Pedang Naga Kemala Jilid 23

Jilid 23

Sebaliknya, pada diri wanita, cinta asmara ini lebih lembut sifatnya, namun kadang-kadang menyerang lebih mendalam lagi walaupun wanita biasanya pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Seorang wanita dapat mencinta secara mati-matian, akan tetapi dapat pula mengubah cinta itu menjadi kebencian yang berlebihan. Hal inipun tidak aneh karena sebagian besar batin wanita dipenuhi oleh emosi, dan wanita lebih menurutkan bisikan atau dorongan emosi perasaan hati dari pada nasihat pikiran jernih.

Ceng Hiang adalah seorang gadis yang luar biasa. Bukan saja ia telah mewarisi beberapa macam ilmu silat pilihan dari keturunan keluarga para pendekat Pulau Es, akan tetapi ayahnya juga mendidiknya dalam hal kesusasteraan. Ia bukan hanya pandai silat, akan tetapi juga pandai membaca menulis, pandai membuat sajak-sajak indah dan menikmati keindahan sajak- sajak, pandai menyulam, bahkan pandai pula bernyanyi dan memainkan yang- kim (semacam kecapi) dan suling. Karena ia terpelajar, maka ia mempelajari pula sopan santun dan tata susila, cerdik bukan main.

Akan tetapi, menghadapi kata yang disebut ‘cinta’, iapun bingung! Karena itu, bukan membohong ketika ia mengatakan kepada Kiki bahwa ia tidak tahu apakah ia mencinta Lee Song Kim atau tidak.

Song Kim memang cerdik. Ketika dia meninggalkan Pulau Layar, dengan sembunyi-sembunyi dia telah mengikuti perahu Kiki, bahkan membonceng di bawah perahu, dan ketika malam tiba, dia membikin Kiki tidak berdaya dan hampir saja dia berhasil memperkosa Kiki di tengah lautan yang gelap gulita itu. Agaknya kekuasaan alam tidak menghendaki perbuatan jahat itu terjadi, maka tiba-tiba datang badai yang mengguncang perahu, bahkan membuat perahu itu pecah dan terbalik. Ketika dia berhasil menarik Kiki yang masih terbelenggu pada tiang ke pantai dan hendak melanjutkan perbuatan bejatnya untuk memperkosa, tiba-tiba saja muncul Ci Kong yang menghalanginya dan karena takut kalau dikenal Kiki, terpaksa dia melarikan diri.

Song Kim lalu melakukan penyelidikan seorang diri dan mendengar bahwa Koan Jit berada di kota Kanton. Diapun cepat menyusul ke kota itu. Akan tetapi, di Kanton dia mendengar bahwa Koan Jit telah menjadi seorang komandan pasukan Harimau Terbang yang menjadi pasukan kepercayaan orang kulit putih! Kedudukan Koan Jit demikian hebatnya sehingga dia sendiri merasa jerih untuk melakukan penyelidikan nekat ke markas Harimau Terbang.

Song Kim lalu mencari akal dan akhirnya mengambil keputusan bahwa kalau dia bekerja seorang diri berusaha merampas Giok- liong-kiam dari tangan Koan jit, tak mungkin dia akan berhasil, bahkan mungkin membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia mencari akal yang amat bagus. Dia lalu pergi ke kota raja!

Seperti biasa di kota-kota besar, tentu di situ terdapat banyak pencoleng- pencoleng, pencuri- pencuri dan pencopet- pencopet. Song Kim lalu memperlihatkan ilmu kepandaiannya. Dia melakukan keliling kota setiap hari, mengunjungi pasar-pasar dan setiap kali melihat ada pencopet, pencoleng yang merampas benda lain orang, dia segera turun tangan menangkapnya dan menyeret penjahat itu kepada petugas keamanan. Bukan itu saja, bahkan di waktu malam, dia berkeliling kota melalui genteng-genteng orang dan hampir setiap malam dia menangkapi maling-maling, bahkan pernah dalam satu malam dia menangkap tujuh orang maling di tujuh tempat. Maling-maling inipun diseretnya kepada petugas keamanan.

Tentu saja nama Lee Song Kim dalam waktu singkat menjulang tinggi di kalangan para petugas keamanan dan segera terdengar oleh komandannya. Dia dipanggil dan ditawari pekerjaan. Itulah yang dinanti-nanti oleh Song Kim, dan karena memang ilmu silatnya tinggi dan dia sengaja hendak mencari kedudukan, setiap kali dia keluar tentu menangkap penjahat-penjahat dan mata-mata pemberontak. Bahkan pernah dia sendiri membasmi gerombolan pemberontak, yaitu pejuang-pejuang yang mengadakan rapat gelap di luar kota, dan dia telah menangkap lebih dari duapuluh orang yang semua diseretnya ke pengadilan.

Kehebatan sepak terjang Song Kim ini terdengar oleh Pouw-ciangkun, komandan pasukan keamanan, dan diapun dinaikkan pangkatnya. Dalam waktu sebentar saja, akhirnya dia sendiri diangkat menjadi seorang opsir yang dapat diandalkan! Dan nama baiknya sebagai seorang opsir yang giat melakukan pembersihan terhadap para penjahat, menimbulkan banyak rasa suka, baik di kalangan pejabat-pejabat kota raja, rakyat jelata yang merasa maupun dilindungi.

Nama Lee Song Kim menjadi buah bibir orang, seorang opsir muda yang berwatak pendekar, suka menolong, bersikap halus lembut dan ramah, pandai merayu, apalagi memang tampan. Dan pemuda ini juga pandai membawa diri. Walaupun pada hakekatnya dia lain nampak watak aselinya, yaitu mata keranjang dan cabul, akan tetapi dia dapat menahan nafsunya dan hanya melakukan pengumbaran nafsanya jauh dari kota raja dan menyamar sebagai seorang pemuda biasa sehingga nama tetap harum.

Dalam keadaan demikianlah, opsir Lee Song Kim pernah berjumpa dengan Ceng Hiang dan dia seketika dia tergila-gila. Bukan hanya tergila-gila oleh kecantik jelitaan gadis itu, akan tetapi juga karena setelah dia mengikuti komandannya berkunjung ke rumah gadis itu, dia mendengar bahwa gadis itu adalah seorang pewaris ilmu- ilmu para pendekar pulau Es! Gadisnya begitu cantik jelita, terkenal pandai ilmu silat, dan puteri tunggal seorang pangeran lagi! Hati pemuda mana yang takkan tertarik?

Terlalu banyak hal-hal yang menguntungkan pada diri Ceng Hiang untuk membuat hati Soug Kim tergila-gila. Komandannya, seorang panglima, yaitu Pouw-ciangkun, sahabat baik dari Pangeran Ceng Tiu Ong, maklum akan isi hati pembantunya yang disayangnya, maka setelah berunding, komandan yang baik hati ini lalu melamarkan Ceng Hiang untuk dijodohkan dengan Lee Song Kim, mengingat bahwa Ceng Hiang berusia dewasa dan belum terikat perjodohan dengan orang lain.

Komandan Pouw maklum akan watak Pangeran Ceng Tiu Ong yang tidak gila pangkat dan gila hormat. Maka dia berani mengajukan Lee Song Kim, bukan bangsawan, untuk menjadi calon suami Ceng Hiang. Dan memang benarlah, pangeran itu sama sekali tidak marah, bahkan dia kelihatan setuju sekali!

“Sudah sejak beberapa tahun aku ingin mempunyai mantu. Akan tetapi engkau tahu sendiri watak anak sekarang, Pouw-ciangkun. Anakku Hiang itu masih belum juga mau menikah, dengan alasan bahwa karena ibunya tidak ada, ia tidak ingin meninggalkan aku, karena kalau sudah menikah, dia tentu akan dibawa pergi suaminya. Dan pula, demikian menurut katanya, ia hanya mau menikah dengan pemuda yang benar-benar cocok di hatinya. Sudah banyak pemuda di kota raja ini, baik putera bangsawan maupun hartawan, bahkan ada keponakan kaisar sendiri, yang kuperkenalkan kepadanya. Akan tetapi mereka semua itu ditampiknya begitu saja! Ada yang kurang tampan, kalau sudah ada yang tampan katanya kurang pandai, atau lemah tidak pandai ilmu silat seperti dirinya sendiri. Wah, kalau sampai sekali ini ia mau menjadi jodoh Lee Song Kim, perwira muda itu, hatiku akan girang sekali. Kebetulan malah kalau Lee Song Kim itu bukan bangsawan dan sudah tidak mempunyai ayah ibu, dia malah bisa tinggal di sini bersama Hiang, dan menemani aku. Aha, betapa nikmatnya hidup begitu, apalagi kalau dapat menimang cucuku!” Akan tetapi, kembali pangeran tua itu kecewa. Ketika dia mengemukakan pendapatnya tentang pinangan yang dilakukan Pouw-ciangkun untuk Song

Kim sebagai calon suaminya, gadis itu mengerutkan alisnya.

“Ayah, aku belum mengenal betul orang dan belum tahu apakah sifat- sifatnya akan mencocoki hatiku.”

“Tapi dia jelas tampan dan gagah, anakku. Namanya sudah dikenal di seluruh kota raja, baik oleh para bangsawan, pejabat maupun rakyat. Sudah puluhan kali dia menangkapi orang jahat. Dia seorang opsir muda berjiwa pendekar.”

“Bagaimanapun juga, aku harus mengenal wataknya dulu, ayah.” “Jadi engkau tidak keberatan kalau untuk kuperkenalkan?”

“Tentu saja tidak. Kalau berkenalan saja, dengan siapapun aku tidak keberatan."

Demikianlah, opsir Lee Song Kim diundang dan diperkenalkan, dan menurut penglihatan Ceng Hiang, memang Song Kim seorang pemuda yang baik sekali, sikapnya sopan, peramah, wajahnya tampan, pengetahuannya luas. Hanya Satu hal yang belum diketahuinya benar, yajtu tentang ilmu silatnya walaupun dalam percakapan, pemuda itu juga luas pengetahuannya dalam hal ilmu silat.

Setelah mendengar dari Kiki bahwa pemuda itu adalah suheng dari Kiki yang ia tahu amat lihai, rasa sukanya makin besar.

Hati Song Kim berdebar penuh kegembiraan ketika sore hari itu dia menerima undangan dari Ceng Hiang! Bukan dari ayah gadis itu seperti biasa, melainkan dari gadis itu sendiri secara langsung, dengan mengirim utusan! Wah, agaknya besar harapannya kini, pikirnya gembira. Dia lalu berdandan sebaik mungkin, menyisir dan meminyaki rambutnya sampai mengkilap, memakai pakaian terindah dan memakai pula minyak wangi. Dengan dandanan yang tentu akan menjatuhkan hati setiap orang wanita, dia tersenyum-senyum dan pergi berkuda menuju ke gedung tua tempat tinggal Ceng Hiang!

Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika yang menyambut kedatangannya adalah Ceng Hiang sendiri. Gadis itupun nampak amat manisnya, apalagi dengan pakaian yang ketat dan ringkas, nampak betapa bentuk tubuhnya amat indah.

“Maaf, Lee-ciangkun, ayah tidak dapat keluar menemuimu karena dia sedang sibuk dengan kitab-kitab kuno yang baru didapatnya dan dibawanya dari utara,” kata Ceng Hiang. Song Kim menjura dengan sopan.

“Ayahmu adalah seorang sasterawan terbesar untuk jaman ini, nona, maka saya tidak merasa heran kalau di antara kitab-kitabnya, dia merasa seperti berada di sorga.”

Seperti kalau aku berada di dekatmu, demikian bisik hatinya sambil menatap wajah yang amat cantik itu penuh kagum.

“Pula, yang mempunyai kepentingan denganmu memang aku, ciangkun.

Aku mempunyai sedikit urusan denganmu.”

“Katakanlah, nona. Apa yang dapat kulakukan untukmu? Biar harus menerjang lautan api atau menyelam ke dasar samudera, biar harus mengorbankan nyawa, akan saya lakukan untuk membantumu, nona.”

Ceng Hiang tersenyum. Laki-laki ini memang hebat, pandai sekali bermanis muka dan merayu, dan betapa mudahnya menjatuhkan hati kepada seorang pemuda seperti ini, pikirnya. Akan tetapi ia melihat semua ketampanan dan baik itu sebagai suatu keadaan lahiriah belaka, seperti pakaian atau kedok. Ia belum dapat melihat apa yang berada di balik kedok itu. Sudah berkali-kali, semenjak pinangan itu, dengan kata-kata halus atau senyum dan isyarat melalui pandang mata, pemuda ini menjelaskan cinta kasihnya yang besar dan meluap-luap terhadap dirinya. Sekarangpun, kalau tidak mencinta, mana ada orang mau bersikap mengorbankan nyawa untuk dirinya?

“Tidak sehebat itu permintaanku, ciangkun. Aku hanya minta untuk dapat menguji kepandaian silatmu.”

Song Kim pura-pura terkejut, walaupun sebenarnya hatinya girang bukan main. Dia dapat menduga bahwa permintaan menguji kepandaian ini agaknya merupakan ujian terakhir untuk melihat sampai dimana tingkat kepandaiannya agar gadis ini tidak ragu-ragu menerimanya sebagai suami. Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan gadis ini dalam ilmu silat.

“Bagaimana nona mengajukan permintaan seperti itu? Lebih baik aku disuruh bertanding melawan harimaumu itu, atau dengan puluhan orang yang mengeroyokku. Bagaimana kalau aku sampai kesalahan tangan dan melukaimu? Luka sedikit saja akan membuat aku selama hidupku menyesal setengah mati.”

Lagi-lagi kata rayuan maut, pikir Ceng Hiang sambil tersenyum.

“Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri. Dan pula, bukankah kita hanya menguji kepandaian saja, bukannya berkelahi untuk saling membunuh?"

Song Kim memperlihatkan wajah seperti orang terpaksa.

“Baiklah, nona, kalau begitu. Akan tetapi aku sudah mendengar akan kehebatan ilmu silat nona yang menjadi pewaris dari ilmu silat keluarga Pulau Es, mungkin baru beberapa jurus saja aku sudah akan kalah.”

Tentu saja batinnya Song Kim tidak berkata demikian. Dia tahu bahwa kalau dia sampai kalah, makin tipis harapannya untuk diterima menjadi calon suami. Dia harus menang, menang mutlak akan tetapi jangan sampai melukai nona manis ini.

“Mari, kuantar nona ke lian-bu-thia.”

“Jangan di ruangan berlatih silat, Ciangkun,” kata Ceng Hiang cepat. “Ayahku akan marah kalau mengetahui bahwa aku mengajakmu

bertanding ilmu silat.”

“Tidak di lian-bu-thia, lalu di mana, nona? Di kebun?”

“Juga tidak. Akan ketahuan para pelayan dan akhirnya ayah akan tahu juga. Kita harus keluar dari rumahku, bahkan dari kota raja. Kita bertanding di tempat yang sunyi di luar kota raja.”

Wah, jantung Lee Song Kim berdebar saking girangnya. Berduaan saja dengan gadis ini di luar kota raja, di tempat sunyi! Kesempatan yang amat baik untuk mendapatkannya, secara balus maupun kasar. Akan tetapi pikiran itu segera diusirnya cepat-cepat. Tolol kau, makinya. Gadis ini akan diambil sebagai calon isteri. Gadis ini adalah puteri pangeran, tak boleh disamakan dengan gadis-gadis dusun atau kota yang pernah diculik dan diperkosanya atau dijatuhkan dengan rayuannya, lalu ditinggalkan begitu saja setelah dia merengguk kepuasan.

“Baiklah, nona. Aku hanya mentaati semua perintahmu.”

Ceng Hiang yang memang sudah mempersiapkan segalanya sebelum pemuda itu datang, lalu mengajaknya ke samping gedung dimana sudah ditambatkan dua ekor kuda. Ia lalu mengajak Song Kim menunggang kuda dan tak lama kemudian, merekapun melarikan kuda keluar dari kota raja, menuju ke sebuah hutan kecil yang sunyi.

“Di hutan itu biasa aku berburu kelinci. Tempatnya sunyi dan aman kalau untuk mengadakan pibu (adu kepandaian).”

Setelah tiba di dalam hutan, di lapangan rumput yang cukup luas, mereka turun dari kuda dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon. Kemudian, Ceng Hiang lalu berjalan menuju ke tengah lapangan rumput, diikuti oleh Song Kim. Bukan main, pikirnya. Pinggul itu!

Setelah tiba di tengah lapangan rumput, Song Kim hampir saja tidak kuat untuk tidak merangkul dan merebahkan gadis itu di situ dan dipaksanya bermain cinta. Akan tetapi ambisinya untuk mendapatkan kedudukan tinggi agar dia mempunyai cukup kekuasaan untuk kelak menyaingi Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam, lebih besar dari pada nafsunya.

Ceng Hiang membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu.

“Nah, Lee-ciangkun, sebelum kita mulai mengadu kepandaian, sekali lagi aku ingin mendengar, sebenarnya engkau ini murid siapakah?”

Song Kim mengerutkan alisnya. Pertanyaan seperti itu tak suka dia mendengarnya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengaku bahwa dia adalah murid dari Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang bahkan kini oleh pemerintah Ceng sudah dinyatakan sebagai pemberontak.

“Kalau aku tidak salah ingat, pernah saya bercerita di depan pangeran dan nona bahwa saya belajar ilmu silat dari orang tua saya sendiri yang kini telah tiada. Ilmu silat kami adalah ilmu silat keluarga.”

Dia memandang tajam lalu melanjutkan.

“Mengapa nona menanyakan lagi hal itu? Pentingkah bagimu dari perguruan mana aku datang, nona?”

“Ah, tidak mengandung maksud apa-apa. Hanya banyak aku mendengar tentang jagoan-jagoan di dunia persilatan, maka aku ingin tahu apakah engkau bukan murid dari seorang di antara tokoh-tokoh yang pernah kudengar namanya.”

“Nona tidak pernah atau jarang sekali merantau di dunia kang-ouw, bagaimana bisa mengenal nama tokoh-tokoh persilatan? Siapa saja di antaranya yang pernah nona dengar?”

“Banyak sekali! Terutama tokoh-tokoh yang kini mengadakan pemberontakan-pemberontakan, banyak aku mendengar namanya. Bukankah atas jasamu pula, banyak tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan rapat di hari ulang tahun Hai-tok telah disergap pasukan pemerintah? Jasamu itu sungguh besar sekali Lee-Ciangkun.”

Wajah Song Kim agak berubah. Tak senang dia diingatkan akan hal itu. Memang dia sudah mengkhianati dan melaporkan gurunya sendiri, bukan sekali-kali karena dia membenci gurunya, melainkan karena dengan laporan itu, dia memperoleh dua keuntungan. Pertama, dia berjasa pada pemerintah dan semakin dipercaya. Kedua, makin banyak tokoh kang-ouw yang tewas, makin berkuranglah saingannya untuk memperebutkan Giok-liong-kiam.

“Hal itu sudah menjadi tugas kewajibanku, nona.”

“Baiklah, mari kita mulai. Bersiaplah kau menerima seranganku, ciangkun!” Berkata demikian, Ceng Hiang lalu memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak lurus, kaki kanan diangkat dan ditekuk,  ujung kaki kanan menyentuh lutut kiri, tangan kiri dilingkarkan di depan dada dan tangan kanan menunjuk ke atas dengan jari-jari terbuka. Jurus ini nampak gagah sekali dan kembali

Song Kim terpesona. Betapa cantik dan gagahnya gadis, ini pikirnya.

Dan diapun tidak mau kalah. Dia memasang aksi dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan mengepal di pinggang. Kuda-kuda ini adalah kuda-kuda biasa yang kokoh dan dianggap merupakan kuda-kuda paling baik untuk menghadapi serangan lawan yang tangguh. Diam-diam Ceng Hiang mengenal kuda-kuda yang kokoh itu, akan tetapi dara ini memang sudah tahu dan mendengar banyak tentang kelihaian Song Kim, maka iapun tidak mau bersikap sungkan lagi.

“Haiiittt...”

Ia berteriak sambil menyerang, menurunkan kaki kanan dan tiba-tiba kaki kirinya menendang sedemikian cepatnya, menotok ke arah pinggang kanan lawan, sedangkan tangan kiri yang tadinya diangkat tinggi-tinggi itu meluncur turun dan menotok ke arah pundak. Istimewa sekali serangan yang merupakan totokan dalam waktu yang sama dengan ujung sepatu dan ujung tangan itu, di kedua tempat terpisah namun cukup berbahaya kalau mengenai sasaran dapat membuat lawan menjadi lumpuh seketika !

Lee Song Kim memang agak memandang rendah gadis ini. Mana mungkin gadis yang demikian cantiknya, demikian halus dan lembutnya, puteri tunggal seorang pangeran, dapat memiliki kepandaian silat yang berarti? Andaikata mewarisi ilmu silat keluarga Pulau Es sekalipun, latihannya tentu kurang sempurna. Pikiran inilah yang membuat dia tetap tersenyum melihat datangnya serangan itu, walaupun diakuinya bahwa serangan itu istimewa, aneh dan cepat.

Diapun cepat menggerakkan kedua tangannya, dan dalam gerakan pertama ini saja sudah membuka rahasia wataknya tanpa disadarinya. Dengan tangan kanan dia menangkis tendangan kaki gadis itu, dan tangan kiri menangkis totokan dari atas, akan tetapi bukan hanya menangkis begitu saja, melainkan menangkis dengan gerakan siap untuk menangkap sepatu lawan dan lengan lawan!

Dia memperhitungkan bahwa tangkisannya itu tentu akan membuat kaki dan tangan lawan melekat sebentar dan cukuplah baginya untuk memutar pergelangan tangan, dan baik sepatu maupun lengan lawannya tentu akan sudah dapat ditangkapnya. Kalau dia mampu merampas sepatu itu dalam satu jurus, tentu gadis itu akan takluk dan malu, juga tunduk seketika.

“Duk! Plak!”

Memang dia berhasil menangkis tendangan dan totokan tangan, akan tetapi akibatnya sungguh di luar dugaannya. Dia tadi hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaga sinkangnya, dengan kerahkan tenaga menyedot dan menempel karena dia tidak ingin menyakiti, apalagi melukai gadis itu. Akan tetapi, pertemuan kedua lengannya itu seketika membuat kedua lengannya menggigil saking dinginnya, seolah-olah kedua lengannya itu dibenamkan ke dalam air es!

Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah menguasai satu di antara ilmu-ilmu sinkang yang luar biasa dari keluarga Pulau Es, yaitu sinkang atau tenaga sakti yang disebut Soat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju)! Tenaga ini selain amat kuat, juga mengandung hawa dingin yang selain dapat membuat lawan menggigil, kalau ilmu ini sudah dikuasai dengan sempurna, dapat pula membikin beku darah lawan sehingga terkena pukulan satu kali saja, lawan akan tewas dengan jantung membeku!

Begitu merasa betapa kedua lengannya menggigil, Song Kim mengeluarkan seruan kaget, mengerahkan sinkangnya dan cepat meloncat jauh ke belakang dengan mata terbelalak saking kagetnya.

“Kenapa, ciangkun?” Ceng Hiang bertanya dengan senyum mengejek. Muka Song Kim berubah merah.

“Ah, sungguh luar biasa sekali. Aku sampai terkejut oleh kekuatan sinkang nona yang amat hebat!”

“Karena itu jangan memandang rendah orang lain, ciangkun. Nah, sambutlah serangan-seranganku.”

Dan kini gadis itu tiba-tiba saja sudah bergerak, tubuhnya melayang seperti terbang ke depan, kedua tangannya membuat gerakan dengan jari-jari tangan seperti menulis corat-coret, membuat huruf-huruf tertentu di udara, akan tetapi karena Song Kim berada di depannya, maka otomatis corat sana coret sini itu merupakan serangan-serangan yang amat aneh dan mengandung angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan!

Sang Kim kembali terkejut setengah mati. Ilmu siluman apalagi ini? Tentu saja dia belum pernah menyaksikan, bahkan mendengarpun belum pernah, akan ilmu silat yang amat sakti dari keluarga Pulau Es, yaitu yang disebut Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastera Angin dan Awan). Gerakan ilmu ini seperti orang menulis huruf-huruf di udara, dan memang sesungguhnya, jurus-jurus ilmu silat ini merupakan penulisan huruf-huruf tertentu yang tentu saja mengandung daya serang tertentu pula yang amat aneh!

Repot sekali Song Kim menghadapi serangan-serangan aneh ini, dan dia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bahkan diapun berusaha untuk balas menyerang, karena dia kini tahu bahwa kalau dia tidak membalas, kalau hanya mengalah dan mempertahankan diri saja, jangan-jangan dalam beberapa jurus saja dia akan roboh!

Terjadilah pertandingan yang amat seru. Memang Ceng Hiang hebat bukan main ilmunya, ilmu aseli dari keluarga Pulau Es, akan tetapi lawannyapun bukan orang biasa. Lee Song Kim adalah murid tersayang dari Hai-tok, dan boleh dibilang hampir seluruh ilmu kepandaian datuk itu sudah dikuasainya. Oleh karena itu, pertandingan itu berlangsung dengan amat serunya, akan tetapi perlahan-lahan, keaselian ilmu silat Ceng Hiang membuat Song Kim menjadi semakin kerepotan saja.

Padahal, Ceng Hiang baru mewarisi beberapa macam saja dari ilmu keluarga pulau Es. Ia menguasai Soat-im Sin-kang, yaitu ilmu menghimpun tenaga sakti yang berhawa dingin, kemudian menguasai pula ilmu Silat Hong- in Bun-hoat yang berupa penulisan huruf-huruf di udara sambil menyerang, dan ketiga dikuasainya pula ilmu aneh yang disebut Pat-sian Mo-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa dan Setan)! Ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang, dan ini adalah merupakan penggabungan dari dua macam ilmu silat, yaitu Pat-san-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Setan) yang dahulu telah tergabung menjadi ilmu silat aneh dari keluarga Pulau Es oleh Pendekar Super Sakti.

Pertandingan itu sudah berlangsung limapuluh jurus, dan tiba-tiba saja gadis itu mengeluarkan bentakan nyaring, akan tetapi tubuhnya mencelat ke belakang meninggalkan arena pertandingan. Song Kim berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah, karena baju di pundak kirinya telah berlubang! Kalau saja gadis itu menghendaki, tentu bukan baju itu yang berlubang, melainkan jalan darah di pundak itu yang tertotok, yang akibatnya dapat membuat lengannya lumpuh tertotok! Akan tetapi dia memang cerdik.

“Astaga...! Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian nona Ceng. Biarpun aku harus belajar lagi sampai seratus tahun, belum tentu aku mampu menandingi ilmu silat nona. Dimana di dunia ini ada ilmu silat yang mampu menandingi ilmu silat keluarga Pulau Es?”

Dengan kata-kata ini, selain memuji lawan agar senang hatiya, juga dia seperti hendak mengatakan bairpun kalau dia sampai kalah, hal itu adalah karena nona ini memiliki ilmu silat keturunan keluarga Pulau Es yang tidak ada bandingannya. Jadi kekalahannya itu lumrah, bukan karena dia kurang lihai!

Ceng Hiang juga membalas penghormatan itu sambil tersenyum.

“Ah, ciangkun pandai merendah dan mengalah saja. Ilmu silat ciangkun memang hebat, dan terus terang saja, selama ini belum pernah aku berternu tanding seperti ciangkun, kecuali baru sepekan yang lalu ini aku bertemu tanding yang ilmu silatnya setingkat dengan tingkat ciangkun.”

Mendengar ini, Song Kim terkejut. Celaka, jangan-jangan nona ini menemukan seorang pemuda lain yang juga lihai, dan berarti dia mendapatkan saingan yang cukup berat.

“Wah, aku tidak percaya itu, nona. Selama ini, aku sendiri belum pernah menemukan tandingan yang seimbang dan baru nona yang benar-benar amat lihai dan dapat mengatasiku. Kalau benar ada yang lihai seperti nona katakan tadi, aku berani menghadapinya dan kalau aku kalah olehnya, aku tidak akan memperlihatkan muka di kota raja lagi.”

Ucapan itu adalah ucapan seorang yang menahan malu karena kekalahannya tadi, juga karena dia khawatir mendapatkan saingan yang lebih lihai dari dia. Kalau benar demikian, memang dia tidak ada muka untuk berada di kota raja lagi. Lebih baik langsung saja ke Kanton dan mencari daya upaya di sana untuk merampas Giok-liong-kiam. Kalau dia dapat mempersunting Ceng Hiang, bukan saja terlaksana idam-idaman hatinya memperisteri gadis yang cantik molek ini, akan tetapi juga kedudukannya akan meningkat tinggi dan sebagai mantu pangeran, tentu dia memiliki kekuasaan yang cukup untuk dipergunakan ke Kanton menundukkan Koan Jit dan memaksanya menyerahkan Giok-liong-kiam kepadanya.

Diam-diam Ceng Hiang sudah merasa tidak suka mendengar omongan dan melihat sikap Song Kim. Kini, setelah mengadu ilmu, baru ia mulai melihat ciri- ciri pernuda itu yang tadinya agaknya tidak nampak atau disembunyikan. Pertama, pemuda ini dalam perkelahian tadi memperlihatkan sikap sombong, memandang rendah kepadanya, dan juga tidak sopan karena ingin merampas sepatunya, hal yang kurang ajar sekali. Kedua, pemuda ini tidak dapat mengakui kekalahannya dengan jujur, akan tetapi mempergunakan kecerdikan untuk memperkecil kekalahannya. Dan ketiga, Song Kim yang baru saja kalah olehnya itu masih berani menyombongkan diri terhadap lawan-lawannya yang belum pernah diduganya siapa adanya. Ini sudah dapat membuktikan kesombongannya, dan baru sekarang Ceng Hiang melihat segi-segi buruk pemuda itu. Ia merasa beruntung sekali bahwa ia belum pernah menyatakan keinginannya untuk menyetujui kecondongan hati ayahnya, belum pernah menerima pinangan pemuda itu.

“Benarkah begitu, Lee-ciangkun? Kau berhati-hatilah, orang yang kumaksudkan itu, yang memiliki kepandaian silat tinggi, pada saat ini berada di sini.”

Bagaimanapun juga, tiga sifat yang tidak disukainya itu belum bisa membuktikan bahwa pemuda ini jahat. Masih banyak sifat-sifatnya yang baik yang mengimbangi keburukannya itu. Pemuda ini, demi kepentingannya sendiri, hanya berarti membohong dan suka memandang rendah orang lain karena tinggi hati, merasa telah memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya. Maka, ia hendak mempertemukannya dengan Kiki agar ia dapat melihat bagaimana sesugguhnya watak pemuda ini dan siapa sebenarnya. Kalau hanya mendengar omongan Kiki saja, hal itupun belum ada buktinya dan siapa tahu kalau-kalau Kiki merasa sakit hati dan benci kepada suhengnya, tentu saja semua hal yang dibicarakan tentang suhengnya itu yang buruk-buruk belaka. Karena itu, ia sudah mengatur siasat dengan Kiki seperti yang dibisikkannya di dalam kamar tidur mereka beberapa malam yang lalu.

“Benarkah dia berada di sini?”

Tentu saja Lee Song Kim terkejut sekali, akan tetapi dia memang tinggi hati. Belum pernah dia dikalahkan orang, dan di dunia ini tidak banyak yang memiliki kepandaian setinggi Ceng Hiang.

“Kalau benar, aku akan menghadapinya sekarang juga!” “Baiklah, akan kupanggil orangnya ke sini!”

Setelah berkata demikian, Ceng Hiang bertepuk tangan tiga kali dan diam- diam Song Kim terkejut bukan main. Ketika gadis itu bertepuk tangan, terdengar suara seperti dua buah benda keras bertemu. Ini saja menandakan bahwa gadis itu benar-benar telah menguasai sinkang yang amat kuat.

Terdengar suitan nyaring sebagai balasan, dan dari balik semak-semak belukar, meloncatlah seorang wanita. Gerakannya demikian cepat dan tahu- tahu ia telah berdiri berhadapan dengan Lee Song Kim. Pemuda itu cepat memandang dan wajahnya seketika menjadi pucat. Kalau pada saat itu dia melihat yang muncul seorang iblis, belum tentu dia akan sekaget sekarang ini. “Kau... sumoi...” katanya gagap dan seperti  orang  linglung,  dia  menoleh dan memandang kepada Ceng Hiang, lalu kepada Kiki, berganti-ganti seperti

hendak bertanya, apa artinya semua ini.

“Benar, akan tetapi engkau tidak berhak menyebut sumoi kepadaku lagi. Lee Song Kim, engkau tentu mengira bahwa aku sudah mati di laut, bukan? Nah, sekaranglah tiba saatnya kita bertanding, satu lawan satu, tidak seperti dulu, kau mengandalkan jumlah yang lebih besar!”

Berkata demikian, gadis ini melintangkan sebuah tongkat yang tadi telah dipersiapkan lebih dulu di depan dadanya, dengan sikap menantang.

Tentu saja Song Kim merasa tidak enak sekali kepada Ceng Hiang. Maka untuk membersihkan muka dan namanya, dia berkata membujuk.

“Sumoi, harap jangan bersikap begitu. Kuakui bahwa memang aku yang melaporkan rapat para pemberontak ketika suhu mengadakan pesta ulang tahun, juga aku mengaku bahwa aku membawa pasukan dengan perahu untuk menyerang perahu Bajak Naga Lautan. Akan tetapi, semua itu adalah tugasku sebagai seorang perwira, sumoi! Aku harus menentang pemberontakan dan aku harus pula menentang para pembajak dan para penjahat lainnya. Yang bersalah adalah suhu dan kau sendiri, kenapa tidak meninggalkan kebiasaan lama, meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan benar dengan mengabdi kepada pemerintah dan mengamankan kehidupan rakyat jelata?”

Diam-diam Kiki dan juga Ceng Hiang merasa kagum. Orang ini memang cerdik bukan main dan pandai sekali bicara. Siapa saja, pihak luar, yang tidak tahu-menahu urusan dalam di antara mereka, tentu akan setuju sepenuhnya dan akan membenarkan pemuda itu.

“Lee Song Kim, tidak perlu engkau mengeluarkan kata-kata merayu. Aku menerima tugas dari ayah untuk mencari tahu di mana tempat tinggalmu, dan ayah sendiri yang akan datang untuk menghukummu sebagai murid yang murtad dan pengkhianat besar. Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu. Tadi kau menantang aku melalui enci Hiang. Nah, aku di sini, mari kira lanjutkan perkelahian kita dulu itu!”

Kalau saja di situ tidak ada Ceng Hiang, tentu Song Kim sudah marah sekali dan sudah menyerang bekas sumoinya, kalau mungkin menangkapnya hidup- hidup untuk dipermainkan dulu sebelum dibunuh, kalau tidak mungkin, langsung saja membunuhnya karena sumoinya merupakan orang berbahaya bagi perhubungannya dengan Ceng Hiang.

“Sumoi, kita bersaudara seperguruan. Kalau engkau memang ingin menguji kepandaian dan hendak menyerangku, silahkan!” katanya dengan sikap gagah dan memang cerdik, karena seolah-olah Kiki yang memaksanya untuk bertanding!

Akan tetapi Kiki memang sudah tak dapat menahan kernarahannya lagi ketika bertemu dengan Song Kim, apalagi sejak tadi ia mendengarkan percakapan antara Song Kim dan Ceng Hiang. Sebagai orang yang mengenal Song Kim sejak kecil, tentu saja Kiki mengenal segala yang tersembunyi di balik topeng tampan dan halus itu, dan ia tahu bahwa bekas suhengnya itu berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatian dan menjatuhkan hati Ceng Hiang. Ia tidak mau menerima kenyataan itu dan ia tidak akan merasa rela kalau sampai Ceng Hiang terjatuh ke tangan Song Kim.

“Lee Song Kim, lihat senjataku!” bentaknya, dan iapun sudah menyerang dengan tongkatnya.

Song Kim maklum betapa lihainya kalau sumoinya ini bersenjatakan tongkat. Memang sebenarnya, keahliannya adalah bermain tongkat. Tongkat suhunya amat dikenal di dunia persilatan. Tongkat emasnya itulah yang mengangkat nama suhunya Hai-tok dan Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas) amat ditakuti lawan, di samping ilmu Silat Thai-lek Kim-kong-jiu. Dia sendiripun mempelajari kedua ilmu itu, akan tetapi wataknya yang pesolek membuat dia mengganti tongkat dengan pedang. Rasanya tidak berwibawa dan tidak gagah baginya kalau dia kemana-mana harus membawa tongkat. Sebaliknya, kalau membawa pedang tentu nampak gagah. Apalagi setelah dia menjadi opsir! Karena tahu betapa lihainya Kiki kalau bersenjata tongkat, dia tidak berani menghadapinya dengan tangan kosong dan diapun mencabut pedangnya.

“Trangg! Cringgg...!”

Dua kali tongkat bertemu pedang, dan kini keduanya nampak berkelebatan dengan cepat sekali. Dua gulungan sinar nampak saling belit dan kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan amat sengitnya.

Ceng Hiang menyaksikan dari samping dan diam-diam merasa kagum. Memang kedua orang itu hebat sekali dan andaikata ia tidak memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat dari keluarga Pulau Es, ia sendiripun takkan mungkin dapat mengalahkan mereka ini.

Dua orang itu memiliki ilmu silat dari satu sumber dan keduanya memang berbakat. Akan tetapi sekali ini, Song Kim merasa rugi. Tentu saja permainan tongkat Kiki lebih hebat dari pada permainan pedangnya yang digerakkan berdasarkan ilmu Kim-kong-pang pula! Ada beberapa bagian yang membuat dia kalah praktis, terutama karena dengan tongkat itu, Kiki dapat mempergunakan kedua ujung tongkat untuk menusuk, menghantam atau menotok jalan darah.

Sebaliknya, dengan pedang, Song Kim hanya mampu menyerang dengan ujung pedang saja, membacok atau menusuk. Bagian gagangnya sama sekali tidak dapat dia pergunakan. Apalagi di situ terdapat Ceng Hiang yang menonton, hal yang membuatnya menjadi gugup dan juga serba salah.

Lalu pikiran yang amat cerdik akan tetapi kejam menyelinap dalam hati Song Kim. Kenapa dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk membunuh saja Kiki? Dalam perkelahian adu kepandaian, apalagi kalau tingkat mereka seimbang, soal terluka atau mati bukanlah hal yang aneh! Mereka sudah berkelahi tigapuluh jurus lebih dan dari permainan senjata mereka, mulailah gadis dapat mendesak suhengnya. Walaupun untuk dapat mengalahkan Song Kim masih amat sukar, namun setidaknya ia sudah memperlihatkan bahwa pemuda itu tidaklah sehebat seperti bualannya.

Akan tetapi tiba-tiba ada sinar putih berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu menubruk maju dengan pisau belati menyambar ke arah perut Kiki! Ceng Hiang sendiri terkejut bukan main. Akan tetapi Kiki dapat meloncat ke belakang dan gadis ini memang maklum bahwa suhengnya itu pandai memainkan sepasang pisau belati. Tak disangkanya bahwa kini suhengnya yang sudah memegang pedang itu tidak malu-malu untuk membantu pedangnya dengau pisau belati di tangan kiri! Agak terkejut juga Kiki, dan kini ialah yang terdesak ke belakang karena lawan sudah menyerang bertubi-tubi dengan pedang dan pisaunya! Dan di pinggang pemuda itu masih ada sebatang pisau belati lagi.

Ceng Hiang merasa serba salah. Untuk membantu, ia segan karena hal itu berarti suatu perbuatan curang. Untuk mendiamkan saja, ia mulai merasa khawatir akan keselamatan Kiki. Ia bermaksud untuk melerai saja, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki.

“Hemm, memang jahat sekali. Kembali kau ingin menghina wanita!”

Dan muncullah seorang pemuda yang entah dari mana datangnya. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga, tahu-tahu dia telah berada di situ. Seorang pemuda yang usianya tentu baru duapuluh tahun lebih sedikit, berpakaian sederhana seperti petani, kuncirnya hitam dan tebal melingkar di leher, wajahnya yang tampan itu amat sederhana, penuh dengan bayangan kehalusan budi dan kesabaran.

Melihat munculnya pemuda ini, Song Kim terkejut bukan main. Dia mengenal pemuda yang pernah menggagalkan dia ketika dia hendak memperkosa Kiki di pantai laut dahulu itu! Dan kini pemuda ini muncul, berarti pemuda ini akan membuka rahasianya dan celakaiah dia. Maka, melihat betapa Kiki agaknya juga mengenal pemuda itu dan gadis itu meloncat jauh ke belakang, dia lalu tiba-tiba saja menubruk ke kanan, ke arah pemuda itu dan membacokkan pedangnya ke arah leher pemuda itu, sedangkan pisau belatinya disambitkan ke arah dada!

Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Dia tadi melihat perkelahian antara dua orang itu dan segera mengenal bahwa yang diserang itu adalah Kiki, dan yang menyerang adalah pemuda yang dulu hampir memperkosa gadis itu. Tentu saja dia marah dan segera menegur, tidak melihat bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang gadis lain yang sedang nonton perkelahian hebat itu.

Ketika tiba-tiba, tanpa disangkanya, Song Kim menyerangnya, Ci Kong hanya mundur selangkah. membiarkan pedang menyambar, lalu tiba-tiba dia menangkis dari samping, sedangkan pisau belati yang meluncur ke arah dada itu didiamkan saja, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sinkang melindungi dada dan lengan.

“Tak! Tak!”

Pedang itu terpental, tertangkis oleh lengan, sedangkan pisau belati yang mengenai dada Ci Kong juga runtuh ke atas tanah! Bukan hanya Song Kim yang terkejut, melainkan Kiki dan Ceng Hiang juga kagum bukan main. Terutama sekali Kiki. Dia mengenal pemuda itu ‘ hanya’ cucu dari Siauw-bin-hud, jadi termasuk murid Siauw-lim-pai yang tidak tinggi tingkatnya, akan tetapi bagaimana dapat memiliki kekebalan yang demikian hebat?

Dara ini pernah mengenalnya, akan tetapi belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang sungguh-sungguh. Padahal ia sendiri tidak akan berani membiarkan pisau belati itu mengenai dadanya, maklum betapa kuatnya Song Kim, apalagi menangkis pedangnya. Dan Ceng Hiang hanya bengong, tak pernah mengira bahwa dalam satu waktu saja, ia akan berkenalan dengan demikian banyaknya orang-orang muda yang amat lihai.

Akan tetapi, Song Kim bukan hanya terkejut, melainkan jerih sekali. Bukan jerih melawan pemuda itu. Akan tetapi kalau pemuda itu membuka rahasia, bukan saja Kiki akan semakin membencinya, gurunya juga akan marah, akan tetapi terutama sekali Ceng Hiang tentu akan membencinya! Tidak akan ada harapan lagi untuk naik pangkat, apalagi memperisteri, Ceng Hiang. Dan untuk melawan? Wah, berat! Baru melawan sumoinya saja, sudah amat sukar dia memperoleh kemenangan, apalagi di situ ada Ceng Hiang yang jelas lebih lihai darinya, dan pemuda tani itu juga memiliki kepandaian hebat.

“Ci Kong!”

Kiki sudah berteriak girang juga kagum karena tidak menyangka pemuda Siauw-lim-pai ini demikian tangguhnya.

“Apa maksudmu dia jahat dan menghina wanita?”

"Kiki, kau tidak tahu? Dialah laki-laki dahulu itu yang mengganggumu di pantai…”

Wajah gadis itu berubah pucat sekali, kemudian menjadi merah. “Apa...??”

Matanya terbelalak dan membalikkan tubuh, siap untuk menyerang bekas suhengnya, akan tetapi begitu tadi Kiki mengajukan pertanyaan, Song Kim sudah melarikan diri dengan cepat tanpa pamit lagi, meninggalkan tempat itu.

“Iblis keparat… jahanam…!” Kiki membentak. “Hendak lari kemana kau?” Dan Kiki pun melakukan pengejaran. Tentu saja Ceng Hiang terkejut dan juga mengejar. Melihat betapa gadis cantik yang baru saja dilihatnya menjadi penonton itu mampu meloncat dan lari secepat itu, sejenak Ci Kong menjadi bengong, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.

“Wahh... di dunia begini banyak gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu silat tinggi! Jangan-jangan pada suatu waktu, dunia ini akan dikuasai oleh wanita.” Dan diapun cepat melakukan pengejaran karena dia khawatir kalau-kalau Kiki akan terjebak oleh pemuda yang nampaknya tampan dan gagah, akan

tetapi ternyata cerdik, curang dan juga jahat itu.

Dengan ilmunya berlari cepat, Ceng Hiang dapat menyusul Kiki dan ia berkata.

“Adikku, mari kita cari dia di gedungnya.”

Baru Kiki teringat. Tadinya ia sudah bingung karena bayangan pemuda jahat itu tidak nampak lagi. Dan diam-diam Ceng Hiang terheran mengapa kedua mata adik angkatnya itu basah dan matanya berapi-api, jelas bahwa adiknya itu marah bukan main. Karena mereka berdua berlari secepatnya, mereka tidak sempat bercakap-cakap, juga mereka tidak tahu bahwa tidak jauh di belakang mereka, Ci Kong masih terus lari membayangi mereka, melihat dan ingin melindungi dari jauh.

Melihat betapa puteri pangeran itu dan seorang gadis lain, juga seorang pemuda di belakang mereka, memasuki pintu gerbang sambil berlari cepat, para penjaga di situ memandang terheran-heran Akan tetapi tidak berniat bertanya, apalagi menegur. Tidak ada perajurit yang tidak tahu siapa adanya Ceng Hiang! Mereka tahu betapa lihainya puteri pangeran dan menganggap bahwa dara itu bersama dua orang kawannya yang juga lihai sekali dan dapat berlari secepat kijang-kijang muda.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di gedung tempat kediaman opsir Lee Song Kim, pemuda itu sudah terbang pergi. Para penjaga di situ hanya mengatakan bahwa majikan mereka baru saja pergi membawa buntalan besar, bahkan perginya melalui pintu belakang! Kiki hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Ceng Hiang memegang lengan adiknya itu.

“Tak perlu dikejar, sukar sekali mencarinya kalau tidak tahu kemana dia pergi.”

Mereka sudah berada di belakang gedung itu dan tidak nampak bayangan Song Kim. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki di belakang mereka.

“Memang tidak ada gunanya dikejar. Berkejaran di kota tentu bahkan akan menimbulkan kekacauan. Di tempat ramai ini amat mudah baginya sembunyi.” Ceng Hiang menengok dan melihat pemuda tani yang mengagumkan itu telah berdiri pula di situ. Dara ini semakin kagum. Pemuda itu tidak nampak lelah sama sekali, dan ia tadi juga tidak dapat melihat batapa pemuda ini

membayangi mereka. Betapa lihainya pemuda ini.

Mendengar suara Ci Kong, Kiki lalu membalikkan tubuhnya dan kini nampak ia menangis. Biarpun tidak terisak-isak, akan tetapi kedua matanya merah dan masih ada air mata mengalir turun.

“Kenapa tidak dari dulu kau beritahu padaku bahwa dia yang melakukan itu!” bentaknya dengan nada suara marah dan memandang kepada pernuda itu dengan mata lebar dan mulut cemberut.

Agaknya dalam setiap saat, gadis ini bisa saja mendadak menyerang Ci Kong sebagai tempat peluapan kemarahannya. Ci Kong mengembangkan kedua tangannya. “Kiki, bagaimana aku dapat memberi tahu kepadamu kalau aku belum pernah mengenalnya. Tadi ketika aku melihat dia berkelahi denganmu, aku segera mengenalnya dan aku bahkan mengira kalau dia berkelahi denganmu karena urusan dahulu itu.”

Kiki teringat dan tentu saja dara ini tak dapat marah lagi. Memang, bagaimana Ci Kong dapat menceritakan siapa orangnya yang hendak memperkosanya kalau belum mengenal orang itu?

“Adikku, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Lee-ciangkun?” tiba- tiba Ceng Hiang bertanya karena ia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu.

“Ciangkun-ciangkun apa! Dia penjahat besar... aihh, malu sekali aku menjadi bekas sumoinya!”

Gadis ini membanting-banting kaki, dengan kemarahan meluap-luap, ia membayangkan semua yang terjadi. Terkutuk! Kalau begitu, laki-laki yang meraba-rabanya, yang menciuminya dan nyaris memperkosanya di perahu sebelum badai mengamuk itu tentu juga si jahanam itu!

“Dia itu suhengmu?”

Kini Ci Kong yang terheran-heran, sama sekali tidak mengira bahwa pria yang dahulu hendak memperkosa Kiki itu malahsuhengnya sendiri! Suheng macam apa begitu? Akan tetapi dia teringat bahwa Kiki dan suhengnya itu adalah murid-murid Hai-tok, jadi tidaklah aneh kalau suheng itu hendak memperkosa sumoinya sendiri. Perbuatan jahat apa yang diharamkan oleh orang-orang dari Empat Racun Dunia?

“Kiki, siapakah saudara ini dan apa artinya percakapan kalian ini?” kembali Ceng Hiang menuntut karena ia ingin tahu sekali.

Barulah Kiki teringat akan kehadiran encinya itu, dan cepat ia merangkul encinya dan kini tak tertahankan lagi ia menangis, menyembunyikan mukanya di pundak Ceng Hiang yang merangkul dan mengelus rambutnya. Setelah meredakan tangisnya, tangis karena marah dan penasaran, Kiki lalu berkata.

“Enci, memang buruk sekali nasib adikmu ini…”

“Baik buruknya nasib hanyalah anggapan kita sendiri saja, adikku. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya pernah terjadi? Atau kalau engkau sungkan tidak menceritakan, akupun tidak akan memaksamu,” katanya halus dan lembut.

Sejak tadi, Ci Kong tertegun dan terpesona. Dia tidak berani mermandang langsung, akan tetapi setiap kali melirik kepada gadis yang dipanggil cici oleh Kiki itu, sinar matanya seolah-olah melekat dan sukar untuk dialihkan ke tempat lain! Gadis itu begitu cantik jelita, begitu halus dan lembut, dan kata- katanya mengandung kebijaksanaan yang demikian mengagumkan.

“Enci, beberapa bulan yang lalu, aku dan suhengku itu oleh ayah diperintah untuk meninggalkan Pulau Layar untuk mencari Koan Jit, orang yang telah merampas Giok-Hohg-kiam yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw.”

Ceng Hiang mengangguk.

“Aku pernah mendengar tentang Giok-liong-kim itu. Bukankah itu pusaka yang dicuri orang dari Thian-te-pai itu? Kalau tidak salah, pihak istana juga ikut berlumba untuk memperebutkan.”

“Benar. Giok- liong-kiam terampas oleh Koan Jit murid pertama dari Thian- tok. Kami, yaitu aku dan bekas suheng itu, berebut siapa yang akan melaksanakan tugas merampas pusaka itu dari tangan Koan Jit. Dan aku mendahului Lee Song Kim itu, malam-malam aku meninggalkan pulau dan naik perahu. Akan tetapi, sungguh tak kusangka, di tengah malam tiba-tiba ada orang menotokku sehingga aku roboh tak berdaya. Karena sama sekali tidak mengira ada orang dapat naik ke perahuku di tengah lautan, maka aku dapat dirobohkan. Dan dia... dia… hampir saja dapat memperkosaku. Untung ketika itu tiba-tiba datang badai mengamuk, dia tidak dapat melaksanakan niatnya yang terkutuk, dan aku lalu diikatnya di tiang layar perahuku. Akan tetapi badai sedemikian hebatnya sehingga perahu itu membentur batu karang, pecah dan tenggelam. Untung aku diikat di tiang layar sehingga aku tidak ikut tenggelam. Ombak mempermainkan diriku setengah malam, dan menjelang pagi aku terdampar di pantai.”

Ceng Hiang mendengarkan penuturan adik angkatnya dengan jantung berdebar tegang dan ia memandang adiknya itu dengan sinar mata penuh iba.

“Lalu bagaimana, adikku yang malang?”

“Celakanya, enci. Ketika aku terdampar, jahanam keparat Lee Song Kim itupun sudah tiba di pantai itu! Dan kembali dia... dia bermaksud untuk memperkosaku!”

“Jahanam busuk!”

Ceng Hiang ikut mendamprat, akan tetapi makiannya itu terdengar barusan sama sekali berbeda dengan makian Kiki yang kasar penuh hawa amarah dan kebencian.

“Aku terbelenggu di tiang layar dan tidak berdaya, enci. Andaikata hal itu terlaksana, aku tentu akan bunuh diri. Akan tetapi tiba-tiba saja muncul dia ini yang menyelamatkan aku. Dia menyerang Song Kim, dan agaknya karena Song Kim tidak mampu mengalahkannya, dia melarikan diri, si pengecut jahanam!”

“Bukan kalah dariku, Kiki, melainkan sekarang aku dapat menduga, pada waktu itu matahari sudah hampir keluar dan tentu dia takut kalau-kalau engkau akan mengenalinya,” kata Ci Kong.

“Benar!” Kiki menepuk Paha sendiri.

“Wah, sungguh jahanam itu penuh tipu muslihat! Untung engkau tadi muncul, Ci Kong, kalau tidak, sampai detik inipun tentu aku tidak pernah menyangka bahwa dialah jahanam busuk malam itu!”

“Adikku Kiki, kenapa sejak kita bertemu, engkau tidak pernah bercerita tentang peristiwa itu kepadaku?” tiba-tiba Ceng Hiang bertanya, nada suaranya penuh teguran.

“Ah, aku malu, enci. Biarpun aku belum ternoda, akan tetapi aku malu untuk menceritakan kepadamu.”

“Kiki, aku tidak mengira bahwa engkau mempunyai seorang kakak perempuan. Nona, terimalah hormatku, tadi aku melihat betapa nona dapat berlari cepat secara luar biasa sekali, dan aku mengerti bahwa ilmu kepandaian nona tentu lebih hebat dari pada Kiki atau aku sendiri. Kenapa nona tadi tidak turun tangan menghajar orang itu?”

Kini Ci Kong yang bertanya kepada Ceng Hiang sambil mengerutkan alisnya. Gadis ini luar biasa, dan jelas lihai, akan tetapi dia merasa heran mengapa tadi membiarkan Kiki didesak oleh Song Kim.

Kiki tertawa dan itu tandanya bahwa dara ini sudah melupakan kemarahannya. Memang, seorang gadis lincah jenaka seperti Kiki, wataknya mudah berubah seperti angin. Bisa saja sebentar menangis, sebentar tertawa, mudah marah lalu berbalik ramah.

“Hi-hik, engkau hanya tahu ekorrya tak tahu kepalanya, Ci Kong. Yang kaukira kakak perempuanku ini memang benar enciku, akan tetapi enci angkat. Ia ini adalah puteri…”

“Hushhh, jangan mengangkatku terlalu tinggi, Kiki…” kata Ceng Hiang dan tiba-tiba mukanya berubah merah.

“Ci Kong, enci Hiang ini adalah puteri tunggal dari Pangeran Ceng Tiu Ong, seorang pangeran tua yang arif bijaksana, sasterawan besar, dan mereka, ayah dan anak itu tidak menyetujui penjajahan dan penindasan. Hebat, bukan? Dan biarpun ayahnya seorang sasterawan yang hanya pandai membaca menulis, bahkan ahli sastera kuno, akan tetapi jangan mengira enciku ini yang kelihatan halus lembut seorang lemah! Wah… kepandaiannya tentang silat... selangit deh!”

“Hushhh…”

Kembali Ceng Hiang mencela akan tetapi tidak melanjutkan dan tersenyum malu. Aneh sekali, baru sekarang gadis ini merasa girang dipuji-puji di depan orang!

“Kau tahu, Ci Kong, dara cantik jelita seperti bidadari di depanmu ini siapa? Ia adalah pewaris ilmu-ilmu silat dari keturunan keluarga pendekar Pulau Es!”

Tentu saja Ci Kong menjadi kaget bukan main. Cepat dia menjura dan berkata.

“Ah, harap lihiap (pendekar wanita) sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak tahu bahwa lihiap adalah murid keluarga Pulau Es!”

Wajah cantik itu menjadi semakin merah, dan Ceng Hiang membalas penghormatan pemuda itu dengan menjura.

“Ah, taihiap (pendekar besar) bersikap terlalu sungkan dan memuji diriku terlampau tinggi. Ini semua gara-gara adik Kiki yang nakal ini!”

Kiki tertawa dan bertepuk tangan.

“Hi-hik, yang seorang lihiap, seorang lagi taihiap, sungguh cocok sekali!” Melihat betapa kedua orang itu menjadi semakin kikuk oleh godaannya,

Kiki berkata.

“Kita adalah saudara dan sahabat, merupakan orang-orang sendiri. Kalian jangan begitu sungkan dengan sebutan yang menyanjung seperti itu. Enci Hiang, aku begitu bertemu dan berkenalan dengan Ci Kong, kami langsung saja menyebut nama masing-masing. Dan begitu kita saling jumpa, bukankah di antara kita juga sudah akrab? Kenapa kalian begini sungkan? Enci Hiang, Tan Ci Kong ini adalah seorang murid yang lihai sekali dari Siauw-lim-pai.”

Ceng Hiang yang merasa semakin malu oleh godaan adiknya, untuk menutupi rasa kikuknya, lalu berkata.

“Kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi.”

Ci Kong menarik napas panjang.

“Sudahlah, nona Ceng, adik Kiki memang benar. Di antara kita tidak perlu sungkan-sungkan dan saling memuji. Yang penting, harap kalian waspada dan hati-hati sekali terhadap orang yang ternyata adalah suheng sendiri dari Kiki. Siapakah nama suhengmu itu, Kiki…?”

“Tidak sudi aku mempunyai suheng macam dia! Dia sekarang bukan suhengku lagi, melainkan musuhku. Namanya adalah Lee Song Kim, dan kalau dapat berjumpa lagi dengannya, aku akan membunuhnya! Aku akan mencarinya!”

Ceng Hiang mengerutkan alisnya dan memegang lengan adiknya. “Jangan, adikku. Dia memiliki kedudukan yang baik dan kuat, menjadi orang kepercayaan panglima kerajaan, bahkan dia sudah diperkenalkan kepada ayah. Kalau engkau memusuhinya dengan bertarung, kemudian diketahui bahwa engkau adalah puteri angkat ayah, maka tentu ayah akan terlibat. Seorang diri saja memusuhi dia yang mempunyai pasukan besar, tak mungkin engkau akan berhasil.”

“Apa yang dikemukakan nona Ceng ini memang tepat dan engkau harus bertindak dengan hati-hati, jangan sembrono, Kiki,” kata pula Ci Kong.

“Kau sudah dicap pemberontak-pemberontak, dan orang itu memiliki kedudukan di dalam pasukan pemerintah. Tentu engkau akan celaka dan tidak berhasil kalau berusaha sendiri untuk membasminya. Diperlukan kekuatan yang besar dan perhitungan yang matang.”

Kiki yang mengepal tinju ketika menyatakan hendak mencari dan membunuh bekas suhengnya itu, menjadi lemas kembali.

“Baiklah, aku akan lapor kepada ayah, karena memang ayah sendiri yang akan turun tangan menghukum murid murtad itu.”

Ci Kong lalu berpamit dari dua orang gadis itu. Ceng Hiang mengajak Kiki pulang ke gedungnya, dan mulai hari itu, dengan tekun Kiki mempelajari kitab Hui-thian Yan-cu yang sudah diterjemahkan dengan jelas oleh Pangeran Ceng. Setelah ia mengerti benar, baru ia membawa kitab itu dan meninggalkan gedung keluarga Pangeran Ceng, untuk pulang ke Pulau Naga.

Sang pangeran yang merasa suka kepada puteri angkatnya itu, memberi banyak nasihat agar gadis itu berhati-hati dan jangan menuruti nafsu dan keberanian saja dalam usaha perjuangan menentang pemerintah lalim dan pasukan orang kulit putih.

Ceng Hiang yang juga amat mencinta Kiki, merasa kehilangan dan minta adik angkatnya itu berjanji bahwa Kiki akan segera kembali ke gedung keluarga Ceng itu.

“Kau perempuan sialan, membikin orang menjadi malu saja!”

Entah berapa kali sudah kakek itu mengomel panjang pendek kepada gadis yang berjalan di sampingnya itu. Gadis yang berkulit putih, bermata biru dan berambut kuning emas itu tidak pernah membantah, hanya berjalan dengan langkah lebar mengimbangi langkah kakek itu sambil menundukkan mukanya. Ia adalah Diana, dan kakek yang marah-marah kepadanya itu adalah San-tok.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika diajak berkunjung ke kuil untuk mengadakan pertemuan dengan Siauw-bin-hud dan Tee-tok, Diana melihat Ci Kong dan gadis ini yang tidak dapat membendung luapan rasa girang dan terima kasihnya, telah memperlihatkan rasa girangnya secara spontan seperti kebiasaan bangsanya, ia merangkul dan mencium Ci Kong di depan orang banyak. San-tok yang memang tadinya tidak senang kepada gadis yang dianggapnya selalu merupakan gangguan ini, menjadi semakin marah dan kini di sepanjang perjalanan dia mengomel terus.

“Engkau telah mencoreng arang di mukaku, di depan banyak orang. Kau melakukan hal yang tidak sopan dan sekarang masih berani mengikuti aku. Apakah kau minta aku turun tangan membunuhmu?”

“Aku adalah murid suhu, kalau tidak mengikuti suhu, habis mengikuti siapa?”

Diana akhirnya berkaca sambil memandang wajah kakek itu dengan sinar matanya yang tajam. Melihat sepasang mata lebar berwarna kebiruan itu menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, San-tok yang biasanya amat peramah suka senyum-senyum sendiri itu, kini cemberut dan membuang muka. “Aku tidak sudi mempunyai murid seperti engkau!”

“Akan tetapi suhu sudah berjanji, dan aku tidak percaya seorang sakti dengan kedudukan seperti suhu akan mau melanggar janji sendiri.”

San-tok merasa kewalahan dan menjadi semakin uring-uringan.

“Janji apa! Huh, kau membikin aku malu. Kau tahu, Ci Kong itu adalah calon jodoh Lian Hong, dan engkau menciuminya di depan orang banyak! Celaka!”

Diam-diam Diana terkejut mendengar ini dan memang wajah kakek itu dengan sinar mata tidak percaya.

“Ah, suci Lian Hong tidak pernah bicara tentang itu, Suhu. Kurasa tidak ada pertalian cinta di antara mereka...”

“Persetan dengan cinta! Aku menghendaki muridku itu berjodoh dengan Ci Kong, dan itu merupakan suatu hal yang tidak boleh dibantah, dan engkau telah menciumi Ci Kong begitu saja!”

Diana memiliki watak yang keras dan berani. Kalau saja tidak mengingat bahwa ia sudah menjadi murid kakek ini, tentu semua ucapan dan sikap kakek itu akan dicela dan dibantahnya. Kini, mendengar akan pendapat kakek itu yang agaknya hendak memaksa Lian Hong berjodoh dengan Ci Kong, iapun merasa penasaran.

“Suhu, perjodohan tanpa cinta hanya akan mendatangkan sengsara! Dan tentang perbuatanku mencium Ci Kong itu, hanyalah merupakan luapan kegembiraan hatiku bertemu dengan orang yang pernah menyelamatkan aku. Apa sih artihya ciuman tanda terima kasih seperti itu? Kurasa kulit pipinya tidak lecet dan tidak akan ternoda atau berkurang!”

Hampir saja San-tok tertawa mendengar ini, dan diapun termenung. Dia teringat bahwa biasanya diapun tidak perduli akan segala hai mengenai tata susila dan sopan santun. Memang, dicium begitu saja tidak ada artinya, Ci Kong masih tetap utuh. Kalau dulu hal seperti terjadi, tentu dia malah akan tertawa geli. Akan tetapi sekarang, kenapa dia meributkan soal sepele? Sejak dia berhubungan dengan Siauw-bin-hud, sejak dia ingin menjadi orang baik, ingin menjadi seorang pejuang dan patriot, tiba-tiba saja dia kini meributkan soal sopan santun sepele! Dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Rasa malu ini ditutupinya dengan kemarahan besar.

“Sudahlah, jangan cerewet. Kaupergilah, jangan mengikuti aku lagi, atau kalau engkau nekat, akan kubunuh kau?”

“Kalau suhu hendak membunuh aku yang tanpa dosa, silahkan. Sejak dulupun, kalau suhu mau membunuhku, aku tidak akan dapat membela diri.”

Sepasang mata San-tok mencorong menatap wajah gadis itu, dan melihat betapa sinar mata yang bening itu penuh keberanian ditujukan kepadanya, bukan sekedar membual atau menggertak, dia semakin mendongkol. Gadis ini tidak dapat digertak, pikirnya.

“Tolol! Kalau aku pergi meningalkanmu, apa kau mau menyusulku?” “Terserah kepada Suhu. Aku akan tetap mengejar. Kalau suhu hendak

melanggar janji, silahkan meninggalkan aku.” San-tok membanting kakinya.

“Sialan! Kenapa hidupku yang tidak berapa lama lagi ini terganggu oleh kehadiran orangseperti engkau ini Celaka! Nah, kau berjalanlah sendiri, biar dimakan binatang buas!”

Sekali berkelebat, kakek itu lenyap dari depan Diana. Sejenak gadis ini menjadi pucat dan bingung. Akan tetapi teringat akan nasihat Lian Hong bahwa menghadapi seorang kakek luar biasa seperti guru mereka itu, Diana harus keras hati dan tahan ujian! Maka, kini iapun memberanikan hatinya dan melangkah terus menuju ke utara, karena ia sudah tahu bahwa gurunya bertempat tinggal di puncak Gunung Naga putih, sebuah di antara puncak- puncak Wuyi-san. Kalau perlu, ia akan menyusul suhunya, pergi seorang diri ke puncak itu, kalau tidak mati dimakan binatang buas di tengah jalan.

San-tok tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi untuk melihat bagaimana sikap gadis itu setelah ditinggalkan. Akan tetapi dia melibat betapa Diana dengan sikap penuh keberanian, masih melanjutkan perjalanan menuju utara! Lambat atau cepat, akhirnya tentu gadis itu akan tiba juga di puncak Naga Putih menyusulnya! Tentu gadis bule ini sudah tahu akan tempat tinggalnya dari Lian Hong! Dia lalu mempunyai akal dan sambil menahan ketawa, San-tok lalu mendahului Diana, lalu bersembunyi ke dalam semak-semak belukar yang akan dilalui gadis itu.

Diana melangkah terus dengan cepat, sambil menggigit bibirnya bertekad untuk berjalan terus dan baru berhenti kalau kakinya sudah mogok. Ketika ia tiba di dekat sekelompok semak belukar yang rimbun, tiba-tiba saja terdengar gerengan keras sekali dan semak-semak itu bergoyang keras! Tentu saja gadis itu terkejut bukan main, ia menjerit kecil.

Diana berteriak, akan tetapi lalu teringat bahwa San-tok tidak berada di situ, maka iapun lalu melarikan diri tunggang-langgang. Ia merasa yakin bahwa ada binatang buas yang amat berbahaya dalam semak-semak itu dan ia tidak perduli lagi ke arah mana ia lari. Yang penting adalah menyelamatkan diri sebelum binatang itu keluar.

Setelah gadis itu berlari jauh, San-tok muncul dari dalam semak-semak dan tertawa bergelak, membayangkan betapa lucunya gadis itu tadi lari terbirit- birit!

“Rasakan kau sekarang!” katanya, dan melihat betapa Diana tadi melarikan diri ke kiri, berarti ke barat, dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu sudah kehilangan arah dan tak mungkin akan dapat keluar dari hutan lebat itu.

San-tok lalu melanjutkan perjalanan, tidak tergesa-gesa, melainkan seenaknya karena hatinya merasa senang bahwa dia telah berhasil mengenyahkan Diana dari sampingnya. Tidak ada lagi yang mengganggu dalam perjalanannya, dan diapun melanjutkan perjalanan seenaknya saja.

Tiga hari kemudian, karena kemalaman di jalan, terpaksa San-tok memasuki sebuah rumah kosong yang sudah hampir roboh, yang berdiri di tepi jalan di luar sebuah dusun. Dia tadi berhasil menangkap seekor kijang dan mencuri seguci arak. Sambil bersenandung, kakek ini menikmati keadaannya waktu itu. Dia membuat sebuah api unggun di ruangan belakang rumah rusak itu, memanggang paha kijang yang sudah diberinya bumbu sehingga panggang daging itu menyiarkan bau yang amat sedap. San-tok yang sejak pagi tadi tidak makan apa-apa, mencium bau ini, memandang dengan mata haus dan air liurnya membasahi mulut.

“Suhu... aku… aku lapar...!”

San-tok meloncat dari tempat dia duduk di atas lantai dan dia menengok. Matanya terbelalak ketika melihat tubuh Diana terguling roboh dan ternyata gadis itu telah roboh pingsan, tak jauh dari api unggun! Melihat munculnya gadis ini, San-tok terkejut bukan main, akan tetapi juga rasa kagum menyelinap di hatinya yang keras. Gadis bule ini benar-benar luar biasa sekali, pikirnya. Bukankah tiga hari yang lalu sudah lari tunggang-langgang di dalam hutan itu, menuju ke barat? Bagaimana mungkin kini dapat menyusulnya di pondok bobrok itu? Dan diapun kini tertarik oleh kekuatan yang luar biasa itu. Dihampirinya tubuh Diana dan memeriksa sebentar saja, tahulah dia bahwa gadis ini roboh pingsan saking lelah dan laparnya! Pakaiannya compang- camping, juga rambutnya awut-awutan.

San-tok menarik napas panjang. Tak dapat dia membohongi atau menyangkal hatinya sendiri bahwa dia semakin tertarik dan suka kepada gadis bule yang keras hati ini. Tidak mengecewakan memiliki seorang murid seperti ini, pikirnya. Dan diapun teringat akan janjinya kepada Lian Hong. Muridnya yang amat disayangnya itu memesan dengan sungguh-sungguh agar dia tidak mengganggu Diana, agar dia melindungi gadis bule yang sudah diterimanya sebagai murid itu. Dia lalu mengambil arak, menuangkan sedikit arak ke dalam mulut Diana dan gadis itupun siuman sambil terbatuk-batuk.

“Hemm, anak bandel. Kaumakanlah ini, dan minum arak ini!” kata San-tok. Diana yang memang sudah kelaparan itu, menerima daging panggang dan makan dengan lahapnya, dan minum arak yang menghangatkan perutnya. San- tok sendiri lalu makan daging panggang tanpa banyak cakap. Terjadi perang di dalam hatinya. Rasa kasihan sudah lama meninggalkan lubuk hati kakek ini. Hatinya beku dan keras. Terhadap Diana, dia tidak merasa kasihan, hanya tertarik melihat betapa gadis ini memiliki kemauan yang demikian membaja. Akan tetapi dia masih belum puas benar. Memiliki murid seorang perempuan bangsa kulit putih tidak menyenangkan hatinya. Tentu dia akan menjadi bahan kecaman dan cemooh dunia kang-ouw. Kecuali kalau murid ini memang

istimewa. Dan dia harus menguji lagi Diana.

Dari tempat itu ke puncak Naga Putih tidaklah jauh lagi. Mereka sudah tiba di kaki pegunungan Wuyi-san. Melalui perjalanan yang susah payah bagi orang biasa, dalam waktu tiga hari lagi tentu akan sampai ke sana.

“Bagaimana engkau bisa menyusulku ke sini? Apakah engkau mengenal jalanan?” tanya San-tok setelah gadis itu selesai makan dan kedua pipinya sudah memerah lagi tertimpa cahaya api unggun.

“Suci Lian Hong pernah menerangkan perjalanan ke Puncak Naga Putih kepadaku, Suhu.” jawab Diana dengan sikap tenang.

“Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu mencapai Puncak Naga Putih. Nah, aku pergi!”

Berkata demikian, kembali San-tok meloncat dan lenyap dari situ. Diana terpaksa melewatkan malam di rumah bobrok itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah pergi meninggalkan tempat itu, tidak perduli walaupun kedua kakinya masih terasa sakit-sakit dan lelah sekali. Tekadnya adalah mencapai Puncak Naga Putih atau mati di jalan!

Dengan menggunakan ginkangnya yang luar biasa, jarak yang jauh itu ditempuh oleh San-tok dalam waktu semalam saja. Pada keesokan harinya, dia sudah tiba di dalam guhanya di Puncak Naga Putih. Dia sudah melupakan lagi Diana karena dia masih tidak percaya bahwa gadis itu akan mampu menyusulnya sampai ke situ.

Akan tetapi, tiga hari kemudian, ketika dia sedang duduk bersila di dalam guhanya, Diana muncul di depan guha.

“Suhu!” seru gadis itu dengan wajah berseri penuh kebanggaan dan kegirangan karena akhirnya ia mampu juga mencapai puncak tempat tinggal suhunya.

“Hemm, mau apa engkau menyusulku sampai ke sini?” San-tok membentak dengan sikap acuh. Sampai waktu itu, Diana sudah mengenal benar watak kakek yang aneh ini dan hatinya tidak tersinggung oleh sikap acuh itu.

“Suhu tentu belum lupa bahwa aku adalah murid suhu. Aku datang ke sini menyusul suhu untuk mempelajari ilmu silat sepeti yang sudah suhu janjikan, dan menanti kembalinya suci Lian Hong.”

“Heh, enak saja kau bicara. Kau kira mudah mempelajari ilmu silat dariku?

Engkau takkan kuat menahan, sukar sekali dan kau takkan mampu.” “Suhu, betapapun sukar dan sulitnya, akan kucoba.” “Latihannya berat sekali! Engkau tidak akan kuat!”

“Akan kujalani betapa beratpun.”

Diana bertekad. Kalau Lian Hong dulu mampu mempelajari ilmu dari kakek ini, mengapa ia tidak? Menurut Lian Hong, ia memiliki tubuh yang jauh lebih kuat dari pada wanita pada umumnya, dan memiliki daya tahan yang lebih besar. Apa lagi pengalaman-pengalamannya selama ini, bekerja di sawah ladang, bekerja keras, tentu menambah keuletan dan daya tahan tubuhnya.

“Hemm, kalau begitu terserah. Kalau sampai engkau tidak kuat dan mati, itu salahmu sendiri. Nah, mulai hari ini, engkau harus setiap hari mengambil air dari sumber air di bawah puncak, memikul air itu ke puncak, dan juga mencarikan sayur bahan makanan untuk kita berdua. Kalau sampai engkau lalai dan kehabisan makanan dan minuman, engkau akan mati kelaparan…”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar