Jilid 2
Biasanya kalau ditanya orang, ia selalu membohong dan menjawab dengan sangkalan keras karena kalau ia mengaku selalu orang memukulnya. Kini, mendengar pertanyaan halus ini, ia menjadi sedih dan menangis lagi sambil mengangguk- anggukkan kepalanya.
“Anak muda, mengapa kau mencuri?” tanya Gwat Leng Hosiang lagi.
“Karena ..... perutku lapar ...” pengemis itu menjawab sambil tundukkan mukanya. “Kenapa kau tidak mau bekerja untuk mencari makan?”
“Sudah kucoba ... sia-sia ... tidak ada yang mau memberi pekerjaan ...” jawabnya dengan sedih dan sekali lagi matanya jelalatan memandang ke sekelilingnya dengan takut-takut karena orang-orang makin banyak saja yang mengelilinginya.
“Hm, begitukah? Kalau begitu, mengapa kau tidak mengemis saja dari pada mencuri? Lebih baik minta dengan baik-baik belas kasihan orang dari pada mencuri,” Gwat Leng Hosiang berkata lagi, suaranya tetap sabar.
Kali ini pengemis itu memandang pendeta itu dengan pandang mata tajam. Ia heran sekali mengapa ada orang yang demikian memperhatikan nasibnya. Melihat wajah hwesio yang alim dan agung itu, ia tiba-tiba maju dan jatuhkan diri berlutut.
“Suhu, aku tidak berani membohong. Aku memang seorang pengemis maka tak perlu lagi kiranya diberitahu untuk mengemis! Aku mencari pekerjaan tidak dapat, mengemis juga tidak diberi oleh orang-orang itu, yang kuterima bahkan hanya makian dan pukulan belaka. Apa dayaku? Aku hendak mempertahankan nafsu agar jangan mencuri. Tapi ... tapi perutku ... perutku lapar mendesak tak dapat ditahan, suhu
....” Hampir saja Gwat Leng Hosiang mengeluarkan air mata mendengar ucapan ini. Tapi ia segera tetapkan hati dan meramkan mata. Matanya berkilat mengerling ke arah orang-orang yang berdiri mengelilingi dia dan pengemis itu. Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya.
Pengemis muda ini juga manusia, ia juga seperti orang-orang lain menghendaki kebahagiaan, menghendaki kecukupan, tapi jalannya telah tertutup, telah buntu hingga kalau tidak tertolong, pengemis itu tentu akan menjadi manusia perusak keamanan orang lain atau kalau tidak, ia akan mati kelaparan.
Ia perhatikan pengemis itu. Tubuhnya kurus kering dan berpenyakitan karena kurang makan. Kulit tubuhnya kotor karena tidak dirawat, tapi sepasang matanya yang membayangkan putus asa dan penderitaan besar itu mempunyai biji mata yang bulat dan besar. Anak ini sudah cukup menderita hingga batinnya telah mempunyai dasar yang kuat, pikirnya. Mengapa tidak? Maka ia mengambil keputusan.
“Berdirilah kau anak muda, dan ikutlah padaku jika kau ingin mengubah jalan hidupmu!”
Pengemis muda itu walaupun tidak mengerti betul apa arti kata-kata pendeta itu, cepat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya. Lalu ia berdiri dan berjalan mengikuti hwesio itu yang bertindak pergi keluar dari kota itu, tanpa pamit kepada kenalannya yang tadi membujuk-bujuknya untuk menjadi guru anaknya.
Pengemis muda itu ketika ditanya oleh Gwat Leng Hosiang, mengaku bernama Siok Ki dan berasal dari Kang-lam. Ia tidak ingat she nya lagi dan tidak tahu siapa orang tuanya, karena sepanjang ingatannya, ia sudah hidup seorang diri mengemis sepanjang jalan hingga hidupnya terlunta-lunta sampai ke kota Lok-yang.
Setelah dibawa ke bukit Hwan-tien-san dan menjadi murid tunggal Gwat Leng Hosiang, Siok Ki bekerja membersihkan kelenteng itu dengan rajin sekali hingga
Gwat Leng Hosiang suka kepadanya. Kemudian setelah diberi pelajaran silat, ternyata Siok Ki mempunyai bakat yang baik dan tekun belajar. Agaknya pengemis muda
yang telah hidup menderita itu ingin menjadi seorang berguna. Pernah secara iseng suhunya bertanya.
“Siok Ki, kalau engkau sudah tamat belajar dan menjadi seorang yang berkepandaian tinggi dan kembali ke masyarakat ramai, kau hendak bekerja apakah?”
Untuk beberapa lama Siok Ki tak dapat menjawab dan berpikir keras. Kemudian ia menjawab dengan suara tetap.
“Suhu, teecu telah terangkat dari lumpur kehinaan oleh suhu dan menerima budi yang tak terkira besarnya. Akan tetapi, teecu bersumpah bahwa selama hidup teecu akan tetap menjadi seorang pengemis, pengemis yang akan menjalankan tugas kewajiban seorang yang berkepandaian. Teecu akan selalu menjadi pengemis agar teecu selamanya tak lupa akan budi kecintaan suhu, dan agar teecu selalu ingat bahwa di dunia ini masih banyak sekali orang-orang yang nasibnya seperti teecu ketika belum bertemu dengan suhu, hingga teecu akan selalu ingat untuk menolong nasib mereka yang bersengsara.” Gwat Leng Hosiang tersenyum. “Aku setuju kepada maksud dan cita-citamu, Siok Ki, asal saja kau tidak melewati batas-batas yang telah ada pada setiap perbuatan di dunia ini. Aku yakin kau tidak akan mengganggu atau berbuat jahat terhadap sesama hidup, karena kau pernah menderita dan merasakan sendiri betapa sengsaranya hidup menderita. Tentu kau tidak tega untuk membikin orang menderita, bukan? Tapi hanya satu hal yang harus kau ingat baik-baik, Siok Ki, yaitu sedapat mungkin jangan
sekali-kali kau menerima seorang murid!”
Kaget dan heranlah Siok Ki mendengar pesan suhunya ini.
“Mengapa suhu?” Bukankah suhu juga mengangkat teecu sebagai murid? Kalau teecu tidak menerima murid kelak, maka kepandaian yang suhu ajarkan akan habis sampai
di tangan teecu saja, siapakah yang akan melanjutkan dan memelihara kepandaian dan ilmu-ilmu dari Hwan-tien-pai?”
Gwat Leng Hosiang tersenyum. “Memang demikianlah pendapat orang banyak. Tapi bagiku, baik ilmu silat kita musnah dari pada terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang menggunakan ilmu silat Hwan-tien-pai hanya untuk melakukan kejahatan belaka. Kalau hal ini terjadi, maka biarpun aku sudah mati, arwahku takkan dapat tenteram melihat betapa ilmu silat yang kuciptakan digunakan orang untuk melakukan kejahatan. Dan lagi, aku khawatir kalau-kalau kelak mengalami nasib seperti dongeng tentang guru silat yang dilawan muridnya sendiri, jika kau menerima murid.”
“Bagaimanakah dongeng itu, suhu?”
“Beginilah dongengnya. Di jaman dulu terdapat seorang gagah perkasa yang sangat tinggi ilmu silatnya hingga ia terkenal sebagai guru silat yang paling pandai di seluruh Tiongkok dan mendapat julukan jago silat nomor satu di dunia. Kemudian ia mempunyai seorang murid yang sangat disayangnya karena murid itu pandai dan rajin. Semua ilmu kepandaian yang dimilikinya diturunkan semua kepada muridnya itu hingga pada suatu hari guru silat itu sudah kehabisan ilmu untuk diajarkan pula. Semua kepandaian yang dimilikinya sudah diketahui oleh muridnya. Hal inipun ia beritahukan kepada muridnya itu. Tidak disangka sama sekali olehnya bahwa murid
yang diluarnya tampak baik dan taat itu ternyata mengandung niat jahat di dalam hati. Murid itu merasa iri hati dengan nama julukan suhunya sebagai jago sulat nomor satu di dunia, dan ingin merebut gelar itu dari tangan gurunya. Ia pikir bahwa setelah kepandaiannya setingkat dengan gurunya, tentu ia dapat mengalahkan gurunya itu karena ia menang tenaga dan lebih awas, sedangkan gurunya sudah mulai tua. Dengan pikiran ini, ia lalu dirikan panggung lui-tai dan menantang gurunya sendiri untuk adu kepandaian. Tentu saja suhunya merasa terkejut. Ia minta waktu selama tiga hari dan selama itu ia merasa sedih dan menyesal. Sedih mengapa murid yang disayangnya itu ternyata hanya seorang manusia durhaka, dan menyesal mengapa ia turunkan seluruh kepandaiannya kepada murid jahat itu. Pada hari ketiga, tiba-tiba ia teringat bahwa ada semacam ilmu silat yang belum ia turunkan kepada muridnya itu. Maka pada waktu pertempuran dilakukan dengan disaksikan oleh ribuan orang, pada saat gurunya itu terdesak oleh muridnya, ia gunakan ilmu yang belum diajarkan kepada muridnya karena lupa dan terlewat itu, hingga ia berhasil merobohkan dan membinasakan murid jahat itu. Semenjak itu maka semua guru silat tidak berani turunkan semua ilmu kepandaian mereka kepada murid-murid dan selalu menyimpan sepuluh bagian untuk diri sendiri.” “Teecu akan perhatikan semua petunjuk dan nasehat suhu, dan teecu takkan sembarangan menerima murid, kecuali kalau memang teecu lihat ia benar-benar seorang calon yang baik dan bersih.”
Gwat Leng Hosiang tersenyum. “Aku percaya kepadamu, Siok Ki. Dan jangan kira bahwa aku setuju dengan pikiran umum untuk menyimpan sepuluh bagian dari kepandaian untuk diri sendiri. Kalau demikian halnya dengan semua guru silat, maka tak lama lagi ilmu silat dari bangsa kita akan musnah dari permukaan bumi, atau setidaknya akan merosot nilai dan tingkatnya. Kau belajarlah beberapa tahun lagi dan semua ilmu yang kumiliki tentu akan kuturunkan semua kepadamu, muridku.”
Siok Ki berlutut dan menyatakan terima kasihnya. Semenjak saat itu, ia belajar dengan lebih rajin hingga beberapa tahun kemudian tamatlah ia. Ia telah belajar sepuluh tahun lebih dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Tapi ia tidak mau turun gunung dan selalu melayani suhunya yang sudah tua sampai Gwat Leng Hosiang meninggal dunia karena usia tua.
Setelah ditinggal mati oleh gurunya, barulah Siok Ki turun gunung sebagai seorang pengemis. Ia merantau dan mengembara di seluruh propinsi dan malang melintang di dunia kang-ouw dengan sebatang tongkatnya.
Entah berapa ratus penjahat yang telah dirobohkannya, entah berapa ribu orang yang telah ditolongnya, tapi selamanya ia bertindak dengan bijaksana dan penuh kegagahan hingga ia mendapat julukan Kang-lam Koay-hiap atau pendekar aneh dari Kang-lam.
Ia disebut aneh karena selalu muncul sebagai seorang pengemis dan selalu bekerja seorang diri dengan diam-diam.
Kang-lam Koay-hiap memegang teguh sumpahnya dan selalu hidup sebagai seorang pengemis. Ia tidak kawin selama hidupnya dan tidak mau menerima murid. Akhirnya ia bertemu dengan keluarga Lie yang ditolongnya dari pembalasan dendam Kiu-thou- lomo yang telah lama diincarnya karena si iblis tua itu seringkali berbuat jahat dan sewenang-wenang.
Dalam pertemuan itu, ia melihat Lie Bun yang menarik hatinya.
Pada pertemuan pertama saja ia telah dibikin terharu oleh sikap anak itu yang membelanya hingga ia mengalirkan air mata. Selama hidupnya, selain suhunya yang telah meninggal dunia, baru pertama kali itulah ada seorang yang hendak membelanya. Dan orang itu ialah Lie Bun si anak kecil.
Demikianlah riwayat singkat dari Kang-lam Koay-hiap yang kini tampak sedang
berlari-lari dengan muridnya untuk menghilangkan hawa dingin pada waktu pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing itu.
Ketika matahari mulai mengintip di ufuk timur dan burung-burung berkicau di pohon- pohon, Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya berhenti di luar sebuah kampung.
Lie Bun berhenti dan mengatur napasnya yang terengah-engah, tapi tubuhnya kini terasa hangat dan segar. “Lelah?” gurunya bertanya.
“Sedikit,” jawab murid itu dan mereka duduk di atas akar sebatang pohon.
Sambil beristirahat, Kang-lam Koay-hiap mulai memberi pelajaran kepada muridnya tentang teori-teori ilmu silat tingkat permulaan. Karena tubuhnya terasa segar pada pagi-pagi hari itu, pelajaran yang diberikan gurunya kepadanya diterima dengan mudah dan cepat dimengerti. Melihat kecerdikan muridnya itu, Kang-lam Koay-hiap sangat gembira. Ketika disuruh mengulang pelajaran-pelajaran itu, Lie Bun dapat mengingat semuanya di luar kepala. Karena girangnya, pengemis itu memeluk tubuh muridnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparnya ke udara untuk diterima dan dilempar kembali ke atas.
Lie Bun sangat senang dan memekik-mekik kegirangan karena iapun hanya seorang anak-anak yang masih suka bermain-main.
Setelah hari mendekat siang, Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya masuk ke kampung itu untuk mengemis. Tentu saja Lie Bun tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan hatinya merasa perih dan malu sekali.
“Mengapa malu? Kita tidak mencuri, tapi minta dengan jujur. Kita ketuk pintu hati manusia untuk menguji perikemanusiaan mereka. Kita tidak minta banyak-banyak, hanya dua mangkuk nasi, semangkuk untukmu dan semangkuk untukku!”
“Tapi, apakah orang lain tidak akan memaki kita malas, suhu?”
Gurunya tersenyum dan teringat masa mudanya. Dulu semua orang juga memakinya sebagai seorang pemalas.
“Biarlah kita dianggap malas, muridku. Tapi asal saja kita jangan malas. Bukankah kau tidak malas dan akan rajin mempelajari ilmu silat yang kuajarkan padamu?
Bukankah itu juga pekerjaan yang membutuhkan seluruh tenaga dan pikiranmu?” “Dan kau sendiri kau bekerja apa suhu?”
Kang-lam Koay-hiap tertawa bergelak-gelak. “Kerjaku kerjaku tentu saja
menghajarmu dan selain itu, ah, lihat sajalah, nanti kau pun akan tahu sendiri.”
Beberapa hari kemudian tahulah Lie Bun apa yang dimaksudkan oleh gurunya dengan pekerjaan itu. Ketika itu mereka berjalan memasuki sebuah kampung di dekat hutan. Ketika mereka mengemis nasi, jangankan mendapat dua mangkuk nasi, sedangkan minta air saja tidak ada yang mau memberi.
Semua penduduk kampung itu bermuka muram dan mereka itu kebanyakan menutup pintu dan keadaan di situ miskin sekali.
Kang-lam Koay-hiap merasa heran sekali, kemudian ia mencari dan menjumpai beberapa orang pengemis tua yang kelaparan di pinggir kampung. Ia majukan pertanyaan yang dijawab oleh seorang pengemis dengan suara pilu bahwa kampung itu menghadapi saat kebinasaannya, seperti juga dirinya dan beberapa orang kawan lain yang sejak kemaren belum makan.
Lie Bun merasa kasihan sekali diam-diam ketika suhunya sedang bercakap-cakap dengan pengemis itu, ia pergi dan menuju ke sebuah warung nasi. Di situ ia mengemis dengan suara mohon dikasihani karena ada orang kelaparan yang kalau tidak lekas- lekas ditolong tentu mati.
Tukang warung marah-marah dan mengusirnya, tapi Lie Bun terkenal berwatak keras hati dan tidak mudah mundur. Ia majukan alasan-alasan, bahkan berani berkata.
“Apa kau bukan manusia? Di sana ada beberapa orang manusia lain yang sedang kelaparan dan hampir mati. Apakah untuk memberi semangkuk nasi saja kepada mereka kau merasa keberatan?”
“Anjing kecil tak tahu keadaan orang. Kau kira kami ini hidup makmur? Kami sendiri terancam bahaya. Siapa yang bisa menolong?”
“Sabarlah, kawan. Sebentar lagi kalian kutolong.” Tiba-tiba terdengar suara dan orang-orang di kedai itu melihat seorang pengemis tua berdiri di situ. Mereka anggap pengemis ini gila maka mereka mengomel panjang pendek.
“Mengapa datang lagi pengemis-pengemis yang mengganggu kita? Ah, dunia sudah penuh segala pengemis dan perampok.”
Kang-lam Koay-hiap yang telah menyusul muridnya dan memberi janji hendak menolong tak perdulikan sikap mereka, tapi ia langsung memasuki kedai itu dan cepat sekali ia mengambil lima potong kue kering yang terletak di atas meja. Orang-orang menjadi marah dan mengejarnya, tapi Kang-lam Koay-hiap rogoh bajunya yang
penuh tambalan dan dari dalam saku dalam ia keluarkan sepotong perak yang beratnya tak kurang dari lima tail.
“Ah, manusia-manusia mata duitan. Kalian ingin terima uang untuk menolong sesama manusia hidup yang kelaparan? Hm, kalau hidupmu hanya untuk mengejar uang saja, akan datang saatnya kalian mendapat celaka. Nah, ini ambillah uang ini untuk pembayar makanan yang kubawa!”
Ia lempar potongan perak itu di atas tanah dan sambil membetot tangan muridnya. Ia tinggalkan tempat itu, cepat menuju ke tempat di mana para pengemis itu rebah kelaparan menanti datangnya maut.
Kue itu dibagi-bagi dan para pengemis itu berlutut menghaturkan terima kasih. Pada saat itu datanglah orang-orang kampung yang tadi berkumpul di kedai beramai-ramai.
“Losuhu, tunggulah! Maafkan kelakuan kami tadi. Bukanlah kami orang-orang kejam dan mata duitan, tapi sebenarnya kami sendiri sedang berada dalam keadaan yang membutuhkan.” “Aku sudah tahu. Bukankah kalian diganggu oleh perampok-perampok yang tinggal di hutan itu? Kalian diperas dan dirampok sampai habis? Nah, bukankah tadi aku sudah berkata hendak menolong kalian?” kata Kang-lam Koay-hiap tak acuh.
“Maafkan kami, losuhu. Kalau memang losuhu ada kepandaian, tolonglah kami demi perikemanusiaan, demi Tuhan yang Maha Esa.” Orang-orang itu meratap dan kini bahkan ada beberapa orang yang berlutut memohon-mohon.
Kang-lam Koay-hiap tiba-tiba pukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah dan membentak. “Kalau begitu, mengapa kalian sendiri tidak berperikemanusiaan dan tidak mau menolong beberapa orang yang sedang kelaparan ini?”
“Ampun, losuhu .... kami sedang bingung dan tak tahu harus berbuat apa ”
“Dengarlah, kamu semua. Aku mau menolong kalian, tapi kalian harus berjanji bahwa mulai saat ini kalian harus lempar jauh-jauh sifat kikir dan mementingkan diri sendiri itu. Kalian harus saling bantu dan menolong mereka yang sengsara. Ingatlah bahwa tiap manusia ini tak mungkin berdiri sendiri di muka bumi tanpa saling bantu dan saling tolong. Jangan hanya ingin ditolong oleh orang lain saja tapi diri sendiri tidak sudi mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang yang sedang sengsara.
Kalau kalian mau berjanji, aku pengemis miskin akan membantumu. Tapi, kalau tidak, aku bahkan ingin membantu perampok menghabiskan harta bendamu!”
Pekerjaan Pengemis Aneh
DENGAN menangis dan beramai-ramai mereka berlutut dan berjanji, bahkan ada beberapa orang yang serentak maju dan menarik bangun para pengemis yang kelaparan tadi dan membimbingnya ke dalam warung untuk diberi makan minum.
“Nah, kalau begitu, sediakan makan minum yang enak untuk aku dan muridku. Soal perampok-perampok kecil itu serahkan saja kepadaku.”
Beramai-ramai mereka kembali ke warung tadi dan orang-orang sibuk menghidangkan makanan enak-enak untuk Kang-lam Koay-hiap dan muridnya. Melihat makanan yang lezat-lezat itu, walaupun di rumahnya dulu Lie Bun sering makan masakan-akan yang lebih mewah dan lezat, namun karena perutnya sekarang
sedang lapar sekali, ia segera serbu hidangan itu dengan lahap tanpa sungkan-sungkan lagi. Gurunya pun demikian hingga sebentar saja guru dan murid itu berlomba makan hingga perut mereka menjadi penuh.
Kang-lam Koay-hiap elus-elus perutnya yang kenyang, lalu ia rebahkan diri di atas bangku panjang dan tidur mendengkur. Lie Bun tertawa geli melihat suhunya dan ia sendiri lalu keluar dari warung dan mendekati rombongan anak-anak yang sedang main-main di luar. Tapi anak-anak itu melihat seorang pengemis kecil mendekati mereka, lalu pada menjauh dan memandangnya dengan menghina.
Lie Bun biarpun baru beberapa hari saja menjadi pengemis, namun ia sudah biasa akan pandangan menghina dari orang lain padanya hingga ia tidak menjadi marah. Bahkan ia lalu ambil sebutir batu yang runcing dan gunakan itu untuk menggurat- gurat tanah. Dulu di rumahnya ia pernah diajar menggambar oleh guru sekolahnya dan agaknya ia memang berbakat melukis.
Anak-anak yang menjauhkan diri ketika melihat pengemis kecil itu menggurat-gurat di atas tanah, menjadi tertarik dan ingin tahu. Beberapa orang anak mendekat dan ketika mereka melihat lukisan kerbau yang indah, mereka maju makin dekat dan sebentar lagi semua anak yang tadi menjauh telah merubung Lie Bun.
“Bagus kerbau bagus!” mereka bersorak dan seorang anak berkata.
“Gambarkan burung untukku!”
Lie Bun menengok sambil tersenyum girang ketika melihat semua anak-anak merubungnya, maka ia segera gunakan tangan kiri membersihkan batu-batu kecil dan daun-daun kering dari permukaan tanah dan mulai menggambar burung yang indah. Kembali anak-anak bersorak riang.
Tak lama kemudian semua anak minta digambarkan, hingga halaman di situ penuh dengan lukisan segala macam binatang.
Sorakan yang saling susul dari anak-anak itu tiba-tiba mendapat sambutan sorakan lain yang keras sekali. Mendengar suara sorakan yang datangnya dari arah hutan itu, semua anak-anak yang tadi tertawa-tawa lalu menangis dan lari pulang ke masing- masing rumahnya.
Orang-orang tua juga tampak bergemetaran dan lari masuk ke dalam rumah lalu kunci pintu rumah dari dalam.
Lie Bun melihat betapa sebentar saja kampung itu menjadi kosong dan sunyi. Cepat- cepat ia masuk ke warung dan mendekati gurunya yang masih mendengkur.
Di dalam warung itupun berkumpul banyak orang, karena sebagian besar orang kampung sengaja mendekati pengemis tua yang telah berjanji hendak menolong mereka. Tapi alangkah kaget dan kecewa mereka ketika melihat betapa pengemis itu masih saja enak-enak mengorok di bangku panjang, sedangkan kawanan perampok telah datang menyerbu.
Beberapa orang lalu maju menghampiri kakek itu dan berbisik-bisik memanggil. “Losuhu ... losuhu bangunlah, mereka telah datang!”
Lie Bun melihat suhunya diganggu, lalu mencegah mereka dengan berkata keras.
“Kalian ini tidak tahu aturan. Orang sedang tidur diganggu. Tidak percayakah kalian kepada suhu?”
Tentu saja orang-orang itu tidak puas mendapat jawaban ini karena kini telah terdengar suara kaki kuda di depan warung itu bahkan terdengar bentakan-akan para perampok.
“Mana orang? Hayo, lekas keluar!” Mendengar ini semua orang di dalam warung itu menggigil dan berjongkok sambil tutupi muka.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara yang parau dan keras tertawa bergelak dan berkata. “Ha ha ha! Bagus sekali semua lukisan ini. Eh, orang dalam warung, siapakah yang melukis semua gambar di tanah ini? Pelukisnya lekas keluar!”
Lie Bun memang seorang anak pemberani. Mendengar pertanyaan ini, keluarlah ia tanpa ragu-ragu dan berjalan tenang menghampiri para perampok itu. Ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa telah turun dari kuda dan berdiri menundukkan kepala memandang ke arah lukisan-lukisannya.
Agaknya orang itu adalah kepala perampok, karena para perampok-perampok lain berdiri agak jauh dengan sikap menghormat, juga pakaian mereka tidak sehebat kepala rampok tinggi besar ini. Yang membuat ia tampak gagah menyeramkan adalah cambang bauknya yang kaku dan mengacung ke sana-sini, sedangkan dipinggangnya tergantung sebilah golok besar yang mengkilap dan tajam, karena golok itu telanjang tak bersarung.
Kepala rampok itu mendengar ada orang keluar dari warung, lalu memandang. Alangkah herannya ketika melihat bahwa yang keluar hanyalah seorang anak kecil berusia belasan tahun. Ia makin tertarik dan heran melihat betapa anak itu dengan tabah dan tidak ragu-ragu berjalan menghampirinya dengan muka terangkat. Ternyata muka anak yang agak buruk itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan bersemangat.
“He, anak kecil! Mau apakah kau keluar?” bentaknya dengan suara sengaja dikeraskan untuk menakut-nakuti.
“Bukankah tadi kau menanyakan pelukis semua gambar ini?” Lie Bun balas bertanya.
Makin heran kepala rampok itu. Ia bongkokkan tubuh untuk dapat menentang mata anak berwajah buruk itu.
“Apa katamu? Tahukah kau siapa yang melukis semua ini?” “Tentu saja tahu karena yang melukisnya adalah aku sendiri!”
Kepala rampok itu dongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
“Anak kecil, kau bohong! Kau lancang sekali. Tahukah kau siapa kami yang datang ini?”
Lie Bun mengangguk sederhana. “Kalian adalah perampok-perampok jahat!” Terbelalak mata kepala rampok itu, dan ia mulai menganggap anak ini berotak miring.
“Kalau kau tahu kami perampok, mengapa kau berani main-main? Aku akan membunuhmu!” “Mengapa? Karena aku berani keluar?”
“Tidak, karena kau membohong! Mana kau becus membuat lukisan sebagus ini?”
Marahlah Lie Bun. Ia segera membungkuk dan memungut sepotong kayu tajam, lalu berkata.
“Kau lihatlah. Aku akan melukis kau!”
Kemudian sambil memandang-mandang muka kepala rampok itu, Lie Bun membuat corat-coret di atas tanah dan sebentar saja ia telah dapat membuat coretan kasar dari wajah seorang yang mirip wajah kepala rampok itu.
“Lihatlah!” Dan kepala rampok itu lalu memandang lukisan itu dari dekat. Ia heran sekali karena coretan itu memang menggambarkan wajah orang yang hampir sama dengan wajahnya sendiri kalau ia sedang bercermin di dalam air.
“Kau pandai melukis anak kecil. Tapi tetap saja kau harus dibunuh, karena kau berani dan kurang ajar!”
“Kau takkan dapat membunuhku,” jawab Lie Bun tenang. Kembali orang tinggi besar itu terperanjat. “Apa? Mengapa?” “Suhuku takkan mengizinkan kau membunuhku!”
“Ha ha! Kau pengemis kecil mempunyai suhu? Tentu suhumu pengemis jembel tua. Mana dia?”
“Aku ada di sini, siapa mencari pengemis jembel tua?” tiba-tiba terdengar jawaban dan ketika Lie Bun menengok, maka suhunya telah berjalan menghampiri mereka dengan tindakan kaki perlahan dan tenang. Nyata bahwa suhunya masih merasa malas meninggalkan bangku panjang tempat tidurnya tadi.
Melihat seorang kakek pengemis yang pakaiannya penuh tambalan dan celananya pendek hanya sampai di lutut dan kakinya telanjang itu, kepala rampok memandang rendah.
“Orang-orang kampung di sini agaknya berani mampus betul, tidak patut menyambuyt kedatangan kami dengan mengeluarkan para jembel yang berbau busuk!”
“Monyet besar, kami golongan pengemis masih jauh lebih harum jika dibandingkan dengan kamu perampok-perampok rendah!” jawab Kang-lam Koay-hiap dengan senyum menghina.
Mendengar hinaan ini, kepala perampok itu menjadi marah sekali. Matanya melotot merah dan ia pandang pengemis tua itu dengan marah. “Apakah kau cari mampus?” bentaknya lalu ia berpaling ke arah anak buahnya. “Bakar semua rumah dan lempar jembel busuk ini ke dalam api!”
Dari rombongan perampok terdepan maju tiga orang yang menjadi thauwbak- thauwbak atau pemimpin-pemimpin kecil. Mereka siap hendak memberi perintah kepada para liauwho untuk melakukan tugas ini.
Tapi tiba-tiba Kang-lam Koay-hiap gerakan tangan kanannya ke arah mereka bertiga sambil berseru.
“Jangan berani bergerak!” Dari tangan Kang-lam Koay-hiap menyambar keluar beberapa buah batu kecil yang ternyata telah digenggam sejak tadi. Batu-batu kecil itu menyambar ke arah ketiga thauwbak itu dan heran sekali, tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata atau jeritan, tubuh ketiga pemimpin itu menjadi lemas dan roboh, karena dengan jitu sekali batu-batu itu dapat menotok jalan darah mereka.
Hal ini menimbulkan gempar di kalangan anak buah perampok, bahkan kepala perampok sendiri menjadi terkejut dan marah. Ia belum dapat menduga bahwa itu adalah serangan lweekang yang tinggi dan hanya mengira bahwa secara kebetulan saja kakek pengemis itu dapat merobohkan ketiga pembantunya, atau kakek itu menggunakan senjata rahasia yang lihai. Dengan teriakan keras, ia cabut goloknya yang mengeluarkan sinar mengkilap.
“Pengemis tua! Kau berani sekali mengganggu anak buahku. Tidak tahukah kau siapa yang berhadapan denganmu?”
Kang-lam Koay-hiap geleng-geleng kepalanya dengan perlahan, lalu menjawab. “Mana aku kenal dengan segala cacing tanah!”
Merahlah wajah kepala rampok tinggi besar itu. “Dengarlah, jembel tua bangka! Tay- ongmu ini adalah Koay-to-ong dari Sansee. Kalau kau memang termasuk orang kang- ouw, hayo kau merayap pergi sebelum golokku minum darahmu yang tak berharga!”
Kang-lam Koay-hiap pandang tongkat bambu di tangannya sambil berkata perlahan.
“Orang tinggi besar ini julukannya Raja Golok Setan, tidak tahu goloknya itu dapat bertahan beberapa jurus terhadap kau, tongkat tua!”
Melihat sikap pengemis tua yang sangat memandang rendah padanya itu, Koay-to- ong merasa ragu-ragu, maka ia bertanya.
“Sebenarnya siapakah kau orang tua yang usil tangan dan suka mencampuri urusan orang lain?”
Kang-lam Koay-hiap menjawab tenang. “Koay-to-ong, tak perlu kiranya di sini kita mengobrol nama kosong. Kau seorang gagah yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw. Mengapa kau tidak mau menjaga nama besarmu? Mengapa sekarang kau begitu rendah hingga mengganggu rakyat jelata yang memang hidupnya sudah sukar? Kalau kau merampok hartawan-hartawan pelit atau pembesar-pembesar penindas rakyat, aku orang tua takkan ambil perduli. Tapi, melihat kau telah berubah menjadi perampok kecil yang rendah dan tidak kenal malu hingga berani menyerbu kampung yang begini miskin, terpaksa aku biarpun sudah tua, melupakan kebodohan dan kelemahan sendiri dan akan kucegah perbuatanmu yang hina ini!”
“Jermbel tua sungguh sombong! Kau tahu apa tentang pekerjaan kami? Kau berani betul menasehati kami dan hendak mencegah pekerjaanku. Biarlah kubikin kau mampus lebih dulu sebelum aku melanjutkan pekerjaanku!”
“Itu lebih baik, boleh kau cobalah!”
Koay-to-ong tak sabar lagi. Ia putar-putar goloknya yang berat dan besar hingga menimbulkan suara bersuitan dan angin bertiup di sekelilingnya. Kemudian sambil membentak keras, ia kirim bacokan ke arah kepala Kang-lam Koay-hiap dengan tipu gerak Han-ya-pok-cui atau Burung gagak sambar air. Tapi kakek itu dengan tenangnya berkelit sedikit hingga golok besar itu mendesing menyambar di sebelah tubuhnya ke bawah. Ternyata Koay-to-ong memiliki ilmu golok yang hebat dan gerakannya cepat sekali. Ketika serangannya yang pertama ini gagal, maka ia teruskan Hong-sauw-pay-yap atau Angin sapu daun rontok, hingga golok itu dengan cepat sekali menyambar kedua kaki lawannya. Gerakan ini bagus dan berbahaya sekali hingga Kang-lam Koay-hiap memuji. “Bagus!” Lalu loncat cepat berkelit dengan gerakan Lo-wan-teng-ki atau Monyet tua loncati cabang, hingga sekali lagi serangan lawannya dapat digagalkan dengan mudah.
Makin marahlah Koay-to-ong betapa serangan-serangan hebat yang ia lancarkan itu dapat dikelit demikian mudahnya oleh lawannya, maka ia segera putar goloknya makin cepat dan mulai lakukan serangan bertubi-tubi sambil keluarkan ilmu golok Lo-han To-hwat dari cabang Siauw-lim-si yang terkenal lihai. Namun Kang-lam
Koay-hiap seorang tokoh kawakan yang sudah mahir sekali akan segala macam ilmu silat dari cabang manapun juga, tentu saja kenal baik ilmu golok ini hingga tanpa banyak kesukaran ia dapat kelit semua serangan.
“Orang tua busuk, hanya jangan bisa berkelit, kau balaslah menyerang!” kepala rampok itu memaki sengit karena merasa gemas sekali betapa kakek itu mempermainkannya dengan main kelit tanpa membalas sedikitpun juga. Ia ingin kakek itu membalas agar ia dapat gunakan tenaga tangkisannya membikin terpental tongkat bambu kecil itu.
Sementara itu Lie Bun yang nonton sambil nongkrong di pinggir, merasa senang sekali melihat betapa suhunya mempermainkan lawannya, maka tak terasa lagi ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata keras. “Suhu, mengapa kau tidak pukul pantatnya dengan tongkatmu?”
Mendengar anjuran muridnya, Kang-lam Koay-hiap lalu tertawa dan berkata, “Kau ingin dibalas? Nah, terimalah!”
Belum habis kata-kata terakhir diucapkan, tahu-tahu Koay-to-ong merasa pantatnya pedas ketika terdengar suara “plok!” dan tongkat bambu itu menghantam tubuh belakangnya. “Kurang ajar!” ia membentak dan menyerang lagi. Tapi kini ia merasa terkejut sekali karena kakek itu dengan luar biasa sekali telah melakukan serangan balasan hingga seakan-akan berubah menjadi empat orang yang menyerangnya dari segala penjuru.
Ujung tongkat bambu itu tampak di mana-mana mengancam jalan darahnya, hingga Koay-to-ong terpaksa gunakan ilmu golok yang dilakukan dengan bergulingan di atas tanah. Tapi betapapun juga ia menjaga diri, ujung tongkat itu tetap saja mengikutinya. Bahkan sewaktu-waktu demikian dekat di depan matanya seakan-akan hendak mencongkel keluar matanya.
Syukur sekali baginya bahwa Kang-lam Koay-hiap tidak hendak mencelakakannya. Kalau tidak, tentu sudah tadi-tadi ia tewas. Koay-to-ong loncat berdiri dari keadaan bergulingan, dan ketika tongkat menyambar ia sengaja gunakan goloknya menyabet sekuatnya.
Kang-lam Koay-hiap maklum akan maksud lawannya, maka ia lalu keluarkan keandalan dan memperlihatkan kelihaiannya. Ia sengaja adu tongkatnya dengan golok itu.
Dua senjata yang jauh bedanya, baik dalam ukuran maupun dalam beratnya itu, beradu dan “cring!” tahu-tahu golok besar itu terlepas dari pegangan Koay-to-ong yang merasa kulit tangannya seakan-akan dibeset dan golok itu terbang ke atas terputar-putar. Ketika golok menyambar turun, Kang-lam Koay-hiap gunakan tongkatnya menyabet miring dan golok itu lalu meluncur dan menancap di atas tanah sampai lebih setengahnya.
Melihat kehebatan kakek ini, pucatlah wajah Koay-to-ong. Ia segera menjura dalam dan berkata.
“Sungguh aku bermata buta tidak melihat seorang gagah di depan mata. Bolehkah siauwte mengetahui siapa nama losuhu yang mulia?”
Kang-lam Koay-hiap sekali lagi geleng-geleng kepala. “Apa perlunya mengetahui nama? Asal saja kau dapat melihat kembali ke jalan yang benar dan menjaga nama besarmu sebagai seorang dari kalangan rimba hijau yang gagah dan tahu akan keadilan dan kejujuran, masak kau khawatir akan terganggu oleh orang-orang tua tak berharga seperti aku ini? Nah, kalian kembalilah dan kasihanilah orang-orang kampung yang telah cukup miskin dan menderita ini!”
Kepala rampok dan para anak buahnya masih merasa penasaran karena pengemis tua yang lihai itu tidak mau memberitahukan namanya. Tapi mereka tidak berani memaksa. Ketika kepala rampok itu lewat dekat Lie Bun, ia mendumel perlahan.
“Aneh benar kakek itu!”
Mendengar ini, dengan tersenyum Lie Bun berkata kepadanya. “Memang, ia pendekar aneh dari Kang-lam, tentu saja aneh!” Mendengar ini, Koay-to-ong terkejut sekali. Ia cepat berpaling dan berkata. “Jadi ia Kang-lam Koay-hiap? Celaka, aku telah bersalah kepadanya!” Ia cepat putar tubuh memandang kakek itu, tapi Kang-lam Koay-hiap telah berjalan tereok-seok sambil menyeret tongkat bambunya, menuju ke warung tadi untuk melanjutkan tidurnya yang telah terganggu.
“Locianpwe, maafkanlah kami yang tidak mengenal orang tua yang gagah perkasa!” Kepala rampok itu berteriak. Tapi Kang-lam Koay-hiap seperti tidak mendengar teriakannya itu dan terus masuk ke dalam warung.
“Tentu saja suhuku suka maafkan kau. Kalau tidak, apa kau kira kau akan dapat pergi lagi?” Lie Bun berkata.
Kepala rampok itu menghela napas dan ia lalu cemplak kudanya dan memberi tanda kepada semua anak buahnya untuk cepat-cepat pergi dari situ. Suara kaki kuda yang gemuruh itu makin lama makin melemah, kemudian hilang di balik bukit.
Penduduk kampung keluar dari tempat persembunyian mereka dan dengan berdesak- desakan hendak memasuki warung itu. Tapi Lie Bun mencegahnya di depan pintu dan berkata. “Suhu sedang tidur, jangan ganggu dia!”
Penduduk kampung yang berterima kasih dan anggap Kang-lam Koay-hiap sebagai dewa penolong, menahan-nahan murid dan guru itu supaya suka tinggal di kampung itu untuk beberapa lama. Tapi Kang-lam Koay-hiap yang tidak suka akan sikap mendewa-dewakan dari mereka, segera ajak Lie Bun melanjutkan perjalanan mereka.
Ia meninggalkan pesan kepada para penduduk agar lebih mempererat kerja sama dan persatuan di antara mereka sendiri, juga agar mereka itu lebih memperhatikan nasib orang lain yang sedang ditimpa kesengsaraan dan kekurangan hingga dengan jalan bergotong royong mereka akan merupakan penduduk kampung yang bersatu padu dan kuat hingga tidak mudah diganggu gerombolan perampok.
Baru setelah terjadi peristiwa itu, tahulah Lie Bun akan pekerjaan suhunya, yakni mengulurkan tangan mengerahkan tenaga untuk membela mereka yang tertindas dan membasmi yang jahat. Diam-diam ia kagum sekali dan tekun belajar silat di bawah bimbingan Kang-lam Koay-hiap yang lihai dan luar biasa.
Kang-lam Koay-hiap melihat ketekunan dan kerajinan murid tunggalnya, merasa gembira sekali dan ia menggembleng muridnya itu dengan sungguh hati dan tak mengenal lelah.
Sementara itu, mereka terus merantau dan Kang-lam Koay-hiap sengaja ajak muridnya itu melalui daerah-daerah yang berbahaya hinga berkali-kali mereka mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan dimana saja mereka berada, selalu Kang-lam Koay-hiap turunkan tangan besi kepada para penjahat dan ulurkan tangan hangat kepada mereka yang kedinginan dan kesusahan.
Hal ini memang disengaja oleh Kang-lam Koay-hiap karena ia hendak mempertebal rasa perikemanusiaan yang memang telah bersemi di dalam jiwa muridnya. Ia hendak menggembleng muridnya itu supaya kelak menjadi seorang pendekar yang selain gagah perkasa, juga berjiwa luhur dan pembela keadilan dan kebenaran berdasarkan rasa perikemanusiaan.
Waktu berjalan cepat sekali hingga tak terasa lagi empat tahun telah lewat. Keadaan Tiongkok di waktu itu sangat kacau karena kaisar yang memegang tampuk pemerintahan sangat lalim dan hanya mementingkan pelesir dan senang-senang saja. Kaisar lalim ini tidak atau sedikit sekali memperdulikan keadaan negara dan rakyatnya hingga boleh dibilang ia telah melepaskan tangan dari kemudi dan menyerahkan kemudi pemerintahan kepada para pembesar tinggi yang pandai ambil muka dan yang berhati srigala.
Dengan sifatnya yang menjilat-jilat, para durna itu dapat merebut kedudukan- kedudukan baik dan kepercayaan kaisar hingga mereka dapat meninabobokan kaisar lalim itu yang tenggelam dalam siraman arak wangi, belaian tangan-tangan halus para selir yang tak terhitung banyaknya, di tambah pula dengan hiburan-hiburan berupa tari-tarian dan seni suara yang memabukkan dan membuat ia seakan-akan hidup dalam surga. Ia tidak sadar sama sekali betapa para durna itu menetapkan bermacam-
macam peraturan seperti menambah beban rakyat dengan pajak-pajak yang berat, dan tidak tahu sama sekali bahwa di bawah matanya terjadi gejala-gejala yang membuat rakyatnya tertindas dan sengsara sekali.
Para pembesar dari yang tinggi sampai yang paling rendah meniru keadaan kaisarnya, yakni semua hendak hidup mementingkan diri sendiri, hendak tenggelam dalam laut kesenangan dan untuk memenuhi nafsu angkara murka ini. Tiada lain jalan bagi mereka selain memeras rakyat. Lain jalan ialah menghubungi para hartawan dari siapa mereka mendapat uang sogokan yang besar jumlahnya, dan sebaliknya si hartawan lalu memeras rakyat dengan jalan menghisap tenaga mereka.
Celakalah rakyat kecil. Mereka bekerja seperti kerbau, membanting tulang memeras keringat. Para buruh bekerja mati-matian untuk memakmurkan majikannya yang hanya goyang-goyang kaki sambil isap huncpwe menikmati sedap harumnya tembakau. Para petani bekerja melebihi kerbau untuk menggendutkan perut tuan tanah yang sudah gendut. Dan semua itu hanya untuk dapat menerima sekepal makanan tiap hari untuk mencegah mereka dari pada bahaya maut kelaparan.
Bila musim kering tiba, maka sudah tidak mengherankan lagi bila di sana sini terdapat orang-orang mati kelaparan. Pada waktu seburuk itu, tidak heranlah hika terdapat hal- hal yang ganjil seperti berikut.
Di dalam gudang-gudang para hartawan dan para pembesar bertumpuk padi dan gandum yang sampai membusuk di makan ulat karena banyaknya hingga berlebih- lebihan sedangkan di luar gudang-gudang itu mayat-mayat rakyat kecil mati bergelimpangan karena kelaparan.
Ada pula hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang menjatuhkan keputusan dari perkara
yang diadilinya bukan berdasarkan duduknya perkara, tapi berdasarkan besarnya uang sogokan. Yang lebih kuat dan memberi terbanyak, pasti menang dalam perkara itu.
Di tiap kampung muncullah raja-raja kecil, yakni tuan-tuan tanah dan para hartawan. Mereka ini merupakan raja-raja kecil, karena mereka untuk membela kepentingan sendiri sengaja membentuk barisan-barisan pengawal atau tukang pukul. Mereka tak segan-segan membuat peraturan-peraturan yang khusus berlaku bagi daerah atau kampungnya, peraturan yang dipaksakan kepada rakyat kecil, terutama kepada para petani miskin.
Demikianlah, maka jika para penindas rakyat itu hidup dalam alam penuh kesenangan dunia, adalah si rakyat kecil yang hidup dalam neraka dunia. Hanya mata para orang- orang gagah dan patriot sajalah yang dapat melihat betapa keluhan-keluhan dan jeritan-jeritan rakyat membumbung tinggi ke angkasa meminta keadilan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Kang-lam Koay-hiap dan muridnya termasuk orang-orang yang melihat keadaan buruk ini dan karenanya orang tua itu makin giat mengulurkan tangan membantu kehendak Thian yang mendengarkan jerit dan keluh manusia-manusia sengsara itu.
Seringkali Kang-lam Koay-hiap berkata kepada muridnya.
“Lie Bun, kau lihat baik-baik. Beginilah keadaan dunia. Kau lihat saja, masih adakah orang yang pamntas disebut manusia? Tak usah kita melihat iblis-iblis yang menjelma menjadi hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar curang. Baiklah kita melihat kepada orang-orang kecil sendiri. Keadaan mereka yang sangat buruk itu memaksa mereka gunakan kelicikan dan kecurangan untuk dapat sekedar mengisi perut. Mereka saling tipu untuk dapat memberi makan kepada anak isterinya. Kau lihatlah! Bukankah ini mengerikan? Kita tidak berdaya, muridku, maka kita harus bertindak menurut takaran tenaga dan kemampuan yang ada pada kita saja. Pertama- tama kita janganlah sampai terbawa arus berbahaya dan buruk ini. Jangan sampai kita ikut menurutkan nafsu hati merugikan orang lain. Kedua, kita harus turun tangan dan membereskan segala yang tampak tidak lurus dan tidak adil. Kalau perlu, untuk membela keadilan, boleh kita pertaruhkan jiwa kita.”
Lie Bun yang telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia kurang lebih lima belas tahun, mendengarkan nasehat suhunya dengan hormat. Dalam empat tahun ini, ia telah mengenal pribadi suhunya sebagai seorang yang tidak hanya memiliki kepandaian tinggi, tapi juga memiliki jiwa yang luhur dan pengertian tentang hidup yang dalam.
Selama empat tahun itu, Lie Bun betul-betul memperoleh gemblengan hebat, karena tidak saja ia digembleng dalam hal pelajaran ilmu silat tinggi, tapi juga ia mendapat gemblengan ilmu bathin yang dalam dan mendapat pengalaman yang luas karena biarpun pengalaman itu hanya terjadi selama empat tahun, namun karena selama itu ia mengalami peristiwa-peristiwa hebat, maka telah membuka matanya dan mempertajam ingatannya.
Pada suatu hari, di kota Tung-kiang kelihatan ramai sekali dan banyak orang tampak hilir mudik memenuhi jalan raya. Pada wajah mereka tampak jelas bahwa swsuatu yang menarik hati terjadi di kota itu. Mereka bergegas-gegas dan nampaknya riang gembira seperti orang yang hendak menonton sesuatu. Ternyata bahwa mereka itu sebagian besar menuju ke sebuah kelenteng besar yang mempunyai pekarangan luas sekali. Orang-orang berjejal-jejal di luar, karena pekarangan itu dipagari kokoh kuat sedangkan pada pintu pagar ada beberapa orang yang tinggi besar bersenjata di tangan berdiri menjaga dan melarang orang-orang yang hendak masuk.
“Tidak boleh masuk, di luar saja!” kata mereka sambil mendorong orang yang berani mendekat.
Di tengah-tengah pekarangan yang luas, tepat di depan kelenteng itu, telah didirikan sebuah panggung lui-tai yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak hingga kelihatan nyata dari luar pekarangan. Di sekeliling panggung itu terdapat kursi-kursi yang puluhan jumlahnya.
Pada saat orang-orang berjejal-jejal di luar pekarangan, tiba-tiba tampak seorang pemuda berpakaian penuh tambalan menyusup di antara orang banyak. Ia adalah seorang pemuda yang berwajah hitam dan buruk karena kulit mukanya penuh tanda cacar. Tapi jika orang memandang penuh perhatian, dibalik keburukannya itu tampak sesuatu yang menyenangkan hati dan menimbulkan sayang pada wajah itu. Entah karena bibirnya yang berbentuk indah dan selalu tersenyum itu.
Rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan sehelai ikat rambut warna kuning. Bajunya sukar disebut warnanya, segala warna terdapat di situ karena puluhan tambalan baju itu berwarna berlainan. Celananya pendek hanya sampai di bawah lutut hingga tampak betisnya yang padat kuat dan berkulit halus, jauh berbeda dengan kulit mukanya yang buruk.
Kakinya telanjang tidak bersepatu, tapi tampak bersih, bahkan kuku kedua kakinya terpelihara baik-baik. Pinggangnya yang kecil diikat sabuk kain kuning pula.
Pemuda ini bukan lain ialah Lie Bun. Ia tinggalkan suhunya yang duduk beristirahat di bawah pohon di pinggir jalan. Kemudian pemuda ini mengikuti orang banyak itu yang menuju ke depan kelenteng. Ketika Lie Bun sedang mendesak maju, ia kena desak seorang tua yang memandangnya dengan bersungut-sungut.
“Di mana matamu, anak muda? Kaki orang kau injak saja seenaknya!” dengus orang tua itu.
Lie Bun terkejut dan menengok ke bawah. Ternyata kaki orang tua itupun telanjang. Ia tersenyum dan berkata halus.
“Maafkanlah, lopeh, aku tidak sengaja. Kalau kau merasa sakit, kau balaslah injak kakiku agar hilang marahmu.”
Kata-kata ini diucapkan dengan sewajarnya dan sungguh-sungguh hingga orang tua itu tidak jadi marah, bahkan ia memandang kepada Lie Bun dengan senang. Jaranglah dijumpai seorang pemuda demikian sopan santun dan lemah lembut.
“Eh, kau tentu bukan orang sini, suaramu berbeda,” katanya.
Lie Bun hanya mengangguk sambil tersenyum senang melihat bahwa orang tua itu tak jadi marah. “Lopeh, sebenarnya aku tadi sedang terheran-heran karena hendak melihat apa yang terjadi di sini. Sebetulnya ada terjadi apakah maka semua orang berkumpul di sini, lopeh?”
Permusuhan Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee
ORANG tua itu agaknya senang sekali melihat ada orang bertanya kepadanya dan memberi kesempatan kepadanya untuk bercerita, maka ia lalu tarik tangan Lie Bun diajak keluar dari tempat yang berjejalan itu. Mereka lalu keluar duduk di atas rumput yang tumbuh di pinggir jalan.
Mula-mula orang tua itu agak heran melihat pakaian dan keadaan Lie Bun, tapi karena pada masa sesukar itu memang banyak orang kelihatan seperti pengemis. Ia lalu tidak perdulikan lagi.
“Kelenteng ini adalah tempat berkumpul atau pusat perkumpulan Bu-gi-hwee, sebuah perkumpulan yang kuat di kota ini, karena Coa-tihu sendiri ikut menjadi pengurus.
Juga banyak hartawan di sini ikut pula menjadi penyokong hingga kedudukan Bu-gi- hwee sangat kuat. Untuk memilih anggota, maka selalu diputuskan oleh para pengurus, karena tidak sembarang orang boleh masuk menjadi anggota. Beberapa bulan yang lalu, seorang hartawan besar hendak masuk menjadi anggota. Tapi karena ia orang baru di kota ini dan pula pernah terjadi pertengkaran antara dia dengan seorang pengurus, hartawan she Kwa itu ditolak. Inilah yang menimbulkan hal kehebohan hari ini. Hartawan ini lalu masuk diperkumpulan Sin-seng-hwee yang berada di kota Nam-kiang yang tak jauh dari sini. Dan dengan adanya Kwa-wangwe
di situ, maka perkumpulan itu menjadi besar dan kuat karena Kwa-wangwe selain kaya, juga ia mempunyai jago-jago silat yang berkepandaian tinggi. Selain itu ia mempunyai keluarga yang berpengartuh di kota raja, karena anak perempuannya kawin dengan seorang pembesar berpangkat teetok.”
“Setelah merasa diri kuat, maka mulailah terjadi persaingan di antara Sin-seng-hwee dan Bu-gi-hwee, yang terjadi karena para anggota dan anak buahnya meniru sikap ketua masing-masing. Sebenarnya di antara Kwa-wangwe dan para pengurus Bu-gi- hwee hanya ada sedikit ketidak cocokan, tapi oleh para anggotanya persaingan itu dibesar-besarkan.”
Ketika mendengar betapa orang tua itu ceritanya berkepanjangan, Lie Bun bertanya dengan halus.
“Lopeh, biarlah hal itu tak usah kita percakapkan. Yang hendak kuketahui hanya lui- tai ini apa maksudnya dan dibuka oleh siapa?”
Empe itu merasa kurang senang karena ceritanya diputus oleh pendengarnya, tapi karena pemuda itu bicara dengan gaya sopan dan halus, ia hanya berkata.
“Yang sedang kuceritakan ini langsung berhubungan dengan panggung lui-tai hari ini. Biarlah kupersingkat ceritaku. Permusuhan antara Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee menjadi-jadi dan para hartawan dan bangsawan di kota Tung-kiang ini mengadakan adu jago dengan taruhan bahwa yang kalah harus membubarkan perkumpulannya dan menggabung kepada perkumpulan yang menang. Maka didirikanlah panggung lui-tai ini untuk mengadu jago.”
Lie Bun terheran mendengar ini. “Dan yang mengadakan adu jago ini termasuk pembesar-besar sendiri?”
Empe itu mengangguk. “Ya, selain pertaruhan di antara kedua perkumpulan, banyak juga uang dipertaruhkan di antara para hartawan. Kabarnya sampai puluhan ribu tail perak!”
“Siapakah yang akan diadunya?” Lie Bun bertanya dengan hati tertarik sekali. “Siapa lagi kalau bukan guru-guru silat kedua pihak? Aku sendiri tidak tahu siapa,
tapi yang pasti tentu akan terjadi pertempuran hebat dan mati-matian karena kedua
pihak mempunyai ahli-ahli silat yang pandai. Kabarnya akan diajukan masing-masing tiga jago silat!”
Mendengar keterangan ini, Lie Bun merasa tertarik sekali dan mereka berdua segera mendesak kembali ke tengah untuk menonton pertandingan hebat yang akan diadakan. Anak muda ini merasa sangat gembira hingga melupakan gurunya dan ia mendesak sampai di depan sekali, di mana berdiri penjaga-penjaga yang melarang orang luar memasuki pekarangan itu.
Ternyata kini kursi-kursi di pekarangan yang mengelilingi lui-tai telah penuh diduduki orang. Bagian kiri diduduki oleh rombongan tuan rumah, pembesar-besar dan hartawan-hartawan Tung-kiang, sedangkan di bagian kanan diduduki oleh pihak tamu dari Nam-kiang. Di atas panggung telah berdiri seorang tua berpakaian bangsawan, dan dibelakangnya berdiri tiga orang-orang tua yang tampak gagah.
Bangsawan itu menjura ke arah tempat duduk para tamu dan berkata dengan suara lantang tapi hormat.
“Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagaimana diketahui, pertandingan yang diadakan hari ini ialah untuk mengakhiri persaingan yang berbahaya. Agar terdengar jelas oleh semua yang berkumpul di sini, kami ulangi peraturan-peraturan pertandingan dan pertaruhan-pertaruhannya yang telah dibuat di atas kertas perjanjian, yakni pertandingan diadakan tiga kali di antara tiga calon atau jago yang diajukan kedua pihak. Pertandingan ini diserahkan kepada mereka yang bertanding untuk mengadakan perjanjian sendiri, hendak pakai senjata atau tangan kosong. Akibat luka atau mati tidak ditanggung oleh jago masing-masing. Dan yang kalah dalam pertandingan ini telah berjanji hendak membubarkan perkumpulannya dan sebagai tanda tunduk, hendak menggabungkan diri kepada perkumpulan yang menang dan dianggap sebagai cabang perkumpulan itu. Sudah jelaskan?”
Terdengar jawaban-jawaban yang menyatakan bahwa keterangannya telah jelas dan disetujui. Kemudian pembesar itu melanjutkan kata-katanya.
“Dan sekarang kami perkenalkan jago-jago kami, yakni jago-jago Tung-kiang. Pertama adalah losuhu Cee Un yang berjuluk It-ci Sin-kang Si jari lihai, kedua adalah losuhu Bu Swat Kay berjuluk Tiat-tauw-ciang Si kepala besi dan yang ketiga adalah losuhu Ouw-bin-liong Kwee Ong Si naga muka hitam. Kini kami persilakan cuwi mengajukan jago-jago dari Nam-kiang.”
Wakil Nam-kiang, seorang hartawan yang bertubuh gemuk dan pandai silat juga, loncat naik ke panggung. Ia membungkuk dan menjura ke arah rombongan tuan rumah dan berkata.
“Cuwi sekalian. Kami dari Nam-kiang telah siap dengan tiga jago kami. Pertama- tama akan maju jago ketiga dari pihak kami, yaitu losuhu Teng Ho Kong.” Ia lalu
loncat turun kembali dan pihak tuan rumah juga loncat turun, kecuali jago ketiga yang menunggu munculnya lawannya. Teng Hok Kong adalah seorang tosu berbaju putih. Ketika tosu ini loncat ke atas panggung, gerakannya demikian ringan dan lemah hingga diam-diam Lie Bun kagum, karena ia maklum bahwa tosu ini tentu tinggi ilmu silatnya.
Kwee Ong yang menjadi jago ketiga dari Tun-kiang, segera menyambut kedatangan lawannya dengan menjura. Ia sudah cukup kenal nama Teng tosu yang lihai, maka ia berlaku hati-hati dan bertanya.
“Teng tosu hendak memberi pengajaran dengan cara bagaimanakah? Bersenjata atau bertangan kosong?”
Teng tosu balas menjura. “Pinto adalah tamu, maka terserah kepada tuan rumah hendak memberi suguhan bagaimana.” Kata-kata ini halus tapi mengandung tantangan jumawa hingga Kwee Ong telah dapat dipanaskan hatinya.”
“Kalau begitu, biarlah kita mengadu kepandaian secara bebas,” jawabnya yang lalu disetujui oleh lawannya.
“Teng tosu, sebagai tamu jangan sungkan-sungkan, mulailah!”
Tosu itupun tidak banyak bicara lagi. Dengan seruan “Awas serangan!” ia maju menyerang. Gerakannya cepat dan ringan, menandakan ginkangnya yang tinggi. Tapi Kwee Ong yang mendapat julukan Si Naga Muka Hitam bukanlah lawan yang ringan.
Ia loncat berkelit dan balas menyerang dengan hebat. Suara para penonton yang tadinya berisik menjadi diam dan sunyi karena semua mata dan perhatian ditujukan ke arah mereka yang berkelahi di atas panggung.
Ternyata kedua lawan itu berimbang sekali. Teng tosu gesit dan cepat, Kwee Ong kuat dan gerak kakinya tetap. Mereka tidak berkelahi secara main-main, tapi mengeluarkan kepandaian simpanan dan berusaha menjatuhkan lawan dengan pukulan-pukulan maut.
Berpuluh jurus telah dilalui dan belum juga ada yang menang. Tapi karena beberapa kali beradu lengan, Teng tosu merasa betapa kulit lengannya sakit yang menyatakan bahwa ia kalah tenaga. Maka tanpa sungkan lagi ia loncat mundur sambil berseru. “Marilah kita mengadu senjata!” katanya sambil mencabut pedangnya dari punggung.
“Baiklah!” Kwee Ong menjawab dan ia ambil toyanya yang tadi ditaruh di pinggir panggung. Mereka saling serang lagi, kini lebih hebat karena menggunakan senjata. Penonton menjadi makin tegang dan silau karena sinar senjata yang diputar cepat itu. Terutama pedang Teng tosu ternyata hebat dan lihai hingga dengan gerak pedang Liang-gie-kiamhwat dari cabang Bu-tong-pai, ia berhasil mengurung lawannya dan mendesak hebat. Hal ini terlihat jelas oleh para penonton di sekeliling panggung, hingga tentu saja tamu-tamu menjadi girang. Sebaliknya tuan rumah menahan napas dengan penuh kekuatiran.
Setelah mendesak hebat, maka akhirnya Teng tosu berhasil mengirim tusukan maut ke arah tenggorokan Kwe Ong.
Tusukan ini sukar sekali ditangkis karena toyanya berada dalam kedudukan yang
sulit, maka terpaksa Kwee Ong ayun tubuh atasnya ke belakang hingga seperti hendak jatuh.
Dengan gerakan ini ia terluput dari tusukan pedang, tapi secepat kilat Teng tosu kirim tendangan ke arah lututnya hingga tak ampun lagi Kwee Ong roboh di atas panggung dan toyanya terlepas. Jatuhnya miring dan karena pening untuk sesaat ia tak dapat bangun. Ia rasakan lututnya sakit sekali, agaknya putus sambungannya.
“Kwee sicu, maafkan pinto yang kurang ajar!” Teng tosu berkata sambil maju hendak bantu membangunkan Kwee Ong. Tapi pada saat itu, ketika Teng tosu
membungkuk hendak pegang lengan Kwee Ong, dengan cepat dan tak terduga sama sekali, orang she Kwee itu ayunkan tangannya.
Sebatang piauw menyambar dan tepat menancap ditenggorokan Teng tosu yang roboh terguling tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Hal ini terjadi cepat sekali hingga hampir tidak diketahui orang, tapi Lie Bun melihatnya jelas sekali.
Anak muda yang berdarah panas ini segera maju hendak masuk ke pekarangan. Tapi kelima penjaga mencegahnya dengan lintangan tombak dan golok.
“Minggir kamu!” bentak Lie Bun dan entah bagaimana, tahu-tahu kelima penjaga itu terlempar kesana kemari dan jatuh tunggang langgang.
Semua penonton di luar pagar heran dan kagum sekali melihat sepak terjang anak muda itu, terutama kakek yang tadi bercerita kepada Lie Bun merasa terkejut dan heran. Lie Bun tak perdulikan seruan orang-orang itu, tapi terus saja loncat menghampiri panggung dan sebelum orang-orang yang duduk di sekitar panggung tahu apa yang terjadi dengan para penjaga itu, tahu-tahu tubuh Lie Bun telah melayang ke atas panggung.
Pada saat itu, kedua jago dari Nam-kiang melihat betapa kawan mereka dapat dirobohkan dengan cara yang sangat curang, merasa marah sekali dan berbareng meloncat ke atas panggung. Juga kedua jago dari Tung-kiang melihat pihak Nam- kiang loncat, ikut enjot tubuh ke atas.
Akan tetapi sebelum keempat jago dari kedua pihak itu sampai ke atas panggung, tahu-tahu Lie Bun telah mendahului mereka. Kwee Ong yang berhasil merobohkan Teng tosu dengan cara curang, ketika melihat berkelebatnya seorang pemuda ke atas panggung, menyangka bahwa itu tentu kawan Teng tosu hendak menuntut balas, maka ia cepat ayun lagi tangannya dan sebatang piauw meluncur ke arah tubuh Lie Bun yang belum turun kakinya.
Pemuda itu segera membentak. “Bangsat curang!” dan ia gunakan dua jari tangannya menyampok piauw yang terbang itu hingga dengan luncuran yang lebih cepat dari datangnya tadi, piauw itu terbang kembali menyerang tuannya.
Kwee Ong tak keburu berkelit karena hal ini sama sekali tidak disangkanya hingga tahu-tahu piauwnya sendiri telah menancap di lehernya dan ia berteriak ngeri.
Keempat jago yang kini telah naik ke panggung, dua dari Tung-kiang, dua lagi dari Nam-kiang, menjadi terkejut dan heran. Mereka tidak tahu dari mana datangnya anak muda yang lihai ini. Terutama pihak Tung-kiang yang melihat betapa kawan mereka dilukai, segera membentak nyaring.
“Bangsat kecil berani mati! Siapakah kau yang telah berani membunuh kawan kami?”
Sebelum Lie Bun menjawab, dua orang jago dari Nam-kiang yang juga telah naik dan marah melihat ada orang luar ikut campur hingga dapat menimbulkan dugaan buruk terhadap pihak Nam-kiang, membentak marah.
“Pengemis cilik kelaparan! Kenapa kau ikut campur urusan orang lain? Kami tidak sudi dibantu oleh siapapun juga?”
Lie Bun tersenyum dan memandang orang-orang kedua pihak berganti-ganti, lalu berkata sambil angguk-anggukan kepala.
“Memang sudah ku duga. Kamu semua bukanlah orang baik-baik, bukan orang-orang gagah di kalangan kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan, tentu takkan sudi diperalat oleh orang-orang kaya dan berpangkat untuk saling menghantam sesama kaum dan golongan. Tapi aku tidak perduli semua ini. Kalian orang-orang tersesat mau saling hantam dan bunuh masa bodoh. Tapi di depan mataku jangan sekali-kali terjadi kecurangan seperti tadi. Biarpun yang bertempur hanya segerombolan anjing, kalau ada yang bermain curang, aku tak dapat tinggal diam. Aku paling benci melihat kecurangan!”
Semua orang heran sekali mendengar kata-kata yang sangat berani ini, dan banyak orang menyangka bahwa anak muda pengemis ini tentu berotak miring atau setidaknya seperempat gila.
Orang-orang yang tadi menonton di luar pagar, kini melihat betapa kelima penjaga itu dapat dilempar orang hingga merangkak bangun sambil pegang-pegang kepala yang bocor, beramai-ramai memasuki pintu pekarangan dan melihat ke atas panggung, karena mereka tahu bahwa sekarang akan terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi.
“Bangsat kecil, kau memang harus dibikin mampus!” bentak jago kedua dari Tung- kiang yang bertubuh pendek besar dan kepalanya gundul. Inilah Tiat-tauw-ciang si kepala besi yang bernama Bu Swat Kay. “Benar, sebelum kita melanjutkan pertandingan ini, lebih dulu kita harus bereskan binatang ini!” jago pertama dari Nam-kiang berseru.
Sementara itu, kedua mayat dari Kwee Ong dan Teng tosu telah diturunkan orang hingga kini yang berada di atas panggung hanya tinggal Lie Bun yang dikurung oleh empat orang jago dari kedua pihak.
Lie Bun mendengar betapa jago-jago kedua pihak memusuhinya, tersenyum dan berkata.
“Memang seharusnya demikian. Kalau kalian berempat tak dapat menjatuhkan aku, apakah kalian masih ada muka untuk main pencak di sini memamerkan kepandaianmu yang tiada harganya ini? Hayo majulah kalian berempat, boleh coba- coba dengan siauw-yamu!”
Bukan main marahnya keempat orang itu. Mereka adalah jago-jago besar yang ternama dan memiliki kepandaian tinggi.
Jago pertama dari Tung-kiang yang bernama Cee Un dan berjuluk Si jari lihai adalah seorang tinggi kurus yang mahir sekali ilmu totok It-ci-tiam-hwat dan memiliki lweekang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Selain menggunakan sebuah jari untuk menotok jalan darah lawan, Cee Un memiliki sebuah senjata yang aneh dan lihai, yakni sebatang pit kuningan yang dapat ia mainkan dengan berbahaya karena selain merupakan senjata yang dapat menembus kulit, mematahkan tulang, juga dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan yang berkulit tebal.
Jago kedua dari Tung-kiang juga seorang yang berkepandaian tinggi. Bu Swat Kay si kepala besi ini memiliki tenaga besar dan keistimewaannya ialah menggunakan kepalanya yang gundul licin untuk menghantam tubuh lawan. Jarang ada lawan yang dapat menahan benturan kepalanya yang lebih berbahaya dari pada serudukan kerbau jantan.
Juga jago-jago dari Nam-kiang tak boleh dipandang ringan. Yang ketiga saja, Teng tosu yang tewas karena kecurangan Kwee Ong sudah cukup lihai. Yang kedua ialah Liok Sat yang dijuluki Lutung Sakti, seorang bekas perampok ulung yang telah terkenal sekali akan ilmu pedang cabang Kun-lun yang telah tercampur dengan lain- lain cabang.
Yang pertama adalah seorang kang-ouw yang telah membuat nama besar, bukan karena kegagahannya saja, tapi juga karena kekejamannya. Ia adalah seorang hwesio cabul yang tersesat bernama Khong Tong Hwesio, seorang ahli dari cabang Siauw- lim-pai, tapi bukan murid langsung, hanya saja ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu silat Pek-lian-kauw. Khong Tong Hwesio ini masih menjadi murid keponakan dari Ang-koay-tojin yang terkenal dan ditakuti seluruh tokoh kang-ouw.
Demikianlah empat orang jago besar itu, tentu saja mereka merasa terhina sekali oleh anak muda yang tak mereka pandang sebelah mata itu.
Si kepala besi tak dapat menahan marahnya lagi, lalu berkata kepada kawan dan lawannya. “Saudara-saudara harap turun dulu, biar aku yang mengantar nyawa binatang jahanam ini ke neraka!”
Karena tidak sudi dianggap mengeroyok seorang anak muda yang usianya tidak lebih dari lima belas tahun, tiga jago lain lalu loncat turun dengan muka merah karena marah dan penasaran.
Lie Bun menghadapi si kepala besi. “Kalau tidak salah, tadi kau diperkenalkan sebagai seorang berkepala besi. Tidak tahu besi di kepalamu itu besi tulen atau palsu?”
Orang-orang luar yang kini telah mendesak masuk ketika mendengar ini tak dapat menahan geli hati mereka dan sambil ditahan-tahan mereka tertawa perlahan.
Bukan main marahnya si kepala besi hingga kepalanya yang licin gundul itu seakan- akan mengeluarkan asap. Ia gulung lengan bajunya dan Lie Bun juga meniru perbuatannya itu, ikut-ikut menggulung lengan baju hingga kembali orang-orang yang melihat tingkah lakunya yang lucu menjadi tertawa.
“Bangsat kecil, lihat saja dalam sepuluh jurus aku pasti akan menjatuhkan kau ke bawah panggung dengan napas putus!”
Lie Bun menjawab sambil meniru-niru gaya dan suara si kepala besi.
“Bangsat besar, lihat saja dalam lima jurus aku pasti akan menjatuhkan kau ke bawah panggung dengan napas empas-empis!”
Kembali para penonton tertawa, mereka ini lupa bahwa yang berada di atas panggung bukanlah dua orang pelawak yang sedang membadut, tapi adalah dua orang yang akan bertempur mengadu nyawa.
Si kepala besi yang tadinya hendak tahan harga dan menjaga nama hingga tak mau menyerang dulu, melihat lagak Lie Bun menjadi tak sabar lagi. Ia mengeram dan maju menerkam seperti seekor harimau haus darah.
Lie Bun menghitung “satu!” sambil berkelit dan ketika serangan kedua datang, ia menambah hitungannya “dua!” dan demikianlah, dengan berkelit dan gunakan ginkangnya hingga ia bergerak lincah sekali. Ia menghitung terus sampai delapan.
Melihat betapa dalam delapan jurus belum juga dapat menjatuhkan anak itu, si kepala besi menjadi terkejut, heran dan malu. Kalau tidak bisa menjatuhkan dalam dua jurus lagi, ia akan mendapat malu dan kehilangan muka, pikirnya. Maka ia lalu maju menyerang dengan tiga pukulannya yang paling berbahaya, yakni Macan hitam menerkam ular. Pukulan ini selain cepat, juga tidak terduga, karena kedua tangan digerak-gerakan tak tentu hingga sukar diduga hendak memukul bagian mana.
Namun Lie Bun tidak menjadi bingung. Ia sengaja menanti dengan tenang dan menghantam lambung yang dapat mendatangkan maut. Ia segera menggulingkan diri ke belakang sambil menghitung “sembilan!” dan kemudian berdiri lagi sambil tersenyum-senyum mengejek. Tentu saja si kepala besi merasa gemas sekali, apalagi ketika mendengar suara ketawa dari para penonton, baik dari pihak Tung-kiang maupun dari pihak Nam-kiang yang merasa betapa anak muda itu sikapnya lucu sekali.
Maka nekadlah si kepala besi, ia mundur beberapa langkah dan segera berseru.
“Bersedialah untuk mampus!” kemudian ia lari cepat dengan kepalanya yang gundul mengkilap di depan, seperti lakunya seekor kerbau gila yang menyeruduk lawannya. Karena sambil maju menyeruduk, matanya melirik, ia dapat mengejar kemana saja lawannya lari menghindarkan diri.