Pedang Naga Kemala Jilid 33

Jilid 33

Semua menahan napas, ngeri membayangkan betapa tubuh gadis itu akan koyak-koyak dan darah akan muncrat dari tubuh yang menggairahkan itu. Akan tetapi, biarpun kini Lui Siok Ek mempergunakan pedang untuk menyerang bertubi-tubi dengan cepat, ujung pedangnya tak pernah mampu menyentuh kulit badan Kiki. Gadis ini mampu bergerak Iebih cepat lagi, mengelak ke sana- sini bagaikan sehelai bulu yang bergerak menghindar seperti tertiup oleh angin gerakan pedang, sehingga tubuh itu sudah mengelak sebelum tusukan atau bacokan tiba! Dan karena pedang itu gerakannya cepat, sedangkan gerakan Kiki Iebih cepat lagi, maka tubuh gadis itu lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar pedang. Sungguh merupakan pemandangan yang mentakjubkan dan terdengar seruan-seruan kaget dan kagum.

Sekarang Kiki tidak mau membuang waktu dengan main-main lagi. Juga harus diakuinya bahwa permainan pedang lawan cukup berbahaya, maka iapun mengeluarkan kepandaiannya. Ketika terdengar ia mengeluarkan bentakan nyaring, tahu-tahu jari tangannya telah berhasil menotok pundak kanan lawan. Seketika Iumpuh lengan kanan Siok Ek dan pedang yang dipegangnya sudah berpindah tangan. Sebelum dia dapat mengelak, kaki Kiki sudah menendangnya dengan keras.

“Dukkk...!”

Tubuh Siok Ek terlempar sampai hampir terpelanting ke bawah panggung. Dia tidak terluka, dan kemarahan membuat mukanya berubah pucat. Dia telah dikalahkan oleh seorang gadis muda di depan gurunya dan semua anggauta Thiari-te-pang. Rasa malu membuat kemarahannya memuncak dan menggeIapkan pikirannya. Sambil berteriak seperti gila, dia bangkit dan Iari menerjang Kiki dengan gerakan buas, tidak terkendali kesadarannya lagi, melainkan penuh dengan dorongan kemarahan yang membuatnya mata gelap.

“Aughhhhhh!”

Dia menerjang dan teriakan yang keluar dari mulutnya seperti gerengan seekor binatang buas. Melihat ini, Kiki meloncat dengan elakan manis.

“Lui Siok Ek, engkau sudah kalah, kenapa nekat?” bentak Kiki.

Kiki sekarang tidak main-main dan suaranya penuh wibawa ketika ia membentak dari sudut lain panggung itu. Akan tetapi, ketika tubrukannya luput, Siok Ek menjadi semakin beringas. Teriakan Kiki tidak dijawabnya, dan ia lari untuk menyerang lagi. Melihat ini, Kiki menggerakkan tangannya dan pedang rampasannya itu meluncur dengan cepat sekali menyambut tubuh Siok Ek yang sedang lari menerjang dengan buasnya.

“Capp! Arrgghhhh…!”

Pedang itu menancap dan menembus dari dada ke punggung. Mata Siok Ek terbelalak dan tubuhnya terhuyung-huyung lalu terjungkal keluar dan panggung, tewas di bawah panggung. Mayatnya segera dibawa keluar oleh para anggauta Thian-te-pang.

“Keparat Ong Sui Coan!”

Kini Ma Ki Sun menjadi marah sekali. Marah dan berduka, karena murid yang paling diandalkan itu tewas. Begitu membentak, dia menyerang Siu Coan, tangan kiri berusaha merampas bendera, tangan kanan mencengkeram ke arah leher.

Siu Coan cepat mengelak. Berkali-kali dia harus mengelak karena lawannya menyerang secara bertubi-tubi. Dia lalu meloncat ke dekat Kiki dan menyerahkan bendera itu kepada gadis yang kini memegang bendera dan berdiri di sudut. Setelah menyerahkan bendera itu kepada Kiki, Siu Coan menghadapi Iawannya, dan begitu dia diserang dengan pukulan tangan kanan ke arah perutnya, dia menangkis dan balas menyerang, dan kini serang- menyerang terjadi dengan amat serunya.

Perkelahian sekali ini berbeda dengan tadi. Tingkat kepandaian Lui Siok Coan jauh sekali berada di bawah tingkat kepandaian Kiki, sehingga perkelahian tadi terjadi berat sebelah dan Kiki dapat memperoleh kemenangan dengan mudah sekali. Akan tetapi, Ma Ki Sun tidak boleh disamakan dengan murid kepala tadi. Tingkat kepandaiannya Iebih dari dua kali lipat tingkat Siok Ek. Kakek ini pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan It-gan Lam-eng. Hampir dua tahun yang lalu, Ma Ki Sun pernah dikalahkan oleh Siu Coan ketika pemuda ini berhasil membunuh Coa Bhok, wakil ketua Thian-te- pang. Dan semenjak kekalahannya itu, Ma Ki Sun menjadi pendiam dan dia memperdalam ilmu silatnya. Kini, dia telah memperoleh banyak kemajuan, dan walaupun dia belum dapat mengimbangi kehebatan Siu Coan, setidaknya dia sudah merupakan lawan yang cukup tangguh bagi pemuda itu.

Tadinya Siu Coan tidak termaksud merampas Thian-te-pang dengan kekerasan, tidak harus membunuh para pemimpinnya, cukup dengan menaklukkannya saja. Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan Kiki yang telah membunuh Siok Ek,karena orang itu terlalu mendesak. Sekarang setelah Siok Ek terbunuh, mau tidak mau dia harus membunuh pula Ma Ki Sun. Hal ini untuk melenyapkan orang yang menaruh dendam. Dia tahu bahwa Thian-te-pang yang berkuasa hanyalah dua orang itu, dan kalau mereka terbunuh, tentu yang lain akan menakluk. Apalagi dia tadi melihat bahwa banyak di antara para anggauta yang berpihak kepadanya. Maka ketika Ma Ki Sun menyerangnya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, diapun menyambut dengan serangan yang tak kalah Iihainya.

Dua orang itu berkelahi dengan sungguh-sungguh, akan tetapi setelah lewat Iimapuluh jurus, Ma Ki Sun mulai terdesak hebat oleh Siu Coan. Bagaimanapun juga, Ma Ki Sun sudah berusia enampuluh tahun Iebih sedangkan Siu Coan adalah seorang pemuda yang sedang kuat-kuatnya. Ketua Thian-te-pang itu kalah dalam segala-galanya, kalah lihai ilmu silatnya, kalah kuat tenaganya dan juga kalah panjang napasnya. Setelah lewat Iimapuluh jurus, ketua itu terdesak dan hanya mampu menangkis dan mengelak saja. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siu Coan yang terus mendesaknya, dan pada suatu kesempatan yang baik, Siu Coan berhasil memasukkan tangannya yang terbuka dan miring menghantam dada lawan.

“Bukkk!”

Tubuh itu terjengkang. Ma Ki Sun tewas seketika karena pukulan tangan yang ampuh tadi telah merusak isi dada termasuk jantungnya. Pukulan itu menggetarkan isi dada, juga mengandung hawa panas yang sukar ditahan.

Para anggauta yang berpihak kepada Ma Ki Sun kelihatan marah dan beringas, akan tetapi Siu Coan cepat mengangkat bendera yang diambilnya dari tangan Kiki tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil berseru keras.

“Semua anggauta Thian-te-pang, pandanglah bendera kita ini!” Siu Coan mengibar-ngibarkan bendera itu.

“Ma-pangcu telah tewas dalam perkelahian yang adil, dan kini akulah yang akan memimpin kalian, membawa Thian-te-pang kembali ke jalan gagah perkasa seperti yang kita semua kehendaki. Aku akan membentuk pasukan besar dan kalian akan memperoleh kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian. Thian-te-pang akan menjadi perkumpulan terbesar dunia, dan kita akan menumbangkan kekuasaan penjajah dan mengusir orang-orang kulit putih dari tanah air.”

Mereka yang berpihak kepada Siu Coan, bersorak-sorak, sedangkan mereka yang masih ragu-ragu, saling pandang. Mereka ini maklum bahwa kalau mereka memberontak, akhirnya mereka semuanya akan terbasmi. Anak buah Siu Coan telah mengepung mereka dengan anak panah dan senjata api! “Saudara-saudara yang merasa tidak cocok dan tidak mau bekerja sama dengan kami, tidak dipaksa dan dipersilahkan meninggalkan Thian-te-pang. Kami tidak akan mengganggu asalkan kalian juga tidak mengganggu Thian-te- pang. Akan tetapi ingat, kalian akan ketinggalan kalau tidak mau bekerja sama dengan kami, karena Thian-te-pang kelak akan menjadi perkumpulan para pejuang terbesar di tanah air.”

Akhirnya, hanya belasan orang saja yang meninggalkan Thian-te-pang, dan para anggauta yang lain menerima Siu Coan sebagai ketua mereka yang baru! Dengan cerdiknya, Siu Coan lalu membagi-bagikan harta peninggalan Ma

Ki Sun yang tidak berkeluarga itu kepada para anggauta Thian-te-pang. Dia sendiri tidak membutuhkan harta yang baginya tidak berapa artinya itu, dibandingkan dengan harta karun yang diperolehnya di tempat rahasia, harta karun yang menjadi rahasia Giok-liong-Kiam.

Demikianlah, bersama Kiki yang selalu mendampinginya, Siu Coan mulai menyusun kekuatan. Banyak perkumpulan yang didatangi dan ditaklukkan, baik secara halus maupun kasar, untuk bergabung dengannya dan memperkuat pasukan yang sedang disusunnya. Untuk ini, tentu saja dia mengeluarkan banyak biaya, akan tetapi hal itu dapat dicukupkan dengan adanya harta karun Giok-liong-kiam.

Kita tinggalkan dulu Ong Siu Coan yang berambisi besar dan kini sedang memperlebar sayapnya, dan mari kita ikuti perjalanan Lian Hong. Lian Hong yang patah hati, Lian Hong yang merana karena cintanya gagal!

Kenapa begitu banyak manusia di dunia ini yang merasa patah hati, yang berduka karena cinta? Mengapa cinta kasih kita ini hanya mendatangkan kebahagiaan sebentar, lalu berubah menjadi kekecewaan dan kedukaan? Mengapa? Pertanyaan ini amat penting untuk diselidiki, dan yang dapat melakukan penyelidikan secara tepat hanyalah mereka yang terlanda derita patah hati atau karena cinta gagal ini.

Kenapa cinta harus gagal? Kata ‘gagal’ ini saja sudah menunjukkan habisnya suatu ‘keinginan’, dan karena keinginan itu tidak tercapai maka dinamakan gagal. Akan tetapi, haruskah cinta berdampingan dengan suatu keinginan? Biasanya, kalau orang jatuh cinta, maka dia ingin agar orang yang dicintanya itu membalas cintanya, kemudian menjadi miliknya! Kalau sudah begini, tentu saja timbul kemungkinan lain, yaitu kegagalan!

Dan segala macam bentuk pengejaran untuk memenuhi apa yang diinginkan, selalu membuahkan kebosanan dan kekecewaan kalau gagal. Siapakah yang memiliki keinginan itu? Aku! Bagaimana terciptanya aku? Karena kesenangan, pengalaman yang menyenangkan bersarang di dalam ingatan, akan muncullah keinginan untuk mengulang kesenangan itu kembali. Aku adalah keinginan untuk senang, aku adalah takut untuk mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Aku dan keinginan tidak pernah terpisah, karena kalau tidak ada keinginan, tidak ada rasa takut, akupun tidak pernah ada.

Kita sendiri yang membuat cinta kasih menjadi sesuatu yang menyenangkan, menjadi suatu alat untuk menyenangkan diri sendiri. lnilah sebabnya mengapa banyak terjadi kedukaan dalam cinta. Padahal, cinta yang mendatangkan duka itu bukan lagi cinta namanya, melainkan kesenangan. Kita kehilangan sumber kesenangan itu, maka kecewalah kita, dukalah kita.

Kuburan itu sunyi sekali. Malam itu terang bulan. Dunia nampak indah bukan main bermandikan cahaya bulan purnama. Segala sesuatu nampak keemasan dan kehijauan. Tiada awan menghalang bulan. Keindahan yang penuh rahasia, keindahan yang membuat setiap orang kalau keluar rumah menjadi termenung. Namun Lian Hong tidak melihat keindahan itu. Ia sedang tenggelam ke dalam kedukaan, tenggelam ke dalam lautan air mata. Ia sedang menangis di depan kuburan orang tuanya!

Duka adalah hasil permainan pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah lalu. Seperti rasa takut yang menjadi permainan pikiran mengingat dan membayangkan hal yang belum datang, duka juga merupakan permainan pikiran belaka. Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah kembali keadaan yang lalu, menimbulkan iba diri dan pikiran membayangkan betapa sengsaranya diri. Pikiran seperti mengubah diri menjadi tangan jari-jari kejam meremas hati, maka keluarlah tangis dan keluh kesah.

Demikian pula dengan keadaan Lian Hong yang kini berlutut di depan makam ayah ibunya sambil menangis. Gadis ini sejak kecil digembleng oleh orang sakti dan memiliki batin yang kuat, gagah dan biasanya pantang untuk menangis. Biarpun ia seorang wanita, namun berkat gemblengan San-tok yang sakti dan aneh, ia telah menjadi seorang gadis yang menganggap bahwa tangis hanya merupakan tanda kelemahan saja. Akan tetapi sekali ini, ia menangis sesenggukan di depan makam ayahnya. Pikirannya melayang-layang membayangkan keadaan dirinya yang penuh sengsara. Sejak kecil ditinggalkan mati ayah ibunya, dan sekarang ia kehilangan Ci Kong, satu- satunya orang di dunia ini yang dicintanya setengah mati! Ci Kong ternyata mencinta gadis lain! Ia merasa kehilangan, ia merasa kesepian!

Beginilah cinta kita pada umumnya. Aku yang penting, bukan si dia! Aku kehilangan, aku kesepian, tentu saja aku kecewa, aku berduka. Ini berarti bahwa aku hanya menyayang diriku sendiri!

Sudah sejak siang tadi Lian Hong merenungi keadaan dirinya di depan kuburan ayah ibunya, kadang-kadang menangis, kadang-kadang hanya duduk diam seperti patung. Diraihnya kini buntalannya yang hanya berisi beberapa potong pakaian, dan ketika dibukanya, nampak sebatang pedang yang amat indah di dalamnya. Dikeluarkannya pedang itu. Giok-liong-kiam! Pedang Naga Kemala yang pernah menggegerkan seluruh tokoh persilatan yang hendak memperebutkannya. Sebuah pedang pusaka yang dijadikan rebutan karena menyembunyikan pusaka harta karun yang tak terhitung besarnya. Akan tetapi kini harta karun itu telah lenyap, peti yang ditemukan atas petunjuk yang ada pada pedang itu telah kosong, isinya telah diambil orang lain. Yang ada tinggal pedang itu. Ia berhak memiliki pedang pusaka itu.

Dan kini Lian Hong memegang pedang itu dengan kedua tangannya. Sebatang pedang indah yang sudah seringkali dikaguminya. Ia seringkali kalau memandangi dan mengagumi pedang itu, membayangkan betapa ia akan memberikan pedang itu kepada suaminya, kepada Ci Kong kalau sudah menjadi suaminya! Akan tetapi sekarang harapannya musnah, yang ada tinggal pedang itu yang berkilauan di depannya, seperti mentertawakannya, seperti mengejeknya.

Tiba-tiba timbul suatu dorongan hasrat gila. Lian Hong memegang gagang pedang dengan tangan kanannya. Pedang ini terbuat dan batu kemala yang mahal dan indah, tak pernah dipakai untuk bertanding karena ia khawatir pedang itu akan rusak. Namun, kalau dipakai membunuh diri tentu bisa!

“Ihhh! Pengecut!”

Lian Hong memaki diri sendiri, dan cepat-cepat ia memasukkan pedang pusaka itu kembali ke dalam sarung pedang dan memegangi benda itu dengan kedua tangannya.

Bayangan yang sejak tadi mengintainya dari jauh dari balik sebatang pohon besar itu, tiba-tiba muncul dan terdengar suaranya menegur.

“Hong Hong… apakah engkau sudah menjadi gila?”

Lian Hong terkejut dan cepat mengangkat muka. Dilihatnya seorang kakek kurus dengan baju tambal-tambalan, matanya sipit tersenyum-senyum lebar sambil mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas butut, telah berdiri di dekat makam ayah ibunya.

“Suhu!”

Lian Hong berseru dan kembali kedukaannya datang menerpanya, sehingga ia menubruk kaki gurunya sambil menangis lagi.

“Eh, eh… apakah engkau benar sudah gila? Sejak tadi menangis, termenung, bahkan mau membunuh diri!”

Kakek itu memandang kepada muridnya dengan terheran-heran. Dia mengenal muridnya sebagai seorang gadis yang keras hati, tabah dan pantang menangis, dan sekarang apa yang dilihatnya? Seorang gadis yang cengeng dan lemah sekali!

“Suhu… ah, suhu… bunuh saja aku… aku tidak kuat rasanya menanggung derita batin ini!”

Lian Hong menangis sambil merangkul kedua kaki gurunya. “Bangkitlah, duduklah yang benar!”

Tiba-tiba kakek itu membentak dan diapun duduk di atas rumput di depan makam, berhadapan dengan muridnya. Sinar bulan purnama menyinari wajah muridnya yang pucat kehijauan, dan semakin kagetlah hati kakek itu. Akan tetapi sekali ini dia tidak tersenyum melainkan mengerutkan alis dan suaranyapun terdengar bengis.

“Apa yang kulihat dan dengar ini? Benarkah engkau ini Lian Hong muridku? Ataukah hanya seorang gadis lemah yang cengeng? Hong Hong, aku gurumu, juga pengganti orang tuamu yang sudah di kubur di sini. Kalau ada sesuatu, rundingkanlah dengan aku, bukan ditangisi seperti perempuan cengeng di depan kuburan orang tuamu. Apa kaukira orang tuamu yang sudah dikubur ini akan dapat menolongmu kalau engkau menghadapi kesulitan? Hayo ceritakan, apa yang membuat engkau menjadi seperti orang gila ini?”

Mendengar suara gurunya, Lian Hong terkejut dan hal ini menolongnya. Gurunya selalu bicara sambil tertawa dan seperti orang yang tidak pernah bersikap serius, akan tetapi sekali ini suhunya demikian ketus dan bengis. Hal ini mengejutkannya dan seperti menyeretnya turun kembali ke dalam dunia kenyataan, bukan dunia yang penuh bayangan yang membuatnya iba diri dan berduka tadi. Teringatlah ia betapa ia menangis secara keterlaluan sejak sore tadi dan iapun melihat kenyataan betapa cengengnya ia, betapa biasanya ia akan memandang rendah sikap cengeng seperti itu. Iapun sadar dan mengambil keputusan untuk berterus terang kepada gurunya yang memang benar menjadi pengganti orang tuanya karena ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini. Maka iapun duduk berhadapan dengan suhunya, menahan isak terakhir dan menghapus titik air terakhir di sudut matanya dengan lengan bajunya yang sudah basah.

“Suhu, aku telah jatuh cinta…” “Ha-ha-ha-ha!”

Meledaklah suara ketawa kakek itu. Mendengar suara dan pengakuan muridnya, mengertilah San-tok bahwa muridnya sudah sembuh dan hatinya merasa lega, juga dia merasa geli mendengar pengakuan itu sehingga suara ketawanya memotong keterangan muridnya.

“Jatuh cinta  saja  sampai  membuat  engkau  menangis  dan  berduka.

Bukankah sepatutnya engkau tertawa gembira?” Lalu dia menambahkan cepat.

“Siapakah pria yang beruntung memperoleh cintamu itu?” “Dia Tan Ci Kong…”

“Ha-ha-ha!”

Kembali meledak suara ketawa kakek itu.

“Cocok, cocok… memang akupun ingin sekali engkau berjodoh dengan murid Siauw bin-hud itu. Dia memang seorang pemuda yang gagah dan patut menjadi suamimu. Akan tetapi.... eh, kenapa tadi engkau menangis dan ingin mati, padahal engkau jatuh cinta kepada Ci Kong?”

“Dia dia mencinta gadis lain, suhu…”

Sedih sekali rasa hati Lian Hong, akan tetapi sekarang ia telah sadar dan kuat sehingga tidak lagi menangisi walaupun mulutnya cemberut menandakan kekesalan hatinya. Kali ini San-tok yang meloncat ke atas, berdiri sambil melototkan matanya yang sipit dan membanting-banting kaki.

“Apa kaubilang? Dia berani menolak cintamu? Keparat!” “Dia tidak menolak, suhu.”

“Lebih gila lagi! Dia cinta padamu, akan tetapi berani mencinta lain perempuan?”

“Tidak, suhu, tidak begitu…” “Dia mencintamu, bukan?”

“Aku tidak tahu...”

“Ehhh? Engkau cinta padanya, dan engkau belum tahu apakah dia cinta padamu ataukah tidak? Sungguh aneh dan gila. Coba kuulangi… engkau mencinta Ci Kong akan tetapi engkau tidak tahu apakah dia cinta padamu atau tidak, kemudian engkau mengetahui bahwa dia mencinta gadis lain dan hatimu lalu menjadi sengsara dan engkau menangis di sini. Begitukah?”

Lian Hong menganggukkan kepalanya. Setelah kini gurunya membicarakan urusan itu dengan suara datar saja tanpa perasaan, nampak olehnya betapa sikapnya memang mendekati gila. Mengapa urusan begitu saja membuat ia tadi menangis seperti anak kecil, bahkan ingin membunuh diri?

Tiba-tiba kakek itu berkata dengan suara lantang.

“Kenapa engkau begini bodoh? Pergi dan bunuh perempuan yang dicintanya itu!”

Lian Hong tidak kaget mendengar ini. Ia sendiri pernah mendatangi Ceng Hiang dan ingin membunuhnya! Memang tidak ada lain jalan, tentu demikianlah sikap gurunya. Ia menggeleng kepalanya.

“Wanita itu tidak bersalah, suhu… dan iapun belum tentu mencinta Ci Kong, dan pula, aku tidak sanggup mengalahkannya.”

San-tok membelalakkan matanya mendengar bahwa wanita yang dicinta Ci Kong itu sedemikian lihainya sehingga Lian Hong tidak mampu mengalahkannya!

“Wah, kalau begini katakan dimana ia, aku yang akan membunuhnya!” Namun Lian Hong menggeleng kepala.

“Tidak guru, aku tidak ingin demikian. Apa artinya membunuhnya kalau Ci Kong tetap saja tidak cinta padaku?” “Apakah Ci Kong sudah pasti tidak cinta padamu?” “Aku tidak tahu, suhu.”

“Engkau tidak pernah bicara tentang cinta dengan dia?”

“Tidak pernah. Tadinya aku menyangka dia cinta padaku, melihat dari pandang matanya, bicaranya dan sikapnya. Akan tetapi kemudian, aku melihat sendiri betapa dia jatuh dnta kepada gadis lain.”

“Wah, ini seperti main teka-teki saja. Tidak baik membiarkan diri dalam keraguan. Hayo bangkit berdiri dan ikut aku!”

“Ke… kemana, suhu?” tanya Lian Hong tergagap, akan tetapi ia mengumpulkan pedang dan buntalan pakaiannya.

Lian Hong lalu bangkit berdiri dan tanpa disadarinya, ada isak terlepas dari dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang membuat dadanya menjadi lega. Rasanya plong seperti ada ganjalan yang diambil dari dalam dadanya. Diam- diam kakek itu merasa iba kepada muridnya. Wajah yang cantik itu memang kelihatan agak kurus, mukanya pucat sehingga mata yang biasanya sudah lebar itu menjadi semakin lebar. Dia tahu bahwa muridnya memang menderita hebat selama beberapa hari ini, dan kalau tidak cepat ditolong, mungkin saja akan jatuh sakit.

“Kita mencari Siauw-bin-hud dan muridnya!” “Tapi…”

Lian Hong meragu dan terkejut, karena mengira bahwa gurunya akan membuat gara-gara. Kalau gurunya menyerang Siauw-bin-hud, mana mungkin gurunya akan menang? Pula, ia merasa malu kalau harus memaksa Ci Kong menerima dirinya. Tidak, ia tidak akan mengemis cinta!

“Tidak ada tapi! Tidak baik membiarkan diri tenggelam dalam keraguan. Sebaiknya kalau kita berterus terang saja. Aku akan meminang Ci Kong untukmu. Tinggal diterima atau tidak, akan tetapi ada ketentuan, tidak seperti keadaan hatimu sekarang ini, penuh keraguan tidak menentu. Hayo!”

Kakek itu membalikkan tubuh dan melangkah lebar. Lian Hong masih ragu- ragu, akan tetapi kedua kakinya melangkah dan iapun mengikuti gurunya. Biarlah, pikirnya. Ia akan menurut saja kepada gurunya. Mungkin ini lebih baik dari pada merana seorang diri. Memang sebaiknya ada ketentuan. Dan hatinyapun mulai terhibur.

Dengan melakukan perjalanan cepat, San-tok dan Lian Hong tiba di kaki pegunungan dimana terdapat kuil Siauw-lim-si di puncaknya itu, dan berhenti mengaso karena telah beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan yang cukup jauh.

Melihat suhunya yang biasanya ramah dan suka tertawa itu, tiba-tiba kehihatan termenung, Lian Hong menjadi heran.

“Suhu, ada apakah? Suhu kelihatan seperti orang melamun.”

Heran sekali. Kakek itu menarik napas panjang, hal yang jarang sekali dia lakukan. Alisnya berkerut dan dia menjawab, suaranya berat.

“Aku memang sedang melamun dan hatiku sedih karena aku teringat kepada Diana yang pernah ikut bersamaku naik ke bukit ini, Hong Hong.”

Karena ia sendiri terlalu terbenam ke dalam masalahnya sendiri, baru sekarang Lian Hong teringat kepada Diana.

“Ah, dimana ia sekarang, suhu? Apakah suhu meninggalkannya seorang diri saja di puncak Naga Putih?”

Kakek itu menggeleng kepala.

“Tidak, Hong Hong. Diana telah mengajak aku turun gunung, dan gadis itu memang tidak mengecewakan sekali menjadi muridku. Ia telah bertekad untuk membujuk para pimpinan pasukan orang kulit putih untuk tidak memusuhi para pejuang!”

“Ahhh…”

Lian Hong terkejut sekali.

“Dan ia hampir saja menjadi korban dalam usahanya itu. Ia terjebak dan hampir celaka, tidak berdaya karena ditodong. Untunglah, dalam keadaan terjepit itu muncul seorang bintang penolong yang tak disangka-sangka.”

“Suhu, apakah yang telah terjadi dengan Diana? Dimana ia sekarang?”

Lian Hong bertanya penuh kekhawatiran. San-tok lalu menceritakan pengalamannya bersama Diana. Betapa dia mengantar Diana sampai ke Kanton, dan gadis yang gagah perkasa itu berusaha untuk menjelaskan kepada para pimpinan pasukan kutit putih bahwa para pejuang bukanlah bandit- bandit seperti yang mereka sangka, melainkan orang-orang gagah yang memperjuangkan hak mereka membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Betapa kemudian Diana terjebak oleh seorang komandan kulit putih dan hampir saja celaka kalau tidak muncul seorang perajurit yang ternyata adalah kekasih Diana yang pernah berpisah karena dipisahkan orang tua. Betapa kemudian, kekasih Diana itu menembak mati si komandan yang kurang ajar, dan betapa dua orang muda itu terancam bahaya karena telah membunuh komandan.

“Di situ aku lalu turun tangan. Kuakui bahwa akulah pembunuh komandan itu, dan aku lalu mengamuk dan melarikan diri. Dengan demikian, Diana dan kekasihnya akan terbebas dari tuduhan membunuh komandan,” kata kakek itu, dan nampaknya puas bahwa dia telah dapat menolong murid yang disayangnya itu.

“Lalu sekarang dimanakah Diana, suhu?” Kembali kakek itu menarik napas panjang.

“Kalau aku tidak terlalu sayang padanya, tentu akan kutahan ia agar jangan meninggalkan negeri ini. Akan tetapi, aku tidak tega. Ia telah bertemu kembali dengan kekasihnya. Ah, tahukah engkau, Hong Hong, bahwa gadis itupun pernah jatuh cinta kepada Ci Kong?”

Lian Hong mengangguk. Sudah diduganya akan hal itu dan kenyataan itu bahkan makin menyedihkan hatinya. Ci Kong terlalu baik sehingga banyak gadis yang jatuh cinta kepadanya.

“Akan tetapi, dimana ia sekarang?”

“Ia telah pergi jauh sekali ke negeri barat, ke negerinya sendiri. Aku sempat melihatnya naik ke kapal. Akan tetapi hanya ia saja yang tahu bahwa aku mengantar kepergiannya. Aku menjadi orang buruan mereka. Ia berangkat bersama kekasihnya, menempuh hjdup baru, ataukah kembali kepada hidup lama? Setidaknya, ia ke sana untuk terus berjuang dengan caranya sendiri, yaitu membujuk pamerintah bangsanya agar lebih menghargai para pejuang.” Dara itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa agak  kecewa  dan  juga merasa rindu kepada Diana yang disayangnya. Sama sekali tak disangkanya bahwa Diana telah pergi, dan agaknya tidak ada kemungkinan untuk dapat

bertemu kembali dengan gadis itu!

Mereka langsung menuju ke sebuah guha di belakang kuil Siauw-lim-pai, sebuah guha besar di puncak bukit itu dimana Siauw-bin-hud biasanya tinggal atau bertapa. Ketika mereka tiba di sana, San-tok melihat bahwa Siauw-bin- hud sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Tee-tok! Melihat munculnya San-tok, Siauw-bin-hud tertawa.

“Heh-heh-heh, sungguh beruntung sekali engkau, San-tok. Pinceng baru saja kembali kemarin dan sudah harus menerima tamu-tamu agung. Engkau lebih beruntung dari pada Tee-tok yang harus menanti kembaliku sampai satu minggu di sini.”

Kakek itu memandang kepada Lian Hong dan mengangguk-angguk.

“Muridmu itu semakin cantik dan gagah saja, San-tok. Mari, silahkan duduk.”

“Ha-ha, engkau melihat muridku semakin cantik dan gagah, Siauw-bin- hud? Bagus, kalau begitu, engkau tentu setuju kalau aku ingin menjodohkan muridku dengan muridmu, Tan Ci Kong! Aku datang untuk membicarakan urusan perjodohan itu denganmu, hwesio tua!”

Tiba-tiba Tee-tok yang sejak tadi diam saja, meloncat berdiri.

“Iblis Gunung tak tahu malu! Selalu engkau menjadi penghalang! Kedatanganku jauh lebih dulu darimu. Sudah seminggu aku di sini dan baru saja aku sempat bertemu dengan hwesio tua ini yang sejak kedatangannya kemarin mengeram saja di kuil. Dan akupun tadi sedang membicarakan urusan perjodohan antara Ci Kong dengan muridku, Kui-Eng.”

San-tok terbelalak, lalu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sampai lupa aku bahwa ada manusia lain di sini. Tee-tok, apa salahnya kita berdua sama-sama melamar? Keputusannya tergantung kepada Siauw-bin-hud, bukan? Kalau dia setuju kepada muridku jodoh muridnya, engkau mau apa?”

“Keparat! Engkau memandang rendah kepadaku ya? Kalau lamaranku sudah ditolak, baru engkau boleh mengajukan lamaran. Sungguh tak tahu malu, dan kalau engkau tidak cepat pergi bersama muridmu itu, aku akan terpaksa menghajarmu!” Tee-tok membentak marah.

Biarpun kakek ini pendek kecil kepalanya botak hampir gundul dan pakaiannya seperti tosu, akan tetapi dia jauh lebih galak dan pada San-tok. Kini, kakek yang katai ini kelihatan marah sekali dan membusungkan dada menantang, kelihatan lucu.

“Heh-heh, engkau hendak menghajarku? Tee-tok, sejak dahulu sampai kapanpun aku tidak pernah takut kepada setan cilik macam kamu. Majulah!”

Tiba-tiba Siauw-bin-hud sudah bangkit dan berada di antara mereka, sedangkan Lian Hong hanya diam saja, wajahnya berubah kemerahan. Iapun sudah menduga bahwa Kui Eng juga jatuh cinta kepada Ci Kong! Begitu banyaknya gadis yang gagah perkasa dan baik-baik jatuh cinta kepada pemuda itu, seperti dipakai berebut sehingga ia menjadi bingung sendiri.

Dua orang kakek itu tadinya sudah siap untuk saling gebuk, akan tetapi ketika melihat Siauw-bin-hud berdiri di antara mereka, keduanya menahan diri. Siauw-bin-hud terkekeh geli.

“Omitohud…! Empat Racun Dunia agaknya sudah berubah menjadi kanak- kanak lagi yang suka berkelahi. Kalau beberapa bulan yang lalu, Thian-tok berkelahi melawan Hai-tok karena urusan perjodohan murid, kini Tee-tok dan San-tok agaknya tidak mau kalah, siap untuk saling gebuk karena urusan jodoh murid masing-masing. Seperti pernah kutanyakan kepada mereka, sekarang aku juga ingin bertanya kepada kalian berdua, kakek-kakek tua bangka yang sudah terlalu banyak makan garam dunia. Sebenarnya, yang ingin menentukan jodoh dan menikah itu, kalian sendiri ataukah murid-murid kalian?”

Dua orang kakek itu melongo dan saling pandang, kemudian Tee-tok berkata dengan bersungut-sungut.

“Pertanyaan gila! Tentu saja muridku, masa aku setua ini memikirkan kawin?”

“Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud mengoceh tidak karuan. Tentu saja muridku yang hendak kulamarkan muridmu. Aku sendiri, untuk apa kawin? Memikirkan kawin saja, bulu tengkukku sudah meremang semua saking ngeninya, ha-ha- ha!” kata San-tok.

“Omitohud… setidaknya kalian dua orang kakek masih memiliki kejujuran untuk mengaku. Nah, kalau yang hendak memilih jodoh itu munid kalian. Kenapa kalian berdua yang ribut-ribut? Biarkan murid-murid kita yang menentukan pilihan hati masing-masing, dan kita ini orang-orang tua hanya mendengarkan dan merestui saja. Tidakkah begitu sebaiknya. Kalau Ci Kong dengan murid San-tok saling mencinta, biarlah mereka berjodoh, sebaliknya kalau Ci Kong saling mencinta dengan murid Tee-tok, biarlah mereka itu berjodoh.”

“Muridku mencinta Ci Kong!” kata San-tok cepat. “Muridku juga!” kata pula Tee-tok.

Lian Hong mendengarkan sambil menundukkan mukanya, bagaimanapun juga, hatinya terasa malu mendengar percakapan kakek-kakek itu tentang perjodohannya.

“Kalau begitu, serahkan pemilihannya kepada Ci Kong sendiri! Siapa di antara kedua nona murid kalian yang dicintanya. Kalau Ci Kong tidak mencinta, bagaimana mungkin dapat dipaksa untuk menikah? Eh, anak baik. Mengapa engkau tidak langsung saja bertanya kepada Ci Kong dan mengajaknya menikah kalau kalian saling mencinta? Jangan suruh kakek-kakek sinting ini mengurus perjodohanmu, akhirnya bahkan akan membikin kacau saja,” kata Siauw-bin-hud kepada Lian Hong sambil tersenyum.

“Tee-tok dan San-tok, dengarlah. Cinta tak mungkin dapat dipaksakan, dan menurut pendapat pinceng yang bodoh, perjodohan tak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik kalau kedua pihak yang bersangkutan tidak saling mencinta. Kalau hanya dari sepihak, berarti yang lain terpaksa dan perjodohan yang dipaksakan hanya dapat terjadi pada binatang saja, bukan pada manusia.”

Dua orang kakek itu saling pandang dan mengangguk-angguk. San-tok lalu menoleh dan berkata kepada muridnya.

“Hong Hong, omongan hwesio ini ceng-li (masuk di akal), maka sebaiknya kalau engkau terus terang saja bertanya kepada Ci Kong. Eh, hwesio, dimana sih adanya muridmu yang diperebutkan para gadis itu?”

“Dia tidak berada di sini, entah dimana. Pinceng baru saja pulang dari menemui berbagai golongan untuk membujuk agar mereka membangkitkan kembali semangat mereka untuk berjuang. Dan kebetulan sekali pinceng bertemu kalian di sini. Pinceng melihat bahwa perjuangan menentang penjajah ini akan menemui banyak kesulitan, apalagi setelah kini orang-orang kulit putih makin berpengaruh di daratan. Kalau segenap lapisan masyarakat, seluruh rakyat dan segala golongan, segala suku, segala agama dapat bersatu padu menentang penjajah, pinceng kira barulah kemerdekaan tanah air dan bangsa akan benar-benar terlaksana. Dan sudah menjadi kewajiban kita yang tua-tua ini untuk membangkitkan gairah dan semangat yang muda-muda untuk bangkit. Nah, pinceng sudah terlalu banyak bicara, maafkan kalau pinceng sekarang ingin beristirahat.” Setelah berkata demikian, kakek itu begitu saja membalikkan tubuh dan memasuki guha untuk duduk bersila dan bersamadhi.

“Bagaimana pendapatmu, Tee-tok?”

San-tok bertanya kepada rekannya. Tee-tok mengangguk-angguk.

“Memang hwesio tua bangka itu benar. Kita terlalu meributkan urusan pribadi, urusan kanak-kanak. Biarkan saja murid kita mengurus persoalan jodoh masing-masing tanpa kita mencampurinya. Aku akan memberituhu muridku sekarang juga.”

Setelah berkata demikian, Tee-tok lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Hanya Lian Hong dan San-tok saja yang masih berada di luar guha.

“Nah, muridku, engkau sudah melihat dan mendengar sendiri semua percakapan tadi. Memang sebaiknya kalau engkau mencari Ci Kong dan membicarakan urusanmu itu secara pribadi dan terus terang.”

“Suhu, tadinya akupun tidak ada niat sama sekali untuk datang ke sini, hanya mengikuti kehendakmu saja,” kata Lian Hong, bersungut-sungut.

“Kalau memang Ci Kong tidak cinta kepadaku, akupun tidak sudi untuk mengemis kepadanya, suhu. Biarlah aku akan merawat kuburan kedua orang tuaku yang kulihat tidak terpelihara. Setelah selesai merawat kuburan, baru aku akan bergabung lagi dengan para teman pejuang.”

San-tok menarik napas panjang.

“Terserah kepadamu, Hong Hong. Hanya pesanku, jangan tenggelam ke dalam kedukaan. Aku sudah semakin tua, hatiku akan berduka kalau melihat engkau sengsara, muridku. Aku akan kembali saja ke puncak Naga Putih dan menghabiskan sisa usiaku di sana, sambil menanti berita darimu.”

“Baik, suhu. Kalau terjadi sesuatu yang penting, tentu aku akan menyusul suhu ke sana.”

Guru dan murid inipun saling berpisah. Lian Hong kembali lagi ke dusun Tung-kang di Kanton, sedangkan San-tok atau Bu Beng San-kai kembali ke puncak Naga Putih di Pegunungan Wuyi-san.

“Tan-toako, maafkanlah aku. Demi kebahagiaan kita masing-masing, terpaksa aku harus berterus terang, dan kuharap saja keterus teranganku ini tidak begitu menyakitkan hatimu.”

Demikian Ceng Hiang mengeluarkan kata-kata dengan halus, pandang matanya penuh kegelisahan ketika memandang wajah pemuda itu. Pagi itu ia menemui Ci Kong dan mengajak pemuda itu bercakap-cakap di dalam taman. Ci Kong juga menatap wajah yang cantik jelita itu dan alisnya berkerut, akan tetapi dia tetap saja bersikap tenang.

“Ceng-lihiap, sepagi ini engkau memanggil aku untuk mengajak bercakap- cakap dan ucapan pertama darimu adalah minta maaf. Sesungguhnya, apakah yang hendak kaukatakan? Memang aku lebih menyukai kejujuran dan keterusterangan dari pada mendendam sesuatu dalam hati. Katakanlah, aku sudah siap untuk mendengar hal yang betapa burukpun.”

“Toako, mengenai pernyataanmu malam tadi, sudah kupikirkan masak- masak, karena hal itu menyangkut kehidupanku mendatang. Aku meneliti diri sendiri, dan sekarang dengan hati terurai, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa yang ada dalam hatiku terhadapmu hanyalah rasa suka dan kagum saja, toako. Aku… maafkan, aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu, karena aku telah bertunangan dengan Yu-koko, yaitu orang yang berusaha menolong ayah melalui pembesar di kota raja. Nah, aku sudah berterus terang… dan sekali lagi maafkan aku, toako.”

Gadis itu memandang wajah pemuda itu yang menjadi pucat sehingga ia menjadi tidak tega, lalu menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa kata-katanya walaupun sudah diatur sebaik-baiknya agar terdengar lembut dan tidak menyinggung, tetap saja mendatangkan kenyerian yang membuat wajah pemuda itu menjadi pucat seketika.

Keadaan menjadi hening setelah ia mengeluarkan kata-kata itu. Ceng Hiang tidak berani mengangkat muka memandang, hanya menunggu dan rasanya lama bukan main ia menanti jawaban Ci Kong yang tak kunjung tiba, seolah-olah pemuda itu mendadak kehilangan kemampuannya untuk bicara.

Dan memang demikianlah, pernyataan Ceng Hiang yang terus terang itu merupakan pukulan batin yang cukup hebat bagi Ci Kong, membuatnya tertegun dan lidahnya seolah-olah menjadi kaku. Dia hanya menatap wajah yang menunduk itu dengan hati terasa pedih. Akan tetapi, pemuda gemblengan ini akhirnya dapat menekan perasaannya dan suaranya terdengar agak menggetar dan lirih dia bertanya.

“Engkau cinta padanya?”

Ceng Hiang terkejut. Pertanyaan tiba-tiba ini tidak diperhitungkannya sebelumnya dan ia tertegun, tak mampu menjawab. Akan tetapi ia seorang gadis yang cerdik dan jujur, maka ia dapat mengatasi rasa kagetnya, dan dengan menentang pandang Ci Kong yang penuh selidik itu ketika ia menjawab halus.

“Aku tidak tahu, toako, akan tetapi sudah pasti aku akan belajar mencintanya, atau setidaknya aku akan berusaha untuk membahagiakan orang yang menjadi suamiku kelak. Engkau tahu, aku adalah seorang gadis yang masih terikat oleh tradisi kebangsawanan. Tak mungkin bagi seorang gadis dari golonganku untuk menentukan jodohnya sendiri. Ayahku memilihkan untukku, dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaan, dan aku tidak kecewa atas pilihan ayah. Yu-koko adalah seorang pemuda bangsawan yang amat baik. Kurasa tidak akan sukar bagiku untuk mencintanya kelak setelah dia menjadi suamiku.”

Ci Kong mengangguk-angguk. Dia tadi menatap wajah gadis itu penuh selidik dan dia tahu bahwa gadis itu tidak menyembunyikan sesuatu, bicara dengan sejujurnya. Dia dapat menghargai sikap gadis itu dan membuat dia menjadi semakin kagum, akan tetapi juga membuat hatinya terasa semakin pedih. Dia lalu menarik napas panjang.

“Aku mengerti, lihiap. Aku yakin bahwa pilihan orang tuamu tentu tepat sekali. Seorang bangsawan seperti engkau ini memang sudah sepatutnya kalau berjodoh dengan seorang pemuda bangsawan yang kaya raya dan beikedudukan tinggi pula. Sedangkan aku, ah… biarlah aku menyadari keadaanku sendiri, lihiap. Maafkan atas kelancanganku semalam. Setelah aku sadar, aku merasa malu karena sungguh-sungguh aku seorang pemuda yang tidak tahu diri. Nah, aku mohon diri, lihiap. Aku akan pergi sekarang juga.”

“Toako! Apakah engkau tidak berpamit kepada ayah dulu?”

Ceng Hiang terkejut melihat pemuda itu akan pergi begitu mendadak, dan di dalam hatinya timbul perasaan iba yang mendalam.

“Tidak perlu, lihiap. Tolong agar engkau nanti menyampaikan ucapan maaf dariku, juga terima kasihku kepada beliau. Selamat tinggal!”

“Nanti dulu, toako1” Ci Kong yang sudah bergerak hendak memutar tubuh itu, berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang wajah gadis itu. Dia melihat ada titik air mata turun dan kedua mata Ceng Hiang, dan hatinya merasa terharu sekali. Gadis ini amat baik, terlalu baik. Dialah yang sial dan bukan jodoh gadis ini.

“Tan-toako, aku tidak ingin melihat engkau pergi membawa dendam dan sakit hati kepadaku.”

Ci Kong memaksa dirinya untuk tersenyum.

“Dendam dan sakit hati? Aihhh, mengapa engkau menduga begitu, lihiap? Tidak, selamanya aku tidak akan mendendam kepadamu. Aku mengerti keadaanmu, dan cinta seseorang tak mungkin dapat dipaksakan. Sungguh mati, aku sama sekali tidak menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tak tahu diri…”

“Tan-toako, tunggu dulu, aku mau bicara…”

“Lihiap, ada urusan apalagi yang dapat dibicarakan antara kita?”

Mendengar suara yang mengandung kepahitan itu, Ceng Hiang menghapus dua titik air matanya, dan berkatalah ia dengan halus, namun nadanya mengingatkan.

“Tan-toako, sesungguhnya, pernyataan cintamu kepadaku itu salah alamat.”

Sepasang mata Ci Kong terbelalak dan alisnya berkerut. Apa maksud gadis ini, pikirnya heran. Benarkah bahwa Ceng Hiang sengaja hendak menghinanya setelah menolak cintanya? Dia menatap tajam penuh selidik, namun pandang mata gadis itu sedikitpun tidak nampak bahwa ia melakukan suatu kesalahan yang disembunyikan.

“Ceng-lihiap, apa maksudmu?” tanyanya, suaranya agak gemetar.

“Maksudku, engkau menyatakan cinta kepada gadis yang keliru. Semestinya bukan aku yang harus kaunyatakan cinta, akan tetapi kepada seorang gadis lain yang selalu mengharapkan pernyataan cintamu.”

Lega rasa hati Ci Kong. Gadis ini tidak bermaksud mengejek atau menghinanya, dan timbul heran dan keinginan tahunya.

“Siapakah gadis yang kaumaksudkan?”

Ceng Hiang tersenyum dan ia merasa heran sendiri. Setelah membicarakan orang lain, setelah ia sendiri tidak tersangkut, ia dapat tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya, maka tahulah ia dengan yakin bahwa ia memang hanya kagum dan suka kepada pemuda ini, dan tidak jatuh cinta, ia sama sekali tidak akan merasa cemburu atau iri kalau melihat Ci Kong dapat berjodoh dengan Lian Hong, bahkan sebaliknya, ia akan merasa gembira sekali.

“Tan-toako, berarkah engkau tidak tahu? Engkau yang begini gagah perkasa dan bijaksana, benarkah engkau begini bodoh sehingga tidak melihat adanya seorang gadis yang amat baik, yang sudah bertahun-tahun menantimu dengan segenap jiwa raganya yang setiap saat mengharapkan pernyataan cintamu? Tidak dapatkah engkau menduga siapa gadis itu?”

Ci Kong mengelengkan kepalanya, dan diam-diam dia terkejut sekali. Beberapa buah wajah terbayang di depan matanya. Lian Hong? Kui Eng? Kiki? Diana? Akan tetapi dia tidak pernah menduga bahwa ada gadis yang jatuh cinta kepadanya seperti apa yang dikatakan oleh Ceng Hiang.

“Sungguh, aku tidak tahu, lihiap. Siapakah gadis itu?” “Siapa lagi kalau bukan Siauw Lian Hong?”

Ci Kong membelalakkan kedua matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik, akan tetapi wajah itu menunjukkan bahwa Ceng Hiang bicara sebenarnya. Pemuda itu alu mengerutkan alisnya.

“Lihiap, harap jangan main-main. Di antara para gadis yang menjadi sahabatku, Lian Hong adalah seorang yang paling pendiam dan tidak pernah bicara tentang perasaannya.”

“Justeru karena ia pendiam maka ia menderita hebat, toako. Ia mencintamu sejak pertama kali bertemu denganmu, dan ia memendam cintanya itu di dalam hatinya, setiap saat merindukanmu, setiap saat menanti pernyataan cintamu kepadanya, karena ia merasa yakin bahwa engkau juga mencintanya. Nah, bukankah pernyataan cintamu yang kaunyatakan kepadaku itu salah alamat… dan seharusnya engkau menyatakan cintamu kepada Lian Hong?”

Ci Kong termenung dan mengingat-ingat. Harus diakuinya bahwa dia amat menyayang Lian Hong, bahkan pernah terpikir olehnya apakah dia jatuh cinta kepada gadis murid San-tok yang gagah perkasa itu. Akan tetapi sikap Lian Hong yang pendiam, yang agak angkuh malah, membuat dia mundur teratur dan mengira bahwa gadis itu hanya berteman dengannya, tidak menaruh hati cinta kepadanva. Lalu dia teringat akan pengalamannya ketika bekerja sama dengan Lian Hong. Bahkan terbayang olehnya betapa Lian Hong yang menyamar sebagai pria ketika dia menyamar sebagai pelayan dan mereka mengawal Kui Eng yang menyamar sebagai seorang gadis hartawan, selalu menggodanya kalau dia nampak cemburu melihat Kui Eng dirayu oleh Lee Song Kim

“Tapi bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, lihiap? Apakah ia menceritakan hal itu kepadamu?”

“Lian Hong adalah seorang gadis yang keras hati dan selalu menyimpan perasaannya, toako. Akan tetapi sangat aneh sekali, ia telah melihat pertemuan kita kita semalam dan ia telah salah sangka, mengira bahwa kita saling mencinta dan ia…”

“Ia bagaimana, lihiap?”

Ci Kong bertanya dan hatinya penuh ketegangan dan kekhawatiran, juga kasihan mendengar betapa Lian Hong yang katanya mencintanya mati-matian itu melihat pertemuannya dengan Ceng Hiang. Melihat perhatian yang makin meningkat dari Ci Kong terhadap Lian Hong, hati Ceng Hiang menjadi gembira dan bersemangat.

“Ia hampir membunuh diri, toako.” “Ahhh!!”

Bukan main kagetnya hati Ci Kong mendengar ini. Dia terbelalak memandang kepada Ceng Hiang.

“Me… mengapa ia melakukan itu dan… dan kemudian bagaimana, lihiap, dan dimana ia sekarang?”

“Tan-toako, katakan saja terus terang kepadaku. Bukankah engkau mencinta adik Lian Hong?”

Berkata demikian, Ceng Hiang menatap tajam pemuda itu, seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. Ci Kong juga memandang kepadanya, dan sejenak dua pasang mata bertemu pandang, kemudian Ci Kong menunduk dan suaranya lirih ketika dia membuat pengakuannya.

“Aku aku tidak yakin benar, lihiap. Aku amat sayang kepadanya, aku suka dan kagum kepadanya. Aku menganggap ia sebagai seorang sahabat baik, sebagai seorang teman seperjuangan, bahkan sebagai saudara. Mungkin aku cinta kepadanya, akan tetapi kami tidak pernah bicara tentang itu, dan aku semenjak bertemu denganmu, lihiap, aku hanya memperhatikanmu. Ah, mungkin aku cinta padanya… aku tidak tahu.”

“Engkau cinta padanya, toako. Lihat betapa engkau gelisah memikirkan keadaannya. Engkau cinta padanya seperti juga ia cinta padamu.”

“Ceng lihiap, katakanlah, dimana ia sekarang?”

Nona itu menggeleng kepalanya. Ia pergi, hanya pamit kepadaku semalam, tanpa memberi tahu kemana akan pergi, dengan hati patah dan semangat hancur, seperti patahnya ini…”

Ceng Hiang mengeluarkan sebuah kipas yang sudah robek menjadi dua bagian itu dan menyerahkannya kepada Ci Kong. Pemuda itu terkejut dan merampas kipas itu dari tangan Ceng Hiang, lalu mencengkeram kipas itu, wajahnya pucat.

“Ini senjatanya! Ah, dimana ia, lihiap? Dimana Hong-moi?”

“Ia pergi meninggalkan kipas ini setelah menceritakan semua perasaan hatinya kepadaku. Pergilah, pergilah sekarang, toako… dan cari Lian Hong. Kasihan anak baik itu, ia mungkin akan menderita selama hidupnya, dan hanya engkau seorang yang akan mampu membahagiakan hidupnya.”

“Aku akan pergi, aku akan mencarinya. Ah, Lian Hong…” kembali Ci Kong hendak pergi, akan tetapi ditahannya kakinya dan dia menoleh.

“Katakan, lihiap… apakah sikapmu terhadap diriku ini karena engkau mendengar bahwa Lian Hong mencintaku? Apakah engkau sengaja mengalah, tidak menerima cintaku agar aku dapat hidup bersama Lian Hong?”

Ceng Hiang kembali terkejut, tak menyangka akan ditanya seperti itu. Akan tetapi, pada saat dara ini kebingungan harus menjawab bagaimana, terdengar suara gaduh dan muncullah Pangeran Ceng Tiu Ong bersama seorang pemuda yang tampan dan berpakaian indah, bersikap halus dan gagah.

“Hiang-ji, mari ke sini. Tunanganmu telah berhasil membujuk kaisar, bukan hanya mengampuni aku, bahkan permintaanku untuk mengundurkan diri dari jabatan ini dikabulkan! Ah, aku akan dapat beristirahat dan hidup tenang di dusun, dan semua ini berkat bantuan Yu Kiang!”

Pangeran tua itu nampak girang sekali. Munculnya ayahnya dan tunangannya, melepaskan Ceng Hiang dari keadaan terjepit oleh pertanyaan Ci Kong tadi, dan iapun sudah tahu akan jawabannya, jawaban tanpa kata. Iapun memperlihatkan wajah cerah, tersenyum manis dan menghampiri dua orang itu, langsung mendekati Yu Kiang.

“Benarkah itu, koko? Ah, sungguh engkau baik hati sekali, dan aku berterima kasih sekali kepadamu, Yu-koko.”

Ketika menyebut ‘Yu-koko’, Ceng Hiang sengaja mengeluarkan kata-kata yang mesra dan suara yang manis, sehingga sekali pandang saja tahulah Ci Kong bahwa gadis bangsawan itu mencinta tunangannya. Dan ini berarti tidak mencinta diririya. Tahulah dia bahwa dia telah bersikap tolol. Apa artinya dia dibandingkan dengan pemuda yang bernama Yu Kiang ini? Seorang pemuda yang tampan, juga sikapnya halus dan amat gagah, pakaiannya indah, pembawaannya agung, tentu saja kaya raya. Sedangkan dia? Seorang perantau, tak berumah tinggal, tidak punya apa-apa, dan orang macam dia berani menyatakan cinta kepada seorang gadis bangsawan seperti Ceng Hiang!

“Oya, Yu-koko, inilah toako Tan Ci Kong, pendekar yang telah membantuku menolong ayah itu.”

Yu Kiang segera menghampiri Ci Kong dan memberi hormat dengan pandang mata kagum.

“Ah, kiranya ini Tan-taihiap yang gagah perkasa itu?”

“Marilah, kita semua duduk dan mengobrol di dalam. Mari, Tan-taihiap,” kata Pangeran Ceng dengan ramah.

“Maafkan saya, Pangeran. Baru saja saya berpamit kepada Ceng-lihiap, karena saya mempunyai uusan penting sekali yang harus saya laksanakan sehingga sekarang juga saya mohon diri. Maaf bahwa saya telah mengganggu keluarga Ceng yang terhormat dan banyak terimakasih atas segala keramahan dan kebaikan budi yang dilimpahkan selama saya berada di sini.”

Ci Kong memberi hormat, dan tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bicara, diapun sudah meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.

“Ayah, adik Lian Hong juga sudah pergi, bahkan malam tadi ia pergi. Ia mempunyai urusan yang amat penting maka ia pergi lebih dulu. Ia minta agar memaafkannya,” kata Ceng Hiang.

Pangeran tua itu menggeleng-geleng kepala dan menarik papas panjang. “Orang-orang muda yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi

dengan watak yang amat aneh. Aihh, ngeri aku membayangkan seandainya engkau menjadi seorang gadis kang-ouw dan berwatak aneh seperti mereka, Hiang-ji.”

Katanya kemudian, “Mari kita bicara di dalam.”

Dengan hati yang tidak karuan rasanya, Ci Kong meninggalkan kota raja. Dia harus mencari Lian Hong! Harus dapat cepat menemukannya sebelum terjadi apa-apa dengan Lian Hong. Gadis itu hendak membunuh diri karena cintanya terhadapnya? Sudah bertahun-tahun mencintanya dan setiap saat mengharapkan pernyataan cintanya? Dan Lian Hong selalu diam saja, tak pernah bicara apapun tentang cinta, bahkan tidak memperlihatkan cemburu terhadap para gadis lain yang juga mencintanya! Terbayanglah semua kebaikan Lian Hong terhadap dirinya, dan hatinya diliputi penuh keharuan. Kini, dia sudah melupakan bayangan Ceng Hiang. Yang nampak hanyalah bayangan Lian Hong seorang.

“Hong-moi… ah, Hong-moi!”

Berkali-kali Ci Kong mengeluh, merasa menyesal mengapa dia membuat hati gadis itu hancur, walaupun hal itu tidak disengajanya. Agaknya Lian Hong melihat ketika dia merangkul Ceng Hiang di dalam taman itu, padahal rangkulan itu hanya sebentar, hanya terdorong oleh perasaan hatinya, bukan rangkulan sebagai tanda dua orang sedang berpacaran. Ceng Hiang tidak cinta kepadanya, melainkan mencinta Yu Kiang, tunangannya, hal yang wajar dan sudah sepatutnya demikian. Lian Hong lah yang cinta padanya, dan diapun mencinta Lian Hong. Baru sekarang hal itu terasa benar olehnya.

Kemana dia harus mencari Lian Hong? Ke tempat tinggal gurunya, San-tok di Puncak Naga Putih Pegunungan Wuyi-san? Akan tetapi, kemana kiranya seorang gadis akan pergi kalau ia menderita duka yang mendalam? Tentu ke rumah orang tuanya, akan tetapi gadis itu sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Dan teringatlah dia dalam perjumpaannya yang terakhir kalinya dengan Lian Hong, di rumah keluarga Ceng sebelum gadis itu pergi, bahwa Lian Hong berniat untuk membersihkan dan memperbaharui makam kedua orang tuanya. Di Tung-kang, dusun kelahiran mereka, tentunya. Benar! Dia sendiri kalau sedang menderita duka, condong untuk pergi mengunjungi kuburan orang tuanya dan kembali ke dusun tempat kelahirannya. Maka Ci Kong lalu mengambil keputusan untuk pergi ke selatan, ke dusun Tung-kang di luar kota Kanton. Dia melakukan perjalanan secepatnya, dan di sepanjang perjalanan dia melakukan penyelidikan. Betapa girang rasa hatinya ketika dia akhirnya menemukan jejak Lian Hong dari seorang pelayan restoran yang mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu, gadis seperti yang digarnbarkan oleh Ci Kong memang lewat di kota itu dan makan di restoran itu. Tidak salah lagi, pikir Ci Kong girang, tentu hari Hong sedang melakukan perjalanan menuju ke Tung-kang.

Lian Hong tidak lagi menangis. Biarpun ia merasa betapa hidupnya kini amat sepi dan semangatnya lemah, gairahnya menipis, ia tidak mau menangis lagi. Sudah beberapa hari lamanya ia berada di kuburan orang tuanya, menbersihkan kuburan itu, dan setiap hari menyuguhkan masakan sembahyang kepada ayah ibunya.

Malam itu adalah malam kelima ia berada di situ. Setiap malam Lian Hong tidur di depan kuburan ayah ibunya, di atas rumput tebal. Ia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk merebahkan tubuhnya, selebihnya ia pergunakan untuk merawat kuburan, menanami bermacam bunga dan bersamadhi.

Hari masih belum gelap benar, karena malam baru saja mulai remang- remang, pergantian antara senja dan malam, pada saat matahani sudah hampir menarik seluruh cahayanya dan permukaan bumi. Burung-burung sudah mulai terbang pulang ke sarang masing-masing. Para petani juga memanggul cangkul pulang ke dusun, lampu-lampu mulai dipasang di rumah-rumah penduduk dusun Tung-kang. Di tanah kuburan itu amat sunyi, dan jengkenik mulai terdengar mengerik, di sana-sini terdengar bunyi katak yang bersembunyi di antara tanaman yang tumbuh di rawa-rawa di luar tanah kuburan.

Lian Hong sudah mempersiapkan kayu dan daun kening, ditumpuknya tak jauh dan tempat ia duduk bersamadhi. Nanti kalau sudah gelap. Ia akan membuat api unggun pengusir gelap dan nyamuk.

Lian Hong tidak tahu bahwa sejak tadi Ci Kong mengamatinya dari jauh dengan hati penuh keharuan. Pemuda itu merasa seperti tercekik kerongkongannya oleh keharuan yang naik dari dadanya melihat gadis itu, dan kini dia merasa lebih yakin lagi bahwa sesungguhnya sejak dahulu dia mencinta Lian Hong! Tadi, melihat Lian Hong mengumpilkan kayu dan daun kering seorang diri, melihat gadis itu dengan rambutnya yang kusut, pakaiannya yang agak kotor, mukanya yang tidak terawat, tubuhnya yang kurus dengan muka pucat seperti orang sakit, matanya yang begitu muram, hatinya merasa iba dan hampir saja dia berteriak memanggil.

Di samping rasa iba dan terharu, Ci Kong juga merasa girang sekali bahwa dugaannya tepat, dan dia dapat menemukan Lian Hong di tanah kuburan itu. Dia tidak berani muncul dengan tiba-tiba. Sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan juga ragu, maka dia hanya mengamati saja dari jauh sampai Lian Hong selesai mengumpulkan bahan bakar dan gadis itu kini duduk bersila dan bersamadhi.

Dengan berindap-indap, menyelinap di balik pohon-pohon dan semak- semak, Ci Kong mendekat, akan tetapi belum berani keluar, karena dia tidak ingin mengganggu Lian Hong yang sedang melakukan siu-lian.

Lian Hong sadar dari samadhinya, menengok ke kanan kiri, karena ia merasa seolah-olah ada banyak orang mengintai dan memandangnya. Ketika teringat bahwa ia berada di tanah kuburan, ia bergidik. Aneh pikirnva, mengapa ia tadi merasa seperti ditonton hanyak orang? Jelas bahwa di tempat seperti ini tidak ada orang, kalaupun ada hanyalah orang-orang mati yang sudah dikubur. Setan? Ia tidak pernah takut setan. Ia lalu membuat api unggun karena tanganya sudah mendengar suara nyamuk di sekitar telinganya. Suara itu pula yang tadi menggugahnya dari samadhi.

Hawa yang mulai dingin menjadi hangat dan nyamuk-nyamukpun melarikan diri, takut terhadap api yang panas juga sinar api unggun mendatangkan cahaya yang mengusir kegelapan di tempat itu, akan tetapi mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Pohon-pohon berubah menjadi bayangan hitam seperti raksasa atau binatang-binatang aneh yang bergerak-gerak, dibuat bergerak oleh api yang bergoyang.

Rasa lapar menyadarkan Lian Hong bahwa sejak pagi tadi ia belum makan. Diambilnya beberapa potong roti dan buntalan pakaiannya, berikut daging kering yang sudah menjadi dendeng manis. Direndamnya beberapa potong daging ke dalam air, lalu ditusuknya dengan kayu, dan dipanggangnya daging- daging kering yang sudah dibasahi itu ke dalam api unggun.

Tercium bau sedap bumbu pada daging itu yang tersentuh dan terbakar api. Bau sedap ini sempat melanggar hidung Ci Kong yang bersembunyi tak jauh dari situ, dan tiba-tiba saja perut pemuda ini berkeruyuk hebat. Diapun belum makan sejak pagi tadi, dan kini mencium bau sedap dendeng bakar, otomatis perutnya menanggapi dengan keruyukan nyaring.

Ci Kong merasa kaget dan malu sendiri mendengar suara perutnya, lupa bahwa yang dapat mendengar suara itu sebetulnya hanya dia sendiri. Dia khawatir kalau-kalau Lian Hong mendengarnya pula. Karena khawatir dan kaget, dia membuat gerakan dan kaki kanannya menginjak daun kering, mengeluarkan bunyi berisik. Sedikit suara ini cukup membangkitkan perhatian Lian Hong, dan gadis ini cepat menaruh panggang dagingnya ke atas daun dan ia cepat meloncat berdiri, memandang ke arah semak-semak dan mana tadi terdengar suara daun diinjak orang.

“Siapa di situ? Keluarlah atau aku aku menyerangmu!” bentaknya, siap untuk menerjang dan meloncat ke arah belakang semak-semak.

Kini nampaklah olehnya bayangan orang di belakang semak-semak itu. Untung bahwa Lian Hong bukan seorang gadis yang percaya akan tahyul, akan segala macam dongeng tentang setan. Kalau ia tahyul, tentu ia akan merasa ngeri dan ketakutan, mengira di kuburan itu muncul setan yang hendak mengganggunya.

“Hong-moi, maafkan aku!”

Terdengar bayangan itu berkata, dan muncullah Ci Kong dari balik semak- semak. Pemuda ini berdiri dengan muka tunduk dan sikap bodoh, karena dia merasa malu sekali kepada Lian Hong.

“Engkau… benarkah engkau ini…”

Lian Hong berseru, matanya terbelalak dan wajahnya menunjukkan keriangan luar biasa. Memang hatinya girang bukan main melihat munculnya pemuda yang selama ini dirindukannya, yang selama ini menjadi sebab derita batinnya, pemuda yang siang malam dikenangnya dengan sepenuh cinta hatinya. Seperti ada yang mendorong dari belakang, iapun melangkah maju sampai berhadapan dekat dengan Ci Kong. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan peristiwa di taman keluarga Ceng, dan iapun seperti disengat laba-aba, menarik kembali kakinya dan mundur-mudur seperti orang ketakutan, mukanya berubah pucat lagi.

“Kau… kau kenapa kau ke smi?” tanyanya gagap dan jari telunjuk kirinya menuding ke arah muka Ci Kong.

Ci Kong menelan ludah sendiri, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia mengerti akan sikap Lian Hong yang seperti orang kebingungan, dan dia merasa betapa dia telah berbuat dosa terhadap gadis ini, tanpa sedikitpun dapat menghargai cinta kasih orang.

“Hong-moi…”

“Kenapa? Kenapa kau datang ke sini?” kembali Lian Hong berkata, suaranya mengambang di antara pertanyaan dan teguran.

“Kenapa, Hong-moi? Tentu saja untuk mencarimu, untuk bicara denganmu.

Kenapa engkau kaget melihat kedatanganku, Hong-moi?” “Tidak, jangan dekat!”

Lian Hong berseru ketika melihat Ci Kong melangkah menghampirinya, dan ia mundur lagi tiga Iangkah, lalu menutupi muka dengan kedua tangan sambil memejamkan kedua matanya, karena tiba-tiba saja kepalanya terasa pening sekali.

“Jangan mendekati aku, pergilah ke sana… seharusnya engkau pergi kepada enci Hiang, engkau engkau cinta padanya…”

“Tidak, Hong-moi… aku hanya cinta padamu seorang. Engkaulah yang kucinta, Hong-moi, bukan lain orang.”

“Engkau bohong!”

Tiba-tiba lenyap seluruh kelemahan Lian Hong. Dara ini sudah menurunkan kedua tangannya dan kini ia menatap wajah Ci Kong yang diterangi sinar api unggun dengan mata tajam terbelalak penuh kemarahan.

“Engkau hendak mengingkari? Aku melihat dan mendengar sendiri! Engkau mencinta enci Hiang, dan kini berani engkau mengkhianatinya dan mengaku cinta padaku?”

Melihat kemarahan Lian Hong yang sudah mengepal kedua tangannya itu, Ci Kong menundukkan mukanya.

“Benar… aku tidak perlu menyangkal dan engkau boleh membunuhku untuk semua itu, Hong-moi. Akan tetapi ia telah mencinta orang lain dan telah bertunangan, dan dialah yang menyadarkan aku, dan baru aku melihat bahwa sesungguhnya… sejak dahulu, jauh sebelum aku bertemu dengan Ceng lihiap, aku telah cinta padamu. Akan tetapi, kita saling diam saja… engkau kuanggap sebagai rekan seperjuangan, sebagai saudara, dan aku terpesona oleh kecantikan Ceng-lihiap. Akan tetapi, setelah ia menceritakan semua, baru terbuka mataku. Betapa bodohnya aku, Hong-moi. Sesungguhnya… engkaulah seorang yang sejak dahulu sudah kucinta…”

“Ahhhh… ohhhhh…”

Seketika tubuh Lian Hong menjadi lemas dan kembali ia menutupi muka yang dibayangi tangis, kedua mata dipejamkan karena kembali kepalanya terasa pening.

“Aku… ahhhh… engkau…”

Dan Lian Hong pun terguling karena tubuhnya seperti tenggelam ke dalam lautan yang gelap pekat. Ia siuman dalam rangkulan Ci Kong yang duduk di atas tanah.

“Tidak!”

Lian Hong meronta lemah. “Jangan dekati aku, jangan sentuh aku! Kau… kau tidak cinta padaku!” Dan iapun menangis.

“Hong-moi, pukullah aku, bunuhlah aku… akan tetapi maafkan aku. Tanpa kusengaja, aku telah melukai hatimu, menghancurkan harapanmu. Sungguh mati, ini hanya kesalahpahaman belaka. Sejak dulu aku cinta padamu, Hong- moi… akan tetapi karena kita bergaul akrab seperti saudara, perasaan itu tidak kusadari lagi, sesungguhnya aku hanya kagum dan terpesona akan kecantikan Ceng-lihiap, akan tetapi cintaku hanya padamu, Hong-moi…”

Ci Kong merangkulnya, mengelus rambut yang kusut itu, menghapus air mata yang membasahi kedua pipi itu dengan penuh kemesraan dan kehangatan kasih sayangnya. Merasakan ini semua, Lian Hong tersedu-sedu dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

“Toako… betapa kejamnya engkau padaku…” ia sesenggukan.

Ci Kong merasa menyesal sekali. Diangkatnya kepala itu sehingga muka mereka saling berdekatan, didekapnya dan ditempelkannya pipinya ke atas pipi Lian Hong, dan dibisikkannya kata-kata lembut penuh penyesalan.

“Hong-moi, aku menyesal sekali, maafkanlah aku… sungguh, kalau sekarang engkau membunuhku, akupun tidak akan merasa penasaran. Kau maafkanlah aku… maukah engkau memaafkan aku?”

Suara itu demikian penuh penyesalan dan minta dikasihani. Sikap dan suara Ci Kong itu merupakan obat yang amat manjur bagi rasa nyeri di hati Lian Hong. Ia tersedu sampai terengah-engah, bukan karena luka, melainkan karena lega dan bahagia.

“Koko, aku… ah, seperti gila aku mencintamu, sejak dahulu…” “Hong-moi…!”

Ci Kong menutup mulut yang terengah-engah itu dengan bibirnya, dan sampai lama mereka berdekapan seperti itu, seolah-olah mereka hendak melebur badan dan batin mereka menjadi satu. Segala kerinduan, segala perasaan mesra dan sayang, mereka curahkan dalam dekapan itu. Dan lenyaplah segala duka, lenyap segala rasa kesepian, lenyap pula segala rasa khawatir. Batin terasa bebas, seperti terlepas dari segala ikatan, tidak ada yang perlu dipikirkan lagi.

Saat-saat seperti itu, dimana dua hati bertemu, dimana keduanya tenggelam ke dalam keheningan bebas, dimana semua ikatan terpatahkan, merupakan saat yang paling bahagia bagi manusia. Hanya patut disayangkan, perasaan bebas dan segala ikatan seperti ini tidak bertahan lama, segera pikiran dipenuhi lagi oleh segala macam beban sehingga muncul pula segala macam rasa kecewa, takut yang mendatangkan duka. Sang aku mulai berkuasa lagi atas pikiran, ingin memperoleh segalanya yang menyenangkan. Perasaan bahagia karena bebas itu oleh aku di dalam pikiran, dirubah menjadi suatu bentuk kesenangan yang hendak dipertahankan dan diulang. Justeru inilah yang menimbulkan segala macam konflik dalam batin. Ingin memiiki segaa sesuatu yang dianggap menyenangkan. Bahagia hendak disamakan dengan kesenangan.

Keruyuk dari dua perut mereka agaknya menjadi penyebab kesadaran mereka. Keduanya tersenyum geli dan hampir berbareng mereka berkata.

“Engkau lapar?”

“Engkau lapar, koko?”

Keduanya tertawa. Melihat betapa wajah manis yang masih basah air mata itu kini tertawa, Ci Kong memagutnya dan menciumi wajah Lian Hong sampai gadis itu gelagapan, dan dengan sikap manja ia mengelak melepaskan diri dari rangkulan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar