Bab-08 : Kembang-kembang di Taman Pangeran
KEDUANYA memandang heran tanpa berani mendekati bungkusan itu dan saling pandang dengan muka pucat. Akhirnya mereka memberanikan hati dan mengambil bungkusan itu lalu membukanya untuk memeriksa, dan dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa pakaian warna hijau yang dibicarakan tadi beserta sestel pakaian merah telah lenyap!
“Pakaian kongcu hilang!” teriak yang mencobanya tadi. “Juga pakaian merah taijin lenyap!” seru kawannya. “Siapa yang ambil?”
“Tak mungkin orang bisa ambil. Bukankah semenjak tadi kita berada di sini?” “Kalau begitu ?”
“Kalau begitu .... tentu ..... setan yang .... yang ...” Belum habis kata-kata diucapkan, mereka sudah lari keluar dari kamar dengan bulu tengkuk berdiri, untuk melaporkan hal yang aneh itu kepada majikan mereka.
Sementara itu, sambil tertawa-tawa gembira, Tiong San kembali mencari suhunya sambil membawa dua stel pakaian warna hijau dan merah. Tadi ia telah mempergunakan kepandaiannya dan dengan ujung cambuk ia dapat mengambil bungkusan itu melalui jendela tanpa terlihat oleh dua pelayan dan setelah mengambil pakaian hijau itu. Ia melihat satu stel pakaian merah. Ia teringat bahwa suhunya suka akan warna merah. Buktinya tiap kali melihat ikan merah, selalu diusahakannya agar tertangkap. Maka ia lalu mengembalikan bungkusan dengan cara yang sama, tanpa diketahui oleh dua pelayan itu. “Suhu, suhu!” serunya dengan suara girang ketika melihat suhunya telah menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil mendengkur. Biasanya ia tidak mau mengganggu suhunya. Akan tetapi kali ini ia terlampau girang hingga ia tidak dapat menahan kegembiraan hatinya dan memanggil-manggil suhunya yang sedang tidur.
Ketika Thian-te Lo-mo membuka matanya, Tiong San memperlihatkan dua stel pakaian itu sambil berkata, “Suhu, lihat, bukankah indah sekali pakaian ini? Satu untuk teecu dan satu untuk suhu!”
“Apa? Kau mau suruh aku memakai pakaian seperti orang-orang gila?”
“Kalau suhu tidak mau memakai pakaian ini, teecu pun tidak mau memakainya.” “Kenapa begitu?”
“Karena seorang murid hanya mencontoh suhunya saja. Apa yang suhu lakukan, harus murid lakukan pula. Juga, sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk makan hidangan lezat-lezat, orang harus mengenakan pakaian baru, baru kelezatan itu terasa benar!” Kata-kata yang terakhir ini hanyalah merupakan akal bujukan Tiong San saja agar suhunya suka memakai pakaian itu.
Thian-te Lo-mo tertawa gembira dan ia lalu mengambil pakaian warna merah berkembang itu. “Aku mau pakai yang ini biar kelihatan seperti ikan emas!”
Guru dan murid lalu mengenakan pakaian indah itu. Thian-te Lo-mo kelihatan lucu dan lebih gila dari pada biasanya ketika ia mengenakan pakaian warna merah berkembang itu! Ia senang sekali dan memandangi pakaian yang dipakainya seperti seorang anak kecil memakai pakaian baru. Adapun Tiong San setelah mengenakan pakaian indah itu, tiba-tiba teringatlah ia akan masa dulu dan timbul pula sifat pesolek yang terdapat dalam dada tiap orang muda. Pakaian itu memang pantas sekali dan kebetulan ukurannya cocok benar.
“Suhu, teecu hendak mencari sepatu dulu!”
“Boleh, boleh, pergilah! Akan tetapi jangan kau harap akan dapat memaksaku memakai sepatu. Kakiku akan menjadi sakit-sakit rasanya kalau terkurung dan disiksa dalam sepatu!”
Kembali terjadi keanehan di antara para pelancong di telaga Taming. Seorang pelancong sedang enak- enak duduk di atas bangku di pinggir danau dan menikmati pemandangan indah. Tiba-tiba merasa betapa kedua kakinya yang tergantung dari bangku dibetot orang sehingga ia hampir jatuh dan ketika ia melihat ke arah kedua kakinya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak karena sepasang sepatunya yang tadi dipakainya kini telah lenyap tanpa diketahui siapa yang telah mencabut dari kakinya.
Tak lama kemudian, nampaklah seorang pemuda yang tampan sekali dengan pakaian warna hijau muda, sepatu biru dan rambutnya diikat dengan pita merah, berjalan cepat bersama seorang kakek yang berpakaian merah berkembang berkaki telanjang dan rambutnya yang panjang awut-awutan di atas pundak! Mereka ini adalah Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang berjalan cepat menuju ke kota raja.
Tiong San benar-benar merupakan seorang pelajar yang cakap dan aneh, karena biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar tulen, akan tetapi pada pinggangnya tergantung sebatang cambuk panjang yang digulung dan gerak-geriknya cepat dan gagah, tidak seperti pelajar yang biasanya lemah dan halus. Sebaliknya, Thian-te Lo-mo yang biasanya lebih menyerupai seorang pengemis gila, kini seperti seorang pembesar yang kaya raya dan yang tiba-tiba menjadi gila. Pakaiannya yang merah indah itu sama sekali tidak sesuai dengan rambutnya yang awut-awutan dan kakinya yang telanjang.
********************
Liong Ki Lok dang Liong Bwee Ji tiba di kota raja. Dengan perasaan berat guru silat itu mengantar anak perempuannya ke gedung pangeran Ong Tai Kun yang besar dan luas pekarangannya. Kedatangannya disambut oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri dan lima orang perwira-perwira lain. “Aha! Akhirnya kau menyerah juga, Liong-kauwsu!” kata Ban Kong sambil tersenyum simpul. “Kau berlaku pintar kalau mau menurut dengan baik-baik, karena orang yang menentang kehendak Ongya adalah sebodoh-bodohnya orang!”
Karena merasa segan untuk bicara dengan perwira ini, Liong Ki Lok dan Bwee Ji tidak menjawab, hanya memandang dengan mata mengandung kebencian besar.
“Atau salahkah terkaanku?” kata Ban Kong pula melihat sikap mereka. Apakah kalian datang hendak memberi kartu undangan? Apakah kau benar-benar telah mendapatkan calon menantumu, orang she Liong?”
Pada saat Liong Ki Lok hendak menjawab, tiba-tiba Bwee Ji yang membuang muka ke belakang, melihat datangnya dua orang yang berlari-lari masuk ke pekarangan itu. Ia lalu memegang tangan ayahnya erat- erat, dan berbisik, “Ayah ..... dia datang !”
“Dia siapa ?” Ayahnya bertanya dan menunda maksudnya untuk menjawab pertanyaan Ban Kong.
“Shan-tung Koay-hiap! Dia datang!” suara Bwee Ji setengah bersorak, biarpun dikeluarkan dengan perlahan, membuat ayahnya juga menengok ke belakang. Benar saja, ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian hijau dan seorang kakek berpakaian merah. Biarpun tadinya ia merasa ragu-ragu dan pangling melihat mereka berdua ini, akan tetapi setelah memperhatikan, ia mengenal wajah Tiong San yang cakap.
Dalam keadaannya yang terdesak, Liong Ki Lok lalu mengambil keputusan nekat.
“Tai-ciangkun,” katanya kepada Ban Kong. “Memang aku telah mendapat menantu, dan menantuku adalah Shan-tung Koay-hiap yang sekarang telah datang kesini!” Ia menunjuk ke arah dua orang yang kini telah memasuki pekarangan dan berjalan menuju ke pintu di mana mereka berdiri.
Ban Kong memandang dan mukanya menjadi pucat.
“Dia ..... mereka...... datang .....!” Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya dan berkata. “Awas, yang datang adalah Thian-te Lo-mo dan muridnya. Panggil kawan-kawan!” Ia sendiri lalu mengeluarkan ruyungnya, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera mencabut pedang. Seorang di antara mereka lari ke dalam untuk memanggil kawan-kawan untuk mengepung dan mengeroyok kakek gila yang mereka takuti itu.
Ketika Tiong San dan suhunya tiba di kota raja, pemuda itu memang segera mengajak suhunya menuju ke gedung pangeran Ong. Karena maksudnya yang terutama pergi ke kota raja adalah ingin menolong Liong Ki Lok dan yang kebetulan sekali mereka jumpai pada saat yang tepat di pekarangan gedung itu. Maka mereka lalu berhenti di dekat mereka dan Thian-te Lo-mo memandang gedung besar itu sambil tersenyum- senyum karena ia teringat akan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika ia main-main di kota raja dan mencuri cap-cap pangkat para pembesar dan pangeran!
“Shan-tung Koay-hiap, apakah benar bahwa gadis ini adalah isterimu?” Ban Kong bertanya kepada Tiong San sambil menunjuk kepada Bwee Ji. Perwira ini memandang dengan kagum dan heran kepada Tiong San yang dulu seperti seorang pemuda gila yang jembel, sekarang ternyata merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Ditanya begitu, Tiong San tanpa terasa lalu berpaling memandang kepada Bwee Ji yang memandangnya dengan muka merah berseri dan menggigit bibir. Kemudian pemuda itu memandang ke arah Liong Ki Lok yang memandangnya dengan mata penuh permohonan tolong. Ia lalu menghadapi Ban Kong lagi dan menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.
“Andaikata betul maupun tidak, kau perduli apa? Dengarlah, nona ini tidak boleh menjadi korban pangeran Ong, habis perkara!” Semua orang merasa heran mendengar suara Tiong San yang halus dan sopan, karena dulu mereka tidak melihat sikap seperti ini pada pemuda itu.
Ban Kong maklum bahwa pemuda ini memang sengaja datang untuk melindungi gadis itu, maka ia mengangkat-angkat ruyung tinggi-tinggi dan membentak. “Penjahat muda, jangan kira kami takut kepadamu! Kalau kau memang suami nona itu, akuilah saja terus terang akan tetapi kalau bukan, jangan kau ikut mencampuri urusan orang lain!” “Ban-ciangkun,” tiba-tiba Liong Ki Lok berkata. “Shan-tung Koay-hiap adalah menantuku, mengapa kau masih mendesak terus? Apakah kau sengaja mencari perkara permusuhan?”
Ban Kong tertawa mengejek dan memandang kepada Tiong San sambil berkata, “Benarkah kata-katanya itu? Bilakah kau menikah dengan nona manis ini?”
Tiong San juga tertawa dan menjawab, “Mertuaku sudah bicara mau apa lagi?”
Ban Kong berseru marah. “Kalau begitu kau harus mampus!” Ruyungnya menyambar maju, akan tetapi tiba-tiba ruyung itu berhenti ditengah udara dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya. Ruyung itu ternyata telah dilibat oleh cambuk panjang yang sudah berada di tangan Thian-te Lo-mo.
“Ha ha ha! Perwira gendeng dan gila!” ia memaki sambil membanting ruyung yang dirampasnya itu ke atas tanah. “Menyambut pengantin sama dengan menyambut tamu agung! Kalau muridku menjadi pengantin, akupun seorang mempelai! Kau tidak menyambutku dengan hidangan-hidangan yang terkenal lezat dari dapur pangeran Ong. Akan tetapi menyuguh kami dengan ruyung! Kau benar-benar gila dan tak patut diangkat menjadi penyambut tamu agung! Aku akan ambil sendiri hidangan-hidangan itu!” Sambil berkata demikian, Thian-te Lo-mo lalu melangkah lebar menuju ke pintu gedung untuk menerjang ke dalam.
Ban Kong menjadi terkejut dan khawatir sekali melihat betapa kakek gila itu hendak menyerbu ke dalam gedung, oleh karena pada waktu itu Ong Tai Kun si pangeran bersama beberapa orang pembesar lain sedang berpesta di ruang dalam. Maka ia lalu berseru keras.
“Orang gila, kau hendak berbuat apa?” lalu ia maju diikuti oleh kawan-kawannya, sedangkan pada saat itu, dari dalam muncul banyak perwira-perwira lain yang tadi diberi tahu. Sebentar saja Thian-te Lo-mo telah dikurung oleh belasan orang perwira yang bersenjata tajam, sedangkan Ban Kong sudah mengambil ruyungnya yang tadi dilempar ke atas tanah oleh kakek itu.
“Ha ha ha! Kalian anjing-anjing penjilat sebelum mengeluarkan hidangan untukku minta diberi hadiah dulu! Baik, baik, ini aku beri hadiah sama rata, seorang satu!”. Cambuknya berbunyi berdetak-detak dan menyambar-nyambar di udara dan biarpun semua perwira itu memutar pedang dan golok untuk menyerbu dan melindungi diri, tak urung sekalian senjata itu sekali terpukul ujung cambuk telah beterbangan dan terlepas dari pegangan mereka. Hal itu lalu disusul oleh teriakan-teriakan mereka karena muka mereka masing-masing telah tersambar oleh ujung cambuk sehingga pada muka tiap orang perwira terdapat garis merah biru akibat sabetan cambuk!
Tentu saja hal ini amat mengejutkan mereka. Kepandaian para perwira itu bukan rendah, dan terutama sekali Ban Kong telah terkenal dengan ruyungnya. Akan tetapi kini menghadapi Thian-te Lo-mo, mereka belaan orang perwira itu seakan-akan menjadi tikus-tikus kecil menghadapi seekor kucing besar.
“Muridku, kau pergi antarkan mertua dan isterimu pulang! Aku mempelai tua hendak makan minum dulu dengan pangeran Ong!” kata Thian-te Lo-mo kepada Tiong San sambil melangkah ke pintu. Sedangkan para perwira yang masing-masing mendapat hadiah sabetan pada mukanya itu memandang dengan hati khawatir sekali. Melihat betapa kakek gila itu masuk ke dalam gedung, mereka tidak perdulikan Liong Ki Lok dan puterinya lagi, akan tetapi segera mengejar masuk ke dalam gedung.
Tiong San tertawa bergelak melihat perbuatan suhunya dan berseru, “Suhu, makanlah dulu sepuasnya, akan tetapi jangan habiskan semua, beri bagian kepada teecu!”
Pada saat itu, Liong Ki Lok dan Bwee Ji telah menghampirinya dan nona itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong San! Akan tetapi Tiong San segera memegang tangannya dan menariknya berdiri. Kemudian ia pegang pula tangan Liong Ki Lok dan segera lari sambil menarik tangan kedua orang itu meninggalkan kota raja!
Biarpun Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji telah memiliki kepandaian yang cukup baik dan ilmu lari cepat mereka juga tidak rendah, akan tetapi ketika digandeng dan ditarik oleh Tiong San, mereka merasa betapa kedua kaki mereka seakan-akan tidak menyentuh bumi, demikian cepatnya mereka lari!
Setelah tiba di luar tembok kota raja, Tiong San melepaskan tangan mereka dan berkata, “Nah, pergilah kalian ke mana kalian suka! Sekarang tidak ada bahaya lagi.” Mendengar ucapan ini, hati kedua orang itu merasa terkejut dan kecewa. Bwee Ji kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu oleh karena ia merasa bahwa pemuda ini beserta suhunya telah menolong jiwanya dari kesengsaraan atau kematian yang hebat.
“Inkong,” kata Liong Ki Lok sambil menjura, “Bukankah kau .... sudi menjadi suami anakku yang bodoh
....?”
Tiong San tertawa gelak-gelak mendengar ucapan ini, lalu menjawab, “Apa kau kira aku ini seorang gila?”
Ketika Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji memandangnya dengan heran mendengar kata-katanya ini. Ia lalu mengucapkan sebuah syair kuno dari seorang yang patah hati,
Kalau kau ingin hidup bahagia Terdapat tiga syarat
Dan pantangan utama:
Jangan mencari isteri, Jangan mencari kawan, Dan jangan mencari lawan! Berkawanlah dengan buku Berlawanlah dengan arak!
Selagi Liong Ki Lok dengan anaknya masih bengong memandang pemuda itu, tiba-tiba tubuh Tiong San berkelebat dan lenyap dari depan mereka, hanya terdengar suaranya yang sudah jauh. “Suhu, jangan habiskan hidangan-hidangan itu!”
Liong Ki Lok menarik napas panjang dan berkata, “Ia benar-benar gila, akan tetapi sakti dan berbudi!”
Sementara itu, Bwee Ji masih berlutut dan kini terdengar ia terisak-isak menangis. Hatinya telah tertambat kepada pemuda yang cakap, gagah dan berbudi itu dan akan bahagialah hidupnya apabila ia bisa menjadi isteri pemuda itu.
Tadi ia telah merasa amat girang ketika mendengar betapa pemuda itu agaknya bersedia menjadi suaminya. Tidak tahunya kini pemuda itu meninggalkannya dengan syair yang menunjukkan bahwa pemuda itu memandang rendah tentang pernikahan dan tidak sudi kepada wanita.
“Ayah .... di dunia ini tak mungkin ada orang kedua seperti dia ”
Mendengar ucapan ini, ayahnya maklum bahwa hati anaknya telah tertarik kepada pemuda itu. Maka sambil menarik napas panjang berkali-kali, ia lalu mengajak Bwee Ji pergi dari situ dengan cepat.
“Yang terpenting sekarang ialah mengajak ibu dan adik-adikmu segera pergi jauh sebelum jahanam- jahanam itu mendapat kesempatan mengejar.”
Mereka lalu berlari cepat menuju dusun Bi-lu-siang dan tanpa membuang waktu lagi mereka semua lalu pergi ke selatan, melarikan diri sejauhnya dari tempat yang berbahaya itu sambil selalu terkenang kepada Shan-tung Koay-hiap yang telah menolong mereka, akan tetapi berbareng juga mengecewakan hati mereka itu.
********************
Di ruang yang lebar dalam gedung pangeran Ong Tai Kun sedang diadakan pesta yang mewah dan gembira. Nampak empat buah meja persegi di ruang itu dan setiap meja dikelilingi oleh empat orang tamu yang semuanya berpakaian indah karena mereka ini adalah pembesar-pembesar belaka.
Mereka ini terdiri dari pangeran-pangeran dan orang-orang berpangkat dan belasan orang ini memang seringkali mengadakan perjamuan makan. Saling mengundang untuk bergembira ria menikmati hidangan- hidangan istimewa.
Di pojok kamar itu nampak serombongan penyanyi meramaikan suasana dengan nyanyian-nyanyian merdu sehingga mereka yang sedang berpesta menjadi makin gembira. Arak yang lewat di kerongkongan makin hangat dan wangi sedangkan masakan-masakan yang mereka makan makin lezat dengan mendengarkan lagu-lagu merdu yang dinyanyikan oleh nona-nona manis itu. Para penyanyi ini bukanlah rombongan penyanyi biasa, akan tetapi terdiri dari selir-selir tuan rumah sendiri. Maka tentu saja wajah mereka yang cantik-cantik itu membuat belasan orang tamu menjadi kagum.
Ong Tai Kun sendiri duduk berhadapan dengan tiga orang tamu yang mendapat kehormatan istimewa karena mereka ini adalah tiga orang berpangkat tertinggi di antara sekalian tamu. Seorang di antaranya yang berhadapan muka dengan Ong Tai Kun, adalah seorang pangeran pula, yakni pangeran Lu Goan Ong yang menjadi penasehat kaisar. Pengaruh pangeran Lu Goan Ong ini malahan lebih besar dari pada pengaruh pangeran Ong. Maka sudah tentu saja sikap Ong Tai Kun terhadapnya amat menjilat-jilat.
Sebagaimana pembaca masih ingat, pangeran Lu Goan Ong adalah pangeran yang dulu bertemu dengan Tiong San dan dua orang kawannya di telaga Tai-hu, dimana Thian-te Lo-mo mengamuk di atas perahu pangeran itu setelah perahu pangeran itu menubruk perahu ketiga pemuda itu.
“Kabarnya saudara Ong mendapatkan kembang baru yang segar, cantik dan juga pandai silat!” kata pangeran Lu Goan Ong sambil tersenyum-senyum dan mengangkat cawan araknya lalu mengerling ke arah para penyanyi. “memang saudara Ong paling pandai memilih kembang hingga taman bungamu penuh dengan kembang-kembang cantik!”
Ong Tai Kun tertawa senang. “Lu-taijin terlalu memuji,” katanya. “Nona yang kau maksudkan itu belum datang, dua pekan lagi mungkin ia akan berada di sini. Akan tetapi selihai-lihainya wanita, ia hanya memiliki ilmu silat biasa saja. Kalau Lu-taijin suka kepada salah satu kembang di tamanku ini, tunjuklah saja dan tentu akan kupersembahkan untuk di tanam di taman bungamu!”
Lu Goan Ong tertawa gembira dan minum araknya. “Jangan, jangan!” Ia mengangkat kedua tangannya. “Di sana sudah cukup banyak. Kalau terlalu banyak sukar mengurusnya!”
Dua orang lain yang berada di kanan kiri mereka ikut tertawa senang, dan seorang yang duduk di sebelah kiri Ong Tai Kun berkata, “Kalau bungamu yang baru itu kepandaiannya dapat menyamai Gui-siocia di gedung Lu-taijin, barulah hebat!”
“Mana bisa menyamai Gui-siocia?” kata Ong Tai Kun. “Untuk jaman ini, Gui-siocia tidak ada keduanya, baik mengenai kecantikannya maupun mengenai kelihaian ilmu silatnya.”
Lu Goan Ong menarik napas. “Keponakanku Siu Eng memang cukup tinggi ilmu silatnya, akan tetapi hal itu membuat ia menjadi keras kepala. Banyak sahabat datang meminangnya, akan tetapi ia bersikeras tidak mau kawin dengan seorang yang tidak memiliki bun dan bu. Dan sukarnya, calon jodohnya harus dapat mengalahkannya!” Pangeran Lu Goan Ong menggeleng-geleng kepala seperti orang merasa jengkel.
Padahal sebenarnya ia merasa bangga sekali akan keponakannya itu, yakni nona Siu Eng. “Sudah banyak pemuda-pemuda yang amat baik, tinggi ilmu kesasteraannya, akan tetapi ia selalu menolak. Isteriku terlalu memanjakannya sehingga aku benar-benar merasa bohwat (kehabisan akal).”
“Mengapa Lu-ya demikian bingung?” kata orang yang duduk di sebelah kanan Ong Tai Kun. “Adakan saja sayembara di panggung lui-tai untuk mencari pemuda-pemuda yang yang lihai ilmu silatnya!”
Lu Goan Ong mrngangguk-angguk. “Memang sudah ada pikiran demikian dalam hatiku. Akan tetapi sukar juga karena Siu Eng hanya mau dijodohkan dengan pemuda yang selain pandai ilmu silat dan dapat mengalahkannya, juga harus pandai dalam ilmu kesusasteraan. Di mana ada pemuda yang berkepandaian lengkap seperti itu?”
“Ah, dia menghendaki seorang bun-bu-cwan-jai (pemuda gagah yang pandai silat dan sastra)!” kata Ong Tai Kun. “Memang tepat, karena kalau tidak demikian, mana dapat direndengkan dengan Gui-siocia?”
Pada saat Lu Goan Ong hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba matanya terbelalak memandang kepada seorang kakek berpakaian merah yang tiba-tiba muncul dari pintu dan masuk ke dalam ruangan itu.
“Thian-te Lo-mo ...” bisiknya dan wajahnya menjadi pucat. Semua orang memandang dengan kaget dan menjadi pucat karena semua pembesar dan pangeran ini biarpun di antaranya ada yang belum pernah melihat Thian-te Lo-mo, akan tetapi pernah mendengar nama kakek gila yang pernah menggegerkan istana kaisar dan seluruh kota raja!
Thian-te Lo-mo dengan tindakan kaki lebar memasuki ruangan dan matanya menyapu semua yang hadir sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Pangeran Ong, mana masakanmu yang paling enak, ayoh keluarkan untukku! Kabarnya hidangan di rumahmu ini lebih lezat dari pada hidangan di dapur kaisar, benarkah ini?” Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri meja pangeran Ong Tai Kun dengan hidung kembang-kempis seakan-akan sedang mencium-cium bau masakan dan menaksir-naksirnya.
Sebetulnya saja Thian-te Lo-mo tidak mempunyai maksud buruk dan kedatangannya memang terdorong oleh keinginan hatinya membuktikan ucapan muridnya bahwa hidangan di rumah pangeran ini lebih enak dari pada hidangan dari dapur kaisar. Akan tetapi tentu saja para pembesar ini, terutama pangeran Ong tidak mempunyai pikiran demikian. Karena kakek ini sudah terkenal sebagai seorang pengganggu kota raja.
Kedatangannya ini mereka anggap sebagai gangguan yang disengaja dan ucapan tentang masakan tadi dianggap sebagai alasan belaka. Oleh karena itu, mereka yang tahu ilmu silat, terutama Ong Tai Kun dan Lu Goan Ong, segera mencabut pedang masing-masing dan mengurung Thian-te Lo-mo.
Pada saat itu, para perwira dengan dikepalai oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang mukanya masing- masing telah digaris merah oleh ujung cambuk Thian-te Lo-mo, memburu ke dalam dan melihat betapa kakek itu kini dikurung oleh para pembesar tinggi, segera memburu dan mengurungnya pula.
“Thian-te Lo-mo orang gila!” teriak Ban Kong. “Kau hendak lari ke mana?” perwira ini terkenal sebagai jagoan kota raja. Tentu saja ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan para pangeran dan pembesar itu. Dan untuk menyembunyikan kekalahannya tadi, ia mengeluarkan bentakan itu dan lalu maju menyerang dengan ruyungnya.
Akan tetapi Thian-te Lo-mo dengan tersenyum mengejek hanya miringkan tubuh mengelak dan tangannya menyambar semangkuk masakan dari meja pangeran Ong. Ia lalu mengempit cambuknya di bawah lengan kanan alias ketiak, memegang mangkuk itu di tangan kiri dan tangan kanannya menggunakan sepasang sumpit gading untuk menjumput sepotong daging dari mangkuk itu terus dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikunyah dengan mata meram melek seperti laku seorang ahli masak sedang mencicipi rasanya semacam masakan.
Berkali-kali ruyung Ban Kong menyambar, akan tetapi ruyung itu selalu memukul angin, oleh karena dengan sedikit gerakan saja Thian-te Lo-mo dapat mengelak tanpa melepaskan mangkuknya dan masih mengayem makanan tadi.
Beberapa orang perwira lain maju mengeroyoknya pula sehingga kini Thian-te Lo-mo terpaksa mengangkat tangan kanan yang memegang sumpit untuk menangkis. “Tring! Tring!” Sekali tangkis dengan sumpitnya, tiga golok di tangan perwira-perwira itu terpental ke udara. Akan tetapi perwira lain maju pula mengeroyok.
“Ah, masakan ini tidak sedap! Sama tawar dan hambarnya seperti kalian!” kata Thian-te Lo-mo yang lalu melemparkan mangkuk itu demikian saja ke atas. Akan tetapi tepat sekali mangkuk itu menyambar turun dan jatuh dengan terbalik di atas kepala pembesar itu sehingga merupakan topi aneh di atas kepalanya.
Sedangkan isinya tumpah dan kuah masakan itu mengalir turun di sepanjang mukanya. Karena masakan ini memakai kecap merah, maka kecap yang mengalir di atas hidung dan pipinya merupakan barang cair merah seakan-akan darah memenuhi muka itu.
Pembesar itu yang tidak menyangka sama sekali, menjadi kelabakan karena kedua matanya juga terkena kuah masakan itu sehingga tak dapat dibuka lagi karena pedas dan ia lalu menggunakan kedua tangan meraba-raba sana-sini dan berlari menabrak ke kanan-kiri!
“Ha ha ha!” Thian-te Lo-mo tertawa. “Memang kalian orang-orang gila dan masakan tadi sama sekali tidak enak!” Ia mengulur tangan menyambar lain mangkuk di meja sebelah kanan. Akan tetapi pada saat ia mengulurkan tangan, Ong Tai Kun yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, segera melompat dan menyabetkan pedangnya ke arah tangan yang terulur itu! Inilah gerakan yang disebut Ceng-liong-kian-wi (Naga hijau kibaskan buntut) yang dilakukan cepat sekali sehingga agaknya tangan kakek yang gemar masakan enak itu akan terpotong oleh pedang pangeran Ong!
Akan tetapi, gerakan tangan kakek itu benar-benar mengagumkan. Ketika pedang telah menyambar dekat sekali, tiba-tiba tangannya dibalikkan dan kini bahkan melakukan serangan menotok ke arah pergelangan tangan pangeran Ong yang memegang pedang. Totokan yang dilakukan secara sembarangan ini adalah ilmu tiam-hoat (menotok jalan darah) Coat-meh-hoat, yakni cara menotok tanpa mencari urat tertentu yang diajarkan oleh cabang Bu-tong-pai.
Totokan macam ini, biarpun tidak mengenai urat-urat tertentu seperti Tiam-hwe-louw, ilmu totok dari Siauw- lim-pai, akan tetapi cukup dapat membuat bagian yang tertotok menjadi lumpuh untuk beberapa lama, tergantung dari kekuatan yang tertotok. Memang kelihaiannya tidak seperti ilmu totok Siauw-lim-pai yang mencari jalan-jalan darah tertentu akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai serangan tiba-tiba dalam membela diri.
Melihat gerakan ini, Ong Tai Kun terkejut sekali. Ia telah memiliki kepandaian cukup tinggi, maka tentu saja ia tidak sudi dikalahkan dengan cara yang begitu saja, maka cepat ia menarik kembali pedangnya dan ketika Thian-te Lo-mo melanjutkan maksudnya semula, yakni mengambil mangkuk itu, ia lalu membarengi dengan serangan Yan-cu-liak-sui (Burung walet sambar air), pedangnya berkelebat menyambar ke arah leher kakek yang sedang mengambil mangkuk itu,
Dan pada saat itu juga, Ban Kong dari lain jurusan juga telah memukulkan ruyungnya ke arah kepala Thian-te Lo-mo dengan kekuatan luar biasa besarnya. Serangan dua orang kosen yang dilakukan sekali gus ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan dan bagi ahli silat yang belum sempurna sekali kepandaiannya, akan sukarlah menghindarkan diri dari bencana ini. Apalagi kalau ia sedang memegang mangkuk dengan tangan kiri dan tangan kanannya sedang mengerjakan sepasang sumpit untuk menjumput masakan itu.
Akan tetapi, ketika Thian-te Lo-mo sedang mengerjakan sumpitnya di dalam mangkuk, tiba-tiba dua potong bakso yang banyak terdapat di dalam mangkuk itu, mencelat ke kanan kiri dan menyambar mata pangeran Ong dan Ban Kong! Kejadian ini terjadi cepat sekali dan tidak terduga-duga lebih dulu. Kecepatan sambaran bakso yang bundar itu ternyata lebih cepat dari pada sambaran senjata pedang dan ruyung sehingga sebelum kedua senjata itu mengenai sasaran, bakso tadi telah mendahului menyambar mata mereka.
Ong Tai Kun dan Ban Kong yang tidak melihat gerakan sumpit Thian-te Lo-mo, menjadi terkejut sekali karena mengira bahwa benda yang menyambar mata mereka itu adalah senjata rahasia yang berbahaya maka sambil berseru keras, mereka menjatuhkan diri ke samping untuk mengelak sehingga otomatis senjata mereka ikut ditarik kembali dan penyerangan mereka gagal!
Bakso yang menyambar mata pangeran Ong dapat dikelit dan menyambar tembok hingga hancur berantakan. Akan tetapi bakso yang menyambar Ban Kong, ketika dikelit oleh perwira itu, menyambar ke arah seorang perwira yang tinggi besar dan yang berdiri di belakang Ban Kong. Perwira itu sedang berteriak-teriak mengajak kawan-kawannya.
“Ayoh, keroyok beramai-ramai! Ayoh hepp!!”