Pendekar Pemabuk Jilid 09

Jilid 09

Bab 26 .....

NELAYAN tua itu membawa bekal beras dan dialah yang masak nasi dan memanggang ikan yang mereka dapat memancing di sungai. Kadang-kadang Gwat Kong atau Cui Giok pergi ke hutan dekat sungai untuk mencari binatang hutan seperti kijang, kelinci, ayam hutan dan lain- lain untuk dimakan dagingnya bersama nasi. Memang enak sekali makan di tempat-tempat terbuka, dekat api unggun itu!”

“Nah, untuk mencari kota Kiang-sui, dari sinilah yang paling dekat.” Ia menunjuk ke arah bukit di dekat pantai. “Dengan mengambil jalan mengitari bukit di depan itu, lalu membelok ke kanan, maka paling jauh enam atau tujuh li, kongcu akan tiba di Kiang-sui.”

Gwat Kong memandang kepada Cui Giok dan aneh sekali, kembali gadis itu nampak muram dan cemberut. “Cui Giok, apakah kau mau ikut ke Kiang-sui?” tanyanya manis.

Dara itu menggelengkan kepala. “Pergilah, biar aku menanti di sini saja!”

“Apakah kau tidak merasa kesal menanti seorang diri di sini? Tempat begini sunyi, jauh dari perkampungan,” kata Gwat Kong sambil memandang ke sekeliling. Memang di situ sunyi, yang nampak hanyalah pohon dan bukit-bukit.

Di dalam hatinya Cui Giok maklum bahwa ia tentu saja akan merasa kesal, akan tetapi mulutnya berkata, “Mengapa kesal? Di sini ada lopek dan aku bisa memancing ikan!”

Tetap saja Gwat Kong merasa tidak puas dan tidak enak hati untuk meninggalkan Cui Giok, maka ia membujuk lagi,

“Apakah tidak lebih baik kau ikut saja, Cui Giok? Kau bisa melihat-lihat keindahan kota, mungkin ada barang-barang yang kau sukai, kau dapat berbelanja dan ”

“Sudahlah,” Cui Giok memotong. “Kau pergilah sendiri karena kau mempunyai kepentingan di sana.

“Kau mempunyai sahabat-sahabat baik di sana. Aku tidak mempunyai kenalan, untuk apa aku harus pergi ke sana pula? Aku akan menunggu di sini saja!”

“Siocia berkata benar,” tiba-tiba nelayan tua itu ikut bicara. “Memang sudah menjadi kelaziman bahwa wanitalah yang selalu harus menanti dengan sabar.”

Gwat Kong dan Cui Giok memandang kepada kakek nelayan itu. “Eh, lopek apa maksudmu?” tanya Gwat Kong.

Karena sepasang anak muda itu memandangnya dengan mata tajam penuh pertanyaan, kakek ini menjadi gugup.

“Aku ..... aku teringat akan permainan anak wayang yang kutonton belum lama ini kata-

kata siocia yang hendak menunggu tadi mengingatkan aku akan nyanyian yang diucapkan oleh pelaku cerita sandiwara itu.” Kakek itu berhenti dan tertegun karena ia telah mengeluarkan kata-kata yang makin mempersulit kedudukannya.

Bagaimana nyanyiannya? Coba kau jelaskan lopek,” Cui Giok juga mendesak.

“Ah .... eh ” Ia ragu-ragu, akan tetapi kemudian berdehem untuk menetapkan hatinya, lalu

berkata, “Cerita itu adalah cerita tentang dua orang sahabat baik seperti kongcu dan siocia ini. Si teruna hendak pergi meninggalkan si dara dan nyanyian dara itu begini,

“Pergilah kanda, pergilah ke kota raja, Dinda akan menanti dengan setia, Pergilah dengan hati ringan, kanda!

Seribu tahun dinda akan menanti juga! “Ah, lopek! Gwat Kong mencela. “Aku tidak pergi ke kota raja, juga tidak pergi lama. Bagaimana kau bisa membandingkan kami dengan mereka?”

“Akupun takkan menanti sampai seribu tahun!” Cui Giok mencela.

Kakek itu hanya tertawa dan karena kata-kata nelayan itu membuat menjadi merah muka, maka Gwat Kong segera melompat ke darat dan setelah berkata, “Aku pergi takkan lama!” Ia lalu pergi dengan berlari menuju ke bukit itu.

Nelayan tua itu dan Cui Giok memandang sampai bayangan Gwat Kong lenyap di balik bukit. Nona itu masih berdiri termenung sehingga ia terkejut ketika nelayan itu berkata,

“Dia seorang pemuda yang baik, seorang calon suami yang sukar dicari bandingannya!”

Cui Giok memandang nelayan itu dengan mata tajam. “Lopek, jangan kau bicara sembrono. Gwat Kong hanya sahabatku belaka. Sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan yang sama.”

Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Aku sudah tua siocia. Mataku menjadi tajam karena pengalaman. Aku berani menyatakan bahwa siocia tertarik kepada pemuda itu. Tak usah membantah siocia. Aku pernah mempunyai anak perempuan yang juga jatuh hati kepada seorang pemuda. Akan tetapi oleh karena aku yang bodoh menghalanginya. Akhirnya ia jatuh sakit dan ... meninggal dunia ” Kakek itu menjadi berduka dan wajahnya muram.

Tadinya Cui Giok hendak marah, akan tetapi ketika kakek itu berkata tentang anaknya, gadis ini menjadi tak tega hati.

“Aku tidak begitu bodoh untuk menyinta seorang pemuda yang sudah mempunyai kekasih, lopek.”

Mendengar ini, kakek itu memandang dengan sinar mata yang demikian lembut dan penuh iba, sehingga tanpa disadarinya dua butir air mata menitik turun dari mata Cui Giok. Gadis ini buru-buru membalikkan tubuh, duduk di tepi perahu dan menatap air sungai dengan pikiran melayang jauh.

****

Gwat Kong berlari cepat mengitari bukit itu dan benar saja, tak lama kemudian nampaklah tembok kota Kiang-sui di depan matanya. Hatinya berdebar ketika ia melihat kota yang pernah ditinggalinya sampai beberapa tahun itu dan teringatlah ia kepada Tin Eng. Bagaimana kalau ia mengunjungi gedung Liok-taijin? Apakah pembesar itu masih marah kepadanya? Ia teringat pula kepada Gan Bu Gi yang pernah menyerang dan hendak menangkapnya. Ia lalu turunkan pedang dan menggantungkan sarung pedang Sin-eng-kiam di pinggangnya. Tadi ia sengaja membawa pedang yang biasanya disimpan dalam bungkusan pakaian ini, untuk menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ia tak perlu menyembunyikan kepandaiannya lagi, bahkan kalau perlu ia hendak memperlihatkan kepada Liok-taijin bahwa dia bukanlah Gwat Kong si pelayan yang bodoh dan lemah.

Kota Kiang-sui tidak banyak berubah semenjak ditinggalkan. Keadaannya masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran besar makin banyak dikunjungi orang. Gwat Kong berjalan-jalan melihat-lihat kota, bahkan ia berjalan di jalan raya depan gedung Liok-taijin. Akan tetapi pada saat ia berjalan lewat di depan gedung itu, ia tidak melihat seorangpun di depan gedung. Ia tidak berani masuk karena apakah yang akan dijadikan alasan untuk memasuki rumah itu?

Bagaimana kalau ia diusir seperti pengemis?

Gwat Kong lalu menuju ke sebuah restoran besar yang dulu hanya dilihat dari luar saja. Ia maklum bahwa masakan restoran ini amat lezat dan mahal. Ia dahulu hanya dapat merasai masakan restoran ini apabila Liok-taijin membeli masakan dari situ dan ia mendapatkan sisanya. Kini ia ingin masuk dan membeli masakan sendiri, ingin duduk di bangku menghadapi meja di restoran yang besar dan mewah itu.

Restoran besar itu mempunyai tiga ruang dan karena ruang di sebelah kanan dan tengah sudah padat dengan tamu-tamu, Gwat Kong lalu melangkah memasuki ruangan sebelah kiri. Baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, ia mendengar ribut-ribut di ruang itu dan ketika ia memandangnya, alangkah terkejutnya melihat dua orang pemuda yang masih dikenalnya, yakni Pui Kiat dan Pui Hok kedua orang murid Hoa-san-pai yang pernah bertemu dengannya dahulu itu duduk menghadapi meja dan sedang dibentak-bentak oleh seorang setengah tua yang berjenggot runcing.

“Kalian ini bajingan-bajingan kecil sungguh menjemukan sekali!” si jenggot runcing itu membentak-bentak. “Tidak tahukah kau siapa aku? Apakah kalian mencari mampus? Aku tahu bahwa kalian selalu mengikuti rombonganku semenjak dari Keng-hoa-bun sampai ke Kiang-sui. Aku sengaja mendiamkan saja karena menyangka bahwa kalian hanya dua orang penjahat tangan panjang. Akan tetapi sampai sekarang kalian tidak bergerak, bahkan masih terus mengintaiku. Sekarang, katakanlah terus terang apakah kehendakmu? Awas, kalau tidak berkata terus terang, kepalanku akan meremukkan kepalamu berdua seperti ini!” Sambil berkata demikian, si jenggot runcing itu menggunakan kepalan tangannya ditekukkan dengan perlahan pada ujung meja di mana kedua saudara Pui itu duduk dan hancurlah kayu tebal

itu bagaikan terpukul dengan penggada baja.

Gwat Kong merasa amat terkejut melihat kehebatan tenaga orang itu dan melihat demonstrasi ini saja ia maklum bahwa kedua murid Hoa-san-pai itu bukanlah lawan orang yang kosen ini. Maka ia lalu melangkah maju dan pada saat itu melihat seorang lain duduk menghadapi meja di belakang si jenggot runcing yang sedang marah itu. Orang ini bukan lain adalah Gan Bu Gi yang berpakaian sebagai panglima besar yang indah dan mentereng. Akan tetapi Gwat Kong tidak memperdulikan. Gan Bu Gi hanya langsung menghampiri meja. Pui Kiat dan Pui Hok, sengaja menuju ke depan si jenggot runcing itu dan berdiri membelakanginya.

“He, saudara2 Pui!” tegurnya keras.

Pui Kiat dan Pui Hok masih duduk dengan muka pucat. Mereka tidak mengira sama sekali bahwa diam-diam Ang Sun Tek yang memimpin pasukan dan menawan Tin Eng itu mengenal mereka dan tahu bahwa mereka mengikutinya sampai ke Kiang-sui. Karena terkejut, heran dan gelisah, mereka tadi duduk diam saja bagaikan patung tak tahu harus berbuat apa.

Melihat pukulan Ang Sun Tek pada meja, mereka terkejut dan percaya kepada penuturan Kui Hwa bahwa Ang Sun Tek memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka. Maka mereka berdua menjadi gentar juga. Selagi Pui Kiat dan Pui Hok tercengang dan mencari-cari alasan untuk menjawab, tiba-tiba muncul Gwat Kong di depan mereka. Untuk beberapa lama mereka tidak mengenal Gwat Kong, akan tetapi Pui Kiat lalu teringat akan pemuda aneh dan lihai yang pernah menolong mereka ketika mereka terdesak oleh Bong Bi Sianjin.

“Ah, Bun-taihiap!” katanya girang sekali. Bagaimana pemuda ini selalu muncul pada waktu mereka terancam bahaya? “Kau dari mana? Silahkan duduk!”

Sementara itu, Ang Sun Tek menjadi marah sekali melihat pemuda yang tidak memperdulikannya dan bahkan secara sengaja berdiri menghalanginya dan membelakanginya.

“Minggir kau, bedebah!” katanya sambil menggunakan tangan kanan memegang siku lengan kiri Gwat Kong.

Angin gerakan Ang Sun Tek ini membuat Gwat Kong maklum bahwa apabila sambungan sikunya terpegang, ada bahaya sambungan sikunya akan terluka atau terlepas maka dengan cepat sekali sehingga tidak terlihat oleh kedua saudara Pui yang memandang cemas, ia menggerakkan sikunya ke atas mengelak pegangan itu sehingga tangan Ang Sun Tek yang mencengkeram itu tidak mengenai siku akan tetapi mengenai lengan.

Gwat Kong menggeser kakinya dan membalikkan tubuh sambil mengerahkan tenaga dalam dengan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), sehingga lengan yang dicengkeram itu tidak terluka bagian dalamnya. Kemudian ia melangkah ke belakang dengan cepat sambil membetot lengannya itu terlepas dari pegangan Ang Sun Tek.

Ang Sun Tek terkejut bukan main ketika tangannya yang mencengkeram itu merasa betapa lengan tangan pemuda itu keras dan licin seperti besi, sehingga tenaga cengkeramannya dapat terpental kembali. Dan tiba-tiba ia merasa betapa lengan tangan itu licin dan lemas bagaikan belut sehingga dapat terlepas dari cengkeramannya ketika ditarik kembali oleh pemuda itu.

Inilah ilmu Jui-kut-kang atau ilmu melemaskan tulang yang hebat.

“Bagus!” teriaknya marah sekali. “Tidak tahunya kau memiliki sedikit ilmu kepandaian!” Ia tahu bahwa pemuda ini lihai dan tindakannya tadi sengaja hendak mencari permusuhan untuk melindungi kedua pemuda yang mengikutinya. Maka ia lalu menggerakkan tangan memegang goloknya yang selalu tergantung di pinggang sambil membentak, “Barangkali kau sudah bosan hidup!”

Dari pegangan pada lengannya tadi Gwat Kong dapat menduga bahwa orang berjenggot runcing ini seorang ahli ilmu silat yang pandai karena biarpun ia berhasil melepaskan tangannya, akan tetapi ketika ia membetot lengannya tadi, merasa betapa lengannya panas tanda bahwa ilmu dan tenaga dalam orang ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Maka iapun meraba gagang pedang Sin-eng-kiam dan berkata,

“Manusia sombong, apa kau kira, kau seorang saja yang mempunyai senjata tajam? Cabutlah golokmu dan jangan kira bahwa aku takut kepadamu!”

Dua orang jago silat itu berdiri berhadapan dengan tangan memegang gagang senjata masing- masing, siap untuk mencabutnya dan mata mereka saling pandang dengan tajam, seakan-akan dua ekor ayam jago berlaga dan hendak bertempur mati-matian. Pui Kiat dan Pui Hok memandang dengan penuh kekhawatiran. Dua orang murid Hoa-san-pai ini yang maklum akan kelihaian Ang Sun Tek, merasa gelisah dan takut kalau-kalau Gwat Kong takkan dapat melawan ketua Liok-te Pat-mo itu maka Pui Kiat lalu bangun berdiri dan menghampiri Gwat Kong sambil membujuk.

“Bun-taihiap, sudahlah, jangan kau berkelahi karena urusan kami. Mari kita pergi dari sini. Ada urusan amat penting yang perlu kami sampaikan kepadamu.”

Sementara itu, Gan Bu Gi juga merasa cemas. Ia maklum pula akan kelihaian Gwat Kong dan kalau sampai Ang Sun Tek kalah, tentu ia akan berada dalam bahaya menghadapi Gwat Kong yang membencinya, maka ia membujuk Ang Sun Tek,

“Ang-ciangkun, jangan kau meladeni bocah ini!”

Memang Ang Sun Tek masih ragu-ragu untuk mencabut goloknya. Ia adalah seorang ternama dan sedang menjalankan tugas sebagai seorang perwira kerajaan, maka di tempat umum ini kalau sampai ia kalah oleh pemuda ini, tidak saja namanya akan jatuh, akan tetapi biar ia menang sekalipun, namanya takkan menjadi harum karenanya. Melihat kepandaian pemuda itu ketika melepaskan tangannya dari pegangannya, maka resikonya terlalu besar untuk melawan pemuda ini yang sama sekali tidak berdasarkan permusuhan sesuatu. Maka iapun hanya berdiri saja tak mau mencabut goloknya lebih dahulu.

Sementara itu, Gwat Kong ketika mendengar bujukan Pui Kiat, menjadi tertarik hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang ini bukan tanpa sebab berada di Kiang-sui dan tuduhan orang berjenggot tadi terhadap kedua saudara Pui membuat ia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Apalagi ia melihat bahwa orang berjenggot itu bersama Gan Bu Gi, maka ia lalu melepaskan gagang pedangnya dan berpaling kepada Pui Kiat,

“Akupun tidak hendak mencari permusuhan dan perkelahian, asal saja orang tidak mendahului dan menyerangku.”

Tanpa banyak cakap lagi, Pui Kiat lalu menggandeng tangan Gwat Kong dibawa keluar dari restoran. Sedangkan Pui Hok lalu membayar harga makanan kepada seorang pelayan yang semenjak tadi berdiri di sudut dengan muka pucat melihat pertempuran yang hampir saja terjadi itu.

Setibanya di luar restoran, Pui Kiat dan Pui Hok membawa Gwat Kong ke tempat yang sunyi. Mereka sudah mendapat tahu tentang keadaan Tin Eng.

Sebagaimana dituturkan di bagian depan, kedua saudara Pui ini mendapat tugas dari Kui Hwa untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng. Mereka merasa lega ketika melihat bahwa Tin Eng benar-benar dikembalikan ke rumah orang tuanya dan tidak mendapat gangguan di jalan.

Akan tetapi mereka masih tidak mengerti apakah sebenarnya kehendak Ang Sun Tek dengan penangkapan atas diri Tin Eng itu dan mengapa pula Ang Sun Tek yang tadinya hendak pergi ke Hong-san sampai menunda perjalanannya di Kiang-sui. Kemudian mereka melihat betapa Ang Sun Tek mengadakan pertemuan dengan Gan Bu Gi dan masuk ke dalam restoran untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. “Saudara Pui, sebenarnya mengapakah kalian berada di kota ini dan mengapa pula orang itu hendak menyerangmu? Siapakah dia yang kepandaiannya tinggi itu?”

Pui Kiat lalu menuturkan pengalamannya dengan singkat dan menutup penuturannya dengan menghela napas,

“Bun-taihiap, memang dia bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang yang kini menjadi pembantu istimewa pada perwira-perwira kerajaan. Namanya Ang Sun Tek. Dialah ketua dari Liok-te Pat-mo, delapan iblis bumi yang amat terkenal itu!”

Terkejutlah Gwat Kong mendengar penuturan Pui Kiat. Sungguhpun nama Ang Sun Tek ini membuatnya menjadi tercengang. Karena ini tidak disangkanya sama sekali bahwa ia akan bertemu dengan orang yang sedang dicari-cari oleh Cui Giok. Namun ia lebih terkejut lagi mendengar bahwa Tin Eng telah ditawan oleh Ang Sun Tek itu dan dengan paksa dikembalikan ke rumah orang tuanya.

“Saudara Pui berdua, kalau begitu, serahkanlah urusan ini kepadaku. Kalian telah diketahui bahwa kalian mengikuti rombongan mereka, dan hal ini berbahaya sekali. Aku kenal baik dengan nona Liok Tin Eng, bahkan sekarang juga aku akan menengoknya. Tentang Ang Sun Tek itu, memang sudah lama aku hendak mencoba kepandaiannya, bahkan terus terang saja, aku ingin menghadapi delapan iblis itu sekali gus. Lebih baik sekarang kalian berdua cepat pergi dari kota ini, menyusul dan membantu sumoimu itu.”

Pui Kiat dan Pui Hok tercengang mendengar ucapan ini, akan tetapi karena merekapun maklum bahwa keadaan mereka di kota Kiang-sui akan membahayakan keselamatan mereka, maka mereka menyatakan setuju dan segera meninggalkan Gwat Kong untuk keluar kota dan pergi menyusul Kui Hwa ke Hong-san.

Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia maklum akan kesedihan hati Tin Eng dan ia merasa gemas kepada Ang Sun Tek yang telah menawan dan memaksa Tin Eng pulang. Kalau saja ia tidak sedang merasa cemas memikirkan keadaan Tin Eng, tentu ia akan kembali ke restoran itu menemui Ang Sun Tek dan mengajaknya berkelahi! Akan tetapi, ia perlu sekali mendapatkan Tin Eng dan menengok keadaan gadis pujaan hatinya itu. Kalau perlu menolongnya keluar dari gedung Liok-taijin.

Mudah saja bagi Gwat Kong untuk memasuki pekarangan belakang dari gedung keluarga Liok, oleh karena ia memang hafal akan keadaan dan jalan di situ. Ia maklum bahwa kalau ia mengambil jalan dari pintu depan dan masuk secara berterang, tak mungkin Liok-taijin akan suka menerimanya. Atau andaikata pembesar itu suka menerimanya juga, sungguh amat tak mungkin kalau ia diperkenankan bertemu dengan Tin Eng. Oleh karena itu, Gwat Kong sengaja mengambil jalan belakang dan masuk ke dalam kebun bunga secara sembunyi- sembunyi bagaikan maling.

Ia tidak berani mengambil jalan dari atas genteng, oleh karena maklum bahwa di dalam gedung itu terdapat orang-orang pandai dan juga Liok-taijin sendiri memiliki ketajaman telinga yang cukup sehingga hal itu akan membuat ia ketahuan orang sebelum dapat bertemu dengan Tin Eng. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai menanti saat yang baik.

Kebetulan sekali seorang pelayan yang dikenalnya baik, keluar dari pintu belakang. Pelayan ini adalah seorang wanita tua yang telah ikut keluarga itu semenjak Tin Eng masih kecil, bahkan ia menjadi bujang pengasuh dari gadis itu. “Bibi Song !” Gwat Kong memanggil perlahan sambil keluar dari tempat sembunyinya.

Nenek pelayan itu terkejut memandang. Eh, kau itu, Gwat Kong? Aduh, sampai kaget setengah mati aku! Seperti setan saja kau muncul tiba-tiba.”

“Ssst jangan keras-keras, bibi Song! Kehadiranku di sini tidak dikehendaki orang!”

Nenek itu mengangguk-angguk. “Aku tahu, aku tahu! Kalau kau terlihat oleh taijin, kepalamu akan digebuk!”

“Bibi yang baik, tolonglah aku. Aku aku ingin bertemu dengan siocia, di manakah dia?”

Nenek itu mainkan matanya. “Hm, kau main api!”

“Bibi tolonglah! Bukankah siocia sedang berduka? Tolonglah beritahu bahwa aku berada di sini dan ingin berjumpa dengan dia!”

“Bagaimana kau bisa tahu dia berduka?” nenek itu bertanya heran.

“Bibi lekaslah kau beritahukan padanya. Apakah kau ingin ada orang melihat kita bicara di sini? Kaupun akan mendapat gebukan kalau taijin melihatnya!”

Terkejut dan takutlah bibi Song mendengar hal ini. “Akan tetapi, tak mungkin siocia dapat keluar. Ia dilarang keras untuk meninggalkan kamarnya!”

“Kalau begitu, beritahulah saja. Aku menanti di sini untuk mendengar jawabannya.”

Nenek itu lalu masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah putih rambutnya itu.

Memang semenjak Tin Eng ditawan oleh Ang Sun Tek, gadis ini sama sekali tidak berdaya dan terpaksa menurut saja dibawa pulang ke rumah orang tuanya dengan paksa. Ketika tiba di rumah, ia disambut dengan wajah muram dan marah oleh ayahnya. Akan tetapi ibunya segera menubruk dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Tin Eng terkejut melihat betapa ibunya menjadi kurus sekali dan pucat seperti orang yang bersedih. Ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh ibunya di mana ibunya itu sambil menangis berkata,

“Tin Eng apakah kau tidak kasihan kepada ibumu. Anakku, janganlah kau pergi lagi

meninggalkan ibumu!”

Tin Eng menjadi terharu dan memeluk ibunya sambil menangis pula. Ayahnya menyusul ke dalam kamar dan pembesar ini marah sekali.

“Tin Eng, bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau sebagai puteri tunggal seorang pembesar telah menodai nama baik orang tuamu! Kau telah membikin malu ayah ibumu dan membikin kami merasa susah sekali. Apakah benar-benar kau tidak mempunyai rasa sayang kepada orang tua dan akan menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Tin Eng melihat betapa di dalam kemarahannya, ayahnya itu nampak amat berduka sehingga muka ayahnya itu kelihatan makin tua. Ia menjadi kasihan juga dan dengan tangis sedih ia menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya. Hati seorang ayah betapa bengispun akan menjadi lunak apabila melihat anak tunggalnya berlutut dan menangis di depan kakinya, maka pembesar ini lalu mengelus-elus kepala puterinya.

“Tin Eng, jadilah seorang anak yang baik dan jangan kau menyusahkan hati ayah ibumu.”

“Ayah, anak berjanji takkan pergi lagi, asal saja jangan memaksa anak harus kawin dengan orang she Gan itu! Kalau ayah memaksa, biarlah anak membunuh diri saja!”

Ibunya menjerit dan memeluknya, sedangkan Liok-taijin menjadi pucat wajahnya. Kemudian ia hanya menghela napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala.

“Kau memang keras kepala ..... terlalu dimanja tadinya ” kemudian ia bicara keras-keras,

“Hal ini kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, mulai sekg kau jangan keluar dari kamarmu. Berlakulah sebagai seorang gadis bangsawan yang terhormat. Jangan kau berkeliaran di luar seperti seorang gadis kang-ouw yang liar dan tidak tahu kesopanan!” Ayah ini lalu meninggalkan anaknya yang masih bertangisan dengan ibunya.

Demikianlah, semenjak saat itu Tin Eng tidak pernah keluar dari dalam rumah. Ia bermaksud untuk mentaati ayah ibunya, asal jangan dikawinkan dengan Gan Bu Gi.

Pada waktu Gwat Kong datang, Tin Eng sedang berada di dalam kamarnya bersama ibunya. Gadis ini sedang membaca sebuah kitab kuno untuk menghibur hatinya waktu senggang.

Ibunya menyulam dan duduk di dekatnya. Tiba-tiba pintu diketuk dan bibi Song masuk dengan membungkuk-bungkuk.

Nyonya Liok mengangkat muka memandang pelayan itu. “Ada keperluan apakah?” tanyanya.

Bukan main bingungnya hati nenek itu. Ia memandang ke arah Tin Eng yang sudah mengangkat muka memandang nenek itu. “Hamba ........ hamba ada pesanan untuk siocia

......”

Tin Eng lalu berdiri dan menghampiri nenek itu. “Ada apakah bibi Song? Pesanan apa dan dari siapa?”

Nenek itu ragu-ragu dan memandang kepada nyonya Liok dengan takut-takut. Bagaimana ia harus menyampaikan pesanan Gwat Kong di depan nyonya majikannya itu?

“Jangan takut, katakanlah bibi Song!” Tin Eng mendesak. “Gwat Kong ”

Mendengar nama ini, Tin Eng memegang pundak pelayan itu. “Apa .....? Dia di mana ?”

Juga nyonya Liok bangun berdiri dari kursinya. “Kau bilang Gwat Kong berada di sini? Berani betul anak itu! Tin Eng, ada perlu apakah kau dengan bekas pelayan itu?” “Ibu, Gwat Kong bukan pelayan kita lagi! Dia ..... dia adalah guruku yang mengajar ilmu

pedang. Biarkan aku betemu dengan dia!”

Pandangan mata gadis itu kepada ibunya membuat nyonya Liok tertegun dan terkejut sekali. Sepasang mata gadis itu bersinar dan wajahnya berseri-seri.

“Bagaimana mungkin? Kau tidak boleh keluar dari sini. Kalau ayahmu melihatnya, ia tentu akan marah sekali. Apa lagi kalau dilihatnya kau bertemu dengan Gwat Kong!”

“Kalau begitu, biar dia masuk ke kamar ini!” Tin Eng mendesak.

“Gila!” Ibunya berseru kaget. “Kau lupa daratan, Tin Eng. Bagaimana seorang laki-laki muda boleh memasuki kamar kita? Tidak, hal itu tidak boleh jadi!”

Tin Eng membanting-banting kakinya dengan manja. “Akan tetapi, aku harus bertemu dan bicara dengan dia, ibu!”

Nyonya Liok menarik napas panjang dan ia bingung sekali. Kemudian ia menengok ke arah jendela kamar yang beruji besi dan berkata,

“Begini saja, suruh dia masuk dan bicara kepadamu dari balik jendela itu!”

Tin Eng memberi isyarat kepada nenek pelayan tadi untuk melakukan usul ibunya ini. Bibi Song segera keluar lagi menemui Gwat Kong yang masih menanti di belakang rumah.

“Bagaimana, bibi yang baik?” tanya pemuda itu dengan penuh gairah.

“Sssst, jangan banyak ribut. Kau pergilah ke kamar siocia melalui ruang pelayan dan kau boleh bicara dengan siocia dari balik jendela!”

Gwat Kong sudah hafal keadaan rumah itu. Maka setelah mendengar kata-kata ini, ia lalu masuk ke dalam rumah itu melalui ruang pelayan dan langsung menuju ke ruang dalam, terus menghampiri jendela kamar Tin Eng yang menembus di ruang dalam itu. Ia melihat Tin Eng sudah berdiri di dekat jendela dan memandang keluar.

“Tin Eng ” bisik Gwat Kong sambil menghampiri dengan cepat.

“Gwat Kong ” Tin Eng memanggil dengan girang.

Panggilan yang disertai pandangan mata mesra ini sudah cukup bagi keduanya untuk menyatakan perasaan hati mereka yang girang dan gembira sekali. Wajah Tin Eng menjadi merah padam, akan tetapi Gwat Kong menjadi pucat ketika melihat bahwa di belakang Tin Eng itu nampak nyonya Liok duduk sambil menyulam. Nyonya itu mengerling ke arahnya dan Gwat Kong buru-buru menjurah memberi hormat. Akan tetapi nyonya Liok segera membuang muka pura-pura tidak melihatnya.

“Tin Eng .... kau baik-baik saja?”

Tin Eng mengangguk singkat lalu berkata, “Gwat Kong aku dikalahkan Ang Sun Tek ” “Aku sudah tahu akan hal itu. Aku sudah bertemu dengan kedua saudara Pui!” “Bagus kalau begitu. Kau harus balaskan penasaranku kepada bangsat she Ang itu!” “Jangan khawatir, memang aku hendak mencari dan mencoba kepandaiannya.”

“Dan Gwat Kong, karena aku tak mungkin melanjutkan tugasku yang sudah kujanjikan

kepada dua orang sdr Pang, kau harus mewakili aku dan meneruskan usahaku. Aku tak dapat bercerita panjang lebar. Gwat Kong, kau pergi dan carilah sahabatku Kui Hwa, si Dewi Tangan Maut!”

“Hm, dia ?”

“Ya, dia musuh besarmu itu! Akan tetapi, kau tak boleh memusuhinya, biarpun ia anak Tan- wangwe yang menjadi musuh besarmu. Ia seorang baik dan gagah, bantulah dia, Gwat Kong. Tanpa bantuanmu, tak mungkin ia akan dapat menemukan harta itu.”

“Mengapa?” tanya Gwat Kong yang hanya mengetahui sedikit saja dari kedua saudara Pui tentang harta terpendam itu.

“Karena dahulu aku belum memberitahukan dengan jelas tempat harta itu tersembunyi. Majulah dan perhatikan ini!”

Gwat Kong mendekat dan Tin Eng lalu mengeluarkan sehelai saputangan sutera hijau dari kantong bajunya bagian dalam. Ia memang telah menyediakan sebuah peta yang digambarnya di atas saputangan itu karena takut kalau-kalau ia akan lupa lagi. Ia membuka sapu tangan yang berbau harum itu dengan telunjuknya yang kecil runcing. Ia menunjuk sebuah titik pada saputangan yang bergambar peta itu.

“Tempatnya memang di sini, akan tetapi enci Kui Hwa belum tahu bahwa jalan masuknya bukan dari kanan atau kiri, melainkan dari atas! Orang harus naik ke atas dan di bawah sebuah batu besar terdapat jalan masuk itu. Simpanlah saputangan ini, Gwat Kong!”

Bab 27 .....

GWAT KONG menerima saputangan itu yang cepat dimasukkan ke dalam saku bajunya. Kemudian ia memandang gadis itu dengan sayu.

“Tin Eng .....kau tidak tidak dengan Gan Bu Gi?” Sukar baginya untuk mengucapkan

kata-kata “kawin” yang menikam hatinya.

Makin merahlah wajah Tin Eng mendengar ini dan berbareng dengan perasaan malu yang menyerangnya, ia merasa amat girang. Teranglah sudah bahwa pemuda yang gagah perkasa ini masih mencintainya dan kalau saja keadaan tidak seperti itu, ingin sekali ia menggoda pemuda ini.

“Tidak, Gwat Kong! Apapun yang akan terjadi, aku takkan sudi! Aku lebih suka mati!” Gwat Kong bernapas lega mendengar ini dan sebelum ia dapat berkata lagi, tiba-tiba nyonya Liok berkata perlahan. “Pergilah, Liok-taijin datang !”

Gwat Kong mengulur tangan dan memegang tangan Tin Eng yang keluar dari jendela. “Tin Eng ..... aku pergi !”

“Pergilah, Gwat Kong, aku menantimu!”

Gwat Kong menyelinap dari jendela itu dengan hati berdebar. Teringatlah ia kepada Cui Giok dan nelayan tua itu. Juga Cui Giok berkata seperti yang baru saja diucapkan oleh Tin Eng itu. Mereka akan menanti! Ia bingung, akan tetapi telinganya masih dapat menangkap suara Liok Ong Gun berkata,

“Apakah kalian tidak melihat sesuatu? Menurut laporan penjaga, bangsat kecil Gwat Kong itu tadi kelihatan berada di dekat rumah kita!”

Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menuju ke belakang rumah untuk pergi dari tempat berbahaya itu. Dengan cepat ia dapat keluar dari pintu belakang memasuki taman bunga, akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka di tengah taman di mana dahulu dilakukan ujian terhadap Gan Bu Gi, tiba-tiba saja dari belakang pohon dan gerombolan kembang berlompatan keluar beberapa orang perwira.

“Ha ha ha! Gwat Kong penjahat rendah!” teriak Gan Bu Gi. “Kau benar-benar berani mati, masuk ke dalam tempat orang seperti maling!”

Gwat Kong cepat memandang dan ternyata ia telah dikurung oleh sepuluh orang, diantaranya Ang Sun Tek yang sudah memegang goloknya yang bersinar mengkilap. Tujuh orang lain juga memegang golok yang sama bentuknya, bahkan pakaian mereka juga sama dengan pakaian Ang Sun Tek sehingga hati Gwat Kong tergerak karena ia menduga bahwa ketujuh orang ini tentulah kawan-kawan Ang Sun Tek sehingga mereka ini delapan orang merupakan Liok-te Pat-mo Delapan iblis bumi yang memiliki ilmu silat Pat-kwa To-hoat dan merupakan barisan Pat-kwa-tin yang terkenal! Selain Liok-te Pat-mo dan Gan Bu Gi, terdapat pula seorang perwira yang brewok dan bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak panjang. Perwira ini bernama Lim Pok Ki, seorang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi dan tingkatnya menduduki tempat kedua di kotaraja.

Melihat sikap sepuluh orang ini, Gwat Kong maklum bahwa ia takkan dapat keluar dari tempat itu tanpa pertempuran mati-matian. Maka ia lalu mencabut pedang Sin-eng-kiam, memasang kuda-kuda dan berkata dengan senyum sindir,

“Gan Bu Gi! Kau pengecut besar. Apakah kau hendak mengandalkan keroyokan untuk melawanku?”

“Maling busuk!” Gan Bu Gi memaki. “Kau takut menghadapi kami?”

Gwat Kong tersenyum, sikapnya masih tenang. “Orang she Gan! Biarpun belum tentu aku akan dapat menang menghadapi keroyokan kau dan kawan-kawanmu, akan tetapi jangan harap akan membikin aku takut. Biar kau tambah dengan sepuluh orang lagi, aku takkan takut menghadapinya!” “Bangsat sombong!” teriak Ang Sun Tek yang melompat maju dengan goloknya yang lihai. Gwat Kong menangkis dan segera ia dikeroyok oleh sepuluh orang kosen itu!

Melihat gerakan senjata mereka, Gwat Kong kaget juga, karena kesemuanya memiliki gerakan yang amat cepat dan lihai sekali sehingga ia segera berseru keras dan memutar Sin- eng-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sin-eng Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang menduduki tempat tinggi di kalangan persilatan. Sedangkan Gwat Kong telah mempelajarinya dengan sempurna, maka pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat dan tubuhnya terbungkus oleh sinar pedang.

Bukan main kagumnya Ang Sun Tek melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini. Sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang pernah ia jumpai di restoran dan yang telah ia coba pula tenaga dan kelihaiannya, memiliki ilmu pedang yang belum pernah ia lihat selama hidupnya. Ia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng. Akan tetapi dibandingkan dengan Tin Eng, kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi dan lebih hebat.

Biarpun delapan buah golok, sebuah pedang dan sebatang tombak menyerang bagaikan hujan lebat. Namun pedang ditangan Gwat Kong dapat melayani dan menangkis semua itu dengan amat baik dan cepatnya!

Akan tetapi, diam-diam Gwat Kong mengeluh di dalam hatinya. Untuk menghadapi Liok-te Pat-mo delapan orang itu saja, belum tentu ia akan dapat memperoleh kemenangan, oleh karena mereka ini benar-benar hebat sekali permainan goloknya. Apalagi di tambah dengan Gan Bu Gi yang juga lihai ilmu pedang Kim-san-painya, sedangkan perwira tinggi besar itupun hebat sekali permainan tombaknya. Baiknya bahwa dengan ikut sertanya Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki perwira brewok tinggi besar itu, maka Liok-te Pat-mo tidak sempat untuk mengatur barisan Pat-kwa-tin mereka dan di dalam keroyokan yang tak teratur ini, kelihaian mereka banyak berkurang.

Gwat Kong merasa menyesal mengapa ia tidak membawa sulingnya, karena kalau ia membawa benda itu, ia akan dapat melakukan perlawanan lebih baik lagi dan dapat mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat dengan sulingnya. Tentu saja ketika berangkat ke Kiang- sui, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dan menghadapi sekian banyaknya lawan-lawan yang tangguh dan berat.

“Tahan!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru keras. Semua orang menahan senjata masing-masing. “Apakah kau yang disebut Kang-lam Ciu-hiap?” Ang Sun Tek menegaskan.

“Benar,” jawab Gwat Kong.

“Apakah kau ahli waris dari Sin-eng Kiam-hoat?”

Gwat Kong tersenyum. “Hmm, masih bagus matamu tidak tertutup oleh kesombonganmu, Ang Sun Tek. Memang aku ahliwaris Sin-eng Kiam-hoat dan tentu kau akan dapat melihat pedang Sin-eng-kiam ini kalau matamu tidak buta.”

“Bagus!” teriak Ang Sun Tek dengan girang. Aku bersama tujuh orang saudaraku telah mengalahkan Im-yang Siang-kiam dari selatan, hanya tinggal Sin-eng Kiam-hoat dan Sin- hong Tung-hoat yang belum dicoba!” “Ketahuilah, Ang Sun Tek! Kalau kau hendak mencoba Sin-hong Tung-hoat, kaupun harus berhadapan dengan aku sendiri.”

“Apa? Kau anak murid Bok Kwi Sianjin pula ?”

“Benar! Sayang tidak ada senjata tongkat untuk membuktikannya kepadamu!”

“Bagus, bagus! Kalau begitu, cobalah kau hadapi Pat-kwa-tin kami!” seru Ang Sun Tek dengan gembira.

“Ang Sun Tek, telah lama aku mendengar bahwa Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo berbahaya dan hebat sekali, dan semua golok dimainkan berdasarkan Pat-kwa-tin, ilmu golok yang menggetarkan daerah utara. Akan tetapi kau dan kawan-kawanmu berjumlah delapan orang sedangkan aku hanya seorang diri. Kalau kau memang gagah dan hendak mempertahankan nama barisanmu, beranikah kau menghadapi aku dan seorang kawanku?”

“Ha ha ha! Tentu saja berani. Siapakah kawanmu itu dan di manakah dia?”

Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki merasa kurang puas melihat betapa Ang Sun Tek kini bercakap- cakap dengan Gwat Kong sebagai ahli silat menghadapi ahli silat, bukan sebagai perwira yang hendak menangkap seorang pelanggar hukum, maka Gan Bu Gi berseru,

“Hayo, tangkap maling ini!”

“Gan-ciangkun, jangan bergerak!” seru Ang Sun Tek marah. “Atau barangkali kau mau menghadapi Kang-lam Ciu-hiap sendiri saja?”

Ditegur secara demikian, Gan Bu Gi tertegun. Tentu saja ia tidak berani menghadapi Gwat Kong seorang diri saja.

“Ha ha ha, ternyata Ang Sun Tek masih memiliki kegagahan tidak seperti tikus kecil she Gan yang bersifat pengecut ini,” kata Gwat Kong. “Ang Sun Tek, tadi kau bertanya tentang kawanku itu. Masih ingatkah kau kepada jago tua Sie Cui Lui di Ciang-si?”

“Pencipta Im-yang Siang-kiam-hoat? Tentu saja, dia pernah menjadi pecundang menghadapi barisan kami!”

Gwat Kong mengangguk. “Benar, dan karena itulah maka kawanku itu memang sengaja mencari-carimu di Sian-nang, akan tetapi ternyata kalian telah pergi ke ibukota. Dia adalah cucu dari Sie Cui Lui Locianpwe, dan sengaja hendak membalas dan menebus kekalahan Sie locianpwe!”

“Bagus, suruh dia datang ke sini. Biar kau dan dia maju berbareng!” tantang Ang Sun Tek.

Pada saat itu, terdengar ribut-ribut dan dari pintu depan muncullah Liok Ong Gun bersama perwira dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih.

“Tangkap penjahat ini!” teriak Liok-taijin dan menyerbulah semua perwira itu. Ang Sun Tek sendiri bersama tujuh orang kawannya ketika melihat munculnya Liok-taijin, merasa tidak enak hati kalau tinggal diam saja, maka Ang Sun Tek berkata, “Mungkin kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menguji barisan kami, Kang-lam Ciu-hiap!” Dan iapun menggerakkan goloknya maju menerjang, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain!”

Kini keadaan Gwat Kong benar-benar berbahaya sekali. Ia telah diserang lagi oleh Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Sedangkan Liok-taijin bersama pengikutnya telah mengurung dan siap sedia menyerbu pula.

Akan tetapi, Gwat Kong merasa aneh sekali mendapat kenyataan bahwa gerakan golok Ang Sun Tek amat berlainan dengan tadi. Kini gerakan golok mereka lemah dan biarpun gerakan itu masih amat cepat akan tetapi mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tentu saja Gwat Kong menjadi girang sekali dan diam-diam ia tahu akan maksud Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Liok-te Pat-mo ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dan mereka amat bangga dengan Pat-kwa-tin mereka sehingga ketika mendengar bahwa Gwat Kong bersama seorang keturunan Sie Cui Lui hendak mencoba kekuatan barisan mereka, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya telah menjadi gembira. Oleh karena itu, mereka ini sengaja tidak menyerang sungguh-sungguh dan hendak memberi kesempatan kepada Gwat Kong untuk melarikan diri agar kelak mereka dapat berhadapan di depan pibu (adu kepandaian).

Akan tetapi agaknya Ang Sun Tek hendak memperlihatkan kepada Gwat Kong akan kelihaian ilmu goloknya, karena tiba-tiba ia berseru keras,

“Kang-lam Ciu-hiap, aku takkan puas membiarkan kau pergi begitu saja!” Ia memberi isyarat dengan kata-kata rahasia kepada kawan-kawannya dan dengan amat cepatnya mereka itu lalu menyerbu, merupakan serangan yang bersegi delapan. Inilah gerakan dari Pat-kwa-tin yang sengaja didemonstrasikan oleh Ang Sun Tek dan kehebatannya memang luar biasa sekali.

Delapan buah golok yang menyerang Gwat Kong itu tidak dilakukan dalam saat yang sama, akan tetapi sambung menyambung dan selalu mengarah bagian yang lemah menurut gerakan Gwat Kong ketika mengelakkan diri dari golok yang menyerangnya. Pemuda ini dengan kecepatannya masih dapat menghindarkan tujuh batang golok yang menyerang berturut-turut. Akan tetapi golok Ang Sun Tek yang menyerang terakhir masih dapat menyerempet pundaknya sehingga bajunya di bagian pundak kiri robek dan kulitnya terbabat berikut sedikit daging. Darah keluar membasahi bajunya itu.

Terdengar Ang Sun Tek tertawa bergelak, akan tetapi mereka kini menyerang kembali dengan mengendurkan dan tidak sungguh-sungguh. Gwat Kong terkejut sekali, akan tetapi ia juga bersyukur oleh karena Ang Sun Tek ternyata tidak hendak mencelakainya, hanya terdorong oleh karena kesombongannya hendak memberi peringatan bahwa Pat-kwa-tinh tidak boleh dibuat main-main.

Karena merasa bahwa percuma saja baginya untuk melanjutkan perlawanan lebih lanjut, Gwat Kong lalu menyerbu keluar hendak melarikan diri. Ia berhasil membabat putus tombak Lim Pok Ki yang menghadang di jalan. Kemudian ia menyerbu keluar dari bagian yang terjaga oleh Lim-ciangkun itu. Para penjaga di belakang yang dipimpin oleh Liok Ong Gun segera menghadang di jalan dengan senjata diputar dan kembali Gwat Kong terkurung.

Akan tetapi kini Liok-te Pat-mo tidak ikut mengurung karena ketika Gwat Kong lari, mereka sengaja tidak mau mengejar. Biarpun kini dikurung lagi, namun oleh karena para pengeroyoknya hanya terdiri dari penjaga-penjaga yang berkepandaian biasa, mudah bagi Gwat Kong untuk merobohkan beberapa orang dan membikin terpental banyak senjata lawan. Kemudian ia melompat lagi keluar dari kepungan. Para pengeroyoknya mengejar sambil berteriak-teriak.

Cepat bagaikan seekor burung walet, Gwat Kong melompat ke atas pagar tembok yang mengurungi taman bunga itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari luar tembok menyambar anak panah dan piauw bagaikan hujan ke arah tubuhnya. Untung baginya, ia telah berlaku waspada dan tenang sehingga dengan cepat ia lalu memutar pedangnya dengan gerakan Sin-eng Po-in (Garuda sakti menyapu awan) sehingga seluruh tubuhnya bagian depan terlindung oleh sinar pedang dan semua anak panah dan senjata rahasia lain tertangkis runtuh ke bawah tembok.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar suara sambaran angin senjata rahasia dari belakang. Ternyata bahwa para pengejar di sebelah dalam taman itupun telah menyerangnya dengan senjata-senjata rahasia pula.

“Pengecut!” Gwat Kong berseru dan menggunakan kedua kakinya menggenjot tubuh dan melompat ke bagian lain di atas pagar tembok itu. Akan tetapi, oleh karena ia tidak dapat menggunakan pedangnya untuk menangkis ke belakang pada saat pedangnya digunakan untuk menangkis senjata rahasia dari depan, maka biarpun lompatannya cepat sekali, namun masih ada sebatang anak panah yang menancap pada punggungnya.

Baiknya pemuda ini telah siap sedia dan mengerahkan tenaga khikang di bagian tubuh belakang. Biarpun anak panah itu menancap pada punggungnya, akan tetapi tidak dalam betul, hanya kepalanya saja yang menancap. Betapapun juga, ia merasa sakit sekali, terutama karena luka di pundak kirinya dan keroyokan-keroyokan itu membuat ia merasa lelah dan darah yang keluar dari luka-lukanya membuat ia merasa pening kepala.

Dengan cepat Gwat Kong lalu menyambar turun sambil memutar pedangnya. Ketika para tentara penjaga di luar tembok itu menyerbu, ia berlaku ganas, dan roboh mandi darah.

Namun, para penjaga masih saja mendesak maju. Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

“Barisan penjaga, mundur!”

Para penjaga mengenal suara ini dan menjadi ragu-ragu. Ketika Gwat Kong menengok, alangkah kaget dan girangnya karena yang membentak itu adalah Tin Eng yang datang menuntun seekor kuda putih.

“Gwat Kong, lekas kau lari!” kata gadis itu sambil menyerahkan kendali kuda. Para penjaga tidak berani menyerang oleh karena gadis majikannya itu berada bersama Gwat Kong.

“Tin Eng,” bisik Gwat Kong. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali kelak    ”

“Gwat Kong, kau terluka ?”

“Tidak mengapa, hanya luka sedikit!” kata Gwat Kong yang segera melompat ke atas kuda dan segera membalapkan kuda putih itu dengan cepat. “Aku menunggu ” masih terdengar suara Tin Eng dan gadis itu segera melompat kembali

ke dalam pintu depan untuk kembali ke kamarnya, sebelum ayahnya yang masih berada di dalam taman bunga itu melihatnya. Gadis ini tadi mendengar teriakan-teriakan di luar gedung, dan karena ia maklum bahwa Gwat Kong sedang dikeroyok, maka dengan nekad gadis ini lalu berlari keluar, tidak memperdulikan teriakan dan larangan ibunya. Ia melihat betapa Gwat Kong dikeroyok dan sedang bertempur mati-matian. Maka ia lalu cepat mengambil seekor kuda yang terbaik dari kandang kudanya kemudian menuntun kuda itu keluar dan menolong Gwat Kong melarikan diri.

Ketika Liok-taijin berlari keluar, ia masih melihat bayangan Gwat Kong di atas kuda yang melarikan diri dengan amat cepatnya.

“Keluarkan kuda!” teriaknya. “Kejar bangsat itu sampai dapat!”

Sepasukan berkuda lalu melakukan pengejaran, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri.

Gwat Kong membandel kudanya dan ketika ia menengok, ia melihat sepasukan berkuda yang terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri melakukan pengejaran. Karena ia tidak melihat Liok-te Pat-mo di antara para pengejar itu, kalau ia mau, ia akan dapat menghadapi mereka. Akan tetapi ia telah merasa jemu dan pening. Apalagi karena ia tidak mau melawan Liok-taijin bekas majikannya sendiri itu.

Baiknya Tin Eng memberikan kuda putih yang paling baik di antara semua kuda di dalam kandang Liok-taijin. Bahkan kuda putih ini adalah kesayangannya ketika ia masih menjadi pelayan di gedung itu. Maka ia dapat melarikan kuda itu dengan amat cepatnya sehingga para pengejarnya tertinggal di belakang.

Anak panah yang mengenai punggungnya masih menancap di punggung. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena luka itu hanyalah luka di luar saja yang cukup mendatangkan rasa panas dan sakit.

Ia hanya mengharapkan untuk cepat sampai di sungai, di mana perahu telah menunggu, di mana Cui Giok dan nelayan tua telah menunggunya. Mudah-mudahan Cui Giok dan nelayan itu ada di sana, pikirnya. Bagaimana kalau Cui Giok tidak berada di dalam perahu?

Bagaimana kalau nona itu sedang pergi meninggalkan perahu untuk menghibur diri ke darat?

Ia telah terlalu lama meninggalkan Cui Giok. Ketika ia berangkat tadi, matahari baru saja muncul. Sekarang matahari telah jauh berada di barat. Hampir sehari penuh ia meninggalkan perahu. Ah, Cui Giok tentu merasa amat kesepian. Mengingat akan hal ini, Gwat Kong makin mempercepat larinya kuda yang ditendang-tendangnya sehingga kuda itu membalap bagaikan terbang cepatnya.

Ketika ia lewat di bukit dekat sungai itu, dan membelok ke kiri, hatinya merasa girang sekali. Hampir saja ia berseru karena girangnya ketika melihat bahwa Cui Giok sedang berdiri di kepala perahu. Gadis itu berdiri lurus dan jelas terlihat dari jauh bahwa gadis itu sedang menungguinya. Angin yang bertiup perlahan membuat ikat pinggang gadis itu melambai- lambai seakan-akan menyuruh ia datang lebih cepat.

Gwat Kong telah merasa pusing sekali, akan tetapi ia tersenyum girang. “Cui Giok,” bisiknya di dalam hati. “Kau benar-benar menungguku ,” ia memandang

kepada gadis yang berdiri dengan gagah dan cantik menarik itu.

Sementara itu, Cui Giok berdiri dengan mulut merengut. Ia marah sekali setelah melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. Semenjak Gwat Kong pergi, ia duduk termenung saja, dan setelah hari menjadi siang, ia mulai gelisah karena belum juga melihat Gwat Kong kembali.

Ketika nelayan tua itu telah memasak nasi dan menyuruh ia makan, gadis itu menolaknya, menyatakan bahwa ia belum lapar. Nelayan itu menggeleng-gelengkan kepala dan maklum bahwa gadis ini tak merasa senang karena Gwat Kong tidak berada di situ.

“Kongcu tentu akan kembali, siocia. Makanlah dulu dan jangan khawatirkan dia.”

“Siapa memikirkan dia?” kata Cui Giok marah. “Biar dia tidak kembali sekalipun, aku tidak perduli.” Akan tetapi ia tahu bahwa ucapannya ini bohong belaka.

Setelah hari menjadi makin gelap, kegelisahannya memuncak. Semenjak tadi ia berdiri di kepala perahu memandang ke arah jalan tikungan di balik bukit itu dengan wajah sayu dan muram. Ingin sekali ia menyusul ke Kiang-sui. Akan tetapi ia merasa malu kepada Gwat Kong dan malu kepada diri sendiri. Ia teringat akan dongengan nelayan tadi, dan diam-diam di dalam hatinya terdengar nyanyian,

“Seribu tahun dinda akan menanti juga!”

Ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul dari balik bukit sambil menunggang seekor kuda putih, dadanya berdebar dan mukanya terasa panas. Sepasang matanya terasa pedas karena air mata hampir menitik turun. Sedangkan mulutnya menjadi cemberut. Ia gemas dan marah.

Lenyaplah semua kegelisahannya berganti oleh rasa marah mengapa pemuda itu demikian lama meninggalkannya.

Akan tetapi, ketika melihat pasukan berkuda yang mengejar dari belakang, kemarahannya lenyap tersapu angin dan pada wajahnya yang manis itu terbayang kegelisahan hebat. Apalagi setelah Gwat Kong tiba di depannya dan pemuda itu melompat turun terhuyung-huyung dengan tubuh lemas. Ia menjadi kaget sekali. Dengan lompatan kilat ia mendarat dan memegang tangan pemuda itu,

“Gwat Kong, apa yang terjadi ?” suaranya gemetar ketika ia melihat pundak pemuda itu

yang penuh darah dan terbelalak matanya ketika melihat anak panah di punggung pemuda itu.

“Cui Giok! Syukurlah kau berada di perahu. Lekas kita pergi dari sini. Lopek, lekas lepaskan tambang perahu dan jalankan perahu.”

Cui Giok menggandeng tangan Gwat Kong masuk ke dalam perahu. Ia penasaran sekali.

“Gwat Kong, kau beristirahatlah dan biar aku menghajar sampai mampus semua pengejarmu itu.” Sambil berkata demikian, Cui Giok lalu mencabut sepasang pedangnya yang disimpan di buntalan pakaiannya.

Akan tetapi Gwat Kong memegang tangannya. “Jangan, Cui Giok. Jangan lawan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Liok-taijin dan aku tak dapat melawan dia. Lopek, hayo cepat jalankan perahu!”

Nelayan itu tak perlu diperintahkan lagi, karena dengan ketakutan ia telah melepaskan tambang yang mengikat perahu dan cepat mendayung perahu itu ke tengah sungai, yang menghanyutkan perahu itu dengan cepat, dibantu oleh tenaga dayung nelayan itu.

Cui Giok merasa dadanya panas. “Hmm, kau tidak mau melawan orang she Liok itu, karena dia ayah .... Tin Eng ...??” Nada suaranya penuh perasaan cemburu.

Gwat Kong menjatuhkan diri di bangku perahu. “Tidak ..., aku, aku ah, pening sekali

kepalaku ”

Lenyap pula kemarahan Cui Giok. Ia berlutut dan menahan tubuh Gwat Kong yang lemah.

Sementara itu para pengejar tiba di pantai sungai dan terdengar mereka memaki-maki marah, karena mereka tidak berdaya mengejar perahu yang telah jauh itu. Tak lama kemudian mereka lalu melarikan kuda kembali sambil membawa kuda yang tadi ditunggangi oleh Gwat Kong.

“Gwat Kong, kau terluka ?” Cui Giok berbisik penuh perhatian. Mendengar pertanyaan

ini, Gwat Kong teringat akan ucapan Tin Eng yang sama pula. Tin Eng juga mengeluarkan bisikan seperti itu ketika menyerahkan kuda tadi. Gelap kedua mata Gwat Kong dan tak dapat ditahannya lagi. Ia lalu roboh tak sadarkan diri.

“Gwat Kong !”

Cui Giok menjerit perlahan dan ia lalu mencabut anak panah yang masih menancap di punggung pemuda itu. Ia merasa ngeri melihat dara mengalir keluar dari punggung itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek baju Gwat Kong dan sambil melepaskan kepala pemuda itu di atas pangkuannya, ia lalu membalut luka pemuda itu dengan ujung ikat pinggangnya yang diputuskannya. Nelayan tua itupun membantunya dan melihat betapa gadis itu hendak membalut pundak dan punggung yang luka, ia berkata dengan tenang,

“Tenanglah, siocia. Luka ini tidak besar dan berbahaya. Sebelum dibalut, lebih baik dicuci lebih dahulu.”

Nelayan itu lalu membuat api di atas perahu dan memasak air sungai, karena menurut pengalamannya, untuk mencuci luka, lebih baik menggunakan air yang telah matang. Sementara itu, Cui Giok menutup luka dipunggung dan pundak Gwat Kong dengan sapu tangannya yang telah basah oleh darah.

Melihat muka Gwat Kong yang pucat dan tak bergerak bagaikan mayat itu, hatinya terasa gelisah dan terharu. Pikirannya bingung tidak keruan sehingga tanpa disadarinya pula beberapa titik air matanya menetes turun dan mengenai muka Gwat Kong. Karena sapu tangannya telah penuh dengan darah, Cui Giok lalu menggunakan ujung bajunya untuk menghapus air mata yang membasahi hidung dan pipi pemuda itu.

Malam tiba dengan lambat, sama lambatnya dengan perahu kecil yang hanyut oleh aliran air sungai Yung-ting. Untuk menjaga serangan angin malam, Cui Giok telah memindahkan Gwat Kong ke dalam perahu, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan selimut mantelnya dan menggunakan setumpuk pakaian sebagai bantal. Ketika perahu itu tiba di sebuah tempat yang banyak pohonnya, Cui Giok minta nelayan minggirkan perahu dan nelayan tua itu lalu mengikat perahu pada akar pohon.

Angkasa penuh bintang gemerlapan membuat langit nampak bagaikan beludru hitam terhias ratna mutu manikam yang serba indah. Nelayan itu membuat api unggun di tepi sungai dan karena ia merasa amat lelah, ia tertidur di bawah pohon, dekat api unggun.

Akan tetapi Cui Giok tak dapat tidur. Ia semenjak tadi duduk menjaga di dekat Gwat Kong setelah mencuci luka-luka di tubuh pemuda itu dan membalutnya dengan hati-hati. Gwat Kong masih tetap tak sadar, tak bergerak dengan wajah pucat. Akan tetapi pernapasannya normal dan Cui Giok menjaga dengan hati gelisah. Gadis ini hanya memperhatikan jalan pernapasan Gwat Kong, seakan-akan khawatir kalau-kalau jalan pernapasan itu tiba-tiba berhenti.

Beberapa kali ia meraba-raba jidat pemuda itu dan mencoba untuk memanggil-manggilnya. Akan tetapi Gwat Kong tetap tak sadar, bagaikan seorang yang tidur nyenyak.

Bukan main gelisahnya hati dara itu. Ia tidak mempunyai pengalaman merawat orang sakit, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang ia mencucurkan air mata kalau kegelisahannya memuncak, takut kalau-kalau Gwat Kong akan mati karena luka-lukanya ini.

Setelah dapat menahan air matanya, ia memandang dengan mata sayu dan menghela napas panjang berulang-ulang. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut pemuda itu dan tangannya bergerak-gerak.

“Gwat Kong ” Cui Giok memanggil dengan mesra dan memegang tangan pemuda itu. Ia

merasa betapa Gwat Kong menekan jari-jari tangannya dan memegang tangannya itu erat- erat.

“Gwat Kong ” kembali Cui Giok memanggil perlahan dengan suara gemetar penuh

perasaan. Ia merasa girang karena pemuda itu telah siuman kembali.

Gwat Kong membuka matanya, akan tetapi ia tidak mengenal Cui Giok terbukti dari pandang matanya yang liar. Penerangan api lilin di dalam perahu itu hanya suram-suram. Akan tetapi Cui Giok dapat melihat betapa pipi Gwat Kong merah sekali. Ia mengulur tangan menyentuh jidat pemuda itu. Alangkah kagetnya, ketika merasa betapa jidat itu panas membara. Gwat Kong telah terserang demam yang timbul karena luka-lukanya. Luka itu memerlukan perawatan dan pengobatan, akan tetapi Cui Giok dan nelayan itu tidak mempunyai obat dan tidak tahu pula harus memberi obat apa, maka hanya dicuci dan dibalut. Inilah yang membuat luka itu membengkak dan menimbulkan panas demam.

“Panas ..... panas ” Gwat Kong berkata gelisah sambil menggoyang kepala ke kanan kiri.

Cui Giok makin bingung. “Bagaimana Gwat Kong ...? Sakitkah ?”

“Panas .... minum ” Gwat Kong berkata setengah sadar.

Cui Giok cepat berbangkit dan mengambil minum yang tersedia di cawan. Ia mengangkat kepala pemuda itu dan memberi minum yang diminum oleh Gwat Kong dengan lahapnya. Kemudian ia meletakkan kepala pemuda itu di atas tumpukan pakaian lagi. Akan tetapi Gwat Kong tetap gelisah. Kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya terasa amat panasnya. Bagaikan seorang gila ia merenggut pakaiannya dan “bret .... bret ...” bajunya terobek dan terbuka sehingga tubuhnya bagian atas terbuka dan telanjang sama sekali.

“Eh, jangan begitu, Gwat Kong! Kau nanti terkena angin!” kata Cui Giok yang segera menarik mantelnya untuk diselimutkan kepada tubuh Gwat Kong.

“Panas ,” Gwat Kong makin gelisah dan kepalanya miring ke kanan kiri sehingga

akhirnya terjatuh dari tumpukan pakaian itu.

“Diamlah, Gwat Kong. Tenanglah!” Cui Giok hampir menangis saking gelisahnya dan bingungnya. Ia memegang kepala Gwat Kong, mengangkatnya dan meletakkan kepala itu di atas pangkuannya sambil memeluk kepala itu erat-erat agar jangan tergoyang ke kanan kiri. Ia menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu untuk memijit-mijit kepala Gwat Kong dengan mesra. Agaknya Gwat Kong merasa nyaman dipijit-pijit dan dipeluk kepalanya itu.

Karena ia menjadi tenang lagi dan sambil meramkan mata ia tertidur pula di atas pangkuan Cui Giok.

Gadis itu merasa lega dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir kalau-kalau ia mengagetkan Gwat Kong. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap rambut kepala pemuda itu bagaikan seorang ibu mengelus-elus kepala anaknya. Kasih sayangnya terhadap pemuda ini meluap-luap dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.

Semalam suntuk Cui Giok memangku kepala Gwat Kong dengan hati-hati dan tidak berani bergerak sedikitpun sehingga kedua kakinya terasa lumpuh dan kaku kesemutan karena darahnya tidak dapat berjalan dengan baik. Namun ia dapat mempertahankan diri dengan setia. Tubuh Gwat Kong masih panas sekali sehingga rasa panas yang hebat menembus pakaian dan membuat kedua paha Cui Giok terasa panas bagaikan dekat api.

Bab 28 .....

KETIKA matahari mulai menyinarkan cahayanya, nelayan tua itu terjaga dari tidurnya. Melihat betapa Cui Giok masih duduk di dalam perahu sambil memangku kepala Gwat Kong, ia menggeleng-geleng kepala dan merasa amat terharu, teringat akan anak perempuannya yang telah mati.

“Siocia, tidurkan kongcu di atas tumpukan pakaian dan kau perlu beristirahat.” Akan tetapi Cui Giok menggelengkan kepala dan berbisik,

“Tubuhnya panas sekali, lopek. Agaknya ia terkena demam.”

Nelayan itu meraba jidat Gwat Kong dan keningnya berkerut ketika merasa betapa panasnya jidat pemuda itu.

“Hmmm, benar-benar ia terkena demam,” katanya.

Pada saat itu, Gwat Kong sadar kembali dan menggeliat-geliat karena napasnya. Cui Giok menaruh kepala pemuda itu di atas bantal pakaian dan memberinya minum lagi.” “Kita berhenti dulu di sini, lopek. Tak perlu melanjutkan pelayaran,” katanya.

Demikianlah dengan penuh perhatian dan amat telaten dan sabar, Cui Giok dan nelayan tua itu merawat Gwat Kong. Ternyata bahwa luka di bagian punggung yang terkena anak panah itu membengkak dan berwarna merah sekali. Luka di pundak sudah mulai mengering.

Agaknya anak panah itu telah berkarat sehingga mendatangkan racun dan membuat luka itu bengkak dan panas.

Sampai tiga hari Gwat Kong terserang demam dan tidak ingat akan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi pemuda itu bertubuh kuat dan darahnya yang sehat ternyata mempunyai daya tahan yang luar biasa sehingga biarpun luka itu tidak diobati akan tetapi tiga hari kemudian bengkaknya mengempis dan panasnya turun.

Ia mulai sadar dan teringat akan semua kejadian. Ketika ia membuka mata, sadar dari tidurnya yang sudah mulai tenang, ia mendapatkan Cui Giok duduk di dekatnya dan kagetlah ia ketika melihat betapa gadis itu nampak pucat dan kurus, sepasang matanya agak cekung. Ia tidak tahu bahwa selama tiga hari itu Cui Giok hampir tidak makan sama sekali, hanya makan sedikit kalau sudah dipaksa-paksa dan diberi nasehat oleh nelayan tua itu.

“Siocia,” nelayan itu memberi nasehat dengan terharu. “Kau benar-benar seorang gadis berhati mulia dan amat setia kepada kawanmu. Akan tetapi, kongcu telah menderita sakit dan betapapun juga, kita harus bersabar. Kalau kau menyiksa dirimu sendiri, tidak tidur dan tidak makan, bagaimana kalau kau sampai menderita sakit pula? Bukankah hal itu membuat keadaan menjadi makin buruk? Kalau kau jatuh sakit pula, siapa yang akan merawat kongcu? Aku sudah tua dan bodoh. Bagaimana aku dapat mengurus kalian berdua kalau keduanya jatuh sakit? Maka dari itu, makanlah siocia, biarpun hanya sedikit!”

Setelah diberi nasehat dan dibujuk-bujuk, barulah Cui Giok mau makan sedikit bubur, akan tetapi apabila ia memandang ke arah Gwat Kong, ia melepaskan mangkuk buburnya lagi.

Dengan telaten ia menyuapkan bubur ke mulut Gwat Kong dan selama tiga hari itu biarpun ia makan sedikit bubur, namun ia sama sekali tak pernah tidur.

Ketika Gwat Kong sadar dan melihat keadaan Cui Giok, ia bangun dan dibantu oleh Cui Giok, ia duduk. Tubuhnya masih lemah, akan tetapi tidak panas lagi dan kepalanya tidak pusing.

“Bagaimana, Gwat Kong? Apakah masih merasa sakit dan pusing?” tanya Cui Giok penuh perhatian.

Gwat Kong menggeleng kepalanya. “Aaah, apakah selama ini aku tidur saja? Alangkah malasnya. Sudah berapa lamakah aku tertidur? Kita telah sampai di mana?” Ia memandang ke darat di mana nelayan tua itu sedang memanggang ikan.

“Kau menderita demam,” kata Cui Giok dan wajahnya berseri girang karena ternyata bahwa pemuda itu telah sembuh betul.

“Tubuhmu panas sekali, membikin aku dan lopek merasa gelisah dan bingung.” “Akan tetapi, kau ... kenapa kau kurus sekali...?” Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang kepada Cui Giok yang segera menundukkan mukanya. Setelah hatinya menjadi lapang melihat Gwat Kong sembuh, ia merasa lelah dan mengantuk sekali.

“Aku mengantuk ..... aku mau tidur Gwat Kong. ,” katanya sambil merebahkan diri dalam

perahu itu, berbatalkan lengan. Ia meramkan mata dan sebentar saja ia tidur nyenyak

sekali.

Gwat Kong termenung. Ia tidak tahu berapa lama ia telah jatuh sakit. Ia memandang kepada wajah Cui Giok yang tidur nyenyak. Gadis itu rebah dengan tubuh miring, menghadap kepadanya. Ia mengamati wajah yang agak pucat dan kurus itu, dan iapun merasa heran.

Mengapa Cui Giok nampak seperti orang sakit? Dan mengapa pula pada pagi hari gadis itu demikian mengantuk sehingga jatuh pulas begitu tubuhnya dibaringkan?

Perahu bergoyang sedikit ketika nelayan masuk ke dalam perahu membawa poci teh dan mangkok bubur.

“Makanlah bubur ini, kongcu. Aku girang sekali kau dapat bangun pagi ini.”

Gwat Kong menjadi amat terharu. “Berapa lama aku menderita sakit dan tidur saja, lopek?”

Kakek itu memandangnya dan mulutnya tersenyum. “Berapa lama? Tak kurang dari tiga malam, kongcu! Kau selama itu tidak ingat menderita demam panas, membuat kami merasa khawatir sekali.”

Gwat Kong tercengang dan makin terharu, “Aaah dan selama itu kau merawatku, lopek?

Alangkah berbudi hatimu. Aku harus menyatakan terima kasihku kepadamu.”

“Berbudi? Terima kasih kepadaku? Kongcu, kalau mau bicara tentang budi dan terima kasih, jangan tujukan itu kepadaku, akan tetapi kepada siocia ini. Dialah yang merawatmu selama itu!”

Gwat Kong memandang ke arah Cui Giok yang masih tidur nyenyak. “Dia ?” tanyanya terharu.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Belum pernah aku melihat seorang gadis sedemikian setia dan mulia. Ia pasti menyintaimu dengan sepenuh hati dan jiwanya. Tahukah kau, kongcu bahwa dia selama tiga malam ini sedikitpun tidak pernah tidur? Bahkan dia hampir tidak makan sama sekali. Dan tak pernah pergi dari sisimu, menjagamu, merawatmu, menyuapkan bubur kepadamu. Bahkan tidak jarang ia menangisimu.”

Gwat Kong merasa betapa lehernya seakan-akan tercekik ketika sedu-sedan keharuan naik dari dalam dadanya.

“Be benarkah, lopek?” “Mengapa tidak benar?” Kakek itu mengangguk-angguk lagi. “Dia menjaga dan merawatmu bagaikan seorang ibu merawat anaknya, penuh kasih sayang dan kalau tidak ada dia, entah akan bagaimana jadinya dengan kau, kongcu. Kau benar-benar bahagia mendapat cinta kasih seorang gadis semulia dia ini ...” Kakek itu mengangguk-angguk lagi, dan keluar dari perahu itu.

Bukan main terharunya hati Gwat Kong. Ia menatap wajah Cui Giok yang kurus dan pucat. Tak terasa lagi dua titik air mata turun dan mengalir di pipinya. Alangkah mulia hati gadis ini, pikirnya. Gadis yang cantik dan luar biasa gagahnya ini, yang berkepandaian tinggi, telah merawatnya, menjaganya sampai tiga malam tanpa tidur sehingga muka menjadi pucat dan kurus.

Ah, bukan main. Hampir tak dapat dipercaya. Dengan perlahan Gwat Kong lalu menanggalkan mantel yang tadinya diselimutkan kepada tubuhnya itu, mantel merah kepunyaan Cui Giok. Ia lalu menghampiri gadis itu dan dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh gadis itu.

Kemudian ia duduk termenung lagi. Pikirannya bingung. Teringat ia kepada Tin Eng gadis yang dicintainya itu. Kemudian ia teringat akan penuturan nelayan tadi, tentang kecintaan dan kesetiaan Cui Giok. Ia menjadi bingung sekali memikirkan ini semua.

Setelah matahari naik tinggi, Cui Giok membuka matanya melihat Gwat Kong duduk di dekatnya. Ia segera berbangkit dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, ialah,

“Gwat Kong, apakah kau sudah sembuh betul? Tidak merasa sakit lagi?”

Ucapan ini mengharukan hati Gwat Kong benar. Dari ucapan yang sederhana ini terjamin cinta kasih gadis itu yang amat besar. Begitu bangun dari tidur, yang menjadi perhatian pertama adalah keadaannya. Gwat Kong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memegang kedua tangan gadis itu dan sambil memandangnya tajam ia berkata dengan suara gemetar penuh perasaan,

“Cui Giok, alangkah mulia hatimu. Aku berterima kasih kepadamu, dan aku ... aku berhutang budi kepadamu. Percayalah bahwa selama aku hidup, aku takkan melupakan kamu dan hatimu ini ...”

Merahlah wajah Cui Giok. Untuk beberapa lama ia menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata yang mesra sekali, karena seluruh perasaan hatinya terpancar keluar dari pandang mata ini. Akan tetapi ia segera menundukkan muka dan menarik kedua tangannya.

“Aaah, baru saja sembuh kau sudah berlaku aneh, Gwat Kong. Di antara kita untuk apa berhutang budi. Gwat Kong mengapa kau sampai terluka? Ceritakanlah pengalamanmu di Kiang-sui. Aku sudah tak sabar lagi untuk mendengar ceritamu itu.”

Maka berceritalah Gwat Kong tentang pengalamannya di Kiang-sui. Betapa Tin Eng ditawan, dipaksa pulang oleh Ang Sun Tek. Beberapa lama kemudian Tin Eng minta pertolongannya untuk membantu anak murid Hoa-san-pai mencari harta pusaka yang juga dicari oleh Ang Sun Tek bersama kawan-kawannya. Juga ia menceritakan tentang pertempurannya melawan Liok-te Pat-mo dan perwira-perwira lain. “Ah, kalau saja aku tahu bahwa Liok-te Pat-mo berada di Kiang-sui, tentu aku akan pergi mencari mereka di sana,” kata Cui Giok setelah mendengar penuturan ini. “Gwat Kong, biarlah sekarang aku pergi ke Kiang-sui untuk menantang mereka.”

“Jangan, Cui Giok. Aku telah mengajukan tantangan kepada mereka dan juga sudah menyebutkan namamu. Agaknya Ang Sun Tek bersedia menghadapi kita di Sian-nang dan diam-diam aku telah mengadakan perjanjian ini dengan dia. Bahkan ketika aku terdesak, ia sengaja tidak mau membunuhku, hanya melukai pundakku, agaknya untuk memberi kesempatan agar aku dan kau kelak dapat bertempur dengan Pat-kwa-tin di Sian-nang. Lagi pula, sekarang mereka tidak berada di Kiang-sui lagi, karena mereka bertugas pula mencari harta pusaka itu di Hong-san. Maka dari itu, kalau kau tidak berkeberatan, Cui Giok, marilah kita pergi ke Hong-san lebih dahulu.”

“Hmm kau hendak mencarikan harta pusaka itu untuk Tin Eng?” Aneh, tiap kali menyebut nama Tin Eng, suara gadis ini gemetar, dan sinar matanya memancarkan cahaya ganjil.

“Itu hanya soal kedua, Cui Giok. Harta pusaka itu adalah hak milik kedua saudara Phang yang masih muda, keturunan dari Pangeran Phang Thian Ong. Yang terpenting bagiku adalah membantu murid-murid Hoa-san-pai, karena apabila mereka bertiga itu, yakni yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok, sampai bersua dengan rombongan perwira kerajaan, mereka tentu akan mendapat bencana besar. Pula, selain maksud tersebut, kitapun akan dapat bertemu dengan Liok-te Pat-mo di tempat itu sehingga kita sekalian dapat menghadapi mereka dalam pibu. Bukankah ini berarti sekali bekerja banyak hasilnya?”

Cui Giok terpaksa harus menyatakan setujunya, oleh karena memang alasan pemuda itu kuat sekali. Liok-te Pat-mo sedang pergi ke Hong-san, maka untuk apa mencari mereka ke kota raja?”

“Baiklah, Gwat Kong. Akan tetapi, apakah kau sudah kuat betul untuk melakukan perjalanan ke sana?”

Gwat Kong tersenyum. “Tidak percuma kau merawatku selama tiga malam ini, Cui Giok. Aku sudah sembuh betul dan kalau digunakan untuk melakukan perjalanan darat, tentu kekuatanku akan timbul kembali.”

Mereka lalu berkemas dan menyatakan keinginan mereka kepada nelayan tua itu.

“Lopek,” kata Gwat Kong. “Kami terpaksa meninggalkan perahumu untuk melanjutkan perjalanan melalui darat. Besar jasamu untuk kami, lopek dan tak lupa kami menyatakan terima kasih kami. Terimalah sedikit uang ini sekedar pembalas jasamu.” Gwat Kong menyerahkan uang sepuluh tail kepada kakek itu.

Nelayan itu menghela napas. “Kongcu, selama aku menjadi nelayan, baru kali ini aku merasa beruntung mempunyai penumpang-penumpang seperti kongcu dan siocia. Aku merasa seakan-akan melakukan pelayaran dengan keluarga sendiri. Mudah-mudahan kalian berdua selamat dan bahagia, kongcu dan besar harapanku kelak kita akan dapat bertemu pula.”

Juga Cui Giok menyatakan terima kasihnya dan sebagai tanda jasa, ia memberi sebuah hiasan rambut dari pada emas. Kakek itu menerimanya dengan penuh kegirangan. Maka berangkatlah Cui Giok dan Gwat Kong meninggalkan perahu itu, langsung menuju ke selatan untuk pergi ke Hong-san. Pada hari-hari pertama mereka melakukan perjalanan seenaknya dan lambat karena kesehatan Gwat Kong baru saja sembuh. Akan tetapi, tiga hari kemudian, Gwat Kong sudah sembuh sama sekali dan mereka dapat melakukan perjalanan dengan cepat mempergunakan ilmu lari cepat. Setelah mereka tiba di pantai sungai Huang-ho mereka lalu membelok ke kiri, menuju ke timur karena bukit Hong-san terletak di lembah sungai Huang-ho sebelah timur.

Pada suatu hari, ketika mereka sedang berlari cepat melalui sebuah hutan, tiba-tiba dari depan mereka melihat seorang kakek tua yang rambutnya putih, pakaiannya putih bersih penuh tambalan. Biarpun kakek itu berjalan dibantu oleh tongkatnya, akan tetapi kedua kakinya seakan-akan tidak mengambah bumi.

Cui Giok mengeluarkan seruan heran dan terkejut menyaksikan ilmu ginkang yang sedemikian hebatnya, akan tetapi Gwat Kong berseru dengan girang,

“Suhu !”

Memang kakek itu bukan lain adalah Bok Kwi Sianjin, pencipta ilmu tongkat Sin-hong Tung- hoat, yang pernah melatih ilmu silat itu kepada Gwat Kong. Sebagaimana diketahui, tempat pertapaan kakek sakti ini memang dekat sungai Huang-ho.

Melihat Gwat Kong yang berlutut di depannya, dan juga seorang nona cantik jelita yang gagah berlutut pula di depannya di sebelah Gwat Kong, kakek itu nampak girang sekali.

“Bagus! Memang agaknya Thian menaruh kasihan kepada sepasang kakiku yang tua sehingga kita dapat bertemu di sini. Gwat Kong, siapakah kawanmu yang manis dan gagah ini?”

“Suhu, dia ini Sie Cui Giok, cucu dari Sie Cui Lui locianpwe. Dialah yang menjadi ahli waris Im-yang Siang-kiam-hoat!”

Tercenganglah kakek itu mendengar keterangan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa Im- yang Siang-kiam-hoat terjatuh ke dalam tangan seorang gadis muda secantik ini.

“Ah, bagus, bagus! Nona, aku kenal baik kepada kakekmu Sie Cui Lui itu!” Dengan amat hormatnya, Cui Giok berkata,

“Locianpwe, harap sudi menerima hormat dari aku yang muda dan bodoh.”

Kakek itu tertawa bergelak. “Gwat Kong, apakah kau sudah mencoba Im-yang Siang-kiam dengan tongkatmu?”

“Sudah suhu. Pada pertemuan teecu dengan nona ini, kami telah bertempur.” “Bagaimana keadaannya? Kau kalah?”

Gwat Kong hanya tersenyum sambil melirik ke arah Cui Giok. Gadis itulah yang menjawab sambil tersenyum pula, “Teeculah yang kalah, Sin-hong Tung-hoat benar-benar lihai!”

“Jangan percaya kepadanya, suhu,” Gwat Kong membantah. Kalau teecu tidak menggunakan Sin-hong Tung-hoat digabung Sin-eng Kiam-hoat tentu teecu yang kalah.”

Kembali kakek itu tertawa. Ia nampak senang sekali. “Dan apakah kalian pernah bertemu dengan ahli waris Pat-kwa-tin dan mencoba kelihaiannya?”

Dengan singkat Gwat Kong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Ang Sun Tek, bahkan ia menuturkan tentang riwayat jahat dari Ang Sun Tek. Kemudian ia menuturkan pula tentang perjalanannya menuju Hong-san.

Setelah mendengar semua penuturan itu dengan sabar, kakek itu berkata, “Kalau kalian berdua yang maju menghadapi Liok-te Pat-mo, kalian takkan kalah. Gwat Kong, kalau bisa perjalanan ke Hong-san itu baik kau tunda dulu karena ada hal yang lebih penting dari pada itu. Ketahuilah bahwa murid-murid Go-bi-pai yang dikepalai oleh Seng Le Hosiang telah mengadakan tantangan untuk bertempur mati-matian dengan anak murid Hoa-san-pai yang dikepalai oleh Sin Seng Cu dan Thian Seng Cu. Mereka itu hendak mengadakan pertempuran di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun. Hal ini berbahaya sekali dan sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mencegahnya. Aku mendapat tahu bahwa tantangan bertempur mengadu jiwa itu bukanlah kehendak ketua Go-bi-pai atau tokoh besar Hoa-san-pai. Oleh karena itu, hal ini harus diberitahukan kepada Thay Yang Losu, ketua Go-bi-pai dan kepada Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai. Dengan adanya campur tangan kedua orang tua itu, tentu pertempuran dapat dicegah dan permusuhan yang bodoh itu akan dilenyapkan. Tadinya aku sendiri hendak pergi ke Gobi dan Hoasan. Akan tetapi karena ada kau di sini, kau harus membantuku dan mewakili aku pergi ke Gobi dan Hoasan.”

“Akan tetapi, suhu. Bagaimana dengan anak murid Hoa-san-pai di Hong-san nanti? Mereka terancam oleh Liok-te Pat-mo dan para perwira kerajaan,” kata Gwat Kong ragu-ragu.

Bok Kwi Sianjin merasa ragu-ragu juga. “Ah, benar sulit.”

“Locianpwe,” tiba-tiba Cui Giok berkata. Karena kita bertiga dan hal yang perlu dilakukan juga tiga macam, mengapa sulit?” Kemudian ia memandang kepada Gwat Kong dan berkata,

“Urusan di Hong-san itu serahkan saja kepadaku, pasti beres. Kalau kau mewakili locianpwe ke Hoasan, yang tak berapa jauh dari sini, kemudian kau menyusul ke Hong-san. Bukankah hal itu akan beres mudah saja?”

Bok Kwi Sianjin tertawa tenang. “Nona Sie, kau benar-benar cerdik seperti kakekmu. Ha ha ha! Baik, demikianlah harus diatur, Gwat Kong. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Thay Yang Losu di Gobi, maka biarlah aku pergi ke Gobisan, sedangkan kau pergilah ke Hoasan membawa surat dariku untuk Pek Tho Sianjin. Nona ini bisa mewakili kau pergi ke Hong-san untuk membantu anak-anak murid Hoa-san-pai apabila mereka terancam bahaya.”

Terpaksa Gwat Kong menerima perintah ini. Kakek sakti itu lalu membuat sepucuk surat untuk ketua Hoa-san-pai kemudian ia tinggalkan kedua orang muda itu.

Cui Giok, kau berhati-hatilah. Kalau bertemu dengan Liok-te Pat-mo, harap kau berlaku hati- hati sekali, karena mereka itu benar-benar lihai.” Gadis itu tersenyum. “Jangan khawatir, Gwat Kong. Kuharap saja kau tidak terlalu lama di Hoasan dan segera menyusul ke Hong-san. Oh, ya, siapa namanya ketiga anak murid Hoa- san-pai itu? Aku lupa lagi.”

“Seorang gadis bernama Tan Kui Hwa dan dua orang pemuda kakak beradik bernama Pui Kiat dan Pui Hok.”

“Nah, selamat berpisah, Gwat Kong.” Gadis itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanan ke Hong-san. Gwat Kong berdiri memandang sampai bayangan Cui Giok lenyap di balik pohon. Kemudian iapun lalu lari cepat menuju ke Hoasan.

Karena ia amat tergesa-gesa hendak segera sampai di Hoasan dan segera kembali lagi ke Hong-san, maka biarpun perjalanannya ini melalui Kiang-sui, Gwat Kong tidak berhenti. Bahkan tidak mau masuk ke kota itu untuk menghindarkan rintangan perjalanannya.

Ketika ia tiba di Hoasan dan mendaki bukit itu, orang pertama yang menyambutnya adalah ....

Sin Seng Cu, tosu yang berangasan dan berwatak keras itu.

“Kau   ?” Tosu itu membentak marah. “Apa kehendakmu naik ke Hoasan?”

Gwat Kong menjura dan memberi penghormatan sepantasnya. “Totiang, perkenankanlah aku menghadap kepada Pek Tho Sianjin.”

Pek Tho Sianjin adalah susiok (paman guru) dari Sin Seng Cu dan kakek itu pada waktu itu menjadi orang tertua dan tokoh tertinggi di Hoasan. Heran dan curigalah hati Sin Seng Cu mendengar bahwa pemuda ini hendak menghadap susioknya.

“Apa kehendakmu minta menghadap kepada susiok?”

“Totiang, maksud kedatanganku ini hanya dapat kuberitahukan kepada Pek Tho Sianjin sendiri, dan aku datang atas perintah suhuku yakni Bok Kwi Sianjin membawa surat suhu untuk diberikan kepada Pek Tho Sianjin.”

“Hmm, orang tua itu mau apakah berurusan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai?” Akan tetapi biarpun ia berkata demikian, namun ia tidak berani menghalangi kehendak pemuda itu. Sebagai tuan rumah, ia masih mempunyai kesabaran dan tahu aturan.

“Ikutlah padaku!” katanya tanpa banyak cakap lagi. Gwat Kong mengikutinya naik ke puncak dan masuk ke dalam sebuah kuil di puncak.

Mereka masuk ke dalam ruang dalam di mana Pek Tho Sianjin sedang duduk bersila di atas bangku dan beberapa orang tosu sedang duduk dihadapannya. Agaknya kakek itu sedang memberi wejangan dan pelajaran ilmu batin tentang agama To kepada murid-muridnya.

“Maaf susiok, teecu berani mengganggu. Ada seorang murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap membawa surat dari orang tua itu,” kata Sin Seng Cu. Pek Tho Sianjin memandang kepada Gwat Kong dan pemuda itu tercengang melihat betapa kakek yang sudah amat tua itu memiliki sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam berpengaruh. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut hormat di depan kakek itu.

“Locianpwe, teecu Bun Gwat Kong murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap.”

“Ah, sudah belasan tahun pinto (aku) tidak bertemu dengan Bok Kwi Sianjin. Tidak tahunya ia telah mempunyai seorang murid yang gagah.” Kakek itu menarik napas panjang. Kemudian ia berkata kepada murid-muridnya,

“Keluarlah kalian dan pikirkan baik-baik semua pelajaran tadi.”

Semua tosu yang tadi duduk di depannya, meninggalkan tempat itu akan tetapi Sin Seng Cu tetap duduk di tempatnya.

“Sin Seng Cu, kau juga keluarlah dan biarkan pinto bicara sendiri dengan anak muda ini.”

Biarpun hatinya merasa tidak puas sekali, akan tetapi Sin Seng Cu tak berani membantah dan ia meninggalkan tempat itu dengan penasaran.

“Anak muda, ada keperluan apakah maka suhumu sampai menyuruhmu datang di tempat ini?”

“Teecu membawa sepucuk surat dari suhu untuk menyampaikan kepada locianpwe,” kata Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.

Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata,

“Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruan- perguruan dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu, kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?”

Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab dengan hati-hati,

“Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai. Kekalahan Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam.

Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bi- pai, keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya, maka pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”

Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk. “Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja. Sin Seng Cu beradat keras dan ia perlu ditegur.”

Kakek itu lalu memanggil, “Sin Seng Cu !” Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara

panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya menggetar dan sakit.

Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.

“Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini? Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?”

Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong, “Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari permusuhan.”

“Bodoh!” Pek Tho Sianjin membentak. “Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak bertemu dengan bahan kering? Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan? Tak mungkin akan ada permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama.”

“Ampun, susiok ,” Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.

“Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain. Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka.

Mengerti?”

“Baik, susiok.” Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti anak kecil.

“Nah, keluarlah!”

Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.

Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong, “Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini.”

Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali. “Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan urusan kami kepada susiok?”

Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak berunding, maka jawabnya sabar,

“Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan, maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita.

SEBAB-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini. Mengapa kau bahkan marah-marah?”

“Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani berlancang mulut? Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong ini? Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang hebat itu.

“Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!” Gwat Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng Cu reda.

“Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?” Sambil berkata demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,

“Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!” “Jangan banyak cakap!” teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.

Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.

Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong, mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.

Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin, pemuda ini menjadi demikian lihai. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar