ADEGAN 1 KEDAI TEH
Aku memutuskan untuk tidak berpikir mengenai kasus itu lagi. Kalau tidak begitu, aku tak akan bisa duduk tenang menunggu telepon Kiyoshi, dan aku pasti akan berlari ke luar menemui Yoshida. Aku harus berada di tempat Kiyoshi bisa menghubungiku, tetapi apa yang harus kulakukan untuk membunuh waktu?
Kembali di apartemen Emoto, aku menyantap makan siang sepelan mungkin. Aku meletakkan telepon di dekatku dan berbaring di lantai. Aku masih merasa tidak nyaman karena harus menunggu, tetapi aku sudah bertekad untuk menyemangati diriku sendiri. Paling tidak sahabatku sudah bangkit dari kubur, mendapatkan kembali sikap positifnya, dan kembali beraksi.
Dua puluh menit kemudian, telepon berdering. Terlalu cepat untuk mengharap telepon dari Kiyoshi. “Halo, Anda menghubungi kediaman Emoto,” aku menjawab.
"Aku tidak percaya! Kedengarannya aku sedang menghubungi Ishioka!” Itu Kiyoshi.
"Kaukah itu? Apa yang terjadi? Kau di mana?”
"Aku di Arashimaya.”
"Bagus. Di situlah aku melihat-lihat bunga ceri, yang sama sekali tidak menarik bagimu. Bagaimana hasil kerja otakmu?”
"Tak pernah sebaik ini!” sahutnya, terdengar seperti melayang. "Kau tahu Togetsu-kyo, jembatan kayu panjang itu? Nah, di dekatnya ada bilik telepon berbentuk kelenteng.”
"Ya, aku tahu.”
"Nah, aku meneleponmu dari situ. Di seberangnya, ada kedai teh dengan nama Kotogiki Chaya. Kue beras mereka sangat enak—tanpa kacang manis di dalamnya. Datanglah dan bergabung dengan kami. Aku ingin kau bertemu seseorang.”
“Baiklah. Tapi siapa dia?”
"Kau akan tahu sendiri. Datang saja!” Itu sifat khas Kiyoshi lainnya —yang seharusnya membuatku senang.
"Apakah ini acara ramah-tamah? Apakah kau hanya mengisi waktu? Apa kau sudah lupa tentang si pembunuh?”
"Oh, tidak. Kau pasti ingin bertemu orang ini. Dan kalau sampai tidak bertemu dengannya, aku jamin kau tidak akan pernah memaafkan aku. Jadi cepatlah kemari! Wanita ini sangat terkenal dan sangat sibuk. Dia tidak akan bisa tinggal lama.”
"Apakah dia bintang film atau apa?”
"Hmm, benar sekali, ya, seorang bintang — bintang yang sangat besar. Hei, langit mulai berawan. Kelihatannya akan hujan. Tolong bawakan payung untukku, ya, dan pinjam payung Emoto untukmu sendiri. Cepatlah! Sampai bertemu sebentar lagi!”
Dalam sekejap aku sudah dalam perjalanan, dengan dua buah payung di tangan.
Tetapi apa yang terjadi? Seorang bintang film? Maksudku, bertemu bintang film mungkin menyenangkan, tetapi bagaimana hal itu bisa membantu kami? Ketika aku turun dari kereta di Arashiyama, langit sudah sangat gelap dan angin bertiup kencang. Pada saat aku tiba di jembatan, di kejauhan terlihat kilat menyambarnyambar. Badai musim semi mendekat secepat deru jantungku.
Kedai teh hanya terisi beberapa pengunjung. Kiyoshi duduk di dekat jendela, di sebuah bangku berlapis kain merah, yang biasa ditemukan di kedai-kedai teh tradisional. Bersamanya adalah seorang wanita berpakaian kimono. Kiyoshi melambaikan tangan menyuruhku mendekat, dan aku duduk di sampingnya. Pemandangan jembatan dari situ sangat bagus.
"Mau pesan apa?” Seorang pelayan muncul di belakangku untuk mencatat pesanan.
“Sakura mochi, tolong,” Kiyoshi menjawab, memesankan kue beras ceri yang merupakan menu istimewa di tempat itu. Dia memberikan sejumlah uang logam kepada si pelayan.
Meskipun sang tamu misterius terus menundukkan kepala, aku bisa mengamatinya dengan saksama. Wajahnya tirus tetapi sangat enak dilihat. Tampaknya dia berusia empat puluh lima atau lima puluh tahun, dan sewaktu muda pasti sangat cantik. Dia tidak menyentuh teh dan kue beras di hadapannya. Mengapa dia tidak menengadah dan memandang kami? Apakah dia benarbenar bintang film?
Kiyoshi tidak memperkenalkan kami, dan ini juga membuatku sangat tidak nyaman. "Kita akan bicara setelah kue dan tehmu datang,” ujar Kiyoshi.
Kami duduk di sana dalam keheningan.
Setelah pelayan membawakan sakura mochi untukku, Kiyoshi tiba-tiba memecah keheningan.
"Ini Kazumi Ishioka,” dia memulai, berbicara kepada tamu misterius itu. “Dia dan saya bekerja sama.” Wanita itu menatapku untuk pertama kalinya, tersenyum, dan membungkuk sedikit. Kelihatannya dia agak malu, seperti gadis remaja. Pada saat bersamaan, ada nuansa kedewasaan dan kesederhanaan pada dirinya. Dia sangat menarik.
Kiyoshi kemudian perlahan-lahan berpaling kepadaku, dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan: “Izinkan aku memperkenalkan Taeko Sudo. Dia orang yang telah begitu lama kita kagumi. Dialah sang pelaku dalam Pembunuhan Zodiak Tokyo...”
Aku tak bisa berkata-kata. Aku tak bisa memercayai apa yang kudengar. Kupikir aku akan pingsan. Keheningan yang terjadi menyusul pernyataan Kiyoshi terasa sama lamanya dengan empat puluh tahun.
Sekonyong-konyong cahaya kilat menyorot ke dalam kedai teh dan keheningan kami terpecah oleh raungan geledek. Si pelayan berusaha menahan jeritannya. Kemudian terdengar suara tetes-tetes besar hujan menghantam atap, dan dalam beberapa detik hujan turun dengan derasnya.
Pemandangan di luar berubah menjadi lukisan tinta sumi-e saat hujan jatuh menerpa jendela. Kami bisa melihat orang-orang berlarian mencari tempat berlindung, sebagian menyerbu masuk ke dalam kedai teh, dengan berisik membuka pintu kayu geser di jalan masuk dan berbicara dengan suara keras.
Aku mengamati semua ini dalam keadaan tak sadar — seolah-olah segala hal di dunia perlahan-lahan menghilang. Rasa lelah yang luar biasa melandaku. Aku membayangkan selembar kertas terbakar dan menyusut...
Apakah Kiyoshi mempermainkan aku seperti biasa? Jika benar begitu, maka wanita ini menanggapinya dengan serius...
Aku kembali ke saat itu. Taeko Sudo? Aku tidak pernah mendengar namanya. Bagaimana Kiyoshi bisa tahu bahwa dia pembunuhnya? Apakah itu berarti pembunuhan tersebut dilakukan orang di luar keluarga? Tetapi kelihatannya umurnya baru lima puluhan tahun. Pada saat pembunuhan terjadi, dia pasti masih anak-anak. Bagaimana mungkin seorang anak membunuh Heikichi, Kazue, dan keenam gadis itu?
Jangan katakan semua pembunuhan itu dilakukan oleh seorang anak! Apakah wanita ini yang memeras Bunjiro Takegoshi? Apakah wanita ini yang memenggal dan memotong mayat keenam gadis untuk menciptakan Azoth? Apakah ini berarti bukan Heikichi, Yoshio, Ayako, Yasukawa, atau Yoshida, tetapi hanya wanita ini? Kenapa? Apa hubungan wanita ini dengan keluarga Umezawa? Tidak ada nama Taeko dalam silsilah keluarga. Dari mana dia berasal? Ribuan orang telah mencoba memecahkan kasus ini, tetapi tidak ada yang mengetahui keberadaannya? Bagaimana mungkin seorang anak bisa melakukannya?
Dan, yang lebih penting, bagaimana Kiyoshi bisa menemukannya dalam waktu begitu singkat? Baru beberapa jam berlalu sejak dia berlari meninggalkan aku. Empat puluh tahun telah berlalu, dan kemudian kasus ini terpecahkan dalam beberapa jam saja? Mana mungkin?
Hujan terus turun, diselingi sambaran kilat. Kedai teh menjadi lembap. Namun kami bertiga tetap duduk tampa bersuara, mungkin kami terlihat seperti maneken.
Ketika badai mulai reda, Taeko-lah yang lebih dulu bicara.
“Sejak dulu saya menunggu-nunggu seseorang menemukan saya,” dia berkata, suaranya sedikit parau, menandakan dia mungkin lebih tua daripada yang terlihat.
"Saya tak percaya misteri ini tetap tak terpecahkan dalam waktu begitu lama, tetapi saya punya firasat bahwa orang yang memecahkan kasus ini adalah seorang pria muda seperti Anda.”
"Izinkan saya mengajukan satu pertanyaan kepada Anda," Kiyoshi berkata tanpa basa-basi. "Mengapa Anda tetap di sini? Anda bisa pindah ke mana saja untuk menyembunyikan diri. Anda cukup cerdas untuk mempelajari bahasa asing. Anda bisa tinggal di luar negeri.”
Langit menjadi terang dengan warna kelabu kekuningan, sementara hujan masih turun dengan suara pelan.
“Sulit menjelaskannya... Mungkin karena saya sudah menunggu untuk bertemu Anda... Saya sangat kesepian, karena tak pernah menemukan seorang pria untuk dicintai. Saya yakin siapa pun yang memecahkan misteri ini dan menemukan saya memiliki pola pikir sama dengan saya... Oh, saya tidak mengatakan Anda orang jahat seperti saya atau tega melakukan hal-hal yang saya lakukan..."
"Saya mengerti maksud Anda,” Kiyoshi menanggapi dengan serius.
"Saya senang sekali akhirnya bertemu Anda.”
"Saya tiga kali lipat senangnya bisa bertemu Anda,” balas Kiyoshi.
"Dan Anda adalah anak muda yang sangat berbakat. Saya yakin Anda akan meraih prestasi besar di masa depan.”
“Terima kasih. Tetapi saya tidak yakin apakah saya akan pernah mendapat kesempatan untuk terlibat lagi dalam kasus semenantang ini.”
"Tidak ada yang bisa tahu, jadi jangan terlalu puas dengan memecahkan satu misteri ini.”
"Jangan khawatir. Ini tidak mudah karena untuk sekian lama saya begitu buta. Nah, kami harus pergi sebelum saya menjadi terlalu berbangga hati dengan kemenangan kecil saya. Saya sangat menyesal, Miss. Sudo, tetapi saat saya kembali ke Tokyo, saya harus melaporkan Anda kepada seorang polisi— sebenarnya dia putra Bunjiro Takegoshi. Dalam sebuah tantangan, saya mengatakan padanya bahwa saya akan membongkar misteri ini. Mungkin harga diri yang membuat saya melakukannya. Sikapnya sangat menyebalkan, tetapi saya tetap merasa wajib melapor kepadanya. Kalau saya memberitahu Anda alasannya, Anda pasti mengerti. Saya harus bertemu dengannya besok. Kemungkinan dia dan rekanrekan detektifnya akan mengunjungi Anda besok malam. Anda masih punya waktu untuk melarikan diri. Saya jelas tidak akan menghentikan Anda. Itu pilihan Anda.”
"Meskipun undang-undang pembatasan sudah tidak berlaku, Anda seharusnya tidak membantu penjahat,” dia berkata dengan sangat lugas.
Kiyoshi berpaling dan tertawa. "Sayangnya saya belum pernah dipenjara. Seandainya saya bisa menceritakan seperti apa rasanya.”
"Anda tak kenal takut. Saya dulu juga begitu, waktu masih muda.”
“Saya pikir badai akan cepat berlalu, tetapi tampaknya masih akan lama. Silakan bawa payung ini bersama Anda, Kiyoshi berkata, mengulurkan payungku kepada wanita itu.
Taeko keberatan. “Tetapi saya tidak akan bisa mengembalikannya kepada Anda.”
"Jangan khawatir. Payung ini tidak terlalu berharga,” ujar Kiyoshi sambil tersenyum.
Kami bertiga berdiri untuk pergi. Kami melangkah ke luar. Aku hampir mati karena penasaran, tetapi aku tidak ingin merusak suasana yang melingkupi mereka berdua. Aku merasa seperti orang luar, jadi aku diam saja.
Taeko membuka dompetnya, dan dengan tangan kiri dia mengeluarkan pundi-pundi sutra berwarna merah-putih. "Anda sudah sangat baik. Izinkan saya membalas kebaikan Anda dengan ini."
Kiyoshi menerima hadiah itu dengan tangan kirinya dan mengucapkan terima kasih dengan nada sedikit kasar. Dia melirik hadiah itu.
Taeko Sudo, di bawah naungan payungku, membungkuk dalam-dalam, pertama kepada Kiyoshi, kemudian kepadaku. Aku tergagap, tetapi balas membungkuk. Setelah itu dia berjalan menjauh perlahan-lahan.
Kiyoshi dan aku, di bawah naungan satu payung, berjalan menuju jembatan. Saat kami menyeberanginya, aku menoleh ke belakang. Taeko juga menengok ke belakang ke arah kami, dan dia membungkuk lagi. Kiyoshi dan aku juga membungkuk. Aku tak percaya dia benar-benar si pembunuh berantai yang telah menimbulkan sensasi luar biasa. Dia terus berjalan perlahan-lahan, dan tidak seorang pun memberi perhatian kepadanya.
Derai hujan semakin menipis, bersamaan dengan berlalunya ketegangan pertemuan tadi.
"Maukah kau menjelaskannya kepadaku nanti?” aku mendesak Kiyoshi.
"Tentu saja, kalau kau tertarik.”
“Kaupikir aku tidak tertarik?”
"Tentu saja kau tertarik, tetapi kupikir kau mungkin tidak ingin mengakui kalau kau kalah.”
Aku tidak bersuara.
ADEGAN 2 GELINDING DADU
Ketika kami kembali ke apartemen Emoto, Kiyoshi melakukan sambungan telepon. Sepertinya dia berbicara dengan Misako lIida.
"Ya, kasusnya telah dipecahkan... Ya, pelakunya masih hidup. Kami baru saja bertemu... Siapa dia? Yah, kalau Anda ingin tahu, silakan datang ke kantor saya besok sore. Siapa nama kakak Anda? ... Fumihiko? Hmm, saya tidak mengira dia punya nama semanis itu! Dia boleh bergabung dengan kita, tentu saja, tetapi tolong ingatkan dia untuk membawa catatan ayahnya. Jika dia tidak membawa catatan itu, saya tidak mau berbicara dengannya... Ya, besok saya ada di kantor sepanjang hari. Jam berapa saja tidak masalah, tetapi tolong telepon dulu sebelum Anda datang... Sampai jumpa.”
Kiyoshi menutup telepon, kemudian memutar nomor lain. Dia menelepon Emoto di tempat kerja.
Aku mengambil sapu dan mulai menyapu kamar yang kami tempati. Setelah menutup telepon, Kiyoshi tetap duduk termangu di tengah kamar, menatap hampa ke ruang kosong. Aku harus mengusirnya dengan sapu.
Ketika kami tiba di Stasiun Kyoto, Emoto sudah berada di sana, menunggu di peron.
“Ini untuk kalian. Selamat menikmati,” dia berkata, mengulurkan dua kotak makan siang bento kepada kami. "Silakan datang dan berkunjung ke rumahku lagi.”
"Terima kasih banyak,” aku menjawab. "Kau sudah begitu baik. Aku senang sekali di sini. Datanglah ke tempat kami di Tokyo kapan saja kau sempat. Terima kasih banyak untuk segalanya.”
"Oh, aku tidak melakukan apa pun. Teman-temanku hanya datang dan menginap dan pergi. Aku senang mendengar kasus itu telah dipecahkan.”
"Aku juga, tetapi aku sendiri belum memahaminya. Aku masih bingung. Hanya si genius berewokan ini yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi,” aku berkata sambil menunjuk Kiyoshi.
"Dan dia masih merahasiakannya?”
“Benar sekali,” Kiyoshi menukas masam.
“Dia tak pernah berubah. Dia senang menyembunyikan segala hal, tetapi dia tidak pernah ingat di mana dia menyembunyikannya! Kalau kau membersihkan ruangannya, kau akan menemukan barang-barangnya di manamana.”
"Aku hanya berharap dia tidak lupa bagaimana dia memecahkan misteri ini.”
“Minta dia menjelaskan semuanya selagi dia ingat.”
"Aku heran mengapa banyak sekali peramal yang aneh?”
“Biasanya itu karena mereka sudah tua,” ujar Emoto.
"Jadi, dia sudah menjadi salah satu lelaki tua keras kepala itu... di usianya yang masih hijau!”
"Begitu muda, ya. Aku merasa kasihan padanya
"Hei, Bapak-Bapak, sudah waktunya berangkat!” seru Kiyoshi, menghentikan perbincangan konyol kami. "Kereta kita sebentar lagi akan membawa kita kembali ke zaman lima ratus tahun yang lalu. Kita akan mengenakan baju zirah Romawi dan menunggang keledai putih lagi!”
"Kaulihat, kan? Dia selalu seperti ini,” aku memberitahu Emoto.
"Pasti melelahkan sekali bagimu,” dia berkomentar penuh simpati.
"Tetapi begitu aku sudah mendengar penjelasannya, aku akan mengabarkannya kepadamu. Kemungkinan dalam surat yang sangat panjang.”
"Aku tak sabar menunggu. Datanglah dan mampir lagi ke rumahku secepatnya.”
Saat kereta peluru melesat melewati ladang-ladang yang berkilauan dalam cahaya matahari terbenam, aku mendesak Kiyoshi untuk menjelaskan semuanya.
"Tak bisakah kau memberi aku petunjuk? Itu tidak akan menyakiti, bukan?”
Kiyoshi lelah, tetapi dia tak bisa menahan diri untuk merasa unggul. "Seperti kaulihat, semua karena selotip transparan itu.”
"Mana mungkin? Kau bercanda!”
"Aku tidak pernah seserius ini. Selotip itu lebih dari sekadar kunci: dia membongkar seluruh misteri ini.”
Aku bingung sekali.
"Jadi, Yasukawa dan putrinya, Shusai Yoshida, dan Hachiro Umeda sama sekali tidak menjadi kunci dalam misteri ini?”
"Hmm. Yah, mereka berkaitan dengan kasus ini, tetapi kita tidak membutuhkan mereka.”
"Maksudmu, kita sudah punya semua informasi yang dibutuhkan untuk mengungkap kasus ini?”
"Ya, tentu saja sudah. Tidak ada lagi yang tersisa.”
"Tetapi, tunggu...kita belum tahu alamat Taeko Sudo, bukan?”
"Oh ya, kita tahu.”
"Dari informasi yang kita miliki?”
"Dari informasi yang kita miliki.”
"Tapi kau pasti mendapatkan informasi baru —sesuatu yang tidak aku ketahui —sewaktu aku sibuk mondar-mandir antara Kyoto, Osaka, dan Nagoya.”
“Sama sekali tidak. Aku hanya beristirahat di sisi Sungai Kamo. Sebenarnya, kita bisa saja mendatangi Taeko Sudo sesaat setelah kita tiba di Kyoto. Kita hanya luar biasa tidak efisien.”
“Tetapi siapa dia? Apakah itu nama aslinya?”
"Bukan, tentu saja bukan.”
"Apakah aku tahu nama aslinya? ...Aku tahu, iya kan? Tolong katakan padaku! Dan bagaimana dengan Azoth? Apakah dia benar-benar dibuat?”
"Azoth...? Hmm, ya, dia memang ada,” jawab Kiyoshi. "Azoth bangkit, bergerak, dan melakukan semua kejahatan itu.”
Aku tercengang. "Apa? Bagaimana caranya?”
“Sihir, tentu saja.”
“Jadi, kau bercanda,” sergahku, gairahku memudar. “Benar. Itu memang tidak mungkin... Tetapi siapa wanita itu? Aku tidak bisa menerka.”
Kiyoshi membuka matanya sedikit dan menyeringai.
"Kau harus memberitahu aku, Kiyoshi. Ini tidak bisa dibiarkan! Rasanya aku ingin mati karena penasaran!”
"Aku mau tidur sebentar, jadi tolong renungkan kasus ini dan santailah,” Kiyoshi tertawa kecil, menyandarkan kepala ke jendela.
"Sebagai sahabatku, tidakkah menurutmu kau punya kewajiban untuk memberitahukan semuanya padaku sekarang? Bagaimanapun, kita sudah bekerja sama. Kau mempertaruhkan pertemanan kita, tahu tidak?”
"Oh, jadi sekarang kau mulai mengancam aku? Aku tidak bilang aku tak akan pernah menjelaskannya kepadamu, tetapi aku tidak bisa melakukannya dengan begitu saja. Bila waktunya tiba, aku akan menjelaskan kepadamu langkah demi langkah. Aku lelah sekali, fisik maupun mental. Aku tidak akan bisa beristirahat kalau kau menggangguku dengan semua pertanyaanmu. Jadi, aku mohon santailah dan tidur. Semua akan terungkap di kantorku besok.”
"Tapi aku tidak mengantuk!”
"Mungkin tidak. Tapi aku mengantuk. Aku nyaris tidak makan selama dua hari. Aku belum tidur di tempat tidur bersih. Aku belum bercukur selama beberapa hari. Janggutku menyakiti kulitku kalau aku menyandarkan wajah ke jendela. Saat ini aku ingin sekali bercukur. Mengapa kaum laki-laki harus menanggung beban seperti ini?” Kiyoshi berpaling menatapku. "Baiklah, aku akan memberimu satu petunjuk lagi. Menurutmu berapa usia Taeko Sudo?”
"Lima puluh tahun kurang sedikit?”
"Yang benar saja. Kau seorang ilustrator, bukan? Kau tidak bisa menebak? Baiklah, umurnya enam puluh enam.”
"Enam puluh enam?! Kalau begitu, dia berumur dua puluh enam tahun empat puluh tahun yang lalu...”
"Empat puluh tiga tahun yang lalu.”
“Ah, benar. Jadi, waktu itu usianya dua puluh tiga tahun? ...Aku tahu! Dia salah satu dari enam gadis yang tewas! Tetapi itu berarti ada mayat seseorang yang menggantikan tempatnya, benar?”
Kiyoshi menguap. "Sekian dulu kilasan pertunjukan hari ini. Tapi coba pikir: mungkinkah dia semudah itu menemukan seorang penari balet berumur sama?”
"Apa? Maksudmu aku salah? Sial! Aku tidak akan bisa tidur malam ini!”
“Itu bagus. Demi pertemanan kita, selamat menikmati malam tanpa tidur, seperti yang telah kualami. Kau akan merasa jauh lebih baik besok,” Kiyoshi berkata seraya memejamkan mata dengan puas.
"Kau senang melihat aku menderita, ya?”
"Tidak. Mataku terpejam.”
Setelah permainan tebak-tebakan itu berlangsung beberapa detik, Kiyoshi, yang secara ajaib sudah merasa segar, membuka matanya, mengeluarkan pundi-pundi yang diberikan Taeko Sudo, dan mulai mempelajarinya.
Langit dipenuhi cahaya matahari yang makin tenggelam. Aku memikirkan badai di Arashimaya beberapa jam berselang. Aku memikirkan tujuh hari terakhir di Kyoto. Tempat-tempat berbeda, orang-orang berbeda, begitu banyak hal berbeda. Semua dalam waktu satu minggu.
"Berarti semua jerih payahku mondar-mandir ke sana kemari sia-sia saja, ya?”
"Itu tidak benar,” Kiyoshi menimpali, sembari memainkan pundi-pundi dengan pikiran melayang.
"Kenapa kau berkata begitu?”
"Karena kau menikmati saat-saat di Meiji-Mura.”
Ketika Kiyoshi membalik pundi-pundi, keluarlah dua buah dadu. Dia menggelindingkan dadu-dadu itu di tangannya. "Kau tahu, Taeko mengatakan dia sudah mengira kasus ini akan dipecahkan oleh seorang pria muda?”
Aku mengangguk.
"Apakah dia puas dengan kita?” Kiyoshi bertanya.
"Apa maksudmu?”
"Oh, aku hanya bicara sendiri.”
Kiyoshi terus memainkan dadu sementara matahari terbenam yang cemerlang memudar ditelan malam.
"Pertunjukan sulap selesai,” ujar Kiyoshi.
Sementara kami melesat kembali ke Tokyo, aku termenung memikirkan Taeko Sudo. Apa yang akan terjadi padanya? Aku tidak tahu apa-apa tentang hukum, tetapi—menurut Kiyoshi—undang-undang pembatasan untuk kasus pembunuhan adalah lima belas tahun dalam hukum Jepang. Jadi, dia tidak dapat dihukum untuk kejahatannya. Namun, melihat betapa sensasional kejahatan yang dia lakukan, dia tidak akan bisa lagi menjalani hidup tenang...
SATU LAGI PESAN DARI PENULIS
Pembaca yang Terhormat,
Kita tinggalkan sejenak Kiyoshi dan Kazumi yang sedang melaju kembali ke Tokyo...
Sebelum Anda melanjutkan, saya merasa harus menegaskan bahwa Kiyoshi tidak melebih-lebihkan. Pada saat dia dan Kazumi tiba di Stasiun Kyoto, Anda pasti sudah bisa mengetahui siapa pembunuhnya. Namun saya tetap melanjutkan cerita karena saya pikir Anda mungkin membutuhkan lebih banyak petunjuk. Bagaimanapun, kasus ini telah empat puluh tahun lebih tidak terpecahkan, jadi ada kemungkinan Anda masih bingung!
Bagaimana kalau Anda sekarang berhenti sebentar dan melihat apakah Anda dapat menjawab dua pertanyaan yang sangat sederhana sebelum semua diungkapkan di halaman-halaman berikutnya:
I. Siapakah Taeko Sudo? Yah, sebenarnya, identitas wanita ini telah diungkap.
II. Bagaimana dia melaksanakan rencana pembunuhannya?
Apakah Anda sudah mengetahui jenis sulap yang dia gunakan?