Pendekar Tongkat Dari Liong-san Jilid 2

Jilid 2

“Nah, Hian-te, sekarang bagaimana pendapatmu?”

Setelah berdiri melongo untuk beberapa lamanya, dengan kagum sekali anak muda itu menjura.

“Lo-enghiong, ilmu toyamu memang benar-benar luar biasa. Tidak heran kalau almarhum ayahku pernah jatuh di tanganmu! Aku masih bodoh sekali dan biarlah lain kali kalau sudah belajar lagi, aku akan kembali ke sini untuk minta pelajaran lebih jauh!”

Terkejutlah hati Thio Sui Kiat mendengar ini. Benar-benar anak muda ini keras hati dan masih belum puas sehingga masih mengandung maksud hendak membalas kelak setelah menambah ilmunya!

Buru-buru ia berkata, “Lim-hiante, ayahmu adalah seorang gagah perkasa dan aku kenal baik kepadanya. Kalau saja kau ingin belajar ilmu toya, aku bersedia untuk memberi pelajaran kepadamu. Percayalah, dengan menjadi muridku dan menerima pelajaran dariku, kau akan menjagoi di seluruh propinsi dan jarang mendapat tandingan! Aku akan mengajarkan semua kepandaianku kepadamu.”

Kong Lee merasa terharu sekali. Tak ia sangka sama sekali bahwa orang yang pernah merobohkan ayahnya demikian baik hatinya kepadanya.

Ia menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum.

“Terima kasih banyak atas budi kecintaan Lo-enghiong. Tapi maafkan karena saya tidak dapat menerima tawaran Lo-enghiong dan saya tidak berani mengganggu lebih jauh. Harap Lo-enghiong tidak salah paham, bukan sekali-kali maksudku hendak membalas dendam karena sekali-sekali saya tidak menyimpan dendam atau sakit hati terhadap Lo-enghiong. Saya hanya ingin sekali memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Lo-enghiong dan menebus kekalahan ayah yang dulu. Hanya itu saja dan sekali- kali saya tidak bermaksud buruk. Sekali lagi maaf, Lo-enghiong, dan sampai bertemu pula beberapa tahun kemudian!” setelah berkata demikian anak muda itu melangkah pergi dengan langkah lebar.

Thio Sui Kiat berdiri tercengang karena ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak muda itu akan menolak tawarannya. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas.

“Ayah, untuk apa orang yang kurang ajar seperti dia itu diberi hati? Kulihat ia sama sekali tidak memandang hormat kepada kita!” tiba-tiba Thio Eng berkata marah.

Ayahnya hanya memandang puterinya dengan senyum sedih, lalu berkata, “Anakku, kau tidak tahu bahwa ayahnya dulu meninggal dunia karena malu dan sakit hari setelah kurobohkan di depan orang banyak!”

“Tapi, bukankah telah ayah katakan bahwa ayah dapat mengalahkan ayahnya dalam sebuah pibu yang adil?” bantah anaknya.

Thio Sui Kiat mengangguk-angguk dan menghela napas lagi.

“Memang ... memang ... tapi aku dulu tekebur sekali ... ah, kau mau tahu? Aku merasa kasihan kepada anak muda itu. Ia berbakat baik ... ”

Dan pada sore hari itu, pada saat Thio Sui Kiat sedang duduk termenung memikirkan Kong Lee, tiba-tiba pelayannya memberitahukan bahwa di luar ada seorang tamu wanita. Thio Sui Kiat segera keluar dengan heran karena menduga bahwa tamu wanita itu katanya minta bertemu dengan dia!

Wanita siapakah yang hendak bertemu dengan dia? Sungguh hari ini banyak terjadi hal-hal yang mengherankan!

Ketika ia keluar, ia berhadapan dengan seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah. Dari pakaiannya yang ringkas ia maklum bahwa wanita ini tentu seorang ahli silat, maka ia segera mengangkat kedua tangan memberi hormat yang dibalas sepantasnya pula oleh nyonya itu.

“Siapakah Li-enghiong dan ada keperluan apa?” tanyanya.

“Thio-taihiap, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Kwee Cin Hwa, janda dari Lim Ek!”

Terkejutlah Thio Sui Kiat mendengar bahwa ia berhadapan dengan ibu anak muda yang siang tadi mengunjunginya. Apakah artinya ini semua? “Lim-toanio, apakah kau juga berpemandangan singkat seperti anakmu?” tanyanya kemudian.

Muka nyonya itu tampak berubah terang.

“Ah, jadi benar-benar Kong Lee datang ke sini? Thio-taihiap, di manakah anakku?” Melihat bahwa kedatangan nyonya itu hanya untuk mencari anaknya, Thio Sui Kiat menjadi sabar kembali dan ia persilakan nyonya itu masuk ke dalam. Thio Sui Kiat lalu memanggil isterinya dan memperkenalkan Nyonya Lim Ek sebagai ibu Kong Lee, karena tadi ia telah berbicara dengan isterinya perihal pemuda itu. Nyonya Thio yang peramah dan terpelajar itu menarik hati Nyonya Lim.

Kemudian, setelah Thio Eng mengeluarkan air teh yang dibawa oleh seorang pelayan, Thio Sui Kiat lalu menceritakan tentang kedatangan Kong Lee. Ia ceritakan pula bahwa ia tadinya hendak mengambil anak itu sebgai muridnya, tapi agaknya anak muda yang keras hati itu tidak suka menjadi muridnya.

“Aku merasa menyesal sekali, Lim-toanio, bahwa anakmu itu agaknya menaruh dendam dan ingin sekali mengalahkan aku. Ia berjanji hendak kembali dan mengajak pibu lagi setelah ia belajar lagi beberapa tahun! Hal ini sungguh-sungguh membuat aku merasa menyesal sekali!”

Nyonya Lim menghela napas.

“Saya sendiripun tidak tahu akan kepergiannya ke sini, karena ia pergi tanpa pamit. Aah, memang anak itu berhati keras seperti ayahnya ... akan tetapi, saya merasa bersukur sekali bahwa Thio-taihiap sudi memberi pelajaran kepadanya dan suka memaafkan kekurang ajarannya.”

Melihat bahwa nyonya ini tidak menaruh dendam kepadanya, hati Thio Sui Kiat merasa terharu sekali dan juga girang karena ia menganggap wanita ini berhati bijaksana. Ia lalu memberi isyarat dengan mata kepada isterinya, dan isterinyapun mengerti akan tanda ini, karena tadi ia telah bicara banyak sekali tentang diri Kong Lee dengan suaminya. Biarpun ia sendiri belum melihat anak muda itu, tapi ia percaya kepada suaminya yang memuji-muji Kong Lee.

“Cici yang baik,” katanya kepada Nyonya Lim. “Berapa tahunkah usia puteramu itu?” Karena menyangka ahwa pertanyaan ini bersifat biasa saja sebagai percakapan antara nyonya rumah dan tamunya, ia menjawab bahwa anaknya itu berusia tiga belas tahun. “Apakah anakmu itu sudah kau tunangkan dengan nona lain?” tanyanya.

Mendengar pertanyaan ini, barulah Kwee Cin Hwa merasa terkejut dan memandang dengan heran sambil menggelengkan kepala.

“Jangan terkejut, cici. Ketahuilah, suamiku dan aku merasa suka sekali kepada puteramu itu, dan karena kamipun hanya mempunyai seorang puteri yang telah berusia dua belas tahun dan belum ditunangkan, maka kami telah mendapat pikiran untuk menjodohkan anak kami yang bodoh itu dengan putera cici. Bagaimanakah pendapatmu, cici?”

Untuk beberapa lama Kwee Cin Hwa tak dapat menjawab. Hal ini sungguh-sungguh sama sekali tak pernah disangkanya!

Kalau dulu ia merasa benci melihat kesombongan Thio Sui Kiat, sekarang ia melihat betapa orang she Thio itu sopan santun, ramah dan pada mukanya terbayang sifat-sifat sabar. Karena keramahan Nyonya Thio ini, hatinya telah dapat ditundukkan dan merasa suka sekali. Tadipun ia telah melihat Thio Eng yang selain cantik, juga bersikap sopan dan sekali pandang saja ia maklum bahwa gadis itu tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Kini orang yang dulu menghina suaminya, orang yang memiliki kepandaian tinggi, hartawan dan mempunyai sebuah gedung dengan perabotnya serba indah ini, hendak mengambil anaknya sebagai menantu?

Benar-benar Nyonya Lim tak dapat menjawab karena hatinya berdebar-debar dan tidak tahu bagaimana harus menjawab! Ia adalah seorang miskin dan seorang janda pula, sedangkan keluarga Thio begini kayanya!

Tiba-tiba nyonya ini teringat akan suaminya dan tak tertahankan pula ia menangis tersedu-sedu sambil menggunakan kedua tangan nya menutupi mukanya.

Melihat ini, Thio Sui Kiat lalu mengundurkan diri dan membiarkan isterinya menghibur nyonya yang sedang bersedih itu. Nyonya Thio pun lalu memeluk pundak tamunya dan membawanya ke kamar di mana Thio-hujin menghibur tamunya dengan kata-kata halus. Karena hari telah menjadi gelap, maka malam itu Kwee Cin Hwa bermalam di situ, dijamu dan dilayani oleh tuan dan nyonya rumah dengan hormat dan ramah sekali sehingga nyonya janda ini merasa berterima kasih dan terharu.

Sebagai jawaban atas usul perjodohan yang diajukan oleh keluarga Thio, Nyonya Lim Ek berkata, “Budi kalian sungguh besar sekali hingga aku merasa malu untuk menerimanya. Orang macam apakah anakku itu dan keluarga apakah kami ini hingga kalian memberi kehormatan sebesar itu dan sudi menerima Kong Lee sebagai menantu? Ah, bagaimana aku bisa menolak dan tidak menyetujuinya? Puterimu demikian cantik jelita dan pandai, sedangkan kalian begini manis budi dan hartawan besar. Akan tetapi, biarpun aku sendiri menyetujui sepenuhnya atas usul kalian ini, aku harus bertanya dulu kepada puteraku Kong Lee!”

Thio Sui Kiat dan isterinya membenarkan pernyataan ini dan sementara ini, sebelum mendapat keputusan tetap, maka kedua anak itu akan dianggap calon tunangan dulu dan sebelum ada keputusan maka kedua pihak takkan mengikat anak masing-masing dengan tali perjodohan lain.

Dengan membawa kesan yang mendalam akan kebaikan dan keramahan keluarga Thio, nyonya janda itu pulang ke Bi-ciu dengan hati girang dan ia mengambil keputusan hendak membujuk Kong Lee supaya suka menerima ikatan jodoh dengan Thio Eng itu. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah, ternyata Kong Lee tidak ada di situ! Anak muda itu benar telah pulang, akan tetapi hanya untuk meninggalkan surat yang menyatakan bahwa ia hendak pergi merantau mencari guru yang pandai sehingga cita- cita almarhum ayahnya tercapai, yakni hendak belajar sampai menjadi seorang pandai yang tidak hanya memiliki kepandaian serba tanggung-tanggung!

Tentu saja Kwee Cin Hwa hanya menghela napas dan berdoa semoga perantauan anaknya itu takkan memenuhi rintangan sehingga tercapai cita-citanya.

-***-

Dengan membawa perbekalan tipis tapi dengan semangat dan ketabahan besar sekali, Kong Lee mulai dengan perantauannya. Banyak tempat dikunjungi dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu ini, dan setiap kali masuk ke dalam sebuah kota, tentu ia mencari guru silat terpandai di kota itu. Lalu ia sengaja mengajak pibu!

Ia hendak mencari seorang guru silat yang dapat merobohkannya dalam pertempuran kurang dari tiga jurus!

Karena dalam pikirannya, jika ada seorang guru silat yang mampu mengalahkannya dalam pertandingan kurang dari tiga jurus, maka berarti bahwa kepandaian guru silat itu lebih tinggi dari kepandaian Thio Sui Kiat yang baru bisa mengalahkannya setelah bertanding selama tiga jurus!

Akan tetapi ternyata ia mengalami kekecewaan, karena setiap guru silat yang ditemuinya, tidak ada yang dapat merobohkannya kurang dari tiga jurus! Ilmu toyanya telah cukup kuat dan hebat. Telah ada beberapa orang guru silat yang roboh olehnya! Hal ini membuat Kong Lee merasa kecewa sekali dan makin kagumlah ia akan kepandaian Thio Sui Kiat. Mulai timbul penyesalan dalam hatinya mengapa ia dulu tidak mau menerima ketika orang she Thio yang hebat itu hendak mengambil ia sebagai murid.

Beberapa bulan kemudian habislah segala perbekalannya, bahkan untuk dapat mengisi perutnya, terpaksa ia menjual pakaiannya yang masih baik dan menukarkannya dengan pakaian yang buruk. Akan tetapi uang hasil penjualan pakaian inipun habis dimasukkan perut dan kini ia tak memegang uang sedikitpun. Terpaksa ia mencari pekerjaan ke sana kemari, tapi pada waktu itu, di Tiongkok terdapat ratusan tibu orang yang bergelandangan tanpa pekerjaan tetap karena sukarnya mencari pekerjaan! Kong Lee menjadi bingung. Tak disangkanya bahwa untuk mengisi perut saja demikian susahnya! Terpaksa ia selalu menahan laparnya dan pada saat ia tak kuat menahan lagi, ia lalu menebalkan muka dan minta belas kasihan orang. Ia menjadi pengemis!

Namun berkat tenaganya yang besar, dapat juga Kong Lee membantu pekerjaan orang-orang, pekerjaan berat yang hanya menghasilkan sedikit uang untuk makan. Akan tetapi, karena memang bukan cita-citanya untuk tinggal di suatu tempat dan bekerja di situ, ia selalu tidak dapat tinggal lama di sesuatu tempat dan melanjutkan perantauannya lagi. Dan kebiasaannya untuk mengunjungi jago-jago silat guna mencari guru masih harus dilanjutkan sehingga lambat laun namanya menjadi terkenal!

Bukan terkenal karena kehebatannya, akan tetapi terkenal sebagai seorang anak muda yang aneh dan berani dan yang selalu mengajak pibu kepada setiap orang yang dianggapnya mengerti ilmu silat! Banyak guru silat yang melihat keuletan dan bakat baik yang ada pada dirinya, hendak mengambil ia sebagai murid, tapi karena guru- guru silat itu tidak dapat menjatuhkannya kurang dari tiga jurus, Kong Lee hanya mengucapkan terima kasih dan selalu menolak.

Kemudian ia mendengar bahwa di daerah barat banyak terdapat ahli silat, maka ia memutuskan untuk melanjutkan perantauannya ke daerah barat.

Pada suatu hari, Kong Lee tiba di kota Kwi-teng, sebuah kota yang besar. Ia kemudian mencari keterangan tentang siapa saja guru silat di kota itu dan juga orang- orang yang ahli silat. Setelah mendapat keterangan, iapun memutuskan untuk mengunjungi Tan-kauwsu.

Ketika sampai di depan bu-koan milik Tan-kauwsu, ia dihadang oleh seorang penjaga pintu yang sombong.

Penjaga pintu itu ketika melihat seorang pengemis muda datang menghampiri bu- koan milik majikannya, memandang rendah kepada orang itu, lalu menghardik si pengemis itu dan bertanya apa keinginannya berkunjung ke tempat itu.

“Aku ingin bertemu dan mengajak Tan-kauwsu untuk berpibu!” kata si pengemis itu. “Ha-ha-ha, jembel busuk, kurang ajar kau! Majikanku adalah seorang yang terkenal, dan orang seperti kau ini mengajak dia pibu? Ha, ha! Dengan penjaga pintunya saja tak mungkin kau dapat menang.”

Kini Kong Lee menganggap bahwa orang ini keterlaluan dan patut diberi hajaran agar lain kali jangan berani mengganggu orang lagi.

“Ah, kalau begitu aku berhadapan dengan seorang penjaga pintu yang hebat ilmu silatnya? Maaf, maaf, aku berlaku kurang hormat!” kata Kong Lee sambil memandang tubuh orang yang tinggi besar yang agaknya bertenaga besar pula.

Penjaga pintu itu memang pernah belajar silat maka ia sangat girang mendengar pujian ini, apalagi melihat ada beberapa orang melihat peristiwa ini.

“Maka jangan kau berani main gila di sini dan lekaslah kau pergi sebelum kepalan loyamu (tuan besarmu) menghajar kau!” katanya tekebur.

“Aku sudah datang di sini dan memang aku ingin sekali mencoba kepalan tangan orang. Cobalah kau jatuhkan kepalanmu yang besar itu kepadaku.” Kong Lee menantang dengan sikap sabar.

Penjaga pintu itu marah sekali.

“Kau agaknya sudah bosan hidup!” kata-kata ini disusul dengan ayunan kepalan tangannya yang besar, menghantam dada Kong Lee. Anak muda ini dengan tenang lalu mengerahkan lwee-kangnya dan memusatkan tenaganya di tempat yang menerima pukulan.

“Dukk!”

Pukulan itu tepat menghantam dada, tapi Kong Lee masih berdiri tetap bagaikan tak merasakan sesuatu. Sebaliknya penjaga pintu itu meringis-ringis dan mengaduh-aduh sambil memegangi kepalan tangannya yang sakit. Ternyata kepalan tangannya telah menjadi merah biru dan bengkak.

Orang-orang yang menonton peristiwa itu tertawa geli dan penjaga pintu itu memaki- maki Kong Lee tanpa berani mencoba untuk menyerang lagi!

Mendengar ramai-ramai itu, dari dalam rumah keluar seo rang setengah tua yang bertubuh pendek, tapi bersikap gagah. Melihat keadaan tangan pelayannya dan mendengar ceritanya bahwa anak muda yang berdiri di depannya ini yang melakukannya, orang itu memandang anak muda itu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik.

“Siapakah kau anak muda dan apa maksudmu datang di sini dan berbuat keributan ini?” tanyanya.

“Saya bernama Lim Kong Lee dan saya datang hendak bertemu dengan Tan-kauwsu dan mengajaknya untuk berpibu. Adapun tentang keributan itu, saya tidak bermaksud membuat keributan, tapi penjaga pintu itu terlalu sombong dan telah menghinaku, maka aku hanya memberi sedikit pelajaran kepadanya,” kata Kong Lee sambil memberi hormat.

“Lim Kong Lee, akulah yang bernama Tan-kauwsu dan engkau hendak mengajakku berpibu bagaimana? Apakah syaratnya?” tanya orang tua itu yang ternyata adalah Tan-kauwsu sendiri.

“Syaratku hanyalah kalau kauwsu dapat mengalahkan saya kurang dari tiga jurus, saya bersedia menjadi murid dari kauwsu,” kata Kong Lee.

“Ha-ha, anak muda, kau yang mempunyai syarat seberat itu! Ha, ha, ha! Dan, kalau aku sampai dapat merobohkanmu sebelum tiga jurus, dan kau hendak berguru kepadaku, kau dapat membayar berapa?”

“Siauw-te seorang miskin dan tidak kuat membayar dengan uang. Akan tetapi, siauw- te akan melakukan apa saja perintah kauwsu untuk diterima sebagai murid dan siauw- te tunduk terhadap segala macam syarat yang ada, kecuali membayar uang!”

“Ha, ha! Sungguhpun kau aneh, tapi kau jujur dan keras hati, anak muda. Soal syarat- syarat itu mudah, sekarang coba hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!” Kong Lee lalu mengikuti guru silat itu menuju ke lian-bu-thia tempat berlatih silat.

Setelah tiba di situ, Tan-kauwsu lalu memasang kuda-kuda dan berkata, “Nah, maju dan seranglah, anak muda!”

Tapi Kong Lee menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak demikian maksudku, Tan- kauwsu. Aku tak hendak menyerangmu dengan toyaku ini dan kau boleh mengusahakan senjata apa saja untuk melayaniku, atau lebih tepat kau seranglah aku dengan senjata apa saja sedangkan aku hendak membela diri dengan toya ini.” Kembali Tan Ngo tertawa lebar dan ia lalu mengambil sebuah golok putul yang biasa dipakai berlatih dari rak senjata. “Kalau demikian maksudmu, baiklah. Bersiaplah aku hendak mulai menyerang!” Dengan hati gembira Kong Lee lalu menggerakkan tongkatnya dan memutarnya dengan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir untuk melindungi seluruh tubuhnya. Perlu diketahui bahwa anak muda ini telah berkali-kali menghadapi guru- guru silat yang pandai dan selama perantauannya yang dua tahun lamanya itu ia telah memperoleh pengalaman banyak dan ilmu silatnya telah banyak mendapat kemajuan pula, maka kini gerakannya lebih cepat dan kuat sehingga toyanya berputar-putar menyelimuti tubuhnya dan agaknya memang sukar untuk diserang. Kalau orang memercikkan air ke arah pemuda itu, maka sedikitpun takkan dapat membasahi tubuhnya karena tertahan oleh putaran toya yang telah merupakan dinding baja yang kuat!

Melihat permainan toya anak muda itu, Tan Ngo menjadi terkejut sekali karena tak disangkanya bahwa anak muda jembel ini telah memilki kepandaian sehebat itu. Ia maklum bahwa tidak mungkin baginya untuk dapat mengalahkan anak muda itu hanya dalam tiga jurus saja. Akan tetapi karena merasa telah berjanji, terpaksa Tan Ngo mulai menyerang dengan hebat, mengeluarkan ilmu goloknya yang hebat.

Pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Hong-sauw Pai=yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Ketika goloknya terpukul kembali oleh toya Kong Lee, guru silat itu lalu menyerang untuk kedua kalinya dengan tipu Hong-cui Pai-hio atau Angin Tiup Daun Tua. Akan tetapi, kembali goloknya tak dapat menembus bentang baja yang melindungi tubuh Kong Lee. Tan Ngo mulai merasa panas dan ia lalu mengeluarkan ilmu golok Lo-han-to dari cabang Siauw-lim. Ilmu golok ini memang hebat akan tetapi sampai sepuluh jurus lebih belum juga ia dapat menembus pertahanan Kong Lee!

“Sudahlah, kauwsu, sudahlah ... ” kata Kong Lee dengan kecewa, karena seperti guru- guru silat yang lain, Tan Ngo inipun tidak mampu menjatuhkannya dalam tiga jurus! Tapi Tan Ngo yang merasa panas sekali, terus saja menyerang sehingga terpaksa Kong Lee melayaninya dengan sepenuh tenaga. Setelah mereka bertempur sampai lima puluh jurus barulah Tan Ngo berhasil membabat lengan Kong Lee dengan golok tumpulnya sehingga anak muda itu merasa kesakitan dan terpaksa ia melepaskan tongkatnya. Kong Lee menggosok-gosok lengannya yang terpukul golok dan kulit lengannya menjadi matang biru hingga ia meringis-ringis kesakitan. Kalau golok itu tajam, tentu sebelah lengannya telah putus!

“Tan-kauwsu, mengapa kau menyerang terus?” tanya Kong Lee sambil menggosok- gosok lengannya.

Tan Ngo menghela napas.

“Anak muda, terus terang saja kukatakan bahwa ilmu toyamu sudah cukup hebat. Kau mencari orang yang dalam tiga jurus dapat mengalahkan ilmu toyamu itu, kukira biarpun kau menjelajahi seluruh negeri, kau tak mungkin akan menemukan orang itu!”

Kong Lee memungut toyanyaa lalu berkata, “Kau tidak tahu, Tan-kauwsu. Ada orang yang dengan mudah sekali dapat mengalahkan ilmu toyaku ini dalam tiga jurus!” kemudian ia menjura dan menyeret tongkatnya keluar dari tempat itu.

Biarpun lengan tangannya masih terasa sakit sekali, namun Kong Lee terus saja mencari guru silat kedua yang bernama Oei Sin. Juga guru silat ini tidak dapat mengalahkannya dalam tiga jurus, bahkan setelah bertempur seratus jurus, belum juga Oei Sin dapat merobohkannya. Maka dengan jengkel sekali Kong Lee meloncat mundur dan pergi dari situ. Kalau saja lengan tangannya tidak kena pukul oleh Tan Ngo tadi, agaknya ia bahkan akan dapat merobohkan Oei Sin!

Hatinya jengkel dan kecewa sekali karena di dalam kota sebesar Kwi-teng ini hanya ada guru-guru silat serendah itu. Pengharapannya kini tinggal pada orang ketiga yang dianggap gagah perkasa di kota itu, yakni Gan-piauwsu. Ketika Kong Lee tiba di rumah piauwsu itu, kebetulan Gan-piauwsu berada di rumah dan tidak sedang mengantar barang kiriman. Ia lalu dipersilakan masuk dan ketika Gan-piauwsu mendengar bahwa anak muda ini hendak mengajak pibu, ia lalu mengajak Kong Lee masuk ke dalam kebun bunganya di belakang rumah yang cukup luas dan dikelilingi pagar tembok.

Gan-piauwsu adalah seorang yang telah berusia hampir lima puluh tahun, tapi tubuhnya masih tegap dan kuat dan sikapnya peramah. Ternyata piauwsu ini sudah mempunyai banyak sekali pengalaman karena sudah dua puluh tahun menjalankan pekerjaan mengantar kiriman barang-barang berharga, ia telah mengalami banyak sekali pertempuran dan bentrokan-bentrokan dengan para penjahat yang hendak merampas barang-barang berharga yang berada di bawah tanggung jawabnya itu. “Anak muda, hatimu keras sekali,” katanya ketika mendengar penuturan Kong Lee betapa telah dua tahun lebih ia berkelana mencari guru. “Kalau sampai selama itu belum ada orang yang mampu menjatuhkanmu dalam tiga jurus, maka tentu kepandaianmu sudah lumayan juga. Aku sendiri tidak mempunyai murid, dan agaknya akan senang hatimu kalau aku dapat merobohkanmu dalam tiga jurus, karena kau selain akan menjadi murid, juga dapat kuharapkan menjadi pembantuku yang kuat!”

Memang dengan pandang matanya yang tajam, Gan Sin Hap ini telah maklum bahwa anak muda di hadapannya mempunyai bakat yang baik sekali serta memiliki semangat yang besar. Oleh karena merasa suka kepada pemuda ini, maka sebelum mereka mengukur kepandaian, Gan-piauwsu memerintahkan pelayannya untuk menjamu makan kepada Kong Lee, hingga anak muda ini merasa berterima kasih sekali kepada piauwsu yang baik hati ini.

Hari telah sore ketika mereka berdua memasuki taman untuk mulai mencoba ilmu kepandaian, Gan-piauwsu memegang sebatang toya kuningan untuk melayani tongkat Kong Lee.

“Nah, hati-hatilah, anak muda, aku hendak mulai menyerang dengan jurus pertama,” katanya.

Kong Lee telah siap sedia dan ia mainkan toyanya dengan cepat. Seperti guru-guru silat yang pernah didatangi Kong Lee, Gan-piauwsu kagum melihat permainan toya anak muda itu dan merasa bahwa iapun tak sanggup menjatuhkan dalam tiga jurus. Demikianlah, tiga jurus telah dimainkan dan Kong Lee hanya merasa tiga kali gempuran yang menyebabkan kedua tangannya merasa gemetar karena kerasnya sambaran toya orang tua itu, akan tetapi belum cukup untuk menjatuhkannya. Pada jurus kelima, Gan-piauwsu melompat mundur dan menyimpan toyanya.

“Anak muda, ilmu toyamu sudah cukup baik, hanya perlu diperdalam dengan latihan- latihan saja. Kalau kau suka, aku akan merasa girang sekali memberi petunjuk- petunjuk padamu dan kau boleh bekerja di sini, mewakili aku mengantar barang- barang pada jarak dekat.”

“Terima kasih banyak atas budi kebaikanmu, Lo-enghiong,” kata Kong Lee. “Tapi bukan itu cita-citaku.”

Pada saat anak muda itu hendak mengundurkan diri dan pergi, tiba-tiba dari atas pagar tembok terdengar bentakan nyaring dan halus, “Orang she Gan! Akhirnya aku dapat menemukan kau!”

Bentakan itu disusul dengan melayangnya bayangan seorang gadis berpakaian hijau dari atas tembok dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali. gadis baju hijau itu memegang sebatang pedang di tangannya dan sekali lompat saja ia telah tiba di depan Gan-piauwsu dan Kong Lee. Gadis itu cantik sekali dan matanya menyatakan bahwa ia sangat cerdik, tapi sinar matanya itu membayangkan kegenitan. Ia mengerling sekilas kepada Kong Lee dan mulutnya terenyum manis. Kemudian ia menghadapi Gan-piawsu dan bertolak pinggang dengan sikap menantang.

Melihat gerakan-gerakan ini, Gan-piauwsu maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia lalu memberi hormat dan bertanya, “Harap aku orang tua dimaafkan karena tidak mengenal Li-enghiong yang telah sudi mengunjungi tempatku yang buruk ini.”

“Gan Sin Hap, mana kau kenal aku? Kalau kau kenal aku, tentu ketika lewat di bukit Kim-ke-san kau takkan lewat begitu saja, bahkan telah melukai beberapa orang dari anak buah suhengku.”

Terkejutlah Gan Sin Hap mendengar ini. Pada beberapa bulan yang lalu, ia memang mengantar barang kiriman berharga melewati gunung Kim-ke-san dan di situ ia telah diserang oleh beberapa orang perampok yang dapat dipukulnya mundur. Akan tetapi, ketika ia telah turun dari bukit itu, ia mendengar dari seorang kenalan bahwa tai-ong (raja perampok) dari bukit itu adalah Pauw Kian yang berjuluk Iblis Tangan Hitam, seorang perampok yang amat terkenal dan ditakuti orang karena selain berkepandaian tinggi, juga berhati kejam. Ia merasa menyesal sekali karena daripada bermusuhan dengan orang ini, jauh lebih baik kalau sebelum lewat di situ, ia mengunjunginya terlebih dahulu sebagai kunjungan kehormatan dan mengirim bingkisan untuk belajar kenal. Kini sudah terlambat dan bentrokan telah terjadi, maka apa boleh buat, ia hanya menanti dengan waspada dan hati-hati.

Ternyata kini yang datang adalah sumoi dari Iblis Tangan Hitam itu dan iapun sudah mendengar akan kehebatan Kim-gan-eng atau Garuda Bermata Emas, yakni julukan gadis baju hijau ini yang bernama Coa Kim Nio.

Akan tetapi piauwsu tua itu dapat menenangkan hatinya dan ia berkata, “Ah, kiranya Coa-lihiap yang datang. Maaf bahwa aku orang tua tidak mengetahui lebih dulu dan tidak siang-siang mengadakan penyambutan sebagaimana layaknya.”

“Orang she Gan! Janganlah banyak menggunakan kata-kata halus untuk menenangkan keadaan. Tahukah kau akan dosa-dosamu?” gadis cantik itu membentak sambil menuding dengan pedangnya.

Melihat kegalakan gadis itu, diam-diam di dalam hati Kong Lee timbul niat hendak membantu tuan rumah yang peramah, karena ia tidak suka akan sikap gadis itu, walaupun kecantikannya memang mengagumkannya.

“Coa-lihiap, kau tentu maksudkan peristiwa perampokan di bukit Kim-ke-san itu, bukan? Harap dimaafkan karena sesungguhnya pada waktu itu aku sama sekali tidak menyangka bahwa yang menjadi pemimpin adalah suhengmu yang gagah perkasa. Dan anak buah suhengmu itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mencegah terjadinya pertempuran. Akan tetapi, aku orang tua memang tidak suka menanam permusuhan. Kalau saja kau dan suhengmu dapat memberi maaf, aku Gan Sin Hap bersedia menganti kerugian yang diderita oleh anak buah suhengmu itu!”

“Enak saja kau bicara! Setelah kau menghina kami, apakah kami mau melepaskan kau begitu saja? Sampai di manakah kepandaianmu maka kau berani berlagak? Ambil senjatamu kalau kau memang seorang ksatria, jangan hanya berani berlagak di depan anak buah kami yang tak berkepandaian!”

Kong Lee tak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil memutar tongkatnya ia maju menyerang sambil membentak, “Dari mana datangnya perempuan hutan yang kurang ajar?”

Dengan gerak tipu Harimau Lapar Menerkam Kambing ia hantamkan tongkatnya ke arah leher nona itu, tapi dengan mudah saja gadis baju hijau itu mengelak sambil membentak dengan suaranya yang merdu, “Eh, eh, orang she Gan! Apakah pengemis busuk ini muridmu?” lalu ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh toya Kong Lee.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya anak muda itu ketika sebelum toyanya dapat membentur pedang nona itu, tiba-tiba ujung pedang berkelebat dengan sebuah putaran yang tak terduga sekali hingga tahu-tahu ujung pedang itu telah mengarah pundaknya. Sebelum hilang kagetnya, nona itu memiringkan pedangnya hingga ujung pedang hingga tidak menembus kulit dada Kong Lee tapi hanya menyambar bajunya dan dengan suara “brett!” pakaiannya telah terobek oleh ujung pedang sehingga nampaklah dadanya yang bidang!

Dan sebelum Kong Lee dapat bergerak lebih jauh tahu-tahu Kim-gan-eng Si Garuda Bermata Emas itu telah melompat maju dan tangan kirinya yang berkulit halus menepuk pundak Kong Lee yang telanjang. Seketika itu juga Kong Lee merasa seluruh tubuhnya lemas dan pandangan matanya berkunang-kunang lalu roboh tak sadarkan diri!

Ketika tak lama kemudian Kong Lee siuman kembali, ia teringat bahwa dalam dua jurus saja nona baju hijau itu telah merobohkannya!

Inilah orang yang dicari-carinya selama ini!

Nona baju hijau ini lebih ulung dan hebat daripada Thio Sui Kiat. Ia cepat bangun dan berpaling. Ternyata nona baju hijau yang hebat itu tengah berkelahi dengan Gan- piauwsu dan orang tua itu tampak terdesak sekali. Pada suatu saat, pedang di tangan nona itu berkelebat cepat sekali dan Gan Sin Hap sambil berteriak kesakitan melepaskan toyanya dan meloncat mundur. Tangan kanannya berdarah dan lengan itu telah terluka memanjang sehingga darah mengalir keluar banyak sekali!

“Ha, ha, hanya demikian saja kepandaianmu, orang she Gan. Nah, pelajaran ini harap kau buat sebagai tanda peringatan agar lain kali kau tidak menghina orang lain pula!” setelah berkata demikian, nona baju hijau itu meloncat ke atas tembok.

“Coa-lihiap, terima kasih atas kemurahan hatimu!” teriak Gan Sin Hap, tapi nona itu tidak menjawab, dan terus melompat menghilang.

Kong Lee cepat lari mengejar dan melompati tembok itu. “Li-hiap, tunggu ... ! Nona, tunggu sebentar ... !”

Kim-gan-eng Coa kIm Nio menahan kakinya dan menengok, Kong Lee lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nona itu dan berkata memohon, “Li-hiap yang perkasa! Mohon kau sudi menerima aku sebagai murid!”

Nona baju hijau itu memandangnya dengan mata terbelalak heran lalu ia tampak marah.

“Hai, anak muda, jangan kau berlaku kurang ajar!” lagaknya seperti orang tua saja yang sedang memarahi seorang anak kecil.

“Li-hiap, aku tidak main-main. Dengan sungguh hati aku mohon diterima menjadi murid. Apapun yang li-hiap perintahkan tentu akan saya lakukan asal saya boleh belajar silat kepadamu.”

Tadinya Coa Kim Nio menduga bahwa anak muda itu hendak berlaku kurang ajar karena melihat kecantikannya, tapi melihat bahwa Kong Lee bersungguh-sungguh, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kau hendak menjadi muridku? Cih! Tak tahu diri, mukamu kotor dan pakaianmu menjijikkan. Siapa sudi berkenalan dengan kau?” Setelah berkata demikian, Kim Nio menggerakkan tubuh melompat pergi dan gerakannya demikian cepat sehingga Kong Lee tak dapat mengejarnya, dan hanya berdiri melongo dengan hati kecewa. Baru sekarang, setelah lebih dari dua tahun merantau, ia bertemu dengan sorang yang dapat merobohkannya dalam dua jurus saja, tapi ia tidak diterima menjadi murid, bahkan dihina! Ia lalu teringat kepada Gan-piauwsu yang terluka, maka ia cepat kembali dan melompat pagar tembok itu. Di situ ia melihat Gan-piauwsu sedang membalut lengannya dengan sobekan pakaiannya.

“Bagaimana lukamu, Lo-enghiong?” tanya Kong Lee. Orang tua itu tersenyum.

“Memang hebat sekali Kim-gan-eng Coa Kim Nio. Untung sekali ia berlaku murah hati, kalau tidak, sedikitnya lenganku ini tentu telah terpotong oleh pedangnya. Ia sengaja memiringkan pedang sehingga aku hanya mendapat guratan dan terluka di kulit saja. Kalau Hek-ciu-mo Si Iblis Tangan Hitam yang datang sendiri, belum tentu aku dapat terlepas dari bahaya maut, karena suhengnya itu sangat kejam!”

“Apakah suhengnya memiliki kepandaian silat yang lebih hebat dari nona tadi?” tanya Kong Lee dengan kagum.

Gan Sin Hap menghela napas.

“Pada waktu ini banyak sekali terdapat orang-orang hebat, akan teatpi agaknya sukar mencari tandingan kedua orang itu!”

Dengan hati tetap kecewa karena tidak bisa mengangkat guru kepada nona yang ulung itu, Kong Lee lalu mengambil keputusan nekad. Ia hendak mencari Hek-ciu-mo Pauw Kian untuk mengangkat guru kepada Iblis Tangan Hitam itu. Maka ia lalu berpamit dan menuju ke bukit Kim-ke-san.

Ketika ia tiba di dusun kecil di kaki bukit Kim-ke-san, ia berhenti mengaso di sebuah kuil rusak. Di situ terdapat beberapa orang pengemis sedang beristirahat. Tubuh mereka kurus kering dan keadaan mereka sungguh menyedihkan. Akan tetapi yang mengherankan hati Kong Lee, seorang di antara mereka yang tertua dan paling kurus tubuhnya sehingga tulang-tulangnya yang menjenguk keluar dari lubang di bajunya tampak nyata sekali, sedang bernyanyi dengan suara parau dan wajah berseri-seri!

Pengemis-pengemis lain mengelilinginya dengan wajah gembira, agaknya mereka ini terhibur oleh suara nyanyian yang sama sekali tak dapat dikatakan merdu itu.

Kong Lee tidak memperhatikan mereka karena tubuhnya lelah sekali dan selain perutnya terasa lapar, ia juga mengantuk sekali karena semalam tadi ia sama sekali tidak dapat tidur memikirkan nasibnya!

Ia lalu duduk menyandarkan diri pada dinding kuil yang sudah bobrok agak jauh dari para pengemis yang sedang bersukaria itu. Teringatlah ia kepada ibunya dan tak terasa pula naik sedu sedan dari dadanya karena ia merasa bersedih. Telah dua tahun lebih ia pergi merantau meninggalkan ibunya yang sudah janda untuk memenuhi cita- cita ayahnya agar ia belajar dan menjadi orang pandai, tapi apa jadinya dengan dia?

Sebagai seorang pengemis terlantar! Apakah ia selamanya akan begini saja? Ia telah bersumpah bahwa kalau ia belum dapat belajar silat hingga kepandaiannya melebihi kepandaian Thio Sui Kiat, ia takkan mau kembali ke kotanya.

Ketika dua matanya telah ia pejamkan dan hampir saja ia tertidur, tiba-tiba ia mendengar suara hiruk-pikuk. Cepat ia membuka mata, ternyata kuil yang bobrok dan tua itu mengalami keruntuhannya dan pada saat itu sebuah tiang besar yang melintang di atas para pengemis itu telah patah karena ujungnya yang menyambung kepada tiang besar telah habis dimakan bubuk! Balok besar yang berat itu jatuh menimpa ke arah sekumpulan pengemis tadi!

Kong Lee terkejut sekali, tapi ia tak berdaya menolong, maka ia hanya memandang dengan hati penuh kengerian. Ia dapat membayangkan betapa tubuh-tubuh orang pengemis itu pasti akan hancur tertimpa balok. Tapi pada saat itu terjadi keanehan yang luar biasa. Pengemis tua renta yang kurus kering bagaikan kerangka itu dan yang tadi bernyanyi sambil memukul-mukulkan sebatang tongkat bambu ke atas lantai untuk memberi irama kepada lagunya, dengan tenang sekali mengangkat tongkat bambunya. Dengan ujung tongkat bambu ini pengemis itu menahan jatuhnya balik besar, lalu ia putar-putar tongkatnya hingga balik itupun ikut terputar-putar.

Kemudian dengan sekali menggerakkan tangan yang memegang tongkat, balok besar itu terlempar jauh ke depan kuil mengeluarkan suara keras sekali!

Semua pengemis bersorak girang dan berkata, “Bagus, bagus!” mereka menganggap itu sebuah permainan yang bagus sekali.

Akan tetapi Kong Lee yang bermata tajam dapat melihat betapa hebat tenaga dan ilmu kepandaian pengemis tua itu, maka ia maklum bahwa pengemis ini tentulah seorang yang berkepandaian tinggi. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu berdiri dan menghampiri pengemis tadi. Akan tetapi, pengemis tua itu sudah bernyanyi lagi seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Kong Lee! “Orang tua yang gagah, aku orang muda mengharap dengan sangat sukalah kiranya kau memberi sedikit petunjuk tentang ilmu tongkat!” kata Kong Lee sambil menjura. Tapi pengemis itu tidak mempedulikan hingga ia ditegur oleh pengemis-pengemis lain yang mengatakan bahwa ada seorang muda mengajak ia bicara.

“Ah, dia adalah seorang pemuda yang sesat, yang hendak berguru kepada seorang perampok jahat, untuk apa kita berkenalan dengan dia?” pengemis tua itu berkata tanpa memandang kepada Kong Lee.

Terkejutlah anak muda itu mendengar ucapan ini. Bagaimana orang tua aneh bisa mengetahui maksudnya mencari Iblis Tangan Hitam untuk berguru? Akan tetapi, mendengar ucapan pengemis tua yang terus terang mencela dan menghinanya itu, timbul juga rasa ingin tahu di hatinya. Ia minta dengan baik-baik untuk menjadi murid, tapi jembel tua itu bahkan menghinanya.

Lagipula, apakah pengemis jembel ini akan dapat merobohkannya dalam tiga jurus? Kong Lee berdiri dan berkata, “Orang tua yang perkasa, kau memaki aku sebagai seorang sesat, apakah kau dapat merobohkan aku dalam tiga jurus?”

Pengemis itu tertawa, “Apa susahnya merobohkan orang seperti kau? Untuk merobohkan orang yang keras kepala, sejurus saja sudah cukup!”

Hati Kong Lee merasa panas karena ia anggap pengemis tua yang bertubuh kurus kering itu terlalu sombong.

“Berdirilah dan coba jatuhkan aku dalam satu jurus saja,” tantangnya sambil memutar-mutar toyanya.

Tapi jembel tua itu masih saja duduk di atas lantai sambil tersenyum menghina. Pengemis-pengemis lain melihat betapa Kong Lee memutar-mutar toyanya dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali, hingga mereka menjadi kagum dan berkata kepada jembel tua itu.

“Awas, Lo-kai (pengemis tua), anak muda ini hebat sekali!”

Akan tetapi kini pengemis tua itu tertawa bergelak-gelak, kemudian dengan tiba-tiba sekali tubuhnya yang kurus melompat ke arah Kong Lee yang masih memutar-mutar toyanya. Sekali ia gerakkan tongkat bambunya, maka terdengar suara benturan keras dan toya Kong Lee terlempar jatuh!

Entah apakah yang telah terjadi. Kong Lee hanya merasa betapa toyanya terbentur dengan tenaga yang luar biasa sekali hingga ia tak kuasa memegangnya lagi. Benar saja, dalam satu jurus saja toyanya telah terlempar!

Kini Kong Lee tidak ragu-ragu lagi. Ia lalu maju dan berlutut di depan pengemis itu sambil berkata dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Suhu yang mulia, ampunkan teecu yang berani kurang ajar!”

Pengemis tua itu terbahak-bahak, “Eh, anak bengal. Kapan aku telah ambil kau sebagai murid?”

Namun Kong Lee berkeras berlutut sambil menyebut-nyebut suhu, sehingga pengemis tua itu yang sebenarnya memang suka kepada Kong Lee dan telah tahu akan keadaan dan riwayat pemuda itu, akhirnya berkata dengan suara tetap.

“Kau ingin menjadi muridku? Baik! Tapi di sini di kelenteng ini dan disaksikan oleh enam orang kawan-kawanku para pengemis ini, kau harus bersumpah. Ingat, kau tidak boleh main-main di depan Liong-san Lo-kai (Pengemis Tua dari Liong-san), karena sekali saja kau melanggar sumpahmu, jangan menyesal aku akan mencari dan menghukummu!”

Bukan main girang dan terkejut hati Kong Lee mendengar bahwa gurunya ini adalah Liong-san Lo-kai, seorang tokoh persilatan yang termasuk golongan tua dan sangat dihormati orang karena kepandaiannya yang luar biasa. Ia lalu berlutut di depan meja sembahyang yang bobrok dan bersumpah seperti yang diajarkan suhunya, yakni, 1.

Selama belajar ia harus menurut kata gurunya dan sedikitpun tidak boleh membantah.

2. Sebelum disuruh oleh gurunya, ia tidak boleh meninggalkan tempat di mana ia belajar silat. 3. Setelah turun gunung, ia harus menggunakan kepandaiannya untuk berbuat kebajikan dalam menolong sesama hidup. 4. Ia dilarang menggunakan kepandaiannya untuk membunuh orang, betapa jahatpun orang itu.

Setelah bersumpah, Kong Lee lalu diajak pergi oleh suhunya berjalan kaki menuju ke bukit Liong-san. Di sepanjang jalan, gurunya ini tak pernah mengajak bicara dengannya kecuali di waktu suhunya ini merasa lapar. Liong-san Lo-kai minta kepadanya untuk mengemis makanan, atau bahkan mencuri makanan!

Karena biarpun ia seorang pengemis jembel, namun Liong-san Lo-kai bukan seperti pengemis biasa dan ia teliti sekali dalam memilih makanan. Jangan kata makanan sisa orang, bahkan makanan yang sederhana saja ia tidak sudi makan! Caranya Liong-san Lo-kai mengemis makanan dengan minta masakan tertentu yang diingininya.

Pengurus-pengurus rumah makan yang dapat menduga bahwa mereka berhadapan dengan orang pandai tentu memberinya dan tidak akan ada perkara apa-apa lagi. Tapi para pengurus rumah makan yang tidak tahu, tentu saja menjadi marah dan mengusirnya. Kalau diusir Liong-san Lo-kai akan pergi dengan tak banyak cakap, tapi tak lama kemudian tentu rumah makan itu akan kehilangan masakan yang diingininya tadi dengan cara yang aneh sekali!

Karena tidak tampak ada orang yang mencuri, tapi makanan itu lenyap begitu saja! Kini setelah berjalan bersama Kong Lee, Liong-san Lo-kai selalu menyuruh muridnya ini yang mengemis makanan atau bahkan mencurinya. Tentu saja Kong Lee merasa heran sekali, akan tetapi ia tidak berani membantah dan melakukan perintah suhunya dengan patuh.

Karena tidak kuasa menahan keinginan hati hendak mengetahui pikiran suhunya mengenai hal ini, pernah ia bertanya, “Suhu, mengapa kita harus mencuri makanan? Bukankah kata orang-orang tua mencuri adalah pekerjaan yang tidak baik?”

Liong-san Lo-kai tertawa geli, lalu menjawab, “Memang, memang tidak baik untuk menjadi pencuri. Tapi kita bukan pencuri! Orang yang mengambil makanan untuk mengisi perutnya yang kosong, bukanlah pencuri namanya. Pencuri adalah mereka yang mengambil barang orang untuk dapat hidup mewah dan senang.”

Di dalam lubuk hatinya, Kong Lee tidak setuju dengan pandangan suhunya ini yang dianggapnya picik, karena baginya, pencuri tetap pencuri, baik yang dicurinya itu barang kecil atau besar, berharga mau pun tidak. Akan tetapi karena ia maklum bahwa gurunya adalah seorang tua yang aneh dan menuntut penghidupan secara luar biasa, maka ia tak berani banyak cakap. Ia hendak belajar silat, bukan belajar filsafat, juga tidak hendak belajar mencuri!

Kurang lebih dua bulan kemudian sampailah mereka di kaki gunung Liong-san. Tiba- tiba berubahlah sikap suhunya yang tadi seperti tidak bersemangat dan acuh tak acuh kepadanya, ketika orang tua itu berkata, “Kong Lee, ayo kau kejar aku naik ke atas gunung!” setelah berkata demikian, Liong-san Lo-kai lalu lari mendaki bukit itu dengan tindakan cepat, Kong Lee maklum bahwa suhunya hendak menguji kepandaiannya, maka ia lalu mengeluarkan gin-kangnya dan menggunakan ilmu lari cepat Hui-heng-sut yang dulu dipelajarinya dari ibunya.

Akan tetapi, betapa cepatnya ia lari, tetap saja ia tak dapat mengejar pengemis tua yang kelihatannya hanya berjalan perlahan itu! Liong-san Lo-kai sengaja melalui jalan yang sukar dan penuh batu-batu karang yang tajam hingga kaki Kong Lee telah merasa lelah dan sakit sekali. Batu-batu karang telah menembus sepatunya dan telapak kakinya terluka oleh batu-batu yang runcing itu. Namun, anak muda yag keras hati itu tidak mau berhenti berlari, dan sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya. Semangatnya tetap besar hingga setelah berlari-lari setengah hari, sampailah ia di puncak bukit itu.

Suhunya telah berdiri di atas sebuah batu karang dengan wajah kemerah-merahan dan jenggotnya yang putih berkibar-kibar tertiup angin gunung. Sedikitpun orang tua itu tak nampak lelah. Sebaliknya, Kong Lee ketika tiba di situ, hampir saja tak kuat berdiri karena lelahnya. Napasnya tersengal-sengal dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya.

Liong-san Lo-kai lalu mengajak muridnya ke sebuah kuil tua yang berada di puncak sebelah barat, di mana pengemis tua itu melewatkan waktunya sambil bersamadhi. Adakalanya sampai bertahun-tahun ia berada di puncak Liong-san dan tidak meninggalkan tempat itu sebentar pun juga. Tapi adakalanya ia tinggalkan tempat itu dan merantau sampai bertahun-tahun, dan hidup sebagai seorang pengemis di kota- kota besar. Jika ia berada di puncak bukit itu, ia tak usah kuatir tidak mendapat makan, karena tanah pegunungan itu subur sekali dan kakek ini telah mengcangkuli beberapa petak sawah yang ditanami sayur dan lain-lain.

Setelah Kong Lee berada di situ, maka segala pekerjaan harus dilakukan oleh anak muda itu. Mencari air di lereng gunung, mencangkul dan menebang kayu untuk bahan bakar dan lain-lain pekerjaan pula. Setiap hari anak muda itu harus mengambil air dari sebuah pancuran yang berada di lereng gunung, agak jauh dari kuil itu. Dan sampai setahun lebih Kong Lee tak pernah menerima pelajaran sedikitpun. Jangankan pelajaran praktek bersilat, teorinya tak pernah dibicarakan oleh suhunya yang aneh itu.

Akan tetapi, suhunya mengadakan peraturan yang ganjil baginya dalam pekerjaan- pekerjaannya. Pertama kali ketika ia mengambil air dari pancuran di bawah puncak, ia tidak boleh mempergunakan pikulan biasa, akan tetapi ia diberi pikulan yang terbuat dari puluhan batang rotan digabung menjadi satu dan diikat kuat-kuat. Dan ia harus memikul dua kaleng air yang beratnya tidak kurang dari lima puluh kati itu dengan pikulan istimewa ini. Tentu saja ia harus berlaku hati-hati sekali, karena pikulannya ini, walaupun sangat kuat dan ulet, namun tetap mempunyai sifat lemas hingga kalau saja ia berlaku kurang hati-hati maka air di dalam kedua kaleng itu pasti akan habis tumpah di jalan.

Sedangkan jalan antara kuil sampai ke tempat air terjun itu jauhnya tidak kurang dari lima li, dan melewati jalan naik turun, juga harus melewati beberapa jurang kecil yang harus diseberanginya sambil melompat! Selain itu masih juga harus melewati jalan berbatu-batu yang tajam dan dapat menembus sepatunya.

Pada permulaan kali, sangat sukarlah bagi Kong Lee untuk dapat membawa dua kaleng air itu sampai ke kuil dengan masih penuh, dan dalam beberapa hari ia hanya dapat menyelamatkan airnya paling banyak setengah kaleng saja. Padahal keperluan yang dibutuhkan untuk menyiram tanaman dan untuk keperluan lain tidak kurang dari sepuluh kaleng atau lima pikul penuh!

Betapapun sukarnya pekerjaan itu, Kong Lee berlaku sabar dan hati-hati sehingga dalam beberapa bulan saja ia berhasil membawa air itu dengan jalan agak cepat dengan selamat sampai di puncak dan air di dalam pikulannya masih penuh tanpa ada yang tumpah!

Akan tetapi, setelah melihat bahwa anak muda itu dapat membawa air di pikulannya dengan baik dan tidak ada yang tumpah di jalan, gurunya lalu mencabut sebatang rotan yang tergabung di dalam pikulan itu!

Dan demikianlah, pada saat Kong Lee berhasil membawa air dengan selamat tanpa tumpah sedikitpun sampai ke kuil, guru yang aneh ini selalu mencabut sebatang rotan lagi hingga setahun kemudian, rotan yang berada dalam pikulan Kong Lee hanya tinggal beberapa belas batang saja!

Namun, berkat keuletan dan ketekunannya, anak muda itu sanggup memikul dua kaleng air itu dengan pikulannya yang makin mengecil ini dengan selamat, bahkan kini ia sanggup memikulnya sambil berlari-lari sedang air di dalam kaleng itu tidak tumpah setetespun!

Selain cara mengambil air yang aneh ini, juga dalam hal membelah kayu, gurunya mempunyai peraturan yang lebih aneh lagi. Entah untuk apa maka Kong Lee diperintahkan membelah kayu setiap hati sehingga belahan kayu menjadi bertumpuk- tumpuk di belakang kuil. Kayu yang dipilihnya adalah kayu yang terkenal keras dan ulet, sedangkan kapak yang digunakan adalah kapak tumpul yang sudah tua dan yang tadinya terletak di dapur kuil hingga mata kapak itu sudah berkarat!

Akan tetapi, ketika Kong Lee hendak mengasah kapak itu, suhunya melarang sehingga ia terpaksa menggunakan kapak tumpul itu untuk membelah kayu! Mula- mula memang sukar sekali karena dengan sebuah kapak tumpul, sebatang kayu tak dapat diputuskan dalam tiga puluh kali bacokan! Akan tetapi, lambat laun ia dapat juga membelah sebatang kayu dengan dua tiga kali bacokan saja, padahal kapaknya makin hari makin tumpul saja!

Kong Lee bukanlah seorang anak muda yang bodoh. Walaupun mula-mula ia merasa heran dan tidak mengerti akan peraturan suhunya yang aneh dan yang seakan-akan sengaja menyiksa dirinya itu, lambat laun ia maklum bahwa pekerjaan-pekerjaan tiap hari dilakukannya itu, bukanlah semata-mata pekerjaan biasa, akan tetapi adalah latihan-latihan yang ternyata mendatangkan kemajuan besar pada dirinya.

Pengambilan air dengan menggunakan pikulan rotan itu membuat gin-kangnya maju pesat dan mengapak kayu dengan kapak tumpul itu mendatangkan tambahan tenaga yang hebat dan tidak kentara kemajuannya.

Pada suatu hari, setelah ia berada di kuil itu hampir satu setengah tahun lamanya, Liong-san Lo-kai ikut dengan ia mengambil air. Orang tua itu juga membawa pikulan dengan dua kaleng kosong untuk mengambil air dan alangkah herannya Kong Lee ketika melihat bahwa pikulan suhunya hanya terdiri dari sebatang rotan saja!

Ia merasa ragu-ragu apakah sebatang rotan itu akan cukup kuat untuk menahan dua kaleng air? Sedangkan ia sendiri yang masih menggunakan sepuluh batang rotan pada pikulannya, harus menggerakkan seluruh tenaga lwee-kangnya untuk dapat memikul air itu tanpa tumpah di jalan.

Akan tetapi, setelah mereka mengisi air pada kaleng masing-masing, sambil tersenyum Liong-san Lo-kai berkata, “Muridku, dulu ketika kau pertama kali mengambil air, pikulanmu terbuat dari empat puluh batang rotan. Sekarang dengan sepuluh batang rotan saja kau sudah sanggup melakukan pekerjaan ini. Hal ini berarti bahwa gin-kang dan lwee-kangmu telah bertambah empat kali lipat daripada dulu.

Apa kau kira segala macam pekerjaan yang kaulakukan itu tidak ada gunanya? Ha, ha, muridku, kalau demikian halnya, maka aku tentu akan merasa malu menjadi suhumu!”

Kemudian kedua orang itu memikul air masing-masing dan naik ke puncak, walaupun Liong-san Lo-kai hanya menggunakan pikulan yang terbuat dari sebatang rotan saja, namun Kong Lee tidak mampu menyamai kecepatan gurunya yang jauh mendahuluinya! Hal ini membuat hati anak muda itu makin tunduk dan kagum.

Ketika ia mengapak kayu dengan kapak tuanya yang sudah tua dan tumpul sekali, dengan sekali ayun saja ia telah dapat membelah sebatang kayu yang besar. Liong-san Lo-kai tertawa senang melihat kemajuan muridnya. Orang tua ini lalu maju menghampiri sebatang kayu yang besar dan sekali mengayunkan tangannya yang dimiringkan, maka kayu itu terbelah menjadi dua!

Kong Lee memandang dengan mata kagum sekali dan ia buru-buru menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

“Suhu, teecu mohon petunjukmu lebih jauh,” katanya.

Liong-san Lo-kai mengelus-elus jenggotnya yang panjang. “Muridku, untuk dapat melakukan apa yang kaulihat tadi, kau harus berlatih ladi dengan rajin. Dan selain itu, kau harus melatih hawa dan tenaga di dalam tubuhmu dengan jalan bersamadhi dan mengatur jalan pernapasanmu.”

Kemudian orang tua itu memberi pelajaran kepada muridnya tentang bersamadhi dan mengatur jalan pernapasan, akan tetapi sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang pelajaran ilmu silat. Biarpun begitu, Kong Lee mendengarkan dengan penuh perhatian dan semenjak hari itu, ia mempergiat latihan-latihannya yang berupa pekerjaan itu sambil melatih diri dengan bersamadhi dan mengatur pernapasan!

Setahun telah lewat pula tanpa terasa dan Kong Lee telah berdiam di puncak Liong- san lebih dari dua tahun bahkan hampir tiga tahun. Akan tetapi kini ia telah dapat memikul air dengan menggunakan sebatang rotan saja dan dapat membelah kayu dengan kedua telapak tangannya!

Setelah melihat kemajuan muridnya ini, barulah Liong-san Lo-kai memberi pelajaran ilmu silat!

Akan tetapi karena Kong Lee telah mempelajari dasar-dasar silat, maka orang tua itu hanya memberi dua macam ilmu silat saja, yakni ilmu silat tangan kosong yang disebut Liong-san Kun-hoat, dan ilmu tongkat yang disebut Liong-san Koai-tung- hwat atau Ilmu Tongkat Aneh dari Liong-san! Kalau ilmu silat tangan kosong Liong- san Kun-hoat sudah aneh dan hebat sekali gerakan-gerakannya, adalah Liong-san Koai-tung-hwat benar-benar luar biasa! Karena di dalam ilmu tongkat ini terdapat pukulan dan gerakan mirip dengan gerakan pedang atau toya, hingga boleh dibilang bahwa ilmu tongkat ini adalah semacam ilmu gabungan dari ketiga macam senjata itu! Dan karena ilmu ini diciptakan oleh Liong-san Lo-kai sendiri maka hebatnya bukan main. Ketika mencipta ilmu tongkat ini, Liong-san Lo-kai dengan secara cermat sekali memasukkan gerakan-gerakan dari semua cabang persilatan hingga dengan demikian, maka Liong-san Koai-tung-hwat ini dapat memecahkan serangan-serangan dari ilmu silat terhebat dari cabang-cabang persilatan yang terkenal seperti Siauw-lim- pai, Bu-tong-pai dan lain-lain lagi.

Dengan penuh ketekunan, Kong Lee melatih diri sampai dua tahun lagi sehingga ia telah belajar ilmu silat di atas puncak Liong-san untuk lima tahun lamanya!

Pada suatu hari suhunya memanggilnya, “Kong Lee, muridku. Sekarang telah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung dan mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk kebajikan.”

“Tapi, suhu, kepandaian teecu belum berarti ... ”

“Ha, ha, ha! Muridku, memang seharusnya demikianlah sifat yang kau miliki. Sederhana dan merendah. Ingatlah bahwa orang yang bodoh selalu memperlihatkan dan menyombongkan kebisaannya yang tak lain hanyalah kebodohannya semata. Kau merasa bahwa kepandaianmu belum berarti? Nah, memang demikianlah adanya.

Kepandaian siapakah yang dapat disebut tinggi dan banyak artinya? Oleh karena itu, maka dengan kepandaianmu yang tak berarti itu kau jangan sekali-sekali berlaku sombong dan sewenang-wenang. Tapi betapapun juga, dibandingkan dengan kepandaianmu sebelum kau datang ke sini dulu kau telah mendapat kemajuan yang bukan sedikit! Ketahuilah bahwa sebelum aku menerimamu sebagai murid dan sengaja menunggumu di kuil rusak yang berada di kaki bukit ini, aku telah menyelidiki keadaanmu dan tahu pula akan riwayatmu. Maka sekarang pulanglah dan lakukan kewajibanmu sebagai seorang putera terhadap ibunya yang telah janda, juga sebagai seorang ksatria yang harus selalu mengulurkan tangan menolong sesama manusia yang ditimpa penderitaan. Tapi jangan sekali-kali melanggar sumpahmu dan dengan alasan apapun jangan sekali-kali kau membunuh orang!”

Kong Lee berlutut dan menyatakan kesanggupannya untuk mentaati semua nasihat dan pesan suhunya.

Liong-san Lo-kai lalu mengambil sebuah peti hitam dan membukanya. Kong Lee tercengang melihat bahwa di dalam peti itu terdapat beberapa potong pakaian yang terbuat dari sutera indah.

“Muridku, pakaian-pakaian ini dulu sengaja kubuat untuk seorang muridku, tapi sayang sekali muridku itu telah tewas dalam sebuah pibu. Sayang sekali ... ! Ia sebetulnya memiliki bakat baik sekali, akan tetapi sayang bahwa kesabarannya kurang besar sehingga ketika ia mendengar betapa pihak Go-bi-pai menantang-nantangku, ia lalu pergi dari sini untuk menyambut tantangan itu. Ketika itu aku sedang pergi dan meninggalkan muridku itu seorang diri di sini. Maka datanglah utusan Go-bi-pai yang menantangku untuk mengadakan pertandingan silat di kota Lam-sun. Muridku itu tidak tahan mendengar ucapan-ucapan tantangan yang dianggapnya sangat menghina sehingga ia mewakili aku pergi ke Lam-sun. Akan tetapi, kepandaiannya belum tinggi, dan ia tak dapat melawan pihak Go-bi. Dan celakanya, ia berdarah panas hingga karena kenekadannya, ia tewas dalam pibu itu!”

Kong Lee heran mendengar hal ini. Di dalam hatinya ia merasa heran sekali mengapa suhunya tidak membalaskan sakit hati muridnya itu?

Agaknya orang tua itu dapat mengetahui suara hatinya, maka lalu berkata, “Aku sendiri sudah tua dan aku tidak ada nafsu lagi untuk bertempur mencari permusuhan. Dan pula, pibu itu terjadi dengan jujur, maka soal kalah menang bukanlah apa-apa. Juga demikian dengan kematian dalam pibu yang sudah sewajarnya. Kau janganlah salah mengerti, muridku. Memang benar kau kularang membunuh orang, akan tetapi, yang kumaksudkan membunuh ialah jika kau menjatuhkan tangan maut kepada seseorang dengan hati sengaja hendak membunuhnya. Kalau kau berada dalam sebuah pertempuran melawan seorang lawan dan dalam membela diri kau sampai

menewaskan lawan itu, aku tidak menganggap kau melanggar sumpahmu. Akan tetapi kalau kau membunuh lawan yang sudah tidak berdaya, nah, itulah yang kumaksudkan membunuh dan melanggar sumpahmu. Mengertikah kau, muridku?”

Kong Lee mengangguk maklum.

“Muridku itu tewas dalam sebuah pibu yang jujur karena ia terlalu terburu nafsu. Oleh karena itu maka ketika menerima kau sebagai muridku, kau kulatih belajar sabar dan menahan nafsu agar kelak jangan sampai kau mengalami nasib seperti muridku itu.

Ketika itu, aku pulang ke gunung ini membawa beberapa potong pakaian ini untuknya, tapi ... ia telah pergi dan takkan kembali lagi. Sekarang pakaian ini kuberikan kepadamu, Kong Lee. Pakailah ini karena tidak pantas kalau kau pulang mengenakan pakaian pengemis, sehingga kau akan membuat malu nama ibumu saja.” Kong Lee menerima pakaiannya itu dengan terharu dan berterima kasih sekali.

“Dan jika ada kesempatan dan waktu, aku ingin sekali mendengar kau naik ke Go-bi- san dan mencoba kepandaian ahli silat di gunung itu. Aku yakin bahwa kau takkan kalah, muridku. Dengan jalan itu sedikitnya kau akan menebus hutang mereka kepadaku dan menggosok namaku yang telah menjadi suram karena jatuhnya muridku dulu.”

Maka mengertilah Kong Lee bahwa betapapun juga, suhunya ini masih mempunyai nafsu untuk membalas kekalahan muridnya, hanya saja, orang tua ini tidak mau bertindak sendiri dan mengharapkan dia untuk mewakilinya.

“Baik, suhu. Akan teecu coba untuk memperlihatkan bahwa ilmu kepandaian suhu tidaklah serendah yang mereka duga!”

Kemudian, setelah banyak-banyak menerima nasihat dan pesan suhunya yang aneh tapi baik hati itu, Kong Lee meninggalkan puncak Liong-san. Ia mengenakan pakaian sutera warna kuning yang indah sehingga tampak seperti seorang putera hartawan sedang melancong!

Beberapa hari kemudian pada suatu pagi yang terang indah Kong Lee yang melakukan perjalanan menuju ke Bi-ciu yang sangat jauh letaknya dari Liong-san, memasuki sebuah hutan setelah singgah di sebuah kampung untuk menanyakan jalan menuju ke Bi-ciu. Ternyata bahwa perantauannya sebagai pengemis dulu ketika ia mencari-cari guru, berjalan jauh sekali sehingga untuk pulang kembali ke Bi-ciu, ia harus melewati dua propinsi yang besar dan luas! Karena ia memang sengaja hendak meluaskan pengalaman, maka ia berjalan dengan perlahan dan tidak terburu-buru, sungguhpun hatinya telah sangat rindu kepada ibunya.

Ia meniru kebiasaan suhunya dan sebelum turun dari Liong-san, ia membuat sebatang tongkat bambu kuning yang tumbuh di puncak Liong-san. Tongkat ini kadang-kadang ia pegang, kadang-kadang ia selipkan diikat pinggangnya seperti sebatang pedang.

Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara beradunya senjata dan suara teriakan-teriakan. Ia segera menggunakan ilmu kepandaian lari cepat dan tak lamu kemudian ia telah tiba di tempat pertempuran yang sangat dahsyat. Seorang gadis cantik berpakaian hijau sedang dikeroyok oleh lima orang yang berpakaian sebagai piauwsu, dan gadis yang bersenjata sebatang pedang itu nampak terdesak sekali. Harus ia akui bahwa ilmu pedang nona itu hebat sekali dan ia teringat akan seorang nona yangg dulu sering ia kenangkan karena pernah menjatuhkannya dalam dua jurus!

Kong Lee memandang dengan penuh perhatian karena gerakan-gerakan gadis yang lincah dan gesit sekali itu membuat wajahnya sukar dilihat. Tetapi akhirnya ia kenali juga gadis itu! Tidak lain adalah Kim-gan-eng Coa Kim Nio Si Garuda Bermata Emas yang dulu pernah menyerang dan menjatuhkan Gan-piauwsu!

Kelima piauwsu yang mengeroyok gadis itupun rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan keadaan gadis itu benar-benar berbahaya. Nona yang cantik itu telah mulai mundur-mundur saja dan mencari jalan keluar untuk melarikan diri, tapi lima orang pengeroyoknya mengurung rapat sekali sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk lari. Jidat yang halus kulitnya itu telah mulai berpeluh!

Kong Lee tidak tega melihat keadaan ini, maka ia lalu melompat ke tengah lapangan pertempuran sambil berkata, “Cu-wi sekalian, harap bersabar dulu dan tahan senjata!” Akan tetapi, kelima orang piauwsu yang agaknya sedang marah sekali itu tidak mempedulikan seruan Kong Lee, bahkan karena mereka menyangka bahwa pemuda ini tentu kawan dari Kim-gan-eng yang mereka keroyok, seorang di antara mereka menggunakan goloknya menyerang Kong Lee dengan gerak tipu Harimau Menyambar Hati!

Kong Lee cepat mengelak dan sekali ia ulurkan tangan kanannya, penyerangnya itu merasa lengannya yang memegang golok menjadi lumpuh dan goloknya itu telah berpindah tangan!

Terkejutlah kawanan piauwsu itu melihat kehebatan Kong Lee, dan tiba-tiba mereka menahan serangan. Kesempatan itu digunakan oleh Kim-gan-eng untuk melompat keluar dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu!

Kawanan piauwsu itu hendak mengejar, tapi gadis yang dikejarnya telah lenyap di antara pohon-pohon yang memenuhi hutan hingga mereka kembali ke tempat pertempuran sambil menyumpah-nyumpah.

“Tuan, kau sungguh tidak adil dan sembrono sekali! Apakah kau juga kawan dari penjahat wanita itu maka berani memusuhi kami?” kata seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin.

Kong Lee cepat-cepat mengangkat tangan memberi hormat.

“Harap cu-wi suka memaafkan karena sesungguhnya siauw-te hanya kebetulan lewat saja di sini dan tidak mengenal siapa-siapa. Hanya karena melihat betapa seorang wanita, seorang diri pula, dikeroyok oleh lima orang gagah perkasa seperti cu-wi dan keadaannya terdesak sekali, maka siauw-te berlaku lancang untuk memisah, bukan maksud siauw-te membantu siapa-siapa.”

“Kalau saja kau tahu siapa adanya wanita setan yang kami keroyok itu, tentu kau tidak akan sudi ikut campur apalagi membantunya!”

“Siapakah dia dan mengapa kalian mengeroyoknya?” tanya Kong Lee pura-pura tidak tahu.

“Dia adalah Kim-gan-eng Coa Kim Nio Si Garuda Bermata Emas yang sangat terkenal karena kejahatannya.”

“Apakah kejahatannya dan apakah ia mengganggu kalian?”

“Ah, anak muda. Kau nampaknya berkepandaian tinggi, tapi ternyata kau belum mengenal orang-orang di dunia kang-ouw! Dia telah merampas lima ratus tail emas yang menjadi tanggungan kami! Dua hari yang lalu, ketika pembantu-pembantu kami mengawal segerobak barang berharga menuju ke Tit-le, perempuan itu mencegat di hutan ini dan merampas sekantung emas sebanyak lima ratus tail! Dan kami berlima sengaja mencarinya untuk menghajarnya. Hampir saja kami dapat membekuknya, tapi kau yang tidak mengerti apa-apa tiba-tiba telah menggagalkan usaha kami hendak mendapatkan kembali uang yang menjadi tanggungan kami itu,” pemimpin piawsu itu menghela napas dan nampaknya jengkel sekali.

Kong Lee buru-buru menjura dan minta maaf, “Ah, sungguh menyesal sekali siauw-te telah berlaku lancang, dan perbuatan siauw-te ini harus dihukum! Sekarang kuharap cu-wi suka mengantarkan siauw-te mengunjungi sarang perampok wanita itu dan siauw-te akan mencoba menebus dosa siauw-te tadi dan mendapatkan kembali emas kalian itu.”

Kelima orang piawsu itu saling pandang, dan pemimpin mereka berkata, “Kongcu, kau nampaknya seperti seorang sastrawan, tapi kami telah mengetahui bahwa kau berkepandaian tinggi karena dalam sekali serang saja dapat merampas golok suteku. Akan tetapi kau ketahuilah bahwa pada waktu ini penjahat perempuan tadi tentu telah kembali ke sarangnya dan kau harus tahu bahwa di sarangnya terdapat suhengnya yang berkepandaian hebat sekali dan sukar dilawan! Kalau tidak mengingat suhengnya itu, kami berlima tentu sudah siap-siap pergi menyerbu ke sana.” “Siapakah suhengnya itu?” Kong Lee pura-pura tidak tahu, padahal ia telah dapat menduga bahwa suheng dari nona cantik itu tentu Hek-ciu-mo Pauw Kian. “Suhengnya adalah seorang iblis yang amat hebat dan tinggi ilmu silatnya dan kami berlima terus terang saja bukanlah tandingannya. Namanya Pauw Kian dan julukannya Hek-ciu-mo Si Iblis Tangan Hitam.”

Mengingat betapa dulu ia pernah dihina oleh Coa Kim Nio ketika minta berguru kepadanya, dan betapa ia hendak mencari Si Iblis Tangan Hitam untuk diangkat sebagai guru, maka makin besar keinginan Kong Lee hendak bertemu kepala rampok yang ditakuti orang itu.

“Biarlah, akan siauw-te coba menghadapi Pauw Kian. Kalau sampai terjadi pertempuran, biar siauw-te melawan Pauw Kian dan cu-wi dapat menghadapi nona tadi,” katanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar