Pengemis Tua Aneh Jilid 3

Jilid 3

Melihat kenekatan lawannya, Lie Bun tertawa keras dan berkata.

“Coba lihat, apakah kepalamu ini benar-benar besi tulen atau hanya kentang busuk!”

Belum habis kata-kata ini dikeluarkan, semua orang menahan napas karena serudukan ini telah tiba. Tapi Lie Bun dengan tenang sekali enjot tubuhnya ke atas hingga ia dapat naik ke atas punggung lawannya dan dengan sebelah kaki ia injak belakang kepala itu sambil kirim satu tabokan dengan tangannya.

“Plak!” kepala gundul itu kena ditampar.

“Ah, bukan besi tulen!” kata Lie Bun yang loncat turun. “Nah, aku sudah menerima serangan sepuluh jurus, sekarang coba kau terima seranganku lima jurus saja!”

Sehabis berkata demikian, Lie Bun lalu maju menendang dengan kaki kirinya secara sembarangan ke arah perut lawannya. Tendangan ini agaknya dilakukan sembarangan saja dan tidak bertenaga hingga si kepala besi pandang enteng. Tapi jago-jago nomor satu dari kedua pihak khawatir sekali karena mereka maklum bahwa tendangan ini adalah sebuah gerakan pancingan dari ilmu tendangan Siauw-ci-twie yang lihai.

Benar saja, ketika si kepala besi dengan sembrono gunakan tangan hendak menangkap kaki yang menendang itu, tahu-tahu kaki itu telah ditarik kembali dan secepat kilat kaki kedua menyusul dari jurusan lain yang sama sekali tidak terduga. Kaki kanan Lie Bun yang tak bersepatu tepat sekali mendorong dada si kepala besi hingga tak ampun lagi Bu Swat Kay terlempar dan jatuh dari atas panggung hingga mengeluarkan suara bergedebuk keras ketika tubuhnya menimpa tanah.

Kini pujian dari penonton tak disembunyikan lagi. Terdengar tepuk tangan riuh. Melihat betapa seorang pengemis kecil dapat mengacaukan pertandingan lui-tai itu yang berarti menghina mereka yang hendak bertanding, maka Liok Sat si Lutung sakti enjot tubuh naik ke atas panggung. Begitu kakinya menginjak papan panggung, tahu- tahu ia telah kirim serangan maut ke arah ubun-ubun kepala Lie Bun.

“Kejam sekali!” Lie Bun berseru keras dan berkelit menghindar serangan itu.

Tapi si lutung sakti tidak mau kasih hati kepada pengemis muda yang ia anggap sangat kurang ajar itu, dan terus saja ia keluarkan ilmu silatnya yang paling jempolan, yakni Sin-wan Kun-hwat atau ilmu pukulan lutung sakti yang diciptakannya sendiri berdasarkan ilmu silat Go-bi. Ia menafsir dalam beberapa jurus saja pasti ia akan dapat menangkap atau merobohkan anak itu yang disangkanya hanya memiliki kegesitan belaka. Tidak tahunya bahwa Lie Bun telah banyak mengalami pertempuran besar bersama suhunya dan ia mengenal segala macam ilmu silat.

Maka melihat permainan silat lawannya, ia lalu keluarkan ilmu silat Bie-ciong-kun atau Kepalan menyesatkan dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lawannya bingung. Gerak geriknya seperti seorang wanita yang genit hingga nampak menarik sekali dan menimbulkan buah tertawaan penonton yang makin gembira.

Pertunjukan itu tentu saja merupakan tamparan hebat, baik bagi pihak tuan rumah maupun bagi pihak tamu, maka dengan berbisik para pengurus kedua pihak lalu menganjurkan jago-jago ke satu mereka untuk naik dan membereskan pengacau cilik itu!

Tapi sebelum kedua jago itu naik ke panggung, terdengar teriakan keras dari Liok Sat dan tubuhnya terlempar di udara. Ternyata ketika ia menggunakan kaki kanan menendang dengan keras ke arah anggota rahasia Lie Bun, pemuda itu cepat geser kakinya ke samping, lalu cepat bagaikan kilat ia berhasil menangkap kaki lawan dan terus saja mendorongnya ke atas.

Tidak ampun lagi tubuh Liok Sat terlempar dan melayang dengan telentang dan kepala lebih dulu ke bawah panggung. Untung baginya bahwa jatuhnya tepat di mana jago pertama dari Nam-kiang berdiri hingga Khong Tong Hwesio dapat menjambak leher bajunya dan mencegah kepalanya membentur tanah.

Khong Tong Hwesio putar-putar matanya yang besar karena marahnya. Selama hidupnya belum pernah ia merasa terhina seperti pada saat ini. Seorang pengemis muda berani mengganggu dan membikin malu ia dan kawan-kawannya. Sungguh harus mampus! Ia telah siap untuk melayang ke atas panggung dan dengan sekali jotos tewaskan anak muda itu. Tapi pada saat itu tampak seorang dari pihak Tung- kiang loncat naik ke atas panggung sambil membentak.

“Bangsat kecil, kau cari mampus sendiri!” Dan bayangan itu yang mempunyai gerakan cepat dan ringan sekali langsung menyerang Lie Bun.

Ia adalah Cee Un si jari lihai, jago pertama dari Tung-kiang. Ketika tangan yang menyerang itu dikelit oleh Lie Bun, cepat sekali tangan itu terbuka jarinya dan terus menyerang ke arah mata pemuda itu. Gerakannya demikian cepat dan tidak terduga hingga Lie Bun menjadi kaget sekali. Ia tahu bahwa lawannya kali ini bukan sembarang orang, maka ia tak berani berlaku sembrono. Namun ia masih berkelakar untuk menenagkan hatinya.

“Ah, inikah It-ci-sin-kang si jari lihai? Berani betul kau melawan aku. Apa tidak takut kalah?”

“Setan kecil tutup mulutmu!” Cee Un membentak dan kembali ia menyerang hebat. Kini ia menggunakan It-ci-tiam-hwat atau ilmu totokan satu jari yang luar biasa lihainya karena jari telunjuk kedua tangannya itu lebih berbahaya dari pada dua batang pedang tajam. Gerakan pedang dapat didengar dan dilihat, tapi senjata hidup berupa jari tangan itu lihai sekali dan luar biasa cepatnya.

Namun Lie Bun akan memalukan nama suhunya jika ia dapat dibuat gentar oleh It-ci- tiam-hwat. Ia bergerak lebih cepat dari pada lawannya dan untuk menghindari jari lawan ia gunakan ilmu pukulan Eng-jiauw-kang. Sepuluh jari tangannya lalu ditekuk merupakan cakar garuda dan jangan pandang rendah jari-jari tangannya yang kecil itu karena di situ telah dialirkan tenaga lweekang yang membuat jari-jari itu merupakan cakar besi dan dapat membeset kulit lawan.

Demikianlah, kedua orang itu saling serang, yang satu menusuk-nusuk dan yang lain mencakar-cakar.

Menghadapi kelincahan Lie Bun yang ternyata lebih gesit dari padanya ini, Cee Un merasa penasaran sekali. Ia sebetulnya tidak takut menghadapi cengkraman cakar Lie Bun karena dengan mengandalkan ilmu kebal dan tenaga dalamnya, paling hebat kalau sampai tercengkram tentu hanya luka kulit saja yang di deritanya, tapi kalau hal ini benar. Karena inilah, maka ia berteriak menyatakan kemendongkolan hatinya, lalu tahu-tahu ia telah mencabut sebatang pit kuningan dari pinggangnya.

Pit ini pjanganya kira-kira satu kaki dan ketika ia telah pegang senjata istimewa ini, ia lakukan serangan bertubi-tubi dengan cepat dan hebat.

Kini Lie Bun agak terdesak. Tadi memang ia berani mengadu tangan karena sepuluh jarinya boleh diadu dengan dua jari lawan. Tapi kini jari-jarinya menghadapi sebatang pit kuningan yang keras dan lihai, maka ia lalu merubah pula caranya bersilat. Dan kini ia gunakan ilmu silat Im-yang-kun yang diandalkan dan menjadi ilmu simpanan suhunya.

Benar-benar ilmu silat Im-yang-kun ini luar biasa, karena ilmu silat ini mengandung kekerasan dan kehalusan secara berbareng. Dengan menggunakan ilmu silat ini Lie Bun dapat melayani pit dari It-ci-sin-kang hingga ratusan jurus.

Sebetulnya Lie Bun kalah tenaga lweekang, juga kalah ulet dan pengalaman, maka dapat diduga betapa terkejut dan herannya Cee Un ketika melihat betapa pemuda itu sukar sekali dirobohkan.

Si Muka Bopeng Jatuh Cinta

KHONG Tong Hwesio melihat bahwa Cee Un belum juga dapat merobohkan anak itu, menjadi makin marah. Ia enjot tubuhnya yang besar dan sekejap mata ia telah berada di atas panggung sambil membentak.

“Orang she Cee! Kau serahkan anak ini untuk disembeli olehku!”

Tapi Cee Un yang merasa penasaran tak mau tinggalkan anak itu karena kalau ia tinggalkan akan kehilangan muka. Itu berarti bahwa ia kalah terhadap Lie Bun dan jika nanti Khong Tong Hwesio dapat merobohkan anak ini, maka dengan sendirinya berarti bahwa iapun kalah hebat jika dibandingkan dengan Khong Tong Hwesio. Karena ini ia menjawab.

“Jangan kau ikut-ikut! Biarlah aku sendiri bikin mampus anak ini!”

Karena keduanya tidak mau mengalah, maka keduanya lalu maju menyerang Lie Bun, hingga anak muda ini dikeroyok dua oleh jago-jago nomor satu dari Tung-kiang dan Nam-kiang.

Menghadapi dua jago tua yang lihai dan ganas ini, Lie Bun kewalahan juga dan biarpun gerakannya lincah dan gesit, namun sukar sekali baginya untuk menghindarkan diri dari ancaman maut yang dilancarkan oleh dua lawannya itu.

Semua penonton menahan napas dan empe yang tadi bercerita kepada Lie Bun dan yang semenjak naiknya Lie Bun di atas panggung, telah mendesak berdiri di tempat paling depan, bertepuk tangan paling keras dan tertawa paling gembira melihat kemenangan-kemenangan Lie Bun. Kini ia berdiri memandang dengan bibir gemetar karena mengkhawatirkan keselamatan anak muda yang luar biasa itu.

Pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Lie Bun, tiba-tiba kedua pengeroyoknya terpental mundur dan di antara keduanya berdiri seorang pengemis tua yang pakaiannya sama benar dengan pakaian Lie Bun. Ia adalah Kang-lam Koay-hiap sendiri yang keburu datang menolong jiwa muridnya dari bahaya maut.

“Tidak malukah kalian orang tua bangka mengeroyok seorang anak muda? Kalau kalian mau mengeroyok, keroyoklah aku tua sama tua!”

Ketika melihat siapa yang berada di depan mereka, Khong Tong Hwesio dan Cee Un berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

“Kang-lam Koay-hiap! Kesalahan apa yang telah kami perbuat hingga Koayhiap sampai turun tangan?” Cee Un bertanya sambil menjura.

“Kau secara pengecut mengeroyok muridku, masih bertanya salah apa lagi?”

Mendengar jawaban ini, Cee Un berdiri bingung. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu adalah murid Kang-lam Koay-hiap, pantas saja lihainya luar biasa.

Si jari lihai ini pernah mendapat hajaran keras dari Kang-lam Koay-hiap, maka ia sangat tunduk dan jeri.

Sebaliknya, biarpun pernah mendengar dan pernah melihat Kang-lam Koay-hiap, namun belum pernah ia merasai tangannya, maka Khong Tong Hwesio melihat betapa Cee Un nampak jerih. Ia lalu maju untuk mencari muka terang. Ia menjura sambil berkata, suaranya biasa, keras dan nyaring, sama sekali tidak menunjukkan takut atau jerih.

“Kang-lam Koay-hiap! Telah lama mendengar namamu yang besar, maka pinceng merasa senang sekali dapat bertemu muka. Muridmu ini lihai sekali hingga berturut- turut menjatuhkan jago-jago Tung-kiang dengan mudah. Tapi mengapa dia mengacau panggung lui-tai kami? Hal ini harap kau orang tua sudi pertimbangkan dan dapat menegurnya.”

“Khong Tong, hwesio sesat! Tak perlu kau banyak jual lagak, karena aku telah tahu betul keadaanmu dan orang-orang yang menyebut dirinya orang-orang gagah tapi sebetulnya hanya gentong-gentong nasi tiada guna belaka!”

“Hayo, Lie Bun, kita tinggalkan tempat kotor ini. Untuk apa meladeni segala macam anjing penjilat orang-orang kaya ini?”

Bukan main marahnya Khong Tong Hwesio mendengar kata-kata ini, maka ketika guru dan murid itu balikkan tubuh hendak loncat turun dari panggung, tiba-tiba ia keluarkan hui-to atau golok terbangnya yang kecil dan tajam sebanyak tiga buah. Lalu langsung ia sambitkan ke arah guru dan murid itu.

Sambitan ini, yang dilakukan dari jarak dekat, sangat berbahaya dan agaknya Lie Bun takkan dapat hindarkan dirinya pula. Tapi tanpa balikkan badan, Kang-lam Koay-hiap putar tongkatnya di belakang tubuhnya dan tubuh muridnya dan dua golok terbang dapat terpukul jatuh, sedangkan yang sebuah lagi terbang kembali ke arah Khong Tong Hwesio hingga dengan terkejut sekali hwesio itu loncat menyingkir.

Kang-lam Koay-hiap loncat pergi diikuti muridnya dan sebentar saja mereka lenyap dari pandangan mata. Semua orang yang melihat mereka dengan perasaan heran, terkejut dan kagum.

Kang-lam Koay-hiap lanjutkan perantauan mereka dan Lie Bun makin giat belajar silat karena pengalamannya di kota Tung-kiang menyatakan bahwa ia masih perlu mempertinggi kepandaiannya, karena ketika dikeroyok oleh Khong Tong Hwesio dan Cee Un hampir saja ia mendapat celaka.

Pada suatu hari, mereka tiba di kota Bok-chun yang ramai. Seperti biasa Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya mengemis. Ketika mereka lewat di depan sebuah kelenteng yang besar dan memakai merek Ban-siu-tong di depannya, tiba-tiba seorang hwesio yang sedang duduk di pekarangan depan kelenteng itu memanggil mereka.

“Sahabat-sahabat mampirlah sebentar jika kalian butuh makan.”

Kang-lam Koay-hiap dan muridnya menengok dengan heran. Selama mereka merantau belum pernah ada orang menawari makan tanpa diminta. Ternyata yang menawari makan itu adalah seorang hwesio berusia kira-kira empat puluh tahun dan hwesio itu berdiri sambil tersenyum lebar kepada mereka.

Mata Kang-lam Koay-hiap sangat tajam, maka segera timbul curiganya melihat sinar mata hwesio itu. Ia mengangguk-angguk dan tarik tangan muridnya.

“Ah, kau tadi sebut makan?”

Hwesio itu tertawa melihat betapa pengemis-pengemis itu cepat sekali memperhatikan jika ditawari makan. Ia tidak marah mendengar tutur sapa pengemis tua yang kasar itu. Ia mengangguk. “Ya, makan! Kalian tentu lapar, bukan? Nah, marilah masuk dan kalian boleh makan sekenyangnya!”

Kang-lam Koay-hiap dan Lie Bun masuk ke pekarangan kelenteng itu dan mengikuti hwesio itu dari belakang. Guru dan murid itu makin curiga ketika melihat bahwa tindakan kaki hwesio itu sangat kuat dan tegap, tanda bahwa hwesio itu memiliki kepandaian silat tinggi.

Ketika tiba di ruang tengah, hwesio itu memanggil hwesio pelayan. “Uruslah kedua sahabat yang perlu ditolong ini dan berilah makan sampai kenyang.”

“Baik, suhu,” jawab hwesio pelayan yang membawa mereka ke ruang belakang. Di situ mereka berdua diberi makan cukup banyak hingga mereka dapat makan sekenyangnya. Hwesio pelayan itu digunakan oleh Kang-lam Koay-hiap untuk bertanya tentang hwesio yang baik budi itu.

“Dia adalah hwesio kepala kelenteng kami ini,” jawab hwesio pelayan. “Kelenteng ini hanya satu-satunya kelenteng di kota ini dan hwesio kepala memang terkenal baik budi dan dermawan. Semenjak Kak Pau Suhu ini mengepalai kelenteng kami, maka keadaan kelenteng menjadi baik dan banyak mendapat sumbangan karena Kak Pau Suhu terkenal pandai dan suci. Kau lihat, bahkan kepada pengemis-pengemis seperti kalian ia menaruh hati kasihan dan menolongmu.”

Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk. “Apakah Kak Pau Suhu ini pandai ilmu silat?” tanyanya sambil lalu.

“Silat? Ah, setahuku, tidak. Tapi ia pandai tentang segala peraturan sembahyang, juga pandai liam-keng. Selain itu ia juga suci dan sakti, hingga beberapa kali ia diundang untuk mengusir siluman di beberapa rumah penduduk kota ini.”

“Apa? Mengusir siluman? Apakah di kota ini ada silumannya?” Hwesio pelayan itu tampak ketakutan dan menjawab perlahan.

“Banyak siluman, banyak ” dan ia tutup mulutnya karena pada saat itu Kak Pau

Hwesio muncul lagi dengan senyum manis di bibir.

“Sudah cukupkah, sahabat-sahabat?” tanyanya kepada guru dan murid itu. “Cukup, cukup terima kasih,” jawab Kang-lam Koay-hiap.

“Kalau kalian merasa lapar, maka datang sajalah ke sini tentu kami akan menolongmu,” kata Kak Pau Suhu dengan ramah.

Setelah meninggalkan kelenteng itu Kang-lam Koay-hiap bersungut-sungut seorang diri. “Mana ada hwesio sebaik itu? Palsu .... palsu selama hidupku belum pernah

kulihat hwesio mengurus pengemis!”

Ketika malam tiba, Kang-lam Koay-hiap berkata kepada Lie Bun. “Lie Bun, di kota ini tentu terjadi hal-hal yang tidak sewajarnya. Kata hwesio pelayan tadi, di sini banyak siluman dan bahwa Kak Pau Suhu pandai mengusir siluman. Ini adalah aneh dan kita harus selidiki!”

Guru dan murid itu lalu naik ke atas genteng rumah-rumah orang untuk menyelidiki. Setelah puas berkeliling dan bahkan menyelidik di atas genteng kelenteng Ban-siu- tong dan tidak dapat sesuatu yang mencurigakan, kedua guru dan murid itu lalu merebahkan diri di atas genteng rumah gedung besar yang terlindung tembok loteng dan sebentar kemudian keduanya mendengkur karena telah jatuh pulas enak sekali.

Kira-kira lewat tengah malam, tiba-tiba Lie Bun terjaga dari tidurnya karena tubuhnya digoyang-goyang oleh gurunya. Ia cepat bangun dan duduk tanpa membuka suara sedikitpun. Ia telah terlampau biasa menghadapi saat-saat berbahaya hingga biarpun baru saja bangun tidur, pikirannya telah bekerja dan seluruh tubuhnya telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Suhunya menunjuk ke depan dan terlihat olehnya bayangan seseorang yang berloncatan di atas genteng dengan gerakan cepat. Bayangan itu mendekat dan ketika ia loncat ke atas genteng di mana Kang-lam Koay-hiap dan muridnya mendekam.

Tampaklah bahwa bayangan itu adalah seorang tinggi besar yang berpakaian serba putih, kepalanya memakai kerudung putih dan ia memakai kedok hitam.

Kemudian bayangan itu loncat ke lain genteng dengan gerakan yang cukup mengagumkan.

“Inilah agaknya siluman yang digemparkan orang,” kata Kang-lam Koay-hiap perlahan kepada muridnya. Kemudian ia memberi isyarat kepada Lie Bun untuk mengejar bayangan itu.

Ketika tiba di atas sebuah rumah gedung, bayangan itu berhenti sebentar sambil memandang ke sekelilingnya. Kang-lam Koay-hiap dan Lie Bun cepat mendekam di atas genteng sambil mengintai dari balik wuwungan. Mereka melihat betapa orang itu loncat turun ke dalam pekarangan gedung.

“Kau tunggu di sini dan pasang mata!” kata Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya. Kemudian kakek itu loncat mengejar ke bawah. Lie Bun duduk di atas genteng sambil pasang mata dan telinga.

Kang-lam Koay-hiap dengan cepat sekali dapat mengetahui di mana adanya tamu malam itu. Ternyata bayangan itu telah memasuki sebuah kamar dan ketika Kang-lam Koay-hiap mengintai dari balik jendela, hampir saja ia terjang jendela itu untuk menyerang penjahat malam yang dikejarnya tadi. Karena ternyata kamar itu adalah kamar seorang siocia. Baiknya ia masih dapat menahan nafsunya untuk segera menyerang, dan mengintai lebih lanjut.

Penjahat itu gunakan tangan kiri membuka kelambu dan di dalamnya tampak seorang gadis sedang tidur nyenyak. Cepat sekali tangan kanan penjahat itu bergerak dan gadis itu telah tertotok. Kemudian penjahat baju hitam itu mengangkat dan memanggul tubuh siocia itu, lalu membawanya loncat ke atas genteng melalui pintu kamar yang terbuka. “Bangsat, jangan lari!” Kang-lam Koay-hiap membentak marah dan mengejarnya.

Penjahat itu terkejut sekali dan ia cepat berkelit ketika tahu-tahu di depannya ada seorang anak muda yang menyerang kepalanya. Penyerang itu adalah Lie Bun yang mendengar teriakan suhunya. Ternyata penjahat malam itu cukup gesit karena mudah saja ia berkelit dari serangan Lie Bun. Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap telah tiba

di situ dan membentak.

“Bajingan, hayo kau lepaskan anak gadis itu!”

Penjahat itu tertawa keras dan melemparkan gadis itu ke atas.

Lie Bun, tolong dia!” kata Kang-lam Koay-hiap yang langsung menerjang penjahat

itu. Pertempuran hebat segera terjadi dan baru saja bertempur beberapa jurus, penjahat itu kaget sekali karena pengemis tua yang menyerangnya ini benar-benar lihai sekali hingga ketika lengan mereka beradu, ia merasa betapa lengannya sakit dan panas!

Sementara itu, Lie Bun dengan gerakan gesit dan cepat, loncat ke arah tubuh gadis itu dilempar dan sebelum tubuh gadis itu jatuh ke bawah, ia segera menangkap dan memeluknya.

Alangkah terkejut dan malunya ketika ia melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh seorang gadis berusia sepantar dengan dia sendiri dan gadis itu berada dalam keadaan tertotok. Ia letakkan tubuh itu di atas genteng dan untuk sesaat ia duduk bengong karena untuk memunahkan totokan ini ia harus totok iga dara itu.

Penjahat malam itu hampir tak kuat menahan desakan Kang-lam Koay-hiap, maka ia berseru. “Tahan dulu! Siapakah enghiong yang menghalangi pekerjaanku?”

Kang-lam Koay-hiap tahan marahnya. “Bangsat sialan, sebelum kau ketahui namaku, buka dulu kedokmu dan jangan bersikap pengecut!”

Karena merasa bahwa dengan berkedok ia tak dapat melayani musuh lihai ini dengan baik, terpaksa penjahat malam itu buka kedoknya. Mereka saling pandang dan Kang- lam Koay-hiap benar-benar heran melihat orang yang berdiri di depannya.”

“Kau     Kak Pau Hwesio?” tanyanya heran.

“Dan kau     pengemis siang tadi?”

“Ha ha ha! Sudah kuduga, kau hwesio palsu! Tapi sekarang kau bertemu dengan Kang-lam Koay-hiap, jangan harap bisa hidup lebih lama lagi.”

“Kang-lam Koay-hiap?” Kak Pau Hwesio menggigil dan dengan nekad ia cabut pedangnya lalu menyerang mati-matian. Si pengemis sudah siap dengan tongkat bambunya dan mereka bertempur lagi lebih hebat.

Lie Bun akhirnya kuatkan hati dan menotok iga dara itu yang segera pulih kembali tenaganya. Dara itu memandang muka Lie Bun dengan penuh terima kasih di matanya, tapi ia masih takut sekali melihat pertempuran yang terjadi di depan matanya.

“Tolong inkong, turunkan aku!” katanya perlahan.

Lie Bun ragu-ragu. “Tapi .... tapi ...., aku harus memondong kau, nona. Tidak ada

jalan lain lagi ”

Nona muda itu untuk sesaat juga bingung, merasa malu harus dipondong oleh pemuda ini, tapi apa boleh buat karena untuk berada di atas genteng yang tinggi ini iapun merasa ngeri. Apalagi dengan adanya pertempuran di depan.

“Baiklah, tidak apa!” katanya halus. Lie Bun berkata lagi. “Maafkan kelancanganku, nona.”

Ia lalu memondong gadis itu dan loncat turun. Dara itu menjerit kecil ketika merasa tubuhnya terjun dari atas genteng yang tinggi itu dan ia memejamkan mata sambil memeluk leher Lie Bun. Pemuda ini merasa dadanya berdebar dan semangatnya terbang ketika gadis itu memeluk lehernya dan betapa rambut yang lemas dan harum itu menyapu-nyapu bibir dan hidungnya.

Mendengar suara pertempuran di atas genteng, penghuni rumah gedung itu terkejut dan bangun sambil memasang obor.

Tiba-tiba mereka melihat Lie Bun yang memondong gadis itu loncat dari atas genteng hingga mereka terkejut sekali. Mereka maju mengepung dan hendak menyerang Lie Bun, tapi gadis itu segera loncat turun dari pondongan Lie Bun sambil berseru. “Jangan serang dia!”

Seorang setengah tua lari memeluknya. “Kwei Lan! Apa yang terjadi?”

“Ayah!” gadis itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. “Ada penjahat menculikku ayah! Dan inkong (tuan penolong) ini telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang kawannya sedang bertempur dengan penjahat yang menculikku.”

Mendengar kata-kata ini, barulah Lie Bun teringat bahwa suhunya masih sedang bertempur di atas genteng, maka ia lalu loncat ke atas dengan cepat. Dilihatnya bahwa penjahat itu telah terdesak hebat oleh tongkat suhunya dan pada suatu saat, pedang penjahat itu terpental dan jatuh berkerontangan di atas genteng. Ujung tongkat menyambar dan hwesio jahat itu tertotok jalan darah yang dekat dengan jantungnya hingga mati di saat itu juga.

“Lie Bun, hayo kita pergi,” ajak Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya tanpa memperdulikan orang-orang yang ada di bawah.

“Nanti dulu, suhu! Kita harus memberi penjelasan untuk menjaga nama baik siocia tadi.” Suhunya memandang muridnya dengan pandangan tajam. Tapi karena malam itu gelap, ia tidak dapat melihat nyata. Ia hanya menghela napas dan sambil menyeret mayat hwesio itu, ia loncat turun bersama muridnya.

Semua orang terkejut sekali ketika ia melihat bahwa yang menjadi penculik Lo Kwei Lan siocia bukan lain adalah Pak Kau Hwesio, ketua kelenteng Ban-siu-tong yang terkenal suci dan sakti. Kini mengertilah mereka bahwa sebenarnya hwesio itu bukanlah pandai mengusir siluman, tapi semua ini hanya untuk menutupi perbuatannya yang terkutuk.

Ia sendiri kalau malam menjadi siluman mengganggu orang dan mencuri harta benda. Kalau siang pura-pura menjadi hwesio alim dan mengusir segala siluman yang mengganggu.

Segera setelah hari menjadi siang, persoalan ini dilaporkan kepada yang berwajib dan karena pelapornya adalah Lo-wangwe, seorang hartawan besar, pembesar itu tidak mengusut lebih jauh dan perintahkan untuk mengubur jenazah hwesio jahat itu.

Lo-wangwe suka sekali kepada Lie Bun dan gurunya. Ia memaksa mereka bermalam dan tinggal di rumahnya beberapa lama. Sebenarnya Kang-lam Koay-hiap hendak menolak, tapi melihat wajah Lie Bun yang berbeda dari pada biasa itu, ia merasa kasihan dan bermalam di situ selama dua malam.

Pada keesokan harinya, ketika Kang-lam Koay-hiap sedang duduk minum arak dengan Lo-wangwe yang sangat menghargainya itu, Lie Bun secara iseng-iseng memasuki taman bunga di pinggir gedung. Taman bunga itu luas sekali dan ketika ia berjalan menikmati bunga-bunga yang mekar indah, tiba-tiba ia mendengar suara Kwei Lan bernyanyi perlahan.

Ia cepat bersembunyi di belakang gerombolan bunga dan dari jauh tampak dara itu bernyanyi-nyanyi kecil memasuki taman. Ketika tiba di dekat empang ikan, di mana terdapat sebuah meja dan empat kursi, gadis itu duduk. Ternyata bahwa Kwei Lan sedang membawa kipas dan perabot tulis telah tersedia lengkap di atas meja itu. Gadis ini termenung dan hentikan nyanyiannya, karena agaknya ia hendak menulis syair di atas kipas itu.

Sambil termenung, dia melihat ke arah air yang jernih dan memandang ikan-ikan yang sedang berenang kesana kemari. Tiba-tiba ia melihat sepasang ikan sisik emas berenang berdampingan, tapi ketika tiba di depannya, sepasang ikan itu berpisah, yang berekor merah ke kanan dan yang berekor kuning ke kiri. Pemandangan ini membuat Kwei Lan sadar dari lamunannya dan ia mulai menulis dengan huruf-huruf kecil di atas kipasnya.

Sepasang ikan bercerai

Seekor ke kanan, seekor ke kiri ....

Sampai disini, ia termenung kembali. “Ah!” pikirnya, kenapa syair di mulai dengan peristiwa menyedihkan? Tiba-tiba ia mendengar suara kaki orang menginjak daun kering, ia menengok dan tersenyum.

“Lie-inkong kau datang? Duduklah ...!”

Lie Bun kikuk dan malu sekali. Gadis itu demikian cantik, demikian bersih dan indah pakaiannya.

“Siocia ..... janganlah sebut aku inkong, tak pantas bagiku. Aku ... aku tak sengaja mengganggumu di sini. Maafkan aku.”

Kwei Lan tersenyum, ia suka melihat kejujuran dan kehalusan watak pemuda yang bertampang buruk itu. Bagi Kwei Lan, tampang yang buruk itu tidak menjijikan, karena ia dapat menangkap sinar mata yang lembut dan selain kulitnya rusak karena cacar, sebetulnya pemuda itu mempunyai potongan wajah dan tubuh yang gagah.

“Tidak apa, Lie-twako, kau duduklah! Aku sedang bingung bagaimana harus melanjutkan bunyi syairku ini.”

Gadis itu lalu memberikan kipasnya kepada Lie Bun. Pemuda itu membacanya dan iapun tidak tahu bagaimana harus menyambung syair itu. Ia dulu hanya sebentar belajar sastra, yakni sebelum ia ikut suhunya merantau.

“Aku seorang bodoh, nona. Tak mengerti tentang syair. Tapi syairmu ini menyedihkan. Bukankah lebih baik kalau kipasmu ini digambari saja?”

Wajah Kwei Lan berseri. “Kau pandai melukis? Ah, alangkah baiknya itu! Kau pandai melukis apa, Lie-twako?”

“Apa saja, yakni binatang-binatang atau apa saja yang bernyawa dan hidup dan dapat bergerak. Melukis bunga-bunga dan gunung aku tak dapat.”

“Binatang?” Kwei Lan mengerutkan kening dan garuk-garuk belakang telinga. Ia tadinya mengharapkan untuk digambarkan bunga yang indah dan cantik. Tapi tiba- tiba ia berseri kembali.

“Kau tadi katakan bahwa kau dapat melukis segala yang bernyawa? Kalau begitu kau dapat melukis orang?”

“Sedikit-sedikit akan kucoba,” kata Lie Bun.

Gadis itu melompat turun dari duduknya dan hampir menari kegirangan. “Kalau begitu kau harus melukis aku di atas kipasku ini!”

Pikiran ini juga menggembirakan hati Lie Bun. Segera ia angkat meja dan sebuah kursi menjauhi Kwei Lan serta minta gadis itu duduk di dekat empang. Lalu ia gunakan pit untuk melukis gadis itu di atas kipas putih yang baru ditulis sedikit. Tak lama kemudian selesailah lukisan itu. Kwei Lan girang sekali karena lukisan itu biarpun sederhana, tapi jelas menggambarkan wajahnya yang cantik jelita. “Tapi sebelah belakang kipas ini masih kosong,” kata Kwei Lan. “Apakah kau suka membuat sebuah lukisan lain lagi?”

“Aku hanya dapat membuat lukisan binatang atau ”

“Apa saja yang dapat bergerak?” Kwei Lan melanjutkan. “Nah, kau boleh melukis ...

orang lain. Kau sendiri, misalnya ”

“Melukis aku sendiri? Tapi aku tak dapat melihat rupaku, nona.”

“Mudah saja, kau dapat bercermin di air empang.”

Karena di desak berkali-kali, Lie Bun lalu duduk di pinggir empang dan ia mulai melukis dirinya sendiri, mencontoh bayangannya di dalam empang. Asyik sekali ia melukis hingga ia tidak tahu bahwa Kwei Lan telah berdiri di belakangnya dan ikut melihat lukisan itu. Di situ terlukis wajahnya dengan bagus sekali, memang raut mukanya gagah dan tampan. Mata Lie Bun bersinar-sinar gembira, tapi tiba-tiba ia melihat ke dalam air dan teringat akan sesuatu. Kerongkongannya mengeluarkan isak tertahan dan dengan cepat ia gunakan ujung pit untuk membuat totol-totol hitam di muka lukisannya itu.

“Twako !” Kwei Lan menjerit kecil sambil tak sengaja menyentuh pundak Lie Bun.

Pemuda itu menengok dan Kwei Lan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah air mata.

Lie Bun segera banting pitnya dan lari tinggalkan Kwei Lan yang masih berdiri termangu memandang lukisan di balik kipasnya. Lukisan seorang pemuda yang bermuka hitam totol-totol buruk sekali. Ia menghela napas dan memungut kipas itu. Kemudian lama sekali ia memandang kedua lukisan itu. Lukisan gambarnya sendiri dan gambar pemuda yang telah menolongnya itu. Kemudian ia tutup kipas itu dan menyimpannya dibalik lipatan lengan bajunya.

Setelah menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah atas kebaikan dan keramah tamahannya, kedua guru dan murid itu berpamit dan melanjutkan perantauan mereka. Lie Bun merasa seakan-akan jiwanya tertinggal di taman bunga yang indah itu dan semenjak melangkah keluar dari gedung Lo-wangwe, ia merasa tak gembira dan pendiam.

Suhunya tahu akan perubahan muridnya, maka ia bertanya.

“Lie Bun, agaknya kau mengalami sesuatu di gedung Lo-wangwe.” Lie Bun terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak apa-apa, suhu!” biarpun suaranya tetap dan gelengan kepalanya keras, namun ia tidak berani menentang pandangan mata suhunya.

Kang-lam Koay-hiap tersenyum dan angkat pundaknya. Ia maklum akan hati seorang muda dan menganggap hal ini wajar. Tapi ia merasa iba kepada muridnya yang berwajah buruk ini. Ia maklum bahwa wajah muridnya ini agaknya tak memungkinkan ia untuk dapat hidup berkasih-kasihan dengan seorang wanita cantik. Maka diam-diam ia menghela napas dan menyedihkan keadaan muridnya yang ia cinta sepenuh hatinya, bagaikan cinta seorang ayah terhadap putera sendiri.

Dua tahun kemudian, di dalam perantauannya Kang-lam Koay-hiap telah mengajak muridnya menjelajah hampir seluruh Tiongkok Timur sampai ke pantai laut.

Kemudian mereka kembali ke barat karena kakek pengemis itu berpikir bahwa kini kepandaian Lie Bun sudah cukup masak dan sudah tiba saatnya pemuda itu kembali kepada orang tuanya.

Ia ingin menyerahkan anak muda itu kepada Lie-wangwe dan menyatakan terima kasihnya atas kepercayaan wan-gwe itu, karena dengan ikutnya Lie Bun merantau menjadi muridnya, maka orang tua yang hidup sebatang kara itu merasa sangat terhibur dan merasa hidupnya mempunyai tujuan dan cita-cita, yakni menggembleng Lie Bun menjadi seorang yang berguna.

Tapi malang baginya, ketika mereka berdua sampai di kota Tembok, Kang-lam Koay- hiap yang terkenal gagah perkasa dan berkepandaian tinggi itu terpaksa menyerah dengan kekuasaan alam dan ia menderita sakit. Tubuhnya panas sekali dan kepalanya selalu pening hingga ia tak kuat bangun.

Lie Bun menjaganya dengan teliti sekali, bahkan dengan uang simpanan ia membeli obat di warung obat dalam usahanya menolong suhunya. Seminggu lamanya Kang- lam Koay-hiap yang kosen itu menggeletak di emper sebuah kelenteng dengan lemas tak berdaya sama sekali dan tidak mau makan, hanya menerima sedikit minum yang disediakan oleh muridnya. Lie Bun sendiri tidak mempunyai selera untuk makan karena hatinya sedih dan cemas sekali melihat keadaan suhunya.

Perjalanan Akhir Pengemis Sakti

SETELAH lewat sepekan, penyakit yang mengganggu tubuh Kang-lam Koay-hiap berangsur-angsur mengurang dan ia sudah mulai suka makan hidangan yang disediakan oleh Lie Bun.

“Muridku, tubuhku yang telah tua dan lemah ini agaknya tidak kuat menandingi semangatku yang masih kuat dan gembira. Kalau kupaksa-paksa tentu aku akan semakin menderita. Mulai besok, kita akan langsung menuju ke kotamu dan pulanglah ke rumah orang tuamu. Ingatkah kau, sudah berapa lama kau tinggalkan rumah orang tuamu?

Karena gembira melihat suhunya telah sembuh, Lie Bun menjawab sambil tersenyum.

“Kurang lebih tujuh tahun, suhu, karena dulu teecu baru berusia sebelas tahun dan sekarang sudah hampir delapan belas tahun.”

“Perjalanan kita sudah jauh juga hingga waktu lewat tidak terasa lagi. Dari sini ke kotamu masih membutuhkan waktu perjalanan sedikitnya setengah bulan. Tapi dalam keadaan tubuhku seperti sekarang ini, mungkin dalam satu bulan baru bisa sampai.” “Tidak apa, suhu. Teecu sabar menanti. Apakah artinya satu atau dua bulan setelah berpisah selama tujuh tahun?”

Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk. “Kau benar, muridku. Jadi orang harus sabar, harus sabar sekali ”

Lie Bun heran melihat sikap suhunya. Agaknya penyakit itu telah mendatangkan perubahan besar kepada gurunya yang tadinya bersemangat kini menjadi lemah.

Kemudian ia tinggalkan gurunya untuk mencari hidangan malam. Karena ia masih ada simpanan uang, maka ia membeli masakan dari rumah makan. Ia tahu bahwa sehabis sembuh dari penyakitnya, suhunya tentu ingin sekali makan enak. Juga ia membeli arak wangi satu guci penuh. Dengan hati girang Lie Bun yang setia dan menyinta gurunya itu lari kembali ke kelenteng rusak. Ia sengaja ambil jalan di atas genteng agar dapat lari lebih cepat lagi.

Tapi alangkah kagetnya ketika ia loncat turun dari atas genteng kelenteng. Ternyata gurunya sedang bertempur hebat melawan tiga orang. Dan suhunya terdesak hebat sekali oleh ketiga musuh yang tangguh itu. Lie Bun banting makanan yang dipegangnya dan cepat sekali ia menyerbu dengan marah sekali ke dalam medan pertempuran.

Ternyata olehnya bahwa yang mengeroyok gurunya adalah dua orang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan seorang hwesio gundul yang bertubuh kate dan gemuk. Kepandaian dua orang setengah tua itu tidak begitu hebat walaupun pedang mereka cukup cepat, tapi yang hebat ialah hwesio kate gemuk itu.

Biarpun hwesio itu hanya bertangan kosong, tapi jelas bahwa kepandaian si kepala gundul itu tidak berada di bawah kepandaian Kang-lam Koay-hiap sendiri. Karena ini maka Lie Bun menyerang dengan hebat dua orang yang bersenjata pedang.

“Lie Bun, kau gempurlah dua tikus ini!” Yang dimaksud dua tikus adalah dua orang yang bersenjata pedang itu, maka Lie Bun lalu lepas ikat kepalanya dan menyerang dengan benda itu.

Lie Bun telah maju pesat ilmu silatnya, juga ia telah banyak mengalami pertempuran selama ikut suhunya merantau, maka ia dapat melayani kedua orang itu dengan baik.

Biarpun ia bersenjata ikat kepala tapi karena ikat kepala itu panjang dan lemas dan digunakan dengan tenaga lweekang, maka ganas dan kuatnya tidak kalah dengan pedang lawannya. Bahkan dengan ikat kepala itu ia mencoba untuk membelit pedang lawan dan merampasnya.

Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap melayani hwesio pendek gemuk yang sangat lihai itu. Mereka sama-sama mahir dan ahli lweekeh yang tinggi ilmu silatnya, hingga

pertempuran mereka merupakan pertempuran yang mati-matian. Sayang sekali bahwa tubuh Kang-lam Koay-hiap yang baru saja sembuh dari sakit itu masih lemah dan setelah bertempur ratusan jurus, Kang-lam Koay-hiap merasa lelah sekali dan kepalanya mulai pening. Agaknya penyakit yang telah sembuh itu kambuh lagi.

Lie Bun memang tahu bahwa suhunya masih lemah, maka ia menaruh perhatian sekali dan sambil bertempur ia selalu melirik ke arah suhunya.

Untung baginya bahwa kedua lawannya tidak merupakan lawan terlalu berat hingga ia dapat bagi perhatiannya. Ketika melihat betapa suhunya telah mandi keringat dan tampak pucat dan lelah sekali, Lie Bun sangat khawatir. Ia hendak membantu, tapi kedua lawannya cepat mendesak.

Dengan marah sekali, Lie Bun lalu berseru keras dan berhasil membelit pedang seorang lawan dengan ikat kepalanya lalu menariknya. Pedang itu dapat terampas dan Lie Bun segera gunakan pedang rampasan untuk mengamuk kepada kedua pengeroyoknya. Biarpun keduanya cukup tangguh, tapi karena Lie Bun berkelahi dengan penuh semangat terdorong oleh kekhawatirannya akan keselamatan suhunya, sebentar saja ia berhasil menusuk dada seorang lawan hingga roboh binasa. Musuh kedua sebelum dapat berbuat banyak, telah kena tendang lambungnya hingga terlempar dua tombak lebih dan tak dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih di atas tanah.

Setelah merobohkan kedua lawannya, Lie Bun cepat berbalik dan membantu gurunya.

Pada saat itu, Kang-lam Koay-hiap telah lelah dan payah sekali. Dua kali ia kena pukul pada dada kanan dan pundaknya. Tapi biarpun kedua pukulan hebat itu telah melukainya di sebelah dalam, berkat keuletannya kakek kosen ini masih saja tidak mau menyerah kalah dan terus melawan dengan tekad bulat.

Lie Bun dengan gemas sekali gunakan pedangnya menyerang hwesio yang lihai itu. Melihat betapa serangan anak muda yang telah merobohkan kedua kawannya ini berbahaya sekali, hwesio kate menjadi terkejut. Ia merasa bahwa kini ia menghadapi dua lawan yang tangguh sekali dan berbahaya sekali kiranya kalau ia melawan terus.

“Kang-lam Koay-hiap, kau telah mendapat luka dalam dan jangan mati penasaran. Kalau kau tidak mampus dalam pertandingan ini dan dapat sembuh, datanglah kau ke Thian-siang dan kita lanjutkan pertempuran ini!”

Setelah berkata demikian, hwesio kate gemuk ini cepat meloncat ke atas genteng dan menghilang dalam gelap.

Lie Bun hendak mengejar, tapi Kang-lam Koay-hiap berkata lemah.

“Lie Bun ....... jangan !” Kemudian tubuh kakek itu menjadi limbung dan

terhuyung-huyung, kemudian roboh sambil semburkan darah segar dari mulutnya.

“Suhu !” Lie Bun lempar pedangnya dan loncat menubruk lalu memondong tubuh

suhunya ke tempat bersih.

Kang-lam Koay-hiap tersenyum. “Aku puas muridku. Kau telah cukup kuat dan tidak kalah gesit dengan aku ketika masih muda.” “Suhu, suhu bagaimanakah rasanya? Kau mendapat luka di mana?” Lie Bun tanya

dengan penuh kekhawatiran, sama sekali tidak memperhatikan pujian suhunya.

“Aku ... aku mendapat luka ... dua kali, yang terakhir hebat sekali ” kemudian ia

geleng-geleng kepala. “Bok Bu Hwesio itu memang lihai ”

“Teecu akan mencarinya, suhu! Teecu akan mengadu jiwa dengannya!” Lie Bun gemas.

“Tahukah kau siapa yang kau robohkan tadi? Mereka adalah Siong Gak dan Siong Gi kedua murid dari Kiu-thou Lo-mo yang dulu mencari ayahmu dan kubinasakan di atas rumah orang tuamu dulu! Kini kedua murid itu mencari aku dan membalas dendam gurunya. Mereka belajar silat lagi kepada Bok Bu Hwesio dan berhasil ajak suhunya yang baru ini untuk menjatuhkan aku! Tapi mereka sendiri jatuh dalam tanganmu. Ah

.... balas membalas agaknya hukum karma terjadi cepat sekali. Lebih baik begitu,

Lie Bun. Hutangku lunas sudah! Kau tak perlu mencari Bok Bu Hwesio untuk membalas sakit hati. Aku tidak merasa sakit hati padanya. Ingat! Kau tak boleh

mencari dia untuk membalas dendam! Kalau kau bertempur dengan dia karena urusan lain, apa boleh buat. Tapi jangan sekali-kali karena membalas dendam. Jangan kau

ikat dirimu dengan rantai karma, muridku ”

Karena keadaannya memang payah sekali ditambah ia telah mengumpulkan tenaga terakhir untuk memberi wejangan ini, sehabis bicara, Kang-lam Koay-hiap muntahkan darah lagi dan napasnya empas-empis.

Lie Bun terkejut sekali, tapi ia tidak berdaya, hanya airmatanya saja menitik turun dan ia gunakan tangannya mengurut-urut dada suhunya.

Biarpun keadaannya sangat parah, tapi guru yang sangat menyinta muridnya itu gunakan waktu semalam penuh untuk mengatur napas dan kekuatannya untuk memberi nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan penting kepada muridnya. Lie Bun dengan terharu sekali bersumpah hendak menjujung tinggi semua nasehat suhunya dan hendak menjaga nama suhunya sampai akhir hayat.

Agak lega tampaknya orang tua itu, mendengar sumpah Lie Bun. Kemudian sambil pegang pundak muridnya yang berlutut di sebelahnya, Kang-lam Koay-hiap berkata lirih.

“Lie Bun, jangan kau membohong pada gurumu. Agaknya kau tidak dapat melupakan puteri dari Lo-wangwe, bukan? Aku telah beberapa kali melihat kau diam-diam melukis wajah gadis itu di atas tanah. Lie Bun, jangan kau lemah dan menyerah terhadap perasaan itu. Bukankah kau laki-laki? Kau pulanglah dan mintalah orang tuamu untuk melamar gadis itu, kalau kau setuju. Orang tuamu cukup kaya untuk melamar anak Lo-wangwe. Tapi pesanku, jangan hanya mengutamakan kebagusan lahir dalam perkawinan, muridku. Kebahagiaan suami isteri tidak tergantung dari wajah tampan dan cantik! Kau perhatikan ini baik-baik!”

Lie Bun merasa terharu sekali. Sungguh suhunya seorang guru yang mulia dan sangat memperhatikan muridnya seperti kepada anaknya sendiri. Hal-hal yang begitu dirahasiakan dapat juga diketahuinya. Menjelang fajar, Kang-lam Koay-hiap, kakek gagah perkasa yang selama hidupnya sengaja menjadi pengemis, hiapkek budiman yang telah banyak sekali melepas budi kebaikan menolong sesama hidup, menghembuskan napas terakhir hanya di jaga oleh Lie Bun, muridnya yang menangis sedih sambil peluki mayat gurunya yang tercinta itu.

Betapapun juga kakek pengemis itu boleh merasa bangga dan puas karena setidaknya ada seorang yang dengan tulus menangisi kepergiannya, tidak seperti tangis-tangis yang sering terdengar pada upacara-upacara kematian.

Karena kelenteng itu kosong dan tiada penghuninya, maka Lie Bun lalu menggali tanah di pekarangan kelenteng sebelah belakang dan dengan penuh khidmat ia kubur jenazah suhunya baik-baik.

Kemudian Lie Bun berangkat menuju ke kota Bi-ciu di mana ayah dan ibunya tinggal. Ia telah mendapat petunjuk dari suhunya jalan mana yang harus di tempuh untuk menuju ke kota itu. Tongkat bambu suhunya ia bawa. Ia tempuh perjalanan dengan cepat dan hanya berhenti bila mana perlu saja hingga lima hari kemudian, ia telah tiba di kota Tong-kwang yang ramai karena kota di tepi sungai Lung-kiang ini memang terkenal dengan perdagangan dan hasil bumi.

Karena Lie Bun masih melanjutkan kebiasaan suhunya, yakni mengemis, maka ia mengikuti orang banyak yang menuju ke satu jurusan. Ia duga tentu ada tempat yang ramai hingga orang-orang itu pergi ke sana. Tidak tahunya, orang-orang itu menuju ke rumah Ong-tihu yang penuh dengan para tamu.

Tihu ini sedang merayakan pesta ulang tahunnya dan tentu saja sebagai seorang pembesar berpengaruh, ia mempunyai banyak kenalan dan yang hadir dipesta itu terdiri dari orang-orang gagah dan para pejabat pemerintahan.

Melihat ini, Lie Bun sudah hendak pergi lagi, tapi tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh seorang laki-laki yang berkata kepada kawannya.

“Pertandingan silat nanti tentu hebat dan ramai.”

“Ah, aku sih tidak ingin menonton silatnya hanya ingin melihat keindahan wajah dan bentuk badan Ong-siocia kalau sedang bersilat,” jawab kawannya.

“Hush! Jangan keras-keras, kalau terdengar oleh mereka, kau akan celaka!”

Mendengar akan diadakan pertandingan silat, Lie Bun menjadi tertarik sekali dan ia mendesak maju.

Ternyata di ruang depan yang penuh tamu itu, ditengah-tengah telah dibangun sebuah panggung rendah untuk bermain silat. Tapi berbeda dengan panggung-panggung lui- tai yang biasa, panggung ini selain rendah juga dihias segala macam bunga-bunga kertas yang indah dan beraneka warna hingga kehilangan sifat menyeramkan yang

ada pada panggung tempat mengadu kepandaian yang umum. Lie Bun merasa heran dan ingin tahu orang macam apakah yang akan bertanding di atas panggung macam itu.

Tak lama kemudian, terdengar tepuk orang ramai dari para tamu dan dari dalam keluarlah seorang gadis berpakaian merah.

Lie Bun kagum melihat kecantikan gadis itu dan pakaian gadis yang sangat mewah dan indah itu menambah kecantikannya.

Sebatang pedang bersarung merah pula tergantung di pinggangnya. Biarpun ia harus akui bahwa gadis itu cantik sekali, namun lirikan mata dan senyumannya mendatangkan rasa tidak suka dalam hati Lie Bun. Gadis genit dan manja, pikirnya.

Ong-tihu memperkenalkan puterinya kepada para tamu dan kemudian setelah menjura kepada semua tamu, Ong-siocia loncat ke atas panggung dan mulai bersilat dengan tangan kosong.

Gerakan-gerakannya memang indah dan lemas hingga mengagumkan mereka yang menonton, sedangkan Lie Bun diam-diam merasa tertarik sekali karena ilmu silat gadis itu bukanlah ilmu silat yang rendah.

Apalagi setelah Ong-siocia cabut pedangnya dan bersilat pedang, mau tidak mau Lie Bun kagum juga. Ia tahu bahwa ilmu pedang gadis itu adalah dari cabang Hwa-san yang telah bercampur dengan lain cabang. Tapi geraknya terlatih sempurna hingga bukan saja indah di pandang, juga cukup lihai kalau dipakai bertanding.

Karena tempat itu berdiri agak jauh dari panggung, maka ketika Ong-tihu berkata sesuatu sebagai pengumuman. Ia tidak mendengar jelas. Kemudian Ong-siocia menghentikan permainannya dan mundur ke dalam.

Setelah itu berturut-turut tampil ke panggung orang-orang muda yang muncul dari para tamu.

Mereka seorang demi seorang bersilat seorang diri. Orang pertama sampai ketiga hanya memiliki kepandaian silat rendah saja maka setelah mereka bersilat, mereka dipersilahkan turun kembali.

Tapi orang keempat yang bersilat dengan ilmu silat cabang Siauw-lim, agaknya menarik hati Ong-siocia yang menonton dari sebelah dalam. Ia lalu keluar dan setelah saling hormat, keduanya lalu bertanding silat.

Kini mengertilah Lie Bun bahwa anak gadis Ong-tihu itu sombong sekali dan ingin memperlihatkan kelihaiannya. Agaknya gadis baju merah itu sengaja memilih orang- orang yang agak tinggi kepandaiannya untuk dijajal. Yang berkepandaian rendah tidak menerima penghormatan untuk beradu tangan dengannya.

Ia tidak tahu sama sekali bahwa di samping ini, gadis itu mempunyai maksud lain. Gadis yang dimanja ayahnya ini sebenarnya sedang memilih-milih seorang pemuda yang sekiranya pantas menjadi pasangannya. Telah berkali-kali ia dilamar orang, tapi selalu ditolaknya. Hal ini diam-diam diketahui oleh para tamu. Maka pada kesempatan ini pemuda yang memiliki sedikit ilmu silat tentu tidak menyia-nyiakan waktu. Karena siapa tahu mereka akan “kejatuhan bintang”, atau setidaknya mereka akan merasa puas kalau bisa bersilat bersama gadis juwita yang sombong itu.

Karena menganggap bahwa gadis itu sombong dan jumawa, maka timbullah niat dalam hati Lie Bun untuk mencoba kepandaiannya.

Sementara itu, dengan mudah saja gadis baju merah itu dapat merobohkan lawannya yang pertama.

Tempik sorak menyambut kemenangannya ini dan pemuda yang tertelentang jatuh hanya meringis kesakitan dan merangkak dari tempat itu menuju ke sebuah bangku.

Maka pemuda-pemuda lain mulai bersilat pula. Setelah enam orang memperlihatkan kepandaiannya, pemuda ketujuh baru terpilih dan dianggap cukup pandai untuk melayani Ong-siocia.

Pemuda itu tampan dan gagah, tapi kepandaiannya juga masih jauh di bawah gadis itu hingga dalam beberapa puluh jurus saja ia terdesak hebat.

Tapi anehnya, Ong-siocia agak merasa kasihan untuk menjatuhkannya, maka beberapa kali ia hanya gunakan jari tangannya menowel dan menampar saja. Hal ini memang tak dapat terlihat oleh orang biasa, tapi bagi Lie Bun tampak jelas hingga diam-diam ia merasa jengah dan mukanya menjadi merah. Ia anggap gadis itu terlalu sekali mempermainkan orang. Akhirnya pemuda itupun terdesak ke pojok dan loncat turun mengaku kalah.

Setelah beberapa pemuda naik dan tidak diterima, yakni tidak dianggap cukup pandai, Lie Bun tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia loncat secepat kilat hingga tak ketahuan orang dan tahu-tahu ia telah berada di atas panggung setelah pemuda kedelapan turun.

Orang-orang merasa heran melihat dia. Dari mana datangnya pemuda pengemis ini? Memang keadaan Lie Bun sangat ganjil. Di antara orang-orang yang berpakaian mewah dan gagah, ia tampak lucu sekali. Bajunya penuh tambalan, celananya hanya sampai di bawah lutut, sedangkan kedua kakinya telanjang.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari dalam.

“Hai, pengemis busuk, siapa suruh kau naik ke panggung?”

Lie Bun berpaling ke arah Ong-siocia yang memakinya itu dan makin gemaslah ia.

“Bukankah kau sedang mencari lawan yang tangguh?” tanya Lie Bun sambil tersenyum.

Ong-siocia membuang muka dan wajahnya yang cantik itu menjadi merah karena marah. “Ha! Siapa sudi bersilat dengan kau yang buruk rupa dan kotor ini!”

Kata-kata itu menikam betul ulu hati Lie Bun. Ia tidak merasa sakit hati disebut buruk rupa karena ia memang telah maklum betapa mukanya tidak dapat disebut tampan. Tapi sikap gadis itulah yang memuakkan hatinya.

Dengan sengaja ia berkata keras agar terdengar oleh semua tamu.

“Jadi ujian ini hanya diberikan kepada pemuda-pemuda cakap dan tampan belaka? Jadi siocia hendak mengadu kepandaian hanya dengan pemuda-pemuda yang tampan saja, tak mau dengan pemuda yang buruk rupa? Eh, apa-apaan ini? Menguji kepandaian atau mengukur tampang?”

Ong-tihu mendamprat. “Binatang! Dari mana datangnya pengemis hina yang berani mengacau? Hayo pergi, kalau tidak akan kuseret kau ke dalam penjara!”

Lie Bun menjura dengan senyum sindir. “Memang beginilah seharusnya sikap seorang pembesar yang berkuasa. Garang terhadap seorang yang dianggapnya tidak berdaya. Baiklah kalau siocia yang gagah perkasa itu takut melawan aku si buruk rupa. Biarlah ia melawan si muka tampan yang tidak becus apa-apa!”

Marahlah Ong-siocia mendengar sindiran ini. “Bangsat, kalau kau memang ada kepandaian, cobalah kau layani pedangku ini!”

Gadis itu lalu cabut pedangnya. Dengan sengit ia loncat ke arah panggung dan langsung mengirim serangan kilat. Lie Bun berkelit cepat dan berkata.

“Bagus!” kemudian ia layani gadis baju merah itu dengan tangan kosong.

Memang hebat ilmu pedang gadis itu. Hanya sayang sekali kurang tenaga hingga ilmu silatnya itu ternyata hanya bagus ditonton saja. Lie Bun di dalam beberapa gebrakan saja maklum bahwa untuk menjatuhkan gadis ini bukanlah soal yang sukar baginya.

Tapi ia masih merasa kasihan untuk mencelakakan atau membuat malu kepada gadis yang tiada hubungannya sedikitpun dengan dia itu.

Maka iapun bersilat meniru gerakan gadis itu hingga bagi para penonton kedua orang bersilat dengan indah dan lemasnya hingga mengagumkan para penonton yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pengemis muda itu demikian gagah dan lihai. Juga Ong-siocia sendiri merasa terkejut sekali karena pemuda muka hitam ini tepat sekali meniru gerak-geriknya dan bersilat menurut pelajaran dari cabangnya sendiri. Tapi gerakan pemuda ini demikian cepat dan lihai hingga setiap serangan pedang dapat dikelitnya dengan lincah seakan-akan pemuda itu telah tahu sebelumnya ke mana pedangnya hendak menyerang.

Setelah menyerang lebih dari lima puluh jurus tapi belum juga dapat merobohkan pemuda itu, gadis baju merah itu merasa penasaran dan malu. Terang sekali bahwa ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Tapi sayang bahwa pemuda ini demikian buruk dan hitam wajahnya. Sedangkan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pengemis pula. Diam-diam Ong-siocia merasa kecewa sekali. Pada suatu saat Ong-siocia menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Lie Bun. Pemuda itu sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak kelit tusukan itu, hanya miringkan tubuhnya sedemikian rupa hingga pedang itu tepat sekali menusuk bajunya dan menyerempet kulit dadanya sebelah kanan, tapi sama sekali tidak melukai kulitnya. Karena pedang itu tepat memasuki baju, maka baik gadis itu maupun semua penonton mengira bahwa pemuda itu dada kanannya kena tusuk hingga semua orang mengeluarkan seruan.

Untuk menghidupkan permainannya, Lie Bun pura-pura berteriak kesakitan dan gunakan dengan tangannya mengepit pedang itu.

Ong-siocia buru-buru cabut pedangnya karena bukan maksudnya membunuh orang. Tapi alangkah terkejutnya ketika pedang itu terasa seakan-akan terjepit tulang iga pemuda itu hingga tak dapat dicabut.

Sementara itu, Lie Bun terhuyung-huyung mundur hingga terpaksa Ong-siocia lepaskan pedangnya yang kelihatan masih menancap di dada kanan Lie Bun.

Kemudian Lie Bun tertawa geli dan dengan tangan kiri cabut pedang itu. Semua orang memandang dengan mata melongo karena pedang itu tidak berwarna merah ujungnya seperti yang mereka sangka. Bahkan pemuda itu kini tertawa geli dan berkata.

“Aku mendengar orang berkata bahwa siapa yang dapat menangkan Ong-siocia, maka ia akan mendapat hadiah luar biasa besarnya. Hadiah yang tak terbeli oleh harta di dunia ini. Tapi aku setelah dapat melawanmu bahkan mendapat hadiah pedang.

Terima kasih, terima kasih! Harap saja siocia rela memberikan pedang ini padaku, ataukah hendak kau minta kembali?”

Ia pegang ujung pedang dan mengangsurkannya kepada Ong-siocia.

Tapi gadis itu dengan merasa malu lalu lari ke dalam tanpa berkata apa-apa.

Ong-tihu dengan diikuti beberapa orang pengawal bersenjata lengkap menghampiri Lie Bun hendak menangkapnya. Tapi pemuda itu berkata.

“Ong-tihu, tak usah repot-repot melayani aku. Aku bisa ambil sendiri hidangan- hidangan itu.”

Dan dengan sikap yang lucu, Lie Bun loncat ke arah meja paling ujung, melewati kepala para tamu, hingga orang-orang yang duduk di meja ujung itu menjadi panik dan tinggalkan mejanya.

Lie Bun lalu duduk di atas sebuah bangku dan mulai makan minum dengan lahap. Karena memang semenjak pagi tadi belum makan dan perutnya merasa lapar sekali.

Ong-tihu dengan wajah merah dan bersungut-sungut lalu memerintahkan para pengawal itu untuk mengejar Lie Bun. Tapi sambil bawa mangkok di tangan kanan dan pedang rampasan di tangan kiri, Lie Bun loncat melewati kepala mereka dan turun di ujung lain, lalu dududk di sebuah bangku melanjutkan makannya seakan- akan tiada terjadi apa-apa. Setelah beberapa kali loncat dan pindah-pindah meja hingga membuat para pengejarnya tidak berdaya karena harus jalan mengitari sekian banyak meja sedangkan yang dikejarnya dengan mudah dan enak saja melompati kepala para tamu, akhirnya Lie Bun merasa kenyang dan ia lalu berkata.

“Terima kasih untuk pedang dan makanan!” Ia lalu loncat keluar dan lari pergi.

Tentu saja peristiwa ini menggemparkan semua orang, termasuk para penonton di luar. Terutama Ong-siocia yang telah lama sekali mencari-cari dan mengharap- harapkan bertemu dengan seorang pemuda yang berkepandaian lebih tinggi darinya, menjadi bengong dan kecewa.

Mengapa pemuda itu berwajah hitam? Ini tidak begitu hebat, tapi kenapa pemuda itu hanya seorang pengemis? Ia menyesal sekali, dan setelah diingat-ingat barulah ia terkejut karena pedangnya telah terampas, sedangkan pedangnya itu bukanlah pedang biasa, tapi sebilah pedang pusaka pemberian kakeknya. Ia hanya bisa merasa

menyesal dan seringkali ia kenangkan pemuda muka hitam yang memiliki kepandaian luar biasa itu.

Sepekan kemudian, setelah menempuh perjalanan yang jauh tanpa berhenti kecuali untuk makan dan tidur, Lie Bun tiba di kota Kwie-ciu yang letaknya hanya beberapa puluh li saja dari Bi-ciu, kota tempat tinggal orang tuanya.

Karena dulu ia sering pergi ke Kwie-ciu, maka melihat kota ini, Lie Bun merasa gembira sekali dan ia tunda perjalanannya sambil melihat-lihat bagian kota yang tidak asing baginya itu.

Ternyata selama beberapa tahun ini tidak banyak terjadi perubahan pada kota ini. Waktu yang tujuh tahun itu seakan-akan baru tujuh hari saja lamanya. Alangkah cepatnya sang waktu meluncur.

Ketika ia sering datang ke kota ini, ia masih berusia kurang lebih sebelas tahun. Tapi kini ia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Ia tundukkan kepala memandang pakaiannya yang buruk penuh tambalan dan kedua kakinya yang telanjang. Lalu teringatlah ia ketika dulu ia mengunjungi kota ini dengan pakaian mewah. Maka tersenyumlah dia.

Bagaimana kalau ayah ibu dan kakaknya melihat ia dalam pakaian macam ini? Ah, mereka tentu takkan mengenalnya lagi. Biarlah aku akan membuat mereka terkejut dan bingung, pikirnya gembira.

Tiba-tiba terdengar suara gembreng dan tambur dari jauh. Bersinarlah kedua mata Lie Bun karena ia teringat akan arti bunyi-bunyian itu.

Itulah tambur gembreng di kelenteng Kwan-im-pouwsat di tikungan jalan yang menuju ke Bi-ciu.

Ternyata musim kering telah lewat dan untuk menyatakan terima kasih kepada Kwan- im-pouwsat, dewi yang murah hati yang selalu menjaga ketentraman dan kemakmuran para petani dan rakyat kecil itu, penduduk Kwie-ciu lalu mengadakan keramaian. Seperti biasa di depan kelenteng itu dibangun di mana orang bermain barongsai dan lion. Juga kadang-kadang di situ dipakai untuk bermain silat mendemonstrasikan kepandaian guru-guru silat di Kwie-ciu.

Maka tentu saja Lie Bun tertarik sekali, karena dulupun ia selalu dari Bi-ciu sengaja datang ke kota ini untuk menonton keramaian ini.

Benar saja, ketika ia tiba di depan kelenteng itu, orang-orang yang menonton keramaian telah penuh.

Kelenteng dihias dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas-kertas beraneka warna. Di depan kelenteng telah dibangun panggung yang tinggi dan kokoh dan di atas panggung tampak sedang dimainkan barongsai dengan tetabuhan yang sangat nyaring dan ramai.

Lie Bun mendesak maju dan berdiri di depan melihat permainan barongsai. Setelah permainan itu selesai, maka seorang gemuk yang berpakaian sebagai seorang ahli silat, muncul dari belakang panggung dan setelah menjura ke empat penjuru dengan kaku karena ketika membongkokkan tubuh, perutnya yang gendut itu mengganjal di depan. Ia lalu berkata, ternyata suaranya keras dan nyaring.

“Saudara-saudara sekalian, perayaan untuk menghormat Pouwsat tahun ini diadakan lebih besar dari pada tahun-tahun yang sudah lalu. Bahkan sekarang diadakan pertunjukkan istimewa, yakni pemilihan jago muda yang paling gagah di kota Kwie- ciu dan sekitarnya. Para guru silat di Kwie-ciu dan Bi-ciu menjadi saksi dan juri, sedangkan yang telah mendaftarkan untuk mengikuti pertandingan ini adalah enam belas jago-jago muda dari Kwie-ciu dan Lun-kwan.”

“Pertandingan pertama dilakukan delapan kali dan keenam belas orang pengikut itu namanya akan diundi untuk menetapkan harus berhadapan dengan siapa. Kemudian delapan orang pemenang dari pertandingan babak pertama ini akan diundi dan dipilih lagi menjadi empat orang pemenang. Dan demikian selanjutnya sampai terpilih pemenang pertama yang akan disebut jago muda dari daerah Kwie-ciu.”

Si Topeng Setan Menjadi Si Muka Hitam

PIDATO ini disambut dengan tepuk tangan riuh rendah karena para penonton merasa gembira sekali hendak disuguhi atraksi istimewa yang belum pernah diadakan.

Juga Lie Bun merasa gembira sekali, karena ia ingin sekali tahu siapakah jago muda terpandai di kota ini.

Si gendut itu angkat kedua tangannya untuk mencegah orang-orang membuat gaduh, lalu berkata lagi.

“Nama-nama peserta akan diumumkan dan undian telah dilakukan tadi.”

Pertandingan diadakan dengan cara tangan kosong dan tidak boleh menggunakan senjata tajam atau senjata rahasia. Luka atau kematian akibat pertandingan ini bukan tanggung jawab para peserta, dan hal ini telah disetujui oleh para pembesar yang berkuasa.

“Nah, sekarang peserta nomor satu Kwee Siang In berhadapan dengan peserta nomor tujuh Mo Kang Lok. Kwee-enghiong adalah jago muda dari Lun-kwan, sedangkan

Mo-enghiong adalah pemuda di kota ini. Kedua enghiong, silahkan naik ke panggung.”

Dengan disambut tepuk tangan riuh rendah, dua orang pemuda yang berpakaian dan bersikap gagah naik ke panggung dengan loncatan indah.

Melihat gaya loncatan itu, tahulah Lie Bun bahwa mereka hanya mempunyai kepandaian silat pasaran saja, maka ia menjadi kecewa. Tapi timbul pula kegembiraannya ketika mereka berdua mulai bertanding.

Keduanya tampan dan gagah dan kepandaian mereka berimbang. Tapi sebagaimana dapat diduga oleh Lie Bun pada saat mereka mulai bergebrak, pemuda she Kwee menang gesit dan pada suatu saat yang tepat ia berhasil mendupak perut lawannya hingga terhuyung dan akhirnya terguling dari atas panggung.

Kemenangan ini disambut sorak pujian dan pemuda she Kwee itu menjura ke arah penonton lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan babak kedua nanti.

Dengan lagak gagah si gendut lalu mengumumkan pertandingan kedua antara seorang she Oey dari Kwie-ciu dan seorang she Gak dari Bi-ciu. Lie Bun tertarik sekali mendengar bahwa orang she Gak itu berasal dari kotanya, tapi ia tidak kenal padanya.

Walau demikian, ada juga perasaan membela dalam hatinya hingga ketika dua pemuda itu bertempur, ia diam-diam mendoakan agar orang she Gak itu yang menang.

Tapi ia kecewa, karena pemuda she Gak itu akhirnya kena terbanting roboh dan dinyatakan kalah.

Demikianlah berturut-turut pertandingan diadakan. Ketika tiba giliran pertandingan ke enam, si gendut mengumumkan dengan suara dibuat-buat untuk menarik perhatian para penonton.

“Saudara-saudara sekalian. Pertandingan yang keenam ini dilakukan oleh orang-orang gagah kelas berat. Siapakah yang belum mendengar nama Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Si Tangan Besi dari Kwie-ciu? Nah, kedua jago lihai ini sekarang akan bertanding di atas panggung ini. Diharap kedua jago ini, si Rajawali Emas Lie Kiat-enghiong dari

Bi-ciu dan Kok Tian-enghiong dari Kwie-ciu suka tampil ke atas panggung.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar