilid 4

Lie Bun merasa betapa dadanya berdebar. Kakaknya akan ikut bertanding. Kakaknya,

Lie Kiat yang bengal dan sering menggodanya itu. Ah, kakaknya itu kini telah menjadi seorang ahli silat dan bahkan telah mempunyai julukan pula. Si Rajawali Emas dari Bi-ciu. Alangkah gagahnya. Dengan mata terbuka lebar Lie Bun memandang ke atas panggung.

Tiba-tiba dari bawah melayang naik seorang pemuda dengan gaya yang cukup indah hingga tahulah Lie Bun bahwa pemuda itu anak murid Go-bi-pai.

Kemudian dari sebelah kiri melayang pula naik ke panggung seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian kuning emas. Sungguh gagah dan tampan sekali hingga ia mendapat sambutan tepuk tangan yang luar biasa.

Melihat kakaknya yang telah tujuh tahun ditinggalkan itu, Lie Bun merasa terharu sekali dan air matanya mengalir di kedua pipinya yang hitam dan bopeng. Kemudian ia tak dapat menahan gelora hatinya lagi dan loncatlah ia naik ke atas panggung, tepat di depan Lie Kiat dan berseru.

“Engko Kiat ...... engko Kiat    ”

Lie Kiat bertindak mundur sampai tiga langkah ketika tiba-tiba ada seorang pemuda yang berwajah hitam dan berpakaian aneh sekali loncat dan berdiri dihadapannya sambil memanggil-manggilnya. Tapi ia segera kenali wajah adiknya yang telah bertahun-tahun pergi. Betapapun juga, seringkali Lie Kiat menangis dan rindu sekali kepada adiknya yang hanya satu-satunya ini. Maka ketika melihat Lie Bun berdiri di depannya, timbul rasa girang besar sekali dalam hatinya. Ia segera maju dan peluk adiknya itu sambil berbisik.

“Lie Bun ... kau     kau kembali?”

Lie Bun peluk kakaknya dengan besar hati, tapi pada saat itu teringatlah Lie Kiat

bahwa ia sedang berada di atas panggung dan ribuan pasang mata memandang ke arah mereka. Ia ingat pula akan keadaan adiknya yang seperti pengemis itu, maka cepat- cepat ia lepaskan pelukannya dan berkata kepada semua penonton.

“Cuwi yang terhormat. Janganlah cuwi salah sangka. Inilah adikku yang nakal. Belum lama ini adikku pergi menyelidiki keadaan para pengemis dan perihal kehidupan mereka. Karena itu ia sengaja menyamar sebagai seorang pengemis tulen. Jangan ia direndahkan, karena jelek-jelek adikku ini mempunyai kepandaian yang boleh juga dan ia mempunyai julukan Ouw-bin Hiap-kek, Si Pendekar Muka Hitam. Tapi biarpun buruk rupa, hatinya baik sekali.”

Semua penonton yang tadinya memandang terharu, kini mengangguk-anggukkan kepala dan Lie Kiat lalu menyuruh adiknya turun.

“Kau lihatlah permainanku,” katanya.

Lie Bun loncat turun dan di dalam hatinya ia mengaku bahwa kakaknya ini belum dapat mengubah adatnya yang tinggi dan sombong.

Agaknya kakaknya malu mengaku adik kepada seorang pengemis, maka ia sengaja mengarang cerita bohong kepada para penonton agar keadaan Lie Bun sebagai seorang pengemis itu tidak merendahkan namanya sendiri. Dan betapapun juga, kakaknya itu masih saja suka menggodanya tentang wajahnya yang buruk hingga terang-terangan memberi ia julukan Pendekar Muka Hitam.

Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia perhatikan kakaknya yang mulai bertanding.

Setelah bertempur beberapa jurus, Lie Bun tahu bahwa kakaknya mendapat didikan seorang guru silat dari cabang Siauw-lim dan bahwa kakaknya ini meyakinkan sedikit kepandaian lweekang.

Biarpun kepandaian kakaknya tidak berapa tinggi, namun ia memiliki kegesitan dan dengan tenaga lweekangnya, ia dapat menarik keuntungan dalam pertandingan melawan seorang yang hanya melatih gwakang seperti Si Tangan Besi itu. Juga Lie Kiat cerdik, karena ia sengaja tidak mau mengadu lengan dan gunakan telapak tangan untuk menangkis lalu membalas dengan serangan-serangan kilat.

Telah beberapa kali ia berhasil menyampok dan menyodok tubuh lawannya, tapi karena kebalnya, belum juga si Tangan Besi dapat dirobohkan.

Pertandingan ini boleh dibilang yang paling menarik di antara pertandingan- pertandingan yang tadi, karena kepandaian kedua orang ini memang lebih tinggi. Mereka telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, tapi belum juga ada yang kalah.

Tiba-tiba Lie Bun yang sengaja berdiri di dekat panggung dan menonton pertandingan itu mendesak-desak penonton lain, lalu berseru keras.

“He, jangan kau desak-desak orang sampai tersodok mataku. Dan kau, jangan dorong- dorong sampai hampir jatuh.”

Dengan lweekangnya yang sudah sempurna, Lie Bun dapat kirim suaranya itu hingga terdengar nyaring dari atas panggung.

Lie Kiat tidak kenali suara adiknya, tapi kata-kata yang jelas itu membuat ia sadar. Kalau ia hanya memukul biasa saja, maka sukar untuk menjatuhkan lawan yang kebal ini. Mendengar kata-kata “sodok mata” dan “dorong roboh” ia mendapat akal. Maka ia segera rubah serangannya.

Kini ia tidak mau sembarang menendang atau memukul, tapi percepat gerakannya dan semua serangannya ditujukan ke mata lawan.

Karena memang ia lebih gesit, lawannya menjadi bingung dan cepat-cepat menangkis setiap sodokan. Karena kalau sampai matanya tersodok, tak mungkin ia gunakan kekebalannya ke matanya.

Ia mulai terdesak ke pinggir dan tiba-tiba Lie Kiat ubah gerakannya dan sepenuh tenaga mendorong ke arah dada lawannya. Karena serangannya dilakukan tiba-tiba tanpa ampun lagi tubuh si Tangan Besi terjengkang lalu jatuh ke bawah panggung. Tentu aja hal ini dianggap satu kemenangan untuk Lie Kiat.

Tepuk sorak riuh menyambut kemenangan ini dan mungkin yang bertepuk paling keras adalah Lie Bun. Ia segera menghampiri kakaknya yang telah turun dan memeluknya mesra.

Pada saat itu, pertandingan ketujuh telah dimulai, tapi yang bertempur adalah pemuda-pemuda biasa saja hingga tidak menarik dan sebentar saja diakhiri dengan kemenangan pihak Lun-kwan.

Tapi, ketika pertandingan ke delapan dimulai, Lie Bun berkata kepada Lie Kiat. “Koko, apakah kau nanti bertempur lagi?”

“Tentu saja, dalam babak kedua harus bertempur lagi. Untuk mencapai kejuaraan, aku harus bertempur tiga kali lagi!”

“Koko, orang tinggi kurus yang sedang bertempur itu boleh juga.”

Lie Kiat memandang dan saat itu orang tinggi kurus yang dimaksudkan Lie Bun dengan tendangan telah berhasil menendang lawannya ke bawah panggung hingga pingsan.

“Ooh, dia adalah jago nomor satu dari Lun-kwan. Namanya Biauw Kak dan julukannya si Tangan Maut. Tapi kukira aku dapat mengalahkannya, ilmu silatnya tidak seberapa,” jawab Lie Kiat dengan jumawa hingga diam-diam Lie Bun tidak puas hatinya. Kakaknya ini perlu belajar hati-hati dan jangan memandang rendah lawan, pikirnya.

Setelah diumumkan pemenang-pemenang babak ke satu, maka lalu dimulai pertandingan babak ke dua. Untung sekali bagi Lie Kiat bahwa undian membuat ia berhadapan dengan pemuda she Kwee pemenang pertandingan pertama tadi.

Dengan mudah saja Lie Kiat menggulingkan lawannya. Setelah selesai, maka kini tinggal empat orang jago yang tinggal sebagai pemenang-pemenang. Lalu diadakan undian lagi dan sekali lagi Lie Kiat mendapat lawan ringan, maka tinggallah Lie Kiat dan Biauw Kak si Tangan Maut.

Kini si Gendut naik ke atas panggung dan berkata nyaring dengan muka berseri.

“Cuwi yang mulia! Nah, kalian telah menyaksikan para pemuda kita yang gagah perkasa. Sekarang tinggal pertandingan babak terakhir antara dua pemenang, yakni Lie Kiat-enghiong si Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Biauw Kak-enghiong si Tangan Maut dari Lun-kwan. Saudara-saudara tadi telah menyaksikan betapa gagah perkasa dan lihai kedua enghiong muda ini dan sebentar lagi akan terbuktilah siapa di antara keduanya yang lebih lihai. Bersiaplah menyaksikan pertandingan ilmu silat kelas tinggi yang akan dihidangkan dihadapan saudara sekalian.” Setelah berkata demikian, si gendut itu turun dari panggung dengan langkah dibuat- buat agar tampak gagah.

“Hati-hati, koko,” Lie Bun berbisik dengan khawatir. Tapi Lie Kiat dengan senyum sindir telah menggerakkan tubuh dan loncat dengan gerakan It-ho-ciong-thian atau Burung Ho Terjang Langit ke atas panggung.

Tepuk tangan riuh dan sorakan memuji menyambut anak muda yang tampan dan gagah ini hingga Lie Kiat segera menjura dan mengangguk keempat penjuru.

Pada saat itu, Biauw Kak juga loncat ke atas panggung dengan tipu loncat Le-hi-ta- teng atau Ikan Lehi Loncat Ke Atas.

Juga untuk pemuda tinggi kurus ini para penonton memberi sambutan meriah, hingga pada saat itu di antara penonton sendiri, terutama mereka yang datang dari Bi-ciu dan Lun-kwan, terpecahlah menjadi dua kelompok yang saling bertentangan dan membela jago masing-masing.

Setelah saling memberi hormat, maka Lie Kiat dan Biauw Kak saling serang dengan hebat. Untuk merebut kedudukan juara, mereka tidak mau saling mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka. Bahkan mengirim serangan-serangan berbahaya yang dapat mendatangkan maut kepada lawan.

Setelah bertempur puluhan jurus, belum juga Lie Bun mengerti mengapa Biauw Kak mendapat julukan tangan maut. Karena menurut pendapatnya, ilmu silat Biauw Kak yang mirip cabang Kun-lun itu tidak lebih tinggi dari pada ilmu silat kakaknya.

Bahkan diam-diam Lie Bun menghela napas lega karena ia yakin bahwa akhirnya Lie Kiat pasti keluar sebagai pemenang dan juara.

Agaknya Lie Kiat juga tahu akan hal ini, maka ia perhebat serangannya dan segera mendesak Biauw Kak yang berkelahi sambil mundur-mundur dan kebanyakkan hanya menangkis saja.

Para pendatang dari Bi-ciu dan Lie Bun merasa gembira dan girang sekali. Ketika tiba-tiba Lie Bun melihat sesuatu yang membuat ia terkejut sekali dan seketika wajahnya berubah pucat.

Ia melihat sesuatu yang bagi orang-orang lain sama sekali tidak dimengerti. Tapi baginya merupakan tanda maut bagi kakaknya.

Ketika ia melihat ke arah lengan Biauw Kak, kulit lengan si tinggi kurus itu ternyata perlahan-lahan berubah menjadi merah seakan-akan darah di tubuhnya dialirkan ke situ semua.

Lie Bun tahu bahwa orang itu tentu ahli Ang-see-ciang atau Lengan Pasir Merah, sebuah ilmu yang sangat berbahaya karena lengan tangan yang telah terlatih hebat dan kemasukkan hawa beracun itu dapat mengirim pukulan yang mematikan. Biarpun kepalan tangannya tidak menyentuh tubuh lawan, tapi angin pukulannya saja yang membawa tenaga dalam serta hawa racun dapat merobohkan lawannya. Inilah yang membuat Lie Bun terkejut dan cemas. Kalau saja kakaknya tahu akan hal ini masih baik, karena tentu Lie Kiat bisa berlaku waspada dan hati-hati. Tapi celakanya, agaknya Lie Kiat tidak tahu akan hal ini dan masih merangsek hebat.

Memang kelihatannya Biauw Kak mundur dan repot sekali karena desakan Lie Kiat. Tapi Lie Bun tahu benar bahwa si tinggi kurus itu mundur-mundur sambil mencari kesempatan dan menunggu sampai tenaga Ang-see-ciangnya sudah berkumpul penuh di kedua lengannya, baru mengirim pukulan mematikan.

Karena kepandaian inilah agaknya, maka Biauw Kak diberi julukan si Tangan Maut.

Sekarang barulah Lie Bun mengerti. Tapi sudah terlambat karena tak mungkin ia memberitahu kakaknya sekarang.

Hal yang dikhawatirkan Lie Bun terjadilah. Ketika Lie Kiat sedang menyerang

dengan pukulan tangan kanan, Biauw Kak tidak mau berkelit dan menerima poukulan itu dengan dadanya. Tapi berbareng ia pukulkan kedua tangannya yang mengandung tenaga Ang-see-ciang itu ke dada Lie Kiat.

Terdengar teriakan Lie Bun dan pada saat yang genting itu tiba-tiba Lie Bun ayunkan tangan kirinya hingga dua sinar hitam yang kecil dan hampir tak terlihat melayang cepat ke arah sambungan siku Biauw Kak.

Karena kerikil itu tepat mengenai urat terpenting di lengan, maka ketika itu juga, lengan Biauw Kak menjadi lumpuh dan hilang tenaganya hingga pukulannya tertunda. Tapi karena ia tadi tidak kelit pukulan Lie Kiat, maka tiada ampun lagi dadanya kena terpukul hingga tubuhnya terjungkal ke bawah panggung.

Untung baginya bahwa Lie Kiat tadi yang merasa terkejut melihat betapa lawannya dengan nekad mengadu jiwa dengan membarengi memukul padanya, berubah heran sekali, karena tangan lawannya menjadi lemas tiba-tiba, membuat ia tercengang dan pukulannya juga tidak sepenuh tenaga. Oleh karena ini, maka Biauw Kak hanya mendapat luka ringan saja.

Berbareng dengan tepuk sorak riuh rendah menyambut kemenangan Lie Kiat yang dengan gagah angkat dada karena bangga, tiba-tiba terdengar teriakan keras dan marah dari seorang hwesio tinggi besar.

“Bangsat kecil, kau berani betul main curang!”

Hwesio tinggi besar itu lalu menerjang kepada Lie Bun dan anak muda itu cepat menghindari serangan hwesio yang kalap itu.

Lie Kiat di atas panggung melihat betapa adiknya diserang orang, segera loncat turun dan menghadang di depan adiknya. Ketika ia melihat penyerang adiknya, ia merasa terkejut lalu menjura sambil berkata.

“Hok Hwat Losuhu, mengapa kau orang tua menyerang adikku?” tanyanya. “Setan kecil ini kurang ajar sekali dan berani bermain curang hingga melukai muridku!” jawab Hok Hwat Losuhu yang bukan lain ialah guru Biauw Kak.

Hwesio yang kosen ini ternyata dapat melihat gerakan tangan Lie Bun ketika menolong kakaknya dari bahaya maut dan menjatuhkan Biauw Kak dengan dua buah kerikil kecil. Tapi tentu saja pernyataan ini membuat Lie Kiat heran sekali dan ia segera membantah.

“Hok Hwat Losuhu, janganlah menuduh sembarangan. Adikku ini walaupun mengerti sedikit ilmu silat, mana ia dapat melukai muridmu?”

Hok Hwat Hwesio makin marah, sambil gerak-gerakan tangan ia berkata. “Kau jangan turut campur, lepaskan adikmu untuk kuhajar!”

“Kau orang tua enak saja bicara. Bagaimanapun aku tidak suka melihat adikku dihajar orang,” jawab Lie Kiat dengan berani, hingga Lie Bun merasa girang sekali. Timbul hati sayangnya yang besar kepada kakaknya ini. Karena ternyata walaupun sombong dan bengal, kakaknya ini cukup mempunyai kegagahan dan ketabahan untuk membela dia.

Lie Bun dari belakang pegang lengan kakaknya seakan-akan minta bantuan. Lalu sambil kernyitkan hidung, jebirkan bibir ke arah Hok Hwat Hwesio, ia berkata kepada Lie Kiat.

“Koko, jangan takut, koko!”

“Huah, kau diam saja, Lie Bun!” kata Lie Kiat karena ia melihat betapa hwesio itu makin marah.

“Lie Kiat, aku masih pandang muka gurumu dan orang tuamu maka aku tidak mau turunkan tangan padamu. Tapi kalau kau tetap hendak membela anak setan ini, terpaksa aku turun tangan.”

Lie Kiat angkat dadanya. “Kalau kau orang tua tidak malu hendak menyerang aku, sesukamulah. Tapi kau pasti akan ditertawai orang-orang gagah seluruh dunia. Kalau kau memang gagah dan hendak memperlihatkan kelihaian, bukan aku lawanmu!”

“Siapa? Siapa yang hendak kau ajukan? Hayo, suruh dia maju!” tantang Hok Hwat Hwesio.

“Tadi muridmu menjadi lawanku, maka lawanmu tiada lain orang ialah suhuku!” jawab Lie Kiat yang sebetulnya jerih terhadap hwesio kosen itu.

“Apa katamu? Kau bawa-bawa gurumu Kong Liak? Aku tidak hendak bermusuhan dengan dia. Tapi kalau dia tetap membela setan hitam ini, biarlah dia maju.”

Kebetulan sekali pada saat itu terdengarlah orang-orang yang berada di dekat situ berkata. “Kong Lo-kauwsu datang !”

Benar saja orang tua she Kong yang menjadi guru Lie Kiat itu datang dengan tindakan lebar. Ia telah mendengar bahwa muridnya ikut memasuki pertandingan itu hingga ia merasa tidak senang. Karena ia takut kalau-kalau muridnya itu akan mendatangkan ribut.

Lie Kiat sambut suhunya dengan girang dan bangga. Sebaliknya Kong Liak memperlihatkan muka tidak senang.

“Lie Kiat, untuk apa kau ikut dalam permainan berbahaya ini?” tegurnya.

“Teecu telah dapat berhasil menjadi juara, suhu,” jawab muridnya dengan bangga. Tapi suhunya geleng-geleng kepala seakan-akan hal itu tidak penting sama sekali. Kemudian Kong Liak melihat betapa Hok Hwat Hwesio berdiri di situ sambil memperlihatkan sikap bermusuhan, maka ia buru-buru menjura.

“Ah, tidak tahunya Hok suhu juga berada di sini!”

Dengan heran Kong Liak melihat betapa hwesio itu membalas salamnya dengan sikap dingin sekali.

”Suhu, Hok Losuhu agaknya tidak rela muridnya dapat teecu kalahkan,” Lie Kiat yang cerdik mendahului.

“Kong-kauwsu! Tolong kau suruh muridmu itu jangan mencampuri urusanku,” Hok Hwat Hwesio berkata marah.

“Eh, eh! Ada urusan apakah, Hok suhu?”

“Aku hendak memberi hajaran kepada setan muka hitam yang jahat itu, tapi muridmu hendak membelanya. Kalau aku tidak melihat mukamu, sudah tadi-tadi dia kuhajar sekalian.”

“Lie Kiat, kesalahan apakah yang kau perbuat kepada Hok suhu? Jangan kau kurang ajar terhadap orang dari tingkatan tua,” tegur Kong Liak kepada muridnya.

“Suhu, lihatlah anak muda ini. Kau kira siapakah dia? Dia adalah Lie Bun, adikku

yang telah tujuh tahun pergi. Dia sekarang telah kembali. Tapi tiada hujan tiada angin tahu-tahu Hok losuhu hendak menyerangnya. Tentu saja teecu tidak tinggal diam.”

Tercenganglah Kong Liak melihat Lie Bun. Ia telah lupa akan wajah anak kecil yang dulu dibawa pergi oleh Kang-lam Koay-hiap. Tapi melihat pakaian aneh yang dipakai oleh Lie Bun, guru silat she Kong ini teringat lagi akan pengemis aneh yang gagah itu. Ia pandang Lie Bun agak lama, lalu menghela napas.

“Aku menjadi orang selamanya tidak suka mencari permusuhan. Kalau aku sudah melakukan sesuatu, maka aku akan tanggung semua akibatnya sebagai seorang laki- laki. Tak perlu menyeret-nyeret orang lain ke dalam urusan itu. Hok suhu, kau tahu akan aturan kita yang menyebut diri orang-orang kang-ouw. Lihat, lui-tai masih berdiri teguh. Untuk apa kau mengejar orang di bawah panggung?”

Pada saat itu, si gendut tukang pidato sudah naik ke panggung dan mengumumkan bahwa yang menjadi juara adalah Lie Kiat-enghiong dari Bi-ciu.

Tapi tiba-tiba dari bawah panggung berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu seorang hwesio tinggi besar telah berdiri di depannya dan membentaknya.

“Pergi kau dari sini!”

Si gendut begitu terkejut hingga kedua kakinya lemas dan ia terhuyung-huyung. Lenyaplah sikap dan lagaknya yang gagah tadi dan ia tinggalkan panggung bagaikan seekor anjing kena pukul.

Hok Hwat Hwesio berkata kepada semua orang dengan suara keras.

“Muridku telah dijatuhkan orang dalam pertandingan. Ini sebetulnya adalah hal yang biasa saja dan adalah salah muridku sendiri yang masih bodoh. Tapi dalam hal ini, tanpa diketahui orang lain, telah terjadi penghinaan terhadap muridku dan aku sendiri. Karena dengan diam-diam ada orang yang melukai muridku. Maka sekarang, sebagai seorang laki-laki dan seorang gagah, aku minta orang itu naik ke panggung untuk mengadu kepandaian dengan terang-terangan. Orang itu adalah pengemis muka buruk yang tadi mengaku menjadi adik dari Lie-enghiong. Hayo pengemis muda muka

buruk yang berani pakai julukan Ouw-bin Hiap-kek. Kau naiklah, jangan sembunyi di belakang Lie-enghiong dan Kong-kauwsu sebagai seekor anjing!”

Semua penonton mendengar ini merasa tegang sekali, karena baru mereka tahu bahwa telah terjadi hal yang aneh dan bahwa kini tentu akan terjadi adu tenaga yang betul- betul hebat di atas panggung, bukan merupakan demonstrasi atau perebutan kejuaraan. Tapi yang mengherankan mereka, mengapa hwesio guru Biauw Kak yang galak dan kuat ini menantang adik Lie Kiat yang masih muda dan berpakaian seperti pengemis itu?

Sementara itu, mendengar betapa adiknya dimaki orang, Lie Kiat marah sekali dan hampir saja ia ayunkan kaki naik ke panggung dengan nekat. Tapi Kong Liak menahannya. Guru silat itu lalu menatap wajah Lie Bun dengan tajam lalu bertanya.

“Ji-kongcu, apakah kau murid Kang-lam Koay-hiap?” Lie Bun mengangguk.

“Kalau begitu, mengapa kongcu diam saja mendengar tantangan Hok Hwat Hwesio? Sayangilah nama besar suhumu yang mulia.”

Lie Bun tersenyum.

“Kong suhu, bukan aku jerih kepadanya. Tapi aku sedang gembira sekali melihat betapa kakakku membelaku. Koko, sekarang kau lihatlah adikmu akan mempermainkan hwesio gundul yang sombong itu.” Lie Kiat memandang kaget. Tapi terkejutlah ia karena adiknya telah tidak berada di situ lagi.

Ketika ia melihat ke atas panggung, ternyata Lie Bun telah berdiri menghadapi Hok Hwat Hwesio dengan cengar-cengir menggoda.

“Bangsat kecil, sebenarnya aku malu untuk turun tangan di atas panggung untuk menghajarmu. Tapi kalau tidak dihajar, mungkin kelak kau akan menjadi setan pengganggu orang. Apakah kau betul-betul terima tantanganku untuk mengadu tenaga?”

Lie Bun tersenyum dan berkata dengan suara lebih keras dari pada suara Hok Hwat Hwesio.

“Ah, tidak sangka ada hwesio yang masih malu-malu kucing. Jangan malu-malu, losuhu. Bukankah dengan menantang aku di atas panggung ini kau tampak gagah dan jagoan sekali? Lihat, ribuan orang melihatmu. Lihatlah, semua mata ditujukan kepadamu. Ah, namamu akan termasyur benar kali ini. Angkat sedikit dadamu biar makin gagah tampaknya. Kau tantang aku? Tentu saja kuterima. Sekarang aku sudah berada di sini. Kau mau mengajak main apa?”

Mendengar kata-kata yang penuh olok-olok itu, beberapa orang tertawa geli hingga Hok Hwat Hwesio makin marah.

“Anak kurang ajar, kau murid siapakah maka tingkahmu seperti orang yang tidak pernah dididik?” bentaknya

“Dan kau murid siapakah? Lagakmu besar amat! Sudahlah tak perlu bertanya guru segala. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Ouw-bin Hiap-kek dan namaku Lie Bun, habis perkara!”

Diejek demikian itu, Hok Hwat Hwesio heran sekali hingga untuk sesaat lamanya ia tak dapat berkata-kata. Mengapa anak ini begini berani? Benarkah anak ini adik Lie Kiat?

“He, hwesio tinggi besar! Kenapa kau diam saja. Jadi atau tidak tantanganmu? Para penonton sudah tidak sabar menunggu.”

Kembali terdengar tertawa di sana sini.

“Anak kecil berani mampus! Biar kuberi hajaran beberapa tamparan pada mulutmu yang kurang ajar!”

Sehabis berkata demikian, tangan Hok Hwat Hwesio menampar ke arah pipi Lie Bun. Tapi mana anak muda ini mau pipinya ditampar orang? Ia loncat berkelit dengan cekatan sekali sambil keluarkan suara mengejek.

Hok Hwat Hwesio menjadi marah dan kirim pukulan berat ke arah dada Lie Bun.

“Hwesio besar, kurang rendah pukulanmu!” Lie Bun mengejek sambil bongkokkan tubuh dan melesat dari bawah lengan lawannya. Semua penonton tertawa riuh karena pertandingan ini lucu sekali. Sedangkan Lie Kiat kerutkan alis karena ia khawatir sekali melihat gerakan adiknya yang kelihatannya seperti bukan gerakan silat itu.

“Ah, celaka, jangan-jangan ia tidak mengerti silat,” katanya perlahan tapi terdengar juga oleh suhunya yang berdiri di sebelahnya.

“Jangan kau cemas, Lie Kiat. Kepandaian adikmu itu masih beberapa lipat lebih tinggi dari pada kepandaianku atau kepandaian Hok Hwat Hwesio,” kata Kong Liak dengan mata berseri dan mulut tersenyum.

Lie Kiat terkejut sekali dan memandang suhunya dengan hati tidak percaya. Kemudian ia melihat lagi ke atas panggung.

Setelah beberapa kali memukul tapi selalu dapat dikelit oleh Lie Bun dengan lincahdan lucu. Terkejutlah Hok Hwat Hwesio. Ia merasa penasaran sekali dan sambil berseru keras ia keluarkan tendangan Siauw-cu-swie, yakni tendangan berantai yang berbahaya sekali. Kedua kaki hwesio yang besar dan kuat itu seakan-akan berubah menjadi kitiran dan tiada hentinya bergerak bertubi-tubi menendang ke arah bagian- bagian berbahaya dari Lie Bun. Sambil menggerakkan kakinya menendang, Hok Hwat Hwesio keluarkan seruan-seruan pendek untuk mengatur tenaga.

Semua orang, termasuk Lie Kiat keluarkan teriakan tertahan dan ngeri. Kembali Kepangkuan Ibu Yang Bijak

TAPI Lie Bun bagaikan seperti seekor monyet sakti, gerakan tubuhnya dengan cepat dan imbangi gerakan kaki lawannya hingga dengan cepat sekali ia bisa ambil ketika untuk berkelit tiap kaki yang datang menendang. Juga untuk mengimbangi tenaga kelitnya, ia perdengarkan seruan-seruan. “Hai! Yehh! Hayaaaa!!!” berkali-kali hingga semua orang bersorak riuh karena pemandangan di atas panggung di saat itu memang dapat menggembirakan orang.

Tampak betapa tubuh hwesio yang tinggi besar ini bergerak-gerak maju sambil kedua kakinya berganti-ganti terayun keras. Sebaliknya Lie Bun sambil mundur berkelit ke sana ke mari sambil gerak-gerakkan kedua lengan untuk menjaga keseimbangan tubuh dan loncatnya mengitari panggung. Dan dari mulut kedua orang itu tiada hentinya terdengar seruan-seruan yang berlainan hingga tampak seperti dua orang pelawak yang sedang bermain-main saja.

Juga Lie Kiat merasa kagum dan gembira sekali, hingga hampir saja ia berjingkrak dan menari kegirangan karena bangga melihat gerak-gerik adiknya.

Setelah mengelilingi panggung tiga putaran, maka tahulah Hok Hwat Hwesio bahwa tendangannya Siauw-cu-twie yang biasanya sangat dibanggakan dan jarang yang dapat menahannya ini, ternyata kali ini tak ada gunanya. Maka ia lalu turunkan kakinya dan karena penggunaan kedua kaki adalah jauh lebih banyak makan tenaga dari pada penggunaan kedua tangan, maka setelah menurunkan kakinya, Hok Hwat Hwesio yang sudah agak tua itu terengah-engah menarik napas. Lie Bun berdiri dan dengan gaya lucu ia meniru hwesio itu dan sengaja terengah- engah seperti orang yang sudah kehabisan napas.

Kembali para penonton tertawa geli dan Hok Hwat Hwesio menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan murid seorang pandai. Tapi ia sudah tak dapat mundur lagi, sudah kepalang. Kini ditambah dengan sikap Lie Bun yang sengaja mempermainkannya. Ia murka sekali dan maju menubruk dengan gemas.

Lie Bun berkelit cepat dan hwesio itu lalu keluarkan ilmu silat Kiauw-ta Sin-na yang hebat dan berbahaya.

Menghadapi ilmu silat yang juga telah dikenal baik ini, Lie Bun tidak menjadi bingung dan ia lalu keluarkan Bie-ciang-kun-hwat.

Sebenarnya kalau yang melakukannya orang lain, tentu saja Bie-ciang-kun-hwat tidak mungkin dapat menandingi Kiauw-ta Sin-na yang mempunyai seratus dua puluh jurus-jurus yang lihai itu. Tapi karena Lie Bun memang telah digembleng secara hebat oleh guru yang luar biasa pula, biarpun dengan ilmu silat apapun juga, ia tentu akan dapat menandingi lawannya yang sesungguhnya masih kalah jauh olehnya.

Pada jurus ke tiga puluh, Lie Bun menganggap telah cukup lama mempermainkan lawannya, maka ia segera percepat gerakannya dan kini ia mulai menyerang.

Hwesio yang sudah terheran-heran melihat kelihaian anak muda muka hitam itu, kini terkejut sekali dan mengeluarkan seruan tertahan. Gerakan anak itu demikian cepat dan tenaga pukulannya demikian keras hingga ia terpaksa mundur terus.

Para penonton yang tadinya bersorak ramai menjadi kesima dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga mereka lihat bagaimana Hok Hwat Hwesio yang terkenal gagah itu kini main mundur memutari panggung dan didesak oleh Lie Bun.

Hok Hwat Hwesio mandi keringat dingin dan ia telah menjadi pening dan kedua matanya berkunang-kunang.

Lie Bun hanya mendesak terus dan mengirim pukulan-pukulan berbahaya, tapi setiap pukulannya akan berhasil, ia menariknya mundur. Didesak secara begini, akhirnya Hok Hwat Hwesio tidak kuat lagi dan gerakan kakinya terhuyung-huyung. Maka ia lalu loncat mundur dan ketika kakinya yang gemetar dan lemas itu menginjak papan panggung, hampir saja ia terjatuh. Cepat-cepat ia berteriak.

“Tahan, aku menyerah!”

Melihat betapa hwesio tinggi besar itu dengan tak malu-malu menyatakan menyerah, tiba-tiba berubahlah perasaan Lie Bun. Ia tidak tega lagi untuk mempermainkan. Tadi ia sengaja mempermainkan karena melihat lagak yang angkuh dari hwesio itu. Tapi sekarang setelah hwesio itu mengaku kalah, ia menjadi kasihan.

Lie Bun menjura dan berkata. “Losuhu, kau sengaja mengalah.” Tapi Hok Hwat Hwesio segera balas menjura. “Enghiong yang muda, sungguh kau gagah perkasa. Sekarang tahulah pinceng bahwa dunia ini lebar sekali dan banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang luar biasa. Bolehkah sekarang pinceng mengetahui siapakah nama guru enghiong yang mulia?”

“Suhuku adalah Kang-lam Koay-hiap.”

Maka tercenganglah Hok Hwat Hwesio dan setelah berkali-kali ia berkata “Maaf, maaf!” ia lalu loncat turun dan ajak muridnya cepat tinggalkan tempat itu. Lie Bun juga loncat turun dan ia dipeluk oleh kakaknya. Lie Kiat girang sekali dan mendesak agar nanti Lie Bun di rumah suka memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan tadi padanya.

Lie Bun hanya tersenyum dan mereka lalu pulang bersama Kong Liak. Lie Kiat yang berwatak sombong, sebelum tiba di rumah mengajak adiknya memasuki sebuah toko pedagang pakaian dan memaksa adiknya supaya mengganti pakaiannya yang disebut memalukan itu. Untuk menyenangkan hati kakaknya, terpaksa Lie Bun bertukar pakaian yang mewah dan baru hingga ia sekarang tampak agak lumayan juga.

Hati dalam dada Lie Bun berdebar-debar dan lehernya bagaikan dicekik karena terharu ketika ia memasuki rumah gedungnya yang telah dikenal baik itu. Ia tahu bahwa pada sore hari tentu ayah ibunya berada di dalam kamar mereka, maka begitu menginjak halaman gedung ia segera berlari-lari masuk.

Lie Ti dan isterinya sedang duduk menghadapi teh wangi. Lie-wangwe sudah tampak tua dan rambut di atas telinganya telah memutih. Tapi Lie-hujin biarpun mukanya telah menjadi agak kurus, tapi masih tampak cantik.

Mereka tercengang ketika melihat seorang pemuda lari masuk dan tiba-tiba berlutut di depan mereka sambil berseru.

“Ayah ...... ibu ”

Sebelum kedua orang tua itu kenali Lie Bun, tahu-tahu Lie Bun sudah menubruk dan memeluk kaki ibunya.

”Ibu ...... anakmu A Bun datang !”

“A Bun ? nyonya Lie memekik.

“Lie Bun .....! Kau ??” Lie Ti berseru.

Mereka lalu berpelukan dan Lie Bun mencucurkan air mata. Air mata bangga. Lie Kiat masuk dan tertawa sambil berkata kepada ibunya.

“Nah, apa kataku dulu, ibu? Si Topeng Setan itu pasti akan kembali!” “Lie Kiat! Jangan kau sebut adikmu demikian!” tegur ibunya.

Tapi Lie Bun dengan air mata masih membasahi pipi tersenyum. “Biarlah, ibu. Twako memang nakal, bahkan ia telah memberi nama baru padaku, yaitu Si Muka Hitam.”

“Memang, dia adalah Ouw-bin Hiap-kek yang berkepandaian tinggi sekali. Ayah, kau akan heran melihat kepandaian silat si Muka Hitam ini!” kata Lie Kiat.

Maka bergembiralah sekeluarga dengan kembalinya Lie Bun hingga pemuda itu yang telah merantau dan hidup menempuh serta menghadapi kepahitan dan perjuangan hidup beserta suhunya selama tujuh tahun, kini merasa aman dan tenteram.

Setelah berdiam di rumah beberapa lamanya, tahulah Lie Bun bahwa kakaknya menuntut hidup yang royal dan mewah sekali. Dan bahwa Lie Kiat selalu dimanja oleh orang tuanya. Ibunya dengan wajah susah pernah berkata kepada Lie Bun tentang kakaknya.

“Lie Bun, kakakmu itu memang bandel dan bengal. Ia telah ditunangkan dengan seorang gadis dari keluarga baik-baik dan kaya, juga gadis itu cerdik dan cantik. Tapi A Kiat itu masih saja bergaul dengan segala macam perempuan tak keruan di luaran. Bahkan sekarang ia mempunyai seorang kekasih, kabarnya dari kalangan persilatan, seorang gadis kasar yang tak pandai bermain jarum, tapi pandai bermain pedang. Ah, ngeri aku memikirkannya, seorang gadis bermain-main dengan pedang tajam.

Sungguh berbahaya!”

Ibunya yang cantik dan halus gerak-geriknya itu geleng-geleng kepala dengan wajah susah.

Lie Bun memandang ibunya dengan tersenyum geli. “Barangkali twako cinta kepada gadis berpedang itu!”

Ibunya hanya geleng-geleng kepala. “Kau jangan tiru-tiru adat kakakmu, A Bun!”

Tapi di depan Lie Kiat, ibu yang menyintai anaknya ini tak pernah membicarakan soal ini. Karena kasihan melihat ibunya, pada suatau hari Lie Bun dengan berterang berkata kepada kakaknya.

“Twako, aku dengar kau mempunyai seorang kawan baik yang lihai ilmu pedangnya dan cantik rupanya.”

Lie Kiat memandangnya dengan mata melotot. “Eh, eh! Kau tahu dari mana?”

“Dari mana aku tahu bukan soal penting, yang terpenting ialah betul atau tidak?” Lie Bun menggoda sambil tertawa.

Lie Kiat bersungut-sungut. “Ah, kau anak-anak tahu apa! Jangan ikut-ikut urusan orang dewasa!”

Lie Bun cemberut tak puas. “Twako, jangan lupa, aku telah berusia delapan belas tahun. Bukankah umur sebegitu itu sudah dewasa namanya?” “Biarpun sudah dewasa, kau tahu apa tentang perasaan cinta!”

Lie Bun tiba-tiba teringat akan Kwei Lan, gadis Lo-wangwe yang jelita dan belum pernah terlupa olehnya itu dan ia merasa hatinya seperti tertusuk. Tapi ia cepat tekan perasaannya dan tersenyum sambil menggoda kakaknya.

“Ah, kalau begitu kau sudah jatuh cinta rupanya? Koko, perkenalkanlah aku kepada calon sosoku itu!”

Tiba-tiba Lie Kiat termenung. “Itulah yang membingungkan hatiku,” katanya perlahan.

Lie Bun pegang lengan kakaknya yang berkulit halus putih. “Ada apakah, twako?”

“Aku telah ditunangkan kepada seorang gadis keturunan hartawan oleh ayah dan ibu, yakni gadis dari kota Lun-kwan.”

“Apakah kau tidak suka kepada gadis itu?” tanya Lie Bun. “Suka sih suka. Orangnya cantik manis dan terpelajar pula.” “Habis, mengapa kau mengeluh? Itukan beruntung namanya.”

“Ah, kau tidak tahu! Bukankah kau tadi bilang aku mempunyai seorang kawan yang pandai main pedang?”

“Ooooo jadi ada gadis lain yang telah mencuri hatimu?” Lie Bun berseru

menggoda.

“Lie Bun, jangan main-main, kupukul kau nanti! Ini bukan urusan kecil. Pikiranku bingung sekali.”

Lie Bun tidak mau menggoda lebih lanjut dan ia tarik muka sungguh-sungguh.

“Twako, mengapa harus dibingungkan? Kau tinggal pilih mana yang kau sukai dan kawinilah dia, habis perkara.”

Lie Kiat termenung dan berkata. “Aku ingin mengawini dua-duanya, dua-duanya

berat bagiku. Yang seorang terpelajar dan cantik jelita, sedangkan yang lainnya gagah dan manis.”

Lie Bun pandang kakaknya dengan mata terbelalak dan ia garuk-garuk kepalanya. “Dua-duanya ??”

Suara adiknya membuat Lie Kiat memandangnya dengan tajam.

“Ya, dua-duanya! Habis kau mau apa? Siapa yang berhak melarangku? Apa salahnya kalau aku ambil dua-duanya?” “Eh, aku sih tidak apa-apa, tapi .... tapi ... ini berabe juga !”

“Sebetulnya Cui Im tidak keberatan, tapi tunanganku, pilihan ayah ibu itu tentu merasa keberatan, dan ayah ibu sendiri ah, aku bingung, Lie Bun!”

“Siapa itu Cui Im, twako?”

“Gadis kedua,” jawabnya pendek.

“Twako ” kata Lie Bun perlahan agar jangan mengagetkan kakaknya yang sedang

termenung dengan wajah murung.

“Ada apa?” jawab kakaknya acuh tak acuh. “Sebetulnya kau beruntung sekali.”

Lie Kiat memandang adiknya dengan heran. “Beruntung? Apa maksudmu?” “Kau menyinta dan dicinta oleh dua orang gadis cantik.”

Kalau sekiranya Lie Kiat tidak terlalu berwatak mementingkan diri sendiri, tentu ia akan mendengar betapa di dalam pernyataan Lie Bun ini terkandung rintihan jiwa menderita rindu. Tapi Lie Kiat yang tak pernah memikirkan orang lain itu hanya menjawab.

“Cui Im memang cinta padaku. Tapi anak hartawan Lun-kwan itu belum tentu. Akupun baru satu kali melihat orangnya!” Tiba-tiba Lie Kiat merasa bangga karena kata-kata adiknya itu dan timbul pikirannya untuk membanggakan nona kekasihnya kepada adiknya ini.

“Lie Bun, hayo kau ikut aku ke rumahnya!” tiba-tiba ia berkata. “Ke rumahnya? Rumah siapa, twako?”

“Hayo, ikut saja!”

Keduanya lalu tinggalkan rumah mereka dan Lie Kiat ajak adiknya menuju ke Lun- kwan. Ia sengaja ambil jalan memutar, melalui sawah-sawah yang sunyi karena ia hendak gunakan ilmu lari cepatnya untuk menguji kemampuan adiknya.

Tapi sebenarnya dalam hal ilmu lari ia masih jauh di bawah Lie Bun, hanya karena memang Lie Bun beda wataknya jika dibandingkan dengan Lie Kiat. Pemuda ini selalu merendengi kakaknya dan tidak mau memamerkan kepandaiannya.

Kota Lun-kwan terletak di sebelah selatan Bi-ciu dan jauhnya hanya tiga puluh li. Maka dengan ilmu lari cepat mereka, tak lama mereka tiba di Lun-kwan dan Lie Kiat ajak adiknya menuju ke sebuah rumah yang kecil sederhana. Seorang gadis yang usianya tak lebih dari tujuh belas tahun dan berwajah manis dan berpakaian sederhana menyambut mereka dengan girang. Lie Bun melihat betapa sepasang mata gadis itu berseri gembira ketika melihat Lie Kiat.

“Koko, aku telah mendengar tentang kemenanganmu. Kionghi, kionghi! Kau hebat sekali, koko!” Kemudian setelah mempersilahkan mereka duduk, gadis itu melanjutkan kata-katanya dengan sikap manja.

“Dan akupun mendengar tentang adikmu yang katanya telah mengalahkan Hok Hwat Hwesio. Benarkah itu?”

Lie Kiat tersenyum manis. “Cui Im, adikku itu sebetulnya biasa saja kepandaiannya dan ia banyak mendapat petunjuk dari aku. Nah, ini dia orangnya. Perkenalkan, inilah Ouw-bin Hiap-kek, adikku, namanya Lie Bun.” Kemudian kepada Lie Bun ia berkata. “Nah, inilah Cui Im yang kuceritakan padamu tadi!”

Cui Im memandang kepada Lie Bun dengan kagum dan heran, sedangkan Lie Bun segera berdiri dan angkat kedua tangan memberi hormat. “Cui-siocia, aku merasa terhormat sekali dapat berkenalan dengan kau.”

“Ah, silahkan duduk. Jangan sungkan-sungkan, Lie-taihiap. Kau sungguhpun masih muda tapi kepandaianmu hebat sekali. Sungguh membuat aku kagum,” Cui Im memuji.

Kemudian mereka bertiga mengobrol dengan gembira. Kebetulan sekali Cui-hujin, yakni janda ibu Cui Im, sedang keluar hingga gadis itu berada seorang diri di rumahnya.

Lie Bun melihat betapa keadaan gadis itu miskin, tapi ternyata sikap gadis itu ramah sekali dan pandai bergaul hingga sangat menyenangkan dan cepat sekali ia merasa tertarik. Pantas saja kokonya jatuh hati kepada gadis itu, pikirnya. Dan ia tidak salahkan Lie Kiat dalam hal ini.

Ia lalu teringat akan ibunya. Ah, ibunya adalah keturunan bangsawan. Tentu saja ibu menghendaki seorang anak mantu yang selain cantik jelita juga halus dan pandai mengerjakan segala macam kerajinan tangan.

Lie Bun ingin sekali melihat sampai di mana tingkat permainan pedang Cui Im. Tapi ia tidak berani menyatakan keinginannya ini. Hanya berkata dengan menyimpang.

“Cui-siocia, dari saudaraku ini aku mendengar bahwa kau adalah ahli ilmu pedang. Bolehkah kiranya aku mengetahui siapa gerangan gurumu yang mulia?”

Cui Im tersenyum dan tampaklah dua lesung pipit yang manis di kanan kiri pipinya.

“Lie-koko memang bisa saja memuji-muji orang,” katanya sambil mengerling ke arah Lie Kiat. “Siapa sih yang pandai silat pedang? Aku hanya bisa gerakkan satu dua jurus saja dan guruku adalah Leng Leng Nikouw dari kelenteng Hwe-thian-sie.”

Maka timbullah watak Lie Kiat yang selalu ingin memamerkan sesuatu. “Moi-moi, cobalah kau perlihatkan satu dua jurus ilmu pedangmu yang indah itu kepada adikku!” katanya gembira.

Cui Im mengerling sambil cemberut. “Ah, mana kebodohanku ada harganya untuk dilihat oleh Lie-taihiap?”

Lie Kiat berkata sambil tersenyum manis. “Jangan begitu, Im-moi. Tak perlu malu- malu, Lie Bun bukanlah orang lain. Dia adikku sendiri. Apa perlunya sungkan- sungkan?”

Karena Cui Im memang berwatak bebas dan polos pula, ia memang selalu menuruti kehendak Lie Kiat, maka segera ia lari ke dalam dan keluar pula sambil membawa sebatang pedang yang kecil dan tipis tapi cukup tajam gemerlapan karena mengkilap dan putih bersih.

Mereka bertiga lalu pergi ke halaman belakang dan di situ Cui Im bersilat pedang. Mula-mula gerakannya indah, lemas dan perlahan, tapi makin lama makin cepat hingga pedangnya merupakan sinar putih yang bergulung-gulung. Diam-diam Lie Bun memuji ketangkasan gadis itu yang agaknya kepandaiannya tidak di bawah gadis baju merah yang sombong dulu itu.

Setelah bersilat beberapa puluh jurus, Cui Im hentikan permainannya dan simpan pedangnya. Lie Bun tepuk-tepuk tangannya menyatakan bagus.

“Sungguh kau lihai sekali, Cui-siocia. Ilmu pedangmu cukup hebat. Bukankah yang kau mainkan tadi Tiat-mo Kiam-hwat yang digabung dengan Kiam-hwat dari Go-bi- pai?”

Terkejut sekali hati Cui Im. Alangkah tajamnya mata pemuda muka hitam ini.

“Lie-taihiap, kau sungguh luar biasa. Sekali lihat saja kau sudah mengenal kiam- hwatku.”

Lie Kiat melihat bahwa adiknya puas dan kagum melihat Cui Im. Timbullah watak gembiranya. Ia pinjam pedang dari Cui Im dan mulai bersilat pedang. Ilmu pedangnya tidak seindah gerakan Cui Im, tapi cukup kuat dan ganas.

Setelah bersilat pedang, Lie Kiat paksa adiknya untuk bersilat pula menggunakan pedang itu.

Lie Bun menolak, tapi Cui Im membantu Lie Kiat membujuknya hingga Lie Bun terpaksa tak dapat menolaknya pula. Ia tak ingin memamerkan kepandaiannya, maka ia hanya mainkan sebagian dari ilmu pedang Siauw-lim-pai dan sengaja memperlambat gerakannya. Biarpun demikian, namun ia telah mempesonakan Cui Im dan Lie Kiat karena sambaran pedangnya mendatangkan angin dingin dan tubuhnya lenyap dalam sinar pedang.

Belum habis Lie Bun bermain pedang, tiba-tiba terdengar orang tertawa menyindir. “Inikah yang menjatuhkanmu, sute? Mengherankan sekali!” Lie Kiat dan Cui Im berpaling cepat dan Lie Bun juga menunda permainannya dan menengok.

Ternyata di situ telah berdiri Hok Hwat Hwesio dan seorang tosu muka merah yang bermata jalang. Hok Hwat Hwesio memandang Lie Bun dengan mata merah, tapi ia paksakan diri menjura dan berkata.

“Lie-enghiong, maafkan pinceng, karena pinceng dengan terpaksa mengganggumu. Ini suhengku karena tertarik ingin melihat ilmu pedang yang lihai, telah memaksaku untuk masuk ke sini.”

Tosu itu sebentar-sebentar melirik ke arah Cui Im hingga gadis itu menjadi tidak senang dan malu, lalu cepat-cepat ia sembunyikan diri di belakang Lie Kiat.

Kemudian tosu itu menghadapi Lie Bun dan berkata dengan sikap memandang rendah.

“Jadi, kaukah yang disebut Ouw-bin Hiap-kek? Ilmu pedangmu dari Siauw-lim-pai tadi bagus sekali hingga membuat pinto ingin sekali mencobanya. Tidak tahu apakah kau mempunyai ilmu pedang lain lagi yang lebih lihai dari ilmu pedang Siauw-lim tadi?”

Lie Bun tersenyum, ia anggap tidak aneh sikap tosu itu demikian sombong, karena pendeta ini adalah suheng dari Hok Hwat Hwesio.

“Ilmu pedang apalagi yang kumiliki? Hanya dari Siau-lim inilah!” jawab Lie Bun.

Tosu itu tertawa keras. “Jadi engkau adalah murid Siauw-lim-si? Kalau hanya memiliki kiam-hwat dari Siauw-lim, bagaimana bisa mengaku menjadi murid Kang- lam Koay-hiap?”

Lie Bun mendengar nama suhunya yang tercinta di bawa-bawa menjadi tak senang. Tapi wajahnya masih tetap tersenyum.

“Siapakah locianpwe ini? Harap suka memberitahukan nama.”

“Kau mau tahu? Akulah yang benama Hok Liong Tosu. Nah, kau gerakkan pedangmu untuk melayani pinto.”

Lie Bun tidak mau memperbesar rasa permusuhan, maka ia lalu menjawab.

“Aku yang muda selama hidup tak pernah menyusahkan locianpwe. Mengapa locianpwe sekarang mendesak dan hendak menghina orang muda?”

“Anak bodoh, siapa yang mendesak dan menghina? Kata suteku, kau mempunyai ilmu silat yang tinggi maka pinto ingin sekali mencobanya. Kalau kau tidak berani, maka kau harus minta maaf kepada suteku ini dan menyebut pinto sucouw tiga kali!”

Sebutan sucouw sebetulnya adalah kakek guru atau kakek besar dan seringkali sebutan ini dipakai untuk mengangkat diri setinggi-tingginya dan dengan demikian menghina kepada yang menyebutnya. Tapi Lie Bun memang telah dapat menekan nafsu dan tetap bersabar. Tidak demikian dengan Lie Kiat yang berdarah panas. Ia melangkah maju dan berkata.

“Lie Bun, kau terang-terangan ditantang. Mengapa tidak maju? Jangan membikin malu kakakmu! Kalau aku yang ditantang begitu macam, tidak perduli siapa yang menantang dan biarpun dengan taruhan jiwaku, pasti akan kulayani!”

Tapi Cui Im gadis manis itu pikirannya lebih luas dan cerdik dari pada Lie Kiat. Ia maklum akan kelihaian Hok Hwat Hwesio yang dianggap guru terpandai di Lun- kwan, maka tentu saja tosu yang menjadi suhengnya ini lebih lihai lagi. Karena itu ia merasa khawatir kalau-kalau Lie Bun takkan dapat melawannya jika melayani tantangan Hok Liong Tosu. Maka katanya kepada Lie Kiat.

“Koko, janganlah kau mendesak Lie-taihiap. Dia masih muda dan memang sikapnya yang mengalah ini baik sekali. Untuk apa mencari permusuhan dengan segala orang?”

Suara gadis ini merdu dan nyaring, tapi mengandung sindiran tajam kepada Hok Liong Tosu yang disebut “segala orang”, maka tosu itu melirik dengan muka merah kepada gadis manis itu. Ia lalu tersenyum dan berkata kepada Lie Bun.

“Kalau Ouw-bin Hiap-kek tidak berani melawan pinto, boleh juga diwakilkan. Tapi jangan kakakmu yang tidak becus apa-apa ini! Boleh diwakili oleh nona ini untuk bermain-main sebentar dengan pinto!”

“Tosu siluman kurang ajar!” Lie Kiat membentak marah lalu maju memukul dengan sekuat tenaganya. Tapi tosu itu dengan tertawa menyindir lalu angkat tangan kanannya bergerak cepat dan tahu-tahu Lie Kiat telah didahului olehnya dan didorong ke belakang hingga terpental jatuh.

Lie Bun tidak mau tinggal diam dan loncat maju.

“Eh, tosu kasar dan sombong. Kau tidak pantas dihormat oleh yang muda! Percuma saja kau berpakaian pendeta, kalau tingkahmu tidak lebih baik dari pada seorang bajingan rendah saja!”

Hok Liong Tosu marah sekali dan ia cabut pedangnya. Lie Bun kaget melihat sinar pedang itu karena maklum bahwa tosu itu memiliki sebuah pedang pusaka yang tajam dan kuat. Ia khawatir kalau-kalau nanti pedang Cui Im terusak oleh pedang tosu itu, maka ia segera memandang ke arah serumpun bambu yang tumbuh di dalam pekarangan itu.

“Cui-siocia, bolehkah aku mengambil sebatang bambu itu?”

Cui Im yang telah menolong Lie Kiat dan membantu kekasihnya itu berdiri, memandang heran dan berkata. “Tentu saja boleh!”

Lie Bun lalu berkata kepada Hok Liong Tosu.

“Tahanlah nafsumu sebentar. Aku hendak mencari senjata untuk melayanimu dengan ilmu pedangku dari Siauw-lim-si!” Kemudian sambil membawa pedang Cui Im ia lalu menghampiri rumpun bambu lalu membacok putus sebatang bambu kuning yang sudah tua. Setelah membersihkan daun-daunnya, maka ia lalu bawa bambu yang panjangnya kira-kira setengah meter itu ke tempat mereka yang melihatnya dengan heran. Ia lalu mengembalikan pedang Cui Im dan menghadapi Hok Liong Tosu dengan bambu di tangan.

“Nah, sekarang aku telah siap dan kau boleh mencoba ilmu pedangku,” katanya dengan tenang.

“Tidak, tidak, Lie-taihiap. Kau pakailah pedangku ini. Aku rela kau pakai pedangku!” kata Cui Im cepat-cepat.

“Lie Bun, kau pakailah pedang Cui Im!” Lie Kiat juga mendesak.

Tapi Lie Bun hanya menggeleng kepala sambil tersenyum. Tentu saja Cui Im dan Lie Kiat tidak tahu bahwa Lie Bun memang sengaja memakai bambu itu karena untuk menghadapi pedang pusaka lawannya ia tahu bahwa pedang Cui Im tentu akan terbabat kuntung. Sedangkan kalau ia gunakan bambu tua yang lemas dan ulet ia dapat menghadapi pedang pusaka dengan lebih leluasa.

Pula memang ia lebih biasa menggunakan tongkat bambu dari pada menggunakan pedang. Dulu ketika ia ikut suhunya, mereka berdua selalu menghadapi lawan-lawan tangguh hanya dengan batang-batang bambu di tangan.

Yang paling heran dan marah adalah Hok Liong Tosu. Ia adalah seorang tokoh ternama dari kalangan kang-ouw dan untuk daerah selatan ia telah cukup dikenal, maka tentu merendahkan dan menghina sekali kalau seorang anak muda yang masih hijau menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang bambu di tangan.

“Ouw-bin Hiap-kek! Jangan kau mencari mampus dengan penasaran! Kau pergunakan sebatang pedang. Kalau tidak aku tidak sudi melayanimu dan anggap kau sengaja gunakan akal ini agar aku tidak mau melayanimu!”

“Eh, tosu sombong! Jangan kira aku takuti pedangmu. Hayo kau maju dan coba-coba bagaimana hebatnya kiam-hwat Siauw-lim-si!”

Kata-kata Lie Bun ini tidak hanya mengherankan lawannya, tapi juga mengherankan Lie Kiat dan Cui Im. Karena kedua anak muda inipun maklum bahwa ilmu pedang dari Siauw-lim tidak sangat terkenal dan umumnya menganggap bahwa ilmu pedang dari Kun-lun dan Go-bi lebih tinggi.

Mereka semua tidak tahu bahwa sebetulnya yang mengangkat tinggi ilmu pedang bukanlah karena dari mana ilmu itu datang, yang terpenting ialah mereka yang melakukan ilmu itu. Biarpun ilmu yang bagaimana sederhana, jika digunakan oleh orang yang memang ahli dan tinggi ilmu silatnya, tinggi ginkangnya dan sempurna lweekangnya, ilmu silat itu akan menjadi semacam ilmu yang lihai sekali.

Karena Lie Bun memaksa, maka Hok Liong Tosu lalu membentak. Kehilangan Gadis Pilihan Hati “BAIKLAH, banyak orang yang menyaksikan bahwa kau mencari mampus sendiri. Jangan nanti orang katakan pinto keterlaluan!” Setelah berkata begini, tosu itu lalu mulai membuka serangan hebat.

Lie Bun berkelit cepat dan segera mereka bertempur hebat. Gerakan ilmu pedang Hok Liong Tosu memang cepat dan lihai. Tapi Lie Bun dengan girang sekali kenali bahwa ilmu pedang lawannya adalah campuran dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang telah digabung hingga terdapat kekurangan-kekurangan karena tidak asli lagi.

Lie Bun pergunakan kegesitannya dan ternyata dalam hal ginkang ia tidak usah menyerah kalah. Pula senjata di tangannya lebih lemas dan ringan hingga ketika ia putar bambu itu secvepatnya, tampaklah sinar kuning kehijau-hijauan mengurung dirinya.

Hok Liong Tosu terkejut sekali, karena ketika ia perhatikan, benar-benar Lie Bun menggunakan ilmu silat pedang dari Siauw-lim-si! Juga Cui Im dan Lie Kiat kenal gerakan-gerakan pedang Siauw-lim yang dimainkan Lie Bun. Tapi mereka heran dan terkejut sekali menyaksikan betapa gerakan-gerakan itu dapat dilakukan sedemikian hebat!

Hok Liong Tosu segera ubah gerakannya dan kini ia mainkan ilmu pedang Ngo-heng- kiam-hwat yang terkenal berbahaya. Tapi ia tak tahu bahwa ilmu pedang ini adalah “makanan” bagi Lie Bun. Dulu Kang-lam Koay-hiap telah memberitahu padanya bahwa di antara ilmu-ilmu pedang yang lihai dan harus berhati-hati menghadapinya, termasuk Ngo-heng-kiam-hwat. Maka guru dan murid itu lalu bersama-sama mencari jalan pemecahannya. Kang-lam Koay-hiap lalu menciptakan Im-yang-kiam-sut yang merupakan kepandaian simpanannya dan bersama muridnya ia meyakinkan ilmu pedang itu dengan sempurna betul.

Maka dalam menghadapi Hok Liong Tosu tadinya Lie Bun menggunakan ilmu pedang Siauw-lim-si. Kini melihat betapa lawannya mainkan Ngo-heng-kiam-hwat, ia berseru.

“Tosu sombong, Ngo-heng-kiam-hwatmu ini tidak ada harganya! Coba kau lihat ilmu pedangku ini!”

Maka ia lalu putar bambunya dalam gerakan-gerakan dari ilmu pedang Im-yang- kiamsut. Ujung bambunya berputar dalam cara aneh sekali, tapi tiap serangan dari Ngo-heng-kiam-hwat dapat terpukul buyar.

Yang hebat ialah pada tiap tangkisan, maka bambu itu langsung menyerang kembali hingga Hok Liong Tosu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Ujung bambu itu biarpun lemas dan kecil, tapi digunakan untuk menotok jalan-jalan darah yang berbahayanya tidak kalah hebat dengan tusukan pedang tajam. Maka mengertilah kini tosu itu mengapa anak muda ini memilih sebatang bambu untuk melawannya. Ia tak sangka pemuda ini demikian hebat dan lihai, maka diam-diam ia akui keunggulan Kang-lam Koay-hiap yang telah terkenal sebagai orang gagah golongan atas. Kini ia telah menyesal tapi terlambat. Maju berbahaya, mundur malu. Ia lalu menjadi nekat dan gerakan pokiamnya lebih ganas lagi. Lie Bun lalu pusatkan seluruh perhatiannya kepada permainan lawan dan pada suatu saat yang tepat sekali ia berhasil menotok sambungan lutut lawannya hingga Hok Liong Tosu berseru keras dan jatuh berlutut di depan Lie Bun.

Anak muda itu lalu menghampiri lawannya dan sambil berkata. “Ah, aku yang muda tidak berani terima penghormatan sebesar ini!” Ia pura-pura balas berlutut. Tapi sebetulnya cepat sekali ia totok dengan jari lutut lawan itu agar terlepas dari pengaruh totokan tadi.

Hok Liong Tosu dapat berdiri lagi dan dengan muka merah ia masukkan pedangnya ke dalam sarung pedang sambil menghela napas.

“Ouw-bin Hiap-kek benar-benar kau gagah dan sakti. Pantas sekali menjadi murid Kang-lam Koay-hiap yang besar!” Kemudian tanpa pamit lagi ia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu diikuti dengan cepat oleh Hok Hwat Hwesio.

Lie Kiat tertawa bergelak-gelak dengan hati puas. Lalu ia peluk adiknya. “Lie Bun kau harus ajarkan ilmu pedang tadi padaku!”

Cui Im kagum bukan main. “Lie-taihiap, kau sungguh-sungguh hebat sekali. Kepandaian pedangmu ratusan kali lebih hebat dariku!”

Lie Bun hanya tersenyum dan merendahkan diri.

Setelah ibu Cui Im datang dan Lie Bun diperkenalkan kepada janda yang ramah tamah itu, kakak dan adik itu pulang. Di sepanjang jalan Lie Bun memuji-muji kakaknya yang dikatakan beruntung sekali mempunyai seorang kawan baik seperti Cui Im.

“Twako, aku lihat nona Cui itu cukup berharga untuk menjadi isterimu. Ia cantik, manis, jujur dan polos. Ilmu pedangnya lihai dan mempunyai watak yang gagah dan peramah. Ibunya juga seorang baik hati dan ramah tamah, mau apa lagi?”

Lie Kiat mengangguk-angguk. “Tapi belum tentu ibu dan ayah menyetujuinya. Lagi pula tunanganku yang cantik jelita dan hartawan itupun sangat menarik hati!”

Lie Bun cemberut. ”Ah, kau nakal sekali, twako. Mengapa harus dua-duanya?” “Eh, eh, kau iri hatikah?” tanya Lie Kiat dengan melotot marah.

Lie Bun buru-buru tersenyum. “Siapa yang iri? Kalau memang kau ingin ambil dua- duanya dan kalau mereka berdua suka, apa sangkut pautnya dengan aku?

Sesukamulah! Asal saja kelak kau jangan minta tolong padaku jika kedua isterimu saling cakar!”

Lie Kiat tertawa gembira. “Aku dapat mengurusnya, aku dapat mengurus mereka!” Lie Bun hanya menghela napas melihat sikap kakaknya demikian itu. Tapi biarpun ia tahu bahwa pendirian kakaknya ini tidak benar dan memperlihatkan watak yang serakah dan ingat diri sendiri saja, ia tak dapat membenci kakaknya.

Ia tahu bahwa dibalik keserakahan dan kesombongan yang terjadi karena terlalu dimanja oleh orang tua. Lie Kiat mempunyai jiwa yang setia dan gagah, berani mati dan tabah dalam menghadapi bahaya untuk membela adiknya. Inilah watak baik Lie Kiat yang membuat adiknya sangat mencintainya.

Karena ingin membela kakaknya, maka ketika berada berdua dengan ibunya, Lie Bun menceritakan kepada ibunya tentang Cui Im yang disebutnya seorang gadis baik, sopan santun dan ramah tamah. Ia ceritakan betapa gadis yang manis itu sangat cinta kepada Lie Kiat dan sebaliknya Lie Kiat cinta kepada gadis itu hingga dapat

dipastikan bahwa kelak mereka akan menjadi sepasang suami isteri yang bahagia hidupnya.

“Aku tahu akan hal itu, A Bun. Tapi anak gila itu pernah menyatakan bahwa iapun suka kepada tunangannya di Lun-kwan! Ah, sudahlah jangan kita bicarakan tentang A Kiat. Pusing kepalaku kalau memikirkannya. Marilah kita bicara tentang kau, anakku!”

“Tentang aku, ibu?” tanya Lie Bun dengan dada berdebar.

“Ya, kau sudah dewasa, nak. Sudah pantas pula kau memilih seorang calon isteri. Aku tahu banyak gadis-gadis keturunan baik-baik di kota Kwie-ciu dan Lun-kwan.

Maukah kau kalau kulamarkan seorang untukmu?”

Kulit muka Lie Bun yang kehitam-hitaman itu menjadi merah ketika ia tundukkan mukanya.

“Ibu, mukaku begini .... begini buruk gadis manakah yang sudi memandangku?”

Untuk sesaat nyonya Lie tak dapat berkata apa-apa, hatinya terharu dan ia merasa lehernya tersumbat sesuatu. Kemudian ia berkata setelah dapat menetapkan hatinya.

“Jangan kau berkata demikian, anakku. Kebahagiaan bukan didatangkan oleh rupa tampan. Pula kau tidak seburuk yang yang kau sangka. Kau tampak gagah dan tampan bagiku, nak.”

Lie Bun angkat muka dan dua titik air mata menuruni pipinya. Ia pandang ibunya dengan mesra karena selama hidupnya, hanya ibunya saja yang selalu menganggap ia tampan dan gagah.

“Terima kasih, ibu. Kalau saja ada seorang gadis seperti ibu!”

Cepat-cepat nyonya Lie hapus butir derai air mata yang juga loncat keluar dari matanya dan pada saat Lie Bun memandang ibunya itu, maka terbayanglah wajah Kwei Lan yang jelita. Ia lalu tetapkan hatinya dan berkata.

“Ibu, sebenarnya ..... ah..... sukar dikatakan ” Ibunya memandang tajam. “Apakah maksudmu, A Bun? Katakanlah! Bukankah di sana sudah ada gadis yang mengisi lubuk hatimu?”

Lie Bun terkejut. Cerdik sekali ibunya ini. Ia hanya mengangguk dan tundukkan mukanya.

Terdengar suara ibunya yang berkata girang. “Gadis manakah dia?” “Dia tinggal jauh dari sini, ibu. Di kota Bhok-chun.”

“Kalau begitu, biarlah aku mencari perantara dan menyuruh orang pergi melamarnya. Setujukah kau?”

Lie Bun ragu-ragu, tapi ia mendengar kata-kata mendiang gurunya. “Kalau kau setuju kepada gadis itu, pulanglah dan mintalah kepada orang tuamu untuk melamarnya.” Demikianlah Kang-lam Koay-hiap sebelum menutup mata pernah meninggalkan pesan. Maka sekarang mendengar tawaran ibunya, ia lalu mengangguk.

“Baiklah, ibu.”

Nyonya Lie merasa girang sekali. Segera ia menemui suaminya dan menceritakan maksudnya melamar gadis dari Bhok-chun untuk Lie Bun.

Suaminya hanya menyetujui saja, karena soal perkawinan-perkawinan ini tidak begitu menarik perhatian Lie Ti. Ia cukup percaya akan pilihan isterinya yang bijaksana.

Hanya pesannya demikian.

“Sesukamulah, asal saja kau pilih mantu perempuan yang seperti kau, pasti aku akan suka dan cocok!”

Mendengar kelakar suaminya ini, nyonya Lie mengerling dan cemberut.

Kemudian seorang comblang dicari dan Lie Ti memilih seorang comblang yang biasa menjadi perantara.

Orang ini telah berusia hampir lima puluh tahun dan namanya Lo Sam. Ia seorang periang dan peramah seperti biasanya seorang comblang yang harus pandai bicara.

Karena perjalanan ke Bhok-chun sangat jauh, pula karena Lo Sam belum pernah pergi ke sana, maka Lie Bun disuruh oleh ibunya untuk mengantar.

Ketika Lie Kiat mendengar tentang lamaran ini, ia berkata sambil tertawa kepada Lie Bun. “Jangan kau khawatir. Kalau nanti isterimu tidak suka melihat mukamu, kau boleh pinjam mukaku!”

Lie Bun hanya tertawa dan sedikitpun tidak merasa sakit hati. Tapi ibunya membentak.

“Lie Kiat! Tutup mulutmu yang ceriwis itu!” Setelah berkemas dan membawa barang-barang antaran yang berharga, Lo sam dan Lie Bun berangkat menunggang kuda. Karena Lo Sam pandai bicara dan selalu riang gembira maka Lie Bun merasa suka dan perjalanan itu dilakukan dalam suasana gembira.

Kuda mereka adalah kuda pilihan dan besar-besar hingga perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.

Lima hari kemudian mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang sangat besar dan penuh pohon-pohon raksasa. Melihat keadaan hutan ini, Lo Sam berkata.

“Ah, jangan-jangan di dalamnya ada setan.”

Lie Bun tertawa. “Lopeh, di mana ada setan muncul di siang hari?”

“Setan siang itulah yang lebih berbahaya dari pada setan malam,” kata Lo Sam ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar