Pengemis Tua Aneh Jilid 1

Jilid 1

GEDUNG Lie-wangwe, seorang hartawan bernama Lie Ti, merupakan rumah terbesar dan terindah di kota Bi-ciu. Temboknya tebal dan tinggi, sedangkan pintunya terbuat dari kayu gunung yang kuat dan diukir bagus sekali. Tiang-tiang bangunan yang berbentuk bulat dicat aneka warna dan diukir-ukir pula. Di depan rumah terdapat emper yang lebar yang berlantai batu licin dan bersih.

Lie Ti adalah seorang hartawan yang lahir kaya. Telah beberapa keturunan keluarga Lie di kota Bi-ciu terkenal kaya karena majunya perdagangan mereka. Mereka berdagang hasil bumi dan memiliki banyak rumah dan tanah. Keluarga Lie bukan saja merupakan keluarga terkaya di kota itu, juga merupakan keluarga tertua. Bahkan banyak orang berkata bahwa pendiri kota Bi-ciu adalah nenek moyang Lie Ti sendiri.

Lie Ti suami isteri mempunyai dua orang anak. Keduanya laki-laki, yang pertama bernama Lie Kiat dan yang kedua bernama Lie Bun dan pada waktu itu kedua kakak beradik itu baru berusia tiga belas dan sepuluh tahun.

Pada suatu hari di musim panas, ketika matahari membanggakan kekuasaannya dan memuntahkan cahaya dan panas ke muka bumi, seorang pengemis duduk meneduh di emper gedung Lie-wangwe. Ia duduk bersandar tembok dan lantai batu yang dingin itu, membuat ia duduk dengan enaknya dan perlahan-lahan datang rasa kantuk, hingga tak lama kemudian pengemis tua itu melenggut-lenggut tidur ayam sambil bersandar tembok. Kedua kakinya diselonjorkan dan sebatang tongkat bambu melintang di atas pahanya.

Pengemis itu sudah tua, sedikitnya berusia lima puluh tahun. Pakaiannya penuh tambalan-tambalan yang beraneka warna itu telah membuat pakaian itu tampak lucu karena sukar dicari lagi mana kain aslinya. Karena tambalan itu dilakukan dengan sembarangan dan bertumpuk-tumpuk, maka bajunya itu menjadi sangat tebal.

Rupanya selama dipakai, baju itu tak pernah dicuci, terbukti dari warnanya yang kegelap-gelapan, kaku, dan mengeluarkan bau apek. Pengemis itu mengenakan celana hitam yang tebal juga tapi panjangnya sampai batas lutut. Kakinya yang telanjang dari lutut ke bawah tampak kurus kering dan betisnya hanya merupakan dua batang tulang terbungkus kulit seperti kaki burung kuntul. Ia tidak pakai sepatu dan telapak kakinya yang selalu beradu dengan tanah dan batu-batu yang panas menjadi tebal dan kebal.

Rambut di kepala pengemis itu ganjil dan berbeda dengan orang biasa. Agaknya ia gunakan pisau untuk memotong rambut sebatas telinga hingga rambut itu menjadi kacau balau dan ngacung kesana sini. Tapi yang aneh, biarpun pakaiannya kotor, kulit tubuhnya dari muka sampai ke kaki dan lengan tangannya tampak bersih sekali seperti orang yang baru habis mandi. Juga muka yang kurus dengan mata tertutup dan mulut ternganga itu tercukur bersih dan kulitnya kemerah-merahan.

Pada hari sepanas itu jarang tampak orang keluar pintu dan di jalan depan gedung Lie- wangwe itu, hanya kadang-kadang saja kelihatan orang berjalan kaki tergesa-gesa karena panas. Tapi tiap orang yang lewat di situ pasti menengok dan melihat ke arah pengemis itu dengan heran. Bukan keadaan pengemis itu yang menarik perhatian mereka, karena sesungguhnya tak seorangpun pernah melihatnya namun tetap saja ia seorang pengemis seperti yang banyak sekali terlihat di mana-mana. Yang membuat mereka terheran-heran adalah keberanian pengemis itu.

Lie-wangwe selain terkenal hartawan juga terkenal dermawan. Tapi semua orang tahu bahwa hartawan itu sekali-kali tidak suka diganggu. Tak seorangpun boleh dengan sesuka hati saja duduk diemper gedungnya tanpa keperluan penting. Dan sekarang di situ duduk seorang pengemis kotor yang tidak hanya duduk, bahkan melenggut seenaknya seperti sedang duduk di atas pembaringan dalam kamar sendiri. Hal ini merupakan kejadian baru yang dianggap aneh dan luar biasa, maka sekiranya hari tak sepanas itu, tentu mereka akan berhenti dan menanti disitu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pengemis aneh itu. Tapi hari terlampau panas dan pintu yang tebal dari gedung hartawan Lie tertutup rapat hingga mungkin takkan ada pelayan yang tahu tentang pengemis itu sampai ia pergi lagi dari situ.

Tapi ternyata sampai hari telah menjadi sore, pengemis tua itu tetap duduk melenggut di situ. Setelah matahari mulai menyingkir ke barat dan udara mulai didinginkan oleh angin senja, orang-orang yang melihat bahwa pengemis itu masih tetap berada di emper gedung Lie-wangwe, mulai tertarik dan berdiri di luar gedung. Sebentar saja di situ berkerumun lebih dari sepuluh orang, mempercakapkan pengemis tua yang ganjil itu sambil menduga-duga. Tapi yang menjadi percakapan masih tetap enak saja melenggut.

Tiba-tiba pintu yang berat itu terbuka dari dalam. Telah tiba waktunya pelayan kebun membersihkan emper sebagaimana yang biasa dilakukannya tiap hari dua kali pagi dan sore. Alangkah heran dan marahnya melihat betapa seorang pengemis tua enak- enak duduk dan mengantuk di situ. Segera ia menghampiri dan dengan kasar didorongnya bahu pengemis tua itu sambil membentak.

“Hei! Enak saja kau duduk di sini, membikin kotor saja. Hayo pergi sebelum kulempar kau keluar!”

Pengemis yang didorong bahunya itu roboh terguling. Tapi ia tidak bangun bahkan kini meringkuk, bersungut-sungut bagaikan orang ngelindur, lalu menggunakan kedua lengan sebagai bantal dan sebentar saja terdengar suara dengkurnya yang keras.

Kelihatannya ia tidur nyenyak dan nikmat sekali. Tentu saja hal itu membikin para penonton tertawa geli. Tukang kebun itu berpaling dan baru sekarang ia melihat bahwa pengemis tua itu telah menjadi tontonan orang. Ia merasa gemas karena seakan-akan ia yang ditertawakan. Tapi ia tahan marahnya lalu bertanya kepada orang-orang itu.

“Sudah lamakah tikus tua ini tidur di sini?”

“Lama? Ah, semenjak tadi pagi!” jawab seorang yang sengaja melebih-lebihkan untuk menambah panas isi perut tukang kebun itu.

“Kurang ajar!” seru tukang kebun yang lalu menghampiri lagi tubuh kurus kering

yang rebah miring sambil mendengkur itu. Ia pegang lengan kurus itu dan menariknya keras. Maksudnya hendak menarik dan menyeret pengemis itu keluar dari situ.

Tapi siapa sangka. Tukang kebun yang bertubuh kuat itu merasa seakan-akan ia menarik cabang pohon yang besar sehingga sedikitpun ia tidak dapat menggerakkan tubuh pengemis itu yang masih saja mendengkur, sedikitpun tak merasa terganggu oleh tarikan tukang kebun itu. Kembali para penonton tertawa sambil mencela kelemahan tukang kebun itu.

“Tubuhnya saja besar, tapi tenaga tidak punya!” mencela seorang kurus. “Nafsu besar tenaga kurang!” menyindir seorang gemuk.

Bukan main mendongkol dan marahnya tukang kebun itu. Dengan kedua tangan ia pegang lengan kiri pengemis itu dan menarik sekuat tenaga. Tapi sia-sia saja, tubuh pengemis itu seakan-akan melengket pada lantai.

Tiba-tiba saja lengan pengemis yang dipegang dan ditarik-tarik oleh kedua tangan tukang kebun itu terlepas hingga si tukang kebun tak ampun lagi terjengkang ke belakang, dari besarnya tenaga tarikannya sendiri. Setelah terlepas, ia terguling-guling keluar dari emper.

Riuh rendah sorak para penonton yang menganggap tukang kebun itu lucu sekali. Sedangkan tukang kebun yang sial itu perlahan-lahan merangkak bangun dan meraba- raba belakang kepalanya yang benjol karena terbentur batu. Kedua matanya terbelalak heran karena ia sama sekali tidak mengerti mengapa lengan yang dipegang dan dibetotnya tadi tiba-tiba bisa menjadi begitu licin hingga terlepas. Suara tertawa dan ejekan akhirnya membuat ia sadar dan makin gemas. Tiba-tiba timbul dugaannya bahwa pengemis itu tentunya seorang yang mengerti ilmu siluman atau boleh jadi pengemis ini benar-benar siluman yang suka makan orang! Maka ia segera berkata kepada orang-orang yang berada di situ.

“Hayo, kawan-kawan. Siapa yang bisa seret pengemis ini keluar emper, akan kuberi uang lima chi!”

Orang-orang tertawa mendengar ini dan mengejek ketidak becusan tukang kebun itu. “Siapa yang sudi uangmu?”

“Kau juga tidak sanggup tarik dia, maka kau katakan demikian,“ si tukang kebun menyindir.

“Tidak sanggup? Tanpa kau beri uangpun aku akan dapat keluarkan dia, kau lihat saja.”

Orang yang berkata itu bertubuh tinggi besar dan tampaknya memang kuat sekali. Ia ulur tangan dan pegang lengan pengemis yang masih mendengkur keras itu, lalu dengan keras ia membetotnya. Tapi heran, sedikitpun tubuh pengemis itu tidak dapat tertarik. Dengan muka merah dan penasaran karena terdengar suara tukang kebun yang tertawa bergelak untuk membalas dendam dan menertawakannya, orang itu mencoba lagi dengan kedua tangan, tetapi tetap sia-sia.

Hal ini tentu saja mendatangkan keheranan besar di kalangan penonton. Dengan beramai-ramai mereka maju dan membantu menarik-narik tubuh pengemis itu, tapi belasan orang itu ternyata tak berdaya sama sekali, seakan-akan yang mereka tarik itu bukan tubuh seorang pengemis tua, tapi sebuah patung besi yang beratnya ribuan kati!

Pada saat itu, seorang pemuda tanggung berlari-lari dari dalam karena mendengar suara ribut-ribut di luar gedung itu. Ia adalah Lie Kiat, putera Lie-wangwe yang sulung.

Pemuda ini berwajah tampan dan mukanya putih seperti dibedak, bibirnya merah dan sepasang matanya bersinar cerdik. Melihat banyak orang menarik-narik seorang pengemis tua, ia bertanya dengan suara keras.

“He, kalian mengapa bikin ribut di sini? Dan gembel tua ini mengapa tidur dan bikin kotor emperku?”

Semua orang melihat Lie Kiat segera mundur dan memberi hormat, sambil mulut bergerak minta maaf.

Tukang kebun segera maju dan menceritakan duduk perkaranya, lalu menutup ceritanya dengan kata-kata, “Pengemis tua ini kurang ajar sekali, kongcu. Barangkali dia siluman jahat. Buktinya orang begini banyak tidak sanggup menarik bangun dia.” Setelah memandang pengemis tua itu sejenak, mata Lie Kiat bersinar dan otaknya yang cerdik segera mendapat akal. Ia berkata kepada orang banyak dengan mulut tersenyum sindir.

“Kalian besar juga besar kerbau. Masak untuk mengusir seorang gembel tua saja tidak becus? Lihat aku, tanpa menyentuh lengannya aku seorang diri sanggup mengusirnya dari sini!”

“Eh, kongcu, jangan main-main. Ia kuat sekali, mungkin dia siluman suka makan orang,” si tukang kebun mencegah takut.

“Tutup mulutmu, pengecut!” Lie Kiat lalu lari ke dalam.

Orang banyak merasa heran dan penonton bertambah banyak. Orang-orang yang tahu duduk peristiwanya ribut menceritakan kepada yang baru datang. Semua ingin sekali melihat bagaimana Lie Kiat akan mengusir pengemis bandel itu.

Tak lama kemudian tampak Lie Kiat mendatangi dari belakang. Di tangan kanannya terdapat sebuah ceret air besar dan dari mulut ceret itu tampak uap mengepul ke atas. Orang-orang yang dapat menduga isi ceret itu memuji kecerdasan pemuda tanggung ini karena isi ceret itu adalah air mendidih yang agaknya hendak digunakan oleh Lie Kiat untuk menyiram dan mengusir si pengemis tua.

Lie Kiat angkat tinggi ceretnya dan berkata kepada orang banyak. “Lihat, apakah dia akan tetap membandel terhadapku?”

Kemudian ia membentak kepada pengemis tua itu. “Eh, gembel tua. Hayo kau bangun dan menggelinding pergi. Kalau tidak, aku akan membuatmu menjadi kepiting rebus!”

Orang banyak tertawa mendengar kelakar ini, tapi si pengemis agaknya tidak mendengar dan tetap mendengkur.

Lie Kiat menjadi tidak sabar dan ia tuangkan air mendidih itu sedikit ke atas tubuh si pengemis. Tapi sebelum air menimpa tubuhnya, pengemis tua itu tiba-tiba seperti orang yang ngelindur dan berguling ke kiri hingga air itu tumpah di lantai, sedikitpun tidak mengenai tubuhnya.

Lie Kiat menjadi penasaran dan kini ia tuangkan lagi air mendidih keluar dari mulut ceret ke arah kepala pengemis. Tapi kembali pengemis tua itu menggelinding kesana kemari seperti orang ngelindur. Matanya tetap meram, mulutnya mengigau tak tentu maksudnya, tubuhnya bagai tak sengaja bergulingan, tapi dengan tepat sekali menghindari serangan air mendidih yang menyiramnya.

Pada saat itu dari dalam gedung keluar seorang anak laki-laki berlari-lari. Ketika dilihatnya Lie Kiat menyiram tubuh seorang pengemis tua dengan air panas sedangkan tubuh itu tampak bergulingan seperti orang kesakitan, anak tanggung itu berteriak keras. “Twako, jangan berlaku kejam!” dan anak itu segera mencoba untuk merampas ceret dari tangan Lie Kiat.

Ternyata anak itu adalah Lie Bun, putera kedua dari keluarga Lie. Berbeda dengan Lie Kiat yang tampan dan ganteng, Lie Bun berwajah buruk karena ketika kecil kulit mukanya dimakan penyakit cacar. Kulit mukanya menjadi hitam dan bopeng, tapi sepasang matanya bersinar lembut.

Ketika melihat adiknya datang menghalangi perbuatannya terhadap pengemis tua itu, Lie Kiat menjadi marah.

“Pergi kau, topeng setan!” bentaknya. Jika sedang bertengkar atau marah kepada adiknya, Lie Kiat selalu panggil adiknya dengan nama poyokan “topeng setan”.

Tapi Lie Bun tetap hendak merampas ceret itu sambil berkata tetap. “Kesinikan ceret itu, jangan kau ganggu orang tua tak berdaya.”

Lie Kiat tidak mau memberikan ceretnya hingga kedua kakak beradik itu berebut dan ceret berisi air panas itu ditarik sana sini. Ceret itu menjadi miring dan airnya tumpah keluar menyiram muka Lie Bun!

Tapi pada saat berbahaya itu, mendadak pengemis tua yang tadinya tidur mendengkur loncat dan menyambar tubuh Lie Bun hingga anak itu terhindar dari bahaya air mendidih yang akan merusak mukanya yang sudah rusak. Semua orang berseru kaget tapi merasa bersyukur ketika melihat bahwa Ji-kongcu telah selamat. Orang-orang biasa menyebut Lie Bun Ji-kongcu atau kongcu kedua.

Tapi pada saat itu dari dalam gedung terdengar salak anjing yang ramai karena tiga ekor anjing yang besar dan galak berlari keluar menyerbu. Lie Kiat telah berada di belakang ketiga anjing itu sambil menyuruh anjing-anjing itu menyerang si pengemis tua.

“Hayo, Belang! Gigit orang tua itu! Naga, Harimau, serbu pengemis itu!”

Ketiga anjing yang bernama Belang, Naga dan Harimau itu lari maju dan bingung melihat demikian banyak orang, karena mereka tidak mengerti harus menyerang siapa.

“Hush! Belang, Harimau, Naga... Pergi kau!” Lie Bun yang berada di situ menghadang dan dengan suara keras memerintah binatang-binatang itu kembali.

Ketiga anjing itu makin bingung karena menghadapi dua macam perintah dari dua tuan muda itu, maka mereka hanya berputar-putar di emper sambil menyalak-nyalak keras.

Lie Kiat menjadi marah dan mendorong adiknya hingga roboh. Kemudian ia memerintah lagi. “Hayo, serbu! Gigit pengemis ini!”

Tapi ketiga anjingnya masih saja bingung dan menyerang ke arah orang banyak hingga orang-orang menjadi panik dan lari berserabutan. Anjing-anjing itu makin liar melihat orang-orang berlari-lari ketakutan, maka mereka menjadi sangat galak. Tapi tiba-tiba saja pengemis tua itu loncat dengan tongkat di tangan kanan. Ia bergerak tiga kali dan tahu-tahu ketiga ekor anjing yang besar dan liar itu rebah tak berkutik lagi.

Keadaan yang tadinya ramai kini menjadi sunyi. Orang-orang berhenti berlari dan dengan tindakan kaki perlahan mereka kembali ke tempat itu dengan mata menatap bangkai-bangkai anjing yang menggeletak di situ.

Dari kepala anjing-anjing mengalir darah dan setelah orang-orang itu dekat dan memandang dengan penuh perhatian, mereka menjadi heran sekali. Ternyata di kepala ketiga ekor anjing itu, tepat di tengah-tengah jidat di antara kedua mata, terdapat luka bekas tusukan tongkat bambu pengemis itu.

Kini perhatian semua orang tertuju kepada pengemis yang aneh itu. Baru terbuka mata mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi, maka pandangan mereka terhadap pengemis tua itu berubah, kini penuh kagum dan takut.

Lie Kiat memang anak yang bengal dan tabah, juga ia sangat cerdik. Sayang sekali anak yang tampan ini terlalu dimanja hingga berwatak buruk, sombong dan suka mengganggu orang. Kini melihat ketiga anjingnya binasa, ia menangis keras lalu berlari-lari masuk sambil memaki-maki pengemis itu.

“Tolong ...... ada pengemis tua bunuh anjingku ...... tolong !” Demikian ia

berteriak-teriak sambil lari ke dalam. Tentu saja teriakannya ini mengejutkan orang- orang dalam gedung hingga semua pelayan keluar dan menunda pekerjaan mereka. Juga Lie-wangwe keluar dari kamarnya ketika mendengar ribut-ribut ini. Kemudian semua orang menuju keluar, didahului oleh Lie Kiat yang masih menangis.

Melihat bahwa kakaknya telah menimbulkan keributan, Lie Bun menjadi marah sekali. Ia memang tahu akan kejahatan dan kenakalan kakaknya itu dan sering kali semenjak kecilnya ia bertengkar dengan kakaknya. Tak terasa pula ia berpaling

kepada pengemis tua yang sedang memandang dengan senyum manis hingga tiba-tiba timbul hati iba dan kasih terhadap orang tua itu. Ia maju menghampiri dan memegang tangan kakek itu, lalu berkata perlahan.

“Jangan takut, kakek tua, biar aku yang membelamu!”

Orang-orang di situ menjadi heran melihat sikap Lie Bun dan makin besar keheranan mereka ketika tiba-tiba pengemis tua itu gunakan tangan untuk mengelus-elus kepala Lie Bun sambil menangis sesenggukkan. Juga Lie Bun berdongak memandang muka pengemis yang sedang menangis sedih itu. Tapi ia tidak mengerti mengapa mulut kakek itu tetap tersenyum, aneh betul. Belum pernah ia melihat orang menangis sambil tersenyum.

Sementara itu, Lie Kiat sudah tiba di situ. Sambil menuding ke arah pengemis itu, ia berkata kepada ayahnya yang menyusul di belakangnya. “Nah, ini dia pengemis gila itu ayah! Itu lihat di sana yang menggeletak itu adalah bangkai si Belang, Harimau dan Naga!” kemudian ia menangis lagi.

Lie Ti memandang ke arah bangkai ketiga anjing itu, kemudian ia menatap wajah pengemis itu dengan penuh perhatian. Kebetulan pengemis itu sedang memandangnya pula hingga pandang mata mereka bertemu. Lie Ti terkejut dan buru-buru tundukkan mukanya karena dari kedua mata pengemis itu seakan-akan menyambar keluar cahaya kilat yang memedaskan matanya. Ia heran melihat puteranya yang kedua masih

berdiri di dekat pengemis itu sambil memeganggi tangan kiri kakek itu. “Lie Bun, kau sedang apa disitu?” tegur ayah itu.

“Ayah, jangan menyalahkan kakek ini, ayah!” Lie Bun berkata dengan berani sambil memandang ke arah Lie Kiat dengan marah.

“Kenapa A Bun. Bukankah ia ganggu kakakmu dan membunuh mati ketiga anjing kita?” tanya Lie Ti pula.

“Semua salah kami, ayah. Salah twako dan aku sendiri. Twako dan aku bertengkar berebut ceret berisi air panas hingga ceret itu miring dan air panas yang keluar hampir saja menyiram mukaku. Baiknya ada kakek ini yang menolongku hingga mukaku

tidak sampai tersiram air mendidih. Lalu datang ketiga anjing itu hendak mengamuk, dan kakek tua ini hanya hendak menolong orang banyak dari amukan anjing-anjing itu.”

“Benarkah cerita adikmu?” tanya Lie-wangwe kepada Lie Kiat.

“Be ..... benar ayah.” Lie Kiat terpaksa mengangguk karena betapapun juga

adiknya telah membelanya juga. “Tapi, pengemis tua itu sejak tadi siang telah tidur di emper kita, ayah. Ia membikin kotor tempat ini dan tidak mau disuruh pergi. Semua orang membantu untuk menariknya keluar, tapi ia tetap berkeras tak mau pergi.

Karena itu aku ... aku ambil air ... dan ... dan ”

“Kau gunakan untuk apa air panas itu?” Tiba-tiba Lie Ti menegur putera sulungnya dengan suara keras.

Lie Kiat tak berani mengaku, dan tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak. “Sudahlah wan-gwe, anakmu mengambil air panas hanya untuk memberi minum

padaku. Urusan anak-anak tak perlu diperpanjang, wan-gwe. Aku tadi terlampau lelah

dan di luar sangat panas, maka aku pinjam empermu sebentar untuk beristirahat. Siapa nyana tukang kebunmu mengganggu tidurku dan memaksaku pergi. Baiknya

puteramu yang kedua ini cukup berbudi baik.” Kemudian pengemis itu tertawa bergelak-gelak kembali.

“Meneduh di tempat orang lain perlu permisi dulu, lopeh. Kalau aku tahu lopeh perlu mengaso, tentu saja aku akan persilahkan kau masuk saja ke dalam.”

“Ha ha ha! Kalau aku mengaso di emper mengapakah? Gedungmu begini besar, begini mewah, empermu saja begini besar. Kurasa terlampau besar kalau kau tempati sendiri. Apakah emper yang merupakan lebihan gedungmu yang tidak kau pakai ini terlalu berharga untuk digunakan sebagai tempat mengaso sebentar saja oleh orang serendah aku?”

Kedua mata Lie-wangwe memancarkan sinar marah.

“Lopeh, salahkah aku karena aku kaya? Salahkah aku kalau gedungku besar, emper rumahku lebar? Memang aku mengadakan larangan untuk orang mengganggu ketentraman rumahku atau membikin kotor gedungku. Kalau memang ada yang hendak berteduh, silahkan masuk saja, tentu akan kuterima dengan baik. Tapi janganlah gunakan paksaan untuk melanggar larangan yang telah diadakan.”

Kembali pengemis itu tertawa keras. “Kau bersemangat, wan-gwe. Pantas kedua puteramu juga berdarah panas! Tapi kau jujur. Hmm, jarang orang kaya seperti kau memiliki sifat baik ini!” Pengemis itu mengangguk-angguk.

“Lopeh, silahkan masuk dan duduk di dalam. Berilah kesempatan kepada kami untuk menyatakan terima kasih kami atas pertolonganmu kepada anak kami.”

Pengemis itu angkat kedua lengannya ke atas. “Sayang, ... sayang hari telah malam. Bukan waktunya bersenang-senang. Lain kali mungkin kau harus sediakan arak banyak sekali untukku, wan-gwe. Nah, selamat berpisah sampai berjumpa pula!”

Tanpa menanti jawaban, pengemis tua itu angkat kaki pergi dari situ sambil menyeret tongkatnya.

Lie Ti menegur puteranya yang sulung. “A Kiat, kau belum juga dapat mengubah adatmu yang kasar dan nakal. Jangan kau kira aku tak dapat tahu atau menduga apa yang telah terjadi. Anjing-anjing itu takkan dapat keluar kalau tidak ada yang melepaskannya. Jika kau tidak ubah kelakuanmu yang sembrono ini, lain kali kau bisa terbitkan bencana besar atas dirimu sendiri. Contohlah adikmu, dia lebih bijaksana.”

Mendapat teguran ini, diam-diam Lie Kiat merasa sakit hati dan gemas kepada Lie Bun. Memang telah berkali-kali ia ditegur ayahnya yang memuji-muji Lie Bun. Tapi ia tahu betapapun juga ayahnya lebih sayang padanya dari pada sayangnya pada Lie Bun, dan hal ini menghibur hatinya yang panas dan dendam.

Malam hari itu Lie Ti tengah bercakap-cakap dengan seorang guru silat yang sengaja didatangkan dari Lam-bu-koan untuk mengajar kedua puteranya. Guru silat itu baru saja datang dan disambut oleh Lie Ti dengan girang. Ia telah lama kenal dengan guru silat itu karena guru silat itu pernah menjadi pemimpin piauw-kiok atau perusahaan asuransi pengantar barang-barang dagangan (semacam ekspedisi) yang menjadi langganan ayahnya. Kini setelah menjadi tua, piauwsu itu yang bernama Kong Liak, mengundurkan diri dari pekerjaannya dan untuk melewati waktu senggang, ia menerima beberapa orang murid yang berani membayar mahal. Telah lama Lie Ti yang juga paham ilmu silat, berniat untuk menyuruh kedua puteranya belajar silat. Kemudian ia teringat akan Kong Liak yang segera diundangnya untuk mengajar Lie Kiat dan Lie Bun. Kong Liak menerima undangan ini dengan gembira karena ia tahu akan kebaikan Lie Ti. Maka sore hari itu ia tiba di gedung Lie-wangwe yang lalu menjamunya dengan hidangan lezat dan mereka mengobrol dengan gembira sekali. Ketika mereka berdua sedang makan minum dengan gembira, seorang pelayan datang menyerahkan sehelai surat kepada Lie Ti yang menyambutnya dengan heran.

“Dari siapakah surat ini?” tanyanya.

“Hamba tidak tahu, loya, karena tahu-tahu surat itu sudah terletak di depan pintu luar. Entah siapa yang menaruhnya di sana.”

Kemudian pelayan itu mengundurkan diri.

Dengan tenang Lie Ti buka lipatan surat dan membacanya.

Tiba-tiba wajahnya berubah dan keningnya berkerut. “Hm, apa artinya ini?” katanya perlahan hingga membuat Kong Liak memandangnya. Guru silat ini kenal kesopanan maka tadi ketika Lie-wangwe membaca surat, ia tidak mau melihatnya, hanya melanjutkan minum arak.

Kini mendengar kata-kata Lie Ti, mau tidak mau ia tertarik juga. Tapi ia hanya memandang, tidak berani bertanya.

“Kong-kauwsu, sungguh terjadi perkara yang aneh.”

“Apa maksudmu, Lie-wangwe?” tanya guru silat itu heran. “Ini bacalah sendiri!”

Kong Liak menerima surat itu dan membacanya. Surat itu ditulis dengan coretan yang bertenaga dan hanya merupakan pemberitahuan pendek saja. Sebagai seorang yang berpengalaman, Kong Liak berlaku hati-hati dan membaca isi surat itu untuk kedua kalinya. Surat itu berbunyi demikian,

Lie-wangwe.

Akan terjadi hal yang tak terduga malam ini. Kau dan guru silat she Kong jangan terlalu banyak minum arak. Bersiaplah.

Surat itu tidak ditandatangani hingga tidak diketahui siapa yang menulisnya.

“Bagaimana pendapatmu, Kong-kauwsu?” Lie Ti bertanya dengan hati tidak enak, walau sama sekali tidak merasa takut.

Untuk sesaat lamanya Kong Liak tidak dapat menjawab, hanya gosok-gosok keningnya. Kemudian ia berkata,

“Kalau melihat gaya isi surat ini, penulisnya tak bermaksud buruk. Bahkan surat ini dibuat untuk memberikan peringatan kepada kita. Tapi apakah yang dimaksud dengan kejadian tak terduga itu? Apakah malam ini kau telah berjanji hendak bertemu dengan seseorang?”

Lie Ti gelengkan kepala. Tiba-tiba Kong Liak bertanya dan memandang tuan rumah tajam.

“Apakah wan-gwe mempunyai musuh yang kiranya malam ini hendak datang membalas dendam?”

Murid Pengemis Sakti

LIE Ti terkejut. Ia mengingat-ingat, tapi lalu menjawab dengan suara pasti. “Selama hidup aku belum pernah menanam bibit permusuhan dengan siapa juga. Tapi hal itu bisa terjadi dalam dunia perdagangan hingga tidak mungkin ada yang menanam dendam dalam hati.”

“Adakah terjadi hal-hal yang ganjil akhir-akhir ini?” Kong Liak bertanya kembali.

Melihat perhatian besar yang dicurahkan oleh guru silat itu, hati Lie Ti merasa terhibur juga dan diam-diam ia merasa berterima kasih.

“Memang ada terjadi sesuatu, yakni kalau hal itu boleh dianggap peristiwa ganjil. Bahkan terjadinya baru saja sore tadi sebelum kau datang.”

Ia lalu menceritakan halnya pengemis tua yang membunuh mati tiga anjingnya. Kong Liak tertarik.

“Cerita wan-gwe kurang jelas, bisakah tukang kebun itu dipanggil untuk mengulangi cerita ini?”

Tukang kebun itu lalu dipanggil menghadap dan dengan jelas sekali ia tuturkan peristiwa yang baru terjadi tadi sore tadi. Setelah mendengar puas, Kong Liak lalu menyuruh tukang kebun itu pergi. Ia mengangguk-angguk dan berkata sungguh- sungguh.

“Kalau mendengar cerita tukang kebun tadi terang pengemis tua itu bukanlah orang sembarangan. Ia tentu seorang pengembara yang berkepandaian tinggi, kalau bukan seorang hiapkek budiman, tentu seorang penjahat yang menyamar.”

Kemudian Kong Liak kerutkan kening dan beberapa kali menghela napas. “Ah, kini setelah mendengar cerita ini, keadaan jadi makin ruwet bagiku. Terang bahwa pada saat ini di sekeliling kita terdapat dua pihak, yakni pihak yang bermaksud jahat dan pihak yang bermaksud baik. Dan di pihak manakah pengemis tua itu berdiri? Dia itu merupakan penulis surat peringatan ini ataukah sebaliknya dia yang akan menimbulkan hal yang tak terduga sebagaimana yang dimaksud dalam surat ini?” Kembali guru silat itu menarik napas dalam dan wajahnya menjadi muram. Nafsu minumnya lenyap.

Namun sebaliknya Lie-wangwe dapat menetapkan hati dan kegembiraannya kembali. Hatinya memang tabah sekali, maka ia angkat cawan araknya dan berkata. “Ah, Kong-kauwsu, tak perlu kita pusingkan kepala karena surat begini saja. Bagaimana kalau surat ini buatan seseorang yang hendak membuat lelucon? Hayo minumlah arakmu, dan jangan pikirkan hal yang gila ini.”

Tapi Kong Liak cukup banyak mengalami hal-hal yang aneh dan berbahaya hingga ia selalu waspada dan berhati-hati. Ia geleng kepala dan berkata.

“Lie-wangwe, kalau memang surat ini bohong, besok malam masih banyak waktu bagi kita untuk minum dan bergembira. Tapi malam ini kurasa lebih baik kita berhati- hati dan menjaga keamanan. Biarlah aku menjaga di atas genteng malam ini, untuk menjaga kalau-kalau benar datang seorang penjahat yang hendak mengganggu.”

“Tak usah repot-repot, Kong-kauwsu. Tak perlu kita menjaga di atas genteng. Aku sudah membuat tempat penjagaan yang nyaman dan enak. Kau ikut saja nanti.”

Kong Liak tidak mau mendesak lebih jauh, dan ia terpaksa mengawani hartawan itu makan minum sungguhpun ia batasi minum dan menjaga agar jangan sampai mabok.

Setelah kenyang dan hari telah mulai malam, Lie Ti ajak Kong Liak ke taman belakang. Kemudian dari situ mereka loncat naik ke atas genteng rumah belakang yang pendek.

Di dekat wuwungan yang menyambung dengan genteng rumah besar, Lie Ti buka sebuah pintu rahasia dan mereka masuk ke loteng tersembunyi yang tak tampak dari luar. Ketika mereka berjalan menuju ke atas melalui sebuah tangga, ternyata bahwa loteng itu menembus ke wuwungan yang paling atas, dan di bawah genteng di atas terdapat sebuah kamar kecil di mana telah tersedia dua buah pembaringan.

Dari tempat itu mereka dapat mengintai keadaan di atas genteng dengan jelas, karena di situ terdapat lobang-lobang yang tertutup kaca. Dengan sembunyi di situ, mereka dapat melihat orang-orang yang datang dari segala penjuru di atas gedung tanpa terlihat sedikitpun oleh lawan atau musuh. Dan pada genteng yang terdekat terdapat jendela yang dapat dibuka dari dalam hingga mudah bagi mereka untuk menyerbu keluar kalau perlu.

Kong Liak merasa kagum dan girang sekali melihat tempat persembunyian yang hebat dan dipasang dengan cerdik ini.

Dengan terus terang ia memuji kecerdikan hartawan itu.

“Aku bukan orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka bagiku lebih aman kalau mengintai dan menjaga dari sini,” katanya sambil tertawa.

Di tempat itu mereka dapat melanjutkan percakapan mereka dengan gembira sambil memandang ke arah mega-mega putih yang tersorot sinar bulan purnama. Dari jendela di atas itu mereka dapat memandang keadaan sekitar gedung hingga tak sukar bagi mereka untuk menjaga karena jika ada orang mendatangi gedung itu melalui jalan atas, pasti akan terlihat oleh mereka. Lie Ti sengaja membawa arak dan pipa tembakau, hingga mereka bisa mengobrol sambil minum arak dan isap tembakau. Hawa malam itu dingin, memang selalu pada musim panas hawa malam sangat dingin.

Pada waktu peronda kota membunyikan tanda waktu yang kesebelas dan waktu hampir tengah malam, Lie Ti mulai mengantuk dan beberapa kali menguap perlahan.

“Wan-gwe, kalau lelah tidurlah dulu, biarlah aku menjaga sendiri di sini!” kata Kong Liak.

Lie Ti mengangguk. “Baik, aku memang sudah mengantuk sekali. Tapi kalau ada apa- apa terjadi, jangan lupa bangunkan aku, Kong-kauwsu!”

“Baiklah, Lie-wangwe!”

Tapi belum juga Lie Ti jatuh pulas, tiba-tiba Kong Liak berbisik.

Lie-wangwe, bangun!” dan guru silat itu cepat-cepat padamkan api lilin yang menyala di kamar kecil itu.

Lie Ti yang belum tidur segera bangun dan langsung mengintai dari balik jendela.

Kong Liak mengintai dari sebelah kirinya. Mereka melihat tiga bayangan yang gesit sekali gerakannya berlompatan dari jurusan barat melalui genteng-genteng rumah dan menuju ke arah mereka.

“Ah, kepandaian ginkang mereka tinggi sekali, terutama orang yang lari di tengah!” Kong Liak berbisik perlahan. Ketika ketiga bayangan itu telah menginjak genteng gedung keluarga Lie, mereka berhenti. Kini kedua pengintai dapat melihat jelas karena bulan kebetulan tak terhalang mega.

Ternyata yang di kanan kiri adalah dua orang muda berusia paling banyak tiga puluh tahun sedangkan yang di tengah adalah seorang tosu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh gemuk pendek.

Melihat kakek gemuk pendek itu, Kong Liak mengeluh perlahan. “Celaka kalau tidak salah, yang datang itu adalah Kiu-thou-lomo!”

Mendengar julukan yang berarti Iblis tua kepala sembilan itu hampir saja Lie Ti berseru kaget. Tubuhnya menjadi gemetar dan ia merasa khawatir sekali.

“Kita harus keluar dan biarlah aku bertempur mati-matian!” hartawan itu berbisik. “Kau turunlah dan bawalah kedua puteraku menyingkir dari sini. Mungkin mereka berdua akan tertolong jiwanya.

Kong Liak mencegahnya. “Sabar, kau bukanlah tandingannya!” “Aku tahu ... ia ..... ia datang untuk binasakan aku sekeluarga tolonglah

singkirkan anak-anakku ” dan hartawan itu dengan nekad membuka jendela dan

loncat keluar dengan pedang di tangan.

“Kiu-thou-lomo! Kau orang tua ternyata masih hidup!” Lie Ti menegur dengan berani dan tabah.

Kakek pendek gemuk itu menatapnya dengan tajam, suaranya agak ragu-ragu ketika ia bertanya.

“Kau apakah kau Lie Ti?”

“Benar, aku adalah Lie Ti. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepadaku?”

“Ha ha ha! Bapaknya naga, anaknya harimau! Kau sungguh gagah, tak kalah dengan ayahmu! He, Lie Ti, di mana bapakmu, tua bangka itu? Suruh dia keluar menjumpaiku, jangan bersembunyi seperti perempuan!”

“Kiu-thou-lomo! Kau telah membuang waktu dengan sia-sia. Kau telah bersusah payah dengan percuma. Kedatanganmu terlambat. Ayah telah meninggal dunia enam tahun yang lalu. Kau kurang cepat!”

“Gila!” Kakek gemuk pendek itu tendangkan kakinya ke arah wuwugan genteng hingga tembokan itu hancur lebur dan berhamburan ke bawah mengeluarkan suara bagaikan air hujan jatuh di atas genteng. Kemudian ia berkata lagi kepada Lie Ti, suaranya jelas menyatakan kedongkolan hatinya.

“Tidak apa, biar dia sudah mampus tapi anaknya masih hidup. Dia sudah tidak sanggup membayar hutang. Biarlah anaknya yang bayar! Lie Ti, dengarlah! Aku sengaja datang untuk menagih hutang ayahmu kepada kakakku. Kini kau harus gantikan ayahmu dan membayar hutangnya kepadaku. Hayo majulah dan bersedia mati!”

“Aku seorang laki-laki sejati. Soal mati hidup adalah soal kecil tak berarti. Tapi kau harus berlaku sebagai seorang hohan sejati pula. Kau bunuhlah aku kalau kau sanggup, tapi jangan kau ganggu rumah tanggaku. Mereka tidak mengerti apa-apa. Kita bikin habis perhitungan di antara kita sendiri.”

Si iblis tua kepala sembilan berpikir sejenak lalu berkata dengan suara menyeramkan.

“Mana ada aturan begitu? Kalau aku hanya membunuh kau, tentu keluargamu dan anak-anakmu akan menaruh dendam kepadaku. Dan dibelakang hari mereka akan membikin susah saja. Membasmi pohon harus dengan akar-akarnya kata orang dulu. Aku juga takkan bekerja dengan kepalang tanggung. Kau dan anak-anakmu harus mati pada malam ini juga.”

“Sungguh manusia iblis tak kenal perikemanusiaan. Sesuka hatimulah. Biar nanti sukmaku yang akan membalasmu jika kau ganggu anak istriku!” Lie Ti lalu gerakkan pedangnya hendak menyerang. “Apakah kau akan maju bertiga?” serunya menyindir.

“Ha ha ha! Benar-benar aku harus kagumi keberanianmu. Dari gerakanmu aku tahu bahwa kau tidak pandai silat, tapi kau berani menghadapiku. Jangan penasaran, kedua orang muridku ini ku bawa hanya untuk menjadi saksi saja. Kita bertempur satu lawan satu. Hayo majulah Lie Ti, dan tunggulah arwah keluargamu di pintu neraka!”

“Kau iblis bermuka manusia!” Lie Ti berteriak marah dan loncat menusuk.

Sambil tertawa ha ha hi hi, kakek gemuk pendek itu berkelit dan sekali saut saja ia dapat merampas pedang Lie Ti dan sekali kakinya bergerak kedua kaki Lie-wangwe kena tersapu hingga hartawan itu roboh di atas genteng.

“Ha ha ha! Lie Ti, terimalah ajalmu!” Iblis tua itu menggunakan pedang yang dirampasnya menusuk ke arah tenggorokan Lie Ti yang telah memeramkan mata, terima binasa.

Ketika pedang itu telah menyambar dan hampir masuk menembus tenggorokan Lie Ti, tiba-tiba dari samping tampak berkelebat sebuah benda hitam yang menyambar pedang itu.

“Traaang!” dan pedang itu terpental lalu terlepas dari tangan kakek gemuk pendek itu.

“Hayaa...! Si iblis tua ini tidak tahunya hanya iblis kecil yang berlagak gagah di depan orang muda!” terdengar suara menyindir.

Kiu-thou-lomo terkejut sekali ketika pedang di tangannya tertangkis hingga tergetar dan terlepas dari pegangannya. Ia loncat mundur dan memandang kepada seorang pengemis tua yang telah berdiri di situ sambil memanggul tongkat bambu. Melihat pengemis itu ia menjadi kaget.

“Kang-lam Koay-hiap! Kenapa kau ikut mencampuri urusan orang lain?” tegurnya dengan tak senang.

“Kiu-thou-lomo! Kau sudah cukup tahu bahwa aku orang tua paling tidak suka melihat yang kuat menindas yang lemah. Mengapa kau hendak bunuh Lie-wangwe dan keluarganya?”

Sementara itu Lie Ti yang membuka kembali matanya, melihat dengan heran bahwa yang telah menolong jiwanya tadi tak lain adalah pengemis tua yang sore tadi membikin ribut di emper rumahnya. Jadi pengemis ini adalah Kang-lam Koay-hiap yang termasyhur namanya. Sungguh sedikitpun ia tak pernah menyangka.

Kiu-thou-lomo tersenyum mengejek mendengar pertanyaan pengemis itu. “Kau tahu artinya hutang jiwa bayar jiwa?” tanyanya.

Kang-lam Koay-hiap pukul-pukul kepala yang berambut pendek itu dengan tongkat bambunya. “Biarpun aku orang tua bodoh dan pikun, tapi rasanya aku tahu artinya hutang jiwa bayar jiwa. Dendam apakah yang kau pendam dalam hati terhadap Lie- wangwe?”

“Ayahnya pernah hutang jiwa dengan membunuh kakakku, dan kini aku datang menagih hutang. Tapi karena ayahnya telah mampus, maka dia sebagai anaknya harus membayar hutang itu!”

“Dan kau hendak membasmi semua keluarganya? Apakah ayahnya dulu juga membasmi semua keluarga kakakmu?

Ditanya demikian ini, Kiu-thou-lomo tak dapat menjawab. Tapi ia tak mau memperlihatkan kelemahannya, maka dengan berani ia menjawab.

“Harap kau orang tua jangan ikut campur urusan ini, karena apakah sangkut pautnya hal ini dengan kau?”

Tiba-tiba si pengemis tua itu melempar tongkatnya ke atas hingga tongkat itu meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya ke atas dan mengeluarkan suara bersuitan, kemudian ketika meluncur turun disambut dengan tangan kiri.

“Kiu-thou-lomo! Kau kira aku tidak tahu akan persoalan yang terjadi antara kakakmu dan Lie-enghiong? Hmmm, kalau aku tidak tahu tentu aku takkan berada di sini dan gunakan tongkatku mencampuri urusan ini. Tapi kebetulan sekali aku menjadi saksi dari kematian kakakmu di tangan Lie-enghiong! Itu adalah pertempuran yang adil.

Pertempuran satu lawan satu dan kakakmu memang kalah pandai juga kakakmu memang berada di pihak yang salah. Kakakmu merampok dan Lie- enghiong membela harta bendanya hingga terjadi pertempuran dan kakakmu binasa dalam perkelahian itu. Apakah hal itu harus dibuat dendam dan kini kau hendak musnahkan putera Lie-enghiong sekeluarga? Sungguh kau tak kenal apa namanya keadilan. Kalau Lie-enghiong masih hidup dan kau hendak membalas dendam dengan mengadu tenaga dengannya, itu masih boleh dilakukan. Tapi kalau kau sekarang hendak mengganggu anaknya yang tak tahu apa-apa, bahkan hendak membunuh cucu- cucunya, aaahhh, itu adalah kejahatan yang melewati takaran dan aku pengemis tua yang bodoh mana mau tinggal diam berpeluk tangan!”

“Bagus! Kalau begitu biarlah aku Kiu-thou-lomo mengadu jiwa denganmu pengemis bandel!” setelah memaki, si gemuk pendek itu segera mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!

“Memang! Kejahatanmu sudah cukup untuk mengantar kau ke neraka!” pengemis itu menyindir dan menangkis dengan tongkatnya.

Iblis tua itu memang lihai sekali. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga merupakan segulung sinar putih menyambar dan mengurung Kang-lam Koay-hiap, tapi si pengemis tua ini bukanlah orang sembarangan. Telah berpuluh tahun ia malang melintang di dunia kang-ouw dan jarang sekali ia mendapat tandingan.

Pada saat itu Kong Liak yang masih bersembunyi di bawah genteng sambil mengintai merasa girang sekali karena pihaknya mendapat bantuan Kang-lam Koay-hiap yang telah lama ia kenal namanya yang besar tapi baru kali ini melihat wajahnya. Ia beranikan diri dan keluar dari jendela itu lalu menarik lengan Lie Ti yang masih duduk di atas genteng. Keduanya lalu berdiri di tempat aman dan menonton pertandingan di antara dua jago tua yang luar biasa ilmu silatnya.

Iblis tua itu gerakkan pedangnya dan mainkan tipu-tipu terlihai dari Pat-kwa Kiam- hwat, sedangkan Kang-lam Koay-hiap gunakan tongkatnya sebagai pedang dan mainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hwat yang luar biasa lihainya karena gerakannya selalu mengandung dua sari dan dua tenaga. Tiap gerakan tongkatnya selalu merupakan tangkisan berbareng serangan. Tangkisannya mengandung tenaga dalam yang meminjam tenaga lawan dan dilanjutkan dengan serangan kuat ke arah lubang- lubang maut.

Sebentar saja kedua orang itu hanya merupakan dua gulung sinar yang saling gulung dan saling sambar. Tiba-tiba terdengar suara Kiu-thou-lomo berteriak.

“Siong Gak dan Siong Gi! Tidak lekas bantu, mau tunggu apa lagi?” Kedua muridnya mengerti maksud gurunya maka mereka lalu maju menyerang dan membantu gurunya. Kini si pengemis dikeroyok tiga, tapi ia hanya tertawa bergelak saja dan berkata.

“He, siluman kepala sembilan! Pantas kepalamu sembilan, tidak tahunya kau benar- benar curang. Terpaksa aku harus mengambil jiwamu karena kau hanya mengotori dunia belaka!” Sehabis berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap lalu berseru keras dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat.

Serangan ini luar biasa cepatnya hingga tahu-tahu iblis tua kepala sembilan menjerit ngeri dan lambungnya kena dihajar hebat oleh tongkat lawannya. Ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan pukulan itu, tapi ia tidak kuat. Ujung tongkat itu hancur ketika membentur lambungnya yang telah terisi penuh oleh hawa yang ia kumpulkan untuk menolak pukulan, tapi ia mendapat luka dalam yang hebat dan setelah menjerit sekali lagi ia roboh dan mati di saat itu juga.

“He, kalian dua orang muda, hentikan seranganmu dan jangan mencari mati dengan sia-sia!” Kang-lam Koay-hiap menegur dengan suara keren. Kedua murid iblis tua itu, Siong Gak dan Siong Gi, menjadi keder dan terpaksa hentikan serangan mereka.

“Sekarang bawalah jenazah suhumu dan kuburlah dengan baik sebagaimana mestinya. Jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh dan jangan kalian tiru kelakuan suhumu yang tak benar ini. Nah, pergilah!”

Kedua murid ini dengan bercucuran airmata lalu mengangkat mayat suhunya dan pergi dari situ cepat.

Lie Ti segera memburu maju dan jatuhkan diri berlutut di depan Kang-lam Koay- hiap.

“Sungguh saya berhutang budi besar sekali kepada locianpwe! Kau telah tolong jiwaku, itu masih tak berarti banyak. Tapi kau telah menolong jiwa anak-anakku, keluargaku, ah locianpwe. Tak tahu saya harus bagaimana menyatakan terima

kasih saya .... dan tadi .... tadi sore kami telah menghinamu ampun. Locianpwe, ampunkan kami yang bermata buta ” karena terharu dan berterima kasih sekali,

Lie Ti menangis tersedu-sedu sambil peluk kedua kaki pengemis itu.

Kang-lam Koay-hiap angkat bangun hartawan yang berlutut sambil menangis itu, dan berkata perlahan.

“Kalau tidak ada putera bungsumu, siapa sudi mencampuri urusan ini?” Kemudian pengemis tua itu menghela napas dan menambahkan.

“Mari kita turun, tak baik bercakap-cakap di atas genteng!”

Maka turunlah mereka. Di dalam gedung ternyata semua orang sudah bangun dan berada dalam keadaan ketakutan. Mereka tahu bahwa di atas genteng sedang terjadi pertempuran dan menyangka bahwa yang datang mengganggu tentu serombongan perampok.

Kini melihat bahwa Lie Ti dan Kong Liak tak kurang suatu apa, mereka merasa

girang dan lega. Tapi alangkah heran mereka ketika melihat pengemis yang sore tadi membikin heboh di luar gedung kini turut masuk bersama majikan mereka.

Lie Ti segera menceritakan kepada isterinya tentang kedatangan musuh ayahnya yang hendak menuntut balas dan tentang pertolongan yang diberikan untuk menolong mereka sekeluarga oleh pengemis ajaib itu.

Mendengar itu, nyonya Lie tak ragu-ragu lagi segera berlutut di depan Kang-lam Koay-hiap menghaturkan terima kasih. Juga kedua putera Lie yang berada di situ disuruh menghaturkan terima kasih.

Lie Kiat lakukan hal itu dengan ragu-ragu dan keningnya dikerutkan. Ia merasa sangat rendah harus berlutut kepada seorang gembel kotor yang sore tadi membikin ia malu dan dimarahi ayahnya. Namun karena takut kepada ayahnya ia berlutut juga, namun kedua matanya memandang kepada pengemis itu dengan marah.

Kang-lam Koay-hiap tahu akan hal ini dan ia menghela napas. Tapi rasa tidak senangnya lenyap se gera ketika Lie Bun berlutut pula lalu berdiri dan memeluk dia dengan senangnya.

“Aku sudah duga, kakek tua! Kau tentu gagah perkasa!”

Kang-lam Koay-hiap peluk Lie Bun dengan mesra dan wajahnya berseri-seri.

“Lie-wangwe, puteramu yang ini pantas sekali menjadi cucu Lie-enghiong, ayahmu yang gagah perwira! Sayang ia tidak belajar silat.”

“Ayahku almarhum biarpun ia sendiri pandai ilmu silat, tapi ia selalu melarangku belajar silat hingga aku menjadi seorang yang tidak becus apa-apa, biarpun di luar tahunya aku sudah belajar sedikit ilmu silat. Aku tahu maksud ayahku, yang selalu menyatakan bahwa ahli silat hanya memancing permusuhan belaka. Tapi sekarang buktinya, aku yang tidak pandai silat, masih saja didatangi orang jahat. Coba kalau tidak tidak ada locianpwe, entah bagaimana nasibku sekeluarga. Kalau saja ilmu silatku setinggi ayah dulu, tidak nanti orang jahat dengan mudah dapat mengganggu!” Hartawan she Lie menghela napas menyatakan penyesalannya. Lalu sambungnya.

“Karena itulah maka timbul niatku untuk menyuruh kedua puteraku belajar silat dan aku mendatangkan Kong-kauwsu ini. Dan mulai besok kedua puteraku ini harus belajar silat dengan rajin.”

“Itu bagus!” Pengemis itu mengangguk-angguk. “Mereka bertulang baik dan berbakat untuk menjadi ahli-ahli silat tinggi.”

Tiba-tiba Lie Bun majukan diri berlutut di depan pengemis itu. “Aku ingin belajar silat padamu saja, kakek tua!”

Kejadian yang tak tersangka-sangka ini membuat semua orang tertegun. Lie Ti segera memberi tanda kepada Lie Kiat untuk meniru perbuatan adiknya, tapi Lie Kiat menyebirkan bibirnya dan mendekati Kong Liak lalu berkata.

“Aku ingin berguru pada Kong pek-pek saja.”

Kang-lam Koay-hiap angkat mukanya dan tertawa bergelak-gelak. Ia memandang Lie Bun yang berlutut dan mengusap-usap rambut kepalanya. “Anak baik anak baik

...” Lalu ia lanjutkan kata-katanya kepada Lie-wangwe.

“Lie-wangwe, sebelum aku sampaikan permintaanku padamu, puteramu sudah mendahuluiku. Sebenarnya aku hendak mengajukan sebuah permintaan yakni aku minta puteramu Lie Bun ini menjadi muridku. Aku hendak ajak dia pergi merantau sambil mendidik dia menjadi orang pandai.”

“Locianpwe telah menolong jiwa kami sekeluarga, maka sudah tentu permintaan ini kami terima dengan senang hati, cuma saja, mengapa locianpwe hendak membawa pergi Lie Bun? Tidakkah lebih baik kau tinggal saja di rumah kami dan menghajar anak-anakku di sini? Kau takkan bersusah payah lagi merantau, tak tentu tempat tinggal, disini akan kami sediakan segala keperluan locianpwe.”

Kang-lam Koay-hiap tertawa. “Maksudmu memang baik, wan-gwe. Tapi pendapatmu keliru. Memang, merantau dan miskin di luar tak tentu makan dan tak tentu tidur, mengandalkan belas kasihan orang untuk makan, mengandalkan emper rumah orang untuk tidur, adalah hidup yang tidak enak. Jauh lebih senang tinggal di rumah gedung yang indah dan mewah ini, tiap hari duduk makan minum menikmati bunga-bunga dalam taman. Akan tetapi, apa yang tidak enak bagi jasmani, selalu mendatangkan keuntungan bagi rohani. Dengan mengurungnya dalam gedung indah, dan tidak mengenal artinya susah dan menderita, orang takkan mengenal sarinya hidup, takkan mengenal kewajiban hidup, takkan tergerak hatinya mengenal kesengsaraan sesama manusia, dan tak mungkin orang itu menjadi seorang pendekar budiman dan gagah. Biarlah Lie Bun ikut aku, aku hendak mengajarnya menjadi seorang manusia sejati, hendak menggemblengnya lahir bathin.”

Lie-wangwe tak berani membantah, karena dalam lubuk hatinya ia mengakui kebenaran segala ucapan pengemis aneh itu. “Tapi aku tidak akan memaksa, terserah yang hendak menjalani.” Kang-lam Koay- hiap berkata lagi, lalu berpaling kepada Lie Bun yang masih duduk mendengarkan dengan penuh perhatian. “Lie Bun bagaimanakah? Sanggupkah kau pergi merantau dengan aku, hidup sengsara, kurang makan dan pakaian, tidur di mana saja?”

Wajah Lie Bun berseri. “Bebas lepas bagai burung di udara?”

Pengemis itu memandangnya heran lalu tersenyum senang, tapi ia masih hendak mencoba berkata.

“Dan kau tidak akan tinggal di rumah gedung lagi, jauh dari ayah ibu, jauh makan enak, jauh pakaian tebal dan indah. Beranikah kau?”

Tiba-tiba wajah berseri itu berubah muram dan perlahan-lahan air matanya menitik turun. Lie Bun menengok dan memandang ayah ibunya yang duduk di situ. Melihat ibunya mulai menangis, Lie Bun bangun dan lari menubruk.

“Ibu ... anak akan kembali kelak ...” Dan ibunya memeluknya dengan terharu.

“Kalau kau tidak tega tinggalkan ayah ibumu, aku takkan memaksamu ikut, A Bun!” kata Kang-lam Koay-hiap.

Lie Bun mendengar kata-kata ini lalu melepaskan pelukan ibunya, gunakan kedua tangan menghapus airmata, lalu berlari dan berlutut kehadapan pengemis tua itu sambil tertawa. Ia lalu berkata dengan suara tetap.

“Aku ikut, suhu! Kemana saja dan bilamana!”

Kang-lam Koay-hiap menjawab. “Kalau begitu, sekarang juga kita pergi!” “Baik, suhu!”

Semua orang terkejut mendengar ini, terutama ayah ibu Lie Bun.

“Locianpwe, apakah tidak bisa berangkat besok hari saja? Sekarang sudah jam malam dan hawa di luar sangat dingin,” kata Lie Ti.

Kang-lam Koay-hiap tidak menjawab, hanya bertanya kepada muridnya. “Beranikah kau berangkat sekarang juga muridku?”

Siapa Kang-lam Koay-Hiap?

“MENGAPA tidak berani, suhu?” jawab Lie Bun gagah hingga gurunya tertawa senang.

“A Bun, anakku! Kau belum berkemas. Barang-barang yang harus kau bawa sebagai bekal belum disediakan,” kata ibunya. “Tidak usah, Lie-hujin. Tak perlu membawa apa-apa. Kami akan berangkat begini saja,” kata Kang-lam Koay-hiap.

“Begitu saja? Apakah anakku tidak membawa pakaian, tidak membawa selimut, tidak membawa uang?” nyonya itu bertanya heran dan khawatir.

Pengemis itu menggeleng kepala perlahan dan pasti. “Hayo! Muridku kita berangkat.”

Lie Bun lalu bangun dan lari ke ibunya. Ia peluk kaki ibunya dan berkata. “Selamat tinggal, ibu. Anak pasti akan kembali dengan selamat.” Lalu ia berlutut di depan ayahnya dan berkata singkat. “Ayah, selamat tinggal.” Lalu ia menghampiri pengemis tua itu.

“Marilah suhu. Teecu sudah siap!” katanya dengan suara tetap.

Diam-diam Kang-lam Koay-hiap kagum dan bangga akan ketetapan hati muridnya. Iapun lalu lambaikan tangan kepada Lie-wangwe dan berkata.

“Sampai jumpa pula!”

Setelah berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap pegang lengan Lie Bun dan sekali bergerak saja tubuhnya melesat ke atas genteng dan sekejap kemudian murid dan guru itu sudah lenyap tak tampak bayangannya.

Pada saat itu barulah nyonya Lie menangis tersedu-sedu dan menaggil-manggil nama Lie Bun. Suaminya menghibur dan berkata dengan halus.

“Sudahlah, Lie Bun bukan pergi untuk selamanya. Ia pergi untuk mengejar ilmu. Kelak ia pasti kembali sebagai orang pandai.”

“Tapi tapi ia pergi begitu saja! Tanpa bekal secarik pakaian atau sepotong

perakpun. Ia akan hidup terlantar dan terlunta ”

Lie Kiat mendekati ibunya. “Sudahlah jangan menangis, ibu. Bukankah aku masih ada di sini? Si topeng setan tentu kelak akan kembali pula.”

“Jangan sebut dia topeng setan, kau setan bengal!” Lie Ti membentak dan Lie Kiat meleletkan lidahnya dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya.

Sampai berbulan-bulan nyonya Lie masih merasa sedih dan tiap kali teringat akan putera bungsunya, air mata mengalir di sepanjang pipinya. Kepada Lie Kiat ia cinta dan sayang karena putera sulungnya itu cakap dan ganteng. Tapi sayangnya kepada Lie Bun tercampur rasa iba karena puteranya ini telah menderita sakit dan mendapat cacat pada mukanya. Maka, tiap kali teringat hatinya menjadi terharu sekali.

**** Marilah kita ikuti perjalanan Kang-lam Koay-hiap dengan muridnya yang baru berusia sebelas tahun itu. Ketika meninggalkan gedung keluarga Lie, Kang-lam Koay- hiap gunakan ilmunya loncat ke atas genteng dan berlari-lari dengan cepat sekali hingga muridnya hanya merasa tubuhnya seakan-akan dibawa terbang oleh seekor burung besar.

Lie Bun merasa takut dan cemas, tapi kekerasan hatinya membuat ia tutup mulut dan meramkan mata.

Setelah keluar dari kota, Kang-lam Koay-hiap loncat turun dari atas genteng dan suruh muridnya berjalan di sampingnya. Malam telah hampir berganti pagi dan hawa luar biasa dinginnya, tapi anak kecil yang berhati besar itu terus saja jalan tanpa banyak rewel sambil bersedakap menahan dingin.

Jangankan bagi seorang anak kecil seperti Lie Bun yang biasanya pada waktu demikian masih enak-enak meringkuk dan mendengkur di dalam kamarnya yang hangat di atas kasur yang empuk, sedangkan bagi orang buta yang sudah biasa pada hawa dinginpun pada saat itu tentu takkan kuat menahan dingin yang menyusup tulang itu. Kang-lam Koay-hiap mengerti akan hal ini, tapi ia pura-pura tidak tahu, hanya berjalan lambat-lambat sambil tunduk. Padahal diam-diam ia memperhatikan muridnya.

Beberapa lama kemudian mulailah terdengar gigi Lie Bun mengeluarkan bunyi berketrukan karena menggigil hingga giginya yang bawah beradu dengan gigi atas dan kedua kakinya terhuyung-huyung hingga jalannya sempoyongan tak tentu. Masih saja anak itu tak mau membuka mulut dan gurunya juga masih diam saja pura-pura tidak tahu. Akhirnya Lie Bun roboh di atas tanah yang basah dan pingsan.

“Anak baik, ujian pertama lulus dengan baik!” kata guru yang aneh itu sambil berjongkok. Tapi muridnya tak mendengar pujiannya, Kang-lam Koay-hiap keluarkan sebotol arak yang entah ia dapat dari mana, lalu menuangkan sedikit arak ke dalam mulut Lie Bun. Kemudian ia gunakan jari tangannya menotok jalan darah pada leher dan di kedua iga kanan kiri Lie Bun lalu memencet-mencet kedua pundaknya.

Perlahan-lahan Lie Bun buka matanya, tapi sedikitpun tak terdengar keluhan dari bibirnya yang membiru. Bahkan anak itu melihat gurunya sambil tersenyum karena kini ia tak merasa dingin lagi. Tubuhnya terasa hangat dan seakan-akan ada sesuatu yang panas dan enak menjalar di seluruh tubuhnya.

“Bagaimana, muridku? Hilang dinginnya, bukan?”

Lie Bun hendak menjawab tapi kaget ketika mulutnya tak dapat digerakkan. Ia hendak angkat tangannya, tapi juga tangannya kaku. Biarpun begitu, anak yang keras hati itu sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut. Ia hanya memandang kepada gurunya dengan mata mengandung pertanyaan.

“Jangan kaget, Lie Bun. Aku sengaja menotok jalan darahmu bagian tay-twi-hiat agar perasaanmu berhenti hingga tak terasa dingin di tubuhmu. Tapi jalan darahmu kubikin cepat agar tubuhmu panas dan kesehatanmu tidak terganggu.” Lie Bun memandang wajah suhunya dengan berterima kasih. Beberapa lama kemudian, Kang-lam Koay-hiap menotok pula muridnya hingga tubuhnya dapat bergerak lagi seperti biasa. Tapi berangsur-angsur rasa dingin datang menyerang.

“Muridku, hayo kau lawan rasa dingin itu. Mari kita balap lari!” Dan guru itu lari perlahan ke depan. Lie Bun kertak gigi untuk melawan rasa kantuk dan lelah, lalu ia lari mengejar.

“Jangan cepat-cepat, biasa saja!” gurunya mencegah ketika ia percepat larinya.

Demikianlah, mereka berdua, anak kecil dan pengemis itu berlari-lari menempuh hawa dingin dan kabut tebal. Perlahan-lahan jalan darah di dalam tubuh Lie Bun yang mengalir cepat mendatangkan rasa panas yang mengusir hawa dingin. Anak itu merasa tubuhnya hangat maka timbullah kegembiraannya dan lenyaplah rasa mengantuk dan lelah.

Siapakah sebetulnya Kang-lam Koay-hiap, pengemis tua yang aneh dan sangat lihai itu? Untuk mengenal dia, baiklah kita meninjau kembali secara singkat riwayat pendekar aneh dari Kang-lam itu.

Beberapa puluh tahun yang lalu, ketika pada suatu hari Gwat Leng Hosiang keluar dari kelentengnya di puncak bukit Hwan-tien-san untuk turun gunung, sebagaimana yang dilakukannya beberapa tahun sekali. Ia sampai di kota Lok-yang untuk mengunjungi seorang kenalannya yang tinggal di kota itu.

Kenalannya itu mengajaknya ke rumah makan di mana ia memesan masakan tanpa barang bernyawa dan dengan gembira mereka makan minum. Kenalannya itu mengajukan permohonan supaya Gwat Leng Hosiang suka menerima puteranya menjadi murid karena ia tahu bahwa Gwat Leng Hosiang adalah seorang ahli silat pendiri Hwan-tien-pai dan selamanya belum pernah mempunyai seorangpun murid.

Tapi Gwat Leng Hosiang dengan halus menolak dan menyatakan bahwa ia tidak niat menerima murid. Ketika kenalannya itu sedang mendesak dan membujuk-bujuk, tiba- tiba di luar terdengar ribut-ribut dan suara anak menangis. Gwat Leng Hosiang paling tidak kuat mendengar anak menangis, maka bersama kenalannya ia keluar melihat.

Ternyata di luar terdapat seorang pengemis muda yang berusia kira-kira lima belas tahun dan sedang dipukuli oleh seorang anak berusia paling banyak dua belas tahun. Anak yang memukuli pengemis itu bertubuh tegap dan nampaknya kuat. Juga dari gerakan kaki tangannya nyata bahwa ia pernah belajar silat.

Pengemis itu berusaha menangkis. Tapi ia kalah kuat dan kalah gesit, maka tubuhnya berkali-kali menerima pukulan-pukulan hingga akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis. Penonton bersorak-sorak dan memuji-muji pemuda yang memukuli pengemis itu.

Gwat Leng Hosiang segera menghampiri. Kenalannya berkata dengan tersenyum. “Lihat losuhu, anak itulah puteraku. Ia berbakat bukan?” “Ya, berbakat untuk menjadi tukang pukul!” kata pendeta itu yang lalu mendekati tempat perkelahian. Kenalannya segera bentak puteranya supaya berhenti memukul. Pengemis itu jatuh terduduk sambil menyusuti darah yang keluar dari hidungnya dan ia masih terisak-isak. Matanya memandang liar ke kanan kiri.

“Apakah yang telah terjadi? Mengapa pengemis itu dipukuli?” Gwat Leng Hosiang bertanya halus. Seorang penonton bercerita.

“Ia mencuri ayam dan ketahuan oleh Ma-kongcu, lalu dipukul. Ia mencoba melawan tapi mana ia bisa menang. Memang sudah sepantasnya ia dihajar. Ma-kongcu lihai betul!”

Gwat Leng Hosiang menghampiri pengemis itu dan bertanya dengan suara lembut. “Eh, anak muda, benarkah kau mencuri ayam?”

Mendengar pertanyaan dengan suara lembut itu, pengemis tadi memandang dengan heran. Selama hidupnya, selalu kata-kata kasar dan keras saja yang dilontarkan kemukanya dan baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya kepadanya dengan suara halus.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar