Pendekar Pemabuk Jilid 03

Jilid 03

07. Dewi Tangan Maut

TERINGAT akan hal ini, ia segera berhenti di bawah sebatang pohon besar dan membuka buntalannya untuk mengeluarkan baju tebalnya yang segera dipakai untuk menahan dingin. Ia menunda perjalanannya dan duduk di bawah pohon menanti datangnya fajar. Akhirnya karena berduka dan lelah, ia tertidur juga di bawah pohon itu sampai pagi.

Beberapa hari kemudian, ia menjadi biasa dengan segala penderitaan ini dan dapat melanjutkan perjalanan dengan hati ringan. Ia tidak mau lagi bermalam di udara terbuka dan selalu menunda perjalanannya dalam sebuah kota atau kampung di waktu malam dan bermalam dalam sebuah kamar di rumah penginapan.

Ia mendengar tentang keindahan kota Ki-ciu yang telah dikagumi semenjak lama dari buku- buku atau penuturan orang-orang ketika ia masih tinggal di gedung ayahnya, maka ia ingin mengunjungi tempat itu. Ia mendengar keterangan pelayan hotel bahwa untuk menuju ke Ki- ciu lebih baik mengambil jalan air, yakni berlayar sepanjang sungai Liang-ho yang selain cepat, juga mempunyai pemandangan yang indah. “Memang masih ada bajak air yang suka mengganggu,” kata pelayan tua itu sambil memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tin Eng. “Akan tetapi, kurasa nona adalah seorang gagah yang tidak takut akan segala bajak pula. Kalau dibandingkan lebih banyak perampok yang mengganggu jalan darat dari pada bajak yang mengganggu jalan air.”

“Terima kasih, lopeh,” jawab Tin Eng. “Keteranganmu ini penting sekali dan aku akan menurut nasehatmu. Akan tetapi, di manakah adanya sungai Liang-ho itu dan apakah aku bisa mendapat perahu untuk dipakai menyeberang?”

“Dari kota ini, nona pergilah ke barat kurang lebih dua puluh mil jauhnya, nona akan tiba di sebuah dusun kecil di pinggir sungai Liang-ho dan di situ nona akan mendapatkan banyak sekali perahu para nelayan yang dapat disewa. Akan tetapi, lebih baik nona memilih perahu yang berlayar putih dan jangan menyewa perahu berlayar hitam.”

“Mengapakah, lopeh?”

“Aku mendengar bahwa kini ada perkumpulan Layar Hitam yang melakukan banyak pemerasan dan perbuatan jahat.”

Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan memberi persen kepada pelayan rumah penginapan itu, Tin Eng lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke barat sebagaimana yang ditunjukkan oleh kakek pelayan itu. Benar saja, setelah berlari cepat sejauh kurang lebih dua puluh li, ia tiba di sebuah dusun yang cukup ramai di dekat sungai yang lebar. Rumah-rumah para nelayan memenuhi dusun-dusun itu dan hampir di setiap rumah tentu terlihat jala yang dijemur atau sedang dijahit dan dibetulkan oleh pemiliknya.

Di pinggir sungai terdapat banyak sekali perahu besar kecil. Benar saja sebagaimana perkiraan pelayan hotel tadi, nampak dua macam layar pada perahu-perahu itu, baik layar yang masih digulung maupun yang sudah dibuka itu. Ada yang berwarna hitam seluruhnya dan ada pula yang berwarna putih. Layar-layar itu sudah penuh tambalan, lebih-lebih yang putih. Beberapa orang nelayan bekerja di perahu masing-masing, ada yang menambal layar, ada yang membetulkan papan perahu, ada pula yang menambal dasar perahu yang bocor.

Tin Eng menghampiri dua orang yang sedang menambal layar putih di pinggir sungai. Kedua orang itu melihat seorang nona muda menghampiri, segera menunda pekerjaan mereka dan bertanya,

“Apakah nona hendak menyewa perahu?”

“Ya, aku ingin pergi ke Ki-ciu, apakah kalian dapat mengantarkan aku ke sana dengan perahumu dan berapakah sewanya?”

Kedua orang itu saling pandang dan yang memakai topi nelayan lebar lalu berkata, “Biasanya kalau hanya menyeberang saja sih tidak mahal, nona, akan tetapi ke Ki-ciu ...” ia berhenti sebentar mengingat-ingat. “Dulu pernah ada orang pergi ke sana dan membayar lima tail perak.”

Tiba-tiba datang seorang tinggi besar ke tempat mereka dan orang ini sambil cengar cengir lalu bertanya kepada Tin Eng, “Apakah nona hendak menyewa perahu? Kemanakah?” Tin Eng memandang tak senang kepada orang itu dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan kamu!”

Kemudian tanpa memperdulikan orang itu, Tin Eng berkata kepada kedua nelayan yang diajaknya bicara tadi. “Begini saja lopeh, aku minta kau mengantar aku ke Ki-ciu dan untuk itu akan kubayar sewanya secukupnya, akupun berani membayar sedemikian.”

“Lima tail perak?” kata orang tinggi besar itu menyela. “Murah amat! Sedikitnya harus lima belas tail perak!” Sambil berkata demikian orang itu menolak pinggang dan memandang kepada kedua orang nelayan itu dengan mata mengancam.

Tin Eng tanpa memperdulikan orang itu lalu berkata kepada dua orang nelayan tadi, “Bagaimana? Berapakah kalian minta?”

Dengan suara berat dan menundukkan kepalanya, nelayan yang lebih tua itu menjawab, “Sedikitnya lima belas tail perak, nona.”

Tin Eng tercengang dan ia mulai mengerling ke arah orang tinggi besar itu dengan penuh perhatian. Ternyata orang itu berwajah kejam dan usianya kurang lebih tiga puluh tahun, matanya lebar dan bertopi nelayan pula, Melihat gerak geriknya, ia tentu seorang yang bertenaga kuat dan mengerti ilmu silat pula. Tin Eng menduga-duga siapakah adanya orang ini, akan tetapi ia tidak mau mencari pertengkaran maka ia lalu menjawab nelayan tua itu, “Baiklah, lopeh aku mau membayar lima belas tail perak.”

Kedua nelayan itu memandang kepada Tin Eng dengan mata mengandung rasa kasihan, akan tetapi tiba-tiba nelayan tinggi besar yang berdiri di belakang Tin Eng itu berkata lagi,

“Harus dibayar di muka sepuluh tail dulu, baru bisa berangkat!”

Kini Tin Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat memutar tubuh menghadapi orang tinggi besar itu sambil membentak,

“Bangsat kasar, tutup mulutmu yang busuk!”

Nelayan tinggi besar itu memandang dengan senyum menyeringai, seakan-akan memandang rendah kepada Tin Eng, lalu berkata, “Aduh, jangan galak-galak, nona. Paling baik kau lekas keluarkan uang muka sepuluh tail perak, kalau tidak jangan harap kau bisa menyewa perahu di sini!”

“Orang liar! Aku tidak berurusan dengan kau dan tidak sudi menyewa perahumu! Mengapa kau harus mencampuri urusanku. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Tin Eng gunakan tangan kirinya untuk mendorong orang itu, akan tetapi sambil tertawa cengar cengir orang itu berkata,

“Ah, agaknya kau mau mengenal kelihaianku!” Lalu cepat ia mengulur tangan hendak menangkap lengan Tin Eng yang mendorongnya itu. Akan tetapi, Tin Eng tentu saja tidak mau ditangkap lengannya begitu saja. Ia lalu menarik kembali tangannya dan mengirim tendangan ke arah lambung nelayan kasar itu. Tendangannya tepat mengenai lambung nelayan itu, akan tetapi biarpun nelayan itu terguling-guling sampai beberapa kali, ia tidak menjadi kapok, bahkan dengan amat marahnya ia lalu melompat bangun dan mencabut goloknya.

“Bangsat perempuan, kau mau mampus?” bentaknya sambil menyerang, akan tetapi dengan cepat sekali Tin Eng telah mencabut pedangnya dan sekali saja pedangnya berkelebat dalam gerakan yang aneh, nelayan kasar itu menjerit ngeri, goloknya terlempar dan lengan tangannya berlumuran darah.

“Bajingan kasar, kalau aku mau, lehermu telah putus!” kata Tin Eng dan nelayan itu tanpa berani berkata apa-apa lagi lalu berlari pergi.

“Siapakah dia?” tanya Tin Eng.

Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Kau mencari penyakit, nona. Dia adalah seorang anggauta Layar Hitam yang telah lama merajalela di sini, dan kami perkumpulan Layar Putih selalu diperasnya. Kami harus menyerahkan setengah bagian dari pada hasil yang kami peroleh kepada mereka, karena itulah maka mereka yang menetapkan tarif sewa perahu.”

“Bangsat benar! Jangan kuatir, aku akan membasmi mereka!” kata Tin Eng dengan marah sekali.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras yang nyaring dari atas sebuah perahu besar, dan ketika Tin Eng dan kedua orang nelayan itu menengok, ternyata di atas perahu besar yang berlayar putih dan masih tergulung, berdiri seorang perempuan muda dengan sikap gagah. Perempuan itu usianya sebaya dengan Tin Eng, tubuhnya tegap langsing dan rambutnya dikuncir panjang, akan tetapi yang pada saat itu diselipkan di dalam punggungnya. Kepalanya memakai sebuah kopiah bulu yang halus, pakaiannya dari sutera mahal. Ia berdiri dengan gagah dan berteriak nyaring,

“Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) ! Keluarlah untuk terima binasa!”

Teriakan ini ia keluarkan berulang-ulang. Beberapa nelayan yang bertopi seperti nelayan tinggi besar yang dikalahkan oleh Tin Eng tadi melompat naik sambil memaki. Akan tetapi beberapa kali saja dua kaki gadis gagah itu bergerak, empat orang nelayan yang mencoba untuk menyerbunya itu kena ditendang dan tercebur ke dalam air.

“Ha ha!” Gadis itu tertawa keras. “Kalian ini anjing-anjing rendah, mengapa tak tahu diri dan berani mendekati Dewi Tangan Maut? Suruh Hek-liong-ong si anjing tua itu keluar. Aku tidak sudi berurusan dengan anjing-anjing kentut sekalian!”

Tin Eng memandang kagum dan ia bertanya kepada nelayan tua yang berdiri dengan wajah pucat. “Lopeh, siapakah Hek-liong-ong yang ia tantang itu?”

“Hek-liong-ong adalah ketua dari perkumpulan Layar Hitam! Kalau nona itu betul-betul Dewi Tangan Maut, akan hebatlah pertempuran nanti!”

“Siapakah Dewi Tangan Maut?” tanya pula Tin Eng dengan hati amat tertarik. Nelayan tua itu memandang kepada Tin Eng dengan mata heran karena ada orang yang belum mendengar nama ini. “Dia adalah seorang pendekar wanita yang ditakuti orang karena gagah berani dan ganas!”

Tin Eng merasa suka kepada nona pendekar itu, maka ia lalu berjalan lebih dekat untuk melihat apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, dari dusun itu keluarlah seorang laki-laki berbaju putih bercelana hitam dan yang memakai topi seperti para anggauta Layar Hitam itu. Tindakan kakinya tetap dan kuat, menandakan bahwa ilmu silatnya tinggi. Mukanya hitam dan rambutnya sudah banyak yang putih, akan tetapi mukanya amat kejam dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya liar.

Ia diikuti oleh belasan orang anggauta Layar Hitam. Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri perahu di mana Dewi Tangan Maut itu masih berdiri, dan ketika nona itu melihat kedatangan Hek-liong-ong, ia tertawa dan sambil tersenyum manis ia berkata,

“Hek-liong-ong! Aku telah datang untuk menghancurkan kau yang penuh kejahatan itu!”

Marahlah Hek-liong-ong mendengar hinaan ini. Dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke atas perahu besar, sedangkan dua orang kawannya pun melompat ke atas perahu kecil yang berada di dekat perahu besar itu, siap untuk membantu Hek-liong-ong. Kedua orang ini adalah dua orang wakil kepala Layar Hitam yang berkepandaian tinggi pula, seorang setengah tua yang menjadi sute (adik seperguruan) Hek-liong-ong dan seorang pula masih muda dan berkopiah putih yang juga memiliki ilmu silat tinggi.

Sementara itu, belasan orang anak buah perkumpulan Layar Hitam berdiri di tepi sungai sambil bertolak pinggang. Agaknya hendak menghadang kalau Dewi Tangan Maut akan melarikan diri ke atas darat! Sikap mereka mengancam dan bengis sekali.

Setelah berada di atas perahu besar dan berdiri menghadapi Dewi Tangan Maut yang memandangnya dengan mengejek dan bertolak pinggang, Hek-liong-ong menunjuk dengan tangan kirinya dan berkata keras,

“Dewi Tangan Maut! Kau mau merajalela di darat mengapa berlancang tangan dan mengotorkan keadaan di sungai? Apa kau kira aku Hek-liong-ong takut kepadamu?”

“Hek-liong-ong,” jawab dara pendekar itu sambil tersenyum tenang. “Tak perlu dipersoalkan darat atau sungai, tak perlu dipersoalkan pula tentang kau takut kepadaku atau pun tidak!

Akan tetapi yang penting ialah bahwa kau telah berlaku terlampau kejam dan berbuat sewenang-wenang! Kau telah menyiksa seorang nelayan, menyeretnya di atas tanah dengan berkuda sehingga orang itu hampir mati tersiksa sedangkan kemarin kau telah menyiksa pula seorang nelayan yang kau ikat kaki tangannya dan kau tenggelamkan berkali-kali ke dalam air sehingga ia mati! Perbuatan ini lebih kejam dari pada perbuatan binatang liar, dan setelah aku Dewi Tangan Maut mendengar tentang hal ini, apa kau kira aku bisa mendiamkan saja kekejaman ini merajalela, biar di atas sungai sekalipun?”

“Dewi Tangan Maut! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Hal yang terjadi itu adalah urusan dalam perkumpulanku sendiri dan tak seorangpun boleh mencampurinya! Aku menghukum nelayan-nelayan yang berdosa, apakah sangkut pautnya dengan kau?” Kembali nona pendekar itu tertawa menghina. “Kalau kau menghukum orang-orangmu sendiri yang kesemuanya terdiri dari bajak-bajak dan penjahat-penjahat, aku takkan perduli sama sekali! Akan tetapi justru yang kau siksa itu adalah nelayan-nelayan biasa, orang baik- baik yang tidak mau menurut perintahmu!”

Makin marahlah Hek-liong-ong. Ia mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang dayung dan membentak, “Perempuan sombong! Habis kau mau apa?”

“Bagus, bagus sudah kuduga bahwa anjing tua yang mau mampus tentu akan menyalak- nyalak dulu!” jawab nona itu sambil mencabut pedangnya.

Hek-liong-ong menyerbu dengan sepasang dayungnya yang hebat itu, akan tetapi lawannya mengelak dengan mudah dan mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Pertempuran hebat itu ditambah pula dengan majunya dua orang wakil ketua Layar Hitam sehingga menjadi makin seru. Gadis yang diberi julukan Dewi Tangan Maut itu benar-benar gagah perkasa, karena biarpun dikeroyok oleh Hek-liong-ong yang mainkan sepasang dayung secara hebat dan oleh dua orang yang mainkan golok secara buas pula.

Namun ia dapat melayani mereka dengan baik bahkan melancarkan serangan-serangan pembalasan yang benar-benar merupakan tangan maut karena sekali saja serangan pedangnya mengenai sasaran, pasti lawannya yang terkena akan tewas di saat itu juga. Tin Eng merasa kagum dan juga bergidik, karena ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas sekali.

Sementara itu, belasan orang yang menjadi anak buah Layar Hitam itu kini telah bertambah jumlahnya dan menjadi kurang lebih tiga puluh orang. Sikap mereka mengancam sekali dan ketika mereka melihat betapa ketiga orang ketua mereka tak dapat menangkan Dewi Tangan Maut, mereka mulai berteriak-teriak hendak maju mengeroyok.

Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru, “Tenggelamkan perahunya! Biarkan ia tenggelam dalam air, tentu tidak berdaya!”

Tin Eng merasa terkejut mendengar maksud keji ini dan ia telah melihat betapa belasan orang mulai menyeburkan diri ke dalam air untuk menggulingkan perahu di mana ketiga pemimpin Layar Hitam itu sedang mengeroyok Dewi Tangan Maut.

“Cici, kau lompatlah segera ke darat! Mereka hendak menggulingkan perahu!” Tin Eng berteriak keras sambil melompat mendekati pantai dan ketika tiga orang anggauta Layar Hitam dengan marah menyerangnya, ia merobohkan mereka dengan sekali dorong.

Dewi Tangan Maut merasa marah sekali mendengar tentang maksud curang ini. Pedangnya bergerak cepat dan terdengar jerit kesakitan dan darah tersembur keluar dari dada seorang di antara ke tiga pengeroyoknya, yakni sute dari Hek-liong-ong. Korban ini roboh dengan dada tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga. Hal ini membuat Hek-liong-ong dan seorang kawannya menjadi jerih.

Pada saat itu perahu sudah mulai bergoyang-goyang dan Dewi Tangan Maut segera melompat ke darat, diikuti oleh Hek-liong-ong dan anak buahnya yang mengejar. Maka terjadilah pertempuran di darat yang lebih hebat dari pada pertempuran di atas perahu tadi. Dewi Tangan Maut dikeroyok oleh puluhan orang. Akan tetapi sambil putar-putar pedangnya, nona pendekar itu masih sempat memandang kepada Tin Eng dan tersenyum manis sambil berkata, “Adik yang baik, terima kasih.”

Melihat betapa nona pendekar itu dikeroyok oleh demikian banyak orang yang semuanya memegang senjata, Tin Eng menjadi tak tega dan sambil mencabut pedangnya, ia menyerbu dan membentak,

“Kawanan tikus tak tahu malu! Jangan mengandalkan keroyokan menghina orang!”

Hebat sekali permainan pedang Tin Eng ini. Setiap kali pedangnya berkelebat, tentu senjata seorang lawan kena dibikin terlepas dan tangan yang memegang terluka. Terdengar jerit dan pekik karena sakit dan terkejut, bahkan Dewi Tangan Maut itu sendiri merasa kagum dan terkejut melihat kehebatan sepak terjang Tin Eng. Akan tetapi, Tin Eng tidak seganas dia sehingga lawan-lawan yang kena dirobohkan oleh Tin Eng tidak ada yang menderita luka berat, sungguhpun mereka itu tak dapat maju mengeroyok pula.

Sedangkan Dewi Tangan Maut ketika melihat kehebatan Tin Eng, tidak mau kalah. Ia berseru nyaring dan ketika pedangnya berkelebat cepat beberapa kali, robohlah tiga orang anak buah Layar Hitam dengan dada tertembus pedang atau leher terbacok sehingga mereka tewas pada saat itu juga.

Melihat ini Tin Eng mendapat pikiran untuk merobohkan kepala penjahat dulu, karena kalau dilanjutkan semua anak buah Layar Hitam ini bisa mati semua dalam tangan Dewi Tangan Maut yang ganas. Ia melompat dan cepat mengirim serangan kepada Hek-liong-ong yang menjadi terkejut karena menghadapi serangan Dewi Tangan Maut sendiri saja ia sudah merasa sibuk, apalagi kini ditambah oleh seorang lawan lain yang tidak kalah lihainya.

Di dalam kegugupannya, tangan kanannya tersabet oleh pedang Tin Eng sehingga sambil menjerit, ia melepaskan dayungnya dan segera teriakannya itu disambung dengan pekik hebat karena Dewi Tangan Maut telah menggerakkan pedangnya menabas batang lehernya. Pemuda yang menjadi pembantunya itu melihat kejadian ini menjadi terkejut dan kesima, sehingga sebelum ia tahu apa yang terjadi, kembali pedang Dewi Tangan Maut menyambar dan menusuk dadanya sehingga iapun rebah mandi darah dan tewas.

Tin Eng merasa ngeri sekali dan segera ia menahan pedangnya. Akan tetapi dengan wajah gembira, Dewi Tangan Maut mengamuk terus sehingga beberapa orang anak buah Layar Hitam kembali menjadi korban pedangnya.

“Cici, tahan dan ampuni mereka!” kata Tin Eng sambil melompat dan menahan amukan pendekar wanita yang ganas itu. Kemudian Tin Eng berseru kepada semua anggauta Layar Hitam, “Lemparkan senjata dan berlututlah untuk menyerah!”

Memang semua anggauta gerombolan itu telah menjadi ketakutan dan ngeri melihat kehebatan kedua pendekar wanita itu, maka mendengar bentakan ini mereka lalu melempar pedang masing-masing dan berlutut minta ampun.

Dewi Tangan Maut tertawa bergelak dan sambil menggerak-gerakkan pedangnya mengancam, ia berkata, “Untung bahwa hari ini ada bidadari penolong yang mintakan ampun untuk jiwa anjing kalian, kalau tidak, jangan harap ada seorang pun penjahat yang dapat lolos dari ujung pedangku! Mulai sekarang, jangan kalian berani-berani lagi mengganas. Uruslah semua mayat ini baik-baik dan harap kalian dapat bekerja sama dengan para nelayan lain. Kalau lain kali aku mendengar lagi akan kejahatan kalian, aku takkan mau memberi ampun lagi, biarpun kalian berlutut seribu kali!”

Para anggauta Layar Hitam itu lalu mengangkat semua mayat dan mengurusnya baik-baik, dibantu oleh nelayan-nelayan biasa dan anggauta-anggauta Layar Putih yang diam-diam merasa girang sekali karena kejahatan yang selalu menekan dan mengganggu mereka itu akhirnya dapat terbasmi sekali gus. Dewi Tangan Maut menghampiri Tin Eng dan sambil tersenyum bertanya,

“Adik yang gagah perkasa, siapakah kau? Ilmu pedangmu sungguh-sungguh mengagumkan hatiku!”

“Kepandaianku biasa saja, mana dapat dibandingkan dengan cici yang benar-benar merupakan Dewi Penyebar Maut? Aku bernama Liok Tin Eng, tidak tahu cici ini bernama siapakah?”

“Namaku Kui Hwa, she Tan. Aku anak murid Hoa-san-pai dan aku paling benci kepada kejahatan. Adik Eng, kau ternyata berhati lemah dan sebenarnya keliru sekali perbuatanmu tadi yang memberi ampun kepada para penjahat. Orang-orang kejam macam mereka itu harus dibasmi, barulah keadaan menjadi benar-benar aman!”

“Akan tetapi, Tan-cici, mereka juga manusia dan kalau kiranya masih dapat diusahakan, lebih baik mengampuni mereka agar mereka berubah menjadi orang baik-baik.”

Kui Hwa tersenyum, lenyaplah sifat galaknya, bahkan dalam pandangan Tin Eng, dara pendekar ini nampak cantik jelita dan manis sekali, pantas disebut Dewi. “Mungkin kau benar, adikku, akan tetapi, lebih besar kemungkinan kau akan kecele, karena biasanya orang yang mempunyai dasar jahat sukar sekali untuk diperbaiki lagi.”

Tin Eng hanya tersenyum saja mendengar pendapat Dewi Tangan Maut itu, tidak mau membantah sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan pendapat ini.

“Adik Tin Eng, sebetulnya kau hendak ke manakah maka sampai bisa datang ke tempat ini?” tanya Kui Hwa yang ramah tamah.

“Aku hendak menyewa perahu ke Ki-ciu. Telah lama aku mendengar keindahan Ki-ciu dan ingin merantau ke sana meluaskan pengalaman. Kebetulan sekali aku bertemu dengan gerombolan Layar Hitam sehingga kalau seandainya cici tidak datang turun tangan, tentu aku pun akan bertempur dengan mereka.” Tin Eng lalu menceritakan tentang pertempurannya dengan seorang anggauta Layar Hitam yang kasar tadi.

Si Dewi Tangan Maut mengangguk-angguk dan berkata, “Memang tadi telah kulihat betapa lihainya ilmu silatmu. Aku ingin memperkenalkan kau kepada kawan-kawanku dan biarlah lain kali kita bertemu pula.”

Kemudian Tin Eng menyewa perahu Layar Hitam yang paling baik dan dua orang anggauta Layar Hitam yang telah berubah amat baik dan menghormati sikapnya, lalu mendayung perahu itu ke tengah sungai. Setelah tiba di sungai, layar dikembangkan dan perahu kecil itu melaju menuju Ki-ciu.

Benar saja, pemandangan alam di kanan kiri sungai itu amat indahnya sehingga Tin Eng merasa gembira sekali. Terutama apabila ia teringat kepada Dewi Tangan Maut yang kini telah menjadi seorang kenalan baik. Ia merasa kagum kepada nona pendekar itu dan hatinya makin gembira apabila ia ingat bahwa di dalam perantauan ini ia tentu akan bertemu dengan orang-orang gagah seperti nona she Tan itu. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada waktu itu Bun Gwat Kong, pelayannya yang menjadi biang keladi perantauannya ini sedang menuju ke Kang-lam untuk mencari Tan Kui Hwa atau Dewi Tangan Maut yang menjadi puteri dari musuh besarnya.

Juga gadis ini tidak pernah menduga bahwa ia sedang berada di dalam bahaya dan bahwa ucapan Dewi Tangan Maut tadi yang menyatakan bahwa penjahat-penjahat itu patut dibasmi karena dasarnya jahat akan tetap jahat! Karena di luar persangkaannya, kedua orang anggauta Layar Hitam yang kini mengemudi perahu yang ditumpanginya ternyata mengandung maksud jahat terhadap dirinya.

Hari telah mulai senja ketika perahu itu tiba di dalam sebuah hutan yang amat luas dan gelap. Juga sungai menjadi lebar ketika tiba di tempat ini, akan tetapi karena tidak ada angin, maka layar digulung dan perahu itu bergerak maju mengandalkan tenaga pendayung dari kedua orang itu. Perahu maju perlahan-lahan dan ketika tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba perahu itu berhenti.

Tin Eng hendak menegur kedua orang yang berhenti mendayung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara suitan keras dari pinggir sebelah kiri dan kedua orang itu lalu membalas suara itu dengan bersuit keras pula. Sebelum Tin Eng dapat bertanya, kedua orang itu tiba-tiba lalu menyeburkan diri ke dalam air dan berenang ke pantai, meninggalkan perahu yang berhenti di tengah-tengah sungai.

Karena memang mereka tadi sengaja menghentikan perahu di tempat yang terhalang oleh batu-batu karang yang menonjol di tengah-tengah sungai. Tin Eng merasa terkejut dan heran sekali dan hatinya mulai merasa tidak enak.

“Hai! Kalian hendak pergi kemana?” tegurnya kepada dua orang pendayung tadi, akan tetapi kedua orang itu telah mendarat lalu lari ke dalam hutan dan lenyap.

Tin Eng merasa bingung sekali. Untuk mendayung perahu itu ia tidak sanggup karena ia memang tidak pernah mengemudikan perahu. Untuk melompat ke tepi pun tak mungkin karena letaknya kedua tepi di kanan kiri itu sedikitnya ada lima belas tombak dari perahunya. Berenangpun ia tak pandai.

Tak lama kemudian, dari pantai sebelah kiri muncullah banyak sekali orang yang membawa perahu-perahu kecil yang segera diturunkan ke dalam air. Mereka ini ternyata adalah bajak air yang telah mendapat berita dari dua orang anggauta Layar Hitam yang sengaja hendak membalas dendam.

Sebelumnya para anggauta Layar Hitam itu adalah bekas-bekas bajak air yang mengandalkan kekejaman mereka atas pengaruh bajak air ini dan mereka selalu membagi hasil-hasil pemerasan mereka kepada bajak-bajak ini sehingga tentu saja ketika mendengar betapa tiga orang pemimpin Layar Hitam terbunuh dan perkumpulan itu diobrak-abrik oleh Tin Eng dan Dewi Tangan Maut, mereka menjadi marah dan hendak membalas dendam.

Akan tetapi yang menarik perhatian kepala bajak itu adalah cerita kedua orang anggauta Layar Hitam tadi bahwa gadis yang menumpang di dalam perahu mereka dan yang telah ikut menghancurkan perkumpulannya adalah seorang gadis cantik jelita. Kepala bajak ini adalah seorang bajak muda yang rakus akan paras cantik, maka begitu mendengar berita ini ia lalu mengerahkan anak buahnya untuk pergi mengeroyok dan menangkap gadis itu.

Melihat orang banyak itu, Tin Eng maklum bahwa mereka tentulah penjahat-penjahat yang bermaksud jahat, maka ia segera mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serbuan mereka. Diam-diam ia merasa gemas sekali kepada dua orang tukang perahu tadi dan mengakui kebenaran ucapan Dewi Tangan Maut, maka ia mengambil keputusan untuk membasmi orang jahat ini sampai ke akar-akarnya.

Perahu-perahu kecil itu segera di dayung dan sebentar saja perahu yang ditumpangi oleh Tin Eng dikurung dari segala jurusan. Kepala bajak yang mengenakan pakaian biru dan dengan sepasang kampak di tangan berdiri di kepala perahu terdepan dengan sikap gagah. Di sebelahnya berdiri dua orang tukang perahu anggauta Layar Hitam yang melapor tadi.

Tin Eng memandang ke arah mereka dengan mata merah. “He, kalian hendak berbuat apakah?” tanyanya dengan gemas.

08. Kehilangan Kitab Pusaka

KEDUA orang anggauta Layar Hitam itu tertawa saja dan seorang di antaranya lalu berkata dengan suara mengejek, “Nona, kau hendak kami jodohkan dengan Liang-ho Siauw-liong (Naga Muda dari Liang-ho), tentu kau akan mengalami kesenangan besar! Ha ha ha!”

“Bangsat rendah! Kau telah mendapat ampun, apakah benar-benar kalian hendak mencari mampus?”

Tiba-tiba kepala bajak itu tertawa dengan girang. Ia telah melihat bahwa dara muda itu benar- benar cantik jelita, maka kini mendengar suaranya yang nyaring dan sikapnya yang gagah, ia lalu berkata,

“Nona manis, kau telah terkurung dan berada dalam kekuasaanku, lebih baik kau menyerah saja karena percuma kalau kau mau melawan juga!”

“Bangsat keji! Kau kira nonamu takut menghadapi tikus-tikus air semacam kau dan anak buahmu? Naiklah kalian semua ke sini kalau hendak mencari mampus di ujung senjataku!” tantang Tin Eng dengan tabah dan marah.

Liang-ho Siauw-liong tertawa bergelak-gelak lalu memberi perintah kepada anak buahnya, “Tangkap padanya, akan tetapi jangan melukainya! Gunakan tali untuk menyeretnya ke air dan kemudian mengikatnya kuat-kuat!”

Mendapat perintah ini, para bajak lalu mendayung perahu mereka mendekati perahu di mana Tin Eng berdiri menanti dengan pedang ditangan. Mereka membawa senjata berupa tambang dan kaitan-kaitan kayu, ada pula yang membawa dayung untuk mendorong gadis itu ke dalam air. Dengan mata tajam Tin Eng melihat lagak itu dan hanya menjaga untuk segera bergerak begitu ada bajak naik ke atas perahu.

Benar saja, dari sebelah kiri perahu melompat dua orang bajak yang membawa tambang, disusul oleh tiga orang pula yang melompat ke kanan perahu. Akan tetapi mereka itu segera menjerit kesakitan ketika Tin Eng menyambar dengan pedangnya dan begitu ia menggerakkan tangannya, pedang itu telah melukai mereka yang segera terguling ke dalam air.

Bajak lain menjadi jerih. Tak pernah mereka sangka bahwa gadis itu selihai ini, maka kini tidak ada yang berani mencoba untuk naik ke perahu Tin Eng lagi. Bahkan perahu-perahu kecil itu segera di dayung menjauhi dan para bajak yang terluka tadi lalu ditolong.

“Ilmu pedangnya lihai sekali, harap tai-ong berhati-hati,“ kata dua orang anggauta Layar Hitam tadi.

Liang-ho Siauw-liong merasa marah sekali melihat betapa lima orang anak buahnya dengan amat mudah dijatuhkan oleh Tin Eng, maka ia lalu memberi aba-aba.

“Terjun ke air dan gulingkan perahunya!”

Tin Eng merasa terkejut sekali mendengar perintah ini. Kalau mereka benar-benar menggulingkan perahunya, maka celakalah dia! Biarpun di darat ia tak perlu takut menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi kalau sampai ia terjatuh ke dalam air, jangankan menghadapi keroyokan, baru menghadapi seorang bajak biasa yang pandai berenang saja ia takkan berdaya sama sekali. Ia melihat betapa bajak-bajak itu meninggalkan perahunya dan mulai terjun ke dalam air untuk berenang menghampiri perahu di mana ia berdiri.

Tin Eng teringat akan kantong piauwnya, maka dengan gemas ia lalu mengeluarkan segenggam piauw dan memindahkan pedang ke dalam tangan kiri. Ia pernah mempelajari ilmu melepas piauw dari ayahnya dan dalam hal kepandaian melempar piauw ia telah memiliki kepandaian yang boleh juga. Ia membidik dengan hati-hati dan begitu tangannya berayun ke arah bajak yang berenang di air, piauw itu tepat sekali menancap di tubuh bajak sehingga bajak itu menjerit kesakitan dan terus tenggelam ke dalam air. Tin Eng membagi- bagi hadiah dengan piauwnya itu ke seluruh penjuru. Di mana terlihat tubuh bajak bergerak di dalam air, ia segera mengayun tangannya hingga tak lama kemudian banyak sekali bajak yang ia tewaskan.

Dalam kegembiraannya ia telah menghabiskan banyak sekali senjata piauwnya dan ketika ia merogoh kembali ke kantong piauw, ia merasa terkejut sekali, karena piauwnya hanya tinggal tiga buah lagi! Ia membawa dua puluh batang piauw dan ternyata ia telah menyambitkan tujuh belas batang yang kesemuanya mengenai sasaran dengan tepat. Kini para bajak itu tidak berani berenang di permukaan air dan segera menyelam untuk menghindarkan diri dari piauw gadis yang tangguh itu, sehingga Tin Eng mulai kuatir sekali.

Melihat betapa kepala bajak itu berdiri di kepala perahu dan memberi perintah, ia menjadi gemas dan segera tangannya terayun dan sekali gus tiga batang piauwnya menyambar ke arah kepala bajak itu dan ke arah dua orang anggauta Layar Hitam yang berdiri di dekat Liang-ho Siauw-liong. Terdengar jerit kesakitan dan tubuh kedua orang anggauta Layar Hitam itu terjungkal dari perahu, masuk ke dalam air sungai. Akan tetapi sambil tertawa bergelak dan sama sekali tidak memperdulikan dua orang yang menjadi korban senjata rahasia itu, ia menggerakkan kampak di tangan kanannya untuk menangkis piauw yang menyambar ke arah tubuhnya sehingga senjata kecil itu terpukul jatuh ke dalam air.

Kini Tin Eng merasa betul-betul gelisah. Piauwnya telah habis dan apa dayanya? Ia melihat ke kanan kiri dan ke dalam air, akan tetapi tidak melihat ada anggauta bajak yang berenang di bawah permukaan air dan kini perahunya tiba-tiba mulai bergoyang-goyang.

Hampir saja Tin Eng terjatuh, ia terhuyung-huyung dan mempertahankan dirinya di atas perahu agar supaya tidak terlempar keluar ke dalam air. Akan tetapi perahu itu makin miring dan sebentar pula tentu terbalik. Tin Eng melihat sebuah perahu bajak kosong, yang jauhnya tiga tombak lebih dari tempatnya, maka sambil berseru keras ia melompat ke arah perahu itu. Akan tetapi, begitu ia turun menginjak perahu itu, ia segera terjatuh karena perahu kecil itu tidak kuat menerima tubuhnya yang melompat dengan keras. Perahu itu terguling, membawanya ikut terguling ke dalam air.

Tin Eng bergulat dengan air yang membuatnya tak berdaya. Beberapa kali ia terpaksa minum air sungai dan ketika ia merasa ada tangan meraba dan hendak menangkapnya, ia memukul dengan tangan kanannya sehingga bajak yang mencoba untuk menangkapnya itu memekik dan melepaskan pegangannya. Biarpun berada dalam keadaan tak berdaya, namun Tin Eng masih berbahaya dan tak mudah ditangkap.

“Biarkan dia lemas dulu!” terdengar suara Liang-ho Siauw-liong berkata keras sambil mendayung perahunya mendekat.

Tin Eng sudah menjadi lemas sekali dan hampir pingsan. Ia masih mendengar betapa tiba-tiba terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan para bajak itu dan ia merasa betapa tubuhnya terikat oleh sehelai tali yang kuat, lalu tubuhnya di tarik ke sebuah perahu. Ia tak dapat melihat lagi siapa yang melakukan ini, akan tetapi ia merasa tubuhnya diangkat ke dalam perahu. Ia membuka mata dan melihat bahwa yang menolongnya adalah Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut.

Nona pendekar itu tersenyum dan berkata, “Untung kau belum terlalu banyak minum air, adikku yang baik. Akan tetapi sedikit air yang memenuhi perutmu itu perlu dikeluarkan. Kau menurutlah saja!”

Setelah berkata demikian, Kui Hwa lalu peluk tubuh Tin Eng dan menjungkirkan tubuh itu dengan kaki ke atas dan kepala di bawah. Maka mengalirlah air dari mulut Tin Eng.

Setelah air yang memenuhi perut itu dikeluarkan, Tin Eng lalu berkata, “Cici, Kui Hwa, mana keparat-keparat itu?”

“Mereka melarikan diri ke darat.”

“Mari kita kejar!” kata Tin Eng dengan marah sekali.

Kedua orang gadis itu lalu mendayung perahu mereka ke darat. Ternyata bahwa Kui Hwa merasa curiga terhadap dua orang anak buah Layar Hitam yang mendayung perahu Tin Eng dan dengan diam-diam ia lalu mengikuti perahu itu dari darat. Ia melihat betapa Tin Eng dikeroyok, maka dapat menolong pada saat yang tepat. Dengan mudah ia melompat ke dalam perahu itu dan merampas tambang yang tadinya hendak digunakan untuk mengikat kaki dan tangan Tin Eng. Dengan kepandaiannya yang mengagumkan, Dewi Tangan Maut itu berhasil melemparkan ujung tali yang mengikat tubuh Tin Eng dan menolong gadis itu sebelum terjatuh ke dalam tangan bajak.

Liang-ho Siauw-liong pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut, maka melihat pendekar wanita itu muncul ia lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk melarikan diri.

Setelah mendarat, Kui Hwa dan Tin Eng lalu mengejar ke dalam hutan. Tak lama kemudian mereka dapat mencari tempat tinggal para bajak itu di tengah hutan dan kedua nona itu segera menyerbu dengan pedang di tangan.

“Serahkanlah kepala bajak itu kepadaku, cici!” kata Tin Eng yang merasa marah sekali.

Kawanan bajak menjadi kacau balau karena tidak pernah menyangka bahwa kedua orang dara itu berani menyerbu ke dalam hutan yang liar dan gelap, maka mereka lari cerai berai.

Sedangkan kepala bajak Liang-ho Siauw-liong beserta beberapa belas orang yang memiliki kepandaian dan menjadi pembantu-pembantunya segera mengeroyok Kui Hwa dan Tin Eng.

Akan tetapi mereka bukanlah lawan dari kedua pendekar wanita ini dan sebentar saja beberapa orang bajak yang mengeroyok telah kena dirobohkan. Liang-ho Siauw-liong sendiri didesak hebat oleh Tin Eng dan biarpun permainan sepasang kampak di tangannya amat lihai dan cepat, akan tetapi menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tin Eng, ia menjadi terdesak hebat dan pada satu saat pedang Tin Eng berhasil membacok putus sebelah lengannya.

Kepala bajak itu roboh pingsan dan Tin Eng merasa lega serta tidak tega untuk mengirim tusukan yang terakhir. Ia meninggalkan tubuh lawan, dan membantu Kui Hwa mengamuk, sehingga para bajak itu menjadi jerih dan sisanya yang masih hidup lalu melarikan diri, tak kuat menghadapi dua ekor harimau betina yang mengamuk itu.

Kemudian Tin Eng mencari buntalan pakaiannya yang terampas dan untung sekali bahwa buntalannya masih terdapat di situ. Hatinya menjadi lega ketika ia memeriksa buntalannya, ternyata barang-barangnya berikut kitab pelajaran pedang Sing-eng Kiam-hoat masih ada di dalam bungkusan.

Ia memeluk Kui Hwa dan berkata, “Cici Kui Hwa, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau tidak ada yang menolong entah bagaimana jadinya dengan aku.”

“Ah, tak perlu kau berterima kasih, kawan! Orang-orang seperti kita harus tolong menolong. Akupun amat membutuhkan pertolonganmu untuk menghadapi musuh-musuhku.”

“Musuh-musuhmu? Siapakah mereka, cici?”

Kui Hwa lalu menceritakan tentang permusuhan dengan orang-orang cabang Go-bi-pai. “Kami pihak Hoa-san-pai selalu mengalah, akan tetapi orang-orang Go-bi-pai itu benar-benar tak tahu diri dan selalu mencari permusuhan dengan kami. Terutama sekali Seng Le Hosiang yang tiada hentinya berusaha menebus kekalahannya dan mulai menghasut orang-orang gagah dari luar untuk memusuhi kami.” Bukan main terkejutnya hati Tin Eng mendengar penuturan ini. Betapapun juga, ia boleh dibilang seorang anak murid Go-bi-pai pula.

“Cici yang baik, terus terang saja kau telah menuturkan keburukan Go-bi-pai kepada seorang anak muridnya!”

Kui Hwa melompat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa?? Kau juga anak murid Go-bi? Ah, jangan kau main-main kawan. Ku lihat ilmu pedangmu sama sekali bukan dari Partai Go-bi-san. Aku kenal baik ilmu silat Go-bi-pai, maka jangan kau mencoba untuk mempermainkan dan membohongi aku!”

Tin Eng tersenyum, lalu berkata, “Kau lihatlah baik-baik, cici!” Setelah berkata demikian, dara muda ini lalu bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai sebagaimana yang dipelajari dari ayahnya. “Kenalkah kau ilmu silat ini?” tanyanya lalu menghentikan gerakannya.

Kui Hwa lalu mencabut pedangnya dan berseru, “Kau benar-benar anak murid Go-bi-pai! bagus mari kita akhiri di ujung pedang!”

Tin Eng mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, “Cici yang baik, kau tadi menyatakan heran bahwa orang-orang Go-bi-pai selalu memusuhi kalian orang-orang Hoa- san-pai. Akan tetapi melihat sikapmu ini, bukankah kau yang menunjukkan sikap bermusuhan? Lihatlah saja, Kau mencabut pedang terhadap aku yang tidak menganggapmu sebagai musuh, bukankah ini tidak sesuai dengan kata-katamu tadi?”

Kui Hwa tersadar dan ia cepat memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang lalu tersenyum dan berkata dengan muka merah, “Maaf, adik Tin Eng. Baru sekarang aku melihat seorang anak murid Go-bi-pai tidak mengambil sikap bermusuhan terhadapku, maafkan sikapku tadi.”

Tin Eng memegang lengan Kui Hwa dan berkata,” Cici Kui Hwa, agaknya kau telah dibikin sakit hati sekali oleh orang-orang Go-bi-pai, maka kau membenci mereka. Akan tetapi kau lihat sekarang bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat dan memusuhimu.

Marilah kita melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bukankah kau hendak ke Ki- ciu?”

“Tidak, adik Tin Eng. Aku hendak kembali ke Kang-lam, dan kau lanjutkanlah perjalananmu ke Ki-ciu. Akan tetapi, lebih baik kau ambil jalan darat saja. Dari sini kau terus ke selatan, setelah tiba di dusun kedua kau membelok ke timur. Ki-ciu terletak kurang lebih lima puluh li dari situ.”

“Cici, melihat mukaku apakah kau mau menghabisi saja permusuhan dengan pihak Go-bi? Aku merasa sedih sekali melihat kau bermusuhan dengan pihak Go-bi, karena secara tak langsung akupun anak murid Go-bi-san, sebab ayahku adalah murid Go-bi-san pula. Seperti kau ketahui, permusuhan itu merupakan permusuhan pribadi dan jangan membawa-bawa cabang persilatan menjadi musuh, buktinya akupun tidak memusuhi kau, cici!”

Kui Hwa menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Adikku yang baik, agaknya kau belum banyak merantau dan belum banyak mengalami hal-hal yang mengecewakan, sehingga kau tidak mengetahui keadaan. Permusuhan ini sudah amat mendalam dan sesungguhnya bukan datang dari pihak kami. Sudah banyak kami menerima hinaan dari pihak Go-bi, maaf, adik Tin Eng. Memang sesungguhnya jarang sekali terdapat anak murid Go-bi- pai seperti kau!”

“Apakah kau pernah mengalami hinaan? Dari siapakah?”

Kembali Kui Hwa menarik napas panjang. “Kalau diceritakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Semenjak memiliki sedikit kepandaian silat, sudah menjadi kebiasaan ku untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Beberapa bulan yang lalu pernah aku mengejar seorang jai-hwa-cat (penjahat pengganggu anak bini orang) dan kebetulan sekali penjahat itu juga memiliki ilmu-ilmu silat dari cabang Go-bi. Ia telah tersusul olehku dan tentu ia akan binasa di ujung pedangku, kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang tosu dan muridnya, yang terang-terangan membela orang-orang Go-bi-pai. Aku dikalahkan oleh murid tosu itu dan mendapat hinaan dari mereka. Tosu itu bernama Bong Bi Sianjin dan muridnya bernama Gan Bu Gi.”

Tin Eng merasa terkejut sekali, akan tetapi ia dapat menahan perasaan ini dan berkata, “Hinaan apakah yang mereka lakukan terhadapmu, cici?”

“Biarlah lain kali saja kuceritakan padamu, adik Tin Eng. Sekarang telah jauh malam, lebih baik kita melanjutkan perjalanan masing-masing.”

Tin Eng maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa dan gadis itu yang baru saja dikenalnya masih belum percaya penuh untuk menceritakan hal itu kepadanya. Mereka lalu berpisah dan Tin Eng melanjutkan perjalanannya menuju ke Ki-ciu dan setelah keluar dari hutan, lalu melalui jalan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kui Hwa. Sementara itu Kui Hwa mengambil jalan lain ke Kang-lam.

****

Dua hari kemudian Tin Eng tiba di Ki-ciu. Ia mendapat kenyataan bahwa kota ini memang benar-benar indah sehingga gadis ini merasa amat gembira. Selain bangunan-bangunan yang besar dan megah memenuhi kota hingga membuat kota itu nampak indah dan toko-toko besar membuktikan kemakmuran kota itu. Juga di sepanjang pantai sungai Liang-ho yang mengalir di dekat kota itu telah dibangun tempat istirahat yang indah, penuh ditanami kembang- kembang dan didirikan menara-menara dan bangunan lain yang amat bagus. Di situ disediakan pula perahu-perahu kecil bagi para pelancong yang hendak menghibur hati dan setiap hari terdengar tetabuhan yang-kim dan suling merayu-rayu.

Tin Eng bermalam dalam sebuah hotel terbesar, memilih kamar di loteng. Hanya pada malam hari saja ia berada di dalam kamarnya, karena pada pagi dan sore hari ia selalu keluar dari hotel untuk berjalan-jalan dan mengagumi keindahan kota dan segala pemandangannya.

Pada hari kedua, ketika ia masuk ke dalam kamarnya setelah sehari penuh berpelesir di atas perahu dan mendengarkan tetabuhan yang merdu, ia menjadi terkejut sekali melihat bahwa buntalan pakaiannya telah lenyap dari kamar itu.

Ia segera berteriak memanggil pelayan dan ketika pelayan datang ia memberitahukan bahwa barang-barangnya telah lenyap. Pelayan itu menjadi pucat sekali dan berkata, “Aneh sekali, siocia! Kami selalu menjaga di bawah dan tak seorangpun kami lihat naik ke loteng ini. Bagaimana barang-barangmu bisa tercuri? Kalau memang ada pencuri yang mengambilnya, dari mana ia bisa naik ke sini?”

Melihat betapa pelayan itu memandangnya seakan-akan tidak percaya kepadanya bahwa barang-barangnya benar telah hilang, hampir saja Tin Eng menamparnya. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan melakukan pemeriksaan. Ternyata buntalannya yang berisi pakaian, perhiasan, uang dan juga kitab pelajaran ilmu pedang telah lenyap tak berbekas. Ketika ia menjenguk ke luar jendela kamarnya, ia melihat sehelai sapu tangannya terletak di luar jendela, maka tahulah dia bahwa pencurinya adalah seorang pandai ilmu silat yang memasuki kamarnya dengan jalan melompat dari bawah dan masuk dari jendela.

“Celaka!” serunya marah sekali, sedangkan pelayan yang melihat hal inipun dapat menduga pula, bahwa yang datang mencuri barang-barang tamunya tentu seorang maling yang pandai, maka ia mulai menggigil seluruh tubuhnya.

“Bagaimana baiknya, siocia? Apakah saya harus melaporkan saja kepada penjaga kemanan?”

“Tak usah!” bentak Tin Eng marah sekali. “Aku akan mencarinya sendiri dan kalau maling keparat itu sampai terjatuh ke dalam tanganku, kepalanya akan kuhadiahkan kepadamu!”

Dengan wajah makin pucat karena ngeri, pelayan itu lalu lari dari loteng, menuruni anak tangga secepatnya.

Tin Eng duduk termenung. Apa daya? Kemana ia harus mencari seorang maling yang tidak ada jejaknya? Kota Ki-ciu demikian besarnya sehingga untuk mencari seorang yang pernah dilihatnya saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi harus mencari seorang maling yang belum dilihatnya sama sekali. Semua barang-barangnya berada dalam bungkusan itu dan yang tertinggal padanya hanya pakaian yang dipakai, sedikit uang yang dibawahnya untuk bekal siang tadi dan pedangnya. Untuk membayar sewa kamar pun ia tidak punya.

Semua ini tidak begitu menyusahkan hatinya, akan tetapi yang paling ia sedihkan ialah kitab pelajaran ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia sayang kepada kitab itu melebihi seluruh barang yang dibawanya dan kalau sampai kitab itu terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat, ia merasa ngeri memikirkan hal ini.

Kemudian Tin Eng mengambil keputusan untuk keluar dan mencari-cari ke mana saja nasib membawa dirinya. Siapa tahu kalau-kalau barang-barang itu dijual oleh pencuri dan terlihat olehnya dipakai orang. Ia akan dapat mengenali barang-barang dan pakaiannya sendiri.

Malam hari itu, Tin Eng kembali berjalan-jalan di sekeliling kota, akan tetapi tentu saja ia tak dapat bertemu dengan yang dicarinya. Akhirnya karena sedih, kecewa dan putus harapan, ia pergi ke tepi sungai yang sunyi dan duduk seorang diri melamun, sambil mendengarkan riak air yang berdendang tiada hentinya itu.

Ia memikirkan nasibnya yang amat buruk. Dipaksa kawin, melarikan diri untuk merantau, dan kini seluruh barangnya habis tercuri orang. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia meninggalkan rumah. Akan tetapi, kalau ia kembali, ia harus tunduk kepada kehendak ayahnya dan ia tidak mau menikah dengan Gan Bu Gi. Apalagi setelah ia mendengar dari Kui Hwa bahwa Gan Bu Gi dan suhunya membantu orang-orang Go-bi-san dan memperbesar permusuhan, bahkan pernah menghina kepada Kui Hwa, kawan baiknya itu. Ia tidak suka menikah dengan panglima muda itu.

Ia lalu teringat Gwat Kong. Kasihan sekali pelayan muda itu. Kalau teringat betapa ia pernah melukai lengan Gwat Kong dengan pedangnya bahkan pernah menodongnya dengan ujung pedang menempel pada tenggorokan pemuda itu! Kalau teringat betapa pemuda itu memandangnya dengan sayu dan sedikitpun tidak merasa takut, biarpun lehernya hendak ditusuk pedang, bahkan minta kepadanya untuk membunuhnya saja. Kalau ia ingat betapa Gwat Kong yang sedikitpun tidak merintih bahkan berkejap matapun tidak ketika menderita luka pada lengannya. Ah, kalau ia teringat akan itu semua, timbul penyesalan besar dalam hatinya.

Pemuda pelayan itu amat baik dan setia kepadanya, bahkan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiam- hoat yang kini hilang itupun pemberiannya. Akan tetapi ia membalas pemuda itu dengan tusukan pedang, bahkan dengan ancaman membunuh, hanya karena pemuda itu dengan berani karena mabuknya, mencela di depan Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang, bahkan di dalam mabuknya berani membayangkan perasaan cinta kasihnya kepada puteri majikannya.

Hal ini bagi Tin Eng memang dulu merupakan sebagai penghinaan. Betapa seorang puteri tunggal Kepala daerah yang berdarah bangsawan, takkan merasa terhina kalau dicinta oleh seorang pelayan dan tukang kebunnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia bukanlah Tin Eng yang dulu. Sekarang ia hanya seorang gadis perantau yang telah kehilangan semua barangnya, seorang gadis semiskin-miskinnya karena pakaian pun hanya memiliki satu stel yang melekat pada tubuhnya saja dan uang hanya tinggal sedikit, bahkan hutangnya pada hotel juga belum dapat terbayar.

Kepada siapakah ia harus minta tolong? Kalau saja ia dapat bertemu dengan Gwat Kong, pelayannya yang amat setia itu, tentu Gwat Kong akan suka menolongnya dari kesulitan ini biarpun pemuda itu pernah hendak dibunuhnya, telah dilukainya, akan tetapi pasti pemuda itu akan bersedia menolongnya. Hal ini ia yakin benar karena baru sekarang ia merasa betapa besar cinta kasih pemuda itu kepadanya. Baru sekarang ia teringat betapa pemuda itu selalu berusaha untuk menyenangkan hatinya!

Tak terasa lagi Tin Eng lalu menangis dan terisak-isak di pinggir sungai. Ia merasa berduka sekali tanpa mengetahui dengan pasti apakah yang menimbulkan rasa duka ini. Entah karena menyesal telah meninggalkan gedung orang tuanya. Entah karena menyesal akan perlakuannya terhadap Gwat Kong, atau barangkali juga karena teringat akan barang- barangnya yang hilang.

“Nona, aku hendak bicara padamu,” tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki dan Tin Eng melompat dengan terkejut sambil mencabut pedangnya dan memutar tubuhnya. Di depannya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memakai pakaian hitam dan ikat kepala hitam pula. Laki-laki itu segera menjura ketika Tin Eng mencabut pedang.

“Sabar, nona. Aku bukan datang dengan maksud jahat, bahkan hendak menolongmu mendapatkan kembali kitabmu yang hilang.”

Tin Eng merasa gembira sekali. “Di mana kitabku itu? Siapa yang mencurinya?” pertanyaan ini diajukan dengan suara mengancam dan pedangnya telah menggigil dalam tangannya. “Sabar, sabar, nona dan jangan salah sangka. Bukan aku yang melakukan pencurian itu. Biarpun aku, Lok Ban si Tangan Seribu dianggap sebagai kepala semua pencuri dan pencopet di Ki-ciu, akan tetapi aku belum pernah mengulurkan tangan panjang untuk mengambil milik orang!”

“Katakanlah siapa yang mencuri barang-barangku dan di mana kitab itu?” Tin Eng mendesak pula tidak sabar.

“Masukkan dulu pedangmu itu di dalam sarungnya, nona. Andaikata kau dapat membunuh si Tangan Seribu sekalipun, kau takkan dapat menemukan kembali kitabmu tanpa pertolonganku.”

Tin Eng sadar akan hal ini maka ia menekan perasaan marahnya dan memasukkan pedangnya, lalu berkata. “Maaf, sahabat. Sekarang ceritakanlah apa sebenarnya maksud kedatanganmu ini.”

“Seorang kawan kami secara kebetulan telah mendapat kitab itu di dalam bungkusan barang- barangmu. Tentu saja tidak ada aturannya seorang pencuri mengembalikan barang-barang berharga yang dicurinya, akan tetapi kitab itu ”

“Aku tidak memperdulikan segala macam barang-barangku, asalkan kitab itu kembali kepadaku,” kata Tin Eng memotong.

Lok Ban si Tangan Seribu itu tersenyum. “Inilah maksud kedatanganku, nona. Kami para anggauta Perkumpulan Tangan Panjang di kota Ki-ciu biarpun melakukan pekerjaan yang orang biasa menganggapnya jahat, akan tetapi kami memiliki cabang persilatan sendiri dan sama sekali menjadi pantangan besar bagi kami untuk mencuri ilmu silat orang lain. Tanpa disengaja, seorang kawan kami mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang dalam bungkusanmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengembalikan kitab itu asal kau suka memberi sedikit ‘uang lelah’ kepada kawan kami itu.”

Bukan main marahnya hati Tin Eng mendengar ini. Orang-orang telah mencuri kitabnya dan sekarang masih hendak memeras lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa ia tidak berdaya dan seakan-akan berada dalam kekuasaan kepala maling ini. Kalau ia menjadi marah dan menyerang kepala maling itu, makin jauhlah harapannya untuk mendapatkan kembali kitab itu. Sedangkan untuk menebus dan memenuhi kehendak kepala maling ini, ia tidak mempunyai uang. Tin Eng secara cerdik menyembunyikan perasaannya dan berkata,

“Hal itu mudah sekali. Pasti aku takkan melupakan kebaikan ini dan aku rela memberikan semua harta bendaku asalkan kitab itu bisa kembali ke tanganku. Akan tetapi, apakah buktinya bahwa kitab itu betul-betul berada pada kawanmu? Bagaimana kalau kau menipuku? Kalau aku melihat sendiri kitab itu, barulah aku percaya.”

“Nona, jangan kau sembarangan mengeluarkan ucapan. Aku Lok Ban biarpun menjadi kepala maling akan tetapi tak pernah membohong atau menipu orang. Kalau kau tidak percaya, mari kau lihat sendiri buktinya!” Sambil berkata demikian kepala maling ini lalu memutar tubuh dan berlari keras, memberi tanda agar supaya Tin Eng mengikutinya.

Tin Eng pun melompat dan menyusul, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik sekali. Bagaimana kepala maling ini mau mempercayainya dan membawanya ke tempat kitab itu berada? Kalau kepala maling ini melihat bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu ia akan menyesatkannya dan mungkin akan menjebaknya karena merasa jerih kepadanya. Oleh karena ini ia sengaja memperlambat larinya hingga sebentar saja ia tertinggal jauh.

Beberapa kali Lok Ban menengok dan melihat betapa gadis itu tertinggal jauh sekali, ia lalu berhenti dan membalikkan diri menghampiri Tin Eng sambil tertawa.

“Mengapa kau lari secepat itu? Jangan tergesa-gesa!” kata Tin Eng yang sengaja bernapas tersengal-sengal. Lok Ban tertawa dan berkata dengan suara menyatakan kegirangan hatinya,

“Nona, kita telah salah jalan, seharusnya ke sana!” Sambil berkata demikian, ia lalu berlari ke arah yang bertentangan dengan tadi dan kini ia berlari perlahan agar Tin Eng tak sampai tertinggal lagi. Diam-diam Tin Eng merasa girang karena usahanya berhasil dan ternyata bahwa tadi kepala maling ini benar-benar hendak mengujinya dan membawanya ke arah jalan yang bertentangan.

Tak lama kemudian, tibalah mereka di dalam sebuah rumah yang besar dan yang berdiri di luar sebuah hutan. Ketika mereka tiba di tempat itu, di luar terdapat belasan orang yang agaknya sedang merundingkan sesuatu. Yang sedang bercakap-cakap hanyalah tiga orang saja sedangkan yang lain hanya mendengarkan.

Ketika melihat kedatangan Lok Ban dan Tin Eng, seorang di antara ketiga orang yang bercakap-cakap tadi, yakni seorang yang bertubuh kecil pendek dan berkepala botak, segera lari menyambut dan berkata kepada Lok Ban sambil memandang ke arah Tin Eng dengan tersenyum,

“Lok-pangcu (ketua Lok), kitab itu telah dibeli oleh dua orang tuan yang baru datang itu!” Sambil berkata demikian, ia mengangkat dan memperlihatkan sebuah kantong yang terisi uang kepada ketua maling ini.

“Jadi kaukah yang mencuri kitab dan barang-barangku?” Tin Eng membentak marah. “Kembalikan kitabku dan jangan menjualnya kepada orang lain kalau kau sayangi jiwamu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dekat si kepala botak sambil mengancam.

“Kitab sudah berada di tangan mereka,” kata si maling yang berkepala botak itu sambil melompat pergi dan melarikan diri, Tin Eng hendak mengejar, akan tetapi Lok Ban tertawa dan berkata,

“Nona, kau telah didahului orang, maka kalau kau hendak mengambil kembali kitabmu, kau boleh berusaha membelinya kembali dari kedua orang itu!”

Bukan main marahnya hati Tin Eng yang merasa dipermainkan, akan tetapi oleh karena mendapatkan kembali kitab itu lebih penting baginya dari pada berurusan dengan segala maling, ia lalu berlari secepatnya terbang ke arah dua orang tadi. Lok Ban terkejut sekali melihat gerakan kaki Tin Eng ini karena jauh sekali bedanya dengan kecepatan lari gadis tadi.

Otaknya yang cerdik segera dapat menduga bahwa ia tadi kena ditipu oleh gadis itu, maka ia lalu memberi tanda kepada semua anak buahnya yang segera lari pergi meninggalkan tempat itu. Maling-maling ini tidak perlu lagi dengan Tin Eng maupun dengan dua orang yang datang membeli kitab, oleh karena uang pembelian kitab sudah diterima dan mereka tidak mau mencari penyakit dan mencampuri urusan itu.

Oleh karena ini, maka yang berada di situ kini hanyalah Tin Eng dan dua orang laki-laki pembeli kitab pelajaran Sin-eng Kiam-hoat tadi. Tin Eng memperhatikan kedua orang itu dan ternyata mereka adalah orang-orang yang bertubuh tegap, membawa pedang pada pinggang masing-masing dan berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sikapnya gagah sekali.

Tin Eng menjura kepada mereka dan berkata, “Jiwi harap suka mengembalikan kitab itu kepadaku, karena kitab itu adalah milikku yang dicuri oleh gerombolan maling itu!”

Kedua orang laki-laki itu saling pandang kemudian tersenyum dan setelah mereka tersenyum dan memandangnya, tahulah Tin Eng bahwa kedua orang inipun bukanlah orang baik-baik karena senyum dan pandang matanya ternyata kurang ajar sekali.

“Nona, kitab ini kami beli dengan harga lima puluh tail perak!”

Tin Eng menjadi bingung. Ia tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka terpaksa ia menjawab,

“Maaf, pada waktu ini saya tidak membawa uang sebanyak itu. Akan tetapi, kalau jiwi pergi ke Kiang-sui dengan membawa suratku kepada Kepala daerah Kiang-sui, jiwi akan menerima uang pengganti seratus tail.”

Tiba-tiba berubahlah muka kedua orang itu mendengar disebutnya kota Kiang-sui. “Jadi kau mendapatkan kitab ini di Kiang-sui, nona?” tanyanya.

“Tak perlu kalian tahu dari mana aku mendapatkan kitab ini, yang terpenting ialah bahwa kitab itu adalah kitabku dan kalian harus mengembalikannya kepadaku!” kata Tin Eng yang sudah menjadi tidak sabar lagi.

“Nona, kenalkah kau kepada Bu-eng-sian, Dewa Tanpa Bayangan?”

Baru kali ini Tin Eng mendengarkan nama itu maka ia menggelengkan kepala.

Orang kedua yang agaknya tidak percaya kepada sangkalan Tin Eng ini, bertanya lagi, “Benar-benar kau tidak kenal pada Leng Po In, pengemis tua hina dina itu?”

Tin Eng menjadi hilang sabar. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang tidak perlu kumengerti. Pendeknya, betapapun juga kalian harus mengembalikan kitabku itu!” Ia menggerak-gerakkan pedangnya.

Kedua orang itu tertawa cekakakan sambil mencabut pedang masing-masing.

“Nona manis, mudah saja kau bicara! Seandainya kitab ini tidak tercuri dari tanganmu, kalau kami mengetahui bahwa kau membawa kitab ini, pasti kami akan turun tangan merampasnya, baik dengan halus maupun dengan kasar. Ketahuilah bahwa guru-guru kami telah bertahun- tahun mencari kitab ini, dan karenanya lebih baik kau mengaku terus terang saja dari mana mendapatkan kitab ini dan ada di mana pula adanya kitab tebal yang asli. Kalau kau mau berterus terang, tentu kami takkan melupakan budimu.” “Siapa sudi mendengar ocehanmu! Kembalikan kitab itu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng menyerbu dengan pedang di tangan kanan digerakkan menyerbu, sedangkan tangan kiri diulur untuk merampas kitab yang dipegang oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi dengan gesit orang itu melompat dan sebelum Tin Eng sempat mengejarnya, yang seorang lagi telah menyerbu dan menyerangnya.

09. 

“BAGUS, kalian mencari mampus!” teriak Tin Eng yang segera memutar pedangnya sedemikian rupa menurut gerakan-gerakan Sin-eng Kiam-hoat. Sebetulnya pelajaran pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari oleh Tin Eng masih belum matang betul, akan tetapi ilmu pedang itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan tidak tersangka sehingga seakan-akan merupakan seekor Garuda Sakti yang menyambar dan menyerang mempergunakan paruh, sepasang cakar, dan sepasang sayapnya. Biarpun kedua orang itu mengeroyoknya dengan sengit, namun Tin Eng dapat mendesak mereka dengan serangan- serangan hebat.

“Kalau tidak dikembalikan kitab itu, kalian mampus!” Kembali Tin Eng mengancam oleh karena sesungguhnya ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya itu. Akan tetapi, kedua orang lawannya tanpa banyak cakap mengadakan perlawanan hebat, agaknya merekapun tidak mau mengalah dan hendak mempertahankan kitab itu dengan nyawa mereka.

“Twako, kau bawalah kitab itu kepada suhu! Biar aku yang menahan iblis wanita ini,” seru yang seorang dan orang yang membawa kitab itu lalu melompat jauh dan lari pergi. Tin Eng merasa marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba orang yang lari itu berseru girang,

“Suhu telah datang!” Dan dengan pedang di tangan ia lalu menyerbu lagi!

Tin Eng memandang dan ternyata lima orang yang usianya rata-rata empat puluh tahun berlari seperti terbang cepatnya menyerbu ke tempat itu.

“Suhu, perempuan ini hendak merampas kitab Sin-eng Kiam-hoat!”

Mendengar ini, seorang di antara mereka yang berbaju hitam panjang berseru, “Robohkan dia, akan tetapi jangan membunuhnya!”

Sehabis berkata demikian, orang ini lalu melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata terbuat dari kulit yang panjang dan kuat, merupakan senjata cambuk! Juga empat orang lain mengeluarkan senjata mereka yang hebat, karena senjata mereka itu semua berlainan. Seorang memegang tongkat besar yang kepalanya melengkung berbentuk kepala naga, seorang lain memegang sebuah pedang pendek, orang ketiga memegang sebatang pedang panjang dan orang keempat memegang sebatang golok kecil. Akan tetapi gerakan mereka ternyata gesit dan bertenaga.

Tin Eng merasa terkejut sekali dan segera memutar pedangnya untuk menghadapi lima orang itu. “Jangan turun tangan!” kata pemegang cambuk kepada kawan-kawannya. “Gunakan bubuk Ang-hoa!” Kelima orang itu lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan ketika mereka mengebut, maka berhamburanlah bubuk bunga merah dan bau yang amat wangi keras menyerang hidung Tin Eng, yang tiba-tiba menjadi pening. Bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar dan betapapun dia menguatkan tubuhnya, akhirnya ia menjadi limbung, terhuyung-huyung dan roboh pingsan.

Kelima orang itu tertawa dan si pemegang cambuk berkata, “Nona manis, terpaksa kami tidak ingin kau menderita luka atau binasa!” Ia menghampiri Tin Eng untuk memondongnya. Akan tetapi baru saja ia mengulurkan tangan, tiba-tiba ia menarik tangannya sambil berseru kaget. Ternyata sebutir buah le mentah telah menyambar dan tepat mengenai tangannya dan sungguhpun buah itu kecil dan tidak keras, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali.

Ia bangun berdiri, memandang ke sekelilingnya dan berseru, “Siapakah yang berani main- main dengan Ngo-heng-kun Ngo-hiap?” Seruan ini keras sekali sehingga menggema sampai jauh. Akan tetapi tidak ada jawaban, hanya suara gemercik air sungai yang menjadi jawabannya.

Ketika mereka hendak mengangkat tubuh Tin Eng tanpa memperdulikan penyambit itu, tiba- tiba berhamburanlah batu-batu kecil yang tepat menghantam tubuh mereka sehingga mereka menjadi kaget dan wajah mereka jadi pucat sekali. Si pemegang cambuk tahu bahwa ada orang luar biasa yang datang menolong gadis itu, maka karena kitab telah berada di tangan mereka, ia lalu memberi tanda dan kelima orang itu bersama dua orang muridnya lalu melompat pergi dan lari dari tempat itu.

Setelah mereka pergi jauh, muncullah seorang pemuda yang tadi bersembunyi di balik sebuah pohon yang tumbuh di dekat sungai kecil dekat tempat itu. Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri tubuh Tin Eng sambil membawa seguci arak yang diturunkan dari gendongan. Guci arak ini besar dan pada lehernya diberi gantungan sehingga mudah dibawa ke mana- mana. Ia lalu berlutut membuka mulut Tin Eng dan menuangkan sedikit arak ke dalam mulut gadis itu kemudian ia menggunakan arak pula untuk dipercikan ke arah muka Tin Eng.

Tak lama kemudian gadis itu bergerak dan membuka mata. Bukan main herannya ketika ia melihat pemuda itu berjongkok di dekatnya. Ia melompat bangun dan berseru keras,

“Gwat Kong !!”

Pemuda itu tersenyum lalu berdiri dan menjura memberi hormat kepadanya.

“Liok-siocia, apakah selama ini kau baik-baik saja?” suaranya masih halus dan merendah, seperti sikapnya dulu ketika masih menjadi pelayan di rumah keluarga Liok.

Mendengar pertanyaan dan melihat sikap Gwat Kong ini, tiba-tiba merahlah seluruh muka Tin Eng dan tak dapat ditahannya lagi, ia segera menangis tersedu-sedu. Ia merasa malu, menyesal dan juga gemas, karena teringat akan kitabnya yang hilang.

Ketika tadi ia duduk di tepi sungai Liang-ho, termenung memikirkan keadaan dan nasibnya, ia merasa berduka dan mengharapkan kedatangan seorang seperti Gwat Kong yang tentu dapat dimintai tolong. Akan tetapi setelah sekarang benar-benar Gwat Kong yang muncul dengan tak tersangka-sangka, ia menjadi makin sedih. Bagaimana pemuda lemah ini dapat menolongnya?

Selain membutuhkan uang untuk membayar sewa kamar dan biaya melanjutkan perantauannya, juga ia membutuhkan bantuan orang pandai seperti Dewi Tangan Maut untuk merampas dan mencari kembali kitabnya yang hilang. Gwat Kong mempunyai apa yang dapat digunakan untuk membantunya dalam hal-hal itu? Namun, hatinya terharu juga melihat pelayan ini.

“Nona, janganlah kau bersedih, nona. Bagaimanakah kau bisa sampai tiba di tempat ini?” Tin Eng menyusut air matanya dan memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.

Pemuda ini nampak lebih tegap dan air mukanya yang lebar dan jujur itu, kini nampak berseri dan kulitnya kemerah-merahan, menandakan bahwa selain hatinya riang gembira, juga keadaannya sehat sekali. Pakaiannya masih sederhana, walaupun bukan seperti pakaian pelayan lagi dan rambutnya diikat pula oleh sehelai sapu tangan lebar.

“Gwat Kong, apakah kau tidak marah kepadaku?” tanya Tin Eng, sambil mengerling ke arah lengan tangan Gwat Kong, seakan-akan hendak menembus lengan baju untuk melihat bekas luka karena tusukan pedangnya dulu itu.

“Liok-siocia, mengapa kau ajukan pertanyaan ini? Mengapa aku mesti marah kepadamu?” Gwat Kong memandang dengan mata terbuka lebar karena ia memang benar-benar merasa heran.

“Aku ... aku telah melukaimu bahkan ... hampir membunuhmu.”

Gwat Kong mengerti dan ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Liok-siocia, harap kau jangan mengingatkan aku akan hal itu lagi. Aku masih merasa menyesal sekali kepada diri sendiri karena perbuatanku yang kurang ajar itu dan kau memang berhak untuk melukaiku, bahkan kalau kau membunuhku, akupun tidak merasa penasaran.”

“Gwat Kong, kau benar-benar seorang yang baik hati dan aku ... ah, aku seorang tak tahu budi yang bernasib malang.”

Kembali Tin Eng mengalirkan air mata dari kedua matanya karena terharu.

“Nona, sebenarnya mengapa kau bisa berada di tempat ini? Aku mendapatkan kau dalam keadaan pingsan dan melihat bangsat-bangsat itu berlari pergi. Kau datang dari manakah dan hendak kemana?”

“Bangsat-bangsat itu telah mencuri kitab pelajaran ilmu pedang yang dulu kauberikan kepadaku!” kata Tin Eng dengan gemas. “Ketahuilah, Gwat Kong, setelah kau pergi, ayah memaksaku untuk menerima pinangan Gan Bu Gi.”

Gwat Kong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Aku telah tahu dan dapat menduga akan hal itu, siocia, dan sekali lagi aku menghaturkan selamat kepadamu.” “Tariklah kembali ucapanmu itu!” kata Tin Eng sambil merengut. “Siapa yang butuh ucapan selamat dalam keadaan seperti ini?”

“Eh eh, bukankah kau memang suka kepada panglima muda itu, siocia?” Gwat Kong

memandang tajam.

“Kalau aku suka, mengapa aku bisa sampai di tempat ini. Dengarlah baik-baik, Gwat Kong dan jangan memotong penuturanku. Terus terang saja, aku memang tertarik kepada Gan- ciangkun yang pandai sekali ilmu silatnya. Akan tetapi itu bukan berarti aku suka kepadanya. Karena belum mempunyai keinginan untuk mengikat diri dengan perjodohan, maka aku menolak kehendak ayah itu, sehingga ia menjadi marah sekali dan ayah telah menamparku,

satu hal yang belum pernah ia lakukan selama hidupku! Dan aku karena dipaksa-paksa,

aku lalu melarikan diri pada malam hari. Aku merantau sehingga sampai di Ki-ciu ini. Malang sekali bagiku. Buntalan pakaian berikut semua uang bekal, perhiasan dan juga kitab pelajaran ilmu pedang itu telah dicuri orang. Dalam usahaku mencarinya aku bertemu dengan kepala maling di kota ini dan dibawa kesini untuk menerima kembali kitab yang harus ditebus.

Biarpun aku tidak mempunyai uang, aku ikut padanya dengan maksud untuk merampasnya kembali. Tidak tahunya, kitab itu telah dijual kepada dua orang yang tidak mau mengembalikannya kepadaku, sehingga kami bertempur dan selagi aku berhasil mendesak dua orang itu, datanglah lima orang guru mereka yang lihai. Dan menghadapi kelima orang itu aku tidak berdaya karena mereka mempergunakan bubuk yang disebar kepadaku dan yang membuatku pening dan roboh pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi sehingga tahu-tahu kau berada di sini menolongku.”

“Barang-barang sudah tercuri orang, mengapa harus bersedih, siocia? Memang daerah Ki-ciu ini banyak terdapat maling-maling yang lihai sehingga seringkali pengunjung-pengunjung dari luar kota menjadi korban mereka.”

“Kehilangan pakaian dan barang-barang sih tidak sangat menyusahkan hatiku, sungguhpun sekarang aku telah kehabisan uang sama sekali, hingga untuk membayar sewa kamar pun aku tidak mempunyai uang. Akan tetapi yang paling menyusahkan hatiku ialah kitab itu.”

“Mengapa pula, siocia? Bukankah kitab itu telah berada lama di tanganmu? Apakah kau belum hafal dan belum mempelajari semua isi kitab itu?”

Tin Eng menarik napas panjang. Sukar baginya untuk membicarakan tentang kitab itu kepada seorang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. “Gwat Kong, biarpun aku telah hafal, akan tetapi belum matang benar dan perlu sekali aku mempelajari lebih mendalam. Terutama sekali, kitab itu adalah kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi dan apabila pelajaran itu terjatuh dan dipelajari oleh seorang jahat, maka ia akan menjadi seorang penjahat yang amat berbahaya. Aku harus mendapatkan kembali kitab itu. Lebih baik melihat kitab itu terbakar musnah dari pada melihat ia terjatuh ke dalam tangan orang jahat.”

“Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar saja mereka?” tanya Gwat Kong. Dan mendengar pertanyaan yang dianggapnya bodoh ini Tin Eng berkata bersungguh-sungguh,

“Enak saja kau bicara! Mereka telah lari selagi aku pingsan dan ke mana aku harus mengejar mereka? Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka tinggal.”

“Akan tetapi aku kenal mereka dan tahu tempat tinggal mereka, siocia.” Tin Eng memandang heran. Gadis ini telah merasa biasa lagi dan sebagian besar rasa sedihnya telah lenyap setelah bertemu dengan Gwat Kong. Karena bercakap-cakap dengan pemuda itu membuat ia merasa seakan-akan ia kembali berada di tempat tinggal orang tuanya, seakan- akan ia tak pernah pergi dari rumah dan Gwat Kong masih menjadi pelayan ayahnya. Pemuda itu sikapnya masih demikian polos dan menghormat. Entah bagaimana, biarpun tak ia perlihatkan akan tetapi di dalam hatinya timbul kegirangan besar sekali setelah bertemu dengan Gwat Kong, bekas pelayannya itu. Dan kini pemuda ini menyatakan bahwa ia kenal dan tahu tempat tinggal kelima orang yang membawa pergi kitab ilmu pedangnya.

“Kau, Gwat Kong? Benar-benarkah kau tahu tempat tinggal mereka? Siapakah sebenarnya mereka itu?” sambil ajukan pertanyaan ini Tin Eng memandang kepada pemuda itu dengan kagum oleh karena semenjak ia masih kecil dan bergaul dengan pelayan ini, sudah seringkali Gwat Kong merupakan sumber pertolongan baginya. Apalagi dalam hal mengatur taman bunga, hanya Gwat Kong saja yang dapat memuaskan hatinya.

Pemuda itu mengangguk. “Tadi ketika aku melihat mereka pergi, aku tahu bahwa mereka itu adalah Ngo-hiap. Lima jago tua yang amat terkenal di Ki-ciu. Mereka itu bertempat tinggal di sebelah timur kota.”

“Bagus sekali, Gwat Kong. Kalau begitu hayo kau antar aku ke tempat mereka!”

“Jangan sekarang, siocia. Lebih baik besok pagi, karena tidak baik malam-malam mendatangi tempat mereka. Dan pula mereka itu terkenal sebagai jagoan-jagoan yang lihai. Apakah tidak berbahaya kalau kau datang ke sana?”

“Aku tidak takut!” jawab Tin Eng dengan sikap gagah. “Tadipun kalau mereka tidak berlaku curang, belum tentu aku akan kalah! Pendeknya, lihai atau tidak, aku harus datang ke sana mengadu nyawa untuk merampas kembali kitab itu!”

“Kau benar-benar hebat dan gagah sekali, Liok-siocia.” Tiba-tiba sepasang mata Gwat Kong memandang dengan penuh kekaguman dan mesra sekali. Akan tetapi oleh karena keadaan tidak begitu terang, Tin Eng tidak melihat pandang mata itu.

Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan berjalan di bawah sinar bulan kembali ke kota Ki- ciu. Gwat Kong mengantarkan Tin Eng sampai di hotelnya dan ketika gadis itu bertanya di mana tempat pemuda itu, Gwat Kong menjawab sambil tersenyum,

“Aku juga seorang perantau seperti kau sendiri, siocia. Akan tetapi, aku tidak bisa tidur di hotel sebesar ini.”

“Kalau begitu, kau minta saja sebuah kamar, biar aku yang akan membayar ” Tiba-tiba Tin

Eng menghentikan omongannya, karena ia teringat betapa ia sendiripun belum tentu dapat membayar sewa kamarnya.

Gwat Kong mengerti akan keraguan gadis itu maka ia tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir, nona. Bagiku sih mudah saja, tidur di kelenteng atau di emper rumah pun cukup dan tentang uang sewa kamarmu, tak usah kau kuatir pula, kalau memang kau telah kehabisan uang dan semua uangmu telah dicuri orang biarlah besok kucarikan uang pembayaran sewa kamar itu.” Tin Eng menarik napas lega. Selalu pemuda ini dapat memecahkan kesulitannya sehingga ia merasa berterima kasih sekali.

“Nah, selamat malam, nona. Besok pagi-pagi aku akan datang ke sini untuk mengantarkan kau ke tempat mereka itu.”

“Selamat malam, Gwat Kong dan ... kau maafkanlah segala kekasaranku terhadapmu dulu!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara isak di tenggorokan.

“Jangan sebut lagi hal itu, siocia” kata Gwat Kong yang melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan hotel.

“Dan ... terima kasih kepadamu, Gwat Kong, kau .. kau baik sekali.”

Gwat Kong menengok dan tersenyum, wajahnya yang tersorot lampu di ruang hotel itu nampak tampan dan berseri girang. “Tidurlah, siocia!” katanya, kemudian ia menghilang di dalam gelap.

Tin Eng masuk ke dalam kamarnya dan malam itu ia tidur dengan nyenyak seakan-akan berada di dalam kamarnya sendiri di gedung ayahnya. Biarpun semenjak siang tadi ia belum makan, akan tetapi ia tidak merasa lapar dan semua kedukaannya lenyap kalau ia mengingat bahwa besok pagi ia akan pergi ke tempat lima jago tua yang telah mengambil kitabnya itu bersama Gwat Kong.

****

Mari kita ikuti dulu perjalanan Gwat Kong semenjak ia berpisah dari Gui A Sam bekas kepala pengawal mendiang ayahnya itu. Tertarik oleh penuturan A Sam tentang diri Dewi Tangan Maut, puteri tunggal hartawan Tan, musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, ia lalu berangkat menuju ke Kang-lam.

Ia dapat mencari rumah hartawan Tan, akan tetapi ternyata rumah gedung itu ditutup rapat dan tidak ada penghuninya dan ketika ia mencari keterangan, ternyata bahwa pemilik rumah gedung itu, yakni yang disebut oleh orang-orang di Kang-lam sebagai Tan-lihiap sedang pergi merantau. Orang memberi keterangan kepada Gwat Kong menambahkan,

“Kalau saja Tan-lihiap berada di sini, tak mungkin dua orang penjahat itu berani mengacau!” Gwat Kong tertarik hatinya. “Penjahat yang manakah?”

“Kau belum tahukah, kongcu? Bukankah ada pengumuman ditempel di mana-mana? Pembesar di sini telah menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat menangkap kedua orang penjahat itu!”

“Aku baru saja datang dari luar kota, mana aku tahu akan segala peristiwa yang terjadi di sini? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?”

“Kalau kongcu benar-benar tertarik dan ingin tahu, lebih baik kongcu datang kepada tihu di tempat ini untuk mendapatkan keterangan lebih jelas lagi. Aku tidak berani banyak bicara, oleh karena kedua penjahat itu lihai sekali dan pernah ada orang yang membicarakan mereka, pada malam harinya didatangi dan dibunuh.”

Bukan main herannya hati Gwat Kong mendengar ini. Akan tetapi ia tidak bisa mendapat keterangan selanjutnya dari orang yang ketakutan itu, maka terpaksa ia lalu mengarahkan langkahnya ke gedung tihu.

Tihu di Kang-lam orangnya ramah tamah dan Gwat Kong disambut dengan baik sekali olehnya sehingga pemuda ini merasa suka. Karena jarang pada dewasa itu menemui seorang pembesar sedemikian baik dan ramah sikapnya.

“Telah hampir sebulan kota kami mendapat gangguan dua orang penjahat,” tihu itu mulai menerangkan. “Kami telah berusaha sedapatnya untuk menangkap mereka akan tetapi selalu gagal. Banyak orang di kota ini tak sanggup menghadapi mereka yang amat lihai. Apakah kedatangan hiante ini hendak membantu kami?”

“Hendak saya coba, taijin dan mudah-mudahan saja tenagaku yang lemah dapat merupakan bantuan sekedarnya.”

Melihat sikap yang sopan santun dan merendah dari Gwat Kong, berbeda dengan sikap orang- orang ahli silat lainnya, tihu itu merasa ragu-ragu akan tetapi juga girang sekali. Ia lalu memerintahkan pelayannya untuk mengeluarkan hidangan dan arak wangi, sedangkan Gwat Kong yang telah beberapa hari tidak mencium bau arak wangi tanpa sungkan-sungkan lagi lalu minum dengan lahapnya.

Tihu itu merasa heran dan gembira melihat betapa Gwat Kong kuat sekali minum arak. Berkali-kali ia memerintahkan pelayan menambah arak sehingga sebentar saja Gwat Kong telah menghabiskan hampir lima belas cawan besar arak wangi yang amat keras. Bukan main herannya tihu itu beserta para pelayan karena orang biasa saja belum tentu akan sanggup menghabiskan tiga cawan tanpa terserang mabuk. Akan tetapi pemuda yang nampak halus itu telah menghabiskan lima belas cawan besar dan tidak terlihat tanda-tanda mabuk sama sekali.

Sambil makan minum, tihu itu menceritakan kepadanya bahwa dua orang pengacau yang datang mengganggu itu adalah dua orang jahat yang selain mencuri harta-harta benda, juga mengganggu anak bini orang dan tidak segan-segan membunuh. Sudah enam orang menjadi korban senjata mereka, di antranya dua orang penjaga dan seorang gadis. Bukan main marahnya Gwat Kong ketika mendengar ini.

“Malam ini saya akan menjaga di atas rumah dan mudah-mudahan saja mereka itu akan muncul agar dapat saya serang,” katanya.

Malam itu keadaan sunyi dan orang-orang telah pergi tidur sebelum gelap benar. Sungguhpun mereka tidak berani meramkan mata dan selalu mendengar kalau-kalau para penjahat itu datang ke rumah mereka. Sebelum melakukan penjagaan di atas rumah-rumah para penduduk, Gwat Kong minta seguci arak wangi lagi karena memang arak wangi dari Kang-lam luar biasa enaknya.

Dengan membawa seguci arak wangi dan sulingnya yang terselip di pinggang, pemuda itu melompat naik ke atas genteng dan mulai berkeliling mengadakan penjagaan. Hawa malam itu dingin sekali, akan tetapi oleh karena ia berteman dengan araknya, ia tidak merasa dingin. Arak itu ia minum begitu saja tanpa menggunakan cawan, langsung dituang dari mulut guci ke mulutnya.

Menjelang tengah malam, ketika ia sedang meneguk guci araknya yang tinggal sedikit lagi, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah perut dan lehernya. Ia maklum bahwa itu tentulah sambaran senjata rahasia. Akan tetapi untuk memperlihatkan kepandaiannya, Gwat Kong tidak menghentikan minumnya dan sekali tangan kirinya bergerak cepat, ia berhasil menangkap dua buah senjata piauw yang menyambarnya itu.

Barulah ia menurunkan guci araknya dan berkata, “Penjahat-penjahat rendah yang manakah yang berani mengganggu orang minum arak?”

Sementara itu, kedua orang penjahat yang pada siang harinya telah mendengar bahwa ada seorang pemuda pemabokan hendak menangkap mereka, menjadi geli sekali. Dan semenjak tadi mereka diam-diam telah mengikuti gerak-gerik Gwat Kong yang mereka anggap tolol. Ketika pemuda itu sedang minum araknya, mereka lalu menyerang dengan piauw tadi untuk membuatnya mati selagi minum arak. Akan tetapi, tak mereka sangka sama sekali bahwa pemuda itu demikian lihai sehingga dapat menangkap piauw mereka sambil minum arak.

Gwat Kong berkata lagi, “Ini, terimalah kembali piauw kalian!” Ia mengayun tangannya secara sembarangan ke arah mereka, lalu menenggak araknya lagi tanpa perdulikan apakah sambitannya itu mengenai sasaran atau tidak. Piauw yang disambitkan dengan tenaga lweekangnya yang hebat itu meluncur cepat sekali dan dengan kaget kedua penjahat itu lalu mengelak agar jangan sampai terkena senjata rahasia mereka sendiri.

Mereka menjadi marah sekali dan dengan pedang di tangan mereka lalu melompat dan menyerang Gwat Kong yang masih minum araknya. Gwat Kong tiba-tiba melompat jauh dan menghindarkan diri dari serangan itu sambil menurunkan guci araknya yang kini telah kosong. Dan ketika kedua orang itu menyerangnya lagi, tiba-tiba ia menyemburkan arak dari mulutnya yang menyerang muka kedua orang lawannya bagaikan puluhan anak panah.

Kedua orang penjahat itu sama sekali tak pernah menduga dan tentu saja mereka tidak takut terhadap semprotan arak ini. Akan tetapi ketika serangan arak yang disemburkan dengan tenaga lweekang itu mengenai muka mereka, kedua orang penjahat itu memekik ngeri dan tubuh mereka terhuyung-huyung di atas genteng dan pedang mereka terlepas karena kedua tangan digunakan untuk menutupi muka mereka yang terasa sakit sekali.

Sambil tertawa tergelak-gelak, Gwat Kong lalu menggerakkan tangan kanannya untuk mengirim totokan sehingga kedua orang penjahat itu roboh tak berkutik lagi dalam keadaan lemas. Sambil tertawa-tawa karena telah agak terlampau banyak minum arak sehingga menjadi riang gembira wataknya, Gwat Kong mengempit tubuh kedua penjahat itu di tangan kanan kiri, meninggalkan guci araknya yang telah kosong. Lalu melompat turun dan terus membawa mereka ke gedung tihu.

Tihu dari Kang-lam yang diberitahukan tentang kedatangan pemuda itu segera menyambutnya. Gwat Kong melemparkan dua tubuh penjahat itu ke depan kaki tihu, lalu menjura dalam-dalam dan berkata,

“Inilah kedua orang penjahat yang mengacau Kang-lam, taijin.” Bukan main heran dan girangnya pembesar itu dan ketika melihat bahwa Gwat Kong hendak pergi lagi, lalu menahannya dan berkata, “Nanti dulu, taihiap! Kau belum menerima hadiahmu.”

Gwat Kong tertawa bergelak, “Sudah, sudah kuterima, taijin. Hadiahnya ialah keramah- tamahanmu dan arak wangi yang amat enak itu.”

Tihu itu juga tertawa dan makin kagumlah ia terhadap pendekar muda yang aneh ini. “Kalau begitu, biarlah kutambahkan lagi arak yang terbaik untuk kau bawa pergi. Dan kami pun harus ketahui dulu siapa namamu, taihiap. Semenjak siang tadi, kau selalu menolak untuk memberitahukan namamu kepada kami.”

Kembali Gwat Kong tertawa. “Apakah artinya nama? Disebut apapun saya tidak keberatan, tajin dan tentang arak terbaik itu hmmm, kalau memang taijin hendak memberi kepadaku

tentu saja kuterima dengan ucapan terima kasih.”

Tihu itu lalu memerintahkan seorang di antara pelayan yang juga memenuhi ruangan itu untuk mengambil sebuah guci araknya yang terbuat dari pada perak dan memakai tali gantungan, lalu memberikan benda itu kepada Gwat Kong.

“Taihiap, jangan pandang rendah guci arak ini, karena arak yang disimpan di dalam guci ini akan dapat tahan sampai bertahun-tahun tanpa menjadi kurang kenikmatan rasanya dan segala macam minuman apabila dimasukkan ke dalam guci ini, maka akan menjadi bersih dari segala racun. Air beracun yang amat jahat akan menjadi air minum yang tidak berbahaya apabali dimasukkan ke dalam guci ini karena racunnya telah dihisap oleh dasar guci. Dan tentang namamu taihiap, kalau kau memang tidak mau memperkenalkannya, biarlah kami memberi nama kehormatan Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak dari Kang-lam) kepadamu,”

Gwat Kong menerima guci yang berisi penuh arak terpilih itu, menggantungkan talinya pada ikat pinggang dan tertawa girang.

“Nama yang bagus sekali! Dengan tihunya seperti taijin ini yang ramah tamah dan bijaksana, Kang-lam merupakan kota istimewa bagiku, maka aku suka sekali disebut Kang-lam Ciu- hiap. Nah, selamat malam, taijin!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Gwat Kong telah lenyap dari depan tihu dan para pelayannya itu sehingga mereka merasa kagum sekali. Makin besar kegembiraan mereka ketika ternyata bahwa kedua orang yang tak berdaya itu benar-benar adalah dua orang penjahat yang selama ini mengacau kota mereka. Segera kedua orang itu dibelenggu dan dimasukkan ke dalam penjara.

Gwat Kong lalu pergi keluar dari kota itu dan malam itu ia tidur dengan amat nyenyaknya di sebuah kelenteng yang berada di luar kota. Hatinya merasa amat girang oleh karena selain mendapat kenyataan bahwa latihan-latihannya selama ini makin memajukan kepandaiannya, juga kebaikan hati tihu itu menyenangkan hatinya.

Hanya ia merasa agak penasaran dan kecewa karena belum dapat bertemu dengan Dewi Tangan Maut, puteri musuh besarnya yang amat disohorkan orang itu. Ia tidak berniat untuk membalas dendam orang tuanya kepada gadis itu. Hanya ia ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis yang amat terkenal ini dan hendak melihat pula apakah benar-benar gadis itu amat jahat dan kejam sebagaimana yang dikabarkan oleh Gui A Sam kepadanya.

Kalau toh ia harus menyerang gadis itu, ia akan menyerang karena kejahatannya, bukan karena dendamnya kepada Tan-wangwe. Ucapan orang yang memberi keterangan kepadanya tentang adanya dua orang penjahat di Kang-lam, yang berkata bahwa kalau Dewi Tangan Maut berada di Kang-lam maka penjahat-penjahat itu tentu tak berani berlagak, menimbulkan kesan baik terhadap gadis itu padanya.

Pada kesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya. Dua hari kemudian, ketika tiba di luar sebuah hutan ia melihat serombongan orang yang terdiri dari dua belas orang-orang gagah dikepalai oleh seorang tua yang membawa tongkat bambu, berlari-lari memasuki hutan itu. Mereka ini semua membawa senjata pedang atau golok seakan-akan mereka hendak menyerbu musuh. Gwat Kong merasa tertarik dan diam-diam ia mengikuti mereka dari belakang dengan sembunyi.

Rombongan itu berhenti di depan gua besar yang berada di tengah hutan dan orang tua bertongkat itu segera berteriak ke arah gua,

“Sahabat, keluarlah! Kami hendak bicara denganmu!”

Teriakan itu bergema di seluruh hutan, akan tetapi setelah itu sunyi karena tidak terdengar jawaban. Tak lama kemudian, keluarlah seorang laki-laki tua dari dalam gua itu dan Gwat Kong yang mengintai sambil bersembunyi, merasa kaget melihat keadaan orang yang aneh itu. Orang ini telah tua sekali, tubuhnya bongkok dan tangan kanannya memegang sebuah pedang yang mengeluarkan sinar gemilang.

Kakek bongkok ini mempunyai sepasang mata yang menakutkan dan melihat betapa sepasang mata itu berputaran secara liar. Tahulah Gwat Kong bahwa orang ini tentu miring otaknya.

Kakek yang aneh ini lalu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara menyeramkan sekali. Kemudian sambil menuding dengan pedangnya ia berkata tidak keruan,

“Ha ha ha, Ngo-heng-kun Ngo-koai, lima siluman jahat, kalian datang mengantarkan nyawa? Ha ha ha!” Kakek ini lalu berjingkrak-jingkrak di atas kedua kakinya dan menari-narikan pedangnya seperti orang atau anak kecil yang amat bergirang hati.

Orang tua bertongkat bambu yang memimpin rombongannya itu berkata dengan suara sabar, “Lo-enghiong, jangan salah sangka. Kami adalah penduduk dusun Ma-chun yang datang hendak minta pertolongan lo-enghiong. Dusun kami terserang penyakit kuning dan telah banyak yang mati dan lebih banyak pula yang kini terancam bahaya maut. Karena lo- enghiong telah mengambil semua akar putih yang berada di hutan ini, maka tolonglah memberi kami obat itu untuk menyembuhkan kawan-kawan dan saudara-saudara kami.”

10.

KEMBALI terdengar suara ketawa yang menyeramkan. “Kalian memang harus mampus! Ha ha ha, Ngo-heng-kun kelima-limanya harus mampus, mengapa minta tolong padaku? Aku boleh menolongmu, menolong mengantarkan kalian iblis-iblis Ngo-heng ini ke neraka, ha ha!” Setelah berkata demikian, secepat kilat ia menubruk maju dan menyerang rombongan orang- orang itu. Ia mengamuk bagaikan seekor harimau gila dan pedangnya digerakkan dengan hebat sekali.

Orang tua pemimpin rombongan itu berseru keras memberi aba-aba kepada para kawannya untuk mengepung, sedangkan ia sendiri lalu menggerakkan tongkat bambunya yang lihai. Ketika orang gila itu menusuk dengan pedangnya, tongkat bambu kakek itu menangkis dan beradunya kedua senjata itu membuat kakek itu berseru keras karena terkejut. Ia merasa tangannya perih sekali dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangan.

“Ha ha ha!” Iblis-iblis Ngo-heng, sekarang kalian mampus!” orang gila itu tertawa-tawa dan hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang pengikut kakek bertongkat tadi menyerbu dari belakang dan belasan golok dan pedang berkelebat menimpanya bagaikan air hujan.

Orang gila itu ternyata lihai sekali. Ia agaknya telah mendengar angin senjata menyambar ke arahnya, maka sambil tertawa mengerikan, ia membalikkan tubuhnya dan pedang pusaka di tangannya itu berkelebat cepat mendatangkan sinar putih yang gemilang. Teriakan-teriakan terdengar dan beberapa batang pedang terlepas ke atas, bahkan banyak pula golok dan pedang yang putus karena terbabat oleh pedang orang gila itu.

“Ha ha ha! Iblis-iblis Ngo-heng, rasakan pembalasanku! Lihatlah kelihaianku!” Sambil berkata demikian, ia lalu memutar-mutar pedangnya dan bersilat dengan gerakan-gerakan yang aneh dan hebat sekali sehingga semua pengeroyoknya mundur takut dan jerih. Akan tetapi orang gila itu masih terus bersilat pedang seorang diri sambil tertawa-tawa. Juga kakek bertongkat yang memiliki ilmu silat cukup tinggi itu tidak berani maju karena maklum ia bukan tandingan orang gila yang amat berbahaya dan lihai itu.

Gwat Kong yang melihat ilmu silat pedang orang gila itu, tak terasa pula berseru keras sehingga semua orang menengok ke arahnya dengan heran. Ternyata bahwa orang gila itu telah bersilat pedang Sin-eng Kiam-hoat yang biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi masih lebih tinggi dan hebat dari pada Sin-eng Kiam-hoat yang dimiliki oleh Liok Tin Eng.

Saking tertariknya Gwat Kong tidak memperdulikan pandangan mata terheran-heran dari semua orang dusun Ma-chun itu dan segera melangkah maju menghampiri orang gila yang masih saja bersilat pedang dengan cepatnya. Pemuda ini lalu mencabut keluar sulingnya dan ia segera bersilat pula, mengimbangi permainan orang gila itu. Kakek bongkok yang berotak miring itu ketika melihat gerakan suling Gwat Kong, tiba-tiba menghentikan permainan pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut berbusa.

“Kau mencuri ilmu pedangku!” teriaknya keras.

“Tidak, locianpwe, karena ilmu pedangku yang lebih asli. Ilmumu itu hanya tiruan belaka yang tidak sempurna!” jawab Gwat Kong dengan berani.

Orang gila itu memekik keras lalu tertawa bergelak. “Kau kau memiliki Sin-eng Kiam-

hoat! Kau tentu orangnya iblis-iblis Ngo-heng!” “Bukan, aku tidak kenal kepada iblis-iblis Ngo-heng!” Akan tetapi orang gila itu menjadi makin marah lagi. “Kau pencuri!” Setelah memaki marah, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Gwat Kong dengan ilmu gerakan Sin-eng- tian-ci atau Garuda Sakti Pentangkan Sayap. Serangan ini hebat sekali dan Gwat Kong yang sudah hafal benar akan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat, melihat betapa gerakan ini biarpun kurang tepat, akan tetapi dilakukan dengan ginkang yang luar biasa tingginya sehingga tubuh orang gila itu lenyap terbungkus sinar pedang.

Sebagai seorang ahli ilmu pedang ini, bahkan yang memiliki kepandaian dari kitab aslinya, tentu saja Gwat Kong tahu bagaimana harus menghadapi lawannya, maka ia lalu mainkan gerak tipu Sin-eng-hian-jiauw atau Garuda Sakti Pentang Kuku. Sulingnya bergerak cepat dan mengikuti gerakan pedang lawan hingga ke mana saja ujung pedang itu selalu bertemu dengan sulingnya dan dapat disampok kembali ke arah penyerangnya.

“Maling ... pencuri ilmu ...” berkali-kali orang gila itu berteriak-teriak marah dan gerakannya makin nekat dan buas. Dari mulutnya keluar busa putih dan sepasang matanya terputar-putar makin cepat dan kini telah berubah merah.

“Locianpwe, jangan salah duga. Aku bukan pencuri, dan marilah kita bicarakan baik-baik,” kata Gwat Kong sambil membalas dengan serangannya. Akan tetapi kakek gila itu tidak mau memperdulikan ucapannya, bahkan menyerang makin hebat.

Terpaksa Gwat Kong lalu melayaninya dan kini pemuda ini tidak mau memberi kelonggaran pula. Ia keluarkan ilmu pedangnya yang paling kuat dan karena ilmu pedang itu walaupun sama dengan kepandaian si gila, akan tetapi lebih asli dan sempurna. Sebentar saja sulingnya dapat mendesak pedang lawan dan beberapa kali ia berhasil menotok jalan darah lawannya.

Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika mendapat kenyataan betapa lawannya yang gila itu ternyata memiliki kekebalan dan tidak roboh karena totokannya yang tepat mengenai jalan darah. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu lweekang kakek itu yang sambil berkelahi dapat menutup jalan darahnya sehingga menjadi kebal terhadap totokan-totokan.

Sungguhpun demikian, namun tenaga totokan Gwat Kong yang kuat dengan lweekangnya yang sudah tinggi karena dilatih secara rahasia dan luar biasa menurut petunjuk kitab pelajarannya membuat kakek gila itu tergetar tubuhnya dan makin lama permainannya makin menjadi lemah. Yang lebih merepotkannya, ialah karena tangan kirinya telah mati kaku dan tak dapat digerakkan lagi sehingga permainan pedangnya kurang mendapat imbangan tubuh yang baik. Terutama sekali ia telah menderita luka-luka di dalam tubuh yang makin menghebat karena tidak terawat dan karena makan obat secara serampangan saja.

Tiba-tiba kakek gila itu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan roboh pingsan dengan pedang masih terpegang erat-erat di tangannya. Gwat Kong merasa heran sekali dan ketika ia memeriksa, ternyata kakek itu berada dalam keadaan yang amat payah. Pemuda itu yang tadinya merasa heran mengapa lawannya roboh tanpa kena pukulannya, kini mengerti kakek itu memang telah menderita sakit dan luka-luka di dalam tubuh. Maka timbullah rasa kasihan di dalam hatinya.

Ia menurunkan guci araknya dan setelah memberi minum seteguk, kakek itu membuka matanya. Heran sekali, sinar gila yang liar itu kini lenyap dari matanya dan ia memandang kepada Gwat Kong dengan kagum. Napasnya tinggal satu-satu dan keadaannya payah benar, tubuhnya lemas. Akan tetapi pedangnya itu tidak pernah terlepas dari pegangannya. “Kau ... kau bukan anggauta Ngo-heng?” tanyanya kepada Gwat Kong.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. “Locianpwe, aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini saja. Orang-orang kampung itu datang hendak minta tolong kepadamu, minta akar obat untuk menyembuhkan kawan-kawan yang menderita sakit kuning.”

Kakek itu mengangguk-angguk dan sambil menggerakkan tangannya ke arah orang-orang kampung yang memandang dengan heran dan kagum, ia berkata, “Ambillah, ambillah ... obat itu di dalam gua ...” lalu ia menjatuhkan tangannya yang memegang pedang itu di atas tanah lagi.

“Terima kasih, lo-enghiong,” kata kakek bertongkat tadi dan ia mengajak kawan-kawannya memasuki gua. Akan tetapi tiba-tiba kakek gila itu berseru keras,

“Mundur semua!”

Orang-orang itu menjadi kaget, demikianpun Gwat Kong yang menyangka bahwa kakek ini kambuh kembali penyakit gilanya. Akan tetapi, pada saat semua orang itu mundur kembali dengan ragu-ragu, terdengar suara mendesis-desis dari dalam gua dan keluarlah belasan ekor ular yang biarpun kecil-kecil akan tetapi bergerak maju dengan gesit, kepala terangkat dan mendesis-desis menyemburkan uap putih. Sekali pandang saja tahulah semua orang bahwa ular-ular itu berbahaya dan berbisa.

Selagi semua orang dusun Ma-chun tercengang dan terkesima, Gwat Kong lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam mulut, lalu ia berdiri dan mendekati mulut gua yang penuh dengan ular-ular itu. Ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah binatang-binatang itu yang segera berkelenjetan di atas tanah dan mati. Bukan main hebatnya tenaga semburan arak dari mulut Gwat Kong ini dan tetesan-tetesan arak yang meluncur keluar itu bagaikan anak panah menancap dan menembus kepala ular-ular itu sehingga menyerang ke dalam benak!

Melihat kelihaian ini, orang-orang dusun Ma-chun segera memuji dengan amat kagum. Bahkan seorang di antara mereka lalu berseru, “Dia tentu Kang-lam Ciu-hiap!”

Gwat Kong memandang heran dan bertanya, “Sahabat, bagaimana kau bisa tahu aku disebut Kang-lam Ciu-hiap? Baru tiga hari aku mendapat sebutan itu di Kang-lam?”

Kakek bertongkat itu lalu menjura dan berkata, “Jangan mengherankan hal ini, orang muda yang gagah. Berita memang berjalan cepat laksana angin lalu. Sebelum kau tiba di tempat ini, namamu telah terbawa angin dan telah terdengar sampai jauh di kampung kami. Kawan- kawan tadi hanya menduga-duga saja bahwa kaulah orangnya yang disebut Kang-lam Ciu- hiap karena kau selain masih muda dan lihai, juga membawa–bawa arak dan bahkan dapat mempergunakan arak sebagai senjata yang demikian ampuhnya!”

Sementara itu, kakek gila tadi tidak tahu akan nasib semua ular peliharaannya karena ia sendiri telah lemas dan hanya rebah di atas tanah sambil meramkan mata. Kini orang-orang kampung itu dapat masuk gua dan tak lama kemudian mereka membawa akar-akar obat berwarna putih. Kakek bertongkat itu menjura lagi kepada Gwat Kong sambil menghaturkan terima kasihnya. Juga tidak lupa ia menjura kepada kakek gila yang rebah di atas tanah itu sambil menghaturkan terima kasihnya. Kemudian ia pimpin kawan-kawannya untuk kembali ke dusun mereka untuk segera memberi pertolongan kepada sanak keluarga yang terserang penyakit kuning yang pada waktu itu berjangkit di dusun mereka.

Gwat Kong yang tinggal seorang diri, lalu menghampiri kakek gila itu dan berlutut. “Bagaimana, locianpwe, apakah kau masih merasa sakit?” tanyanya.

Orang tua itu membuka mata, tersenyum sedih dan berkata, “Anak muda, siapakah namamu?” “Aku bernama Bun Gwat Kong.”

“Tadi aku mendengar mereka menyebut Kang-lam Ciu-hiap, kaukah itu?”

Gwat Kong diam-diam merasa kagum oleh karena biarpun keadaannya demikian lemah tak berdaya, namun kakek ini mempunyai pendengaran yang amat tajam.

“Aku mendapatkan sebutan itu di Kang-lam,” jawabnya sederhana.

“Kang-lam Ciu-hiap, sebutan yang bagus! Dulupun aku mempunyai sebutan yang cukup gagah. Bu-heng-sian. Dewa Tanpa Bayangan! Ah ... semua itu telah berlalu, habis dimakan usia ... tiba-tiba ia bangun dan duduk, lalu memandang tajam kepada Gwat Kong yang membantunya karena agak sukar sekali kakek itu dapat bangun sendiri.

“Kau dari manakah kau dapatkan ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat?”

“Aku mendapatkan kitab-kitabnya secara kebetulan sekali, locianpwe. Ketika aku menggali sebuah tempat belukar di Kiang-sui.”

“Di Kiang-sui katamu? Hm, jadi kaukah yang mendapatkan kitab-kitabku? Bagus, ketahuilah, akulah orangnya yang menyimpannya di sana dan aku pula yang menyalin kitab itu!” Setelah bicara sampai di sini, kakek itu nampak lelah sekali dan kembali ia menjatuhkan dirinya yang segera dipeluk oleh Gwat Kong dan dibantunya rebah di atas tanah kembali.

“Kalau begitu, teecu harus menghaturkan terima kasih kepadamu, locianpwe.”

“Tak usah, tak usah .... akupun hanya mendapatkan kitab itu dan kau agaknya lebih

berjodoh ... kitab aslinya sukar sekali bagiku yang setengah buta huruf kau lihat pedang ini

.... aku mendapatkan kitab kuno itu bersama pedang ini ” Ia memberikan pedangnya yang

bersinar mengkilap itu dan Gwat Kong melihat sebuah gambar kepala garuda terukir pada gagang pedang itu.

“Inilah Sin-eng-kiam ... biar kuberikan padamu   kau lebih patut memegangnya, kau lebih

gagah dariku ”

“Tapi, locianpwe, kepandaianmu tinggi sekali ” “Jangan banyak cakap! Kau telah memiliki kepandaian aslinya. Hal itu sudah kuketahui ....

akan tetapi berhati-hatilah kau kelima iblis Ngo-heng mencari-cari kitab itu dan kau takkan

diberinya ampun ” Setelah berkata demikian, kakek yang malang itu kembali roboh pingsan.

Gwat Kong merasa kasihan sekali dan ia lalu mengangkat tubuh kakek itu ke dalam gua.

Sehari semalam kakek itu rebah pingsan dan kadang-kadang Gwat Kong menuangkan arak ke dalam mulutnya. Ketika siuman kembali, kakek itu nampaknya merasa terharu karena pemuda itu masih menjaganya, maka ia lalu berkata,

“Kau ... baik sekali aku tak tahan lagi, tubuhku telah penuh luka di sebelah dalam akibat

pukulan-pukulan Ngo-heng ... kau berhati-hatilah ” Dan tak lama kemudian kakek yang

tadinya menderita penyakit gila itu menghembuskan napas terakhir di pangkuan Gwat Kong.

Gwat Kong lalu mengubur jenazah kakek yang berjuluk Bu-eng-sian itu di dalam gua tadi. Kemudian ia lalu tinggalkan gua itu sambil membawa pedang Sin-eng-kiam yang disembunyikan di balik pakaiannya. Ia tak sempat mengetahui nama kakek itu karena ketika ia bertanya jawabnya hanya “Bu-eng-sian ... aku Bu-eng-sian ”

****

Demikianlah kisah perjalanan Gwat Kong dan beberapa hari kemudian, perantauannya yang dilakukan tanpa tujuan tertentu itu membawanya sampai ke dekat kota Ki-ciu di mana secara kebetulan ia dapat melihat Tin Eng dikeroyok oleh Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan berhasil menolong nona itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah datang di hotel tempat Tin Eng bermalam. Ia takut kalau-kalau ia datang terlampau pagi. Jangan-jangan Tin Eng masih tidur, pikirnya.

Akan tetapi, ketika ia tiba di halaman hotel, ternyata nona itu telah menantinya di situ dengan tak sabar. Nona ini bangun pagi-pagi sekali dan telah lama berdiri menanti di depan hotel.

“Mari kita berangkat!” kata Tin Eng setelah melihat Gwat Kong datang dan suara nona ini terdengar gembira sekali.

Mereka lalu berjalan keluar dari halaman hotel, keadaan di dalam kota masih sunyi sekali karena sebagian besar penduduknya masih tidur. Gwat Kong memang tahu di mana tempat tinggal Ngo-heng-kun Ngo-hiap itu karena sebelum bertemu dengan Tin Eng, ia telah melakukan penyelidikan karena hatinya tertarik dan ingin sekali ia tahu lima orang yang agaknya pernah bermusuhan dengan Bu-eng-sian sehingga kakek itu menderita luka-luka hebat. Biarpun tidak diminta, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan ingin mencoba kepandaian mereka yang telah menjatuhkan Bu-eng-sian yang bagaimana pun juga dianggap sebagai orang berjasa kepadanya.

Bukankah kalau kitab itu tidak disimpan di Kiang-sui ia takkan dapat memiliki ilmu pedang dan lain-lain kepandaian itu? Dan bukankah kakek itu pun telah memberi pedang Sin-eng- kiam kepadanya?

Rumah kelima orang jago ilmu silat Ngo-heng-kun itu berada di sebelah timur kota Ki-ciu dan nama mereka ini amat terkenal. Lima jago-jago Ngo-heng-kun ini terdiri dari lima orang gagah yang telah mengangkat saudara mempelajari ilmu silat Ngo-heng-kun bersama. Yang tertua bernama Lim Hwat dan keistimewaannya ialah permainan senjata cambuk panjang yang amat lihai karena cambuk itu selain lemas dan kuat, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi, sehingga selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan juga baik sekali untuk membelit dan merampas senjata tajam lawan.

Orang kedua adalah adik kandungnya sendiri, Lim Can yang juga amat lihai dan menduduki tempat kedua dalam perkumpulan itu oleh karena ia pandai sekali bersilat dengan sebatang tongkat berkepala naga. Selain gerakannya yang amat lincah, juga tenaga gwakangnya besar melebihi seekor kerbau jantan.

Orang ketiga biarpun bukan seorang hwesio, akan tetapi selalu menggunduli kepalanya. Ia memiliki ilmu ginkang yang paling tinggi di antara semua saudaranya. Namanya Oey Sian dan ia bersenjata golok yang kecil dan tipis sehingga gerakannya cepat luar biasa.

Orang keempat dan kelima adalah sepasang saudara kandung bernama Teng Ki dan Teng Li. Teng Ki bersenjata pedang panjang, sedangkan Teng Li bersenjata pedang pendek. Juga kedua orang ini bukanlah orang-orang yang rendah ilmu silatnya.

Selain memiliki kepandaian-kepandaian khusus ini, mereka berlima merupakan sebarisan yang amat tangguhnya karena bersama-sama mereka membentuk sebuah ilmu silat berantai yang disebut Ngo-heng-kun atau Ilmu Silat Lima Daya. Apabila mereka berlima bersama- sama melakukan penyerangan, maka mereka merupakan barisan Ngo-heng yang mengepung lawan dari lima jurusan dan dalam kedudukan mereka yang amat kuat ini jarang sekali ada lawan yang dapat mengalahkan mereka.

Mereka ini cukup kaya dan memiliki tanah yang lebar di mana para petani bekerja untuk mereka dengan mendapat bagian sepantasnya. Dan mereka amat disegani oleh penduduk di sekitar Ki-ciu karena selain gagah perkasa, juga mereka terkenal keras hati dan mudah menjatuhkan tangan kepada mereka yang berani menentangnya.

Ketika Tin Eng dan Gwat Kong tiba di dekat rumah mereka, Gwat Kong berkali-kali memberi peringatan, “Nona, harap kau berlaku hati-hati karena menurut pendengaranku, mereka itu lihai sekali!”

Akan tetapi Tin Eng yang tabah itu hanya tersenyum dan berkata, “Tenanglah Gwat Kong dan kalau aku bertempur menghadapi mereka jangan kau terlalu dekat agar tidak sampai terkena senjata mereka!”

Setelah berada di depan pintu rumah mereka yang masih tertutup, Tin Eng berseru keras, “Orang-orang Ngo-heng-kun! Keluarlah untuk membuat perhitungan!”

Dengan sikap gagah gadis itu berdiri sambil memegang pedang di tangan kanan. Dan sikapnya yang tabah ini membuat Gwat Kong merasa kagum sekali. Seorang dara yang benar- benar gagah perkasa, pikirnya dengan hati senang.

Tin Eng tidak perlu menanti lama karena tiba-tiba pintu rumah itu terpentang dari dalam dan keluarlah kelima jago Ngo-heng-kun itu sambil membawa senjata masing-masing. Tadinya mereka mengira bahwa gadis itu tentu datang dengan kawan-kawannya. Akan tetapi ketika melihat bahwa gadis itu datang seorang diri, dikawani oleh seorang pemuda yang nampak lemah bodoh dan yang menanti di bawah pohon sambil berjongkok, mereka tersenyum menghina.

“Nona manis, kau benar-benar bernyali besar, berani datang menemui kami! Apakah kau belum merasa kapok setelah kami robohkan kemarin?” kata Lim Hwat sambil mengayun- ayun cambuknya dan tersenyum mengejek.

“Bangsat curang!” Tin Eng memaki sambil menudingkan pedangnya kepada orang itu. “Kalian merobohkan aku karena menggunakan kecurangan yang hanya patut dilakukan oleh bajingan-bajingan rendah. Kalau kalian memang jantan, marilah kita mengadu kepandaian secara jujur. Kalau tidak berani, lebih baik kembalikan kitabku dan berlutut minta maaf!”

Ucapan yang amat sombong ini membuat Oey Sian si gundul merasa marah sekali. “Apa sih kepandaianmu maka kau berlaku begini kurang ajar?” teriaknya sambil melompat maju ke depan Tin Eng. Akan tetapi gadis itu dengan marah lalu menyambut kedatangannya dengan serangan pedangnya yang ditusukkan ke dada Oey Sian sehingga orang ini cepat-cepat menangkis dengan goloknya.

Akan tetapi serangan pertama ini hanya merupakan pancingan belaka dan tiba-tiba Tin Eng menarik kembali pedangnya dan melanjutkan dengan serangan Garuda Sakti Menyambar Air. Pedangnya berkelebat cepat sekali menebas leher lawannya sehingga dengan seruan terkejut Oey Sian yang tak keburu menangkis lagi itu segera miringkan kepalanya yang gundul untuk mengelak. Pedang Tin Eng menyerempet dekat sekali dengan kulit kepalanya yang gundul sehingga kalau kepala itu ada rambutnya, tentu rambut itu akan terbabat putus. Pedang terus meluncur dan menyerempet pundaknya. “Breet!” Pecahlah baju Oey Sian di bagian pundak kanannya.

Dengan muka pucat Oey Sian melompat mundur dan pada saat itu juga, keempat saudaranya yang maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan, lalu maju mengeroyok dan mengurungnya dari lima jurusan. Secara otomatis mereka telah membentuk barisan Ngo- heng-tin.

“Bagus, bagus! Majulah semua dan kalau perlu, keluarkan senjata racun yang kemarin. Aku tidak takut akan kecuranganmu!”

Tin Eng sebenarnya merasa jerih menghadapi obat bubuk merah mereka, dan sengaja mengucapkan kata-kata ini agar mereka menjadi malu. Benar saja, sebagai lima orang gagah yang telah terkenal, menghadapi seorang gadis muda yang menantang secara berani, tentu saja mereka merasa malu sekali apabila mereka harus menggunakan cara yang curang itu.

Mereka merasa yakin bahwa dengan Ngo-heng-tin mereka pasti akan berhasil merobohkan gadis yang sombong dan berani ini.

Akan tetapi Tin Eng tidak merasa jerih. Ia putar-putar pedangnya dan kakinya bergerak dengan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-san, yakni bertindak berputaran untuk menghadapi kelima lawannya. Sedangkan pedangnya mainkan gerak tipu Garuda Sakti Mengitari Pohon Liu. Pedang di tangannya berkelebat menimbulkan sinar pedang yang panjang dan yang menyambar-nyambar ke arah lima orang lawannya.

Akan tetapi Ngo-heng-tin itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng menyerang seorang lawan yang berada di depannya, maka dua orang yang berada di depannya menangkis serangan itu dan tiga orang lain yang berada di belakang lalu menyerangnya dari belakang dengan hebatnya. Kalau gadis itu cepat memutar tubuh untuk menghadapi penyerang- penyerangnya yang berbalik menangkis, maka seorang diantara mereka yang dibantu oleh dua orang yang ditinggalkan dan kini berada di belakangnya itu, berbalik menjadi penyerang.

Oleh sebab ini, Tin Eng menjadi bingung sekali. Setiap serangannya dihadapi oleh dua senjata yang menangkis dan dibarengi dengan serangan tiga orang lain dari belakang. Sungguh- sungguh merupakan hal yang amat berbahaya sekali.

Tin Eng adalah seorang gadis yang amat pemberani dan keras hati, maka tanpa mengingat akan keadaan diri sendiri, ia lalu mengamuk dan menyerang membabi buta. Siapa saja yang paling dekat diserangnya dengan hebat. Ia hendak menjatuhkan seorang lawan dulu yang berada di depannya untuk kemudian menghadapi empat lawan lain.

Namun kelima saudara Ngo-heng-kun itu telah dapat menangkap maksudnya. Maka mereka melakukan penjagaan keras dan dari belakang datanglah serangan bertubi-tubi tiap kali Tin Eng menggerakkan pedang. Sehingga terpaksa gadis itu tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya karena ia harus pula menjaga diri. Dengan terpecah-pecahnya perhatian serta tenaga ini, ia menjadi cepat lelah dan mulai merasa pening. Keadaannya mulai berbahaya sekali dan senjata lawan makin mendesak dan mengurung rapat.

“Ha ha ha, nona manis, kau hendak lari ke mana? Kau seperti tikus terjebak ke dalam kurungan, ha ha ha!” Lim Hwat menyindir sambil putar-putar cambuknya yang terlihai di antara senjata-senjata adik-adiknya.

“Menyerahlah untuk menjadi bini mudaku saja!” Oey Sian yang terkenal mata keranjang berkata, sehingga Tin Eng menjadi marah dan mendongkol sekali. Gadis ini menggigit bibirnya dan mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Ia rela mati dalam pertempuran ini akan tetapi sedikitnya ia harus dapat membunuh pula seorang atau dua orang lawannya.

Akan tetapi, sebelum ia dapat menjatuhkan korban, tiba-tiba ujung cambuk Lim Hwat telah meluncur dan membelit kedua kakinya. Tin Eng menggerakkan pedang menyabet ke arah cambuk, akan tetapi tongkat Lim Can menangkis pedangnya itu dan berbareng pada saat itu, Lim Hwat mengerahkan lweekangnya dan sambil berseru keras ia membetot cambuknya. Tak dapat dicegah lagi tubuh Tin Eng terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan.

Akan tetapi sebelum terjadi hal yang lebih hebat lagi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Tin Eng merasa betapa tubuhnya disambar oleh sebuah tangan yang cepat dan kuat sekali, kemudian orang itu lalu melompat keluar dari kepungan, sebelum kelima orang itu sempat sadar dari rasa heran dan terkejut mereka.

Ketika Tin Eng diturunkan dari pondongan orang itu dan memandang, ia menjadi bengong. Sepasang matanya yang indah dan bening itu terpentang lebar-lebar dan memandang bodoh, sedangkan mulutnya celangap tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ternyata bahwa orang yang menolongnya tadi adalah Gwat Kong sendiri yang kini berdiri di depannya dengan senyum manis di bibirnya dan seri gembira pada wajahnya.

“Jangan marah, siocia. Aku akan berusaha membalas mereka dan menebus kekalahanmu!” Merahlah seluruh muka Tin Eng karena suara pemuda itu masih saja halus merendah seperti ketika menjadi pelayannya dulu. Ia tidak dapat menjawab sesuatu, hanya memandang dengan masih bengong ketika pemuda itu dengan tindakan kaki tenang dan perlahan menghampiri kelima jagoan Ngo-heng-tin yang berdiri dengan heran pula.

“Ah, pantas saja nona itu berani bersikap sombong, tidak tahunya dia membawa seorang pembantu yang pandai!” kata Lim Hwat mencoba menyembunyikan kekagumannya.

“Tentu kau pula yang kemarin mempermainkan kami?” kata Lim Can sambil memandang tajam dan menggerak-gerakkan tongkat naganya dengan sikap mengancam.

“Ngo-wi Lo-enghiong (tuan-tuan berlima yang gagah), hal ini tidak perlu kita persoalkan sekarang, yang terpenting ialah bahwa sebenarnya tidak sepatutnya kalau kalian yang tersohor sebagai orang-orang gagah yang menjagoi daerah ini, merampas kitab milik seorang nona muda. Apakah kalian tidak merasa malu, kalau hal ini sampai terdengar oleh orang-orang gagah sedunia? Apakah benar-benar kalian yang telah memiliki kepandaian tinggi ini ingin pula mencuri ilmu pedang nona ini?”

“Enak saja kau membuka mulut!” seru Lim Hwat dengan marah. “Siapa yang mencuri ilmu pedang? Bukan kami, kalau tidak, kami takkan mau memberi ampun kepadanya!”

Gwat Kong memandang heran. “Bagaimana kalian bisa menyatakan bahwa kitab ilmu pedang itu adalah hak milik kalian? Sepanjang pengetahuanku pemiliknya adalah orang yang disebut Bu-eng-sian.”

Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba kelima orang itu lalu maju mengurung Gwat Kong, “Di manakah setan tua itu? Apakah dia belum mampus?” tanya Oey Sian.

Gwat Kong menggeleng kepala. Kini ia ketahui nama Bu-eng-sian, maka ia berkata dengan tenang. “Leng locianpwe telah meninggal dunia karena luka-lukanya yang diderita dan yang disebabkan oleh pukulan-pukulan kalian yang kejam. Sebetulmya mengapakah kalian memusuhinya? Apakah karena kitab itu?”

Terdengar seruan kecewa dari Lim Hwat. “Agaknya kau kenal baik kepada setan tua itu, anak muda. Aku memberi nasehat agar supaya kau bicara terus terang. Ketahuilah bahwa pada beberapa belas tahun yang lalu, kami berlima dengan Leng Po In adalah sahabat-sahabat baik dan kami berlima bersama dia mendapatkan kitab dan pedang Sin-eng-kiam di dalam sebuah gua di bukit Thai-san. Akan tetapi, secara curang sekali orang she Leng itu membawa lari kitab dan pedang.

Bertahun-tahun kami berlima mencarinya dan akhirnya berhasil melukainya, akan tetapi kitab dan pedang itu telah disembunyikan entah di mana. Kini tahu-tahu gadis ini pandai mainkan Sin-eng Kiam-hoat. Bukankah itu berarti bahwa dia telah mencuri ilmu pedang yang menjadi hak kami? Kitab yang kami ambil hanyalah salinan dari Leng Po In dan kami menuntut dikembalikannya kitab asli dan pedang Sin-eng-kiam.”

Gwat Kong tidak tahu bahwa Lim Hwat membohong dalam penuturannya ini karena sesungguhnya yang mendapatkan kitab dan pedang itu adalah Leng Po In sendiri. Mereka berlima melihat hal ini dan berusaha merampasnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak tahu, namun melihat sikap mereka yang galak ini. Gwat Kong dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah orang baik-baik, maka ia lalu menjawab,

“Nona Liok ini tanpa disengaja dapat mempelajari Sin-eng Kiam-hoat, bahkan aku sendiripun telah mempelajarinya. Kami berdua tidak tahu menahu tentang perebutan kitab dan pedang.

Dan apabila kedua benda itu terjatuh ke dalam tangan kami yang tidak sengaja menemukannya, maka sekarang benda-benda itu adalah menjadi hak milik kami!”

“Bangsat benar!” seru Oey Sian yang menjadi marah. “Kalau begitu, kau dan nona itu harus mampus!”

“Cobalah!” tantang Gwat Kong sambil tersenyum tenang.

“Bunuh dia dan tangkap nona itu!” teriak Lim Hwat dan kelima orang itu kembali bergerak dan mengurung Gwat Kong dalam lingkaran Ngo-heng-tin mereka yang lihai. Leng Po In sendiri yang berjuluk Bu-eng-sian dulu roboh oleh karena kelihaian Ngo-heng-tin ini sehingga mendapat luka-luka berat. Maka Gwat Kong yang tadi telah menyaksikan kehebatan barisan Lima Daya ini, segera mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya.

Melihat berkelebatnya pedang itu, kelima orang lawannya berseru hampir berbareng, “Sin-eng-kiam!”

Gwat Kong menggerak-gerakkan pedangnya sambil tersenyum dan berkata, “Ya, memang ini Sin-eng-kiam, akan tetapi aku menerimanya secara sah dari penemunya, yakni dari Leng Locianpwe sendiri.”

“Kalau begitu, kitab aslinya juga berada padamu!” bentak Lim-hwat.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar