Jilid 12 (Tamat)
Bab 35 ...
MEREKA berdua tidak kekurangan makan dan kini Gwat Kong dapat menikmati rasa buah yang berwarna kuning di lereng itu. Buah yang berbau harum dan lezat dan belum pernah ia makan selama hidupnya. Juga daging burung itu merupakan makanan yang lezat. Mereka tidak kekurangan air karena di lereng itu terdapat pancuran air yang jernih dan sering kali mereka menikmati pemandangan yang amat indahnya di luar lobang yang menembus ke lereng bukit.
Pemandangan yang amat indah dan juga amat mengerikan. Apabila mereka berdiri di depan lobang itu, memandang ke bawah, mereka merasa seakan-akan mereka berdiri di tengah angkasa raya, di atas sebuah bintang yang tidak ada tangganya untuk turun kepermukaan bumi.
Telah setengah bulan Gwat Kong tinggal di tempat itu. Sikap Cui Giok yang amat menyintainya menggerakkan hatinya. Kalau tadinya ia masih selalu terkenang kepada Tin Eng, gadis yang lebih dahulu menawan hatinya itu, sekarang ia berusaha melempar kenangan ini jauh-jauh! Ia tahu bahwa mengenangkan Tin Eng adalah satu perbuatan yang amat bodoh dan hanya akan mendatangkan kesedihan dan gangguan batin belaka. Ia telah terasing, untuk selama hidupnya tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk bertemu kembali dengan Tin Eng atau dengan siapa yang di dunia ramai. Maka mengenangkan Tin Eng bukanlah pikiran yang sehat.
Bagi Tin Eng, ia sudah mati dan mungkin gadis itupun telah melupakannya, menganggapnya mati, dan barang kali kawin dengan lain pemuda. Siapa tahu, mungkin Tin Eng akhirnya mau juga kawin dengan Gan Bu Gi! Ia sama sekali tidak mau memikirkan hal ini.
Dunianya hanyalah dasar sumur dan lereng itu, dunianya terpisah dari dunia ramai, dan kawan hidup satu-satunya hanya Cui Giok seorang! Seorang kawan hidup yang amat baik budi, gadis perkasa dan cantik jelita! Kalau dibuat perbandingan, tentu saja hatinya masih condong kepada Tin Eng dari pada Cui Giok. Karena sebelum ia bertemu dan berkenalan dengan Cui Giok, terlebih dahulu hatinya telah tertambat kepada Tin Eng.
Cinta pertama tak mudah dilupakan. Akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa selain gagah perkasa, Cui Giok tidak kalah cantiknya dari Tin Eng, dan dalam hal cinta kasih, Cui Giok nampaknya bahkan lebih besar cintanya dari pada cinta Tin Eng yang belum pernah dinyatakan itu.
Pada hari ketujuh belas, ketika Gwat Kong dan Cui Giok keluar dari guha itu dan duduk di lereng bukit menikmati hawa gunung yang sejuk, melihat sepasang burung yang besar terbang di dekat lereng. Kemudian burung itu hinggap pada cabang pohon di lereng itu, saling membelai dengan leher dan saling membersihkan bulu kawannya dengan patuk mereka.
Burung itu adalah burung rajawali yang besar dan bagus bulunya.
“Lihat Gwat Kong!” kata Cui Giok sambil menunjuk kepada burung-burung itu. “Alangkah senangnya hidup mereka, begitu rukun dan saling menyinta!”
Gwat Kong memandang ke arah burung itu kemudian ia menoleh dan menatap wajah Cui Giok. Pada waktu itu, senja telah mendatang dan angin yang bertiup perlahan membuat rambut Cui Giok awut-awutan dan sebagian rambutnya yang halus dan panjang itu melambai- lambai di depan jidatnya.
“Alangkah cantikmu, Cui Giok ” Gwat Kong tak terasa berbisik perlahan.
Cui Giok menengok dan pura-pura tidak mendengar bisikan itu. “Apa katamu, Gwat Kong?” Merahlah wajah pemuda itu. “Alangkah .... indah rambutmu ”
Kata Cui Giok tersenyum, “Jangan kau mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatimu. Rambutku awut-awutan, tak pernah disisir, tak pernah diminyaki sampai berhari-hari.
Bagaimana kau katakan bagus?”
“Akan kubuatkan sisir untukmu, Cui Giok. Sisir dari kayu pohon itu. Kukira aku akan dapat membuatnya.”
Tiba-tiba Cui Giok bangkit berdiri, tercium bau daging terbakar hangus. “Celaka! Aku sampai lupa kepada daging panggang itu!” Ia berlari masuk sambil tertawa-tawa, diikuti oleh pandang mata Gwat Kong yang ikut gembira. Alangkah cantik menarik dara ini, pikirnya. Heran sekali, dahulu belum pernah ada perasaan demikian. Akan tetapi semenjak ia masuk ke tempat ini, entah mengapa, darahnya seakan-akan mendidih tiap kali ia mengagumi kecantikan Cui Giok! Belum pernah ia tergoda oleh kecantikan Cui Giok! Belum pernah ia tergoda oleh kecantikan wanita. Bahkan Tin Eng sendiri belum pernah datangkan gelora yang demikian menggelombang hebat di sanubarinya.
“Gwat Kong !” terdengar panggilan Cui Giok dari dalam dengan nada mesra. “Daging
sudah matang ! Mari kita makan!”
Gwat Kong tersenyum. Ia merasa seakan-akan ia berada di rumah sendiri, seakan-akan ia telah membangun sebuah rumah tangga seperti yang sering ia impikan. Ia dahulu sering bermimpi mempunyai rumah tangga dengan Tin Eng sebagai isterinya. Dan kini, sungguh aneh ia merasa seakan-akan ia telah berumah tangga dan hidupnya bahagia.
Sambil tersenyum-senyum ia berbangkit berdiri dan masuk ke dalam lubang yang kini diperlebar merupakan pintu itu. Bahkan Cui Giok telah membuat tirai pada pintu ini dari selimutnya. Sebelum masuk pintu istimewa ini, Gwat Kong masih sempat melihat sepasang burung rajawali itu terbang melayang ke atas, mengembangkan sayap mereka yang lebar dan besar.
Gwat Kong dan Cui Giok menghadapi makan malam yang terdiri dari daging panggang dan buah dimasak. Baik Gwat Kong maupun Cui Giok tidak tahu bahwa makanan-makanan ini mengandung zat yang amat baik dan yang menguatkan tubuh mereka. Memang Tuhan Yang Maha Adil. Buah-buahan yang berada di lereng itu dan daging burung ayam gunung yang mereka dapatkan, mengandung zat-zat yang amat dibutuhkan oleh tubuh mereka sehingga biarpun mereka tak pernah dapat makan nasi dan gandum, mereka tetap sehat, bahkan merasa kuat.
Akan tetapi, mereka juga tidak tahu bahwa makanan itu mengandung zat yang memanaskan darah, yang membuat darah di tubuh mereka mengalir cepat dan yang mendatangkan pengaruh merangsang pada hati mereka. Kalau tadi Gwat Kong mengherankan perasaannya terhadap Cui Giok, maka jawabannya sebetulnya terletak pada makanan yang sedang dihadapinya dan dimakan bersama Cui Giok itulah! Daging burung itu mempunyai khasiat yang aneh dan membuat sepasang mata Gwat Kong memancarkan cahaya berseri dan yang membuat sepasang pipi Cui Giok menjadi makin kemerah-merahan.
Seperti keluarga di dalam sebuah rumah tangga biasa. Sehabis makan Cui Giok mencuci tempat-tempat makanan yang terbuat dari pada batu itu pada pancuran di luar guha.
Kemudian keduanya duduk pula di lereng, dan pada malam hari itu bulan memancarkan cahayanya sepenuh dan sebulatnya, mendatangkan pemandangan yang luar biasa indahnya dan berbareng mendatangkan suasana yang romantis.
Seperti biasa, pada saat seperti itu, kakek tua yang baik hati, yang bersemayam di atas bulan yang biasa disebut orang tua yang menjadi penghubung perjodohan menurunkan kesaktiannya melalui cahaya bulan yang keemasan, menyebarkan sihirnya kepada hati-hati orang muda.
Kedua orang muda itu duduk di atas rumput bersandarkan batu karang. Mereka menikmati keindahan alam itu dengan hati ikhmat, lupa bahwa mereka berada di tempat yang terasing, lupa akan kesengsaraan mereka. Bahkan hati mereka penuh dengan kegembiraan yang luar biasa dan yang mereka sendiri tidak tahu apa yang menjadi sebabnya.
“Aduh ! Alangkah cantiknya bulan!” kata Cui Giok sambil memandang ke atas.
Akan tetapi tidak terdengar jawaban dari Gwat Kong, bahwa pemuda itu tidak bergerak sedikitpun juga. Biasanya setiap ucapan yang keluar dari mulut Cui Giok selalu mendapat sambungan dari pemuda itu. Hal ini terasa aneh bagi Cui Giok yang segera menengok kepadanya.
“Cui Giok ” terdengar Gwat Kong berbisik dengan suara gemetar. “Jangan gerakan
mukamu ..... jangan menengok !”
“Eh eh, kau mengapa, Gwat Kong?” tanya Cui Giok terheran-heran. Akan tetapi ia mentaati permintaan ini, tetap memandang bulan, sungguhpun matanya mengerling ke arah Gwat Kong.
“Alangkah cantiknya kau ! Dengan mendapat sinar bulan sepenuhnya, mukamu bagaikan
menyinarkan cahaya emas! Alangkah indah dan cantikmu, Cui Giok! Bulan sendiri akan malu terhadapmu ” Sambil berkata demikian, Gwat Kong mengulur tangannya hendak memeluk
gadis itu.
Cui Giok tiba-tiba tertawa dan mengelak. Sepasang pipinya menjadi makin merah, sampai ke telinga-telinganya.
“Ah ... kau gila !” katanya dan ia lalu melompat dan berlari ke dalam guha.
Gwat Kong juga berdiri dan mengejarnya. Cui Giok hendak berlari terus, akan tetapi kemana? Kalau saja mereka berada di dunia luar tentu ia akan berlari terus mempermainkan Gwat Kong. Akan tetapi tempat terkurung oleh dinding batu karang, maka sebentar saja Gwat Kong telah dapat menangkap tangannya.
“Cui Giok .... kau cantik sekali. Aku cinta kepadamu.”
Tiba-tiba Cui Giok berdiri menghadapinya.
“Kau cinta kepadaku? Benarkah? Seperti cintaku kepadamu?? Katakan sekali lagi, Gwat Kong!”
“Aku cinta padamu, Cui Giok. Demi Thian Yang Maha Suci, demi bulan yang murni, aku cinta padamu!”
“Kau tidak ingat kepada Tin Eng?”
Bagaikan terserang seekor ular berbisa, Gwat Kong melangkah mundur. Akan tetapi ia berkata lagi, “Jangan sebut-sebut nama lain di tempat ini, Cui Giok! Dunia kita bukan dunia orang lain. Di dunia kita hanya ada kau dan aku, orang lain tak masuk hitungan! Agaknya Thian memang sengaja menjodohkan kita maka kita berada di tempat ini, terpisah dari dunia ramai. Cui Giok, kita hanya menanti mati di tempat ini. Sebelum kita mati, maukah kau menjadi isteriku? Kita hidup berdua di tempat ini, akan mati bersama pula di tempat ini .... dan kita akan menghadap kepada Giam-lo-ong (Malaikat pencabut nyawa) sebagai suami isteri! Cui Giok, kekasihku, maukah kau menjadi isteriku?”
Terdengar gadis itu menarik napas panjang. “Tidak ada yang lebih kuingini selain menjadi isterimu, Gwat Kong. Tak perlu kujelaskan lagi, kau tahu bahwa aku mencintaimu. Akan tetapi tanpa saksi, tanpa upacara ... ah, bagaimana kita bisa melakukan upacara pernikahan?” suaranya mengandung isak.
Gwat Kong memegang tangannya dan menariknya keluar dari pintu guha itu.
“Bulan purnama akan menjadi saksi, kekasihku! Dan Thian yang akan memberkahi kita, yang akan menjodohkan kita, karena Thian pula yang menjadi perantara perjodohan kita ”
Demikianlah, kedua orang muda itu berjalan keluar guha, dan mereka berlutut dengan penuh khidmat, mengucapkan sumpah sebagai suami isteri, disaksikan oleh bulan purnama yang tersenyum-senyum, disaksikan pula oleh angin yang bersilir perlahan menciptakan janji indah pada daun-daun pohon. Upacara pernikahan yang amat sederhana, tanpa saksi manusia, sumpah yang diucapkan dengan bibir gemetar dibarengi mengalirnya air mata keharuan karena merasa betapa mereka hanya berdua saja di dunia ini. Upacara yang paling sederhana, akan tetapi yang tidak kurang sucinya!
Sepasang orang muda yang senasib sependeritaan, yang sehidup semati terkurung di tempat terasing, yang sudah yakin bahwa takkan dapat keluar dari situ sampai hayat meninggalkan badan. Sepasang hati yang menderita sehebat-hebatnya ini akhirnya bertemu, mencari hiburan satu kepada yang lain saling meminta, saling mengisi.
Dapatkah kedua orang ini disalahkan? Mereka masih muda, darah mereka sedang menggelora, ditambah pula oleh khasiat makanan-makanan yang luar biasa. Mereka sama muda, sama elok, sehingga mudah sekali Dewi Asmara memainkan peranan menguasai hati mereka.
Bagi Cui Giok hal ini sudah sewajarnya, karena semenjak dahulu ia memang mencintai Gwat Kong, menyinta dengan sepenuh hatinya dengan sesuci jiwanya. Bagi Gwat Kong, sungguhpun tadinya hatinya sudah tertambat kepada Tin Eng, namun ia juga tertarik kepada Cui Giok. Ia kagum kepada gadis itu. Ia merasa bersimpati dan ini sudah cukup untuk membuka hatinya dan untuk menyambut cinta kasih Cui Giok.
Oleh karena itu, sungguhpun dengan amat sederhana, tanpa hio tanpa meja sembahyang, tanpa wali dan tanpa saksi, upacara pernikahan mereka sudah syah dan sewajarnya. Upacara pernikahan yang tercipta dari sepasang hati yang saling menyinta, bukan karena nafsu semata, bukan karena dorongan birahi yang digerakkan oleh iblis. Adakah yang lebih syah dari pada ini?
****
Setelah menjadi suami isteri, Gwat Kong dan Cui Giok hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka lupa akan keadaan mereka, lupa bahwa mereka hidup terasing. Dunia ini tak sunyi bagi mereka. Setiap lambaian bunga, daun dan rumput merupakan gerakan gembira, seakan- akan tarian indah dalam pandangan mata mereka. Setiap suara yang ditimbulkan oleh daun- daun tertiup angin, kicau burung, api membakar kayu kering, mendatangkan irama lagu yang amat merdu dan menyedapkan telinga, menyegarkan hati dan perasaan.
Mereka saling menyinta, saling mengasihi, saling menghormat dan saling menjaga. Hidup mereka hanya mempunyai satu tujuan, bagi Gwat Kong untuk menyenangkan hati Cui Giok dan bagi Cui Giok untuk membahagiakan suaminya. Apakah yang lebih indah, yang lebih suci dari perasaan ini?
Mereka mendapatkan lagi kegembiraan mereka, kegembiraan untuk hidup, untuk merawat diri. Kalau tadinya mereka bersikap masa bodoh, acuh tak acuh terhadap kesehatan tubuh, kini mereka mulai memperhatikan keadaan diri masing-masing. Bahkan mereka mulai lagi berlatih silat di tempat itu dan karena tiada pekerjaan lain maka mereka makin maju ilmu silatnya, dapat menciptakan gerakan pedang yang luar biasa.
Waktu berlalu cepat dan tak terasa sehingga berbulan-bulan telah lewat tanpa terasa lagi. Mereka telah berdiam di tempat itu sampai enam bulan atau setengah tahun. Waktu yang amat lama bagi mereka yang bersusah hati, akan tetapi amat cepat bagi yang hidup gembira ria.
Akan tetapi, seperti juga kata pribahasa bahwa tiada gading yang tak retak, yang berarti bahwa tiada keindahan tanpa cacad, demikianpun tidak ada kebahagiaan yang tak bernoda oleh kekhawatiran atau kesusahan. Telah sebulan lebih Gwat Kong dan Cui Giok menderita kecemasan dan kegelisahan. Perasaan ini mereka derita semenjak saat Cui Giok menyatakan kepada suami bahwa ia telah mengandung!
Ketika mendengar hal itu, untuk sekejap wajah Gwat Kong berseri-seri, sepasang matanya bercahaya gembira dan ia memeluk isterinya penuh kasih sayang. Akan tetapi, tiba-tiba pelukannya mengendur dan ia melangkah maju mundur sambil menatap wajah isterinya dengan muka pucat dan mata terbelalak seakan-akan ia melihat setan di tengah hari!
“Kau, kenapakah?” tanya isterinya cemas.
“Cui Giok .... Ya Tuhan ..... Cui Giok ” Dan Gwat Kong lalu menjatuhkan diri di atas
tanah dan menangis tersedu-sedu.
Isterinya terkejut sekali dan segera memeluknya. “Suamiku, kau kenapa? Sakitkah tubuhmu?”
Gwat Kong menekan perasaannya dan setelah gelora hatinya menjadi tenang kembali, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mukanya nampak sedih sekali.
“Cui Giok, mengapa Thian menghukum kita sampai sedemikian hebat?”
“Mengapa Gwat Kong. Kenapa kau berkata demikian? Bukankah Thian telah memberi berkah kepada kita? Kita akan mendapatkan seorang putera? Bukankah hal ini yang baik bagi kita?”
Akan tetapi, tiba-tiba Cui Giok bagaikan disadarkan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata suaminya. Wajahnya memucat dan tak terasa pula tangan kirinya meraba ke arah perutnya, lalu ia menangis terisak-isak! Gwat Kong segera memeluk dan menyandarkan kepala isterinya pada dadanya. Kalau tadi dia yang bersedih dan gelisah, kini ia dapat menghibur kesusahan hati isterinya. “Sudahlah, Cui Giok!” katanya sambil mengusap-usap rambut isterinya yang bagus. “Marilah kita pikirkan baik-baik dan mencari jalan yang sebaik-baiknya. Memang amat menggelisahkan keadaan kita ini. Anak kita akan terlahir di sini dan bagaimanakah kita harus perbuat? Di tempat ini ah, tak kuat aku memikirkan dan membayangkan hal itu.
Bagaimana kau akan melahirkan ? Dan anak kita ... anak kita itu bagaimana kita akan
dapat mendidiknya baik-baik? Dan kelak !
Sudah berbulan-bulan Gwat Kong menyebut tempat mereka itu sebagai surga dan baru sekarang terlompat kata-kata “neraka” sebagai sebutan tempat ini! Ah, manusia! Memang aneh sekali! Apa yang kemaren mendatangkan tawa gembira, ini hari dapat menimbulkan tangis sedih. Kemaren dianggap sorga, kini dianggap neraka.
Cui Giok tak dapat menjawab, hanya tangisnya makin keras sehingga tubuhnya tergoyang- goyang dalam pelukan suaminya. Gwat Kong perlu mendapatkan hawa segar, maka dengan perlahan ia menuntun isterinya keluar dari guha itu, diajak duduk di atas rumput di lereng.
Sampai lama mereka hanya duduk bersanding, saling berpegangan tangan. Kesunyian yang berbicara. Kesunyian yang membisikan seribu satu macam kata-kata yang semuanya hanya mendatangkan gelisah dan duka. Bisikan angin pada pohon-pohon yang biasanya merupakan nyanyian gembira, kini terdengar bagaikan suara tangis memilukan. Kicau-kicau burung yang tadinya terdengar seperti memuji-muji mereka, kini terdengar seakan-akan mereka itu mengumpat caci, mengejek dan memperolok-olokan mereka!
Tiba-tiba sepasang burung rajawali yang sering mereka lihat dan yang mereka anggap sebagai simbol dari keadaan mereka berdua itu, nampak berterbangan di angkasa raya, berputar- putaran, kemudian turun dan hinggap di cabang pohon besar. Melihat betapa lebar dan kuat sayap mereka yang dapat membawa mereka ke mana saja mereka kehendaki, menimbulkan cemburu dan iri hati dalam dada Gwat Kong yang masih direbahkan kepala Cui Giok pada pangkuannya, menangis perlahan-lahan.
Ah, kalau saja aku mempunyai sayap seperti rajawali itu, pikir Gwat Kong. Tiba-tiba ia memandang pundak Cui Giok diangkatnya kepala isterinya itu, dipandang mukanya yang basah air mata, kemudian ia menciumi pipi isterinya bagaikan gila!
Cui Giok terheran-heran melihat suaminya tersenyum-senyum gembira dan tiba-tiba merasa khawatir kalau-kalau suaminya ini telah menjadi gila saking sedihnya.
“Cui Giok mengapa kita begitu bodoh? Mengapa tidak terpikirkan olehku akan hal itu?
Ah. Memang patut sekali aku terhukum di sini sampai setengah tahun karena kebodohanku ini.
“Apa apa maksudmu?”
Gwat Kong menunjuk ke arah sepasang rajawali yang masih bertengger pada cabang itu, matanya bersinar-sinar girang.
“Kau lihat sepasang rajawali itu! Mereka dapat membawa kita keluar dari tempat ini, mereka dapat membawa kita kembali ke dunia ramai.”
Cui Giok masih bingung dan tidak mengerti maksud kata-kata suaminya. “Kita bisa menangkap mereka dan memaksa mereka terbang keluar dari sini membawa kita! Kita dapat mengikat kaki mereka dengan kain dan kalau kita bergantung kepada ikatan itu, bukankah mereka akan dapat mengantar kita turun?”
“Akan tetapi hal itu amat berbahaya!” seru Cui Giok. “Bagaimana kalau mereka tidak kuat? Bagaimana kalau kita jatuh ke bawah selagi mereka terbang tinggi?” Cui Giok merasa ngeri.
“Lebih baik begitu!” kata Gwat Kong dengan muka muram. “Lebih baik kita berdua, kita mati bersama, membawa anak kita pula bersama-sama, dari pada kelak kita harus meninggalkannya seorang diri di tempat ini!”
Ucapan ini membangunkan semangat Cui Giok. “Baiklah, memang jalan ini yang terbaik. Mari tangkap mereka!” katanya sambil berdiri.
”Nanti dulu, isteriku. Kalau sampai kita gagal menangkapnya, mereka bisa ketakutan dan tidak mau datang lagi. Kita harus menanti sampai malam. Biasanya mereka tidur di pohon itu. Kalau mereka sudah tidur, kita menyergap!”
Demikianlah, sore hari itu, sepasang suami isteri ini telah bersembunyi di balik gerombolan pohon, menanti datangnya sepasang rajawali itu. Menjelang senja terdengar suara mereka di angkasa dan tak lama kemudian mereka terbang dan hinggap di cabang pohon besar di mana kedua suami isteri itu bersembunyi. Gwat Kong dan Cui Giok telah membawa tambang yang amat kuat, yang mereka buat dari semua pakaian mereka, dipintal dan diperkuat dengan kulit dan akar pohon di lereng itu.
Sore tadi mereka telah mempelajari dan merundingkan cara menangkap dua ekor burung besar itu, yakni dengan menyergap, membelitkan tambang pada leher dan kaki binatang itu. Setelah kedua burung akhirnya tertidur, menyembunyikan kepala mereka di dalam pelukan sayap, Gwat Kong lalu memberi isyarat dengan tangannya.
Dengan gerakan yang amat cepat, kedua suami isteri itu naik ke pohon. Pekerjaan ini mereka lakukan dengan mudah, karena pada malam hari itupun bulan bersinar penuh dan terang.
Betapapun mereka berlaku hati-hati, namun kedua burung itu mendengar suara mereka dan dengan kaget burung-burung itu mengeluarkan kepala dari sayap.
Akan tetapi pada saat itu, bagaikan dua ekor ular, tambang di tangan Gwat Kong dan Cui Giok meluncur dan membelit kaki kedua burung itu. Ketika kedua burung itu dengan kaget memukulkan sayap dan mengulur leher, tambang-tambang itu cepat pula membelit leher mereka dan kedua suami isteri itu lalu melompat ke bawah sambil menarik tambang dengan kuatnya.
Kedua burung itu meronta-ronta dan alangkah besar tenaga mereka. Kalau saja Gwat Kong dan Cui Giok tidak memiliki tenaga lweekang yang tinggi, tentu mereka takkan dapat menahan pemberontakan kedua burung itu. Mereka menggelepar-gelepar dan memukul- mukul dengan sayap. Akan tetapi Gwat Kong dan Cui Giok menggerak-gerakan tambang, sehingga tambang yang panjang itu akhirnya membelit-belit tubuh burung dan tanpa berdaya lagi kedua burung rajawali itu di seret ke dalam guha. “Bagaimana dengan harta pusaka itu?” tanya Cui Giok kepada Gwat Kong setelah mereka berkemas untuk berangkat pada keesokan harinya.
“Kita bawa saja secukupnya saja. Benda itu sudah banyak menimbulkan mala petaka.”
Demikianlah, mereka hanya membawa masing-masing belasan butir batu permata yang terbesar. Karena kalau terlalu banyak takut kalau-kalau burung-burung itu takkan kuat terbang. Sedangkan tidak membawa apa-apapun mereka masih ragu-ragu apakah burung itu akan kuat membawah tubuh mereka.
Mereka lalu membawa burung itu keluar dari guha. Matahari telah mulai tampak di ufuk timur, kemerah-merahan dan sinarnya masih belum kuat benar. Mereka mengikatkan kedua ujung tambang pada kedua kaki burung.
Kedua suami isteri itu saling pandang mesra. “Cui Giok ”
“Ya, ”
“Kalau ... kalau usaha kita ini gagal ”
“Ya, ”
“Kalau burung-burung ini tidak kuat dan jatuh bersama kita, hancur lebur menumbuk karang
.....”
“Teruskan suamiku ” Cui Giok berkata sambil berusaha agar supaya suaranya terdengar
tenang, Akan tetapi tetap saja suaranya menggetar tanda bahwa perasaannya tegang sekali.
“Kalau kita tewas dalam usaha keluar dari neraka ini, kau .... kau tunggulah padaku .... kita ...
kita pergi bersama, ya ?”
Cui Giok menggigit bibirnya dan menahan keluarnya air mata. Namun tetap saja bulu matanya menjadi basah dan dua titik air mata masih melompat keluar. Sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata karena hatinya amat terharu. Mereka harus memegang tambang menjaga kalau burung itu meronta dan terlepas, maka mereka hanya dapat saling pandang. Cui Giok menganggukkan kepalanya dan menyusut air matanya dengan menundukkan muka pada lengan bajunya, karena kedua tangannya digunakan untuk memegang tambang itu.
“Mari kita berangkat, Cui Giok!”
Mereka lalu berbareng melepaskan tambang yang membelit sayap dan leher burung.
Kedua burung itu menggerak-gerakan sepasang sayapnya. Agaknya terasa kaku sayap-sayap mereka karena terbelenggu semalam suntuk. Mereka mengeluarkan teriakan keras seakan- akan merasa girang terlepas dari belenggu itu. Kemudian mengembangkan sayap dan ......
melompatlah mereka dari pinggir jurang yang luar biasa tingginya itu. “Cui Giok, selamat berpisah, isteriku .... kekasihku ...!” Gwat Kong masih sempat berteriak ketika merasa tubuhnya dibawa terbang.
“Selamat sampai bertemu pula, suamiku ... aku cinta padamu!” Cui Giok juga berseru keras, karena burung yang membawanya melompat itu berpisah dengan burung yang membawa Gwat Kong.
Kedua burung itu agaknya merasa bingung ketika merasa betapa kaki mereka digantungi tubuh manusia yang amat berat itu. Mereka hendak terbawa oleh berat beban itu turun akan tetapi mereka mengerahkan tenaga pada sayap mereka sehingga masih dapat juga mereka bertahan. Akan tetapi mereka bingung dan ketakutan, memekik-mekik dan terbang tidak karuan jurusannya! Sayap mereka berbunyi ketika dengan kuatnya sayap itu memukul udara, menjaga tubuh mereka terbawa turun oleh beratnya tubuh yang bergantung kepada kakinya.
Gwat Kong melihat betapa burung yang membawa isterinya itu terbang ke lain jurusan, yakni ke arah utara. Sedangkan burung yang menerbangkannya menuju ke timur. Makin lama burung itu terbang makin rendah karena sesungguhnya beban itu terlampau berat baginya.
Hal inilah yang diharapkan oleh Gwat Kong dan yang memang telah diperhitungkannya. Ia tidak memperhatikan sekelilingnya, karena perhatiannya ditujukan kepada burung yang membawa isterinya. Oleh karena tubuh isterinya lebih ringan, maka burung yang menerbangkan isterinya itu lebih cepat gerakannya dan sebentar saja burung itu lenyap di utara.
Tak karuanlah rasa hati Gwat Kong melihat hal itu. Ia terpisah dari Cui Giok, akan tetapi ia masih memperhatikan ke jurusan itu, karena kalau ia dapat selamat mendarat di atas bumi, ia akan menyusul dan mencari isterinya itu.
Ketika memandang ke bawah maka bukan main besar hatinya. Pohon-pohon yang tadinya dari atas lereng itu nampak seperti rumput, kini telah nampak nyata. Makin lama makin besar dan gerakan sayap rajawali itu makin lemah. Tubuhnya makin rendah meluncur ke bawah.
Burung ini agaknya maklum bahwa ia tidak kuat melanjutkan penerbangannya dan kini menukik ke bawah dengan mengulur lehernya rendah-rendah, yang tujuannya ialah kelompok pohon-pohon di bawah itu, agaknya sebuah hutan.
Dengan hati berdebar karena tegang, Gwat Kong bersiap sedia. Ia hanya dapat berdoa, mudah-mudahan burung itu cukup mempunyai kekuatan untuk mendarat aman. Ternyata doanya terkabul, burung itu kini berada di atas pohon-pohon yang tadinya nampak kecil.
Ternyata mereka berada di atas sebuah hutan yang amat liar, penuh dengan pohon-pohon besar. Setelah burung itu terbang dekat di atas puncak pohon sehingga daun-daun pohon bergerak-gerak terkena tiupan sayapnya. Gwat Kong lalu melepaskan tambang yang dipegangnya dan melompat ke arah pohon itu. Bagaikan batu dilontarkan, tubuhnya masuk ke dalam daun-daun pohon dan dengan sigap ia dapat menangkap sebatang cabang dan bergantung di situ. Kemudian ia turun dengan perlahan.
Setelah ia menginjak bumi, tak tahan lagi Gwat Kong lalu berlutut dan menciumi tanah dan rumput. Alangkah bahagianya dapat berada dipermukaan bumi lagi, dapat berdiri di atas tanah yang tercinta, seakan-akan kembali kepangkuan ibu yang amat mengasihinya, yang mendatangkan rasa aman sentosa. Ia merasa seakan-akan baru bangkit kembali dari lobang kubur.
Setelah dapat menenangkan hatinya, ia memandang ke arah burung yang kini bertengger di cabang pohon dengan kedua kaki gemetar karena lelah.
“Terima kasih burung yang mulia!” kata Gwat Kong kepada burung itu.
Kemudian ia teringat kepada Cui Giok. Tanpa membuang waktu lagi ia segera berlari cepat menuju ke utara. Sambil berlari cepat, ia berdoa memohon kepada Thian agar supaya isterinya itu dilindungi dan juga mendarat dengan selamat seperti dia. Ia teringat akan ucapan mereka yang terakhir ketika akan berpisah tadi.
“Cui Giok, kalau kau tewas, akupun akan menyusulmu!” demikian ia berbisik sambil berlari terus. Ia keluar dari hutan itu dan ternyata bahwa ia telah mendarat di atas sebuah bukit. Ia terus berlari-lari ke arah utara. Akan tetapi betapapun ia mencari-cari ke atas dan ke bawah, ia tidak melihat burung rajawali yang membawa isterinya. Hatinya mulai gelisah, dan larinya dipercepat
Ia sudah turun dari bukit itu dan kini mendaki bukit lain yang berada di sebelah utara bukit tadi. Kemanakah ia harus mencari? Di manakah burung yang membawa isterinya itu mendarat? Hatinya berdebar cemas.
Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Gwat Kong mencari terus. Terus mencari sambil berlari-lari, ke sana ke mari. Bahkan kadang-kadang ia menjerit-jerit dan memanggil nama isterinya.
“Cui Giok ....! Cui Giok !”
Akan tetapi tidak ada yang menyahut, hanya burung-burung kecil di pohon-pohon berterbangan karena kaget.
Ia tiba di sebuah dusun. Orang-orang dusun itu heran melihat seorang pemuda yang pakaiannya compang camping berlari-lari cepat bagaikan kijang.
“Adakah kalian melihat seekor burung rajawali terbang di atas kampung ini?” tanya seorang pemuda itu berkali-kali kepada siapa saja yang dijumpainya di jalan.
Orang-orang dusun itu menggeleng kepala. Tidak saja mereka tak melihat burung rajawali bahkan mereka lalu menganggap Gwat Kong seorang yang miring otaknya. Gwat Kong tidak memperdulikan pandangan orang-orang kepadanya, lalu berlari lagi cepat-cepat ke utara, tak memperdulikan sesuatu. Ia harus dapat mencari isterinya yang tercinta.
“Cui Giok .........! Cui Giok !” suara panggilannya ini terdengar sampai jauh malam
sehingga orang-orang kampung yang mendengar ini merasa heran dan menggelengkan kepala, kasihan kepada orang muda yang mereka sangka gila itu. Memang Gwat Kong seperti telah menjadi gila. Ia berlari-lari terus ke sana ke mari, mencari-cari Cui Giok sambil memanggil- manggil, kemudian melanjutkan larinya ke utara.
**** Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang mencari isterinya bagaikan gila itu dan marilah kita menengok Tin Eng yang sudah lama kita tinggalkan. Semenjak di bawa turun dari Hong-san oleh ayahnya dan menganggap bahwa Gwat Kong yang terjerumus ke dalam jurang itu sudah tewas, Tin Eng seakan-akan berubah menjadi seorang gadis lain. Kalau dahulu wataknya gembira dan jenaka, kini ia berubah pendiam, tak mau banyak bicara dan wajahnya yang cantik itu selalu muram.
Setibanya di rumah, ia menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Jarang sekali mau keluar dan ia lebih suka membaca kitab kuno atau menyulam, atau termenung. Baru sekarang
setelah Gwat Kong tewas, ia merasa betapa besar ia menyinta pemuda itu, dan alangkah menyesalnya bahwa ia tidak menyatakan perasaan hatinya kepada pemuda itu dulu-dulu sebelum Gwat Kong tewas. Ia maklum betapa besarnya cinta kasih Gwat Kong kepadanya, sehingga pemuda itu rela menjadi pelayan yang rendah sampai bertahun-tahun, hanya untuk dapat dekat dengan dia.
“Gwat Kong !” seringkali ia menyebut nama ini sambil menghela napas dan hatinya terasa
makin patah.
Betapapun besar gemas dan marahnya hati Liok Ong Gun karena kebandelan Tin Eng yang sudah berkali-kali membantah kehendak ayahnya dan sudah dua kali melarikan diri dari rumah sehingga setidaknya mendatangkan rasa malu kepadanya, namun sebagai seorang ayah yang hanya mempunyai anak tunggal, Liok-taijin merasa gelisah dan kasihan juga melihat keadaan anaknya itu. Terutama sekali nyonya Liok dengan segala daya upaya ia mencoba untuk menghibur hati anaknya.
“Tin Eng, mengapa kau selalu nampak susah hati sehingga membikin orang tuamu ikut merasa bingung dan susah?” kata Liok-taijin pada suatu hari ketika ia bersama isterinya mengunjungi kamar anaknya. “Gwat Kong sudah tewas dalam kecelakaan, untuk apa kau berkabung untuk seorang yang tidak ada hubungannya dengan kita?”
“Aku cinta kepadanya, ayah,” jawab Tin Eng sambil menundukkan mukanya.
Kalau dulu Tin Eng berani mengucapkan pengakuan seperti ini, tentu Liok-taijin akan menjadi marah sekali. Akan tetapi pemuda itu telah mati, maka ia hanya memandang dengan penasaran dan berkata,
“Sungguh kau memalukan hatiku, Tin Eng! Kau menyinta seorang pemuda bekas pelayan, seorang yatim piatu yang tidak diketahui siapa orang tuanya, seorang pemuda keturunan rendah?”
“Ayah,” kata Tin Eng sambil mengangkat mukanya, memandang ayahnya dengan berani, “aku tidak mengukur kemuliaan hati seseorang dari pangkat dan kedudukannya. Gwat Kong seorang pemuda berhati mulia. Dapatkah ayah menyangkal bahwa selama ia bekerja di sini, ia melakukan sesuatu yang tidak baik? Bukankah ia selalu jujur, sopan-santun dan setia?”
“Betul, ... betul ....... akan tetapi ”
“Akan tetapi ayah masih menganggap dia seorang rendah! Ayah tahu, bahwa Bun Gwat Kong itu sebenarnya adalah putera tunggal dari mendiang Bun-tihu yang terkenal adil dan jujur di kota Lam-hwat!” Benar-benar tercengang Liok-taijin mendengar ini. Ia sudah mendengar dan tahu akan nama Bun-tihu. “Mengapa, kau tidak menceritakan hal ini dahulu! Akan tetapi ah apa gunanya
kita mempercakapkan keadaan Gwat Kong? Dia sudah meninggal dunia, tak perlu dipikirkan lagi. Kau harus dapat menginsafi keadaan dan melihat kenyataan. Kau harus siap pula menghadapi pernikahan dengan Gan-ciangkun.”
“Ayah !”
“Tin Eng,” kata ibunya. “Ayah dan ibumu sudah tua, kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah lebih dari cukup usiamu untuk menikah. Aku dan ayahmu ingin sekali melihat kau berumah tangga dan hidup bahagia. Kau hanya sekali ini dapat berlaku bakti dan menyenangkan hati orang tuamu, nak.” Suara nyonya Liok tergetar karena keharuan hatinya sehingga Tin Eng ikut pula terharu. Ia memeluk ibunya dan menangis.
“Ibu, aku tidak ingin menikah biar dengan siapapun juga.”
“Tin Eng, benar-benarkah kau hendak menjadi seorang anak tunggal yang puthauw (tidak berbakti), yang menghancurkan kebahagiaan ayah-ibumu sendiri?” kata Liok Ong Gun.
Mendengar ucapan ini, Tin Eng hanya bisa menangis, kemudian ia memaksakan diri berkata, “Betapapun juga, ayah. Berilah waktu kepadaku, berilah waktu setahun lagi!”
“Setahun? Terlalu lama, anakku. Kau harus tahu bahwa yang menjadi perantara adalah susiok-couw! Pernikahan dilangsungkan setelah selesai diadakan pibu antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai!”
Tin Eng terkejut. Hampir ia lupa akan hal itu. Telah menjadi cita-citanya dan cita-cita Gwat Kong untuk berusaha mendamaikan antara dua cabang persilatan ini. Kini cita-cita ini harus ia lanjutkan, biarpun kepandaiannya tidak mencukupi. Ia dapat bekerja sama dengan Kui Hwa yang tentu akan datang di tempat itu juga.
“Ayah, bilakah diadakan pibu itu?”
“Apakah kau sudah lupa? Pada permulaan musim Chun, jadi kira-kira sepekan lagi.” “Apakah ayah juga ikut ke sana?”
“Tentu saja, kita harus kalahkan orang-orang yang sombong.” “Ayah, aku ikut!”
“Eh??” Liok Ong Gun ragu-ragu karena ia telah melihat betapa puterinya ini bersahabat dengan orang-orang Hoa-san-pai. “Untuk apa kau ikut?”
“Ayah, aku ingin menonton adanya pibu itu. Ayah harus perbolehkan aku ikut kali ini. Kalau tidak, aku akan rewel lagi dan takkan menurut kehendakmu.” Terpaksa pembesar itu meluluskan permintaan Tin Eng. Diam-diam pihak Go-bi-pai telah bersekutu dengan banyak orang. Tidak saja mendapat bantuan dari Kim-san-pai, yakni Gan Bu Gi dan suhunya, juga suhengnya akan tetapi pihak Go-bi-pai dengan perantaraan dan pengaruh Liok-taijin telah dapat bantuan dari perwira-perwira kota raja termasuk Liok-taijin pun! Bahkan Liok-taijin telah menyanggupi permintaan susiok-couwnya untuk bertemu di puncak Thay-san dan membawa sepasukan perwira Sayap Garuda.
Beberapa hari kemudian, berangkatlah pasukan Liok-taijin dan Tin Eng ikut dalam rombongan yang berkuda itu. Mereka menuju ke utara dan melakukan perjalanan dengan cepat.
Pihak Go-bi-pai dan pihak Hoa-san-pai tidak mengira bahwa tokoh-tokoh besar mereka, yakni ketua Go-bi-pai sendiri, Thay Yang Losu dan ketua Hoa-san-pai, Pek Tho Sianjin akan datang sendiri ke tempat itu bukan untuk mengadu kepandaian, melainkan untuk mendamaikan murid-muridnya. Hanya Sin Seng Cu seorang yang mengetahui akan hal ini, karena ketika Gwat Kong datang menghadap Pek Tho Sianjin, ia hadir pula di puncak Hoa-san-pai.
Demikianlah, setelah kedua rombongan yang bermusuhan itu berkumpul di puncak Thay-san dan keadaan menjadi tegang oleh karena anak murid kedua pihak sudah merasa “panas”.
Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan dan tahu-tahu tiga orang kakek telah berada di tengah- tengah mereka. Mereka bertiga ini bukan lain ialah Thay Yang Losu ketua Go-bi-pai, Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai dan Bok Kwi Sianjin ahli Sin-hong-tung-hoat yang bertindak sebagai pendamai.
Bab 36 ...
MELIHAT ketua mereka, tentu saja kedua pihak terkejut dan semua orang lalu berlutut.
“Murid Go-bi-pai semua yang hadir di sini!” terdengar Thay Yang Losu berkata dengan suaranya yang sabar, akan tetapi berpengaruh. “Pinceng sudah maklum akan maksud kalian mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan dari Hoa-san-pai. Semua ini adalah gara-gara murid Seng Le Hosiang yang biarpun sudah tua akan tetapi masih saja tidak dapat mengendalikan nafsu hatinya! Dengan perbuatan ini, mengadakan permusuhan dan pibu dengan golongan lain tanpa memberitahu kepada pinceng, kalian telah melakukan pelanggaran besar. Mulai sekarang, segala permusuhan pihak manapun juga harus dibikin habis! Segala peristiwa yang terjadi, yang timbul karena urusan pribadi antara anak murid Go- bi-pai dan anak murid Hoa-san-pai, harus diselesaikan dengan cara damai, atau kalau tidak mungkin, akan diadili oleh ketua Go-bi-pai dan Hoa-san-pai sendiri. Siapa di antara kalian yang berani melanggar, pinceng akan turun tangan melakukan hukuman dan pelanggarannya takkan diaku sebagai anak murid Go-bi-pai lagi. Pinceng selesai bicara, supaya menjadi perhatian!”
Kini Pek Tho Sianjin yang maju dan berkata dengan suaranya yang tinggi. “Juga kepada semua anak murid kami dari Hoa-san-pai hendaknya diperhatikan baik-baik apa yang pinceng akan ucapkan ini. Sesungguhnya kalian semua hanya terbawa-bawa oleh nafsu dan kekerasan hati Sin Seng Cu, kakek yang sudah berobah menjadi anak kecil ini. Maka, sebagaimana yang kalian dengar diucapkan oleh Thay Yang Losu, mulai saat ini segala permusuhan dihabiskan dan dibubarkan. Pinto mengharap kepada kedua pihak, apabila melihat perbuatan-perbuatan yang melanggar perikemanusiaan atau melanggar watak seorang gagah, baik pelanggar itu anak murid Go-bi-pai, janganlah hendaknya turun tangan sendiri sehingga menimbulkan permusuhan, akan tetapi laporkanlah kepada kami yang wajib menghukum anak murid yang murtad dan menyeleweng! Untungnya ada Bok Kwi Sianjin yang memberitahukan kepada pinto dan kepada Thay Yang Losu. Kalau tidak, bukankah hari ini akan terjadi banjir darah di tempat suci ini?”
Semua anak murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai tentu saja tidak berani membantah atau membuka mulut mendengar ucapan-ucapan ketua mereka. Bahkan yang mereka tadinya sudah panas hati dan gatal tangan, kini bungkam dan menundukkan muka tak berani berkutik!
Hanya mereka yang hanya terbawa-bawa dan pada lubuk hatinya tidak menyetujui permusuhan ini, menjadi lega dan girang.
Bok Kwi Sianjin lalu berkata sambil tertawa bergelak.
“Bagus, bagus! Memang Go-bi-pai dan Hoa-san-pai adalah dua cabang persilatan yang besar dan anak-anak muridnya terkenal gagah perkasa dan menjunjung tinggi pribadi dan kebajikan. Mereka ini masih dapat dimaafkan dengan adanya permusuhan ini karena masing-masing tidak dapat menahan nafsu hati! Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah orang-orang yang ikut membonceng dalam pertikaian ini, pihak-pihak ketiga yang memancing ikan di air keruh yang mempergunakan kerusuhan ini untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Orang-orang macam itu, kalau ada di sini sungguh-sungguh patut disesalkan!”
Bong Bi Sianjin yang berada di situ menjadi marah sekali karena ia merasa disindir hebat. Mukanya sudah menjadi merah dan ia telah bergerak hendak menyerang Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi Seng Le Hosiang selain maklum akan kelihaian Bok Kwi Sianjin juga Bong Bi Sianjin adalah sahabat dan pembantunya. Maka kalau orang tua ini sampai bergerak turun tangan menimbulkan kekacauan, tentu dia sendiri juga akan terbawa-bawa dan mendapat hukuman dari supeknya, yakni Thay Yang Losu.
Demikianlah maka segala pertempuran dapat dicegah dan masing-masing lalu turun kembali dari bukit itu untuk kembali ke tempat masing-masing. Pada kesempatan itu, Tin Eng yang melihat Kui Hwa hadir pula di situ bersama Pui Kiat dan Pui Hok, lalu menghampiri gadis itu dan mereka berpelukan dengan girang.
“Enci Kui Hwa, biarpun permusuhan ini telah dapat didamaikan dengan baik, akan tetapi masih ada satu hal yang amat mengganggu hati dan pikiranku. Ketahuilah bahwa ayah memaksaku untuk menikah dengan Gan Bu Gi!”
Kui Hwa menjadi pucat mendengar hal ini.
“Jangan takut adikku. Biar aku yang bicara dengan ayahmu!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar, Kui Hwa lalu menghampiri Liok-taijin. Tin Eng hanya melihat betapa Kui Hwa bicara dengan muka merah kepada ayahnya dan melihat ayahnya nampak terkejut sekali dan pucat.
Kui Hwa menghampiri Tin Eng dan memeluknya. “Adikku, jangan kau khawatir. Kalau terjadi kau dipaksa menikah dengan Gan Bu Gi, aku yang akan datang menggagalkan pernikahan itu. Akan kubongkar rahasia pemuda keparat itu. Akan tetapi mudah-mudahan ayahmu dapat melihat kenyataan yang telah kuceritakan kepadanya.” Setelah itu, Kui Hwa bersama kawan-kawannya, anak murid-murid Hoa-san-pai yang lain, lalu meninggalkan tempat itu. Demikianlah rombongan Liok-taijin kembali ke Kiang-sui. Bong Bi Sianjin pergi bersama Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi yang termasuk anggota rombongan Liok-taijin, melarikan kudanya sejajar dengan Tin Eng. Tin Eng melihat betapa ayahnya melarikan kudanya dengan cepat mendahului rombongannya. Agaknya amat tergesa-gesa untuk sampai di rumah. Wajah orang tua ini nampak suram sehingga Tin Eng dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa yang dipikirkan oleh ayahnya, maka heranlah ia apa gerangan yang telah diucapkan oleh Kui Hwa kepada ayahnya.
Ketika Tin Eng hendak mempercepat jalan kudanya menyusul ayahnya, tiba-tiba Gan Bu Gi yang melarikan kuda di sisinya itu berkata,
“Tin Eng, nona perlahan dulu, aku hendak bicara denganmu.”
Terpaksa gadis itu menahan kudanya. “Ada apakah?” tanyanya kaku.
“Nona,” kata Gan Bu Gi sambil menghentikan kudanya sehingga Tin Eng terpaksa menghentikan kudanya pula. “Permusuhan telah habis, keadaan sudah damai, sungguh menyenangkan hatiku. Kita telah melakukan perjalanan bersama, maka kesempatan ini jangan kita sia-siakan. Marilah kita mengambil jalan memutar untuk melihat-lihat pemandangan dan bercakap-cakap.
“Apa maksudmu? Aku tidak ingin bersama kau? Aku hendak menyusul ayahku.”
“Nona Tin Eng, mengapa kau begitu kasar dan galak terhadap aku? Bukankah kita sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah?”
“Cih! Siapa sudi menikah dengan kau?”
“Ha, kau ternyata masih menyinta seorang yang sudah mampus!” Gan Bu Gi menyindir. “Tutup mulutmu! Kau tidak berhak menyebut-nyebut nama Gwat Kong!”
Tin Eng memandang marah. “Memang, aku menyinta Gwat Kong! Tak perduli ia sudah mati atau belum. Aku menyinta dia. Dia seribu kali lebih berharga dari pada kau!”
“Ha ha ha! Beberapa bulan lagi, kalau kau sudah menjadi isteriku, kau akan lupa sama sekali kepada Gwat Kong! Ha ha!”
Akan tetapi Tin Eng tidak menjawab, hanya segera melarikan kudanya dengan cepat menyusul ayahnya dan rombongan itu. Sambil tertawa-tawa Gan Bu Gi juga melarikan kudanya menyusul rombongan.
****
Tin Eng dan Gan Bu Gi sama sekali tak pernah mimpi bahwa percakapan mereka tadi dilihat dan didengarkan orang. Seorang pemuda dengan pakaian compang-camping dan wajah kusut mengintai dari balik pohon besar. Orang ini bukan lain adalah Gwat Kong. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gwat Kong setelah dapat “mendarat” dengan selamat dari penerbangannya dengan burung rajawali, segera mencari isterinya, Cui Giok. Ia terus menuju ke utara dan dalam usahanya mencari Cui Giok ini, tiba-tiba di dalam hutan itu ia melihat rombongan Liok-taijin yang baru pulang dari Thay-san. Ia segera menyembunyikan diri dan ketika ia melihat Tin Eng berada dalam rombongan itu, wajahnya menjadi pucat dan dadanya berdebar-debar.
Alangkah kurusnya Tin Eng, pikirnya dengan hati tidak karuan rasa. Terharu, girang, sedih, semua perasaan tercampur aduk di dalam hatinya, akan tetapi yang terbesar adalah perasaan cinta kasih dan kasihan. Melihat dara pujaannya itu, timbul kembali cinta kasihnya yang sudah terpendam. Melihat mata yang jeli itu, bibir yang masih merah biarpun mukanya sedang marah dan kurus.
Ia mengaku bahwa sesungguhnya rasa cinta kasihnya terhadap Tin Eng tak pernah padam! Cinta kasihnya dahulu terpendam karena ketika berada di dalam guha itu merasa putus harapan untuk dapat bertemu kembali. Hal ini menggelisahkan hatinya. Akan tetapi ketika melihat Tin Eng naik kuda disampingnya Gan Bu Gi, ia menghibur diri sendiri dengan dugaan bahwa Tin Eng tentu telah menjadi nyonya Gan Bu Gi.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tanpa disengaja, kebetulan sekali, ia mendengar percakapan antara Tin Eng dan Gan Bu Gi. Celaka, pikirnya, Tin Eng masih menyintainya, mati atau hidup. Ia amat terharu, dan ingin sekali ia melompat keluar untuk menampar mulut Gan Bu Gi yang berani mempermainkan gadis yang dicintainya itu. Akan tetapi ia teringat kepada isterinya. Ia sudah menjadi suami lain orang dan Cui Giok demikian mulia, demikian berbudi, setia dan merupakan seorang isteri setia.
Ketika Tin Eng dan Gan Bu Gi sudah lama pergi, Gwat Kong masih saja berdiri diam bagaikan patung. Ia merasa menyesal dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana ia masih dapat mempunyai perasaan cinta kepada Tin Eng, sedangkan ia telah menjadi suami Cui Giok.
Bahkan hampir menjadi ayah? Ingin ia pukul kepalanya sendiri.
“Aku harus mendapatkan kembali Cui Giok!” bisiknya. “Aku harus bertemu dengan dia dan melupakan Tin Eng, tidak boleh bertemu kembali dengan Tin Eng, biar dia menganggap aku sudah tewas. Ah, hanya Cui Giok yang dapat menghibur dan menghilangkan pikiran gila di dalam otakku ini!”
Maka larilah ia kembali mencari isterinya yang hilang.
Pada suatu hari ia tiba di kaki bukit Kam-hong-san, di mana terdapat sebuah dusun yang ramai. Karena perutnya amat lapar, maka Gwat Kong lalu masuk ke dalam warung itu. Di situ hanya terdapat dua orang tamu yang menghadapi mangkok mi dan arak. Pelayan yang melihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan kotor, memandang dengan curiga, lalu menegur,
“Kau ada keperluan apakah?”
Gwat Kong yang sedang kesal hatinya, maka jawabnya marah, “Bukankah kau menjual nasi dan mi di sini? Tentu saja keperluanku masuk ke sini untuk beli nasi dan makan! Kalau tidak untuk itu, tidak sudi aku memasuki warungmu!”
Mendengar jawaban ketus dari seorang yang disangkanya pengemis ini, pelayan itu menjadi marah. “Kau mau makan? Apakah kau punya uang?”
Baru teringat oleh Gwat Kong bahwa ia tidak mempunyai uang sepeserpun. Akan tetapi ia teringat akan batu-batu permata yang disimpan di dalam saku bajunya. Karena mendongkol sekali, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu permata.
“Lihat, apakah ini tidak cukup untuk membeli nasi berikut warung dan kepalamu sekalipun? Hayo sediakan nasi dan jangan banyak cerewet!”
Pelayan itu adalah seorang kampung yang tidak tahu akan nilai batu permata, maka melihat batu itu ia tersenyum menghina. “Untuk apakah batu sungai itu? Aku ingin melihat uang, bukan batu!”
Marahlah Gwat Kong. Ia bangun berdiri dan hendak menampar mulut pelayan itu. Akan tetapi tiba-tiba dua orang yang tadi duduk di situ lalu menghampiri dan berkata kepada pelayan itu,
“Jangan kurang ajar! Hayo, lekas keluarkan nasi dan arak untuk saudara ini!”
Pelayan itu memandang heran, lalu pergi melakukan perintah itu sambil bersungut-sungut. Sementara itu, kedua orang itu lalu mengundang Gwat Kong untuk duduk di meja mereka.
Gwat Kong memperhatikan dua orang itu. Ternyata mereka adalah orang-orang yang mengerti ilmu silat, karena dari gerak gerik mereka dan dari golok yang tergantung di pinggang. Gwat Kong sendiri menyembunyikan pedangnya di balik bajunya. Dua orang itu bertubuh tinggi besar, yang seorang bermuka pucat dan seorang bermuka merah.
“Saudara siapakah dan hendak pergi ke mana?” tanya si muka merah dengan senyum ramah.
“Aku seorang pengembara yang sudah lupa akan nama sendiri,” jawab Gwat Kong acuh tak acuh dan ketika pelayan itu datang membawakan arak, dengan sekali tegak saja lenyaplah arak secawan penuh ke dalam perut Gwat Kong. Sudah lama sekali ia tidak minum arak dan kini setelah mulutnya merasa hangat dan harumnya arak, ia lalu menenggak sampai tiga cawan arak sekali gus. Bahkan lalu minta tambah kepada pelayan yang memandang dengan bengong!
Mendapat jawaban yang tidak perdulikan itu, kedua orang tadi tidak menjadi marah bahkan si muka pucat lalu berkata,
“Saudara, batu permata yang kau keluarkan tadi sungguh indah. Bolehkah kami melihatnya sebentar?”
Diam-diam Gwat Kong merasa geli hatinya. Ia menyangka bahwa kedua orang ini tentulah bukan orang baik-baik dan mungkin hendak merampas batunya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan hendak mencoba mereka, kalau mereka berani betul-betul hendak merampas batunya. Ia akan memberi hajaran kepada mereka. Ia lalu keluarkan sebutir batu permata dan memberikan itu kepada mereka dengan sikap yang masih tidak mengacuhkan sama sekali.
“Luar biasa!” kata si muka merah sambil melirik dan bertukar pandang dengan si muka pucat. “Sama benar dengan batu milik kami!”
Si muka merah lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu yang serupa benar bentuk dan warnanya dengan batu yang dikeluarkan Gwat Kong.
Ketika itu Gwat Kong sedang menenggak araknya. Melihat batu yang dikeluarkan oleh si muka merah itu, tiba-tiba ia membanting cawan itu dan araknya ke atas lantai dan bangun berdiri memandang kedua orang itu dengan mata terbelalak dan terengah-engah. Hanya ada dua orang di atas dunia ini yang mempunyai permata seperti itu. Dua orang itu adalah isterinya dan dia sendiri. Bagaimana orang ini bisa mendapatkan batu permata itu?
“Hayo, kau bilang dari siapa kau mendapatkan batu permata ini!” Sambil berkata demikian, sekali ia mengulur tangan menyambar, kedua batu permata itu telah berada di tangannya!
“Eh, eh ... kau gila!” kata si muka pucat ketika melihat batu permata itu terampas oleh Gwat Kong. Sambil berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan ke arah dada Gwat Kong dan tangan kirinya menyambar ke arah batu-batu permata yang dipegang Gwat Kong. Akan tetapi, sebelum serangannya ini mengenai sasaran, tubuhnya telah terlempar sampai setombak lebih dan menimpa meja ketika Gwat Kong dengan sembarangan saja mengebutkan tangannya.
Si muka merah menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya dan membentak,
“Bangsat rendah, tak tahunya kau adalah seorang perampok!” Lalu ia maju menusuk dengan goloknya.
Akan tetapi Gwat Kong sudah tak sabar lagi. Sekali saja ia melayangkan tangannya, senjata golok itu telah terampas dan kemudian ditekuk sehingga patah menjadi dua. Bukan main terkejutnya si muka merah itu yang memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tahu- tahu belakang lehernya sudah terjepit oleh jari-jari tangan Gwat Kong sehingga ia merasa seakan-akan lehernya itu terjepit oleh jepitan baja yang kuat sekali dan yang membuatnya sukar untuk bernapas. Kawannya yang roboh tadi masih juga pingsan dengan muka makin pucat.
Mendengar ribut-ribut itu, pelayan tadi datang diikuti orang-orang yang ingin melihat apa yang telah terjadi. Ketika melihat si muka pucat menggeletak dan si muka merah dijepit lehernya, pelayan yang tidak mengenal gelagat itu memburu dengan tangan terkepal dan memaki,
“Sudah kuduga, kau bukan orang baik-baik !” Akan tetapi kata-katanya ini tiba-tiba
terhenti dan tubuhnya melayang ke arah dinding membentur dinding dan ia jatuh ketanah bagaikan lapuk!
Gwat Kong melihat banyak orang datang, lalu mengempit tubuh si muka merah dan sekali ia berkelebat, ia telah berada jauh sekali dari tempat itu, lenyap dari pandangan mata orang- orang yang berdiri bagaikan patung menyaksikan kehebatan orang muda yang pakaiannya compang camping ini!”
Jauh dari dusun itu, di dalam sebuah hutan di kaki bukit Kam-hong-san, si muka merah itu berlutut di depan Gwat Kong minta-minta agar supaya diampuni jangan dibunuh!
“Hayo lekas katakan, dari mana kau mendapatkan batu permata ini?”
“Ampun, hohan (orang gagah)! Siauwte mendapatkannya dari dalam kepala seorang kawan yang mati.”
“Apa katamu? Jangan membohong, aku akan hancurkan kepalamu!” “Benar, hohan.”
“Ceritakan yang jelas!”
“Tiga hari yang lalu, siauwte bersama dua orang kawan, seorang yang berada di warung tadi dan yang seorang pula sudah mati, pergi ke puncak Kam-hong-san. Dipuncak terdapat sebuah kuil kuno yang sudah rusak. Kami masuk dan di situ kami melihat seorang wanita muda
yang nampaknya sedang sakit, akan tetapi ia cantik sekali. Kawan kami yang sekarang telah mati itu hendak mengganggunya karena tertarik oleh kecantikannya. Akan tetapi wanita yang kelihatan lemah tak berdaya itu lalu menyambitkan sebuah benda yang mengenai kepala kawan kami itu. Kawan kami roboh dan binasa disaat itu juga. Aku dan kawanku yang tadi lalu mengangkat mayatnya dan lari dari situ. Aku tertarik melihat cahaya yang bersinar dari luka di kepalanya dan ketika kuambil benda itu ”
Tiba-tiba Gwat Kong mencekik lehernya.
“Cepat ceritakan di mana adanya wanita itu!” teriaknya bagaikan orang kalap. “Di ..... kuil itu ..... di atas bukit ini ”
Gwat Kong segera menotok pundak si muka merah yang roboh dengan tubuh lumpuh. “Kau takkan dapat bergerak selama dua puluh empat jam. Kalau kau ternyata membohong, aku akan datang lagi untuk mengambil nyawamu!” Setelah berkata demikian bagaikan terbang cepatnya, Gwat Kong lalu mendaki bukit Kam-hong-san.
Benar saja, di puncak bukit yang sunyi itu ia melihat sebuah kuil bobrok. “Cui Giok ! Ia memanggil lalu berlari cepat menghampiri kuil.
“Gwat Kong !” Terdengar jawaban lemah. Bukan main girangnya hati Gwat Kong. Hanya
seorang saja di dunia ini yang dapat memanggil namanya dengan nada semanis dan semerdu itu, Cui Gioklah orangnya. Dengan airmata bercucuran, Gwat Kong mempercepat larinya, memasuki kuil dan ia melihat isterinya berbaring di atas lantai dengan wajah pucat!
“Cui Giok, isteriku !” Ia menubruk dan memeluk isterinya yang membalas dengan pelukan
mesra dan tangis terisak-isak. “Gwat Kong ...... suamiku yang baik ...... akhirnya kau datang juga akhirnya kita bertemu
juga !”
Gwat Kong tak dapat menjawab, hanya merangkul kepala isterinya dan didekap pada dadanya dengan erat. Sampai lama mereka merangkul itu dengan hati yang hanya Thian saja yang tahu betapa bahagianya. Sudah tiga bulan mereka berpisah semenjak diterbangkan oleh burung rajawali itu.
Memang Cui Giok dibawa terbang jauh sekali oleh burung rajawali yang membawanya dan akhirnya burung itu tak kuat lagi dan jatuh mati di bukit itu. Cui Giok yang ikut jatuh menderita pada kakinya. Dengan amat lemah dan susah payah, nyonya muda yang sedang mengandung ini dapat menuju ke kuil itu dan tinggal di situ sampai tiga bulan lamanya. Ia memaksa diri untuk bergerak mencari makan pada saat ia sudah tak dapat menahan laparnya lagi. Akan tetapi akhirnya ia tidak tahan dan jatuh sakit di lantai kuil!
Ketika ketiga orang penjahat itu datang mengganggu ia tidak kuasa mempertahankan diri, maka terpaksa ia menyerang mereka dengan batu permata yang dibawanya dari guha neraka itu.
Dengan amat gelisah, Gwat Kong merawat isterinya. Biarpun tidak banyak, Gwat Kong pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Bok Kwi Sianjin, maka lambat laun sembuhlah penyakit isterinya, sungguhpun tubuhnya masih amat lemah. Gwat Kong mengajak isterinya berpindah tempat ke sebuah kampung kecil di lereng bukit Kam-hong-san. Berbulan-bulan mereka tinggal di situ dan datanglah saatnya Cui Giok melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat.
Akan tetapi kesehatan Cui Giok yang memang sudah amat terganggu itu, makin menjadi buruk setelah ia melahirkan anaknya. Mukanya selalu pucat dan tubuhnya lemah.
Sungguhpun ia selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar gembira melihat anaknya.
“Gwat Kong !” katanya pada suatu malam, beberapa hari setelah ia melahirkan. “Kasihan
kau, suamiku ”
“Eh, aneh sekali kau ini, Cui Giok,” jawab Gwat sambil mengelus-elus rambut isterinya yang kusut. “Mengapa kau berkasihan kepadaku? Kaulah yang harus dikasihani.”
Cui Giok tersenyum pahit. “Kau, memang seorang suami yang baik! Kau telah mengorbankan cita-cita dan kebahagiaanmu untukku. Ah, Gwat Kong sungguh aku orang yang paling berbahagia di muka buni ini!”
“Aku apa maksudmu, isteriku?”
“Gwat Kong, aku tahu kau masih menyinta Tin Eng, bukan?”
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan melompat berdiri. “Cui Giok. !
Apa maksudmu berkata demikian?”
Cui Giok tersenyum dan memegang tangan suaminya. “Tidak apa-apa, jangan kaget. Aku tahu bahwa kau telah menyinta dia sebelum bertemu dengan aku. Malahan tadi kau mengigau dalam tidurmu, menyebut-nyebut namanya, seperti juga yang seringkali kau lakukan ketika kita berada di guha neraka itu.”
“Cui Giok !” Akan tetapi ia melihat isterinya tersenyum tenang.
“Aku tidak cemburu, suamiku. Juga tidak iri hati. Dengarlah, aku minta kau suka bawa Tin Eng ke sini, aku ..... aku perlu bicara kepadanya, perlu meninggalkan pesanan ”
“Meninggalkan pesanan ? Apa maksudmu?” Wajah Gwat Kong menjadi pucat.
“Suamiku, aku tak perlu menyembunyikan lebih lama lagi. Aku mendapat luka di dada yang amat parah. Ketika aku jatuh dengan burung itu ... ah, kasihan kau, suamiku jangan kaget
....., aku .... aku sering muntah darah ”
“Cui Giok !” Gwat Kong memeluk sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya.
“Tenanglah, suamiku. Hadapilah kehendak Thian dengan gagah. Sekarang setelah kau mengetahui keadaanku, lekaslah kau pergi ke Kiang-sui bawa Tin Eng ke sini. Kecuali ......
kecuali kalau ia sudah menikah dengan lain orang “
“Ia belum menikah .......” jawab Gwat Kong tak sadar. “Akan tetapi aku tidak mau
meninggalkan kau dalam keadaan begini!”
“Suamiku, juga kau tidak mau kalau kutekankan bahwa ini merupakan permintaanku ?
Permintaan terakhir?”
“Cui Giok !“ Mereka saling rangkul dan terdengarlah isak dari tenggorokan Gwat Kong.
****
Setelah tiba di rumah, Liok-taijin memanggil Tin Eng. Setelah anaknya datang menghadap, ia lalu berkata, “Tin Eng, betul seperti dugaanmu dulu. Gan Bu Gi bukanlah manusia baik-baik. Ia seorang penjahat besar. Nona Tan Kui Hwa telah menceritakan kepadaku betapa jahatnya dia. Pertunanganan dengan dia kuputuskan hari ini juga!”
“Ayah!” Tin Eng memeluk ayahnya. “Terima kasih, ayah ”
Dengan perantaraan pembantunya dan penasehatnya, yakni Lauw Liu Tek, Liok-taijin memberitahukan hal ini kepada Gan Bu Gi, bahkan ia mengusir dan memberhentikan pekerjaan pemuda itu.
Bukan main marahnya Gan Bu Gi, akan tetapi karena alasan yang dipergunakan oleh Liok- taijin adalah bahwa hal ini ada hubungannya dengan nona Tan Kui Hwa, pemuda ini tak dapat berkata sesuatu. Bahkan ia merasa malu untuk menghadap kepada calon mertuanya itu. Ia pergi tanpa meninggalkan sepatah pun kata.
Akan tetapi, lima hari kemudian pada siang hari datanglah Seng Le Hosiang. Kedatangan hwesio ini amat aneh, karena ia tidak terus masuk ke gedung itu, melainkan datang dari atas genteng! Dari atas genteng, ia memaki-maki Liok Ong Gun. “Liok Ong Gun, manusia tak berbudi! Kau membikin malu susiok-couwmu! Lekas menghadap kesini untuk menerima hukumanmu sebagai murid Go-bi-pai yang menyeleweng!”
Bukan main takut dan terkejutnya Liok Ong Gun. Bersama beberapa orang pembantunya dan perwira sayap garuda, ia naik ke atas genteng, juga Tin Eng ikut melompat naik.
“Kau menyalahi janji, bahkan membatalkan pertunanganan anakmu dengan Gan-ciangkun. Kau mengusirnya dan memberhentikan jabatannya. Apa maksudmu? Apakah sengaja hendak membikin pinceng mendapat malu besar?”
Liok Ong Gun terkejut sekali ketika melihat susiok-couwnya itu memegang tongkat kekuasaan sebagai tokoh Go-bi-pai yang berhak menghukum murid-murid yang murtad. Cepat ia berlutut dan memberi penjelasan. Menceritakan bahwa Gan Bu Gi telah berlaku keji terhadap Tan Kui Hwa, murid Hoa-san-pai itu.
“Ah, kau lebih percaya omongan seorang murid Hoa-san-pai dari pada pinceng? Bagus! Pendeknya, pernikahan itu harus dilanjutkan, ... harus dilangsungkan! Kalau tidak, terpaksa pinceng akan menghukummu dengan pukulan tongkat ini, demikian juga seluruh keluargamu!”
Seorang perwira sayap garuda yang belum lama bekerja pada Liok-taijin, amat tidak senang dengan sikap hwesio ini, maka ia melangkah maju dan berkata, “Losuhu sebagai seorang suci, losuhu tidak seharusnya bersikap seperti ini!”
Seng Le Hosiang memandang dengan marah. Sekali ia ulurkan tangannya dan mendorong, tubuh perwira itu terlempar tinggi dan jatuh ke atas genteng. “Pergilah kau, anjing!” maki Seng Le Hosiang dengan marah, lalu katanya kepada Liok Ong Gun,
“Dengarlah, Liok Ong Gun! Biarpun kau seorang pembesar, namun kau tetap murid Go-bi-pai dan pinceng berhak menghukummu!” Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat dan lenyap dari situ!
Bukan main bingungnya hati Liok Ong Gun menghadapi peristiwa ini. Untuk membantah ia tidak berani dan untuk menerima Gan Bu Gi sebagai mantu iapun tidak suka.
“Ayah, kita tidak berdaya menghadapi Seng Le Hosiang yang kejam itu. Baik, ayah terima saja permintaannya dan pernikahan dilangsungkan pada hari itu.”
“Apa? Kau rela melakukan pengorbanan ini?”
Tin Eng tersenyum. “Tentu saja tidak, ayah. Akan tetapi aku mempunyai akal. Dahulu, enci Kui Hwa sudah berjanji bahwa apabila aku terpaksa kawin dengan pemuda itu, enci Kui Hwa akan datang dan membuka rahasia Gan Bu Gi di depan umum! Dengan demikian, maka pernikahan tentu akan bubar dan tidak jadi. Hari kelimabelas masih dua pekan lagi, maka sekarang aku hendak menulis surat kepada enci Kui Hwa.”
Maka kedua ayah dan anak itu lalu mengadakan perundingan dan sehelai surat lalu ditulis. Seorang pesuruh yang tangkas diutus mengantarkan surat itu kepada Tan Kui Hwa di Kang- lam. Pesuruh itu kembali membawa jawaban Tan Kui Hwa yang menyanggupi permintaan tolong Tin Eng, maka keluarga Liok menarik napas lega. Pesta kawin dilakukan dengan amat meriah dan tamu-tamu dari seluruh penjuruh memerlukan datang, juga banyak orang-orang dari kalangan kang-ouw datang menghadiri pesta itu.
Penduduk Kiang-sui tentu saja tidak membuang kesempatan ini dan datang menyaksikan dari luar pekarangan gedung.
Ketika pengantin laki yang nampak gagah dan tampan sudah tiba dan baru saja sepasang pengantin hendak melakukan upacara sembahyang, tiba-tiba Kui Hwa yang semenjak tadi sudah berada di situ berdiri dan berseru keras.
“Cuwi sekalian, dengarlah keteranganku. Perkawinan ini tak dapat dilanjutkan! Pengantin laki-laki sebenarnya telah mempunyai isteri!”
Tentu saja semua orang menjadi gempar mendengar suara ini dan semua mata ditujukan kepada Kui Hwa yang berdiri dengan gagahnya.
“Kau mau tahu siapa isteri pengantin laki-laki. Akulah orangnya! Aku telah menjadi isterinya karena kekejian, bukan karena upacara perkawinan yang syah. Ketika cabang persilatan Hoa- san-pai masih dimusuhi oleh Kim-san-pai, aku pernah tertawan oleh pemuda busuk ini. Dan dalam keadaan tak berdaya, ditambah bujukan-bujukan yang menyatakan hendak mengawiniku, pemuda berhati binatang ini telah melakukan kekejian terhadapku. Akan tetapi semua itu hanya merupakan tipuan belaka, dan setelah ia melakukan perbuatan terkutuk, ia tidak mengawiniku, bahkan menghina dan meninggalkanku! Adik Tin Eng kawin padanya karena paksaan. Karena pemuda busuk itu dapat membujuk Seng Le Hosiang, sehingga tokoh Go-bi-pai yang tua tapi bodoh itu memaksa Liok-taijin sebagai murid Go-bi-pai untuk mengawinkan puterinya kepada pemuda she Gan yang jahanam ini!”
Mendengar ini, Seng Le Hosiang melompat maju dan hendak menyerang Kui Hwa dengan bentakan, “Perempuan busuk pergi kau dari sini!”
Akan tetapi pada saat itu, bayangan yang amat cepat berkelebat keluar dari kelompok penonton dan bayangan ini menangkis pukulan Seng Le Hosiang yang ditujukan kepada Kui Hwa. Orang ini adalah Gwat Kong yang mempergunakan kesempatan itu untuk menolong Kui Hwa.
“Gwat Kong !” Seruan ini terdengar dari beberapa buah mulut, dan yang paling keras
terdengar dari Tin Eng yang memandang dengan mata terbelalak heran, seakan-akan tidak percaya kepada sepasang matanya sendiri.
Akan tetapi Seng Le Hosiang yang marah sekali telah menyerang kembali. Kini bahkan mempergunakan tongkatnya yang selalu dibawa, namun Gwat Kong berlaku waspada dan telah mencabut pedang Sin-eng-kiam dan sulingnya. Keadaan menjadi kacau balau dan saat itu digunakan oleh Kui Hwa untuk menyerang Gan Bu Gi.
Gadis ini selama berbulan-bulan telah melatih diri dan siap untuk melakukan pembalasan. Kepandaiannya telah banyak maju. Pertempuran hebat terjadi. Di antara para penonton yang menjadi panik, tak seorangpun maju membantu, hanya menonton sambil mundur dari tempat agak jauh. Hampir berbareng dengan robohnya tubuh Kui Hwa dan Gan Bu Gi, tubuh Seng Le Hosiang terhuyung-huyung dengan muka pucat, karena dadanya telah kena totokan sulit Gwat Kong yang mendatangkan luka parah di bagian dalam. Kui Hwa tertusuk dadanya oleh pedang Gan Bu Gi, akan tetapi sebaliknya, Gan Bu Gi lehernya hampir putus terbabat oleh pedang Kui Hwa.
Dalam keadaan yang makin panik dan ribut itu, Gwat Kong cepat melompat ke arah Tin Eng dan berkata, “Tin Eng, hayo kau ikut denganku!” Tangannya menangkap lengan Tin Eng dan sekali melompat ia telah berada di luar gedung. Bukan main ributnya keadaan pesta itu dan beberapa orang perwira yang mengejar Gwat Kong terpaksa kembali dengan tangan kosong, oleh karena kepandaian mereka masih jauh untuk dapat menyusul Gwat Kong!
****
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah Gwat Kong di lereng gunung Kam-hong-san itu, keadaan Cui Giok makin payah. Tin Eng sudah mendengar penuturan Gwat Kong dalam perjalanan menuju ke tempat itu dan dengan suka hati Tin Eng memenuhi undangan Cui Giok itu. Ia amat terharu melihat keadaan nyonya muda itu dan menubruknya sambil menangis.
“Ah, girang sekali hatiku kau datang, adikku yang manis!” kata Cui Giok yang bangkit dari tidurnya. Anaknya yang masih kecil dipondong oleh pengasuh dari kampung itu.
“Enci Cui Giok, aku telah mendengar semua pengalamanmu bersama Gwat Kong di guha neraka itu. Kau ..... sungguh patut dikasihani enci ”
Cui Giok tersenyum, “Kau baik sekali, Tin Eng. Dengarlah, kau juga suamiku. Aku tahu bahwa kalian masih saling cinta dan aku akan rela melihat kalian terangkap menjadi suami isteri ”
“Enci Cui Giok !” Tin Eng berseru dengan muka merah, akan tetapi air matanya
mengucur.
“Tentu kau sudah mendengar dari Gwat Kong bahwa keadaanku amat payah. Kematian akan datang menjemputku tak lama lagi. Tin Eng dan kau juga Gwat Kong, aku hanya akan menitip Lan-lan kepada kalian. Jagalah baik-baik anak itu. Juga batu-batu permata yang kami ambil dari guha itu boleh kau berikan kepada kedua orang she Pang atau tidak! Itu bukan urusanku, dan ....” Sampai di sini ia terisak menangis. “Dan sampaikan hormat dan
permintaan ampunku kepada ibu ..... ibuku yang tercinta yang telah lama kutinggalkan!”
“Enci Cui Giok !” Tin Eng merangkul dan mencium kening dengan hati amat berat dan
terharu. “Jangan berkata demikian, enci. Kau seorang wanita yang berhati mulia, karenanya kau akan panjang usia. Kau akan sembuh kembali dan percayalah, aku rela melihat Gwat Kong menjadi suamimu. Kau ..... kau seribu kali lebih baik dari pada aku ”
Sementara itu, Gwat Kong hanya dapat duduk dengan kepala tunduk. Hatinya terasa hancur dan saking terharunya, ia tidak dapat berkata sesuatu.
Pada saat itu, dari luar terdengar teriakan orang, “Hai, Kang-lam Ciu-hiap! Keluarlah kau! Sekarang tiba saatnya untuk menetapkan siapa yang lebih lihai antara Barat, Timur, Selatan dan Utara!” Gwat Kong terkejut. Itulah suara Ang Sun Tek, ahli Pat-kwa To-hoat yang dulu dicari-cari oleh Cui Giok. Cepat ia melompat keluar dan benar saja, di situ telah berdiri delapan orang yang dikepalai oleh Ang Sun Tek.
“Bun Gwat Kong!” kata Ang Sun Tek sambil tersenyum mengejek. “Kau telah berjanji untuk mengadu kepandaian, akan tetapi kami tunggu-tunggu tak juga kau datang. Ketika kami mendengar tentang kematianmu, kami penasaran sekali. Akan tetapi, tiba-tiba kau muncul lagi dan membawa lari puteri Liok-taijin. Kami sengaja tidak menghalangimu dan diam-diam mengikuti jejakmu sampai di tempat ini. Nah, sekarang cobalah kau melepaskan diri dari Pat- kwa-tin! Apakah ahli Im-yang Kiam-hoat itu masih ada? Suruh dia keluar sekalian!”
“Dia sudah menjadi isteriku dan kini sedang menderita sakit. Jangan kau mengganggu kami, Ang Sun Tek!”
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan gembira, “Ah, telah lama aku menanti datangnya saat ini.”
Dan tahu-tahu Cui Giok telah berdiri di belakang suaminya dengan sepasang pedangnya di kedua tangannya.
“Liok-te Pat-mo, lekas kalian perlihatkan Pat-kwa-tin itu kepada kami!” “Cui Giok, kau ” kata Gwat Kong.
“Biarlah, suamiku. Saat ini merupakan kegembiraan terakhir bagiku!” Cui Giok yang gagah perkasa itu memotong kata-kata suaminya.
Sementara itu, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya sudah mencabut golok masing-masing, lalu mereka mengurung Gwat Kong dan Cui Giok, merupakan bentuk segi delapan dengan kedudukan yang kuat sekali.
“Bersiaplah, kami menyerang!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru. Gwat Kong cepat mencabut keluar Sin-eng-kiam dan sulingnya, sedangkan Cui Giok mainkan sepasang pedangnya dengan cepat. Sungguh amat mengherankan dan mengagumkan nyonya muda itu. Dalam keadaan lemah dan sakit tiba-tiba seperti mendapat tenaga dan semangat baru. Gerakannya bahkan lebih cepat dari biasanya.
Kedua suami isteri ini ketika berada di guha neraka telah melatih diri dengan rajinnya sehingga kepandaian mereka sudah meningkat banyak. Tadinya Gwat Kong amat cemas memikirkan isterinya. Akan tetapi ketika melihat betapa gagah Cui Giok menggerakkan sepasang pedangnya, timbul kegembiraannya. Dan iapun lalu mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong-tung-hoat dengan pedang dan sulingnya.
Pertempuran berjalan dengan amat seru dan hebatnya sehingga sepuluh orang itu seakan-akan lenyap dalam gulungan banyak sinar senjata yang indah sekali, kelihatannya. Betapapun lihai Pat-kwa-tin itu, namun akhirnya Ang Sun Tek dan kawan-kawannya harus mengakui keunggulan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat itu.
Setelah bertempur kira-kira lima puluh jurus, tiga orang anggota Pat-kwa-tin roboh. Seorang tertotok oleh suling Gwat Kong. Orang kedua terbacok lengan kanannya oleh pedang Gwat Kong pula dan orang ketiga roboh karena kena disambar pahanya oleh pedang di tangan Cui Giok.”
Ang Sun Tek marah dan penasaran sekali melihat tiga orang kawannya dirobohkan. Sambil berseru nyaring, ia lalu mendesak Cui Giok karena ia tahu bahwa nyonya muda ini sedang menderita sakit. Goloknya menyambar ke arah leher Cui Giok dan ketika Cui Giok menangkis dengan pedang kirinya, kakinya menendang dengan hebatnya ke arah perut nyonya muda itu.
Hal ini mengejutkan Cui Giok, maka tangkisan pedang kirinya menjadi lemah ketika ia menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membacok kaki yang menyambar perutnya itu. Dua hal terjadi dengan hampir berbareng yang mengakibatkan Ang Sun Tek menjerit dan roboh dengan paha terbacok putus dan Cui Giok terhuyung-huyung dengan pundak kiri berlumuran darah karena bacokan golok, karena tangkisannya kurang kuat.
Tin Eng yang menonton di depan pintu karena ketika hendak membantu dilarang oleh Gwat Kong dan Cui Giok, segera berlari maju dan memeluk nyonya muda itu. Sedangkan Gwat Kong dengan suara mengguntur membentak empat orang anggauta Pat-kwa-tin,
“Tahan! Setelah Ang Sun Tek roboh, apakah kalian masih mau mencari mampus? Sudahlah, isteriku terluka dan empat orang kawanmu juga terluka. Ang Sun Tek mendapat luka parah karena salahnya sendiri. Pergilah kalian dari sini dan jangan mengganggu kami lagi!” Empat orang itu maklum bahwa mereka takkan dapat mengalahkan orang muda yang lihai itu, maka lalu menggotong tubuh kawan-kawannya dan pergi dari tempat itu.
Cui Giok dibaringkan di dekat pembaringan anaknya, dijaga oleh Tin Eng dan Gwat Kong. Keadaannya makin payah.
“Cui Giok, mengapa kau memaksa diri keluar membantuku ?” Gwat Kong menyatakan
penyesalannya.
Cui Giok tersenyum, “Apakah artinya luka sedikit di pundak ini? Lukaku di dalam dada sudah tak dapat diobati lagi, dan aku girang dapat membuktikan bahwa Im-yang Kiam-hoat tak
kalah hebatnya oleh Pat-kwa To-hoat!”
Dengan penuh perhatian, Tin Eng merawat Cui Giok. Akan tetapi nyonya muda ini ketika jatuh dengan burung rajawali yang membawanya dulu, telah menderita luka di dalam tubuh yang hebat. Darah tubuhnya telah terganggu oleh luka ini dan hanya berkat latihan bertahun- tahun maka ia masih tahan hidup selama ini.
Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, ia nampak gembira sekali dan menyuruh Tin Eng membawa Lan-lan, anak kecil itu untuk diletakkan di sebelahnya. Ia menciumi anak itu dengan penuh kasih sayang, lalu berkata kepada Tin Eng,
“Tin Eng, jadilah seorang isteri yang setia untuk Gwat Kong dan ibu yang bijaksana untuk Lan-lan ”
Tin Eng hanya dapat menahan runtuhnya air mata dan menganggukkan kepalanya. Gwat Kong tidak kuat melihat keadaan ini dan keluar dari kamar, duduk di ruang depan sambil melamun. Tiba-tiba terdengar jerit Tin Eng dan ketika Gwat Kong memburu masuk, ternyata Cui Giok sudah menarik napas terakhir sambil memeluk anaknya. Jerit tangis terdengar memenuhi rumah kecil di lereng itu dan tetangga-tetangga datang melayat.
Setelah jenazah Cui Giok dirawat dan dikubur, maka Gwat Kong dan Tin Eng yang menggendong anak kecil itu, pergi dari Kam-hong-san, menuju hidup baru yang penuh dengan kebahagiaan namun penuh pula dengan kenangan mengharukan.
Beberapa bulan kemudian, Pang Gun dan Pang Sin Lan di kotaraja didatangi Tin Eng yang membawa batu-batu permata itu. Akan tetapi kedua putera pangeran itu menolak dan memberikan benda-benda itu kepada Tin Eng, karena mereka telah kawin dengan orang-orang hartawan di kota raja dan tidak membutuhkan benda-benda berharga itu. Maka pergilah Tin Eng kembali ke tempat suami dan anak tirinya dan hiduplah ia penuh kebahagiaan sampai di hari tua.
TAMAT