Pendekar Wanita Baju Putih Jilid 2

Jilid 2

Kata-kata ini sungguh-sungguh merupakan kejumawaan yang jarang bandingannya, hingga membuat seorang jago tua yang duduk di kalangan locian-pwee menjadi tak senang juga. Ia ini adalah seorang cabang atas dari cabang Kwie-san seorang pertapa yang bernama Hoan Tin-cu dan yang terkenal karena ilmu pedangnya Kwie san kiamhoat. Suaranya terdengar kecil tinggi dan nyaring ketika ia berkata:

“Bagus, biar aku menjadi saksi. Kalau Souw sicu dapat penuhi janjinya tadi, aku kagum sekali. Tapi kalau tidak, dia harus main-main dengan aku barang sepuluh jurus!”

Lain-lain locianpowe terkejut mendengar ini. Mereka sudah kenal akan tabiat pertapa ini yang terkenal jujur dan terus terang, tapi tak suka mengalah dalam hal adu pedang!

Tapi Souw Thian In berlaku tenang saja, sambil menjura ia menjawab, “Terima kasih banyak, Totiang. Mudah-mudahan saja saya akan dapat penuhi janji dan tak usah rasakan kerasnya tanganmu!”

Kemudian dengan tenang, ia menghadapi keempat lawannya dan bertanya: “Tidak lekas turun tangan, kalian tunggu apa lagi?”

Keempat orang yang sudah merah itu makin mendongkol dan dengan berbareng mereka maju menerjang. Senjata-senjata mereka berkelebat ke arah tubuh Souw Thian In bagaikan air hujan, terutama golok dan sepasang siangkiam dari dua pemud aterakhir bergerak sangat cepat dan lihai. Para tamu terkejut, termasuk juga para locianpwe yang maklum betapa berbahayanya dikeroyok empat orang pemuda yang bersenjata tajam dan yang tidak lemah pula kepandaiannya itu. Hanya Kam Ciu yang masih tersenyum dan melihat pertempuran itu dengan mata bersinar hingga membuat seraong pemuda yang gagah dan duduk di sampingnya menjadi gemas berbareng geli karena ia maklum bahwa pemuda berpakaian anak sekolah itu masih tersenyum-senyum lantaran tidak mengerti dan tidak tahu betapa berbahaya dan terancam keadaan Souw Thian In yang dikeroyok itu.

Tapi tiba-tiba ia mendengar seruan heran dan kagum. Ia cepat memandang lagi ke arah panggung dan heran! Thian In tak tampak pula berada di atas panggung y ang tampak hanya keempat orang itu yang masih saja putar-putar senjata dan tusuk sana-sini. Di antara bayangan tubuh dan senjata mereka, tampaklah bayangan biru berkelebat demikian cepat gerakannya hingga tampa yang di atas panggung bukanlah empat orang pemuda gagah mengeroyok seorang tapi bagaikan empat orang kanak-kanan bermain-main dan mengejar-ngejar seekor kupu-kupu biru yang gesit dan liar!

Kalau penonton merasa kagum dan heran melihat pertunjukan ilmu ringankan tubuh yang begitu mahirnya, adalah keempat orang pemuda itu merasa terkejut dan bingung sekali. Kadang-kadang mereka melihat lawan mereka berdiri sambil tersenyum, tapi pada saat mereka menubruk maju sambil melakukan serangan, tahu-tahu pemuda baju biru itu telah lenyap dari pandangan mata dan entah dengan cara bagaimana telah berada di belakang mereka pula! Demikianlah Souw Thian In permainkan keempat lawannya hingga mereka menjadi pusing dan pandangan mata mereka berkunang-kunang. Hal ini mengakibatkan kendornya permainan silat mereka dan kesempatan baik itu digunakan oleh Thian In untuk maju mendesak. Ia hanya kirim serangan-serangan dengan kedua kakinya yang menentang ke sana kemari, tapi serangan ini cukup hebat. Keempat lawannya merasa angin keras terbawa tendangan itu hingga mereka kaget sekali, tapi ternyata bahwa serangan tendangan itu hanya gertakan belaka. Ketika empat orang itu berkelit, maka Thian In bergerak maju cepat dengan kerjakan mauwpit di tangan kanannya yang sudah dicelupkan dalam tinta bak. Tiap kali ia gerakkan mauwpitnya, tentu mauwpit itu dengan cepat mencolek baju lawan di bagian dada hingga dalam beberapa kali serang saja dada keempat orang itu semua telah terdapat tanda-tanda hitam!

Souw Thiak In percepat gerakannya dan ia menyerang lagi beberapa kali. Kemudian ia loncat mundur sambil berseru:

“Saudara-saudara tahan!!”

Keempat lawannya yang telah mandi keringat dan kini berdiri dengan terengah-engah segera tunda senjata mereka, si gemuk yang paling payah masih mencoba menggertak:

“Kau mengaku kalah?”

Tapi gertakannya ini disambut suara tertawa riuh rendah dari penonton. Se gemuk heran dan memandang kepada seorang kawannya. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di dada kawannya yang berbaju putih itu terdapat tulisan hitam yakni sebuah huruf “Barat.” Demikianpun di dada kedua pemuda yang bersenjata golok dan siangkiam tertulis huruf “Selatan” dan “Utara”. Maka menggigillah tubuh si gemuk dan ia hanya dapat terbelalak memandang ketiga kawannya yang kesemuanya saling pandang dengan wajah pucat.

Pemuda yang bersenjata golok segera lempar goloknya dan dengan menangkapkan tangan di dada ia memberi hormat:

“Souw enghiong, sekarang ternyata oleh kami bahwa sikapmu yang memandang rendah tadi memang beralasan. Kami berempat masih jauh dan rendah sekali kepandaian kami dan tidak pantas dibandingkan dengan kepandaian Ong siocia atau dengan kepandaianmu. Kami mengaku kalah dan terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepada kami juga ketiga kawannya memberi hormat dengan muka panas merah.

Souw Thian In balas hormat mereka dengan berkata merendah:

Cuwi harap maafkan banyak-banyak atas sikapku yang boleh jadi kalian anggap sombong tadi. Sebenarnya masih lebih baik terjatuh dalam tanganku dari pada di tangan Ong siocia, bukan?” Keempat orang itu setelah saling pandang lalu mengerti akan maksud Thian In. Memang, kalau sampai kalah da lam tangan Ong siocia, karena betapapun juga mereka adalah laki-laki. Kalah dalam tangan seorang pemuda segagah Thian In bukanlah hal yang sangat memalukan. Maka mereka lalu menjura kembali dan rasa dendam dalam hati mereka lenyap. Langsung mereka minta diri dari tuan rumah yang segera menahan mereka dan memohon agar mereka suka duduk kembali. Terpaksa keempat pemuda itu lalu duduk kembali karena sebenarnya merekapun ingin sekali menonton pertandingan antara Thian In dan Giok Cu.

Ong Kang Ek melihat kehebatan ilmu silat Thian In, merasa girang dan kagum karena ia telah merasa suka sekali kepada pemuda itu. Juga Giok Cu merasa tertarik oleh pemuda yang tampan dan gagah itu. Ong Kang Ek lalu naik ke panggung dan sambil tertawa berkata kepada Thian In:

“Souw sicu sungguh gagah perkasa. Bolehkah aku tahu nama gurumu yang mulia?” “Siauwtit mempelajari sedikit ilmu dari Gak Bong Tosu.”

Ong Kang Ek mengangguk-anggukkan kepala karena telah mendengar akan nama pendeta yang berilmu tinggi itu. Makin tertarik hatinya terhadap pemuda itu.

Pada saat itu Ong Kang Ek dan Thian In mendengar angin loncatan orang dan ketika mereka cepat memandang, ternyata di atas panggung telah berdiri Hoan Tia-cu, tokoh dari Kwie-san. Orang tua ini bertubuh tinggi kurus dengan wajahpucat dan kelihatan lemah. Tapi biarpun ia telah berusia sedikitnya enam puluh tahun rambutnya masih hitam dan mukanya licin dan tak terhias kumis maupun jenggot. Tubuhnya yang agak lurus dan sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat tinggi.

Melihat pemuda baju biru itu berpaling dan memandangnya. Hoan Tin Cu tertawa dan berkata dengan suara memuji: “Souw sicu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali dan insaf bahwa kami golongan tua sungguh tertinggal jauh olehpara muda. Tapi setelah mendengar bahwa kau adalah murid dari Gak Bong tosu, keherananku berkurang banyak. Sudah lama aku mendengar akan ilmu silat Gak Bong Tosu yang terkenal sebagai ilmu silat kelas satu masa kini. Biarlah aku melupakan usiaku yang tua dan tubuhku yang lemah dan minta Souw sicu suka bermurah hati memberi sedikit petunjuk. Ingin sekali aku menjajal Kwie san kiamhwat pada seorang murid dari Gak Bong Tosu yang lihai!”

Mendengar disebutnya Kwie-san tahulah Thian In bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tokoh Kwie-san-pay. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa pendiri Kwie-san-pay adalah lima orang yang berilmu silat tinggi dan bahwa mereka itu bertabiat aneh tapi jujur hingga disebut Kwie-ian-ngokway atau Lima orang aneh dari Kwie-san. Terutama sekali mereka itu tidak mau kalah da lam hal ilmu silat dan selalu menganggap bahwa ilmu silat cabang mereka adalah yang paling sempurna! Pernah dulu tiga orang tokoh dari Kwie-san sengaja naik ke tempat kediamman Gak Bong Tosu, khusus untuk mencoba kepandaian silat tosu itu. Tapi ketiga-tiganya kalah jauh terhadap Gak Bong Tosu, dan mereka pulang dengan penasaran, karena biarpun telah dikalahkan, mereka tetap tidak mau menerima kalah! Thian In maklum bahwa kini setelah ia bertemu dengan seorang tokoh dari Kwie-san, mau tak mau ia harus pertahankan nama suhunya. Ia segera menjura kepada pendeta kurus kering itu.

“Totiang aku yang sudah pernah mendengar akan kelihaian Kwie-san-pay, tapi di antara kelima paycu, tidak tahu totiang ini yang ke berapakah?”

Hoan Tin-cu keluarkan suara jengekan. Aku bukanlah seorang di antara ketiga sutee ku yang pernah berjumpa dengan suhumu. Di bukit kami masih ada twasuhengku.” Dengan jawaban ini mengertilah Thian In bahwa dia berhadapan dengan tokoh kedua dari Kwie-san!

“Kalau begitu bukankah totiang ini Hoan Tin-cu Totiang yang bergelar Liok-chiu0sian Si-Dewa-tangan- enam? Sungguh bahagia aku yang muda dapat berjumpa dengan totiang yang telah membuat nama besar! Tapi apa maksud totiang untuk menjajal Kiam-hwat mu yang sudah terkenal itu kepada seorang muda seperti aku? Harap totiang suka pikir-pikir kembali. Kalau totiang dapat kalahkan aku hal ini tidak menguntungkan totiang juga tak berarti apa-apa. Tapi sebalinya kalau sam pai kiamhwatmu kalah olehku, bukankah hal ini akan membuat totiang merasa malu dan aku merasa tidak hati saja?” Ucapan ini biarpun kelihatan rendah dan halus namun juga mengandung ejekan dan memandang rendah kepada Kwie-san- kiamhwat. “Souw sicu! Kepandaianmu sudah begitu hebat, apa pula kau adalah murid Gak Bong maka biarpun seandainya aku jatuh dalam tanganmu aku takkan merasa malu bahkan merasa terhormat. Tentu saja kalau kau mampu jatuhkan aku!”

Ong Kang Ek merasa tidak enak sekali menghadapi adu mulut ini maka buru-buru ia berkata: “Hoan totiang dan Souw Sicu yang terhormat. Saya tidak ada perlunya hal ini dilanjutkan, karena membikin kita semua tidak enak saja. Memang maksud Hoan totiang baik, yakni untuk menambah pemandangan kita dan juga untuk meramaikan pesta ini tapi hendaknya diingat bahwa Souw Sicu belum bertanding dengan puteriku, hingga kalau dia harus bermain-main dulu dengan totiang, maka tentu hal ini kurang adil, apalagi berusan Souw Sicu telah melayani saudara-saudara yang lain.”

Hoan Tin-cu tertawa bergelak-gelak. “Aku orang tua tidak tahu diri memang menjadi gangguan saja. Tadi aku minta kepada Souw Sicu, tapi ternyata kau ingin lekas-lekas melihat pemuda ini mengadu kepandaian dengan anakmu. Biarlah aku mundur saja juga tentu saja Souw Sicu lebih senang bertanding dengan Ong siocia dari pada dengan aku si tua bangka!”

Bukan main panas hati Thian In mendengar olok-olokan ini. Ia menghadapi Ong Kang Ek dan menjura: “Ong Lo-enghiong, perkenankanlah kiranya siauwtit melayani Hoa Totiang barang sepuluh jurus sebagai tanda hormat kepadanya dan juga untuk menggembirakan pesta ini.” Terpaksa Ong Kang Ek mengangguk dan tinggalkan panggung dengan hati cemas karena ia tahu betapa lihainya pendeta tinggi kurus itu.

“Ha, ha! Harimau muda yang gagah berani.” Sikapmu ini membuat aku makin kagum, anak muda. Keluarkanlah pedangmu dan mari kita main-main sebentar agar kurasai sampai di mana kelihaian ilmu pedang turunan Gak Bong! Jangan kau takut, aku tak begitu kejam untuk mencelakai seorang muda.

Kata-kata ini sangat memandang rendah hingga tanpa banyak cakap lagi Souw Thian In lolos pedangnya dari pinggang. Sementara itu Hoan Sin-cu juga telah cabut pedang dari punggungnya dan dengan jumawa sekali ia gerak-gerakkan pedang itu di tangan kanan hingga bersuitan mendatangkan angin dingin. Thian In maklum akan kelihaian orang tua itu, maka ia berdiri masang kuda-kuda dengan tenang dan waspada. Kemudian ia berkata halus:

“Hoan Totiang kau mulailah dulu.”

Setelah perdengarkan suara tawa yang nyaring, Hoan Tin-cu segera gerakan pedangnya mengirim serangan pertama. Gerakan pedangnya memang cepat sekali, ditambah pula dengan gaya-gaya palsu dengan jalan putar-putar dan obat abitkan pedang itu bagaikan permainan pedang yang kacau, tapi yang sesungguhnya merupakan rangkaian serangan berbahaya. Tapi Thian In biarpun masih muda, namun ia tergembleng hebat oleh gurunya hingga ia dapat berlaku tenang sekali dan tidak bingung karena gerak- gerak palsu itu. Dengan gerakan Hui-pau-liu-cwan atau Air terjun bertebaran, ia dapat menangkis serangan Hoan Tin-cu dengan mudah sekali. Hoan Tin-cu terkejut juga melihat serangannya dapat dipunahkan demikian mudah, lebih-lebih ketika ia rasakan betapa tangkisan pedang. Thian In membuat tangannya tergetar, ia menjadi hati-hati dan berbareng penasaran sekali. Ia perdengarkan siulan keras dan tahu-tahu ia robah gerakan pedangnya. Kini ia mainkan tipu-tipu terlihai dari Kwie-sankiamhwat. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih berkeredupan yang mengurung Thian In.

Untuk sesaat Thian In terdesak dan ia merasa betapa Kwie-san-kiamhwat benar-benar lihai, cepat gerakannya dan kuat tenaga serangannya. Namun ia telah mendapat petunjuk istimewa dari Gak Bong Tosu bagaimana harus menghadapi ilmu pedang Kwie-san maka dengan cepat Thian In lalu mainkan gerakan Dinding besi membendung banjir. Pedangnya diputar sedemikian cepatnya hingga merupakan sinar bulat besar yang menjaga dan melindungi seluruh tubuhnya hingga jangankan senjata lawan, bahkan air hujanpun agaknya sukar untuk menembus dinding kuat yang terbuat dari mata pedangnya itu! Beberapa kali ujung pedang Hoan Tian-cu hendak menerobos masuk, tapi selalu dapat terpental keluar kembali karena tangkisan pedang Thian In.

Melihat betapa serangan-serangannya tak berhasil sedangkan pemuda itu hanya membela diri saja dan belum balas menyerang, Hoan Tin cu merasa penasaran dan marah karena ia anggap Thian In mengalah yang berarti menghina dan memandang rendah: Maka ia berseru keras:

“Souw Sicu, balaslah menyerang! Jangan takut aku takkan terluka oleh pedangmu.

Sambil tangkis sebuah tusukan, Thian In menjawab: “Baik, totiang, aku sudah terima pengajaranmu.” Sekarang silahkan menerima pertunjukanku. Awas pedang!” berbareng dengan teriakan ini tiba-tiba Thian In gerakkan pedangnya dengan tipu La-liong-sin yauw atau Naga-emas-mengulet. Tiba-tiba saja Thian In membuat gerakkan memutar dan secepat kilat pedangnya membalik dan meluncur dalam serangan berbahaya. Hoan Tian Cu yang sudah siap sedia tak menjadi gentar, bahkan ia berteriak: “Bagus!” sambil tersenyum dan gerakkan pedangnya menangkis, Thian In tarik kembali senjatanya dan membuat serangan baru yang tidak kurang berbahaya. Hoan Tian Cu tak menjadi gugup dan bergerak cepat dalam menangkis dan balas menyerang dengan keluarkan tipu-tipu yang paling diandalkan, tapi keadaan mereka seimbang. Thian In menang gesit dan menang tenaga, tapi kalah ulet dan kalah tenang.

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan memuji. Semua merasa heran dan memandang karena dalam keadaan setegang itu tak seorangpun berani menganggu dengan suara maupun tepuk tangan. Ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Kam Ciu. Pemuda sastrawan ini yang menganggap permainan kedua orang itu sangat menarik agaknya tidak tahu sama sekali bahwa permainan yang indah dipandang itu mengandung ancaman-ancaman maut bagi kedua belah pihak! Sambil bertepuk tangan pemuda itu memandang pertempuran dengan mata bersinar, sinar dan mulut tersenyum-senyum. Sikapnya bagaikan seorang anak menonton pertunjukkan tari- tarian! Orang-orang di dekatnya terpengaruh oleh kegembiraan pemuda itu hingga merekapun ikut gembira, untuk sesaat melupakan ancaman bahaya bagi yang bertempur. Tapi tak lama kemudian melihat betapa kedua orang itu berputar-putar dalam pertarungan yang semakin sengit, mereka diam lagi dan memandang dengan hati diliputi penuh ketegangan.

Kini hanya Kam Ciu saja yang masih merasa gembira. Ia sabar-sabar bertepuk tangan dan berteriak-teriak! “Lihat, lihat...Aduh bagusnya tarian losuhu itu seperti seekor ular!” Para ahli silat diam-diam merasa geli mendengar ini, lebih-lebih ketika Kam Ciu berteriak lagi: “Permainan pedang mereka mengingatkan aku akan pertemupran ular dan burung garuda. Pernah kumelihatnya! Tapi ketika burung terbang dan menyambar, ularpun kalah!”

Tak seorangpun perdulikan ocehannya itu walaupun kata-katanya cukup keras. Sesaat kemudian keadaan pertempuran berubah. Agaknya Thian In merobah gerakannya. Ia gunakan ginkang atau ilmu ringankan tubuh yang hebat dan yang tadi telah dipertunjukkan ketika melawan empat pemuda. Tubuhnya kin berkelebat ke kanan-kiri dan kadang-kadang berputar-putar lalu loncat ke atas dan menyerang dari belakang dan dari atas. Terpaksa Hoan Tin-cu mengikuti gerakan-gerakan lawan yang gesit bagaikan burung itu! Payah ia putar-putarkan, makin cepat Thian In berputar di lingkungan luar makin cepat pulalah ia harus berputaran hingga sebentar saja ia merasa pusing dan pandangan matanya kabur: Hoan Tin Cu merasa sibuk menghadapi serangan-serangan Thian In yang tak terduga dan yang dilancarkan dari segenap penjuru, bahkan sering kali di atas.

Makin riulah tepuk tangan Kam Ciu dan mulutnya tiada hentinya berkaok-kaok: “Bagus....bagus....! Nah, lihat tuh...sekarang benar-benar ular melawan burung! Aduh bagusnya...”

Kini kata-kata gembira dari Kam Ciu ini mendapat perhatian semua orang karena betul-betul keadaan yang bertanding di atas panggung adalah seperti seekor ular dan seekor burung sedang berlagak! Thian In merupakan burung yang tangkas dan besar terbang ke sana kemari mengelilingi ular dan tiap ada kesempatan ia menyerang bagaikan burung mematuk. Sedangkan Hoan Thian Cu berada di tengah bagaikan ular menanti untuk menangkis atau tiba-tiba menyerang kalau lawannya mendekat.

Hoan Tin Cu sudah merasa lelah dan pusing. Ia tak tahu bahwa jika dilanjutkan akan kalah maka ketika pedang Thian In menyambar lagi, ia tidak menangkis, tapi berkelit sambil loncat ke belakang.

“Betul lihai! Betul kata orang, guru harimau murid naga. Terima kasih atas pengajaranmu, Souw Sicu.”

Thian In buru-buru menjura. “Totiang kau telah mengalah sungguh membuat aku bersukur. “Tapi ia salah sangka kalau ia kira bahwa pendeta itu benar-benar mau mengaku kalah, karena dengan wajah muram Hoan Tian-cu berkata:

“Souw Sicu, jika kau mau menghargai aku orang tua nanti pada permulaan musim Chun tahun depan kuundang kau ke Kwie-san di mana sekali lagi aku minta pengajaranmu.

Terkejutlah Thin In mendengar ini, tapi dasar ia seorang muda yang tabah, ia tersenyum pahit sambil menjawab: “Jadi totiang masih penasaran? Baiklah kalau ada aral melintang, pasti aku akan memenuhi permintaanmu.” Hoan Tin-cu lalu menjura kepada Ong Kang Ek sambil berkata: “Ong Enghiong, pinto tak dapat mengawani lebih lama lagi. Terima kasih untuk arakmu dan selamat berpisah!” Tuan rumah tak sempat menjawab karena tamunya telah memutar tubuh dan bertindak pergi. Ketika lewat di depan ruang di mana anak-anak muda berduduk, tiba-tiba berhenti di depan Kam Ciu dan ia berkata sambil angkat tangan menjura kepada pemuda itu yang masih duduk sambil tersenyum memandangnya:

“Anak muda kau seorang kutubuku lain kali janganlah banyak mulut bila menonton orang mengadu silat!”

Ong Kang Ek dan Giok Cu terkejut melihat gerakan Hoan Tin-cu karena itu adalah sebuah gerakan serangan yang dilakukan dengan kerahkan tenaga dalam untuk merobohkan orang tanpa menjamah kulitnya! Ong Kang Ek tidak ingin melihat Kam Ciu dicelakakan, maka hampir saja ia loncat mencegah, sedangkan Giok Cu juga siap sedia dengan piauw di tangan. Tapi ternyata Hoan Tin-cu tidak jadi seorang anak muda karena buktinya Kam Ciu masih saja duduk dengan tertawa. Totiang itu untuk sejenak memandang wajah pemuda sastrawan yang tidak menjawab kata-katanya tapi hanya tertawa geli saja, kemudian tanpa banyak berkata lagi pendeta itu panjangkan langkah dan lari pergi!”

Kam Ciu gunakan jari telunjuk menuding ke arah punggung Hoan Tin-cu dan tertawanya makin keras bergelak. Ong Kang Ek mendongkol juga melihat sikap pemuda itu. Ia segera loncat mendekati dan berkata:

“Gan Hianti lain kali harap jangan suka goda orang. Tahukah kau bahwa hampir saja kau mengalami bencana maut?”

Kam Ciu memandangnya dengan tak mengerti. “Bencana maut? Mengapa Ong lopeh.

“Hoan Tin-cu tadi sedang marah tapi kau tertawakan padanya hingga hampir saja ia gunakan pukulan gelap untuk membunuhmu. Untung saja ia dapat menahan napsunya, kalau tidak entah bagaimana jadinya. “Orang tua itu menghela napas.

“Hm, hm, kalau begitu ia bukan orang baik-baik,” kata Kam Ciu sambil mengangguk-angguk. Ia kalah bukan salahku, tapi karena kelemahan sendiri, mengapa ia marah kepadaku?”

Thian In yang sementara itu sudah turun dan menghampiri mereka, tepuk-tepuk pundak Kam Ciu sambil tertawa: “Mengapa ia marah padamu? Ah, saudaraku yang baik, karena sebenarnya kaulah yang membuat ia kalah olehku tadi!”

“Apa maksudmu?” pertanyaan ini diucapkan oleh Kam Ciu dan Ong Kang Ek dengan berbareng karena orang tua inipun heran mendengar pengakuan itu.

“Bukankah ketika kami sedang saling serang tadi kau berteriak-teriak mengatakan bahwa kami berkelahi bagaikan seekor ular dan seekor burung? Nah, pada saat itu barulah aku insaf dan mendapat akal untuk menjatuhkannya! Aku baru ingat bahwa ilmu pedang Hoan Totiang hampir sama jalannya dengan ilmu pedang Ouw-coa-kiamhwat yakni ilmu pedang ular telaga yang terkenal lihai dari Lam-san-pay dan biarpun gerakannya lambat, namun tangguh dan kuat sekali. Setelah mendengar teriakanmu, barulah aku ingat bahwa untuk melawan ini haruslah gunakan ginkang yang tinggi untuk mempermainkannya. Kebetulan sekali kepandaian ginkangku lebih tinggi darinya, maka aku lalu gunakan kegesitan untuk menyerang sambil berputaran dan berloncatan hingga ia menjadi pusing dan lelah. Bukankah ini berarti bahwa kau yang memberi jalan hingga ia mendapat kekalahan? Nah, karena itulah maka ia marah padamu.”

Mendengar keterangan ini, Kam Ciu tertawa lagi, kini tawanya gembira. “Kalau begitu, saudara Souw lain tahun kalau kau pergi ke Kwie-san kau harus ajak aku untuk menjadi penasehatmu!” Thian In hanya tersenyum, lalu ia berkata kepada Ong Kang Ek.

“Ong Lo-enghiong bagaimanakah sekarang? Apakah aku sudah memenuhi sarat untuk mencoba kepandaian puterimu?”

Ong Kang Ek tersenyum dan berkata: “Souw hiantit, kau sungguh gagah. Mana anakku yang bodoh berani unjuk kebodohannya di depanmu?”

“Eh, mana ada aturan begitu, lopeh?” bantah Gan Kam Ciu.” Biarpun kepandaian saudara Soaw ini cukup hebat, ia harus pula memenuhi apa yang telah dijanjikan tadi. Kalau ia tidak disuruh menghadapi Ong siocia, mana kita tahu siapa yang lebih unggul. Kata-kata ini dibenarkan oleh paramuda yang duduk di situ hingga apa boleh buat Ong Kang Ek pergi panggil puterinya yang duduk di ruang wanita, Giok Cu yang telah siap sedia segera loncat ke atas panggung dan berdiri dengan kepala tunduk karena sesungguhnya ia merasa malu untuk bertanding dengan pemuda yang telah memikat hatinya itu.

Souw Thian In pun tidak melewatkan ketika baik ini untuk menjajal kepandaian gadis jelita itu. Dengan gaya indah menarik, ia loncat ke atas panggung lalu berdiri di depan gadis itu sambil menjura memberi hormat yang dibalas oleh Giok Cu dengan muka merah. Alangkah girang, hati Thian In karena setelah berada dekat dengan nona itu barulah ia m endapat kenyataan bahwa Giok Cu benar-benar cantik jelita!

“Ong siocia, harap kau suka berlaku murah hati dan jangan turunkan tangan kejam kepadaku.” Kata Thian In sambil perlihatkan senyum manis.

“Souw enghiong jangan merendah,” jawab Giok Cu dengan suara merdu halus sambil cabut pedangnya dengan tangan kanan dan angkin suteranya dengan tangan kiri. Thian In mundur dua tindak lalu loloskan pedangnya pula.

Setelah saling mengangguk sekali lagi tanda hormat, Giok Cu mulai buka serangan dengan pedangnya, sementara sabuk-sutera merah di tangan kirinya bergerak bagaikan benda hidup membuat lingkaran melindungi seluruh bagian tubuh yang tak terlindung pedang. Gerakan bidadri menari selendang ini sungguh indah dipandang hingga Kam Ciu dengarkan seruan kagum dan sepasang mata tanya memancarkan sinar gembira. Melihat keadaan pemuda sastrawan ini Ong Kang Ek yang memandang dari samping diam-diam menghela napas dengan hati kasihan. Orang tua ini maklum betapa pemuda kutu buku ini mencinta dan merindukan Giok Cu, tapi apa mau dikata, pemuda lemah seperti tentu tidak seimbang dengan anak gadisnya yang gagah perkasa. Pikiran ini membuat ia menengok lagi ke arah panggung. Ternyata tanpa sungkan-sungkan lagi Giok Cu keluarkan serangan-serangan yang paling berbahaya. Agaknya gadis betul-betul hendak mencoba sampai di mana kelihaian ilmu silat pemuda baju biru ini maka ia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Tapi Thian In tidak menjadi gugup biarpun ia dikurung oleh sinar merah yang bergulung-gulung dan sinar putih yang berkeredep-keredep dari sabuk sutera merah dan pedang Giok Cu. Pemuda ini dengan sigapnya mainkan ilmu pedang angin taufan permainkan ombak, yaitu ilmu pedang ciptaan gurunya yang sengaja dimainkan untuk menjaga diri dari serangan musuh tangguh. Ilmu pedang ini jika dimainkan oleh tangan yang mahir dapat membuat pedang merupakan dinding baja yang menutup rapat diri si pemain hingga tak mudah untuk diserang. Pedang di tangan Thian In berputar cepat dan sebentar lagi Giok Cu merasa gelisah karena sedikitpun kedua senjatanya tak dapat mendekati tubuh pemuda itu.

Thian In tidak hanya membela diri. Di mana ada kesempatan, iapun kirim serangan-serangan berbahaya. Tapi di mata seorang ahli nyata sekali bahwa ia tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, karena beberapa kali pedangnya yang telah meluncur ke arah tubuh si gadis sengaja dibelokkan seakan-seakan pemuda itu takut kalau-kalau pedangnya akan betul-betul melukai tubuh lawannya. Hal ini pun diketahui pula oleh Ong Kang Ek yang merasa girang karena perbuatan pemuda itu menandakan bahwa ia ada hati terhadap Giok Cu. Hal inipun tak luput dari pandangan gadis itu sendiri hingga ia makin merasa bingung dan malu. Pada saat ketika pedang Thian In menyerang, Giok Cu berhasil melibat pedangnya dengan angkinnya, tapi ketika Thian In betot pedangnya, sabuk sutera merah itu terbawa oleh pedang! Giok Cu cepat meloncat ke belakang dan tanpa menoleh lagi ia lalu turun dari panggung dan lari ke dalam rumah!

Kam Ciu tertawa bergelak dan tepuk-tepuk tangan disusul oleh lain tamu hingga Thian In berdiri di atas panggung dengan muka merah dan memandang selendang merah yang masih tergantung di pedangnya! Ong Kang Ek melihat pula dan mengerti bahwa Giok Cu sengaja lepaskan angkinnya sebagai tanda menyerah dan juga tanda setuju kepada pemuda itu, maka tanpa ayal lagi ia loncat ke atas panggung.

“Souw hiantit, anakku yang bodoh mengaku kalah.” Kemudian ia iringkan pemuda itu turun dari panggung.

Habisnya acara itu dianggap sebagai habisnya perayaan, maka berangsur-angsur para tamu berpamit dan tinggalkan tempat itu.

Setelah tamu-tamu pulang, yang tinggal hanya Thian In dan Kam Ciu yang masih duduk bercakap-cakap dengan Ong Kang Ek. Ketika ditanya tentang orang tuanya, Thian In dengan sedih menjawab bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia dan bahwa ia adalah seorang yatim-piatu yang hidup sebatang kara, tak bersanak tak berkandang. Dalam percakapan mereka Thian In merasa suka kepada Kam Ciu yang biarpun hanya seorang siucay, tapi luas pandangannya. Kedua pemuda itu diminta dengan sangat oleh Ong Kang Ek untuk bermalam di rumahnya dan mendapat sebuah kamar besar yang dipakai oleh mereka berdua.

Malam hari itu Kam Ciu dipanggil oleh Ong Kang Ek yang berkata kepadanya: “Gan Hiantit, kau lihat sendiri tadi bahwa Souw hiantit telah memenuhi segala sarat untuk menjadi suami anakku. Aku telah setuju padanya dan Giok Cu juga tidak menolak. Sayang sekali pemuda itu telah yatim piatu dan tidak ada walinya. Kau adalah putera Saudara Gan Im Kiat yang sudah seperti saudara sendiri dengan aku. Maka Gan hiantit sukakah kau berlaku begitu baik hati untuk menjadi perantara atau wakil?”

Kam Ciu tekan perasaannya dan ia memandang kepada Ong Kang Ek dengan wajah agak pucat dan senyum getir di bibir. “Bagaimana maksudmu, Ong lopeh?”

Ong Kang Ek menghela napas. “Sebenarnya tidak pantas aku memilih kau untuk hal ini, hiantit, tapi apa boleh buat, selain kau selain kenal baik padaku, juga sekarang kenal baik kepada Souw hiantit pula. Maksudku, sukalah kau menjadi perantara untuk perjodohan anakku dan Souw hiantit, tidak hanya menjadi perantara, juga sebagai wali pemuda yatim piatu itu.

Biarpun ia telah menduga maksud Ong Kang Ek, namun masih Kam Ciu merasa betapa dadanya berdebar dan bibirnya gemetar. Ia mendapat pukulan batin yang hebat, karena ia sendiri pernah melamar Giok Cu dan ditolak, sekarang harus menjadi wali orang lain yang hendak mengawini gadis itu? Ah, alangkah berat tugas ini. Tapi ia paksa mulutnya bersenyum dan menyanggupi. Demikianlah, di dalam kamarnya, Kam Ciu utarakan maksud Ong Kang Ek. “Saudara Thian In, karena kau sebatang kara dan nona Giok Cu telah cukup umur, Ong lopeh menghendaki agar kau dan Ong socia kawin minggu depan ini.” Kam Ciu tutup pembicaraannya.

“Tapi...tapi...”

“Tapi, bukankah kau sudah setuju padanya?” tegur Kam Ciu melihat keraguan pemuda itu.

Thian In mengangguk, lalu menghela napas. “Baiklah kalau kau sudi menjadi waliku, saudara Kam Ciu.”akhirnya pemuda itu menyetujui. Dengan girang Kam Ciu sampaikan persetujuan ini kepada Ong Kang Ek.

Seminggu kemudian rumah Ong Kang Ek dihias sederhana. Ini adalah permintaan Souw Thian In, yakni tak perlu mengadakan perayaan besar. Tamu-tamu yang menghadiri perkawinan itu hanya penduduk kota Kam Leng yang telah dikenal dan para tetangga.

Ketika kedua penganten ditemukan, mereka berdua lalu dituntun ke meja sembahyang, di mana tergantung sebuah lukisan besar seorang wanita cantik. Ini adalah lukisan ibu Giok Cu yang telah meninggal dunia. Melihat gambar ibunya, Giok Cu jatuhkan diri berlutut di samping calon suaminya dan menangis. Thian In berbisik kepada Giok Cu: “Siapakah?”

“Ibuku,” jawab Giok Cu.

Thian In angkat muka memandang lukisan itu. Tiba-tiba wajahnya pucat bagaikan mayat, sepasang matanya terbelalak dan mulutnya terbuka dengan bibir menggigil. Ia gunakan tangan kiri yang gemetar untuk merogoh ke dalam bajunya, lalu tangan itu keluarkan segulung kertas. Ia cepat buka gulungan kecil itu Giok Cu yang melihat perbuatan calon suaminya dengan pandangan mata aneh hampir berseru karena terkejut dan herannya. Ternyata gulungan gambar itupun lukisan ibunya yang sedikitpun tak berbeda dengan lukisan yang tergantung di meja sembahyang itu!

Kini pandangan mata dan wajah Souw Thian In berubah keras. Ia berdiri dan bertolak pinggang sambil pandang Giok Cu dengan mata menghina.

“Jadi kau adalah anak perempuan wanita ini?” katanya menunjuk lukisan ibu Giok Cu. Gadis itu bingung dan hanya mengangguk dengan hati berdebar kacau.

“Jadi kau...kau anak Can Kwei Lan??

Kembali Giok Cu hanya bisa mengangguk. Sementara itu, Ong Kang Ek telah loncat mendekati dan bertanya: “Apa artinya ini? Hiansay, apa hubunganmu dengan dia?” tanya kepada Thian In sambil menunjuk gambar isterinya.

“Jadi....kau ini...pemuda yang direbutnya dari tangan dan hati ibuku?? Kali ini Thian In menunjuk ke arah Ong Kang Ek dengan mata menyala. Ong Kang Ek mundur beberapa tindak dengan muka pucat.

“Siapakah kau?” tanyanya.

“Masih ingatkah kau akan seorang gadis yang hancur kalbunya karena perbuatan dan ketidak setiaanmu? Ingatkah kau kata Eng Hong?”

Makin pucatlah wajah Ong Kang Ek. “Apa...apakah hubunganmu dengan Eng Hong?”

Muka Thian In yang tadinya pucat kini berubah merah dan suaranya terdengar seram ketiak ia menjawab keras: “Eng Hong adalah ibuku. Wanita digambar ini adalah musuh ibuku yang harus kubunuh. Tapi karena ia telah mendahului tinggalkan dunia ini sekarang kau dan anaknya harus ganti jiwa! Thian In tutup kata- katanya dengan loncat menerjang Ong Kang Ek. Serangan ini hebat ho-tok-hu atau Bangau-putih-totol- ikan, pukulan yang dibarengi tenaga dalam hingga kalau sampai ke sasarannya pasti orang takkan kuat menahan. Dalam terkejut dan bingungnya. Ong Kang Ek sempat loncat ke samping dan berkata:

“Hiansay, tahan dulu! Segala persoalan bisa diurus. Ingat kepada isterimu!”

“Hm, siapa sudi menjadi mantumu? Siapa sudi menjadi mantu Can Kwei Lan yang sudah merusak hidup ibuku? Ini hari kalian berdua atau aku harus rebah di tanah menjadi mayat!”

Karena sedih, malu, dan marah hampir saja Giok Cu jatuh pingsan. Kini timbullah marahnya. “Bangsat rendah, berani kau hina orang sesukamu. Kau ingin adu jiwa? Baik, nonamu antar kau ketemui ibumu di neraka. Giok Cu mata gelap dan balas memaki karena merasa marah ibunya dihina. Kemudian maju menyerang. Thian In berkelit dan membalas dengan serangan maut! Kali i ni mereka tidak main-main seperti di atas panggung dulu. Mereka gunakan serangan-serangan berbahaya. Tapi mana Giok Cu dapat melawan pemuda yang lihai itu? Sebentar saja ia terdesak dan sibuk menangkisi dan berkelit.

Ong Kang Ek berkali-kali minta Thian In bersabar dan menahan marahnya, tapi tidak diperdulikan oleh pemuda itu. Akhirnya, melihat gadisnya terdesak, Ong Kang Ek menjadi marah dan maju mengeroyok! Pesta menjadi kacau balau. Tamu-tamu lari keluar dan yang agak berani menonton dari tempat agak jauh. Sedangkan Kam Cu dengan garuk-garuk kepala dan banting-banting kaki mendekati sambil berkaok-kaok: “Saudara Thian In!! Ong siocia!! Ong lopeh!! Berhentilah aduh celaka, bagaimana ini? Jangan berkelahi,

nanti kena bencana. Aduh, bagaimana ini??” Pemuda sastrawan ini lari hilir mudik dengan bingung, kemudian ia duduk sambil tutup muka dengan kedua tangan dan geleng-geleng kepala.

Pertempuran makin hebat. Mereka bertiga gunakan tangan kosong karena tidak sempat mengambil senjata. Namun, biarpun bertangan kosong, pukulan-pukulan yang mereka layangkan tidak kalah berbahayanya dengan serangan senjata tajam. Sekali saja kena terpukul atau tertendang tepat banyak harapan putus nyawanya.

Souw Thian In benar-benar gagah. Biarpun dikeroyok oleh ayah dan anak yang lihai itu, ia masih dapat menyerang lebih banyak daripada diserang. Beberapa kali hampir saja Giok Cu terkena pukulan maut. Pada saat itu Souw Thian In keluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu jurus Kiauw-ta Sina, semacam ilmu silat gabungan dari cabang Butong dan Siauwlim. Ilmu silat ini telah dijadikan dengan cermat dan mahir hingga kali ini Ong Kang Ek dan Giok Cu terdesak mundur. Dengan beringas dan kejam bagaikan seekor harimau menubruk mangsanya, Thian In kerahkan tenaga menyerang Giok Cu. Gadis itu berkelit ke samping tapi malang baginya, kakinya terbentur menjadi belakangnya hingga ia terhuyung ke kanan. Saat itu digunakan oleh Thian In untuk mengirim pukulan maut ke arah lambung Giok Cu. Ong Kang Ek melihat bahaya ini berteriak keras karena ia tak keburu menolong. Berbareng dengan teriakan Ong Kang Ek dan jeritan Giok Cu, tiba-tiba Thian mengerang kesakitan dan sebelum pukulannya mengenai lambung Giok Cu, pemuda itu roboh terguling.

Giok Cu merasa heran dan keringat dingin mengucur dari jidatnya karena baru saja ia terlepas dari bahaya maut. Ia berdiri terengah-engah sambil menyusut keringatnya. Sedangkan Ong Kang Ek tak kurang herannya karena ia tak mengerti bagaimana Thian In bisa roboh. Giok Cu yang menyangka ayahnya telah menjatuhkan Thian In tidak seheran ayahnya, dan kini melihat calon suaminya rebah tak berkutik di atas lantai hatinya menjadi hancur. Ia jatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menangis tersedu-sedu.

Sementara Ong Kang Ek menghampiri tubuh Thian In dan memeriksanya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat tubuh pemuda itu lemas tak berdaya karena pengaruh totokan. Ia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa yang tertotok adalah jalan darah Thian-hu-hiat. Maka tak habis herannya memikirkan bagaimana pemuda ini sampai tertotok dan oleh siapa? Tiba-tiba matanya melihat sebutir batu kerikil bundar di dekat tubuh itu dan air mukanya berobah pucat. Ia dapat menerka bahwa Thian In telah ditotok dengan sambitan batu kecil itu. Dan sepanjang pengetahuannya, yang dapat melakukan ilmu sambit selihai ini hanya seorang locianpwee yang bergelar Hong-san-lojin si Orang tua dari Hongsan! Ia tahu bahwa Hong san lojin seorang pertapa yang beradat aneh dan berkepandaian sangat tinggi, tapi semua ini hanya pernah didengarnya saja karena belum pernah ia melihat orangnya!

Sedang ia melamun demikian, datanglah Kam Ciu berlari-lari dan berlututlah anak muda itu di dekat Thian In sambil bertanya Ong lopeh, matikah dia? Ah celaka...bagaimana ini Ong lopeh?”

Tapi Ong Kang Ek tak memperdulikannya bahkan lalu berdiri dan setelah memandang keempat penjuru, ia berteriak memanggil: Hongsan Locianpwee, silahkan turun, siauwtee ingin menghaturkan terima kasih!” Tapi biarpun berteriak berkali-kali, tak seorangpun menjawab. Sementara itu para tamu telah pergi keluar semua hingga keadaan di situ sunyi.

“Ong lopeh, mengapa kau panggil-panggil orang yang tidak ada? Siapakah yang kau cari?” tanya Kam Ciu tak sabar.

“Penolong kami adalah Hongsan Lojin, tapi orang tua itu tidak mau muncul,” kata Kang Ek sambil menghela napas, seakan-akan berbicara kepada diri sendiri.

“Kalau tidak mau datang itu berarti bahwa ia memang hendak membantu dengan secara sembunyi. Perlu apa dicari-cari. Kalau ia mau bertemu, perlu apa ia membantu dengan sembunyi?”

Ong Kang Ek anggap pernyataan Kam Ciu itu benar juga, maka ia berjongkok kembali memeriksa keadaan Thian In. Pemuda itu telah sadar tapi belum dapat gerakkan tubuhnya karena masih dalam keadaan tertotok. Beberapa kali Ong Kang Ek mencoba untuk punahkan totokan itu, tapi sia-sia. Thian In telah tertotok dengan cara asing bagi jago tua itu hingga ia tak berdaya.

“Eh, eh, kenapa ditotok-totok? Kau hanya membikin ia sakit saja Ong lopeh. Setahuku kalau orang jatuh pingsan, ia diberi jahe dan telur mentah.” Kemudian Kam Ciu berlari ke dalam rumah dan minta kepada pelayan supaya disediakan telur mentah dan jahe. Setelah dapat barang-barang itu, ia segera berlari menghampiri Thian In dan gunakan telur dan jahe mencekok mulut pemuda itu. Dan betul saja! Thian In bergerak perlahan dan sebentar lagi ia telah bisa bangun duduk!

Ong Kang Ek merasa heran tapi ia segera berkata kepada Thian In: “Souw enghiong, sekarang engkau harap suka berlaku tenang dan ceritakan kepada kami mengapa kau tiba-tiba hilap.” Ong Kang Ek tidak mau menyebutnya hiansay atau anak mantu lagi.

Thian In berdiri dan setelah memandang kepada Kam Ciu beberapa lama, ia menghela napas..”Sudahlah kalian mendapat bantuan orang pandai, sungguh mataku buta. Biar lain kali saja aku minta pengajaran lagi.” Ia hendak bertindak pergi, tapi Ong Kang Ek menahannya sambil bertanya.

Nanti dulu, Souw enghiong. Kau tadi mengaku putera Eng Hong. Di manakah dia itu sekarang?” “Ia telah mati karena karena kau!”

“Souw enghiong. Kau anak muda yang tidak tahu duduknya persoalan. Hal itu terjadi ketika kau belum terlahir mana kau tahu duduk persoalan?”

“Aku tidak perduli bagaimana duduk persoalannya. Tapi ibu ketika hendak tinggalkan aku telah berpesan agar aku balaskan sakit hatinya kepada isterimu yang telah meninggal itu. Kini musuh ibuku telah mati,

kepada siapa aku harus balas dendam selain kepada suami dan anaknya? Tapi aku telah gagal, biarlah memang kepandaianku yang rendah. Biar lain kali kita berjumpa pula! Dan dia hendak pergi. “Saudara Thian In, benar-benar secupat itukah pandanganmu?” tiba-tiba Kam Ciu maju dan pegang ujung lengan baju Thian In. Pemuda yatim piatu itu memandang kepada Kam Ciu dengan mata bersinar, lalu tiba-tiba ia menjura: “Kau....kau aku kecewa padamu!” Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia loncat pergi!

Kam Ciu hanya menghela napas, memandang kepada Ong Kang Ek dan Giok Cu lalu angkat pundak dan geleng-geleng kepala.

Tiba-tiba Giok Cu menangis terisak-isak sambil jatuhkan kepala di atas meja. Ong Kang Ek memandang ke arah anaknya. Wajahnya makin pucat dan murung. Ia merasa terharu dan sedih sekali. Ia cukup maklum akan kehancuran hati Giok Cu. Kemudian tiba-tiba orang tua ini menjerit keras sambil pukul-pukul dadanya seakan-akan orang yang hendak menghukum dirinya sendiri, lalu dari mulutnya tersembur darah segar dan ia roboh pingsan!

Ong lopeh....Ong lopeh!! Nona...lekas....lekas....ah, bagaimana ini??” Kam Ciu menjerit-jerit hingga Giok Cu terkejut. Melihat keadaan ayahnya, gadis itu loncat menubruk dan ikut menjerit-jerit: “Ayah ayah!”

Pelayan-pelayan datang menolong dan orang tua itu diangkat ke dalam kamar. Ong Kang Ek mendapat serangan jantung dan penyakitnya makin berat hingga berkali-kali jatuh pingsan. Giok Cu yang merasa bingung dan tidak mempunyai keluarga lain, minta dengan sangat kepada Kam Ciu agar suka tinggal lebih lama di rumah itu. Permintaan ini diluluskan oleh pemuda itu yang merasa sangat kasihan melihatnya. Ong Kang Ek biarpun sedang sakit tahu juga akan bantuan pemuda itu, maka ia panggil Kam Ciu dan duduk di pembaringan.

“Ong lopeh, tenangkan hatimu dan jangan banyak pikir agar lekas sembuh.” “Hiantit...kau...kau baik sekali ”

“Sudahlah jangan banyak bercakap-cakap, lopeh. Kau harus beristirahat.” “Hiantit...jangan tinggalkan Giok Cu.

Kam Ciu pegang tangan orang tua itu yang menggenggam tangan Kam Ciu dengan erat. “Tidak lopeh, jawabnya.

Ong   Kang   Ek   memaksa   senyum   puas.   “Gan   hianti....aku...percaya   penuh   padamu...kau orang

baik...maukah...maukah kau berjanji ?”

Kam Ciu anggukkan kepala dan dekatkan telinganya karena suara Ong Kang Ek makin lemah. “Hiantit...carilah Thian In...sambunglah perjodohan mereka ”

Untuk kedua kalinya di dalam hidupnya Kam Ciu mendapat pukulan batin yang luar biasa hebatnya! Pertama kali ketika ia diminta menjadi perantara perjodohan Thian In dan Giok Cu, kedua sekarang ini! Biarpun Thian In sudah menunjukkan sikap bermusuh masih juga ia disuruh menjodohkan pemuda itu dengan Giok Cu! Dengan sukar sekali Kam Ciu mengangguk dengan mata tertutup dan dari bulu matanya menitiklah dua butir air mata.

Genggaman tangan Ong Kang Ek makin erat. “Maaf....hiantit...kau betul berbudi...sayang dulu kutolak lamaranmu. Dan orang tua itu meramkan matanya untuk tidur. Kam Ciu lalu tinggalkan kamar itu dengan hati pedih.

Tiga hari kemudian, dari kamar Ong Kang Ek terdengar suara jerit tangis menyedihkan. Orang tua gagah perkasa itu ternyata telah menghembuskan napas terakhir.

Setelah jenazah Ong Kang Ek dikubur, Giok Cu dengan mata merah dan wajah pucat kumpulkan semua pelayan dan perintahkan mereka urus rumah dan harta bendanya baik-baik karena ia hendak pergi merantau. Seorang pelayan tua beranikan diri bertanya: “Siocia, kemanakah kau hendak pergi?”

“Kalian tak usah tahu kemana aku hendak pergi. Jaga saja rumah ini. Uang peninggalan ayah boleh kalian pakai makan. Dalam beberapa bulan tentu aku datang kembali.

Kemudian gadis itu berkata kepada Kam Ciu. “Twako, aku haturkan banyak terima kasih atas segala kebaikanmu, semoga Tuhan saja yang akan membalasnya. Sekarang kita harus berpisah, Gan twako.” Kam Ciu pandang gadis itu dengan hati terharu. Ia kasihan melihat wajah gadis yang biasanya berseri itu kini tampak muram dan pucat, lebih-lebih karena kini ia mengenakan pakaian berkabung serba putih, di punggungnya menggendong bungkusan kuning dan sarung pedangnya berwarna kuning pula tergantung di pinggirnya.

“Nona, kemana kau hendak pergi? Bukankah lebih baik kalau aku jadi pengantarmu, yakni kalau kau sudi berjalan bersamaku?”

Giok Cu pandang wajah pemuda itu dengan berterima kasih.

“Twako, tidak sekali-sekali aku tidak sudi berjalan bersamamu, tapi pada waktu ini aku lebih suka seorang diri saja. Aku ingin menjelajah menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku hidup sebatangkara, mengapa aku tidak tiru hidup seekor burung yang bebas di udara?” Air mata gadis itu mengalir membasahi pipinya.

Kam Ciu menghela napas, “Aku tahu perasaan hatimu dan kau benar, nona. Memang lebih baik hibur diri dengan merantau, merantau meluaskan pengalaman daripada mengeram diri dalam kamar sambil tiada hentinya menangis. Yang sudah lalu sudahlah, yang perlu menyambut hari baru yang menjelang datang. Kalau begitu aku mohon diri, nona. Mudah-mudahan kita akan berjumpa pula kelak.”

Setelah memberi hormat, Kam Ciu ambil buntalan pakaiannya dan tinggalkan rumah itu, diikuti pandangan Giok Cu. Gadis ini cukup tahu akan perasaan pemuda sastrawan itu terhadap dirinya, dan diam-diam ia merasa kasihan. Ia kini tahu betapa baik dan mulia hati pemuda lemah itu. Untuk menolong dia sekeluarga, pemuda itu tidak mengukur kelemahan sendiri, bahkan tadi ia menawarkan untuk menjadi pengantarnya! Alangkah lucunya. Jika pemuda itu menjadi pengantarnya, bukan pemuda itu yang akan menjadi pembelanya, bahkan ia sendiri harus menjadi pembela dan penjaga keselamatan pemuda itu! Terbayanglah wajah Thian In yang tampan. Alangkah jauh bedanya Thian In dan Kam Ciu. Yang seorang demikian gagah-perkasa, yang lain demikian lemah. Yang seorang demikian telengas dan keras hati, yang lain demikian halus budi dan baik hati.

Kemudian setelah memberi pesan terakhir kepada empat orang pelayannya, Giok Cu cemplak kudanya dan mulai dengan perjalanan merantaunya.

Dalam perantauannya, Ong Giok Cu melakukan banyak hal-hal menggemparkan. Tiap kali melihat peristiwa yang tidak adil, ia tentu turun tangan membela yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-sewenang. Karena ia selalu tak meninggalkan nama setelah melakukan perbuatan mulia, orang- orang memberi julukan padanya Pek I Lihiap si Pendekar-wanita Baju Putih.

Beberapa bulan kemudian setelah merantau jauh ke arah utara, ia tiba dalam sebuah kota yang cukup besar dan ramai di tepi sungai Kim-ho, sebuah anak sungai dari sungai Jang-ce yang besar. Kota itu ialah kota Kiciu-kwan, Giok Cu memilih kamar dalam rumah penginapan Lok-thian, sebuah rumah penginapan terbesar di kota itu. Ia mendapat sebuah kamar di loteng.

“Kemudian setelah membuka buntalan pakaiannya, ternyata bahwa ia telah kehabisan uang bekal. Ia tidak merasa gelisah karena seperti biasa, ia dapat ambil uang itu dari peti uang seorang hartawan atau pembesar di kota itu. Demikianlah, ia duduk saja dalam kamarnya menanti hari menjadi malam untuk mencari rumah hartawan atau pembesar kejam untuk dijadikan korban.

Ketika hari telah gelap Giok Cu buka jendela kamarnya lalu tubuhnya berkelebat ke arah genteng. Dari situ ia celingukan sebentar, lalu menuju ke jurusan barat di mana ia melihat banyak terdapat rumah-rumah besar.

Kedua kakinya dengan ringan bagaikan kaki kucing berlari dan berloncat-loncatan dari genteng ke genteng sambil menengok ke sana kemari. Tiba-tiba ketika kakinya menginjak sebuah rumah yang besar, ia terpeleset karena genteng yang diinjaknya bergeser ke bawah! Untung ia cepat berkelit karena pada saat itu dari bawah, sebuah piauw melalui lubang bekas tempat genteng tadi manyambar ke atas! Berbareng itu terdengar suara tertawa bergelak dari beberapa orang dari kamar bawah.

Giok Cu bersiap sedia karena ia tahu bahwa dirinya terlihat orang-orang pandai. Tiba-tiba dari bawah terdengar suara nyaring menegurnya: “Kawan yang di atas genting silahkan turun. Pintu depan kami terbuka lebar.”

Giok Cu menjawab dengan keluarkan suara besar: “Terima kasih, aku sedang urus suatu hal, tidak ada hubungan dengan kalian. Lain kali ada ketika tentu mampir sampaikan hormat.

Tapi sebelum ia sempat angkat kaki, suara dari bawah menyusul. “Kalau begitu biarlah kami yang menyambut ke atas.”

Berbareng dengan itu, dari bawah tampak melayang tiga bayangan yang gesit sekali gerakannya. Mereka adalah tiga orang laki-laki yang bertubuh gagah dan bersenjata golok yang terselip di punggung. Yang terdepan adalah seorang setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tahun dengan tubuh pendek gemuk. Agaknya dialah yang bicara tadi karena kini dia pula yang pimpin pembicaraan.

Setelah memberi hormat ia berkata: “Maaf jika kami salah sangka, tapi peraturan yang sudah ditugaskan kepada kami terpaksa harus kami penuhi. Nona bukanlah seorang dari golongan kami, tentu nona datang dari luar. Bukan kami hendak melanggar peraturan kang-ouw yang membebaskans etiap orang gagah berkeliaran di atas rumah di waktu malam, tapi sekali lagi kami harus tunduk kepada peraturan. Maka hendaknya nona memberi tahukan kami kemana nona hendak pergi dan dengan maksud apa.”

Giok Cu merasa penasaran sekali. Sebagai putri Ong Kang Ek yang pernah menjadi raja rimba dan telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, ia cukup mengerti tentang peraturan-peraturan. Tapi mengapa orang-orang ini begini tidak tahu a dat dan ingin tahu urusan orang lain?

“Aku hendak mencari tambahan bekal perjalanan,” jawabnya singkat dengan tegakkan kepala.

Si gemuk pendek mengangguk-angguk maklum. “Kami cukup tahu nona lihai dan dapat melakukan hal itu dengan mudah. Tapi terpaksa kami mohon nona tidak lanjutkan kehendak itu, dan soal bekal jangan nona khawatir.

Kita sesama kaum harus saling bantu dan tak usah sungkan-sungkan. Turunlah nona kami sediakan bekal yang nona butuhkan.”

Marahlah Giok Cu mendengar ini. Mereka ini anggap dia orang apakah?

“Eh, Tuan-tuan jangan salah sangka. Kalian anggap aku ini pengemiskah? Siapa yang minta bantuan uang darimu? Maaf aku tak dapat kawani lebih lama lagi.” Dan balikkan tubuh hendak pergi. Tapi si gemuk pendek loncat mendahuluinya dan menghadang di depannya. Giok Cu selain marah juga kaget melihat kegesitan orang.

“Maaf, lihiap. Dari keadaanmu, kami dapat menduka bahwa kau tentu Pek I Lihiap yang baru-baru ini sangat terkenal. Tapi siapapun kau adanya, kami tetap harus tunduk terhadap peraturan yang telah ditetapkan di kota ini.”

“Kau ngaco belo tentang peraturan-peraturan. Peraturan apakah itu dan siapa yang membuat peraturan itu?”

“Peraturan itu ialah siapa saja tidak boleh mengganggu penduduk kota ini. Segala ketidak beresan atau ketidak adilan di kota ini diurus oleh kami yang telah menerima tugas. Orang luar tidak diperbolehkan ikut campur. Sedangkan kawan-kawan dari luar yang kehabisan bekal di kota ini, asal mau terima dari kami, akan kami beri secukupnya. Tapi untuk mengganggu kota ini terpaksa kami harus mencegahnya!”

“Bagus!” Pek I Lihiap lolos pedangnya. “Dan siapa yang membuat peraturan gila semacam ini? Kaukah?””

Si gemuk pendek geleng-geleng kepala. “Mana aku yang rendah dapat menetapkan peraturan ini? Kami hanya petugas-petugas, yang membuat peraturan ialah Bu-eng-cu Koay-hiap.”

Giok Cu heran mendengar nama itu. Siapakah orang yang bergelar pendekar aneh tanpa bayangan ini? Mengapa dia begitu berpengaruh hingga berani menetapkan peraturan yang berlaku bagi orang-orang kang-ouw? “Tak perduli siapa, biar si tanpa bayangan maupun si seribu bayangan, tapi peraturan itu tak berlaku bagiku!” katanya marah. “Suruh si tanpa bayangan datang ke sini, biar aku bicara padanya tentang peraturan!”

“Jangan kau hina Koay-hiap.” Si gemuk pendek menegur. “Biarpun peraturannya tak berlaku bagimu, namun kami tetap mentaatinya.”

“Jadi kalau kuambil perak hartawan kejam dan pembesar jahat kalian akan menghalangi?” tanya Giok Cu sengit.

“Di kota kami ini tidak ada hartawan kejam dan pembesar jahat. Baik kau mencari korban di tempat lain saja, jangan sampai terdapat salah paham dengan kami.”

“Persetan dengan kamu orang! Aku tidak takut kepada kalian!”

“Pek I Lihiap, jangan kau andalkan namamu yang baru saja muncul dan jangan pula kau nodai nama baikmu yang baru mulai mengharum itu. Ketahuilah jika kau melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh Koay-hiap, maka di mana-mana kau akan menemui musuh karena banyak orang gagah akan marah padamu.”

Giok Cu ragu-ragu. “Siapa sih Bu-eng-cu Koay-hiap itu? Dan kalian ini siapa pula?”

“Karena kau orang baru maka kau belum mengenal Koay-hiap. Tapi di daerah ini kau akan selalu mendengar namanya disebut orang. Adapun akan hal kami bertiga, kami hanya orang-orang tak berarti. Di sini kami disebut orang Kiciu-sam-eng, tiga orang gagah dari Kiciu.”

Giok Cu mengingat-ingat. Pernah ia mendengar dari ayahnya dulu menyebut-nyebut nama ini. “Kenalkahkalian dengan Sian-kiam-bu-tek?” sengaja ia sebut gelar ayahnya untuk memancing.

Ketiga orang itu maju mendekat dan memandang penuh perhatian. “Sian-kiam-bu-tek? Mengapa kau sebut Ong enghiong?

“Karena Sian-kiam butek Ong Kang Ek adalah ayahku.”

“Maaf, maaf. Si gemuk menjura dengan hormat dan senyum ramah menggantikan kemarahan yang tadi telah membayang di wajahnya.” Kami tidak tahu bahwa Pek I Lihiap adalah puteri Ong Lo-enghiong. Bolehkah kami bertanya di mana tempat tinggal ayahmu sekarang? Kami adalah kawan-kawan baiknya.”

Ditanya demikian itu, sedihlah hati Giok Cu dan tiba-tiba ia menangis. Ketiga orang itu heran. “Ada apakah, lihiap?”

“Ayah...ayah telah meninggal dunia. Kalau dia masih hidup, masakan aku sampai terlantar dan hendak. mencuri uang orang?”

Kagetlah tiga orang itu mendengar hal ini. “Silahkan turun dan duduk di dalam, lihiap. Mari kita bercakap- cakap di dalam.”

Giok Cu tidak membantah lagi dan ia segera mengikuti mereka loncat ke dalam di mana terdapat meja bundar dengan banyak kursi. Tiga buah lilin menerangi kamar itu. Setelah duduk, barulah mereka tanyakan perihal kematian Ong Kang Ek.

Giok Cu tidak pernah ceritakan mereka perihal Thian In yang secara tidak langsung menjadi sebab kematian ayahnya. Ia hanya ceritakan bahwa ayahnya meninggal karena sakit jantung.

Dan sekarang lihiap hendak menuju kemanakah?

Giok Cu menghela napas. “Ah, kemana? Entah. Aku sendiripun tidak tahu kemana aku menuju. Jika aku duduk di atas kudaku, aku biarkan saja kuda itu lari sesukanya. Aku hanya ingim merantau dan berkenalan dengan orang-orang gagah.

“Kau bersemangat seperti ayahmu, nona. Kebetulan sekali jika kau ingin bertemu dengan orang gagah, ikutilah kami besok malam. Di bukit Bong san akan diadakan pertandingan adu silat antara kaum kami di kota ini dan rombongan piauwsu dari Kun Lim.

Giok Cu tertarik sekali hatinya dan minta keterangan lebih jauh. Si gemuk saudara tertua dari Kiciu san eng, secara ringkas menutur:

Di kota kiciu ini banyak terdapat ahli-ahli silat yang dulunya terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Mereka itu terdiri dari guru-guru silat, pengantar-pengantar barang atau piauwsu, kepala-kepala perkumpulan dan cabang-cabang atas. Karena mereka keturunan berbagai-bagai cabang, maka seringkali terjadi keributan di antara mereka. Kami sendiri bertiga saudara yang menjadi guru silat, sering pula ribut dengan lain golongan. Karena pertentangan ini, tidak jarang terjadi kurban jiwa dan banjir darah, hingga kota menjadi tidak aman. Pada suatu hari kurang lebih setahun yang lalu datanglah dua orang di kota ini. Mereka itu bukan lain orang tua yang sangat terkenal namanya yakni Hong-san Lo-in dan muridnya. Kedatangan orang tua yang gagah perkasa itu mendatangkan perubahan besar. Pada waktu itu mendatangkan perubahan besar. Pada waktu itu orang gagah dari berbagai golongan mengadakan pertemuan di luar kota untuk bertempur mati-matian. Di luar kota terdapat bukit Bong-san, dan di situlah kami berkumpul. Pada saat pertempuran dimulai, datanglah Hong-san Lojin yang memisah. Ia larang kami berkelahi dan kataku siapa yang tidak turut berarti menjadi lawannya. Tadinya kami andalkan banyak orang mengeroyoknya, tapi satu demi satu kami dijatuhkan! Muridnya yang bukan lain ialah Bu-eng-cu Koayhiap hanya berdiri memangku tangan sambil tertawa haha hihi, sama sekali tak ikut turun tangan dan biarkan gurunya menghajar kami seorang diri. Akhirnya kami menyerah kalah dan berjanji akan menurut nasehatnya, yaitu kami takkan mengacau kota lagi dan takkan mengadakan permusuhan-permusuhan. Ia mengancam kami jika ada yang membikin rusuh di kota Kiciu-kwan tentu ia akan datang menghukumnya. Tapi memang benar kata orang-orang tua bahwa lebih mudah menggembala seratus ekor kerbau daripada mengatur sepuluh orang manusia. Setelah Hong-san Lojin dan muridnya pergi, para jago silat di Kiciu- kwann mulai lagi dengan permusuhan-permusuhan dan perkelahian-perkelahian mereka.

“Sebulan kemudian setelah Hong-san Lojin pergi permusuhan makin menghebat hingga kampung- kampung pun ikut berpihak dan perkelahian perseorangan menjadi permusuhan kampung lawan kampung!! Tiba-tiba datanglah Bu-engcu Koay-hiap, murid dari Hong-san Lojin. Karena dulu anak muda itu tidak membantu gurunya maka kami tidak tahu sampai di mana kelihaiannya. Tapi setelah ia bergerak, celakalah kami semua! Semua orang yang melanggarpesan Hong-san Lojin dan yang memulai adakan permusuhan-permusuhan mendapat hajaran keras bahkan sampai beberapa orang dihancurkan tulang lengannya hingga tak dapat berkelahi lagi! Tak seorangpun dapat melawannya. Kalau gurunya lihai, muridnya ini agaknya lebih hebat lagi. Gurunya dulu masih murah hati, tapi Bu-engcu Koay-hiap bertindak tegas dan keras. Ia lalu adakan peraturan-peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Kemudian ia pilih ketua untuk mengatur. Oleh Koay-hiap kami bertiga dianggap yang paling kuat dan boleh dipercaya, maka kepada kamilah, tugas itu diberikan.

“Biarpun peraturan-peraturannya keras, namun Koay-hiap berhati baik sekali. Ia gunakan pengaruhnya untuk membujuk para hartawan di kota ini untuk menyediakan belanja guna kami sekalian. Para hartawan juga dengan rela suka memberi sumbangan karena semenjak saat itu harta benda mereka aman tak pernah terganggu. “Sampai di sini ketiga saudara itu menawari minum kepada tamunya.

Giok Cu mendengarkan dengan kagum. Ia teringat ketika dulu Thian In mengamuk, sebutir batu kecil menotok pemuda gagah itu dan membuatnya tak berdaya. Ayahnya lalu menyebut-nyebut nama Hong-san Lojin. Baru sambitan batu kecil saja sudah dapat merobohkan seorang yang demikian gagah seperti Thian In, maka kini ia mendengar penuturan Kiciu Sam-eng ia tak merasa heran lagi.

“Dan tentang pertandingan besok malam, bagaimanakah itu?” tanyanya.

Si gemuk menghela napas. “Memang musim bunga tak dapat berlangsung selamanya. Pasti datang lain musim yang menggantinya. Keadaan kami yang aman tentram inipun rupanya harus ada penggoda dan perubahannya. Dulu Bo-eng-cu Koay-hiap pesan bahwa jika ada sesuatu ketidaksesuaian paham orang- orang yang bersangkutan hanya memperbolehkan mengadakan perundingan atau pertandingan di atas bukit Bong-san. Pertandingan ini sifatnya hanya mengadu kepandaian saja, tidak boleh saling bunuh. Siapa yang menang berhak majukan dua buah usul dalam persoalan itu, yang kalah hanya berhak pertahankan sebuah usul saja. Nah, sebulan yang lalu datanglah rombongan piauwsu dari Kun-lim mengantar barang melalui kota ini. Menurut peraturan rombongan itu harus memberi uang sumbangan lima ratus tail. Mereka penasaran sekali, walaupun uang sumbangan diberikan, tapi mereka minta bertemu besok malam di bukit Bong-san, karena katanya mereka tidak setuju dengan peraturan ini. Nah, kami bertiga sebagai ketua harus mewakili semua golongan datang ke sana mengadu kepandaian, dengan beberapa orang yang cukup gagah dari kota ini. Kebetulan lihiap berada di sini, jika hendak menambah pengalaman, kami persilahkan ikut ke sana.”

Giok Cu tertarik sekali. “Sebetulnya urusan ini tiada sangkut pautnya dengan aku. Tapi karena akan ada adu silat maka hal itu tentu menarik sekali. Baik, besok malam aku datang ke sini untuk bersama cuwi pergi ke Bong-san. Tapi harap sam-wi suka beritahukan nama kepadaku. Namaku Ong Giok Cu.”

Si gemuk pendek tertawa girang. “Kau polos dan jujur lihiap, seperti ayahmu pula. Kami bertiga she Liok, aku yang tertua bernama An, ini yang kedua bernama Wan, dan yang ketiga Kay. Kami bertiga tidak berkeluarga dan hidup sebagai pengajar silat pasaran.”

Kalau Liok An bertubuh gemuk pendek, adalah Liok Wan bertubuh tinggi besar dan Liok Kay sebaliknya tinggi kurus. Mereka bertiga terkenal sebagai orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi dan berwatak jantan.

Kemudian Giok Cu berpamit dan kembali ke hotelnya. Ia masuk ke kamarnya dengan jalan tadi, yaitu dari jendela kamarnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika ia keluar dari pintu, pengurus rumah penginapan yang sudah penuh uban di kepalanya, menghampirinya dengan senyum ramah dan sikap menghormat.

“Siocia, maaf kalau kami berlaku kurang hormat kepadamu, karena kami tidak tahu bahwa siocia adalah tamu terhormaat dari Liok Sam enghiong.”

Semenjak saat itu Giok Cu mendapat pelayanan istimewa, juga kudanya mendapat rawatan baik sekali hingga gadis itu merasa berterima kasih kepada Liok An bertiga berbareng kagumi pengaruh ketiga saudara itu.

Sore harinya ia pergi ke rumah ketiga saudara Liok dengan naik kuda. Mereka ternyata sudah siap untuk berangkat dan semuanya berkuda. Selain saudara Liok, ada pula empat orang-orang muda yang bertubuh kuat dan hebat gerak-geriknya hingga mudah saja diduga bahwa mereka itupun bukanlah orang-orang yang lemah. Ketujuh orang itu kesemuanya membawa senjata lengkap. Dari kantung piauw yang tergantung di pinggang Liok Kay, tahulah Giok Cu bahwa yang melepas piauw kepadanya semalam adalah si tinggi kurus itu. Ketika melihat bahwa gadis itu memandang kantung piauwnya Liok Kay tersenyum malu dan Giok Cu tersenyum juga sambil berkata:

“Kepandaianmu melempar piauw sungguh hebat, saudara Liok Kay,” kata-kata pujian ini membuat wajah Liok Kay menjadi merah.

“Aah, kau membikin aku malu Lihiap,” jawabnya merendah. Keempat kawan mereka melihat seorang gadis muda yang cantik jelita, mereka menjadi heran dan khawatir. Biarpun mereka telah mendengar dari ketiga saudara Liok, bahwa wanita itu bukan lain ialah Pek I Lihiap yang lihai, namun mereka masih belum percaya penuh, lebih-lebih ketika melihat bahwa Pek I Lihiap hanya seorang gadis demikian muda dan halus gerak-geriknya. Namun mereka tidak berani berkata apa-apa, hanya diam-diam khawatir kalau-kalau turutnya gadis ini akan membuat mereka merasa gembira akan pergi dengan seorang gadis demikian jelita!

Kebetulan malam itu terang bulan hingga perjalanan ke Bong-san yang tak berapa jauh itu mereka tempuh dengan mudah. Bahkan pemandangan sepanjang jalan sangat indah menarik. Cahaya bulan yang menimpa hutan-hutan dan jurang-jurang mendatangkan cahaya kuning kehijau-hijauan dengan dasar hitam. Jalan yang mereka lalui adalah jalan lebar yang berputar-putar mengelilingi bukit itu. Ketika mereka sampai di dekat puncak yang tak berapa tinggi, tampaklah sinar api di atas puncak.

“Itulah Kwan-in-bio ke mana kita menuju. Liok An menunjuk dengan jarinya untuk memberitahu Giok Cu. Setelah berkata demikian mereka percepat larinya kuda hingga tak lama lagi sampailah mereka di depan bio atau kelenteng itu.

Di depan kelenteng telah menanti belasan orang, dan kuda-kuda mereka ditambatkan pada pohon-pohon cemara di sebelah kiri bio. Belasan orang itu rata-rata bertubuh gagah dan pakaian mereka menyatakan bahwa mereka terdiri dari para piauwsu, yakti penjaga atau pengawal kiriman barang-barang berharga, jadi semacam usaha ekspedisi. Di pinggang mereka tergantung pedang atau golok. Tiga buah lampu teng dan lima buah obor menerangi tempat itu. Giok Cu mengerling tajam dengan penuh perhatian. Rombongan piawsu itu dikepalai oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi dengan muka kuning yang pada saat itu memandang dengan sikap garang dan gagah.

“Itulah dia Oey-bin-hauw Thio Kiat si Harimau muka kuning.” Liok An berbisik kepada Giok Cu yang berada di sampingnya. Ia adalah ketua rombongan itu.

Si Harimau muka kuning maju tiga langkah dan menjura kepada Liok An yang sudah turun dari kudanya. “Nyata sekali. Kiciu Sam-eng pegang janji, kami rombongan piauwsu dari Kunlim merasa girang sekali.

Liok An si gemuk pendek mewakili rombongannya membalas hormat dan berkta dengan senyum dingin: “Thio Piauwsu dan rombongan sudah lama menanti? Baik sekali! Thio Piawsu membawa rombongan yang jauh lebih besar daripada rombongan kami sudah tahukah peraturan pibu (adu silat) di bukit ini?”

Oey-bin hauw Thio Kiat tertawa mengejek. Tak perlu takut, tak usah cemas, kami bukanlah golongan pengecut yang mengandalkan banyak orang untuk menghina orang lain. Kalau kami tidak salah dengar, peraturan pibu di sini ialah mengajukan Jago dengan jumlah yang sama untuk dicoba kepandainnya menurut tingkat masing-masing. Kulihat cuwi datang dengan delapan orang. Baiklah kamipun akan majukan delapan orang saja untuk mengukur tenaga dan kepandaian cuwi.”

“Jangan salah lihat, Thio Piauwsy,” kata Liok An sambil mengerling ke arah Giok Cu. “Li-enghiong yang berada di sini bukanlah termasuk anggota rombongan kami, tapi hanya sebagai tamu terhormat kami yang sengaja datang untuk menonton atau boleh juga dianggap sebagai saksi!” Liok An orangnya memang cerdik, ia maklum bahwa nona itu tentu lihai, maka ia sengaja beri kedudukan saksi kepada Giok Cu agar kalau dipihak lawan ada yang berlaku curang, Pek I Lihiap akan tersinggung dan turun tangan.

Thio Kiat perlihatkan sikap tak senang dan memandang ke arah Giok Cu dengan menghina. “Tak percayakah cuwi kepada kami hingga mesti membawa saksi segala? Tapi biarlah kami tak menaruh keberatan. Nah, marilah kita mulai saja. Harap majukan jago nomor tujuh!”

Setelah berunding dengan kedua saudaranya, Liok An lalu majukan seorang pemuda yang bertubuh kuat. Dari pihak lawan maju seorang piauwsu berusia kira-kira lima puluh tahun.

Semua orang mengelilingi tempat pibu yang diterangi sinar lampu dan obor itu. Keadaan tegang, semua orang diam tak bersuara bagaikan orang-orang yang menonton dua ekor ayam jago berkelahi. Menurut peraturan yang diadakan oleh Bu-eng-cu yang mereka segani, pibu ini tidak boleh gunakan senjata tajam jadi kedua jago itu maju dengan tangan kosong. Senjata-senjata yang mereka bawa itu hanya untuk menambah keangkeran dan untuk menjaga kalau-kalau pihak lawan berlaku curang.

Jika dilihat sepintas lalu, yang sedang berkelahi bukanlah lawan yang seimbang karena yang seorang pemuda kuat dan yang lain hanya seorang kakek kurus. Tapi setelah mereka mulai bergerak saling serang, mudahlah dilihat bahwa pemuda itu jauh kalah lihai. Gerakan kakek itu gesit dan ilmu silatnya tinggi. Si pemuda hanya mengandalkan tubuh yang kuat dan ketabahan besar. Beberapa kali tubuhnya yang kebal itu dapat menahan pukulan kakek itu, tapi ketika pada jurus ketiga puluh kakek itu menyerang dengan tipu Hek-hauw-to-sim atau Macan-hitam-sambar-hati, pemuda itu tak sempat berkelit dan sodokan keras dari si kakek mampir di lambungnya hingga ia terpelanting roboh dan muntahkan darah! Pertandingan jago ketujuh ini dimenangkan oleh pihak piauwsu. Kawanan piauwsu menyambut kemenangan kawan mereka dengan tepik sorak gembira, sedangkan pihak jago-jago Kiciu dengan wajah muram menggotong jagoan mereka yang pingsan.

Kawan-kawan Liok An tebus kekalahan mereka dengan beruntun dua kali mengadakan pertandingan keenam dan kelima, tapi pertandingan keempat dimenangkan oleh pihak piauwsu. Dengan demikian keadaan masih dua lawan dua atau seri.

Jago ketiga dari pihak Kiciu keluarkan Liok Kay si tinggi kurus, yakni Kiciu-sam-eng yang ketiga, Giok Cu pernah merasai kelihaian sambitan piauw Liok Kay dan tahu bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang lumayan juga. Gadis ini dengan penuh perhatian melihat ke arah rombongan piauwsu karena ingin sekali tahu bagaimana macam lawan Liok Kay. Diam-diam gadis ini di dalam hati mulai berpihak kepada orang- orang Kiciu ini karena menurut pandangannya mereka lebih sopan dan beraturan, beda dengan rombongan piauwsu dari Kunlim yang tampak sombong dan bahkan ketuanya memandang rendah dirinya.

Dari pihak piauwsu loncat keluar seorang kurus kering yang bermuka hitam. Melihat gerakan dan jari-jari orang yang bagaikan kuku garuda itu, terkejut dan cemaslah hati Giok Cu. Buru-buru ia dekati Liok Kay yang belum loncat ke lapangan dan berbisik.

“Awas, dia agaknya ahli Hek-ko-chiu! Liok Kay memandang ke arah tangan lawannya dan ia mengangguk maklum. Ia cukup tahu akan kelihaian hek-ko-chiu, yaitu ilmu keraskan tangan yang menjadi sekeras baja dan pukulan atau totokan jari-jari tangan demikian itu dapat mematahkan tulang, memutuskan urat!

Benar saja setelah mereka mulai bergerak, si muka hitam lalu maju menyerang dengan hebat sambil gunakan ilmu hurkin-cob-kut yakni semacam ilmu pukulan yang lihai sekali. Liok Kay memperlihatkan kelihaiannya, ia tidak mau kalah dan setelah berkelit lalu balas menyerang. Diam-diam Giok Cu kagum karena ia tak sangka bahwa Liok Kay pandai ilmu pukulan Houw jiauw kang atau pukulan kuku harimau. Ini memang merupakan ilmu yang tepat untuk melawan bek-ko-chiu karena kalau bek-ko-chiu mematahkan tulang memutuskan urat, adalah hiauw jiauw kang tak kurang hebatnya. Jari-jari yang dipakai menyerang kalau sampai dapat menangkap kulit lawan, pasti kulit berikut dagingnya akan tersobek dan hancur!

Demikianlah kedua orang itu bertempur sampai hampir seratus jurus tanpa ada yang kelihatan kalah. Pada suatu saat, ketika dengan nekad dan mati-matian, si muka hitam ulurkan kedua tangan hendak menghantam patah tulang pundak Liok Kay si kurus tinggi ini merasa terkejut sekali karena serangan itu dilancarkan ketika keadaannya sedang terbuka dan kakinya baru saja turun dari loncatan hingga tak mungkin agaknya baginya untuk berkelit. Apa boleh buat pikirnya. Ia lalu gerakkan kedua tangannya ke arah perut lawan dengan jari-jari mencengkeram!

Dua-duanya melancarkan serangan hebat, tapi kalau Liok Kay hanya terancam patah tulang pundak, adalah lawannya terancam bahaya maut! Si muka hitam agaknya memaklumi hal ini maka tentu saja ia tidak sudi menukar pukulan yang merugikannya itu. Ia tarik kedua tangannya dan sambil tarik tubuhnya ke belakang ia merendah. Gerakannya ini betul saja dapat hindarkan kulit perutnya dari tersobek dan terbuka, tapi tak urung bajunya tertangkap oleh jari-jari Liok Kay dan sambil memperdengarkan suara keras baju itu robek dan hancur berpotong-potong dalam tangan Liok Kay. Dengan muka merah karena malu, si muka hitam loncat mundur sambil menjura tanda kalah.

Kawan-kawan Liok Kay, biarpun yang telah mendapat luka, bersorak girang bahkan Giok Cu tanpa disengajapun ikut bersorak pula! Thio Kiat ketua piauwsu yang sudah merasa panas hati melihat kawannya kalah, makin panas melihat Giok Cu ikut bersora, maka sambil tersenyum ia menyindir dan berkata kepada Liok An: “Hm, hm, saksi kita agaknya berat sebelah. Agaknya lebih baik kalau dia ikut maju.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar