Jilid 04
11.
GWAT Kong mainkan senyum pada bibirnya dan bertanya,” Kalau benar demikian kalian mau apa?”
“Bangsat!” Lim Can memaki dan mengayunkan tongkat naga dari belakang, mulai menyerang ke arah kepala Gwat Kong. Akan tetapi pemuda itu dengan tenangnya mengelak ke pinggir dan berdiri diam tak bergerak, menanti datangnya serangan lawan yang lain. Serangan itu tidak kunjung datang, karena sesungguhnya gerakan Ngo-heng-tin dilakukan dengan otomatis yakni kalau orang yang terkurung itu melakukan serangan. Barulah orang-orang yang berdiri di belakangnya maju menyerang sedangkan orang yang berada di depan dibantu oleh seorang kawan terdekat melakukan tangkisan.
Gwat Kong tertawa bergelak-gelak karena mereka juga diam saja tidak mau menyerang dulu. “Eh he, mengapa kalian berdiam saja! Apakah takut menyerangku? Kalau begitu, baiklah, aku yang akan menyerang. Kalian berhati-hatilah!”
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri Gwat Kong mencabut sulingnya dan mulai menyerang ke depan dengan suling itu. Sebagaimana yang ia duga, ketika dua orang lain di belakangnya maju menyerang dengan hebat sekali. Akan tetapi Gwat Kong sudah tahu akan hal ini, maka ia tanpa menoleh lalu mengangkat tangan kanannya dan menggunakan Sin-eng- kiam utk diputar sedemikian rupa hingga tiga buah senjata lawan kena tertangkis, sedangkan dengan sulingnya ia tetap mendesak lawan yang berada di depan.
Gwat Kong sengaja melancarkan serangan-serangannya kepada Lim Hwat yang bersenjata cambuk panjang dan Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga, karena selain dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi, juga senjata-senjata mereka lebih panjang sehingga kalau dibiarkan melakukan serangan dari jarak jauh, ia akan menderita rugi. Maka ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Garuda Sakti Mencari Ikan yang dimainkan oleh suling di tangan kirinya.
Sungguhpun yang dipakai menyerang hanya sebuah suling bambu, akan tetapi oleh karena gerakannya demikian cepat bagaikan paruh garuda menyambar-nyambar mencari sasaran yang tepat di tubuh lawan, maka amat berbahaya bagi kedua lawannya itu. Sedangkan tiga orang lain yang bersenjata pendek, dapat digagalkan serangan mereka oleh tangkisan pedang Sin-eng-kiam di tangan kanannya.
Menghadapi akal Gwat Kong yang amat lihai ini, Lim Hwat dan kawan-kawannya tidak berdaya, maka ia lalu berseru keras memberi tanda sehingga kawan-kawannya segera merobah gerakan mereka. Kini mereka mainkan ilmu silat Ngo-heng-soan, dan mereka mulai berlari-lari mengitari Gwat Kong! Sambil berlari mengitari pemuda yang terkurung itu, kadang-kadang mereka melancarkan serangan-serangan yang tak terduga datangnya sehingga terpaksa Gwat Kong mengikuti gerakan memutar itu dan mainkan pedang dan suling untuk menjaga diri! Pergantian serangan yang tiba-tiba ini agak membingungkan pemuda itu sehingga untuk beberapa jurus lamanya ia tidak kuasa membalas dan hanya menjaga diri dengan kuatnya.
Sementara itu, Tin Eng memandang ke arah pertempuran itu dengan keheranan dan kekaguman yang makin memuncak. Dadanya berdebar keras karena berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Bangga, girang, heran dan malu bercampur aduk di dalam pikiran dan hatinya. Tak pernah disangkanya bahwa Gwat Kong, pemuda yang nampak bodoh dan jujur itu, yang selalu menurut perintahnya dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi ia mulai merasa khawatir melihat betapa kelima orang pengeroyok Gwat Kong itu benar-benar lihai dan kini dengan agak bingung dan gelisah ia melihat betapa kelima orang itu sambil berlari-lari mengitari Gwat Kong menyerang dan menghujani pemuda itu dengan serangan bertubi-tubi.
Sebetulnya, Gwat Kong sedang mencari jalan untuk memecahkan cara menyerang yang aneh dan membingungkan ini. Akan tetapi selagi ia mencari lowongan, tiba-tiba kelima orang itu mengubah lagi gerakannya. Dan kini mereka mengelilingi tubuh Gwat Kong dengan cara yang berlawanan yakni tiga orang lain berlari mengitari pemuda itu dari kiri memutar ke kanan, sedangkan Lim Hwat dan Lim Can berlari dari kanan memutar ke kiri.
Sementara itu, serangan mereka datangnya lebih gencar lagi dan kembali Gwat Kong dapat dibikin bingung karena ia tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengikuti gerakan memutar yang berlawanan ini. Memang Ngo-heng-tin atau Barisan Lima Daya ini benar- benar hebat dan luar biasa sekali. Sungguhpun hatinya ingin sekali membantu Gwat Kong, akan tetapi Tin Eng tidak berani turun tangan oleh karena ia maklum akan kelihaian lawan dan sekarang setelah pedangnya tidak ada, ia sama sekali tidak berani membantu, takut kalau-kalau bahkan mengacaukan perlawanan Gwat Kong.
Tiba-tiba Gwat Kong mendapat akal dan matanya mulai menjadi biasa dengan gerakan memutar dari kelima orang lawannya itu. Ia berhenti bergerak dan kini ia berdiri diam di tengah-tengah kurungan, membiarkan kelima orang lawannya berlari-lari makin cepat. Kalau ada senjata lawan yang melayang ke arahnya barulah ia menggerakkan suling atau pedangnya untuk menangkis.
Yang paling lihai di antara kelima macam senjata lawan itu adalah cambuk Lim Hwat dan tongkat kepala naga Lim Can, maka perhatiannya ditujukan sepenuhnya ke arah kedua senjata tersebut. Pada suatu saat, cambuk Lim Hwat menyambar ke arah dadanya dalam sebuah sabetan keras.
Gwat Kong membuat dua gerakan yang amat cepat sambil melompat ke atas menghindarkan kedua kakinya dari sapuan tongkat kepala naga. Gerakan ini ialah dengan sulingnya ia menangkis ujung cambuk dan ketika suling itu diputar maka ujung cambuk melibat suling itu. Secepat kilat Sin-eng-kiam di tangan kanannya menyambar ke arah cambuk yang tertarik dan menegang itu dan putuslah cambuk itu di bagian ujungnya terkena babatan Sin-eng-kiam yang tajam.
“Kurang ajar!” Lim Hwat berseru marah dan pada saat itu karena gerakan tadi membuat kawan-kawannya terpaksa menunda lari mereka. Maka dalam keadaan kepungan itu tidak bergerak memutar, Gwat Kong lalu menyerang dengan kuat ke arah dua orang yang dianggapnya paling lemah di antara mereka, yakni Teng Ki dan Teng Li yang bersenjata pedang.
Ketika sulingnya meluncur menotok pundak Teng Ki yang berpedang panjang dan pedang Sin-eng-kiamnya diluncurkan membabat lengan Teng Li. Kedua orang itu segera menangkis dan Oey Sian yang bersenjata golok dan berdiri di sebelah kiri Teng Li lalu menyerang dengan goloknya ke arah leher Gwat Kong. Pemuda ini menggunakan pedangnya yang tertangkis oleh Teng Li secepat kilat tanpa menunda lagi lalu mendahului Oey Sian dengan tikaman pedang itu ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Maka terdengar Oey Sian memekik kaget dan segera menggulingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang kepada pergelangan lengannya itu. Kesempatan itu dipergunakan oleh Gwat Kong untuk melompat keluar dari kepungan sambil memutar pedangnya menerjang ke tempat lowong yang tadi di tempati Oey Sian, yakni di antara Teng Li dan Lim Hwat.
Tentu saja Lim Hwat sebagai otak barisan itu yang memimpin pengepungan tidak membiarkan lawannya terlolos dari kepungan, maka ia lalu berteriak sambil menggerakkan cambuknya yang telah terputus ujungnya itu untuk memaksa Gwat Kong kembali ke dalam kurungan. Akan tetapi, Gwat Kong berseru lagi dengan nyaring dan ketika ia berjungkir balik dengan gerakan Garuda Sakti Menembus Mega, tubuhnya mumbul tinggi dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Saat itu ia pergunakan untuk mengirim bacokan ke arah pundak Lim Hwat yang tak berdaya mengelak sehingga pundak kirinya terserempet ujung pedang. Ia berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang dengan pundak mengalirkan darah.
Gwat Kong tidak mau berhenti sampai sekian saja. Sambil mempergunakan kesempatan selagi para pengeroyoknya kacau keadaannya. Ia lalu mengerjakan dua senjata di tangannya dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika pedangnya berhasil memutuskan dua buah jari tangan Oey Sian sehingga goloknya terpental jauh dan sulingnya dapat menotok jalan darah pada pundak Teng Li sehingga orang ini roboh dengan lemas.
Dua orang pengeroyok lain, yakni Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga dan Teng Ki yang bersenjata pedang panjang, memburu untuk menolong saudara-saudaranya. Akan tetapi sekali pedang dan suling di tangan Gwat Kong bergerak, ujung tongkat yang berbentuk kepala naga itu terbabat putus dan pedang di tangan Teng Ki terpental jauh pula karena suling Gwat Kong dengan tepat telah menghantam pergelangan tangannya.
Demikianlah, dengan sekali gus dan dalam waktu yang luar biasa cepatnya sehingga Tin Eng sendiri memandang dengan bingung dan mata kabur, lima orang jago Ngo-heng-tin itu kena dikalahkan oleh Gwat Kong yang masih berlaku murah hati dan tidak membinasakan mereka. Hanya memberi pukulan-pukulan yang membuat mereka terluka, akan tetapi cukup membuat mereka tak dapat maju pula.
Lim Hwat sambil meringis kesakitan dan memegang-megang pundaknya yang berdarah dan wajahnya sebentar pucat sebentar merah, lalu menjura dan membungkukkan tubuh kepada Gwat Kong sambil berkata,
“Anak muda, kau benar-benar lihai sekali dan ternyata kau telah memiliki ilmu pedang Sin- eng Kiam-hoat dan juga pedang Sin-eng-kiam telah berada di tanganmu! Siapakah sebenarnya kau?”
Dengan sikap masih tenang dan suara biasa saja, Gwat Kong menjawab, “Aku bernama Bun Gwat Kong atau boleh juga kau sebut Kang-lam Ciu-hiap sebagai mana orang-orang Kang- lam menyebutku.”
“Bagus, bagus! Nama ini takkan kami lupakan. Saat ini kami mengaku kalah, akan tetapi tunggulah satu dua tahun lagi, Kang-lam Ciu-hiap. Pasti kami akan mencarimu untuk membuat perhitungan.”
“Bun-ko, mintakan kitabku!” Tiba-tiba Tin Eng berseru dan Gwat Kong tiba-tiba merasa betapa mukanya menjadi panas dan warna merah menjalar dari telinga kiri sampai ke telinga kanan ketika mendengar betapa gadis itu kini menyebutnya ‘Bun-ko’!”
Sementara itu, Lim Hwat ketika mendengar ucapan Tin Eng ini, dengan tersenyum pahit lalu mengeluarkan kitab itu dari saku bajunya sebelah dalam dan memberikan itu kepada Tin Eng sambil berkata,
“Terimalah kitab palsu ini. Kau boleh mempelajarinya sampai seratus kali akan tetapi tidak akan ada gunanya!” Setelah berkata demikian, kembali Lim Hwat menjura terhadap Gwat Kong dan kemudian memberi tanda kepada empat orang saudaranya untuk masuk ke dalam rumah yang lalu ditutupkan pintunya keras-keras. Gwat Kong menghampiri Tin Eng yang memandangnya dengan mata kagum sekali. Tanpa berkata sesuatu, keduanya lalu berjalan menuju kota Ki-Ciu kembali. Di tengah jalan, Gwat Kong tidak dapat menahan lagi keadaan yang sunyi di antara mereka itu, maka dengan muka merah ia lalu berkata,
“Liok-siocia, maafkan aku yang telah menyembunyikan keadaanku darimu.”
Tin Eng memandangnya dan tersenyum. “Mengapa minta maaf? Kau hebat dan lihai sekali, seratus kali lebih hebat dari padaku.”
Makin merahlah wajah Gwat Kong mendengar ini, karena ia merasa seakan-akan ia disindir. “Kau juga cukup lihai, nona, hanya sayangnya kau telah mempelajari kitab yang salinan belaka. Masih ingatkah kau akan kitab yang sebuah lagi, yang kau sebut kitab berisi sajak dan syair kuno itu?”
Tin Eng mengingat-ingat lalu mengangguk.
“Nah, kitab yang kau anggap tidak berguna itulah sebetulnya kitab pelajaran Sin-eng Kun- Hoat dan Sin-eng Kiam-hoat yang asli. Aku diam-diam mempelajari kitab itu sehingga dapat juga memiliki sedikit ilmu kepandaian.”
Tin Eng makin merasa kagum dan terheran sehingga ia menunda kedua kakinya. Keduanya berdiri di pinggir jalan, berhadapan dan saling pandang.
“Bun-ko ”
“Nona, mengapa kau menyebutku demikian, aku masih tetap Gwat Kong yang dulu bagimu.”
Tin Eng menggelengkan kepalanya. “Jangan membuat aku merasa malu terhadap diri sendiri, Bun-ko. Aku selalu menganggap kau sebagai orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Tidak tahunya kau bahkan pandai membaca kitab kuno. Satu hal yang sama sekali tak pernah kusangka. Tadinya ku kira kau buta huruf tidak tahunya kau terpelajar pula. Aku tidak berhak menyebutmu dengan nama begitu saja.”
“Mengapa begitu? Sungguh, aku merasa tidak enak sekali mendengar sebutan itu, nona. Aku lebih senang kalau kau sebut namaku saja!”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Boleh, aku akan menyebutmu biasa saja, akan tetapi kaupun harus membuang jauh-jauh sebutan nona itu! Aku boleh kau sebut Tin Eng saja tanpa embel-embel nona. Bagaimana?”
Dengan muka merah Gwat Kong berkata, “Baiklah, nona.”
“Hussh! Bagaimanakah ini? Mengapa menyebut baik, akan tetapi kembali menyebut nona?” “Eh ... aku ... aku lupa, non ..” jawab Gwat Kong gugup sehingga Tin Eng memandang geli.
“Gwat Kong, kau benar-benar hebat. Aku merasa kagum sekali. Kau harus mengajarku dengan ilmu silatmu itu!”. Setelah menyebut nama Gwat Kong seperti biasa, Tin Eng merasa biasa kembali dan lenyaplah keraguan dan rasa malu-malu tadi. Juga Gwat Kong merasa lebih enak dan leluasa.
“Tentu ... Tin Eng, kalau kau kehendaki, aku akan dapat memberi pelajaran kepadamu sedapat mungkin.”
Mereka duduk di pinggir jalan dan berteduh di bawah lindungan pohon. Kemudian Gwat Kong menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendapatkan kitab itu. Betapa ia mempelajari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat dengan diam-diam dan rajin. Ia menceritakan pula tentang semua pengalamannya semenjak ia meninggalkan gedung Liok-taijin dan betapa ia mendapat julukan Kang-lam Ciu-hiap.
“Kau memang patut menjadi pendekar arak, karena kau memang seorang pemabok!” kata Tin Eng yang teringat kembali akan peristiwa di dalam gedungnya ketika ia hampir membunuh Gwat Kong yang sedang mabok. Merahlah muka pemuda itu mendengar hal ini disebut-sebut.
“Gwat Kong, sebetulnya kau berasal dari manakah? Kau telah bertahun-tahun bekerja di rumah orang tuaku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Apakah kau tidak keberatan untuk menceritakan kepadaku?”
Sebetulnya Gwat Kong merasa ragu-ragu untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga akan tetapi kepada Tin Eng, tiba-tiba ia timbul rasa seakan-akan gadis ini bukan orang lain dan bahkan seakan-akan sudah seharusnya ia menceritakan keadaannya kepada Tin Eng.
Maka secara singkat ia menceritakan riwayatnya, betapa ia dahulu adalah seorang putera Bun- tihu di Lam-hwat dan ayahnya difitnah orang sehingga ia dibawa pergi oleh ibunya yang hidup penuh penderitaan. Ketika menceritakan betapa ia tersesat, mabok-mabokan dan bergaul dengan segala orang muda yang tidak baik sehingga ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia di Ki-hong, tak tertahan pula Gwat Kong mengalirkan air mata yang segera disusutnya dengan ujung lengan bajunya.
Tin Eng mendengar penuturan ini dengan hati amat terharu sehingga ia ikut pula melinangkan air mata. Tak disangkanya bahwa Gwat Kong adalah putera seorang tihu yang adil dan jujur. Diam-diam ia merasa girang mendapatkan kenyataan ini sungguhpun ia tidak tahu mengapa ia boleh merasa girang.
“Sudahkah kau membalas dendam orang tuamu itu, Gwat Kong?” tanyanya.
“Musuh besar itu telah meninggal dunia hanya tinggal seorang puterinya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Haruskah aku membalas kepada anaknya itu?”
Tin Eng merasa ragu-ragu untuk menjawab, karena iapun merasa betapa sulitnya untuk mengambil keputusan dalam hal ini. “Dan bagaimana pendapatmu sendiri?” ia balas bertanya.
“Menurut pendapatku, puteri musuh besar orang tuaku itu tidak ikut apa-apa dan ia tidak berdosa. Maka tidak seharusnya kalau aku membalas dendam kepadanya. Apakah hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa keluarga ayahku? Yang bersalah adalah ayahnya dan ia tidak tahu menahu tentang hal itu. Oleh karena inilah maka aku tidak berniat membalas dendam kepada orang yang sama sekali tidak berdosa.” Tin Eng mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kau adil dan mulia Gwat Kong. Kalau aku sendiri menjadi puteri musuh besar itu, aku akan merasa ngeri mendapatkan musuh yang membalas dendam seperti kau!”
Setelah agak lama mereka berdiam saja, Gwat Kong lalu bertanya, “Dan sekarang kau hendak pergi ke manakah, Tin Eng?”
Ditanya demikian, Tin Eng kembali teringat akan semua barangnya yang telah hilang, maka jawabnya sambil menarik napas panjang, “Entahlah, aku tidak mempunyai tujuan tetap, apalagi sekarang setelah semua uangku tercuri orang. Untuk membayar sewa kamar saja aku tidak mampu.”
“Akupun tidak mempunyai uang, akan tetapi apa susahnya hal ini? Kau bisa ‘pinjam’ dari para hartawan di kota Ki-ciu.”
“Pinjam? Tanya Tin Eng heran.
Gwat Kong tersenyum. “Biarpun aku sendiri baru saja merantau dan menerjunkan diri dalam dunia kang-ouw, akan tetapi agaknya dalam hal ini aku lebih matang dari padamu, Tin Eng. Istilah ini digunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk mengambil sedikit uang para hartawan untuk digunakan sebagai biaya perjalanan.”
“kau maksudkan mencuri? Gwat Kong! Bagaimana kau bisa memberi nasehat kepadaku
supaya menjadi pencuri?”
“Dalam hal ini, mencuri yang dilakukan oleh orang-orang kang-ouw berbeda sifatnya, Tin Eng,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang-orang perantau di dunia kang-ouw pekerjaannya menolong orang-orang yang perlu ditolong tanpa mengharap akan upah atau pembalasan jasa dan dari manakah mereka bisa mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan membeli makanan? Mengambil sedikit uang dari para hartawan bukan berarti apa-apa lagi bagi hartawan itu dan kalau digunakan bukan untuk mencari kesenangan diri, maka dosanya tidak begitu besar!”
Tin Eng menjadi geli mendengar alasan ini. “Benar-benar lucu, apakah dosa itu ada yang besar dan kecil?”
Gwat Kong juga tersenyum mendengar ini dan pada saat itu, tiba-tiba dari jauh datang berlari seorang laki-laki yang setelah dekat ternyata bukan lain ialah Lok Ban si Tangan Seribu, kepala maling di kota Ki-ciu.
Melihat orang ini, Tin Eng yang sudah mengambil kembali pedangnya tadi, melompat dan mengejar dengan pedang di tangan. Akan tetapi, kepala maling itu memang sengaja menghampiri mereka dan datang-datang ia lalu menjura dengan hormat sekali.
“Ji-wi, harap jangan salah sangka. Kedatangan siauwte ini bukan membawa maksud buruk akan tetapi semata-mata hendak mengembalikan barang-barang lihiap yang tadi telah diambil oleh seorang kawan kami yang salah tangan!” Sambil berkata demikian, ia memberikan bungkusan pakaian Tin Eng yang ternyata masih lengkap. Tin Eng menerima buntalan pakaian dan perhiasan serta uangnya itu dengan girang dan juga terheran-heran, lalu bertanya,
“Sahabat, bagaimanakah maksudnya semua ini? Tadinya kau dan kawan-kawanmu mencuri barang-barangku dan sekarang tanpa diminta kau mengembalikannya!”
Si raja maling itu tersenyum dan menjura lagi. “Kami tidak tahu bahwa yang kami ambil barangnya adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan kawan baik seorang pendekar besar seperti Kang-lam Ciu-hiap, harap saja ji-wi sudi memberi maaf kepada kami.”
Gwat Kong yang telah berdiri bertanya dengan heran, “Eh, kau juga sudah mendengar namaku?”
Lok Ban tersenyum. “Biarpun belum lama kau membuat nama besar, taihiap, akan tetapi kami telah mendengarnya. Bahkan kami telah menyaksikan pula betapa kau telah mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang tangguh itu. Benar-benar membuat kami merasa tunduk!”
“Kau terlalu memuji, kawan,” kata Gwat Kong merendah.
“Untuk menebus kesalahan kawan kami, kami mengundang kepada ji-wi untuk datang menghadiri sedikit perjamuan makan yang kami adakan untuk menghormati ji-wi dan menyatakan maaf kami. Harap ji-wi tidak menolak.”
Kedua orang muda itu saling pandang dan sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti Lok Ban yang ternyata membawa mereka ke kota Ki-ciu dan dalam sebuah rumah makan terbesar telah berkumpul belasan maling-maling yang terbesar, di antaranya si botak yang dulu mengambil barang-barang Tin Eng. Mereka menyambut Gwat Kong dan Tin Eng dengan penuh penghormatan dan mempersilahkan mereka duduk di kursi kehormatan.
Gwat Kong dan Tin Eng dijamu dengan penuh penghormatan oleh Lok Ban si Tangan Seribu dan kawan-kawannya, yakni seluruh anggauta perkumpulan maling. Kedua orang muda itu setelah mulai makan, saling pandang dengan penuh keheranan, oleh karena masakan-masakan yang dihidangkan luar biasa enaknya dan tidak kalah oleh hidangan-hidangan orang-orang besar atau orang-orang hartawan.
“Masakan ini sedap sekali!” seru Tin Eng yang doyan makan hidangan lezat. “Saudara Lok, bumbu apakah yang dipakai untuk masakan-masakan ini?”
Lok Ban si Tangan Seribu tersenyum-senyum senang mendengar pujian ini, dan kemudian berkata dengan bangga,
“Lihiap, tidak sembarangan orang dapat menikmati masakan yang memakai bumbu dari istana kaisar ini! Kami sengaja menggunakan sisa bumbu yang dulu kami ambil dari dapur istana kaisar untuk membuat masakan ini dan menjamu ji-wi (kalian berdua)!”
Gwat Kong tertawa. “Jadi tanganmu sudah kau ulur demikian panjang sehingga sampai di dapur istana kaisar?”
Lok Ban tersenyum lagi. “Hanya untuk mengambil bumbu ini Ciu-hiap! Kami tidak berani mengambil barang-barang berharga. Oleh karena itu, kami tidak dikejar-kejar dan dimusuhi oleh perwira-perwira kerajaan. Siapa yang mau meributkan soal kehilangan bumbu masakan? Paling-paling hanya tukang masak istana saja ribut-ribut seperti terbakar jenggotnya!” Lok Ban tertawa, membuat Gwat Kong dan Tin Eng juga tertawa geli.
Tiba-tiba Lok Ban yang tadinya tertawa-tawa itu berubah menjadi bersungguh-sungguh dan ia berdiri dari kursinya. Melihat kepala maling ini berdiri, semua anggauta yang hadir di situ lalu menghentikan percakapan mereka dan keadaan menjadi hening.
“Saudara-saudara sekalian,” katanya dengan suara nyaring. “Kalian tentu telah mendengar nama Kang-lam Ciu-hiap yang biarpun baru saja membuat nama besar, akan tetapi telah amat terkenal. Dengan kedua mataku sendiri, aku menyaksikan bagaimana Ciu-hiap mempermainkan dan mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang lihai. Setelah kini Ciu-hiap berada di tengah-tengah kita, mengapa kita tidak minta agar supaya Ciu-hiap memimpin kita? Aku Lok Ban si Tangan Seribu, kalau dibandingkan dengan Kang-lam Ciu-hiap, menjadi Lok Ban si Tangan Buntung.”
“Setuju ....! Setuju ...!” Kawan-kawannya berseru gembira oleh karena mereka ini telah percaya sepenuhnya kepada Lok Ban sehingga apa saja yang diusulkan oleh si Tangan Seribu ini mereka anggap baik dan tepat.
Lok Ban lalu menjura kepada Gwat Kong dan berkata,
“Ciu-hiap, sebagaimana telah kau dengar sendiri, maka kami mohon sudilah kiranya mulai sekarang Ciu-hiap menerima pengangkatan sebagai Pangcu (ketua) kami dan memimpin kami yang bodoh!”
Gwat Kong menjadi bingung dan terkejut mendengar ini. Dia hendak diangkat menjadi kepala maling? Pemuda itu hanya duduk dengan mata terbelalak dan mulutnya ternganga, bengong tak dapat menjawab, hanya memandang kepada Tin Eng dengan muka bodoh.
Gadis itu tertawa geli melihat keadaan ini dan teringat akan ucapan Gwat Kong bahwa pemuda itu juga pernah melakukan pencurian uang untuk biaya perjalanan. Maka ia segera menggoda,
“Mengapa kau merasa sangsi? Bukankah kau juga mempunyai kesukaan untuk mencuri seperti yang kaukatakan tadi sebelum datang ke sini? Ha ha ha, kau memang pantas menjadi raja maling!”
Gwat Kong hendak menegur, akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa keras dan tiba- tiba sesosok bayangan orang melompat ke atas loteng di mana perjamuan para maling itu diadakan. Bayangan ini adalah seorang pemuda tinggi besar yang bermuka hitam. Matanya lebar dan hidungnya besar, sedangkanan dua telinganyapun lebar sehingga mukanya nampak lucu akan tetapi membayangkan kebodohan, kekasaran dan kejujuran.
“Maling-maling berpesta pora di rumah makan dengan terang-terangan, Ha ha ha! Pemandangan yang aneh! Sungguh lucu sekali kota Ki-ciu ini.”
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang besar itu bergerak-gerak, mukanya berdongak dan kedua tangannya bertolak pinggang. Marahlah maling botak itu yang dulu mencuri barang-barang Tin Eng melihat kedatangan orang muda yang mengejek mereka ini. Dengan gerakan yang amat gesit, menunjukkan bahwa ginkangnya sudah tinggi, si botak ini lalu melompat ke depan pemuda tinggi besar itu dan membentak,
“Bangsat, kurang ajar dari manakah berani mengejek kami?”
Pemuda muka hitam itu menghentikan suara ketawanya dan menundukkan mukanya, karena ia jauh lebih tinggi sehingga ia harus menundukkan muka untuk dapat menentang wajah lawannya. Akan tetapi oleh karena ia benar-benar tinggi, ketika menunduk, ia melihat botak yang licin di kepala itu sehingga kembali ia tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha! Si botak ini apakah juga seorang maling? Ha ha! Aku berani bertaruh bahwa kau tentu seorang maling ayam!”
Biarpun merasa marah melihat datangnya orang tinggi besar yang terang-terangan hendak menghina mereka, akan tetapi mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang lucu ini, mereka terpaksa tersenyum. Si botak marah sekali dan sambil berseru keras ia lalu memukul perut pemuda muka hitam itu dengan tangan kanannya.
Gerakannya memang cepat sekali oleh karena si botak ini memang sengaja mempelajari ginkang yang amat berguna bagi pekerjaannya sebagai maling. Ia dapat berlari-lari cepat, dapat melompat dan berlari-lari di atas genteng dan gerakannya memang luar biasa cepatnya. Akan tetapi, dalam hal ilmu berkelahi, ia tidak memiliki kepandaian yang tinggi.
Pemuda tinggi besar itu terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya. Akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang tak berapa kuat itu, ia sengaja menerima pukulan itu dengan perutnya sambil mengerahkan sinkangnya.
“Bukk!” Pukulan itu menghantam perut si pemuda. Akan tetapi yang dipukul tidak apa-apa, sebaliknya yang memukul terhuyung ke belakang.
Si botak marah sekali dan menyerbu lagi dengan penasaran. Akan tetapi tiba-tiba pemuda tinggi besar itu lalu mengulurkan tangan kanannya dan karena lengannya jauh lebih panjang, sebelum si botak dapat memukulnya, ia telah dapat menahan tubuh lawan dengan menangkap kepala botak itu dengan telapak tangannya yang lebar.
Dengan tangan menahan kepala lawannya yang botak, ia tertawa-tawa sedangkan si botak berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kepalanya. Kedua tangannya memukul-mukul ke depan, akan tetapi karena lengannya jauh lebih pendek, pukulannya itu tidak mengenai tubuh lawan.
Sambil memperdengarkan suara ketawa geli, pemuda tinggi besar itu lalu menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu belakang leher si botak telah ditangkap lalu diangkat. Kini kedua kaki si botak tak menginjak tanah dan bergerak-gerak dalam usahanya untuk melepaskan diri.
Sungguh pemandangan yang amat lucu, karena si botak itu bagaikan seekor kelinci yang dipegang pada telinganya. Tak dapat ditahan pula Tin Eng terkekeh-kekeh saking geli hatinya melihat pemandangan yang lucu ini. Juga Gwat Kong tersenyum karena ia maklum bahwa betapapun sombongnya, pemuda tinggi besar yang lihai itu tidak berhati kejam. Buktinya, setelah tertawa bergelak, ia melemparkan tubuh si botak ke depan sehingga maling ini jatuh bergulingan tanpa menderita luka sedikitpun. Akan tetapi, pelajaran itu sudah cukup membuat hatinya menjadi gentar dan ia tidak berani maju lagi.
Tentu saja peristiwa ini membuat wajah Lok Ban menjadi pucat karena orang telah mengalahkan muridnya. Orang telah menghina pestanya, berarti menghina perkumpulan maling di Ki-ciu dan menghina Lok Ban si Tangan Seribu. Dengan gerakan ringan ia melompat dan menghadapi pemuda tinggi besar itu sambil berkata,
“Orang gagah dari manakah datang memancing keributan? Aku Jian-jiu Lok Ban si Raja Maling di Ki-ciu selamanya belum pernah mengganggu orang luar daerahku, mengapa orang lain tidak memandang mukaku?”
Ucapan ini dikeluarkan oleh Lok Ban bukan dengan maksud menyombongkan diri, akan tetapi karena ia telah melihat kelihaian orang, maka ia memperkenalkan namanya yang sudah banyak dikenal oleh semua orang gagah di sekitar dan di daerah Ki-ciu. Akan tetapi ia kecele kalau menyangka bahwa pemuda itu sudah mengenal nama dan mengubah sikapnya, karena setelah mendengar ucapannya itu, ia bahkan tertawa geli dan menjawab,
“Eeeh eh, memang aneh-aneh di Ki-ciu ini. Ada raja malingnya segala macam! Jadi kaukah raja maling di Ki-ciu? Hmmm, kebetulan sekali, aku adalah nenek moyangnya maling, maka kau seharusnya menyebut kong-couw (kakek buyut) kepadaku!”
Terlalu sekali, pikir Lok Ban dengan marah maka ia lalu berkata, “Baiklah, kau sengaja mencari keributan. Apa boleh buat! Lihat pukulan!” Ia mulai menyerang dengan gerakan tipu Pek-wa-hian-to (kera Mempersembahkan Buah Tho). Serangannya selain cepat juga bertenaga kuat maka pemuda tinggi besar itu tidak berani main-main seperti ketika menghadapi si botak tadi.
Ia mengelak ke kiri sambil menyampok dengan tangan kanannya. Kemudian dengan menggeser kakinya merobah bhesi (kuda-kuda) dan membalas dengan serangan yang disebut Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Meluku Tanah). Serangannya ini dilakukannya dengan tenaga yang bukan main kuatnya sehingga Gwat Kong diam-diam berkata perlahan kepada Tin Eng,
“Dia seorang ahli gwakang (tenaga kasar)! Lok Ban takkan menang!”
12.
RAMALAN ini ternyata terbukti tak lama kemudian. Biarpun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan, akan tetapi ternyata ia kalah tenaga menghadapi pemuda raksasa itu. Tiap kali pukulannya kena tangkis, tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke samping dan ia merasa lengan tangannya yang tertangkis sakit sekali.
Sebaliknya, tiap kali pemuda itu menghantam, Lok Ban tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak mempergunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya. Celaka bagi Lok Ban bahwa ia tidak dapat menarik keuntungan dari kecepatannya, karena pemuda itupun cukup gesit dan memiliki ketenangan dan gerakan yang tetap sehingga tidak gugup menghadapi kegesitan Lok Ban. Setelah bertempur dua puluh jurus lebih, akhirnya pundak kanan Lok Ban kena di dorong sehingga tubuhnya terpental dan kemudian roboh bergulingan menabrak kursi. Juga dalam serangan ini ternyata bahwa pemuda tinggi besar itu tidak bermaksud kejam sehingga pundak Lok Ban tidak terluka, hanya agak biru saja karena kerasnya tangan lawan. Lok Ban juga maklum akan hal ini, maka ia merasa bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda itu, lalu sambil melirik kepada Gwat Kong, raja maling itu berkata,
“Anak muda, kau boleh menghina aku Lok Ban dan kawan-kawanku. Akan tetapi kau sungguh keterlaluan karena perbuatanmu ini berarti tidak memandang maka kepada Kang-lam Ciu-hiap!”
Gwat Kong maklum bahwa kini tuan rumah sedang berusaha untuk minta bantuannya. Sementara itu Tin Eng juga merasa betapa pemuda itu memang agak keterlaluan, maka ia lalu menggunakan sumpitnya untuk menjepit sepotong daging dan sekali ia menggerakan tangan, daging itu melesat dengan cepatnya menuju ke arah muka pemuda itu.
“Tamu tak diundang rasakanlah sedikit daging!” seru gadis itu sambil tersenyum, dan kini sumpitnya telah menjepit sepotong daging pula, siap menyusul serangan pertama kalau gagal.
Pemuda muka hitam itu terkejut melihat menyambarnya benda kecil itu dan maklum bahwa orang hendak menghinanya, maka ia cepat miringkan kepala sehingga daging yang dilemparkan oleh Tin Eng itu mengenai tempat kosong. Akan tetapi daging kedua telah menyambar tepat di tempat pemuda itu membuang mukanya, maka hampir saja ia menjadi korban sambaran daging. Untung ia masih berlaku cepat dan menundukkan muka.
Akan tetapi kini sambaran ketiga datang menyusul amat cepat. Kali ini yang menyambarnya adalah sepotong bakso yang bundar bagaikan pelor. Pemuda itu kaget sekali karena tahu-tahu bakso bundar itu telah mendekati mulutnya dan telah tercium baunya yang sedap. Ia miringkan kepalanya, akan tetapi kurang cepat sehingga bakso itu masih menghantam daun telinganya sebelah kanan.
“Kurang ajar!” serunya sambil memandang marah kepada Tin Eng dan Gwat Kong yang tertawa bergelak, diikuti oleh suara ketawa semua orang yang hadir.
“Bukan salahku!” kata Tin Eng menyindir. “Mengapa telingamu besar amat? Kalau telingamu tak sebesar itu, tentu takkan kena!”
Pemuda itu menggunakan tangan untuk menyusuti telinganya yang berlumur kuah dan mendengar ejekan ini mukanya menjadi merah. Memang telinganya besar sekali, ini dapat ia ketahui apabila ia meraba daun telinganya.
“Jangan berlaku seperti seorang pengecut!” teriaknya sambil membelalakkan matanya yang besar.
“Menyerang orang secara menggelap. Sungguh patut dilakukan oleh seorang maling rendah! Kalau mempunyai kegagahan majulah, aku tidak takut segala macam Pendekar Arak maupun setan arak!” Ia sengaja menghina Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak Dari Kang-lam) karena memang ia belum pernah mendengar nama ini. Gwat Kong merasa suka melihat pemuda itu, karena ia maklum bahwa betapa pun kasarnya akan tetapi pemuda itu memiliki sifat-sifat baik, yakni jujur dan tidak kejam, juga ilmu silatnya cukup baik. Setelah mengambil keputusan di dalam hatinya, Gwat Kong lalu berdiri mendahului Tin Eng karena bila gadis itu yang menghadapi pemuda tinggi besar ini, tentu keadaan akan menjadi rusak.
Gwat Kong lalu menghampiri pemuda itu lalu menjura, “Enghiong (orang gagah) dari manakah dan siapa namamu? Kepandaianmu membuat kami merasa kagum!”
Akan tetapi pemuda itu yang masih marah karena telinganya disambar bakso, lalu menjawab dengan pertanyaan pula sambil memandang tajam. “Apakah kau juga maling?”
“Buka matamu lebar-lebar!” seru seorang yang hadir. “Orang gagah itu adalah Kang-lam Ciu- hiap! Kau berani kurang ajar?”
“Hmm, jadi inikah Kang-lam Ciu-hiap yang disebut raja maling tadi? Tak berapa hebat! Dan karena berkumpul dengan para maling, tentu Kang-lam Ciu-hiap juga maling!” kata pemuda tinggi besar itu dengan beraninya.
Gwat Kong tersenyum. “Sesukamulah, boleh kau sebut apa saja. Akan tetapi, siapakah kau dan mengapa kau datang-datang membikin ribut di sini?”
“Aku adalah seorang laki-laki sejati, bukan maling bukan perampok, tak pernah mengganti she menyembunyikan nama. Aku datang tak disengaja ke rumah makan ini dan melihat sekumpulan maling memilih ketua! Maling yang memperlihatkan diri di muka umum, bukan maling lagi namanya, akan tetapi perampok-perampok jahat dan aku paling benci kepada segala macam perampok!”
Gwat Kong tersenyum lagi. “Kau benar-benar orang gagah!” Kemudian ia berpaling kepada semua yang hadir dan berkata, “Cuwi sekalian, kalau pemuda gagah ini menjadi pangcu, akan bagus sekali.”
“Aku mau kau jadikan raja maling? Jangan menghina, akan kuhancurkan kepalamu!” seru pemuda itu marah sekali sambil membelalakkan matanya.
“Apa kau berani melawan aku?” tanya Gwat Kong. “Mengapa aku takut?”
“Bagaimana kalau kau kalah?” tanya pula Gwat Kong dan sengaja memperlihatkan sikap memandang ringan.
“Ha ha ha! Aku yang kalah terhadap kau yang lemah ini? Kalau aku kalah, aku akan pai-kui (memberi hormat sambil berlutut) kepadamu delapan kali dan mengangkat kau sebagai guru!”
“Tak usah, tak usah mengangkat guru, hanya satu permintaanku yakni kalau kau kalah dapat kukalahkan dalam sepuluh jurus kau harus menurut segala perintahku!”
“Sepuluh jurus? Ha ha ha! Baik, baik, kalau aku kalah olehmu dalam sepuluh jurus, kau boleh memerintahku apa saja, aku akan menurut.” “Benar-benarkah?” Gwat Kong menegaskan. “Kau takkan melanggar janji?”
Pemuda itu marah sekali. “Ucapan seorang jantan lebih berharga dari pada sepuluh ribu tail emas!”
Kemudian ia memandang dengan senyum menghina. “Dan bagaimana kalau kau kalah dan tidak dapat menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus?”
“Hmm, sesukamulah, apa yang kau minta?”
“Kalau kau kalah olehku, kau kugantungi papan di dadamu yang bertuliskan bahwa kau adalah seorang maling besar di Ki-ciu, kemudian kau harus berjalan keliling kota setengah hari lamanya!”
“Baik, baik!” kata Gwat Kong yang segera melangkah maju mendekati. “Nah, kau jagalah pukulanku jurus pertama!”
Sambil berkata demikian Gwat Kong menyerang dengan pukulan tangan secara sembarangan saja. Dengan tangan kanan ia menonjok dada Nyo Leng dengan perlahan sambil berseru,
“Jurus pertama!”
Melihat datangnya jotosan ke arah dadanya itu, Nyo Leng tersenyum mengejek dan tidak mengelak. Bahkan mengangkat dadanya itu sambil mengerahkan tenaganya. Ia hendak membuat Gwat Kong terpental seperti si botak ketika memukul perutnya tadi.
Akan tetapi ketika pukulan Gwat Kong yang dilakukan tangan kosong tiba di dadanya, Nyo Leng berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi ia benar-benar kuat. Biarpun Gwat Kong tadi telah memukul uratnya, ia tidak sampai roboh dan dapat menahan rasa sakit pada dadanya lalu melompat sambil berseru marah untuk membalas dengan serangan pukulan tangannya yang keras itu.
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum melihat daya tahan pemuda ini, maka ia lalu mengelakkan diri dari pukulan lawannya, lalu menyerang lagi sambil berseru,
“Jurus kedua!” Kali ini Gwat Kong menyerang dengan mendorongkan kedua tangannya ke arah bahu kanan kiri lawannya dengan maksud untuk mendorong jatuh pemuda itu. Nyo Leng tidak berani berlaku semberono lagi setelah tadi merasa betapa ampuhnya bekas tangan lawan, maka kini melihat dua tangan Gwat Kong mendorongnya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba iapun mendorongkan kedua lengannya memapaki lengan Gwat Kong.
Ternyata pemuda kasar itu hendak mengadu tenaga. Sepasang lengannya yang besar dan kuat itu yang mengandung tenaga gwakang luar biasa besarnya bagaikan tenaga kerbau jantan, meluncur cepat dan hendak menumbuk dua tangan Gwat Kong yang menyambar ke arah kedua pundaknya.
Akan tetapi, Gwat Kong yang cerdik tidak mau mengadu tenaga dan begitu kedua tangannya hampir bertumbukkan dengan kedua tangan lawan, ia lalu gerakan kedua tangan ke samping dan ketika lengan lawan meluncur lewat, secepat kilat ia memegang pergelangan tangan lawan dan sambil memiringkan tubuh ia menarik lengan Nyo Leng itu ke depan.
Tenaga dorongan Nyo Leng sudah besar bukan main, kini ditambah oleh tarikan Gwat Kong, maka tidak dapat tertahan lagi, tubuh Nyo Leng terdorong ke depan dengan kerasnya sehingga kalau saja ia tidak memiliki kecepatan dan berjungkir balik dengan tangan menepuk lantai sedangkan kaki dilempar ke atas lalu membuat pok-sai (salto), tentu mukanya akan beradu dengan tanah. Gerakan ini membuat kagum semua orang, karena sekali lagi Nyo Leng memperlihatkan kekuatan dan kegesitannya.
Akan tetapi baru menghadapi dua jurus serangan Gwat Kong saja ia sudah hampir mendapat kekalahan, maka kini Nyo Leng berlaku hati-hati sekali. Ia tidak mau mengadu tenaga dan kini mulai bersilat dengan teratur dan tenang. Dengan baiknya ia dapat menjaga diri tanpa mau membalas oleh karena ia maklum bahwa Kang-lam Ciu-hiap ini ternyata benar-benar lihai bukan main, sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaiannya untuk menjaga diri agar jangan sampai dapat dikalahkan dalam sepuluh jurus!
Benar saja, ia telah berhasl menghindarkan serangan-serangan Gwat Kong sampai jurus ke tujuh. Akan tetapi tiba-tiba Gwat Kong mempergunakan ginkangnya yang tinggi sekali sehingga Nyo Leng kehilangan lawannya! Selagi ia merasa bingung terdengar suara Gwat Kong membentak,
“Jurus ke delapan!” Dan sebelum Nyo Leng dapat menjaga diri, jalan darahnya bagian Thian- hi-hiat telah kena ditotok oleh jari tangan Gwat Kong sehingga tiba-tiba ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi lemas. Akan tetapi Nyo Leng adalah seorang yang memiliki kemauan dan semangat baja, sehingga biarpun seluruh tubuhnya lemas sekali, ia masih dapat mempertahankan diri sehingga tidak roboh.
Gwat Kong merasa heran sekali dan menyangka bahwa totokannya tidak mengenai dengan tepat, maka ia berseru,
“Jurus ke sembilan! Akan tetapi ia tidak jadi menyerang karena melihat lawannya sama sekali tidak bergerak dan ketika ia mendorong perlahan kepada pundak Nyo Leng dan memulihkan jalan darahnya. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Kang-lam Ciu-hiap benar-benar lihai dan hebat! Teecu (murid) Nyo Leng menerima kalah!”
Dengan girang Gwat Kong mengangkat bangun pemuda itu dan mengajaknya duduk bersama di mejanya. Kemudian ia minta pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Ternyata bahwa Nyo Leng adalah seorang yatim piatu yang semenjak kecil suka sekali mempelajari ilmu silat. Akan tetapi ia paling suka mengadu kepandaiannya dengan orang- orang lain yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi sehingga kepandaiannya makin meningkat. Karena tiap kali kalah, ia lalu mengangkat guru kepada orang yang mengalahkannya.
Biarpun ia kasar dan tidak cerdik, akan tetapi berkat sukanya belajar silat, ia memiliki kepandaian yang lumayan juga. Ia merantau ke sana ke mari tanpa tempat tujuan tertentu dan biarpun ia bodoh, akan tetapi ia amat jujur dan membenci kejahatan. Mendengar riwayat pemuda ini, Gwat Kong lalu berkata, “Saudara Nyo, mulai sekarang kau harus tinggal di Ki-ciu dan memimpin saudara-saudara ini!”
No Leng berdiri dan memandang kaget, “Apa? Benar-benar aku harus menjadi raja maling? Ah, bagaimana aku bisa menjadi orang jahat?”
“Kau salah saudara Nyo. Kau bukan menjadi orang jahat, akan tetapi dengan adanya kau yang mengawasi semua saudara ini, kau akan mencegah terjadinya kejahatan. Kau harus melarang semua perbuatan sewenang-wenang dan harus mengadakan peraturan bagi semua anggauta.
Biarpun menjadi maling harus memakai aturan dan melihat siapa orangnya yang diganggu.
Para dermawan yang suka menolong orang, orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di kota ini, orang-orang miskin, pembesar-pembesar yang bijaksana dan adil, mereka ini tidak seharusnya diganggu. Hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar kejam boleh diambil hartanya.”
Nyo Leng memandang dengan wajah berseri. “Benar juga! Kalau aku dapat mengatur sehingga maling-maling ini tidak berbuat sewenang-wenang, berarti aku telah menghalangi kejahatan. Boleh-boleh! Aku terima jabatan ini sekarang juga!”
Gwat Kong lalu berkata kepada Lok Ban. “Saudara Lok, kau dan kawan-kawanmu tadi minta kepadaku utk menjadi pangcu. Hal ini tak dapat kuterima oleh karena aku tak dapat tinggal di tempat ini dan apakah artinya seorang pemimpin yang tidak berada di sini dan tidak memimpin dengan langsung? Kalian telah melihat kepandaian saudara Nyo Leng ini yang ternyata lebih tinggi dari pada kepandaian kalian. Maka sekarang jabatan yang tadi kalian tawarkan kepadaku kuserahkan kepada saudara Nyo Leng ini. Harap kalian tidak menolak.”
Lok Ban dan kawan-kawannya menyatakan persetujuannya, oleh karena mereka maklum bahwa pemuda muka hitam itu memang lebih lihai dari pada mereka. Dan juga bahwa pemuda itu mempunyai hati yang baik, jujur dan tidak kejam. Maka, dengan gembira mereka lalu merayakan pengangkatan ini dengan hidangan-hidangan baru.
Semenjak terjadinya pertempuran tadi, para tamu restauran ini telah pergi jauh-jauh karena kuatir kalau-kalau terbawa-bawa sehingga keadaan di situ menjadi sunyi. Pesta berjalan sampai jauh malam dan akhirnya Gwat Kong dan Tin Eng mengundurkan diri dan kembali ke hotelnya.
****
Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong mengawani gadis itu menuju ke kota Hun-lam. “Di sana aku mempunyai seorang paman, yakni kakak dari ibuku,” kata gadis itu. “Aku
pernah pergi ke sana bersama ibu ketika masih kecil dan kalau tidak salah, pamanku seorang hartawan besar yang baik hati.”
Perjalanan dilakukan tanpa tergesa-gesa dan di sepanjang jalan, Tin Eng mendapat petunjuk- petunjuk dari Gwat Kong dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berlatih dalam ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Tin Eng pernah mempelajari ilmu pedang ini dengan amat tekun dan rajinnya dan walaupun yang dipelajarinya hanyalah salinan yang kurang sempurna, akan tetapi pengetahuannya cukup untuk dijadikan dasar. Maka kini setelah mendapat petunjuk dan latihan-latihan dari Gwat Kong, ia mulai dapat merobah permainannya dengan ilmu yang asli, sehingga ia memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Juga dalam hal ilmu lweekang, ia mendapat petunjuk-petunjuk menurut pelajaran dalam kitab aslinya.
Hubungan mereka makin erat dan kini mereka bukan bersikap sebagai dua orang sahabat karib. Biarpun dari mulut mereka tak pernah mengeluarkan ucapan yang menyatakan betapa perasaan hati mereka, akan tetapi pandangan mata mereka telah mewakili hati masing-masing.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Hun-lam. Kota ini cukup besar dan ramai, dan karena iklimnya sedang, maka banyak pengunjung dari luar kota datang bertamasya ke situ.
Terutama sekali di sebelah barat kota terdapat sebuah telaga yang indah, yakni telaga Oei-hu di mana banyak pelancong menghibur diri di atas perahu.
Sungguhpun Tin Eng telah lupa lagi di mana letak rumah pamannya. Bahkan telah lupa lagi akan wajah orang tua itu, karena dulu ketika mengunjungi tempat ini ia baru berusia lima tahun. Akan tetapi karena ia mengerti nama pamannya, mudah saja mereka mencari gedung dari Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (hartawan Lie) oleh karena Lie-wangwe adalah hartawan yang paling ternama di kota itu. Bukan hanya kekayaannya, akan tetapi karena ia terkenal sebagai seorang dermawan.
Ketika Tin Eng bersama Gwat Kong diterima oleh Lie-wangwe, Tin Eng sama sekali pangling melihat pamannya itu. Sebaliknya Lie Kun Cwan juga memandang heran karena ia tidak pernah bertemu dengan gadis cantik dan pemuda yang gagah itu. Memang ada persamaan antara mata orang tua itu dengan ibunya, demikian Tin Eng berpikir dengan terharu karena ia melihat betapa wajah pamannya ini nampak seakan-akan ia sedang berada dalam kedukaan besar.
Dengan ramah tamah Lie-wangwe mempersilahkan kedua tamunya yang muda itu mengambil tempat duduk, kemudian dengan tenang ia berkata,
“Ji-wi (kalian berdua) ini siapakah dan keperluan apakah yang ji-wi bawa?”
“Peh-peh, apakah benar-benar aku berhadapan dengan Lie peh-peh (uwa Lie)?” tanya Tin Eng sambil berdiri.
“Aku benar bernama Lie Kun Cwan, akan tetapi, siapakah nona?”
Sementara Tin Eng lalu menjura, “Ah, Lie peh-peh! Lupakah kau kepada Tin Eng?”
Untuk sejenak Lie-wangwe yang juga bangkit berdiri itu memandang dengan heran, kemudian ia berseru,
“Apa...?? Kau ... Tin Eng anak Liok Ong Gun ?”
“Benar, peh-peh dan apakah selama ini peh-peh dan peh-bo baik-baik saja?” Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba air mata menitik turun dari kedua mata orang tua itu. Tin Eng terkejut dan segera bertanya,
“Ada apakah, pek-hu? Apakah yang terjadi?” tanyanya kuatir. “Peh-bomu .... telah meninggal dunia tiga bulan yang lalu ...”
“Ah ...” Tin Eng mengeluh dengan hati terharu. Lalu keponakan dan paman ini saling tubruk di antara hujan air mata. “Bagaimana peh-bo bisa meninggal dunia, peh-peh ...?” tanya Tin Eng di antara tangisnya.
“Dia menderita sakit jantung ... tak dapat diobati lagi ...” Orang tua ini menarik napas panjang. Lalu berkata sambil mengelus-elus rambut Tin Eng. “Akan tetapi semua itu telah menjadi takdir Thian Yang Maha Kuasa harta benda tak dapat menghibur hati orang yang
berduka. Tak dapat menahan nyawa yang telah dipanggil oleh Thian! Sudahlah, keringkan air matamu, Tin Eng. Tangismu hanya membuat aku merasa pilu.”
Tin Eng lalu duduk kembali di kursinya dan mengeringkan air matanya dengan sapu tangannya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaanmu, nak. Kau datang dari mana dan mengapa seorang diri saja? Dan kawanmu ini siapakah? Apakah ayah-ibumu baik-baik saja?
Baru saja Tin Eng mengeringkan airmatanya, akan tetapi kini mendengar pertanyaan ini, ia menangis lagi. Tangisnya bahkan lebih sedih lagi sehingga tubuhnya terisak-isak dan ia menggunakan sapu tangan untuk menutupi mukanya. Gwat Kong menggeleng kepalanya dan menghela napas. Ia merasa ‘bohwat’ (kehabisan akal) menyaksikan pertunjukkan tangis menangis ini.
Kini Lie-wangwe yang nampak terkejut dan segera bertanya mengapa keponakannya itu menangis sedemikian sedihnya. Dengan terisak-isak Tin Eng menceritakan kepada pamannya betapa ia hendak dipaksa menikah oleh orang tuanya dan karena ia tidak suka, maka ia lalu melarikan diri.
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, tidak seharusnya kau membikin susah hati orang tuamu, Tin Eng. Seorang anak wajib menurut sebagai seorang anak berbakti terhadap orang tuanya.”
“Akan tetapi, pek-hu, kalau hendak dijodohkan dengan seorang yang tak ku suka, apakah aku harus menurut saja?” tanya Tin Eng penasaran dan pamannya tersenyum.
“Aah, beginilah kalau anak perempuan pandai ilmu silat. Kabarnya kau memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, melebihi ayahmu! Benarkah?”
Tin Eng diam saja dan menundukkan kepalanya.
“Sudahlah, jangan kau berduka. Urusan ini akan kucoba damaikan dengan orang tuamu. Kau tinggallah di sini untuk sementara waktu. Hitung-hitung menghibur hati pamanmu. Hidupku sunyi sekali semenjak bibimu meninggal. Aku seorang bernasib malang, tidak mempunyai anak, dan isteri meninggal dunia dalam usia belum tua, Aaah biarlah kau menjadi seperti anakku sendiri, Tin Eng. Aku akan menulis surat kepada ayah-ibumu minta agar mereka tidak terlalu memaksa.”
“Terima kasih, pek-hu.”
“O, ya! Kau belum ceritakan, siapakah orang muda ini?” tanyanya. Dan Gwat Kong menarik napas lega, karena tadinya ia kuatir kalau-kalau kedua orang itu telah melupakan sama sekali bahwa ia berada pula di tempat itu.
“Dia adalah Bun Gwat Kong, seorang pendekar yang diberi julukan Kang-lam Ciu-hiap!” kata Tin Eng yang lalu menceritakan bahwa ketika ia mendapat halangan di tengah perjalanan dan hampir mendapat celaka di tangan Ngo-heng-kun Ngo-hiap. Ia mendapat pertolongan dari pemuda ini yang bahkan mengantarkan sampai di Hun-lam. Tentu saja Tin Eng tidak menceritakan bahwa pemuda itu bukan lain ialah bekas pelayan ayahnya sendiri!
Mendengar bahwa pemuda itu berjuluk Ciu-hiap atau Pendekar Arak, Lie Kun Cwan menjadi girang sekali dan segera berkata,
“Aah, tidak tahunya kau seorang pendekar muda yang gagah berani! Ciu-hiap, melihat nama julukanmu, kau tentu suka sekali minum arak. Dalam hal ini kita mempunyai kesukaan yang sama!” Hartawan itu tertawa bergelak lalu memberi perintah kepada seorang pelayan untuk segera mengeluarkan araknya yang terbaik.
“Marilah kita minum arak, hendak kusaksikan sampai di mana kekuatanmu minum!” Kemudian ia memanggil seorang pelayan wanita dan memberi perintah untuk membereskan sebuah kamar besar untuk Tin Eng.
“Tin Eng kau membereslah sendiri kamar menurut sesuka hatimu. Segala kekurangan boleh kau minta kepada pelayan itu. He, A-sui! Kau layani nonamu baik-baik!”
Melihat sikap yang manis dan kebebasan pamannya ini, Tin Eng merasa girang sekali dan segera ia meninggalkan ruangan itu bersama pelayan muda yang membawanya ke ruang dalam. Sementara itu, dengan girang dan sebagian besar kedukaannya terlupa, Lie-wangwe lalu mengajak Gwat Kong minum arak. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar- benar kuat sekali minum araknya yang wangi, Lie-wangwe merasa gembira sekali. Ia sendiri adalah seorang ‘setan arak’ akan tetapi sekarang ia menemukan tandingan.
Tak lama kemudian Tin Eng muncul lagi dan ternyata gadis itu telah berganti pakaian yang lebih longgar dan rambutnya telah di sisir rapi. Mukanya nampak segar karena gadis ini telah mandi dan tukar pakaian. Sungguhpun sepatunya masih sepatu kulit yang tadi ia pakai, yakni sepatu yang kuat dan yang biasa dipakai oleh ahli-ahli silat.
“Ha ha, Tin Eng! Kawanmu ini benar-benar Pendekar Arak! Hebat sekali. Lihat, ia telah menghabiskan lima cawan arak wangi yang keras. Akan tetapi mukanya sama sekali tidak berobah. Padahal aku telah merasa betapa pelupuk mataku berdenyut-denyut tanda bahwa hawa arak mulai naik. Ha ha ha! Kalian menggirang hatiku. Kedatangan kalian benar-benar menggembirakan hatiku.” Gwat Kong melirik ke arah Tin Eng dan dengan matanya gadis itu memberi tanda bahwa ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu yang telah menyenangkan hati pamannya yang sedang berduka.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara keras,
“Lie-wangwe! Sumbanganmu untuk bulan ini lagi-lagi terlambat! Kau harus didenda dengan tiga cawan arak wangi dan uang tambahan istimewa sepuluh bagian!”
Mendengar suara ini, Lie Kun Cwan mengerutkan keningnya, “Aah, celaka! Sedang senang- senangnya, datang lagi buaya darat yang menjemukan!”
Akan tetapi ia segera memanggil pelayannya dan berkata, “Sediakan uang lima puluh tail perak dan tambahan lima tail lagi dan ambil cawan kosong.”
Pada saat itu, seorang laki-laki baju hitam yang bertubuh tinggi besar melangkah masuk dengan tindakan kaki lebar, diiringkan oleh seorang pelayan yang kelihatan takut. Orang itu selain tinggi besar, juga wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah bangsa orang kasar yang hidup di kalangan liok-lim, dengan matanya yang lebar dan alisnya yang tebal serta brewokan yang kaku.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, membuat ia nampak gagah sekali. Di lihat dari ikat kepalanya, bajunya yang hitam dan celananya yang putih sampai ke sepatunya yang mengkilap, ia adalah seorang yang mewah, karena semua pakaiannya terbuat dari pada bahan kain yang mahal.
Melihat kedatangan orang ini, Lie-wangwe dengan cepat segera berdiri dan menjura,
“Ah, ji-kauwsu, silahkan duduk! Kebetulan sekali kami sedang minum arak, mari aku akan membayar denda itu dengan pernyataan maaf akan kelambatanku.”
Orang tinggi besar itu, yang disebut ji-kauwsu (guru silat kedua) itu mempergunakan sepasang matanya yang besar untuk memandang ke arah Gwat Kong dengan penasaran dan tak puas karena melihat pemuda yang tak dikenal ini sama sekali tidak mau berdiri menyambutnya dan memberi hormat kepadanya. Ia hendak menegur, akan tetapi pada saat itu ia dapat melihat Tin Eng yang sedang berdiri menyadar tiang. Kemarahannya lenyap, terganti oleh senyum menyeringai yang dimaksudkan untuk memperindah mukanya yang tak sedap dipandang, sehingga mukanya nampak makin menjemukan.
Bagitu melihat orang ini, baik Tin Eng maupun Gwat Kong merasa tak suka dan jemu. Akan tetapi oleh karena mereka belum tahu apa hubungan orang ini dengan Lie-wangwe, maka mereka diam saja sambil memandang saja.
Sementara itu, ketika melihat Tin Eng yang cantik molek berada di situ, si baju hitam yang tinggi besar lalu tertawa bergelak,
“Lie-wangwe, tidak tahunya kau sedang menjamu dua orang tamu. Ha ha, tentu saja aku tidak menolak tawaran arak wangi. Harap kau perkenalkan aku kepada dua orang tamumu ini, Lie- wangwe!” Sambil berkata demikian, ia menjura kepada Tin Eng yang sama sekali tidak dibalas oleh gadis itu yang hanya tersenyum mengejek.
“Duduklah, ji-kauwsu!” kata Lie Kun Cwan membujuk karena ia merasa tidak enak melihat sikap orang itu. “Dan marilah minum arak ini. Dia adalah seorang keponakanku, bukan tamu dan pemuda inilah yang menjadi tamuku.”
Akan tetapi orang tinggi besar itu nampak mendongkol sekali. “Aku tidak biasa duduk seorang diri sedangkanan orang lain hanya berdiri menonton saja. Lie-wangwe, apakah aku Hun-lam Ji-kauwsu Touw Tek (Touw Tek si Jago Silat Nomor Dua di Hun-lam) terlampau rendah untuk duduk minum arak semeja dengan keponakanmu?”
“Ah, tidak, tidak! Bukan demikian, ji-kauwsu, hanya karena keponakanku itu tidak biasa minum arak. Tin Eng ... kau masuklah saja ...” Lie-wangwe nampak gelisah sekali.
Hal ini membuat Gwat Kong merasa mendongkol bukan main. Ia memberi isyarat dengan mata kepada Tin Eng yang sudah merasa ‘gatal-gatal’ tangannya menyaksikan lagak orang tinggi besar itu.
“Lie-lopeh.” Katanya dan ikut-ikutan menyebut lopeh (uwa) kepada hartawan itu. “Sebetulnmya apakah kehendak ji-kauwsu ini datang ke rumahmu?”
“Ji-kauwsu ini datang hendak menerima sumbangan bulanan yang harus kuserahkan untuk biaya penjagaan kota,” jawab Lie-wangwe. “Twa-kauwsu (guru silat pertama) Touw Cit dan ji-kauwsu ini adalah dua orang saudara yang menjaga keamanan kota Hun-lam. Aku diwajibkan membayar sumbangan lima puluh tail perak sebulan.”
“Kalau kami tidak menjaga dan ada perampok datang, tidak hanya semua uang dan harta benda akan lenyap, bahkan nyawapun belum tentu akan dapat diselamatkan!” kata Touw Tek yang tinggi besar itu sambil membusungkan dada.
13.
GWAT Kong mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring dan mengejek. “Orang yang menjual kepandaian dapat disebut pengemis, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi kalau kepandaian digunakan untuk memeras dan berlagak, maka ini sudah keterlaluan sekali!”.
Sambil berkata demikian, Gwat Kong minum arak dari cawannya.
Lie-wangwe menjadi pucat mendengar ini. Sedangkan Touw tek memandang kepada Gwat Kong dengan mata terbelalak karena heran. Bagaimana pemuda ini berani mengucapkan kata- kata demikian terhadap dia? Keheranan lebih besar dari pada kemarahannya, maka ia lalu bertanya,
“Eh eh, apa maksudmu, bocah lancang?”
Gwat Kong menunda cawannya yang masih dipegangnya, lalu berkata,
“Maksudku bahwa orang yang berlagak seperti kau ini tak mungkin dapat menjaga keamanan, hanya pandai memeras uang orang belaka!” “Tikus kecil!” Touw Tek memaki marah. “Siapa berani mengacau di Hun-lam? Coba hendak kulihat, siapa berani?”
“Tikus besar!” Gwat Kong balas memaki. “Sekarang juga kau telah mengacau, hendak kulihat kau mampu berbuat apa?”
Setelah berkata demikian, dengan tenang, Gwat Kong lalu minum habis arak di cawannya, seakan-akan tak memandang sebelah mata kepada orang tinggi besar itu.
“Bun-hiante .... jangan cari perkara ...” Lie-wangwe berseru kuatir. Akan tetapi Tin Eng yang masih berdiri menyandar di tiang, berkata, “Peh-peh, jangan kuatir, tikus besar ini memang perlu diberi sedikit hajaran!”
Sementara itu Touw Tek menjadi marah sekali. Dengan gerakan yang galak, ia mencabut goloknya. Tubuh Lie-wangwe menjadi menggigil ketika ia melihat golok yang berkilau saking tajamnya itu digerak-gerakkan di tangan Touw Tek.
“Ji-kauwsu ... ji-kauwsu ... mohon kau sudi memaafkan tamuku ini. Aku akan memberi seratus tail perak kepadamu, maafkanlah kami ...”
Akan tetapi Gwat Kong telah bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Lie-lopeh, tenanglah dan biarkan aku menghadapi bajingan ini.”
Lie-wangwe menduga bahwa Gwat Kong telah menjadi mabuk, maka ia hendak mencegah, kuatir kalau-kalau pemuda ini akan disembelih oleh Touw Tek di dalam rumahnya. Akan tetapi kembali Tin Eng berkata,
“Peh-peh, biarkanlah Gwat Kong menghadapi tikus besar itu. Jangan kuatir, peh-peh!” Terpaksa Lie Kun Cwan berdiri memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan besar.
Sementara itu, Gwat Kong lalu melangkah maju dengan tenang menghadapi Ji-kauwsu Touw Tek yang memperlihatkan muka mengancam.
“Golokmu yang tumpul itu hanya cukup baik untuk menakuti anak kecil belaka, apa sih bagusnya? Membeli setail saja aku tak sudi, untuk apa kau perlihatkan kepadaku?”
“Bangsat kecil, lekas kau keluarkan senjatamu, kalau kau berkepandaian!” bentak Touw Tek yang hampir tak dapat menahan marahnya lagi.
“Bangsat besar, menghadapi golok tumpul itu tak perlu aku bersenjata!”
“Kau cari mampus!” Touw Tek berseru lalu menyerang dengan goloknya. Gerakannya dahsyat, ganas dan cepat. Goloknya diputar di atas kepala, kemudian ia membacok dengan tipu Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu Daun Rontok).
“Ha ha ha, gerakanmu ini hanya cukup baik untuk menyembeli babi!” Gwat Kong mengejek sambil melompat ke pinggir mengelak dengan cepat sekali. Melihat bacokannya tak berhasil, Touw Tek berseru marah dan menyerang lagi lebih hebat. Kini dengan gerak tipu Pek-miauw- po-ci (Kucing Putih Terkam Tikus) yang dilakukan dengan nafsu membunuh bernyala-nyala keluar dari matanya. Kembali Gwat Kong mengelak cepat sambil tersenyum-senyum. Sementara itu Tin Eng menonton pertempuran itu sambil berdiri bersandarkan tiang dan iapun tersenyum melihat betapa Gwat Kong mempermainkan orang kasar dan sombong itu. Sedangkan Lie-wangwe berdiri dengan kaki terpentang dan muka dikerutkan tanda amat gelisah dan khawatir hatinya. Ia tidak mengerti ilmu silat dan melihat serangan golok yang berkelebat cepat menyilaukan mata itu, berkali-kali ia menutup matanya agar jangan melihat betapa tubuh pemuda itu akan terbabat putus menjadi beberapa potong.
Akan tetapi, ketika ia membuka matanya kembali, Gwat Kong masih hidup, bahkan kini berlompat-lompatan ke sana ke mari di sekeliling tubuh Touw Tek. Mempermainkan bagaikan seekor tikus yang gesit sekali sedang mempermainkan seekor kucing tua yang lambat dan ompong.
“Kau mau uang? Lima puluh tail perak? Seratus?” Gwat Kong mengejek sambil mengelak cepat dari sebuah sabetan golok. “Nah, ini terimalah lima puluh tail!” Tangan kanannya menyambar dan “Plok” pipi kiri Touw Tek telah kena ditamparnya.
Touw Tek merasa betapa pipinya panas dan pedas sedangkan mulutnya merasa asin tanda bahwa lidahnya merasai darah yang keluar dari bibirnya yang pecah. Bukan main marahnya dan sambil berseru keras ia menyerang dengan goloknya makin cepat. Ingin sekali ia membacok tubuh lawannya ini sampai hancur seperti bakso.
“Masih kurang?” kembali Gwat Kong mengejek. “Mau lagi? Nah, ini lima puluh tail perak lagi!” Kakinya menyambar cepat bagaikan sambaran kilat dan “buk” dada Touw Tek kena tendang sehingga tubuhnya yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Ia merasa dadanya sakit sekali akan tetapi Gwat Kong memang tidak ingin mencelakakannya sehingga tendangannya itu tidak mendatangkan luka berat.
Dasar Touw Tek berwatak sombong dan jumawa sekali, maka tendangan dan tamparan tadi yang sebetulnya harus memperingatkan dia, bahwa lawannya tidak bermaksud kejam. Bahkan diterimanya salah dan dianggapnya bahwa betapapun juga, lawannya itu tidak memiliki tenaga yang cukup besar. Ia pikir bahwa biarpun ia terkena pukul berkali-kali kalau tenaga lawannya hanya sedemikian saja, ia takkan roboh dan sekali saja ia berhasil membalas, akan mampuslah lawan ini. Maka ia tidak mundur, bahkan lalu mendesak maju dengan serangan- serangan maut.
Melihat kebandelan ji-kauwsu Touw Tek ini, Gwat Kong menjadi sebal dan penasaran juga.
“Ah, bosan aku melayani kau bertempur, kau tak pernah dapat melakukan serangan cukup baik!” katanya dan tiba-tiba pemuda itu melompat ke arah meja di mana tadi ia duduk dan menyambar cawan arak yang terus diminumnya. Sama sekali ia tidak memperdulikan Touw Tek lagi, seakan-akan menganggap lawan itu bukan apa-apa.
Hinaan ini membuat darah Touw Tek bergolak.
“Keparat!” teriaknya dengan mata merah. “Kalau hari ini aku tak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Hun-lam Ji-kauwsu lagi!” Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan yang cepat dan tahu-tahu gadis cantik molek yang hendak diganggunya telah berdiri di depannya sambil tersenyum manis.
“Tikus besar!” kata Tin Eng sambil memainkan senyum dan lirikannya. “Bagaimana kau dapat melawan Kang-lam Ciu-hiap? Kalau kau bisa mengalahkan aku, kau baru patut disebut Tikus Kedua! Mana kau patut disebut Guru Silat?”
Touw Tek tertegun. Apakah gadis inipun pandai ilmu silat? Ia ragu-ragu, karena biarpun mengerti ilmu silat, tak mungkin gadis cantik jelita yang pinggang ramping ini memiliki kepandaian tinggi.
“Nona, kau minggirlah dan biarkan aku membunuh bangsat itu!” “Minggir? Kau cobalah membuat aku minggir!” Tin Eng menantang.
“Lie-wangwe!” Touw Tek berseru marah kepada hartawan itu. “Jangan kau persalahkan aku apabila aku terpaksa memberi hajaran kepada keponakanmu ini!”
“Tin Eng, jangan !” Lie-wangwe mencegah.
Akan tetapi Tin Eng telah maju menyerang dengan tangan kosong. Touw Tek tadinya memandang rendah dan pukulan tangan kanan Tin Eng itu disambutnya dengan cengkeraman tangan kiri. Maksudnya ia hendak tangkap tangan itu dan dengan begitu membuat dara itu tak berdaya.
Tak disangkanya, ketika tangannya bergerak hendak menangkap pergelangan tangan Tin Eng, gadis itu menarik kembali pukulan tangan kanannya dan tangan kirinya bergerak cepat ke arah kepala Touw Tek dan tahu-tahu ikat kepala si tinggi besar itu telah berada di tangan Tin Eng.
Touw Tek menjadi marah sekali, dan dengan rambut awut-awutan ia segera menyerang dengan goloknya, membabat pinggang Tin Eng. Gadis itu tertawa mengejek dan melompat mundur untuk menghindarkan diri dari pada babatan golok. Kemudian tubuhnya menyambar dan membalas dengan serangan-serangan kilat. Ia menggunakan ikat kepala yang dirampasnya tadi untuk menyerang dan “Plak!” muka Touw Tek telah kena ditampar dengan keras oleh ikat kepalanya sendiri. Tamparan menggunakan ujung ikat kepala ini rasanya lebih pedas dari pada tamparan Gwat Kong tadi sehingga Touw Tek merasa betapa matanya berkunang.
Sebelum ia dapat membalas, ia mendengar suara ketawa dan tahu-tahu kaki gadis itu melayang dan menendang pergelangan tangan kanannya yang memegang golok. Terdengar bunyi “keekk!!” dan Touw Tek menjerit kesakitan, goloknya terlepas dari pegangan.
“Bangsat sombong, kau pergilah!” seru Tin Eng. “Dan lain kali jangan kau berani menginjak lantai rumah pamanku!”
Dengan muka merah dan mulut meringis-ringis kesakitan. Touw Tek lalu menjumput goloknya dan pergi dari situ setelah melayangkan pandang mata sekali lagi ke arah Gwat Kong dan Tin Eng. Lie-wangwe merasa terheran-heran sehingga ia berdiri bengong tak dapat mengeluarkan kata- kata melihat kelihaian keponakannya. Setelah penjahat itu pergi, barulah ia dapat menarik napas panjang, sedangkan banyak pelayan yang tadi menonton pertempuran itu kini berdiri dekat pintu, memandang dengan penuh kekaguman. Lie-wangwe memberi isyarat dengan tangan sehingga semua pelayannya mengundurkan diri.
“Tin Eng, tak kusangka bahwa kaupun selihai itu! Ciu-hiap ini dan kau telah dapat mempermainkan ji-kauwsu dengan tangan kosong. Sungguh takkan dapat kupercaya kalau aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Seharusnya aku berterima kasih dan merasa girang sekali karena kalian telah memberi hajaran kepada bangsat itu dan memang aku merasa girang Akan tetapi, disamping kegirangan ini, akupun merasa amat khawatir, Tin
Eng.”
“Jangan khawatir, pek-hu! Bangsat-bangsat kecil macam dia itu kalau berani datang lagi, akan aku putar batang lehernya seorang demi seorang!” kata Tin Eng dengan gagahnya.
“Memang mudah bagimu, karena kau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi bagaimana kalau kau sudah tidak berada di sini lagi? Bagaimana aku harus membela diri kalau kalian tidak ada dan bangsat-bangsat itu datang mengganggu? Ahh, kalian tidak tahu siapa ji-kauwsu dan terutama kakaknya toa-kauwsu itu ”
“Sebetulnya mereka itu siapakah dan apa artinya uang sumbangan itu, Lie-lopeh?” tanya Gwat Kong.
Juga Tin Eng ingin sekali mengetahui hal itu dan gadis ini lalu duduk di dekat mereka. Setelah menuangkan arak dan minum secawan, Lie Kun Cwan lalu menceritakan keadaan di kota Hun-lam dan tentang pemerasan yang dilakukan oleh bangsat-bangsat itu.
Ternyata bahwa pada beberapa bulan yang lalu, di kota Hun-lam itu tiba-tiba timbul gangguan orang-orang jahat yang melakukan penggedoran, pencurian, dan perampokan di dalam dan di sekitar kota Hun-lam. Pembesar yang berkuasa di Hun-lam, tak berdaya oleh karena biarpun ia telah mengerahkan pasukan untuk menindas gangguan ini namun para penjahat itu ternyata memiliki ilmu silat tinggi dan tidak mudah dikalahkan atau ditangkap.
Selagi orang-orang penduduk Hun-lam merasa gelisah dan ketakutan, tiba-tiba muncul dua saudara Touw itu, yakni Touw Cit dan Touw Tek yang segera membuka perguruan silat di kota itu dan kedua saudara ini datang menghadap kepada pembesar untuk menawarkan bantuannya. Akan tetapi bantuan yang ditawarkan oleh mereka itu istimewa sifatnya, yakni bukan bantuan tenaga dan kepandaian untuk mengusir para penjahat yang mengganggu, akan tetapi untuk memberi ‘suapan’ kepada mereka.
Touw Cit dan Touw Tek mengusulkan agar supaya para hartawan dan orang berpangkat di kota Hun-lam mengumpulkan sumbangan uang yang diberikan kepada ‘kepala penjahat’ dengan perantaraan mereka berdua. Dan ternyata hal ini mendapat persetujuan semua hartawan, karena dari pada didatangi orang-orang jahat itu, tentu saja lebih baik mengeluarkan uang puluhan atau bahkan ratusan tail sekali gus dan aman.
Usaha dua orang saudara Touw ini rupanya berhasil baik. Oleh karena setelah uang dikumpulkan, benar saja penjahat itu tidak muncul lagi. Dengan amat cerdiknya kedua orang saudara Touw ini mengadakan hubungan dengan para penjahat dan berkompromi, mengadakan ‘kerjasama’ yang amat baik. Tentu saja semua orang tidak tahu bahwa sebenarnya kedua saudara Touw ini bukan lain adalah dua orang di antara para pemimpin penjahat-penjahat itu sendiri.
Mereka menggunakan tipu daya yang amat cerdik dan kini mereka setiap bulan mengumpulkan uang sumbangan yang besar jumlahnya. Seorang hartawan sedikitnya harus menderma dua puluh lima tail perak tiap-tiap bulannya sehingga setiap bulan kedua orang ini dapat mengumpulkan uang ratusan tail perak.
Memang enak sekali pekerjaan ini, tidak berbahaya seperti kalau menjadi penjahat yang banyak resikonya. Kini mereka boleh ‘pensiun’, hanya bekerja sekali setiap bulan, yakni mengumpulkan uang sumbangan itu. Biarpun penjahat-penjahat sudah tak nampak mata hidungnya lagi, akan tetapi uang sumbangan setiap bulan tetap saja ditariknya.
Setelah berjalan beberapa bulan memang para penyumbang merasa ragu-ragu dan bercuriga, dan menganggap bahwa setelah para penjahat kini pergi dan tidak mengganggu lagi, apa perlunya diadakan uang-uang sumbangan? Akan tetapi, baru saja siang hari itu seorang hartawan menolaknya, pada malam harinya gedungnya didatangi lima orang penjahat yang selain menggondol pergi barang-barang berharga yang banyak jumlahnya, juga melukai hartawan yang menolak memberi uang sumbangan itu.
Peristiwa itu tentu saja membuat lain-lain hartawan menjadi takut untuk menolak lagi dan kini setiap bulan mereka dengan ‘setia’ memberi uang sumbangan. Sungguhpun hati mereka tidak rela karena mereka tetap saja merasa curiga dan sangsi dan timbul dugaan-dugaan mereka bahwa kedua guru silat itu main gila.
Hal ini terjadi berbulan-bulan dan kedua orang guru silat she Touw ini menjadi ‘hartawan- hartawan’ mendadak. Mereka membuat gedung besar dan hidup dengan mewah sekali. Tak seorangpun berani menganggu mereka. Akan tetapi, nasib orang memang tidak selamanya mujur dan betapapun seorang dilindungi oleh payung kemujuran pasti akan tiba masanya payung itu akan bocor, membuat ia tertimpa hujan kemalangan.
Demikian yang terjadi dengan kedua saudara she Touw itu, yakni ketika Touw Tek bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap dan Tin Eng di dalam gedung Lie Kun Cwan. Touw Tek benar- benar bertemu dengan ‘batu’ yang bertumbuk dengan batu karang yang membuatnya ‘babak bundas’.
Semua ini diceritakan oleh Lie Kun Cwan kepada Gwat Kong dan Tin Eng dan sungguhpun hartawan ini tidak ragu akan tipu muslihat Touw Cit dan Touw Tek, akan tetapi ia mengutarakan kecurigaannya dan berkata,
“Aku dan juga pembesar dan lain-lain hartawan yang menolak itu didatangi penjahat yang lima orang itu. Semuanya memakai kedok. Mungkin sekali mereka adalah dua orang she Touw itu dan kaki tangannya, siapa tahu? Akan tetapi kami tidak berdaya, karena mereka itu lihai!”
“Hmm, kalau begitu Lie-lopeh segera memberi tahu kepada semua penyumbang agar supaya menghentikan sumbangan mereka sekarang juga. Bahkan uang-uang sumbangan yang sudah diberikan, akan kuminta kembali dari kedua orang bangsat itu.” Lie-wangwe percaya penuh kepada kedua orang muda yang sudah disaksikan kelihaiannya ini, maka ia segera menulis surat pemberitahuan dan mengutus orang-orangnya untuk menyebarkan surat pemberitahuan itu.
Sementara itu, Gwat Kong dan Tin Eng lalu pergi mengunjungi gedung baru tempat tinggal Touw Cit dan Touw Tek. Mereka berdua telah bersiap sedia untuk menghadapi pertempuran. Akan tetapi alangkah heran mereka ketika mereka mendapat sambutan yang manis dari Touw Tek dan Touw Cit. Seperti juga Touw Tek, Twa-kauwsu Touw Cit bertubuh tinggi besar dan berbaju hitam bercelana putih. Akan tetapi keningnya tinggi membuat kepalanya nampak seperti botak dan ia tidak bertopi atau berikat kepala.
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah besar itu, Touw Cit dan Touw Tek sendiri lalu menyambut dan Touw Cit segera menjura dengan sikap yang menghormati sekali.
“Ji-wi yang gagah!” katanya dengan suara yang besar. “Aku telah mendengar dari adikku Touw Tek tentang kegagahan ji-wi yang muda. Sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Harap saja ji-wi sudi memaafkan kekasaran adikku tadi.”
Gwat Kong benar-benar tertegun karena tak pernah menyangka akan mendapat sambutan seperti ini. Ia membalas penghormatan tuan rumah dan berkata,
“Saudara tentulah yang bernama Hun-lam Twa-kauwsu Touw Cit. Kami berdua juga mohon maaf apabila kami telah mengganggu adikmu di rumah Lie-wangwe tadi. Kedatangan kami ini tak lain hendak membantu usaha ji-wi dalam menghadapi para penjahat yang suka mengganggu kota ini. Akan tetapi kami berdua tidak hendak mempergunakan cara yang telah dipergunakan oleh ji-wi (tuan berdua). Akan tetapi kami hendak menghadapi para penjahat itu dengan pedang kami. Oleh karena itu, para penyumbang yang telah menyetor uang kepada ji- wi harap saja ji-wi suka mengembalikan uang sumbangan itu kepada mereka.” Touw Cit mengerutkan keningnya, sungguhpun mulutnya tetap tersenyum.
“Akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti marah dan menyerbu ke sini?”
Gwat Kong tersenyum. “Biarlah, kalau mereka benar-benar datang menyerbu, siauwte dan kawanku ini yang bertangguing jawab menghadapi mereka!”
Touw Cit tersenyum, “Ah, taihiap benar-benar gagah, akan tetapi agaknya kau belum tahu siapakah mereka yang kau hendak hadapi ini. Tidak tahu siapakah nama taihiap yang semuda ini telah mempunyai keberanian hebat dan kegagahan yang mengagumkan? Kalau tidak salah, julukan taihiap adalah Kang-lam Ciu-hiap seperti tadi yang didengar oleh adikku. Akan tetapi siapakah taihiap dan siapa pula guru taihiap?”
Gwat Kong tersenyum. “Namaku adalah Bun Gwat Kong dan tentang suhuku, terus terang saja aku tidak mempunyai guru, kecuali diriku sendiri!”
Touw Cit nampak tak puas, akan tetapi ia tetap tersenyum lalu berkata, “Tidak apalah kalau Kang-lam Ciu-hiap menganggap diri terlalu tinggi untuk
memperkenalkan diri kepada kami orang-orang bodoh. Ha, Touw Tek, kau lekas kumpulkan uang pemberian para dermawan tadi dan mengembalikannya sekarang juga.” Touw Tek segera masuk ke dalam rumah. “Masa bodoh, kalau ada kerusuan, siauwte serahkan saja kepada Kang-lam Ciu-hiap dan kawannya!” kata pula Touw Cit kepada Gwat Kong yang segera menyanggupinya. Dan kemudian setelah mengucapkan terima kasih, ia mengajak Tin Eng pergi dari situ kembali ke rumah Lie-wangwe.
Ternyata ketika mereka tiba di situ, rumah Lie-wangwe telah penuh tamu, yakni orang-orang yang tadinya dikenakan sumbangan oleh kedua saudara Touw itu. Bahkan tihu kota itu juga memerlukan datang. Mereka ini merasa gelisah sekali, takut kalau-kalau ada penyerbuan para orang jahat sebagai akibat ditolaknya uang sumbangan itu. Terpaksa Gwat Kong menghibur mereka dengan kata-kata gagah,
“Cu-wi sekalian! Terus terang saja, sesungguhnya bagi siauwte, tidak ada hubungannya dan tidak ada ruginya meskipun cu-wi harus mengeluarkan banyak uang sumbangan. Oleh karena orang-orang kaya seperti cu-wi ini tentu saja tidak berat untuk mengeluarkan uang barang puluan atau ratusan tail perak tiap bulannya. Akan tetapi sebagai seorang perantauan yang memperhatikan segala peristiwa yang diterbitkan oleh orang-orang jahat yang suka mengganggu, tentu saja siauwte tidak suka melihat adanya orang-orang jahat yang mengganggu di kota ini dan siauwte akan berdaya sekuat tenaga untuk membasmi mereka.
Kalau mereka datang, siauwte akan menghadapi mereka!”
“Kau hanya seorang diri atau berdua dengan nona ini, bagaimanakah kalau kalian berdua kalah? Apakah itu bukan berarti keadaan kami makin celaka?” berkata seorang hartawan yang selalu mengingat kepentingan dan keselamatan diri sendiri belaka, sehingga dalam pertanyaan inipun sama sekali tidak perduli akan keadaan dua orang muda itu kalau kalah, akan tetapi yang terutama mengingat keadaan sendiri dulu.”
Gwat Kong tersenyum menyindir. Sebenarnya ia tidak senang harus menjadi pelindung sekian banyak orang-orang hartawan ini. Akan tetapi ia mengingat bahwa di antara mereka ada paman Tin Eng yang baik hati dan dermawan dan ia harus melindungi. Maka ia lalu menenggak secawan arak, lalu disemburkannyalah arak itu dari mulutnya ke arah tiang yang besar di tengah ruangan itu.
Tiang itu terbuat dari kayu yang keras sekali dan jaraknya dari Gwat Kong ada dua tombak. Akan tetapi ketika semburan arak itu mengenai kayu yang keras itu, tampak tiang itu menjadi bolong-bolong, seakan-akan tiap tetes arak berubah menjadi pelor besi.
“Apakah kepala para penjahat itu lebih keras dari pada tiang ini?” Gwat Kong bertanya. Semua mata memandang ke arah tiang itu dengan terbelalak lebar dan untuk sejenak tak seorangpun terdengar mengeluarkan suara. Kemudian bagaikan mendapat komando, mereka berseru memuji tiada habisnya dan kemudian mereka pulang ke rumahnya masing-masing dengan hati besar.
“Maaf, Lie-lopeh,” kata Gwat Kong kepada Lie-wangwe setelah semua tamu itu pergi. “Bukan maksudku untuk menyombongkan kepandaian, hanya untuk melenyapkan kegelisahan mereka.”
Lie Kun Cwan tahu akan hal ini. Kemudian Gwat Kong berunding dengan Tin Eng untuk mempersiapkan diri menanti datangnya serbuan orang-orang jahat. “Tin Eng, malam ini kita berdua harus berjaga dengan amat hati-hati. Sudah pasti orang-orang jahat itu akan datang. Entah benar-benar orang dari luar, ataupun anak buah kedua saudara Touw itu sendiri. Kita belum tahu dari mana mereka akan datang. Oleh karena itu lebih baik kita berjaga dengan berpencar. Kau berkeliling dari selatan memutar ke timur dan aku dari selatan memutar ke barat sehingga kita bertemu di ujung utara kota. Dengan cara meronda seperti ini, kalau mereka berani datang pasti akan bertemu dengan kau atau aku!”
“Baik, Gwat Kong!” jawab Tin Eng dengan gagah dan sedikitpun gadis ini tidak nampak jerih.
“Akan tetapi, apakah tidak perlu kalian minta bantuan pasukan penjaga dari tihu? Bagaimana kalau jumlah mereka banyak dan kalian di keroyok? Apakah itu tidak berbahaya?”
“Memang baik kalau mereka itu mau membantu,” jawab Gwat Kong. “Dan siauwte menghaturkan terima kasih atas perhatian Lie-lopeh. Akan tetapi, harap lopeh beritahu kepada tihu agar para penjaga itu disuruh bersembunyi, menjaga-jaga kalau-kalau ada penjahat diam- diam memasuki kota. Mereka tak perlu turun tangan, kecuali kalau perampokan pada rumah yang jauh letaknya dari tempat kami sehingga kami tak dapat menolongnya. Mereka itu boleh menyediakan banyak belenggu untuk merantai para penjahat!”
Lie-wangwe menyatakan setuju dan ia segera pergi sendiri menemui tihu untuk mengatur penjagaan pasukan bersembunyi itu. Seluruh kota Hun-lam terasa tegang menanti datangnya malam hari. Semenjak masih sore, rumah-rumah telah menutup pintunya dan para penghuninya tak dapat tidur, berkumpul di dalam dengan hati kebat-kebit. Setiap bunyi gaduh yang terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus ataupun kucing, membuat mereka pucat dan menjumbul karena kaget setengah mati.
Gwat Kong dengan tenang lalu mengajak Tin Eng keluar dari rumah dan mereka lalu melompat di atas genteng dan menuju ke pinggir kota sebelah selatan. Setelah tiba di situ, mulailah mereka berpisah untuk melakukan perondaan, menjaga datangnya para penjahat yang hendak mengganggu kota.
****
Malam itu tidak terlalu gelap. Lebih dari tiga perempat bagian bulan nampak di angkasa tersenyum-senyum manis dan bermain-main dengan mega-mega putih. Bayangan tubuh Gwat Kong dan Tin Eng yang melakukan penjagaan masing-masing, nampak berkelebat bagaikan bayangan setan malam.
Akan tetapi, sudah dua kali putaran mereka meronda sehingga mereka bertemu di bagian utara kota, akan tetapi sama sekali tidak terlihat penjahat yang menyerbu kota.
“Benar aneh!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng ketika mereka bertemu untuk ketiga kalinya di atas wuwungan rumah, sebelah utara. Mereka berdua duduk mengaso di atas wuwungan rumah yang tinggi itu.
“Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita mengadakan penjagaan,’ kata Tin Eng sambil membereskan segumpal rambut yang terlepas karena tiupan angin malam dan berjuntai di atas keningnya. “Atau memang barangkali sama sekali tidak ada penjahat dari luar kota,” kata Gwat Kong sambil memutar otaknya. “Jangan-jangan penjahat-penjahat sudah bersembunyi di dalam kota dan tinggal bereaksi saja.”
Tiba-tiba Tin Eng berdiri dengan kaget. “Ah, mengapa kita begini bodoh! Kita sudah mencurigai dua saudara Touw, mengapa tidak menyelidik mereka? Kalau mereka pemimpinnya, tentu penjahat-penjahat itu sudah bersembunyi di dalam gedung mereka!”
“Mungkin kau benar Tin Eng!” kata Gwat Kong kaget. “Mari kita menyelidiki tempat mereka!”
Mereka lalu berlari-lari di atas genteng. Pada waktu itu, tengah malam telah lewat lama bahkan telah mendekati fajar dan ketika mereka tiba di tengah kota kembali, tiba-tiba mereka mendengar suara teriakan-teriakan para penjaga. Mereka segera lari ke arah suara teriakan itu, dan tiba-tiba dari lain jurusan terdengar teriakan-teriakan penjaga lain.
“Benar saja mereka itu beraksi selagi kita melakukan penjagaan di pinggir kota. Tin Eng kita berpencar! Kau jagalah rumah pamanmu!”
Tin Eng terkejut ketika teringat kepada pamannya, maka cepat tubuhnya melesat menuju ke rumah pamannya. Sementara itu, Gwat Kong segera menyambar turun, dan melihat betapa empat orang penjaga sedang mengeroyok dua orang penjahat berkedok yang ilmu silatnya cukup tinggi sehingga penjaga-penjaga itu terdesak hebat. Dua orang penjahat itu bersenjata golok besar dan ketika Gwat Kong tiba di situ, seorang penjaga telah rebah mandi darah dan yang empat inipun telah kacau permainan silatnya.
Gwat Kong menyambar dengan pedang ditangan dan sekali dia gerakan pedangnya, “Trangg. !!” Dua golok di tangan penjahat itu terlempar jauh dan dua kaki dan tangan
kirinya bergerak, penjahat itu telah roboh dan tak berdaya. Para penjaga dengan girang lalu menubruknya dan mengikat kaki tangan mereka.
Gwat Kong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang penjahat yang dikeroyok oleh para penjaga. Dua orang penjahat ini lebih lihai lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat orang penjaga yang terluka, sedangkan lima orang lagi yang mengeroyok berada dalam keadaan terdesak sekali.
“Serahkan mereka kepadaku!” teriak Gwat Kong dan para penjaga yang melihat datangnya Kang-lam Ciu-hiap segera melompat mundur. Dua orang penjahat inipun berkedok dan begitu melihat Gwat Kong, mereka lalu maju mengeroyok dengan pedang mereka. Gwat Kong menangkis dengan pedangnya dan ternyata bahwa dua orang penjahat ini cukup gesit sehingga dapat melayani untuk beberapa jurus.
Akan tetapi Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani mereka. Terpaksa ia mainkan pedangnya dengan cepat dan dua gebrakan kemudian menjeritlah dua orang penjahat itu dan pedang mereka terlepas dari tangannya karena lengan mereka terluka oleh pedang Gwat Kong. Para penjaga menubruk dan mengikat mereka erat-erat.
Gwat Kong lalu melakukan penyelidikan dan ternyata bahwa di atap rumah seorang hartawan yang biasanya memberi sumbangan didatangi dua orang atau tiga orang penjahat. Benar-benar para penjahat itu berani dan cerdik sehingga mereka bergerak dengan berbareng pada waktu yang sama sehingga bagi Gwat Kong sukar sekali untuk membagi-bagi tangannya. Terpaksa ia bekerja cepat dan berlari ke sana ke mari untuk membantu para penjaga yang terdesak oleh para penjahat itu.
Para penjahat mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap mengamuk dan menangkap banyak kawan mereka, maka mereka lalu bersatu dan ketika Gwat Kong sedang dikeroyok oleh tiga orang penjahat di rumah tihu yang juga diganggu, datanglah enam orang penjahat lain dan sebentar saja Gwat Kong dikepung oleh sembilan orang penjahat yang bersenjata pedang dan golok.