Pendekar Gila Dari Shan-tung Bab-01 : Tiga Sasterawan Muda

Bab-01 : Tiga Sasterawan Muda

KURANG lebih sepuluh li jauhnya di sebelah barat daya dari So-cou, terdapat sebuah telaga Tai-hu yang amat indah pemandangannya. Airnya bening dan tak pernah surut, demikian beningnya sehingga segala warna yang berada di pinggir dan di atasnya tercermin ke dalamnya menimbulkan tata warna yang indah mengagumkan. Langit biru terhias awan-awan putih, daun-daun pohon berwarna hijau dihias bunga-bunga merah kuning dan kebiruan membayang dalam air, agaknya lebih hidup dari pada warna aslinya.

Apabila tidak ada angin bertiup, air telaga Tai-hu demikian tenang, licin mengkilap bagaikan lukisan besar tertutup kaca. Sewaktu terdapat angin bertiup, air menjadi hidup bergoyang-goyang mendatangkan keriput dan membuat seluruh pemandangan yang terbayang di dalamnya berubah aneh dan lucu.

Sukar untuk melukiskan keindahan telaga ini. Di sebelah kiri terdapat tetumbuhan kecil terdiri dari bermacam-macam bunga liar yang seakan-akan sengaja mendekati telaga agar bunga-bunga itu dapat bercermin setiap waktu, mengagumi kecantikan sendiri di dalam bayangan air.

Di sebelah kanan penuh dengan pohon-pohon besar yang berbatang bengkak-bengkok seperti tubuh orang-orang sedang menari, dengan cabang dan rantingnya penuh daun itu bergerak-gerak tertiup angin, mendatangkan suara berkerisik seakan-akan banyak daun itu saling bercakap-cakap memuji keindahan telaga dan cabang-cabang merupakan tangan dan jari-jari para penari ulung yang sedang menari menurutkan irama yang didatangkan dari desau angin lalu.

Di sebelah kanan, yakni di seberang sana, terdapat beberapa buah bangunan kecil berbentuk menara- menara mungil yang dicat merah, hijau, biru dan kuning, nampak indah merupakan perpaduan yang harmonis antara keahlian tangan dan otak manusia dan keaslian alam di sekelilingnya.

Di sebelah sini, terdapat tanah pasir yang bersih dan banyak sekali perahu-perahu tambangan diikat pada patok-patok yang ditancapkan di atas pasir. Inilah perahu-perahu sewaan yang dapat disewa setiap saat oleh para pelancong yang ingin menghibur hatinya di telaga itu.

Di dekat menara-menara yang kecil mungil itu banyak terdapat orang berdagang, di antaranya dapat dibeli arak, makanan dan juga di situ banyak orang menjual alat tulis seperti pit, tinta, kertas atau kain putih yang biasa ditulisi, bahkan ada pula yang kosong dan belum dilukis. Semua ini disediakan bagi para pelancong yang sebagian besar tergerak hatinya melihat keindahan alam ini dan yang menimbulkan hasrat untuk menulis sajak atau melukis keindahan itu di atas kertas, kain ataupun di atas kipas.

Pada hari itu, telaga Tai-hu istimewa ramainya. Tidak heran oleh karena musim bunga telah tiba. Bunga- bunga beraneka ragam mekar semua dan membuat pemandangan di sebelah kiri telaga nampak luar biasa indahnya. Angin bertiup perlahan, membawa sari kembang yang harum semerbak ke sekeliling telaga.

Berbagai macam orang datang mencari hiburan di telaga Ti-hu pada waktu itu. Akan tetapi yang terbanyak di antara mereka adalah para pelajar dan sasterawan, yang dapat dikenal dari keadaan pakaian mereka. Juga ada beberapa orang bangsawan yang menghibur hati di telaga itu, ternyata dari perahu mereka yang dihias bendera dan para penjaga yang berdiri di kepala perahu atau yang mengawal dengan perahu kecil terpisah.

Di atas beberapa buah perahu yang besar dan yang berbau bangsawan, terdengar nyanyian-nyanyian indah diiringi musik yang menawan hati. Memang, kalau orang ingin berpelesir di atas perahu sambil mendengarkan nyanyian indah, asal orang mempunyai uang, mudah saja maksudnya ini tercapai. Di situ telah siap sedia “calo-calo” atau makelar yang dapat mencarikan penyanyi-penyanyi yang dapat disewa untuk menghibur hati mereka yang suka mendengar suara merdu. Setiap datang musim semi, alang-alang yang hijau segar tumbuh di pinggir telaga, menari-nari tertiup angin di atas air menambah indah pemandangan. Dan pada hari itu, di dekat rumput alang-alang ini, nampak sebuah perahu kecil yang diduduki oleh tiga orang pemuda berpakaian pelajar. Mereka masih muda sekali, rata-rata berusia tak lebih dari lima belas tahun, berwajah tampan dan bersikap halus bagaikan gadis-gadis simpanan.

Seorang di antaranya yang paling cakap dan tampan mengenakan pakaian serba hijau dengan garis-garis kuning. Topinya juga berwarna kuning. Mukanya lebar dan tampan, dengan alisnya yang berbentuk golok dan hitam sekali membuat wajahnya makin nampak putih. Biarpun sikapnya lemah lembut, namun sepasang matanya yang bersinar cerdik dan mulutnya yang berbentuk keras itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemuda yang berkemauan keras.

Dua orang kawannya juga berwajah cakap dan sikap mereka gembira, berbeda dengan pemuda baju hijau yang agak pendiam. Seorang mengenakan pakaian biru dan yang kedua berpakaian kuning. Menilik dari bahan pakaian yang mereka pakai, dapat diduga bahwa ketiganya adalah pelajar-pelajar yang tidak kaya, karena sungguhpun pakaian mereka rapi dan bersih, namun terbuat dari bahan yang tidak mahal.

Mereka bertiga duduk di papan perahu menghadapi sebuah meja persegi kecil. Seguci kecil arak dengan tiga cawan terletak di atas meja itu, dan sebungkus kue kering menemani arak. Mereka bercakap-cakap sambil makan kue dan minum arak. Selain arak dan kue, juga nampak tiga buah kipas yang masih kosong, yang mereka beli di dekat menara tadi. Alat-alat tulis lengkap berada pula di situ, berikut sebuah buku syair kuno yang tebal dan sudah kuning kertasnya karena terlalu tua.

Pemuda baju hijau itu adalah putera seorang bangsawan yang telah meninggal dunia. Karena semasa hidupnya, ayahnya memegang jabatan dengan jujur dan adil sehingga tidak seperti pembesar lain, hidupnya miskin, hanya mengandalkan gajinya yang tidak seberapa besar.

Bangsawan she Lie itu tidak mau menjalankan pemerasan kepada rakyat sebagaimana yang lazim dilakukan oleh setiap orang berpangkat pada masa itu, hingga pada suatu waktu ia menderita sakit sampai meninggal dunia, ia tidak meninggalkan warisan harta besar selain kepandaian yang dimiliki oleh putera tunggalnya ini yang bernama Tiong San. Memang semenjak kecil, bangsawan Lie telah banyak mempergunakan uangnya untuk memberi pelajaran ilmu kesusasteraan kepada puteranya dengan pengharapan agar kelak dapat menduduki pangkat tinggi.

Akan tetapi, biarpun Tiong San dalam usia lima belas tahun telah lulus dengan baik dalam ujian pemerintah, namun pada masa itu sukarlah bagi seorang pelajar untuk merebut kedudukan tinggi dalam kalangan pemerintah. Oleh karena mereka yang berwenang menetapkan pembagian pangkat adalah seorang yang hanya memandang uang sogokan.

Siapa saja yang memiliki uang dan berani memberi suapan besar, biarpun belum pernah lulus ujian, akan dapat memiliki pangkat kecil dengan amat mudah. Sebaliknya Tiong San yang telah ditinggal mati ayahnya hidup dengan ibunya yang mengandalkan hasil kerajinan tangan, biarpun hasil ujiannya baik, namun tak mungkin bisa memperoleh pangkat yang bagaimana kecilpun!

Hal ini amat menyedihkan hatinya dan ia menjadi sebal melihat keadaan petugas-petugas pemerintah yang hanya memandang harta itu. Hatinya menjadi tawar, bahkan ia tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk memegang pangkat. Sehingga andaikata ia mendapat tawaran untuk menduduki sebuah pangkat, ia tentu akan menolaknya.

Pada hari itu, ia meninggalkan rumahnya dan diberi ijin oleh ibunya untuk bermain-main di telaga Tai-hu yang agak jauh letaknya dari kampung tempat tinggalnya, oleh karena ibunya merasa kasihan melihat kesedihan puteranya dan ingin melihat puteranya itu bergembira dengan kawan-kawannya. Maka pergilah Tiong San dengan dua orang kawannya itu menghibur diri di telaga Tai-hu. Kedua orang kawannya itu adalah kawan-kawan sekolahnya yang melanjutkan pelajarannya di kota raja, dan kini sedang berlibur kembali ke kampung masing-masing. Mereka adalah kawan sekampung dan telah menjadi sahabat karib semenjak kecil.

Si baju biru bernama Khu Sin, putera kepala kampung mereka yang juga terkenal jujur dan bijaksana. Khu Sin dikirim oleh ayahnya ke kota raja untuk melanjutkan pelajarannya dan tinggal di rumah pamannya yang menjadi pemilik rumah makan. Pemuda berbaju kuning bernama Thio Swie, putera seorang guru sastra di kampung mereka yang juga telah meninggal dunia dan kini hidup berdua dengan ibunya yang telah menjanda. Seperti Khu Sin, Thio Swie inipun melanjutkan pelajarannya di kota raja dan tinggal di rumah bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat.

Kini kedua kawan sekampung itu pulang dalam waktu libur dan berpelesir dengan Tiong San di telaga Tai- hu, karena mereka berdua memang suka sekali kepada Tiong San yang terkenal paling pandai di antara mereka.

Dalam kegembiraan mereka, Thio Swie si baju kuning berkata sambil tertawa kepada Tiong San,

“Sekarang lebih baik kita mencoba ingatan masing-masing tentang sajak jaman dahulu. Kau terkenal ahli sajak yang banyak hafal akan sajak-sajak jaman dahulu, bahkan kitab sajak ini ke manapun kau bawa.”

Tiong San tersenyum. “Boleh, dan tentu saja kau dan Khu Sin telah banyak mempelajari sajak-sajak baru di kota raja. Asal kau tidak menyebut sajak yang baru dan yang belum pernah ku dengar tentu aku masih ingat.”

“Biar aku dulu yang mengajukan sebuah sajak untuk diterka oleh Tiong San!” kata Khu Sin yang segera mendongakkan mukanya yang cakap itu ke atas memandang awan-awan yang terbang lalu dengan perlahan. Ia mengingat-ingat sebentar, kemudian ia mendeklamasikan sebuah sajak dengan gaya yang menarik.

Berkawan arak setiap hari di perahuku,

Mendengarkan nyanyi sunyi, dari bawah alang-alang merayu-rayu, Angin bertiup lalu, angkasa terang tiada awan,

Air dan langit bersih bagai kaca kehijau-hijauan.

Tiong San tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kau memilih syair yang tepat, Khu Sin!” ia memuji. “Itulah sajak yang ditulis oleh Yang Pei pada masa dinasti Sung ketika ia berkunjung ke sini dan menikmati keindahan pemandangan telaga Tai-hu.”

“Bagus, ternyata ingatanmu masih amat tajam!” Thio Swie memuji Tiong San. “Dan sajak yang baru saja diucapkan oleh Khu Sin amat baiknya, kalian harus diberi selamat dengan secawan arak!” sambil berkata demikian Thio Swie yang berwatak gembira lalu menuangkan arak dari guci, memenuhi cawan masing- masing dan mereka lalu mengangkat cawan dan minum dengan gembira.

“Sekarang giliranku,” kata Thio Swie sambil pasang aksi memikir-mikir dengan mengerutkan jidat bagaikan seorang ahli sastra beraksi. “Dengarkan baik-baik, Tiong San, karena kau tentu takkan bisa menerka siapakah pengarang sajak ini.” Thio Swie mengucapkan sajak pilihannya dengan mimik (gerak) muka yang lucu seakan-akan ia sedang beraksi di depan ribuan penonton di atas panggung.

Tiap hari cawanku penuh arak wangi, Duduk di taman bunga kecil indah sunyi,

Tiap hari aku bernyanyi dan menari gembira ria. Lempar jauh-jauh segala susah dan duka, Yang lalu hanya mimpi kosong belaka.

Lihatlah! Orang-orang besar mati menjadi tanah hampa, Tidak sibuk lagi memperebutkan kedudukan dan nama! Karenanya, bersenang-senanglah selagi kau bisa!

“Aah, siapa lagi orangnya kalau bukan Cu Si Cen yang tak kenal susah dan duka? Sudah semenjak kecil aku mengagumi orang itu!” kata Tiong San dan Thio Swie bertepuk-tepuk tangan dengan gembira lalu memperlihatkan ibu jarinya.

“Kau memang jempol, Tiong San! Sepintas saja kau sudah dapat menerka siapa penyairnya,” ia memuji dan menuangkan arak kembali ke dalam cawan masing-masing.

“Memang Cu Si Cen orangnya berwatak suci dan tidak mau memusingkan otaknya dengan segala keruwetan dunia. Sebagai seorang terpelajar yang gagal memperoleh kedudukannya menjadi tak acuh lagi dan menyerahkan diri kepada nasib,” kata Khu Sin sambil menarik napas. Kemudian ia memandang tajam kepada Tiong San dan tiba-tiba menepuk pundak kawannya itu. “Ah, Tiong San, aku menjadi ingat akan sesuatu. Kau mempunyai persamaan yang besar sekali dengan perenung itu!”

Tiong San hanya tersenyum pahit dan berkata, “Betapapun juga aku tidak suka kepada orang yang hanya menyerahkan diri kepada nasib tanpa mau berusaha dan berdaya upaya. Nasib adalah kurnia dari Thian Yang Maha Agung. Akan tetapi bukanlah kehendak Thian bahwa orang hanya menanti dan menyerahkan diri kepada nasib belaka, seakan-akan menyerahkan segala pekerjaan kepada Thian yang sudah cukup memberi berkah berlimpah-limpah! Orang-orang yang tidak mau berikhtiar dan hanya menyerahkan diri kepada nasib adalah orang-orang malas yang tiada guna!” Tiong San nampak bersungguh-sungguh ketika mengucapkan kata-kata ini sehingga kedua orang kawannya mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Coba saja kalian pikir!” kata pemuda itu pula yang biarpun masih muda sekali akan tetapi telah pandai menerawang dan mempergunakan otaknya secara luas. “Thian telah memberi kurnia kepada kita selengkapnya. Ada sepasang tangan untuk bekerja, sepasang kaki untuk berjalan, lengkap dengan otak dan perasaan ditambah pertimbangan dan kecerdikan. Akan tetapi kalau kita tidak berikhtiar, tidak berusaha dan bekerja, tidak mencangkul tanah dan mempergunakan kecerdikan sendiri untuk menanam gandum dan mengerjakan segala kebutuhan kita, tak mungkin segala macam makanan, pakaian dan keperluan lain datang sendiri! Thian cukup adil, dan murah hati, akan tetapi tidak seharusnya diperas habis-habisan!”

Tiba-tiba Thio Swie tertawa bergelak. “Tiong San, kata-katamu ini biarpun tak dapat kubantah kebenarannya, akan tetapi kenyataannya pada dewasa ini sama sekali menyangkal kebenaranmu! Lihat saja, orang-orang besar tanpa berusaha, tanpa berikhtiar, hanya dengan duduk ongkang-ongkang dan goyang-goyang kaki dan mengipas-ngipas tubuh di atas kursi, semua keperluannya datang berlebih- lebihan! Bukankah itu karena nasib mereka yang amat baik? Seperti Wu Yen Kau pernah menulis,

Nasib, kau makhluk penuh senda-gurau

Tak perduli kutuk tangis, tak hiraukan puji syukur! Kadang-kadang di sini, kadang kala di sana, naik turun, Mendatangkan senyum menimbulkan air mata!

“Itu bukan karena nasib, kawanku,” kata Tiong San sambil menarik napas. “Akan tetapi karena salahnya keadaan dan keadaan hidup manusia bukanlah datang dari Thian. Akan tetapi timbul oleh karena perbuatan manusia sendiri. Kalau pengemudinya tidak pandai memegang kendali, kuda-kudanya akan berlari liar dan kereta yang ditariknya akan lari pontang panting kacau-balau dan banyak kemungkinan masuk ke dalam jurang. Demikian pula, kalau pemegang kendali pemerintah kurang bijaksana, maka para petugas akan dimabok kecurangan dan rakyat akan mengalami hidup sengsara ”

“Sst! Tiong San, jangan keras-keras! Kita bukan berada di dalam sebuah kamar tertutup di rumah sendiri,” kata Khu Sin dengan muka khawatir.

“Dindingpun pada waktu ini bertelinga, kau harus bicara dengan hati-hati, kawan!” kata pula Thio Swie memperingatkan. “Lebih baik kita lanjutkan dengan sajak-sajak kuno yang mengandung banyak filsafat hidup dari pada membicarakan hal yang bukan menjadi tugas kita untuk memusingkannya. Ingatkah kau kepada ahli filsafat Cu Si yang pernah berkata,

Siapakah tak ingin biliknya penuh emas? Siapakah tak ingin gudangnya penuh gandum? Namun cita-cita akan tetap tinggal cita-cita

Kalau sang nasib tidak membantu pelaksanaannya! Nasib anak-anak pun tak dapat kau tentukan di muka!

“Ah, Thio Swie, kau harus menjadi seorang pemeluk agama Tao, pergi ke puncak gunung mengasingkan diri, duduk melamun sepanjang hari dan mengucapkan syair yang dibuat oleh Su Tung Po,

Mengapa mengejar-ngejar nama besar tak berharga, yang hanya terletak di atas tanduk seekor siput?

Mengapa mencari-cari keuntungan,

yang pada hakekatnya amat kecil hingga dapat ditimbang di atas kepala lalat? Semua itu tiada gunanya!

Segala sesuatu sudah ditentukan oleh sang nasib Siapa beruntung, siapa sengsara!

Ditegur sedemikian oleh Tiong San, Thio Swie hanya tersenyum gembira. “Kalau aku menjadi pertapa, hanya satu tempat yang akan kupilih menjadi tempat pertapaanku.”

“Di mana?” tanya Khu Sin.

“Di atas tempat tidur yang empuk dengan tilam yang putih bersih dan bantal kepala yang empuk dan harum!”

“Ah, kau pemalas, itu bukan pertapa namanya, akan tetapi tukang tidur dan mimpi!”

Ketiganya tertawa dan demikianlah ketiga orang muda itu tertawa-tawa gembira, mendeklamasikan sajak- sajak kuno dan bercakap-cakap tentang sastra yang menjadi kesukaan mereka. Keadaan di atas telaga makin ramai, perahu-perahu bertambah dan suara suling merayu-rayu yang diikuti suara yang-khim untuk mengiringi suara nyanyian merdu seorang penyanyi wanita, menambah gembira suasana.

Tiba-tiba di tempat perahu-perahu berkumpul terdengar seruan orang-orang sambil tertawa, “Orang gila! Orang gila!”

Tiong San dan dua orang kawannya memandang dan mereka melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang hampir telanjang karena tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana yang pendek sampai di atas lutut sedangkan bajunya hanya menyerupai kutang yang menutup dada dan perut saja.

Laki-laki itu usianya paling sedikit lima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang terurai ke atas kedua pundaknya, masih nampak hitam. Ia berjalan-jalan di antara perahu-perahu kosong yang belum mendapat penyewa dan menggunakan sebatang pecut panjang yang dipegang di tangan kirinya untuk memecuti perahu-perahu itu sambil mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik. Orang-orang yang dekat dengan dia mendengar ia berkata perlahan.

“Ayo berkumpul .... pulang ke kandang .....” seakan-akan perahu-perahu itu adalah sekumpulan kerbau yang sedang digembala olehnya.

Orang gila yang suka mengamuk amat ditakuti orang. Akan tetapi orang gila yang tidak berbahaya selalu menjadi ejekan dan bahan godaan orang. Maka melihat betapa orang gila ini tidak berbahaya dan sama sekali tidak memperdulikan sekian banyak orang yang berada di pantai telaga, ada beberapa orang yang hendak menggodanya,

“Eh, orang tua, agaknya kau gila kerbau!” kata seorang sambil tertawa-tawa.

“Siapa bilang dia gila!” kata seorang lain. “Dia adalah seorang hartawan yang sedang menggiringkan seratus ekor kerbau ke kandangnya!”

Seorang nelayan lain yang merasa kurang puas kalau hanya menggoda dengan kata-kata saja, lalu melangkah maju hendak menarik rambut orang gila yang bergantungan di atas pundak itu. Akan tetapi sebelum ia tiba dekat, kakinya tergelincir di atas batu dan ia roboh terguling. Celaka baginya, ia terjatuh di tempat yang basah dengan muka lebih dulu sehingga ketika ia bangun kembali, mukanya penuh lumpur dan kedua matanya tak dapat melihat.

Ia mengangkat kedua tangan meraba-raba ke sana ke mari sambil mengumpat caci hingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal dan kini orang itulah yang menjadi tontonan. Si gila dengan diam-diam terus melangkah maju menjauhi tempat ramai, lalu duduk di bawah pohon di bagian kanan telaga, memukul- mukulkan pecutnya pada air telaga seperti orang sedang memancing ikan. Orang-orang tidak memperhatikan lagi padanya karena tempatnya agak jauh dari tempat ramai.

“Ada-ada saja,” kata Thio Swie yang tadi ikut tertawa bergelak melihat nelayan yang jatuh. “Kawan-kawan, kipas kita masih kosong, mari kita isi dengan syair yang baik untuk kenang-kenangan!”

Kedua orang kawannya setuju dan mereka mulai sibuk menulis syair di atas kipas yang putih bersih itu. “Kalian telah belajar di kota raja, tentu saja aku tak dapat melawan kalian. Baik dalam susunan syairnya maupun tulisannya,” kata Tiong San.

Akan tetapi Thio Swie dan Khu Sin maklum bahwa tulisan Tiong San bukan main indahnya sehingga guru mereka sendiri dulu amat kagum memujinya. Sedangkan dalam hal pembuatan syair, pemuda itupun amat pandai.

Ketika Thio Swie dan Khu Sin sudah selesai membuat syair mereka, Tiong San masih saja duduk melamun dengan pit yang masih kering di tangan kanan dan kipas terbuka dihadapannya. Ia tak dapat menulis sesuatu oleh karena pikirannya masih penuh terisi peritiwa orang gila yang barusan terjadi.

Entah mengapa, keadaan orang gila itu menarik perhatiannya. Seluruh keadaan orang gila itu membayangkan kebebasan yang mutlak baginya. Kalau lain orang bersopan-sopan, memakai pakaian yang mahal-mahal dan berpantas-pantasan, adalah orang gila itu seakan-akan terlepas dari pada segala ikatan dunia, bebas lepas seperti burung di udara.

Lihat betapa ia tadi berjalan seorang diri, bagaikan tak melihat sekian banyak orang di sekelilingnya. Kemudian sekarang duduk dengan enaknya di bawah pohon, bermain-main dengan pecut sendiri. Entah apa yang sedang dipikirkannya!

Tiong San teringat akan keadaan orang-orang yang menganggap diri sendiri “waras” dan nampak olehnya betapa banyak sekali kepalsuan dan keburukan terdapat pada orang-orang yang tidak gila ini. Seperti dia sendiri, ia bersenang selagi hatinya murung, selagi banyak sekali hal mengganggu ketentraman jiwanya, tentang kegagalan mendapat pangkat, tentang keadaan ibunya yang telah menjadi janda, tentang orang- orang berpangkat yang melakukan korupsi besar-besaran, tentang kesengsaraan rakyat jelata ah,

semua ini tentu tidak terpikir atau mengganggu pikiran orang gila itu. Siapakah yang lebih gila, dia sendiri atau orang gila itu?

“Tiong San, lihat, syairku telah selesai!” kata Thio Swie dengan bangga. Tiong San sadar dari lamunannya dan terpaksa ia berkata sambil tersenyum,

“Cepat sekali, Thio Swie dan bagus sekali tulisanmu. Coba kau bacakan syairmu itu!”

Juga Khu Sin yang telah selesai menulis syairnya itu minta kepada Thio Swie untuk membacakan syairnya lebih dulu. Thio Swie lalu membaca syairnya setelah batuk-batuk untuk membuat suaranya terdengar lebih nyaring dan merdu.

Awan putih berkejaran di angkasa biru,

Bagaikan sekelompok angsa berenang di telaga Tai-hu! Air telaga bersih bening penuh bayang-bayang nyata Menarik semua keindahan di atas pada dasarnya

Kita minum arak ditengah-tengah, antara air dan angkasa Menjadi bingung tak kuasa menerka

Mana langit dan mana telaga?

“Bagus, bagus!” Tiong San dan Khu Sin memuji-muji keindahan sajak itu.

“Coba saja kalian dengarkan syairku, “ kata Khu Sin yang lalu membaca syairnya di atas kipasnya.

Perahu kecil diayun air telaga Tai-hu Bagaikan bayi dalam timangan ibu,

Menghadapi cawan penuh, dengan kawan-kawan bercengkerama Menikmati keindahan Tai-hu, raja telaga

Angin berkesiur lembut membawa nyanyian merdu Kalau surga bukan di sini, di mana adanya aku tak tahu!

“Waah, syairmu itu lebih indah lagi!” kata Thio Swie sambil bertepuk tangan memuji, sedangkan Tiong San juga mengangguk-angguk memuji.

“Eh, mana syairmu?” tanya Thio Swie sambil melihat kipas Tiong San yang masih kosong. Juga Khu Sin merasa heran dan menegur sahabatnya itu. Tiong San menjadi merah mukanya karena memang ia belum menuliskan sehurufpun di atas kipasnya. “Tunggu sebentar, kawan-kawan. Aku mendapatkan bahan baik untuk menuliskan syairku,” kata Tiong San dan kembali ia teringat akan orang gila yang ketika ia lirik ternyata masih saja duduk melenggut di bawah pohon sambil memegang gagang cambuknya seperti orang memancing ikan. Ia lalu mulai mencelupkan pitnya pada tinta hitam dan menulis dengan cepat seakan-akan tanpa dipikir lagi,

Memancing ikan dengan pecut tanpa kaitan Bersikap seperti Kiang Cu Ce sang budiman

Orang menyebutnya gila, memang dunia penuh orang gila! Yang waras dianggap gila, yang gila meraja lela

Aku .......

Belum habis Tiong San menuliskan syairnya, tiba-tiba Thio Swie berteriak keras,

“Hai, apa kamu gila    ??” dan baru saja ia berseru demikian untuk menegur sebuah perahu besar yang

datang menubruk perahu kecil mereka. Tubrukan itu sudah terjadi dan hampir saja perahu mereka terguling! Baiknya perahu mereka yang kecil itu berdasar lebar hingga tidak terguling, hanya terombang- ambing dan terdorong sampai jauh.

“Kurang ajar!” seru Khu Sin

“Gila benar!” Thio Swie memaki. Akan tetapi perahu besar itu melewat tanpa memperdulikan mereka dan anak perahu hanya memandang sebentar sambil tertawa-tawa. Dari atas perahu besar itu terdengar nyanyian merdu dan melihat bendera yang berkibar di atas perahu, maklumlah ketiga orang muda bahwa itu adalah perahu seorang pembesar tinggi.

Tubrukan itu terjadi di tempat dekat pantai sebelah kanan di mana orang gila tadi duduk, dan perahu kecil Tiong San dan kawan-kawannya terdorong ke dekat pantai. Orang gila itu sedang memukul-mukul pecutnya ke air dan ketika Tiong San memandang, ia terkejut sekali karena ternyata bahwa di atas air depan orang gila itu, nampak beberapa ekor ikan besar yang mati mengambang.

Orang gila itu menggunakan pecutnya untuk mencambuk ikan-ikan besar yang berenang lewat dan dengan mudahnya menangkap ikan itu yang dikumpulkan di dekat tempat duduknya. Pada saat tubrukan terjadi, orang gila itu sedang mencambuk seekor ikan besar. Akan tetapi karena air menjadi bergelombang sebagai akibat tubrukan kedua perahu, maka ikan itu menjadi terkejut dan dapat menyelam ke bawah sebelum tubuhnya terpukul cambuk.

Melihat kegagalannya ini, si gila lalu mengangkat mukanya dan melihat betapa Thio Swie dan Khu Sin mengacung-acungkan tinju sambil marah-marah ke arah perahu besar. Ia tertawa bergelak-gelak.

“Ikan besar selalu mengganggu ikan kecil, juga perahu besar mengganggu perahu kecil,” katanya dengan suara parau dan yang hanya terdengar oleh Tiong San yang sedang memperhatikannya karena kedua orang kawannya sedang sibuk memaki-maki perahu besar itu. “Aku lebih suka menangkap ikan besar!” kata orang gila itu dan dan sekali ia menggenjot tubuhnya, ia telah melompat dengan luar biasa cepatnya ke atas perahu besar yang jaraknya tidak kurang dari tujuh tombak dari tempat duduknya.

Tiong San terkejut sekali dan kalau ia tidak sedang memperhatikan orang gila itu, tentu ia tidak melihat gerakan itu karena gerakan si gila memang cepat sekali dan tubuhnya yang melompat hanya nampak bayangan berkelebat saja. Tahu-tahu di atas perahu besar terdengar suara ribut-ribut dan orang berteriak- teriak.

“Orang gila! Orang gila!!” lalu terdengar suara cambuk berdetak-detak seperti orang lagi mencambuki kerbau yang dihalaunya pulang.

Thio Swie dan Khu Sin yang tidak melihat hal ini mengira bahwa orang-orang di atas perahu besar sedang memaki mereka, maka Thio Swie menjadi makin marah dan balas memaki.

“Kalian yang gila! Mengapa menabrak perahu kami?” Akan tetapi biarpun ia memaki berulang-ulang, tidak ada orang yang meladeninya, dan suara di atas perahu besar makin gaduh saja. Mereka bertiga yang berada di perahu kecil tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di atas perahu besar yang tinggi itu. Akan tetapi dengan hati yang berdebar-debar, Tiong San dapat menduga bahwa si gila itulah yang mendatangkan keributan.

Memang benar, karena orang-orang di perahu besar tiba-tiba melihat seorang tua yang berpakaian tidak keruan sedang mengayun-ayunkan cambuknya memberi hadiah kepada para anak buah perahu dengan satu sabetan. Sabetannya membuat kulit menjadi biru dan terasa sakit sekali. Lagak si gila ini seperti seorang ayah yang sedang memberi ajaran kepada anak-anaknya, karena sambil tersenyum-senyum dan mata terputar-putar ia berkata berkali-kali,

“Nah, rasakan! Kalau tidak dicambuk kalian tidak akan kapok!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar