Patung Dewi Kwan Im Jilid 16 (Tamat)

Jilid 16 (Tamat)

Ketika ia tiba di depan kuil yang megah dan besar itu, ia dicegat oleh beberapa orang imam Kwan-im-kauw yang membentaknya dan bertanya,

“Hei, anak muda. Siapakah kau dan ada perlu apa kau tersesat ke sini?”

Siauw Ma sedang gelisah dan sedih, maka ia tidak mau banyak cakap, hanya berkata,

“Bawa aku menghadap ketuamu!”

“Kauw-cu kami tidak mudah begitu saja bertemu dengan orang asing,” jawab seorang imam. “Kau beritahukan dulu nama dan keperluanmu, baru akan kami sampaikan ke dalam. Sementara itu, kau tidak boleh masuk pekarangan kuil kami.”

Siauw Ma menjadi penasaran sekali. “Kalian ini pendeta-pendeta yang menuntut hidup suci mengapa bersikap begini kasar? Apa kalian kira aku bangsa perampok?” Para imam itu tertawa mengejek. “Pada saat zaman sekacau ini, mana kita bisa bedakan mana perampok dan mana orang baik- baik?”

“Kurang ajar, jangan kau menghalang jalanku, aku hendak masuk melihat kauw-cu Kwan-im-kauw!”

Dan Siauw Ma lalu gerakkan kaki hendak lanjutkan perjalanannya. Tapi beberapa orang imam itu makin bercuriga dan segera palangkan toya dan pedang mencegatnya. Tapi sekali berkelebat saja Siauw Ma telah melompati kepala mereka dan turun di belakang mereka. Tentu saja para imam itu terkejut sekali dan ramai-ramai mereka mengejar!

Dari atas turunlah beberapa imam dan nikouw lain yang segera mengeroyok Siauw Ma. Tapi begitu Siauw Ma gerakkan kaki tangannya, beberapa orang imam telah kena dirobohkan. Makin banyaklah imam mengeroyoknya dan kini yang mengeroyoknya adalah imam-imam dan nikouw yang berkepandaian tinggi juga hingga Siauw Ma mengamuk seperti kerbau gila!

Tapi pemuda ini masih sempat memikir bahwa imam-imam itu hanyalah mengeroyoknya karena salah paham saja hingga tiap serangannya tidak ia maksudkan untuk mengambil jiwa orang. Karena inilah maka imam-imam itu hanya ia totok dan ia lemparkan saja dan tak seorangpun imam sampai mendapat luka berat.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan halus dan semua imam dan nikouw yang mengeroyok segera mundur sambil membungkuk-bungkukkan tubuh mereka terhadap orang yang membentak nyaring tadi.

Siauw Ma memandang dan hampir saja ia berteriak karena kaget dan herannya. Yang membentak itu ternyata Lian Eng sendiri, tetapi alangkah banyaknya perubahan yang terjadi pada diri gadis yang dicintanya itu.

Lian Eng mengenakan jubah seperti seorang dewi dan serupa benar dengan jubah yang dipakai oleh Patung Dewi Kwan-im, sedangkan potongan rambutnya juga sama benar dengan rambut Dewi Kwan-im. Bahkan wajah gadis itu seakan-akan memancarkan cahaya seperti cahaya gaib yang hanya terdapat pada diri dewa dan orang-orang suci! Sikap gadis itu agung sekali ketika ia pandang Siauw Ma dan berkata.

“Kau datang ke sini mau apakah?”

Siauw Ma terbelalak memandangi wajah dan pakaian gadis itu. Beberapa kali ia telan ludahnya dan tak dapat berkata-kata, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal kerongkongannya. Akhirnya, setelah naik sedu-sedan dari dadanya, dapat juga ia bertindak maju dengan dua lengan terulur dan berkata.

“Lian Eng……! Hampir aku tak dapat percaya. Kaukah ini?? Lian Eng...... mengapa…… mengapa kau menjadi begini…..?”

Bibir yang merah dan manis itu tersenyum tetapi matanya memandang dingin. Kemudian sambil menengok kepada semua imam dan nikouw yang masih berdiri membungkuk dan tak berani memandangnya, ia berkata,

“Perkuatlah penjagaan!” Lalu ia memberi tanda dengan lambaian tangan kepada Siauw Ma untuk ikut dengan dia ke dalam bio!

Siauw Ma ikut berjalan masuk dengan hati berdebar-debar.

Lian Eng ajak ia masuk ke dalam ruang dalam, di mana terdapat empang dan patung Dewi Kwan-im. Ia kenali patung itu sebagai patung yang dulu dibuat rebutan. Beberapa orang nikouw yang duduk bersamadhi dan mengelilingi patung itu, atas perintah Lian Eng lalu pergi keluar dari ruang itu, hingga mereka berada berdua saja.

“Duduklah, Siauw Ma,” kata Lian Eng, kini lenyaplah sikapnya yang agung-agungan tadi dan suaranya terdengar seperti seorang kawan lama yang ramah.

“Lian Eng……. aku sengaja mencarimu       ”

Lian Eng memandangnya tajam. “Hm, apakah kau hendak menagih hakmu yang ditetapkan oleh guru-guru kita?”

“Tidak, tidak! Lian Eng, kau anggap aku orang macam apakah? Memang, tak kusangkal bahwa aku……. aku mencinta kau! Aku mencinta dan suka padamu semenjak kita bertemu pertama kali dulu, semenjak kau masih gagu dulu! Aku selamanya mencintamu, tetapi....... aku tidak begitu rendah untuk memaksamu, untuk memperkosa hatimu dan menggunakan pengaruh suhu kita untuk memaksamu menjadi isteriku! Aku…… aku….. terlalu cinta padamu, Lian Eng, tak mungkin aku dapat menyakiti hatimu. Kau tentu tahu ini!”

Untuk sesaat sinar mata Lian Eng melembut. Ia memang kagum kepada pemuda yang jujur dan gagah ini. Kemudian ia berkata, kepalanya dikedikkan.

“Habis kau datang mau apa? Apakah kau merasa sakit hati kutolak pinanganmu hingga kau datang hendak menuntut balas?”

Siauw Ma geleng-gelengkan kepala. “Seharusnya demikian, sesuai dengan kehendak ibuku. Ketahuilah, Lian Eng, mendiang ibuku dahulu pernah meninggalkan pesan bahwa aku harus mencarimu untuk menjadikan isteri atau       membunuhmu! Tapi

aku bodoh, aku lemah. Kedua-duanya tak dapat kulaksanakan. Pesan ibuku hanya pesan kosong dan tak terpenuhi. Aku tak dapat mengawinimu, juga tak dapat membunuhmu ”

Terharulah Lian Eng mendengar pengakuan ini. Ia pandang muka yang tunduk dengan sedih itu dan hampir saja ia tak dapat menahan air matanya yang hendak runtuh, tapi ia keraskan hatinya.

“Aku menyesal sekali telah membikin kau sengsara dan menderita, Siauw Ma. Tapi seperti juga kau, aku tak dapat memaksa hatiku sendiri.”

“Lian Eng…… kau mengakulah terus terang, adakah…… adakah kau….. mencinta Tiong Li? Aku……. aku takkan marah dan cemburu, dia kawan baikku……” Lian Eng adalah seorang wanita berhati keras, maka mana ia mau mengakui kelemahannya ini? Ia kedikkan kepalanya dan berkata keras,

“Siapa mencinta siapa? Jangan kau sembarangan bicara! Kata- katamu ini menghinaku!”

Siauw Ma lalu berkata, “Betapapun juga, Lian Eng. Kembalilah kau ke Thang-la, kau membuat kami semua menjadi bingung, dan ketahuilah bahwa subomu juga menjadi marah dan bingung. Jangan kausia-siakan hidupmu seperti ini. Benar-benarkah kau menjadi kauw-cu di sini seperti yang dikatakan orang?”

“Benar! Aku memang menjadi kauw-cu di sini. Aku telah ambil keputusan untuk berdiam di sini sampai mati!”

Siauw Ma mendengar ucapan yang bersungguh-sungguh ini menjadi heran dan diam-diam ia mengerling keadaan di situ. Aneh, memang keadaan di situ terasa tenteram dan damai sekali, terutama patung Dewi Kwan-im yang berada di tengah-tengah empang itu, tampak begitu agung dan suci serta mendatangkan suasana yang membahagiakan!

“Memang indah tempat di sini, Tetapi, Lian Eng, sudah tahukah kau bahwa tempatmu ini terancam bahaya besar? Pangeran Yo bersengkongkol dengan pendeta-pendeta Lhama dari Tibet untuk menyerbu ke mari!” Tiba-tiba mata Lian Eng bersinar marah. “Benarkah? Boleh! Biarkah mereka datang. Demi Pouw-sat yang suci, akan kuhancurkan mereka itu seorang demi seorang!”

Kemudian Lian Eng berkata kepada Siauw Ma. “Siauw Ma, kau pergilah! Kau kembalilah ke Thang-la, sekarang juga! Jangan terlalu lama berdiam di sini.”

Siauw Ma geleng-gelengkan kepalanya. “Begitu tipiskah kepercayaanmu padaku? Apa kaukira aku tidak mempunyai rasa setia kawan lagi? Lian Eng, biarpun rasa cintaku sia-sia dan tak terbalas, namun Siauw Ma masih merupakan sahabatmu yang akan membelamu sampai mati!”

“Jangan, Siauw Ma, ketahuilah, Hong Cu mencinta padamu, mencinta dengan murni. Kau kembalilah dan pinanglah dia! Dia seperti adikku sendiri, kasihanilah dia, jangan membikin dia sengsara, Siauw Ma.”

Siauw Ma memandang dengan tajam dan penasaran. “Bagus Lian Eng! Kau sendiri menolak cintaku, kau sendiri membikin aku menderita, dan kini kau minta padaku supaya aku korbankan diri dan menerima persembahan Hong Cu. Bagus sekali! Tidak, biarlah aku lihat sampai di mana kekurangajaran anjing-anjing kaisar itu.”

Sehabis berkata demikian, Siauw Ma yang tak tahan pula berhadapan dengan gadis yang dicintanya dalam keadaan demikian itu, segera keluar dan rebahkan diri di ruangan depan, di atas sebuah bangku panjang, sama sekali tidak hiraukan pandang mata heran dari para imam dan nikouw yang lewat di situ.

Sepeninggal pemuda itu, Lian Eng lalu jatuhkan diri berlutut di depan patung Dewi Kwan-im dan menangis tersedu-sedu.

<>

Sementara itu, Tiong Li dan Hong Cu yang tahu akan ancaman rombongan imam Tibet dan para pengawal Pangeran Yo yang hendak menyerbu Kwan-im-bio, dan mengira bahwa Lian Eng tentu berada di bio itu pula, segera mengejar rombongan imam Tibet itu. Tapi karena para imam itu menggunakan jalan yang memotong, mereka tertinggal di belakang.

Hanya karena kepandaian lari cepat mereka jauh berada di atas beberapa anggauta rombongan, maka mereka masih mempunyai harapan untuk mengejar dan mendahului mereka ke Kwan-im-bio untuk membela kuil itu.

Tak mereka sangka bahwa para pengawal dan imam Lhama itu telah pula memperhitungkan hal ini. Maka mereka lalu pecah- pecah rombongan mereka dan sebagian ditugaskan untuk menghalang-halangi perjalanan dua anak muda itu agar jangan sampai mendahului mereka dan membela kuil itu karena kalau hal ini sampai terjadi, kedudukan mereka di kuil itu akan sangat kuat dan sukar diserbu!

Karena inilah maka ketika tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Tiong Li dan Hong Cu diserang oleh beberapa belas orang yang bersenjata pedang. Kebanyakan para pengeroyok ini adalah pengawal-pengawal kelas satu dari kaisar yang memiliki kepandaian tinggi, dan di antaranya terdapat beberapa orang pendeta Lhama yang lihai. Oleh karena ini, maka sibuk juga kedua anak muda ini melayani mereka.

Namun Hong Cu dan Tiong Li adalah murid-murid tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi dan luar biasa. Tongkat yang berada di tangan Hong Cu walaupun hanya berupa tongkat bambu biasa, namun benda itu dimainkan dengan ilmu tongkat yang tiada taranya di dunia ini hingga tongkat bambu itu seakan- akan berubah menjadi ratusan batang dan semuanya bergerak- gerak bagaikan ular-ular terbang menuju ke jalan-jalan darah lawan dalam totokan yang berbahaya!

Juga pikulan Tiong Li tidak kalah istimewanya. Pikulan inipun dari bambu, tapi bentuknya melengkung seperti gendewa hingga kalau digunakan untuk menyerang datangnya ujung senjata itu tidak terduga sama sekali. Misalnya jika Tiong Li gunakan pikulannya memukul atau menusuk pundak kiri musuh, ternyata ujung yang melengkung itu menghantam pundak kanan, dan demikian sebaliknya hingga lawannya menjadi bingung sekali!

Kalau saja pengeroyok-pengeroyok itu bukannya orang-orang yang rata-rata memiliki kepandaian luar biasa, tentu sudah semenjak tadi mereka semua kena dibikin roboh oleh dua orang jago muda yang hebat ini.

Biarpun lawannya banyak dan lihai, akhirnya setelah bertempur sengit sampai ratusan jurus, dapat juga Tiong Li merobohkan dua orang dan Hong Cu juga berhasil menotok roboh dua orang pengeroyok pula! Cepat para pengeroyok itu menolong mereka yang roboh dan tak lama kemudian mereka lalu kabur ke dalam hutan lebat.

Tiong Li dan Hong Cu bernapas lega dan beristirahat di situ melepas lelah sambil bersamadhi. Pertempuran dan istirahat ini memakan waktu hampir setengah hari hingga tanpa mereka ketahui, mereka tertinggal makin jauh lagi!

Dua hari kemudian, setelah hari menjadi gelap, Tiong Li dan Hong Cu bermalam dalam sebuah hutan yang gelap dan besar. Setelah makin jauh ke barat, makin banyaklah hutan dilalui dan bukit-bukit didaki.

Hutan besar dan gelap sekali hingga tak mungkin bagi mereka untuk melanjutkan perjalanan. Di situ tidak ada dusun atau rumah orang maka kedua anak muda itu terpaksa bermalam di atas pohon tinggi besar sekali.

Malam yang gelap itu dingin sekali dan baiknya ada ribuan bintang di langit hingga keadaan tidak gelap sekali. Hong Cu sandarkan tubuhnya pada batang pohon sambil duduk di atas sebatang cabang yang besar.

Ia lelah sekali, juga hatinya jengkel karena tidak juga bertemu dengan orang yang dicarinya, pula merasa marah melihat lagak imam-imam Tibet yang selalu mengganggu itu. Maka tak lama kemudian ia tertidur di atas cabang pohon itu. Ia tak perlu khawatir kalau-kalau tergelincir dan jatuh, karena kebiasaan berlatih samadhi membuat tubuhnya anteng dan jarang bergerak dalam tidur, pula ia andalkan kepandaiannya hingga andaikata ia tergelincir juga, ia akan dapat loncat ke atas tanah dengan selamat. Tiong Li juga bersandar pada batang pohon dan duduk di satu cabang tak jauh dari situ.

Tiba-tiba Hong Cu terkejut. Tubuhnya yang terlatih baik itu sangat perasa hingga biarpun sedang tidur pulas, jika tersentuh sedikit saja ia tentu merasa dan segera terjaga dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya tersentuh dan kagetlah ia lalu membuka matanya.

Tapi ternyata bahwa yang membuatnya kaget itu adalah Tiong Li. Pemuda itu gunakan baju luarnya yang lebar untuk menyelimuti tubuh Hong Cu dengan perlahan sekali, takut kalau-kalau gadis itu terbangun.

Ia tadi melihat betapa Hong Cu tampak kedinginan dan menarik- narik kakinya, maka hatinya yang mencinta membuat ia tidak tega sekali. Ia tanggalkan baju luarnya yang lebar dan gunakan jubah itu untuk menyelimuti Hong Cu.

Melihat betapa pemuda itu menyelimutinya dengan hati-hati sekali, Hong Cu tidak tega untuk menegurnya. Maka iapun meramkan matanya lagi dan mengintai dari balik bulu mata! Ia melihat betapa pemuda itu memandangnya dan menatap wajahnya lama sekali sambil tersenyum.

“Alangkah cantiknya Hong Cu.......” Tiong Li mengeluh di dalam hatinya karena teringat bahwa gadis yang dicintanya ini tidak mengimbangi perasaan hatinya. Ia lalu mundur dan duduk lagi di tempatnya yang tadi.

“Alangkah baik dan sopannya Tiong Li……” Hong Cu melamun, tapi ia lalu tak dapat menahan kantuknya dan pulas lagi.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya, ketika burung-burung yang gaduh dan nakal membuat bising dan membangunkan kedua anak muda itu, Tiong Li dan Hong Cu saling pandang ketika mereka berdua mengulet dan mengulur-ulur pinggang karena kaku tidur di tempat dingin dan keras itu.

Tiba-tiba Tiong Li memberi tanda kepada Hong Cu. Terdengar suara orang bercakap-cakap. Suara itu makin dekat, tapi Tiong Li dan Hong Cu telah pindah ke dalam pohon yang lebat daunnya hingga tak tampak.

Dari atas pohon mereka mengintai ke bawah. Ternyata yang, lewat itu adalah serombongan pengawal dan imam yang kemarin, tetapi kini di depan sekali berjalan dua orang pendeta Lhama jubah merah!

Hong Cu dan Tiong Li terkejut karena pendeta Lhama jubah merah ini bukanlah yang dulu mengeroyok mereka di atas gedung Pangeran Yo. Kalau demikian banyaknya pendeta-pendeta jubah merah, maka sungguh kuatlah kedudukan rombongan itu, pikir Tiong Li

Tiba-tiba Hong Cu menunjuk dan ketika Tiong Li menengok, ternyata yang ditunjuk oleh Hong Cu itu adalah seorang gadis yang berada di tengah-tengah rombongan itu. Gadis itu terang bukan anggauta rombongan karena ia duduk di atas kuda dengan kedua tangan diikat!

Seorang pengawal yang berkuda di dekatnya berkali-kali berkata.

“Nona, lebih baik kau berterus terang saja dan menjadi pembantu kami. Katakan saja bagaimana keadaan mereka di kuil itu? Berapa kekuatan mereka? Dan setan perempuan itu mempunyai berapa orang kawan yang lihai?”

Gadis yang cantik itu tertawa. “Sudah berkali-kali kukatakan. Semua tenaga orang-orang gagah berada di sana dan kalian ini tikus-tikus kecil tentu akan mencari mampus jika sampai di Kwan- im-bio!”

Pengawal itu menjadi marah dan berkata, “Bukankah kau ini saudara dari setan perempuan yang menjadi ketua agama di Kwan-im-bio?”

Gadis itu diam saja tak menjawab, karena sesungguhnya ia sendiri tidak tahu siapakah yang dimaksudkan dengan setan perempuan itu. Apakah kawan Siauw Ma yang dicari-cari oleh pemuda itu, demikian pikirnya.

Memang, gadis ini, bukan lain ialah, Cun Ceng. Ia nekat dan mengejar Siauw Ma, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Karena ilmu lari cepatnya tidak setinggi Siauw Ma, ia tertinggal jauh dan bertemu dengan rombongan pendeta Lhama dan para pengawal Pangeran Yo itu. Ia dicurigai, terutama karena wajahnya yang mirip Lian Eng itu, lalu ia ditangkap setelah melawan dengan nekat. Tetapi apa daya Cun Ceng menghadapi sekian banyak pengawal dan pendeta Lhama yang berilmu tinggi? Karena ia tak dapat memberi keterangan apa-apa, ia ditawan dan dibawa oleh rombongan itu.

Tiong Li dan Hong Cu yang berada di atas pohon ketika melihat gadis itu pun menjadi terkejut. Bahkan tadinya mereka mengira bahwa gadis itu Lian Eng adanya!

Setelah mendengar tanya jawab itu, mereka maklum bahwa gadis ini kebetulan saja tertangkap karena dicurigai. Tetapi mengapa gadis itu membohong dan seakan-akan membela Kwan-im-bio dengan memaki-maki rombongan itu? Sungguh aneh.

“Tiong Li, hayo kita sikat mereka dan tolong dia!”

Tiong Li mengangguk menyatakan setuju. Setelah rombongan itu tepat berada di bawah mereka, kedua anak muda itu meloncat turun dan tepat berada di dekat gadis yang tertawan. Beberapa kali tubuh mereka berdua berkelebat dan terdengar teriak- teriakan ngeri karena beberapa orang yang diserang secara mendadak itu telah roboh tertotok! Hong Cu lalu gunakan jarinya putuskan belenggu gadis itu yang segera loncat turun dan bersiap-siap.

“Tangkap pemberontak!” seorang pengawal berteriak dan kedua anak muda itu dikeroyok! Cun Ceng segera cabut pedang yang tergantung di tubuh seorang pengawal yang rebah tertotok dan ia gunakan pedang itu untuk membantu kedua penolongnya yang luar biasa!

Para pengawal yang kemarin telah merasai kehebatan sepak terjang kedua anak muda itu, segera mundur dengan jerih dan kini dua orang pendeta Lhama jubah merah itulah yang maju menandingi Tiong Li dan Hong Cu. Melihat bahwa ilmu silat gadis yang mereka tolong itu biarpun cukup baik tetapi sama sekali bukan tandingan Lhama jubah merah itu, Hong Cu, berkata,

“Cici, kaurampas tiga ekor kuda, biar kami layani setan-setan jubah merah ini!”

Cun Ceng segera gunakan pedangnya menyerang seorang pengawal yang menjaga kuda dan karena pengawal itu sudah jerih melihat Tiong Li dan Hong Cu, ia tak mau melayani Cun Ceng lebih jauh, maka gadis itu mudah saja pilih tiga ekor kuda yang besar dan baik.

“Sudah dapat!” katanya keras dan Tiong Li serta Hong Cu yang mendengar ini lalu perhebat serangannya hingga Lhama jubah merah itu terpaksa mundur.

Dengan ilmu tongkatnya yang luar biasa, Hong Cu gunakan kesempatan pada saat lawannya ragu-ragu dan mundur itu, untuk menyerang. Kini ia gunakan tangan kiri memukul dengan totokan maut ke arah leher lawannya dan ketika lawan itu membuka tangan hendak menangkap tangan kirinya, tiba-tiba Hong Cu merendahkan tubuh ke bawah dan kerjakan tongkat di tangan kanannya menghantam kaki orang!

Lhama itu cepat loncat berkelit, tapi ujung kakinya masih terpukul oleh tongkat hingga terasa sakit sekali! Sepatunya telah hancur dan jari kakinya terluka! Ia memaki-maki marah, tapi Hong Cu dan Tiong Li sudah lari dan cemplak dua kuda yang sudah disediakan oleh Cun Ceng, sedangkan Cun Ceng sendiri sudah duduk di atas seekor kuda lain!

Ketika para pengawal itu hendak mengejar, Cun Ceng yang tadi diam-diam ambil kantung piauw seorang pengawal yang terluka, segera menghujani mereka dengan piauw! Pengawal-pengawal itu hendak mengejar, tapi kuda-kuda mereka tadi sengaja dipukul cerai-berai oleh Cun Ceng yang cerdik.

Di antara mereka, yang memiliki ilmu lari cepat melebihi kuda cepatnya hanyalah dua orang Lhama jubah merah dan beberapa pengawal.

Tapi seorang Lhama telah terluka kakinya, maka mereka tidak mengejar terus, hanya membalas sambitan Cun Ceng itu dengan pelor dan piauw. Akan tetapi, kuda ketiga orang muda itu telah membalap cepat sekali. Karena memang tugas mereka hanya menghalang-halangi dan mengganggu perjalanan kedua anak- anak muda itu saja, maka para pengawal tidak mengejar lebih jauh, hanya merawat mereka yang terluka.

Setelah berada di tempat aman, Cun Ceng menghaturkan terima kasihnya kepada Tiong Li dan Hong Cu. Gadis ini merasa kagum sekali melihat kehebatan kedua orang ini yang mengingatkan ia akan Siauw Ma.

Ketika ia mendengar bahwa Siauw Ma adalah kawan mereka, ia menjadi girang sekali dan ia segera menuturkan pengalamannya hingga bertemu dan ditolong oleh Siauw Ma. Ia diberitahukan bahwa Siauw Ma juga menyusul ke Kwan-im-bio, hingga Tiong Li dan Hong Cu saling pandang penuh pengertian!

“Baiknya ada Siauw Ma di sana, hingga keadaan cici Lian Eng dan Kwan-im-bio tak berapa berbahaya,” kata Hong Cu.

“Kurasakan demikian, apa lagi sebagian dari mereka masih berada di sini,” kata Tiong Li.

“Ji-wi janganlah anggap demikian,” Cun Ceng membantah, “Menurut pendengaranku ketika aku tertawan tadi, mereka ini adalah rombongan yang diwajibkan untuk menghalang-halangi perjalanan kalian hingga terlambat sampai di sana.

“Dan menurut kata mereka, kali ini barisan penyerbu terdiri dari puluhan bahkan meliputi ratusan orang imam-imam Lhama dari Tibet yang terkena hasutan para Lhama jubah merah itu! Kurasa, betapapun juga, kedudukan Kwan-im-bio tetap berbahaya sekali.”

Mendengar ini, Tiong Li dan Hong Cu merasa khawatir sekali telah terkena tipu hingga perjalanan mereka tertunda. Kalau mereka tahu, tidak nanti mereka sudi melayani segala pengawal dan imam busuk itu. Maka segera mereka bedal kuda dan membalap menuju ke Kwan-im-bio. “Celaka, jangan-jangan kita terlambat!” kata Hong Cu. “Mudah-mudahan tidak!” kata Tiong Li.

Tapi memang mereka telah terlambat!!

<>

Ketika Siauw Ma merebahkan diri di atas sebuah bangku panjang di ruang luar di Kuil Kwan-im-bio itu dan Lian Eng menangis tersedu di depan patung Dewi Kwan-im, tiba-tiba dari bawah bukit terdengar suara sorak-sorai yang riuh gemuruh.

Pendeta Kwan-im-kauw yang menjaga di tempat paling bawah, terkejut sekali ketika melihat betapa puluhan orang merayap bagaikan semut menaiki bukit itu dari segala jurusan! Segera ia berteriak-teriak memberi kabar kepada penjaga di atas dan semua imam lalu terburu-buru ambil senjata masing-masing.

Siauw Ma yang telah hampir pulas karena pikirannya ruwet sekali, kaget mendengar suara ribut-ribut itu dan ia melihat kesibukan para pendeta itu dengan heran. Kemudian ia melihat Lian Eng keluar dari dalam bio dengan wajah keren sekali. Maka tahulah ia bahwa serbuan yang dikhawatirkan itu telah terjadi! Ia lalu cabut pedangnya dan mengikuti Lian Eng.

“Lian Eng, jangan takut, ada aku di sini!”

Tapi Lian Eng tak menjawab, hanya ia lalu atur imam dan nikouw untuk menjaga sekeliling bio itu. Gadis yang telah banyak siasatnya itu telah memberi perintah untuk mempersiapkan barisan anak panah dan ketika para pengerbu sudah mendaki agak dekat, ia lalu memberi komando.

Ratusan anak panah melayang turun dan di bawah terdengar jeritan-jeritan ngeri! Imam-imam Tibet itu terpukul mundur, tapi karena di situpun terdapat pengawal-pengawal dari kota raja yang telah mempunyai banyak pengalaman perang, segera mereka naik pula dan kini dipasang tameng-tameng untuk menangkis semua anak panah itu!

Maka tak lama kemudian terjadilah pertempuran yang hebat di antara rombongan pendeta-pendeta Tibet dan pendeta-pendeta Kwan-im-kauw di atas gunung itu! Puluhan orang dari masing- masing pihak yang bertempur ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan ramainya pertempuran itu!

Siauw Ma selalu mengikuti Lian Eng dan pemuda ini tiap kali gerakkan pedang, tentu ada seorang musuh menggelinding mandi darah, sedangkan Lian Eng membagi-bagi pukulan mautnya ke kanan kiri! Tiba-tiba dari pihak penyerang muncul tiga orang pendeta jubah merah yang bukan lain ialah Ang Liong Taisu, Ui Liong Taisu, dan Hek Liong Taisu!

Dengan bentakan-bentakan hebat ketiga orang ini maju menyerbu dan kini Siauw Ma berdua Lian Eng mendapat lawan- lawan yang tangguh! Ui Liong Taisu gerakkan sepasang sumpit kuningannya yang lihai menyerang Siauw Ma, dibantu oleh Hek Liong Taisu yang hanya menggunakan kepalan tangannya yang luar biasa. Sedangkan Ang Liong Taisu dengan hud-timnya yang panjang dan pendek itu melayani Lian Eng.

Memang, dalam hal ilmu silat, boleh dibilang Ang Liong Taisu paling tinggi dan paling berbahaya, maka ialah yang menyerang ketua Kwan-im-kauw yang dianggapnya tentu paling berbahaya ini.

Ketika kebutannya yang panjang menyambar hendak melilit tangan Lian Eng sedangkan kebutan yang pendek meluncur menotok jalan darah, Lian Eng berseru keras dan kedua tangannya bergerak mengeluarkan hawa pukulan sambil membarengi berkelit. Tubuhnya berkelebat dan Ang Liong Taisu merasa betapa ada angin pukulan luar biasa dan panas menyambarnya.

Ia terkejut sekali dan tidak berani menerima angin pukulan itu, tetapi buru-buru ia berkelit. Ketika angin pukulan kedua menyambar, ia kebut itu dengan hud-timnya, tetapi ia berseru terkejut karena hud-timnya itu hampir saja dilepaskan dari tangannya dan bulu hud-tim banyak yang terlepas!

Kini tahulah ia bahwa benar-benar kauw-cu dari Kwan-im-bio ini adalah murid Si Dewi Api yang telah terkenal sekali namanya, maka diam-diam ia keder dan hanya melayani Lian Eng dari tempat jauh.

Sementara itu, dengan po-kiamnya yang dimainkan secara luar biasa, Siauw Ma dapat mendesak kedua lawannya. Melihat betapa lawan Ang Liong Taisu bertangan kosong dan agaknya suhengnya itu terdesak, Hek Liong Taisu segera loncat menggantikan suhengnya dan minta suheng itu ikut mengeroyok Siauw Ma yang lihai.

Tetapi ternyata Hek Liong Taisu salah tafsir. Ia pandang rendah kepada Lian Eng yang bertangan kosong, karena kalau sama- sama bertangan kosong, ia boleh andalkan kedua tangannya yang luar biasa itu. Dengan berseru keras dan sombong ia maju menubruk dan gerakkan kedua tangannya.

Lian Eng tersenyum dan juga gerakkan kedua tangannya memapaki sepasang lengan lawan. Melihat ini, Ang Liong Taisu berseru memperingatkan sutenya, tetapi terlambat. Kedua tangan sutenya itu telah bertemu dengan kedua lengan Lian Eng yang berkulit halus.

“Duuk!” dan terdengar jerit ngeri sekali keluar dari mulut Hek Liong Taisu, karena tidak saja ia menjadi korban hawa pukulan Huo-mo- kang yang panas luar biasa, juga tenaga lwee-kangnya sendiri terpukul balik dan menghantam dirinya sendiri! Ia lalu roboh dan bergulingan di atas tanah karena merasa tubuhnya sakit seluruhnya!

Karena terkejut melihat nasib sutenya, Ang Liong Taisu agak lambat gerakannya dan kesempatan ini digunakan oleh Siauw Ma untuk mengirim tusukan yang dapat ditangkis dengan kebutan tetapi masih berhasil menusuk pundaknya. Ia terguling roboh karena yang tertusuk adalah urat di pundak hingga sakit sekali! Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan para imam Kwan-im- kauw. “Kebakaran! Kebakaran!!”

Lian Eng cepat berpaling dan terkejutlah ia karena benar saja, kelenteng itu telah terbakar di beberapa bagian! Ternyata bahwa kaum penyerbu telah berhasil membobolkan pertahanan belakang dan melepas api. Ia menjadi marah sekali dan cepat lari menuju ke kelenteng.

Siauw Ma sementara itu setelah berhasil robohkan Ang Liong Taisu, lalu tinggalkan Ui Liong Taisu yang agaknya menjadi jerih dan menjauhinya, lalu pemuda itu mengejar Lian Eng.

Tanpa perdulikan api yang bernyala-nyala, Lian Eng terus memasuki bio itu. Ketika melihat bahwa Siauw Ma telah lari pula di sampingnya, ia hanya berkata,

“Kita harus pertahankan patung Dewi Kwan-im!!”

Siauw Ma hanya mengangguk saja dan mereka lalu lari menuju ke kamar patung dalam empang itu. Tetapi alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa patung itu telah lenyap dan di situ berdiri seorang pendeta Lhama jubah putih yang telah tua dan bersenjata sebatang cambuk panjang.

“Bangsat, kembalikan patungku!” teriak Lian Eng, tetapi Lhama itu terkekeh dan berkata,

“Kauw-cu dari Kwan-im-kauw, aku memang menantimu di sini untuk menamatkan riwayatmu. Patung telah kuambil!” Lian Eng menjerit keras dan menubruk dengan kirim pukulan Huo- mo-kang yang paling berbahaya, tetapi tiba-tiba pecut atau cambuk kakek itu menyambar dan ujungnya meluncur dengan cepat menotok jalan darah yang paling berbahaya hingga Lian Eng terkejut sekali lalu terpaksa loncat mundur urungkan serangannya.

Kakek itu terkekeh lagi lalu cambuknya berbunyi bagaikan ledakan-ledakan kecil lalu cepat menyerang jalan darah yang akan membinasakan gadis itu jika terkena. Siauw Ma marah sekali, lalu ia menyerang dengan pedangnya.

Kakek itu sebenarnya adalah seorang pendeta Lhama yang tingkatnya tinggi sekali di Tibet, karena ia adalah susiok atau paman guru dari Ui Liong Taisu bertiga! Maka tak heran bahwa kepandaiannya pun tinggi sekali.

Tetapi kini kakek itu heran dan kaget ketika beberapa kali diserang, belum juga gadis itu terkena totokan cambuknya, bahkan kini datang seorang pemuda mengeroyok yang mempunyai ilmu pedang luar biasa pula! Ia merasa penasaran. Masakan ia yang menduduki tingkat kedua di Tibet tak dapat menjatuhkan dua anak muda yang masih ingusan ini?

Ia perhebat serangannya tetapi benar-benar pedang Siauw Ma dapat melindungi diri dengan baik sedangkan sambaran angin pukulan Huo-mo-kang dapat meniup pergi ujung cambuk! Sementara itu, api yang membakar kuil makin membesar dan telah mulai menjalar sampai di ruangan itu! Kakek itu gugup juga karena kalau ia tidak lekas-lekas bisa menjatuhkan dua lawan ini ia akan terancam api! Sedangkan api yang sedang berpesta-pora itu makin bernyala tinggi dan tiang- tiang di atas mulai bernyala mengeluarkan suara berkerotokan!

Tiba-tiba cambuk kakek itu menyambar demikian cepatnya hingga tak dapat dicegah lagi ujung cambuk berhasil menotok dada kanan Lian Eng! Gadis itu menjerit dan dari mulutnya muncrat darah merah membasahi jubah pertapaannya yang berwarna putih. Tapi gadis itu tidak roboh dan balas menyerang.

Kakek itu terbelalak heran karena kalau lain orang yang terserang seperti itu, tentu telah roboh binasa! Sementara itu, Siauw Ma yang melihat betapa kekasihnya terluka, segera putar pedangnya makin hebat lagi.

Akan tetapi, kakek itu perkeras tekanannya kepada Lian Eng yang dianggapnya ketua Agama Kwan-im-kauw hingga ia bisa desak gadis itu mundur mendekati api yang bernyala-nyala karena meja dan dinding kayu telah terbakar. Kakek tua yang lihai itu tersenyum girang ketika melihat tiba-tiba api menjilat pakaian Lian Eng yang putih dan sebentar saja tubuh Lian Eng telah diselubungi api yang menyala hebat karena pakaian itu telah dimakan api!

Tapi, tiba-tiba kakek itu terbelalak matanya dan mulutnya tercengang! Ia pandang gadis di depannya dengan heran dan takut bagaikan memandang setan. Ternyata gadis yang dimakan api itu tidak roboh, bahkan tampak makin cantik! Ketika pakaian putih itu habis dimakan api dan api menjadi padam, ternyata Lian Eng masih berdiri dengan agung dan cantiknya, kini hanya memakai pakaian dalam istimewa pemberian gurunya, yakni pakaian yang tahan api. Bagi Lian Eng, api yang membakar pakaian yang sedang dipakainya tadi, hampir sama dengan air yang dipakai mandi!

Tentu saja kakek itu kaget sekali dan pada saat itu, pedang Siauw Ma dan pukulan Huo-mo-kang yang hebat telah membuat kakek ini terpental dan roboh binasa pada saat itu juga!

Tapi pada saat itu, Lian Eng juga roboh karena ia telah mendapat luka hebat, sedangkan baru saja ia gunakan tenaga terakhir untuk memberi pukulan maut.

Siauw Ma segera menubruk gadis itu dan memangkunya. Kemudian ia pondong tubuh Lian Eng dan hendak keluar, tapi tidak ada jalan keluar lagi. Di sekelilingnya api telah bernyala- nyala besar.

“Lian Eng Lian Eng……” Siauw Ma mengeluh sambil memeluk

tubuh gadis yang panas itu.

Lian Eng buka matanya. “Siauw Ma….. kau…… kau baik sekali…… kau pantas menjadi suamiku ”

Gadis itu tiba-tiba teringat bahwa keadaan Siauw Ma berbahaya sekali.

“Siauw Ma….. kau….. kau keluarlah….. tinggalkan aku ” “Tidak, tidak! Biar aku mati bersama……”

“Jangan, Siauw Ma…… aku terluka parah…… ajalku sudah dekat, tapi…… kau jangan…… mati…….”

Siauw Ma peluk lagi tubuh kekasihnya itu.

“Lian Eng, kalau waktu hidup aku tak dapat berdampingan denganmu, biarlah kau izinkan aku mati bersamamu…….”

Lian Eng tak tahan lagi terharunya dan air mata membasahi pipinya. Ia angkat kedua lengannya dan merangkul leher pemuda yang berbudi dan yang mencinta sepenuh jiwa dan hatinya kepadanya itu. Ia menyesal mengapa tidak dulu-dulu insyaf akan ini.

Pada saat itu sebuah balok yang telah terbakar roboh dan menimpa lantai di dekat Siauw Ma. Pakaian pemuda itu terjilat api dan sebentar saja tubuh pemuda itu terbakar. Lian Eng cepat gunakan kedua tangannya padamkan api itu tapi ketika api padam Siauw Ma telah roboh, pingsan.

Dan dari atas, jatuhlah api berhamburan. Lian Eng lalu tubruk Siauw Ma dan lindungi pemuda itu dengan tubuhnya sendiri yang takkan termakan api! Kemudian iapun pingsan karena lukanya dan ia pingsan dengan tubuh masih merangkul dan menutupi tubuh pemuda itu!

<> Sementara itu, para imam Kwan-im-kauw terdesak hebat oleh imam-imam Tibet yang dibantu oleh pahlawan-pahlawan kaisar itu. Keadaan mereka berbahaya sekali, karena mereka melawan dengan hati sedih melihat betapa kuil mereka terbakar habis.

Tiba-tiba, terjadilah kekalutan di pihak penyerbu. Ternyata tiga orang-orang muda dengan gagahnya mengamuk mereka dari belakang!

Mereka ini adalah Tiong Li, Hong Cu, dan Cun Ceng! Terutama Hong Cu, ia merasa marah sekali dan gunakan tongkatnya memukul ke sana ke mari, hingga tubuh penyerbu itu jatuh bergelimpangan di bawah kaki Tiong Li dan Hong Cu!

Dengan datangnya Tiong Li dan Hong Cu, maka semangat para imam Kwan-im-kauw bangun kembali dan mereka melawan dengan nekat!

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan kaum penyerbu itu bergelimpangan roboh bagaikan rumput dibabat dan sebagian besar pula lari turun gunung sampai berguling-gulingan dan masuk ke dalam jurang! Apakah yang terjadi?

Ternyata empat orang tua yang luar biasa telah naik ke gunung itu dan mengakhiri pertempuran itu. Bahkan patung Dewi Kwan- im yang terampas telah pula berada pada mereka dan imam- imam jubah merah telah tewas dalam tangan mereka! Mereka ini adalah Huo Mo-li, Beng Beng Hoatsu, Hwat Kong Tosu, dan Kiang Cu Liong, Tiga Dewa Dari Thang-la dan Si Tabib Dewa sendiri yang naik menyusul murid-murid mereka!

Tiong Li dan Hong Cu segera berlutut di depan mereka.

“Di mana Lian Eng? tanya Huo Mo-li cepat, disusul oleh Beng Beng Hoatsu yang menanyakan muridnya pula.

Ke dua anak muda itu tak dapat menjawab. Empat orang tua itu lalu gunakan kepandaian mereka dan dibantu oleh para imam untuk padamkan api yang membakar kuil itu.

Mereka lalu berlari masuk dan pandangan di dalam ruang kamar patung membuat mereka semua lari memburu ke dalam dan terdengar Hong Cu dan Cun Ceng menjerit ngeri! Ternyata bahwa Lian Eng dalam pakaiannya yang tahan api masih merangkul dan melindungi tubuh Siauw Ma dari serangan api!

Ketika dengan hati hancur Hong Cu peluk dan angkat tubuh Lian Eng yang masih memeluk Siauw Ma, semua orang terkejut karena pemuda itu telah mati! Melihat ini, sekali menjerit Hong Cu jatuh pingsan, juga Tiong Li menangisi jenazah sahabatnya itu. Tetapi Huo Mo-li lalu merawat Lian Eng yang ternyata belum mati.

Akan tetapi, setelah Kiang Cu Liong memeriksa luka dalam diri gadis itu, tabib Dewa itu hanya geleng-geleng kepala saja. Ia memberi obat untuk menyadarkan gadis itu dan Lian Eng mengalirkan air mata ketika ia melihat wajah orang-orang itu. Hong Cu juga telah sadar dan menciumi muka Lian Eng sambil mengeluh.

“Hong Cu….. kau…… terimalah pinangan….. Tiong Li Siauw

Ma adalah….. adalah..... milikku….. ia suamiku jangan…

jangan kaurampas dia ”

Setelah berkata demikian, maka gadis ini menghembuskan napas penghabisan. Hong Cu menubruknya dan sekali lagi gadis ini jatuh pingsan!

Kalau Tiong Li dan Hong Cu juga Cun Ceng, menangisi kedua anak muda yang mati itu dengan sedihnya, adalah keempat guru besar itu diam saja. Lebih pendiam lagi adalah Beng Beng Hoatsu dan Huo Mo-li, kedua guru dari Lian Eng dan Siauw Ma.

Tetapi setelah jenazah kedua orang itu dikebumikan di pekarangan belakang kuil itu, Huo Mo-li dan Beng Beng Hoatsu tahu-tahu telah lenyap. Dan beberapa hari kemudian, orang ramai membicarakan pembunuhan ajaib yang terjadi di kota raja.

Pangeran Yo telah terbunuh mati dengan kepala hancur tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Demikianpun seorang pendeta Lhama di Tibet yang merencanakan semua penyerbuan itu dan yang bersengkongkol dengan Pangeran Yo. Iapun terdapat mati dengan kepala hancur, padahal ia memiliki kepandaian tinggi yang menempati kedudukan tinggi kedua di seluruh Tibet! Demikianlah pembalasan guru-guru Siauw Ma dan Lian Eng. Beberapa bulan kemudian, Kuil Kwan-im-bio yang telah dibangun kembali itu, tampak bersih dan bagus. Kauw-cunya seorang gadis yang serupa benar dengan kauw-cu yang telah binasa dalam membela kuil itu.

Kauw-cu ini adalah Cun Ceng! Ia menerima tugas ini setelah diterima sebagai murid oleh Huo Mo-li! Beberapa bulan sekali, Huo Mo-li datang dan memberi pelajaran pada gadis ini. Dengan rajin dan penuh rasa kasih, Cun Ceng merawat kuburan Siauw Ma dan Lian Eng.

Pada suatu hari, di kuil itu datanglah sepasang orang muda yang bukan lain ialah Tiong Li dan Hong Cu. Baru sebulan mereka kawin dan mereka hendak berkunjung ke kuil itu, terutama hendak menengok kuburan Siauw Ma dan Lian Eng, kawan-kawan mereka yang tercinta!

Ketika kedua orang muda yang bahagia itu pasang hio di depan makam, angin meniup datang membuat kembang-kembang yang sedang mekar di atas pohon rontok berhamburan dan menaburi kedua makam itu dan kepala sepasang suami isteri muda itu, seakan akan berkah dari atas yang dicurahkan kepada dua pasang orang muda itu, baik yang berdiri sambil bersembahyang, maupun yang telah membujur diam di dalam tanah!

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar