Jilid 4
Bagian 10. Puteri Gak-ciangkun
Siauw Eng melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena ia sudah merasa rindu sekali kepada ibunya. Ia tidak mau menunda-nunda perjalanannya dan tidak mampir-mampir di kota lagi, akan tetapi terus saja melewati kota-kota dan dusun-dusun kecuali kalau malam hari tiba.
Karena perjalanan yang dilakukan terus menerus ini, beberapa hari kemudian, tibalah ia di sebuah hutan di luar kota Tiang-an. Hati Siauw Eng berdebar girang karena ia ingat hutan ini yang tidak berobah keadaannya. Ketika ia masih kecil sebelum pergi ke Gobi belajar ilmu silat, ayahnya seringkali mengajaknya ke hutan ini untuk memburu binatang hutan. Di sebelah barat kota Tiang-an memang banyak terdapat hutan dan ketika ia memasuki hutan pertama yang baru beberapa kali didatangi ayahnya dulu karena jauhnya, Siauw Eng memperlambat larinya sambil melihat-lihat. Beda sekali keadaan hutan-hutan di timur ini dengan di sebelah barat, beda pohon-pohonnya, bahkan berbeda pula suara-suara burung yang berkicau di pohon-pohon itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara kerbau menguak dan kemudian mendengar suara suling bambu. Ia menjadi terkejut dan heran. Ia tidak tahu bahwa memang terdapat beberapa buah dusun di dekat hutan itu sebelah selatan. Ketika ia menghampiri, ternyata di satu tempat yang banyak rumput hijaunya, nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun duduk di bawah sebatang pohon besar. Tiga ekor kerbau sedang makan rumput di dekatnya dan orang itu meniup sulingnya dengan asyik.
Siauw Eng merasa tertegun karena di sebelah kanan orang itu terdapat dua gundukan tanah yang jelas sekali menyatakan bahwa di bawah tanah itu ada dua orang manusia dikubur. Pakaian orang itu sederhana saja dan mudah dilihat bahwa dia adalah seorang petani yang hidup berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari tubuhnya yang sehat dan wajahnya yang berseri.
Ketika petani yang meniup sulingnya itu melihat Siauw Eng, tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan terkejut dan heran, akan tetapi mata Siauw Eng yang tajam itu masih dapat melihat sinar kagum dari kedua mata yang jujur itu.
“Sahabat teruskan tiupan sulingmu, merdu benar bunyinya,” kata Siauw Eng sambil tersenyum manis.
Petani itu makin gugup dan bingung, karena kecantikan Siauw Eng yang muncul dengan tiba-tiba itu membuatnya heran sekali dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian, setelah ia melihat sikap gagah dan pedang yang tergantung di pinggang Siauw Eng ia lalu berdiri dan menjurah dengan hormat sekali. “Lihiap, tentulah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.”
Siauw Eng tersenyum lagi. “Bagaimana kau bisa tahu ?”
“Lihiap membawa-bawa pedang dan berani seorang diri melalui hutan yang banyak terdapat binatang buas ini.”
“Kau cerdik, sahabat. Akan tetapi aku tidak mengerti mengapa kau sendirian pun berani berada seorang diri di sini dengan enak-enak dan ayem, apakah kau juga memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak takut akan binatang liar.”
“Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali mencangkul tanah dan meniup suling, akan tetapi apa yang aku takutkan ? Aku tidak berada seorang diri, dan selama saudaraku, tanduk baja mengawaniku di sini, aku tak takut kepada binatang apapun juga !”
Siauw Eng memandang ke sekelilingnya untuk mencari dan melihat kawan petani yang diandalkan dan yang bernama Tanduk Baja itu, akan tetapi ia tidak melihat orang lain disitu. “Mana kawanmu yang gagah itu ?” tanyanya.
Petani itu dengan bangga lalu menghampiri seekor di antara ketiga kerbaunya yang sedang makan rumput dan sambil menepuk-nepuk punggung kerbau yang besar itu ia berkata, “Inilah dia, Saudaraku Tanduk Baja ! Telah dua kali ia menghadapi harimau dan dengan tanduknya merobek-robek perut harimau itu. Dengan adanya dia di sini, apakah yang aku takutkan ?”
Siauw Eng memandang kagum dan memang kerbau jantan itu nampak kuat sekali. Sepasang tanduknya besar dan runcing bagaikan dua batang tombak. Ia mengangguk-angguk dengan kagum, kemudian ia menunjuk ke arah dua buah kuburan itu.
“Apakah ini makam keluargamu ?”
Petani itu menggelengkan kepala. “Bukan, lihiap, akan tetapi akulah, kedua tanganku inilah yang dulu menanam jenazah-jenazah mereka yang rebah di sini dengan mandi darah. Ah, masih ngeri aku melihat betapa tubuh mereka mandi darah dalam keadaan yang membuat bulu tengkukku masih berdiri kengerian kalau terbayang pula. Mereka juga orang-orang gagah seperti kau, lihiap.”
“Bagaimana kau bisa tahu ? Dan siapakah mereka ini ?”
“Entahlah, ketika itu, belasan tahun yang lalu, aku dan seorang kawanku yang sekarang tinggal di kota raja, sedang menggembala kerbau kami dan tiba-tiba ketika kami tiba di sini, kami melihat jenazah kedua orang laki-laki yang sekarang berada di bawah tanah ini. Tangan mereka masih menggenggam pedang dan tubuh mereka hancur, penuh bekas bacokan senjata tajam dan tusukan anak panah. Aku tidak tahu siapa mereka itu menimbulkan rasa iba di hati kami, maka kami lalu mengubur kedua jenazah ini. Dan ternyata Thian memang adil, lihiap. Semenjak aku dan kawanku mengubur jenazah-jenazah ini, keadaan kami mendadak menjadi baik sekali. Sawah yang kami tanami menghasilkan banyak padi dan gandum, jauh lebih banyak dari pada hasil di sawah orang lain dan sekarang aku sudah memiliki tiga ekor kerbau dan sepetak sawah. Dan kawanku itu? Ia telah membuka sebuah rumah makan yang lumayan di kota raja. Bukankah ini berarti pembalasan budi dari kedua jenazah yang tak kami kenal ini
?”
Mendengar penuturan itu, diam-diam Siauw Eng teraruh juga. Alangkah buruknya nasib kedua orang ini, binasa di tempat asing dan dikubur oleh dua orang penggembala kerbau, tidak diketahui oleh sanak keluarga mereka.
“Hatimu jujur dan mulia, sahabat. Sudah sepantasnya hidupmu bahagia.” Setelah memuji, Siauw Eng lalu meninggalkan tempat itu, sedikitpun tak pernah mengira bahwa sebuah dari pada kuburan ini adalah kuburan ayahnya sendiri, Ma Gi !
Ia melanjutkan perjalanannya dengan hati gembira dan tak lama lagi ia akan tiba di hutan terakhir dan yang terdekat dengan kota Tiang-an Tiba-tiba ia mendengar suara kuda meringkik dan orang bercakap- cakap. Ia berjalan terus dan tak lama kemudian ia melihat dua orang penunggang kuda yang gagah sekali. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda besar dan bagus yang tentu saja mahal harganya berpelana indah dan memakai kerincingan hingga tiap kali kuda itu menggerakkan tubuhnya agak keras, berbunyilah kerincingan itu menimbulkan kegembiraan. Penunggang-penunggangnya juga orang gagah sekali.
Seorang di anataranya adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampan wajahnya. Rambutnya yang hitam dan halus itu diikat dengan sutera biru dihias dengan hiasan rambut dari permata indah. Pakaiannya dari sutera dari sutera jambon yang dihiasi renda kuning emas. Pedangnya dengan sarung pedang terukir bagus, tergantung dipinggangnya dan sepatunya dari kulit yang mengkilat. Dandanan seorang kongcu yang cakap, tampan, dan kaya raya. Kawannya juga mengagumkan sekali, yakni seorang gadis muda yang cantik dan lembut sinar matanya. Rambutnya dikepang dua dan dihias pita merah, sedangkan pakaiannya terbuat dari dari pada sutera hijau dan merah yang indah sekali potongannya. Dia atas rambutnya terhias bunga-bunga emas dan mutiara, sedangkan sebatang pedang terselip dipunggungnya.
“Lihat sumoi, binatang she Ma lewat di sana. Biar aku bikin mampus dia !” Sambil berkata demikian pemuda yang gagah itu lalu mengambil anak panah dan menarik gendewanya, membidik ke arah semak belukar dan melepaskan anak panah itu yang dengan cepatnya meluncur ke dalam semak- semak. Siauw Eng merasa heran sekali dan ketika ia memandang, ternyata anak panah itu telah menancap dan menembus tubuh seekor kelinci putih yang mati pada saat itu juga. Pemuda yang lihai anak panahnya itu, melompat turun dari kudanya sambil tertawa riang, kemudian ia mengambil bangkai kelinci yang dipanahnya tadi, mengangkat tinggi ke atas dan berkata kepada kawannya sambil tertawa,
“Sumoi, lihatlah binatang she Ma ini. Kalau aku bertemu dengan dia, akan kubeginikanlah. Lihat, binatang she Ma sekarang telah mampus, menggerakkan ekornyapun tidak mampu lagi. Ha, ha, ha!”
Gadis yang cantik itupun tertawa. Kebetulan pada saat itu di atas terbang serombongan burung pipit.
“Suheng, sekarang aku akan menjatuhkan binatang she Khu !” Setelah berkata demikian gadis cantik itu merogoh saku dan mengayunkan tangannya ke atas. Sebuah benda putih berkilau meluncur ke atas dan tepat sekali menyerbu ke arah gerombolan burung yang terbang lewat dan jatuhlah seekor burung dari atas, tertancap dadanya oleh sebatang piauw yang berwarna putih karena terbuat dari pada perak. Melihat jarak yang jauh dan tinggi itu, maka diam-diam Siauw Eng mengagumi kepandaian melempar gin-pauw (piauw perak) gadis itu.
Gadis itu turun dari kuda dan memungut kurban piauwnya, lalu mengangkatnya ke atas sambil berkata,
“Beginilah nasib binatang she Khu kalau bertemu denganku !” katanya kepada pemuda itu. Keduanya tertawa-tawa sambil memaki-maki orang-orang she Ma dan she Khu.
Siauw Eng merasa heran sekali mengapa kedua orang muda yang gagah dan kaya ini demikian benci kepada orang-orang she Ma dan she Khu sehingga mereka mengumpamakan binatang-binatang buruan mereka sebagai orang-orang yang dibencinya itu. Ia tidak tahu bahwa kedua orang ini semenjak kecil memang telah dijejali rasa benci, dendam dan permusuhan terhadap dua keluarga Ma dan Khu, selalu diajar untuk membenci dua nama itu oleh ibu mereka. Mereka adalah putera puteri keluarga Gu. Pemuda itu bernama Gu Liong, putera tunggal nyonya janda Gu Keng Siu yang tidak mau kawin lagi.
Sedangkan gadis itu adalah Gu Hwee Lian, puteri nyonya janda Gu Leng Siu yang kawin lagi dengan Gan Hok, perwira berpangkat Touwtong di kota Lok-keng.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, nyonya Gu Keng Siu yang merasa sakit hati karena kematian suaminya di tangan keluarga Ma dan Khu, lalu menyuruh putera tunggalnya untuk belajar silat kepada Gan Hok yang menjadi suami nyonya Leng Siu dan menjadi ayah tiri Gu Hwee Lian. Oleh karena ini, maka Gu Liong dan Gu Hwee Lian menjadi saudara seperguruan dan mendapat latihan ilmu silat dari Gan Hok yang berilmu tinggi.
Semenjak kecil, ibu mereka dan juga Gan Hok, menanamkan bibit permusuhan dalam hati kedua anak muda ini dan menceritakan betapa ayah mereka, yakni putera pangeran Gu Leng Siu dan Gu Keng Siu, juga kakek mereka pangeran Gu Mo Tek, telah menjadi korban keganasan dua orang pemberontak bershe Khu dan Ma dan bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk membasmi setiap keturunan kedua keluarga itu.
Karena itulah, maka tiap kali berburu binatang, kedua anak muda ini sambil berkelakar memaki-maki nama Khu dan Ma untuk melampiaskan rasa sakit hati dan dendam mereka karena tidak tahu di mana adanya keturunan kedua orang keluarga itu dan mereka ini harus membalas kepada siapa.
Biarpun Siauw Eng sama sekali tidak tahu tentang hal ini dan tak pernah mendengar tentang nama keluarga Khu dan Ma itu, namun ia merasa kurang senang melihat kelakuan kedua orang muda yang memaki-maki dan menghina dua keluarga tak terkenal itu. Ia lalu melompat keluar mendekati mereka.
“Eh, kalian ini apakah sudah miring otakmu ? Kelinci disebut she Ma dan burung she Khu, kalau bukan orang yang berotak miring tak nanti bicara tidak keruan seperti kalian berdua !” tegurnya.
Gu Liong dan Gu Hwee Lian terkejut dan memandang. Mulut Gu Liong terbuka dan kedua matanya menatap dengan penuh kekaguman. Sedangkan Hwee Lian juga memandang kagum karena sikap Siauw Eng memang gagah sekali. Akan tetapi teguran Siauw Eng itu setidaknya membuat kedua anak muda ini marah juga, terutama sekali Gu Liong. Kalau saja yang memaki dia gila itu bukan seorang dara muda yang demikian cantik jelitanya, tentu ia sudah menggunakan kepalan menghajar orang itu. Sebaliknya, Hwee Lian agaknya tidak mempedulikan teguran Siauw Eng, karena kembali gadis ini mengambil piauw peraknya dan ketika pada saat itu ia melihat seekor kelinci berlari keluar dari semak, cepat piauwnya menyambar dan ia berkata, “Nah, seorang keturunan Ma mampus lagi.”
Siauw Eng cepat membungkuk dan tahu-tahu ia telah memungut batu kerikil yang dilemparkannya ke depan. Gerakkannya ini cepat sekali dan tahu-tahu batu kerikilnya telah membentur gin-piauw yang melayang ke arah perut kelinci itu hingga senjata tersebut menyerong arahnya dan tidak mengenai kelinci.
Gu Liong dan Hwee Lian terkejut dan marah melihat kelancangan nona baju merah ini. “Siapakah kau yang berlancang tangan dan datang-datang selain memaki kami juga berani mengganggu dan memukul gin-pauwku ?” tegur Hwee Lian dengan muka merah.
“Kelinci diburu untuk dimakan dagingnya, bukan untuk main-main. Dan kalau kalian benar-benar membenci orang-orang she Ma dan Khu carilah mereka dan ajak bertanding, tidak memusuhi binatang- binatang yang tak berdosa. Perbuatan kalian ini hanya menunjukkan sikap penakut saja. Tidak dapat dan tidak berani menghadapi orangnya lalu memuaskan nafsunya kepada binatang-binatang tak berdaya. Hih, tak tahu malu !”
Sepasang mata Hwee Lian yang bersinar lembut itu mengeras dan ia menjadi marah sekali. Sambil menuding kepada Siauw Eng, ia menegur, “Kau ini orang lancang dan bermulut panjang, mengapa mencampuri urusan orang lain. Kalau kau merasa gagah perkasa dan ingin menjadi pembela segala kelinci dan burung, kau majulah ! Aku hendak membunuh kelinci dan burung sebanyak yang kusukai, hendak menyebut mereka dengan nama apa saja, apa perdulimu ?”
Siauw Eng adalah seorang yang selain keras hati, juga mau menang sendiri saja. Maka mendengar ucapan Hwee Lian dan melihat betapa dua orang yang berpakaian indah itu menjadi marah, ia tersenyum menghina dan berkata,
“Pendeknya, aku melarang kalian memaki-maki di depanku !”
Gu Liong tertawa mengejek, “Hm, kau hendak membela keluarga Ma dan Khu ?” “Siapa sudi membela mereka ? Aku tidak kenal mereka !” jawab Siauw Eng marah.
Gu Hwee Lian tertawa penuh olok-olok, “Kalau begitu, kau tentu menjadi pembela kelinci dan burung !”
Kedua saudara Gu itu tertawa geli sambil memandang Siauw Eng hingga dara baju merah itu menjadi marah sekali. Dicabutnya pedang dari pinggangnya dan sambil menuding dengan tangan kiri ia membentak,
“Dua manusia rendah, kau berdua majulah ! Jangan hanya berani menghina segala binatang kecil tak berdaya, hendak kulihat apakah kepandaian kalian sebagus pakaian yang kalian pakai !”
Gu Liong dan Gu Hwee Lian adalah murid Gan Hok yang berilmu tinggi dan mereka telah mendapat latihan silat semenjak kecil, maka selain lihai, mereka inipun berhati tabah sekali. Kini melihat tantangan Siauw Eng, tentu saja mereka tidak menampik dan serentak mereka lalu mencabut pedang masing- masing dan maju.
“Majulah bersama dan jangan ragu-ragu !” ejek Siauw Eng melihat betapa kedua orang itu merasa agak ragu-ragu untuk maju mengeroyok.
“Sombong !” seru Hwee Lian yang segera melompat maju dan menyerang dengan gerak tipu Hong Ciu Pai Hio atau Angin Meniup Dahan Tua.
“Bagus !” kata Siauw Eng dan ia tiba-tiba merendahkan tubuh dan dari bawah secepat kilat pedangnya menyambar ke arah pergelangan Hwee Lian yang sedang menyerangnya. Inilah sebuah gerak tipu dari Sin Coa Kiamhwat yang disebut Ular Menyambar Burung yang tak terduga dan hebat sekali, karena dalam keadaan diserang, Siauw Eng telah membalas dengan serangan pula yang tak kalah hebatnya. Hwee Lian terkejut sekali karena hampir saja pergelangan tangannya kena dibabat. Ia cepat menarik kembali tangannya dan membacok dari atas ke arah kepala Siauw Eng yang masih merendah dan membongkok. Siauw Eng tertawa dan mengelak cepat dan ketika pedang Hwee Lian lewat menyambar di dekat kepalanya, ia lalu menggunakan punggung pedangnya untuk memukul pedang itu ke bawah. Kembali Hwee Lian terkejut bahkan kali ini ia mengeluarkan seruan tertahan karena kalau ia tidak memegang erat-erat pedangnya tentu pedang itu telah kena dihantam terlepas dari pegangannya.
Ia lalu melompat mundur dan kini menghadapi Siauw Eng dengan hati-hati sekali karena maklum bahwa ilmu silat dara baju merah ini benar-benar tinggi sekali.
“Ha, ha, ha, jangan kau berani melawan nenek besarmu seorang diri saja. Majulah berdua dengan suhengmu itu !” Siauw Eng mengejek sambil tertawa.
“Sumoi jangan takut, aku membantumu !” Gu Liong berkata dan mencabut pedang terus maju mengeroyok. Akan tetapi dengan tak gentar sedikitpun, Siauw Eng menghadapi mereka dan memainkan ilmu pedangnya yang hebat dan luar biasa itu hingga biarpun dikeroyok dua, akan tetapi kedua orang saudara Gu itu terdesak hebat dan tubuh mereka terancam sinar pedang Siauw Eng yang bergulung-gulung. Baiknya Siauw Eng hanya ingin menggoda mereka saja dan tidak bermaksud mencelakainya, karena kalau kedua orang ini menjadi musuh-musuh yang dibenci, tentu sebentar saja mereka telah roboh mandi darah.
Pada saat itu, dari jauh datang dua orang penunggang kuda lain dan setelah dekat, mereka segera melompat turun dari kuda dan seorang di antara mereka berseru, “Tahan dulu !”
Hwee Lian dan Gu Liong melompat mundur dengan hati lega karena itu adalah suara Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian atau guru mereka berdua. Ternyata Gan Hok datang bersama seorang tua gundul yang berpakaian seperti pengemis karena penuh tambalan. Pengemis ini bukanlah orang sembarangan, akan tetapi adalah supek (uwa guru) Gan Hok sendiri yang bernama Kim-i Lokai (Pengemis Tua Baju Emas). Bajunya itu biarpun tambal-tambalan, akan tetapi tambalannya dijahit dengan benang emas, maka ia mendapat julukan Pengemis Tua Baju Emas. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan ia merupakan tokoh besar di daerah utara.
Siauw Eng melihat kedatangan seorang setengah tua yang gagah dan seorang pengemis tua yang aneh, juga melompat mundur dengan pedang melintang di dada.
Hwee Lian segera menubruk ayahnya dan berkata dengan manja. “Ayah, orang ini kurang ajar sekali !”
“Dia membela keluarga Khu dan Ma !” kata Gu Liong.
Tiba-tiba pengemis itu tertawa lebar. “Memang, kaum persilatan sekarang telah terdesak oleh yang muda-muda. Nona baju merah, ilmu pedangmu tadi hebat sekali, marilah kita main-main sebentar !” Sambil berkata demikian, pengemis itu maju sambil memegang tongkat bengkok.
Siauw Eng yang tabah dan berani tentu saja tidak menampik tantangan orang, maka ia lalu maju menyerang. Ia maklum bahwa pengemis ini tentu tinggi kepandaiannya, maka datang-datang ia menyerang sambil mengeluarkan ilmu silatnya Pek Tiauw Kiam sut yang hebat.
“Ha, ha, ha ternyata kau anak murid Gobi-pai !” Kim I Lokai tertawa sambil menangkis dengan tongkatnya. Tangkisan ini berat dan kuat sekali hingga Siauw Eng merasa betapa telapak tangannya sakit. Akan tetapi oleh karena ia memang keras hati dan nekad, biarpun maklum bahwa kepandaian kakek pengemis ini lebih tinggi dari tingkat kepandaiannya sendiri, namun ia tidak mau mengalah dan sambil menggertakkan gigi, ia terus menyerang lagi lebih hebat. Kakek pengemis itu mempertahankan diri dengan gerakan-gerakan tongkatnya yang diputar bagaikan sebatang pedang juga, akan tetapi walaupun tongkat itu hanya terbuat dari pada sebatang kayu yang kecil, namun karena digerakkan oleh tenaga Iweekang yang besar, kehebatannya tidak kalah dengan pedang asli.
Sebentar saja, biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, Siauw Eng terdesak mundur dan terkurung oleh tongkat itu. Tiba-tiba kakek pengemis itu melompat ke belakang dan berkata,
“Bagus, kau tak mengecewakan menjadi anak murid Gobi-pai ! Bagaimana dengan Bok San Cu ? Apakah ia baik-baik, saja ?” Siauw Eng terkejut karena kakek yang lihai ini agaknya kenal dengan suhunya, maka ia lalu menjawab dengan pertanyaan.
“Tidak tahu siapakah locianpwee yang lihai ? Dan mengapa kenal kepada suhu ?”
Kakek itu tertawa bergelak-gelak. “Tentu saja aku kenal dengan Bok Sam Cu dan Cin Sam Cu. Dan kalau mereka berdua itu mendengar bahwa kau telah berani melawan Kim I Lokai, tentu kau akan mendapat teguran karena telah berani mengangkat pedang terhadap seorang sahabat baik mereka! Ha, ha, ha !”
Siauw Eng terkejut karena ia pernah mendengar nama ini dari kedua orang suhunya, maka buru-buru ia menjura sambil menyimpan pedangnya. “Mohon maaf sebanyaknya, karena teecu tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan locianpwee yang pernah disebut-sebut oleh dua suhuku. Akan tetapi, mengapa pula locianpwee membela dua orang anak kurang ajar itu ?”
Pada saat itu, Gan Hok melangkah maju dan bertanya, “Jadi nona adalah murid Gobi-san ? Apakah nona she Gak ?”
Kembali Siauw Eng terkejut dan cepat menjawab, “Memang benar, ayahku adalah Gak Song Ki !”
Gan Hok tertawa girang dan segera menjura, “Aha, memang kalau belum bertempur takkan mengenal. Maaf, pantas saja kau gagah sekali, Gak siocia. Ayah bundamu seringkali bicara tentang dirimu. Liong-ji Hwee Lian, ayoh kalian minta maaf kepada Gak siocia !”
Hwee Lian dan Gu Liong juga terkejut sekali ketika mendengar bahwa nona baju merah yang lihai ini adalah puteri Gak Song Ki yang seringkali mereka dengar namanya itu, maka buru-buru mereka berdua lalu menjura dan mohon maaf, bahkan Hwee Lian lalu memeluk Siauw Eng sambil berkata,
“Cici yang gagah, kau maafkanlah aku dan suhengku ini !”
Biarpun hatinya merasa senang sekali melihat mereka itu kini bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi Siauw Eng menjadi heran dan tidak mengerti. Melihat hal ini, Gan Hok lalu menjelaskan,
“Ketahuilah, Gak-siocia. Aku adalah seorang rekan dan kawan sejabat ayahmu, berkedudukan sebagai towtong di kota Lok-keng yang tak jauh letaknya dari kota raja. Aku dan ayahmu telah saling mengenal semenjak muda, hingga boleh dibilang kita adalah sahabat-sahabat baik. Akhir-akhir ini ayahmu dan aku seringkali datang dan saling berkunjung, maka kami mendengar pula tentang puterinya yang belajar silat di Gobi-san. Hwee Lian ini adalah puteriku dan Gu Liong adalah kemenakan dan juga muridku, maka kau maafkanlah mereka yang telah berani berlaku kurang ajar karena tidak mengenalmu. Kau hendak kemana, nona ? Apakah hendak kembali ke rumah orang tuamu ? Kebetulan sekali kami juga hendak ke kota raja !”
Demikianlah, dengan hati girang Siauw Eng lalu menuturkan bahwa ia memang baru saja turun gunung dan hendak pulang, maka beramai-ramai mereka lalu menuju ke kota raja. Gan Hok memang tidak tahu bahwa Siauw Eng bukan puteri Gak Song Ki sendiri, oleh karena anak ini terlahir di rumah perwira she Gak itu dan semua orang menyangka bahwa anak ini adalah puteri tulen perwira itu. Apalagi orang lain, bahkan Siauw Eng sendiri tidak tahu bahwa Gak Song Ki adalah ayah tirinya.
Kedatangan rombongan ini disambut oleh Gak Song Ki dan Kwei Lan dengan girang sekali. Gak Song Ki teramat bangga melihat puterinya yang selain cantik jelita seperti ibunya juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan Kwei Lan ketika bertemu dengan anak tunggalnya, lalu memeluknya sambil menangis penuh keharuan hati, nyonya cantik ini hidup bahagia dengan suaminya yang amat menyintanya, akan tetapi ketika ia memeluk Siauw Eng untuk sesaat terbayanglah wajah ayah anak ini, yaitu Ma Gi, hingga air matanya mengucur makin deras.
Gan Hok menuturkan tentang pertempuran kedua orang muridnya dengan Siauw Eng sehingga semua orang tertawa dan Gak Song Ki merasa bangga sekali akan puterinya, terutama ketika Gan Hok dan juga Kim I Lokai yang lihai itu memuji-mujinya. Kemudian, Siauw Eng pergi ke kamar dengan ibunya, sedangkan Hwee Lian dan Gu Liong yang sudah seringkali datang ke rumah itu, tanpa malu-malu lagi lalu bermain di taman bunga yang luas dari gedung Gak-ciangkun itu. Adapun Gan Hok, Gak Song Ki, dan Kim I Lokai lalu mengadakan perundingan yang agaknya penting sekali. Memang di antara perwira-perwira ini terdapat urusan yang amat pentingnya. Telah beberapa lama mereka mendapat kisikan dan pemberitahuan dari seorang perwira lain bernama Can Kok bahwa kuil Thian Lok Si yang tersohor dan besar itu telah menjadi sarang pemberontak dan bahwa kawan-kawan keluarga Khu dan Ma serta keturunan mereka telah bersembunyi di kuil itu. Gak Song Ki dan Gan Hok sendiri pernah melakukan penyelidikan di kuil itu akan tetapi oleh karena tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, mereka tak menaruh perhatian lagi atas tuduhan Can Kok itu.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja datang perintah rahasia dari Kaisar sendiri yang memerintahkan agar Gan Hok dan Gak Song Ki membasmi hwesio-hwesio di Thian Lok Si karena semua anggauta kuil itu dianggap sebagai pemberontak.
Ternyata bahwa Can Kok yang dulu ketika mengejar Un Kong Sian dan Lin Hwa, telah dijatuhkan oleh hwesio di Thian Lok Si dan menerima hinaan, merasa sakit hati sekali dan selamanya ia tak dapat melupakan sakit hati ini. Dicarinya akal untuk membalas dendam, akan tetapi oleh karena ia maklum akan kelihaian para hwesio di Thian Lok Si, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan kasar. Diam- diam ia “membeli” seorang hwesio di dalam kuil itu untuk mencari tahu tentang segala rahasia yang ada. Namun, memang kepala kuil itu, Pek Seng Hwesio, adalah seorang hwesio suci yang tak pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka sukar sekali bagi Can Kok untuk menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan.
Akan tetapi, kecurigaannya timbul kembali ketika ia mendengar bahwa seorang pemuda bernama Un Kong Sian, putera seorang nyonya janda congtok dan yang menjadi sute dari Khu Tiong dan Ma Gi, dua orang muda pemberontak itu, telah masuk menjadi hwesio di Thian Lok Si. Can Kok menjadi girang oleh karena pemuda itu masih mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan keluarga Khu dan Ma, maka setelah pemuda itu kini masuk menjadi hwesio, ia mempunyai alasan untuk memfitnah kuil itu.
Akan tetapi, fitnahannya tak berhasil dan kawan-kawan perwira lain tidak ada yang mau mendengarnya, karena mereka maklum bahwa ketua Thian Lok Si, Pek Seng Hwesio adalah seorang berilmu tinggi yang tak boleh dibuat gegabah. Bertahun-tahun Can Kok menahan marahnya dan akhirnya, setelah Pek Seng Hwesio meninggalkan kuil itu untuk melakukan perjalanannya ke barat dan menyerahkan pimpinan kuil ke tangan muridnya yakni Un Kong Sian yang telah menjadi Sian Kong Hosiang, timbul lagi harapan di hati Can Kok.
Perwira ini lalu memulai siasatnya ke tempat yang lebih tinggi lagi, yakni kepada pembesar-pembesar atasan yang dekat dengan Kaisar dan membuat Kaisar itu akhirnya mengeluarkan perintah rahasia untuk membasmi dan membakar kuil Thian Lok Si.
Kini bukan main girang hati Can Kok. Ia lalu mengadakan hubungan dengan Gak Song Ki dan Gan Hok, dan ketiga orang perwira ini masing-masing berusaha mengumpulkan tenaga dan pembantu yang berilmu tinggi karena mereka tidak berani secara sembrono melakukan penyerbuan. Gan Hok berhasil mendatangkan supeknya, yakni Kim I Lokai yang kini mengadakan perundingan dengan Gak Song Ki. Menurut pendapat Kim I Lokai yang juga telah tahu akan kelihaian hwesio-hwesio di kuil Thian Lok Si, lebih baik untuk mengumpulkan orang-orang gagah dari seluruh golongan sehingga serbuan itu sekaligus mendatangkan hasil baik dan tidak menjatuhkan pamor dan nama serta kegagahan perwira- perwira kerajaan.
Sementara itu, setelah melepaskan rindunya kepada ibunya, Siauw Eng juga lalu menyusul kedua saudara Gu di taman bunga dan ketiga orang anak muda ini menjadi kawan-kawan baik.
Bagian 11. Perwira Can Kok
Cin Pau melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan pikiran masih penuh dengan bayangan Siauw Eng. Biarpun ia merasa gemas dan mendongkol menyaksikan kesombongan dan lagak Siauw Eng, namun ia tidak bisa membenci dara yang manis jelita itu dan diam-diam ia merasa heran sekali mengapa bayangan wajah gadis itu selalu terbayang saja di depan matanya. Ia telah mengeraskan hati dan berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan itu, akan tetapi baru saja ia berhasil mengusir bayangan itu, sebentar lagi sudah datang pula membayang dengan senyuman yang manis.
“Bodoh, gadis sombong dan galak macam itu tiada harganya untuk dikenang !” ia mencela dirinya sendiri dan berlari secepatnya menuju ke kota raja. Malam hari itu ia bermalam dalam sebuah rumah penginapan besar di Tiang-an. Ia bertanya kepada pelayan, apakah pelayan itu tahu di mana rumah keluarga Un Kong Sian, dan pelayan itu menyatakan tidak tahu. Cin Pau sama sekali tidak mengira bahwa Can Kok yang lihai telah menaruh banyak mata- mata hingga di hotel itupun terdapat mata-matanya, hingga pertanyaan Cin Pau ini terdengar oleh mata- mata itu, yang segera menyampaikan kepada Can Kok bahwa ada seorang pemuda baju putih yang membawa pedang bertanya tentang rumah keluarga Un Kong Sian yang dicurigai.
Pada keesokan harinya, Cin Pau berhasil mendapat keterangan dari seorang penduduk tua di kota raja dan ia lalu mencari rumah gedung yang dulu ditinggali oleh Un Kong Sian. Akan tetapi, ternyata gedung itu telah menjadi milik orang lain dan dari penghuni baru ini ia mendengar keterangan bahwa ibu Un Kong Sian atau nyonya janda congtok telah meninggal dunia dan tentang diri Un Kong Sian, tak ada seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya atau kemana perginya.
Dengan kecewa dan sedih, Cin Pau meninggalkan gedung itu. Ketika ia tiba kembali di hotelnya, tiba- tiba pelayan hotel memberitahu di luar ada seorang tamu yang mencarinya. Cin Pau merasa heran ketika keluar dan melihat seorang laki-laki berpakaian pelayan pembesar berdiri di ruang depan dan menjura kepadanya.
“Kalau sicu ingin mengetahui tentang keluarga Un, silahkan ikut siauwte ke rumah kediaman majikanku,” katanya.
Tanpa banyak cakap, dengan hati girang Cin Pau lalu mengikuti pelayan itu ke sebuah rumah gedung yang cukup besar. Ketika ia dipersilakan masuk, ternyata bahwa di dalam ruang yang besar telah berkumpul banyak orang-orang yang kelihatan gagah perkasa. Tuan rumahnya adalah seorang perwira tua yang masih gagah dan yang menyambutnya dengan perhatian.Tuan rumah ini bukan lain ialah Can Kok, perwira yang menaruh dendam hati terhadap kuil Thian Lok Si itu. Ia lalu mengajak Cin Pau memasuki sebuah kamar dan setelah duduk berhadapan, ia lalu bertanya,
“Anak muda, kau mencari Un Kong Sian ada perlu apakah dan kau bersangkut paut apakah dengan dia
?”
Cin Pau telah mendengar penuturan ibunya dan tahu bahwa keadaan Un Kong Sian yang telah membantu kedua keluarga Khu dan Ma itu mungkin selalu dicurigai oleh para perwira, maka dengan hati-hati ia menjawab, “Un Kong Sian adalah sahabat biasa saja dan karena kebetulan siauwte lewat di Tiang-an, maka siauwte ingin sekali bertemu dengan dia. Apakah ciangkun mengetahui di mana tempat tinggalnya.
“Aku memang kenal baik dengan Un Kong Sian, akan tetapi entah di mana dia sekarang, karena semenjak ia menjual gedungnya, ia tak pernah muncul lagi di kota ini. Apakah apakah
kedatanganmu ini ada hubungannya dengan keluarga Khu dan Ma ? Siapakah namamu ? Sambil mengeluarkan pertanyaan ini, Can Kok memandang tajam sekali.
Diam-diam Cin Pau merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena ia telah berjaga diri, maka ia pura- pura memperlihatkan muka tidak senang ketika menjawab, “Ciangkun, apakah maksud kata-katamu ini
? Apa itu keluarga Khu atau Ma ? Aku tidak mengerti sama sekali. Aku, Ong Cin Pau hanya ingin mencari seorang sahabat, kalau ciangkun tahu tempatnya, tolong beritahu, kalau tidak tahu, biarlah aku pergi mencari sendiri”.
Sambil berkata demikian, Cin Pau lalu berdiri dan hendak keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba Can Kok berdiri dan menjura. “Maaf dan jangan salah paham, anak muda. Aku tidak bermaksud buruk. Silakan duduk dan bertemu dengan orang-orang gagah yang kebetulan berkumpul di rumahku.”
Melihat sikap manis ini, Cin Pau juga menghilangkan tarikan muka marah. Akan tetapi, ia merasa harus berhati-hati sekali karena ia tahu bahwa orang di depannya ini adalah seorang cerdik dan yang tentu sedang menyelidiki hal dan rahasia Un Kong Sian, maka ia tidak berani menerima undangan itu dan segera pamit keluar. Can Kok juga tidak menahan, akan tetapi diam-diam ia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk mengikuti pemuda baju putih ini, karena betapa pun juga, ia masih menaruh hati curiga. Dengan hati kecewa dan gemas, Cin Pau keluar dari gedung Can-ciangkun dan hendak kembali kehotelnya. Ia telah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan kota raja oleh karena tidak ada artinya tinggal lebih lama di situ sedangkan Un Kong Sian yang dicari-carinya tidak berada di Tiang-an.
Ketika ia sedang berjalan dengan hati ruwet, tiba-tiba ia mendengar suara yang nyaring dan merdu memanggil namanya, “Ong Cin Pau !”
Pemuda itu cepat berpaling dan ternyata bahwa yang memanggilnya itu adalah Siauw Eng. Dara jelita itu kini makin cantik dan gagah karena ia menunggang kuda putih yang besar dan pakaiannya yang masih tetap berwarna merah itu kini terbuat daripada sutera mahal sehingga jauh lebih indah daripada pakaiannya yang dulu. Juga di rambut kepalanya terhias mutiara dan emas sedangkan pedang yang tergantung di pinggangnya kinipun memakai ronce-ronce benang emas dan sarung pedangnya terukir indah. Di kanan kiri Siauw Eng terdapat dua orang penunggang kuda lain, seorang pemuda dan seorang gadis yang cakap dan cantik serta berpakaian mewah. Sekali pandang saja tahulah Cin Pau bahwa mereka ini adalah keluarga kaya dan bangsawan tinggi. Maka ia merasa sebal dan membuang muka sambil melanjutkan langkahnya.
“Eh, Cin Pau orang she Ong. Tidak kenalkah kau kepadaku lagi ? Aku adalah Gobi Ang Sianli.
Aku adalah Siauw Eng !” kata gadis itu dengan suara penasaran sekali.
Karena Siauw Eng memajukan kudanya mengejar dan menghadang di depannya, Cin Pau terpaksa berhenti dan menegur,
“Kau berobah sekali. Puteri pangerankah kau ?” Hatinya sebal menyebut pangeran, karena teringat kepada pangeran Gu Mo Tek yang telah menghancurkan keluarganya.
Siauw Eng tersenyum. “Bukan, aku hanya seorang puteri perwira. Ayahku adalah Gak-ciangkun !”
Cin Pau sudah menduga bahwa nona baju merah ini tentu puteri seorang pembesar, maka hatinya menjadi makin tawar.
“Hm,” katanya tak acuh. “Pantas saja kau sombong dan keras kepala !”
Siauw Eng tercengang. Tadinya ia merasa gembira dan girang sekali dapat bertemu dengan pemuda baju putih itu di kota raja, akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat sikap Cin Pau masih keras dan sama sekali tidak menghargainya itu.
“Apa ? Kaulah yang sombong. Kaulah yang keras kepala seperti batu dan besar kepala seperti kepala kerbau !” Timbul marah dan galaknya.
“Sudahlah ! perlu apa kau menghadang di depanku ? Pergi !” Sambil berkata demikian, Cin Pau dengan mendongkol sekali hendak mendorong kuda itu ke sisi, akan tetapi tiba-tiba sebatang cambuk panjang menyabet dari belakang mengenai punggungnya. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat bahwa yang mencambuknya adalah pemuda yang berpakaian mewah dan kawan Siauw Eng tadi.
“Jembel kurang ajar ! Kau berani berlaku jasar terhadap Gak-moi ! Kau harus dihajar !” seru Gu Liong yang merasa marah sekali karena nona yang ia puja-puja dan kagumi itu kini diperlakukan secara kurang ajar sekali oleh seorang pemuda biasa yang berpakaian putih dan sederhana.
Ia lalu mengangkat cambuknya dan menyabet lagi, akan tetapi dengan tenang Cin Pau mengulurkan tangan dan sekali tangannya bergerak, cambuk itu telah dapat dirampasnya dan ketika jari-jari tangannya ditekuk, “krek!” cambuk itu patah menjadi dua. Dengan tak acuh Cin Pau melemparkan cambuk itu ke atas tanah.
“Hah, anak-anak bangsawan yang manja dan sombong !” katanya sambil menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ. Akan tetapi Gu Liong yang sudah menjadi marah sekali lalu melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya.
“Kau hendak lari ke mana ? Kau belum kenal kepada Gu Liong ! Rasakan tajamnya pedangku !” Ia lalu menyerang dengan hebat hingga Cin Pau yang tadinya menahan sabar, menjadi naik darah juga dan ia segera mengelak ke samping dan mengirim pukulan ke arah lambung Gu Liong. Akan tetapi, Gu Liong juga bukan seorang pemuda yang lemah. Sambil berseru keras, ia mengelak dan membalas dengan serangan pedangnya yang bertubi-tubi dan kesemuanya ditujukan dengan maksud membunuh.
“Suheng, jangan !” tiba-tiba Hwee Lian berseru sambil melompat turun dari kudanya pula.
Gadis ini merasa kuatir kalau-kalau Gu Liong akan mencelakai orang dan ia merasa kasihan kepada pemuda yang sederhana dan tampan ini. Memang, Hwee Lian tidak puas dan tidak suka melihat lagak pemuda-pemuda yang biasanya mengambil hati dan bermuka-muka di depan gadis-gadis manis, terutama sekali ia merasa jijik dan muak melihat betapa para pemuda bangsawan berusaha mengambil hati Siauw Eng yang cantik jelita dan gagah itu dengan sikap mereka yang merendah dan menjijikkan. Kini melihat sikap Cin Pau yang acuh tak acuh dan seakan-akan tidak tunduk kepada Siauw Eng, ia merasa kagum sekali.
Cin Pau mengerling kepada gadis yang mencegah Gu Liong tadi dan ia melihat betapa sinar mata yang lembut ditujukan kepadanya dengan hati iba. Hal ini meredakan marahnya dan menghalangi maksudnya hendak menghajar Gu Liong yang nekad. Ia suka kepada gadis yang lembut dan halus itu, maka ia tidak mau mencelakakan Gu Liong yang disangkanya saudara gadis itu. Ketika Gu Liong menyerang dengan sebuah tusukan ke arah lehernya, Cin Pau tidak mau mengelak hingga terdengar jerit tertahan dari Hwee Lian, akan tetapi Siauw Eng yang lebih tinggi ilmu silatnya, hanya memandang dengan tersenyum. Diam-diam ia kagum sekali melihat betapa dengan tangan kosong Cin Pau menghadapi Gu Liong dan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
Ketika ujung pedang Gu Liong telah meluncur dekat sekali, tiba-tiba Cin Pau miringkan kepala hingga pedang itu menyerempet dekat sekali dengan kulit lehernya dan secepat kilat tangan kanannya menyergap. Sebelum Gu Liong tahu apa yang terjadi, ia merasa tangan kanannya kaku dan pedang itu telah terampas oleh Cin Pau.
“Kau masih mau menyombongkan kepandaian ?” kata Cin Pau sambil tersenyum dan kembali ia patahkan pedang itu dengan mudah seperti ketika ia mematahkan cambuk tadi, dan melempar dua potongan pedang itu ke atas tanah.
Gu Liong marah sekali akan tetapi ia tak berdaya dan hanya berdiri melotot dengan muka merah.
“Pergilah, kau pergilah dan jangan ganggu kami,” kata Hwee Lian dengan gugup ketika melihat betapa orang-orang telah mulai berkumpul menonton peristiwa itu. Ia kuatir kalau-kalau perkara ini akan menjadi besar. Ia takut kalau suhengnya mendapat malu dan kuatir kalau-kalau pemuda baju putih itu akan mengalami celaka.
Setelah memandang Hwee Lian, Cin Pau lalu meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba Siauw Eng tertawa nyaring dan mengejarnya.
“Orang she Ong ! Kau sombong sekali. Kau hanya dapat mengalahkan seorang yang masih dangkal kepandaiannya, kalau kau memang gagah, cobalah kau lawan aku !” Sambil berkata demikian, Siauw Eng mencabut pedangnya. Ternyata karena melihat betapa peristiwa itu terlihat oleh banyak orang, maka kalau ia tidak memperlihatkan keberanian dan kegagahannya, namanya yang telah mulai dikenal di Tiang-an akan jatuh dan orang-orang akan menganggapnya takut menghadapi pemuda baju putih itu.
“Enci Siauw Eng !” Hwee Lian menegur. “Perlu apa mencari perkara dengan orang yang tak kita
kenal!”
“Ha, Hwee Lian, kau mau kenal dia ? Ketahuilah, dia ini adalah Ong Cin Pau, seorang pemuda sombong yang pernah bertempur dengan aku, akan tetapi masih belum selesai dan sekarang aku ingin menyelesaikan pertempuran dulu itu. Jangan kau coba-coba maju, ia lihai sekali !” Siauw Eng tertawa menyindir dan menghampiri Cin Pau.
“Siapa mau bertempur melawan kau yang sombong ini ?” Cin Pau berkata marah, karena ia merasa serba salah. Melayani gadis ini bukanlah kehendaknya, akan tetapi kalau didiamkan saja, tentu gadis ini akan makin kurang ajar saja.
Baru saja Siauw Eng hendak maju menerjang, tiba-tiba terdengar suara orang berseru, “Gak siocia, tahan dulu !” Ternyata yang datang itu adalah Can Kok yang telah mendapat kabar dengan cepat betapa pemuda itu dengan mudah telah mengalahkan Gu Liong dengan tangan kosong. Perwira yang cerdik ini merasa bahwa pemuda yang lihai itu perlu sekali didekati agar jangan sampai dapat bersekutu dengan Un Kong Sian, bahkan kalau mungkin menariknya dipihaknya.
“Can-lociangkun, mengapa kau menahanku ?” tanya Siauw Eng penasaran karena memang gadis ini tidak takut kepada semua perwira kawan ayahnya.
“Enghiong ini adalah orang sendiri, jangan kalian saling bertempur !”
Dan pada saat itu, datang Gak Song Ki, Gan Hok dan Kim-i Lokai yang hendak menuju ke rumah Can Kok mengadakan perundingan tentang penyerbuan kuil Thian Lok Si. Tentu saja mereka heran melihat ramai-ramai itu dan segera menghampiri. Ketika melihat mereka, Can Kok segera memberi isyarat dengan mata dan berkata,
“Telah terjadi sedikit salah paham,” katanya sambil tertawa. “Sahabat muda yang gagah ini adalah seorang hiapkek muda yang gagah perkasa dan kita bahkan perlu sekali mendapat bantuan akan tetapi di tengah jalan telah timbul perselisihan faham dengan para anak muda. Sudahlah, hal ini tidak ada artinya, mari kita bicara dengan baik di rumahku. Ong-taihiap, silakan mampir di rumahku lagi, kita merundingkan sesuatu yang amat penting.”
Semua orang merasa heran mendengar ucapan Can-ciangkun ini, bahkan Siauw Eng lalu memperhatikan.
“Aku tidak ada waktu, hendak mencari orang,” kata Cin Pau.
“Hal ini dapat ditunda, Ong-taihiap, dan pula, aku berjanji akan membantumu kelak mendapatkan orang itu. Kau adalah seorang gagah dan kami bersama hendak pergi menyerbu dan membasmi penjahat- penjahat, apakah kau tidak suka membantu ?”
Mendengar ucapan ini, Cin Pau tertarik sekali dan ia lalu pergi mengikuti rombongan yang beramai- ramai menuju ke rumah Can Kok. Gan Hok lalu menyuruh kedua muridnya pulang dan Siauw Eng juga disuruh pulang oleh ayahnya karena perwira-perwira ini tidak mau membawa anak-anak muda ini ke dalam perundingan besar yang hendak diadakan.
Ternyata bahwa ketiga orang perwira, Gak Song Ki, Gan Hok, dan Can Kok, telah mendatangkan orang-orang gagah yang sanggup membantu mereka menyerbu kuil Thian Lok Si. Sekalian orang gagah itu pada hari itu, hari yang telah ditetapkan untuk mengadakan pertemuan, berkumpul di rumah Can Kok untuk mengadakan perundingan.
Setelah rombongan itu tiba di rumah Can Kok, mereka lalu masuk ke ruang dalam di mana telah berkumpul banyak orang gagah yang datang hendak membantu. Selain Kim-i Lokai yang kosen, masih terdapat tiga orang lain yang perlu disebutkan karena memiliki ilmu kepandaian tinggi, yakni seorang tua berpakaian piauwsu yang bernama Pauw Su Kam, kakak seperguruan Can Kok yang menjadi piauwsu kenamaan di Shantung, dan dua orang bersaudara dari Kongsan yang berjuluk Kongsan hengte, ahli siangto atau sepasang golok yang lihai. Yang lain-lain adalah orang-orang gagah kenalan mereka sehingga jumlah para tamu semua ada delapan orang.
Melihat banyaknya orang-orang gagah yang berkumpul, Cin Pau menduga-duga apakah yang hendak mereka lakukan dan siapakah pula penjahat-penjahat yang hendak diserbu itu.
Setelah memperkenalkan Ong Cin Pau kepada semua orang, Can Kok lalu berkata kepada Cin Pau,
“Ong taihiap, kau tentu belum tahu penjahat-penjahat mana yang hendak kami serbu. Ketahuilah bahwa kuil Thian Lok Si yang ternama itu sekarang menjadi sarang penjahat yang berbahaya dan perlu dibasmi oleh karena mereka itu kini mengadakan persekutuan hendak memberontak terhadap kerajaan.”
Cin Pau memandang heran. Ia pernah mendengar nama kuil ini dari ibunya, bahkan dulu ibunya dan Un Kong Sian telah tertolong oleh ketua kuil itu yang bernama Pek Seng Hwesio. Tak tertahan lagi ia menyatakan keheranannya dan berkata, “Akan tetapi, Can-ciangkun, kalau tidak salah, kuil itu terkenal suci dan diketuai oleh seorang Hwesio yang saleh dan berilmu tinggi.”
Can Kok tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang dulupun kami berpikir demikian, ketika kuil itu masih dipimpin dan diketuai oleh Pek Seng Hwesio. Akan tetapi setelah hwesio tua itu pergi merantau, hwesio-hwesio di kuil itu kena pengaruh orang jahat dan akhirnya kini merupakan ancaman bagi kerajaan.”
“Oh, jadi Pek Seng Hwesio sudah pergi meninggalkan kuil itu ?” Cin Pau berkata lagi tanpa disengaja hingga tentu saja ucapan ini membuka rahasianya bahwa ia pernah mendengar nama ini. Can Kok merasa curiga, akan tetapi ia amat cerdik dan berhati-hati.
“Ong-taihiap yang memiliki kegagahan dan menjunjung tinggi keadilan, tentu sudi membantu kami membasmi penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak itu, bukan ?”
Dengan suara tetap dan berterus terang, Cin Pau berkata,
“Untuk membasmi kejahatan, aku Cin Pau selalu bersiap-siap, akan tetapi tentang segala macam pemberontakan, aku tak mau ikut campur !”
Kata-kata ini diucapkan tetap dan keras sekali oleh karena ia teringat bahwa kakeknya juga dihukum mati karena dianggap memberontak.
Pauw Su Kam, suheng Can Kok yang menjadi piauwsu kenamaan di Shantung, mempunyai adat yang agak keras dan sombong, maka tentu saja ia merasa penasaran dan tidak senang melihat betapa Can Kok agaknya terlalu mengalah dan menghormati anak muda itu.
“Can sute,” katanya sambil mengerling kepada Cin Pau, “Kalau orang tidak mau membantu, mengapa harus memaksa-maksa ? Mungkin saudara muda ini merasa jerih menghadapi nama Thian Lok Si yang tersohor !”
Cin Pau merasa akan sindiran ini, maka dengan suara tenang dan dingin ia berkata, “Sudah banyak orang sombong kujumpai di kota ini !”
Biarpun ucapan ini tidak ditujukan langsung kepada Pauw Su Kam, namun semua orang dapat merasai ketegangan yang timbul antara pemuda baju putih itu dan Pauw Su kam. Akan tetapi, Can Kok terlampau cerdik untuk menderita kerugian karena permusuhan pada saat ia membutuhkan banyak tenaga bantuan itu, maka sambil tertawa ia lalu menjura kepada Cin Pau.
“Ong taihiap, kami menghaturkan banyak terima kasih atas kesanggupan untuk membantu kami. Memang yang hendak kami basmi adalah segerombolan penjahat yang berkedok di balik jubah-jubah hwesio.”
Kemudian Can Kok lalu menawarkan arak wangi kepada semua tamunya.
Gak Song Ki yang diam-diam memperhatikan Cin Pau, merasa kagum menyaksikan keberanian pemuda itu dan karena iapun mendengar betapa dengan tangan kosong pemuda ini telah mengalahkan Gu Liong yang bersenjata pedang, maka ia mulai membanding-bandingkan kepandaian pemuda ini dengan kepandaian puterinya sendiri, Siauw Eng. Gadis ini sebetulnya ingin sekali ikut dalam penyerbuan ini dan membasmi para penjahat, namun oleh karena Gak-ciangkun amat sayang kepada puterinya, biarpun tahu bahwa ilmu kerpandaian puterinya amat tinggi bahkan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia melarang.
Adapun Gan Hok yang merasa amat penasaran dan mendongkol mendengar betapa muridnya kena dikalahkan dengan mudah, diam-diam lalu mengadakan pembicaraan dengan supeknya, yakni Kim-i Lokai yang ia banggakan dan andalkan untuk membalas penghinaan pemuda baju putih itu atas diri muridnya.
Kim-i Lokai adalah seorang tokoh yang sudah masuk hitungan kelas tinggi, maka tentu saja karena dibakar hatinya oleh Gan Hok yang menyatakan bahwa dihinanya Gu Liong berarti tidak saja menghina juga Gan Hok akan tetapi juga berarti tidak memandang muka Kim-i Lokai, menjadi panas juga dan setelah meneguk tiga cawan arak wangi, ia lalu berdiri dan berkata kepada tuan rumah, “Can-ciangkun, maafkan lohu yang miskin dan tua. Melihat banyak orang gagah berkumpul di ruangan yang luas ini, hati lohu merasa amat gembira, dan kegembiraan ini mendatangkan kehendak yang bukan-bukan dihatiku. Memang lohu mempunyai semacam penyakit, yakni apabila bertemu dengan orang-orang gagah segolongan, lalu menjadi gatal tangan dan ingin sekali menyaksikan dan mengukur kepandaian kawan-kawan lain. Maksud lohu ini mengandung dua hal, pertama untuk saling kenal terlebih baik lagi karena peribahasa menyatakan bahwa sebelum bertempur orang tak dapat menjadi kenalan baik. Adapun kedua, adalah hal yang lebih utama lagi, yaitu oleh karena kita sedang menghadapi musuh-musuh penjahat tangguh dan lihai, sedangkan kawan-kawan kita adalah orang- orang baru yang belum diketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya, maka perlu sekali kita saling mengukur tenaga untuk dapat mengetahui kekuatan sendiri !”
Can Kok tersenyum dan menjura sambil berkata, “Lo-enghiong berkata benar ! Lalu apakah kehendak lo-enghiong sekarang ?”
“Aku tak perlu sungkan-sungkan lagi demi kebaikan pihak kita sendiri. Biarlah aku yang tua menjadi alat pengukur dan para saudara yang merasa perlu memperlihatkan kepandaian dan yang belum dikenal baik dipersilakan maju untuk menghadapi lohu agar dapat disaksikan oleh semua kawan-kawan !” Sambil berkata demikian, Kim-i Lokai lalu bertindak dengan tenang ke tengah ruangan yang luas itu.
Biarpun ucapannya ini ditujukan kepada semua orang, namun kedua matanya memandang ke arah Cin Pau.
Bagian 12. Kepiawaian Murid Bu Eng Cu
Cin Pau adalah seorang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dari suhunya ia pernah pula mendengar nama Kim-i Lokai, hingga sudah sepatutnya kalau ia berdiam diri dan tidak mau menyombongkan kepandaian, terutama untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Kim-i Lokai adalah hal yang bukan tidak berbahaya. Akan tetapi, betapapun juga, ia masih amat muda dan darahnya masih menggelora penuh keberanian yang terdorong oleh nafsu mudanya. Maka mendengar ini, ia segera bergerak hendak berdiri dari tempat duduknya.
Akan tetapi, ternyata ia kalah dulu oleh tuan rumah sendiri. Can Kok maklum akan maksud Kim-i Lokai yang hendak membalaskan rasa malu yang diderita oleh murid Gan Hok, maka untuk menjaga jangan sampai ia dianggap licik dan juga untuk mendemonstrasikan ilmu tombaknya, ia lalu mendahului orang lain dan melompat kehadapan Kim-i Lokai.
“Lo-enghioang,” katanya sambil tertawa dan menjura, “aku merasa girang dan berterima kasih sekali kepada kau orang tua yang bermaksud baik dan yang membantu meramaikan pertemuan ini. Akan tetapi sebagai tuan rumah, sebelum orang lain memperlihatkan ilmu kepandaiannya yang tinggi, terlebih dulu biarlah aku memperlihatkan kebodohanku. Tidak tahu dengan cara bagaimanakah lo-enghiong hendak mengukur kebodohanku ?”
Kim-i Lokai tercengang karena tidak disangkanya bahwa tuan rumah ini maju sendiri, maka ia lalu tersenyum-senyum dan memutar-mutar kedua matanya. “Can-ciangkun sendiri hendak maju ? Baik, baik ! Telah lama lohu mendengar ilmu tombak cagak dari ciangkun yang amat tersohor, maka harap ciangkun suka memperlihatkan kepandaian itu, biar lohu mengimbanginya dengan tongkat ini !”
Ketika mendengar ucapan ini, Can Kok merasa gembira sekali oleh karena memang selain ilmu permainan tombak cagak ini, ia tidak tahu harus memamerkan kepandaian apa. Segera ia menyuruh pelayan mengambil kongce (tombak bercagak)
“Silakan menyerang dan jangan sungkan-sungkan, Can-ciangkun!” kata Kim-i Lokai sambil memelintangkan tongkat pada dadanya.
Can Kok segera menyerang dengan kongcenya dan ketika ia mulai bersilat dan melakukan penyerbuan, para tamu diam-diam memuji oleh karena permainan tombak cagak dari perwira ini benar-benar lihai dan kuat. Harus diketahui bahwa semenjak dikalahkan oleh hwesio muka hitam di kuil Thian Lok Si hingga ia merasa terhina dan malu sekali, Can Kok lalu melatih diri dan memperdalam ilmu silatnya sampai bertahun-tahun sehingga kalau dibandingkan dengan dulu sebelum dikalahkan oleh hwesio itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat jauh sekali. Tenaga yang disalurkan pada senjata itupun besar sekali sehingga tiap kali ia menusuk dengan senjatanya ujung tombak itu sampai menggetar dan apabila ia memukulkan tombaknya, maka terdengar bersiutnya angin pukulan.
Kalau permainan kongce dari Can Kok ini telah mengagumkan para penonton, adalah permainan tongkat Pengemis Tua Baju Emas membuat hati Cin Pau berdebar. Kalau yang menyerbu kuil itu orang- orang segagah ini, pasti kuil itu akan dapat dihancurkan, pikirnya. Permainan tongkat kakek pengemis itu benar-benar hebat karena biarpun yang digerakkan hanya sebatang tongkat kayu yang kecil, akan tetapi tiap kali tombak Can Kok yang bertenaga besar itu terbentur oleh ujung tongkat, tombak itu selalu terpental hingga Can kok beberapa kali mengeluarkan seruan kaget. Namun perwira ini masih tetap menyerang terus walaupun sedikit juga serangannya tak berarti bagi pengemis yang kosen itu.
Setelah melayani Can Kok sampai tiga puluh jurus lebih, Kim-i Lokai melompat mundur dengan cepat dan berkata, “Cukup, cukup !” Can-ciangkun cukup gagah untuk menyerbu ke kuil Thian Lok Si !”
Can Kok merasa puas, karena biarpun ia tidak dapat mengalahkan pengemis lihai itu, namun ia tidak sampai tercela permainan tombaknya. Semua penonton juga menganggap demikian, akan tetapi Cin Pau yang lebih tajam dan lebih tahu akan gerakan-gerakan Kim-i Lokai, dapat melihat betapa dengan luar biasa cepatnya, ketika hendak melompat mundur tadi, ujung tongkat kakek itu telah menerobos di antara sinar kongce dan menyabet ujung lengan baju Can Kok. Dan ketika Cin Pau memperhatikan ujung lengan baju itu, benar saja di situ terdapat sebuah lubang bekas tusukan tongkat.
Kim-i Lokai setelah memberi “tanda’ pada ujung lengan baju Can Kok tanpa memberi tahu itu, lalu tertawa girang dan setelah Can Kok mengundurkan diri, ia lalu berkata lagi kepada semua tamu, “Cuwi yang hendak maju, silakanlah. Jangan malu atau sungkan terhadap kawan segolongan sendiri!”
Lagak Kim-i Lokai seakan-akan seorang guru yang menghadapi sekian banyak muridnya dan yang hendak diujinya seorang demi seorang. Cin Pau maklum bahwa pengemis tua ini merupakan lawan yang tangguh sekali, akan tetapi ia tetap hendak maju dan mencoba kepandaian kakek itu.
Sekali lagi Cin pau didahului orang lain, yakni seorang di antara Kongsan hengte yang bernama Lu Kiam. Setelah menjura dan memperkenalkan diri kepada Kim-i Lokai ia lalu mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang poan-koan pit atau senjata berbentuk pit (pena bulu) yang lihai sekali oleh karena sepasang senjata ini khusus dibuat untuk menyerang dan menotok jalan darah lawan.
Orang yang dapat mempergunakan sepasang poan-koan pit tentu seorang yang telah memiliki lweekang tinggi dan telah paham sekali akan jalan darah dan bagian kelemahan lawan hingga baru mengeluarkan sepasang senjata ini saja sudah dapat diduga bahwa Lu Kiam bukanlah orang sembarangan.
Kim-i Lokai tertawa terbahak-bahak. “Memang, harimau hanya berkawan singa dan ular samudera selalu berkawan dengan naga. Sicu adalah kawan baik Can-ciangkun, maka tentu saja ilmu kepandaian sicu takkan mengecewakan. Lu-sicu, jangan sungkan-sungkan, majulah !”
“Mohon pengajaran !” kata Lu Kiam merendah dan ia lalu mulai bersilat. Kedua tangannya memegang poan-koan pit bergerak-gerak bagaikan seorang penari ulung sedangkan kedua kakinya berjingkit dan berpindah-pindah dengan amat cepat dan gesitnya. Kembali permainan silat ini mendatangkan rasa kagum, bahkan Kim-i Lokai sendiri berkali-kali memuji, “Bagus, bagus !”
Pengemis tua itu terpaksa mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk menghindarkan diri dari totokan lawan yang gesit ini. Kalau sampai ia kena tertotok, ia akan mendapat malu hebat sekali, biarpun pertandingan itu hanya pertandingan persahabatan saja. Maka tongkatnya lalu digerakkan cepat sekali dan kemana saja poan-koan pit menotok, selalu bertemu dengan ujung tongkat yang menangkisnya dengan tenaga penuh hingga tiap kali ujung poan-koan pit terbentur ujung tongkat, Lu Kiam merasa betapa tangannya kesemutan dan kalau ia tidak mengerahkan tenaga, tentu poan-koan pitnya akan terpukul jatuh. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian pengemis tua yang aneh ini masih lebih tinggi setingkat dengan kepandaiannya sendiri, maka setelah bertempur sampai empat puluh jurus tanpa dapat mendesak, ia tahu diri dan melompat ke belakang dengan cepatnya.
“Maaf, maaf, aku yang bodoh telah memperlihatkan kejelekkan kepandaianku,” katanya sambil menjura.
“Siapa bilang permainanmu jelek ?” kata Kim-i Lokai dengan gembira. “Lohu berani tanggung bahwa penjahat-penjahat Thian Lok Si akan kacau balau terserang oleh dua batang poan-koan pit yang lihai itu. Kau hebat sekali, Lu-sicu !” Setelah berkata demikian, Kim-i Lokai lalu memandang kepada orang kedua dari Kongsan Hengte yang bernama Lu Siang. Berbeda dengan adiknya, Lu Siang ini bertubuh tinggi kurus sedangkan adiknya itu pendek gemuk, dan muka Lu Siang ini kepucat-pucatan seperti orang sakit, akan tetapi sepasang matanya berpengaruh. Cin Pau dapat menduga bahwa orang gagah itu tentulah seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang yang tinggi sekali.
Melihat betapa adiknya tak berdaya menghadapi pengemis tua itu, Lu Siang lalu melompat dari tempat duduknya. Gerakannya ini tidak kentara, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang dan berdiri di depan Kim-i Lokai. Cin Pau kagum sekali melihat ginkang ini. Ternyata yang berkumpul ini bukanlah orang-orang sembarangan, pikirnya makin tertarik.
Begitu berada di depan pengemis tua itu, Lu Siang lalu menjura memberi hormat. Akan tetapi gerakan memberi hormat ini bukanlah gerakan sembarangan akan tetapi adalah gerakan yang dalam ilmu silat disebut Raja Monyet Menghormat Dewata (Ce Thian Pai Hud) dan ini adalah gerakan dari ahli ilmu lweekeh yang melakukan serangan atau pukulan lweekang dari jauh dalam bentuk pemberian hormat. Akan tetapi, oleh karena yang dihadapinya bukan musuh dan hanya seorang yang hendak mencoba ilmu kepandaiannya, Lu Siang juga tidak begitu gegabah untuk mengisi tenaga pukulan dalam gerakan ini, dan hanya merupakan gerakan pemberian hormat biasa saja. Akan tetapi, otomatis ia telah memperlihatkan bahwa ia adalah ahli lweekeh yang jempolan.
Melihat cara pemberian hormat Lu Siang, Kim-i Lokai tidak mau tinggal diam dan ia memperlihatkan bahwa ia kenal pula gerakan ini, maka sekali gus ia membalas hormat orang dengan gerakan Menolak Gunung Menarik Awan. Tangan kanannya dengan jari terbuka ditaruh di depan dada sebagai penolakan pukulan lawan dan tangan kirinya membalas dengan gerakan pukulan yang juga dilancarkan hanya dengan tenaga lweekang dan memukul dari jauh. Lu Siang merasa terkejut sekali oleh karena memang gerakan inilah yang menjadi gerakan untuk menahan dan membalas serangan gerakannya tadi.
Dalam hormat-menghormati ini, kedua orang itu telah memperlihatkan dua macam gerakan yang lihai dan yang takkan dapat dimengerti oleh ahli silat sembarangan saja. Akan tetapi, Cin Pau tahu akan gerakan-gerakan mereka itu hingga diam-diam ia memuji pula.
“Sicu, janganlah berlaku sungkan-sungkan dan marilah kita bermain-main sebentar menambah pengetahuan !” kata Kim-i Lokai sambil tertawa.
“Lo-enghiong, jangan kau orang tua tertawakan aku yang rendah pengetahuan !” kata Lu Siang sambil melepaskan ikat pinggangnya yang berwarna hitam. Setelah ikat pinggangnya itu berada di dalam tangannya, ternyata bahwa itu bukanlah ikat pinggang biasa, akan tetapi sebuah senjata joan pian atau cambuk lemas yang panjangnya tidak kurang dari tiga kaki. Memang tepat sekali bagi seorang ahli lweekeh untuk mempergunakan joan pian yang lemas ini oleh karena tenaga lweekangnya dapat disalurkan pada senjata itu hingga cambuk itu bisa menjadi lemas untuk membelit senjata musuh atau menyabet, dan dapat pula dibuat kaku untuk menusuk atau menotok jalan darah.
“Bagus, sicu majulah !” kata Kim-i Lokai dengan hati-hati karena ia maklum bahwa lawannya kali ini memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah. Lu Siang lalu bergerak dengan joan piannya setelah disentakkan mengeluarkan bunyi keras bagaikan sebatang cambuk gembala, lalu joan pian itu menyambar ke arah leher Kim-i Lokai. Pengemis tua itu cepat mengangkat tongkatnya dan sebentar kemudian kedua orang itu bertempur seru sekali hingga bayangan mereka kadang-kadang menjadi satu dan sukar dibedakan satu dengan yang lain.
Setelah adu kepandaian ini berlangsung seratus jurus dengan amat hebatnya dan keadaan mereka seakan-akan berimbang, keduanya lalu melompat mundur dan Lu Siang dengan muka merah menjura sambil berkata, “Siauwte yang bodoh telah menerima pelajaran, terima kasih, lo-enghiong.” Ternyata bahwa tadi ia telah kena dikurung hebat oleh tongkat pengemis tua yang lihai itu hingga ia tidak malu- malu untuk mengaku kalah.
Pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri.
“Ah, Can-ciangkun,” katanya kepada Can Kok. “Sekarang lohu tidak kuatir lagi. Dengan adanya para orang gagah ini di pihak kita, kita tak usah kuatirkan perlawanan para penjahat gundul di Thian Lok Si.”
Can Kok dengan girang lalu berkata kepada Cin Pau, “Ong-taihiap, tinggal kau yang belum memperlihatkan kepandaianmu.” Cin Pau lalu bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah perlahan ke tengah ruang itu. Akan tetapi, pada saat itu, Pauw Su Kam, suheng dari Can Kok, piauwsu dari Shantung itu, juga berdiri dan berkata kepada Kim-i Lokai.
“Lo-enghiong, kau telah terlalu banyak menghadapi kawan-kawan yang gagah hingga kuatir kau orang tua terlampau lelah. Biarlah siauwte yang kasar dan bodoh mencoba kepandaian “taihiap” ini!” Terang sekali bahwa Pauw Su Kam ini merasa kurang senang dan tidak puas bahwa Can Kok, sutenya itu, terlalu menghormat kepada Cin Pau hingga menyebutnya taihiap atau pendekar besar.
Cin Pau dapat menduga bahwa orang sombong ini tentu sedang mencari perkara dengan dia, dan orang itu tentu berusaha menjatuhkannya dengan membuatnya malu. Oleh karena itu ia berlaku hati- hati sekali.
Sambil tertawa Kim-i Lokai mengundurkan diri dan berkata,
“Baik, baik, dengan majunya jiwi, berarti sekali gus lohu dapat menyaksikan tingkat kepandaian jiwi.” Akan tetapi ketika pengemis tua ini menyaksikan betapa setelah menggulung lengan bajunya, kedua lengan orang she Pauw ini kelihatan merah sekali ia menjadi terkejut karena tahu bahwa orang ini memiliki ilmu pukulan Ang se ciang atau Tangan Pasir Merah yang lihai.
Cin Pau juga melihat ini dan tahulah ia mengapa orang ini demikian sombongnya karena agaknya mengandalkan kedua tangannya yang berbahaya. Orang yang memiliki tangan pasir merah ini memang berbahaya sekali pukulannya, karena jangankan tubuh kena pukul oleh kedua tangan ini, baru tertangkis saja dapat membuat lengan lawan menjadi bengkak-bengkak dan tulangnya patah.
Tadi ia telah diperkenalkan dengan semua orang, maka Cin Pau yang masih ingat akan nama orang ini dan tahu bahwa dia adalah suheng dari tuan rumah, dengan sikap hormat berkata,
“Pauw piauwsu tentu ingin mengajak siauwte bermain dengan tangan kosong, bukan ?” Ucapan ini sekali gus menyatakan bahwa ia telah tahu akan kelihaian kedua tangan lawan dan juga menyatakan bahwa ia tidak gentar menghadapinya.
Pauw Su Kam tersenyum dan berkata dengan sikap tinggi hati, “Memang betul, Ong-taihiap !” Ia sengaja menyebut “taihiap” dengan suara mengandung ejekan. “Biarpun hanya main-main, akan tetapi senjata tajam kalau digunakan bisa mendatangkan bahaya karena seperti kata orang, senjata tidak bermata.”
“Siauwte setuju dengan pendapatmu,” kata Cin Pau sederhana, “Kau majulah dan mari kita bermain- main sebentar !”
Kali ini semua orang menonton dengan penuh perhatian, karena ingin menyaksikan ilmu kepandaian pemuda baju putih yang masih sangat muda ini. Hampir semua orang menduga bahwa kali ini Cin Pau tentu akan roboh di tangan Pauw piauwsu yang lihai. Pauw Su Kam ingin segera menjatuhkan lawannya yang muda ini dan sekali gus mengangkat tinggi namanya, maka begitu berseru ia lalu menyerang dengan tendangan pancingan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada dan pukulan tangan kiri ke arah pundak Cin Pau. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu melompat dan mengelakkan diri dari serangan itu dan selanjutnya ia lalu mengeluarkan ginkangnya yang tinggi tingkatnya, berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari serangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Maka melongolah semua orang ketika menyaksikan betapa tubuh anak muda itu kini berobah menjadi bayangan putih yang luar biasa gesitnya hingga seakan-akan seekor garuda putih terbang menyambar-nyambar hingga membikin Pauw Su Kam tak berdaya mendekatinya.
Melihat gerak gerik pemuda ini, tercenganglah Can Kok oleh karena selama hidupnya ia baru sekali menyaksikan gerak gerik ini, yaitu ketika hwesio muka hitam dulu menjatuhkannya. Akan tetapi pemuda ini lebih cepat lagi gerakannya. Juga Kim-i Lokai merasa kagum sekali dan memandang dengan penuh perhatian. Tak pernah disangkanya bahwa ginkang dari pemuda itu sedemikian lihainya hingga diam- diam ia mengakui bahwa dia sendiri belum tentu dapat melebihi pemuda itu dalam hal kegesitan.
Pauw Su Kam terus menyerang dan setelah ia menyerang dengan Ang se-ciang selama tiga puluh jurus lebih, peninglah kepalanya karena pemuda itu benar-benar merupakan bayang-bayang atau uap putih saja yang tiap kali diserbunya tiba-tiba lenyap dari depannya dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri, atau bahkan di belakangnya. Baru menghadapi lawan yang selalu mengelak saja, ia sudah menjadi pening, apalagi kalau sampai lawan itu balas menyerang. Tiba-tiba Pauw Su Kam lalu berhenti menyerang dan ketika melihat Cin Pau juga berdiri di depannya tak bergerak, tiba-tiba ia lalu memukul dengan kedua tangannya ke arah dada Cin Pau. Ini adalah pukulan maut yang tak layak dikeluarkan di dalam adu kepandaian itu, karena memang pukulan yang dihandalkan ini hanya digunakan untuk menjatuhkan seorang musuh dengan maksud membunuh.
Angin pukulan Ang se-ciang ini saja sudah cukup membuat lawan jatuh dengan menderita luka di dalam tubuh, apalagi kalau sampai tangan itu mengenai tubuh lawan dengan tepat.
Cin Pau merasa mendongkol dan marah melihat hal ini karena tak disangkanya bahwa lawan ini menggunakan tangan maut untuk mengalahkannya. Ia lalu berpikir bahwa kalau kali ini tidak memperlihatkan kepandaian, selanjutnya ia tentu akan dipandang ringan dan rendah. Ia sengaja tidak berkelit dan menanti datangnya pukulan.
“Celaka !” Kim-i Lokai berseru karena biarpun ia juga ingin mengalahkan pemuda itu untuk membalas penghinaan terhadap cucu muridnya, akan tetapi ia tidak bermaksud membunuh pemuda ini, sedangkan pukulan yang dilancarkan oleh Pauw Su Kam itu ia tahu dapat mendatangkan bahaya maut. Akan tetapi, segera seruan kaget ini disusul dengan seruan kagum ketika ia melihat betapa dengan dua tangan terulur ke depan dan jari-jari terbuka. Cin Pau menggunakan lweekang yang tinggi untuk mengembalikan tenaga pukulan Ang se-ciang yang hebat itu. Cin Pau maklum bahwa biarpun tenaga lweekangnya telah terlatih cukup dan tidak akan kalah oleh tenaga lawan, akan tetapi kalau ia menggunakan lengan tangan untuk menangkis, tentu tulang lengannya akan terpukul oleh tenaga Ang se-ciang dan mungkin tulangnya akan patah karena kalah kalau dibandingkan dengan tulang lawan yang “berisi”, akan tetapi kalau ia menggunakan telapak tangan yang berisi daging dan urat serta dapat mengeluarkan tenaga lweekang sepenuhnya itu, ia boleh menangkis dengan hati tenteram. Benar saja, ketika dua tenaga raksasa bertemu, dengan khikangnya Cin Pau dapat menutup jalan darahnya dan hanya terhuyung mundur tiga langkah. Akan tetapi sebaliknya, Pauw Su Kam yang tak menduga akan mendapat benturan tenaga yang lebih besar dari pada tenaganya sendiri itu, terpental sampai setombak lebih dan jatuh terduduk di atas lantai.
Ia terkejut sekali, akan tetapi karena tidak menderita luka apa-apa, ia merasa tunduk betul terhadap Cin Pau. Dengan muka merah ia lalu menjura dan berkata, “Ong-taihiap memang patut dikagumi.
Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dugaanku semula.”
“Ang se-ciangmu juga lihai sekali, Pauw piauwsu !” kata Cin Pau merendahkan diri.
“Hebat, hebat ! Harus kuberi selamat !” tiba-tiba Lu Siang berkata dan menghampiri Cin pau sambil menjura dengan gerakan Ce Thian Pai Hud tadi. Kali ini ia mengisi tenaga dalam gerakannya hingga Cin Pau yang maklum dirinya dicoba, lalu balas menjura sambil mengerahkan khikangnya. Lu Siang merasa betapa tenaganya terbentur kembali dan kedua pundaknya sampai merasa linu, maka ia lalu berkata, “Memang lihai sekali, aku mengaku kalah !”
Hanya beberapa orang saja yang tahu akan percobaan tenaga ini, di antaranya Kim-i Lokai. Pengemis tua ini tidak mau kalah, dengan tertawa ia lalu datang menghampiri dengan secawan arak di tangan.
“Ong sicu, kau pantas dihormat dengan secawan arak wangi !” katanya sambil menyerahkan cawan itu kepada Cin Pau dengan tubuh membungkuk.
Cin Pau lalu menerima cawan itu dan alangkah kagetnya ketika merasa betapa tangan yang memberikan cawan itu menekan dengan kekuatan yang luar biasa beratnya. Ia lalu mengerahkan tenaganya dan membuat telapak tangannya yang menerima cawan menjadi lemas bagaikan kapas hingga tenaga tekanan Kim-i Lokai menjadi lenyap dan tiada berguna lagi. Pengemis tua itu melepaskan cawannya dan tertawa bergelak. Ia merasa senang sekali, tidak saja girang karena mendapat kawan kuat dalam penyerbuan kuil Thian Lok Si, akan tetapi juga girang bahwa tadi ia tidak sampai bentrok dengan pemuda ini. Kalau sampai mencoba kepandaiannya dan tak dapat memenangkan pemuda ini, alangkah akan malunya. Sedangkan ia masih merasa sangsi apakah ia akan dapat mengalahkan pemuda yang lihai ini.
“Sicu, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu benar-benar membuat lohu merasa kagum,’ katanya.
“Lo-enghiong, tongkatmu membuat siauwte merasa kagum dan takluk sekali.” Cin Pau menjawab sejujurnya, “terutama ketika kau membuat gerakan melobangi ujung lengan baju Can-ciangkun tadi. Hebat dan cepat sekali gerakan itu !” Mendengar ucapan itu, Can Kok terkejut dan melihat ujung lengan bajunya yang benar-benar bolong, maka mukanya jadi pucat. Orang telah membolongi ujung lengan bajunya dan ia sama sekali tidak tahu. Kalau orang itu seorang musuh dan menghendaki jiwanya, tentu ia akan mati sebelum ia ketahui diserang secara bagaimana.
Sebaliknya, Kim-i Lokai makin kagum saja mendapat kenyataan bahwa pemuda ini dapat melihat gerakannya tadi, padahal ia percaya bahwa tak seorang pun dapat melihatnya. Dari kenyataan ini saja dapat diketahui bahwa pemuda baju putih ini memang murid seorang berilmu tinggi.