Pendekar Tongkat Dari Liong-san Jilid 3

Jilid 3

“Tapi harus diingat bahwa mereka itu mempunyai anak buah yang banyak pula,” seorang piauwsu berkata.

Kong Lee menjadi gemas dan berkata, “Kalau tuan berlima tidak berani, tunjukkanlah saja tempatnya dan siauw-te akan pergi sendiri. Kalau siauw-te berhasil mendapatkan kembali lima ratus tail emas itu, akan kuserahkan kepada kalian!”

“Kongcu, siapa sebenarnya engkau maka bicaramu begini besar?” pemimpin piauwsu itu bertanya.

“Siauw-te she Lim bernama Kong Lee.”

“Dan kepandaian apakah yang kauandalkan untuk menghadapi Pauw Kian?” Kong Lee tersenyum dan mengeluarkan tongkat bambunya.

“Inilah yang kuandalkan. Marilah kita berangkat kalau kalian memang berani.” Kelima orang piauwsu itu heran sekali melihat bahwa senjata anak muda itu hanya sebatang tongkat bambu! Akan tetapi melihat sikap anak muda itu begitu tenang dan berani, timbul pula semangat dan keberanian mereka lalu mengantar Kong Lee menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan hutan dan tidak jauh dari hutan itu letaknya.

Memang benar penuturan kelima piauwsu tadi. Dua hari yang lalu, ketika pembantu- pembantu mereka mengantarkan barang-barang berharga menuju ke Tit-le dan lewat di hutan itu, tiba-tiba dari belakang pohon melompat keluar seorang nona berbaju hijau yang memegang sebatang pedang. Nona ini adalah Coa Kim Nio yang lalu membentak para piauwsu itu supaya berhenti.

Pembantu-pembantu dari piauw-kiok (Perusahaan Pengantar Barang) Naga Kuning itu merasa heran melihat pencegat mereka, tapi mereka berhati tabah karena Oei-liong Piauw-kiok sudah terkenal dan jarang sekali ada perampok berani mengganggu karena segan berhadapan dengan para pimpinan piauw-kiok itu, yakni lima saudara seperguruan yang dijuluki Ngo-oei-liong atau Lima Naga Kuning. Akan tetapi, melihat sikap dan pakaian nona itu, mereka menduga bahwa nona itu tentulah Kim- gan-eng yang terkenal dan yang memang biasa melakukan perampokan seorang diri saja!

Pemimpin rombongan piauwsu itu menjura dan menegur, “Kalau kami tidak salah duga, Li-hiap ini tentulah Kim-gan-eng yang terkenal!”

Coa Kim Nio tertawa-tawa.

“Matamu awas juga sahabat. Sekarang setelah kau tahu berhadapan dengan Kim-gan- eng, jangan banyak cerewet lagi dan serahkan kantong yang berisi lima ratus tail emas itu kepadaku sebagai tanda penghormatan!”

Tentu saja para piauwsu itu tidak sudi mengalah karena walaupun nama Kim-gan-eng Coa Kim Nio sudah sangat termahsyur, namun pertanggungan jawab mereka berat sekali kalau harus menyerahkan harta yang mereka kawal itu. Maka terjadilah pertempuran hebat dan dengan mudah saja Coa Kim Ni menghajar semua piauwsu itu hingga mereka tak berdaya dan luka-luka.

Dengan enak saja Coa Kim Nio lalu mengambil sekantong emas itu sambil berkata, “Katakan kepada Ngo-oei-liong bahwa yang mengambil emas ini adalah Kim-gan- eng, dan jika mereka merasa marah, boleh mereka datang di tempat ini. Aku menanti kedatangan mereka di sini selama dua hari. Kalau dalam dua hari mereka tidak muncul, maka emas ini menjadi milikku yang sah!” lalu pergilah wanita itu.

Demikianlah, maka dua hari kemudian, kelima piauwsu itu datang di tempat itu dan bertempur melawan Kim-gan-eng Coa Kim Nio dan hampir saja mereka dapat merobohkan wanita itu kalau tidak keburu datang Kong Lee yang menggagalkan kemenangan mereka. Akan tetapi, karena ia memang jujur, pemuda itu merasa menyesal sekali atas gangguan yang tidak disengaja dan ia sanggup untuk merampas kembali emas itu deri tangan Kim-gan-eng, hingga bersama-sama kelima naga kuning itu ia pergi ke sarang Kim-gan-eng dan suhengnya yakni Hek-ciu-mo Si Iblis Tangan Hitam.

Kedatangan Kong Lee dan kelima piauwsu itu agaknya telah diketahui oleh Pauw Kian dan sumoinya, karena ketika mereka tiba di luar hutan yang menjadi sarang kawanan perampok itu, mereka telah disambut oleh segerombolan perampok yang dikepalai oleh seorang yang bertubuh pendek gemuk. Pemimpin perampok ini dengan sikap hormat lalu mempersilakan mereka masuk ke dalam hutan di mana Pauw Kian dan Coa Kim Nio telah menanti. Coa Kim Nio mengenakan pakaian serba hijau yang baru dan indah sedangkan dirambutnya terhias bunga warna merah sehingga ia sama sekali tidak pantas disebut seorang perampok yang ganas.

Kong Lee melihat laki-laki yang berdiri di dekat Coa Kim Nio. Ternyata Pauw Kian adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya tampan dan cambang bauknya terpelihara baik. Tapi yang paling menyeramkan adalah telapak tangannya, karena tangan itu dari pergelangan ke bawah berwarna hitam!

Diam-diam Kong Lee terkejut karena ia teringat akan penuturan suhunya bahwa memang ada orang di rimba hijau (perampok) dan sungai telaga (kaum bajak) yang memiliki kepandaian-kepandaian tinggi dan melatih tangan mereka sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Di antara ilmu-ilmu yang aneh itu terdapat ilmu-ilmu untuk membuat kedua tangan menjadi ampuh, kuat, dan bahkan mengandung bisa yang berbahaya! Latihan-latihan menguatkan tangan ini ada yang disebut Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), Pek-see-ciang (Tangan Pasir Putih), dan lain-lain. Kalau melihat tangan Pauw Kian yang kehitam-hitaman dan mengeluarkan cahaya terang ini, Kong Lee dapat menduga bahwa kepala rampok ini tentu telah melatih tangannya dengan ilmu Tiat-see-ciang (Tangan Pasir Besi) yang sungguhpun tidak mengandung bisa, namun kekuatan dan kehebatannya luar biasa karena kedua tangan itu dengan tenaga penuh merupakan senjata yang berbahaya dan bahkan sanggup digunakan untuk melawan senjata tajam tanpa terluka!

Pauw Kian telah mendengar dari sumoinya bahwa kelima Naga Kuning telah mengeroyoknya dan hampir ia mendapat celaka, tapi untung keburu tertolong oleh seorang pemuda sasterawan.

Kini melihat betapa pemuda itu datang bersama-sama dengan para piauwsu, tentu saja Pauw Kian dan Coa Kim Nio menjadi heran sekali.

“Ha, ha, ha! Ngo-oei-liong sungguh tabah sekali, berani memasuki tempatku. Apakah barangkali karena sudah dapat mendesak sumoiku, lalu kalian menganggap bahwa kalian boleh saja memperlihatkan kepandaian di sini?” Pauw Kian menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata menyindir.

Ngo-oei-liong memang sudah maklum akan kehebatan kepandaian kepala rampok itu, maka mereka lalu menjura dan yang tertua berkata merendah, “Pauw-tai-ong, harap dimaafkan kami berlima yang lancang dan tidak tahu diri. Kedatangan kami ini sebetulnya hendak mohon kemurahan hati tai-ong untuk mengembalikan emas yang menjadi tanggung jawab kami, karena kalau tidak, nama piauwsu kami akan rusak dan tak seorangpun mau mengirimkan barang melalui kami lagi.”

“Ha, ha, enak saja kau bicara! Kalian tadi sudah berani berlaku begitu kurang ajar menyerang sumoiku dan hampir saja melukainya. Kalau aku tidak menghajar kalian untuk kekurangajaran kalian itupun sudah boleh dibilang aku berlaku murah.

Sekarang biarlah emas itu untuk menebus kekurangajaranmu tadi!”

Tentu saja kelima piauwsu itu merasa marah dan tidak senang mendengar ucapan ini, akan tetapi mereka masih merasa takut-takut terhadap Pauw Kian hingga mereka kini hanya memandang ke arah Kong Lee untuk minta bantuan.

Ternyata pada saat itu Kong Lee tengah memandang kepada Coa Kim Nio dengan mata kagum, karena dalam pandangan matanya, tak pantas nona itu menjadi seorang perampok. Juga ia merasa heran sekali mengapa nona itu tidak kelihatan menjadi tua dan tetap seperti gadis yang dulu merobohkan Gan-piauwsu ketika ia berusia lima belas tahun atau lima tahun yang lalu. Masih tetap muda, cantik dan jelita.

Kini melihat semua mata kelima piauwsu itu ditujukan ke arahnya, Kong Lee lalu menjura kepada Pauw Kian dan berkata dengan suara halus, “Lo-enghiong, aku sebagai orang luar seharusnya tidak boleh mencampuri urusan ini, akan tetapi karena kebetulan sekali aku terlibat, apa boleh buat aku berlaku lancang. Memang sebetulnya, di dalam pertempuran antara kelima piauwsu ini dengan adikmu, adalah kehendak adikmu sendiri yang menantang kepada mereka. Dan di dalam pertempuran itu, adikmu yang kalah, maka sudah sepantasnya kalau ia mengembalikan barang yang dirampasnya. Aku, tanpa kusengaja telah memisah dan karenanya membikin rugi kepada piauwsu-piauwsu ini, maka untuk menebus kesalahanku ini, kuharap dengan sangat supaya kau dan adikmu berlaku bijaksana dan adil serta menginsyafi akan kekalahan adikmu dan mengembalikan emas itu kepada yang berhak.”

Tiba-tiba kedua mata Pauw Kian berputar-putar dan alis mata bangun berdiri. Untuk sebutan ‘lo-enghiong’ saja ia sudah marah sekali, karena sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun, namun ia belum kawin dan karenanya tidak suka disebut orang tua. Apalagi mendengar kata-kata Kong Lee yang biarpun halus tapi bersifat menasihatinya itu, ia menjadi marah bukan main.

“Eh, eh, anak muda kurang ajar. Siapa kau maka berani-berani ikut datang membela para piauwsu ini?”

Kong Lee tersenyum tenang.

“Aku Lim Kong Lee dan orang biasa saja yang mengharap kejujuran dan keadilanmu terhadap sesama manusia.”

Pauw Kian membanting-banting kakinya karena gemas. “Kau tadi bilang bahwa adikku kalah oleh kelima piauwsu ini? Baik, sekarang emas itu telah berada di tanganku dan jika kelima piauwsu ini dapat mengalahkan aku, baru aku mau menyerahkan emas itu. Atau barangkali kau sendiri hendak maju? Boleh!” dengan sikap sombong sekali Pauw Kian Si Iblis Tangan Hitam menantang.

Kelima piauwsu tak berani menjawab karena mereka tidak ada harapan untuk dapat mengalahkan Pauw Kian.

Dengan sikap masih tenang dan bibir tersenyum, Kong Lee maju dan berkata, “Biarlah aku yang maju mencoba-coba, karena aku harus menebus kesalahanku terhadap kelima piauwsu ini.”

“Baik, majulah!”

Pauw Kian tertawa menghina lalu membuka jubah luarnya hingga nampak tubuhnya yang tegap dan besar hanya terbungkus oleh pakaian yang ringkas dan tipis. Kini kedua lengannya nampak dan ternyata bahwa lengan itu dari pergelangan tangan ke atas, berkulit putih bersih sehingga kedua tangan yang hitam itu kelihatan mengerikan sekali.

Kong Lee menarik keluar tongkat bambunya dan mengencangkan ikat pinggangnya dengan gerakan perlahan dan lemah lembut hingga melihat sikap ini, kelima piauwsu itu berdebar-debar kuatir. Mereka sungguh ragu-ragu untuk percaya bahwa pemuda yang halus ini akan berani melawan Pauw Kian Si Iblis Tangan Hitam!

Sementara itu Coa Kim Nio yang semenjak tadi memandang kepada Kong Lee dengan penuh ekakguman akan kecakapan dan kehalusan perangai pemuda itu, melangkah maju dan berkata kepada Pauw Kian.

“Suheng, biarkan aku sendiri yang menghadapi siucai (pemuda pelajar) ini. Tadi aku dikalahkan oleh para piauwsu curang itu dengan keroyokan, kalau satu sama satu, belum tentu aku kalah.”

Pauw Kian maklum di dalam hatinya bahwa sumoinya ini tertarik akan kebagusan pemuda ini dan selain tahu akan keberanian sumoinya yang memiliki kepandaian cukup tinggi, juga Si Iblis Tangan Hitam ini menduga bahwa pemuda sasterawan itu tentu berkepandaian tinggi pula. Maka apa salahnya kalau sumoinya mencoba-coba dulu agar ia dapat mengukur sampai di mana kehebatang Kong Lee!

Maka ia mengangguk dan berkata sambil tertawa.

“Majulah, sumoi, tapi jangan kauhabiskan sendiri! Biarlah kau main-main dengan dia sebentar dan nanti biar aku sendiri yang menyelesaikannya!” sungguh ia sangat tekebur dan memandang rendah, hingga Kong Lee menjadi mendongkol dan mengambil keputusan untuk memperlihatkan kehebatannya!

“Kongcu, majulah!” dengan suara yang merdu dan kerlingan mata tajam, Coa Kim Nio mencabut pedangnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

“Baik, dan kau hati-hatilah!” kata Kong Lee.

Kemudian ia mengirim serangan pertama dengan tongkat bambunya ke arah pundak nona itu. Melihat datangnya serangan yang dilakukan dengan sembarangan dan perlahan ini, tidak saja para piauwsu yang tadinya menaruh harapan besar kepada Kong Lee menjadi mendongkol dan kecewa, tapi juga Pauw Kian tidak dapat menahan hatinya untuk tidak tertawa. Sementara itu, Coa Kim Nio juga memandang ringan lawannya. Sambil tersenyum dan mengeluarkan suara tertawa yang ditahan, ia mengelak lalu balas menyerang dengan sebuah tikaman ke arah dada Kong Lee.

Sungguh mengherankan sekali, pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa dirinya diserang dan sama sekali tidak mengelak!

Coa Kim Nio semenjak tadi telah tertarik sekali hatinya kepada pemuda yang ganteng ini, maka hatinya tidak tega untuk melukainya. Melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, nona ini segera memiringkan pedangnya agar tidak sampai melukai Kong Lee.

Kong Lee tersenyum dan di dalam hati ia berterima kasih kepada nona ini. Agaknya Coa Kim Nio ini tidak mau melukainya.

Maka ia lalu berkata, “Nona, seranglah yang betul, kalau tidak, dalam tiga jurus saja pedangmu akan terampas olehku!”

Terdengar suara tertawa keras dari Pauw Kian karena Si Iblis Tangan Hitam ini merasa geli sekali mendengar ucapan Kong Lee.

“He, Ngo-oei-liong, mengapa kalian membawa seorang anak yang masih keluar ingusnya ke sini? Suruhlah ia pulang kepada ibunya untuk minum air susu lebih dulu!”

Hinaan ini tak dipedulikan oleh Kong Lee dan pada saat Coa Kim Nio menyerang lagi, seperti tadi ia tidak mengelak, akan tetapi begitu ujung pedang telah mendekati kulit dadanya, tiba-tiba tongkat bambunya berputar sedemikian rupa dan “traang!!” pedang di tangan Coa Kim Nio terlepas dan terlempar ke atas! Dengan sabar dan tenang Kong Lee menggerakkan tongkatnya yang dapat “menangkap” gagang pedang itu dan diputar-putarnya sehingga gagang pedang itu seakan-akan menempel pada ujung tongkat sambil terputar bagaikan sebuah kitiran! “Mari, terimalah kembali pedangmu, nona!” katanya sambil menyodorkan pedang itu kepada Coa Kim Nio yang berdiri melongo dengan muka merah.

Sementara itu, Pauw Kian juga memandang dengan heran, karena sesungguhnya ia tidak tahu bagaiman pedang sumoinya dapat terlepas dan terampas, sedangkan gerakan-gerakan pemuda itu sungguh aneh, kelihatannya begitu lemah dan perlahan! Apakah sumoinya yang main gila dan sengaja mengalah?

Akan tetapi, tidak demikian dengan Ngo-oei-liong. Kelima orang piauwsu ini bertepuk tangan memuji dengan wajah berseri-seri. Kini mereka merasa girang sekali dan timbullah kembali kepercayaan mereka kepada Kong Lee, sungguhpun mereka sendiri juga tidak mengerti bagaimana Kim-gan-eng yang lihat itu dapat dikalahkan dalam dua jurus saja!

“Lim-kongcu, kau sungguh hebat sekali! Aku menerima kalah,” berkata Coa Kim Nio dengan sinar mata kagum sekali dan bibirnya yang makin tersenyum, ia lalu mundur sambil mengerlingkan matanya ke arah Kong Lee.

Pauw Kian menjadi marah sekali hingga wajahnya menjadi merah padam.

“Anak kecil yang sombong! Coba kaulayani aku hendak kulihat kepandaian siluman macam apakah yang kaumiliki!” bentaknya.

Sambil membentak demikian, Pauw Kian lalu mengeluarkan senjatanya yang hebat, yakni sebuah pian baja lemas yang merupakan cambuk pendek penuh duri-duri tajam. Senjata ini adalah sebuah senjata yang berbahaya dan ganas, karena tiap duri yang memenuhi senjata cambuk pendek itu dari gagang sampai ke ujungnya merupakan kaitan-kaitan kecil hingga kalau duri-duri itu sampai menancap di kulit, maka daging tubuh akan tertembus dan urat-urat tertarik keluar!

Juga, di dalam tangan Pauw Kian yang hebat, senjata itu dapat menjadi kaku semacam tongkat yang dipakai menotok jalan darah dan dapat menjadi lemas seperti cambuk.

Akan tetapi Kong Lee dengan sangat tenang hanya tersenyum memandang, lalu berkata perlahan, “Kaulah yang sombong, bukan aku. Marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

Pauw Kian menerkam maju sambil menggerakkan cambuk berdurinya menyabet ke arah leher Kong Lee, tapi pemuda itu mengangkat tongkat bambunya ke atas dan menangkis. Ia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga lawan dan mendapat kenyataan bahwa tenaga Iblis Tangan Hitam ini jauh lebih tinggi daripada tenaga Coa Kim Nio, akan tetapi tak cukup besar untuk membuat ia kuatir.

Sebaliknya, ketika cambuknya dapat tertangkis hingga terpental kembali, Pauw Kian merasa heran sekali dan berlaku hati-hati, karena ketika menyerang tadi ia telah menggunakan tiga perempat bagian dari seluruh tenaganya. Akan tetapi dapat tertangkis demikian mudah oleh tongkat bambu itu sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki tenaga lwee-kang yang tinggi. Ia lalu menyerahkan seluruh tenaganya dan memutar-mutar cambuknya sedemikian rupa sehingga merupakan serangan-serangan bergelombang yang bertubi-tubi menyerang bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawan!

Para piauwsu yang mengetahui betapa hebat serangan-serangan Si Iblis Tangan Hitam ini, menahan napas dengan cemas. Merka maklum bahwa jika jago mereka sampai kalah dan dirobohkan, mereka terpaksa harus berkelahi mati-matian, karena tentunya kepala rampok yang kejam itu tak mau melepaskan mereka begitu saja.

Akan tetapi menghadapi serangan-serangan hebat dari Pauw Kian ini, Kong Lee tidak gentar dan berlaku tetapi tenang. Ia mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan ilmu tongkat Liong-san Koai-tung-hwat. Dan ketika ia mainkan tongkatnya, semua piauwsu menjadi heran sekali, karena tampaknya pemuda itu hanya menggerak- gerakkan tongkatnya dengan perlahan dan lambat sekali, akan tetapi setiap gerakan itu dapat menangkis dan membentur kembali senjata lawan yang ebrbahaya. Tidak demikian saja, bahkan dengan tongkat bambunya yang ringan itu, Kong Lee dapat membalas dengan serangan-serangan dahsyat.

Hal ini tentu saja membuat Pauw Kian terkejut sekali. Ia tidak melihat bagaimana pemuda itu memutar tongkatnya, akan tetapi ke mana saja pian baja di tangannya menyerang, selalu bertemu dengan tongkat lawan yang menangkisnya! Maka sambil mengertakkan gigi karena marah, Si Iblis Tangan Hitam ini menyerang makin ganas dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjatuhkan anak muda yang aneh itu.

Coa Kim Nio yang telah maklum akan kehebatan suhengnya, mula-mula terkejut dan kuatir melihat betapa suhengnya tampak marah sekali dan nafsu membunuh terbayang di mata Iblis Tangan Hitam itu. Ia kuatirkan nasib pemuda yang tampan dan yang telah menarik hatinya itu. Akan tetapi setelah menyaksikan betapa Kong Lee dengan tenang dan mudah saja menghadapi kakak seperguruannya, nona baju hijau itu menghela napas, tidak hanya kagum karena lega, tapi juga karena kagum.

Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan anak muda sehebat ini. Maka hatinya makin tertarik saja.

Sebetulnya kalau ia mau, Kong Lee sejak tadi dapat merobohkan Pauw Kian dengan serangan-serangan mematikan, namun ia tidak mau menewaskan kepala rampok itu karena ia hanya bermaksud merobohkan lawannya tanpa melukainya.

Bukankah maksudnya hanya hendak minta kembali emas yang dirampas?

Oleh karena inilah, maka ia masih belum mengirim serangan-serangan mematikan dan hanya lebih banyak menangkis saja. Kalau Pauw Kian tidak sedang dibuat mata gelap oleh perasaan marah dan dendam, tentu ia akan dapat merasai hal ini dan tahu bahwa anak muda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan senhaja berlaku mengalah. Akan tetapi, Iblis Tangan Hitam itu yang selama bertahun-tahun telah membuat nama besar sebagai seorang yang berkepandaian tinggi hingga disegani lawan ditakuti lawan, mana mau menyerah begitu saja tanpa memberi perlawanan? Demikianlah ia berlaku nekad dan menyerang bagaikan laku seekor kerbau gila.

Sambil bertempur, Kong Lee memikir dengan penuh keheranan mengapa kepandaian Iblis Tangan Hitam dan terutama kepandaian Kim-gan-eng hanya sedemikian saja, jauh lebih rendah dari dugaannya dulu. Kalau diukur kepandaiannya, kedua orang ini masing-masing tidak akan dapat mengalahkan Thio Sui Kiat! Mengapa dulu ketika ia bertemu dengan Coa Kim Nio, dalam dua jurus saja ia dapat dirobohkan oleh gadis itu?

Ia tidak mengerti bahwa sebenarnya hal itu tak perlu diherankan, karena ketika ia menghadapi Thio Sui Kiat dan ia dijatuhkan dalam tiga jurus ialah disebabkan, karena orang tua itulah yang menyerang dan ia sendiri hanya mempertahankan diri dengan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir yang memang kuat dan sukar dipecahkan. Sebaliknya ketika menghadapi Coa Kim Nio, dialah yang menyerang nona itu sehingga pertahanannya tidak kuat dan mudah saja ia dirobohkan. Kalau saja ia hanya mempertahankan dan membela diri dengan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir dan membiarkan nona itu menyerangnya, belum tentu dalam dua puluh jurus gadis itu akan dapat merobohkannya!

Kini melihat betapa Pauw Kian bertempur dengan nekad, ia lalu merasa gemas juga. Dengan cepat ia merubah gerakan tongkatnya dan kini tongkat bambu yang kecil itu bergerak cepat sekali dan seakan-akan berubah menjadi seekor ular yang masih hidup. Setiap serangan ditujukan kepada jalan-jalan darah yang melumpuhkan. Pauw Kian sibuk juga menghadapi serangan yang hebat ini dan mulai terdesak. Pada suatu saat yang baik, ketika Pauw Kian menangkis tongkatnya dengan keras, Kong Lee memberikan pukulan tangan kirinya yang dikirim ke arah tangan Pauw Kian yang memegang cambuk. Melihat datangnya pukulan yang demikian keras dan berbahaya, Pauw Kian hanya dapat menarik lengannya dan membiarkan cambuknya yang penuh duri itu terpukul oleh tangan Kong Lee untuk membuat tangan pemuda itu terluka.

Akan tetapi, sungguh mengherankan. Ketika cambuk itu terpukul oleh tangan Kong Lee yang dimiringkan, Pauw Kian tidak kuat lagi untuk memegang senjata itu lebih lama, dan dengan keras cambuk itu terpukul dan terlempar dari pegangannya!

Sedangkan tangan anak muda itu sedikitpun tidak luka!

Ketika Pauw Kian memandang ke arah cambuknya, matanya terbelalak kaget karena ternyata semua duri yang berada di bagian cambuk yang terpukul, telah patah-patah dan bengkok-bengkok! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebat dan kuat tenaga tangan pemuda ini!

Kelima piauwsu bersorak girang, juga Coa Kim Nio kagum sekali sehingga wajahnya berseri-seri. Akan tetapi, Pauw Kian dengan muka sebentar pucat sebentar merah, maju dan membentak, “Anak muda, kini bersiaplah engkau menghadapi serangan kedua tanganku!”

Kong Lee memandang tajam.

“Orang she Pauw, bukankah tongkat bambuku telah mengalahkan cambukmu? Lebih baik kita sudahi saja pibu ini dan kau kembalikan emas yang kaurampas dari Ngo-oei- liong piauwsu!”

“Memang benar cambukku kalah oleh tongkatmu, dan memang ilmu tongkatmu hebat. Akan tetapi, kedua tanganmu belum mengalahkan kedua tanganku!”

Kepala rampok yang merasa belum puas ini hendak menggunakan kehebatan kedua tangannya yang hitam untuk mencari kemenangan!

“Pauw-tai-ong, aturan pibu menyebutkan siapa yang kalah dalam satu pertempuran, maka ia harus menerima kekalahan itu dengan jujur. Kau sendiri yang tadi mengajak Lim-taihiap bertempur menggunakan senjata, dan kau sudah kalah. Apakah kau hendak melanggar peraturan itu?”

Bukan main marahnya Pauw Kian mendengar kata ini. Ia memang seorang perampok yang kejam, ganas, dan suka berkelahi. Akan tetapi ia hargai kejujuran dan tentu saja ia merasa terhina sekali kalau ia dianggap tidak jujur. Dengan suara parau ia memerintahkan anak buahnya mengambil kantung berisi emas yang dirampas Coa Kim Nio itu, lalu ia lemparkan ke arah kelima piauwsu yang menerimanya dengan girang.

“Ngo-oei-liong!” teriak Pauw Kian, “Kalian lima orang pengecut hanya dapat mengambil kembali emas itu dengan mengandalkan tenaga anak muda ini. Sekarang, enyahlah kalian dari sini sebelum kuhancurkan kepala kalian!”

Lima orang piauwsu itu memandang ke arah Kong Lee dan pemuda itu mengangguk kepada mereka, lalu berkata, “Ngo-wi harap kembali saja, bukankah urusan ngo-wi sudah beres? Dan siauw-te telah menebus kesalahan siauw-te tadi, bukan?”

Kelima piauwsu itu menjura dengan wajah girang sekali. Yang tertua di antara mereka berkata, “Baiklah, beritahu taihiap bertempat tinggal di mana dan dari cabang persilatan mana?”

Kong Lee tertawa, “Siauw-te baru saja turun dari Liong-san!”

“Kalau begitu, taihiap tentulah murid dari Liong-san-pai! Pantas saja begini hebat! Biarlah semenjak saat ini, kami berlima mengenangkan sebagai Liong-san Tung-hiap (Pendekar Tongkat dari Liong-san)!” setelah menjura lagi kepada Kong Lee, kelima orang piauwsu itu lalu pergi dari situ dengan girang dan membawa pergi lima ratus tail emas itu.

“Ha, ha, Liong-san Tung-hiap! Pantas sekali nama ini untukmu, karena memang ilmu tongkatmu hebat! Anak muda, kau sungguh berani sekali. tidakkah kau takut ditinggalkan seorang diri oleh kawan-kawanmu?”

“Apakah yang kau takuti?” jawab Kong Lee atas pertanyaan Pauw Kian yang mengandung ejekan itu. “Memang aku sengaja hendak mencoba bagaimana hebatnya kedua tangan dari Iblis Tangan Hitam!”

“Majulah! Kalau kau bisa merobohkan aku dan mengalahkan kedua tanganku ini, sudahlah, aku takkan berani menyebut-nyebut namaku di muka umum. Tapi kalau kau yang kalah, jangan kau menyesal kalau harus menerima kematian di sini!” tiba-tiba suara kepala rampok itu menjadi menyeramkan. Kemudian, dengan mengeluarkan seruan hebat, kedua tangannya yang hitam itu menyerang dengan hebat!

Memang benar bahwa kedua tangan hitam Pauw Kian tidak mengandung bisa, akan tetapi kehebatannya tidak berkurang karenanya. Kedua tangan ini telah menjadi keras seperti besi dan mempunyai kekebalan terhadap segala macam senjata tajam. Kalau tangan lawan beradu dengan tangan hitam ini, maka kulit lawan itu akan lecet-lecet dan tulangnya akan patah-patah. Juga ke sepuluh jari tangan dapat digunakan sebagai cengkeraman baja yang kuat sekali. Pendeknya, kedua tangan ini telah berubah menjadi sepasang senjata yang luar biasa hebatnya dan bahkan lebih berbahaya dari sepasang senjata baja!

Karena, kalau senjata yang terbuat dari logam mati, pergerakannya hanya terbatas dan menurut keinginan hati si pemegang senjata saja, sebaliknya kedua tangan hitam ini adalah barang hidup yang mempunyai perasaan dan dapat dirubah-rubah kedudukannya sesuka hati, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.

Kong Lee cukup maklum akan hal ini, maka ia berlaku waspada sekali. Ia tahu bahwa biarpun dalam hal tenaga lwee-kang ia tak usah kalah terhadap Pauw kIan, demikianpun dalam hal ilmu silat tangan kosong, karena ia memiliki ilmu kepandaian silat Liong-san Kun-hoat, akan tetapi harus ia akui bahwa kekebalan tangannya tak mungkin dapat melawan kekebalan tangan lawan ini. Dulu di puncak Liong-san ia hanya melatih kedua tangannya dengan cara membelah kayu dengan tangan kosong, akan tetapi Pauw Kian telah melatih tangannya dengan bubuk besi yang jauh lebih keras daripada kayu!

Akan tetapi, sebagaimana semua orang mengetahui, ilmu berkelahi tidaklah tergantung semata-mata kepada kekerasan tangan atau pukulan. Betapapun kerasnya tangan, kalau pukulan tidak mengenai sasaran yang tepat apakah gunanya?

Demikianlah, dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi daripada gin-kang Pauw Kian, Kong Lee mempermainkan lawannya. Tidak percuma ia melatih diri bertahun- tahun di puncak Liong-san, memikul air dengan sebatang rotan sambil berlari-lari naik turun bukit dan melompati jurang sehingga ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Semua serangan Pauw Kian dapat ia patahkan dengan mudah saja, dan pada tiap kali ia harus menangkis ia selalu menggunakan tangannya untuk menangkis lengan lawan di sebelah atas sambungan pergelangan tangan, di bagian kulit yang putih atau sekali-kali ia menangkis sambil menotok pergelangan siku! Oleh karena itu, maka Pauw Kian menjadi tak berdaya dan kepalanya pening, karena anak muda yang memiliki gerakan gesit bagaikan seekor burung itu menyambar-nyambar di sekeliling tubuhnya, membuat ia berputar-putar tiada hentinya! Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Kong Lee mulai membalas serangan-serangan lawannya dengan mengeluarkan ilmu silat Liong-san Kun-hoat yang paling berbahaya. Pauw Kian merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang aneh dan memiliki banyak sekali perubahan yang tak terduga ini. Ia sibuk sekali menghindarkan diri dari kedua tangan Kong Lee yang menyerang bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya dengan totokan jari.

Kemudian, ketika sebuah totokannya dielakkan, tubuh Kong Lee mulai terhuyung- huyung ke kanan kiri sehingga membingungkan Pauw Kian. Tadinya kepala rampok ini merasa kaget dan girang karena menyangka bahwa anak muda ini telah lelah, akan tetapi ternyata di dalam terhuyung-huyung itu, Kong Lee bahkan mengeluarkan serangan-serangan yang lebih sukar dielakkan pula. Inilah ilmu silat Delapan Dewa Mabuk!

Menghadapi ilmu silat ini, Pauw Kian tidak berdaya dan tiba-tiba dadanya kena tertumbuk oleh kepalan tangan Kong Lee! Sebetulnya, menurut gerakan aslinya, pukulan ini harus disertai tenaga lwee-kang sepenuhnya sehingga biarpun nampaknya hanya memukul perlahan saja namun akan menghancurkan isi dada dan mendatangkan luka dalam yang berbahaya sekali. Akan tetapi, dengan sengaja Kong Lee merubah gerakannya dan memukul dengan keras sekali, menggunakan tenaga gwa-kang (tenaga luar) sehingga terdengar suara “buk!” yang keras ketika kepalan tangannya menumbuk dada Pauw kian hingga kepala rampok itu terdorong jauh dan jatuh bergulingan!

Akan tetapi, karena Kong Lee hanya menggunakan tenaga gwa-kang, maka Pauw Kian tidka menderita luka dalam, hanya kulit dadanya saja menjadi matang biru! Setelah dapat berdiri lagi, Pauw Kian menjura ke arah Kong Lee.

“Liong-san Tung-hiap! Kau orang muda sungguh mengagumkan. Aku Pauw Kian benar-benar tunduk dan takluk!” setelah berkata demikian, Pauw Kian menjatuhkan diri duduk di atas tanah dengan muka merah.

Coa Kim Nio dengan sangat kagum lalu menghampiri Kong Lee dan berkata dengan lagak menarik hati, “Lim-kongcu, kau sungguh-sungguh hebat dan membuat aku kagum sekali! kita harus menjadi sahabat baik!” sambil berkata demikian, gadis ini menggunakan jari-jari tangannya yang halus menyentuh tangan Kong Lee.

Pemuda ini tersenyum saja lalu berkata perlahan, “Pantaskah aku menjadi sahabat Kim-gan-eng yang perkasa? Harap kauingat, siocia, lima tahun yang lalu aku berlutut di depanmu dan mohon menjadi muridmu, tapi kau tidak sudi menerimaku!”

Untuk beberapa lama Coa Kim Nio tidak mengerti maksud kata-kata ini dan memandang heran dengan kedua matanya yang bagus itu terbelalak lebar, lalu ia berkata heran, “Lim-kongcu apa ... apakah maksudmu?”

“Siocia, masih ingatkah kau kepada Gan-piauwsu yang dulu kaurobohkan? Dan masih ingatkah kau akan seorang pengemis muda yang juga kaurobohkan dalam dua kali gerakan saja? Kemudian pengemis muda itu mengejarmu dan mohon menjadi murid, tapi kau menolaknya dengan penuh penghinaan? Nah, akulah pengemis itu, maka jangan kausebut aku kongcu!”

Pucatlah wajah Coa Kim Nio yang cantik!

Hampir saja ia tidak percaya atas keterangan ini, sungguhpun ia masih ingat dengan samar-samar wajah pengemis muda yang dulu minta menjadi muridnya.

“Ah ... jadi kaukah anak muda dulu itu?” kemudian Coa Kim Nio tertawa. “Nah, bukankah benar penolakanku dulu? Kalau kau menjadi muridku, maka kepandaianmu takkan sehebat sekarang ini.”

Kong Lee lalu menjura kepadanya dan kepada Pauw Kian.

“Maafkanlah aku, sekarang aku harus pergi dari sini melanjutkan perantauanku.” Pemuda itu lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.

“Lim-taihiap, tunggu ... ” kata Coa Kim Nio yang mengejarnya. “Ada apa, Nona?”

“Kau ... kau hendak ke mana?”

“Hendak meneruskan perjalananku, sampai aku tiba kembali di kampungku.” “Di mana kampungmu?”

“Di Bi-ciu!”

“Kalau begitu, kita menuju ke jurusan yang sama. Taihiap tidak keberatankah kau kalau kita jalan bersama-sama?”

Untuk sesaat Kong Lee merasa ragu-ragu. Ia tidak tahu harus menerima atau menolak. Untuk menolak, ia merasa tidak enak, pula ia memang tertarik oleh sikap dan wajah cantik jelita dari nona ini sehingga ia tahu bahwa melakukan perjalanan bersama gadis ini akan menyenangkan sekali. akan tetapi kalau ia menerima iapun merasa malu.

Maka ia lalu berkata, “Terserah saja kepadamu, nona. Jalan di muka bumi ini bukan milikku pribadi, siapa saja boleh pakai maka bagaimana aku bisa melarangmu?” Coa Kim Nio menjadi girang sekali sehingga wajahnya yang cantik berseri menambah manisnya.

“Sumoi, kau jangan mencari perkara lagi!” kakak seperguruannya menegur. “Tinggal saja di sini dan bantu pekerjaanku.”

“Ah, aku sudah bosan dengan pekerjaan merampok!” kata gadis itu tak peduli, lalu menarik tangan Kong Lee mengajak pergi dari situ.

“Baik, kalau begitu, jangan kau kembali lagi ke sini!” teriak Pauw Kian dengan marah.

Akan tetapi, Kim Nio dan Kong Lee telah pergi jauh dengan berlari cepat.

Coa Kim Nio benar-benar merupakan kawan seperjalanan yang baik dan menggembirakan. Nona ini selain luas pengalamannya, juga bersikap jenaka dan dalam segala hal berusaha menyenangkan hati Kong Lee. Sebaliknya Kong Lee adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun dan pengalamannya dalam hal pergaulan, terutama dengan seorang wanita masih dangkal dan hijau. Maka kini setelah bertemu dengan seorang gadis yang cantik dan pandai mengambil hati, tidak heran bahwa ia jatuh hati dan timbul rasa sayang dan cinta di dalam hatinya terhadap Coa Kim Nio. Ia maklum bahwa gadis itu sedikitnya empat atau lima tahun lebih tua daripadanya, namun dilihat dari luar, tampaknya gadis itu lebih tua darinya, karena memang Coa Kim Nio memiliki kecantikan yang membuat ia nampak masih muda sekali.

Mereka melakukan perjalanan dengan gembira dan selama itu Kim Nio memperlihatkan sikap yang sopan dan mereka berdua selalu menjaga agar di dalam pergaulan dan hubungan mereka selalu tidak melanggar batas-batas kesusilaan. Hal ini tentu saja selalu dijaga oleh Kong Lee yang memang masih bersih hatinya dan ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di dalam hati gadis itu timbul rasa cinta yang besar terhadap dirinya! Ia hanya menganggap bahwa nona itu sangat baik hati dan menganggap ia sebagai seorang saudara atau kawan baik.

Pada suatu hari, pernah Kong Lee menyatakan kekecewaannya mengapa gadis itu sampai tersesat dan menjadi seorang perampok.

Coa Kim Nio hanya tersenyum dan menjawab, “Bukankah sekarang aku telah tobat dan belajar menjadi orang baik-baik?”

Mendengar jawaban ini, Kong Lee tertawa dan hatinya merasa girang dan puas. Ketika gadis itu minta ia menuturkan riwayatnya, Kong Lee lalu menceritakan dengan terus terang. Kim Nio terkejut ketika mendengar bahwa anak muda itu adalah murid Liong-san Lo-kai yang termahsyur itu. “Pantas saja kau demikain hebat, kiranya kau adalah murid locianpwe itu,” katanya kagum.

Dan ketika mendengar bahwa suhunya berpesan agar ia menantang pibu dan mencoba kepandaian para tokoh Go-bi-san, Kim Nio menjadi girang sekali.

“Lim-taihiap,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang-orang Go-bi-pai memang terkenal sombong, karena mereka memang memiliki ilmu pedang yang hebat. Kiam-hwat (ilmu pedang) dari Go-bi sukar sekali dilawan, dan aku sendiri pernah bertempur melawan seorang anak murid Go-bi bernama Louw Bin Tong. Walaupun aku dapat menang, akan tetapi hal ini hanya terjadi setelah kami bertempur lebih dari dua ratus jurus dan hanya karena lwee-kangku lebih tinggi sedikit dari

lwee-kangnya. Kebetulan sekali diapun pernah menantang aku supaya naik Go-bi-san, maka bagaimana pikiranmu kalau kita sekarang saja langsung naik ke Go-bi-san untuk sekalian memenuhi perintah suhumu?”

“Tapi aku ingin pulang dulu ke Bi-ciu hendak bertemu dengan ibuku yang telah lama kutinggalkan,” jawab Kong Lee.

“Kalau kau pulang dulu ke Bi-ciu, maka perjalanan itu akan makan waktu lama sekali karena ke Go-bi-san jalannya memutar. Sebaliknya kalau sekarang kita langsung pergi ke Go-bi-san, kita akan menghemat waktu dan perjalanan,” gadis yang sudah banyak merantau itu lalu menerangkan jalan yang menuju ke Go-bi-san dan Bi-ciu.

Akhirnya Kong Lee setuju dan mereka lalu membelok ke barat untuk menuju ke pegunungan Go-bi yang luas itu.

Perjalanan ke Go-bi-san memakan waktu dua pekan lebih dan ketika mereka tiba di bukit itu, tiada habisnya Kong Lee mengagumi pemandangan di perjalanan mendaki gunung itu. Perjalanan mendaki gunung itu dilakukan dengan mudah dan tidak banyak mengalami rintangan-rintangan karena mereka berdua memiliki kepandaian tinggi. Jurang-jurang yang hanya beberapa tombak lebarnya dapat mereka lompati begitu saja dan mereka mendaki batu-batu karang dengan cepat bagaikan jalan di tanah datar saja.

Pada waktu itu, di lereng gunung Go-bi-san terdapat sebuah kuil besar dan di sinilah para pemuda Go-bi-pai berdiam. Yang menjadi ketua pada waktu itu adalah seorang hwesio bernama Liat Song Hosiang, akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih hwesio tua yang lihai ini menyembunyikan dirinya dalam sebuah kamar di kuil itu dan tak pernah keluar! Untuk mengurus semua keperluan, diserahkan kepada tiga orang murid keponakannya, yakni Bok Ti Hwesio, Kim Ti Hwesio, dan Hok Ti Hwesio, murid- murid dari sute Liat Song Hosiang yang telah meninggal dunia. Adapun Liat Song Hosiang sendiri tak pernah mempunyai seorang murid.

Ketika masih dipimpin langsung oleh Liat Song Hosiang dan sutenya Hwat Song Hosiang yang telah meninggal dunia, kumpulan Go-bi terkenal sekali sebagai sebuah perkumpulan persilatan yang berdisiplin dan maju. Akan tetapi, semenjak meninggalnya Hwat Song Hosiang dan semenjak Liat Song Hosiang mengundurkan diri dan mencuci tangan dari segala urusan dunia menyembunyikan diri di dalam kamar dan tiap hari kerjanya hanya bersamadhi saja, maka di bawah pimpinan ketiga hwesio yang disebut Go-bi Sam-lojin atau Tiga Orang Tua dari Go-bi itu, keadaan Go-bi-pai mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena ketiga hwesio itu memang mempunyai sifat yang sombong dan memandang rendah kepada kumpulan persilatan lain, sehingga kesombongan ini membuat mereka tidak mau memperdalam ilmu silat cabang mereka.

Dulu ketika murid Liong-san Lo-kai naik ke Go-bi-san, ia bertemu dengan ketiga hwesio ini dan dikeroyok tiga hingga mengalami kematian. Biarpun pertempuran itu merupakan pibu, akan tetapi karena kedua pihak baik murid Liong-san Lo-kai maupun ketiga pemimpin Go-bi-pai itu mempunyai tabiat sombong, maka terjadilah pertempuran mati-matian sehingga mengorbankan jiwa. Dan ketika pertempuran itu terjadi, Liat Song Hosiang tidak diberitahu sehingga pertapa tua ini tidak tahu bahwa murid-murid keponakannya telah menewaskan seorang murid Liong-san-pai.

Sebetulnya di atas pegunungan Go-bi-san yang luas sekali itu terdapat banyak orang- orang pandai yang memiliki kepandaian silat dan kesaktian yang berbeda-beda. Juga keadaan mereka berbeda, ada yang menganut agama To dan menjadi tosu, ada pula yang menganut agama Buddha seperti Liat Song Hosiang dan semua penghuni kuil besar itu. Oleh karena itu, maka tentang Go-bi-pai atau perkumpulan persilatan cabang Go-bi ini seringkali membingungkan orang. Yang mengaku sebagai perkumpulan persilatan cabang Go-bi saja ada tiga buah yang mempunyai ilmu silat berlainan sekali, di antaranya Liat Song Hosiang dan dua buah rombongan para tosu. Sedangkan di samping itu, masih banyak sekali tidak mau mengaku sebagai perkumpulan Go-bi dan tinggal diam saja sebagai pertapa-pertapa yang saleh!

Oleh karena inilah, maka di dunia kang-ouw, seringkali terjadi ada seorang ahli silat yang mengaku dari perkumpulan Go-bi-pai tapi berkepandaian rendah sekali, tapi ada pula muncul ahli silat lain yang juga mengaku anak murid Go-bi, tapi kepandaiannya berlainan sekali dan hebat!

Perkumpulan Go-bi-san yang dicari oleh Kong Lee adalah rombongan Liat Song Hosiang inilah, maka ia tidak salah pilih dan datang di tempat yang betul. Akan tetapi, musuh Coa Kim Nio yang mengaku anak murid Go-bi-pai dan bernama Louw Bin Tong itu, sama sekali bukan anak murid dari Go-bi Sam-lojin, akan tetapi anak murid seorang tosu bernama Pek-mau Tosu yang bertapa di puncak lain!

Ketika kedua anak muda itu tiba di depan kuil, mereka disambut oleh anak-anak murid kuil itu tetapi mereka menyambut dengan ramah tamahh seperti lazimnya pendeta-pendeta yang menjalani penghidupan suci.

“Ji-wi datang darimana dan ada keperluan apa maka mendatangi kuil kami?” tanya seorang penerima tamu, yakni seorang hwesio gundul yang sudah lanjut usianya dan bertubuh kurus tinggi.

“Teecu bernama Lim Kong Lee dan kedatanganku ke sini adalah hendak menjumpai ketua Go-bi-pai.”

Hwesio tua tinggi kurus itu memandang tajam.

“Ketua kami adalah Go-bi Sam-lojin, entah yang manakah yang hendak sicu jumpai?” Kong Lee sudah mendengar dari suhunya, bahwa suhengnya yang tewas itu memang dirobohkan oleh ketiga tokoh Go-bi itu, maka ia menjawab, “Teecu hendak bertemu dengan ketiga-tiganya!”

Pandangan mata hwesio itu makin heran, lalu katanya, “Tunggulah sebentar, biar pinceng memberi laporan kepada ketiga ketua kami itu.”

Tak lama kemudian, dari dalam keluar tiga orang hwesio yang usianya kurang lebih enam puluh tahun. Mereka ini kurus-kurus dan dengan dada terangkat mereka keluar menemui Kong Lee. Dalam pakaian pendeta dan kepala mereka yang gundul licin itu, mereka tampak hampir sama, baik bentuk badan maupun wajah mereka.

Kong Lee cepat bangun berdiri dan menjura. “Apakah saya berhadapan dengan Go-bi Sam-lojin yang terhormat?”

“Betul, sicu. Kami adalah Go-bi Sam-lojin. Pinceng sendiri bernama Bok Ti, ini suteku Kim Ti, dan itu Hok Ti. Sicu ini siapa dan ada keperluan apa mencari kami?” “Saya datang dari Liong-san dan kedatanganku ini tak lain karena mengingat akan kehebatan sam-wi suhu yang dulu pernah memberi pelajaran kepada suhengku, maka hatiku menjadi kagum sekali dan harap sam-wi suhu suka berlaku murah dan memberi petunjuk kepada aku orang muda.” Ketiga hwesio itu saling lirik dan Bok Ti Hosiang berkata sambil tersenyum, “Ahh, jadi sicu ini seorang anak murid dari Liong-san? Bagus, bagus! Ternyata Liong-san Lo-kai mempunyai murid-murid yang muda, gagah, dan bersemangat! Apakah nona ini juga murid dari Liong-san?” tanyanya sambil melirik Coa Kim Nio.

Nona itu menggelengkan kepala dan menjawab, “Bukan, aku hanyalah seorang sahabat saja dari Lim-taihiap, akan tetapi akupun mempunyai sedikit urusan dengan seorang anak murid Go-bi yang bernama Lauw Bin Tong!”

“Kami tidak mempunyai seorang anak murid bernama Lauw Bin Tong di sini,” jawab Bok Ti Hosiang, lalu hwesio tua ini berkata kepada Kong Lee, “Dan kau, sicu.

Apakah maksudmu hendak mengadu ilmu kepandaian?” “Saya hanya mohon sedikit pelajaran dari sam-wi suhu.”

“Tapi kami Go-bi Sam-lojin selalu maju bersama-sama,” jawab Bok Ti Hosiang yang dapat menduga bahwa kepandaian pemuda dari Liong-san itu tentu tinggi, kalau tidak, maka tak mungkin ia berani naik ke Go-bi untuk mengajak pibu!

Kong Lee maklum akan kelicikan orang itu, maka sambil tersenyum ia berkata, “Kalau sam-wi suhu hendak maju bersama memberi petunjuk, maka hal itu lebih baik bagi saya, karena sekali bergerak dapat menerima banyak pelajaran!”

Mendengar jawaban ini, merahlah wajah Bok Ti Hosiang. Untuk menutupi rasa malunya ia berkata, “Karena nona ini datang bersamamu, maka boleh kalian berdua maju menghadapi kami. Mari, mari sicu dan kau nona, kita pergi ke lian-bu-thia untuk bermain-main sebentar!” setelah berkata demikian hwesio kurus ini bersama kedua sutenya lalu mendahului tamunya menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Kong Lee dan Kim Nio.

Sedangkan para anak murid Go-bi yang telah mendengar bahwa kedua orang muda itu datang hendak mengajak pibu dengan ketiga ketua mereka, segera meninggalkan pekerjaan masing-masing untuk menonton!

Ruang tempat berlatih silat itu luas sekali dan kini telah dikelilingi oleh anak murid Go-bi yang jumlahnya dua puluh orang hwesio lebih. Mereka berdiri diam sebagai patung, tak berani bergerak atau membuat gaduh karena takut ditegur oleh ketiga ketua mereka.

Sementara itu, Go-bi Sam-lojin telah membuka jubah mereka dan hanya mengenakan pakaian yang ringkas, walaupun lengan baju mereka masih lebar. Ikat pinggang warna kuning mengikat pinggang mereka dan pakaian mereka berwarna putih.

“Anak muda, majulah!” kata Bok Ti Hosiang, sementara itu Kim Ti Hosiang dan Hok Ti Hosiang sudah berdiri di kanan kirinya dengan kedua kaki terpentang dan tangan tergantung di kanan kiri.

Akan tetapi Kong Lee memberi isyarat kepada Kiim Nio dan maju seorang diri menghadapi Go-bi Sam-lojin. Sambil menarik keluar tongkat bambunya, Kong Lee berkata, “Sam-wi suhu, janganlah berlaku segan-segan, karena sesungguhnya aku ingin sekali berkenlan dengan kehebatan kiam-hwat dari Go-bi-pai!”

Ketiga hwesio itu saling pandang.

“Sicu,” kata Kim Ti Hosiang. “Betul-betulkah kau hendak pibu dengan senjata tajam? Ingat, sicu, dulu ketika kami bertiga merobohkan suhengmu hingga tewas, kami benar-benar merasa menyesal sekali dan tidak ingin mengulangi lagi peristiwa itu!” Kong Lee tersenyum. “Terima kasih atas kekuatiran ini, tapi aku akan menjaga diri baik-baik!”

Terpaksa ketiga hwesio itu mencabut keluar pedang mereka dan membuat gerakan mengurung. Tapi Kong Lee bersikap tenang dan menyilangkan tongkatnya di dada menanti serangan.

Go-bi Sam-lojin maklum bahwa anak muda yang sangat sopan santun ini tentu tidak mau menyerang lebih dulu, maka sambil berseru, “Awas pedang!”

Bok Ti Hosiang mendahului membuka serangan. Melihat datangnya serangan- serangan yang sangat cepat dan kuat ini, diam-diam Kong Lee harus mengakui lawan- lawannya benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan ia harus berlaku hati-hati sekali. maka tanpa berlaku segan-segan lagi ia getarkan tongkatnya dan menangkis dengan gerakan tongkat menendang.

Bok Ti Hosiang ketika merasa betapa pedangnya terbentur oleh tongkat itu dan seakan-akan tertendang kembali, merasa kaget dan tahu bahwa anak muda ini memiliki kepandaian jauh lebih hebat daripada kepandaian murid Liong-san yang dulu mereka robohkan. Maka ia lalu mengerakkan pedangnya dengan cepat, ditiru oleh kedua sutenya sehingga tak lama kemudian Kong Lee dikeroyok oleh tiga batang pedang yang digerakkan secara hebat.

Ilmu pedang dari Bok Ti Hosiang dan kedua sutenya adalah ilmu pedang keturunan yang disebut Gin-ho Kiam-hwat (Ilmu Pedang Burung Ho Perak) dan diciptakan oleh guru Liat Song Hosiang, yakni sucouw dari Bok Ti Hwesio dan sutenya. Biarpun ketiga hwesio ini baru memiliki enam bagian saja dari ilmu pedang yang hebat itu, namun ilmu pedang mereka sudah hebat sekali, karena memang Gin-ho Kiam-hwat memiliki gerakan-gerakan yang cepat dan kuat serta mempunyai pecahan-pecahan yang tak terhitung banyaknya. Maka kini dengan maju bertiga, mereka merupakan lawan berat bagi Kong Lee!

Akan tetapi, Kong Lee telah mempelajari Liong-san Koai-tung-hwat dengan sempurna sehingga boleh dibilang sembilan bagian dari ilmu itu telah dapat ia jalankan dengan baik, ditambah lagi dengan usianya yang masih muda hingga tentu saja ia jauh lebih kuat daripada ketiga lawannya yang sudah tua. Ia dapat melawan dengan baik dan belum terdesak walaupun mereka telah bertanding selama ratusan jurus! Sebentar saja dua ratus jurus telah terlewat dan mash saja mereka bertempur ramai sekali.

Sementara itu, Kim Nio melihat permainan pedang ketiga hwesio itu merasa heran karena gerakan-gerakan mereka berbeda sekali dengan gerakan Lauw Bin Tong yang mengaku anak murid Go-bi itu.

Demikianlah, ia memandang dengan penuh kekuatiran. Ia melihat betapa ketiga orang hwesio tua itu telah lenyap terbungkus sinar pedang mereka sendiri yang sungguh- sungguh hebatm sementara itu, di tengah-tengah terkurung oleh tiga gulungan sinar pedang itu, Kong Lee mainkan tongkatnya dengan gerakan yang kelihatan lambat, tapi yang dapat memunahkan semua serangan pedang yang menuju kepada tubuhnya! Tiba-tiba Kong Lee berseru keras dan tubuhnya lalu melayang ke atas dan menyerang dari atas dengan tongkatnya ke arah Kim Ti Hosiang!

Dalam sekejap mata saja anak muda itu merubah ilmu tongkatnya dan kini ia mengeluarkan gerak-geraknya yang gesit dan gin-kangnya yang hebat! Tadi memang sengaja ia mainkan bagian yang lambat untuk menghemat tenaga dan napas. Setelah pertempuran berjalan hampir tiga ratus jurus dan lawannya sudah nampak lelah dan di jidat mereka telah keluar peluh maka tiba-tiba ia merubah ilmu silatnya dan kini bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan lawan-lawannya. Kini dialah yang menyerang karena sambil berkelebat ke sana ke mari ia dapat memecahkan kurungan ketiga lawannya dan menyerang mereka berganti-ganti!

Akan tetapi ketiga hwesio itu bukan orang-orang lemah. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, mereka juga mempunyai pengalaman bertempur yang luas sehingga tidak mudah dibuat kaget begitu saja oleh perubahan gerakan Kong Lee. Biarpun telah berpencar dan tidak mengurung lagi, namun karena Kong Lee harus menyerang ketiga-tiganya, maka datangnya serangan itu berkurang cepatnya dan mereka tidak terlalu terdesak dan masih dapat menangkis dengan baik. Hanya kini Kong Lee berada di pihak penyerang karena gerakannya yang gesit menyambar ke sana ke mari itu membuat para lawannya sukar sekali untuk balas menyerang.

Demikianlah, seratus jurus terlewat pula tanpa ada ketentuan kalah menang dalam pertempuran yang hebat itu!

Dua puluh orang anak murid Go-bi-pai yang menonton pertempuran itu tak berani bergerak dan hati mereka berdebar tegang karena selama mereka berada di situ telah mengalami banyak sekali pertempuran pibu, akan tetapi belum pernah melihat pertempuran seramai ini. Terutama sekali bagi Kim Nio, ia makin kagum akan kehebatan Kong Le dan hatinya makin mencintai anak muda yang gagah perkasa itu. Sementara itu, Go-bi Sam-lojin diam-diam terkejut sekali dan mengeluh, karena Kong Lee benar-benar merupakan lawan tangguh yang belum pernah mereka temukan selama hidup mereka.

Sebaliknya, Kong Lee sendiri yang baru kali ini keluar dari perguruan dan menghadapi lawan-lawan luar biasa uletnya, menjadi penyerang, namun serangan- serangannya selalu dapat dibatalkan lawan dan kalau terus-menerus seperti ini halnya, maka dia sendirilah yang akan kehabisan tenaga karena ia harus mengeluarkan tenaga tiga kali lipat dari tenaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lawannya! Maka ia lalu mencari akal dan tiba-tiba merubah lagi gerakan serangannya.

Kini ia tidak menyerang bergantian kepada tiga orang lawannya, akan tetapi mendesak Hok Ti Hosiang yang paling lemah di antara ketiga orang tua itu. Ia mendesak terus dan mengirim serangan langsung bertubi-tubi kepada Hok Ti Hosiang ini yang tidak menyangka akan mendapat serangan bertubi-tubi karena tadinya anak muda itu hanya memberi bagian sekali atau sejurus serangan lalu berpindah menyerang yang lain, menjadi sibuk sekali.

Setelah dapat menangkis tiga buah serangan berturut-turut, serangan ke empat yang dilakukan cepat sekali tak dapat ia tangkis dan pundak kanannya kena ditotok oleh ujung tongkat bambu anak muda yang hebat itu! Ia terhuyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari pegangan tangannya yang menjadi lumpuh!

Hok Ti Hosiang dengan meringis kesakitan lalu melompat keluar dari kalangan pertempuran karena tangan kanannya tergantung lumpuh tak dapat digerakkan lagi! Bok Ti Hosiang dan Kim Ti Hosiang tentu saja merasa terkejut dan marah sekali. mereka tak berdaya membela sutenya karena serangan Kong Lee dirubah tiba-tiba itu tak mereka sangka sehingga Hok Ti Hosiang kena tertotok. Kini keduanya maju bersama-sama dan mengamuk dengan hebat sambil mengirim serangan-serangan maut. Akan tetapi, dengan mengeroyok bertiga saja mereka tidak mampu menjatuhkan Kong Lee, apalagi kini hanya berdua!

Dengan tenang dan mudah saja anak muda itu dapat mematahkan semua serangan yang bergelombang ini dan balas menyerang. Karena tenaga kedua hwesio tua ini memang telah banyak berkurang, maka dalam saat yang baik sekali Kong Lee berhasil pula menendang pergelangan tangan Kim Ti Hosiang sehingga pedang hwesio itu terlempar ke atas dan jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring! Tendangan Kong Lee dilakukan dengan ujung sepatu dan tepat mengenai urat besar sehingga tangan Kim Ti Hosiang juga terluka hebat karena sambungan tulangnya terlepas dan dia menjadi tidak berdaya dan tak mampu maju membantu lagi.

Kini Kong Lee hanya menghadapi Bok Ti Hosiang seorang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara ketiga tokoh Go-bi-san itu. Bok Ti Hosiang mengumpulkan semua tenaganya dan melawan mati-matian sambil mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat sehingga untuk beberapa lama Kong Lee tak dapat merobohkannya. Kini Bok Ti Hosiang menggunakan pedang membabat ke arah tongkat sehingga kalau saja tongkat ini kena terbabat maka dapat terputuskan oleh pedangnya yang tajam.

Namun bambu di tangan Kong Lee adalah bambu kering yang ringan sekali hingga tak mungkin diputuskan begitu saja oleh benturan pedang. Kong Lee menggunakan tenaga lemas untuk membuat bambunya terpental dan sambil menuruti gerakan pedang lawan, ia teruskan tongkatnya itu untuk menyerang. Karena gerakan ini tak terduga sama sekali, yakni ketika bambu itu terbentur dan terpental ke samping tapi cepat sekali lalu meluncur dari samping ke arah lambung, hwesio ini berseru kaget dan cepat mengelak ke belakang.

Tapi Kong Lee tidak mau memberi ampun lagi dan ujung bambunya terus mengikuti tubuh lawannya, menotok punggung dari samping kanan dan dengan tepat menotok jalan darah siauw-hing-hiat sehingga Bok Ti Hosiang tak dapat mengelak lagi. Sambil berteriak nyaring tubuh hwesio ini terguling dan pedangnya terlempar!

Masih untung baginya bahwa pemuda itu tidak mempunyai niat membunuh, sehingga setelah menggunakan tangan kiri mengurut beberapa kali pada punggung yang tertotok, ia dapat melompat berdiri lagi dengan muka pucat.

Ketiga hwesio ini maklum bahwa betapapun juga, Kong Lee tidak bermaksud jahat dan hanya ingin mengalahkan mereka belaka, maka diam-diam mereka memuji anak muda yang berkepandaian tinggi itu.

“Sicu,” Bok Ti Hosiang menjura sambil merangkapkan kedua tangannya, “kepandaian sicu sungguh tinggi dan kami bertiga mengaku kalah. Biarlah lain waktu kalau kami masih berusia panjang, kami balas kebaikan sicu ini.”

Sebelum Kong Lee dapat menjawab, tiba-tiba dari dalam kuil itu menyambar bayangan merah kepadanya. Ia kaget sekali karena bayangan merah itu adalah seorang kanak-kanak berusai paling banyak dua belas tahun dan datang-datang anak itu menyerang dengan sebuah pukulan yang berbahaya sekali ke arah lambungnya! Kong Lee cepat mengelak, tapi sebelum ia dapat menegur, anak berbaju merah itu menyerangnya lagi dengan pukulan-pukulan aneh yang sukar ditangkis!

“Ang-ji, jangan kurang ajar!” bentak Bok Ti Hosiang kepada anak baju merah itu yang dipanggilnya Ang-ji atau anak merah.

Akan tetapi anak itu sambil menyerang terus menjawab, “Bok-suhu, orang ini telah mengacau kuil kita, maka harus dihukum!” dan serangannya makin cepat.

Kong Lee benar-benar heran dan terkejut. Heran karena mengapa di dalam kuil ini terdapat seorang anak kecil bukan hwesio karena kepalanya memelihara rambut panjang yang dikepang menjadi dua sedangkan pakaiannya berwarna merah pula! Anak ini berwajah cakap dan kulitnya putih halus. Ia terkejut karena ilmu silat anak ini ternyata hebat sekali dan gerakan-gerakannya walaupun terdapat persamaan dengan ketiga hwesio yang tadi mengeroyoknya, namun lebih cepat dan mengandung bagian-bagian yang aneh! Kalau saja ia kurang hati-hati, pasti ia telah kena terpukul oleh bocah ini! Maka ia tidak mau berlaku sembrono melayani anak kecil ini dengan ilmu silat Liong-san Kun-hwat!

Kong Lee hendak mengalahkan anak ini tanpa melukainya, akan tetapi ia kecele. Ternyata kepandaian anak ini biarpun belum matang, namun tingkatnya tidak di bawah ketiga hwesio itu, bahkan lebih sukar dilawan! Dua kali tangan anak itu berhasil menampar dadanya dan kalau saja lwee-kang anak ini setingkat dengannya, pasti ia telah roboh olehnya. Kong Lee menjadi panas sekali dan sekarang ia mengeluarkan serangan-serangan yang hebat, dan kalau perlu ia harus merobohkan anak ini, asal tidak membunuhnya. Maka bertempurlah keduanya dengan ramai sekali.

Kim Nio tercengang melihat gerakan-gerakan anak kecil itu karena begitu cepat dan gesit, diam-diam ia mengakui bahwa ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan anak baju merah itu!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar orang batuk dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang hwesio yang memelihara rambut. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya pucat, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi. Semua hwesio yang berada di sini, termasuk Go-bi Sam-lojin, segera berlutut ketika melihat hwesio tua itu!

“Ang-ji, mundurlah.”

Hwesio ini berkata dengan halus dan Ang-ji lalu melompat keluar dari kalangan pertempuran. Kong Lee menghela napas lega karena tadi berada dalam keadaan yang sulit sekali. Kalau sampai ia kalah oleh anak kecil itu, tentu ia merasa malu sekali akan tetapi kalau ia terpaksa melukainya, ia akan merasa menyesal, karena iapun merasa sayang kepada anak yang tinggi ilmu kepandaiannya itu. Kini ia menengok ke arah hwesio yang menyuruh Ang-ji mundur dan heranlah ia melihat betapa semua hwesio di situ berlutut di depan hwesio tua renta ini.

Iapun lalu menjura dalam sekali untuk menyatakan hormatnya.

“Bagus, bagus! Si Pengemis tua kini telah memperoleh seorang murid yang baik. Sicu, kau telah berhasil menjunjung tinggi nama Liong-san-pai yang sesungguhnya tidak harus kalah oleh Go-bi-pai!” kemudian hwesio itu berkata kepada Ang-ji, anak merah itu, “Ang-ji, lain kali kau jangan lancang tangan sebelum mendapat ijin dariku!”

Kong Lee menjura lagi dan bertanya, “Mohon dimaafkan jika teecu mengganggu kuil ini. Bolehkah kiranya teecu mengetahui nama locianpwe yang mulia dan siapa pulalah adik kecil ini?”

Hwesio tua itu tersenyum hingga mulutnya yang tak bergigi lagi itu tampak.

“Anak muda, pinceng bernama Liat Song Hosiang dan Ang-ji adalah anak baik yang melayani pinceng selama pinceng mengasingkan diri.”

Terkejutlah Kong Lee mendengar ini. Suhunya pernah berpesan kepadanya bahwa jika ia naik ke Go-bi-san dan bertemu dengan seorang hwesio tua bernama Liat Song Hosiang, maka ia tidak boleh berlaku kurang ajar dan harus menyatakan hormatnya karena hwesio tua itu adalah ketua Go-bi-pai yang berkepandaian tinggi sekali dan menjadi sahabat Liong-san Lo-kai!

Kong Lee tadi telah melihat kepandaian Ang-ji yang demikian tinggi, padahal Ang-ji hanyalah pelayan saja dari hwesio tua ini, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya Liat Song Hosiang!

Mengingat akan pesan suhunya, Kong Lee lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu dan berkata, “Mohon locianpwe sudi memaafkan teecu yang telah berani berlaku kurang ajar.”

“Ha, ha, Lo-kai ternyata pandai mendidik muridnya. Bangunlah, anak muda!” sambil berkata demikian, hwesio tua itu menggunakan tongkatnya yang melengkung untuk mengait pundak Kong Lee dan menariknya.

Kong Lee maklum bahwa orang tua itu hendak mencoba kepandaiannya, maka ia mengerahkan lwee-kangnya dan tetap berlutut. Heran sekali, biarpun ia masih tetap berlutut, tapi pendeta tua itu berhasil mengangkat tubuhnya yang masih berlutut itu ke atas hanya dengan menyongkel perlahan dengan tongkatnya.

“Ha, ha, kau pandai sekali, anak muda. Pantas sekali menjadi murid kawan baikku.” Tiba-tiba hwesio tua itu berpaling kepada Go-bi Sam-lojin yang masih berlutut dan menahan sakit karena luka-luka mereka bekas tangan Kong Lee tadi.

“Kalian tiga orang tua yang seperti kanak-kanak! Biarlah hari ini menjadi pelajaran pahit bagi kalian agar lain kali suka menjaga diri dan menekan nafsu. Masih baik bahwa Liong-san Lo-kai mengirim muridnya hanya untuk memperlihatkan bahwa ilmu silat Liong-san-pai tidaklah serendah yang kalian anggap, dan sama sekali orang tua itu tidak menaruh dendam atas kematian muridnya yang dulu!” Kemudian Liat Song Hosiang lalu berkata lagi kepada Kong Lee, “Kalau kau bertemu dengan suhumu, sampaikan salamku kepadanya.”

Setelah berkata demikian, hwesio tua itu lalu berjalan kembali ke ruang dalam, diikuti oleh Ang-ji Si Anak Baju Merah.

Go-bi Sam-lojin lalu berdiri sambil menjura menyatakan maaf kepada Kong Lee. Setelah saling mengucapkan kata-kata merendah, Kong Lee mengajak Kim Nio meninggalkan tempat itu. Tapi gadis itu masih merasa gemas karena belum bertemu dengan Lauw Bin Tong yang dulu menantangnya supaya naik ke Go-bi-san.

Nona ini lalu bertanya kepada Go-bi Sam-lojin, “Sam-wi totiang, mohon tanya apakah benar-benar di sini tidak ada seorang muridmu bernama Lauw Bin Tong?” ia lalu menuturkan betapa dulu ia pernah bertempur melawan orang she Louw itu yang menantangnya naik ke Go-bi-san.

“Entahlah, nona. Di sini benar-benar tidak ada orang she Louw itu. Barangkali di puncak lain di daerah ini masih ada rombongan lain yang mengaku sebagai perkumpulan cabang Go-bi, karena ketahuilah bahwa Go-bi-san adalah luas sekali dan banyak didiami orang-orang pandai.”

Terpaksa Coa Kim Nio dengan kecewa sekali mengikuti Kong Lee turun gunung. Di sepanjang jalan Kim Nio tiada hentinya memuji kepandaian anak muda itu sehingga Kong Lee merasa bangga dan malu, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa girang sekali mendapat pujian dari nona yang baik hati dan disayanginya ini.

Ketika mereka tiba di bawah bukit, tiba-tiba dari depan datang seorang laki-laki menunggang kuda. Kuda itu dilarikan cepat sekali, akan tetapi ketika penunggang kuda itu melihat Kim Nio, ia segera menahan kendali kudanya dan binatang itu tiba- tiba berhenti. Dari cara berhenti yang tiba-tiba ini, tahulah Kong Lee bahwa orang itu bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga lwee-kang yang besar, kalau tidak demikian halnya, tidak mungkin ia dapat menghentikan lari kudanya secara demikian tiba-tiba.

Laki-laki itu masih muda, usianya paling banyak tiga puluh tahun. Ia segera meloncat turun dari kuda dan menghampiri mereka. Sementara itu, ketika menengok kepada Kim Nio, Kong Lee melihat betapa gadis ini dengan muka pucat memandang kepada laki-laki itu dan jelas tampak bahwa gadis ini terkejut dan bingung sekali!

Ketika laki-laki itu telah berada di depan mereka, ia lalu menuding muka Kim Nio dan berkata dengan keras, “Hah! Perempuan tak tahu malu! Di manakah kau sembunyikan Ong Lui si manusia jahanam itu? Dan ini ... ” ia menuding kepada Kong Lee. “Apakah kau sudah lari pula darinya dan ini adalah kekasihmu yang baru?” Biarpun Kong Lee merasa betapa hebat penghinaan ini, namun tak dapat merasa marah karena tidak tahu akan maksud-maksudnya. Ia hanya memandang kepada Kim Nio yang mukanya menjadi merah sekali dan sebentar menjadi pucat kembali.

“Lu San! Jangan kau ganggu aku karena sudah tidak ada hubungan apa-apa di antara kita. Kau pergilah!” kata Kim Nio dengan suara gemetar.

“Ha, ha, ha! Perempuan rendah! Perempuan hina! Kau takut kalau-kalau kekasihmu yang baru ini mengetahui segala rahasiamu yang kotor?”

“Lu San!” Kim Nio berseru sambil mencabut pedangnya.

“Kau mau membunuh suamimu? Ha, ha. Lihat, kekasihmu sudah merasa curiga dan kalau ia sudah mengetahui segala perbuatanmu yang tidak tahu malu, tentu ia akan berbalik membencimu!”

“Bangsat yang ingin mampus!” tiba-tiba Kim Nio membentak dan menyerang. Akan tetapi laki-laki itu telah mencabut pedangnya juga dan menangkis dengan penuh kemarahan.

“Memang kita harus mengadu tenaga! Tapi aku takkan puas sebelum membunuh anjing Ong Lui itu lebih dulu dan kekasihmu yang kepucat-pucatan ini. Setelah kedua orang itu mampus baru aku akan membunuhmu!” sambil berkata demikian, laki-laki ini cepat mengelakkan sebuah serangan Kim Nio dan dengan gerakan tak terduga ia meloncat ke arah Kong Lee dan mengirim sebuah tusukan hebat ke dada pemuda itu! Tapi ia menemui batu!

Dengan tenang sekali Kong Lee memiringkan tubuhnya, sekali ulur tangan saja ia berhasil merampas pedang itu. Bukan main terkejut laki-laki itu, karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang agaknya lemah ini ternyata demikian hebat!

“Celaka! Memang nasibku yang sial. Kekasihmu ini ternyata berkepandaian tinggi. Tapi betapapun tingginya kepandaiannya, ia tetap seorang rendah. Nah, kau mau bunuh aku, bunuhlah!”

Pada saat itu Kim Nio telah menyerang dengan sebuah tusukan ke arah lambung laki- laki itu, tapi Kong Lee cepat menangkis dengan pedang rampasan sehingga pedang di tangan Kim Nio hampir terlepas dari pegangannya!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar