Patung Dewi Kwan Im Jilid 12

Jilid 12

Dari pembantunya ia hanya tahu bahwa Hong Cu telah pulang ke rumah orang tuanya dan kini sedang mencari-cari orang tua itu. Ia hendak menjumpai Hong Cu lebih dulu sebelum mencari Lian Eng.

Ia merasa betapa keempat orang muda itu merupakan lawan- lawan berat, maka ia harus cerdik. Ia melihat gejala yang dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka, yakni gejala cinta segi tiga antara Tiong Li, Lian Eng dan Hong Cu.

Ia tahu pula bahwa Siauw Ma mencinta Lian Eng, maka ketika ia mendengar dari pembantu-pembantunya, bahwa Siauw Ma berada di sebuah kota yang tak jauh dari situ, cepat ia mengejar Siauw Ma.

<>

Siauw Ma yang mengembara seorang diri dan merasa kesunyian karena ditinggal oleh Lian Eng yang dicintanya, selalu menjaga agar ia tidak pergi terlalu jauh dari Pegunungan Thang-la dan di mana ia berada, ia selalu menggunakan kepandaiannya menolong sesama manusia yang berada dalam kesukaran.

Tidak jarang Siauw Ma tundukkan perampok-perampok yang tanpa pilih bulu mengganggu rakyat, sedangkan sering pula ia mendatangi gedung pembesar-pembesar kejam dan hartawan- hartawan pengisap rakyat untuk diberi peringatan keras dan diambil sebagian hartanya untuk kemudian dibagikan secara sembunyi kepada orang-orang miskin.

Pada waktu itu musim kering tiba hingga sawah ladang tidak banyak mendatangkan hasil dan banyak pula sawah yang kering dan rusak tanamannya. Keadaan yang buruk ini menimbulkan banyak keburukan. Maling dan rampok muncul di mana-mana dan banyak orang mati terlantar.

Keadaan seperti inilah yang membuat orang-orang berjiwa pendekar seperti Siauw Ma merasa sedih dan sibuk sekali berusaha mengurangi bencana yang menimpa rakyat miskin dengan jalan memberi mereka bantuan uang. Tentu saja uang ini ia ambil dari para hartawan yang menyimpan uang sampai bulukan di peti uang mereka dan menyimpan gandum serta padi demikian banyaknya hingga berlebih-iebihan dan membusuk dalam gudang mereka.

Pada suatu hari Siauw Ma dalam sebuah kota bernama Hang- chun. Malam harinya, seperti biasa Siauw Ma naik ke atas genteng pergi menyelidiki keadaan. Ketika ia tiba di atas sebuah gedung besar, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil namanya.

Ia heran dan berhenti, lalu menengok. Ternyata Siauw Liong telah berdiri di belakangnya sambil tersenyum.

“Siauw Ma, bagus betul perbuatanmu, ya? Kau sekarang telah menjadi maling kecil? Ha, ha, ha!” “Siauw Liong, manusia rendah! Kebetulan sekali kau datang karena kau mengingatkan aku akan lenyapnya patung dari Kwan- im-kauw. Bukankah kau orangnya yang menjadi pencurinya?”

Memang sering kali Siauw Ma memikirkan hal patung yang lenyap itu dan timbul dugaan dalam hatinya bahwa yang mencurinya tentu Siauw Liong.

Karena berada dalam tempat gelap, Siauw Ma tak dapat melihat betapa wajah Siauw Liong memucat mendengar tuduhan ini. Tapi Siauw Liong dapat perdengarkan suara sedemikian rupa sehingga seperti sungguh-sungguh.

“Bagus sekali kausebut hal itu, Siauw Ma. Ketahuilah olehmu, aku sendiri sedang mencari tahu hal lenyapnya patung itu! Tapi aku tidak serendah kau untuk menuduhmu seperti yang kau lakukan padaku. Ketahuilah, kalau aku tidak salah duga, yang mencuri patung itu adalah Tiong Li, murid si Tabib Dewa sakti itu.”

“Kau menuduh yang bukan-bukan! Mana Tiong Li mau melakukan hal serendah itu, membunuh dua orang ketua Kwan-im-kauw? Sudahlah kau jangan menggangguku, atau kau hendak lanjutkan pertempuran kita yang dulu?” tantangnya.

“Eh, eh, jangan begitu galak, kawan. Aku seorang kawan baik, kau selalu menganggap sebagai musuh. Sebaliknya orang yang kau anggap kawanmu paling baik, si Tiong Li itu, ia tak lain hanya seorang laki-laki yang suka wanita. Tahukah kau, betapa nona Lian Eng telah dihina oleh Tiong Li?” Terkejutlah Siauw Ma mendengar nama Lian Eng disebut-sebut.

“Apa katamu? Jangan kau jual obrolan kosong di depanku!” bentaknya marah.

“Siapa yang mengobrol? Kau tidak percaya sudahlah.” Dan Siauw Liong membuat gerakan hendak pergi.

“Nanti dulu!” Siauw Ma berseru dan, ia tidak melihat betapa Siauw Liong yang cerdik itu tersenyum.

“Ada apa lagi? Bukankah kau tidak percaya padaku?” katanya.

“Siauw Liong, jangan kau main-main dengan aku! Katakan, apa maksudmu tadi ketika kaubilang bahwa Lian Eng telab dihina oleh Tiong Li?”

“Dengarlah, aku tidak perduli kau mau percaya atau tidak. Beberapa hari yang lalu, secara kebetulan saja aku dapat melihat Lian Eng sedang duduk menangis di sebuah hutan seorang diri. Aku tanyakan dia mengapa dia menangis, dan secara tak sadar, ia menjawab bahwa Tiong Li dan Hong Cu menghinanya.

“Ia tidak mau ceritakan sebab-sebabnya dan terus saja menangis. Aku tidak tahu sebabnya tapi kemudian aku dapat bertemu dengan Tiong Li dan Hong Cu.

“Ternyata pemuda murid tabib itu kini berubah menjadi seorang rendah dan tak tahu malu. Agaknya ia dan Hong Cu ada hubungan kotor karena di mana saja mereka selalu berada bersama dan sikap Tiong Li terhadap Hong Cu kelihatan mesra sekali. Nah, sesukamulah mau percaya atau tidak, itu bukan urusanmku.”

“Kau bohong! Apa buktinya bahwa kata-katamu ini benar?”

“Ha, memang kau bodoh, maka mana kau mau percaya omongan orang? Kau mau bukti? Baik, ketahuilah aku belum lama ini bertemu dengan Hong Cu dan Tiong Li. Mereka berada di kota Lam-hin dan sedang menuju ke jurusan timur.

“Kalau kau dari sini menuju ke Lam-hin, maka kau akan bertemu dengan mereka. Tentu saja kalau bertemu dengan kau, Tiong Li takkan mau mengaku, tapi kaulihatlah saja hubungan antara Tiong Li dan Hong Cu.”

“Siauw Liong, seujung rambutpun aku tak dapat percaya bicaramu! Kau memang seorang pembohong besar dan kau jagalah, kalau telah bertemu dengan mereka dan mendapat kenyataan bahwa kau hanya mengobrol sesukamu, maka kau akan kucari dan kuberi hajaran karena kau telah menghina kawan-kawanku!”

“Orang tolol, terserah padamulah! Apa lagi akupun tidak jerih akan ancamanmu. Kaukira aku takutkah? Bodoh!” Kemudian Siauw Liong loncat menghilang dalam gelap.

Siauw Ma yang sudah dibakar hatinya oleh Siauw Liong tidak lanjutkan niatnya semula dan kembali ke kamar rumah penginapan. Ia merasa bingung. Benarkah cerita Siauw Liong? Tak mungkin, pasti ia membohong. Tapi mengapa ia harus membohong padanya? Apa perlunya?

Demikianlah, malam itu ia tak dapat tidur dan bergulingan gelisah di atas pembaringannya. Racun obrolan Siauw Liong terasa juga pengaruhnya.

Pada keesokan harinya, ia mencari tahu di mana jalan yang menuju ke jurusan Lam-hin. Setelah mendapat tahu, ia segera menuju ke Lam-hin!

Dan betul saja, setelah berjalan cepat lebih setengah hari lamanya, ia melihat sepasang pemuda-pemudi datang dari jurusan depan. Ia masih dapat mengenali Tiong Li karena pemuda itu memikul pikulan keranjang obat! Cepat sekali Siauw Ma loncat sembunyi di balik sebatang pohon besar.

Hong Cu dan Tiong Li lewat sambil bercakap-cakap. Wajah Tiong Li nampak gembira dan pandang matanya kepada gadis di sebelahnya itu memang nyata sekali menunjukkan rasa kasih yang besar.

Tapi sebaliknya wajah gadis yang cantik jelita itu nampak muram seakan-akan menyusahkan sesuatu. Keningnya berkerut hingga sepasang alis matanya yang panjang hitam kecil itu hampir bertemu satu sama lain.

Setelah kedua teruna remaja itu jalankan kuda mereka lewat, Siauw Ma segera loncat keluar dan memanggil.

“Saudara Tiong Li! Tunggulah sebentar!” Tiong Li tahan kudanya dan berpaling. “Siauw Ma!” ia berteriak girang.

Mendengar nama ini, Hong Cu juga tahan kudanya dan berpaling. Siauw Ma melihat betapa wajah gadis yang tadinya muram itu tiba-tiba menjadi terang berseri dan gadis itu segera loncat turun dari kuda dan menghampirinya.

“Saudara Siauw Ma!” Suara panggilan yang keluar dari mulut Hong Cu ini merdu sekali dan untuk sejenak gadis itu lupa akan kedukaannya dan berdiri memandang Siauw Ma dengan mata bercahaya.

“Kau juga di sini, nona Hong Cu!” Siauw Ma balas menegur dan tersenyum ramah.

Sementara itu, Tiong Li juga loncat turun dan pegang lengan Siauw Ma dengan girang. “Ah, benar-benar kau telah menjadi seorang yang gagah dan tegap,” katanya memuji sambil memandangi seluruh tubuh Siauw Ma yang tegap

Siauw Ma bernapas lega melihat bahwa sebagian dari obrolan Siauw Liong adalah bohong, karena dengan jelas ia dapat menyaksikan bahwa hubungan antara Tiong Li dan Hong Cu adalah cukup sopan dan bersih. Hal ini mudah saja dilihat dari sikap kedua pihak. Ia dapat menduga bahwa Tiong Li agaknya cinta sekali kepada gadis itu, tapi ia heran mengapa Hong Cu bersikap acuh tak acuh. Mereka saling menceritakan riwayat mereka secara ringkas dan segera melanjutkan perjalanan bertiga karena Siauw Ma katakan bahwa ia tidak mempunyai tujuan tertentu. Hari telah mulai gelap ketika mereka masuk dalam sebuah kota dan memesan dua kamar dalam sebuah rumah penginapan. Sebuah kamar untuk Siauw Ma dan Tiong Li, sebuah lagi untuk Hong Cu.

Saat itulah digunakan oleh Siauw Ma untuk bicara empat mata dengan Tiong Li. Ia pandang sahabatnya itu dengan tajam, lalu bertanya,

“Tiong Li, sahabatku. Kau seorang gagah dan jantan, maka aku harapkan jawaban-jawaban yang jujur dari mulutmu.”

Tiong Li memandang kawannya itu dengan heran, tapi ia cukup maklum bahwa Siauw Ma adalah seorang yang jujur dan suka bicara terus terang dalam segala hal. Maka ia tersenyum menjawab.

“Tentu saja, Siauw Ma. Terhadap seorang kawan baik seperti engkau, tentu aku tidak mau main-main. Jawaban apakah yang kaukehendaki dariku?”

“Pernahkah kau bertemu dengan Lian Eng?”

Terkesiap juga hati Tiong Li mendengar pertanyaan ini karena ia teringat akan gadis yang aneh itu dan tiap kali teringat kepada Lian Eng timbullah hati kasihan kepadanya karena iapun lambat- laun dapat menduga bahwa gadis itu sebetulnya “ada hati” kepadanya! Maka kini pertanyaan ini mengingatkan ia kembali akan peristiwa yang dialaminya dengan Lian Eng.

“Memang pernah aku bertemu dengan dia.”

Ia lalu menceritakan tentang pengalamannya ketika membeli kuda dari tuan tanah yang mendapat hajaran dari Lian Eng itu, kemudian karena ia tahu bahwa kawannya menghendaki penjelasan yang lengkap, ia menuturkan pula sikap Lian Eng ketika bertemu dengan Hong Cu dan betapa Lian Eng menjadi marah pergi!

“Tidak adakah sengketa antara engkau dan Lian Eng?” tanya Siauw Ma.

Tiong Li memandang heran. “Tidak, ketika ia marah kepada Hong Cu, aku hanya melarang ia menyerang Hong Cu. Agaknya ia menganggap aku berat sebelah dan ia menjadi marah lalu pergi. Aku menerangkan sejujurnya kepadanya bahwa aku mencinta Hong Cu dan karenanya aku terpaksa membelanya dan tidak memperkenankan Lian Eng mencelakakannya.”

“Apakah kau menghinanya?” Siauw Ma bertanya lagi.

Tiong Li bangkit dari kursinya dan memandang tajam, suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penasaran ketika ia berkata.

“Siauw Ma! Kauanggap aku orang macam apakah? Bagaimana kau bisa ajukan pertanyaan macam ini? Aku tak pernah menghina Lian Eng!” Siauw Ma pun berdiri dan pegang tangan Tiong Li. “Maaf, kawan. Aku telah dibujuk oleh Siauw Liong.

“O, penjahat rendah itu? Pantas saja sikapmu aneh.”

“Kalau begitu, biarlah kita berpisah. Aku hendak mencari Lian Eng.”

Tiba-tiba Tiong Li tersenyum gembira. Sambil tepuk pundak Siauw Ma yang bidang, ia berkata tertawa, “Aah, begitu besarkah cintamu kepada nona Lian Eng?”

Untuk pertanyaan ini Siauw Ma menjawab cepat. “Mungkin sama besarnya dengan cintamu terhadap Hong Cu!”

Kedua pemuda itu saling berpegang tangan dengan erat sebagai dua orang pemuda sahabat yang telah ketahui rahasia masing- masing. Kemudian Siauw Ma malam-malam itu juga tinggalkan Tiong Li yang tidak sanggup menahan kawannya itu.

Malam itu terang bulan dan Siauw Ma keluar lalu berlari cepat. Maksudnya hendak mengunjungi seorang sahabatnya yang menjadi kepala pendeta di sebuah kelenteng di luar kota dan bermalam di situ. Tapi ketika ia sedang berlari cepat, tiba-tiba bayangan seorang lain mendahuluinya dan berhenti di depannya. Bayangan itu berpotongan ramping dan terdengar ia tertawa merdu.

“Hong Cu, kaukah ini?” Siauw Ma menegur. Hong Cu tertawa. “Sungguh seorang kawan yang baik sekali kau ini. Lupakah kau sudah akan pergaulan kita dulu hingga sekarang begitu bertemu kau lalu pergi tanpa pamit?”

“Maaf, Hong Cu, aku terburu-buru Aku sudah minta Tiong Li sampaikan salamku padamu.”

“Mengapa dengan perantaraan dia? Eh, sebenarnya kau hendak ke manakah malam-malam begini?”

“Aku hendak pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong di luar kota. Pek In Tianglo menjadi hwesio kepala di situ dan aku hendak bermalam di sana.”

“Kalau begitu aku ikut!”

“Eh, bagaimanakah kau ini? Habis, Tiong Li bagaimanakah? Akan kautinggalkan begitu saja?”

“Mengapa tidak? Besok pagi kita bisa jemput dia dan pergi bertiga.”

Siauw Ma duduk di atas sebuah batu di pinggir jalan dan berkata. “Hong Cu, kau duduklah di sini.”

Gadis itu lalu menghampirinya dan duduk di hadapannya. Mereka saling pandang di bahwa sinar bulan purnama. Siauw Ma memandang dengan bingung dan heran sedangkan Hong Cu memandang dengan kagum dan mesra. “Hong Cu, sikapmu ini sungguh merupakan teka-teki bagiku. Kau…… kau hendak ikut aku pergi ke kelenteng itu, Mengapa?”

Hong Cu tersenyum dan menyembunyikan rasa malunya dengan menundukkan kepala.

“Aku……. aku tidak apa-apa, Siauw Ma! Hanya, bukankah kita sudah bertahun-tahun berpisah? Sekarang kita baru saja bertemu, maka aku ingin sekali mengobrol dengan kau. Apakah salahnya itu? Bukankah kita kawan baik?”

“Ya, ya, tentu saja, Hong Cu. Tapi…… tapi….. Tiong Li……”

“Lagi-lagi Tiong Li kau sebut-sebut namanya. Mengapa dengan Tiong Li? Ini adalah urusanku sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia.”

Makin heranlah hati Siauw Ma. “Tapi……. tapi kurasa, lebih baik kita ajak dia sekalian, atau kau…… kau bilang dulu padanya, asal dia tidak keberatan tentu aku suka kau ikut.”

Maka berdirilah Hong Cu dengan marah.

“Siauw Ma! Apa artinya bicaramu yang tidak karuan ini? Mengapa aku harus minta izin dari Tiong Li? Kau aneh sekali! Dia dengan aku bukan apa-apa, hanya kawan baik seperti kita berdua! Jangan kau sangka yang tidak-tidak, Siauw Ma, aku akan menjadi marah!”

Mengertilah kini Siauw Ma. Jadi cinta Tiong Li kepada gadis ini hanya sepihak! Celaka sekali, bagaimanakah baiknya? “Hong Cu, dengarkan kata-kataku ini. Mungkin kau sendiri tidak menduga, tapi aku beritahukan padamu bahwa Tiong Li, pemuda yang gagah perkasa dan tampan dan yang menjadi sahabatku terbaik di dunia ini, dia itu cinta padamu! Tahukah kau? Dia cinta padamu, maka tidak boleh kauanggap sepi begitu saja!”

Hong Cu terduduk kembali. Ia menganggukkan kepala. “Aku…… aku tahu, Siauw Ma. Tapi…… apakah cinta dapat dipaksakan? Aku….. aku anggap dia seperti saudara sendiri.”

Siauw Ma menghela napas dan keduanya berdiam tak berkata sampai lama. Kemudian, tanpa angkat kepalanya, Hong Cu bertanya.

“Dan kau, Siauw Ma? Kau adalah seorang yang tulus hati dan jujur maka jawablah terus terang. Adakah kau juga mencinta seseorang?”

Berat rasa hati Siauw Ma untuk menjawab. Ia tahu bahwa gadis jelita yang duduk sambil tunduk di depannya ini diam-diam menaruh hati kepadanya dan kini gadis ini bertanya siapakah yang dicintanya?

Sungguh sebuah pertanyaan yang berat sekali dan satu ujian hebat bagi kejujurannya. Tapi Siauw Ma lebih mengutamakan kejujuran yang dianggapnya lebih baik.

Ia pikir lebih baik berterus terang dari pada diam-diam dan dapat menimbulkan salah paham yang besar. Dengan suara tetap ia menjawab. “Aku cinta kepada Lian Eng!”

Hong Cu mendengar pengakuan yang tak disangkanya sama sekali ini merasa seakan-akan pipinya kena tampar! Lian Eng! Mengapakah nasib sekejam ini?

Kalau memang Siauw Ma yang dikagumi itu tidak membalas cintanya dan mencinta orang lain, mengapa justru orang lain itu Lian Eng adanya? Lian Eng gadis yang membencinya itu? Tadinya ia tidak benci kepada Lian Eng, hanya kasihan dan tidak suka, tapi sekarang ia merasa benci sekali!

Ia tidak tahu bahwa perasaan inipun dimiliki Lian Eng terhadapnya karena sebab yang sama, yakni cemburu dan iri hati!

Hong Cu perdengarkan suara ketawa merdu dan nyaring yang kedengaran aneh di tengah malam itu, lalu gadis itu berkata.

“Kalau begitu, marilah kita berlumba mencari Lian Eng! Aku masih belum penuhi tantangannya yang dulu karena terhalang oleh Tiong Li!” Suara ini mengandung ancaman hebat bagi diri Lian Eng hingga Siauw Ma terkejut sekali.

Hong Cu lalu loncat pergi dan lari dengan cepatnya. Siauw Ma memanggil dan mengejar, tapi Hong Cu telah lari jauh dan lenyap dari pandangan mata. Siauw Ma berdiri bengong untuk beberapa lama, kemudian ia menghela napas berkali-kali dan melanjutkan perjalanannya ke kelenteng sahabatnya untuk bermalam.

Dengan hati panas dan marah Hong Cu kembali ke tempat penginapannya dan dengan diam-diam masuki kamarnya. Setelah berkemas, ia lalu menulis surat pemberitahuan kepada Tiong Li bahwa ia hendak mengambil jalan sendiri karena ada keperluan penting dan minta Tiong Li maafkan dia.

Kemudian ia tinggalkan surat itu kepada pelayan dan dengan diam-diam ia keluarkan kuda lalu melarikan binatang itu pergi dari situ.

<>

Seperti halnya Lian Eng dulu, Hong Cu kaburkan kudanya di bawah sinar bulan purnama dan semalam suntuk ia tidak hentikan kudanya, lari bagaikan dikejar setan!

Seperti juga di kota-kota lain, Siauw Liong juga mempunyai kaki tangan di kota itu dan ia telah diberitahu tentang kedatangan Hong Cu dan Tiong Li. Oleh karena ini ia bersiap sedia dan karena ia berada di suatu tempat tak jauh dari situ, dengan diam-diam, iapun melakukan pengintaian sendiri.

Ia melihat ketika Hong Cu keluar dari penginapan dan kaburkan kudanya, maka dengan tak buang waktu lagi ia diam-diam mengejar dari belakang. Ia heran sekali karena gadis itu semalam penuh terus larikan kudanya hingga ia terpaksa harus mengikuti juga.

Ketika malam telah berganti pagi dan Hong Cu masih saja kaburkan kudanya, Siauw Liong menjadi bingung. Kudanya sudah tidak kuat lari lagi, maka cepat ia loncat turun dan menggunakan ilmu lari cepat! Untung baginya bahwa kuda Hong Cu juga sudah lelah sekali hingga ia tidak tertinggal.

Hong Cu bukannya tidak tahu akan pengejaran seorang di belakang setengah malam penuh itu, tapi karena hatinya sedang duka, maka ia tidak memperdulikannya. Kini ia teringat akan pengejarnya karena suara kuda di belakang telah lenyap dan ia melihat seorang berlari mengejarnya dan timbullah marahnya. Mau apakah orang gila itu mengejar-ngejarnya sepanjang malam?

Hong Cu loncat turun dari kudanya yang telah lelah dan yang segera jatuhkan diri berlutut, kemudian gadis itu pungut sebatang ranting kayu kering.

“Orang itu mencari mampusnya sendiri,” demikian gerutunya, sama sekali ia tidak pandang sebelah mata kepada orang yang datang lari cepat sekali itu.

Ketika orang itu telah sampai di depannya, kemarahan Hong Cu meluap. Ternyata orang itu adalah Siauw Liong! Ia teringat akan Kim Hwa Sianli yang dulu memberi tahu bahwa patung Dewi Kwan-im kembali tercuri orang dan bahkan kedua tokoh Kwan-im- kauw sampai terbunuh.

“Eh, maling kecil tak tahu malu! Kau datang mengantarkan kematianmu?” Serta merta Hong Cu loncat menyerang dengan ranting di tangannya, sedikitpun tak memberi kesempatan kepada Siauw Liong. Pemuda itu cepat loncat jauh karena ia telah tahu akan kehebatan ilmu tongkat gadis itu dan bahwa ranting kecil itu bahayanya melebihi ratusan golok besar di tangan orang-orang biasa! Tapi Hong Cu yang baru jengkel dan sedih saat itu tumpahkan seluruh hawa marahnya kepada Siauw Liong, maka ia loncat mengejar dan mengirim serangan pula dengan ganasnya.

Terpaksa Siauw Liong keluarkan dua tongkat ular hitam dari dalam bajunya dan mainkan sepasang ular itu untuk menangkis.

“Nona Hong Cu, nanti dulu. Belum lagi kita bicara, mengapa datang-datang kau menyerangku.”

“Siapa sudi bicara dengan maling busuk!” kembali ia menyerang dan kembali Siauw Liong menangkis lalu loncat mundur.

“Eh, eh, nanti dulu! Kau beberapa kali memaki aku maling, aku telah mencuri apamukah?

“Cih! Manusia rendah tak tahu malu. Apa kausangka aku tidak tahu bahwa kaulah maling patung dari Kwan-im-bio dan kau pulalah pembunuh ketua-ketua Kwan-im-kauw?”

Siauw Liong perlihatkan muka sedih. “Aah, memang benar kau berpikiran cupat! Mudah saja kau dibohongi orang. Kau ribut-ribut urusan patung orang lain, sedangkan urusanmu sendiri tidak kau perdulikan! Tidak tahukah kau bahwa ayah ibumu berada dalam bahaya?” Diingatkan akan ayah ibunya yang sampai kini belum ada kabar ceritanya, seketika lemah tubuh Hong Cu. Ia memandang pemuda itu dengan wajah pucat dan air matanya turun cepat.

“Di……. di manakah mereka,” tanyanya gagap.

Siauw Liong tersenyum dan dengan tenang ia masukkan pula senjatanya. Pemuda yang cerdik ini tahu sudah bahwa senjata yang keluar dari mulutnya telah berhasil baik, dan bahwa kini tidak ada bahaya lagi.

“Nah, kau mau tahu? Ia telah terculik oleh Lian Eng!”

“Kau….. kau bohong!” Gadis itu memandang dari balik air matanya dengan mata melotot.

“Bohong? Aku Siauw Liong selamanya tak pernah membohong! Kau mau bukti? Marilah kutunjukkan tempatnya. Aku tahu di mana Lian Eng mengeram orang tuamu.”

“Di mana? Di mana mereka? Hayo kau katakan padaku!” Hong Cu berkata gemas.

“Sayang aku tidak tahu nama kampung di lereng gunung itu! Kalau kau memang ingin menolong mereka, kau harus ikut aku pergi ke sana!”

“Tidak sudi! Siapa sudi pergi bersamamu?”

“O, begitukah? Kalau kau tidak sudi, siapa mau memaksa? Nah, selamat tinggal.” Dan Siauw Liong balikkan tubuh. “Tunggu dulu. Sebelum kauberitahukan tempat mereka, jangan harap kau dapat pergi dari sini!” Hong Cu mengancam dengan rantingnya.

“Hm, kausangka aku takut padamu? Sekalipun kau akan menang dan dapat membunuhku, tetap kau takkan tahu di mana orang tuamu berada dan kalau terlambat mungkin jiwa mereka melayang. Maka sudahlah, jangan banyak berlagak, kau ikut aku ke tempat orang tuamu. Kalau kau takut aku membohongimu, mudah saja bagimu untuk kemudian menyerangku, masih belum terlambat!”

“Jauhkah tempat itu?” akhirnya Hong Cu bertanya. Setelah memikir-mikir beberapa lama, Siauw Liong berkata, “Yaah, kira- kira perjalanan sepekan paling cepat!”

Hong Cu merasa bingung. Sepekan? Dan selama itu harus bersama-sama pemuda kurang ajar ini? Harus melakukan perjalanan bersama? Tapi ia harus berani berkorban perasaan untuk membela orang tuanya. Kalau memang benar Lian Eng yang menculik orang tuanya, kurang ajar benar gadis gagu itu! Ia harus serang dan adu jiwa dengan gadis itu!

“Baiklah, aku ikut kau ke tempat itu. Tapi awas kalau kau membohong dan berani kurang ajar terhadapku, jangan kaukatakan aku keterlaluan kalau aku cabut nyawamu!” akhirnya Hong Cu berkata dan tatap wajah Siauw Liong dengan bengis. Tapi agaknya mata yang tajam dan indah itu tidak membuat jerih hati Siauw Liong, bahkan ia balas memandang dengan mesra dan tersenyum, hingga Hong Cu membentak.

“Hayo kita berangkat, apa maksudmu memandang orang sambil tersenyum-senyum?”

Maka berangkatlah mereka berdua sambil menggunakan ilmu lari cepat menuju ke arah timur laut. Siauw Liong yang mendapat kesempatan jalan bersama gadis cantik yang sangat menarik hatinya itu, merasa gembira sekali dan ia tidak menyembunyikan perasaan ini.

Tiada hentinya ia mengajak gadis itu mengobrol dan ia menceritakan pengalamannya yang luas. Tapi Hong Cu hanya mendengar dengan setengah hati dan jarang sekali menjawab kalau tidak perlu betul.

Tiga hari kemudian mereka tiba di sebuah kota dekat sungai yang tampak ramai. Sebenarnya, menuruti jalan lurus, untuk pergi ke kampung di mana Lian Eng menyembunyikan orang tua Hong Cu, cukup menggunakan waktu dua hari. Tapi karena Siauw Liong sengaja mengambil jalan memutar agar makan waktu lebih lama, maka biarpun telah berjalan cepat selama tiga hari mereka belum juga sampai di tempat tujuan.

Melihat sikap Siauw Liong yang ceriwis dan sepanjang jalan berusaha mengambil-ambil hatinya, Hong Cu dapat menduga bahwa pemuda jahat ini tentu sengaja mengambil jalan memutar, tapi ia masih bersabar dan mengambil keputusan untuk menahan sabar sampai sepekan. Kalau sampai selama itu belum juga mereka tiba di tempat yang dimasudkan, maka ia takkan memberi tempo lagi dan hendak mengadu jiwa dengan pemuda ceriwis ini!

Tiap kali berhenti di sebuah kota dan bermalam di rumah penginapan, Hong Cu selalu mengambil kamar sendiri yang agak jauh dari kamar Siauw Liong agar ia tidak terganggu. Juga sepanjang jalan ia berlaku hati-hati dan waspada sekali, sedikitpun tak berani lengah dan lalai, hingga sedikitpun tidak memberi ketika atau kesempatan kepada Siauw Liong untuk berlaku curang. Juga di waktu makan, ia berlaku hati-hati sekali karena ia cukup tahu akan kelihaian pemuda itu mempergunakan racun.

Sebenarnya, betapapun keras Hong Cu menjaga diri, kalau kiranya dikehendaki oleh Siauw Liong, pemuda itu tentu akan berhasil juga berbuat curang dengan menggunakan kelicinan serta kecurangannya yang penuh tipu muslihat. Tapi untung bagi Hong Cu bahwa pada waktu itu Siauw Liong sedang menjalankan rencana lain.

Pemuda yang cerdik itu sengaja hendak mengadu dombakan Hong Cu dengan Lian Eng, dan jika Hong Cu telah dapat bermusuhan dengan Lian Eng, maka tentu nona manis ini akan percaya kepadanya dan dapat bersikap lebih manis, karena Siauw Liong tahu bahwa Hong Cu juga dikecewakan dalam cintanya terhadap Siauw Ma! Ia sengaja pikat-pikat dan ambil hati Hong Cu. Ketika kedua orang itu masuk ke kota Kian-bun yang ramai itu tiba-tiba terdengar seruan orang. “Kau, Siauw Liong!”

Ketika mereka berpaling memandang, Hong Cu melihat bahwa yang menegur itu adalah seorang perempuan muda cantik berpakaian merah. Wanita itu dengan tindakan kaki yang genit menghampiri Siauw Liong dan pada wajahnya yang cantik itu terbayang senyum mesra. Melihat ini Hong Cu lalu membuang muka dan tidak memperhatikan mereka pula, hanya menjauhi dan berdiri tak acuh.

“Moi-moi, kau di sini?” Siauw Liong menegur dengan wajah tak senang.

“Koko, aku mencari-carimu sampai di mana-mana. Hayo kita pulang saja, koko!” berkata wanita itu yang bukan lain ialah Ang- ie-nio-nio.

Tiba-tiba mata Siauw Liong mengeluarkan sinar marah. Ia gerak- gerakkan tangan dan membentak, “Hayo, kau pergi dari sini! Jangan kauganggu aku, aku sedang sibuk dan ada urusan penting. Pergi!”

Ang-ie-nio-nio memandang sedih.

“Koko, mengapakah? Kenapa sikapmu begini berubah? Lupakah kau akan hubungan kita, apakah….. apakah……” sampai di situ Ang-ie-nio-nio melirik ke arah Hong Cu yang kebetulan sedang memandang kepadanya. Ia lalu sambung kata-katanya sambil memandang Hong Cu dengan marah. “Ah, jadi kau telah mendapat kekasih lain?”

“Hush! Tutup mulutmu, moi-moi!” bentak Siauw Liong, tapi Ang- ie-nio-nio telah menjadi begitu marah hingga ia cabut pedangnya dan loncat ke arah Hong Cu sambil berteriak.

“Kalau begitu, aku harus membunuhnya sekarang juga!” Kemudian tanpa perdulikan Siauw Liong, perempuan baju merah itu menggerakkan pedangnya hendak menyerang Hong Cu.

Tapi pada saat itu, Siauw Liong yang merasa marah sekali, loncat mendahului. Ternyata gin-kang pemuda itu jauh lebih hebat dari pada kepandaian Ang-ie-nio-nio hingga sebelum perempuan baju merah itu dapat menerjang Hong Cu, ia telah berhadapan dengan Siauw Liong.

“Perempuan keparat, kau mencari mampus?” Siauw Liong berseru dan menggerakkan kepalan kanannya memukul dengan hebat kepada bekas kekasihnya. Ang-ie-nio-nio bukankah orang lemah. Ia cepat loncat mundur dan kelit pukulan itu.

“Koko, jadi kau membela gadis ini? Baiklah, biar aku mati dalam tanganmu.”

Suara ini diucapkan dengan suara memilukan sekali dan ketika Siauw Liong maju menggerakkan pedang yang telah berada di tangannya, Ang-ie-nio-nio menangkis tapi tidak balas menyerang. Sebentar saja serangan Siauw Liong datang bertubi-tubi dan tentu saja gadis baju aerah itu tidak dapat menahannya lebih lama pula. Ia menangkis sambil mundur, sementara itu wajahnya menjadi merah dan muram.

Biarpun diserang mati-matian, sedikitpun ia tidak membalas menyerang. Cinta hati yang demikian besar ini mengharukan hati Hong Cu yang semenjak tadi memandang dengan bibir tersenyum menghina.

Ia sebenarnya tidak senang melihat sikap Ang-ie-nio-nio yang genit dan yang begitu kurang ajar telah menganggap ia sebagai kekasih Siauw Liong! Tapi melihat betapa gadis baju merah itu demikian mencinta Siauw Liong dan rela mati, ia menjadi kasihan juga. Pula, ia tidak suka melihat Siauw Liong membunuh orang di bawah pandangan matanya tanpa ia berbuat sesuatu untuk mencegahnya!

Maka, ketika Ang-ie-nio-nio telah benar-benar terdesak dan pedang Siauw Liong meluncur hendak menembus lehernya, Hong Cu meloncat dengan tongkat ranting di tangannya dan tiba-tiba Siauw Liong merasa betapa ujung pedangnya tergetar dan membal kembali karena benturan hebat dari ranting itu.

“Hong Cu, jangan kau ikut campur!” berkata Siauw Liong dengan suara halus, tapi Hong Cu membentak keras.

“Kalau aku berada di sini, jangan harap kau akan dapat membunuh orang sesukamu sendiri saja!” dan tongkatnya terus terputar hebat hingga terpaksa Siauw Liong meloncat mundur. Sementara itu, melihat gerakan gadis yang hanya bersenjata ranting dapat menangkis pedang Siauw Liong, Ang-ie-nio-nio terkejut dan heran sekali. Ketika Hong Cu memandangnya dan pandang mata mereka bertemu, bukan main kagetnya wanita baju merah itu, hingga ia pandang Hong Cu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

“Jadi……. kaukah ini……?”

Hong Cu mengangguk ke arah perempuan cantik itu. “Ang-ie-nio- nio, kau dalam keadaan baik-baik?”

Ang-ie-nio-nio tidak mau berkata apa-apa lagi kepada Hong Cu, tapi perempuan muda itu bahkan menghampiri Siauw Liong yang berdiri heran mengapa Ang-ie-nio-nio telah kenal kepada Hong Cu.

Ang-ie-nio-nio berbisik kepada Siauw Liong, “Kalau bermusuh, hati-hatilah kau, koko. Ia lihai sekali dan suhengku Kwie-eng-cu juga terbinasa dalam tangannya!”

Biarpun Ang-ie-nio-nio bicara perlahan sekali, namun Hong Cu yang berdiri agak jauh dapat juga mendengar karena pendengarannya yang terlatih baik itu sangat tajam. Maka ia berkata sambil tersenyum.

“Itu benar, Siauw Liong, bahkan tangan kanan kekasihmu ini pernah kupatahkan tulangnya! Nah, kalau kalian hendak menuntut balas, kebetulan sekali, aku telah bersiap!” “Kau pergilah dan jangan mengganggu aku!” Siauw Liong membentak, marah kepada Ang-ie-nio-nio yang segera meloncat pergi setelah melirik dengan tajam ke arah Hong Cu.

“Sungguh hatimu palsu sekali untuk menyakiti seorang kekasih demikian rupa!” Hong Cu menyindir dan merasa sebal kepada pemuda itu.

Siauw Liong hanya mendengus marah. “Siapa bilang ia kekasihku? Perempuan itu tak tahu malu.”

“Sudahlah jangan banyak membicarakam hal ini, aku tidak mau dengar. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita agar cepat- cepat sampai di tempat orang tuaku, kalau tidak, aku khawatir kalau-kalau kesabaranku akan habis dan jika terjadi demikian, aku tak dapat menanggung keselamatan jiwamu lagi!”

Siauw Liong menarik muka cemberut seakan-akan penuh sesal. “Kau ini sungguh seorang gadis yang tak kenal budi orang!” ia mengomel. “Aku bermaksud baik dan hendak menolongmu, tapi kau selalu memperlihatkan sikap bermusuhan.”

“Siapa mau percaya obrolanmu? Sampai sekarang juga, aku masih belum percaya bahwa kau betul-betul hendak membawaku ke tempat yang kausebutkan itu! Tapi awaslah kau, kalau beberapa hari lagi ternyata kau tidak mewujudkan janjimu…….”

“Sudahlah, jangan selalu mengancam. Kau memang sangat tidak bisa percaya orang. Baik, kita lihat sajalah nanti. “Mulai besok, aku akan mengambil jalan memotong agar kita cepat-cepat sampai di tempat itu dan kau akan melihat dengan mata sendiri bahwa sebenarnya aku, Siauw Liong, adalah seorang pemuda yang betul-betul hendak menolongmu, dan bahwa orang-orang yang kau anggap kawan baik itu semua palsu belaka!”

Kalau hendak menurutkan hatinya, Hong Cu hendak mendamprat lagi, tapi karena lagi merasa girang mendengar janji ini ia tidak mau membuat hati pemuda itu lebih sakit lagi dan membatalkan maksudnya hendak mempercepat perjalanan mereka. Maka gadis ini diam saja dan mereka memilih kamar dalam sebuah rumah penginapan.

Betul saja, Siauw Liong memenuhi janjinya. Pemuda itu karena telah terganggu oleh Ang-ie-nio-nio, merasa takut kalau-kalau pertemuan dengan perempuan bekas kekasihnya itu akan membuat Hong Cu kehilangan kepercayaannya, maka ia merasa perlu mempercepat perjalanan.

Pagi-pagi sekali ia telah bersiap dan menyediakan dua ekor kuda yang baik dan mahal. Mula-mula Hong Cu tidak setuju diberi seekor kuda, tapi karena Siauw Liong mendesak dan berkata bahwa perjalanan hari ini sangat jauh dan jika berkuda tanpa berhenti, tentu pada sore hari akan sampai di kampung yang dimaksud itu, terpaksa gadis itu menurut. Mereka lalu berangkat dengan cepat sekali.

Ketika hari telah menjadi senja, mereka tiba di sebuah kampung di lereng gunung. Itulah kampung Leng-hok-chun di mana Lian Eng tinggal bersama Ang Lie Seng dan nyonyanya, orang tua Hong Cu. Ternyata karena banyak sekali pembantu dan kaki tangannya, Siauw Liong telah dapat menemukan juga tempat ini!

Siauw Liong mengajak Hong Cu berhenti di luar kampung dan mereka lepas begitu saja kedua kuda mereka yang telah hampir mati kelelahan. Kemudian dengan hati-hati dan cara bersembunyi, Siauw Liong mengajak Hong Cu yang sudah tidak sabar dan tubuhnya menggigil karena terharu memikirkan kedua orang tuanya, memasuki kampung Leng-hon-chun.

Kebetulan sekali pada saat itu Ang Lie Seng dan isterinya sedang duduk di luar rumah sambil bercakap-cakap, tak lain mempercakapkan puteri mereka yang telah bertahun-tahun lenyap.

Siauw Liong mengajak Hong Cu mendekat dan ia menunjuk kepada dua orang tua itu sambil berkata perlahan,

“Hong Cu, lihatlah baik-baik, siapakah kedua orang tua itu?”

Ia lalu menarik perlahan tangan gadis itu yang maju bagaikan kena pesona. Sebentar saja gadis itu dapat mengenali ayah bundanya dan ia memegang lengan tangan Siauw Liong dengan keras untuk menahan getaran hatinya yang terharu. Kemudian dengan sekali lompat, ia telah berada di depan kedua orang tuanya dan menjatuhkan diri berlutut sambil berseru.

“Ayah…… ibu…….!” Kedua orang tua itu tertegun. Mereka memandang gadis cantik jelita itu bagaikan sedang mimpi dan tidak segera mengenali wajah yang tunduk menangis itu.

Tapi mendengar suara gadis itu nyonya Ang lalu pegang kepala Hong Cu dan mengangkat wajahnya untuk dipandang. Setelah bertemu dengan pandang mata Hong Cu, kedua orang tua itu dengan berbareng berseru. “Hong Cu……!!” dan mereka bertiga saling peluk dengan mesra dan terharu sekali.

Siauw Liong sengaja bersembunyi untuk melihat perkembangan peristiwa itu lebih lanjut. Pada saat itu ia telah melihat bayangan seorang gadis lain yang gesit sekali mendatangi dari belakang rumah. Gadis ini adalah Lian Eng!

“Ayah, ibu! Kalian mengapa dan siapakah orang ini?” tanyanya heran karena ia belum melihat wajah Hong Cu yang sedang berpelukan dengan kedua orang tuanya.

Hong Cu mendengar suara ini cepat melepaskan pelukan ayah ibunya dan Loncat membalikkan diri.

“Kau!” seru Lian Eng dengan senyum menghina.

“Penculik hina!” Hong Cu memaki sengit dan secepat kilat ia pungut ranting yang tadi dibawanya dari atas tanah dan menyerang Lian Eng.

Murid Huo Mo-li melihat datangnya serangan yang hebat dan sengit itu segera berkelit. Iapun tidak kalah marah dan bencinya hingga sambil berseru nyaring ia balas melancarkan serangan dengan Huo-mo-kangnya yang hebat.

Hong Cu juga maklum akan kelihaian lawannya maka ia segera mengeluarkan Ouw-coa-koai-tung-hwat dan menjauhi Lian Eng sambil mengirim serangan-serangan totokan yang mengarah urat kematian lawan!

Demikianlah, sebentar saja kedua gadis jelita itu saling serang mati-matian dan karena ilmu gin-kangnya memang sudah mencapai tingkat tinggi, mereka hanya tampak oleh Ang Lie Seng suami isteri sebagai dua gulung sinar yang menjadi satu hingga tak mungkin bagi mereka untuk melihat mana Hong Cu dan mana Lian Eng! Berkali-kali kedua orang tua itu berteriak-teriak.

“Hong Cu…… Lian Eng…… jangan bertempur…….!”

Tapi dua gadis yang sedang diamuk nafsu marah itu tidak mau memperdulikan apa-apa lagi selain hendak membunuh lawan di hadapannya. Pula, pertempuran yang hebat itu membuat mereka bergerak ke sana ke mari dan menjauhi kedua orang tua itu.

Ternyata kepandaian kedua gadis itu seimbang, karena keduanya memiliki ilmu pukulan berbahaya yang bagaimana juga membuat keduanya jerih.

Hong Cu merasa betapa sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Lian Eng hebat sekali dan mendatangkan rasa panas, maka ia menjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai beradu lengan atau mengadu tenaga dengan gadis yang memiliki tenaga lwee-kang luar biasa itu.

Sebaliknya Lian Eng harus berlaku awas dan waspada sekali menjaga dirinya jangan sampai kena tertotok oleh ujung ranting Hong Cu yang seakan-akan telah berubah menjadi ratusan banyaknya itu!

Pada waktu itu Siauw Liong berdiri mengintai di balik pohon dengan tertawa seorang diri. Ia puas melihat tipu muslihatnya berjalan baik.

Tapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan orang berkelebat cepat ke arah kedua gadis yang sedang bertempur itu. Dengan cara luar biasa dan cepat sekali, tahu-tahu bayangan itu telah dapat menerobos di tengah-tengah di antara kedua gadis itu.

Hong Cu dan Lian Eng kaget sekali melihat ada orang berani ikut campur dan ketika mereka memandang, ternyata yang datang ialah Siauw Ma!

“Hong Cu, jangan kau serang Lian Eng!” Siauw Ma menegur dengan suara keras.

Hati Hong Cu yang sudah panas itu makin bernyala karena cemburu dan iri hati. Ia memandang pemuda yang dikagumi itu dengan mata hampir mengeluarkan air mata, dan ia hampir menjerit ketika berkata. “Kau…… kau hendak membela dia? Hayo, majulah kalian berdua, aku Ang Hong Cu tidak takut mati!”

Dan ia menggerakkan rantingnya menyerang Lian Eng lagi yang sudah siap. Kembali kedua gadis gagah itu bertempur hebat bagaikan dua ekor harimau betina berebut makanan.

“Kalau kau nekat, terpaksa aku harus mencegahmu!” kata Siauw Ma yang maju menangkis sebuah serangan Hong Cu hingga gadis ini seakan-akan dikeroyok dua!

Pada saat itu terdengar suara orang mencela,

“Tak pantas….. tak pantas….. dua orang gagah dari Thang-la mengeroyok seorang? Hong Cu, jangan kau takut, aku membelamu!”

Kini Lian Eng yang tiba-tiba berubah pucat mukanya karena ia melihat betapa Tiong Li, pemuda yang menjadi kenangannya itu datang-datang menyerbu dan membantu Hong Cu!

“Tahan!” Lian Eng membentak dan loncat mundur. Bentakannya yang dikeluarkan dengan tenaga lwee-kang dari Huo-mo-kang yang masih mengalir penuh di tubuhnya ini terdengar luar biasa nyaringnya hingga kedua suami isteri Ang Lie Seng yang telah maju mendekat terpaksa tekap telinga mereka yang terasa sakit. Orang-orang yang sedang bertempur tiba-tiba berhenti dan memandangnya.

“Tiong Li, aku tak dapat melawan engkau yang telah menjadi penolongku. Betapapun juga, aku cukup mengenal budi dan tak sudi aku disebut orang rendah karena membalas budi dengan kepalan tangan!” kata Lian Eng sambil menahan kehancuran hatinya.

“Kalau kau tidak menyerang Hong Cu tentu selamanya aku takkan suka mengadu kepandaian dengan kau yang lihai ini,” jawab Tiong Li tersenyum.

Sementara itu, Hong Cu dan Siauw Ma saling pandang.

Kini melihat pertempuran itu berhenti, Ang Lie Seng dan isterinya tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ang Lie Seng dan nyonya menyerbu anaknya dan nyonya Ang dengan menangis tersedu-sedu peluk Hong Cu sambil berkata.

“Hong Cu, Hong Cu….. kau datang-datang membikin hati ibumu merasa sakit dan kecewa sekali……”

Hong Cu memandang ibunya dengan heran. “Mengapakah, ibu? Apakah, salahku?”

Kini ibu itu memandang wajah anaknya dengan penuh penyesalan,

“Kau bertanya apa salahmu? Ah, Hong Cu, mengapa kau masih seperti dulu, selalu membawa kehendak sendiri? Mengapa kau datang-datang berani menyerang Lian Eng, saudaramu?”

“Saudaraku, dia ini?” Hong Cu menunjuk ke arah Lian Eng dan memandang heran. Kini Ang Lie Seng maju memberi keterangan kepadanya. Suaranyanya terdengar keren dan tetap, seperti suara ayah yang sedang menegur anaknya.

“Hong Cu, ibumu berkata benar. Lian Eng telah menjadi anak angkat kami. Kau harus mencontoh dia dan ucapannya yang baru saja ia keluarkan tadi tepat sekali. Seorang budiman takkan sudi membalas budi kebaikan dengan kepalan tangan! Tapi kau datang-datang bahkan menyerangnya!”

Kini benar-benar Hong Cu tak mengerti dan sepasang matanya terbelalak heran. “Apa….. apa maksudmu, ayah?” tanyanya gagap.

“Dengarlah, anak bodoh. Lian Eng adalah orang yang telah menyelamatkan jiwa kedua orang tuamu! Kalau tidak ada Lian Eng, mungkin sekarang ayah dan ibumu telah menjadi tengkorak.”

Pucatlah muka Hong Cu mendengar ini dan Ang Lie Seng dengan ringkas ceritakan pengalamannya ketika ia dan isterinya diculik oleh Siauw Liong, kemudian ditolong oleh Lian Eng.

“Nah, sekarang kau harus memberi hormat kepada encimu. Lian Eng lebih tua, setahun dari padamu. Hayo, kau memberi hormat dan minta maaf!”

Mendengar betapa Lian Eng telah menolong jiwa kedua orang tuanya, hati Hong Cu merasa terharu sekali dan ia lalu menghampiri Lian Eng sambil memandang dengan mata basah air mata.

Tapi tiba-tiba Lian Eng membalikkan tubuh dan hendak lari dari situ! Gadis keras hati ini rasa cemburu dan iri hatinya demikian besar hingga tak mungkin baginya untuk berbaik begitu saja kepada bekas orang yang dibencinya!

Tapi pada saat Lian Eng hendak pergi, tiba-tiba dari depannya muncul seorang kakek yang berkata keras,

“He, Lian Eng, jangan kau kurang ajar!”

Ketika Lian Eng memandang, ternyata yang membentaknya itu adalah kakeknya, Souw Cin Ok! Gadis ini yang semenjak kecilnya memang dididik oleh kakeknya ini, telah mempunyai perasaan takut dan tunduk kepada kakeknya yang seakan-akan menjadi pengganti orang tuanya, maka ketika tiba-tiba melihat kakek itu muncul dan membentaknya, ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis.

Souw Cin Ok dengan terharu sekali mendengar suara tangis Lian Eng yang mengingatkan dia akan suara tangis gadis itu ketika masih bayi. Memang di waktu kecilnya Lian Eng tidak gagu dan penyakit itu datang padanya ketika ia berusia kira-kira empat tahun.

Souw Cin Ok angkat bangun gadis itu yang sandarkan kepala di dada kakeknya sambil menangis sedih. Orang-orang di situ memandang peristiwa ini dengan terharu. “Lian Eng….. Lian Eng, kau sudah bisa bicara……?”

Lian Eng mengangguk-angguk lalu terdengarlah suaranya yang merdu.

“Ya, ngkong, aku bisa bicara lagi!”

Mendengar ini, Souw Cin Ok memandang ke atas seakan-akan hendak menyatakan terima kasihnya kepada Thian Yang Maha Kasih.

“Lian Eng, aku melihat kau pergi dari Hong Cu dengan muka marah. Jangan kau kurang ajar dan membawa sikap seperti itu, Cucuku. Sikapmu ini membikin malu kakekmu. Ketahuilah, Hong Cu telah wakilkan kau membalas sakit hatimu dan membunuh seorang dari pada musuh-musuh orang tuamu!”

Mendengar ini, Lian Eng merasa bagaikan disambar petir. Ia menjadi pucat dan memegang lengan kakeknya. “Ngkong, apa maksudmu?”

Maka Souw Cin Ok lalu menceritakan betapa Hong Cu telah membunuh mati Kwie-eng-cu, yakni seorang dari pada musuh- musuh keluarga Souw.

Setelah mendengar habis penuturan itu, Lian Eng segera memutar tubuh dan lari kepada Hong Cu yang masih berdiri di sana memandangnya. Kedua gadis itu berdiri berhadapan dekat sekali dan saling pandang dengan mata berlinang air mata. Kalau tadi mereka saling serang mati-matian dan saling pandang dengan hati mengandung penuh kebencian, adalah kini mereka saling pandang dengan hati penuh diliputi keharuan dan rasa berterima kasih.

Akhirnya, dengan berbareng mereka saling menubruk dan memeluk tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, hanya air mata mereka yang membanjir merupakan pernyataan perasaan yang hangat dan penuh arti.

“Enci Lian Eng…….” bisik Hong Cu.

“Adik Hong Cu, adikku……” Lian Eng balas merangkul.

Beberapa saat mereka saling peluk dengan mesra, kemudian teringatlah Hong Cu kepada Siauw Liong. Maka merahlah wajahnya karena api kemarahan membakar hatinya.

“Enci Lian Eng, mari kaubantu aku menangkap bangsat itu dan kita hancurkan kepalanya yang jahat!”

“Eh, siapa dia yang kaumaksudkan?” tanya Lian Eng heran, tapi Hong Cu telah melompat ke arah tempat di mana tadi Siauw Liong menunggu, disusul oleh Lian Eng yang masih terheran.

Di situ Hong Cu berdiri dengan mata mencari-cari, tapi tentu saja ia tidak bisa mendapatkan bayangan Siauw Liong di tempat itu karena si cerdik ini begitu melihat betapa kedua gadis itu berbalik menjadi baik, siang-siang telah mengangkat kaki dan kabur sambil menyumpah-nyumpah karena siasatnya gagal dan muslihatnya hancur lebur! Kemudian dengan menyesal sekali Hong Cu menuturkan kepada Lian Eng betapa ia telah tertipu oleh Siauw Liong yang menghasut-hasutnya agar memusuhi Lian Eng. Sebaliknya, sambil berjalan kembali ke tempat tinggal Ang Lie Seng, Lian Eng juga menceritakan betapa iapun kena tipu Siauw Liong dan hampir saja celaka jika tidak tertolong Ang-ie-nio-nio.

Mendengar hal wanita baju merah itu Hong Cu menghela napas dan berkata, “Gadis itu harus dikasihani. Biarpun ia bukan orang baik-baik, tapi ia telah salah besar ketika memilih Siauw Liong sebagai orang yang dicintanya. Ia telah salah pilih dan…….”

Tiba-tiba Hong Cu terdiam dan ia menundukkan mukanya dengan cepat untuk menyembunyikan warna merah yang menjalar dari leher ke muka.

Dengan tak disengaja ia ucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan hatinya sendiri dan yang merupakan sindiran tajam baginya. Ia sama sekali tidak nyana bahwa Lian Eng yang berjalan di sebelahnya juga termenung mendengar hata-kata tadi dan di dalam hati gadis itu juga timbul penyesalan mengapa Tiong Li yang dikenangnya itu ternyata mencinta Hong Cu!

Demikianlah, dengan diam-diam ke dua gadis ini menyimpan rahasia hati masing-masing dan aneh sekali, kalau tadinya mereka saling menaruh cemburu dan iri hati, kini perasaan itu lenyap. Bahkan, sambil menyentuh lengan Lian Eng, Hong Cu berkata perlahan.

“Pilihanmu tepat, enci, karena Siauw Ma sangat mencintamu.” Tapi godaan ini tidak menggirangkan hati Lian Eng, yang balas menggoda dalam jawaban sederhana,

“Jangan kau lupa, Hong Cu, bahwa Tiong Li juga membelamu dalam perkelahian tadi. Kau lebih beruntung dari pada aku.” Dan Lian Eng menghela napas.

Hong Cu heran melihat sikap yang dingin ini.

“Enci Lian Eng, engkau agaknya tidak gembira melihat Siauw Ma mencintamu?”

“Ah, aku tak pernah memikirkan tentang itu, adikku, tugasku belum selesai kupenuhi.”

“Enci Lian Eng, kalau begitu mereka itulah yang salah pilih!” kata Hong Cu yang menjadi gembira. “Ketahuilah, akupun sedikit juga tidak memikirkan Tiong Li dan cintanya!”

Kini Lian Eng lah yang memandangnya dengan heran, kemudian mereka tertawa gembira karena baru mereka tahu bahwa di antara mereka tak pernah ada sesuatu yang harus dibuat cemburu! Mereka kini tertawakan kedua pemuda yang salah pilih itu.

“Kalau begitu, kita tak perlu perdulikan dua orang tolol itu, bukan?” kata Hong Cu dengan jenaka dan Lian Eng mengangguk sambil tersenyum. Ketika mereka tiba kembali di tempat tadi, Tiong Li yang sedang asyik bercakap-cakap dengan Siauw Ma, segera menegur mereka,

“Eh, kalian mengapa tertawa-tawa berdua sampai melupakan kami? Hong Cu, sepatutnya kauperkenalkan kami kepada orang tuamu!”

Tapi sebelum Hong Cu menjawab, tiba-tiba mereka berempat yang memiliki telinga tajam, berbareng menengok ke satu jurusan dari mana tampak bayangan seorang mendatangi cepat sekali. Ketika bayangan itu telah tiba dekat, mereka berempat heran karena yang datang itu bukan lain ialah Kim Hwa Sianli.

“Ia terluka!” seru Tiong Li.

Benar saja, ketika nikouw tua itu tiba di situ, tampaklah oleh mereka betapa di pundaknya menancap sebatang anak panah dan pertapa itu nampak pucat sekali.

“Kalian…… murid-murid Thang-la….. bantulah pinni……”

Sehabis berkata begitu, Kim Hwa Sinnli tak dapat mempertahankan tubuhnya lagi dan ia terguling roboh. Untung sebelum ia roboh, Lian Eng dan Hong Cu cepat sekali loncat menahan tubuhnya dan merebahkan nikouw itu dengan perlahan.

“Kim Hwa Sianli, apakah yang terjadi?” Siauw Ma dengan tak sabar bertanya. “Pinni telah ketemukan malingnya….., ia….. ia adalah….. murid Tok-kak-coa……”

“Siauw Liong!” empat orang muda itu berseru berbareng.

“Ya, dia……, keparat itu…… baru saja aku bertemu dengannya dan kami bertempur. Aku terluka, tapi….. tapi betul dialah malingnya……”

“Hayo kejar dia!” kata Siauw Ma, tapi Tiong Li yang lebih cerdik segera bertanya.

“Ia menuju ke mana?” “Ke…… Bukit Kee-san…..”

Tiong Li cepat memeriksa luka orang tua itu, dan terkejutlah ia ketika melihat betapa racun yang hebat dan dipasang di ujung anak panah telah menyerang ke dalam jantung! Karena setelah mendapat luka, pertapa itu lari sekuat tenaga, maka racun berjalan lebih cepat ke dalam jantungnya. Tiong Li maklum bahwa Kim Hwa Sianli tak mungkin ditolong lagi, maka ia segera keluarkan sebungkus obat yang diberikan kepada Hong Cu sambil berpesan.

“Hong Cu, tiap kali ia merasa sakit, beri minum obat ini seperlima bagian dan sakitnya akan lenyap.” Kemudian sambil berbisik perlahan ia berkata, “Tak dapat ditolong lagi jiwanya.” Setelah itu, Tiong Li dan Siauw Ma hendak mengejar Siauw Liong, dan Lian Eng berkata, “Mari kalian ikut, aku tahu di mana letak Bukit Kee-san!” Dan iapun loncat hendak pergi.

Tapi terdengar suara Souw Cin Ok mencegah, “Lian Eng, ada hal yang lebih penting dari pada ini! Aku telah dapatkan tempat tinggal musuh-musuh kita!”

Mendengar ini, Lian Eng segera mengurungkan maksudnya hendak ikut mengejar.

Maka Tiong Li berkata kepada Siauw Ma, “Biar kita berdua yang pergi. Akupun sudah tahu di mana tempat itu!” Dan kedua pemuda itupun lalu menggunakan ilmu lari cepat berkelebat pergi.

Lian Eng menghampiri kakeknya, “Engkong, di manakah mereka?” tanyanya gemas.

“Ketahuilah, Lian Eng. Mungkin engkau lupa lagi akan nama- nama musuhmu. Pembunuh-pembunuh orang tuamu adalah Tiga Setan dari Tiang-an, yakni pertama Bu-eng-cu, kedua Kwi-eng-cu yang telah terbunuh mati oleh Hong Cu, dan ketiga Pek-eng-cu. Nah, aku telah mendapat tahu bahwa Bu-eng-cu dan Pek-eng Cu kini tinggal di Liok-si, menjadi guru silat di sana. Aku sendiri bukanlah lawan mereka, maka aku sengaja mencari kau agar kau dapat penuhi tugasmu ini.”

“Di Liok-si? Ah, aku pernah datang di kota itu!” seru Lian Eng yang lalu loncat hendak pergi.

“Cici, tahan dulu!” kata Hong Cu. “Aku ikut!” Kemudian Souw Cin Ok mendapat tugas untuk mengurus Kim Hwa Sianli yang terluka dan kemudian ia dimintai tolong untuk mengantar Ang Lie Seng pulang ke kotanya. Setelah semua diatur beres dan berpamit kepada orang tuanya, kedua gadis itupun loncat pergi tinggalkan tempat itu, menuju Liok-si.

◄Y►

Mari kita ikuti Siauw Liong, pemuda yang cerdik tapi jahat itu. Setelah merasa kecewa melihat betapa ke empat orang muda yang menjadi musuh-musuhnya itu telah berkumpul kembali dan siasat adu dombanya tidak berhasil, dengan bersungut-sungut dan marah ia pergi cepat meninggalkan tempat itu.

Ketika ia tengah berlari cepat, tiba-tiba sebuah hud-tim atau kebutan pertapa menyambar dari samping dibarengi suara bentakan halus.

“Eh, anak muda, larimu cepat sekali. Coba kau layani aku barang duapuluh jurus.”

Sebelum Siauw Liong dapat menjawab, penyerangnya yang bukan lain ialah Kim Hwa Sianli, maju menyerang dengan pedang dan kebutannya. Siauw Liong terkejut sekali melihat kehebatan pertapa wanita itu, maka ia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

Kemudian, karena hatinya sedang marah dan jengkel, pula melihat dan mengenali pertapa itu sebagai ketua Kwan-im-pai, Siauw Liong turunkan tangan jahat. Diam-diam ia lepas panah tangannya yang beracun dengan beruntun lima kali.

Yang empat buah pertama dapat ditangkis oleh pedang Kim Hwa Sianli, tapi anak panah kelima yang menyambar tenggorokan hanya dapat dikelit dan menancap di pundaknya! Merasa betapa pundaknya menjadi linu dan gatal, terkejutlah Kim Hwa Sianli. Ia tadi telah menguji ilmu silat anak muda ini dan ternyata inilah maling patung kelentengnya!

“Anak muda, jadi kaulah maling rendah itu! Kau selalu berlaku curang, apakah kau begitu pengecut hingga takut sebutkan namamu?”

Tertawalah Siauw Liong mendengar ini. “Imam tua, kau mau tahu namaku? Aku adalah Siauw Liong, dan anak panahku itu boleh kauanggap sebagai hadiah dari Tok-kak-coa, suhuku.”

Setelah berkata demikian, dengan puas Siauw Liong pergi tinggalkan Kim Hwa Sianli. Betapapun juga, rasa penasarannya terhadap ke empat murid Thang-la masih saja belum dilenyapkan.

Ia pulang ke Kee-san, tapi karena tidak melihat Ang-ie-nio-nio di dalam guanya, ia merasa kesunyian dan menyesal mengapa ia menyia-nyiakan gadis yang mencinta itu.

Ia tidak kerasan tinggal di guanya dan teringatlah olehnya kawan- kawan baiknya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Tiang-an Sam-kwie atau Tiga Setan dari Tiang-an, kawan-kawannya yang banyak membantunya, maka ia segera menuju ke sana. Pada suatu hari, ia berhenti di sebuah kota untuk makan. Dimasukinya restoran terbesar dan ia pesan masakan-masakan termahal.

Malam harinya ia menyewa kamar di hotel terbesar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semenjak siang, tadi dua pasang mata memperhatikannya dan dua orang muda dengan diam-diam mengikutinya.

Pada malam hari itu, ketika Siauw Liong tengah duduk di ruang depan dari hotel, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Ketika melihat Siauw Liong, orang itu lalu menjura.

“Sungguh beruntung sekali siauwte dapat bertemu dengan taihiap di sini,” katanya dengan hormat sekali.

Siauw Liong memandang tak acuh. Terlalu banyak orang-orang sungai telaga dan rimba hijau mengenal padanya hingga ia tidak ingat siapa orang tinggi besar ini.

“Kau siapakah dan ada urusan apa menggangguku?” tanyanya dengan angkuh. Tapi orang itu tidak marah, bahkan tampaknya takut-takut.

“Kalau siauwte tidak sedang menjalankan perintah, mana siauwte yang rendah berani mengganggu taihiap? Siauwte diperintah oleh suhu dari Tiang-an dan sengaja mencari taihiap di Kee-san, tapi tak nyana dapat bertemu di sini.”

“Siapakah suhumu?” “Suhu adalah Bu-eng-cu…….” “O, dia? Ada perlu apakah?”

Orang itu menghela napas. “Ketahuilah, taihiap. Belum lama ini, ji-susiok Kwie-eng-cu telah mati terbunuh oleh seorang gadis pendekar yang namanya Hong Cu.”

Terkesiap juga Siauw Liong mendengar ini, “Hong Cu, katamu?”

“Ya, taihiap. Pembunuh susiok itu namanya Ang Hong Cu, dan sekarang gadis itu bersama seorang kawannya yang bernama Souw Lian Eng, datang mengacau di kota kami. Kedua gadis itu mengamuk dan mereka menuntut supaya suhu dan susiok Pek- eng-cu keluar menjumpai mereka.

“Baiknya suhu dan susiok siang-siang telah tahu bahwa kedua gadis ini adalah lihai sekali dan sukar dilawan, maka mereka lalu bersembunyi. Tidak tahunya kedua gadis itu mengancam semua orang di bu-kwan, katanya kalau dalam waktu tiga hari suhu dan susiok tidak mau menemui mereka, maka bu-kwan akan dibakar dan semua orang yang berada di situ akan dibasmi habis! Karena inilah, maka suhu segera mengutus siauwte naik kuda dan cepat- cepat mengundang taihiap memohon bantuan.”

Siauw Liong menahan kagetnya agar jangan sampai terlihat orang. Sebenarnya ia merasa terkejut dan jerih mendengar dua nama itu, tapi otaknya yang cerdik segera bekerja.

“Kau pulanglah dulu dan beritahukan gurumu supaya dia dan Pek- eng-cu keluar menjumpai dua gadis itu.” “Tapi, taihiap…….”

“Tutup mulut!” Siauw Liong membentak hingga orang itu terkejut lalu tunduk. “Kaudengarkan saja perintahku, jangan banyak membantah. Suhumu dan susiokmu itu supaya keluar dan menjumpai kedua gadis itu lalu tantang mereka mengadakan pertandingan di dalam hutan…….”

Tiba-tiba sampai di sini Siauw Liong tutup mulutnya dan ia memandang ke kanan kiri. “Hayo kau masuk ke kamarku,” ajaknya kepada orang itu. Ternyata Siauw Liong berlaku hati-hati sekali.

Dua orang yang mendengarkan di atas genteng merasa kecewa sekali, tapi mereka sudah merasa puas akan apa yang mereka dengar. Dua orang itu adalah Si auw Ma dan Tiong Li yang tadinya hendak turun tangan menyerang Siauw Liong tapi mereka tahan dan tunda niat itu ketika mendengar percakapan antara Siauw Liong dan pesuruh dari Tiang-an tentang Hong Cu dan Lian Eng.

Kemudian, melihat betapa Siauw Liong mengajak tamunya masuk kamar, kedua pemuda itu tinggalkan tempat itu dan mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Siauw Liong dengan hati- hati karena mereka khawatirkan keselamatan kedua gadis itu dalam menghadapi Siauw Liong yang licin dan curang.

Sebaliknya, Siauw Liong setelah mengajak tamunya ke dalam kamar lalu memesan agar Bu-eng-cu dan Pek-eng-cu menantang kedua nona itu untuk mengadu jiwa di puncak Gunung Kee-san! Harinya ditetapkan lima hari kemudian, karena dalam waktu lima hari itu ia hendak mencari bala bantuan untuk memperkuat rombongannya. Pesuruh itu lalu kembali ke Tiang-san menyampaikan pesan Siauw Liong kepada gurunya.

Sedangkan Siauw Liong lalu pergi ke berbagai daerah mengumpulkan dan mencari bantuan-bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Ban Kok Si Garuda Sakti, Can Bu Si Golok Terbang, dan Ho-pak Chit-kiam atau Tujuh Pedang dari Ho-pak yang terkenal lihai. Sedikitpun Siauw Liong tidak tahu bahwa selama itu ia terus diikuti oleh Tiong Li, sedangkan Siauw Ma mengikuti pesuruh yang kembali ke Tiang-an untuk melihat perkembangan lebih jauh.

Dengan hati besar karena menerima kesanggupan Siauw Liong untuk membantu mereka, Bu-eng-cu dan Pek-eng-cu keluar dari tempat sembunyinya dan menemui Hong Cu dan Lian Eng yang pada hari ketiga datang di bu-kwan mereka dengan wajah keren.

Kedua guru silat itu menyambut mereka dengan memberi hormat, sedangkan di dalam hati, mereka heran sekali karena tidak mereka sangka bahwa musuh yang begitu disohorkan dan ditakuti hanyalah dua orang gadis cantik!

Bu-eng-cu yang lebih berpengalaman ketika melihat sorot mata kedua gadis itu dapat menduga ketinggian ilmu mereka, tapi Pek- eng-cu yang merasa penasaran lalu menjura di depan mereka sambil berkata, “Ji-wi lihiap apakah yang dalam beberapa hari ini mencari kami?” tapi diam-diam ia mengerahkan tenaganya memukul dengan tenaga dalam.

Lian Eng hanya berdiri sambil tersenyum sindir, sedikitpun tak perdulikan pada Pek-eng-cu. Tapi Hong Cu balas menjura dan mengangkat kedua lengannya.

“Dan ji-wi apakah Bu-eng-cu dan Pek-eng-cu yang kami cari?” balas Hong Cu sambil mengerahkan tenaganya.

Pek-eng-cu yang memandang rendah kedua tamunya, tiba-tiba merasa betapa tenaga yang keluar dari kedua tangannya itu mental kembali dan mendorongnya ke belakang. Ia hendak mempertahan kan bhe-sinya, tapi makin keras ia bertahan, makin keras pula ia terjengkang ke belakang.

“Eh, hati-hati kau nanti jatuh!” kata Hong Cu jenaka sedangkan Pek-eng-cu yang sudah jatuh terjengkang merasa dadanya agak sakit dan buru-buru ia merangkak berdiri dengan wajah pucat. Alangkah hebatnya tenaga tamunya, seorang gadis yang tampaknya lemah lembut ini!

Bu-eng-cu melihat hal inipun menjadi pucat. Ia maklum bahwa ia dan sutenya bukanlah lawan kedua gadis ini, maka setelah menjura ia berkata.

“Ji-wi lihiap, pernah apakah dengan Souw Cin Ok?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar