Pedang Naga Kemala Jilid 16

Jilid 16

Terkejutlah hati Koan Jit. Ucapan seorang di antara Empat Racun Dunia tidak boleh dianggap main-main. Siapa tahu kakek ini sudah tahu tempat dimana pedang pusaka itu disembunyikannya, dan kalau demikian, berbahaya! Dia sendiri terlindung di tengah-tengah benteng balatentara kulit putih, akan tetapi bagaimana dengan pusaka-pusakanya yang disimpannya di suatu tempat rahasia itu? Membawanya ke dalam markaspun dia segan, karena siapa tahu komandan-komandan bule itu akhirnya juga menghendaki pusaka-pusaka yang bagi mereka merupakan benda aneh dan kuno yang amat berharga.

Kekhawatirannya membuat dia tidak bernapsu lagi untuk berkelahi melawan Lian Hong. Apalagi dia memperhitungkan bahwa bagaimanapun juga, kalau sampai dia mendesak gadis itu, gurunya tentu tidak akan tinggal diam saja dan akhirnya dia harus menghadapi pengeroyokan mereka. Walaupun dia tidak takut, akan tetapi dia maklum bahwa mereka berdua itu lihai sekali dan kalau maju bersama, mungkin dia tidak akan mampu menang. Dan kini yang paling penting adalah memeriksa pusaka-pusakanya. Jangan- jangan kakek kurus ini telah mengambil Giok-liong-kiam! Terkejutlah dia ketika berpikir sampai di situ. Dia tahu akan kehebatan keempat datuk sesat itu yang suka melakukan hal-hal luar biasa. Tidak akan menjadi hal yang aneh sekali kalau San-tok ini diam-diam telah memasuki tempat rahasianya dan mengambil Giok-liong-kiam!

“Sudahlah. Melihat bahwa San-tok berada di sini dan mengingat hubungan antara dia dan suhu, aku tidak mencari keributan. Aku hanya dimintai tolong oleh Kapten Charles Elliot untuk menjemput keponakannya. Kalau ia tidak mau diajak pulang, sudahlah.”

Koan Jit memberi isyarat kepada si kumis melintang, dan keduanya lalu meloncat ke atas kereta dan kendaraan itupun kabur dengan cepatnya.

“Hong Hong, ajak Diana ke tempat lain, ke puncak yang ada sumbernya itu. Aku akan menyelidiki tempat rahasianya!” kata San-tok atau Bu-beng San-kai kepada muridnya.

Lian Hong maklum apa yang dimaksudkan gurunya. Tentu gurunya khawatir kalau-kalau Koan Jit datang kembali membawa pasukan untuk memaksa Diana, maka ia harus menyembunyikan Diana ke tempat lain, dan tentu gurunya hendak menyelidiki dimana Koan Jit menyimpan pusaka Giokliong-kiam. Kalau tadi pusaka itu dibawa Koan Jit, tentu gurunya akan dapat menduganya dan tentu gurunya sudah menyerang untuk merampasnya. Maka iapun mengangguk, dan sekali berkelebat, San-tok lenyap dari situ.

Diana memegang lengan Lian Hong.

“Lian Hong, gurumu itupun pandai menghilang seperti engkau. Alangkah banyaknya orang sakti di sini...”

Dan gadis bule ini teringat akan wajah pemuda yang menolongnya akan tetapi tidak dikenalnya sehingga kembali ia merasakan kecewa dan menyesal.

Sementara itu, kereta yang ditumpangi Koan Jit dan pembantunya membalap menuju ke Kanton. Ketika kereta tiba di hutan terakhir di sebuah bukit yang terletak di perbatasan kota, Koan Jit yang sudah memesan kepada pembantunya untuk pulang lebih dahulu, meloncat dari kereta yang masih berjalan cepat. Begitu meloncat turun, Koan Jit memandang sekeliling dengan matanya yang tajam untuk melihat apakah ada orang yang melihat dia turun dari kereta.

Berdebar rasa jantung dalam dada San-tok. Untung dia bersikap hati-hati sekali dan tidak membayangi larinya kereta secara terbuka, melainkan membayanginya sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi. Ketika tubuh Koan Jit berkelebat turun dari kereta yang masih membalap itu, hal yang sama sekali takkan pernah disangkanya, dia melihatnya dan cepat kakek ini mendekam di balik semak-semak. Kalau saja dia tidak bertindak cepat, tentu Koan Jit akan dapat melihatnya dan gagallah usahanya membayangi orang itu. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, Koan Jit lalu menyusup di antara pohon-pohon dalam hutan di bukit itu, sama sekali tidak tahu bahwa bayangannya tak pernah terlepas dari pengintaian San-tok. Dalam hal ini, tentu saja Koan Jit masih belum mampu menandingi San-tok. Kakek itu berjuluk Racun Gunung, tentu saja dia ahli dalam hal naik turun gunung, mengenal rahasia-rahasia hutan dan gunung, dan pandai menyusup-nyusup seperti seekor kelinci yang gesit sekali. Biasanya San-tok berkeliaran di hutan- hutan Pegunungan Wu-yi-san yang luas, maka kini hutan kecil seperti itu tidak ada artinya baginya, dan betapapun hati-hati Koan Jit menyusup-nyusup, tetap

saja kakek itu mampu membayanginya.

Kakek itu kagum sekali melihat Koan Jit menyusup ke dalam semak-semak berduri dan setelah mendorong semak-semak berduri itu ke samping, ternyata di belakang semak-semak terdapat sebuah batu yang didorongnya ke kiri. Dan nampaklah sebuah lubang yang hanya cukup dimasuki satu orang saja. Tubuh Koan Jit lenyap memasuki lubang dan batu serta semak-semak itupun ditariknya kembali menutup lubang dari dalam.

San-tok tersenyum lebar, hatinya merasa girang sekali. Kiranya ini tempat rahasia itu, dan dia dapat menduga bahwa tentu Giok-liong-kiam disimpannya pula di tempat ini. Tak mungkin Koan Jit berani membawa-bawa pusaka yang diperebutkan seluruh tokoh kang-ouw itu di tempat umum.

“Aih, sayang sekali Giok-liong-kiam buatanku itu tidak kubawa, masih disimpan Hong- Hong,” kakek itu mengeluh dalam hatinya.

Kalau pedang pusaka palsu yang sudah selesai dibuatnya menurut catatan yang didapatkannya dari mayat kakek Kwi Ong yang tewas dan mayatnya masih utuh karena terendam air belerang di Tapie-san itu, tentu dia dapat menanti sampai Koan Jit pergi dari tempat itu dan langsung dia akan dapat menukarkan pusaka buatannya dengan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Koan Jit.

Setelah meneliti tempat sekeliling itu, kakek San-tok lalu secepatnya lari kembali ke puncak bukit dimana terdapat sumber airnya, tempat yang dia tentukan agar menjadi tempat persembunyian sementara dari Diana. Dia melihat muridnya dan Diana di dekat sumber air, sedang bercakap-cakap. Ketika melihat kakek itu muncul, Lian Hong cepat menyambutnya.

“Bagaimana hasilnya, suhu?”

“Bagus sekali, aku sudah tahu tempatnya. Mari kalian ikut bersamaku, sekarang juga.”

“Diana ikut juga...?” tanya Lian Hong bingung. Membawa Diana dalam perjalanan ini amatlah berbahaya.

Gurunya tersenyum.

“Ya, dan ia akan banyak membantu dalam urusan ini. Tadinya aku merasa menyesal bahwa pedang buatanku itu tidak kubawa, akan tetapi kalau dipikir- pikir, kita harus bersikap hati-hati sekali. Koan Jit itu terlalu berbahaya dan licik. Siapa tahu di tempat persembunyiannya ada teman-temannya yang berjaga. Jangan sampai ada yang tahu bahwa pedang itu sudah ditukar. Nah, mari kita berangkat. Sambil berjalan nanti kuberi tahu.”

Karena mereka harus melakukan perjalanan cepat dan tentu saja Diana tidak mampu mengimbangi kecepatan dua orang yang mengerahkan ginkang itu, maka terpaksa Lian Hong menggendongnya. Diana merangkul leher sahabatnya itu erat-erat ketika ia merasa betapa tubuhnya seperti terbang saja, seperti dilarikan seekor kuda yang membalap dengan amat kencangnya. Makin kagumlah hatinya terhadap orang-orang di dunia persilatan ini.

Setelah tiba di luar hutan dimana tempat rahasia Koan Jit ditemukan San- tok, mereka lalu berpencar. Diana diturunkan Lian Hong dan gadis ini lalu ikut bersama San-tok, lebih dulu memasuki hutan. San-tok menggandeng tangan Diana yang tidak merasa takut karena ia percaya sepenuhnya kepada guru sahabatnya ini yang tentu saja lebih lihai dari pada muridnya. San-tok menuju ke dekat semak-semak berduri, meneliti keadaan di sekitarnya. Sunyi saja, tanda bahwa tidak ada pembantu-pembantu Koan Jit berjaga atau bersembunyi di situ. Dia tidak tahu apakah Koan Jit masih berada di dalam tempat rahasia itu.

“Koan Jit...!”

Tiba-tiba kakek itu berteriak dan Diana terpaksa menutupi kedua telinga dengan tangannya. Teriakan kakek itu  nyaring bukan main, seperti akan memecahkan selaput telinganya.

“Koan Jit, aku sudah tahu tempat persembunyianmu. Tentu di sekitar tempat ini, bukan. Koan Jit, keluarlah, atau aku akan menyerbu tempat persembunyianmu dan mengambil Giok-liong-kiam, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, hanya gema suara kakek itu yang menjawab dari empat penjuru. Tidak ada jawaban dari Koan Jit. San-tok bukan seorang bodoh. Dia merasa yakin bahwa Koan Jit masih berada di dalam tempat persembunyiannya, atau kalau tidak demikian, tentu di tempat persembunyiannya itu terdapat kawan-kawannya atau kaki tangannya yang melakukan penjagaan.

Tiba-tiba kakek itu menangkap kedua pergelangan tangan Diana yang berdiri di dekatnya, dan dengan sebelah tangan saja dia mengangkat tubuh Diana tinggi-tinggi di atas kepalanya, suaranya terdengar semakin lantang.

“Koan Jit, lihatlah gadis ini! Aku mau menukarnya dengan Giok-liong- kiam!”

Diana nampak tenang-tenang saja karena tadi ia sudah mendengar akan segala rencana siasat kakek itu untuk memancing keluar Koan Jit, dan iapun sudah siap membantu. Maka ketika tubuhnya diangkat ke atas, ia tidak merasa takut. Beberapa kali San-tok berteriak menawarkan Diana untuk ditukar dengan Giok-liong-kiam. Akan tetapi keadaan tetap sunyi saja dan tidak ada jawaban atau tanggapan dari murid pertama Thian-tok itu.

San-tok menurunkan tubuh Diana yang berdiri dan memperlihatkan sikap ketakutan seperti yang telah direncanakan, dan kakek itu berseru lagi.

“Koan Jit, engkau manusia pengecut! Engkau tidak berani keluar menyambutku, ha-ha-ha! Engkau tidak pantas menjadi murid utama Thian-tok kalau begitu.”

Dan kakek ini tertawa-tawa bergelak, suara ketawanya bergema di seluruh hutan dan menakutkan binatang-binatang hutan.

Sebetulnya, Koan Jit masih berada di dalam tempat persembunyian dimana dia menyimpan pusaka-pusakanya itu. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa Giok-liong-kiam dan pusaka-pusaka lain masih utuh di tempat semula, hatinya merasa lega. Akan tetapi, dia masih mengkhawatirkan ancaman San-tok yang tidak boleh dipandang ringan saja. Maka, sibuklah dia membuat persiapan untuk melindungi harta bendanya itu dan mengatur tempat rahasia itu sedemikian rupa sehingga tidak akan mudah dimasuki orang, dan memasang jebakan-jebakan yang berbahaya bagi siapa saja yang berani masuk ke tempat itu.

Akan tetapi, San-tok tidak datang menyerbu melainkan berteriak-teriak lagi menawarkan diri Diana untuk ditukar dengan Giok-liong-kiam! Hal ini amat menarik hati Koan Jit. Giok-liong-kiam amat penting baginya, tidak mungkin akan diberikan orang begitu saja. Akan tetapi Diana juga amat penting, harus dapat dirampasnya untuk menyenangkan hati Kapten Charles Elliot. Dia harus mampu mendapatkan keduanya, mempertahankan Giok-liong-kiam dan merampas Diana.

Cepat Koan Jit melakukan pengintaian dari tempat sembunyinya itu. Ketika dia melihat bahwa kakek San-tok itu hanya sendirian saja dan benar-benar membawa Diana untuk ditukar, hanya bisa diartikan bahwa sebenarnya kakek itu belum tahu benar dimana letak tempat rahasianya, hanya tahu daerahnya saja, ialah di hutan itu. Kalau sudah tahu benar letak tempat rahasianya, orang seperti San-tok tak mungkin mau membujuknya dan menukar Diana dengan pedang Giok-liong-kiam, melainkan tentu terus menyerbu untuk merampas pedang pusaka itu dengan kekerasan. Maka, setelah membuat persiapan, Koan Jit lalu keluar dari tempat rahasianya itu melalui jalan belakang yang menembus ke semak-semak lain di belakang pohon besar. Dengan jalan memutar dia menghampiri San-tok dari belakang.

Kakek itu tentu saja mendengar kedatangan ini dan cepat memutar tubuhnya. Dengan sikap sombong dan sama sekali tidak gentar, Koan Jit

menghadapi San-tok dengan senyum yang dapat mendirikan bulu roma lawan. Koan Jit ini dapat tersenyum seperti iblis. Lebih menyerupai gerakan mulut mengejek dari pada senyuman, karena hanya mulutnya yang bergerak seperti tersenyum, akan tetapi bagian lain dari mukanya sama sekali tidak ikut tersenyum, dan sepasang mata yang bersinar dan mencorong seperti mata kucing itu memandang tajam. Di pinggangnya terselip sepasang pedang pendek yang tadi diambilnya dari tempat persembunyiannya, karena dia merasa perlu mempersenjatai diri untuk menghadapi lawan setangguh San-tok itu. Sepasang pedang pendek itu merupakan satu di antara kumpulan pusaka- pusaka ampuh yang dimilikinya.

“Ha-ha, engkau baik hati sekali, San-tok, sengaja mengantarkan kepadaku gadis bule ini dan juga nyawamu. Terima kasih!”

Begitu kata terakhir keluar dari mulutnya, tubuh Koan Jit bergerak Cepat dan dua gulungan sinar pedang telah menyambar, satu ke arah leher San-tok dan kedua ke arah pusarnya. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat dan keduanya merupakan sinar maut yang kalau mengenai sasaran tentu mengakibatkan kematian.

Akan tetapi yang diserangnya sekali ini adalah seorang di antara Empat Racun, kakek yang tinggi kepandaiannya amat tinggi, sejajar dengan tingkat guru Koan Jit sendiri. Walaupun kakek itu juga terkejut menghadapi serangan maut yang amat dahsyat itu, namun dengan ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang luar biasa, dia sudah menggerakkan tubuhnya mengelak sambil mengibaskan kipas butut di tangannya untuk menangkis dan mematahkan rangkaian serangan sepasang pedang pendek itu.

“Takkk! Tranggg...!”

Keduanya terkejut, Koan Jit tidak menyangka bahwa kipas butut di tangan kakek itu demikian kuatnya, dan kakek yang sudah tua itu memiliki kecepatan gerakan yang demikian mengejutkan. Di lain pihak, San-tok harus mengakui bahwa tenaga murid pertama Thian-tok itu kuat sekali di samping sepasang pedang pendek yang ampuh dan kuat, tidak rusak oleh hantaman gagang kipasnya yang didorong oleh tenaga sinkang yang tadi dikerahkannya. Karena keduanya maklum akan ketangguhan lawan, mereka bersikap hati-hati, dan kini San-tok yang balas menyerang dengan kipasnya tidak berani main-main seperti biasanya, melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan jurus ilmu kipasnya yang ampuh. Kipas itu mengembang dan mengibas ke arah muka lawan, akan tetapi hal ini hanya gerakan mengacaukan untuk membuat mata lawan berkedip sehingga saat itu dia dapat menyerangnya. Akan tetapi Koan Jit tidak berkedip sehingga ketika gagang kipas itu melakukan serangkaian totokan ke arah tujuh jalan darah di bagian tubuhnya, dia dapat mengelak atau menangkis dengan sepasang pedangnya, bahkan lalu membalas dengan serangan kontan yang tidak kalah dahsyatnya.

Serang-menyerang terjadi antara dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Diana untuk diam-diam melarikan diri seperti yang sudah direncanakan. San-tok membiarkan Diana lari agak jauh, barulah dia menoleh dan berteriak.

“Hai, gadis liar, hendak lari kemana kau?”

Dan diapun meloncat, melakukan pengejaran. Melihat ini, Koan Jit tidak mau membiarkannya saja. Setelah kini mulai bergebrak melawan kakek itu, dia mendapat kenyataan bahwa dia mampu menandinginya, dan hal ini membesarkan hatinya. Sayang kalau sampai dia membiarkan kakek itu pergi bersama Diana begitu saja. Dia harus mampu merampas gadis itu untuk diajak kembali ke Kanton! Maka diapun cepat ngejar di belakang San-tok.

San-tok dapat menyusul dan memegang lengan Diana yang beraksi melakukan perannya. Ia meronta-ronta dan memukuli kakek itu dengan kedua tangan. Pada saat itu, Koan Jit tiba dan tiba-tiba San-tok melepaskan Diana dan menggerakkan kipasnya menyambut dengan totokan-totokan dahsyat. Koan Jit mengelak dan menangkis, lalu membalas pula dan mereka sudah terlibat lagi dalam perkelahian yang seru. Melihat ini, Diana melarikan diri lagi. San-tok mengejarnya dan Koan Jit juga mengejar. Koan Jit merasa bahwa makin jauh meninggalkan tempat rahasianya, makin baik. Sama sekali dia tidak menduga bahwa memang dia dipancing oleh kakek itu agar menjauh dari tempat itu!

Setelah melihat gurunya dan Koan Jit semakin jauh dan tidak nampak lagi, Lian Hong keluar dari tempat sembunyinya. Ia sudah mempelajari keterangan gurunya dengan teliti tentang tempat rahasia itu. Cepat ia menuju ke semak- semak itu, dan batu di belakang semak-semak berduri itu didorongnya ke kiri. Nampaklah sebuah lubang kecil yang hitam dan gelap.

Lian Hong yang mengenakan kain menutupi mukanya dan rambutnya, sehingga yang nampak hanya sepasang matanya yang jeli, memasuki lubang itu sambil mempersiapkan kipas yang menjadi senjata ampuhnya. Gadis ini sengaja menutupi muka agar kalau di bawah sana terdapat orang-orangnya Koan Jit, mereka tidak akan mengenalinya.

Kakinya menyentuh anak tangga yang membawanya melalui terowongan menuju ke sebuah guha dalam tanah yang cukup luas. Ada lubang-lubang rahasia agaknya yang dapat menampung dan memasukkan cahaya matahari dari luar sehingga tempat itu walaupun tidak terang sekali, akan tetapi juga tidak gelap.

Setibanya di ujung anak tangga, tiba-tiba kakinya menginjak tonjolan kecil di atas lantai, dan tiba-tiba saja Lian Hong menarik tubuh ke belakang dan menggerakkan kipasnya ke samping.

“Wuuuutt! Plakk!”

Sebatang tombak meluncur dari kiri ke kanan, nyaris mengenai perutnya dan tiga batang anak panah yang menyambar dari kanan runtuh oleh tangkisan kipasnya. Kiranya benda yang diinjaknya tadi merupakan tombol yang menggerakkan alat-alat rahasia. Sungguh berbahaya sekali. Hampir saja tubuhnya disate oleh tombak tadi, atau menjadi korban anak-anak panah yang diduga tentu mengandung racun berbahaya. Dengan hati-hati, ia melangkah lagi ke depan, seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala kemungkinan.

Apa yang dikhawatirkan memang terjadi. Tempat itu ternyata berbahaya sekali dan dipasangi jebakan-jebakan maut. Baru belasan langkah, tiba-tiba saja, mungkin digerakkan oleh lantai yang diinjaknya, lantai itu bergoyang dan runtuh ke bawah! Untung bahwa Lian Hong memang sudah siap siaga, maka begitu lantai yang diinjaknya bergoyang, ia sudah meloncat kembali ke belakang. Ketika ia memandang, ternyata lantai yang diinjaknya tadi telah menjadi lubang, lantainya entah kemana dan lubang itu gelap menghitam, dan dari dalamnya keluar bau yang amis memuakkan, juga terdengar desis-desis suara yang biasa dikeluarkan oleh ular-ular berbisa!

Lian Hong bergidik membayangkan kalau ia tadi terjeblos ke dalam lubang, tentu sudah menjadi mangsa ular-ular yang mengeroyoknya. Perlahan-lahan, lantai yang runtuh ke bawah tadi timbul kembali menutupi lubang yang menjadi rata seperti semula. Lian Hong sudah mengukur jarak lubang jebakan itu, dan kini ia meloncat dengan ringan melewati batas lubang dan turun dengan aman di atas lantai yang keras. Dengan hati-hati dara perkasa itu melangkah maju lagi sampai akhirnya ia tiba di sebuah anak tangga yang membawanya turun lagi. Kini di depannya, dalam sebuah kamar dalam guha itu, nampaklah beberapa buah peti yang tertutup, juga nampak senjata-senjata kuno seperti pedang, tombak, golok dan sebagainya, bertumpuk di kamar itu!

Dengan pandang matanya yang tajam, Lian Hong mencari-cari dan perhatiannya tertarik kepada sebuah peti lonjong berwarna hitam yang agaknya baru saja diletakkan orang di atas tumpukkan peti lain. Hal ini dapat diketahuinya karena ada bekas-bekas jari tangan pada permukaan tutup peti yang penuh debu itu, sedangkan debu pada peti-peti lain tidak terganggu. Tentu peti ini baru saja diperiksa dan diangkat orang, dan siapa lagi kalau bukan Koan Jit yang mengangkatnya? Kalau perhatian Koan Jit ditujukan kepada peti yang satu ini, kiranya takkan keliru kalau ia menduga bahwa peti inilah benda yang dicarinya. Dengan cekatan ia mendekati peti dan kipas di tangan kanannya bergerak ke arah pinggir tutup peti. Peti itupun terbuka! Ia tidak mau sembarangan mempergunakan tangan telanjang untuk membuka peti, karena menghadapi manusia jahat dan licin seperti Koan Jit ia harus berhati-hati sekali.

Di dalam peti itu nampak sebatang pedang dengan ukir-ukiran berupa naga dari batu kemala! Inilah pedang pusaka yang menggetarkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi, bukan hanya pedang pusaka yang berada di dalam peti, melainkan juga seekor ular berkulit belang-belang berkembang kehijauan yang amat berbisa. Dan begitu peti itu terbuka, ular itu dengan gesitnya keluar, mengeluarkan suara mendesis-desis dan anehnya, begitu ular itu keluar dan mendesis, beberapa ekor ular yang berukuran besar dan panjang berdatangan dari atas dan bawah, melingkar-lingkar, menggeliat-geliat dan bergerak ke arah Lian Hong dengan desis penuh ancaman!

Semenjak kecil, Lian Hong telah digembleng oleh kakek San-tok (Racun Gunung), seorang yang sudah biasa berkeliaran di gunung-gunung dan di hutan-hutan besar, sehingga Lian Hong sudah sering menghadapi binatang- binatang buas termasuk ular-ular besar. Oleh karena itu, menghadapi enam ekor ular besar itu, ia sama sekali tidak mengenal jerih atau ngeri. Dengan tenang ia bahkan melangkah maju, dan ketika ular yang keluar dari dalam peti hitam itu meluncurkan kepala menyerangnya, kipasnya menutup dan menyambut dengan totokan gagang kipasnya.

“Trakkk!”

Ular itu terkulai dengan kepala pecah, menggeliat-geliat akan tetapi tidak mampu menyerang lagi. Kipas itu masih terus berkelebatan dan dalam beberapa detik saja, enam ekor ular itu telah berkelojotan dengan kepala retak tertotok ujung gagang kipas yang ampuh itu.

Biarpun ular-ular itu sudah mati dan peti itu terbuka, nampak pedang pusaka yang dicarinya itu terletak di dalam peti, seperti menggapai kepadanya, Lian Hong tidak sembrono mengulur tangan untuk mengambilnya. Ia melihat cahaya yang tidak wajar keluar dari dalam peti itu, dan pedang pusaka itupun tertutup debu tipis yang mencurigakan. Orang macam Koan Jit tidak akan membiarkan pedang pusaka yang diperebutkan oleh semua tokoh besar dunia kang-ouw itu begitu saja tanpa dipasangi perangkap-perangkap untuk mencelakakan orang yang hendak mencurinya.

Dengan hati-hati, Lian Hong menggunakan kipasnya untuk mengebut ke arah dalam peti sambil mengerahkan tenaga singkang. Debu berwarna putih halus disambar angin kebutan itu dan mengepul keluar dari peti. Lian Hong terus menggerakkan kipasnya agar jangan ada debu mengenai dirinya. Untung ia melakukan ini karena begitu tubuh ular yang masih berkeloyotan sekarat itu terkena debu putih, tubuh itu segera menjadi hangus seperti dibakar api dan tidak bergerak lagi, mati seketika! Diam-diam ia bergidik. Seperti telah diduganya, debu putih itu adalah racun yang amat ampuh, kalau ia sembrono dan mengambil pedang itu dengan tangannya, tentu tangannya akan terbakar seperti tubuh ular-ular itu.

Ia mengulangi perbuatannya tadi, mengebutkan kipasnya dengan tenaga sekuatnya ke arah pedang dalam peti dan sisa debu mengepul keluar. Akan tetapi tiba-tiba peti itu tertutup dan sinar-sinar hitam menyambar dari arah belakang peti, menyambar dengan kecepatan kilat menyerang tubuhnya! Lian Hong memang sejak tadi sudah siap siaga, maka begitu melihat sinar-sinar kecil menyambar, ia sudah melangkah mundur sambil mengebutkan kipasnya. Kiranya ketika tutup peti terbuka tadi, telah  menggerakkan  alat  rahasia yang mengirim jarum-jarum beracun setelah tutup peti tertutup kembali. Serangan gelap itupun berbahaya sekali, bahkan lebih berbahaya dari pada serangan ular-ular itu, juga debu beracun itu karena orang yang kurang waspada dan tidak memiliki gingkang dan singkang tinggi, agaknya akan sukarlah untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum halus itu. Lian Hong menggunakan ujung kipas mencokel tutup peti terbuka kembali dan kini ia merasa yakin bahwa pedang pusaka itu tidak mengandung racun lagi. Ia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, sebatang pedang yang serupa benar dengan Giok-liong-kiam yang berada di dalam peti. Itulah pedang Giok-liong-kiam palsu buatan kakek San-tok. Lian Hong lalu mengenakan sepasang sarung tangan hitam, bagaimana pun juga, ia tetap berhati-hati, dan setelah mengenakan sarung tangan, barulah ia berani mengambil Giok-liong-kiam itu, diamatinya sebentar lalu dibungkusnya

dengan kain hitam dan disimpannya di balik jubah.

Giok-liong-kiam palsu buatan gurunya itu ia letakkan di dalam peti dan ia menutup kembali peti itu. Ia mengerti bahwa kalau Koan Jit memasuki tempat ini, tentu dia akan tahu bahwa ada orang yang telah memasuki tempat rahasianya, melewati jebakan-jebakan dan bahkan membunuh ular-ularnya, dan melenyapkan pula debu beracun, akan tetapi karena melihat Giok-liong- kiam masih berada di situ, tentu Koan Jit akan mengira bahwa orang itu tentu terkena serangan jarum-jarum beracun sehingga keluar lagi tanpa membawa Giok-liong-kiam.

Senyum manis menghias bibir Lian Hong ketika ia teringat akan hal ini, lalu ia memungut beberapa batang jarum hitam dan memasukkannya ke dalam kantong jubahnya. Harus dibawa pergi beberapa batang jarum beracun agar Koan Jit yakin akan berhasilnya jarum-jarum beracun itu. Sementara itu, perkelahian antara Koan Jit dan San-tok masih berjalan dengan seru. Diana tidak melarikan diri lagi, karena kini mereka sudah jauh meninggalkan tempat rahasia itu dan ia sudah melaksanakan tugasnya dengan baik seperti yang direncanakan San-tok. Mereka berdua telah berhasil memancing Koan Jit menjauhi tempat rahasia itu, dan kini ia duduk di bawah sebatang pohon yang agak jauh dari perkelahian, hal inipun sesuai dengan pesan San-tok kepadanya dan sepasang matanya terbelalak menonton perkelahian itu.

Diana semakin kagum dan terheran-heran. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa ada orang-orang yang dapat bergerak secepat itu sampai ia tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang berkelahi itu dengan pandang matanya. Ia hanya melihat dua bayangan yang kabur berkelebatan ke sana- sini, sukar ditentukan kaki atau tangan siapa yang kadang-kadang nampak itu. Tentu saja iapun sama sekali tidak tahu apakah kakek yang dijagoinya itu berada di pihak yang mendesak atau terdesak.

Setelah beberapa bulan lamanya hidup di dusun dan mengikuti sendiri cara hidup orang-orang dusun, timbul perasaan kasih dalam hati Diana terhadap orang-orang dusun yang sederhana dan rukun itu. Dan terhadap ahli-ahli silat, terutama sekali Lian Hong dan pemuda penolongnya yang tidak diketahui namanya itu, ia merasa kagum bukan main. Timbullah perasaan ingin yang besar di dalam hati gadis ini untuk mempelajari ilmu silat agar dapat menjadi orang yang gagah dan tangguh seperti mereka itu. Ia melihat betapa di dalam dunia yang penuh dengan kekerasan ini, amatlah perlu membekali diri dengan ilmu silat agar ia dapat membela diri kalau terancam bahaya akibat kejahatan orang.

Diana sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang dijagoinya itu mulai kewalahan menghadapi desakan-desakan sepasang pedang pendek di tangan Koan Jit. Bukan karena keampuhan sepasang pedang pendek itu atau karena tingkat ilmu silat Koan Jit maka kakek ini terdesak. Senjata kipasnya tidak kalah ampuh dibandingkan senjata lawan, dan dalam hal ilmu silat, dia lebih matang dan tidak kalah tinggi tingkatnya. Akan tetapi dia kalah dalam semangat. Koan Jit berkelahi mati-matian dengan niat menghancurkan lawan, membunuh lawan. Sebaliknya, San-tok sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Dia tidak mau membunuh Koan Jit, karena hal ini akan mengakibatkan bibit permusuhan antara dia dengan Thian-tok, orang segolongan.

Memang, di dalam golongan sesat terdapat semacam ‘kode-etik’ atau setia kawan tak tertulis atau terucapkan, melainkan sudah diterima dan diakui oleh masing-masing bahwa mereka tidak saling ganggu. Kalau San-tok berhadapan dengan Thian-tok sendiri, maka biar perkelahian di antara mereka mengakibatkan kematian sekalipun, tidak akan berakibat apa-apa. Akan tetapi, kalau sampai San-tok dalam suatu perkelahian melawan Koan Jit dan membunuhnya, berarti dia telah menghina pihak Thian-tok dengan membunuh muridnya, membunuh orang yang tingkatnya lebih rendah.

Inilah sebabnya mengapa San-tok berkelahi dengan semangat yang tidak sebesar Koan Jit! Dan selain itu, diapun tidak melihat kepentingannya membunuh Kon Jit, melainkan hanya ingin memancingnya keluar dari tempat persembunyian agar muridnya, Lian Hong, dapat bekerja dengan leluasa.

San-tok mulai merasa khawatir karena muridnya belum juga muncul. Koan Jit merupakan lawan yang amat berbahaya, dan biarpun dengan ketinggian ilmunya dia dapat melindungi dirinya, memutar kipasnya sehingga gulungan sinar senjatanya itu mampu membendung serangan sepasang pedang pendek yang lihai itu, namun usianya yang sudah tua itu membuat keadaan tubuhnya tidak sekuat dahulu lagi. Daya tahannya tidak sebesar dulu, dan kalau dilanjutkan perkelahian itu sampai lama, dia akan terancam bahaya besar. Tangannya mulai merasa tergetar kalau dia menangkis serangan pedang, dan bajunya mulai basah dengan keringat, sedangkan Koan Jit nampaknya belum berkurang tenaga serangannya, bahkan mengamuk semakin dahsyat.

Legalah hati San-tok ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan Lian Hong, kini dengan pakaian biasa tanpa penutup muka, telah berada di situ, dan gadis ini tanpa banyak cakap lagi langsung membantu gurunya dan menyerang Koan Jit dengan kipasnya.

Tentu saja kemunculan gadis ini melegakan hati San-tok dan menggirangkan hati Diana, akan tetapi mengejutkan hati Koan Jit. Dia mengenal kelihaian gadis ini dan melawan gadis ini bersama gurunya tentu saja merupakan hal yang amat berbahaya sekali kalau tidak mau dikatakan seperti usaha bunuh diri saja. Diapun menggerakkan sepasang pedangnya yang meluncur cepat menyerang ke arah guru dan murid itu dengan dahsyat. Ketika dua orang lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang, diapun melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan mereka.

“Ha-ha-ha, jangan mengejar, Hong Hong. Lain kali masih banyak kesempatan untuk membunuhnya!” kata San-tok.

Dan ini hanya gertakan saja, karena Lian Hong juga sama sekali tidak bermaksud mengejar orang itu. Gadis ini memberi isyarat kepada gurunya dengan menepuk-nepuk pinggangnya bahwa Giok-liong-kiam telah berhasil ia tukarkan. San-tok tertawa bergelak saking girangnya dan dia mengajak muridnya untuk segera pergi dari situ. Lian Hong menggandeng tangan Diana.

“Mari, Diana, kita pergi.”

Melihat ini, San-tok mengerutkan alisnya.

“Kenapa harus mengajak gadis bule itu? Tinggalkan saja ia di sini, akan merepotkan saja!”

Sepasang mata Lian Hong yang lebar, bening dan tajam sinarnya itu terbelalak memandang gurunya.

“Tinggalkan di sini? Tidak, suhu. Diana adalah sahabatku, bahkan seperti saudaraku sendiri. Meninggalkannya di sini berarti membiarkan ia terancam bahaya. Suhu tahu bahwa ia dicari oleh Koan Jit dan anak buahnya.”

“Diana akan merepotkan saja kalau ikut kita. Selain kita tidak dapat melakukan perjalanan cepat, juga ia mendatangkan kepusingan saja.”

“Wah, kakek yang aneh. Tadinya kukira, sebagai guru Lian Hong, engkau tentu orang sakti yang budiman dan gagah perkasa. Tidak tahunya hanya seorang kakek yang curang,” tiba-tiba Diana berkata dengan mata bersinar- sinar marah, dan muka yang cantik dengan kulit yang putih itu kini kemerahan. Lian Hong terkejut mendengar itu dan ia memandang kepada kawannya itu. Ia melihat betapa kemarahan membuat wajah Diana menjadi semakin cemerlang dan iapun merasa kagum. Biarpun seorang wanita kulit putih, namun Diana memiliki keberanian dan semangat, bukan seorang wanita yang cengeng dan lemah seperti kebanyakan wanita yang dijumpainya. Berani begitu saja mengatakan San-tok seorang kakek yang curang! Padahal, Santok gurunya itu adalah seorang di antara Empat Racun Dunia, dan untuk itu saja

tangan gurunya tentu siap untuk membunuh orang!

Akan tetapi, San-tok sendiripun terkejut dan memandang kepada gadis bermata biru itu dengan mata dilebarkan. Hampir tidak percaya dia mendengar keberanian gadis itu memakinya.

“Eh, kenapa kau mengatakan aku curang?” tanyanya, dan di dalam pandang matanya terbayang kemarahan dan ancaman sehingga diam-diam Lian Hong merasa khawatir sekali.

“Engkau curang dan tidak mengenal budi!” Diana berkata pula.

“Engkau mengatur siasat memancing musuh meninggalkan sarangnya, tidak terang-terangan menantangnya melainkan mempergunakan akal licik, bukankah itu merupakan kecurangan? Dan ketika engkau membutuhkan bantuanku, engkau mengajak aku kesini, setelah aku membantumu sampai berhasil, kini karena aku tidak kaubutuhkan lagi, engkau hendak meninggalkan aku begitu saja terancam bahaya. Bukankah itu namanya tidak mengenal budi?”

Lian Hong tersenyum geli di dalam hatinya melihat betapa kakek itu memandang bengong seperti orang kehabisan akal, atau seperti seorang anak- anak dimarahi ibunya karena kenakalannya.

“Wah, wah, kau membingungkan aku. Tidak kubunuh saja sudah baik, kenapa engkau banyak mengomel?” gerutu kakek itu.

“Mau bunuh aku? Bunuhlah, agar lengkap engkau membuktikan sifat- sifatmu yang mengecewakan hatiku, bukan hanya curang dan tidak mengenal budi, akan tetapi pengecut lagi.”

“Pengecut?” San-tok berseru kaget.

“Seorang kakek yang berilmu tinggi hendak membunuh seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah belajar ilmu silat, bukankah perbuatan itu amat pengecut dan tidak tahu malu?”

Kakek itu melongo dan tidak mampu menjawab, sehingga Lian Hong merasa geli. Gadis tertawa.

“Hi-hik, suhu… mengakulah bahwa suhu telah kalah berdebat dengan Diana, dan untuk kekalahan suhu itu, suhu harus menyerah.”

“Aku menyerah? Maksudmu bagaimana?”

“Karena suhu kalah dan tidak mampu membantah kebenaran omongan Diana tadi, sudah adil kalau suhu memenuhi permintaannya.”

San-tok menarik napas panjang. Dia mengira bahwa permintaan itu tentu hanya agar perempuan bule itu diperbolehkan ikut menyertai perjalanan mereka. Biarpun hal ini menjemukan hatinya, akan tetapi karena muridnya agaknya amat sayang kepada gadis bule itu, diapun mengalah.

“Baiklah, aku penuhi permintaannya.”

“Suhu, benarkah? Suhu memenuhi semua permintaannya?”

“Satupun sudah cukup! Diana, kenapa kau tidak cepat menghaturkan terima kasih kepada guru kita?”

“Suhu, aku menghaturkan terima kasih bahwa suhu telah sudi menerimaku sebagai murid.”

Kakek itu merasa seperti disambar geledek dan dia meloncat ke belakang, matanya terbelalak.

“Apa? Siapa mengambil engkau sebagai murid? Tidak sudi aku, tidak sudi...!!”

Dia melangkah maju, kedua tangannya terkepal, dia sudah siap untuk memukul gadis kulit putih itu. Melihat keadaan gurunya, Lian Hong yang sudah mengenal baik gurunya itu cepat melangkah maju dan iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, di sebelah kanan Diana. “Tidak, ini semua kau yang mengaturnya, anak nakal!”

“Sungguh mati, aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, suhu. Sudah sejak lama sekali Diana menyatakan bahwa ia ingin sekali menjadi murid suhu, menjadi saudara seperguruanku agar ia dapat membela diri kalau diancam orang jahat. Permintaan menjadi murid suhu itu adalah permintaan yang timbul dari dalam hati Diana sendiri, bukan aku yang membujuknya.”

“Tidak, mana mungkin aku menerima seorang kulit putih sebagai murid? Orang-orang kulit putih adalah bangsa biadab, adalah bangsa jahat yang datang ke tanah air kita untuk membikin kacau. Aku tidak suka kepada mereka, dan aku bahkan mau membantu para pejuang untuk mengenyahkan mereka. Bagaimana mungkin sekarang kau hendak memaksaku mengambil murid seorang gadis kulit putih? Edan barangkali kau, Hong Hong!”

“Suhu, aku sendiri tidak setuju dengan perbuatan bangsaku yang datang ke negeri ini untuk melakukan kejahatan-kejahatan.”

“Kalau engkau tidak setuju, lalu mengapa engkau sendiri berada di negeri ini?”

Lian Hong terkejut mendengar serangan kata-kata gurunya itu yang tentu akan sulit dijawab oleh sahabatnya. Akan tetapi Diana nampak tenang saja, bahkan tersenyum dengan sikap tabah ketika ia menjawab.

“Aku datang ke negeri ini karena ada tiga hal, suhu. Pertama aku adalah keponakan dari Kapten Charles Elliot yang bertugas di sini, dan aku datang untuk diperbantukan kepadanya, mengurus bagian tata usaha. Kedua, aku adalah seorang ahli penyelidik barang-barang kuno dan kedatanganku ke negeri ini juga untuk mempelajari dan menyelidiki tentang benda-benda kuno di sini...”

“Huh, apa maksudnya menyelidiki barang-barang kuno?”

Kakek itu memotong, tertarik, karena baru sekarang dia mendengar ada orang yang pekerjaannya menyelidiki barang kuno.

“Dari penyelidikan barang-barang kuno, kita mampu menyelidiki dan menjenguk di jaman lalu, suhu, untuk membuat catatan sejarah negeri ini yang tak terpisahkan dari sejarah dunia.”

San-tok bukan seorang terpelajar, maka keterangan itu membingungkan hatinya dan sinar matanya yang tadinya tertarik itu kini muram dan marah kembali.

“Dan sebab yang ketiga, suhu, karena tadinya aku sama sekali tidak tahu bahwa bangsaku datang ke sini untuk menyelundupkan madat dan untuk memerangi rakyat di sini, tadinya kusangka bahwa mereka itu hanya datang untuk berdagang saja, perdagangan yang saling menguntungkan.”

“Suhu, aku yang menanggung bahwa Diana adalah seorang yang amat baik budi, jujur dan tabah sekali, sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang- orang kulit putih yang lain.”

“Aahhh, omongan manis saja. Aku memang sudah mendengar bahwa orang-orang kulit putih paling pandai membujuk rayu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi mata mereka yang biru itu menyembunyikan pamrih yang jahat sekali.” Dia memandang kepada Diana yang masih berlutut.

“Apa buktinya bahwa semua omongannya itu tidak bohong belaka dan ia tidak sama palsunya dengan semua orang kulit putih?”

“Suhu, kalau aku menyukai perbuatan bangsaku, kenapa aku lebih suka hidup di dusun bersama para petani? Bahkan aku menolak keras ketika kaki tangan pamanku itu datang untuk memaksaku kembali ke Kanton?” kata Diana. “Suhu, ingat, betapapun juga, suhu sudah berjanji untuk menerimanya sebagai murid,” sambung Lian Hong.

“Berjanji menerima permintaannya ikut dengan kita, bukan menerima sebagai murid!”

“Akan tetapi hal itu tidak suhu jelaskan, dan yang dimaksudkan Diana adalah permintaan menjadi murid. Suhu tidak mungkin akan menjilat ludah sendiri!”

“Hong Hong, jangan kau memaksa aku! Kalau sampai salah tindak, menerima seorang bule sebagai murid kemudian kelak ia membinasakan rakyat kita, bukankah namaku akan dikutuk selama hidup sebagai seorang yang mengkhianati bangsanya?”

“Tidak, suhu. Aku yang bertanggung jawab! Biarlah aku yang akan dikutuk, bukan suhu. Diana bukan orang macam itu.”

Mendengar pembelaan Lian Hong ini, Diana merasa begitu gembira dan terharu sehingga tiba-tiba ia merangkul Lian Hong, menciumi pipinya sambil menangis. Lian Hong juga balas merangkul dan tak dapat menahan air matanya melihat betapa Diana menangis karena terharu.

San-tok menghela napas panjang, tersentuh juga perasaan hatinya melihat dua orang gadis itu berangkulan dan bertangisan.

“Sudahlah, aku menerimanya sebagai murid, akan tetapi ia harus tahan uji harus berani hidup menderita kekurangan dan belajar dengan tekun dan keras. Dan untuk tingkat permulaan, engkaulah yang mewakili aku membimbingnya, Hong Hong.”

Lian Hong gembira sekali dan memberi hormat. “Tentu saja, suhu, tentu saja…”

Juga Diana merasa girang dan memberi hormat sambil berlutut sampai dahinya menyentuh tanah.

“Terima kasih, suhu. Biarlah aku bersumpah. Kalau kelak aku mempergunakan ilmu yang kupelajari dari suhu untuk mencelakakan rakyat di negeri ini, biarlah aku akan mati di ujung pedang!”

Lega juga rasa hati San-tok mendengar sumpah sukarela ini. “Sudahlah, mari kita kembali ke Wu-yi-san.”

Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan, dan mulailah Diana memasuki suatu pengalaman hidup baru yang sama sekali berbeda dengan kehidupannya di dusun selama ini. Di dalam dusun itu, ia memang mengalami kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kehidupannya sebagai keponakan Kapten Charles Elliot, akan tetapi kehidupan di dusun itu hanya sederhana dan penuh kerja keras di ladang saja.

Setelah melakukan perjalanan bersama Lian Hong dan San-tok, barulah ia mengalami kehidupan yang benar-benar amat sukar, keras dan penuh bahaya! Mereka tidur di tengah hutan, kadang-kadang di tempat terbuka, menentang panas, dingin, dan ancaman bahaya dari binatang-binatang buas. Mereka menghadapi kesukaran ketika perut menagih isi, harus mengadakan makanan di tengah hutan, tanpa bekal bahan sama sekali. Diana belajar hidup dan mengalami hal-hal yang selama hidup sebelumnya belum pernah dibayangkannya, belum pernah diimpikannya. Ia belajar menangkap ular untuk dimakan dagingnya sekedar penyambung hidup, makan daun-daun muda, bahkan pernah diajak makan ulat-ulat gemuk karena dalam sebuah hutan, satu- satunya bahan makanan yang bisa didapatkan hanya ulat-ulat gemuk itu! Dan iapun merasa kagum bukan main. Sahabatnya, Lian Hong, benar seorang gadis yang luar biasa, dan gurunya itu lebih aneh lagi. Kadang-kadang baik, kadang- kadang jahat, kadang-kadang acuh saja, akan tetapi kadang-kadang marah besar seperti orang gila. Betapapun juga, ia telah diterima sebagai murid dan iapun maklum bahwa gurunya seorang aneh dan luar biasa, dan ini saja sudah merupakan bekal baginya untuk menghadapi segala ulah dan tingkah gurunya yang aneh-aneh.

Dalam perjalanan itu, Diana digembleng oleh kesukaran-kesukaran hidup yang membuat gajih-gajih di tubuhnya lenyap, membuat tubuhnya agak kurus dan kokoh kuat, membuat kulit tubuhnya yang sudah agak gelap oleh pekerjaan di ladang, kini semakin hitam! Akan tetapi, sifat pesoleknya belum juga hilang, sehingga seringkali ia ditertawakan Lian Hong karena di dalam hutan sekalipun, ia masih sering membereskan rambutnya sampai rapi dan ada saja akalnya untuk menambah merah pada bibirnya yang sudah merah!

Sementara itu, setelah melarikan diri untuk kedua kalinya karena tidak kuat melawan San-tok dan Lian Hong, Koan Jit menyelinap dan bersembunyi, mengintai musuh-musuhnya. Dia merasa lega melihat mereka itu pergi dari situ, tidak berusaha mencari tempat penyimpanan harta pusakanya. Dengan hati girang, dia berpendapat bahwa tentu kakek itu benar-benar belum tahu tempat rahasianya, akan tetapi sudah dapat menduga bahwa tempat itu berada di dalam hutan ini. Aku harus cepat memindahkan benda-benda pusaka itu, pikirnya. Dan setelah menanti agak lama dan merasa yakin bahwa musuh- musuhnya sudah pergi jauh, diapun cepat memasuki tempat rahasianya.

Wajah Koan Jit berubah pucat dan tubuhnya gemetar penuh ketegangan dan kekhawatiran ketika dia memasuki tempat itu. Dia melihat bahwa jebakan- jebakan rahasia di tempat itu sudah bekerja, tanda bahwa ada orang memasuki tempat ini. Dengan hati-hati dia terus menuju ke dalam dan melihat beberapa ekor ular itu mati, dia semakin khawatir. Akan tetapi, kekhawatirannya berubah girang, lega dan juga terheran, ketika dia melihat bahwa semua pusaka, terutama sekali Giok-liong-kiam, masih utuh! Tidak ada sebuahpun pusaka yang hilang. Kalau tadinya dia merasa heran, lalu dia menjadi girang sekali. Dia melihat runtuhnya jarum-jarum hitamnya yang beracun, dan ketika dia meneliti, ternyata ada beberapa batang jarum yang hilang. Ini hanya dapat diartikan bahwa serangan gelap jarum-jarum itu telah mengenai tubuh orang lihai yang masuk ke situ. Orang itu tentu menjadi kaget dan ketakutan karena jarum-jarum itu memang mengandung racun yang ganas, dan orang itu melarikan diri sebelum dapat membawa Giok-liong-kiam yang agaknya memang ingin diambil oleh pencuri itu. Dan andaikata orang itu tidak mampus oleh racun jarum-jarumnya, setidaknya usahanya itu gagal dan semua pusakanya, terutama Giok-liong-kiam, selamat!

Kenyataan bahwa tempat rahasianya sudah didatangi orang itu, membuat Koan Jit makin tergesa lagi untuk memindahkan barang-barangnya yang berharga itu. Dia tidak menyangka buruk kepada San-tok dan Lian Hong. Kakek itu tadi berkelahi dengan dia, sedangkan gadis itu walaupun datang belakangan, namun jelas tidak menderita luka oleh jarum beracun. Pula, kalau dua orang itu yang berusaha masuk ketempat rahasia itu, tentu Giok-liong- kiam sudah diambilnya. Tentu orang lain yang telah memasuki tempatnya, mempergunakan kesempatan selagi dia sibuk berkelahi melawan San-tok dan muridnya. Akan tetapi walaupun orang itu mampu melalui jebakan di lantai, ular-ular dan debu pembius, ternyata tidak mampu lolos dari jarum-jarum hitamnya yang beracun!

Pada hari itu juga, Koan Jit lalu mengumpulkan pusaka-pusakanya dan membawanya keluar dari tempat itu, dan untuk sementara, secara rahasia, diboyongnya benda-benda berharga itu ke markasnya tanpa diketahui atau dicurigai oleh para pimpinan pasukan kulit putih.

Dunia persilatan, seperti kelompok-kelompok lainnya, memang memiliki sifat-sifatnya yang berlawanan, yaitu sifat buruk dan baiknya. Buruknya, di dunia persilatan selalu terjadi kekerasan, permusuhan, dendam-mendendam, adu kekuatan yang tak kunjung henti. Dunia ini bergelimang darah walaupun sebagian besar dari pertentangan itu terjadi antara pribadi. Akan tetapi, ada satu sifat baik pada mereka, juga di kalangan kaum sesatnya, seperti berkali- kali terbukti dalam sejarah bahwa mereka itu dapat juga bersatu apabila tanah air dan bangsa berada dalam bahaya.

Sejak terjadinya perang madat sampai didudukinya kota-kota pelabuhan yang besar oleh kekuasaan orang kulit putih, dunia persilatan terguncang. Bahkan di dalam kalangan kaum sesat juga terdapat suatu perasaan tidak puas, bahkan dendam dan benci kepada orang kulit putih. Dengan demikian, maka golongan-golongan itu, yang kesemuanya menamakan diri sendiri sebagai pejuang-pejuang patriot, terpecah-pecah menjadi beberapa aliran. Ada golongan yang hanya memusuhi orang kulit putih dan bahkan membantu pemerintah Mancu. Ada golongan yang sebaliknya hanya menentang pemerintah penjajah Mancu dan acuh terhadap orang-orang asing kulit putih. Golongan pertama ini condong untuk menjadi kaki tangan pemerintah Ceng, sedangkan golongan kedua condong untuk diperalat oleh orang-orang kulit putih.

Ada pula golongan ketiga yang menentang keduanya, menentang pemerintah penjajah Mancu, juga menentang orang kulit putih. Tentu saja kadang-kadang timbul bentrokan antara ketiga golongan ini. Akan tetapi, golongan yang anti kepada kedua kekuasaan asing Mancu dan kulit putih itu semakin kuat dan besar saja. Hal ini karena banyak orang gagah merasa penasaran dan marah kepada pemerintah Ceng yang dianggap telah menjual sebagian dari tanah air kepada orang-orang asing, melihat betapa pemerintah Ceng semakin lemah dan tidak berani menentang orang kulit putih, bahkan dengan cara ‘menyogok’ untuk menyenangkan hati orang kulit putih, pemerintah Mancu telah menyerahkan kota-kota pelabuhan ke dalam kekuasaan orang kulit putih.

Di antara mereka yang hatinya merasa penasaran dan bangkit, terdapat tokoh-tokoh datuk persilatan, juga para datuk golongan hitam ikut bangkit dan merasa penasaran. Karena itu, tidak mengherankan apabila timbul perasaan setia-kawan dan persatuan yang besar di antara mereka untuk menghadapi kekuasaan orang kulit putih dan juga kelaliman kerajaan Ceng yang mulai lemah. Bahkan tanpa mereka sepakati bersama, Empat Racun Dunia yang terkenal keji dan jahat itupun, memiliki persamaan dalam hal ini. Mereka berempat merasa penasaran sekali dan ingin menghabiskan sisa usia mereka yang sudah amat tua itu untuk melakukan sesuatu guna menentang orang- orang kulit putih dan pemerintah penjajah.

Karena itulah, ketika Hai-tok (Racun Lautan) mengirim undangan kepada para tokoh besar persilatan untuk menghadiri pesta yang akan diadakannya untuk memperingati ulang tahunnya yang ke tujuhpuluh lima, para datuk persilatan menyambutnya dengan gembira, dan hampir semua tokoh yang diundang memerlukan datang menghadiri undangan itu!

Ada beberapa hal yang mendorong Hai-tok untuk merayakan hari ulang tahunnya itu dengan mengundang tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Pertama, karena hatinya juga tergugah melihat keadaan tanah air yang terancam oleh orang-orang kulit putih dan karena penasaran melihat politik yang amat lemah dari pemerintah Ceng dalam menghadapi kekuasaan orang kulit putih yang semakin mendesak. Kedua adalah karena dia ingin membicarakan tentang Giok-liong-kiam dengan para datuk, setelah diketahui bahwa pusaka itu berada di tangan Koan Jit yang kini menjadi orang penting dan berkuasa di dalam pasukan orang kulit putih yang amat kuat itu.

Dan ketiga, yang membuat kakek ini penasaran dan marah, adalah karena dia mendengar dari puterinya, Kiki, bahwa kini muridnya yang amat dibanggakan dan diandalkan, yang bernama Lee Song Kim, telah menghambakan diri kepada istana kaisar yang dianggap sebagai kaisar yang lemah dan pengkhianat itu! Sebab-sebab inilah yang membuat Hai-tok mengundang semua tokoh besar, bukan hanya dari golongan sesat seperti golongan sendiri, akan tetapi bahkan dia mengundang tokoh-tokoh besar dunia persilatan dari golongan putih atau kaum pendekar!

Hai-tok mengundang para datuk persilatan untuk datang ke pesisir timur dari mana nampak Pulau Layar di kejauhan. Pantai ini penuh dengan batu-batu karang dan guha-guha besar, dan untuk keperluan pestanya, Hai-tok menyuruh anak buahnya untuk menggempur guha-guha dan membuat lima buah guha besar menjadi satu, menjadi ruangan sebuah guha yang luas sekali, yang menghadapi laut. Guha itu lalu disuruh hias dan ukir dan untuk keperluan ini, dia sengaja mendatangkan ahli-ahli ukir yang pandai.

Perpaduan antara alam dan keahlian tangan manusia menciptakan sebuah ruangan dalam guha yang amat aneh dan indah. Batu-batu karang itu diukir membentuk binatang-binatang aneh seperti naga, ki-lin, burung Hong dan sebagainya. Lantai guha dibikin rata dan di situ dipasangi meja-meja alam, meja-meja yang dibuat dari batu karang yang diukir-ukir, demikian bangku- bangku batu karang yang amat indah penuh dengan gaya seni yang luar biasa. Ketika para tamu berdatangan, anak buah Hai-tok yang gagah-gagah dan berpakaian indah, menyambut dan mempersilahkan para tamu memasuki tempat duduk. Para tamu mengucapkan seruan-seruan kagum bukan main. Tempat itu memang amat indahnya dan menakjubkan. Selain penuh dengan batu-batu karang dan dinding-dinding batu terukir, juga bangku-bangku dan meja-meja batu karang yang indah, pemandangan keluar guha amat indah. Air laut seperti berada di luar guha yang tinggal mengulur tangan menyentuhnya, dan air laut berkeriput lembut ditimpa sinar matahari pagi yang cerah. Matahari sendiri yang baru muncul, masih memuntahkan sinar keemasan, akan tetapi menciptakan suatu jalur jalan putih keperakan di atas permukaan laut. Semua tamu itu terdiri dari tokoh-tokoh besar persilatan, tokoh-tokoh dan datuk-datuk yang sudah banyak mengalami hal yang aneh-aneh. Akan tetapi ketika memasuki guha itu, mereka tertegun dan merasa seolah-olah mereka

masuk ke dalam sebuah istana dongeng di dalam lautan.

Belum lama mereka duduk, terdengar bunyi yang nyaring melengking dan lembut, seperti bunyi rumah siput besar ditiup atau bunyi suling tanduk besar, mengaum dan terbawa angin memasuki guha itu. Semua orang memandang ke arah laut dari mana suara itu terdengar. Para anak buah yang tadinya bertugas menjaga guha itu dan menyambut para tamu, begitu mendengar suara mengaung itu, lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, lalu seorang di antara mereka berseru memberi pengumuman.

“Yang mulia To-cu datang...!!”

Para tamu tahu bahwa Hai-tok yang bernama Tang Kok Bu itu adalah seorang yang amat kaya, menjadi majikan atau sebagai raja saja dari Pulau Layar yang nampak dari situ seperti layar sebuah perahu. Mereka tahu bahwa yang disebut To-cu (Majikan Pulau) tentu Hai-tok Tang Kok Bu, tuan rumah yang mengirim undangan dan yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuhpuluh lima. Karena itu, semua tamu menujukan pandang mata mereka ke tengah lautan, ke arah Pulau Layar.

Dan kini nampaklah oleh mereka beberapa buah perahu yang kecil-kecil panjang dan meruncing, bergerak dengan amat lajunya menuju ke pantai. Beberapa orang di antaranya memegang bendera-bendera, ada yang bertuliskan kata lautan, Pulau dan Raja. Dengan bendera-bendera itu seolah- olah Hai-tok menjadi Raja Pulau dan Lautan yang kini menuju ke pantai dengan segala kebesarannya. Memang inilah yang dimaksudkan oleh seorang di antara Empat Racun Dunia itu. Hai-tok ingin memamerkannya lewat pesta yang luar biasa megahnya itu, dan diapun ingin memamerkan kedudukan dan kekuasaannya lewat pemunculannya yang mengesankan.

Dan memang mengesankan sekali pemunculan Hai-tok Tang Kok Bu! Dari jauh tadi tidak begitu nampak, hanya kelihatan seolah-olah Hai-tok duduk di atas sebuah perahu kecil seorang diri, diiringkan oleh anak buahnya yang gagah-gagah dan tampan-tampan. Akan tetapi setelah rombongan itu dekat dengan tebing-tebing karang, dimana para tamu nonton dari dalam guha, semua orang tertegun! Betapa tidak? Hai-tok duduk di atas punggung seekor binatang laut yang bentuknya seperti seekor buaya besar! Binatang itu berenang dengan cepat sekali, dikawal oleh anak buahnya yang naik perahu- perahu kecil dan yang memegang bendera-bendera kebesarannya. Sungguh berwibawa dan gagah perkasa sekali nampaknya, juga menyeramkan.

Hai-tok Tang Kok Bu yang bertubuh tinggi besar itu mengenakan pakaian yang mewah. Jubahnya dari sutera halus berwarna kuning dan di dadanya terdapat lukisan seekor naga! Jubah ini saja sudah menyaingi jubah seorang raja! Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat, wajahnya kemerahan dengan cambang bauk terpelihara rapi dan sepasang mata yang besar. Sungguh seorang kakek yang gagah perkasa dan rambut serta berewoknya yang masih hitam itu sangat berlawanan dengan usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun! Dia nampak seperti seorang laki-laki perkasa yang usianya sekitar limapuluh sampai enampuluh tahun saja. Akan tetapi, kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, pada sinar matanya yang tajam itu terdapat sesuatu yang aneh, suatu sinar yang mengandung kegenitan seorang wanita! Dan orang akan merasa heran kalau memperhatikan wajah para anak buahnya. Mereka itu rata-rata tampan dan tidak ada yang berusia tua, semua masih muda dan gagah.

Agaknya jauh di belakang rombongan ini, sengaja memisahkan dan memencilkan diri, nampak seorang gadis yang naik perahu seorang diri. Tak seorangpun akan menduga bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Hai-tok, yang bernama Tang Ki atau biasa disebut Kiki. Gadis ini cantik manis, sinar matanya mencorong tajam penuh keberanian, akan tetapi gadis yang menjadi puteri tunggal ini tidak memperlihatkan kemewahannya. Sama sekali tidak pesolek seperti ayahnya.

Memang, Kiki gadis manja. Hal ini karena sejak kecil ia telah tak beribu, dan sebagai puteri tunggal Hai-tok, tentu saja sejak kecil ia dimanja. Akan tetapi, ia memiliki watak gagah yang mengusir kemanjaannya itu setelah menjelang dewasa. Dan kini, setelah ia kembali dari melakukan perjalanan jauh dan melihat keadaan dunia luas, ia semakin tidak setuju dengan keadaan dan watak ayahnya. Inilah sebabnya mengapa ia tidak mau dekat dengan rombongan ayahnya, dan sikap inipun tidak dapat ditundukkan oleh ayahnya yang tahu kekerasan hati puterinya, maka mendiamkan dan membiarkannya saja.

Para tamu bangkit berdiri ketika dengan gerakan gagah Hai-tok Tang Kok Bu melompat dari atas punggung binatang seperti buaya itu yang segera menyelam ke dalam air. Kemudian dengan langkah yang tegap dan wajah angker akan tetapi mengandung senyum ramah, Hai-tok Tang Kok Bu memasuki guha dan memberi hormat kepada para tamu yang terdiri dari tokoh- tokoh besar dunia persilatan. Di antara mereka, yang berada paling depan adalah Siauw-bin-hud, itu tokoh terkenal sekali dari Siauw-lim-pai yang sudah tua namun amat disegani dunia persilatan karena kesaktiannya dan yang belum lama ini namanya menimbulkan kegemparan di dunia kangouw karena dia dituduh merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam. Kakek hwesio yang telah bertapa selama bertahun-tahun dan yang sudah tidak tertarik lagi akan urusan duniawi, ketika menerima undangan, dapat menduga bahwa di balik undangan ini ada suatu kepentingan besar. Seperti para datuk lainnya, juga Siauw-bin-hud amat memperhatikan keadaan negara dan merasa tidak puas melihat sikap pemerintah menghadapi bangsa kulit putih. Diapun melihat ancaman bahaya besar terhadap tanah air dan bangsanya, maka diapun, dalam usia setua itu, memenuhi undangan Hai-tok dan hadir, bukan semata untuk menghormati datuk itu atau berpesta, melainkan lebih condong untuk melihat dan mendengar sikap para datuk mengenai keadaan tanah air.

Selain datuk besar Siauw-bin-hud itu yang datang bersama Tan Ci Kong, cucu murid yang menerima gemblengan pribadi dari kakek tua renta itu, juga gemblengan pribadi dari kakek tua renta itu, juga nampak lengkap rekan-rekan dari Hai-tok, yaitu ketiga Racun Dunia lainnya.

Thian-tok hadir bersama dua orang muridnya, yaitu Gan Seng Bu dan Ong Siu Coan. Seperti kita ketahui, Gan Seng Bu telah menjadi seorang pejuang yang menentang kerajaan Mancu dan pemuda itu telah menikah dengan Sheila, seorang gadis kulit putih. Sedangkan Ong Siu Coan masih belum tentu kedudukannya setelah dia dipaksa meninggalkan Thian-te-pang setelah para anggautanya memberontak dipimpin oleh ketua Thian-te-pang yang lama bernama Ma Ki Sun yang dibantu oleh para tokoh pejuang lainnya dan para tokoh partai persilatan. Dia mengundurkan diri dengan damai dari Thian-te- pang. Ketika dua orang muda ini mendengar panggilan guru mereka, tentu saja mereka cepat mengunjungi guru mereka dan oleh Thian-tok, keduanya diajak untuk menghadiri pesta ulang tahun Hai-tok. Seperti yang lainnya, guru dan murid ini tertarik sekali untuk bicara dengan para datuk mengenai keadaan tanah air yang kacau balau pada waktu itu.

Tee-tok (Racun Bumi) juga hadir bersama murid yang disayangnya, yaitu Ciu Kui Eng, gadis hartawan yang telah kehilangan semua harta benda dan keluarganya itu. Tidak ketinggalan pula hadir San-tok bersama Siauw Lian Hong! Lengkaplah keempat Racun Dunia, termasuk tuan rumah, bertemu di dalam ruangan guha yang luas dan indah itu. Tentu saja Diana tak dapat ditinggalkan dan ikut pula, akan tetapi gadis berkulit putih ini tidak diajak hadir dalam pertemuan itu. Baik San-tok maupun Lian Hong melarangnya dan setelah mendengar penjelasan Lian Hong bahwa yang mengadakan pertemuan itu adalah datuk-datuk persilatan dan juga pemuka-pemuka para pejuang yang menentang bangsa kulit putih, maka hadirnya Diana hanya akan memancing timbulnya keributan saja. Diana tahu diri dan iapun tidak rewel lagi ketika ia ditinggalkan di dalam sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan, yang terletak tak jauh dari pantai itu.

Para tamu itu berduyun-duyun memberi selamat kepada Hai-tok yang sudah duduk di atas kursi besar terbuat dari batu karang. Satu demi satu mereka menghampiri tuan rumah dan memberi hormat, yang dibalas oleh Hai- tok dengan wajah gembira dan hati bangga. Para tamunya adalah datuk-datuk yang memiliki kedudukan tinggi, memiliki tingkat ilmu kepandaian hebat, dan kini semua datang untuk menghormat dan memberi selamat kepadanya! Kegembiraan hatinya ini agak menghapus kekecewaannya mendengar bahwa murid yang disayangnya, Lee Song Kim, telah menyeleweng dari pada garis yang telah ditentukan olehnya, yaitu tidak boleh menghambakan diri kepada penjajah Mancu.

Setelah semua orang memberi selamat dan mengambil tempat duduk masing-masing, Hai-tok memandang dengan puas dan bangga. Keadaan pesta yang istimewa, luar biasa dan mengesankan. Semua tamu itu mengambil tempat duduk berkelompok dengan kelompok masing-masing, duduk diatas bangku-bangku batu karang dan menghadapi meja-meja kecil dari batu karang pula, bukan sembarang batu karang melainkan batu karang berkembang yang pilihan dan diukir indah, juga telah digosok mengkilap dan sama sekali tempat itu tidak mengandung bau amis lagi, walaupun dari dinding sampai meja kursinya terbuat dari batu-batu karang.

Kini Hai-tok bangkit berdiri. Suaranya terdengar besar dan berat, namun jelas dan berwibawa ketika dia bicara.

“Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang terhormat. Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan ucapan selamat dari cu-wi. Mengingat akan keadaan di tanah air kita yang tercinta, kami berpendapat bahwa kesempatan yang amat baik selagi kita berkumpul ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bagaimana kalau kesempatan ini kita pergunakan untuk bicara tentang keadaan di tanah air?”

“Akur! Akur!” “Setuju sekali!”

Semua orang menyatakan persetujuan mereka, dan suasana menjadi gaduh. Tuan rumah mengangkat kedua tangan ke atas sambil tersenyum.

“Bagus, agaknya di antara kita memang sudah terdapat persesuaian paham. Nah, sekarang kami persilahkan cu-wi untuk menikmati hidangan kami sekedarnya, setelah makan minum, barulah kita akan bicara tentang keadaan tanah air. Pikiran akan menjadi lebih tenang kalau perut sudah kenyang, bukan?”

Semua orang tertawa dan pestapun dimulailah. Dari ruangan sebelah terdengarlah bunyi alunan musik dan nyanyian merdu. Hai-tok sengaja mengundang ahli-ahli musik dan para penyanyi yang pandai, dengan bayaran tinggi untuk memeriahkan pesta itu.

Setelah hidangan  dikeluarkan,  semua  orang  menjadi  semakin  kagum. Kiranya, semua alat makan yang dikeluarkan juga istimewa, tidak seperti alat makan biasa, melainkan unik dan cocok dengan keadaan di dalam guha penuh batu-batuan laut itu. Mangkok dan piring terbuat dari kulit penyu, mangkok dari kerang besar dan banyak pula kembang-kembang karang yang sudah kering, dengan bentuk-bentuk aneh dan khas laut, dengan warna-warni yang indah, dikeluarkan sebagai tempat-tempat sayuran dan masakan yang mengepulkan bau asap gurih. Sumpit-sumpit yang dikeluarkan juga terbuat dari pada tulang-tulang ikan yang mengkilap seperti gading gajah. Pendeknya, semua alat makan terbuat dari benda-benda yang diambil dari dasar lautan, dan di sana-sini, pada piring, mangkok dan panci kerang besar itu malah dihias dengan mutiara-mutiara gemerlapan!

Semua orang takjub dan merasa betapa mereka seakan-akan dijamu dalam pesta yang diadakan di istana dasar lautan oleh Raja Lautan! Hebatnya, untuk mereka yang tidak makan daging seperti Siauw-bin-hud dan beberapa orang tokoh lagi, dihidangkan masakan istimewa yang sama sekali tidak mengandung barang bernyawa! Siauw-bin-hud sampai tersenyum lebar.

“Omitohud... harta benda dunia memang bisa mendatangkan kenikmatan dan kesenangan dunia yang tanpa batas. Ha-ha-ha, asalkan kita tidak sampai mabok olehnya!”

Mendengar ucapan Siauw-bin-hud, Thian-tok yang duduk di meja sebelah, juga tertawa lebar.

“Ha-ha, kuharap saja tempat ini tidak berubah menjadi kuil dimana ada hwesio tua yang berceramah memberi kuliah. Mabokpun ada batasnya dan akhirnya akan sadar kembali, bukan?”

Siauw-bin-hud tidak marah, malah tersenyum.

“Siancai... ada benarnya ucapanmu itu, gendut! Segala apa di dunia ini, yang menyenangkan atau menyusahkan, tentu ada batas waktunya dan pada saatnya akan lenyap satu demi satu.”

Para tamu yang aneh-aneh itu, para datuk dunia persilatan, mulai makan minum dan suasana menjadi meriah sekali. Memang nikmat sekali makan minum bersama orang-orang yang sudah dikenal dengan baik, apalagi kalau suasananya begitu akrab dan ada sesuatu yang membuat pada saat itu mereka melupakan segala macam bentuk permusuhan dan memiliki suatu pegangan tertentu yang menyatukan hati mereka. Makan minum hidangan yang pilihan, lezat dan mahal, di tempat yang indah, dengan alat perabot makan yang aneh dan indah pula, dengan pemandangan yang amat mempersonakan dari laut yang terbentang luas di depan mereka, dalam suasana yang meriah.

Para datuk sesat Empat Racun Dunia makan satu meja dengan murid masing-masing. Siauw-bin-hud dengan wajahnya yang bersih cerah dan selalu tersenyum itu duduk semeja dengan Tan Ci Kong, kemudian di meja sebelah kirinya, duduk Thian-tok yang wajahnya dan bentuk tubuhnya mirip sekali dengan Siauw-bin-hud, perutnya yang gendut, mukanya yang bulat dan serba bundar, mulutnya yang selalu tersenyum lebar, semua serupa. Hanya bedanya, jubah Siauw-bin-hud tertutup rapat, sebaliknya jubah Thian-tok terbuka lebar memperlihatkan dada dan perut gendutnya. Dan kalau wajah Siauw-bin-hud halus bersih, sebaliknya wajah Thian-tok penuh berewok. Mereka sedemikian miripnya sehingga tidaklah mengherankan kalau dahulu dengan mudah Thian- tok menyamar sebagai Siauw-bin-hud ketika dia merampas pedang pusaka Giok-liong-kiam. Kalau jubah itu dirapatkan dan muka itu dicukur, memang dia mirip sekali dengan tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian-tok duduk semeja dengan dua orang muridnya, Gan Seng Bu dan Siu Coan. Dua orang muda kakak beradik seperguruan ini ketika bertemu dan ikut bersama guru mereka menghadiri undangan Hai-tok, tidak pernah bicara tentang perselisihan mereka yang lalu seolah-olah mereka berdua sudah melupakannya. Apalagi antara kakak beradik seperguruan, bahkan antara orang lain yang pernah bentrok sekalipun, pada waktu menghadapi urusan tanah air yang terancam, mereka semua mengesampingkan urusan pribadi dan semua perhatian hanya ditujukan kepada perjuangan.

Tee-tok duduk berhadapan dengan Ciu Kui Eng, sedangkan San-tok duduk bersama Lian Hong. Memang di dalam dada masing-masing golongan terdapat jiwa patriotisme yang agak berbeda sifatnya. Ada yang memiliki kecondongan lebih keras membenci orang kulit putih dan ada yang lebih membenci keduanya. Akan tetapi mereka yang hadir di situ, rata-rata tidak sudi menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu atau kepada pasukan orang kulit putih, dan mereka semua mengharapkan bangkitnya rakyat yang akan memiliki pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri.

Di samping Empat Racun Dunia dan Siauw-bin-hud, hadir pula wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar di dunia kang-ouw. Akan tetapi karena yang diundang oleh Hai-tok hanya tokoh-tokoh besarnya saja, maka yang hadir di dalam ruangan guha itu berjumlah lebih dari tigapuluh orang saja.

Pesta itu berjalan dengan meriah dan semua tamu memuji kelezatan masakan yang dihidangkan. Bahkan Siuw-bin-hud harus memuji masakan- masakan yang tanpa daging itu, karena memang dimasak secara istimewa dan masakan tanpa daging itu tak kalah lezatnya dengan masakan lain yang berdaging. Makan minum itu diakhiri dengan kepuasan, kekenyangan dan kelegaan hati para tamu. Setelah selesai, alat-alat makan disingkirkan, meja- meja dibersihkan kemudian meja-meja batu karang itu dipindahkan, diganti meja yang lebar, dan semua tamu duduk mengelilingi meja besar untuk mulai dengan percakapan mereka yang sebenarnya merupakan inti pertemuan yang berselubung di balik ulang tahun itu.

Dengan dipimpin oleh Hai-tok sebagai tuan rumah, mereka bicara tentang keadaan tanah air yang mulai dilanda kekuasaan orang kulit putih dan tentang keadaan pemerintah Ceng yang semakin lemah dan sama sekali tidak melindungi rakyat jelata.

“Kalau dibiarkan saja orang-orang kulit putih itu menguasai kota-kota pelabuhan, makin lama mereka akan menjadi semakin kuat. Harus diakui bahwa dengan kapal-kapal besar mereka, dengan meriam-meriam besar dan pasukan yang diperlengkapi dengan senjata-senjata api, mereka itu merupakan musuh yang sangat kuat dan sukar dikalahkan. Oleh karena itu, selagi mereka belum terlalu kuat, kita harus berdaya mengumpulkan kekuatan dan menghancurkan mereka,” demikian Hai-tok berkata dengan penuh semangat.

“Ha-ha-ha!”

Thian-tok tertawa bergelak menanggapi ucapan penuh semangat ini yang dikeluarkan Hai-tok setelah mereka tadi membicarakan keadaan yang makin kacau dan kemelut yang menimpa kehidupan rakyat yang dicengkeram racun madat.

“Orang-orang kulit putih itu belum dapat dibilang berbahaya karena bagaimanapun juga, mereka hanya pedagang-pedagang. Yang penting untuk segera diruntuhkan adalah kekuasaan penjajah Mancu. Kalau pemerintah dipegang oleh bangsa kita sendiri, apa sukarnya menghalau orang-orang kulit putih? Tentu saja pendapat ini tidak akan disetujui oleh mereka yang di dalam hatinya masih setia kepada pemerintah penjajah Mancu.”

Sepasang alis tebal di wajah Hai-tok berkerut dan matanya yang lebar memancarkan sinar kemarahan kepada Thian-tok. Dia merasa disindir karena dia mengerti bahwa muridnya, Lee Song Kim, kini menghambakan diri kepada pemerintah Ceng di kota raja. Akan tetapi rasa persatuan dalam pembelaan tanah air membuat kakek yang biasanya berdarah panas ini dapat mengendalikan diri, hanya suaranya terdengar mantap dan serius, sedangkan pandang matanya ditujukan langsung kepada Thian-tok yang masih tersenyum lebar.

“Memang benar ucapan Thian-tok bahwa penjajah Mancu harus ditentang, dan siapa saja yang membantu penjajah Mancu patut dikutuk. Akan tetapi, tidak benar kalau bangsa kulit putih tidak berbahaya. Lihat saja penderitaan rakyat akibat perang candu yang lalu. Siapa saja yang menghambakan diri kepada bangsa kulit putih lebih terkutuk lagi!”

Ucapan yang merupakan jawaban ini juga mengandung sindiran, karena semua orang tahu bahwa Koan Jit menjadi antek orang kulit putih, sedangkan Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok. Kakek gendut inipun merasa akan sindiran tuan rumah, maka dia tertawa semakin keras.

“Ha-ha-ha-ha, benar sekali, Hai-tok, benar sekali! Akan tetapi sudah lama sekali aku mengutuk Koan Jit, tidak menganggapnya sebagai murid lagi, dan bukan hanya mengutuk, bahkan kalau ada kesempatan, akan kuhancurkan kepala murid murtad itu!”

Hai-tok tidak mau kalah.

“Muridku yang pertama Lee Song Kim juga murtad, telah bekerja kepada pemerintah Mancu di kota raja, dan akupun tidak menganggapnya murid lagi melainkan musuh!”

“Ha-ha-ha-ha, kalau begitu keadaan kita sama, Hai-tok. Satu-satu, kita masing-masing mempunyai murid yang murtad dan memalukan, ha-ha-ha!”

“Tidak sama benar keadaan kita, Thian-tok.”

Hai-tok membantah, kini sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri penuh rasa kemenangan.

“Hanya seorang muridku yang murtad dan memalukan, akan tetapi kabarnya, di samping Koan Jit yang menjadi antek penjilat orang kulit putih, aku mendengar masih ada lagi muridmu yang bahkan menikah dengan seorang perempuan bule!”

Tentu saja sindiran ini amat tepat menghunjam perasaan Thian-tok, akan tetapi kakek ini kelihatan tenang dan tersenyum lebar saja, sedangkan semua mata kini ditujukan ke arah Gan Seng Bu yang bersikap tenang memandang kepada gurunya. Ingin ia bicara, karena dialah yang diejek, akan tetapi karena ucapan Hai-tok tadi ditujukan kepada suhunya, maka diapun tidak berani melancangi gurunya.

“Ha-ha-ha-ha, pandangan yang picik, pandangan yang membuktikan kebodohan! Bagaimana mungkin urusan perjodohan dicampuradukkan dengan urusan perjuangan membela tanah air? Perjodohan dasarnya saling mencinta dan dalam urusan cinta ini, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa, negara, atau apa saja. Asal laki-laki dan perempuan, bukan laki-laki dengan laki-laki, maka cinta dapat timbul tanpa mengingat bangsa dan keturunan. Siapa bisa bilang bahwa kita semua hadir di sini adalah bangsa aseli? Siapa berani memastikan dan siapa bisa membuktikan bahwa darahnya tidak ada campuran darah keturunan bangsa lain, tidak ada darah campuran darah Mongol, Mancu, atau Birma dan An-nam, bahkan darah India dan Yahudi? Ha-ha-ha-ha, kalau kita sendiri tidak bisa memastikan keaselian kita, bagaimana mau bicara tentang perbedaan bangsa dalam pernikahan? Muridku memang ada yang menikah dengan seorang perempuan bule, dan dia adalah Gan Seng Bu yang hadir di sini, akan tetapi hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan menentang penjajah Mancu atau bangsa kulit putih!”

Hai-tok masih tidak mau kalah dan masih penasaran. Sambil memandang tajam ke arah Gan Seng Bu, dia berkata lantang.

“Biarkan yang bersangkutan sendiri bicara. Bukankah kalau orang menikah dengan seorang perempuan kulit putih, lalu pandangannya terhadap orang kulit putih juga menjadi berubah? Tak mungkin memusuhi bangsa dari istrinya sendiri!”

“Tang locianpwe,” kata Gan Seng Bu dengan suara lantang tapi hormat, sambil mengangkat muka setelah tadi memandang dan menentang pandang mata semua orang yang hadir.

“Seperti dikatakan oleh suhu tadi, pernikahan dengan isteri saya seorang wanita kulit putih sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan saya menentang kerajaan penjajah dan pengaruh kulit putih yang memasukkan madat ke negeri kita. Isteri saya menentang politik bangsanya sendiri. Kalau tidak demikian, tentu ia dan saya akan berhadapan sebagai musuh, bukan menjadi suami isteri. Dan urusan pernikahan adalah urusan pribadi, sedangkan perjuangan membela tanah air adalah urusan umum, harap jangan dicampuradukkan.”

Sebelum Hai-tok atau yang lain sempat menjawab, terdengar suara halus namun begitu penuh wibawa dan membuat semua orang terdiam mendengarkan. Itulah suara Siauw-bin-hud yang melihat betapa percakapan antara Hai-tok itu makin meruncing dan menimbulkan suasana panas.

“Omitohud... kita ini mau dibawa kemanakah dengan percakapan tentang diri-diri pribadi? Cu-wi yang hadir ini datang hendak membicarakan segala tetek-bengek mengenai urusan pribadi masing-masing, ataukah datang hendak bicara tentang tanah air dan bangsa? Kalau urusan pribadi, lebih baik pinceng pergi, karena pinceng tidak mau bicara tentang diri orang lain.”

Mendengar ucapan hwesio tua yang disegani itu, Hai-tok dan Thian-tok baru sadar dan Thian-tok tertawa bergelak.

“Aih, kalau tidak ada engkau hwesio tua yang selalu waspada dan sadar, tentu kami akan terseret semakin jauh, ha-ha-ha!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar