Jilid 09
Souw Eng tersenyum dan berpaling ke pada Siauw Ma. “Twako, coba kau yang menjelaskan kepadanya, karena aku menjadi pening kalau lama-lama memandang pakaiannya.”
Siauw Ma geli mendengar kata-kata kawannya dan ia anggap Souw Eng nakal dan lucu. Karena menghadapi seorang yang usianya lebih tua, maka Siauw Ma tidak mau melanggar peraturan kesopanan. Ia menjura dan berkata dengan suara halus.
“Sesungguhnya kami berdua orang muda tidak sekali-kali hendak memusuhi siapa-siapa juga tidak hendak memusuhi kaum Hwa- ie-kai yang terkenal. Akan tetapi, telah menjadi kebiasan kami berdua, dan untuk mentaati pesan suhuku, tiap kali melihat hal- hal yang tak pantas, tak dapat tidak kami harus turun tangan.
“Kedua anggauta Hwa-ie-kai yang mencari kematian sendiri itu terlalu jahat dan sombong. Tanpa alasan mereka mengacau dan melukai kedua saudara Oei yang tidak berdosa, kemudian mereka menyombong dan menghina orang-orang dari Siauw-lim- pai. Perbuatan dan sikap itu sekali-kali tidak dikehendaki oleh dunia kang-ouw yang mengutamakan kegagahan.”
“Hm, agaknya kau hendak memberi pelajaran kepada kami, orang muda! Siapakah nama kalian dan siapa pula gurumu!”
“Siauwte bernama Siauw Ma dan kawanku ini bernama Souw Eng. Adapun suhuku bukan lain ialah Beng Beng Hoatsu dari Thang-la.”
Pucatlah wajah Hwa-ie-kai mendengar nama Beng Beng Hoatsu. Ia cukup kenal nama besar dari Beng Beng Hoatsu, seorang dari pada ketiga Thang-la Sam-sian yang ditakuti!
Tapi karena ia berhadapan dengan dua orang yang masih begitu muda, malulah ia kalau harus mengalah dan mundur begitu saja. Ia juga bukan seorang yang tak bernama, maka tidak seharusnya kini ia takut dan mundur menghadapi anak-anak muda, biarpun anak muda itu murid Beng Beng Hoatsu sekali! Maka ia segera tenangkan hatinya dan tersenyum sindir.
“Pantas, pantas! Tak heran kau lihai, tak tahunya murid dari suhu pandai! Kalau begitu, murid-murid kami itu tidak penasaran terjatuh dan binasa dalam tangan orang pandai.
“Tapi sekarang kita telah bertemu, tak dapat tidak kau harus layani aku barang seratus jurus. Ingin aku belajar kenal dengan ilmu silat tinggi dari Pegunungan Thang-la yang terkenal! Bersiaplah kau, anak muda!”
“He, nanti dulu!” Souw Eng menegur ketika melihat raja pengemis itu hendak menyerang Siauw Ma.
“Twako, jangan kauborong sendiri! Yang berdosa kita berdua, maka untuk menerima hukumannya tak boleh kauserakahi semua. Biar aku menerima hukumanku dulu!” Kemudian Souw Eng menjura kepada Raja Pengemis itu lalu berkata.
“Lo-enghiong, kalau kau hendak memberi pelajaran, silahkan dan jangan tanggung-tanggung agar kami berdua puas menerimanya!”
Tadinya memang Hwa-ie-kai-ong tidak pandang mata kepada Souw Eng yang lebih muda dari pada Siauw Ma dan lebih kecil tubuhnya hingga tampak seperti seorang lemah. Apa pula pakaiannya menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang pelajar yang hanya kenal buku dan cinta, berbeda dengan Siauw Ma yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Maka tentu saja ia merasa heran dan marah mendengar kata-kata mengandung tantangan ini.
“Anak muda, apakah kau juga murid dari Thang-la?” tegurnya.
“Mengapa lo-enghiong menyebut-nyebut Thang-la saja? Agaknya kau terlalu mementingkan orang-orang Thang-la saja dan berlaku berat sebelah. Apakah kalau aku bukan dari Thang-la kau lalu tidak mau memberi pelajaran?”
“Hm, anak muda, mulutmu celoteh sekali. Baiklah, biar kulihat apakah kaki tanganmu juga sepandai mulutmu itu. Nah, kauterimalah seranganku!” Sambil berkata demikian Hwa-ie-kai- ong menggeser maju kakinya dan mengirim serangan kilat.
Harus diketahui bahwa raja pengemis itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang telah berpuluh tahun menjagoi daerah selatan dengan perkumpulannya yang cukup berpengaruh. Ia adalah seorang ahli silat yang mahir sekali bermain silat dari cabang Bu- tong dan Siauw-lim. Sebetulnya raja pengemis yang bernama Song Liat ini adalah bekas murid Siauw-lim yang tingkatnya cukup tinggi juga.
Tapi karena ia melanggar beberapa peraturan cabang Siauw-lim- pai, ia lalu dikeluarkan dan selain mendapat teguran keras, juga dicabut haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai. Oleh karena inilah, maka Song Liat merasa sakit hati terhadap Siauw-lim-pai. Tapi ia cukup tahu akan kekuatan dan kelihaian tokoh-tokoh Siauw-lim, maka tidak berani bertindak sembrono. Ia lalu belajar silat dari cabang persilatan Bu-tong hingga mahir sekali.
Kemudian, setelah merantau berpuluh tahun dan memperdalam kepandaian silatnya dengan mempelajari pula ilmu pukulan dari lain-lain cabang, ia bertemu dengan seorang pengemis tua yang berbaju kembang-kembang. Ia dikalahkan oleh pengemis ini dan kemudian ia menjadi murid pengemis itu.
Dari pengemis baju kembang yang aneh ini Song Liat menerima ilmu silat yang disebut Hwa-ie-kai-kun-hwat. Setelah suhu baru ini meninggal dunia, maka Song Liat lalu mendirikan sebuah perkumpulan pengemis berbaju kembang dan mengangkat diri sendiri menjadi raja pengemis!
Sementara itu, ia perbaiki ilmu silatnya dengan mengkombinasikan pukulan-pukulan dari lain cabang persilatan hingga makin lihai saja.
Sayang Song Liat mempunyai tabiat sombong dan pengaruhnya besar sekali, hingga biarpun ia tidak pernah melakukan kejahatan, namun namanya tidak begitu bersih di kalangan kang-ouw. Pula, ia mempunyai anggauta-anggauta yang banyak terdiri dari orang- orang gelandangan dan yang mengandalkan nama perkumpulannya lalu bertindak sewenang-wenang.
Tabiatnya yang sombong itulah yang membuat Hwa-ie-kai-ong itu tidak mau mundur walaupun ia mendengar bahwa Siauw Ma adalah murid dari seorang dari pada Thang-la Sam-sian, Tiga Dewa dari Thang-la. Kini menghadapi Souw Eng, ia merasa bahwa lawan ini tentu seorang biasa saja, maka memandang rendah sekali dan tanpa banyak peradatan lagi kirim serangan kilatnya.
Akan tetapi, baru pada gebrak pertama saja ia dibikin terkejut oleh Souw Eng. Ketika kepalan tangan raja pengemis itu menyambar datang, Souw Eng pura-pura tidak memperdulikannya, tapi begitu angin kepalan telah meniup dadanya, cepat pemuda sasterawan itu miringkan tubuh dan secepat kilat ia jambret lengan baju kembang lawannya dan membetotnya!
Karena betotan ini menambah tenaga pukulan yang dikerahkan, maka tak ampun lagi tubuh Hwa-ie-kai-ong ikut terbetot maju dan kuda-kuda kakinya tergempur hingga ia terhuyung ke depan tiga langkah! Cepat ia perbaiki diri dan loncat membalik dengan heran dan marahnya.
Masa dia, si raja pengemis yang dimalui dunia kang-ouw, sekali gebrak saja hampir jatuh mencium tanah karena betotan seorang anak muda sasterawan! Ia pandang Souw Eng dengan heran dan telinganya terasa panas ketika ia mendengar pemuda itu berkata.
“Ah, jangan tergesa-gesa, lo-enghiong. Hampir saja kau terjatuh! Kau belum beritahukan namamu kepada kami, tahu-tahu sudah mulai memberi pelajaran. Terangkan dulu namamu, lo-enghiong.”
Hwa-ie-kai-ong marah sekali. Ia kertak giginya dan tanpa menjawab ia menubruk dengan kedua tangan merupakan cakar garuda mencengkeram ke arah dada dan leher Souw Eng! Inilah gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai dan jahat!
Diam-diam Siauw Ma terkejut dan siap menolong kawannya bilamana perlu. Tapi Souw Eng benar-benar lihai. Dengan senyum masih menghias bibirnya ia gerak-¬gerakkan kedua tangannya dan buka sepuluh jarinya, kemudian cepat sekali jari- jarinya itu meluncur ke arah sambungan siku-siku lawan dari arah samping!
Gerakan ini cepat sekali dan aneh hingga Siauw Ma sendiri tidak mengenal gerakan kawannya itu, tapi langsung membuat Si Raja Pengemis dua kali terkejut! Karena dengan cara-cara yang aneh, jari-jari lawannya itu dapat melewati tangan dan cengkeramannya dan sedikitpun tidak berkelit ketika kedua cakarnya mengarah pundak dan leher.
Akan tetapi, biarpun tidak berkelit, ternyata jari-jari tangan pemuda itu telah mendahului serangannya dan dengan jitunya meluncur hendak menotok siku-sikunya! Kalau ia teruskan gerakannya mencengkeram, maka kedua sikunya akan tertotok lebih dulu dan ini berbahaya sekali, karena sekali kena totok, banyak kemungkinan sambungan lengannya akan terlepas! Karena ini, maka terpaksa Si Raja Pengemis tarik kembali serangannya dan loncat mundur dengan muka makin terheran!
Sebenarnya Souw Eng tadi mendahului Siauw Ma hanya dengan maksud untuk menguji sampai di mana ketinggian ilmu silat lawan ini, karena betapapun juga, ia diam-diam masih belum percaya penuh akan kelihaian Siauw Ma dan takut kalau-kalau pemuda itu akan kalah.
Kini setelah melihat bahwa lawan si baju kembang ini ternyata tidak begitu berbahaya, muka iapun mundur sambil berkata kepada Siauw Ma,
“Twako, dia tidak mau memberitahukan namanya, biarlah aku tidak mau menerima pelajaran. Biar kau saja yang menerima hukuman!”
Siauw Ma yang kagum melihat gerakan-gerakan Souw Eng, tidak mengerti mengapa kawannya itu mengundurkan diri. Ia sangka bahwa Souw Eng benar-benar tidak suka melayani lawan ini karena si lawan tidak mau memberitahukan nama. Maka iapun maju menghadapi Hwa-ie-kai-ong dan berkata.
“Lo-enghiong, kurasa, permintaan kawanku tadi cukup pantas. Kami telah memberitahukan nama kami, maka sudah sewajarnya kalau kau memberitahukan namamu dan nama kawan-kawanmu ini.”
Dengan mata mendelik Raja Pengemis itu menjawab. “Kami adalah orang-orang tak berarti. Aku ialah ketua Hwa-ie-kai, dan ketiga orang ini adalah murid-muridku.”
“Ah, tidak tahunya Hwa-ie-kai-ong sendiri yang mengejar kami. Nah, sekarang terserah kehendak tai-ong, siauwte hanya menurut saja.” Sengaja Siauw Ma menyebut tai-ong yang artinya raja besar, atau yang biasanya digunakan untuk menyebut seorang kepala perampok!
“Sudahlah, jangan banyak cakap. Kalau memang kau memiliki kepandaian, jatuhkan aku!”
Setelah berkata demikian, Si Raja Pengemis lalu maju menyerang Siauw Ma. Ketika menyerang Souw Eng tadi, ia pandang rendah pemuda itu maka menyerang secara sembrono sekali, tapi kini mengetahui bahwa kedua lawannya adalah orang-orang tangguh, ia segera keluarkan kepandaiannya yang paling lihai, yaitu Hwa- ie-kai-kun-hwat.
Ternyata ilmu silat ini teratur sekali dan gerakan-gerakannya cukup kuat dan cepat. Melihat hal ini, Siauw Ma tidak mau berlaku sembrono dan melayani dengan hati-hati.
Setelah melihat kedua orang itu bertempur beberapa jurus saja, tahulah Souw Eng bahwa biarpun ilmu silat Raja Pengemis itu cukup sempurna, namun ia masih belum nempil jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan Siauw Ma yang memainkan Sin-liong- kun-hwat yang lihai sekali itu. Maka hati Souw Eng merasa lega. Ia lalu melirik ke arah tiga orang pengemis lain yang masih berdiri berbaris seperti anak wayang. Ia lalu menghampiri mereka.
Ketiga pengemis ikat pinggang kuning itu melihat Souw Eng bergerak, serentak memandangnya dengan tajam, karena mereka menyangka bahwa pemuda itu hendak mengeroyok gurunya. Memang kalau dilihat jalan pertempuran, agaknya Siauw Ma terdesak, tapi Souw Eng cukup tahu bahwa si Raja Pengemis itu menggunakan tenaga kasar yang dilawan dengan tenaga lemas oleh Siauw Ma hingga tampaknya pemuda itu terdesak, tapi sebenarnya berada di pihak unggul dan kuat.
Melihat betapa ketiga pengemis setengah tua itu serentak memandangnya dengan mata melotot, Souw Eng tersenyum dan berkata,
“Eh, eh, kalian bertiga mengapa nganggur saja dan memandang orang dengan mata melotot? Jangan bikin takut orang, kalau kalian juga gatal tangan hendak memberi pelajaran, hayolah maju sekali bertiga agar urusan lekas beres. Lihat, cuaca sudah mulai gelap.”
Ketiga orang itu merasa marah sekali. Memang mereka merasa dendam dan sakit hati atas kematian kedua murid mereka, dan mereka memang merasa benci sekali kepada Souw Eng yang tadi telah mempermainkan ketua mereka.
Kini mendengar ajakan pemuda yang mengandung tantangan ini mereka tidak dapat menahan sabar lagi. Serentak mereka meloncat menyerang dengan tongkat mereka.
Mendengar sambaran angin tongkat itu tahulah Souw Eng bahwa tongkat ke tiga orang itu bukanlah terbuat dari kayu, tapi adalah tongkat besi yang berat dan keras! Tapi Souw Eng tidak merasa gentar dan gugup. Ia menggunakan gin-kangnya yang luar biasa untuk menyusup di antara sambaran tongkat dan berkelit ke sana ke mari dengan lincahnya! Sementara itu, Siauw Ma telah dapat mendesak Hwa-ie-kai-ong, hingga Raja Pengemis itu kini hanya mampu menangkis saja, tapi tiap kali menangkis, ia merasa lengan tangannya tergetar dan sakit beradu dengan tangan Siauw Ma.
Pada suatu ketika, kaki Siauw Ma berhasil menggaet kedua kaki lawannya hingga Raja Pengemis itu terjungkal! Siauw Ma memang sengaja tidak mau melukai lawannya dan hanya hendak menjatuhkan saja. Si Raja Pengemis merayap bangun sambil menghela napas panjang pendek.
“Sudahlah, sudahlah! Mana aku dapat melawan ahli dari Thang- la!”
Souw Eng melihat betapa Siauw Ma telah berhasil, tidak mau kalah muka. Tiba-tiba ia gerakkan kedua tangannya dan entah bagaimana, tahu-tahu ketiga tongkat lawannya telah terampas olehnya!
Melihat hal ini, Hwa-ie-kai-ong berkata. “Sudahlah, kita bukan lawan mereka! Biarlah lain waktu kalau ada jodoh kita bertemu lagi dengan kedua enghiong ini.” Kemudian setelah banting kaki dengan jengkel, Raja Pengemis itu loncat pergi, diikuti ketiga muridnya yang tadinya hanya bengong terheran-heran memandang kedua pemuda itu.
<> “Twako, hayo kita lanjutkan perjalanan dengan cepat, sebentar lagi gelap dan tidak enak kalau kita harus bermalam di tengah hutan!”
Siauw Ma setuju dan keduanya lalu menggunakan ilmu lari cepat untuk keluar dari hutan itu. Tapi ternyata hutan itu luas dan panjang hingga setelah udara mulai gelap, belum juga mereka dapat keluar dari situ.
“Agaknya terpaksa kita mesti bermalam di hutan,” kata Siauw Ma.
Tiba-tiba mereka mencium bau sedap dan gurih dan mendengar suara musik yang aneh. Dengan tertarik mereka menuju ke arah suara itu. Mereka berjalan memutar dan dengan hati-hati mengintai dari balik pohon.
Ternyata di sebuah lapangan terbuka tampak lima buah kendaraan yang bentuknya seperti kereta berdiri di bawah pohon- pohon. Sedangkan banyak sekali kuda terikat di dekat kendaraan- kendaraan itu.
Di tengah lapangan tampak api bernyala gembira dan banyak orang duduk mengelilinginya. Seorang di antara mereka yang gemuk sekali tubuhnya, sedang memanggang sesuatu dan agaknya daging panggang inilah yang menyiarkan bau sedap tadi.
Kalau keadaan kendaraan-kendaraan itu tampak asing dan mengherankan, ketika melihat orang-orang di bawah sinar api unggun itu, makin heranlah Siauw Ma dan Souw Eng. Mereka itu terdiri dari tigabelas orang wanita yang masih muda-muda dan lima orang laki-laki tua yang berpakaian aneh pula.
Gadis-gadis itu bertubuh tinggi ramping dan kesemuanya memiliki wajah yang cantik dengan hidung dan dagu yang tajam serta mata yang lebar. Tapi sebagian besar dari mereka mempunyai kulit yang berwarna gelap, hanya tiga orang gadis yang berpakaian paling mewah mempunyai kulit keputih-putihan seperti salju tersinar matahari.
Pakaian mereka dari sutera yang panjang dibelit-belitkan di tubuh mereka yang ramping dan rambut mereka yang hitam itu terhias dengan hiasan rambut indah seperti mahkota kecil penuh kembang emas dan permata.
“Siapakah mereka ini?” Souw Eng berbisik perlahan dan Siauw Ma hanya angkat pundak dengan heran karena iapun belum pernah melihat gadis-gadis asing itu.
“Marilah kita pergi, jangan kita membuat mereka terkejut,” kata Siauw Ma, karena ia merasa sungkan dan malu harus bertemu muka dengan gadis-gadis muda sebanyak itu di tengah hutan, pada malam hari lagi.
Tapi Souw Eng memandang padanya dengan senyum. “Tidak twako, kita lebih baik menjumpai mereka. Keadaan mereka menarik hati sekali. Lihat itu pakaian mereka begitu aneh!”
Siauw Ma memandang wajah Souw Eng dan ketika ia melihat betapa pandang mata pemuda sasterawan itu bersinar gembira, ia merasa tak senang menganggap bahwa Souw Eng mempunyai sifat ceriwis.
“Kau……. kau hendak berbuat apa?” tanyanya keren.
“Eh, mengapa kau marah?” Souw Eng mencela dan tertawa perlahan. “Hm, kau tentu menyangka yang tidak-tidak, bukan? Percayalah, twako, yang menarik hatiku hanya keadaan mereka yang aneh pakaian mereka, dan terutama daging panggang itu!”
Mendengar ini, tiba-tiba saja Siauw Ma merasa betapa perutnya lapar sekali dan baru ingatlah ia bahwa semenjak siang tadi ia tidak makan apa-apa. Gadis-gadis itu tidak berada sendiri, bahkan di dalam rombongan itu juga terdapat beberapa orang laki-laki, apa salahnya?
Lagi pula di tengah hutan pada malam hari, di mana harus mencari makanan? Demikianlah Siauw Ma memutar-mutar otaknya, lalu ia mengangguk dan menurut saja ketika Souw Eng keluar dari tempat sembunyinya dan mengajak Siauw Ma menghampiri rombongan itu.
Tapi Souw Eng menahan langkahnya, karena saat itu ketigabelas gadis-gadis itu mulai menari-nari di sekeliling api dan dua orang laki-laki membunyikan gamelan yang terdiri dari sebuah kendang dan sebuah suling.
Alangkah indah gerakan mereka! Lemah gemulai, berlenggak- lenggok dengan gerakan yang lemas dan indah sekali. Tak terasa pula Souw Eng dan Siauw Ma menggerakkan kaki mereka menghampiri dan dengan kagum mereka berdiri di luar lingkaran sambil menikmati tarian gadis-gadis itu.
Mula-mula gadis-gadis itu menari menggerakkan tubuh dengan lemas menurutkan irama kendang yang dipukul perlahan, tapi makin lama kendang dipukul makin cepat dan gerakan tarian merekapun menjadi cepat berputar-putar. Selama itu, ketiga gadis yang berkulit putih menari di tengah-tengah dan merupakan penari-penari utamanya.
Kemudian suara suling dan kendang melambat dan akhirnya berhenti. Para penari juga berhenti dan kebetulan sekali ketiga penari utama itu berhentinya tepat di depan Siauw Ma dan Souw Eng.
Tanpa disadari, Souw Eng mengangkat kedua tangan dan bertepuk tangan dengan keras karena gembira. Sepasang matanya memandang ke arah tiga orang gadis itu dengan penuh kekaguman. Sedangkan Siauw Ma hanya menundukkan kepala sambil tersenyum, kemudian ia melirik ke arah tiga gadis di depannya itu.
Melihat penghargaan orang, ketiga gadis itu mewakili kawan- kawannya dan menjura dengan bungkukkan tubuh mereka ke arah Souw Eng. Pada saat mereka menjura itu, sebuah benda putih jatuh dari rambut kepala seorang gadis yang berdiri di tengah, dan benda itu menggelinding ke dekat kaki Souw Eng.
Souw Eng melihat penghias rambut itu terlepas dari rambut kepala gadis itu dan terjatuh di dekat kakinya, lalu ia membungkuk dan mengambilnya, kemudian dengan tersenyum ia menghampiri gadis itu lalu tanpa sungkan-sungkan lagi ia pasangkan penghias rambut itu di kepala si gadis.
Gadis itu menunduk kemalu-maluan, lalu angkat wajahnya memandang tajam. Wajah gadis yang berada dekat dengan mukanya sendiri itu berseri gemilang dan sangat cantiknya serta mengeluarkan keharuman seperti keharuman bunga mawar.
Kemudian gadis itu angkat tangannya, lepaskan pula penghias rambut tadi dan dengan kedua tangan memberikan benda itu kepada Souw Eng. Pemuda ini tersenyum dan anggap bahwa gadis itu berterima kasih dan memberi hadiah atau tanda mata padanya, maka karena ia memang suka sekali akan keindahan penghias rambut itu, tanpa ragu-ragu pula ia terima dan menyatakan terima kasihnya dengan mengangguk-angguk!
Tidak disangkanya sama sekali bahwa setelah itu, tiba-tiba semua gadis-gadis yang lain tertawa riang dan mulai bersorak. Ketika Souw Eng angkat kepala memandang, ternyata semua gadis itu memandang padanya sambil menunjuk-nunjuk, sedangkan gadis cantik yang memberi hadiah tanda mata padanya masih berdiri di depannya sambil tunduk kemalu-maluan.
Souw Eng dengan mata terbelalak heran memandang ke arah Siauw Ma dan bertanya, “Eh, twako, apa artinya semua ini?”
Tapi Siauw Ma hanya gerak-gerakkan pundak tanda tak mengerti. Pada saat itu, tukang kendang yang sudah lanjut usia berdiri dan berlari menghampiri Souw Eng. Setelah menjura dalam-dalam ia berkata dalam Bahasa Han dialek selatan yang terdengar, lucu.
“Tuan, kami haturkan selamat padamu. Kau telah dipilih dan memilih nona kami yang terkenal menjadi bunga tercantik di antara bangsa kami. Kau takkan menyesal memilih dia, tuan. Sekali lagi selamat!”
Terkejutlah Souw Eng mendengar ini, dan ia gemas sekali ketika mendengar suara ketawa ditahan dari Siauw Ma. Ternyata kemudian setelah ia menanyakan keterangan dari tukang kendang itu, bahwa mereka itu adalah bersuku Bangsa Nepal, tapi yang tinggal di batas daerah Tiongkok Nepal dan nenek moyang mereka adalah campuran darah Tiongkok Nepal pula.
Sudah menjadi tradisi atau adat lama di daerah mereka bahwa cara memilih jodoh adalah dengan upacara tari-tarian. Si gadis menari dan si pemuda menonton, kemudian gadis-gadis yang menjalankan pilihan lalu sengaja lepaskan penghias kepala di kaki seorang pemuda yang disetujuinya.
Kalau pemuda itu tidak membalas cintanya, maka ia takkan mengambilkan benda itu dan si gadis lalu akan mengambilnya sendiri dan mencari pasangan lain.
Tapi kalau pemuda itu mengambilnya dan memasangkannya kembali ke kepala si gadis, dan si gadis sudah setuju benar, maka penghias kepala itu akan diberikan oleh gadis itu sebagai tanda mata atau sebagai benda pengikat perjodohan mereka! Pada saat Souw Eng dan Siauw Ma datang, gadis-gadis itu sedang menari biasa saja, dan ketika penghias rambut gadis itu jatuh menggelinding ke kaki Souw Eng, hal itu sebenarnya bukan disengaja.
Tapi Souw Eng telah memungutnya dan memasangkannya di kepala gadis itu dan ternyata gadis itu ketika melihat wajah Souw Eng yang tampan, lalu jatuh hati dan memberikan penghias rambutnya yang juga diterima baik oleh Souw Eng! Hal ini telah terjadi dan berarti bahwa semenjak saat itu si gadis telah menjadi tunangan atau calon isteri Souw Eng!
Mendengar uraian si tukang kendang ini, Souw Eng berdiri bengong. Tapi……, tapi….. aku tadi tidak sengaja. Lopeh, kautolonglah aku, batalkan pertunangan ini yang terjadi karena salah mengerti. Ini kaukembalikan benda ini kepadanya.”
Agaknya gadis itupun mengerti akan kata-kata Souw Eng, karena tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan dengan isak tangis tertahan ia lari pergi ke arah kereta, tubuhnya yang langsing itu bergoyang- goyang dalam larinya, seperti tangkai pohon liu tertiup angin.”
Tukang kendang itu menggeleng-geleng kepala. “Tak mungkin, kong-cu. Lihat Aisyah tidak setuju akan penolakanmu dan ia lari ke keretanya.
“Kong-cu, ketahuilah, Aisyah adalah seorang gadis pilihan dan puteri tunggal ketua, suku bangsa kami. Gadis itu menjadi rebutan para pemuda dan selama ini Aisyah belum mau mencari pilihan. Ternyata sekarang pilihannya jatuh pada dirimu. Ini boleh dikata jodoh yang luar biasa dan kebetulan sekali.”
“Tak mungkin…… tak mungkin…….” Souw Eng menggelengkan kepala.
“Mengapa tidak mungkin, kong-cu? Apakah kau sudah beristeri? Kalau sudah beristeri dapat juga hal ini dirundingkan dengan Aisyah dan ayahnya, mereka juga takkan berkeberatan. Sudah biasa kami mempunyai dua atau tiga orang isteri.”
“Souw-hiante, kenapa kau menolak? Kan kasihan dia itu!” kata Siauw Ma kepada Souw Eng.
Souw Eng makin mendongkol dan membentak kawannya. “Twako! Kau ini enak saja, melihat orang berada dalam kesukaran tidak mau membantu dan mencari jalan pemecahannya, bahkan menggoda.”
Tapi Siauw Ma menjawab dengan sungguh-sungguh.
“Bukan begitu, hiante, kita adalah laki-laki yang mengutamakan kegagahan dan tidak mau menghina kaum lemah. Nona itu sudah begitu baik hati menjatuhkan pilihannya padamu. Ia seorang puteri kepala suku, maka kalau kau kini menolak pilihannya, bukankah berarti kau menghinanya dan membuatnya malu? Pikirlah baik-baik.”
Souw Eng makin marah dan hendak menjawab keras, tapi pada saat itu, seorang dari pada kedua gadis kawan Aisyah yang masih berdiri di situ, ketika mendengar kata-kata Siauw Ma yang agaknya dimengertinya pula, lalu maju dan berlutut di depan Siauw Ma, lepaskan penghias rambutnya dan meletakkan itu di dekat kaki pemuda itu!
Pucatlah seketika wajah Siauw Ma dan ia merasa betapa tubuhnya seakan-akan dimasuki api panas. Matanya terbelalak, memandang ke sana ke mari seperti hendak mencari bintang penolong dan mulutnya dengan bibir menggigit, berkata, “Eh, eh….. apa apa artinya ini?”
Tukang kendang menjawab dengan suara sungguh-sungguh. “Artinya, kong-cu, bahwa gadis ini yang bernama Farida, mendengar ucapanmu tadi merasa sangat kagum dan menghormat dan kini ia bersedia untuk menjadi isterimu, yakni jika kau yang dihormatinya ini menyetujui dan sudi menerimanya!”
Siauw Ma tak dapat menjawab, hanya menelan ludah dan berkali- kali geleng kepalanya dengan keras. Pada saat itu, Farida memandangnya dan melihat betapa pemuda pujaannya itu menolaknya, ia gigit bibir dan ambil kembali penghias rambutnya lalu bangun berdiri. Ia lalu mengucapkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Siauw Ma.
“Kong-cu, Farida menuntut haknya sebagai gadis tertolak, yakni keterangan darimu mengapa kau menolaknya!”
“Aku….. aku…… tak ingin kawin,” jawab Siauw Ma sekenanya. Gadis itu tidak puas dan bertanya lagi.
“Apakah kong-cu sudah beristeri?” “Belum, belum!” Siauw Ma menjawab.
“Apakah kong-cu menolak Farida karena ia tidak cukup cantik?” “Tidak, bukan. Ia cantik sekali, tapi…….”
“Tapi apa, kong-cu. Katakanlah, karena hanya dengan mengaku terus terang maka kau membebaskan dia dari penghinaan,” kata si tukang kendang.
Berat bagi Siauw Ma untuk menjawab, maka tukang kendang itu mengajukan pertanyaan lagi.
“Apakah kong-cu sudah mempunyai pilihan hati sendiri?”
Kini Siauw Ma mengangguk-angguk dan ia gemas sekali karena kini Souw Eng dari sampingnya mentertawakannya!
“Siapakah nona pilihan kong-cu itu?” tanya si tukang kendang.
“Itu bukan urusanmu! Pula kalian takkan mengenalnya, biarpun kusebut namanya juga!” Siauw Ma membantah.
“Tapi ini adalah sudah menjadi adat kebiasaan kami, kong-cu. Farida berhak mengetahui nama tunangan pria yang dipilih dan menolaknya.”
“Twako, seorang laki-laki harus jujur. Mengapa kau mesti malu- malu kucing?” Souw Eng menggoda hingga wajah Siauw Ma makin merah. Setelah menghela napas panjang pendek, akhirnya keluar juga pengakuannya, “Nona pilihanku itu belum menjadi tunanganku, namanya….. namanya…… Lian Eng…….”
Setelah mendengar nama pilihan hati pemuda itu, Farida lalu menjura dan pergi meninggalkan Siauw Ma. Berbeda dengan Aisyah, gadis ini tidak tampak patah hati dan bersedih karena penolakan Siauw Ma yang memenuhi syarat-syarat kebiasaan.
Si tukang kendang lalu menghadapi Souw Eng kembali. “Kong- cu, sekarang berilah keputusan akan nasib Aisyah, nona kami itu. Jangan kong-cu permainkan kami.”
“Siapa yang mempermainkan kalian? Aku tidak mau menerima dia habis perkara! Kalau nona Aisyah menghargai persahabatan, biarlah penghias rambutnya ini menjadi milikku dan akan kuganti dengan barang lain, tapi kalau tidak, boleh dia ambil kembali barangnya!”
“Hiante, jangan bicara terlalu keras!” Siauw Ma menegur sahabatnya, tapi Souw Eng tidak memperdulikannya dan pandangan matanya seakan-akan berkata, “Jangan kau ikut-ikut!”
Pada saat itu, dari jurusan api unggun loncatlah seorang pemuda yang tadi meniup suling. Sekali loncat saja ia telah berada di depan Souw Eng dan berkata dalam bahasa Han yang lancar.
“Hah! Kau laki-laki pengecut! Hayo kau pergi minta ampun kepada nona Aisyah dan bersedia mengawininya, kalau tidak kau jangan harap bisa tinggalkan tempat ini dengan masih bernyawa!” Sambil berkata demikian, pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat sekali itu mencabut goloknya.
Souw Eng berpaling kepada si pemukul gendang. “Eh, lopeh, siapakah orang ini?”
“Ia adalah pahlawan kelas satu dari suku kami dan ia tadinya menjadi harapan utama untuk menjadi suami nona Aisyah.”
Souw Eng mengangguk-angguk maklum. Diam-diam ia kagum juga melihat sifat ksatria yang dimiliki pemuda itu yang mencinta Aisyah tapi kini ternyata cintanya murni dan dalam kecewanya masih hendak membela gadis itu mempertahankan kebahagiaan hidupnya.
“Sahabat, kenapa tidak kau saja mewakili aku dan ambil dia sebagai isterimu?” katanya marah.
Pemuda itu meludah ke bawah. “Kau anggap aku laki-laki macam kau yang bersifat pengecut? Ia telah memilihmu, dan kaupun telah memilihnya, apakah kau kini hendak ingkar lagi? Hayo, cabut pedangmu itu kalau kau memang tidak mau menerima Aisyah!”
Souw Eng menghela napas. “Terpaksa aku harus melayani dulu. Aku memang hendak menjumpai Aisyah, tapi tidak untuk mengawininya!”
Marahlah pemuda itu mendengar kata-kata ini, dan dengan berseru keras ia mengayun goloknya menyerang Souw Eng. Ayunan goloknya keras sekali dan mengeluarkan angin, maka tahulah Siauw Ma bahwa pemuda itu hanya memiliki tenaga luar yang besar sekali, tapi soal kepandaian berkelahi tak usah dikhawatirkan.
Benar saja, Souw Eng berkelebat di bawah sinar golok lawannya dan dalam beberapa gebrak saja, pemuda sasterawan itu telah berhasil menotok lambung dan leher lawannya hingga seketika itu juga lawannya berdiri kaku dengan golok terangkat seperti sebuah patung batu.
“Nah, kau diamlah di sini sebentar sementara aku bereskan persoalan ini!” katanya sambil tersenyum manis ke arah Siauw Ma yang masih memandangnya dengan penasaran. Souw Eng lalu meloncat ke arah kereta di mana tadi Aisyah masuk.
Siauw Ma merasa khawatir dan heran. Ia takut kalau-kalau pemuda kawannya itu mempunyai maksud rendah, maka iapun lalu meloncat mengejar.
Alangkah mendongkol dan marahnya ketika tiba-tiba dari balik tirai kain yang menutup kereta itu, tampak tersembul keluar dua kepala yang bukan lain ialah kepala Souw Eng dan Aisyah, dan Souw Eng sambil mengedipkan sebelah mata padanya berkata:
“Twako, mengapa kau begitu tidak tahu malu dan hendak mengintai suami isteri yang sedang bercakap-cakap?”
Sementara itu, Aisyah tersenyum manis sekali!
Siauw Ma merasakan mukanya bagaikan kena tampar. Ia berpaling dan menjauhi, sedangkan dari arah para gadis yang mengelilingi api terdengar suara ketawa riuh yang terang sekali mentertawakan dia! Maka iapun kembali ke tukang kendang.
Melihat betapa pemuda lawan Souw Eng tadi masih berdiri kaku, ia merasa kasihan dan menepuk pundaknya dua kali untuk membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan.
Pemuda itu memandang ke arah kereta dan berkata perlahan.
“Sungguh seorang enghiong yang gagah sekali. Ia patut menjadi suami Aisyah!” Lalu ia kembali ke dekat api dan mulai meniup sulingnya dalam lagu yang merdu tapi mengandung irama sedih.
Keadaan mereka menjadi gembira lagi dan Siauw Ma mendapat suguhan daging dan roti kering dengan minuman anggur manis. Semua orang makan minum dan bernyanyi dengan gembira seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa, sedangkan keadaan Aisyah dan Souw Eng di dalam kereta seakan-akan telah dilupakan orang.
Tapi mana bisa Siauw Ma melupakan keadaan mereka itu? Ia selalu melirik ke arah kereta dengan hati panas dan tidak senang. Benar-benarkah Souw Eng yang dianggapnya seorang pemuda selain gagah perkasa juga terpelajar dan sopan itu kini melakukan perbuatan rendah?
Kalau benar Souw Eng mau terima menjadi suami Aisyah, mengapa tidak diadakan perayaan kawin lebih dulu? Sungguh mereka berdua itu tidak tahu malu sekali dan Siauw Ma menganggap ia dihina oleh sahabatnya itu. Tiba-tiba Aisyah tampak keluar dari kereta dengan wajah berseri dan tersenyum-senyum, menghampiri mereka yang duduk mengelilingi api. Semua orang memandangnya dengan senyum penuh arti, dan dari kumpulan gadis-gadis terdengar suara terkekeh yang ditahan-tahan.
Kemudian Aisyah menghampiri si tukang kendang dan berbisik di telinganya. Wajah tukang kendang itu berubah dan matanya terbelalak seperti orang terheran-heran, kemudian ia berdongak dan tertawa berkakakan seakan-akan telah mendengar sesuatu yang aneh dan lucu sekali.
Kemudian mereka bercakap-cakap dalam bahasa mereka sendiri yang tak dimengerti oleh Siauw Ma dan sebentar kemudian, termasuk pemuda yang ditotok Souw Eng tadi, tertawa riuh- rendah dengan gelinya. Juga Aisyah tertawa gembira sampai keluar air matanya!
Tentu saja Siauw Ma menjadi bingung dan heran. Ia merasa dirinya terpencil sekali, berada di tengah orang-orang yang mentertawakan sesuatu, sedangkan ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakan mereka itu.
Kemudian ia melihat betapa semua orang memandangnya, maka karena bingung dan gugup, ia pun lalu menyeringai dan mencoba tertawa gembira. Tapi karena tak mengerti apa yang harus ditertawakannya, maka tertawa paksaan itu keluarnya masam dan tak sewajarnya hingga membuat mukanya tampak lucu. Melihat lagak pemuda ini, semua orang tertawa makin keras, bahkan Farida, gadis yang ditolaknya tadi, tertawa sambil menuding-nuding ke arahnya!
Tiba-tiba Siauw Ma menjadi marah. Ia bangun berdiri dengan cemberut dan mengambil keputusan hendak meninggalkan tempat itu, tinggalkan Souw Eng!
Tapi Aisyah segera lari menghampirinya dan berkata dalam bahasa Han yang lancar dan sungguh di luar dugaan Siauw Ma.
“Harap siangkong maafkan kami. Souw-kongcu memesan agar siangkong sudi bermalam saja di sini karena Souw-kongcu lelah sekali dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan. Harap siangkong tidak marah. Souw-kongcu tidak mau dimarahi karena ia merasa tidak mempunyai kesalahan apa-apa kepadamu.”
Siauw Ma berkata marah. “Perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan aku, mengapa aku mesti marah? Ia mau berbuat baik atau buruk, itu sesukanya, karena ia sudah dewasa dan dapat bertanggung jawab sendiri!” Siauw Ma sengaja berkata keras agar terdengar oleh Souw Eng yang masih bersembunyi di dalam kereta!
Kemudian ia bertanya perlahan kepada Aisyah.
“Bagaimanakah, apakah ia mau menerima kau sebagai isterinya? Kalau ia hendak kawin denganmu, untuk apa aku harus menantinya? Kita boleh mengambil jalan masing-masing!” Aisyah tertawa manis dan memperlihatkan sepasang deretan gigi yang rata dan putih berkilauan. “Kami takkan menjadi suami isteri, melainkan menjadi kakak dan adik.”
Mendengar ini, Siauw Ma bengong dan tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandang seperti patung ketika Aisyah mengambil makanan dan menaruh itu di atas baki, lalu dengan tindakan kaki yang menggiurkan hati laki-laki, gadis cantik itu berjalan menuju ke kereta di mana Souw Eng berada. Gadis itu lalu masuk ke dalam kereta sambil membawa makanan yang agaknya hendak diberikan kepada Souw Eng, dan ia maupun Souw Eng tidak tampak keluar lagi!
“Kong-cu, hayo makan lagi. Kita habiskan daging ini, kemudian kita tidur,” kata si pemain kendang.
“Eh, lopeh, mengapakah adat kebiasaan suku bangsamu demikian aneh?” tanya Siauw Ma kepada pemain kendang itu sambil makan daging panggang.
“Apa yang aneh, kong-cu?”
“Banyak hal yang aneh, di antaranya apa yang terjadi sekarang ini. Bolehkah seorang gadis tidur sekereta dengan pemuda bukan suaminya?” Ia berpaling ke arah kereta di mana Souw Eng dan Aisyah berada.
Tukang kendang itu tertawa, menahan geli hatinya. “Mengapa tidak? Bukankah nona Aisyah tadi berkata bahwa ia dan kawanmu itu telah menjadi kakak dan adik?” Siauw Ma membungkam. Alasan itu kurang kuat, tapi ia tidak mau bertanya lebih jauh. Tidak enak kalau ia terus menerus bertanya soal itu karena mungkin ia akan dipandang iri hati!
Setelah menjelang tengah malam, para gadis itu menuju ke kereta dan masuk tidur. Duabelas orang gadis itu memasuki tiga kereta, hingga tinggal sebuah kereta lagi yang kosong. Kemudian empat orang laki-laki berikut tukang masak yang gendut itu, menuju ke kereta yang kosong dan masuk tidur.
Kini tinggal Siauw Ma dan si pemain kendang berdua saja yang masih duduk di dekat api. Ternyata empe itu doyan mengobrol hingga semalam penuh Siauw Ma duduk saja bercakap-cakap dengannya.
Pemuda itu banyak mendengar tentang rombongan ini dari si pemain kendang. Ternyata bahwa Aisyah adalah anak tunggal dari kepala suku yang lebih mendekati Bangsa Tibet itu. Ayahnya bernama Abdullah dan dari nama-nama ini ternyata kebudayaan suku kecil ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India dan Nepal, sungguhpun mereka itu berbahasa Tibet dan bahkan mengerti bahasa Han.
Aisyah semenjak kecilnya dimanja oleh ayahnya dan gadis itu suka sekali berburu, yakni mata pencaharian terutama bangsanya. Selain pandai memanah binatang buas, Aisyah juga pandai menari dan menjadi bunga terharum di antara kawan- kawannya, gadis-gadis lain. Pada saat itu mereka tengah berburu sambil bersenang-senang dalam hutan itu dan tidak disangkanya bertemu dengan kedua pemuda itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Eng telah bangun dan keluar dari keretanya dengan Aisyah. Juga semua anggauta rombongan telah bangun.
Mereka pergi ke anak sungai untuk mencuci muka dan tampak segar-segar dan gembira. Bahkan Souw Eng tampaknya gembira sekali.
Melihat Siauw Ma yang agak kumal dan lesu karena semalam penuh tidak tidur, Souw Eng tersenyum dan menegur.
“Twako, apakah semalam kau tidur nyenyak?”
Siauw Ma yang masih merasa panas hatinya, hanya mengangguk dingin dan berkata, “Hayo, kita lanjutkan, perjalanan, yakni kalau kau masih mau berjalan bersamaku.”
Souw Eng memandangnya heran. “Eh, eh, mengapa kau agaknya masih marah? Tentu saja aku mau berjalan bersamamu, twako. Akan tetapi, kalau kau tidak sudi, akupun tidak berani memaksanya.”
Mendengar kata-kata ini, Siauw Ma sebaliknya jadi khawatir kalau-kalau Souw Eng marah padanya, maka ia berkata tak sabar.
“Sudahlah, hayo kita berangkat. Hari sudah siang!”
Siauw Ma dan Souw Eng lalu bermohon diri kepada rombongan itu dan dengan heran sekali Siauw Ma melihat betapa Aisyah sambil bercucuran air mata memeluk dan mencium jidat Souw Eng! Karena merasa bahwa perbuatan mereka itu melampaui batas, maka Siauw Ma lalu mendahului kawannya lari pergi.
Dadanya terasa sesak dan ia menjadi heran sendiri melihat keadaan dirinya. Mengapa ia harus bersikap demikian? Apakah ia iri hati? Ah, tidak! Ia tidak iri hati sama sekali.
Apakah ia cemburu? Ah, terkejutlah hatinya ketika memikir demikian. Ia tidak pikir sedikit pun pada Aisyah, mengapa harus cemburu? Habis, perasaan apakah yang membuat ia tidak senang melihat Souw Eng berlaku mesra kepada gadis itu?
Akhirnya kedua pemuda itu dapat ke luar dari hutan yang besar dan gelap itu dan bermalam di sebuah desa. Siauw Ma mendapatkan keanehan kedua ketika selalu Souw Eng tidak mau tidur sekamar dengan dia.
“Mengapa, Souw-hiante? Kamar ini cukup besar dan kita dapat bercakap-cakap leluasa kalau tidur sekamar.”
“Aku tidak bisa tidur berdua dalam satu kamar, twako. Aku tidak biasa dan jika dipaksa tentu takkan dapat tidur sekejap matapun.”
“Kau ini aneh sekali, adikku,” kata Siauw Ma tertawa.
“Apakah bedanya kalau kita masing-masing mengambil sebuah kamar? Kalau kau hendak bercakap-cakap, sebelum tidurpun dapat kita bercakap-cakap di kamarku.” Sekali lagi Siauw Ma tertawa hingga Souw Eng mengerutkan jidatnya sambil bertanya, “Eh, mengapa kau tertawa saja, twako? Apakah yang lucu?”
Siauw Ma menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak apa-apa, hiante, hanya aku teringat kata-katamu tadi. Kau bilang tidak biasa tidur berdua dalam sebuah kamar, tapi kemarin kau tidur sekereta dengan seorang nona dan agaknya semalam penuh kau tidur nyenyak dan pulas. Bukankah ini aneh?”
Siauw Ma memang sengaja menyindir untuk membalas kawannya itu dan membuatnya malu. Tapi anehnya, Souw Eng tidak menjadi marah, hanya memandang dia dengan tertawa dan menjawab,
“Ah, itu sih lain lagi soalnya!”
<>
Demikianlah, selama hampir seminggu mereka merantau bersama, melalui beberapa buah kota dan desa, menuju ke arah timur.
Pada suatu senja mereka masuk ke dalam kota Kong-li-bun. Karena mereka telah melalui perjalanan jauh dan hendak segera beristirahat dan masuknya di kota itu telah gelap, maka mereka gunakan ilmu lari cepat dan melalui genteng-genteng rumah orang. Ketika mereka tiba di atas genteng sebuah rumah gedung yang tinggi dan melihat betapa agak jauh dari situ terdapat sebuah rumah penginapan yang besar papan namanya, Siauw Ma, mengajak kawannya turun. Tapi pada saat mereka hendak meloncat turun, tiba-tiba Siauw Ma melihat sesuatu di atas genteng dan ia manahan kakinya sambil berkata.
“Hai, apakah ini?”
Souw Eng memandang dan ternyata di atas genteng rumah gedung terdapat sebuah lukisan memanjang. Lukisan itu dilakukan dengan menaburkan bubuk hitam di atas genteng yang merah dan dilakukan sedemikian rupa hingga bubuk hitam itu merupakan lukisan memanjang di atas genteng-genteng.
Ketika mereka memperhatikan, maka lukisan itu adalah lukisan seekor ular, karena di ujungnya merupakan kepala ular sedang terbuka mulutnya. Anehnya, ular itu tidak berekor dan di ujung bagian ekor juga merupakan kepala, hingga itu adalah lukisan seekor ular hitam berkepala dua!
Siauw Ma terheran dan tidak mengerti apa maksud lukisan itu dan mengapa orang menaruh bubuk hitam dalam bentuk lukisan aneh di atas genteng yang demikian tingginya. Tapi Souw Eng tidak banyak cakap lagi dan mengajak Siauw Ma meloncat turun.
Melihat sikap kawannya itu, Siauw Ma menjadi curiga tapi ia diam saja. Keduanya lalu turun dan berjalan kaki menuju ke rumah penginapan “Lok-thian” yang tadi tampak dari atas gedung. Seperti biasa, Souw Eng ambil kamar terpisah. Karena lapar dan lelah, keduanya segera makan dan Souw Eng katakan bahwa ia lelah sekali hendak segera tidur.
Siauw Ma juga masuk ke dalam kamarnya, tapi diam-diam ia merasa heran sekali akan sikap Souw Eng. Maka, pemuda ini tak dapat tidur, lalu duduk di atas pembaringan sambil bersamadhi dan kerahkan pendengarannya.
Tak lama kemudian, benar saja ia mendengar sesuatu yang mencurigakan. Suara itu terdengar di atas genteng dan sangat perlahan hingga jika ia tidak sedang duduk diam dan kerahkan tenaga pendengarannya, tak mungkin ia dapat mendengarnya.
Ia terkejut karena dapat menduga bahwa suara itu adalah suara tindakan kaki orang yang tinggi sekali ilmu gin-kangnya. Siauw Ma membuka matanya lalu gunakan mulutnya meniup ke arah lilin di atas meja yang menjadi padam.
Ia memang belum buka pakaian, maka cepat sekali ia sambar po- kiam nya yang ia taruh di pinggir pembaringan. Kemudian dengan hati-hati, ia buka daun jendela lalu loncat keluar langsung ke atas genteng.
Ia masih sempat melihat betapa sesosok bayangan tubuh orang dengan gesit dan cepatnya berkelebat loncat ke atas genteng rumah sebelah. Ia cepat loncat mengejar, tapi bayangan itu telah lenyap! Ia heran sekali dan kagum akan kecepatan orang, tapi ia menjadi curiga karena potongan tubuh bayangan itu seperti Souw Eng! Ia segera loncat ke arah kamar kawannya itu dan dekatkan mulutnya ke celah-celah genteng lalu berteriak memanggil, “Souw-hiante! Souw-hiante!”
Ternyata dari bawah tidak ada suara apa-apa. Siauw Ma buka genteng dan mengintai ke dalam karena kamar itu masih terang. Tapi ternyata kamar itu telah kosong! Ah, kini ia merasa pasti bahwa bayangan tadi bukan lain adalah Souw Eng.
Ia makin heran dan tidak mengerti ke manakah perginya kawannya itu? Mengapa tadi berkata lelah hendak mengaso tapi tahu-tahu keluar dalam cara demikian mencurigakan?
Kemudian ia teringat akan lukisan ular hitam berkepala dua di atas genteng gedung besar sore tadi. Ah, tentu ada hubungannya dengan kepergian Souw Eng.
Dengan hati tetap Siuw Ma lalu loncat menuju ke gedung itu. Betul saja, di atas genteng itu ia melihat Souw Eng tengah berdiri dan bicara dengan seorang berpakaian hitam yang sikapnya mencurigakan sekali.
Siauw Ma segera loncat mendekat dengan hati-hati dan waspada. Ia lalu bertiarap di belakang wuwungan yang tebal, hanya terpisah beberapa kaki dari mereka yang sedang bicara itu, lalu mendengarkan dengan penuh perhatian serta mengintai dari balik wuwungan. Ia melihat bahwa yang berdiri berhadapan dengan Souw Eng itu adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan berkulit putih bersih. Tapi wajah yang dapat dilihatnya di bawah sinar bulan yang pada malam hari itu bersinar sepenuhnya, mendatangkan sesuatu yang menimbulkan benci dan tak senang dalam hatinya. Ia mendengarkan percakapan mereka.
“Hm, sudah beberapa bulan aku mencari jejak Ji-thouw-hek-coa si Ular Hitam Kepala Dua, si jai-hoa-cat, bangsat pemetik bunga yang rendah! Tak tahunya yang menjadi bangsat itu bukan lain adalah kau!”
Pemuda berpakaian hitam itu tertawa besar. “Ha, ha, ha! Nona Lian Eng, sungguh setelah kau dapat bicara, kau makin menarik saja. Biarpun berpakaian sebagai pemuda, kau tetap tidak kehilangan kecantikanmu.”
“Jangan ngaco!” Souw Eng membentak dan Siauw Ma rasakan tubuhnya gemetar ketika mendengar pemuda baju hitam itu menyebut kawannya sebagai Lian Eng!
“Nona Lian Eng, jangan kaukira bahwa kau dan kawanmu yang tolol itu sebagai orang-orang terpandai. Kau bilang bahwa kau telah berbulan-bulan mencari jejakku, sebaliknya telah beberapa hari ini aku mengikuti bayanganmu dan kawanmu itu.
“Ha, ha, ha, ha! Sungguh lucu, sungguh tolol! Aku, sekali jumpa saja lantas dapat tahu dan mengenal kau, tapi Siauw Ma si tolol itu telah berhari-hari jalan sama-sama kau, namun belum juga ia tahu bahwa pemuda tampan yang menjadi kawannya bukan lain ialah Lian Eng gadis gagu yang kini berubah menjadi bidadari cantik!”
“Siauw Liong, bangsat kecil! Tidak ingatkah kau betapa suhu- suhu kami mengampuni gurumu yang jahat dan memberi nasihat- nasihat kepadamu? Tidak tahunya, kau kini menjadi makin jahat, bahkan lebih rendah daripada suhumu si jahat dari timur itu.
“Gurumu, Tok-kak-coa sendiri, kurasa belum pernah menjalankan kejahatan seperti yang kaulakukan ini. Kau berubah menjadi manusia rendah, maka sekarang bertemu dengan aku, jangan kauharap akan dapat hidup lebih lama lagi!”
“Lian Eng yang manis. Kenapa kau marah-marah? Ketahuilah, aku adalah seorang sebatangkara yang selalu bernasib malang.
“Aku telah lama merana mencari seorang sahabat yang cocok dan baik, seorang seperti engkau ini. Tapi kau bahkan bersahabat dengan seorang tolol seperti Siauw Ma, sungguh aku merasa penasaran sekali.
“Lian Eng, marilah kita habiskan permusuhan dan kita menjadi sahabat. Aku bersumpah takkan berlaku sesat lagi asal saja kau suka menjadi sahabat baikku dan kita merantau!”
“Cih! Laki-laki tak bermalu!” Souw Eng yang sebenarnya bukan lain adalah Soauw Lian Eng adanya, memaki marah.
Siauw Ma makin berdebar hatinya. Ah, benar si Siauw Liong itu. Ia memang bodoh sekali. Mengapa begitu saja ia tidak tahu? Mengapa ia tak dapat mengenali Lian Eng, gadis yang selalu ia rindukan itu?
Pantas saja Souw Eng demikian ganjil tabiatnya, tidak tahunya ia adalah Lian Eng, murid dari Huo Mo-li di puncak Thang-la! Pantas saja ia demikian lihai.
Dan kini ia dapat memecahkan peristiwa dengan Aisyah yang selalu merupakan teka-teki baginya itu. Pantas saja semua anggauta rombongan mentertawakannya!
Tentu Lian Eng telah menceritakan rahasia dirinya kepada Aisyah dan kawan-kawannya. Dan ia telah tak senang hati melihat Lian Eng tidur sekereta dengan Aisyah!
Dan, lebih hebat lagi, ia telah mengaku, ya mengaku di depan Farida dan di depan Lian Eng, bahwa gadis pilihan hatinya ialah Lian Eng! Ah, malunya! Siauw Ma merasakan mukanya panas karena malu.
Tapi melihat Siauw Liong berada di situ, rasa malunya dikalahkan dan diusir pergi oleh rasa khawatir. Yakni, khawatir akan keselamatan Lian Eng.
Ia masih ingat ketika masih kecil Siauw Liong telah pandai dan Lihai. Apa pula sekarang, buktinya setan itu telah dapat mengikuti jejak mereka berdua tanpa mereka ketahui!
Mengingat ini, ia lalu meloncat dan membentak keras, “Siauw Liong, tak kusangka kau sejahat ini!” Siauw Liong dan terutama Lian Eng, merasa terkejut. Lian Eng melihat Siauw Ma muncul dengan tiba-tiba, merasa malu sekali karena rahasianya telah terbuka.
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Siauw Ma, Lian Eng segera menundukkan muka dan gadis ini tak dapat menahan rasa malu dan sungkannya, maka tanpa berkata apa- apa lagi, ia lalu meloncat pergi dan meninggalkan kedua pemuda itu yang telah saling berhadapan!
“Ha, ha, Siauw Ma! Lihat, bukankah kawanmu Souw Eng itu sangat pemalu? Sungguh seorang pemuda aneh, ya!” demikian ia menyindir kebodohan Siauw Ma.
Siauw Ma membentak. “Tadi telah kudengar semua dan ternyata kau hanya menjadi seorang bajingan rendah. Kejahatan lain masih tidak apa, tapi setelah kau menjadi jai-hoa-cat, bagaimana pun juga aku tak dapat memberi ampun padamu!”
Siauw Liong tertawa lagi dan tiba-tiba ia mencabut keluar sepasang senjata yang aneh dari pinggangnya. Senjata itu adalah sepasang tongkat yang terbuat dari pada dua ekor ular hitam, yang telah mati dan kaku keras seperti kayu. Tapi ia memegang ekor kedua ular itu di tangan kanan kiri dan menggerak-gerakkan senjata istimewa itu seperti orang menggerakkan sepasang pedang!
“Orang tolol, kalau kau sudah bosan hidup, kau majulah!” tantangnya dengan sikap jumawa sekali dan wajahnya yang putih dan cakap itu tiada hentinya tersenyum dan memandang penuh penghinaan.
Siauw Ma menjadi marah dan ia segera menggunakan po- kiamnya maju menyerang. Sebentar saja mereka telah berkelahi mati-matian di bawah sinar bulan purnama dan di atas genteng rumah gedung yang tinggi itu. Karena genteng itu terbuat dari bahan baik dan tebal, maka mereka dapat bertempur dengan leluasa sekali.
Ternyata gerakan ilmu silat Siauw Liong sangat lihai dan cepat. Siauw Ma terkejut sekali melihat kemajuan pemuda sesat itu.
Dilihat dari gerakan-gerakannya, ternyata keadaan Siauw Liong pada saat itu boleh dibilang tidak di bawah Tok-kak-coa kepandaiannya! Sepasang ular hitam di tangannya dapat bergerak cepat sekali dan dari lubang mulut kedua ular itu menyambar-nyambar bau keras yang dapat membikin pusing lawan karena itu adalah hawa beracun yang sengaja ditaruh di dalam mulut ke dua senjata aneh itu!
Akan tetapi, Siauw Ma sekarang bukanlah Siauw Ma dulu yang masih rendah kepandaiannya. Siauw Ma telah mempelajari sampai tamat Ilmu Silat Pedang Naga Sakti dan Beng Beng Hoatsu telah menggemblengnya dengan hebat. Karena itu, pedang di tangan Siauw Ma seakan-akan hidup dan menjadi satu dengan tubuhnya. Gerakan-gerakannya matang dan tetap, sedangkan Sin-liong-kiam-sut adalah ilmu pedang yang boleh dikata raja sekalian ilmu pedang di masa itu. Maka semua serangan Siauw Liong yang bagaimanapun, dapat dipunahkan dengan mudah. Adapun hawa beracun yang menyambar keluar dari senjata Siauw Liong, tidak mempengaruhi Siauw Ma yang juga memiliki lwee-kang tinggi dan dapat mengatur napasnya sedemikian rupa hingga tiap kali napas keluar dari hidung dan mulutnya, napas itu dapat meniup pergi semua hawa racun yang mendekatinya dan mengancamnya.
Sebaliknya, tidak mudah baginya untuk merobohkan Siauw Liong, karena anak muda itu sungguh lihai dan cepat gerakannya. Memang beberapa kali Siauw Liong bisa dibikin kacau oleh gerakan Sin-liong-kiam-sut yang mempunyai gerakan-gerakan tak terduga dan cepat, tapi ia dapat menyelamatkan diri dengan tepat sebelum terkena celaka.
Namun, bagaimana juga, Siauw Liong harus mengakui bahwa kepandaian Siauw Ma biarpun tak dapat dikata lebih tinggi tingkatnya dengan kepandaiannya sendiri, namun ilmu pedang Siauw Ma sungguh-sungguh sukar dilawan hingga ia mulai main mundur.
Kemudian Siuw Liong memaki sambil menyindir-nyindir,
“Eh, orang tolol! Tuanmu tidak mempunyai banyak waktu untuk melayanimu! Kau pemuda tolol tak tahu malu, berhari-hari campur gaul dan dekat dengan seorang gadis, apakah dia patut dikata sopan? Ha, ha, ha! Siauw Ma yang gagah perkasa itu ternyata hanya seorang yang gila perempuan!” Kemudian Siauw Liong loncat pergi. Siauw Ma yang dimaki menjadi marah sekali. Ia kertak gigi dan balas memaki, “Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana?”
Ia meloncat mengejar pula dengan cepat, tapi Siauw Liong menghilang di antara gerombolan pohon dan ditelan kegelapan bayangan pohon-pohon.
Siauw Ma terpaksa batalkan kejarannya. Ia hendak kembali, tapi tiba-tiba dadanya berdebar.
Lian Eng tentu telah pulang lebih dulu! Apakah ia berani bertemu muka dengan gadis itu? Dengan kaki berat dan perasaan malu, Siauw Ma kembali ke rumah penginapan dan langsung memasuki kamarnya.
Ia gelisah dan bergulingan di atas pembaringan tanpa dapat pejamkan mata sebentarpun. Kenyataan bahwa gadis yang semenjak dulu menarik perhatiannya dan yang akhir-akhir ini tanpa diketahuinya telah berjalan bersama-sama dia itu kini tidur dalam sebuah kamar yang tak berjauhan dari kamarnnya, membuat ia gelisah dan bingung.
Apa lagi kalau teringat akan pengalaman-pengalaman selama bersama gadis itu, ia merasa malu kepada diri sendiri. Kini terbukalah matanya bahwa tanpa disadarinya ia telah tertarik kepada Souw Eng, dan rasa tertarik ini tak lain ialah karena wajah dan senyuman pemuda sasterawan itu sama benar dengan wajah dan senyuman Lian Eng! Jadi tanpa disadarinya ia telah jatuh cinta untuk kedua kalinya kepada Lian Eng dan yang kedua kalinya ini adalah Lian Eng yang berubah menjadi seorang pemuda. Karena perasaan suka dan cinta inilah maka ia merasa cemburu dan tak senang ketika Souw Eng tidur sekereta dengan Aisyah!
Makin diingat, makin malulah rasa hati Siauw Ma. Ah, aku harus nyatakan terus terang! Demikian ia mengambil keputusan. Kalau ia tidak menyatakan terus terang, maka selamanya ia akan merasa malu karena terang-terangan ia telah membuat pengakuan bahwa ia mencintai Lian Eng dan gadis itu mendengarnya sendiri. Apakah sekarang, setelah berhadapan dengan berterang, ia tidak berani mengaku?
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siauw Ma telah cuci muka dan berdandan. Ia sengaja berganti pakaian yang dibawanya, pakaian baru yang membuat ia makin gagah dan tampan. Kemudian ia menanti di luar kamar Lian Eng masih tidur karena pintu kamarnya masih tertutup. Ah, ia tentu lelah, pikir Siauw Ma.
Pada saat itu datanglah pelayan rumah penginapan yang menghampiri padanya dan menyerahkan sepucuk surat sambil berkata.
“Siauw-ya, malam tadi kawanmu telah pergi dan meninggalkan surat ini kepadaku dengan pesan agar pagi hari ini kuberikan kepadamu.” Terkejutlah Siauw Ma. Ia terima surat itu dan menegur, “Kenapa tidak kau berikan padaku malam tadi?”
Pelayan itu memandangnya dengan tak berdaya. “Kawanmu itu pesan dengan keras dan tegas, siauw-ya. Ia melarang padaku memberi surat ini padamu sebelum pagi hari ini. Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan padaku.”
Siauw Ma menghela napas. “Kalau begitu kamar itu telah kosong?” tanya dengan harapan.
Pelayan itu mengangguk dan ia pergi ke kamar bekas kamar Lian Eng lalu mendorong pintunya. Memang kamar itu telah kosong, sama seperti kekosongan hati Siauw Ma pada saat itu.
Dengan sepuluh jari tangan gemetar ia buka surat itu yang ternyata berisikan tulisan yang halus dan bagus yang dibacanya berulang kali.
Kakakku Siauw Ma yang baik,
Kalau surat ini kau pegang, maka aku telah pergi jauh. Setelah apa yang terjadi malam tadi, kurasa lebih baik kita menuruti jalan masing-masing, bukan?
Harap saja kau sudi maafkan padaku jika kau anggap aku telah mempermainkan padamu yang sesungguhnya, bukan menjadi maksudku dan janganlah marah padaku. Aku akan anggap kau sebagai seorang kawan terbaik selama hidupku. Tertinggal hormatnya
Souw Lian Eng
Siauw Ma merasa seakan-akan dunia menjadi sunyi dan ia seperti kehilangan sesuatu yang membuat ia berduka. Tapi terhibur juga hatinya membaca tulisan Lian Eng yang terakhir.
Gadis itu akan menganggapnya sebagai seorang kawan terbaik selama hidupnya? Ah, ini menandakan bahwa dirinya betapapun juga mendatangkan kesan baik dalam hati gadis itu! Siapa tahu, kalau ada jodoh mereka tentu akan bertemu kembali.
Atau, bagaimanapun juga, tak sampai setahun lagi, pada permulaan musim Chun tahun depan mereka tentu bertemu di puncak Thang-la! Mengingat akan hal ini, Siauw Ma terhibur hatinya dan wajahnya yang muram menjadi terang kembali.
Aku tidak harus mengejar-ngejar dan mencari-carinya, karena perbuatan ini hanya akan mendatangkan rasa rendah dirinya pada hati Lian Eng. Gadis itu telah menyatakan hendak menuruti jalan masing-masing.
Demikianlah, Siauw Ma memutar-mutar pikirannya dan akhirnya mengambil keputusan untuk melanjutkan perantauannya ke arah utara.
<>
Marilah kita alihkan perhatian kita sebentar untuk mengikuti keadaan dan pengalaman murid-murid dari tokoh lain. Di atas puncak Hong-lun-san, seorang dari pada Thang-la Sam-sian atau Tiga Dewa Gunung Thang-la, yakni Hwat Kong Tosu, tidak kalah rajinnya dengan penuh perhatian menggembleng murid kesayangannya, Hong Cu.
Gadis itu yang tahu bahwa suhunya telah mengikuti semacam perlombaan mengadu kepandaian dan bahwa dirinya dijadikan batu ujian, belajar dengan penuh semangat karena iapun ingin sekali mewakili suhunya dan merebut gelar pendekar terbesar dari Thang-la.
Hong Cu maklum bahwa orang-orang yang ia hadapi dalam perlombaan ini adalah orang-orang pandai dan yang lebih dahulu belajar silat dari padanya. Ia sudah mengemukakan hal ini kepada suhunya, tapi Hwat Kong Tosu dengan penuh keyakinan berkata kepadanya.
“Muridku, jangan kau gelisah. Memang, Beng Beng Hoatsu, Kiang Cu Liong dan Huo Mo-li adalah orang-orang lihai yang pasti akan menurunkan ilmu silat tinggi kepada muridnya. Tapi, betapapun juga, jika kau bersungguh hati dan dapat mewarisi ilmu tongkat kami seluruhnya dengan baik dan sempurna, jangan kau cemas akan tertinggal oleh mereka!
“Dengan Ouw-coa-koai-tung-hwat kami yang telah kaupelajari dengan sempurna, kau boleh dengan hati besar menghadapi Sin- liong-kiam-sut dari Beng Beng Hoatsu, Huo-mo-kun-hwat dari Huo Mo-li, ataupun kepandaian silat tinggi yang diturunkan oleh si Tabib Dewa sekalipun!” Hong Cu percaya penuh akan kata-kata suhunya itu, maka iapun berbesar hati dan meyakinkan Ouw-coa-koai-tung-hwat dengan sepenuh hati. Selain itu, iapun mempelajari ilmu-ilmu lain dan memperdalam lwee-kang dan gin-kang dengan tekunnya.
Sementara itu, semenjak Hwat Kong Tosu mengajak Hong Cu ke atas Hong-lun-san, maka Souw Cin Ok, murid Hwat Kong Tosu yang pertama dan telah tua, yakni kakek sendiri dari Lian Eng yang akhirnya menjadi murid Huo Mo-li, mendapat perkenan dari suhunya untuk turun gunung dan menjalankan tugas sebagai pendekar perantauan.
Seperti halnya dengan Beng Beng Hoatsu yang menyuruh muridnya turun gunung, Hwat Kong Tosu ternyata mempunyai pandangan yang sama. Ia merasa bahwa kepandaian muridnya telah cukup tinggi dan sempurna, hanya perlu sekali muridnya itu menambah pengalaman dan mempraktekkan semua ilmu yang dipelajari di atas gunung itu untuk diuji dan digembleng dengan api pengalaman di dunia ramai.
Maka, setahun sebelum pertemuan besar itu terjadi, ia panggil Hong Cu dan memerintahkan muridnya itu turun gunung mencari pengalaman. Dengan demikian, maka tanpa disengaja Hong Cu tinggalkan Hong-lun-san hampir berbareng dengan Siauw Ma yang tinggalkan Puncak Harimau Salju!
Demikianlah, pada suatu pagi, dari puncak Hong-lun-san yang tinggi, tampak sesosok tubuh yang dengan lincah dan gesitnya meloncati jurang-jurang menuruni lereng yang curam. Ia adalah Hong Cu yang berpakaian warna kuning dengan sabuk sutera merah.
Gadis itu kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik sekali. Sepasang matanya lebar dan bening seperti burung hong, mulutnya kecil dengan bibir merah. Kulit putih bersih dan halus, sedikitpun tak membayangkan bahwa di bawah kulit itu terdapat tenaga-tenaga mentakjubkan.
Berbeda ketika merantau dulu, kini di atas gunung Hong Cu mempunyai banyak kesempatan untuk merawat diri, maka kini ketika turun gunung, rambutnya tampak hitam berkilat dan dikuncir rapi lalu diikat di atas kepala dengan ikat rambut dari pita merah pula. Bahkan di bagian kiri kepalanya, ia menghiasnya dengan setangkai bunga warna kuning yang harum baunya.
Hong Cu tidak membawa senjata apa-apa karena keahliannya bermain tidak membutuhkan sesuatu senjata khusus. Ia dapat menggunakan setiap potong kayu untuk dijadikan senjata tongkat yang tidak kalah lihainya dari pada sebatang pedang mustika!
Agaknya tabiat Hong Cu tidak banyak berubah, riang gembira dan jenaka seperti biasa, terbukti dari senyum yang menghias bibirnya dan sinar matanya yang selalu berseri ketika ia menggunakan ilmu lari cepat menuruni gunung itu!
Ia telah mendapat perkenan dari suhunya untuk mencari orang tuanya. Memikirkan hal ini, ia merasa sangat girang dan gembira, karena telah lebih dari enam tahun ia tinggalkan kedua orang tuanya! Biarpun telah enam tahun yang lalu, tapi Hong Cu masih teringat akan peristiwa ketika ia mula-mula bertemu dengan suhunya di kota Bun-an-kwan. Ia tahu bahwa kota itu bukanlah tempat tinggal orang tuanya dan ia masih teringat bahwa orang tuanya adalah seorang pembesar di kota Tiong-an-kwan yang tak jauh letaknya dari Bun-an-kwan. Ayahnya bernama Ang Lie Seng.
Maka pada pagi itu, Hong Cu langsung menuruni puncak Hong- lun-san dan menuju ke arah timur, hendak mencari tempat tinggal ayah bundanya. Tapi Tiong-an-kwan bukanlah dekat dari Pegunungan Thang-la dan untuk pergi ke kota itu ia membutuhkan sedikitnya waktu satu bulan perjalanan cepat karena dari tempat pertapaan suhunya, kita itu terpisah ribuan lie jauhnya!
Beberapa hari kemudian, Hong Cu tiba di sebuah kota yang cukup ramai. Ia berjalan seenaknya masuk ke dalam kota itu dan semua mata memandangnya dengan kagum dan heran.
Siapa yang takkan kagum melihat gadis remaja yang cantik jelita itu dan siapa yang takkan heran melihat seorang gadis muda seorang diri berjalan memasuki kota, sedangkan pakaian gadis itu serba ringkas dan singset, menunjukkan bahwa gadis itu adalah golongan orang-orang ahli silat.
Tapi karena tidak tampak pedang menghias di pinggang atau punggung Hong Cu, orang-orang tidak memandang sebelah mata kepadanya. Kecantikan dan keadaannya itu mendatangkan peristiwa yang cukup hebat di kota itu. Di dalam kota itu terdapat serombongan anak muda tukang pelesir yang terkenal sebagai pemuda-pemuda nakal dan jahat.
Mereka ini adalah putera-putera para pembesar dan hartawan yang pekerjaannya tidak lain hanya mengandalkan kedudukan dan harta orang tua untuk menghina orang lain, terutama rakyat kecil yang tak berdaya. Pemuda-pemuda ini diam-diam membentuk semacam perkumpulan orang muda di mana mereka mempelajari ilmu silat dengan mengumpulkan orang-orang yang mereka anggap jagoan.