Pendekar Pemabuk Jilid 02

Jilid 02

04. Penolakan Jodoh Puteri Kepala Daerah

Ketika pertama kali datang di tempat itu, Gan Bu Gi sudah menyaksikan gadis ini berlatih pedang, maka ia maklum bahwa ilmu pedang gadis ini tinggi dan lihai serta tak boleh dianggap ringan, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan jangan sampai dikalahkan.

Tangkisan pedang di tangan Gan Bu Gi membuat Tin Eng merasa terkejut sekali karena ternyata olehnya bahwa tenaga lweekang dari pemuda itu masih jauh melebihi tenaganya sendiri, sedangkan gerakan pemuda itu pun gesit sekali, menandakan bahwa ginkangnya sudah sempurna. Namun berkat ilmu pedangnya yang mempunyai gerakan-gerakan aneh dan sukar diduga perubahannya, ia dapat mendesak pemuda itu dengan serangan-serangan kilat. Sementara itu, begitu melihat mereka bertempur dan setelah memperhatikan jalannya pertempuran selama belasan jurus, tahulah Gwat Kong bahwa ilmu pedang Tin Eng masih jauh dari sempurna dan banyak sekali terdapat kesalahan-kesalahan. Ia maklum bahwa hal ini adalah kesalahan penyalinan kitab itu yang agaknya tidak begitu paham tentang isi tulisan kuno itu, akan tetapi harus diakui bahwa biarpun hanya salinan yang buruk, namun apa yang telah dipelajari oleh gadis itu merupakan ilmu pedang yang kalau sudah dilatih sempurna akan sukar menemukan tandingan! Dan ia maklum pula bahwa ternyata Gan Bu Gi mempunyai ilmu kepandaian yang berisi dan dalam hal lweekang dan ginkang, pemuda itu jauh lebih unggul dari pada Tin Eng.

Betapapun juga, kalau saja Tin Eng mempelajari ilmu pedang itu sedikitnya lima tahun saja, belum tentu Gan Bu Gi akan dapat dengan mudah mempertahankan diri terhadap serangan- serangan yang aneh itu. Pada saat itu Gan Bu Gi sendiri menjadi terkejut dan ia maklum bahwa kalau ia tidak segera mendahuluinya dan mempergunakan tenaga untuk merampas pedang Tin Eng, mungkin sekali ia akan terkena bencana di ujung pedang lawannya karena gerakan ilmu pedang ini benar-benar aneh dan belum pernah dihadapinya seumur hidupnya. “Maaf, siocia!” serunya keras setelah mereka bertanding tiga puluh jurus lebih dan dengan sekuat tenaga ia menyampok pedang Tin Eng dengan pedangnya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk menangkap pergelangan lengan gadis itu! Tenaga sampok dan yang disertai tenaga lweekang, sepenuhnya ini tentu saja tak dapat tertahan oleh Tin Eng yang hanya mendapat latihan dari ayahnya dalam hal lweekang, maka sambil berteriak kaget ia terpaksa melepaskan pegangannya pada gagang pedangnya sehingga pedang itu mencelat ke atas sedangkan lengannya sudah terpegang oleh lengan Gan Bu Gi.

Tin Eng merasa malu sekali dan membetot lengannya. Gan Bu Gi juga melepaskan lengan yang halus sekali kulitnya itu dan ia menyambar pedang Tin Eng yang melayang turun, lalu memberikan pedang itu kepada Tin Eng sambil menjura,

“Ilmu pedangmu hebat sekali, nona, hingga terpaksa aku menggunakan tenaga untuk merampasnya. Maaf, maaf!” Dengan muka merah karena jengah Tin Eng menerima pedangnya dan berkata, “Kau lihai, ciangkun!” Lalu gadis ini berlari menuju ke dalam gedung.

Gan Bu Gi masukkan pedang dalam sarung pedangnya dan menoleh kepada Gwat Kong yang masih duduk di atas rumput, “Gwat Kong ...”

“Ya, Gan-ciangkun.” “Gadis itu ”

“Kau maksudkan, Liok-siocia? Ya, mengapa dia ?”

“Gadis itu sungguh manis sekali!”

“Memang manis dan lihai ilmu pedangnya.” “Kulihat dia itu ”

“Teruskanlah, ciangkun, jangan malu-malu.”

“Agaknya sudah pantas kalau ia menjadi isteriku yang tercinta. Bagaimana pendapatmu, Gwat Kong?”

Akan tetapi Gwat Kong membalikkan tubuhnya dan terdengar suaranya, “Hm entahlah,

aku ingin menengok kuda di kandang. Malam ini dingin sekali, kuatir kalau-kalau mereka gelisah.” Dan Gwat Kong lalu lari ke kamarnya di dekat kandang kuda.

Gan Bu Gi tidak memperdulikan hal ini, lalu melangkah dengan senyum di bibir, kembali ke kamarnya yang berada di gedung sebelah timur. Hatinya puas dan lega sekali, harapannya makin membesar dan malam itu ia mendapat mimpi indah dalam tidurnya.

****

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gwat Kong sudah membuat persiapan untuk pergi dari situ. Ia membungkus pakaiannya yang tak seberapa banyak itu dalam sebuah buntalan kain kuning dan bersiap untuk menghadap Liok-taijin dan minta ijin serta menyatakan terima kasih. Wajahnya pucat sekali oleh karena selain berduka, ia juga tidak tidur semalam suntuk, mengenang nasibnya yang buruk.

Akan tetapi, ketika ia berjalan menuju ke ruang dalam ia bertemu dengan seorang penjaga yang berkata kepadanya, “Gwat Kong, kau beritahu taijin bahwa Seng Le Hosiang, hwesio yang dulu datang itu, kini datang minta bertemu.”

Gwat Kong terpaksa menunda maksudnya dan menyampaikan laporan itu kepada Liok Ong Gun yang baru saja bangun dari tidurnya. Pembesar ini lalu berdandan dan menyambut kedatangan susiok-couwnya dengan hormat sekali.

“Liok Ong Gun, pinceng datang untuk melanjutkan urusan perjodohan dulu itu. Bong Bi Sianjin tak dapat datang karena ia sedang menghadapi urusan penting, maka akulah yang mewakilinya. Bagaimana dengan keadaan Bu Gi?” Hwesio ini dengan suaranya yang besar datang-datang membicarakan urusan perjodohan dan tidak perduli sama sekali bahwa di situ terdapat Gwat Kong dan dua orang pelayan lain.

Liok Ong Gun menjawab sambil tersenyum. “Gan-ciangkun baik-baik saja dan sebentar lagi ia tentu akan datang ke sini. Adapun tentang perjodohan itu, susiok-couw, harus teecu tanyakan dulu kepada isteriku dan juga kepada anak itu sendiri!”

Gwat Kong menjadi pucat karena ia maklum bahwa yang dibicarakan ini tentulah perjodohan antara Gan Bu Gi dan Tin Eng!

“Ha ha ha! Liok Ong Gun, kau ternyata berhati lemah. Kalau kau sendiri sudah setuju, tentu saja anak isterimu juga setuju. Bagaimanakah pendapatmu sendiri?”

Dengan terus terang Kepala daerah itu menjawab, “Bagi teecu sendiri memang Gan-ciangkun merupakan seorang pemuda yang baik dan memenuhi syarat, akan tetapi teecu tidak mau memutuskan sebelum mendengar pendapat anak isteri teecu.”

Pada saat itu, Gan Bu Gi yang telah diberitahu akan kedatangan hwesio itu lalu datang dan berlutut di depan Seng Le Hosiang sebagai penghormatan.

“Bagus, Bu Gi, kau nampak makin gagah saja. Ketahuilah, kedatanganku ini mewakili suhumu untuk mematangkan urusan perjodohanmu dengan puteri Liok Ong Gun.” Merahlah wajah pemuda itu mendengar kata-kata yang terus terang ini. Ia merasa malu-malu dan juga bergirang hati. Kemudian ia duduk di dekat hwesio itu dan Liok Ong Gun lalu berkata kepada Seng Le Hosiang, “Apakah teecu harus memberi keputusan sekarang juga, susiok-couw?”

“Tentu, sekarang juga. Tak usah sungkan-sungkan, tinggal menyatakan setuju atau tidak, habis perkara. Pinceng tak dapat tinggal terlalu lama di sini.” Dari kata-katanya, dapat diketahui bahwa hwesio tua yang lihai ini mempunyai tabiat terus terang dan kasar.

Liok Ong Gun lalu minta permisi untuk merundingkan hal itu dengan anak isterinya, lalu ia memerintahkan dua orang pelayan yang berada di situ bersama Gwat Kong untuk mengeluarkan arak wangi dan menjamu hwesio itu bersama Gan-ciangkun. Dua orang pelayan itu segera mengambil arak dan hidangan pagi, dan dengan hati tak keruan rasa, Gwat Kong lalu menuangkan arak pula pada cawan mereka.

Sambil minum arak dan makan buah kering, Gan Bu Gi menceritakan tentang pertandingan malam tadi dengan Tin Eng. Mendengar ini Seng Le Hosiang tertawa-tawa girang sehingga arak cawannya tumpah sedikit membasahi jubahnya. Akan tetapi ia tidak memperdulikan hal ini, bahkan lalu berkata kepada Gan Bu Gi sambil tertawa, “Ha ha ha, kalau begitu, sudah sepuluh bagian perjodohanmu akan berhasil. Nona itu ternyata menaruh perhatian kepadamu. Ha ha ha! Siapakah pelayan yang baik hati dan yang menjadi perantara mempertemukan kalian berdua itu?”

Gan Bu Gi tersenyum dan menunjuk ke arah Gwat Kong, “Dia inilah orangnya yang telah begitu baik hati, locianpwe.”

Seng Le Hosiang memandang kepada Gwat Kong dan kembali ia tertawa besar, “Ha ha ha ....

orang seperti kau ini tidak pantas menjadi pelayan, anak muda. Hayo kau duduk di sini dan menemani kami minum arak!”

Tentu saja Gwat Kong tidak berani melakukan hal itu dan dengan takut-takut ia menjawab, “Ah, losuhu, mana siauwte yang rendah ini berani berlaku kurang ajar?”

“Tidak ada yang rendah atau tinggi, semua orang sama saja! Mari kau minum arak dengan kami,“ kata hwesio itu.

Gan Bu Gi sudah maklum akan tabiat hwesio tua itu, maka ia lalu berdiri dari kursinya, memegang lengan Gwat Kong dan menariknya perlahan.

“Marilah, Gwat Kong, mari kau minum sedikit arak agar kegirangan kami bertambah.” Terpaksa Gwat Kong duduk di sebelah kursi Gan Bu Gi dan kedua orang pelayan kawannya memandang dengan terheran-heran, akan tetapi mereka tidak berani ikut mencampuri hal ini karena takut kepada Gan-ciangkun. Menghadapi secawan arak wangi dalam keadaan hati menderita sedih, timbullah kembali nafsunya terhadap minuman keras itu. Nafsu minum arak bermabuk-mabukan yang selama empat tahun dapat dipadamkan dan terpendam di dasar perutnya itu, kini tiba-tiba menyala kembali dan berkobar membakar dadanya. Hanya araklah yang akan menghilangkan rasa sedih yang menggerogoti hatinya, pikirnya sambil menghabiskan arak secawan itu dengan sekali teguk!

Bukan main herannya kedua pelayan itu melihat betapa cara Gwat Kong minum arak menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli minum kawakan! Juga Gan Bu Gi memandang heran, akan tetapi Seng Le Hosiang tertawa terbahak-bahak dan memenuhi cawan pemuda itu sampai penuh sekali.

“Ha ha ha! Betul dugaanku tadi, kau tidak pantas menjadi pelayan, dan ternyata kau seorang laki-laki sejati. Hayo minum lagi, anak muda!” Sambil berkata demikian, hwesio yang doyan arak ini mengangkat cawan araknya yang telah dipenuhinya dan mereka minum lagi.

Arak yang diminum oleh Gwat Kong itu adalah arak tua yang wangi dan sudah tersimpan lama maka kerasnya bukan main. Biarpun dulu, empat tahun yang lalu, Gwat Kong kuat sekali minum arak, akan tetapi karena dulu ia belum pernah minum arak sekeras ini dan juga telah lama sekali perutnya tidak berkenalan dengan minuman keras, pula karena malam tadi ia tidak tidur sama sekali dan perutnya tidak diisi, maka setelah minum enam cawan arak wangi, ia mulai terkena pengaruh minuman keras itu. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ia mulai memandang kepada Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang dengan sinar mata berani dan tidak malu-malu seakan-akan mereka itu kawan-kawan baiknya sendiri, sedangkan ia kini mulai ikut tertawa-tawa senang.

Melihat hal ini, baik kedua orang pelayan yang melayani mereka maupun Gan-ciangkun dan Seng Le Hosiang, merasa geli dan gembira sekali.

“Tambah arak, tambah arak!” kata Seng Le Hosiang dengan girang dan kedua pelayan itu tidak berani membantahnya, karena mereka maklum bahwa hwesio tua ini adalah susiok- couw dari Liok-taijin dan memiliki ilmu yang hebat sekali.

Setelah minum lagi beberapa cawan, Gwat Kong menjadi mabuk betul-betul. Ia tersenyum- senyum dan kedukaan lenyap sama sekali dari wajahnya.

Ia mengangkat cawan dan memberi selamat kepada Gan-ciangkun, “Gan-ciangkun, kionghi, kionghi ”

“Nanti dulu,” kata Gan Bu Gi sambil tertawa, “Kau memberiku selamat untuk apakah?” “Bukankah kau telah berhasil memetik setangkai bunga indah di dalam taman keluarga Liok? Kiongho, sekali lagi kionghi (selamat) kau berbahagia sekali!” Dengan iringan suara

ketawa riang mereka bertiga minum kembali araknya.

“Memang perempuan itu seperti kembang ” Gwat Kong mulai mengoceh.

“Ha ha ha! Kau pandai membuat syair agaknya,” kata Seng Le Hosiang. “Belum pernah aku bertemu dengan pelayan sehebat kau. Teruskan, teruskan!”

Sambil tersenyum-senyum dan berdiri dari kursinya memandang ke kanan kiri seperti seorang pemain sandiwara sedang berlagak, Gwat Kong melanjutkan kata-katanya dengan suara merayu, “Perempuan itu bagaikan kembang ... kembang yang indah jelita ”

“Betul, betul!” kata Gan Bu Gi yang juga sudah kemasukan ‘setan’ arak.

“Kembang indah membuat setiap laki-laki ingin memetiknya akan tetapi kembangnya

yang indah selalu berduri ”

Gan-ciangkun dan Seng Le Hosiang tertawa lagi dengan girang.

“Perempuan itu bagaikan bintang di langit yang cemerlang ” kata pula Gwat Kong yang

makin ‘panas’ otaknya. “Setiap orang ingin sekali terbang ke sana. Akan tetapi, yang tidak bersayap jangan harap akan dapat mencapainya, dan sayap itu harus terbuat dari pada emas permata ”

“Eh, Gwat Kong, apakah kau tidak ingin pula memetik kembang indah juita dan terbang ke bintang gemilang?” tanya Seng Le Hosiang sambil tertawa-tawa lagi.

“Aku   aku pelayan hina dina yang miskin, yatim piatu yang bernasib malang, mana dapat

dibandingkan dengan dia ? Perempuan itu akan memandang rendah kepadaku, paling

banyak hanya akan memerintah ini-itu, atau bermurah hati sedikit memberi senyum tak berarti

..... aku bagianku hanya di kandang kuda.”

“Ha ha ha! Jangan berkata demikian, anak muda. Kau cukup tampan dan baik, hati wanita akan tergerak melihat mukamu,” kata Seng Le Hosiang.

Gwat Kong menggeleng-geleng kepalanya. “Tak mungkin! Aku mencintainya semenjak pertama kali melihatnya, memujanya bagaikan dewi, akan tetapi bagaimana aku dapat menyatakan cintaku? Kalau dia menjadi bulan, aku hanyalah sebatang rumput kering yang hanya dapat mengharapkan cahayanya yang sejuk pada saat ia muncul. Kalau ia tidak muncul, aku hanya boleh mengeluh dan menderita atau makin mengering!”

Tiba-tiba Gan Bu Gi bangun berdiri dan dengan mata memandang tajam ia membentak. “Gwat Kong! Siapakah perempuan yang kaumaksudkan itu?”

Akan tetapi Gwat Kong sudah lupa betul-betul akan keadaan dirinya itu dan yang kini mendapat jalan untuk menumpahkan semua isi hati dan kesedihannya, tidak memperdulikan pertanyaan ini dan terus mengoceh sambil memukul-mukul, “ha ha, namanya juga perempuan! Mudah sekali terpikat oleh harta benda, kedudukan, wajah tampan! Sekali saja melihat ketiga hal itu menjadi satu dalam diri seorang pemuda, lupalah ia akan pemuda lain yang miskin dan hina. Padahal akulah yang memberinya kesempatan untuk mempelajari ilmu pedang ”

“Gwat Kong!” sambil membentak marah Gan Bu Gi mengulur tangan mendorong tubuh Gwat Kong sehingga pemuda itu terdorong ke belakang, akan tetapi Gwat Kong tidak roboh tertelentang, bahkan lalu berjumpalitan ke belakang, sampai empat kali dalam gerakan yang aneh dan indah sekali. Ia jatuh berdiri dan tertawa bergelak-gelak.

Bukan main terkejutnya Gan Bu Gi menyaksikan kehebatan ginkang ini, bahkan Seng Le Hosiang juga terperanjat. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini memiliki kelihaian seperti itu.

“Anak muda, kau siapakah sebenarnya?” tanya Seng Le Hosiang dengan suara keras.

“Ha ha ha !” Gwat Kong tertawa terbahak-bahak. “Aku siapa? Aku adalah seorang pelayan hina-dina, mana dapat dibandingkan dengan Gan-ciangkun. Seorang wanita akan memilih dengan mudah. Ia tak mau memandang sebelah mata kepadaku walaupun aku yang telah mendpapatkan kitab pelajaran pedang .... memang dia sudah lupa akan budi !”

Tiba-tiba terdengar seruan halus dan tahu-tahu Tin Eng sudah melompat ke ruang tamu itu dengan pedangnya di tangan. Wajahnya merah padam karena marahnya.

“Gwat Kong! Tutup mulutmu, atau kau ingin kubunuh dengan pedang ini?” Sambil berkata demikian gadis itu mengancam dengan pedangnya dan menggigit bibirnya dengan gemas. “Ha ha ha!” Gwat Kong tertawa lagi. “Kau sudah lihai, dan mau bunuh aku? Silahkan, siocia, silahkan!”

Dengan marah sekali pedang di tangan Tin Eng bergerak dan menusuk ke arah dada Gwat Kong. Akan tetapi pemuda itu mengangkat dadanya dan menerima tusukan itu dengan kedua mata terbuka lebar sehingga Tin Eng tiba-tiba merobah arah tusukannya, akan tetapi masih saja mengenai lengan kanan Gwat Kong sehingga merahlah lengan bajunya karena darah yang mengalir keluar dari luka di lengannya. Akan tetapi sedikit pun pemuda itu tidak memperlihatkan rasa sakit maupun takut.

“Ilmu pedang itu ” kembali ia mengoceh.

“Gwat Kong, diam! Dan pergi dari sini!” Tin Eng membentak lagi sambil menodongkan pedangnya pada tenggorokan Gwat Kong. “Kau benar-benar mau menghinaku?”

Mendengar pertanyaan ini, Gwat Kong berseru keras dan mulai melangkah mundur perlahan- lahan. Pikirannya mulai terang dan ia dapat mengingat kembali keadaan. Bukan main menyesalnya bahwa ia telah menimbulkan kehebohan dan bahkan menghina nama gadis yang dicintainya. Ia mundur terus dan Tin Eng melangkah maju sambil terus mendorong lehernya. Akhirnya, Gwat Kong menubruk pilar besar di belakangnya dan ia berdiri mepet pada pilar itu dan berkata,

“Maaf, maaf .... siocia, maafkan aku ... ah, tidak, tidak! Aku tak dapat dimaafkan ....

bunuhlah! Teruskanlah pedangmu itu, tusukkanlah dan bunuh saja pelayan hina dina ini ”

Entah mengapa, melihat keadaan Gwat Kong sedemikian itu tiba-tiba saja meloncat keluar dua butir air mata dari kedua mata Tin Eng. Ia tadinya marah sekali karena sudah lama ia mengintai dan mendengarkan segala ocehan Gwat Kong dan baru ia melompat keluar ketika Gwat Kong menyebut tentang kitab pelajaran ilmu pedang.

Sementara itu, Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi berdiri sambil memandang peristiwa itu dengan terheran-heran. Juga dua orang pelayan memandang dengan heran dan takut kalau- kalau pedang itu akan benar-benar menusuk tenggorokan Gwat Kong.

“Kau ... kau berani menghina, berani kau mencemarkan namaku di depan orang lain ... kau ....

benar-benar kurang ajar !”

Dengan dada naik turun dan napas tersengal dara yang sedang marah itu berkata dengan suara hampir tak dapat terdengar. Gwat Kong tak berani menentang pandang mata Tin Eng, hanya memandang kepada pedang yang mengancamnya. “Memang, aku kurang ajar dan hina dina, kau teruskanlah seranganmu, nona.”

Pada saat yang menegangkan itu, Liok Ong Gun yang mendengar suara ribut-ribut masuk ke dalam ruangan tamu itu dan alangkah terkejutnya melihat betapa puterinya sedang menodong Gwat Kong dengan pedangnya dan agaknya hendak membunuh pemuda itu.

“Tin Eng!” teriaknya, “Apakah kau sudah gila?”

Mendengar teriakan ayahnya, Tin Eng sadar kembali dari marahnya dan dengan isak tertahan ia lalu menarik kembali pedangnya dan berlari ke kamarnya di mana ia banting tubuhnya di atas pembaringan sambil menangis.

Sementara itu, Gwat Kong yang setengah sadar setengah mabuk itu lalu berlutut di depan Liok Ong Gun dan berkata,

“Taijin, hamba telah melakukan dosa besar, mohon taijin suka memberi maaf sebanyaknya dan ijinkanlah hamba pergi.”

Liok Ong Gun merasa amat marah dan malu melihat betapa pelayannya yang tadinya dianggap baik ini ternyata mendatangkan keributan sehingga menimbulkan malu kepada keluarganya, maka tanpa banyak pikir lagi lalu berkata,

“Pergilah segera dan jangan kau muncul lagi di depanku!”

Gwat Kong bangkit berdiri lalu berjalan ke arah kamarnya dengan terhuyung-huyung, mengambil buntalannya dan segera meninggalkan gedung itu dengan hati perih. Luka di lengannya tak dirasakan lagi. Akan tetapi luka di hatinya terasa menyakitkan seluruh tubuhnya. Pikirannya tidak dapat digunakan dengan baik oleh karena terkacau oleh pengaruh minuman keras. Setelah keluar dari kota Kiangsui, ia lalu lari. Pengaruh arak membuat ia tak sadar betapa larinya itu cepat sekali, oleh karena tanpa disengaja ia telah mempergunakan ginkang yang selama ini dilatih dengan secara diam-diam di dalam kamarnya. Buku pelajaran silat yang tebal itu dibawanya di dalam buntalan pakaian yang kini berada di atas punggungnya, berikut juga sejumlah uang yang ia kumpulkan dari hasil upahnya.

Sementara itu, setelah Gwat Kong pergi, Liok Ong Gun menjura kepada susiok-couwnya menyatakan maafnya, sedangkan hwesio tua itu dengan masih terheran-heran bertanya, “Ong Gun, sebetulnya siapakah anak muda tadi? Ku lihat ginkangnya tidak rendah!”

Kepala daerah itu merasa heran mendengar ini. “Ginkang? Ah, pemuda itu semenjak berusia tiga belas tahun telah berada di tempat ini sebagai pelayan dan sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat, bagaimana bisa memiliki ginkang?” Kemudian dengan singkat ia menceritakan keadaan Gwat Kong yang rajin dan jujur.

Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi merasa heran sekali karena tadi mereka benar-benar telah menyaksikan kepandaian Gwat Kong. Dorongan Gan Bu Gi tadi bukanlah sembarangan dorongan, akan tetapi adalah gerakan ilmu silat yang disebut Jeng-kin-jiu-pai-san atau Tangan Seribu Kati Menolak Gunung. Tenaga dorongan itu sedikitnya ada tiga ratus kati dan jangankan orang yang tidak mengerti ilmu silat bahkan orang yang ilmu silatnya tidak tinggi dan tidak memiliki lweekang sempurna, tentu akan terdorong roboh. Akan tetapi, Gwat Kong pelayan yang dianggap bodoh tadi tidak roboh, bahkan memperlihatkan ginkang yang mengagumkan karena dalam keadaan setengah mabuk dapat berjumpalitan empat kali ke belakang dan jatuh dalam keadaan berdiri.

Akan tetapi karena cerita Liok Ong Gun amat meyakinkan, mereka menganggap bahwa hal itu mungkin terjadi karena kebetulan saja dan hal itu tidak dibicarakan pula.

“Bagaimana, apakah sudah ada keputusanmu tentang perjodohan ini?” tanya Seng Le Hosiang secara langsung oleh karena setelah ia merasa kenyang dan telah cukup lama berada di situ, ia ingin segera pergi pula.

“Teecu berdua isteri telah setuju dan dapat menerima pinangan ini, akan tetapi sebelum teecu bertanya kepada Tin Eng sendiri, teecu tidak berani memberi keputusan.” Tiba-tiba Gan Bu Gi yang merasa amat kecewa setelah mendengar dan melihat sendiri peristiwa yang terjadi antara Tin Eng dan Gwat Kong, diam-diam menaruh hati curiga dan cemburu terhadap Tin Eng dan pelayan itu, maka lalu berkata cepat,

“Seng Le Locianpwe dan Liok-taijin saya harap hal ini ditunda dulu saja dan dengan perlahan-lahan diurus, karena baru saja siocia mengalami kekagetan. Mengapa harus amat tergesa-gesa?”

Akan tetapi Seng Le Hosiang mencelanya, “Bu Gi, kau harus tahu bahwa pinceng datang menguruskan soal perjodohan ini untuk mewakili suhumu, dan kau tentu tahu pula bahwa pinceng tidak biasa menunda-nunda urusan. Kau tak usah ikut-ikut membicarakan hal ini! Bagaimana Liok Ong Gun, apakah pinceng dapat menentukan urusan ini untuk memberi jawaban kepada Bong Bi Sianjin ?”

Didesak sedemikian rupa, terpaksa Liok Ong Gun yang sebenarnya sudah setuju untuk mengambil Bu Gi sebagai menantu, menjawab, “Baiklah, susiok-couw, pinangan ini boleh dianggap sudah diterima dan ikatan jodoh sudah disyahkan, hanya tentang pernikahan, baiknya diputuskan kemudian untuk menetapkan waktunya. Teecu tidak bisa mendesak terlalu keras terhadap anak tunggal sendiri, sungguhpun teecu dapat menduga bahwa anakku tentu takkan keberatan terhadap hal ini.”

Barulah hati hwesio tua itu merasa lega mendengar ini. Ia tertawa tergelak-gelak dan berkata, “Bagus, bagus! Nah, kalau begitu pinceng pergi sekarang juga dan penetapan hari pernikahan akan ditentukan kemudian!”

Baik Gan Bu Gi maupun Liok-taijin, tak dapat menahan hwesio yang mempunyai adat kasar dan aneh itu, hanya mengantarnya sampai di luar gedung.

Setelah itu, Liok-taijin lalu masuk ke dalam gedungnya kembali dengan maksud untuk menegur puterinya tentang peristiwa tadi dan sekalian menyampaikan hal pinangan itu kepadanya. Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamar Tin Eng, ia mendengar suara isterinya membujuk-bujuk dan suara Tin Eng menangis.

Ia masuk ke dalam kamar itu dan isterinya segera berdiri melihat ia masuk, akan tetapi Tin Eng diam saja sambil terisak-isak di atas pembaringannya.

“Tin Eng, sungguh aku tidak mengerti melihat sikapmu tadi. Mengapa kau marah-marah dan hendak membunuh Gwat Kong di depan para tamu?” Liok-taijin menegur puterinya.

Mendengar pertanyaan ini, bukannya menjawab bahkan Tin Eng menangis makin keras. Ayahnya menggeleng-geleng kepala dan berkata kepada isterinya, “Coba kau lihat betapa keras kepala anak kita ini! Sebetulnya mengapa pula ia menangis?”

“Entahlah, semenjak tadi aku bertanya akan tetapi ia hanya menangis saja, memang sukar sekali mengurus Tin Eng!”

Kedua orang tua itu tentu saja tidak dapat tahu betapa hati dara itu merasa sakit sekali. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Gwat Kong masih bergema di telinganya dan biarpun hal ini masih membuatnya marah akan tetapi kemarahannya tidak sebesar penyesalannya teringat akan sikapnya sendiri yang hampir saja membunuh pelayan itu, bahkan telah melukai lengannya. Gwat Kong selama ini berlaku amat baik kepadanya dan apakah pembalasannya? Ia teringat betapa ia pernah menyatakan berhutang budi kepada pelayan itu dan belum membalasnya. Ia merasa kasihan kepada Gwat Kong, terutama kalau ia kenangkan ucapan- ucapan pemuda tadi yang dengan terang-terangan menyatakan cinta kasihnya!

“Tin Eng,” ayahnya berkata keras. “Jangan kau berlaku seperti anak kecil! Ketahuilah, usiamu telah enam belas tahun lebih dan kau telah menjadi seorang dewasa. Perlakuanmu terhadap Gwat Kong tadi tidak seharusnya dilakukan oleh seorang gadis bangsawan seperti engkau.

Boleh jadi pelayan itu membuat kesalahan, akan tetapi kau tidak berhak untuk turun tangan sendiri kepadanya di depan susiok-couw dan calon suamimu.”

Mendengar sebutan terakhir ini tiba-tiba Tin Eng serentak bangun duduk dan memandang kepada ayahnya dengan mata masih merah. Ibunya menaruh tangannya di atas pundak Tin Eng. “Anakku, kau telah dipinang untuk dijodohkan dengan Gan-ciangkun dan menurut pandangan mata kami berdua, pemuda itu sudah pantas untuk menjadi suamimu.”

Sebetulnya, hati Tin Eng memang amat tertarik oleh Gan Bu Gi yang selain tampan dan gagah, juga memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, sama sekali belum terpikir olehnya tentang perjodohan, maka ia merasa terkejut sekali mendengar ini. Pula, ucapan-ucapan Gwat Kong yang masih bergema di telinganya itu membuyarkan sama sekali perasaan hatinya yang agak condong kepada Gan-ciangkun.

“Ayah, aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga!” jawabnya keras dan dengan suara tetap.

“Anak bodoh! Ayah ibumu telah menerima pinangan itu. Siapa lagi kalau bukan Gan Bu Gi yang pantas menjadi menantuku?”

“Ya, pantas menjadi menantumu, ayah, akan tetapi aku tidak ingin menjadi isterinya, atau isteri siapapun juga!” jawab Tin Eng bersikeras.

Marahlah Liok Ong Gun melihat kebandelan anaknya ini. “Tin Eng! Jangan kau berkeras kepala! Kurang apakah pemuda seperti Gan Bu Gi? Ia cukup tampan, berkepandaian tinggi, berkedudukan baik, dan beradat baik pula!”

Teringat dara itu kepada ucapan dan sindiran-sindiran Gwat Kong, maka dengan muka merah ia menjawab, “Boleh jadi ia cakap, gagah, kaya, berkedudukan tinggi. Akan tetapi aku bukanlah gadis yang tergila-gila akan kekayaan dan kedudukan maupun ketampanan dan kegagahan. Ayah, aku tidak mau!”

Maka meluaplah kemarahan dalam hati Liok Ong Gun. Ia mengangkat tangan dan menampar muka Tin Eng sehingga gadis itu menekap pipinya yang tertampar dan air matanya mengalir kembali. Belum pernah ia ditampar oleh ayahnya dan hal ini amat menyakitkan hatinya. “Anak tidak berbakti! Kau terlalu dimanja sehingga menjadi keras kepala! Aku memberi waktu sampai malam nanti untuk kau menyehatkan kembali pikiranmu yang tersesat! Malam nanti aku menanti jawabanmu yang memastikan dan sekali-kali kau tidak boleh banyak berbantah dalam hal ini!” Setelah berkata demikian, Liok-taijin tinggalkan kamar itu dan menutup pintu kamar anaknya keras-keras.

Tin Eng menjatuhkan diri di atas pembaringannya dan menangis sedih. Ibunya memeluknya dan membujuk-bujuk. Akan tetapi gadis itu tak dapat dihibur dan menangis tersedu-sedu sehingga habis air matanya ditumpahkan membasahi bantalnya.

05. Pertikaian Murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai

SEMENTARA itu Liok-taijin lalu memanggil kedua orang pelayan yang tadi melayani Seng Le Hosiang. Ia menyuruh kedua pelayan ini menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada waktu keributan tadi. Karena takut untuk menyembunyikan sesuatu, kedua pelayan itu lalu menceritakan segala yang mereka dengar dan lihat.

Bukan main marahnya hati Liok Ong Gun mendengar akan kekurang ajaran Gwat Kong dan ia merasa menyesal mengapa tadi ia membiarkan pemuda itu pergi. Kalau ia tahu akan menghukumnya. Dan yang paling menyebalkan hatinya ialah pernyataan-pernyataan dan ucapan-ucapan Gwat Kong yang seakan-akan menyindirkan keadaan Tin Eng dan menyatakan cinta kasihnya terhadap anaknya. Puteri tunggalnya seorang dara puteri Kepala daerah, bangsawan dan kaya raya. Orang paling berkuasa di kota Kiangsui, dicinta oleh seorang bujang pelayan yang rendah dan hina? Kurang ajar sekali anak itu!

Dan ketika memikirkan hal ini, teringatlah ia akan penolakan Tin Eng terhadap perjodohan itu, maka ia menduga-duga apakah hubungannya penolakan ini dengan kekurang ajaran Gwat Kong? Makin marahlah ia dan dengan mata terbelalak ia berkata kepada dua orang pelayan itu, “Kalian berdua harus dapat menutup mulut dan jangan diceritakan segala peristiwa yang terjadi tadi kepada siapapun juga! Aku akan mencari dan menjatuhi hukuman kepada Gwat Kong si keparat, dan kalau sampai ada orang luar mendengar tentang peristiwa memalukan itu, tentu kaulah yang bocor mulut dan awas! Aku takkan memberi ampun kepadamu!”

Kedua orang pelayan itu lalu mengundurkan diri dengan ketakutan dan tentu saja mereka tidak berani membuka mulut tentang peristiwa yang terjadi pagi tadi, jangankan kepada orang lain, kepada isteri mereka sendiri mereka tidak berani menceritakan!

Pada malam hari itu, dengan hati penuh harapan, Liok Ong Gun masuk ke dalam kamar puterinya bersama isterinya untuk meminta jawaban dari gadis itu. Mereka mendapatkan Tin Eng masih duduk di atas pembaringan sambil termenung.

“Tin Eng, pikirkan baik-baik bahwa kami berdua hanya ingin menunjukkan jalan kebahagiaan untukmu, maka sebagai seorang anak berbakti kau pun harus mendatangkan kesenangan dalam hati orang tuamu dengan jawaban yang baik,” kata Liok Ong Gun dengan suara halus sungguhpun hatinya masih merasa marah karena teringat akan cerita kedua pelayan tadi.

Sampai lama Tin Eng tidak menjawab, hanya memandang kepada kedua orang tuanya. Kemudian, setelah berkali-kali menarik napas panjang, ia berkata. “Ayah, aku masih belum bersedia untuk terikat oleh perjodohan, harap kau suka maafkan, ayah.”

Timbullah lagi kemarahan dalam hati Liok-taijin, akan tetapi ditahan-tahannya ketika ia bertanya dengan muka merah, “Sudah kau pikirkan baik-baik?”

“Sudah, ayah,” jawab gadis itu sambil menundukkan kepalanya.

“Apakah alasanmu maka kau menampik? Apakah tidak suka kepada Gan-ciangkun?”

Tin Eng menggeleng kepalanya. “Tidak ada alasan apa-apa, ayah. Hanya aku belum ada pikiran untuk menikah. Aku tidak suka mengubah keadaan hidupku dan ingin tinggal seperti biasa saja.”

“Anak bandel!” Liok-taijin membentak dan kini ia tidak dapat menahan marahnya yang tadi ditekan-tekannya. Kemarahannya meluap dan ia berkata, “Kau anak tidak berbakti yang hanya mengecewakan dan membikin malu orang tua! Diatur baik-baik kau tidak menurut, dan membiarkan dirimu dihina oleh cinta seorang pelayan rendah!”

“Ayah!” Tin Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak.

“Hmm, kaukira aku tidak tahu? Anjing she Bun yang hina dina itu telah berani menyatakan di depan pelayan lain dan susiok-couw bahwa ia mencintaimu! Alangkah rendahnya, sungguh memalukan! Dan kau kau sekarang menolak pinangan Gan-ciangkun, bukankah ini

menimbulkan dugaan seakan-akan kau .... membalas cinta anjing itu ??”

“Ayah !!”

“Tutup mulutmu, aku tidak menyangka bahwa kau membalas cintanya karena tadi pun kau hendak membunuhnya. Akan tetapi, kalau kau menolak pinangan ini, tentu akan timbul dugaan seperti itu dalam hatiku. Pendeknya kau harus menerima pinangan ini dan hari pernikahan akan ditetapkan kemudian, dan kau tidak boleh membantah. Aku telah menerima pinangan itu dan tak boleh dibatalkan lagi!”

“Ayah ...!” Akan tetapi Liok Ong Gun telah melangkah pergi, diikuti oleh isterinya yang takut kalau-kalau suaminya marah apabila ia tinggal di kamar puterinya.

Tin Eng menangis lagi dengan sedihnya. Ia merasa mendongkol dan gemas sekali kepada Gwat Kong karena pemuda itulah yang menimbulkan gara-gara ini. Kalau saja Gwat Kong tidak bersikap seperti pagi tadi, tentu ia lebih mudah untuk menolak pinangan itu. Apa daya? Ayahnya telah memaksa dan ia cukup maklum akan kekerasan hati ayahnya.

Pada keesokan harinya, ketika pelayan wanita memasuki kamar Tin Eng, ia mendapatkan kamar itu kosong karena Tin Eng telah pergi tak meninggalkan bekas. Gegerlah di dalam gedung itu dan ternyata kemudian bahwa Tin Eng telah minggat dari rumahnya malam tadi, membawa beberapa potong pakaian, tanpa meninggalkan pesan sesuatu!

Liok-taijin merasa marah dan malu sekali maka ia lalu memberi perintah kepada para pelayan dan penjaga di gedung agar hal ini jangan sampai tersiar di luar. Kemudian ia lalu memanggil Gan Bu Gi dan memberi perintah kepada calon menantu ini untuk membawa beberapa orang perwira dan pergi mencari Tin Eng. Juga dipesan kalau bertemu dengan Gwat Kong supaya dibunuh saja pelayan yang menimbulkan kekacauan itu.

****

Bun Gwat Kong yang melarikan diri terus ke selatan tiba di dalam hutan dan ia duduk beristirahat. Setelah berlari dan keluar peluh, pusingnya akibat arak itu lenyap dan ketika duduk di tempat teduh dan mendapat siliran angin lalu, terkenanglah ia akan segala peristiwa yang terjadi dan timbul penyesalan hebat di dalam hatinya. Ia merasa lengannya yang tertusuk ujung pedang Tin Eng, dan tersenyumlah dia. Luka itu telah mengering, tanda bahwa tiap luka tentu lambat laun akan sembuh, sebagaimana juga dengan hatinya yang terluka pada saat itu. Ia maklum bahwa dengan terjadinya peristiwa itu, Tin Eng tentu amat membencinya. Ah, ini lebih baik lagi, agar ia tidak selalu memikirkan gadis itu karena bukankah gadis itu akan menjadi isteri orang lain, isteri Gan-ciangkun?

Mendengar siliran angin dan karena perutnya amat lapar, ia lalu berpindah tempat, mencari tempat yang enak di bawah pohon, tertutup oleh serumpun alang-alang dan sebentar saja ia sudah tidur pulas.

Belum beberapa lama ia tidur, tiba-tiba terdengar suara ribut tak jauh dari tempat itu sehingga Gwat Kong terbangun dengan terkejut. Ketika ia memperhatikan, terdengarlah suara senjata tajam beradu, tanda bahwa di dekat situ terdapat orang-orang sedang bertempur. Dengan heran Gwat Kong mengintai dari balik rumpun alang-alang itu dan terkejutlah ia ketika ia melihat bahwa yang bertempur itu adalah seorang tosu tua yang ia kenal sebagai Bong Bi Sianjin, guru Gan Bu Gi yang dulu datang di gedung Liok-taijin. Tadinya ia menyangka bahwa kakek itu sedang bertempur dengan dua orang pemuda yang gagah perkasa. Gwat Kong belum pernah melihat pemuda-pemuda itu, akan tetapi melihat wajah mereka yang tampan itu membayangkan kegagahan, begitu melihat ia telah merasa suka.

Sebetulnya, pertandingan yang sedang berlangsung itu hebat sekali karena gerakan Bong Bi Sianjin dan kedua orang lawannya yang muda itu benar-benar lihai dan cepat. Kalau orang biasa yang melihatnya tentu ia akan menjadi pening dan pandang matanya menjadi kabur. Akan tetapi, Gwat Kong tanpa menyadari keadaannya sendiri, dapat melihat jalan pertempuran itu dengan jelas. Ia melihat betapa kedua orang muda itu terdesak hebat oleh sepasang tangan Bong Bi Sianjin, sungguhpun keduanya menggunakan senjata pedang.

Kedua pemuda itu bertubuh tegap dan berwajah tampan, seorang di antara mereka berbaju biru dan yang seorang pula berbaju putih. Ilmu pedang mereka gesit dan kuat sehingga pedang yang dimainkan merupakan gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi Bong Bi Sianjin yang menghadapi mereka dengan tangan kosong itu dengan tenang dapat menghindarkan semua serangan pedang dengan ginkangnya yang tinggi hingga tubuhnya dapat melayang di antara sinar pedang dan membalas dengan pukulan-pukulan yang digerakan dengan tenaga khikang.

Kadang-kadang tangannya mencengkeram dengan Ilmu Eng-jiauw-kang dan angin pukulannya ternyata kuat sekali. Kini sepasang pemuda itu telah terdesak hebat, dan tibalah tendangan Siauw-cu-twi yang datangnya bertubi-tubi dan berhasil mengenai tangan pemuda baju putih yang memegang pedang sehingga pedang itu terlempar ke atas! Akan tetapi, pemuda itu ternyata hebat juga, karena ia dapat melompat ke atas dan menangkap kembali gagang pedang itu!

“Bagus, anak muda murid Hoa-san tidak mengecewakan!” Tosu itu memuji dan mengirim serangan lagi makin hebat sehingga kedua anak muda itu kini hanya dapat menangkis saja, karena kedua ujung lengan tosu itu kini dugunakan sebagai senjata yang mengirim pukulan dan totokan luar biasa!

Gwat Kong yang melihat guru Gan Bu Gi, merasa tidak senang karena betapapun juga ia menganggap bahwa Gan Bu Gi adalah perusak kebahagiaannya. Ia mengambil tiga buah uang tembaga dari buntalannya dan dari tempat sembunyinya ia menyambit ke arah tubuh Bong Bi Tosu di tiga bagian!

Pada saat itu, Bong Bi Sianjin telah mendesak amat hebatnya dan telah dapat dibayangkan bahwa tak lama kemudian tentu kedua orang muda itu akan roboh ditangannya. Tiba-tiba nampak berkelebat tiga cahaya menuju ke tosu itu yang menjadi amat terkejut oleh karena belum juga benda itu sampai, anginnya telah menyambar tiba terasa olehnya!

Dengan cepat Bong Bi Sianjin melompat ke kiri, akan tetapi sebuah di antara tiga senjata rahasia itu malah melayang ke arah dada sehingga dengan cepat ia menyampoknya dengan ujung lenagn bajunya. “Brett!” dan terkejutlah Bong Bi Sianjin karena biarpun senjata yang ternyata hanya sebuah uang tembaga itu dapat dipukul ke samping akan tetapi ujung lengan bajunya menjadi berlubang.

Padahal ketika menyampoknya tadi, ia telah mengerahkan lweekangnya dan jangankan baru sebuah uang logam, bahkan baja sekalipun tak mungkin dapat membikin ujung baju itu berlubang! Ia maklum bahwa pasti ada seorang sakti yang membela kedua pemuda lawannya itu, maka sambil melompat mundur ia berseru, “Sahabat, terima kasih atas pertunjukkanmu tadi. Harap suka keluar untuk bertemu muka.”

Akan tetapi, Gwat Kong diam saja dan hanya mengintai dari balik alang-alang itu tanpa berani bergerak. Bong Bi Sianjin merasa marah sekali dan menganggap bahwa orang sakti itu tentu memandang rendah kepadanya, maka ia lalu menjura dan berkata, “”Biarlah, kalau ada orang pandai melindungi anak murid Hoa-san, lain kali pasti bertemu lagi!” Setelah berkata demikian, Bong Bi Sianjin melempar pandang mengejek ke arah kedua orang muda itu, lalu tubuhnya berkelebat dan pergi dari tempat itu.

Kedua orang muda itu lalu memandang ke arah rumput alang-alang dan sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat, si baju biru yang lebih tua berkata, “Inkong (tuan penolong), kami menghaturkan terima kasih dan harap inkong sudi memperlihatkan diri.”

Akan tetapi tidak ada jawaban sehingga kedua orang muda itu saling pandang dan mengangkat pundak masing-masing.

“Mungkin dia sudah pergi lagi, “ kata pemuda baju putih. “Mari kita lihat,” kata yang berbaju biru.

Mereka lalu melangkah maju dan menyingkapkan rumpun alang-alang itu dan bukan main heran hati mereka ketika melihat di situ hanya ada seorang pemuda yang berpakaian pelayan sedang berbaring dengan sebuah buntalan digunakan sebagai bantal!

“Kaukah yang menolong kami tadi?” tanya si baju putih dengan ragu-ragu, karena ia tidak percaya kalau anak muda ini yang berhasil mengusir tosu yang amat lihai itu.

“Siapa yang menolong?” balas Gwat Kong dengan sikap tak acuh. “Aku tidak suka kepada tosu yang mengganggu tidurku itu dan setelah kuberi tiga potong uang tembaga barulah pengemis tua itu pergi.” Setelah berkata demikian, Gwat Kong lalu bangun duduk dan mengambil buntalannya.

“Ah, kalau begitu benar kau yang telah menolong kami. Terima kasih, sahabat, marilah kita bicara di tempat yang lebih enak,” kata pemuda yang berbaju biru sambil mempersilahkan berdiri. Sedangkan si baju putih lalu memegang buntalan Gwat Kong untuk dibawakan.

“Biarlah siauwte membawakan bungkusanmu,” katanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa beratnya bungkusan yang dipegang oleh Gwat Kong itu. Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya untuk mengambil bungkusan itu, akan tetapi bungkusan yang terpegang oleh pemuda berpakaian pelayan itu sama sekali tak dapat ia gerakan. Ia maklum bahwa pemuda pelayan itu memiliki kepandaian tinggi dan tenaga lweekang yang luar biasa maka ia lalu melepaskan buntalan itu dan membungkuk-bungkuk memberi hormat sambil berkata, “Maaf, maaf!”

Mereka lalu keluar dari tempat itu dan berjalan menuju ke tempat dua ekor kuda yang ditambatkan pada sebatang pohon. Ternyata bahwa kedua pemuda itu datang menunggang kuda.

“Saudara yang gagah perkasa, kami telah berhutang budi kepadamu, karena kalau tidak ada kau yang menolong, tentu tosu tadi tidak mau memberi ampun dan akan membinasakan kami. Bolehkah kami mengetahui namamu yang mulia dan dari perguruan manakah kau datang?” Gwat Kong merasa bingung karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, dan tiba-tiba ia teringat akan rasa lapar yang menyerang perutnya, maka ia bahkan balas bertanya, “Apakah di dekat ini ada yang menjual makanan? Perutku lapar sekali!”

Kedua orang muda itu saling pandang lagi dengan mata terheran karena mereka merasa betapa anehnya sikap Gwat Kong itu.

“Kau lapar? Ah, kebetulan sekali kami membawa arak dan roti kering.”

“Bagus! Kalau begitu biarlah aku akan membeli makananmu itu,” kata Gwat Kong sambil mengeluarkan uang dari buntalannya.

“Ah, mengapa kau berlaku sungkan-sungkan,” kata si baju biru dan si baju putih segera mengambil makanan dan seguci arak dari punggung kuda.

“Marilah, sahabat, makanlah roti dan arak kami ini.”

Gwat Kong menggeleng-geleng kepala. “Tidak, kalau tidak mau menerima uangku, aku tidak berani makan makanan orang lain.”

“Akan tetapi kami bukanlah orang lain lagi, sobat baik!”

Si baju biru berseru, “Kami adalah kakak beradik, namaku Pui Kiat dan ini adikku Pui Hok dan sudilah kau memberi tahukan namamu yang mulia.”

“Namaku Bun Gwat Kong dan aku adalah seorang bekas pelayan biasa saja. Tentang makanan kalau kalian menawarkan dengan rela, aku takkan menolaknya!” Dengan girang

Pui Kiat dan Pui Hok lalu mengajak Gwat Kong duduk di atas rumput dan makan roti kering bersama arak.

Melihat betapa lahapnya Gwat Kong minum arak, kedua saudara Pui itu menjadi makin kagum.

“Mengapa kalian bertempur dengan tosu itu?” tanya Gwat Kong. Pui Kiat lalu menceritakan sebab-sebab pertempuran tadi. Kedua saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai dan dalam beberapa bulan akhir-akhir ini pihak Hoa-san-pai memang menanam permusuhan dengan pihak Go-bi-pai. Mula-mula hanya terjadi karena perkelahian antara anak murid saja, akan tetapi lama kelamaan menjalar sampai ke tokoh-tokohnya, sehingga bertandinglah Seng Le Hosiang tokoh Go-bi-pai melawan Sin Ceng Cu tokoh Hoa-san-pai yang berakhir dengan kekalahan bagi Seng Le Hosiang.

Hwesio ini merasa penasaran dan mencari sahabat untuk membantunya, yakni Bong Bi Sianjin tokoh Kim-san-pai itu. Oleh karena itulah, maka tiap kali Bong Bi Sianjin bertemu dengan murid-murid Hoa-san-pai, ia selalu menyerang dan membikin malu mereka! Karena kedua pihak tidak ada yang mau mengalah maka permusuhan itu makin menjalar, bahkan sudah ada yang saling bunuh di antara anak murid Hoa-san-pai melawan anak murid Go-bi- pai! “Ah, tak kusangka sama sekali bahwa tokoh-tokoh persilatan itu tak lain hanya anak-anak kecil yang nakal dan gemar berkelahi saja!” kata Gwat Kong terheran-heran dan menghela napas panjang.

Kedua saudara Pui itu merasa amat heran melihat pemuda yang berkepandaian demikian lihai, akan tetapi yang kelihatannya seperti orang bodoh dan tidak berpengalaman. “Bolehkah kami mengetahui, Bun-taihiap ini anak murid cabang manakah?”

Gwat Kong tersenyum, bangkit berdiri sambil menyambar buntalan pakaiannya dan menjawab, “Aku tidak mempunyai guru!” Dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah lari jauh sekali!

Kedua saudara Pui itu hanya dapat saling pandang dengan bengong dan tiada hentinya mereka membicarakan kehebatan dan keanehan pemuda itu, yang telah menolong mereka dari desakan Bong Bi Sianjin.

“Bukan main!” akhirnya Pui Hok berkata. “Siapakah sebenarnya orang aneh tadi? Ia masih muda, jauh lebih muda dari pada kita, paling banyak baru delapan belas tahun, akan tetapi lweekang dan ginkangnya sudah sehebat itu! Suhu sendiri belum tentu dapat mengatasinya!”

Demikianlah, kedua saudara Pui itu menduga-duga kagum dan heran.

****

Sambil berlari terus menuju ke kota Kihong, Gwat Kong mulai merasa tertarik akan penghidupan merantau. Ia kagumi kedua saudara Pui yang gagah perkasa dan merasa gembira telah dapat berkenalan dengan dua orang pemuda itu. Kini ia maklum mengapa Seng Le Hosiang begitu mati-matian membela Bong Bi Sianjin dan muridnya, tidak sedan-segan mempergunakan pengaruhnya terhadap cucu muridnya, yaitu Liok Ong Gun untuk memberi kedudukan baik kepada Gan Bu Gi serta memungut menantu pemuda itu.

Ia dapat menduga bahwa Seng Le Hosiang tentu mengharapkan bantuan Bong Bi Sianjin dalam usahanya menghadapi pihak Hoa-san-pai, sebagaimana terbukti dari penuturan kedua saudara Pui tadi. Karena ia memang tidak suka kepada Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin yang timbul karena tidak sukanya kepada Gan Bu Gi, maka otomatis ia berpihak kepada kedua saudara Pui atau kepada pihak Hoa-san-pai.

Dengan ginkangnya yang di luar pengetahuan sendiri telah mencapai tingkat tinggi itu, Gwat Kong berlari cepat sekali hingga setelah hari mulai menjadi gelap ia tiba di kota Kihong. Ia masih ingat di mana jenazah ibunya dimakamkan, maka ia langsung menuju ke tempat kuburan itu dan ketika melihat betapa makam ibunya kini ditumbuhi rumput alang-alang yang tinggi dan liar sehingga kuburan itu terlantar karena tidak terawat, ia menjadi terharu dan bersedih. Ia merasa berdosa kepada ibunya, teringat akan segala kenakalannya ketika ia masih tinggal bersama ibunya di Kihong. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ibunya dan menangis sedih.

Pada keesokan harinya, ia menggulung lengan baju dan mulai membabat dan mencabut rumput alang-alang itu, membersihkan kuburan ibunya. Kemudian ia pergi ke kota dan membeli hio-swa dan kembang untuk bersembahyang di depan makam ibunya. Dua hari dua malam ia tinggal di situ dan tidak tidur sedikitpun, hanya duduk bersila di depan kuburan sambil mengenangkan semua peristiwa di waktu ia masih kecil dan yang masih dapat teringat olehnya. Ia teringat akan pesan ibunya untuk membalas dendam kepada Tan-wangwe (hartawan Tan) yang tinggal di Lam-hwat dan yang telah memfitnah ayahnya sehingga orang tuanya itu menerima bencana hebat yang menyebabkan semua keluarganya menderita.

Pada hari kedua, karena lelah dan mengantuk, Gwat Kong tak dapat bertahan lagi dan ia merebahkan tubuhnya di atas tumpukan rumput alang-alang yang dibabatnya. Angin pagi berselir membuat matanya sukar untuk menahan ngantuknya sehingga tak lama kemudian ia tertidur dengan nyenyak.

Ia tidak tahu bahwa belum lama setelah ia jatuh pulas, enam orang yang berpakaian perwira Sayap Garuda datang di tempat itu dan kini keenam orang itu berdiri memandangnya dan dengan lagak mengancam. Mereka ini bukan lain ialah Gan Bu Gi sendiri dengan lima orang kepala perwira dari gedung Kepala daerah Kiang-sui yakni Thio Sin, Lie Bong, dan Kiang-sui Sam-eng ketiga jago dari Kiang-sui!

Melihat Gwat Kong tertidur di dekat segunduk tanah kuburan, Gan Bu Gi yang mendapat perintah dari calon mertuanya untuk membunuh Gwat Kong segera mencabut pedangnya dan hendak menikam dada pemuda itu.

“Tahan dulu, ciangkun!” kata Thio Sin yang melihat gerakan ini sehingga perwira muda itu menahan pedangnya dan memandang dengan heran.

“Mengapa, Thio-twako? Liok-taijin telah memberi perintah kepada kita untuk membunuhnya, bukan?”

“Sesungguhnya kurang sempurna kalau kita yang disebut orang-orang gagah dari Kiang-sui harus membunuh seorang pelayan lemah yang sedang tidur pulas! Bagaimana kalau sampai terlihat oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Biarpun tidak akan mereka ketahuinya setidaknya kita akan merasa malu terhadap batin sendiri!”

Bu Gi yang muda itu menjadi serba salah dan mengangkat pundak. “Habis, bagaimana baiknya ? Aku hanya hendak memenuhi tugas yang diperintahkan oleh Liok-taijin.”

“Lebih baik kita tangkap padanya, kalau dia melawan, barulah kita mempunyai alasan untuk membunuhnya. Biarpun hendak dibunuh harus dalam keadaan sadar dan tidak sedang tidur seperti ini!” Thio Sin lalu menghampiri Gwat Kong yang sedang tidur dan mengeluarkan sehelai tambang yang kuat. Dengan bantuan Lie Bong dan kawan-kawan lain ia lalu mengikat kedua lengan Gwat Kong yang masih tidur nyenyak itu dengan erat. Ternyata Gwat Kong yang terlampau lelah dan mengantuk itu tidak merasa sama sekali betapa kedua lengannya ditelikung ke belakang dan dibelenggu erat-erat bagaikan kerbau hendak disembelih itu.

“He, Gwat Kong! Bangunlah!” Thio Sin menggoyang-goyang tubuhnya dan ketika pemuda itu belum juga terbangun, timbullah gemasnya. “Dasar orang malas, malas dan tolol!”

Gan Bu Gi tertawa geli, menertawakan Thio Sin yang dianggap mencari kerepotan sendiri. Mengapa harus berlaku sungkan-sungkan terhadap seorang pelayan seperti Gwat Kong?

Sekali tusuk dengan pedang dan habis perkara! “Kau memang terlampau lemah, Thio-twako. Biarlah aku tamatkan saja pelayan malas agar kita tidak pusing-pusing lagi.” Kembali Gan Bu Gi mencabut pedangnya, akan tetapi pada saat itu Lie Bong telah datang membawa tempat air yang dibekalnya dalam perjalanan.

Perwira muka hitam yang tinggi besar ini lalu membuka tutup mulut tempat air itu dan menyiram muka Gwat Kong yang telentang. Usaha ini ternyata berhasil baik karena Gwat Kong segera terjaga dari tidurnya dengan gelagapan! Ia bermimpi naik perahu dengan ibunya dan ketika tiba di tengah-tengah telaga, perahu itu terguling hingga ia dan ibunya tenggelam ke dalam air yang membuatnya gelagapan.

“Tolong ...!” teriaknya sambil menggerak-gerakan tangan. Akan tetapi karena kedua tangannya dibelenggu, maka ia membuka mata dan memandang di sekelilingnya dengan terheran-heran. Ia melihat enam orang perwira mengelilingi sambil tertawa bergelak-gelak karena merasa geli melihat ia gelagapan dan minta tolong tadi.

Begitu melihat orang-orang ini, maklumlah Gwat Kong bahwa ia berada dalam bahaya. Kedatangan mereka ini tentu tidak mengandung maksud baik, pikirnya.

“Cuwi-ciangkun, kalian datang mengganggu tidurku dengan maksud apakah?” tanyanya sambil memandang kepada Thio Sin yang sudah dikenalnya baik-baik.

“Gwat Kong, menurut perintah Liok-taijin, kau harus ditangkap,” jawab Thio Sin.

“Bukan hanya ditangkap, bahkan harus dibunuh!” kata Gan Bu Gi dengan gemas karena ia teringat akan Tin Eng yang melarikan diri dari rumah. Dalam kesedihan dan kekecewaannya, panglima muda ini menyalahkan Gwat Kong dalam hal ini, maka timbullah kebenciannya semenjak Gwat Kong membuka rahasia hatinya dalam keadaan mabok itu.

Mendengar ucapan mereka yang hendak menangkap dan membunuhnya, Gwat Kong menjadi terkejut sekali. Tanpa sengaja ia mengerahkan tenaganya dan menggerakkan kedua lengannya yang diikat erat-erat. “Kreekkk!” dengan sekali renggut saja, putuslah semua tali yang mengikatnya dan ia melompat berdiri lalu menyambar buntalan pakaian yang tadi ia gunakan untuk bantal kepala!”

Bukan main terkejut dan herannya semua perwira yang mengepungnya, bahkan Thio Sin memandang dengan melongo! Tambang yang digunakan untuk mengikat tangan Gwat Kong itu adalah tambang yang kuat dan besar, maka mana mungkin pemuda itu dapat memutuskan dengan sekali renggut saja?

Akan tetapi Gan Bu Gi yang sudah dapat menduga bahwa Gwat Kong memiliki ilmu kepandaian tinggi karena dulu pernah menyaksikan kepandaian ginkang pelayan muda itu, tak mau membuang waktu lagi dan segera menyerangnya dengan pedang di tangannya. Serangan ini cepat dan hebat sekali dan pedangnya menyambar ke arah leher Gwat Kong. Begitu cepat datangnya pedang yang menyambar ini sehingga semua perwira yang lain menyangka bahwa leher Gwat Kong tentu akan putus seketika, akan tetapi bukan main heran dan terkejutnya hati mereka ketika melihat betapa dengan amat mudahnya Gwat Kong melompat ke samping sambil berseru, “Ayaaaa ...” dan sabetan pedang itu mengenai tempat kosong!

“Kurung, tangkap atau bunuh dia!” teriak Gan Bu Gi. “Jangan biarkan dia lolos!” Mendengar perintah ini, barulah lima orang perwira Sayap Garuda itu menjadi sadar dan segera bergerak maju dengan kedua tangan bermaksud untuk menangkap Gwat Kong. Mereka masih merasa ragu-ragu untuk mempergunakan senjata, karena mereka merasa malu untuk mengeroyok seorang pelayan muda yang bertangan kosong itu dengan senjata, padahal mereka semua berenam! Akan tetapi, segera mereka merasa terkejut sekali oleh karena tubuh Gwat Kong tiba-tiba berkelebat dan melompat tinggi sekali melewati kepala mereka dan pemuda itu hendak melarikan diri.

“Kejar!” teriak Gan Bu Gi sambil melompat dan mengirim sebuah tusukan ke arah punggung Gwat Kong. Pemuda ini yang belum menyadari betapa tinggi ilmu silatnya, mendengar suara angin tusukan pedang dan otomatis tubuhnya yang sudah terlatih itu miring untuk mengelak serangan tadi. Kemudian mengikuti gerakan tubuhnya yang sudah dapat bergerak dengan otomatis menurut pelajaran yang dilatihnya selama ini, kaki kirinya menendang ke arah pergelangan tangan Gan Bu Gi. Tendangan ini tak terduga sekali datangnya dan selain cepat, juga dilakukan dalam kedudukan yang sukar sehingga Gan Bu Gi tak dapat mengelak lagi. Ia berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangannya karena pergelangan tangannya tertendang dengan cepat sekali oleh ujung kaki Gwat Kong!

Sementara itu lima orang perwira Sayap Garuda telah memburu dengan senjata masing- masing di tangan, lalu maju menyerbu ketika melihat betapa Gan Bu Gi dalam sekali gebrak saja telah kehilangan pedangnya! Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi karena dapat menduga bahwa diluar sangkaan, pelayan muda itu ternyata memiliki ilmu silat yang lihai!

Melihat hasil kelitan dan tendangannya, Gwat Kong menjadi gembira sekali. Gan Bu Gi yang gagah perkasa itu dapat dibikin tak berdaya dalam sekali gebrakan saja! Kini dengan sikap berani ia lalu menghadapi kelima orang perwira itu, bahkan hendak menguji kepandaian sendiri dan menghadapi mereka dengan tangan kosong dan sikap tenang sekali.

Ketika lima orang perwira itu maju dengan senjata mereka, menyerang Gwat Kong dari semua jurusan, tiba-tiba Gwat Kong berseru keras dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke arah para penyerangnya. Sambil menyampok tiap senjata yang meluncur ke arahnya, ia menggunakan tangan kiri yang digerakan ke arah kepala penyerangnya dan lima kali ia bergerak, ternyata ia telah dapat merampas semua bulu garuda yang menghias topi para perwira tadi! Kelima lawannya belum mengetahui hal ini akan tetapi ketika Gwat Kong melompat jauh lalu berdiri sambil menjura dan memperlihatkan bulu-bulu itu, mereka terkejut sekali lebih-lebih ketika mereka meraba topi mereka dan tidak mendapatkan lagi penghias topi yang merupakan tanda pangkat itu!

“Thio-ciangkun, tanpa bulu garuda topimu, kau kelihatan seperti seorang petani saja.” Gwat Kong menggoda. Sambil berkata demikian tiba-tiba ia menggerakkan tangannya yang memegang bulu-bulu itu dan lima batang bulu yang bergagang runcing itu meluncur bagaikan anak panah dan sebelum kelima orang perwira itu dapat mengelak, bulu-bulu itu dengan tepatnya telah menancap ke topi mereka.

Mereka segera menanggalkan topi masing-masing dan ketika melihat betapa bulu-bulu itu menancap dengan tepat seperti semula, mereka merasa makin terkejut dan heran sehingga kini mereka memandang dengan mulut ternganga ke arah pelayan muda itu seakan-akan belum percaya kepada pandang matanya sendiri. Topi mereka masih terpegang di tangan masing- masing!

06. Keturunan Tihu dari Lam-hwat MELIHAT hal ini, Gan Bu Gi merasa marah sekali. Dia adalah anak murid yang tersayang dari Bong Bi Sianjin. Tokoh ternama dari Kim-san-pai yang telah membuat nama besar, maka kalau kini ia sampai dikalahkan dengan secara demikian mudahnya oleh seorang pelayan muda yang tidak ternama dan bodoh, alangkah akan malunya! Ia telah memungut kembali pedangnya yang tadi terlepas karena tendangan Gwat Kong dan sambil berseru keras ia lalu menubruk maju sambil putar-putar pedangnya dengan gerakan hebat sekali.

Memang tadi dalam segebrakan saja ia kena tertendang oleh Gwat Kong dan hal ini sebetulnya karena ia tidak pernah menyangka bahwa Gwat Kong akan dapat bergerak sedemikian cepatnya dan karena ia tadinya memandang rendah maka ia sampai terkena tendangan. Akan tetapi sekarang ia telah tahu bahwa Gwat Kong bukanlah orang sembarangan, maka selain berlaku hati-hati, iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang Kim-san Kiam-hoat yang memang kuat dan cepat gerakan itu. Sambil menyerang, tak lupa ia mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga serangannya makin lihai.

Melihat betapa sinar pedang di tangan Gan Bu Gi amat kuat dan cepat menyambar-nyambar ke arah tubuhnya, Gwat Kong terkejut juga. Biarpun ia kini telah dapat mengetahui akan tingkat kepandaiannya sendiri yang boleh diandalkan. Akan tetapi ia belum pernah bertempur melawan musuh tangguh, dan boleh dibilang semua kepandaian itu masih terpendam dan belum pernah digunakan.

Ia sama sekali belum mempunyai pengalaman bertempur, maka kini menghadapi Gan Bu Gi yang tangguh, ia merasa jerih dan segera mengeluarkan kepandaian yang dianggapnya paling hebat di antara semua pelajaran yang telah dipelajari dari kitab kuno itu, yakni ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia berseru keras dan mencabut sulingnya yang tersembul keluar ujungnya dari buntalan pakaian. Memang suling inilah yang selalu ia gunakan dalam latihan pedang di kamarnya, karena sebagai seorang pelayan, dari mana ia bisa mendapatkan pedang?

Ketika ia telah memegang suling itu, hatinya menjadi tetap kembali karena memang ia telah biasa mainkan suling ini sebagai pedang dalam latihan-latihan. Suling adalah benda yang amat ringan. Maka ketika ia mainkan Sin-eng Kiam-hoat yang lihai, tentu saja suling itu lalu terputar-putar hebat dan cepat sekali merupakan segulung sinar kekuning-kuningan yang mengurungi tubuhnya sendiri.

Kagetlah Gan Bu Gi melihat ini dan ia lalu menyerbu dengan hebat. Akan tetapi gerakan Gwat Kong amat cepatnya sehingga sukar untuk diikuti dengan pandang mata. Pedang Gan Bu Gi tidak berdaya karena ia telah menjadi bingung ke arah mana ia harus menyerang.

Tubuh lawannya sebentar-sebentar berpindah tempat dan tanpa mengetahui bagaimana lawannya itu bergerak, tahu-tahu ujung suling telah mengancam semua jalan darahnya sehingga Gan Bu Gi merasa pening dan bingung.

Kelima orang perwira yang tadi telah dipermainkan oleh Gwat Kong, makin kagum dan terheran-heran melihat sepak terjang pelayan itu. Mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda itu karena tertutup oleh sinar sulingnya yang digerakan secara luar biasa. Mereka hanya melihat betapa Gan Bu Gi terdesak dan terkurung oleh sinar kuning itu sehingga panglima yang mereka anggap sudah amat gagah perkasa itu berkelahi sambil mundur dan hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas lawannya! Tiba-tiba mereka mendengar Gan Bu Gi menjerit keras dan tubuh panglima itu terhuyung mundur sedangkan pedangnya sekali lagi terpental dan terlepas dari pegangannya. Terdengar suara Gwat Kong tertawa girang dan pemuda pelayan itu lalu melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan mereka.

Kelima orang perwira itu segera maju menolong dan mengangkat bangun pada Gan Bu Gi yang menolak pertolongan mereka dengan muka bersungut-sungut dan marah sekali. Ternyata tadi bahwa ketika ujung suling Gwat Kong secara aneh sekali dan bertubi-tubi menyerang dan mengancam jalan darahnya, dengan marah dan nekad panglima muda ini lalu memukul suling itu sekerasnya dengan pedang untuk mengadu tenaga. Akan tetapi. Bukan suling lawan yang terpental, bahkan telapak tangannya merasa gemetar karena ternyata bahwa tenaga lweekang lawannya luar biasa sekali kuatnya! Kemudian, selagi ia masih belum dapat mengembalikan dan menenangkan keadaannya, ujung suling itu telah meluncur cepat dan mengetuk pundak kanannya sehingga ia merasa pundaknya sakit sekali sampai terasa di hulu hati! Pedangnya terpental dan terlepas sedangkan tubuhnya terhuyung ke belakang!

Dengan marah dan bersungut-sungut, Gan Bu Gi mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke Kiang-sui. Ia memesan kepada kelima orang perwira itu agar jangan menceritakan peristiwa tadi kepada siapapun juga dan hanya melaporkan kepada Liok-taijin bahwa mereka tidak berhasil menangkap Gwat Kong yang telah melarikan diri entah ke mana. Kelima orang perwira itu setuju karena mereka telah dipermainkan oleh bekas pelayan itu.

Sementara itu, Gwat Kong dengan hati girang sekali melanjutkan larinya ke arah selatan karena ia hendak pergi ke Lam-hwat untuk mencari musuh besarnya, yaitu Tan-wangwe yang telah mendatangkan mala petaka kepada orang tuanya! Ia merasa girang sekali oleh karena sekarang ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya yang telah terbukti dengan perlawanannya terhadap Gan Bu Gi tadi. Ia masih belum tahu bahwa sebenarnya bukan Gan Bu Gi kurang lihai, akan tetapi adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari itulah yang luar biasa.

Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, sampailah Gwat Kong di kota Lam-hwat, tempat kelahirannya dan di mana dulu ayahnya menjadi tihu yang disegani karena jujur dan adil. Akan tetapi oleh karena ia telah dibawa pergi oleh ibunya dari kota ini ketika ia masih amat kecil maka ia tidak ingat sama sekali tentang kota ini dan memasuki kota Lam-hwat sebagai seorang asing yang belum pernah melihatnya.

Gwat Kong lalu mencari sebuah kamar di hotel dan oleh karena pakaiannya sebagai seorang pelayan itu, membuat para pengurus dan pelayan hotel memandangnya dengan curiga karena jarang sekali ada seorang pelayan bermalam di sebuah hotel, maka ia lalu keluar dan membeli pakaian di toko pakaian. Dengan pakaian barunya walaupun yang dibeli hanyalah pakaian sederhana, ia nampak lebih gagah. Rambutnya yang panjang dan hitam itu ia ikat dengan sehelai sapu tangan biru yang lebar sehingga keningnya nampak lebar menambah kegagahan wajahnya. Setelah ia mengenakan pakaian dan sepatu baru, maka semua pelayan di hotel tempat ia bermalam itu bersikap lebih hormat kepadanya sehingga diam-diam Gwat Kong merasa geli melihat kepalsuan ini.

Pada keesokan harinya, Gwat Kong mulai mencari keterangan tentang rumah keluarga Tan- wangwe, akan tetapi ia merasa kecewa sekali oleh karena di kota Lam-hwat tidak ada seorang hartawan bernama Tan-wangwe, sungguhpun banyak sekali bernama keturunan Tan tinggal di kota itu. Gwat Kong tidak putus asa dan terus menyelidiki bertanya ke sana kemari, bahkan ia mulai bertanya tentang nama ayahnya, yakni Bun Tiang Ek yang dulu menjadi tihu di kota Lam-hwat. Akan tetapi, oleh karena hal itu telah terjadi belasan tahun yang lalu dan kota Lam-hwat telah banyak kedatangan orang-orang baru, maka agaknya nama ini telah dilupakan orang! Tak seorangpun menyatakan pernah mendengar Bun-tihu ataupun Tan-wangwe.

Gwat Kong mulai merasa putus harapan dan dengan kecewa sekali ia masuk ke dalam sebuah rumah makan dan memesan makanan. Seorang pelayan tua mengantarkan makanan yang dipesannya. Melihat pelayan tua ini, teringatlah Gwat Kong bahwa ia telah melakukan kesalahan, ketika mencari keterangan tadi tidak seharusnya ia bertanya kepada orang-orang muda, yang mengetahui atau mengenal ayahnya serta Tan-wangwe tentulah orang-orang tua yang telah lama tinggal di Lam-hwat. Maka ketika pelayan itu hendak meninggalkan mejanya ia menahan dan bertanya,

“Lopeh (uwak), apakah lopeh sudah lama tinggal di kota ini?” Ia sengaja bertanya sambil lalu seakan-akan untuk mengadakan percakapan biasa saja.

Pelayan tua itu memandangnya dengan bibir tersenyum. Ia menganggukan kepalanya dan menjawab, “Tentu saja, kongcu, selama hidupku aku tinggal di kota ini, bahkan aku dilahirkan di Lam-hwat.”

Mendengar pengakuan ini, giranglah hati Gwat Kong, akan tetapi sungguhpun ia merasa betapa dadanya berdebar, ia berusaha agar wajahnya tetap biasa saja.

“Lopeh, marilah kau temani aku makan minum. Harap kau menambah sebuah mangkok kosong dan sepasang sumpit lagi untukmu.”

Pelayan itu memandang heran, belum pernah ada seorang tamu minta seorang pelayan makan bersama, dan selama puluhan tahun menjadi pelayan, baru kali ini ia mengalami pengalaman ganjil itu.

“Maksud kongcu aku kau minta makan minum bersama di meja ini?” Ia menegaskan

dengan ragu-ragu.

“Ya, lopeh. Aku merasa tidak bisa makan seorang diri, kurang sedap rasanya kalau tidak ada teman yang diajak mengobrol sambil makan minum. Marilah!”

Pelayan tua itu menengok ke kanan kiri dan di situ hanya terdapat seorang tamu lain yang bertubuh tinggi besar dan penuh cambang bauk pada mukanya. Akan tetapi tamu ini makan di meja lain dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Kongcu, kau seorang yang ramah sekali. Akan tetapi aku tidak boleh mengganggumu dan kalau kau ingin mengajak bercakap-cakap sambil makan, kau makanlah seorang diri, biar aku berdiri saja di sini menemanimu bercakap-cakap.”

“Ah, kau terlalu sungkan, lopeh,” cela Gwat Kong.

“Bukan sungkan-sungkan, kongcu, akan tetapi kalau majikanku melihat aku duduk makan minum dengan seorang tamu, tentu ia akan marah-marah dan mungkin aku kehilangan pekerjaanku.”

Gwat Kong mengangguk-angguk dan mengambil beberapa potong uang tembaga dari saku bajunya lalu memberikan uang itu pada si pelayan sambil berkata, “Kalau begitu, terimalah uang ini untuk kau pakai membeli makanan nanti.”

Pelayan tua itu girang sekali dan menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih.

“Lopeh, kau tentu kenal dengan seorang hartawan besar yang beberapa belas tahun yang lalu tinggal di kota ini. Ia bernama keturunan Tan dan disebut Tan-wangwe. Tahukah kau di mana sekarang dia tinggal?”

Pelayan tua itu mengerutkan kening mengingat-ingat. “Ya, ya. Aku kenal, siapa yang takkan mengenalnya belasan tahun yang lalu. Dulu dia adalah seorang yang terkenal paling berpengaruh dan paling kaya di kota ini! Kongcu, apakah kau masih terhitung keluarga Tan- wangwe itu?” tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam.

Gwat Kong merasa girang sekali dan oleh karena ia tidak ingin memberitahukan tentang maksudnya mencari hartawan itu, maka tanpa memperdulikan sesuatu ia lalu mengangguk dan menjawab, “Ya, aku adalah seorang keponakannya dan tahukah kau di mana ia sekarang tinggal?”

Tiba-tiba pelayan itu nampak berubah air mukanya mendengar bahwa Gwat Kong adalah keponakannya Tan-wangwe. Bahkan ia lalu mengambil keluar uang tembaga pemberian Gwat Kong tadi dan menaruh uang itu di atas meja kembali sambil berkata, “Kongcu, aku tidak berhak menerima uangmu ini, oleh karena aku tidak dapat melayanimu lebih lagi. Aku harus pergi ke dapur, di sana banyak pekerjaan.” Kemudian ia lalu berlari menuju ke dapur rumah makan itu.

Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan ia menunda makanannya sambil memandang dengan bengong.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dan ketika ia memandang, ternyata yang tertawa itu adalah orang tinggi besar bercambang bauk itu yang kini memandang kepadanya.

“Mengapa kau tertawa?” tanya Gwat Kong penasaran sambil pandang muka orang yang usianya telah enam puluh tahun lebih itu.

“Mengapa aku tertawa? Karena melihat kau hendak mencari keterangan sambil menyuap dengan uang, persis seperti perbuatan Tan-wangwe di waktu dahulu. Kau memang pantas sekali menjadi keponakannya! Ha ha ha!”

Mendengar ini, timbul lagi harapan dalam hati Gwat Kong. Orang ini tentu kenal baik kepada hartawan itu, bahkan mungkin masih ada hubungan, kalau tidak, mana ia tahu tentang kebiasaan menyuap uang dari hartawan itu? Maka ia segera bangun berdiri dan menjura,

“Sahabat baik, aku benar-benar perlu mengetahui keadaan Tan-wangwe, maka kalau kiranya kau tahu tentang dia mohon kau suka menerangkan kepadaku. Marilah kita minum arak untuk menambah kegembiraan dan aku yang muda mengundangmu dengan hormat untuk makan bersama di mejaku.”

Kembali laki-laki tinggi besar itu tertawa bergelak. “Kau hendak mencari Tan-wangwe? Boleh, boleh dan mudah sekali. Marilah kau ikut, akan kuantarkan ke tempat Tan-wangwe!” Bukan main girangnya hati Gwat Kong mendengar ini. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan demikian mudah mendapatkan tempat tinggal Tan-wangwe, bahkan orang kasar ini sanggup mengantarkannya untuk berjumpa dengan musuh besarnya itu.

Segera ia membayar makanan orang itu sekalian, lalu ia mengajak orang itu keluar. Setelah orang itu berjalan barulah Gwat Kong melihat betapa orang itu berjalan sambil menyeret kaki kirinya yang telah cacat. Akan tetapi, biarpun berjalan dengan sebelah kaki diseret, ternyata orang itu dapat berjalan cepat dan gerakannya gesit, tanda bahwa dia mengerti ilmu silat.

Orang itu berjalan saja tanpa banyak berkata sehingga Gwat Kong merasa tidak enak hati.

“Sahabat, siapakah namamu? Kau telah berlaku baik untuk mengantarku menemui Tan- wangwe, seharusnya kuketahui namamu.”

“Namaku A Sam, Gui A Sam,” jawab laki-laki itu singkat.

Mereka berjalan terus dan dengan heran Gwat Kong melihat betapa mereka menuju keluar kota.

“Masih jauhkah tempat tinggal Tan-wangwe?” tanyanya. “Dekat di depan itu!” kata A Sam sambil menunjuk ke depan.

Gwat Kong merasa heran. Yang ditunjuk oleh laki-laki pincang itu sebuah hutan yang besar. “Apa? Di hutan itu?”

“Ya, dan jangan kau banyak bertanya. Bukankah kau ingin bertemu dengan dia?”

Gwat Kong terpaksa menutup mulutnya dan terus mengikuti orang itu menuju ke dalam hutan. Setelah masuk ke dalam hutan itu, yang sunyi dan liar, Gwat Kong tak dapat menahan lagi perasaan heran dan curiganya. Ia berhenti dan bertanya,

“Sahabat, jangan kau main-main! Benar-benarkah seorang kaya raya seperti Tan-wangwe itu tinggal di tempat seperti ini?”

Tiba-tiba A Sam berhenti pula dan tertawa terbahak-bahak dengan wajah yang menyeramkan sekali.

“Anak muda, benar-benarkah kau keponakan Tan Kia Swi atau Tan-wangwe?” Dengan terheran-heran Gwat Kong mengangguk.

“Dan kau ingin bertemu dengan hartawan Tan itu?” “Benar, di mana tinggalnya?”

“Mari ku antar kau bertemu dengan si keparat itu!” Sambil berkata demikian tiba-tiba Gui A Sam melangkah maju dan secepat kilat mengirim pukulan ke arah dada Gwat Kong. Inilah pukulan Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati yang dilakukan dengan tenaga keras dan kalau saja pukulan ini mengenai dada seorang biasa, maka kalau dada itu tidak hancur pasti sedikitnya beberapa tulang iga akan patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong mempunyai urat syaraf halus dan perasa sekali sehingga tubuhnya dapat bergerak otomatis sehingga begitu angin pukulan menyambar, ia telah miringkan tubuhnya sehingga pukulan tangan A Sam itu mengenai angin.

“Eh, eh, tahan dulu kawan!” serunya kaget, akan tetapi Gui A Sam berseru marah dan mengirim serangan lagi yang lebih hebat. Kini si tinggi besar itu memukul dengan kepalan tangannya yang sebesar paha itu ke arah kepala Gwat Kong. Pemuda itu mulai penasaran dan juga ingin tahu sekali mengapa orang kasar ini menyerangnya dan memusuhinya tanpa sebab!

Ia mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. A Sam hendak kembali menarik tangannya, akan tetapi tangan itu tidak dapat terlepas dari pegangan Gwat Kong. Dengan heran dan makin marah, A Sam lalu menggunakan tangan kirinya untuk memukul ke lambung Gwat Kong. Pemuda itu cepat mendahuluinya dan menotok pundak kiri sehingga tangan kirinya yang hendak memukul itu tiba-tiba menjadi lumpuh!

Akan tetapi ketika Gwat Kong melepaskan tangan kanan yang tadi dipegangnya, A Sam dengan nekad lalu menggunakan tangan yang masih dapat bergerak ini untuk menyerang lagi! Terpaksa Gwat Kong mempergunakan kecepatannya dan menotok pundak kanan lawannya sehingga kini Gui A Sam berdiri dengan dua lengan tergantung tak berdaya sama sekali.

Akan tetapi ternyata keberanian orang ini hebat sekali. Dengan kedua mata melotot ia memandang pemuda itu dan berkata, “Telah dua kali aku dikalahkan oleh orang-orang pembela anjing setan itu, maka kalau kau mau bunuh boleh bunuh! Aku takkan malu menghadapi Bun-tihu, karena aku telah menunaikan tugasku dengan baik dan sebagai seorang gagah!”

Hampir saja Gwat Kong menjerit ketika ia mendengar ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang orang itu dengan mata terbelalak.

“Apa katamu? Kau kenal kepada Bun-tihu? Siapakah kau sebenarnya?”

Sambil mengangkat dadanya, A Sam menjawab, “Aku tidak takut mengaku terus terang, karena aku tidak takut mati! Ketahuilah, hai anak muda keponakan anjing rendah Tan- wangwe, aku adalah perwira kepala penjaga dari Bun-tihu yang adil dan jujur. Pamanmu yang jahat itu telah berhasil menghancurkan keluarga Bun bahkan akupun telah menderita cacat, akan tetapi, nama keluargamu akan busuk selama-lamanya dan akan dikutuk oleh setiap orang!”

Bukan main girang hatinya ketika mendengar ini. Gwat Kong lalu menghampiri dan berkata, “Sahabat baik, kau lupa tadi dan belum bertanya namaku.”

“Aku tak perlu mengetahui nama segala anjing keluarga Tan-wangwe!”

“Juga tidak perduli kalau aku memberi tahu padamu bahwa namaku sama sekali bukan Tan, akan tetapi aku sebenarnya bernama Bun Gwat Kong?” Sambil berkata demikian secepat kilat kedua tangan Gwat Kong bergerak ke arah pundak A Sam dan totoknya telah dibebaskan dari tubuh orang kasar itu. Sementara itu, Gui A Sam memandang kepada Gwat Kong dengan wajah pucat dan bengong, seakan-akan ia melihat setan pada siang hari.

“Bun Gwat Kong ...?? Akan tetapi ... bukankah kau tadi mencari Tan-wangwe dan hendak bertemu dengannya ?”

Gwat Kong tersenyum dan mengangguk. “Aku memang mencarinya dan hendak bertemu dengannya untuk membuat perhitungan dan membalas dendam orang tuaku.”

Tiba-tiba Gui A Sam mengeluarkan keluhan seperti orang menangis dan ia menjatuhkan dirinya dan berlutut di depan Gwat Kong. “Bun-kongcu ah. Kau masih kecil sekali ketika

peristiwa itu terjadi ... bagaimana dengan Bun-hujin, ibumu?”

Gwat Kong dengan hati terharu mengangkat bangun laki-laki tinggi besar itu dan berkata, “Ibu telah meninggal dunia kurang lebih lima tahun yang lalu. Gui-pepeh, di manakah sebenarnya tempat tinggal si keparat she Tan itu?”

“Duduklah kongcu, marilah kita duduk. Kepalaku masih pening karena kenyataan yang tiba- tiba ini, dan ilmu silatmu yang hebat itu benar-benar membuat aku tak mengerti. Bagaimana kau dalam sejurus saja dapat mengalahkan aku! Hebat sekali! Ah, alangkah girangnya hati Bun-taijin kalau dapat melihatmu, putera tunggalnya yang kini menjadi seorang gagah ini.

Dan ingin sekali melihat muka si keparat she Tan itu kalau ia masih dapat merasakan kehebatan pembalasanmu!”

“Apa? Dia sudah tidak ada lagi?” tanya Gwat Kong dengan kaget dan kecewa.

Gui A Sam menarik napas panjang lalu menuturkan bahwa semenjak dapat memfitnah keluarga Bun sehingga keluarga itu menjadi hancur berantakan, hartawan Tan menjadi buruk sekali namanya. Biarpun ia hartawan besar dan berpengaruh, akan tetapi oleh karena seluruh penduduk Lam-hwat yang amat mencintai Bun-tihu, sekarang membencinya dan bahkan beberapa orang berusaha membunuhnya, akhirnya Tan-wangwe tidak betah tinggal di kota itu lalu pindah ke Kang-lam. Gui A Sam sendiri yang tadinya bekerja sebagai kepala pengawal dari Bun-tihu, mencoba untuk membalas dendam, akan tetapi bukan berhasil baik, bahkan ia mendapat luka hebat pada kakinya sehingga ia menjadi pincang.

Ternyata beberapa tahun kemudian setelah pindah ke Kang-lam, Tan-wangwe yang bernama Tan Kia Swi itu meninggal dunia karena sakit dan isterinya pun meninggal dunia tak lama kemudian.

Pada waktu itu di Kang-lam menjalar penyakit menular yang hebat dan agaknya hartawan yang jahat itu telah terlampau banyak menumpuk dosa hingga biarpun ia dilindungi oleh para pengawal yang berkepandaian tinggi dan memiliki banyak sekali harta benda yang dapat melindunginya pula dari musuh-musuhnya, karena dengan jalan menyuap para pembesar ia mendapat pengaruh dan kekuasaan besar, namun akhirnya Thian yang membalas dan menghukumnya.

Gwat Kong menarik napas panjang, “Kalau begitu, sia-sialah saja cita-citaku untuk membalas dendam.” “Tidak, kongcu, masih ada yang harus dibalas!” kata Gui A Sam dengan suara keras menyatakan kegemasan hatinya. “Hartawan Tan itu mempunyai seorang turunan, seorang anak perempuan, dan dia ini harus dibinasakan sebagai pengganti ayahnya!”

Bun Gwat Kong memandang A Sam dengan mata heran dan tidak setuju. “Ayahnya yang berbuat salah, mengapa harus mengganggu anaknya yang tidak berdosa?”

“Kau keliru, Bun-kongcu! Ketika hartawan Tan itu mencelakakan ayahmu, maka yang menderita bukan hanya ayahmu, bahkan banyak sekali para pelayan dan pekerja ayahmu ikut pula menderita. Oleh karena setelah ayahmu diganti oleh seorang tihu lain yang curang dan suka makan uang sogokan, maka keadilan boleh dibilang tidak ada arti di Lam-hwat. Siapa beruang dia menang dalam segala perkara. Maka sudah sepatutnya kalau keparat she Tan itu pun dibinasakan seluruh keturunan dan keluarganya agar habislah riwayatnya yang busuk.

Orang sejahat dia tentu mempunyai anak yang jahat pula!”

Gwat Kong tersenyum dan berkata, “Aku belum yakin benar tentang kebenaran pendapatmu ini, Gui-pehpeh.”

“Apa? Belum yakin? Akan tetapi sudah ada buktinya, kongcu! Ketahuilah, anak tunggal hartawan Tan itu biarpun seorang wanita akan tetapi telah menjadi iblis wanita yang amat lihai dan jahat! Entah beberapa banyak orang-orang gagah yang menjadi korbannya. Gadis itu kabarnya ganas dan kejam sekali, juga amat sombongnya sehingga tiap kali mendengar adanya seorang gagah di daerah Kang-lam, ia tentu akan mendatangi dan merobohkannya dalam pibu. Karenanya maka ia diberi nama poyokan Dewi Tangan Maut, karena banyak sudah orang-orang kangouw terbunuh olehnya.”

Tertarik hati Gwat Kong mendengar ini, bukan untuk melimpahkan dendamnya kepada gadis itu, akan tetapi ingin bertemu dan mencoba kegagahan gadis yang amat disohorkan oleh Gui A Sam ini.

“Kalau saja kakiku tidak bercacat seperti ini ... ah, tentu akan kucari siluman wanita itu untuk mengadu jiwa, biarpun aku pasti akan kalah menghadapinya,” kata A Sam sambil menarik napas panjang dan memandang kakinya.

“Apakah dia selihai itu, sehingga kau takkan dapat menang terhadapnya?” tanya Gwat Kong.

“Dia memang lihai sekali. Tiga orang kawanku yang telah membuat nama besar, masih tak kuat menghadapinya dan biarpun mereka mengeroyoknya, akan tetapi akhirnya ketiga orang kawanku itu tewas di ujung pedangnya. Padahal tiga orang itu apabila dibandingkan dengan kepandaianku mereka jauh lebih lihai.”

Diam-diam Gwat Kong tercengang mendengar ini dan ia pun merasa agak penasaran mendengar betapa gadis itu demikian ganas dan kejam sehingga membunuh orang sedemikian mudahnya.

“Biar aku akan mencarinya,” katanya kepada diri sendiri akan tetapi oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan keras, maka Gui A Sam menjadi gembira sekali dan berkata, “Kalau kau yang menghadapinya, pasti ia akan mampus, kongcu! Dan dengan membinasakan iblis wanita itu, bukan saja kau berarti telah berbakti kepada mendiang ayahmu, tetapi juga berarti melenyapkan seorang iblis, pengganggu rakyat jelata.”

Kemudian, Gwat Kong dipaksa-paksa oleh A Sam untuk bersama-sama makan minum dan karena A Sam kini telah menjadi seorang pedagang, sehingga ia mempunyai uang cukup, maka ia menjamu Gwat Kong dengan meriah. Dalam kesempatan ini, kembali Gwat Kong minum arak sepuas-puasnya sehingga A Sam menjadi terheran-heran melihat betapa kuatnya pemuda itu minum arak tanpa menjadi mabok sedikitpun.

“Kau betul-betul patut disebut Ciu hiap (Pendekar Arak), Bun-kongcu!” katanya dengan memandang kagum.

Gwat Kong yang merasa gembira mengangguk-anggukan kepala dan berkata, “Sebuah sebutan yang tidak buruk!”

Setelah menghaturkan terima kasih atas sebutan yang amat menggembirakan dari bekas petugas ayahnya itu, Gwat Kong lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanannya, kini ia langsung menuju ke Kang-lam yang memerlukan perjalanan sedikitnya setengah bulan. Gui A Sam berpesan agar supaya pemuda itu suka memberi kabar apabila ia telah berhasil menewaskan Dewi Tangan Maut!

****

Kita ikuti perjalanan Liok Tin Eng, dara jelita yang keras hati dan yang telah menggegerkan keadaan gedung Liok-taijin karena diam-diam ia telah minggat dari kamarnya pada malam harinya itu.

Sebelum mengambil tindakan nekad itu, Tin Eng, sepeninggal ayahnya yang mengeluarkan ancaman dan memaksanya untuk menerima pinangan Gan Bu Gi, menangis sedih di dalam kamarnya seorang diri. Ia teringat segala kelakuannya terhadap Gwat Kong dan timbullah perasaan menyesalnya yang amat besar. Memang, kalau ia teringat pula akan segala kata-kata pemuda pelayan itu, ia masih terasa mendongkol dan marah, akan tetapi ia harus tahu bahwa segala ucapan itu dikeluarkan oleh Gwat Kong dalam keadaan mabok! Buktinya, kemudian pemuda itu minta maaf dan merasa demikian menyesal sehingga tidak penasaran kalau dibunuh. Gwat Kong bahkan minta agar supaya ia membunuhnya untuk menebus dosa. Ah, kasihan sekali pemuda itu. Tak pernah diduganya bahwa pemuda pelayan yang jujur, rajin dan setia itu diam-diam menaruh hati cinta kasih kepadanya!

Tin Eng menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Alangkah malang nasibnya! Dipaksa menerima pinangan seorang pemuda yang sungguhpun tampan dan gagah, akan tetapi entah mengapa, dalam perasaan hatinya tak tertarik kepada Gan Bu Gi itu, terdapat sesuatu yang membuat ia ragu-ragu. Ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menimbulkan ketidak percayaannya dan yang membuatnya yakin bahwa ia takkan dapat hidup bahagia sebagai isteri Gan Bu Gi.

Adapun tentang Gwat Kong, memang pemuda pelayan itu seorang yang jujur dan baik. Akan tetapi mencintai padanya? Gila benar! Seorang pelayan mencintai puteri Kepala daerah yang kaya raya dan berpengaruh, lagi pula Gwat Kong hanyalah seorang pelayan yang bodoh, tak mengerti ilmu silat dan buta huruf pula. Mengingat akan hal ini merahlah muka Tin Eng karena marah dan malu!

Ia menjadi serba salah. Ia tidak mau dipaksa kawin dengan Gan Bu Gi atau dengan siapapun juga. Ia belum bersedia mengikat diri dengan perkawinan. Akan tetapi, untuk membantah ayahnya pun sukar, karena ia maklum akan kekerasan hati orang tua. Kedua hal inilah yang membuatnya mengambil keputusan untuk merantau dan meluaskan pengalaman, untuk mengumpulkan pakaiannya yang terbaik dan semua perhiasannya untuk bekal di dalam perjalanan. Kemudian setelah membungkus semua itu menjadi sebuah buntalan besar yang ditalikan pada punggungnya. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari jendela kamarnya, melompat naik ke atas genteng, lalu berlari pergi dengan cepat! Beberapa kali ia menengok ke arah gedung di mana ayah dan ibunya tinggal, akan tetapi ia dapat mengeraskan hatinya dan terus lari pergi keluar kota dan menuju ke selatan. Ia tidak lupa untuk membawa kitab pelajaran ilmu pedang Garuda Sakti yang dimasukkan pula kedalam buntalannya.

Pedang ia gantung pada pinggang dan sekantong piauw (senjata rahasia yang disambitkan) tergantung pula di dekat pedang.

Biarpun sudah tak bundar lagi, namun bulan masih muncul malam itu sehingga Tin Eng dapat melanjutkan perjalanannya. Ketika berlari di dalam cahaya bulan seorang diri, di atas jalan yang sunyi itu, ia merasa gembira seperti seekor burung yang terlepas terbang bebas di udara. Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika ia tiba di pinggir sebuah hutan yang sunyi dan hawa malam yang dingin menyerang tubuhnya, ia mulai merasa tak enak dan takut.

Sebagai puteri seorang bangsawan, belum pernah ia melakukan perjalanan malam seorang diri dan perasaan takut dan menyesal mulai menyerang hatinya. Ia tidak takut segala maling atau perampok, akan tetapi melihat bayang-bayangan pohon dan tetumbuhan yang menghitam dan nampak menyeramkan bagaikan setan-setan di bawah sinar bulan itu, ia benar-benar menjadi takut dan meremanglah bulu tengkuknya. Hawa dingin mengingatkan ia kepada kamarnya yang hangat dan enak. Biasanya pada saat seperti itu ia sudah meringkuk di bawah lindungan selimutnya yang tebal dan halus.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar