Pendekar Gila Dari Shan-tung Bab-13 : Akhirnya Thian-te Lo-mo…..

Bab-13 : Akhirnya Thian-te Lo-mo…..

TENTU saja ia tidak menceritakan betapa diam-diam ia hendak meracuni Tiong San, tidak menceritakan pula betapa setelah berada di dalam kendaraan, tiba-tiba pemuda itu muntah-muntah dan menyemburkan tiga cawan arak yang tadi diminumnya ke arah mukanya, lalu menotoknya dengan cepat.

Mendengar penuturan ini, Siu Eng berlari masuk ke dalam kamarnya sambil menangis terisak-isak! Ia telah mendapat malu yang besar sekali dari Shan-tung Koai-hiap! Sementara itu, pangeran Lu Goan Ong menjadi bingung.

“Bagaimana baiknya sekarang? Tamu-tamu telah berkumpul penuh di ruang depan!”

Akhirnya ia lalu melangkah keluar dengan wajah kusut. Ia menjura kepada semua tamu dan berkata dengan suara gemetar.

“Cuwi sekalian yang mulia! Oleh karena terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan pernikahan dilangsungkan, maka untuk sementara waktu pernikahan ini ditunda! Akan tetapi, kami persilakan kepada cuwi sekalian untuk menikmati hidangan sekedarnya dan harap maafkan!”

Tiba-tiba dari pojok ruangan berdiri seorang tamu yang segera berkata dengan suara nyaring dan keras, “Cuwi sekalian yang terhormat dan tuan rumah yang mulia.”

Semua orang memandang kepada pembicara itu. Ia ternyata adalah seorang yang bertubuh tegap, masih muda, akan tetapi mukanya penuh cambang bauk, sehingga nampaknya lucu sekali. “Perkenankan siauwte berbicara sedikit!” sambung orang itu. “Persoalan ini tak perlu dibicarakan lagi dan kita harus sesalkan bahwa seorang bangsawan yang berbudi demikian mulia seperti pangeran Lu Goan Ong mengalami malapetaka seperti ini. Cuwi sekalian tentu belum mendengar akan kemuliaan budi pangeran Lu, maka sebagai hiburan adanya peristiwa ini baiklah siauwte menceritakan kepada cuwi sekalian. Baru kemaren ini Lu-taijin telah memberi anugerah besar kepada dua orang pemuda bernama Khu Sin dan Thio Swie yang menjadi pembantunya. Lu-taijin telah mengangkat mereka itu sebagai wedana-wedana dari kota-kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung! Selain itu, Lu-taijin juga memberi hadiah uang sebesar sepuluh ribu tail perak kepada orang-orang miskin di kampung Kui-ma-chung, tempat kelahiran kedua orang muda itu sebagai pembalasan jasa! Bukankah ini hebat sekali? Siauwte rasa bahwa kemurahan hati ini patut dijadikan contoh!”

Tepuk tangan para tamu menyambut ucapan ini dan semua orang memuji-muji kemuliaan budi pangeran Lu Goan Ong. Akan tetapi pangeran Lu Goan Ong sendiri memandang kepada pembicara itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ia mengenal suara itu dan mengenal pula mata itu, akan tetapi yang meragukan hatinya ialah cambang bauk yang memenuhi muka pemuda itu. Tak mungkin dalam waktu semalam saja muka Shan-tung Koai-hiap telah ditumbuhi jenggot dan kumis seperti itu. Dan yang membuat ia berdebar adalah ketika melihat betapa kumis dan jenggot itu mirip dengan kumis dan jenggot yang biasa lekat pada muka pangeran Ong Tai Kun!

Pada saat ia berdiri dengan bingung dan ragu-ragu, tiba-tiba nampak Siu Eng berlari dengan pedang di tangan dan langsung menerjang pembicara tadi sambil berseru,

“Bangsat jahanam! Kalau tidak kau, tentu aku yang mati pada saat ini!”

Pemuda yang bercambang bauk itu tertawa sinis dan tubuhnya lalu melompat keluar dari ruang itu dan terus melarikan diri! Siu Eng dengan pedang di tangan dan mulut memaki-maki, terus mengejar dengan cepatnya! Semua tamu gempar. Mereka makin menjadi heran dan bingung.

“Mengapa mempelai perempuan mengamuk?” tanya seorang. “Siapakah pemuda itu?” tanya yang lain.

Pangeran Lu Goan Ong mengangkat kedua tangannya ke atas, memegang kepalanya karena merasa betapa kepalanya seakan-akan hendak meletus.

“Tidak tahu .... tidak tahu .....!” Ia berseru setengah memekik. “Harap cuwi sekalian pulang saja ..., harap tinggalkan aku seorang diri ...!” Kemudian ia berlari masuk ke dalam kamarnya.

Semua tamu bubar dan peristiwa itu masih merupakan teka-teki yang hanya mereka jawab dengan dugaan-dugaaan ngawur.

********************

Pemuda yang bercambang bauk itu memang bukan lain adalah Tiong San sendiri! Pemuda ini setelah melompat keluar dari kereta penganten sambil membawa jenggot dan kumis pangeran Ong Tai Kun, lalu cepat-cepat berlari ke rumah obat kepunyaan bibi Thio Swie yang telah dikenalnya, minta obat perekat dan menempelkan cambang dan kumis itu pada mukanya sendiri. Kemudian ia berlari lagi menuju ke gedung pangeran Lu Goan Ong, menggunakan keadaan yang sedang kacau balau ini untuk masuk ke situ dan duduk di ruang tamu!

Kini Siu Eng mengejarnya dengan pedang di tangan, maka ia lalu melompat ke atas genteng dan sengaja menanti gadis itu yang juga terus mengejarnya ke atas genteng. Setelah berhadapan, Tiong San lalu mencabut dan melemparkan kumis dan jenggot palsunya sehingga nampak wajahnya yang tampan dan matanya yang berseri-seri itu memandang gembira. Terhadap mata Siu Eng yang amat tajam itu ia tidak perlu menyamar lagi.

“Shan-tung Koai-hiap, kau sungguh kejam sekali! Mengapa kau mempermainkan aku sedemikian rupa? Aku suka kepadamu, akan tetapi, kau ... kau laki-laki berhati kejam! Kalau saat ini aku tidak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Gui Siu Eng lagi!” Tiong San tersenyum mendengar ucapan ini dan tiba-tiba sikapnya berubah sungguh-sungguh. “Siu Eng! Orang-orang pandai berkata bahwa siapa menanam pohonnya, ia akan memetik buahnya! Kau menganggap aku kejam dan mempermainkan kau? Tidak ingatkah kau kepada Thio Swie yang kau tahu amat mencintaimu, akan tetapi secara kejam telah kau permainkan sehingga hampir gila? Tidak ingatkah kau kepada Khu Sin yang dengan jujur dan hati bersih telah memberi peringatan, akan tetapi hendak kau bunuh? Kau adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, keluarga bangsawan pula, maka robahlah sifat-sifatmu yang buruk dan rendah itu. Kalau tidak, kau tentu akan menemui bencana yang lebih hebat dari sekarang! Aku sengaja membuat kau malu agar kau merasa betapa sakitnya hati orang yang kau permainkan cintanya!”

Dengan air mata bercucuran, Siu Eng membentak, “Bangsat rendah, kalau kau tidak mau kembali dan melangsungkan upacara pernikahan dengan aku sekarang juga, aku takkan berhenti berusaha untuk membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya. Serangannya hebat dan cepat, terdorong oleh rasa sakit hati yang tak dapat diutarakan.

Tiong San mengelak dan berkata pula, “Perempuan tak tahu diri! Apakah sukarnya mengalahkan kau? Akan tetapi aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu lebih lama lagi!”

Setelah berkata demikian, Tiong San lalu melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan gadis itu.

“Bangsat rendah yang berhati kejam! Ke mana kau hendak lari?” teriak Siu Eng dengan hati gemas sekali, sehingga ia mengejar sambil menangis.

Karena ternyata bahwa gadis itu memiliki ilmu lari yang cukup cepat, Tiong San menjadi jengkel juga. Kalau gadis itu selalu mengejarnya, ia merasa gerakan selanjutnya sangat terganggu. Maka tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan mencabut cambuknya yang panjang.

Setelah Siu Eng datang mendekat, ia segera mengayun cambuknya ke arah muka gadis itu. Siu Eng cepat mengelak, akan tetapi tak disangkanya bahwa serangan itu hanya gertak saja karena tiba-tiba ujung cambuk meluncur ke arah pergelangan tangannya dan menotok tangan yang memegang pedang!

Siu Eng yang sedang diamuk oleh nafsu marah dan kecewa, maka ia kurang waspada dan kurang hati-hati sehingga ia terlambat untuk menghindarkan diri dari serangan ini. Dengan teriakan keras, pedangnya terlempar ke bawah genteng! Tiong San tertawa mengejek dan terus melompat jauh.

“Shan-tung Koai-hiap!” ia mendengar gadis itu berseru dan menjerit. “Aku bersumpah untuk membalas sakit hati ini!!”

Akan tetapi Tiong San telah berlari jauh dan tidak memperdulikan gadis itu lagi. Begitu gadis itu telah lenyap dari pandangan matanya, ia sudah tidak ingat lagi kepadanya. Pengalamannya dengan Siu Eng yang hampir menghancurkan kehidupan kedua sahabat karibnya, mendatangkan kesan yang mendalam di hatinya, membuat ia memandang rendah kaum wanita, karena ia merasa kecewa sekali melihat betapa seorang gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi seperti Siu Eng berwatak sedemikian jahat dan kejamnya.

Ia teringat kepada suhunya dan kini ia menuju ke istana kaisar untuk mencari dapur istana dan ia lalu menyusul suhunya yang diduga tentu sedang berpesta pora di tempat itu.

Istana kaisar amat luas dan besar, sehingga bukanlah pekerjaan mudah bagi Tiong San untuk bisa mendapatkan dapur dari istana itu. Terpaksa ia menyergap seorang pelayan dan memaksanya untuk mengantarkan ke tempat yang dicarinya itu. Kemudian ia mengikat kaki tangan pelayan itu dengan ikat pinggang pelayan itu sendiri setelah tiba di dekat dapur yang dicarinya.

Ia menjadi terkejut ketika melihat betapa bangunan dapur yang besar itu telah terkurung oleh perwira yang memegang senjata di tangan. Ia dapat menduga bahwa di dalam dapur itu tentu terdapat suhunya yang telah diketahui oleh perwira yang kini mengurung tempat itu.

Di antara para perwira itu terdapat seorang wanita tua yang masih kelihatan bekas-bekas kecantikannya, tapi sayang sekali bahwa pada muka wanita tua yang cantik itu terdapat bekas luka memanjang dari atas mata kanan sampai ke bawah telinga kiri, membuat mukanya kelihatan amat mengerikan. Dari tempat persembunyiannya, Tiong San melihat betapa wanita itu mendekati pintu dapur yang tertutup dan berseru dengan suaranya yang nyaring,

“Kui Hong Sian! Kau sudah terluka hebat, apakah kau masih tidak mau menyerah?”

Untuk beberapa lama mereka itu menanti, akan tetapi tidak terdengar jawaban dari dalam dapur yang pintunya tertutup dari dalam itu.

“Thian-te Lo-mo!” teriak seorang perwira yang dikenal Tiong San. Perwira ini adalah Im-yang Po-san Bu Kam. “Apakah kau berkeras tak hendak mengeluarkan perempuan she Gan itu?”

Kembali mereka menanti, akan tetapi tetap saja tidak terdengar jawaban dari dalam. Tiong San mendengarkan dan mengintai dengan hati berdebar.

“Kui Hong Sian, aku ingin melihat mukamu yang jahat itu sekali lagi sebelum kau mampus!” teriak wanita bercacad tadi.

Kini terdengarlah jawaban dari dalam dapur dan dengan terkejut sekali Tiong San mendengar betapa suara suhunya terdengar amat lemah, tetapi masih mengandung suara ejekan dan acuh tak acuh seperti biasa. “Si Cui Sian! Apakah kau tidak rela melihat aku menikmati hidangan-hidangan ini pada saat terakhir? Apakah sakit hatimu demikian besar? Jangan ganggu aku, aku telah menebus dosaku dan kau telah berhasil membalas sakit hatimu!”

Mendengar ucapan suhunya ini, bukan main gelisahnya hati Tiong San. Dari suara suhunya ia dapat menduga bahwa suhunya tentu sedang berada dalam keadaan yang amat menyedihkan. Mengapa suhunya bicara begitu lemah dan apa artinya saat terakhir yang dikatakan tadi? Pemuda ini tak dapat menahan sabar lagi. Ia pergunakan kesempatan selagi para pengepung itu mencurahkan perhatian mereka kepada pintu dapur, untuk melopmpat secepatnya ke atas genteng dapur itu!

“Shan-tung Koai-hiap!” teriak para perwira yang melihatnya. “Tangkap dia    !”

Akan tetapi pada saat itu, genteng di dekat tempat Tiong San berdiri, tiba-tiba pecah dan terbuka dari bawah dan pemuda itu segera melompat turun ke dalam dapur melalui lubang di genteng itu. Untung ia bergerak cepat, karena pada saat itu, belasan batang senjata rahasia yang dilepas dengan cepat sekali oleh para perwira perkasa itu, telah menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu mengenai genteng yang pecah berhamburan, akan tetapi pada saat itu Tiong San telah tiba di dalam dapur dengan selamat!

Dan apa yang dilihatnya membuat ia harus menahan tekanan perasaannya. Suhunya nampak berbaring di atas lantai dengan muka pucat sekali, tetapi masih saja kakek ini tertawa-tawa ketika melihat muridnya. Tadi kakek ini sambil rebah menggunakan beberapa buah mangkok untuk menggempur genteng dan memberi jalan masuk kepada muridnya.

Yang mengherankan hati Tiong San adalah seorang gadis yang berlutut di dekat suhunya dan gadis ini sedang menggunakan air hangat untuk mencuci bersih luka di dada suhunya dan membungkusnya dengan kain bersih. Gadis ini hanya mengerling sebentar ke arah Tiong San, lalu melanjutkan pekerjaannya dan setelah selesai, ia lalu berdiri dan pergi ke tungku untuk menghangatkan hidangan-hidangan yang dipilih oleh Thian-te Lo-mo!

“Ha ha ha! Tiong San, anak gendeng, mengapa kau baru datang? Kau selalu terlambat dan kedatanganmu kebetulan sekali karena aku sedang bingung memikirkan bagaimana aku harus menyelamatkan gadis ini!” Ia menuding ke arah gadis itu.

Tiong San berlutut di dekat suhunya dengan muka khawatir sekali.

“Suhu, kau mengapa? Apakah kau terluka hebat?” tanyanya tanpa memperdulikan gadis itu yang disebut- sebut oleh suhunya.

“Bukan, bukan terluka. Ini hanya pembayaran hutangku kepada Cui Sian,” kata kakek itu sambil tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya gembira sekali. “Hatiku puas aku tak berhutang lagi, ha ha ha!” “Suhu, apa artinya ini? Ayoh kita menyerbu keluar dan menghajar sekalian perwira jahanam itu. Kita akan membagi-bagi hadiah kepada mereka dengan cambuk kita!” Tiong San membuat suaranya terdengar gembira, tetapi suhunya menggelengkan kepala.

“Kalau kita hanya berdua saja, hal itu dapat dilakukan. Akan tetapi sekarang yang terpenting harus menolong gadis itu keluar dari sini dengan selamat.”

“Akan tetapi, suhu. Kau terluka hebat    ” Tiong San memeriksa dada suhunya yang ternyata menderita

luka hebat sekali. “Kau harus dapat keluar dari sini dengan selamat, mengapa menyusahkan diri mencampuri urusan orang lain!” Ia mengerling ke arah gadis itu dengan hati tak senang.

“Anak bodoh, kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja ..... ha ha, kau belum bertemu dengan orang seperti Cui Sian ...! Kau belum tahu tentang arti cinta kasih kesucian wanita .... Ketahuilah, muridku. Jangan kau perdulikan gurumu. Aku pernah berdosa kepada Cui Sian, dan sekarang ia datang membalas dendam, bukankah itu sudah adil? Aku ..... aku ..... ahhh ....” kakek itu menjadi lemas dan tubuhnya terguling lagi dalam keadaan pingsan! Tiong San cepat memeluk suhunya.

“Suhu .... suhu ....!” Ternyata bahwa Thian-te Lo-mo telah menggunakan terlalu banyak tenaga ketika bercakap-cakap tadi, sehingga ia jatuh pingsan. Luka di dadanya adalah akibat tusukan pedang yang dalam sekali dan kalau orang lain yang terkena luka tusukan itu, pasti akan tewas saat itu juga!

Gadis itu berlari menghampiri dan dengan air, ia menggunakan saputangannya untuk membasahi muka kakek itu dan memberinya minum. Semua ini dilakukannya dengan diam-diam tak mengeluarkan kata-kata, tetapi jari-jari tangannya cekatan sekali. Karena melakukan pekerjaan ini, maka ia berlutut di dekat Tiong San dan pemuda ini mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu.

Thian-te Lo-mo siuman kembali dan ketika melihat dua orang muda itu berlutut di dekatnya, ia memandang kepada mereka berganti-ganti lalu tertawa berkakakan.

“Tiong San, aku mempunyai pesan terakhir bagimu    ”

“Apakah itu, suhu? Teecu akan melakukannya segera    ” jawab Tiong San dengan hati duka.

“Hanya ini ...., kau selamatkan gadis ini keluar dari dalam tempat ini, jangan     jangan sampai ia diganggu

oleh para orang gila di luar itu   ”

“Tapi, suhu    ” Tiong San hendak membantah, tetapi suhunya mengangkat tangannya mencegah.

“Lo-inkong,” kata gadis itu tiba-tiba dan Tiong San mendengar betapa merdu suara gadis itu. “Mengapa kau menyusahkan keadaanmu? Muridmu memang benar, lebih baik kau dan muridmu lekas-lekas pergi dari tempat ini mempergunakan kepandaianmu. Adapun aku, ah, aku tidak takut, lo-inkong. Tadipun kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, aku sudah terlepas dari kesengsaraan hidup dan sudah aman berada di tempat bersih.”

Thian-te Lo-mo menggelengkan kepalanya. “Tidak boleh! Kau tidak boleh mati! Eh, anak perempuan gendeng, benar-benarkah kau tidak takut mati?”

“Mati hanya berpindah tempat, dan kalau tempatku di dunia demikian sengsara, bukankah senang berpindah ke tempat yang lebih bersih? Orang tua, kau sendiri menghadapi kematian dengan tertawa- tawa, mengapa pula aku harus takut mati?”

“Ha, kau lain! Kau masih muda belia, sedangkan aku sudah tua bangka. Ah, kalau saja Cui Sian seperti kau .... aku takkan menjadi begini .... He, Tiong San, sekarang aku bukan memesan lagi, akan tetapi memerintah! Dengarkah kau? Kau tidak boleh membantah! Kau harus selamatkan gadis ini keluar dari sini, keluar dari istana, dan keluar dari kota! Dengarkah kau ??”

Tiong San menundukkan mukanya dengan sedih. “Baik, suhu. Akan tetapi, aku tidak hanya menyelamatkan nona ini saja, juga suhu harus kuselamatkan dan kubawa keluar dari sini.” “Anak gendeng! Apa dalam saat terakhir ini kau hendak mengganggu aku pula? Di sini mati di luarpun mati, aku lebih senang mati di sini, menikmati hidangan-hidangan ini sebelum tiba saatku, dan alangkah senangnya mati dikelilingi hidangan-hidangan kaisar. Ha ha ha!”

“Tetapi, suhu ”

“Diam! Aku tidak sudi mampus di pinggir jalan seperti pengemis kelaparan!”

Pada saat itu, dari luar pintu terdengar lagi teriakan wanita yang cacad mukanya, “Kui Hong Sian! Kalau kau tidak mau keluar menyerahkan diri bersama muridmu dan gadis itu, kami akan menyerbu ke dalam!”

Tiong San mencabut cambuknya. “Suhu, perkenankan teecu menerjang keluar dan menghajar mereka!”

“Bodoh! Lekas kau gendong gadis ini dan bawa lari menerjang pintu belakang! Kau akan tiba di taman istana dan di situ hanya ada penjaga-penjaga yang lemah. Kau terus berlari dan keluar dari istana, dan bawalah gadis ini keluar dari kota raja sampai selamat! Jangan banyak membantah. Aku hendak ajak Cui Sian makan minum di sini sebelum aku mati, ha ha ha!”

“Suhu ....!” Tiong San berlutut di depan suhunya yang telah berdiri itu dan ia tak dapat menahan air matanya mengucur keluar.

“Anak gendeng!” suhunya memaki, tetapi kakek itu memeluk muridnya dan untuk sesaat ia mendekap kepala muridnya itu pada dadanya dengan penuh kasih sayang. Lalu ia melepaskannya lagi dan suaranya terdengar amat berpengaruh,

“Tiong San, lekas kau pergi! Kau ... jangan salah pilih seperti aku ... selamat   pergilah, muridku!”

Pada saat itu, pintu digedor dari luar dan suara para perwira terdengar mengancam. “Thian-te Lo-mo, kau tidak lekas menyerahkan diri!”

“Tiong San, cepat sebelum terlambat!” kata kakek itu kepada muridnya.

Tiong San tidak berani membantah lagi, dengan air mata yang masih menitik, ia lalu menyambar tubuh gadis itu, tanpa melihatnya lagi, dengan agak kasar karena ia merasa gemas kepada gadis itu yang menjadi penghalang baginya untuk menolong suhunya. Kemudian setelah memandang sekali lagi kepada Thian-te Lo-mo yang berdiri dengan kaki terbentang lebar dan cambuk di tangan, berdiri dengan amat gagahnya dan mulut tersenyum, Tiong San lalu berlari melalui pintu belakang.

Sementara itu, Thian-te Lo-mo menanti sampai bayangan muridnya tak nampak lagi, baru ia berseru keras ke arah pintu,

“Cui Sian! Masuklah dan mari kita berpesta pora di dalam dapur kaisar ini!”

Pintu ditendang dari luar dan para perwira menyerbu masuk, dipimpin oleh Si Cui Sian, wanita cacad itu. Mereka melihat betapa kakek itu menghadapi meja dan sedang makan hidangan yang tadi dihangatkan oleh gadis itu. Thian-te Lo-mo makan tanpa memperdulikan mereka dan ketika Cui Sian maju, ia mengangsurkan mangkok dan berkata,

“Kekasihku, kau juga mau makan?”

Si Cui Sian marah sekali, demikian pula para perwira itu dan ia lalu menyergap kakek itu dengan senjata mereka.

“Ha ha ha! Majulah, majulah! Siapa mau ikut berpesta, majulah!”

Dengan memutar-mutar cambuk dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri tetap menjumput hidangan untuk dimakan, Thian-te Lo-mo menyambut serbuan mereka itu. Tubuhnya memang sudah lemas karena lukanya dan ia tidak ada nafsu untuk bertempur, maka menghadapi keroyokan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi dan juga wanita bercacad yang lihai sekali ilmu pedangnya itu, tentu saja ia tidak dapat bertahan. Sebentar saja tubuhnya telah menjadi sasaran senjata lawan dan terluka di sana-sini. Akan tetapi, Thian-te Lo-mo masih saja tertawa gelak-gelak seakan-akan luka-luka itu mendatangkan rasa nikmat kepadanya.

“Ha ha ha! Mari, mari! Inilah daging dan tulangku, boleh kalian suguhkan kepada kaisar! Ha ha, daging dan tulang-tulangku untuk hidangan kaisar, ha ha ha!” ketawanya makin mengerikan, tetapi makin perlahan. Semua pengeroyoknya merasa ngeri melihat kakek yang tubuhnya sudah menerima tusukan dan bacokan- bacokan itu masih saja berdiri sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menjadi gentar sendiri dan melangkah mundur.

Tetapi, biarpun semangat dan jiwanya tak terluka, ternyata jasmani Thian-te Lo-mo tak dapat menahan keluarnya darah sekian banyaknya. Ia roboh dengan mulut masih tertawa dan menghembuskan nafas dengan bibir masih tersenyum. Kakek ini biarpun mati dalam keadaan rusak tubuhnya, tetapi benar-benar ia mati dengan hati lapang dan gembira!

********************

Ketika menggendong gadis itu dan melarikan diri melalui pintu belakang dapur istana, Tiong San diserbu oleh belasan orang penjaga. Akan tetapi sambil mempermainkan cambuknya, pemuda itu berhasil melewati mereka dan terus melompat naik ke atas genteng.

Tiba-tiba ia mendengar suara suhunya sehingga tak terasa pula kakinya berhenti. Hatinya seperti disayat- sayat pisau ketika mendengar semua ucapan suhunya itu, lebih-lebih mendengar suara ketawa suhunya yang makin lama makin lemah. Ia tak kuat mendengarkan lagi dan melanjutkan larinya dengan air mata meleleh di pipinya.

Ia merasa betapa tubuh gadis yang digendongnya itu ringan dan mendatangkan kehangatan yang aneh dalam tubuhnya. Bau harum yang menyengat hidungnya membuat ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ingin ia melemparkan gadis itu ke bawah genteng, tetapi ia teringat akan pesan suhunya, dan pula ia tidak sudi melakukan hal yang rendah dan jahat itu, maka ia mempercepat larinya, sehingga gadis itu terpaksa harus memicingkan matanya karena ngeri dan takut, serta mempererat rangkulan tangannya pada leher Tiong San yang membuat pemuda itu makin tidak enak hatinya.

Berkat ketangkasannya, cegatan-cegatan para penjaga dapat dilaluinya dengan mudah dan tak lama kemudian Tiong San dapat membawa gadis itu sampai keluar kota. Ia berlari terus karena hendak menghindarkan diri dari para pengejarnya dan setelah tiba di sebuah hutan, ia menurunkan gadis itu dengan kasar ke atas tanah.

Gadis itu yang masih merasa gelisah dan khawatir serta penuh kengerian karena dibawa lari secepat itu, belum tahu bahwa pemuda itu menghendakinya turun, maka ia masih saja merangkulkan lengannya pada leher Tiong San dalam kekhawatirannya kalau-kalau jatuh terlempar.

“Turunlah!” bentak Tiong San dengan kasar dan gadis itu buru-buru melepaskan rangkulannya dan turun.

Ketika Tiong San membalikkan tubuh dan memandangnya, ia merasa betapa ia telah berlaku terlalu kasar. Ternyata bahwa gadis itu berpakaian sebagai pelayan di dalam istana. Pakaiannya rapi dan indah, sikapnya halus sekali dan wajah gadis itu menunjukkkan kehalusan budinya.

Tak dapat disebut terlalu cantik, lebih sesuai disebut manis. Apalagi sepasang matanya yang bening itu menyinarkan pandangan yang amat halus sehingga pandangan mata itu sekali gus banyak mengurangi kemarahan dalam hati Tiong San terhadapnya.

“Siapakah kau dan mengapa suhu sampai suka mengorbankan nyawanya untuk keselamatanmu?” tanya Tiong San sambil merengut.

Gadis itu merasa betapa dirinya dibenci dan mendapat perlakuan kasar, maka ia menundukkan kepalanya dengan hati sedih sekali, tetapi ia menahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengucurkan air mata. Ia menggigit bibirnya yang tipis, lalu menjawab,

“Bukan maksudku demikian. Adalah suhumu sendiri ....., ia terlalu mulia     ah, aku benar-benar menyesal

bahwa diriku yang hina dina ini sampai menimbulkan malapetaka kepada kau dan gurumu   ” “Sudahlah jangan banyak menyinggung hal yang tak kusukai itu! Paling baik lekas kau ceritakan apa yang telah terjadi sebelum aku datang ke dapur itu!” Suara Tiong San masih tetap keras dan bengis. Untuk sesaat gadis itu menatap wajah Tiong San, lalu berkata,

“Aku bernama Siang Cu, she Gan ” ia mulai menutur, tetapi Tiong San segera memotongnya.

“Aku tidak perduli kau bernama siapa dan she apa!” “Habis, dari mana aku harus bercerita?”

“Ceritakan siapa yang melukai suhu dan bagaimana terjadinya!”

“Suhumu dikeroyok oleh para perwira dan wanita cacad mukanya itu. Tadinya suhumu mengamuk dan semua perwira tidak ada yang berani mendekatinya, kemudian datang wanita itu dan anehnya, suhumu tidak melawan, sehingga wanita itu dapat menusuk dadanya dengan pedang dan ”

“Keparat!” Tiong San memaki marah. “Aku harus menolong suhu dan membunuh wanita jahanam itu!” Setelah berkata demikian, Tiong San melompat dan berlari cepat, kembali ke kota raja!

Ketika ia tiba di atas dapur istana, ternyata bahwa semua perwira telah pergi, meninggalkan jenazah Thian- te Lo-mo dalam tangan para pelayan yang ditugaskan mengurusnya. Bukan main marah dan sedihnya hati Tiong San.

Ia berseru keras dan melompat turun dengan cambuk di tangan. Cambuknya digerakkan dan semua pelayan itu lari pontang-panting, beberapa orang di antaranya terjungkal terkena ujung cambuk. Melihat bahwa di situ tidak ada perwira-perwira yang menjadi musuhnya, ia lalu menyambar tubuh suhunya yang sudah rusak itu dan membawanya lari melompat ke atas genteng kembali.

Ketika ia sampai di hutan itu, ternyata Siang Cu masih berada di situ, duduk dengan muka gelisah di bawah pohon. Ia segera berdiri ketika melihat Tiong San datang dan ketika melihat tubuh Thian-te Lo-mo yang rusak di dalam pondongan pemuda itu, Siang Cu menangis sedih.

“Mengapa pula kau menangis? Suhu menjadi begini karena kau!”

“Kalau kau merasa kesal bunuhlah aku sekali! Aku lebih senang mati agar nyawaku dekat dengan nyawa lo-inkong ini, agar ada yang menjadi sahabatku , di dunia ini tidak ada orang yang berhati mulia yang

sanggup membelaku selain lo-inkong ini ” tangis Siang Cu. Mendengar ucapan ini, Tiong San tertegun

dan berkata,

“Tahan air matamu dan jangan banyak cakap!”

Kemudian Tiong San menggali tanah di bawah pohon dengan sebatang kayu, karena ia tidak mempunyai senjata tajam. Tentu saja amat sukar menggali tanah hanya dengan sebatang kayu yang biarpun sudah dibikin runcing dan dipergunakan dengan tenaga besar, namun terlampau kecil untuk dapat menggali tanah.

Tanpa banyak cakap Siang Cu mencabut keluar sebuah pisau dari pinggangnya dan mulai membantunya. Biarpun senjata di tangan Siang Cu jauh lebih baik dari pada kayu di tangan Tiong San, tetapi karena gadis itu bertenaga lemah, maka tiap kali ujung pisaunya mengenai batu yang di bawah tanah, ia mengeluh kesakitan. Melihat ini, Tiong San berkata,

“Ke sinikan pisau itu dan kau tak perlu membantu!” Gadis itu memberikan pisaunya dan lalu duduk berlutut di dekat mayat Thian-te Lo-mo sambil mengusir lalat yang mulai datang merubungi tubuh itu.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar