Pembakaran Kuil Thian Lok Si Jilid 3

Jilid 3

Bagian 07. Gobi Ang-sianli

Pemberontakan kaum tani yang berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar Tang yang melarikan diri mengungsi ke Secuan itu, hingga ibu kota Tiang-an dikuasai oleh pemberontak pula, ternyata tidak dapat tahan lama. Kaisar yang melarikan diri itu lalu mengadakan persekutuan dengan tentara Turki barat yang disebut Shato dan dengan bantuan tentara Turki yang besar jumlahnya dan kuat ini, kaisar lalu menyerbu kembali ke Tiang-an. Kembali rakyat mengalami perang hebat dan pasukan petani menderita kekalahan besar sehingga pemimpin pemberontak Oey Couw akhirnya berputus asa dan membunuh diri di puncak gunung Thai-san. Hal ini terjadi lima tahun kemudian setelah pemberontakan terjadi.

Un Kong Sian yang mengalami berbagai kekecewaan dan bahkan kemudian menderita “patah hati” dalam hubungannya dengan Ong Lin Hwa, setelah berpisah dengan Lin Hwa lalu kembali ke Tiang-an. Ibunya dan isterinya terkejut sekali melihat betapa Kong Sian menjadi kurus dan nampak sedih. Setelah didesak-desak oleh ibunya, akhirnya sambil menangis Kong Sian menceritakan dengan terus terang, bahkan mengaku bahwa ia tak dapat hidup terus dengan Bi Nio biarpun isterinya itu cukup baik dan setia.

“Ampunkan anakmu yang malang ini, ibu. Aku tidak dapat menipu dan mengkhianati Bi Nio lebih lama lagi. Aku tak dapat mencintainya oleh karena hatiku telah tertambat sepenuhnya kepada Lin Hwa. Aku tak dapat menjadi suami Bi Nio pada lahirnya akan tetapi mengasihi wanita lain di dalam hati.” Ibunya merasa berduka dan kecewa sekali dan Bi Nio yang mengetahui hal ini lalu pulang ke rumah orang tuanya yang kaya dan akhirnya dikabarkan bahwa ia mencukur gundul kepalanya dan menjadi nikouw.

Kong Sian tinggal dengan ibunya yang selalu berduka karena memikirkan keadaan putera tunggalnya itu hingga akhirnya ibu yang telah tua ini jatuh sakit sampai meninggal.

Un Kong Sian lalu menjual semua barang dan rumah, setelah mengumpulkan hasil penjualan itu ia membawanya ke kuil Thian-Lok-Si, di mana ia lalu mendermakan semua uang itu kepada kuil tersebut dan dengan suara sedih ia berlutut dan menuturkan kepada Pek Seng Hwesio tentang segala pengalamannya.

Hwesio itu tersenyum maklum, “Anak muda, kau hanya mengalami kepahitan hidup yang hanya dapat diderita oleh orang-orang yang masih belum sadar. Kepahitan-kepahitan hidup itu memang telah diramalkan oleh Sang Buddha dan pengalaman-pengalaman seperti itu memang selalu akan menimpa manusia yang belum sadar. Pinceng hanya dapat merasa iba kepadamu.”

“Suhu, teecu telah kehilangan pegangan, teecu hidup sebatang kara tanpa cita-cita dan tanpa tujuan. Tolonglah Suhu.”

Pek Seng Hwesio berkata tenang, ”Pertolongan apa lagi yang dapat diberikan oleh seorang Hwesio tua dan miskin seperti pinceng selain penerangan tentang kebatinan ? Kalau kau suka menjadi muridku dan menjadi hwesio, mungkin akan terobat hatimu yang terluka itu.”

Dengan serta merta Kong Sian menyatakan suka dan sanggup, maka sekali lagi di dalam kuil Thian-lok- si, rambut kepalanya dicukur gundul. Akan tetapi, kalau dulu ia dicukur untuk melakukan penyamaran dan kini ia dicukur betul-betul untuk menjadi seorang hwesio. Ketika kepalanya dicukur, tak dapat tidak ia teringat dan terkenang lagi akan pengalaman ketika ia dan Lin Hwa mencukur rambut di kuil ini dulu hingga tak tertahan lagi ia mencucurkan air mata.

Pek Seng Hwesio lalu memberi nama padanya dan nama baru ini tidak banyak berbeda dengan namanya sendiri karena hanya dibalikkannya saja, yakni Sian Kong Hosiang. Demikianlah bertahun- tahun Sian Kong Hosiang menjalani ibadat dan selain mempelajari ilmu kebatinan menurut ajaran Sang Buddha, juga ia mempelajari ilmu silat yang tinggi dari Pek Seng Hwesio hingga ilmu kepandaiannya bertambah pesat sekali. Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Pek Seng Hwesio benar-benar tinggi bahkan mungkin tak kalah tingginya dari suhunya yang dulu, yakni Beng Hong Tosu, tokoh Kunlun-san.

******

Waktu lewat dengan tak terasa dan cepat sekali, hingga tahu-tahu tujuh belas tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa pembasmian keluarga Khu dan Ma.

Pada suatu hari, dari sebuah lereng bukit di pegunungan Gobi yang luas, turun seorang berpakaian merah dengan tindakan kaki cepat seakan-akan ia melayang atau terbang saja. Ternyata bahwa orang yang berpakaian merah ini adalah seorang gadis muda berusia enam belas tahun yang sedang berlari mempergunakan ilmu ginkang yang luar biasa hingga nampaknya ia tidak menginjak tanah. Mata orang biasa hanya akan melihat berkelebatannya bayangan merah saja dan mata ahli silat tentu akan terkejut sekali karena melihat bahwa gadis muda itu sedang mempergunakan ilmu lari cepat Keng Sin Sut yang luar biasa.

Dara ini cantik jelita dan manis sekali. Pakaiannya yang berwarna merah berkibar-kibar tertiup angin ketika ia lari, rambutnya yang hitam halus dan panjang itu dikuncir menjadi dua dan ujungnya bergantungan di punggung, bersembunyi di bawah mantelnya yang lebar dan panjang berwarna kuning. Kedua kakinya kecil, bersepatu warna hitam, gerakannya demikan gesit dan ringan seakan-akan rumput yang kena injakpun tidak rusak. Di pinggang kirinya tergantung sebatang pedang panjang yang gagangnya diukir indah berbentuk kepala naga dengan terhias ronce-ronce biru.

Sukar untuk melukiskan kecantikan wajah dara ini, karena segala bagian yang terkecil pun menarik hati dan menggairahkan kalbu hingga sekali mata orang tertuju kepadanya, takkan mudah bagi orang itu untuk mengalihkan pandangannya. Entah apanya yang paling menarik hati, entah sepasang matanya yang lebar dan kocak, bersih bening bagaikan mata burung hong itu, atau hidungnya yang lurus kecil dan mancung, atau bentuk bibirnya yang merah, kecil penuh dan melengkung sempurna bagaikan bentuk gendewa itu. Mungkin sekali setitik kecil tahi lalat di sudut bibir yang membuatnya nampak begitu manis dan ayu, atau potongan tubuhnya yang ramping atau kulitnya yang putih kuning dan halus. Ah, sukarlah untuk memilih mana yang paling menarik, dan lebih mudah untuk menyatakan bahwa dara ini memang seorang gadis yang cantik jelita dan sikapnya gagah.

Gadis muda ini bukan lain ialah Gak Siauw Eng. Gak Siauw Eng atau Ma Siauw Eng, puteri mendiang Ma Gi dan Kwei Lan. Seperti diketahui, nyonya janda Ma Gi yang bernama Kwei Lan itu dilarikan oleh perwira Gak Song Ki dan kemudian setelah Siauw Eng terlahir, nyonya janda itu menjadi isteri Gak Song Ki yang tampan dan gagah. Ketika Kwei Lan melihat betapa besar rasa sayang suaminya kepada Siauw Eng, maka ia tidak menaruh hati keberatan ketika Gak Song Ki mengusulkan supaya she anak tirinya itu dirobah, hingga Siauw Eng yang tadinya she Ma, menjadi she Gak. Semenjak kecil, Siauw Eng telah mendapat didikan sastera dari ibunya dan ilmu silat dari ayah tirinya yang dianggapnya ayah tulen itu. Ternyata bahwa Siauw Eng berotak cerdas sekali, terutama dalam pelajaran ilmu silat. Setiap jurus pukulan baru dilatih satu dua kali saja telah dapat dilakukannya dengan gerakan sempurna hingga makin sayanglah Gak Song Ki kepadanya.

Setelah Siauw Eng berusia dua belas tahun, habislah sudah semua kepandaian Gak Song ki dipelajarinya dan dalam usia semuda itu Siauw Eng telah memiliki kepandaian tinggi dan lihai. Melihat kemajuan anak ini dan bakat besar yang dipunyainya, Gak Song Ki lalu mengirim mengirim Siauw Eng ke Gobi-san, ke tempat pertapaan suhunya, yakni Cin San Cu. Pertapa yang sakti ini begitu melihat Siauw Eng, timbul rasa kagumnya karena benar-benar anak ini memiliki bakat besar untuk menjadi seorang pendekar, maka dengan girang ia lalu menerima Siauw Eng menjadi muridnya. Semenjak itu, Gak Siauw Eng tinggal di Gobi-san, ikut suhunya belajar silat tinggi, bahkan ketika Bok San Cu, sahabat baik dan saudara seperguruan Cin San Cu, datang ke Gobi-san dan melihat Siauw Eng, tosu inipun lalu menurunkan kepandaiannya pula.

Dengan semangat dan tekun sekali Gak Siauw Eng mempelajari ilmu pedang Pek Tiauw Kiam Hwat (ilmu pedang rajawali putih) dan Sin Coa Kiam Hwat (ilmu pedang ular sakti) dari Bok San Cu, dan mempelajari ilmu silat tangan kosong dan latihan iweekang dan ginkang dari Cin San Cu. Tentu saja, digembleng oleh dua orang tokoh Gobi-san yang berilmu tinggi ini, Siauw Eng mendapat kemajuan pesat sekali dan ketika ia telah hampir lima tahun belajar ilmu silat di bawah asuhan dua orang guru besar itu, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan lihai sekali.

Sebetulnya, menurut kedua orang suhunya, ia masih harus mematangkan pelajarannya sedikitnya dua tahun lagi, akan tetapi oleh karena Siauw Eng telah merasa rindu sekali kepada ayah bundanya yang telah ditinggalkannya hampir lima tahun lamanya, maka dara itu memohon dan mendesak kedua gurunya untuk memperkenankan ia turun gunung dan pulang ke rumah orang tuanya.

“Muridku, dengan dua macam Kiamhwat yang telah kau pelajari dengan baik itu, kau tak usah takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun,” kata Bok San Cu yang memang memiliki watak sombong dan mengagulkan kepandaian sendiri, “akan tetapi kau harus melatih diri baik-baik karena gerakan-gerakanmu belum sempurna benar, baru delapan bagian yang sempurna.”

“Tentu akan teecu perhatikan, suhu, akan tetapi betul-betulkah tidak akan ada orang yang dapat mengalahkan ilmu pedang teecu ?” tanya Siauw Eng yang semenjak kecil dimanja orang tuanya dan kini dimanja kedua suhunya hingga dara inipun menjadi angkuh dan merasa dirinya paling pintar.

“Kalau ada yang mengalahkan ilmu pedangmu, aku Bok San Cu hendak melihat siapa orangnya ?” kata guru itu membesarkan hati Siauw Eng.

“Siauw Eng,” kata Cin San Cu yang lebih tua dan lebih sabar sikapnya, "betapapun juga, kau jagalah dirimu baik-baik dan jangan sekali-kali memandang rendah kepandaian orang lain karena di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kau pulanglah dan bantulah ayahmu yang menghadapi banyak kesukaran. Sekarang setelah pemerintah telah kembali dalam tangan Kaisar, maka tentu banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh sisa-sisa pemberontak, maka sudah menjadi tugasmu sebagai puteri seorang komandan perwira untuk membantu mengamankan seluruh negeri. Kalau kau bisa membantu dan berjasa, berarti kau telah membalas dan menjunjung tinggi nama kami berdua sebagaiguru- gurumu.”

Siauw Eng menyanggupi dan setelah mendapat berbagai nasehat dari kedua gurunya yang amat sayang kepadanya itu, ia lalu turun gunung. Ia berangkat pagi-pagi benar dan pagi hari yang cerah itu menimbulkan kegembiraan hatinya. Ia merasa girang dan gembira karena kini ia telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan sedang pulang untuk bertemu kedua orang tuanya. Alangkah rindunya kepada kedua orang tua itu, terutama sekali kepada ibunya. Dalam kegembiraannya, Siauw Eng berlari cepat sekali sehingga ia hanya merupakan bayangan merah yang maju cepat dari atas lereng bukit.

Daerah Gobi-san amat luasnya, hingga biarpun Siauw Eng mempergunakan ilmu lari Hui Heng Sut yang tinggi dan dalam sehari saja dapat melalui ratusan li, akan tetapi setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia keluar dari daerah Gobi yang luas.

Ia berjalan terus menuju ke timur dan belum melalui kota besar, baru melalui beberapa buah dusun yang amat kecil sederhana, dusun para petani miskin yang hidup seakan-akan terasing dari kota-kota besar.

Pada suatu hari, Siauw Eng tiba dalam sebuah hutan pohon Siong yang liar dan besar. Ia mendapat keterangan dari penduduk dusun di luar hutan itu bahwa hutan ini amat panjang, lebih dari tiga puluh li jauhnya dan di dalamnya banyak terdapat binatang buas dan kabarnya belum lama ini ada serombongan perampok bersarang di hutan itu. Akan tetapi, Siauw Eng hanya tersenyum saja mendengar penuturan ini dan sama sekali tidak nampak gentar, bahkan ia berkata dengan lagak sombong,

“Kebetulan sekali, lopek, sudah lama aku tidak makan daging naga dan harimau, dan sudah lama pula aku tidak membasmi gerombolan perampok !”

Mendengar ini, orang dusun yang sudah tua itu memandangnya dengan kaget dan heran, kemudian ia berdiri tercengang ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja, tubuh dara baju merah itu telah lenyap dari depannya. Empek-empek ini menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbisik, “Siluman atau bidadarikah ia ?”

Dengan hati tabah, Siauw Eng masuk ke dalam hutan yang memanjang dari barat ke timur. Benar saja, hutan itu liar sekali hingga di situ belum ada jalan kecil atau lorong yang biasa dilalui orang. Terpaksa ia mencabut pedangnya dan membacok roboh semua penghalang berupa rumput-rumput dan tetumbuhan kecil lainnya. Kadang-kadang ia menghadapi jurang yang lebar dan curam karena hutan itu berada di lereng bukit, akan tetapi dengan gesit ia lalu melompati jurang itu.

Hampir setengah hari ia berjalan perlahan karena tak mungkin berjalan cepat di dalam hutan liar itu, akan tetapi ia tidak bertemu dengan seekor binatang buas pun, kecuali beberapa ekor musang dan kelinci yang indah dan banyak sekali burung-burung yang berkicau merdu. Ia tersenyum geli kalau teringat kepada orang dusun tadi yang dianggapnya selalu melebih-lebihkan.

“Memang benar kata suhu,” pikirnya dengan hati geli, “orang tak boleh merasa takut, karena rasa takut menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Mungkin seekor kucing akan kelihatan seperti harimau dan seekor ular biasa kelihatan seperti naga oleh petani yang penakut tadi.”

Sambil masih tersenyum-senyum geli dan menyabet-nyabetkan pedangnya pada serumpun alang-alang yang tinggi dan yang menghadang di depannya, Siauw Eng melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba ia mendengar orang berlari di depan dan ketika ia memandang, ternyata bahwa dari jauh datang tiga orang laki-laki dengan tombak di tangan, dan mereka ini berlari-lari keras bagaikan dikejar setan.

Ketika mereka tiba di dekat tempat Siauw Eng dan melihat banyak pohon di situ, mereka berlumba memanjat pohon yang tinggi sambil membawa tombaknya. Seorang di antara mereka ketika melihat Siauw Eng, cepat berseru,

“Nona, cepat ... ! Lekas kau naik ke pohon ! Macan iblis mendatangi dari sana ! Lekas !”

Akan tetapi, Siauw Eng tidak mau mempedulikan seruan ini dan berdiri dengan tenang sambil menanti datangnya macan iblis yang mereka takutkan itu. Dan tak lama kemudian, datanglah harimau itu dan diam-diam Siauw Eng juga merasa terkejut karena binatang itu sungguh besar dan tinggi seperti seekor lembu muda.”

“Nona panjatlah pohon di dekatmu itu !” kembali pemburu itu berteriak dengan suara gemetar. Mereka itu berpakaian seperti pemburu-pemburu yang gagah, akan tetapi kini melarikan diri dari seekor harimau yang seharusnya diburunya. Sungguh lucu, pikir Siauw Eng, yang diburu memburu dan yang memburu menjadi buruan.

Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan kelucuan ini terlebih jauh oleh karena pada saat itu terdengar auman keras sekali hingga menggetarkan seluruh hutan, bahkan seorang di antara pemburu yang telah duduk dengan amannya di atas cabang tertinggi, hampir terjatuh dari tempat duduknya oleh karena tubuhnya menggigil dan lemas mendengar auman harimau yang dahsyat itu.

Siauw Eng berlaku waspada karena menduga bahwa harimau itu pasti akan menyerangnya dengan sebuah lompatan seperti biasa harimau menyerang. Dulu ia pernah ikut suhunya menangkap seekor harimau hingga tahu akan gerak-gerik penyerangan binatang liar itu, akan tetapi harimau yang ditangkap gurunya dulu tidak ada setengahnya dari harimau yang berdiri dihadapannya sekarang ini. Dugaannya benar karena tiba-tiba harimau itu merendahkan tubuh dan kemudian melompat dengan sebuah terkaman hebat. Agaknya ia hendak merobek tubuh calon mangsa berwarna merah ini dengan sekali terkam.

Akan tetapi, lebih cepat lagi Siauw Eng mengelak dengan sebuah lompatan ke kanan. Sambil melompat, dara itu membalikkan tubuh hingga sebelum harimau itu berbalik, ia telah lebih dulu menghadapi harimau itu dari samping. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia lalu menusuk dengan pedangnya ke arah kaki belakang, akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika tiba-tiba ekor harimau itu menyabet dan hampir saja lengannya yang memegang pedang kena sabet. Ekor itu menyabet keras bagaikan pecut dan melenggak-lenggok bagaikan ular hingga berbahaya sekali. Siauw Eng cepat menarik kembali tangannya dan kini ia lebih berhati-hati pula karena ternyata bahwa macan ini lihai sekali dan pantas saja disebut macan iblis oleh pemburu-pemburu itu.

Sementara itu, ketika harimau tadi menerkam, ketiga orang pemburu yang berada di atas pohon telah menutup mata masing-masing karena mereka tidak tega melihat betapa tubuh gadis baju merah yang luar biasa cantiknya itu dirobek-robek oleh kuku dan gigi harimau. Akan tetapi, ketika tidak terdengar sesuatu, mereka merasa heran dan membuka mata. Alangkah heran dan girang hati mereka ketika melihat betapa Siauw Eng masih hidup dan masih menghadapi harimau itu dengan pedang di tangan dan dengan sikap tenang. Ternyata dara baju merah itu telah berhasil mengelakkan diri dari terkaman macan yang mereka takuti itu. Luar biasa sekali ! Mereka lalu duduk dan menonton pertempuran yang terjadi dan kini terbukalah mata mereka karena heran dan takjub melihat sepak terjang Siauw Eng.

Gadis baju merah itu loncat sana loncat sini dengan amat lincahnya, mempermainkan harimau itu dan mengelak dari setiap terkaman dan sambaran kaki harimau, bahkan kadang-kadang mencibirkan bibirnya yang manis, tertawa-tawa mengejek dan meniru-niru geraman binatang yang makin lama makin panas dan marah itu. Dengan terkaman yang dahsyat, yakni mengembangkan keempat kakinya ke kanan ke kiri dan tubuhnya ditekuk hingga dapat digerakkan pula mengikuti ke mana korbannya hendak mengelak. Inilah terkaman luar biasa hebatnya karena apabila Siauw Eng mengelak, tentu harimau itu sebelum turun dapat melanjutkan terkamannya dan mengubah luncuran tubuhnya. Agaknya tiada jalan lagi bagi Siauw Eng dan untuk balas menyerang, seakan-akan ia hanya akan mengadu jiwa. Ketiga orang pemburu sudah menahan napas karena melihat betapa harimau itu menubruk hebat dan dara baju merah itu masih belum bergerak seperti orang ragu-ragu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Siauw Eng berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, lebih tinggi dari lompatan harimau itu. Tentu saja hal ini membuat harimau itu tidak berdaya karena tak mungkin ia menggerakkan tubuhnya berbalik ke atas, dan sebelum keempat kakinya kembali ke atas tanah, tiba-tiba ia merasa ekornya sakit sekali. Ia mengaum keras dan memutar-mutar tubuhnya cepat sekali seakan-akan hendak menggigit ekor sendiri, dan ternyata bahwa ekornya yang panjang itu telah terpotong di tengah-tengah oleh sabetan pedang Siauw Eng yang dilakukan ketika ia masih berada di udara dan pada saat harimau itu tidak menyangka.

Setelah kehilangan ekornya, gerakan harimau itu tidak sehebat tadi dan kegesitannya banyak berkurang. Agaknya selain merasa sakit, iapun mulai jerih menghadapi makhluk warna merah yang luar biasa ini. Tubrukannya makin lemah dan jarang, sedangkan aumnya juga berbeda, seringkali ia berdiri saja sambil menggerak-gerakkan kepala seperti sedang ketakutan.

Akan tetapi Siauw Eng tidak mau memberi hati kepadanya dan kini dara ini balas menyerang dengan pedangnya. Hebat sekali serangannya dan harimau itu tidak kuasa mengelak lagi. Sambil mengaum keras yang berbunyi seperti keluhan, harimau itu roboh miring ketika pedang Siauw Eng memasuki dada dan tepat mengiris jantungnya. Setelah berkelonjotan beberapa kali, harimau yang besar dan buas dan yang telah makan banyak manusia itu mati. Terdengar seruan-seruan kaget dari atas pohon karena sungguh mati ketiga orang pemburu itu tak pernah menyangka bahwa seorang gadis muda sehalus dan secantik itu dapat membunuh harimau iblis itu seorang diri dengan pedang dan dalam waktu sedemikian cepatnya. Mereka melorot turun dari pohon dan berdiri memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Kemudian, serta merta ketiga orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Eng. Mereka menghaturkan banyak terima kasih sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Siauw Eng tersenyum geli dan berkata dengan suara bangga karena penghormatan ini ? “Mengapa kalian menghaturkan terima kasih ? Biarpun harimau ini tidak kubunuh, ia juga tak dapat mengganggu kalian yang berada di atas pohon !”

“Lihiap tidak tahu, bukan saja lihiap telah menolong jiwa kami bertiga, bahkan lihiap telah menolong keselamatan jiwa orang sekampung kami.”

Siauw Eng merasa heran dan lalu minta diberi penjelasan.

“Kami bertiga tinggal di kampung sebelah selatan hutan ini dan pekerjaan kami adalah pemburu. Boleh dibilang semua orang laki-laki di kampung kami adalah pemburu-pemburu yang mencari penghasilan dengan jalan memburu binatang di hutan ini. Dengan banyaknya binatang di hutan luas ini, maka untuk beberapa lama keadaan kami cukup dan hasil-hasil buruan dapat kami jual ke kampung lain.Akan tetapi, baru kira-kira sebulan ini, muncullah harimau besar ini yang tidak saja mengganggu keamanan, bahkan telah membunuh mati tiga orang kawan kami dan bahkan berani menyerang sampai ke kampung kami dan menerkam seorang anak kecil. Semenjak ada harimau ini, maka kami tidak berani memburu terlalu jauh di dalam hutan hingga penghasilan kami banyak berkurang. Maka, kini lihiap telah membunuh binatang ini, bukankah itu berarti lihiap telah menolong jiwa kami sekampung ?” Kembali ketiga orang itu berlutut dan menghaturkan terima kasih.

Bangga sekali hati Siauw Eng mendengar ini. Baru saja turun gunung, ia telah dapat menolong jiwa orang sekampung. Alangkah bangga dan senangnya kalau kedua suhunya mendengar tentang hal ini.

“Apakah selain harimau ini masih ada lagi binatang lain yang mengganggu kalian ?” tanyanya.

Ketiga orang pemburu itu saling pandang dan agaknya ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi kemudian yang tertua di antara mereka berkata,

“Lihiap, ada sebuah bencana yang telah lama mencekik leher kami akan tetapi yang sebetulnya tak berani kami ceritakan kepada siapapun juga. Namun, melihat kegagahan lihiap, kami sangat mengharapkan pertolongan lihiap untuk tidak tanggung-tanggung menolong kampung kami hingga kalau saja lihiap dapat menolong kami bebas dari gangguan yang satu ini, sampai tujuh keturunan kami akan menjunjung tinggi nama lihiap yang mulia.”

Berseri sepasang mata Siauw Eng yang indah itu. “Coba lekas katakan, siapa dan apa yang mengganggu agar dapat kubasmi sekarang juga.”

Kemudian orang itu menuturkan seperti berikut. Di sekitar hutan itu terdapat beberapa buah dusun yang biarpun kecil dan sederhana, namun cukup makmur karena banyak penghasilan didapat di daerah itu. Setiap dusun mempunyai seorang kepala kampung sendiri yang dipilih oleh orang sedusun dan biasanya yang diangkat menjadi kepala kampung adalah orang tertua dan terkaya. Akan tetapi, kurang lebih setengah tahun yang lalu, di daerah ini datang seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mengaku di utus oleh Kaisar untuk mengepalai daerah itu. Oleh karena ia tidak membawa bukti-bukti dan tanda-tanda ia benar-benar utusan Kaisar, tentu saja orang-orang dusun itu tidak percaya sehingga timbul perkelahian. Akan tetapi, ternyata bahwa orang yang bernama Ci Lui itu amat kosen dan tak seorangpun di antara semua pemburu dan penduduk di daerah itu dapat melawannya. Akhirnya, dengan menggunakan kekerasan, semua orang terpaksa menurut dan tunduk hingga Ci Lui mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin atau kepala dari daerah itu. Ia mengharuskan kepada setiap lurah untuk memberi bagian pajak yang besar kepadanya yang katanya harus dikirimkan ke kota raja, pada hal semua orang dapat menduga bahwa hasil perasan itu masuk kantongnya sendiri. Ia membuat semua rumah gedung di sebuah dusun dan mengawini lebih dari lima orang gadis dusun yang tercantik. Pendeknya, setelah mengangkat diri dengan paksa menjadi kepala daerah di situ, Ci Lui hidup seperti seorang raja dan tak seorangpun berani menentangnya.

“Sebetulnya kami tidak berani menceritakan ini kepada lihiap oleh karena kalau sampai terdengar oleh kepala kampung, kami tentu akan mendapat hukuman. Semua kepala kampung takut sekali kepadanya dan kami tidak berdaya karena memang tidak kuat melawan dia. Kalau lihiap berani dan berhasil menghalau penghalang yang satu ini, tidak saja sekampung kami, bahkan seluruh penduduk di daerah ini akan berterima kasih sekali kepada lihiap.”

“Bangsat betul manusia itu !” Siauw Eng mencaci maki. “Mari kau tunjukkan di mana rumahnya padaku agar aku dapat memotong kedua telinganya !”

Girang sekali hati ketiga orang pemburu itu mendengar akan kesanggupan ini dan mereka lalu mengajak Siauw Eng pergi ke dusun tempat tinggal mereka. Sambil memanggul bangkai macan yang berat itu hingga terpaksa mereka memanggul dan menggotongnya bergantian, mereka dengan wajah girang mengantar Siauw Eng.

Penduduk kampung yang melihat bahwa harimau siluman telah dapat dibunuh, menyambut dengan girang sekali, bahkan ada yang mencucurkan air mata karena girang dan terharunya. Dan dipimpin oleh kepala kampung yang sudah lanjut usianya, semua penduduk lalu berlutut di depan Siauw Eng. Bukan main bangga hati Siauw Eng karena benar saja seperti yang dikatakan oleh ketiga orang pemburu tadi, semua orang kampung menghormat dan menyatakan terima kasihnya dengan sungguh-sungguh dan dengan terharu. Ketika kepala kampung menanyakan nama, dara itu menjawab, “Namaku adalah Siauw Eng, she Gak dan aku datang dari Gobi-san.”

“Kalau begitu, siocia pantas disebut Gobi Ang Sianli (Bidadari Merah Dari Gobi),” kata kepala kampung itu dengan suara keras hingga semua orang kampung bersorak girang menyatakan persetujuan mereka. Siauw Eng dengan muka kemerah-merahan dan mata berseri-seri menjawab,

“Kalau memang kalian hendak menyebutku demikian baiklah mulai sekarang aku memakai julukan Gobi Ang Sianli.” Kembali semua orang bersorak dan pada malam hari itu semua orang dalam keadaan pesta pora dan semua mendapat bagian daging harimau yang mereka benci itu. Bahkan, untuk membalas sakit hati anak-anak, anak kecilpun diberi makan sedikit daging harimau. Akan tetapi, Siauw Eng yang mendengar bahwa harimau itu telah banyak makan manusia, menjadi jijik dan tidak mau ikut makan.

Ketika ketiga orang pemburu yang bertemu dengan Siauw Eng di dalam hutan menceritakan kepada kepala kampung bahwa nona pendekar itu hendak membasmi Ci Lui, ia menjadi pucat sekali dan segera menghadap Siauw Eng.

“Lihiap,” katanya dengan gemetar, “Kuharap lihiap jangan sampai mengganggu orang she Ci itu sungguhpun tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hatiku selain melihat manusia itu mampus sekarang juga.”

Siauw Eng memandang heran. “Eh, kau ini aneh sekali, lopek. Kau ingin melihat dia mampus akan tetapi melarang orang mengganggunya, bukankah ini bertentangan sekali ?”

“Lihiap, orang itu datang dari kota raja dan agaknya ia berpengaruh sekali di sana. Kalau sampai ia diganggu dan kemudian hal ini terdengar oleh para pembesar, bukankah kampung kita akan mendapat hukuman berat ?”

Siauw Eng tertawa dan menjawab, “Lopek, jangan kuatir. Ketahuilah, aku sendiri adalah orang yang tinggal di ibukota Tiang-an dan bahkan ayahku adalah seorang perwira, seorang komandan yang memimpin pasukan besar, maka apakah yang harus ditakutkan menghadapi seorang penipu rendah seperti orang she Ci itu ?”

Mendengar ini, kepala kampung segera berlutut dengan hormatnya, “Ah, tidak tahunya lihiap adalah puteri seorang pembesar tinggi.”

Biarpun hatinya merasa bangga dan senang, namun Siauw Eng merasa tak enak juga melihat kepala kampung yang tua itu berlutut di depannya.

“Sudahlah, lopek. Besok pagi saja antarkan aku menemui orang itu, hendak kulihat sampai di mana kebusukkannya.”

Berita tentang kenyataan bahwa nona baju merah yang gagah perkasa itu puteri seorang pembesar tinggi, membuat semua orang makin tunduk menghormat dan kagum. Pada keesokkan harinya, dengan diantar oleh serombongan pemburu karena kepala kampung sendiri tidak berani mengantarnya, Siauw Eng dengan langkah gagah menuju ke dusun di mana tinggal Ci Lui yang memiliki sebuah rumah gedung besar.

Orang she Ci ini keluar sendiri menyambut kedatangan serombongan pemburu yang disangkanya hendak memberi hadiah hasil buruan seperti biasanya karena memang banyak orang yang menjilat dan berusaha mengambil hatinya. Akan tetapi ia heran sekali melihat bahwa rombongan pemburu itu tidak membawa hasil buruan, dan melihat pula bahwa mereka itu mengikuti seorang nona baju merah yang bersikapgagah dan wajahnya cantik luar biasa.

Sebaliknya Siauw Eng yang mendapat bisikan bahwa orang tinggi besar yang keluar dari gedung itu adalah Ci Lui sendiri, lalu melangkah maju dengan tindakan kaki lebar dan setelah berdiri di depan Ci Lui, ia menuding,

“Kau kah manusia jahanam yang bernama Ci Lui ?”

Bukan main marah dan terkejutnya Cilui mendengar betapa nona cantik ini datang-datang memakinya manusia jahanam. Matanya yang bundar itu bergerak-gerak berputar-putar dan sambil bertolak pinggang ia membentak,

“Perempuan hina dina yang mau mampus. Siapa kau dan dari mana kau datang ? Hai, kalian membawa orang liar ini dari manakah ? Dan apa maksud kalian ? Awas, hal ini tentu akan kulaporkan kepada kota raja dan kalian tentu akan dihukum sebagai pemberontak-pemberontak jahat !”

Semua pemburu ketakutan dan menundukkan kepala tanpa berani bergerak. Akan tetapi Siauw Eng memperdengarkan suara sindiran sambil tertawa.

“Gertak samabal segala bajungan kecil mana dapat menakutkan aku ? Eh, keparat, kalau kau memang benar seorang utusan Kaisar dari kota raja, kenalkah kau kepada seorang perwira bernama Gak Song Ki?”

Ci Lui tertawa dan membelalakkan matanya. “Mengapa tidak kenal ? Aku kenal baik Gak-ciangkun itu. Bukankah ia yang tinggal di sebelah selatan kota dan memiliki rumah gedung yang bercat kuning ?”

Siauw Eng terkejut juga, akan tetapi dengan suara gagah ia bertanya lagi, “Kalau kau kenal baik dengan Gak Ciangkun, tentu kau tahu pula bahwa dia mempunyai seorang puteri yang gagah ?”

“Puterinya ...... ?” Ci Lui ragu-ragu dan bingung. “O, ya, ya aku tentu saja kenal puterinya itu yang

gagah.”

“Hm, bangsat rendah pembohong tolol. Akulah puteri Gak ciangkun yang datang hendak menghukummu !” kata Siauw Eng sambil mencabut pedangnya.

“Bagus ! Kau perampok wanita dari mana dan siapakah namamu ?” teriak Ci Lui dengan marah pula dan ketika tangannya meraba ke belakang punggung, iapun telah mengeluarkan sebatang pedang tajam.

“Dengarlah baik-baik. Aku adalah Gak Siauw Eng yang berjuluk Gobi Ang Sianli !” Sambil berkata demikian, secepat kilat Siauw Eng lalu maju menyerang yang dapat ditangkis oleh Ci Lui dan dibalas dengan serangan hebat. Dan keduanya lalu bertempur dengan seru dan mati-matian.

Ci Lui sebetulnya adalah seorang penjahat yang berkepandaian tinggi. Ia pernah menjadi perampok dan belum lama ini ia bergelandangan di kota raja, bercampur gaul dengan semua buaya dan penjahat, bahkan pernah menjadi tukang pukul seorang pangerandi kota raja. Oleh karena ini, sedikit banyak ia kenal atau tahu tentang para pembesar dan perwira di kota raja. Ilmu silatnya cukup lihai, terutama ia telah mempelajari ilmu pedang Thai kek yang boleh juga, biarpun hanya dipelajarinya secara menjiplak dan bukan langsung dari seorang tokoh Thai Kek.

Akan tetapi, kini ia menghadapi Siauw Eng, anak murid Gobi tulen yang baru saja turun gunung setelah mendapat gemblengan hebat bertahun-tahun di bawah pimpinan ayahnya yang gagah, kemudian hampir lima tahun di bawah pimpinan Cin San Cu dan Bok San Cu. Setelah mencoba dengan dengan segala tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak Siauw Eng, akhirnya Ci Lui terpaksa mengakui kelihaian gadis baju merah itu dan ia terdesak hebat tanpa dapat melakukan serangan balasan lagi. Siauw Eng mempercepat gerakan pedangnya dan dengan teriakan keras, “Lepaskan telinga kananmu

?” pedangnya menyambar dan Cilui menjerit kesakitan ketika ujung pedang Siauw Eng membabat dan membikin daun telinganya putus.

Sambil mendekap telinga kanan yang kini tidak berdaun lagi serta mengeluarkan banyak darah itu, Ci Lui menyerang lagi dengan nekad dan mati-matian, akan tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat pedangnya terlepas dari pegangan dan tendangan kedua membuat ia tak kuasa berdiri karena sambungan lututnya kena tendang.

Siauw Eng menggerak-gerakan pedangnya dan berkata,

Sekarang kau mengakulah bahwa kau hanya seorang penipu rendah dan bahwa kau sama sekali bukan seorang utusan Kaisar. Baru aku mau mengampuni jiwamu.”

Sementara itu, semua orang kampung yang melihat bahwa musuh besar yang diam-diam mereka benci itu telah mendapat hajaran hebat, makin lama makin banyak berkumpul dan orang-orang dusun lain juga berdatangan berikut kepala-kepala kampung mereka. Mereka ini lalu berseru dan berteriak-teriak, “Bunuh saja penipu ini !”

“Nah, kau mendengar itu ? Ayoh membuat pengakuan !” bentak Siauw Eng lagi.

Terpaksa Ci Lui lalu merayap berdiri dan berkata dengan suara lemah. “Aku aku memang bukan

utusan siapa-siapa ”

Orang-orang berteriak marah dan para pemburu mengangkat tombak hendak menyerang Ci Lui, akan tetapi Siauw Eng mengangkat tangan ke atas mencegah, “Jangan bunuh dia, aku telah memberi janjiku

!”

“Lihiap, dia terlalu jahat, pantas mendapat hukuman mati !” teriak seorang kepala kampung dengan marah.

“Hukumannya terlalu ringan !” teriak orang lain.

“Siauw Eng lalu membentak Ci Lui, “Kau tidak lekas minggat dari sini ?”

Mendengar ini, sambil memegang tempat di mana telinganya tadi berdiri, Ci Lui lalu berkata kepada Siauw Eng, “Lain kali kita bertemu pula !” Lalu ia melarikan diri secepatya meninggalkan tempat itu.

Orang-orang yang berkumpul dari beberapa dusun itu dengan girang sekali lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Siauw Eng dan setelah gadis gagah ini memberi nasehat agar harta benda Ci Lui dibagi-bagi di antara mereka dengan adil dan memperlakukan serta menolong bekas

isteri-isteri penipu itu dengan baik pula, lalu pergi meninggalkan dusun itu. Benar sebagaimana ramalan ketiga orang pemburu yang dulu bertemu dengan Siauw Eng, nama gadis ini sebagai Gobi Ang Sianli, dipuji-puji dan dikenang oleh para penduduk dusun-dusun di daerah itu sampai beberapa turunan.

Bagian 08. Pemuda Berbaju Putih

Beberapa pekan kemudian, Siauw Eng mulai melalui kota-kota besar hingga menggembirakan hatinya karena sudah lama sekali ia tidak pernah melihat kota-kota besar dengan rumah-rumah dan bangunan- bangunan indah. Akan tetapi, berbeda dengan ketika ia melewati dusun-dusun, kini hampir semua mata memandangnya dengan kagum dan bahkan pandangan mata orang-orang muda yang melihatnya di dalam kota membuat ia mendongkol sekali oleh karena pandangan itu mengandung maksud kurang ajar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa hal itu bukanlah semata-mata salahnya para pemuda itu, akan tetapi oleh karena kecantikannya memang menyolok mata sekali.

Pada masa itu, sukar sekali melihat gadis cantik oleh karena para gadis jarang meninggalkan kamar dan apabila mereka keluar selalu tentu naik joli yang menutupi seluruh tubuh mereka. Banyak juga wanita-wanita kangouw yang melakukan perjalanan, akan tetapi belum pernah ada wanita secantik Siauw Eng yang berjalan di jalan umum dan terlihat oleh setiap orang.

Ketika pertama kali memasuki kota dan dipandang sedemikian rupa oleh orang-orang yang bertemu di jalan, memang ia merasa bangga dan senang, akan tetapi lambat laun karena terlalu banyak orang memandangnya, dengan kagum, ia menjadi jemu dan bosan.

Maka ia lalu buru-buru mencari sebuah hotel di tengah kota. Seorang pelayan yang telah agak tua usianya menyambutnya dan pelayan yang peramah ini lalu mempersilakannya memilih kamar. Ketika melihat betapa pandang mata pelayan tua ini sama saja dengan orang-orang di kota, Siauw Eng tidak tahan lagi untuk tidak menegur.

“Eh, Lopek ! Kau ini sudah tua akan tetapi pandangan matamu sama saja dengan orang-orang lelaki muda yang kurang ajar. Agaknya semua lelaki di dalam kota ini memang kurang ajar dan tidak sopan.”

Mula-mula pelayan itu terkejut mendengar teguran ini, akan tetapi ia lalu tersenyum geli dan sambil membongkok-bongkokkan tubuhnya ia berkata, “Maaf, li-enghiong (pendekar wanita), memang kau ini luar biasa sekali. Aku memang kagum padamu, akan tetapi jangan salah sangka, lihiap, kekagumanku berbeda dengan kekaguman orang lain. Biarpun aku juga kagum melihat lihiap yang cantik seperti bidadari ini, akan tetapi aku lebih mengagumi keberanian dan kegagahanmu.”

Siauw Eng senang mendengar omongan pelayan yang suka ngobrol ini, maka setelah ia mendapatkan sebuah kamar yang menyenangkan, lalu ia bertanya lagi, “Bagaimana kau dapat mengagumi keberanian dan kegagahanku kalau kau belum menyaksikannya sendiri ?”

“Li-enghiong, dengan berjalan seorang diri dan membiarkan dirimu yang cantik jelita ini kelihatan oleh umum, sudah termasuk keberanian luar biasa sekali. Jangankan diperlihatkan kepada umum, sedangkan yang disimpan-simpan juga didatangi dan dicuri orang.”

Siauw Eng terkejut dan heran karena ia tidak mengerti apa maksudnya.

Kemudian dengan suara perlahan dan dengan muka menunjukkan ketakutan, pelayan tua itu lalu menceritakan bahwa di dalam kota itu telah terjadi kejahatan-kejahatan mengerikan, yakni bahwa telah beberapa pekan ini kota itu diganggu oleh seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya mengganggu anak bini orang secara kejam sekali. Dua orang gadis telah tewas dipenggal lehernya karena gadis itu berteriak minta tolong ketika ia datang di malam hari untuk mengganggu.

Bukan main marahnya hati Siauw Eng mendengar penuturan ini, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu. Setelah hari menjadi malam, Siauw Eng lalu mengenakan pakaian ringkas dan dengan hati-hati ia membuka jendela kamarnya dan melompat naik ke atas genteng. Ia bermaksud untuk mencari dan membekuk penjahat yang telah membuatnya marah sekali itu. Penjahat semacam itu harus dihukum mati pikirnya dengan gemas.

Malam itu kebetulan malam terang bulan dan langit bersih dari awan hingga keadaan cukup terang. Ketika ia sedang berlari-lari di atas genteng rumah-rumah orang dengan gerakan demikian gesit dan ringan bagaikan seekor kucing, tiba-tiba ia melihat di atas genteng agak jauh dari situ berkelebat bayangan putih yang gesit sekali. Berdebarlah hati Siauw Eng karena ia merasa pasti bahwa itulah penjahat yang dicari-carinya. Karena gemasnya ia lalu mencabut pedangnya dan mempercepat gerakannya mengejar bayangan itu. Ia merasa heran mengapa penjahat itu demikian beraninya, memakai pakaian warna putih, tidak seperti penjahat biasa yang lebih sering mengenakan pakaian warna hitam.

Akan tetapi, gerakan bayangan putih itu cepat sekali hingga sebentar saja lenyap dari pandangan matanya. Siauw Eng merasa penasaran dan mencari-cari. Tiba-tiba bayangan itu muncul lagi di atas rumah lain yang tak berapa jauh letaknya dari tempat di mana ia berada, maka Siauw Eng lalu melompat dan mengejar. Tadinya Siauw Eng hendak mengintai dan melihat apa yang akan dilakukan oleh bayangan itu untuk mendapat kepastian bahwa bayangan itu memang benar penjahat yang dicarinya, akan tetapi melihat bahwa bayangan itu gesit sekali gerakkannya, maka ia kini ingin menyusul dan langsung menyerang.

Bayangan putih itu agaknya telah melihatnya, karena ia berpaling dan kemudian melarikan diri cepat sekali menuju ke luar kota. Siauw Eng merasa penasaran dan mengejar. Ketika orang yang dikejarnya melompat turun, iapun melompat turun dan mengerahkan ilmu jalan cepat terus mengejar. Setelah tiba di luar kota dan berada di jalan dekat sawah, tiba-tiba bayangan itu berhenti dan menanti Siauw Eng sambil bertolak pinggang. Siauw Eng mempercepat larinya dan mempererat pegangan pedangnya, dan setelah tiba dihadapan bayangan itu, ia melihat dengan tercengang bahwa orang itu adalah seorang laki-laki yang masih muda dan yang mempunyai wajah cakap dan tampan sekali. Pakaiannya berwarna putih dan sederhana sekali, sedangkan kakinya mengenakan sepatu berlapis besi di bawahnya.

Rambutnya diikat ke atas dengan sehelai kain putih, dan pada ikat pinggangnya yang berwarna kuning itu tergantung sebuah kantung piauw. Di punggungnya nampak gagang pedang beronce benang merah emas. Sungguh seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi Siauw Eng tidak mempedulikan ketampanan atau kegagahan orang, segera langsung menyerang dengan pedangnya dan membentak,

“Bangsat rendah. Bersedialah untuk mampus untuk menebus dosamu !”

Melihat sambaran Pedang Siauw Eng yang amat berbahaya itu, pemuda baju putih ini cepat mengelak dan berkata perlahan. “Hm, garang sekali !”

Siauw Eng cepat menyerang lagi dan karena gerakan pedangnya memang cepat dan luar biasa, pemuda itu lalu mencabut pedangnya pula dan sebentar saja keduanya lalu bertarung dengan hebat. Siauw Eng terkejut sekali karena setelah bertempur belasan jurus, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang lawannya ini tinggi dan luar biasa sekali hingga sama sekali ia tidak dapat mendesak. Maka ia lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu pedang Sin Coa Kiam hwat yang mempunyai gerakan- gerakan lihai dan tak terduga, seakan-akan serangan ular yang bersembunyi dibawah rumput.

Pemuda itu mengeluarkan seruan kagum. Ia tidak menyangka bahwa gadis muda berpakaian merah ini demikian lihai, sedangkan tadinya ia memandang rendah. Ketika tadi berlari-larian di atas genteng, ia mendapat kenyataan bahwa orang baju merah yang mengejarnya itu walaupun memiliki ginkang yang cukup sempurna, namun masih belum dapat mengatasi ginkangnya sendiri, maka ia memandang rendah dan sengaja menanti. Tak diduganya sama sekali bahwa orang berbaju itu adalah seorang anak gadis jelita yang begini kosen. Oleh karena ia memang hendak mencoba kepandaian orang, maka setelah melihat bahwa ilmu pedang Siauw Eng benar-benar tangguh dan kalau dilawan tentu akan sukar menjatuhkannya, maka tiba-tiba pemuda itu berkata,

“Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berlatih pedang dengan kau !” Pedangnya lalu diputar hebat sekali sehingga mengeluarkan cahaya berkilauan dan memaksa Siauw Eng melompat mundur dengan kaget, akan tetapi saat itu digunakan oleh pemuda tadi untuk melompat pergi.

“Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana ?”

“Mulutmu busuk sekali, datang-datang mengobral makian !” jawab pemuda itu sambil menoleh dan terus berlari menegur.

“Bangsat kurang ajar, pengecut hina dina,” Siauw Eng memaki lagi sambil terus mengejar.

Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memutar tubuh. “Apa ? Kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi makian pengecut hina dina itu tak dapat kuterima !” katanya marah sambil menangkis serangan Siauw Eng dengan pedangnya.

“Memang kau pengecut hina dina ! Beraninya hanya mengganggu wanita lemah dan kalau bertemu wanita gagah lalu melarikan diri !” bentak Siauw Eng sambil terus menyerang lagi.

“Eh, eh, nona galak. Tahan dulu ! Kau ini memaki siapakah ?” “Memaki kau, siapa lagi ?”

“Apa salahku ?”

“Kau penjahat Jai-hwa-cat tak tahu diri. Sudah menjadi penjahat masih berpura-pura lagi.”

“Eh, eh, buka dulu lebar-lebar matamu dan lihat sedang berhadapan dengan siapa ? Aku Ong Cin Pau selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi menjadi Jai-hwa-cat

“Bohong ! Buktikan kalau kau memang bukan Jai-hwa-cat !” seru Siauw Eng. Tentu saja pemuda itu tak dapat membuktikannya, maka ia lalu tertawa dan menjawab, “Kau berlagak pintar akan tetapi sebenarnya goblok sekali ! Coba kau sekarang yang buktikan kalau aku benar-benar seorang penjahat busuk.”

“Buktinya kau gentayangan di malam buta di atas rumah orang,” jawab Siauw Eng. “Dan kau sendiri juga berkeliaran di atas rumah orang pada waktu yang sama.”

Marah sekali gadis itu. “Kau kau pandai memutar lidah. Kau penjahat busuk hina dina !”

Sambil memaki-maki dengan marah sekali Siauw Eng lalu menyerang lagi dengan hebatnya, akan tetapi pemuda itu melawan dengan baiknya dan ternyata bahwa ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali.

“Sudahlah, kau gadis bodoh kurang pengalaman yang bisanya hanya menuduh orang secara membuta. Apa kaukira kau sendiri saja yang cukup gagah dan berani menangkap penjahat ? Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi !” Kemudian ia lalu melompat cepat dan ketika Siauw Eng mengejar, pemuda itu lari masuk ke dalam sebuah hutan.

Siauw Eng merasa penasaran sekali. Menurut kebiasaan orang-orang gagah, juga menurut nasehat guru-gurunya, seorang lawan yang telah lari ke dalam hutan tak boleh dikejar, oleh karena hal ini berbahaya sekali. Akan tetapi Siauw Eng yang marah dan penasaran tidak memperdulikan pantangan ini dan terus mengejar masuk ke dalam hutan.

******

Pemuda yang berpakaian serba putih, berwajah tampan dan berkepandaian tinggi itu memang benar Ong Cin Pau, putera Lin Hwa dan mendiang Khu Tiong yang telah diambil murid oleh Bu Eng Cu Tiauw It Lojin si Tanpa Bayangan dan di bawa ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah bukit di pegunungan Kunlun-san sebelah utara.

Lin Hwa, ibu Cin Pau, setelah berpisah dari Kong Sian dengan hati patah dan hancur, lalu kembali ke Kunlun-san dan akhirnya dapat mencari tempat tinggal Bu Eng Cu dan diperkenankan tinggal bertapa di sebuah gua, mendekati puteranya dan hidup mengasingkan diri di puncak Kunlun-san itu. Cin Pau mendapat gemblengan ilmu silat dari Tiauw It Lojin selama belasan tahun, dari usia empat tahun sampai tujuh belas tahun. Dan ketika ia telah berusia tujuh belas tahun, ibunya yang kini telah menjadi seorang pertapa itu, lalu menceritakan kepadanya tentang riwayat hidupnya yang penuh penderitaan.

Bukan main hancurnya hati Cin Pau mendengar penuturan ini. Tadinya ia masih menyangka bahwa ayahnya adalah Kong Sian yang baik hati itu dan yang tetap dianggapnya sebagai ayah sendiri.

“Kong Sian bukanlah ayahmu, pau-ji (anak Pau), dia itu adalah pamanmu karena ia adalah sute dari ayahmu. Akan tetapi dia baik sekali, anakku, dialah orang termulia dalam dunia ini setelah ayahmu. Kita berhutang budi kepadanya dan boleh dibilang bahwa kita dapat hidup sampai sekarang ini berkat jasa dan pertolongannya.” Kemudian dengan panjang lebar Lin Hwa menceritakan betapa Un Kong Sian telah membelanya mati-matian ketika dikejar oleh para perwira kerajaan.

“Dimana dia sekarang, ibu ? Mengapa pula ia yang begitu baik telah meninggalkan kita di sini ?”

Ibunya tersenyum. “Tentu saja dia harus pergi, anak bodoh. Dia mempunyai rumah tangga sendiri di Tiang-an, di rumahnya menunggu seorang ibu yang sudah tua dan seorang isteri yang setia.”

“Dan di mana makam ayah dan Ma susiok yang terbinasa oleh perwira-perwira kerajaan itu, ibu ?”

“Aku sendiri juga tdak tahu, anakku. Dulu ayahmu dan saudara seperguruannya itu dikepung dalam sebuah hutan di luar kota raja. Hal ini kiraku hanya Un Kong Sian yang dapat memberi keterangan karena dia itu tahu akan segala peristiwa dengan jelas.”

Cin Pau termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Ibu, anak mau turun gunung !” Ibunya terkejut, “Eh, mengapa begitu tiba-tiba ? Hendak ke mana ?” “Beritahukan kepadaku, ibu, kepada siapa aku harus menuntut balas atas kematian ayah dan Ma- susiok!” katanya dengan gagah.

Ibunya menghela napas dan menjawab, “Tidak ada gunanya segala balas membalas itu, nak. Dulu ibumu memang merasa penasaran sekali dan ingin menghancurkan setiap perwira kerajaan. Akan tetapi sekarang aku dapat melihat bahwa tak baik menuruti hawa nafsu. Perwira kerajaan demikian banyaknya dan aku tidak tahu senjata dan tangan siapa yang melayangkan nyawa ayahmu. Tidak mungkin dan tidak seharusnya kalau kita menaruh dendam kepada setiap perwira kerajaan, karena masih kuingat bahwa di antara para perwira itu, banyak pula yang gagah dan budiman. Kakekmu dan kakek she Ma dikhianati oleh pangeran Gu Mo Tek hingga keluarga kita dan keluarga Ma hancur binasa oleh para perwira yang hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar yang juga hanya karena sudah seharusnya membasmi mereka yang memberontak terhadapnya. Jadi pada hakekatnya, sakit hati hanyalah terhadap pangeran Gu saja dan ayah serta susiokmu telah berhasil membalas dendam itu dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek. Kalau kuingat-ingat, aku merasa menyesal sekali mengapa ayah dan susiokmu itu juga membunuh kedua putera pangeran Gu karena kuanggap mereka tidak berdosa.” Kembali Lin Hwa menghela napas dan diam-diam ia merasa khawatir karena ia maklum pula bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, isteri kedua putera pangeran itu, yang seorang telah mempunyai anak dan yang kedua telah mengandung.

Mendengar kata-kata ibunya yang panjang lebar itu, Cin Pau menundukkan kepalanya dan biarpun ia masih muda, namun ia telah menerima banyak pelajaran batin baik dari ibunya maupun dari suhunya, maka pandangannya luas dan ia dapat membenarkan pendapat ibunya ini.

“Kalau begitu, biarlah anak turun gunung untuk mencari makam ayah dan untuk menghaturkan terima kasih kepada  Un Kong Sian susiok !”

“Memang seharusnya kau pergi mencari makam ayahmu, nak, dan kalau sudah tahu di mana tempatnya, kelak akupun ingin sekali melihatnya. Akan tetapi, kau harus mendapat perkenan dari suhumu lebih dulu.”

Cin Pau lalu kembali ke tempat pertapaan Tiauw It Lojin untuk minta perkenan dari gurunya ini.

Tiauw It Lojin tersenyum dan pertapa yang sudah tua ini lalu berkata, “Cin Pau, memang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung. Akan tetapi, kau harus mampir dulu di tempat pertapaan Beng Hong Tosu di puncak selatan itu. Dulu aku pernah berjanji bahwa apabila kau telah tamat belajar di sini, kau akan ku kirim kepadanya untuk menerima satu dua macam pelajaran darinya. Ketahuilah, Beng Hong Tosu adalah suhu dari mendiang ayahmu. Ia seorang jago Kunlun yang tinggi ilmu silatnya.”

Cin Pau sudah pernah melihat Beng Hong Tosu, karena selain dulu ketika masih kecil dan datang bersama ibunya ia pernah melihat pendeta itu, juga telah dua kali semenjak ia tinggal di pegunungan Kunlun, tosu itu datang mengunjungi Tiauw It Lojin untuk bermain catur.

Setelah berpamit dari suhunya dan ibunya, Cin Pau lalu turun gunung, mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk berjalan cepat dan melompati jurang-jurang hingga sebentar saja ia sudah nampak mendaki puncak yang berada di sebelah selatan puncak tempat tinggal gurunya. Ketika ia tiba di lereng bukit itu, dari jauh ia melihat bayangan Beng Hong Tosu berlari cepat dan sebentar saja pendeta tua itu telah berada dihadapannya. Cin Pau cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Hong Tosu yang ketika melihatnya lalu tertawa-tawa. Ia membungkuk dan menggunakan kedua tangannya memegang pundak pemuda itu untuk membangunkannya. Cin Pau tiba-tiba merasa betapa kedua tangan itu seakan-akan bukit yang menindih pundaknya, maka tahulah dia bahwa kakek pendeta ini sedang menguji tenaganya. Dengan cepat ia lalu mengerahkan iweekangnya untuk melawan tekanan hebat itu dan tiba-tiba ia merasa tenaga tarikan yang amat hebat hingga tubuhnya hampir saja tertarik berdiri. Akan tetapi karena ia tidak mau membikin malu suhunya yang telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh, ia lalu mengerahkan khikangnya dan mempertahankan diri dengan ilmu Ban Kin Cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati).

Menghadapi Cin Pau yang mengeluarkan ilmu ini hingga tubuhnya tiba-tiba menjadi berat seakan-akan berakar pada tanah. Beng Hong Tosu merasa girang sekali. Ia lalu mengerahkan kepandaiannya dan berkata, “Anak baik, berdirilah kau !”

Bukan main hebatnya tenaga dari tokoh Kunlun-san ini, karena benar-benar tubuh Cin Pau terangkat naik ke atas, akan tetapi tetap saja tubuh pemuda itu masih berada dalam keadaan berlutut seperti tadi. “Bu Eng Cu benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu baik. Pinto tak dapat mengajarmu dalam hal iweekang dan khikang, kau sudah cukup kuat. Ayoh berdirilah dan coba kau melawan pinto!”

Karena maklum bahwa pendeta sakti ini sedang mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi Cin Pau lalu berdiri dan setelah berkata, “Maaf !” ia lalu menyerang dengan pukulan berbahaya. Beng Hong Tosu lalu mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulan terlihai dari cabang Kunlun.

Biarpun keduanya berada di puncak pegunungan Kunlun, akan tetapi asal dan dasar ilmu silat Beng Hong Tosu dan Tiauw It Lojin jauh berbeda. Memang, banyak orang mengira bahwa cabang persilatan Kunlun-pai atau cabang silat Kunlun hanya ada sebuah saja. Pegunungan Kunlun-san adalah sebuah pegunungan yang daerahnya luas sekali sampai ratusan bahkan ribuan mil persegi, dan di atas puncak- puncak banyak bukit itu tinggal banyak sekali orang-orang sakti yang mengasingkan diri atau bertapa. Memang, kuil tempat tinggal Beng Hong Tosu telah terkenal dan dianggap sebagai tempat pusat cabang persilatan Kunlun, akan tetapi selain di situ, masih banyak sekali guru-guru besar yang diam- diam mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, seperti halnya Bu Eng Cu Tiauw It Lojin itu.

Dalam hal ilmu silat tangan kosong, pelajaran Tiauw It Lojin masih menang setingkat dengan ilmu kepandaian Beng Hong Tosu dan hal ini terasa benar oleh Beng Hong Tosu ketika ia menghadapi serangan-serangan Cin Pau. Pemuda ini telah mempelajari ilmu keraskan tangan latihan Bu Eng Cu yang disebut Cin Kang Kim Ko Jiu dan yang membuat tangannya selain kuat, juga memiliki tenaga pukulan lihai sekali, terutama sekali pelajaran Coat Meh Hoat semacam ilmu tiam hwat atau totokan jalan darah yang mirip dengan ilmu totok dari Butong-pai, amat mengejutkan hati Beng Hong Tosu. Hanya berkat pengalaman dan kelihaian iweekangnya saja maka Beng Hong Tosu dapat mempertahankan diri terhadap serangan-serangan Cion Pau.

“Bagus, bagus, lihai sekali !” Berkali-kali Beng Hong memuji dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik di udara dan melompat kebelakang agak jauh.

“Cukup, sekarang marilah kita bermain pedang !” katanya.

Cin Pau tak membantah dan mencabut pedangnya, yakni pedang ibunya yang diberikan kepadanya ketika ia hendak berangkat. Beng Hong Tosu yang tidak membawa pedang, lalu mematahkan sebatang ranting dari pohon yang tumbuh di situ dan melawan Cin Pau dengan ranting itu. Kalau dalam ilmu pukulan tangan kosong, kepandaian Cin Pau boleh dibilang lebih lihai dari pada Beng Hong Tosu, adalah dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tertinggal jauh sekali. Ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam hoat dari Beng Hong Tosu bukan main lihainya, hingga biarpun yang dipegangnya bukan pedang tulen, akan tetapi hanya sebatang ranting saja, namun setelah bertempur belasan jurus saja, Cin Pau telah menjadi pening karena ujung ranting kakek itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan batang yang menyerangnya dari segala jurusan. Baiknya Cin Pau memiliki ilmu ginkang yang tinggi karena suhunya yang berjuluk si Tanpa Bayangan itu memang ahli ginkang yang luar biasa, kalau tidak tentu ia telah kena dirobohkan oleh serangan-serangan ranting yang hebat ini.Akhirnya ia tak dapat menahan lagi dan buru-buru melempar pedangnya ke atas tanah dan maju berlutut, “Teecu mohon diberi petunjuk,” katanya.

Beng Hong Tosu tertawa senang dan ia lalu mengajak pemuda itu ke kuilnya.

“Cin Pau, dalam hal lain-lain kepandaian, pinto yang bodoh tak berani mengajarmu, hanya mungkin dalam hal ilmu pedang, pinto dapat menambah pengetahuanmu sedikit saja.”

Semenjak saat itu, Cin Pau menerima latihan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat yang luar biasa itu dari Beng Hong Tosu. Dulu ayahnya, yakni mendiang Khu Tiong, Ma Gi dan juga Un Kong Sian juga mempelajari ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat ini, akan tetapi selama belasan tahun ini, ilmu pedang tersebut telah mengalami banyak sekali perubahan karena Beng Hong Tosu sebagai penciptanya, tiap kali menghadapi lawan tangguh tentu dapat melihat kekurangan-kekurangan ilmu pedangnya dan oleh karenanya ia lalu mengadakan perubahan di mana perlu hingga dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, Kui Hwa Koan Kiam-hoat mengalami kemajuan hebat dan juga jauh lebih lihai.

Cin Pau telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi hingga ilmu pedang itu dapat dipelajari dengan cepat. Dia hanya memerlukan waktu dua bulan untuk memahami ilmu pedang itu dan telah dapat memainkannya dengan baik sekali, hanya hanya perlu latihan-latihan lebih lanjut. Bukan main girang hati Beng Hong Tosu dan ketika Cin Pau memohon diri untuk melanjutkan maksudnya merantau mencari makam ayahnya, tosu tua itu mengeluarkan sebilah pedang yang berkilauan dan putih cahayanya, memberikan pedang itu kepada Cin Pau sambil berkata,

“Muridku, kau terimalah Pek Kim Kiam ini dan pergunakanlah untuk membela keadilan dan membasmi kejahatan. Kaulah muridku yang terakhir dan terpandai, maka kau berhak menerima pedang ini dan apabila pinto telah meninggal dunia yang kotor ini, dengan pedang ini berhak menyebut diri menjadi ketua Kunlun-pai yang kudirikan.”

Cin Pau menerima pedang itu dengan girang sekali karena pedang Pek Kim Kiam ini memang dibuat khusus untuk bermain ilmu pedang Kui Hwa Koan hingga berat dan ukurannya tepat sekali dan enak dipakai.

“Pedang ibumu biar kau tinggalkan saja di sini karena sekarang juga pinto hendak mengunjungi suhumu dan ibumu. Biarpun telah mengasingkan diriakan tetapi seorang wanita gagah seperti ibumu itu tidak boleh ditinggal oleh pedangnya.”

Cin Pau lalu berlutut dan setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya yang kedua ini, ia lalu melanjutkan perjalanannya turun gunung, Semenjak kecilnya, Cin Pau diberi pakaian putih oleh ibunya yang biarpun tidak memberitahukan tentang kematian ayah anak itu, namun diam-diam ia menganggap bahwa puteranya telah berkabung untuk kematian ayahnya. Akan tetapi, warna putih itu akhirnya menjadi warna kesukaan Cin Pau dan anak ini tidak mau dibuatkan pakaian dari lain warna. Sekarang setelah dewasa, pakaiannya pun tetap putih dan berpotongan sederhana sekali.

Pada suatu senja, ketika Cin Pau berjalan cepat untuk keluar dari sebuah hutan dan mencari penginapan di dusun atau kota terdekat, tiba-tiba matanya yang tajam melihat bayangan dua orang yang bergerak cepat sekali memasuki hutan. Ia lalu cepat bersembunyi di balik pohon dan ketika bayangan itu lewat, ternyata bahwa mereka ini adalah dua orang saikong atau pendeta yang bermuka jahat dan kejam. Seorang di antaranya adalah tua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan mukanya yang penuh berewok dengan sepasang mata lebar itu membuat ia kelihatan seperti seekor barongsai mengerikan. Seorang lagi adalah seorang tinggi kurus yang bermuka pucat, juga berjubah lebar seperti seorang pendeta perantau. Di punggung masing-masing nampak gagang pedang dan pakaian mereka yang mewah dan terbuat dari kain indah dan mahal itu cukup mendatangkan kesan kurang baik pada diri kedua orang pertama itu.

Cin Pau menjadi curiga dan diam-diam ia mengikuti mereka memasuki hutan kembali. Akan tetapi ia berlaku amat hati-hati karena mereka berdua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, dapat dilihat dan diduga dengan mudah dari gerak gerik mereka yang gesit dan kuat. Ternyata bahwa kedua orang saikong itu menuju ke sebuah gua yang besar, di dalam hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar mereka berbicara tentang “memetik bunga” dan tahulah dia bahwa kedua orang saikong itu adalah orang-orang jahat yang mempunyai kebiasaan buruk dan kejam, yaitu mengganggu anak bini orang. Mereka ini adalah penjahat-penjahat yang biasa disebut Jai Hwa Cat, maka bukan main marahnya.

Akan tetapi, oleh karena belum melihat bukti dan baru mendengar pembicaraan belaka ia tidak mau berlaku lancang dan bergerak maka ia terus mengintai. Setelah hari mulai menjadi gelap, kedua orang saikong itu keluar dari gua dan berlari cepat menuju ke kota di luar hutan itu. Cin Pau tetap mengejar dengan diam-diam.

Ia melihat dua orang saikong itu melompat naik ke sebuah rumah gedung. Cin Pau juga melompat, akan tetapi pada saat ia melompat ke atas, seorang di antara kedua pendeta cabul itu menengok hingga dapat melihatnya. Mereka berdua berseru keras dan dengan cepat menerjang maju dan bermaksud membinasakan pemuda itu dengan sekali serang. Akan tetapi, dengan memutar pedang Pek Kim Kiamnya, Cin Pau menangkis dan membentak keras,

“Jai Hwa Cat terkutuk !”

Mendengar bentakan ini, kedua saikong itu terkejut sekali oleh karena tak pernah mereka mengira bahwa ada orang yang telah mengetahui rahasia mereka. Pula, melihat betapa gerakan pedang pemuda ini sangat lihainya, mereka lalu menyerang lagi dengan keras dan mempergunakan kesempatan pada saat Cin Pau mengelak ke samping, lalu melompat jauh dan melarikan diri. Cin Pau mengejar, akan tetapi tangan kedua penjahat itu bergerak hingga empat buah benda hitam yang cepat sekali terbangnya, melayang dan menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Cin Pau adalah murid seorang ahli senjata rahasia, maka tentu saja menghadapi serangan piauw ini ia tidak gentar sama sekali, dan ketika ia mengulurkan kedua tangannya, maka dua batang piauw telah disambutnya dengan baik. Yang dua lagi dapat ia elakkan dan jatuh berkerontongan di atas genteng. Tanpa membuang waktu lagi, ia lalu menyambitkan dua batang piauw itu ke arah dua bayangan saikong yang melarikan diri sambil berseru,

“Makanlah senjata busukmu sendiri !”

Akan tetapi, kedua orang saikong itu dapat mengelak sambil melompat turun dari atas genteng. Biarpun malam itu bulan bercahaya terang, akan tetapi, di bawah penuh dengan bayangan pohon dan rumah hingga menjadi gelap dan sebentar saja kedua orang saikong yang cerdik dan yang sengaja melarikan diri melalui jalan bawah, telah lenyap dari pandangan mata.

Dan ketika Cin Pau sedang mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba ia dikejar Siauw Eng hingga keduanya bertempur, dan ketika Cin Pau mencari kedua orang penjahat ke dalam hutan, dengan berani sekali gadis itupun mengejar ke dalam hutan pula. Hal ini telah dituturkan di bagian depan.

Bagian 09. Jai Hwa Cat Tulen

Cin Pau tidak mau melayani Siauw Eng terlebih lama lagi karena ia anggap gadis itu sombong sekali, biarpun diam-diam ia harus mengakui bahwa dara baju merah itu luar biasa cantiknya bahkan lebih cantik dari pada ibunya sendiri yang tadinya ia anggap sebagai wanita tercantik di dunia ini. Namun ia mencoba untuk mengusir bayangan dara baju merah itu, dan sambil berlari cepat ia bersungut-sungut, “Gadis sombong dan galak !”

Pemuda itu langsung menuju ke gua yang sore tadi telah di lihatnya karena ia merasa yakin bahwa kedua orang penjahat itu tentu telah kembali ke sarangnya. Benar saja, ketika ia tiba di luar gua. Ia melihat cahaya api di dalam gua itu dan ternyata bahwa kedua orang saikong itu telah membuat api unggun di dalam gua.

Oleh karena berpikir bahwa kurang leluasa untuk bertempur di dalam hutan yang gelap, dikeroyok oleh dua orang yang cukup kosen dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Cin Pau menahan marahnya dan bersabar menanti sampai pagi. Ia tidak tahu bahwa gadis baju merah yang galak itu telah mencari- carinya di dalam hutan dengan pedang di tangan.

Memang Siauw Eng merasa penasaran dan marah sekali karena dia yang telah mendapat pujian dan julukan Bidadari Merah dari Gobi-san itu, kini tidak dapat menjatuhkan seorang bangsat kecil. Kalau aku tak dapat merobohkannya namaku tentu akan jatuh rendah sekali, pikirnya, sama sekali tak ingat bahwa peristiwa pertempurannya melawan pemuda baju putih yang disangkanya penjahat cabul itu tak terlihat oleh siapapun juga.

Menjelang pagi, setelah cuaca menjadi terang, tiba-tiba Siauw Eng yang sudah lelah melihat Cin Pau di dekat sebuah gua bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Terang sekali bahwa pemuda itupun melihat kedatangannya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tak mau mempedulikannya dan menganggapnya seperti daun kering saja.

“Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana ?” teriak Siauw Eng keras dan melompat ke depan gua untuk menghampiri Cin Pau. Pada saat itu, tiba-tiba dari dalam gua melompat keluar dua bayangan orang yang berseru,

“Ha, ha, ha, bidadari cantik dan liar datang menyerahkan diri. Bagus, bagus, sute,” berkata saikong yang tinggi besar dan bermuka seperti barongsai. Saikong kedua yang tinggi kurus tersenyum dan sambil memandang kepada Siauw Eng dengan kagum, ia berkata,

"Biarlah kutangkap kuda betina liar ini untukmu, suheng !”

Bukan main kaget dan marahnya Siauw Eng melihat betapa tiba-tiba saja muncul dua orang pertapa yang bicaranya tidak keruan ini.

“Eh, kalian ini siapakah dan bangsa apa ? Pakaianmu seperti orang pertapa akan tetapi lagakmu kasar melebihi siluman !” Memang Siauw Eng terlalu manja dan sombong hingga keheranannya pun luar biasa sekali. Ia tak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga oleh karena belum pernah kehendaknya tak terlaksana karena semenjak kecil kemauannya selalu dipenuhi oleh ayah bundanya yang amat mencintanya.

Kedua orang saikong itu sebetulnya bukanlah penjahat-penjahat sembarangan, akan tetapi adalah orang-orang yang telah menggemparkan kalangan Kang ouw karena kejahatan dan kelihaian mereka. Yang tinggi besar dan bercambang bauk seperti muka singa itu adalah Pit Lek Hoatsu, saikong cabul dan jahat yang dulu pernah mengganggu Lin Hwa dan Un Kong Sian dan akhirnya dapat diusir karena takut menghadapi Pek Seng Hwesio ketua kuil Thian Lok Si. Ternyata bahwa selama itu, Pit lek Hoatsu tidak mau merobah cara hidupnya yang penuh kedosaan itu. Dan kini kebetulan sekali ia melakukan perjalanan dikawani seorang adik seperguruan yang tidak kalah jahatnya, yakni saikong tinggi kurus itu yang bernama Ban Lek Hoatsu. Ketika lewat di kota itu, mereka tidak lewatkan kesempatan untuk menjalankan kebiasaan mereka yang terkutuk.

Melihat munculnya seorang darah muda yang demikian cantiknya, kedua saikong itu seolah-olah melihat seorang bidadari turun dari kayangan. Timbul kegembiraan Ban Lek Hoatsu untuk menangkap gadis ini yang dianggapnya hanya seorang pendekar wanita biasa yang berkepandaian rendah saja. Maka sambil menyeringai menjemukan, saikong tinggi kurus ini menerjang maju dengan tangan kosong, menubruk dan menggunakan gerak tipu Harimau lapar tubruk kambing, langsung kedua tangannya terulur ke depan hendak menangkap tangan Siauw Eng yang memegang pedang dan menerkam pundak gadis itu.

“Siluman tua !” Siauw Eng memaki marah dan tanpa mengelak ia lalu menghadapi serangan itu dengan gerak tipu Kilat Menyambar Membakar Pohon, pedangnya bergerak dari kanan ke kiri dan menyabet ke arah kedua tangan lawan yang menyerang secara ganas itu.

“Awas, sute !” Pit Lek Hoatsu terpaksa berseru kaget karena benar-benar ia merasa terkejut melihat

gerakan gadis baju merah yang luar biasa cepatnya itu. Sementara itu, hanya dengan menggulingkan diri ke atas tanah dan menarik kedua lengannya saja yang membuat Ban Lek Hoatsu dapat menyelamatkan kedua lengannya dari pedang Siauw Eng. Saikong tinggi kurus ini lalu melompat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia menjadi marah dan penasaran, akan tetapi maklum pula bahwa dara baju merah ini bukanlah makanan lunak yang mudah dikalahkannya dan dirampasnya begitu saja. Maka sambil berseru keras ia mencabut pokiamnya yang terselip dipunggung dan pada saat Siauw Eng telah maju menyerang, ia lalu menangkis dan balas menyerang sambil memaki,

“Kuda liar ! kalau aku tak bisa menangkapmu hidup-hidup, biarlah aku sembeli kau dan panggang dagingmu untuk mengisi perut !”

Hinaan ini membuat seluruh muka Siauw Eng menjadi merah dan ia balas memaki, “Siluman keparat ! Hari ini aku Gobi Ang Sianli mengirim nyawamu yang rendah dan kotor ke neraka jahanam !” Kemudian ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sin Coa Kiam hoat atai Ilmu Pedang Ular Sakti. Ban Lek Hoatsu melawan dengan hebat dan diam-diam pendeta cabul ini terkejut sekali karena ia dapat melihat bahwa ilmu pedang itu adalah ilmu pedang yang ternama dan lihai sekali dari partai Gobi- san. Ia merasa menyesal karena tanpa disengaja ia telah bentrok dengan seorang anak murid Gobi-pai yang lihai. Akan tetapi oleh karena sudah kepalang, dan pula lebih baik ia binasakan saja anak perempuan ini dari pada nanti rahasianya dibongkar dan dirinya dibenci oleh kaum persilatan dari Gobi- san, maka ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.

Sementara itu, Pit Lek Hoatsu yang juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dara baju merah itu, segera melompat dan bersiap membantu sutenya, akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berpakaian putih telah berdiri di depannya. Pit Lek Hoatsu marah sekali ketika melihat bahwa pemuda ini adalah pengejarnya malam tadi, maka tanpa banyak cakap ia lalu menerjang dengan pedangnya.

Pendeta-pendeta cabul ! Sungguh kalian harus malu terhadap sang Buddha !” Cin Pau menegur marah dan kata-kata ini membuka mata Siauw Eng bahwa yang menjadi penjahat pemetik bunga sebenarnya adalah dua orang saikong ini dan bukan si pemuda baju putih yang tampan. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa girang mendapat kenyataan ini, dan kebenciannya terhadap lawan yang dihadapinya bertambah. Ia lalu merobah-robah ilmu pedangnya, sebentar memainkan Sin Coa Kiam hoat dan pedangnya menyerang dari bawah dengan ganas dan lihainya, sebentar lagi ditukar dengan Pek Tauw Kiam hoat hingga tubuhnya yang ringan itu melompat tinggi dan melakukan serangan dari atas seakan- akan seekor rajawali menyambar korbannya. Namun ilmu kepandaian Ban Lek cukup lihai dan ditambah pula dengan pengalamannya yang puluhan tahun lamanya itu, ia dapat menghadapi Siauw Eng yang masih hijau dengan baiknya dan bahkan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Adapun Pit lek Hoatsu yang menghadapi Cin Pau, segera mengeluh di dalam hatinya, oleh karena kalau ilmu pedang Siauw Eng telah membuat ia kagum, adalah ilmu kepandaian pemuda baju putih ini membuatnya terkejut dan heran sekali. Ia seperti mengenal ilmu pedang ini yang mirip dengan ilmu pedang dari Kunlun-pai, akan tetapi gerakan-gerakannya tidak begini cepat dan perubahannya tidak begini hebat. Apa pula, pemuda ini agaknya memiliki ginkang dan lweekang yang tidak berada di bawah kepandaiannya sendiri, bahkan dalam hal ilmu meringankan tubuh, pemuda ini telah mencapai puncak kesempurnaan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan kilat menyambar. Sebetulnya Cin Pau sedang menyerang lawannya dengan menggunakan ilmu pedangnya Kui Hwa Koan Kiam Hoat yang telah mengalami banyak perobahan dan kemajuan itu, apalagi karena yang memainkan adalah seorang pemuda yang memiliki ginkang tinggi dan yang memegang pedang Pek Kim Kiam lagi, maka tentu saja kehebatannya luar biasa pula dan setelah bertempur puluhan jurus, Pit Lek Hoatsu menjadi terdesak hebat.

Oleh karena dia sendiri masih belum dapat mendesak dara baju merah biarpun ia telah mengerahkan tenaga dan kepandaian, maka ketika melihat betapa suhengnya yang lihai itu bahkan terdesak oleh pemuda baju putih, Ban Lek Hoatsu menjadi kuatir sekali. Kedua orang saikong ini diam-diam merasa heran mengapa dalam dunia persilatan bisa muncul orang-orang muda yang luar biasa ilmu kepandaiannya ini.

Pit Lek Hoatsu maklum bahwa apabila ia terus menghadapi pemuda baju putih itu dengan pedangnya, akhirnya ia akan mendapat celaka, maka tiba-tiba ia berseru keras sambil mengambil sesuatu dengan tangan kirinya dari kantong jubahnya yang lebar.

“Rebahlah !” saikong itu membentak dan ketika ia menggerakkan tangan kirinya, tiba-tiba sehelai jala terbuka dan menyerbu ke arah kepala Cin Pau dengan cepat sekali. Pemuda ini terkejut, akan tetapi ia lalu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah jala itu dan akibatnya membuat ia berseru perlahan karena ternyata bahwa jala yang terbuat dari pada kawat baja yang halus dan lemas itu tak dapat terbacok putus, bahkan lalu mengecil dan menggulung pedangnya. Jala kecil ini bekerja sendiri karena di dalamnya telah dipasangi kawat-kawat halus yang berada di jari tangan Pit Lek Hoatsu hingga dapat digerakkan sebagai semacam senjata yang berguna dan yang dapat merampas senjata lawan.

Untung sekali Cin Pau memiliki ilmu tenaga lweekang yang sudah sempurna hingga ia tidak menjadi gugup dan dengan cepat ia mengirim sebuah tendangan Lui Kik ke arah lambung lawan dan berbareng mengerahkan tenaga untuk mencabut kembali pedangnya yang terlilit jala. Usahanya berhasil dan pedangnya terlepas lagi karena dengan terkejut Pit lek Hoatsu terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tendangan maut itu.

Merasa tak kuat menghadapi Cin Pau yang gesit, Pit lek Hoatsu lalu berseru, “Sute, mari kita pergi!” Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak ke arah Cin Pau dan segenggam bubuk pasir hitam menyerang ke arah muka, dada, dan perut Cin Pau. Pemuda itu mencium bau amis, maka cepat ia menahan napas dan mengelak karena maklum bahwa senjata rahasia ini tentu berbisa.

“Penjahat curang !” tegurnya ketika melihat betapa Pit lek Hoatsu menggunakan kesempatan itu untuk melompat pergi dengan cepat. Cin Pau lalu mengirim serangan dengan biji-biji caturnya, yakni semacam kepandaian melepas senjata rahasia yang aneh akan tetapi kelihaiannya tak kalah dengan senjata rahasia yang tajam, karena biji-biji catur yang dilepaskannya ini selalu menyerang jalan-jalan darah lawan dan Cin Pau telah mempelajari sampai sempurna betul cara melepas dengan sistim “seratus kali sambit, seratus kali kena.”

Untuk menerjang Pit Lek Hoatsu, Cin Pau hanya melepas dua biji catur yang disambitkan ke arah jalan darah hoat sit hiat dan pek twi hiat. Akan tetapi, Pit Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Memang benar bahwa sambitan Cin Pau cepat sekali datangnya dan tak dapat dikelit lagi, akan tetapi dengan cerdik sekali Pit Lek Hoatsu menggerakkan tubuh dan mengerahkan lweekangnya sehingga biarpun biji-biji catur itu mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak tepat menghantam jalan darah, hanya mengenai daging tubuhnya saja dan mental kembali karena ia telah mengerahkan lweekang yang membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal.

Cin Pau terkejut sekali karena ia tidak tahu akan akal cerdik ini dan menyangka bahwa saikong jahat itu sudah demikian tinggi ilmunya hingga dapat menutup jalan darah dan dapat menahan sambitan caturnya yang jitu. Maka ketika melihat saikong itu melompat pergi, dia tak mau mengejar. Sebaliknya melihat betapa gadis baju merah yang galak itu masih bertempur ramai dengan saikong tinggi kurus tanpa dapat mendesak, ia lalu menyerbu dan membantu.

Akan tetapi, Siauw Eng yang merasa penasaran karena belum juga dapat mengalahkan lawannya sedangkan ia melihat betapa pemuda baju putih itu telah mengusir lawannya, lalu berseru, “Jangan membantu ! Aku tidak minta dibantu !”

Cin Pau tercengang, maka ia lalu urungkan niatnya hendak membantu, bahkan lalu memasukkan pedang di sarung pedangnya dan pergi duduk sambil menonton di bawah sebatang pohon besar.

Siauw Eng menggertakkan giginya dan memainkan jurus paling berbahaya dari Sin Coa Kiam hoat dan Pek Tiauw Kiam Hoat hingga benar saja ia dapat mendesak Ban Lek Hoatsu. Akan tetapi ini hanya karena saikong itu telah bersiap untuk menyusul suhengnya dan pergi dari tempat berbahaya itu.

Namun Siauw Eng tidak memberi kesempatan dan agaknya sudah maklum akan maksud lawannya. Ia ingin melebihi pemuda baju putih itu yang hanya dapat mengusir lawannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya yang satu ini agar dapat melebihi hasil pemuda baju putih.

Ban Lek Hoatsu menjadi penasaran dan marah. Sambil berseru keras tangan kirinya bergerak dan sehelai sabuk sutera yang berwarna hitam meluncur ke depan bagaikan seekor ular sungai. Sabuk ini seakan-akan hidup dan meluncur menuju ke leher Siauw Eng dengan kecepatan luar biasa dan gerakan melenggak-lenggok, Siauw Eng cepat menyabet dengan pedangnya, akan tetapi seperti halnya dengan Cin Pau tadi, sabuk hitam itu bahkan melibat ujung pedang di tangan Siauw Eng, dan sebelum gadis itu sampai menarik kembali pedangnya, pedang di tangan Ban Lek Hoatsu telah menikam dadanya. Keadaannya benar-benar berbahaya sekali, akan tetapi Siauw Eng telah mendapat gemblengan hebat dari dua orang tokoh Gobi-san, maka akan percuma saja ia belajar sampai

bertahun-tahun kalau menghadapi serangan semacam ini saja ia dapat dirobohkan. Dengan seruan keras sekali ia melepaskan pedangnya dan kemudian menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke depan, tangan kanan ke dada lawan dan tangan kiri ke pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Cin Pau kagum sekali karena dalam keadaan berbahaya itu, si nona masih dapat mengeluarkan gerakan Eng Jiauw kang yang luar biasa itu.

“Celakalah sekarang saikong itu,” diam-diam ia berbisik.

Akan tetapi ia terlampau memandang rendah kepada Ban Lek Hoatsu, karena biarpun menghadapi jalan buntu ini, saikong itu masih mempunyai senjata yang luar biasa ampuhnya dan yang jarang digunakan, karena kepandaian ini merupakan semacam ilmu sihir yang jahat. Ketika melihat betapa lawannya menggunakan Eng Jiauw Kang yang berbahaya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulutnya menyembur uap hitam yang menyambar ke arah muka Siauw Eng.

“Lekas buang diri ke belakang !” tiba-tiba Cin Pau berseru karena ia maklum akan bahayanya uap itu. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa memang di kalangan persilatan terdapat berbagai ilmu hitam yang jahat dan yang sering digunakan oleh para penjahat menghadapi lawan mereka. Hoatsut semacam ini memang amat berbahaya hingga sukar dilawan, maka tanpa terasa lagi ia mengeluarkan seruan itu karena terkejut dan kuatir kalau-kalau dara baju merah itu dapat celaka.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw Eng pernah mendapat pelajaran dari Bok Sam Cu tentang hoatsut. Gadis itupun berseru keras dan sambil menarik kembali pedangnya yang kini mudah terlepas dari libatan sabuk sutera hitam, ia lalu menjatuhkan diri berjungkir balik ke belakang. Kesempatan ini digunakan oleh Ban Lek Hoatsu untuk melompat pergi.

“Bangsat rendah jangan lari !” bentak Siauw Eng dengan gemas dan ia melompat pula mengejar.

“Tak perlu mengejar mereka !” tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Cin Pau sudah berdiri di depannya. “Mereka itu berbahaya sekali.”

Siauw Eng memandang gemas. “Kau penakut !” katanya, “orang-orang macam mereka itu harus dibinasakan.”

“Kau sombong sekali,” jawab Cin Pau. “Akan tetapi berani sekali. Baru saja kau hampir mendapat celaka di tangan saikong kurus kering itu dan sekarang masih hendak mengejar. Sungguh berani. Berani, bodoh, dan sombong !” “Apa katamu ?”

“Aku kata kau berani, akan tetapi bodoh dan sombong ?” “Berani benar kau memaki orang !”

“Tidak lebih berani dari pada kau yang mencaci maki aku sesuka hatimu malam tadi. Pembalasan ku ini masih belum ada sepersepuluhnya.”

Wajah Siauw Eng memerah. Ia pandang wajah yang tampan dan gagah itu dengan gemas. Tak biasa orang berlaku kasar kepadanya dan terutama pandang mata pemuda yang agaknya acuh tak acuh kepadanya itu menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia sudah terlalu sering dan sudah biasa melihat pandang mata kagum dari mata laki-laki, terutama laki-laki muda seperti yang berdiri dihadapannya ini.

“Kau licik dan memilih lawan yang lebih lemah. Kalau aku yang menghadapi saikong brewok itu, pasti ia telah mampus di tanganku sejak tadi !” katanya.

Cin Pau tersenyum. Ia maklum bahwa ucapan gadis ini tidak benar, karena kepandaian saikong berewok itu lebih sedikit dari pada kepandaian saikong kurus kering, akan tetapi ia tidak mau membantah karena tahu pula bahwa memang watak gadis ini tidak mau dikalahkan orang.

“Pantas saja kalau kau gagah, bukankah kau sudah mempunyai julukan ? Apa julukanmu tadi ? Aku mendengar bidadari-bidadari begitu “

Dengan cemberut Siauw Eng berkata, “Kau ini selain licik juga bodoh dan singkat ingatan. Baru mendengar sudah lupa. Julukanku Gobi Ang sianli !”

“Hm, kalau begitu kau anak murid Gobi-pai, pantas saja lihai.” Agak senang juga hati Siauw Eng mendapat pujian bahwa ia lihai, biarpun ucapan itu dikeluarkan sepintas lalu saja oleh pemuda itu.

“Kau juga lihai,” akhirnya ia mengaku juga, “tentu kau sudah mempunyai julukan pula.”

Cin Pau tersenyum lagi, kemudian mengangkat pundaknya yang bidang. “Orang semacam aku mana pantas memakai julukan ? Aku tidak mempunyai gelar sesuatu, dan namaku sedehana saja, yakni Ong Cin Pau.”

“Siapa yang menanyakan namamu ?”

Cin pau melengak dan mukanya menjadi merah. Alangkah sombongnya orang ini, pikirnya dengan mendongkol. “Tidak ada yang tanya,” jawabnya cemberut, “kau tanya julukan maka aku memberitahukan namaku.”

Untuk beberapa saat keduanya berdiri diam, seorang memandang ke kiri, seorang ke kanan, seakan- akan di depan masing-masing tidak ada orang. Melihat sikap acuh tak acuh dari Cin Pau, Siauw Eng kecewa dan penasaran. Baru kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang angkuh dan sombong.

“Mengapa kau tidak tanya namaku ?”

Cin Pau menjadi terheran-heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini. Bukan main kukoainya (ganjilnya) dara baju merah yang cantik jelita dan gagah ini.

“Mengapa mesti bertanyakan namamu ? Untuk apa ?” jawab Cin Pau sembarangan, tak mau kalah angkuh.

Siauw Eng menghela napas panjang. “Alangkah baiknya kalau kau tidak sesombong itu !”

Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan menengok sambil berkata, “Betul-betul kau tidak ingin mengetahui namaku ?” Cin Pau menggelengkan kepalanya, biarpun hatinya ingin sekali mengetahui nama dara yang lucu dan galak ini. “Untuk apa ?” katanya.

“Hah, bodoh. Tentu saja untuk diketahui dan diingat. Apalagi gunanya nama ? Aku sudah tahu namamu, maka tak baik kalau aku tidak memberitahukan namaku pula. Aku she Gak bernama Siauw Eng. Nah, kita sudah seimbang sekarang, tidak saling menghutangkan !” Setelah berkata demikian, Siauw Eng lalu berlari cepat meninggalkan hutan itu. Pelayan hotel menjadi terheran-heran melihat nona baju merah itu masih hidup dan kembali dalam keadaan selamat.

“Li-enghiong, kau benar-benar sehat-sehat saja dan tidak apa-apa ?” tanyanya dengan heran. “Kami seluruh pengurus hotel merasa terkejut dan khawatir melihat bahwa jendela kamarmu terbuka

dan kau tidak kelihatan berada di kamar. Kami menyangka bahwa kau tentu menjadi kurban siluman-

siluman jai hwa cat itu. Tidak tahunya, setelah kami hilang akal, kau datang. Aneh,...aneh !”

Siauw Eng tersenyum manis dan berkata, “Jangan khawatir lopeh. Mulai sekarang takkan ada gangguan jai hwa cat lagi !”

Pelayan tua itu memandangnya dengan mata terbelalak. “Apa ? Kau sudah berhasil mengusirnya, li- enghiong ?” Dan ketika Siauw Eng menganggukkan kepala, pelayan tua itu melemparkan sapunya dan berlari-lari keluar sambil berteriak-teriak, “Jai hwa cat sudah diusir pergi ! Penjahat itu sudah dibunuh oleh li-enghiong .... oleh ” Tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum mengetahui nama Siauw Eng, maka

selagi orang-orang di jalan memandangnya dengan bengong ia berlari pula memasuki hotel dan menyerbu kamar Siauw Eng sambil bertanya,

“Mohon tanya, lihiap, siapakah nama lihiap yang mulia ?”

Siauw Eng tersenyum girang dan berkata, “Sebut saja Gobi Ang Sianli!”

Kembali pelayan tua itu berlari keluar dan berteriak-teriak dengan muka girang dan suara keras.

“Jai hwa cat telah diusir pergi pendekar wanita yang bermalam di hotel kami. Sudah dibasmi oleh Gobi Ang sianli, Bidadari merah dari Gobi-san ! Mulai sekarang kota kita takkan terganggu lagi. Hidup Gobi Ang Sianli !”

Sambil berteriak-teriak, pelayan itu berlari-lari ke seluruh penjuru kota hingga sebentar saja semua orang tahu akan hal ini dan semua orang lalu berkerumun mengunjungi hotel itu untuk menyaksikan pendekar wanita yang telah menolong kota mereka itu.

Melihat hal ini, Siauw Eng menjadi malu sendiri di dalam hatinya, oleh karena sesungguhnya bukan dia sendiri yang mengusir kedua pendeta cabul itu dan kalau saja tidak bertemu dengan Cin Pau, banyak sekali kemungkinan ia akan menderita celaka di dalam tangan kedua saikong yang kosen itu. Ketika pelayan tua itu datang dan minta supaya ia suka keluar menemui semua penduduk yang sudah berdiri dan berkumpul di depan hotel, Siauw Eng lalu berkemas dan mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung. Kemudian ia hendak membayar uang sewa kamar, akan tetapi dengan sungguh-sungguh pelayan tua itu menolaknya.

Dengan diiringkan oleh pelayan yang membongkok-bongkok dengan hormat dan girang, Siauw Eng keluar dari hotel dan benar saja, di luar telah berkumpul banyak sekali orang. Ketika ia muncul, semua orang memandang dengan bengong karena tak mereka sangka bahwa pendekar wanita yang menolong mereka adalah seorang gadis muda yang telah membuat mereka lupa bahwa mereka datang hendak menghaturkan terima kasih dan kini mereka hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga !

“Tentu dia seorang bidadari tulen !” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tua berseru dan seruan ini menyadarkan semua orang. Orang-orang yang berdiri di depan lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua orang yang di belakang dan mereka menghaturkan terima kasih kepada Gobi Ang Sianli. Siauw Eng merasa tidak enak sekali dan baru kali ini ia merasa tidak enak dihormati dan dipuja seperti itu. “Dengarlah, cuwi sekalian ! Bukan aku saja yang menghalau penjahat-penjahat itu, masih ada lagi seorang pendekar muda bernama Ong Cin Pau. Kepadanyalah seharusnya cuwi mengucapkan terima kasih !”

Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah dan tahu-tahu ia telah lenyap dari situ. Semua orang merasa kagum sekali dan di antara sekian banyak orang itu terdapat seorang pemuda baju putih yang tersenyum-senyum. Akan tetapi Siauw Eng tidak melihatnya karena ia tadi bersembunyi di belakang orang banyak, bahkan ikut pula berlutut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar