Patung Dewi Kwan Im Jilid 07

Jilid 07

“Baru saja menjadi raja pengemis sudah sesombong ini, apa pula kalau menjadi raja tulen!” gadis itu menyindir, gurunya tertawa lagi.

“Orang-orang yang melanggar peraturan sendiri adalah segolongan pengkhianat, dan orang-orang yang tidak mengindahkan peraturan orang-orang lain dan sengaja melanggarnya, adalah orang-orang yang tidak tahu aturan dan harus dihajar!” Coa-kai-ong itu berkata keras.

Tiba-tiba Raja Pengemis itu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebutir kacang. Tangannya diayun dan kacang kecil itu melayang cepat ke arah pengemis muda yang masih berdiri sambil menundukkan muka.

“Kau tidak lekas berlutut?” teriak Raja Pengemis itu dan pada saat itu juga biji kacang yang disambitkan mengenai urat lutut pengemis muda itu hingga tak dapat ditahan lagi ia jatuh berlutut. “Sekarang terima kematianmu!” Raja Pengemis itu ayun pula tangannya, kini ia mengarah kepala orang!

Tapi Hwat Kong Tosu tak membiarkan orang dibunuh begitu saja di depannya. Ia kebutkan ujung lengan bajunya dan angin yang keluar dari kebutan itu telah meniup pergi biji kacang yang disambitkan!

Diam-diam Coa-kai-ong kaget sekali, tapi ia juga marah. Sambil membanting kaki ia berkata,

“Benar-benar kau tidak pandang mata padaku! Perbuatanmu itu berarti satu tantangan! Siapakah sebenarnya kau, pendeta tua?”

Hwat Kong Tosu tersenyum. “Kita sudah tua sama tua, jangan kauanggap dirimu masih muda! Namaku Hwat Kong, dan soal nama itu tidak ada artinya, yang penting adalah perbuatan dan watak seseorang.”

Baru terbukalah mata Raja Pengemis itu setelah mendengar nama itu.

“Ahh pantas saja setan pelanggar peraturan ini berani sekali menghadap di sini, tidak tahunya adalah kau, seorang pentolan dari pada Thang-la Sam-sian yang terkenal! Bagus, bagus! Hwat Kong Tosu, jangan kita bersikap seperti kanak-kanak. Katakan saja, apakah kau tidak puas dengan peraturan-peraturan dalam perkumpulanku sendiri?”

“Coa-kai-ong! Aku bukanlah orang yang terlalu gatal tangan dan suka mencampuri uruan rumah tangga orang lain, tapi kalau terjadi sesuatu perkara pembunuhan, tentu aku akan mencegahnya, apa pula pembunuhan terhadap seorang yang tidak berdosa. Kau adakan peraturan hukuman bagi anggauta- anggautamu yang menyeleweng, itu baik-baik saja. Tapi kekejamanmu untuk turunkan tangan jahat membunuh jiwa orang dengan alasan yang begitu kecil, ini membuat aku heran sekali, dan terpaksa aku harus menghalangi.”

Tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa. “Bagus! Sudah lama aku mendengar kelihaian ilmu tongkat darimu. Nah, sekarang cobalah kaulindungi setan ini dengan tongkatmu!”

Setelah berkata demikian, secepat kilat Coa-kai-ong cabut sebatang tongkat berkepala tengkorak dari bawah meja sembahyang dan langsung menghantam¬kan tongkat itu ke arah kepala pengemis muda yang hendak dibunuhnya itu.

Hwat Kong Tosu tidak tinggal diam, sekali berkelebat saja ia sudah berhasil menangkis dengan tongkat bambunya hingga tongkat kepala tengkorak itu terpental.

“Akupun ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan Ilmu Tongkat Sin-kai-tung-hwat!”

Keduanya lalu bertempur ramai di ruang sembahyang itu. Tongkat di tangan Coa-kai-ong memang hebat dan gerakan-gerakannya mendatangkan hawa dingin dan tongkatnya berbunyi bersiutan.

Tapi ilmu tongkat ciptaan Hwat Kong Tosu adalah rajanya sekalian ilmu tongkat. Ketika mencipta ilmu ini, Hwat Kong Tosu telah mempelajari bermacam-macam ilmu tongkat hingga segala gerakan ilmu ini telah ditimbang dari segala sudut dan boleh dibilang tidak ada celanya sedikitpun.

Biarpun ilmu tongkat Coa-kai-ong juga hebat, namun menghadapi Ouw-coa-tung-hwat dari Hwat Kong Tosu, ia seakan-akan seorang murid bertemu, dengan gurunya!

Tadi ketika pengemis buta melawan Hong Cu, pengemis itu mudah saja dijatuhkan. Padahal pengemis buta itu adalah murid Coa-kai-ong yang telah mewarisi lebih dari setengahnya Ilmu Tongkat Sin-kai-tung-hwat, sedangkan Hong Cu baru saja paling banyak mewarisi sepersepuluh bagian dari Ilmu Tongkat Ouw- coa-tung-hwat! Melihat perbandingan itu saja, mudah diketahui betapa jauhnya perbedaan antara kedua ilmu tongkat itu.

Maka setelah bertempur beberapa puluh jurus saja, Coa-kai-ong terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu tongkat Hwat Kong Tosu. Beberapa kali ujung tongkat bambu yang bergerak-gerak seperti seekor ular itu telah mengancam jalan darahnya di seluruh tubuh, tapi tiap kali ujung tongkat tinggal menotok saja, tongkat segera ditarik kembali oleh Hwat Kong Tosu.

Pertapa ini masih tidak tega untuk menjatuhkan dan membikin malu kepada Coa-kai-ong di depan murid-muridnya.

Coa-kai-ong adalah tergolong seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja iapun tahu akan kemurahan hati Hwat Kong Tosu ini. Ia merasa bersyukur, karena pada waktu itu berpuluh pengemis yang menjadi murid¬-murid dan cucu muridnya telah berkumpul menyaksikan pertandingan tongkat ini.

Kalau sampai ia dijatuhkan oleh Hwat Kong Tosu, tentu kewibawaannya terhadap sekalian anggauta perkumpulannya itu akan merosot! Maka ia menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Hwat Kong Tosu yang sengaja membuka lowongan atau jalan keluar dan cepat meloncat berjumpalitan ke belakang sejauh tiga tombak lebih!

“Benar-benar hebat! Hwat Kong Tosu, benar-benar ilmu tongkatmu tidak ada bandingannya di seluruh dunia ini. Aku takluk betul!” Raja Pengemis itu susut keringatnya, melempar tongkatnya ke samping dan segera menghampiri Hwat Kong Tosu.

Murid-muridnya yang menyaksikan pertandingan itu merasa heran karena gerakan kedua orang tadi terlampau cepat bagi mata mereka hingga mereka tidak tahu tentang perbuatan Hwat Kong Tosu yang sudah mengalah itu.

“Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagiku dan aku akan menghapuskan hukuman-hukuman mati!” kata si Raja Pengemis.

Hwat Kong Tosu tersenyum puas.

“Kau adalah seorang laki-laki gagah, maka sedikitpun pinto tidak khawatir karena kau pasti akan memegang teguh janjimu. Memang, dalam perkumpulan yang mempunyai demikian banyak anggauta seperti perkumpulanmu ini, kau harus berlaku keras dan memegang teguh peraturan.

“Tanpa hukuman berat, mereka yang biasanya berwatak bandel tentu takkan tunduk dan takut. Akan tetapi, hukuman mati tak boleh diobral sembarangan saja.”

Coa-kai-ong menjura. “Terima kasih atas nasihat-nasihatmu.”

Kemudian Raja Pengemis itu berpaling kepada muridnya yang berada di situ dan berkata dengan suara keras.

“Hai kalian semua! Lihatlah, ini adalah seorang locianpwe yang gagah perkasa dari Pegunungan Thang-la. Namanya sangat tersohor, dan beliau ini boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar yang lain dari Thang-la, yaitu Huo Sianli si Dewi Api dan Beng Beng Hoatsu!

“Tamu agung telah datang dan kita mendapat kehormatan besar sekali, bahkan barusan aku sendiri telah mendapat pelajaran yang sangat berarti. Maka, hayolah kalian sediakan hidangan untuk menyambut beliau!”

Kawanan pengemis itu bersorak gembira dan sebentar saja tempat itu dibersihkan oleh mereka.

Sebuah meja besar dipasang di tengah ruangan dan tak lama kemudian, entah dari mana dapatnya, mereka datang membawa masakan-masakan yang lezat dan masih mengepul hingga menyiarkan bau sedap mendatangkan lapar! “Marilah, Hwat Kong Tosu, kita makan sekedarnya. Nona, jangan sungkan-sungkan, marilah!”

Hwat Kong Tosu tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah maju dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi semua hidangan itu dengan wajah berseri.

Si Raja Pengemis dengan sekali tendang telah membebaskan totokan di tubuh pengemis muda tadi dan membentak.

“Nah, aku bebaskan hukumanmu tapi awas! Jangan kau melakukan pekerjaan mencopet lagi. Kau adalah anggauta pengemis dan pekerjaan pengemis hanya minta dengan rela belas kasihan orang, bukan mencuri atau mencopet!”

Kemudian si Raja Pengemis itu duduk di depan Hwat Kong Tosu dan Hong Cu yang sementara itu telah mengikuti gurunya dan duduk di samping pendeta itu. Hwat Kong Tosu yang memang penggemar makanan enak terus saja sikat habis hidangan yang dianggap paling enak.

Setelah makan kenyang, Hwat Kong Tosu berpamit dan mengajak muridnya melanjutkan perjalanan. Mereka diantar sampai di pinggir hutan oleh kawanan pengemis tua yang sangat mengagumi Hwat Kong Tosu.

Beberapa hari kemudian, Hwat Kong Tosu dan muridnya telah tiba di kaki Gunung Hek-coa-san sebelah barat. Pada waktu itu, waktu yang dijanjikan, yakni satu bulan, masih kurang lima hari. Hwat Kong Tosu mengajak muridnya bermalam dalam sebuah kelenteng kecil yang hanya dijaga oleh seorang hwesio tua yang baik hati dan ramah tamah. Kelenteng itu berada dalam sebuah kampung yang melarat dan penduduknya semua kaum tani miskin.

Karena Hwat Kong Tosu membawa banyak potongan perak, maka hwesio tua itu senang sekali menerima sumbangan dari Hwat Kong Tosu dan memberikan kamar terbesar dalam kelenteng itu kepada Hong Cu, sedangkan Hwat Kong Tosu cukup dengan sebuah bantal duduk saja, karena pertapa sakti ini jarang sekali tidur dengan membaringkan tubuh. Cukup baginya adalah mendapat tempat yang sunyi di mana ia dapat bersila dan duduk diam berjam-jam sebagai gantinya tidur.

Malam hari itu, bulan muda telah mulai menerangi angkasa dan cuaca suram-suram, terang tidak, gelap sekali juga tidak. Hwat Kong Tosu memanggil muridnya dan berkata.

“Hong Cu, kita naik ke puncak gunung itu lima hari lagi. Si jahat dari timur itu banyak akalnya, maka keadaan di sana tentu berbahaya. Malam ini kau jangan pergi ke mana-mana, aku hendak naik menyelidik keadaan.”

“Baik, suhu,” jawab Hong Cu, tapi karena ia tidak puas dan ingin sekali ikut, disambungnya dengan, “Kenapa teecu tidak boleh ikut, suhu?”

“Sekarang tidak boleh, Hong Cu. Keadaan sangat berbahaya dan mungkin banyak perangkap dipasang oleh si jahat itu. Lima hari lagi kalau waktunya telah tiba, tentu kau akan kubawa. Berhati- hatilah seorang diri di sini.”

Hwat Kong Tosu lalu menghilang ke dalam bayangan pohon- pohon dan tinggalkan muridnya. Hong Cu merasa agak kecewa, karena selama ini jarang sekali suhunya meninggalkan dia dan selalu dibawanya. Kali inipun ia ingin sekali ikut, karena betapapun berbahayanya keadaan mengancam mereka, jika pergi dengan suhunya, hati Hong Cu yang memang tabah itu makin tetap dan berani.

Tengah malam telah lewat, tapi Hong Cu tak dapat pulas. Ia teringat kepada kedua orang tuanya dan tiba-tiba timbul rasa rindu. Hatinya yang keras mencair dan beberapa titik air mata membasahi pipinya.

Ia pegang-pegang rambutnya yang kusut dan kacau balau. Ah, dulu rambutnya selalu halus, bersih dan licin karena diminyaki.

Ia lalu memandang pakaiannya yang penuh tambalan. Dulu ia selalu mengenakan pakaian indah-indah dan berkembang dengan tata warna yang bagus sekali. Dalam lamunannya itu terbayanglah di depan matanya pengalaman-pengalaman yang penuh kesenangan ketika ia masih bersama dengan orang tuanya.

Tapi Hong Cu adalah seorang gadis yang berhati jujur dan berkemauan keras. Ia telah memberi keputusan untuk menjadi murid Hwat Kong Tosu dan pertapa itu begitu baik kepadanya. Pula, ketika mengingat bahwa kini ia telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, hatinya yang tadinya duka menjadi terhibur. Kerinduan pada orang tua agak berkurang ketika ia pikir bahwa setelah ia tamat belajar silat, tentu ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka!

Tiba-tiba Hong Cu tersentak bangun dan sadar dari lamunannya. Ia mendengar sesuatu di atas kelenteng. Telinganya yang terlatih dapat menangkap suara tindakan kaki di atas genteng, dan gerakan kaki itu demikian ringan hingga ia menjadi ragu-ragu.

Ia tahu bahwa yang datang itu pasti bukan suhunya karena gin- kang suhunya sudah terlampau tinggi untuk dapat didengar dari bawah jika ia berjalan di atas genteng. Tapi orang yang datang ini memiliki gin-kang yang cukup tinggi hingga Hong Cu merasa heran.

Cepat ia gunakan tiupan keras dengan bibirnya hingga api lilin di atas meja yang terletak agak jauh dari tempat tidurnya menjadi padam. Kamarnya gelap gulita dan cahaya bulan tampak mengalir masuk ke dalam kamar melalui jendela.

Hong Cu menggunakan ketajam matanya memperhatikan. Agaknya orang di atas genteng itu telah berhenti bergerak dan tidak terdengar sesuatu tapi perlahan-lahan Hong Cu melihat betapa genteng di atas digeser orang.

Hong Cu adalah seorang gadis pemberani. Kenyataan bahwa beberapa kali ia berhasil menang dalam pertempuran, membuat hatinya makin tabah lagi dan percayaannya terhadap diri sendiri sangat besar. Ia maklum bahwa pengintai di atas kamarnya bukanlah sembarang maling, tapi adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, meskipun demikian, ia tidak merasa gentar.

Ia tahu bahwa yang datang itu tentu tidak mempunyai maksud baik, dan lebih baik bertindak mendahului dari pada menanti datangnya bahaya sedangkan ia berada seorang diri di situ!

Dengan hati-hati Hong Cu mengambil tongkat bambunya yang disandarkan di pojok kamar. Semenjak mempelajari ilmu tongkat gurunya yang lihai, ia sengaja membuat sebatang tongkat bambu yang kecil dan cocok ia gunakan. Tongkatnya itu terbuat dari pada bambu keras berwarna kuning dengan guratan-guratan hijau dan ia telah menggosok-gosoknya setiap hari hingga bambu itu mengkilap bagaikan emas.

Kemudian, dengan tipu loncat Burung Garuda Terjang Awan, ia keluar dari jendela dan langsung enjot tubuhnya ke atas genteng. Gerakannya ini cepat sekali dan kedua kakinya ketika meloncat hampir tak mengeluarkan suara, tapi ketika tiba di atas genteng, ia menjadi heran sekali. Ternyata di atas genteng itu tidak kelihatan bayangan seorangpun.

Dengan adanya cahaya bulan yang suram-suram, Hong Cu dapat melihat di sekelilingnya. Tapi di sekelilingnya sunyi saja.

Tengah ia berdiri bingung dan heran, tiba-tiba terdengar suara ketawa keras di belakangnya. Ia cepat memutar tubuhnya dan ternyata bahwa orang yang tertawa itu tadi bersembunyi di balik wuwungan rumah hingga tak tampak. Kini orang itu, seorang pemuda tanggung yang memegang sebatang pedang di tangan kanan, berdiri dan tertawa mengejeknya.

“Kukira siapa, tidak tahunya kau si manis!” dan anak muda itu tertawa lagi.

Hong Cu memandang orang itu lebih teliti. Pemuda itu berusia paling banyak limabelas tahun, wajahnya tampan pakaiannya mewah, tapi sikapnya kurang ajar sekali.

Maka teringatlah Hong Cu bahwa pemuda itu bukan lain ialah Siauw Liong, murid dari Tok-kak-coa Si Ular Tanduk Berbisa! Seketika itu juga timbullah marahnya melihat musuh besar yang pernah mengganggunya itu.

“Bangsat kurang ajar, lihat tongkat!” Ia lalu menubruk maju sambil gerakkan tongkatnya.

Siauw Liong yang pernah mencoba kepandaian gadis ini dan tahu bahwa Hong Cu belum berapa tinggi kepandaiannya, tak melihat sebelah mata padanya, apa lagi ketika dilihat bahwa senjata di tangan gadis itu hanya sepotong bambu. Ia tertawa bergelak- gelak dan simpan kembali pedangnya lalu berkelit cepat dan ulur tangannya hendak menangkap pergelangan tangan Hong Cu.

Tapi alangkah terkejutnya ketika ujung tongkat Hong Cu bagaikan bermata dan dengan putaran yang aneh tahu-tahu telah meluncur ke bawah dan menotok jalan darahnya di iga kanan! Baiknya ia berlaku cepat dan jatuhkan diri ke belakang lalu berjumpalitan, namun tak urung bajunya masih terkait ujung bambu dan terobek!

Hong Cu melihat hasil ini makin berbesar hati dan cepat maju menerjang lagi. Siauw Liong benar-benar heran melihat permainan tongkat gadis itu yang demikian lihai.

Belum sebulan yang lalu gadis itu sangat rendah ilmu silatnya jika dibandingkan dengan ia sendiri tapi mengapa sekarang belum juga sebulan, ilmu silatnya sudah demikian maju? Gin-kangnya bertambah hebat! Maka dengan penasaran Siauw Liong lalu mencabut pedangnya karena ia tidak berani melayani dengan tangan kosong lagi.

Biarpun Hong Cu telah mempelajari ilmu tongkat yang luar biasa dari suhunya, tapi ia belajar baru saja beberapa puluh hari dan kepandaiannya belum masak betul, sedangkan Siauw Liong semenjak kecil telah digembleng dengan berbagai kepandaian silat yang tinggi dan ganas oleh suhunya, maka setelah bertanding beberapa puluh jurus, gadis ini mulai terdesak oleh sinar pedangnya yang mengurung.

Tapi Hong Cu berkelahi dengan penuh semangat dan ia keluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu Tongkat Ouw-coa-tung- hwat adalah raja ilmu tongkat yang mempunyai bagian-bagian tersembunyi dan tak terduga hingga biarpun kepandaian itu baru saja dikuasai oleh Hong Cu paling banyak sepersepuluh bagian, namun sudah cukup kuat untuk menjaga diri hingga pedang Siauw Liong tidak mudah memecahkan benteng penjagaan dari tongkat Hong Cu. Pada saat itu terdengar bentakan keras dan nyaring. Sebatang pedang dengan gerakan kuat sekali diputar di tengah-tengah dan memisahkan kedua orang yang sedang bertanding sengit itu.

“Tahan!” teriak pemisah itu sekali lagi.

Hong Cu loncat mundur dan melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tujuhbelas tahun. Tubuh pemuda itu tegap dan wajahnya gagah. Sinar matanya mengalahkan cahaya bulan dan dagunya yang berlekuk menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang tabah dan keras hati.

“Eh, eh! Dari mana datangnya orang hutan yang tak tahu aturan dan ikut campur urusan orang lain?”

Siauw Liong menegur marah ketika meilhat bahwa yang datang itu adalah seorang pemuda berpakaian tani biasa saja. Ia maju dengan pedang mengancam.

Pemuda tegap itu memandang wajah Siauw Liong dengan tajam, kemudian ia tertawa, “Ha, tidak tahunya kau! Pantas saja, karena siapa lagi selain engkau yang sudi berbuat tidak sopan dan kurang ajar?”

Siauw Liong marah sekali, dan ia pandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Akhirnya dapat juga ia ingat dan kenal bahwa yang datang itu bukan lain adalah Siauw Ma yang dulu pernah datang mengunjungi ia dan gurunya, bahkan sudah bersama- sama makan ular dan kelabang! Siauw Liong tersenyum sindir. “Ah, tidak tahunya yang datang adalah si tolol!! Kau berani sekali katakan aku tidak sopan dan kurang ajar. Apa maksudmu?”

“Kau seorang laki-laki pada tengah malam buta menghina seorang perempuan yang lebih muda dan lebih rendah kepandaiannya dari padamu. Kau main-main dengan pedang menyerang dia yang hanya bersenjata tongkat bambu. Apakah ini pantas dan adil? Kalau aku tidak melihat keganjilan ini masih tidak mengapa tapi sekarang aku telah berada di sini, pasti aku takkan bisa membiarkan kau berlaku kurang ajar!”

Siauw Liong tertawa bergelak-gelak.

“Nah, nona manis, dengarkah engkau? Kepandaianmu memang jauh lebih rendah dari kepandaianku. Bahkan orang tolol inipun dapat melihatnya. Apakah kau belum mau takluk padaku?”

Hong Cu hanya memandang marah dan mencibir.

“Kau jawab dulu pertanyaanku tadi, jangan bicara ngacau tidak karuan!” Siauw Ma membentak.

“Eh, kau mengandalkan apa sih, galak-galak amat! Gurumu pernah dilukai oleh guruku, itu tandanya guruku jauh lebih lihai. Tentang hal kepandaianmu, ah, belum tentu kau dapat melawan tangan kiriku! Kau mau tahu mengapa kami bermain-main di sini? Ia, gadis manis ini, adalah tunanganku!”

“Bangsat tak kenal malu!” Hong Cu memaki, tapi sambil tertawa Siauw Liong menyambung kata-katanya kepada Siauw Ma. “Tunanganku ini tidak percaya bahwa kepandaianku lebih tinggi dari kepandaiannya maka kami saling mencoba kepandaian. Betapapun juga, kalau kelak ia sudah menjadi isteriku, ia harus mengalah juga! Ha-ha!”

“Bangsat rendah! Jangan kau berani main gila!” Hong Cu tak dapat menahan marahnya dan menggerakkan tongkatnya menyerang lagi, tapi dengan pedangnya, Siauw Ma dapat menahan serangan itu sambil berkata, “Sabarlah, nona!”

Kemudian ia berkata kepada Siauw Liong, “Kau berkata bahwa nona ini tunanganmu, tapi ia menyangkal. Benarkah bicaramu tadi?”

Siauw Liong tertawa lagi. “Nona manis, dengarlah. Ini adalah seorang sahabatku yang jujur. Namanya Siauw Ma dan kami pernah berjumpa dulu hingga boleh dikata kami adalah kenalan lama. Kau memang suka membohong, nona, tapi sahabatku ini selamanya tak pernah membohong. Guruku telah menemui Hwat Kong Tosu.”

“Hwat Kong Tosu?” Siauw Ma memotong.

“Ya, Hwat Kong Tosu. Pendeta itu adalah suhu nona ini. Kedua guru kami telah saling berjanji dan telah mengikat perjodohan kami, bukankah itu berarti bahwa kami telah bertunangan?”

Siauw Ma mengangguk-angguk, ia terlalu jujur hingga menganggap bahwa omongan orang lain semuanya benar belaka. “Kalau memang betul demikian, kalian telah bertunangan.”

“Bangsat rendah!” Hong Cu memaki sambil menuding muka Siauw Liong. Kemudian ia memandang kepada Siauw Ma dan memaki pula. “Dan kau, kau kuda tolol!”

Siauw Ma mundur dan kaget ketika ia dimaki kuda tolol, karena memang namanya memakai huruf Ma yang berarti kuda!

“Siapa sudi menjadi tunangan binatang ini? Guruku Hwat Kong Tosu adalah seorang tokoh Thang-la yang kenamaan dan mulia, mana dia mau mengadakan perundingan dengan Tok-kak-coa si jahat dari timur? Mereka bahkan bermusuhan. Anjing kecil ini memang tukang membohong dan penjual obrolan kecil!”

Sementara itu, Siauw Ma telah dapat mempertimbangkan. Memang, ia tahu bahwa Hwat Kong Tosu adalah seorang tokoh besar yang sejajar dengan suhunya sendiri, sedangkan Tok-kak- coa telah dikenalnya sebagai seorang kejam yang lihai dan jahat.

“Aku percaya padamu, nona. Aku tahu akan kelihaian dan kemuliaan suhumu, dan aku tahu pula orang macam apakah suhu anak kurang ajar ini. Siauw Liong hayo kau pergi dari sini dan jangan ganggu nona ini, kalau tidak, kau akan berkenalan dengan pedangku!”

“Ha, ha, ha! Kau petani busuk berani buka mulut besar!” Sebagai penutup kata-katanya, Siauw Liong mengirim serangan hebat dengan pedangnya. Siauw Ma menangkis dan sebentar saja kedua pemuda itu berkelahi dengan seru dan ramai. Kepandaian Siauw Liong penuh tipu daya dan gerakan-gerakannya curang, maka ia lihai sekali. Biarpun seorang lawannya mempunyai kepandalan tinggi, tapi kalau belum banyak pengalaman dalam perkelahian tentu akan tertipu olehnya.

Akan tetapi, Siauw Ma sekarang adalah Siauw Ma yang telah mendapat latihan-latihan keras dari Beng Beng Hoatsu, dan pemuda ini telah mempelajari Ilmu Pedang Sin-liong-kiam-sut, kepandaian tunggal dari Beng Beng Hoatsu, maka menghadapi Siauw Liong, tipu daya dan kecurangan dalam ilmu pedang Siauw Liong mati kutunya. Ketika Siauw Ma keluarkan gerakan-gerakan yang lihai dan cepat, Siauw Liong terkejut dan mundur terus, tak kuasa membalas menyerang.

Tiba-tiba Siauw Liong menggunakan tangan kiri merogoh saku bajunya dan mengeluarkan saputangan yang membungkus sesuatu. Siauw Ma tidak perdulikan gerakan ini, tapi Hong Cu melihat ini menjadi pucat. Ia teringat pengalamannya dulu ketika melihat betapa Siauw Liong dapat melukai Tiong Li, murid si Tabib Dewa. Maka segera ia berseru.

“Siauw Ma! Awas tangan kirinya, ia hendak menggunakan racun!” Tapi Siauw Ma yang belum kenal akan tipu daya keji ini tidak mengerti.

Untung baginya, Hong Cu dapat bertindak cepat. Ketika Siauw Liong melempar saputangannya yang terbuka dan menyebar bubuk yang merupakan debu hitam ke arah muka Siauw Ma, Hong Cu melempar selendang suteranya yang tepat sekali melibat pinggang Siauw Ma.

Ia tarik dengan keras dan tiba-tiba, hingga tubuh Siauw Ma terjengkang dan pemuda itu berjumpalitan untuk menjaga diri jangan sampai jatuh. Tapi ia terbebas dari pada bahaya racun yang tadi mengancamnya!

Siauw Liong melihat bahwa usahanya tidak berhasil, menjadi marah sekali. Tapi ia tahu bahwa ia takkan dapat menangkan Siauw Ma yang lihai apa lagi di situ masih ada Hong Cu yang pasti akan mengeroyoknya, maka sambil memaki-maki ia loncat turun dan menghilang di balik pohon-pohon!

Siauw Ma tidak mengejar Siauw Liong karena bukan maksudnya hendak mencelakakan pemuda itu, apa lagi pada saat itu ia sedang marah kepada Hong Cu yang kini dipandangnya dengan mata mengandung teguran.

“Kau gadis tidak berbudi!” katanya dengan wajah merah. “Kenapa kau yang kubantu sebaliknya malahan membantu dia dan hampir mencelakakan aku?”

Hong Cu terheran-heran.

“Benar-benar kau ini kuda bodoh! Ditolong orang tidak berterima kasih, bahkan marah-marah! Tahukah kau bahwa hampir saja jiwamu melayang, kalau aku tidak menggunakan selendangku pada saat yang tepat?”

Siauw Ma tercengang heran. “Penjahat curang itu adalah seorang ahli dalam hal penggunaan racun, dan tadi ia telah menyebar racun jahat,” kata Hong Cu lebih lanjut.

Siauw Ma mengangguk-angguk, dan kini ia perhatikan gadis yang berwajah jelita ini. Pakaiannya yang penuh tambalan menarik hatinya, karena di dalam perantauannya mengikuti Beng Beng Hoatsu, ia selalu bertemu dengan gadis-gadis yang berpakaian mewah. Tapi gadis ini demikian sederhana, bahkan rambutnya yang panjang hitam itupun tidak terpelihara dengan baik!

“Betulkah kau murid Hwat Kong Tosu?” tanyanya.

“Apa kau lihat aku seorang pembohong seperti bangsat tadi?” Hong Cu menjawab marah.

“Kalau betul, suhumu itu dengan guruku masih kawan lama.” Hong Cu tertarik. “Siapakah nama suhumu?”

“Suhuku ialah Beng Beng Hoatsu.”

Kini Hong Cu yang terkejut. Pernah ia mendengar dari gurunya akan nama pendeta sakti itu.

Pada saat itu telah hampir subuh dan hawa luar biasa dinginnya hingga ketika angin pagi meniup rambutnya, Hong Cu merasa dingin sekali.

“Mari kita turun dan bicara di dalam,” ajaknya. “Apakah suhumu berada di dalam kelenteng ini?”

“Tidak, suhu sedang pergi menyelidik ke atas puncak. Yang ada di kelenteng hanya hwesio penjaga yang hanya seorang.”

“Aneh,” kata Siauw Ma. “Apa yang aneh?”

“Suhuku juga pergi ke atas puncak dan menyuruh aku menunggu di kampung ini.”

“Kalau begitu, mari turun. Kau boleh tunggu suhumu di kelenteng ini juga, bersama-sama aku.”

Siauw Ma menggeleng-geleng kepala. “Tidak baik.”

“Eh, kuda tolol, bicaramu tidak karuan. Apanya yang tidak baik?” Hong Cu menegur marah.

Kedua anak muda itu memang adatnya hampir sama. Sama- sama keras kepala, sama-sama jujur dan tidak sungkan-sungkan.

“Kau seorang gadis, aku seorang pemuda. Hendak bersama- sama dalam sebuah kelenteng? Apakah itu kauanggap baik?”

Merahlah wajah Hong Cu, ia memandang wajah Siauw Ma dengan mata berapi. “Kau berpikiran sempit! Kita ini orang macam apakah maka banyak pakai peradatan yang bukan-bukan?”

“Aku percaya kepada kepribadian sendiri, tapi apa kata orang!” “Cih! Orang lain boleh bilang sesukanya tentang kita, asal kita tidak melakukan kesalahan. Perduli apa sama omongan orang lain? Pendeknya, kau mau atau tidak menunggu suhumu di sini, kalau mau hayo kau turun. Kalau tidak mau, tinggallah saja di atas genteng sini. Aku merasa dingin sekali!”

Tanpa menoleh lagi Hong Cu loncat turun. Angin meniup dingin membuat Siauw Ma menggigil, maka iapun meloncat turun dan masuk ke dalam ruang tengah. Di situ Hong Cu telah siap memasak air panas untuk menghangatkan perut mereka.

Kemudian gadis itu mengambil sebuah bangku dan duduk di depan Siauw Ma.

“Bagaimana kau bisa kenal murid Tok-kak-coa itu?” tanya Hong Cu sambil memandang muka Siauw Ma yang tampan dan gagah.

“Suhu pernah bentrok dengan Tok-kak-coa,” jawab Siauw Ma yang lalu menceritakan pengalamannya ketika Beng Beng Hoatsu bertempur melawan Kim Bok Sianjin karena disangka mencuri patung. Ketika mendengar bahwa Beng Beng Hoatsu terkena racun pukulan Tok-kak-coa dan diberi obat oleh Kiang Cu Liong si Tabib Dewa, Hong Cu segera bertanya.

“Kalau begitu, kau tentu kenal kepada Tiong Li?”

Mata Siauw Ma memancarkan sinar gembira ketika nona itu menyebut nama Tiong Li. “Ah, anak baik itu adalah sahabatku! Aku senang sekali padanya.” Dan ia menceritakan betapa ia dan Tiong Li bermain-main dengan batu besar ketika mereka bertemu. Lalu ia bercerita terus. Setelah berpisah dengan Tiong Li dan si Tabib Dewa, Siauw Ma dibawa merantau oleh gurunya. Tiap hari tidak lupa Beng Beng Hoatsu melatih silat kepada muridnya itu dan menurunkan kepandaiannya Sin-liong-kiam-sut yang hebat.

Beng Beng Hoatsu merasa marah dan penasaran sekali kepada Tok-kak-coa hingga ia selalu menyelidiki dan mencari si jahat dari timur. Tapi di mana-mana ia tak mendengar nama Tok-kak-coa muncul di dunia kang-ouw, ia menduga bahwa si ular berbisa itu pasti kembali ke guanya dan bersembunyi di sana.

Ia pernah mendengar bahwa si jahat itu tinggal di puncak Bukit Hek-coa-san. Maka diambil keputusan untuk mencoba mencari Tok-kak-coa di situ.

“Demikianlah, maka sore tadi suhu dan aku tiba di kampung ini. Suhu terus naik ke bukit dan aku diperintah untuk menunggu di kampung ini.”

Demikian Siauw Ma menutup ceritanya. Kemudian ia bertanya mengapa gadis itu berada di situ dan mengapa Hwat Kong Tosu juga naik ke puncak.

“Suhu hendak merampas kembali patung Kwan-im Pouwsat dari tangan Tok-kak-coa,” kata Hong Cu.

“Kalau begitu, malam ini di puncak sana tentu ramai sekali! Si jahat itu kali ini tentu takkan dapat meloloskan diri!”

“Bukan mereka saja,” kata Hong Cu. “Bahkan si Tabib Dewa juga barangkali malam ini sudah berada di puncak pula!” “Ha? Kaumaksudkan guru Tiong Li?”

“Benar, orang tua aneh itu telah berjanji dengan suhu untuk menaiki gunung Hek-coa-san masing-masing dari utara dan selatan. Kami dari utara dan Tabib Dewa itu dari selatan. Siapa tahu, diapun mungkin sudah berada di sana pula!”

Wajah Siauw Ma nampak gembira. “Ah, sayang kita tinggal di sini. Kalau kita ikut, tentu akan melihat pergulatan hebat dan ramai.”

Tiba-tiba Hong Cu bangkit berdiri.

“Mengapa kita tidak ke sana sekarang? Hayo, kita naik bersama.”

“Aah, kata guruku sangat berbahaya, mungkin kita akan terkena celaka,” kata Siauw Ma.

“Suhu juga bilang demikian. Tapi sekarang matahari telah tiba dan dalam keadaan terang-benderang tidaklah begitu berbahaya seperti kalau mendekati di waktu malam gelap. Hayolah kita pergi, siapa tahu kalau-kalau kita masih sempat menonton si jahat itu dihajar!”

Tapi Siauw Ma yang taat kepada perintah suhunya hanya geleng kepala.

“Hm, kau takut barangkali!” Hong Cu cemberut dan mencela.

Ketika dianggap penakut, Siauw Ma penasaran. Iapun berdiri dan membusungkan dada sambil berkata. “Bagus! Kalau begitu hayo temani aku mendekati ke puncak!” kata Hong Cu dengan cerdik.

“Bagaimana kalau suhu marah?”

“Kita pergi berdua dan atas kehendak berdua, dengan membagi kemarahan tentu agak lebih ringan menerimanya, bukan?”

Ketika Siauw Ma masih ragu-ragu, Hong Cu melanjutkan.

“Dan kalau ada kesempatan, mungkin kita ada waktu untuk menghajar Siauw Liong bangsat kecil itu! Mungkin pula kita bertemu dengan Tiong Li.”

Mendengar kemungkinan-kemungkinan yang menyenangkan hatinya ini, Siauw Ma tertarik juga. Ia gigit bibirnya untuk menetapkan hati, lalu berkata keras, “Hayolah! Hayo kita naik juga menyusul suhu.”

Hong Cu girang sekali sampai melupakan air panas yang dimasaknya tadi. Ia pegang tangan Siauw Ma yang merasa likat dan malu-malu juga ketika merasa betapa halus telapak tangan Hong Cu memegang tangannya, tapi karena wajah gadis itu nampak gembira sekali, iapun lari pula.

“Hayo kita berlumba naik!” ajak Hong Cu yang membungkuk dan kencangkan tali sepatunya.

“Boleh!” Siauw Ma menerima tantangan ini karena iapun ingin tahu sampai di mana tingginya ilmu kepandaian Hong Cu. Kedua tubuh anak muda itu melesat cepat ketika mereka kerahkan ilmu berlari ocepat. Ternyata kepandaian mereka berimbang, hanya Hong Cu yang bertubuh lebih ringan dan karena makan obat mujijat gin-kangnya cepat sekali majunya, maka dalam hal kepandaian meringankan tubuh, gadis itu memang setingkat.

Diam-diam Siauw Ma kagum dan heran melihat kelincahan gadis itu yang bagaikan seekor burung, meloncat dari batu ke batu dengan ringan dan gesit sekali! Siauw Ma tidak mau kalah dan iapun keluarkan kepandaiannya hingga kembali mereka dapat berjalan berdampingan dengan cepat.

Tiba-tiba dari atas gunung kelihatan seorang gadis turun berloncatan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Gadis itu membawa sebuah bungkusan besar yang nampak berat.

Hong Cu yang melihat bayangan orang itu lebih dulu, segera menghadang di tengah jalan. Gadis yang cerdik ini menduga sesuatu.

Siauw Ma juga melihat gadis yang turun itu dan ikut memapaki. Setelah gadis itu turun dekat, maka jelaslah kelihatan bahwa itu adalah sebuah patung karena pembungkusnya yang tipis terbuat dari sutera itu mencetak jelas potongan patung yang dibawanya.

Hong Cu mengerti bahwa patung yang diperebutkan itu telah terjatuh ke dalam tangan gadis yang turun dari gunung itu. Gadis itu cantik sekali, wajahnya nampak angker dan angkuh, sedangkan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tapi Hong Cu teringat akan suhunya yang sedang bersusah payah hendak merebut patung itu, maka ia sengaja menghadang dan membentak.

“Hei! Kautinggalkan patung itu di sini!”

Sementara itu Siauw Ma setelah datang dekat dan memandang segera berseru dengan suara gembira.

“Lian Eng……!”

Pemuda ini merasa gembira sekali melihat gadis itu, dan entah mengapa hatinya berdebar-debar girang melihat Lian Eng bertambah cantik dan jelita. Tapi ia merasa heran mengapa gadis itu berada seorang diri di situ.

Gadis itu ternyata benar Lian Eng adanya. Di bawah asuhan Huo Mo-li, kepandaiannya telah maju pesat.

Ketika ia mendengar suara Siauw Ma, iapun kaget hingga hampir saja Hong Cu yang menubruknya berhasil merebut patung. Hong Cu telah dapat memegang kaki patung itu den terjadilah saling membetot.

“Hong Cu, lepaskan dia, kawan sendiri!”

Tapi mana Hong Cu mau melepaskan dan ia bahkan membetot makin keras. Lian Eng menjadi marah dan menggunakan kakinya menendang ke arah pergelangan tangan Hong Cu yang memegang kaki patung. Tendangan ini hebat dan berbahaya maka terpaksa Hong Cu melepaskan patung itu dan balas melayani dan seperti orang yang tergesa-gesa saja, ia menghindarkan serangan Hong Cu dan meloncat jauh lalu melarikan diri!

Tapi Hong Cu merasa penasaran sekali. Iapun menggunakan gin- kangnya dan meloncat mengejar sambil berteriak.

“Maling kecil hendak lari ke mana? Tinggalkan patung itu!”

Dalam hal ilmu meloncat dan lari cepat, agaknya Hong Cu tidak berada di bawah Lian Eng, karena selain mendapat sari pelajaran Hwat Kong Tosu, juga Hong Cu telah dapat makan ramuan obat dan buah yang luar biasa itu. Maka ia segera dapat menyusul Lian Eng dan dengan nekat ia menyerang untuk merampas patung!

Melihat kenekatan gadis itu, Lian Eng menjadi marah sekali. Ia lalu melawan dan menangkis pukulan Hong Cu.

Ketika lengan tangan mereka bentrok, Hong Cu merasa betapa kulit lengannya menjadi panas dan sakit, maka diam-diam ia terkejut sekali. Ia tidak tahu bahwa di kedua lengan Lian Eng telah terisi tenaga Huo-mo-kang.

Untung bagi Hong Cu bahwa Lian Eng tidak mau mencelakakannya, karena gadis gagu ini melihat betapa lawannya tadi berjalan bersama Siauw Ma yang telah dikenalnya. Kalau ia mau menggunakan pukulan Huo-mo-kang untuk membalas, tentu Hong Cu takkan kuat menahan!

Pada saat mereka masih ramai berkelahi, datanglah Siauw Ma. “Siauw Ma, hayo kaubantu aku merampas patung ini! Bukankah suhumu juga ingin mendapatkannya?” teriak Hong Cu.

Mendengar ini Siauw Ma bergerak maju, tapi tiba-tiba Lian Eng memandang dengan matanya yang begitu bagus seperti mata burung hong, hingga Siauw Ma menahan kakinya dan berdiri bengong!

Semenjak pertemuannya yang pertama kali dengan Lian Eng dan ia dapat dijatuhkan oleh gadis itu dulu, ia telah merasa tertarik sekali oleh gadis gagu ini, terutama ketika ia tahu bahwa gadis itu menderita sakit gagu, hatinya makin merasa iba dan duka.

Perasaan inilah yang membuat ia beberapa tahun yang lalu dengan nekat mengejar ke atas Bukit Harimau Salju ketika Lian Eng terculik oleh manusia salju! Karena inilah, maka ia tidak jadi turun tangan untuk merampas patung itu dari tangan Lian Eng dan tidak membantu Hong Cu yang nampak terdesak!

Tiba-tiba Siauw Ma berseru kepada Hong Cu, “Hong Cu, biarkan dia pergi! Lihat, siapa yang datang itu!”

Hong Cu yang memang telah terdesak, segera meloncat mundur dan menengok ke atas.

Sementara itu, sambil melepas pandangan berterima kasih ke arah Siauw Ma, Lian Eng menggerakkan tubuh dan lari pergi turun gunung dan cepat sekali. Dari atas gunung tampak Siauw Liong mengejar dengan pedang di tangan. Mulutnya berteriak-teriak, “Maling perempuan, hayo kembalikan patung itu!!”

Agaknya ia tidak memperhatikan Siauw Ma dan Hong Cu, karena dari atas ia mengejar Lian Eng. Setelah Lian Eng lari cepat dan meninggalkannya, maka Siauw Liong menjadi bingung.

Ia mencari dan melihat ke bawah gunung. Tiba-tiba ia melihat Lian Eng sedang berkelahi dengan seorang gadis lain dan tiba-tiba Lian Eng lari pula turun gunung. Tentu saja ia tidak mau tinggal diam, lalu mengejar sambil berteriak-teriak.

Maka alangkah kaget dan marahnya ketika Siauw Ma menghadang di tengah jalan sambil membentak. “Berhenti!”

“Kau lagi, Siauw Ma? Agaknya kau telah bosan hidup!” Dengan nekat Siauw Liong putar pedangnya dan menyerang hebat yang ditangkis oleh Siauw Ma dengan tenang. Hati Siauw Ma agak heran melihat pakaian Siauw Liong basah kuyup.

Sementara itu, Hong Cu yang melihat Lian Eng melarikan diri, segera mengejar ke bawah gunung! Ia melihat Siauw Ma yang tidak mau membantunya ketika bertempur melawan Lian Eng tadi.

Kini melihat Siauw Ma berkelahi dengan Siauw Liong, ia segera mengejar ke bawah dengan harapan dapat merampas patung itu!

Kalau di lereng gunung itu terjadi perebutan patung yang ramai sekali oleh para anak muda, maka di puncak gunung terjadi peperangan yang tidak kalah hebat dan ramainya. <>

Ketika malam hari itu Hwat Kong Tosu mendaki puncak Hek-coa- san, ternyata ia tidak mendaki seorang diri. Dari lain jurusan, seorang tua sakti lain juga mendaki puncak itu, yakni bukan lain ialah Beng Beng Hoatsu! Dan kedua orang ini sama sekali tidak menyangka bahwa orang-orang lain telah semenjak tadi mendahului mereka dan kini telah berada di puncak!

Setelah keduanya tiba di puncak dari lain jurusan dan mengintai ke arah gua ular tempat kediaman Tok-kak-coa, ternyata di depan gua itu telah berkumpul banyak orang. Dan terkejutlah kedua pertapa itu ketika melihat bahwa mereka itu adalah ketiga tokoh dari Kwan-im-pai, yakni Kim Hwa Sianli, Cin Hwa Sianli, dan Kim Bok Sianjin!

Dan lebih heran lagi ketika melihat bahwa selain ketiga tokoh Kwan-im-pai itu dan tiga orang paderi Kwan-im-kauw yang menjadi murid-murid kepala, di situ terdapat juga Huo Mo-li sendiri dengan muridnya, Lian Eng! Bagaimana mereka dapat berkumpul di situ?

Huo Mo-li telah didatangi oleh tokoh-tokoh Kwan-im-pai yang minta bantuan untuk menyerbu sarang Tok-kak-coa. Mereka tahu akan kelihaian si jahat itu, maka mereka minta bantuan Huo Mo-li yang menyanggupi tapi dengan perjanjian bahwa ia tidak mau bekerja sama dengan imam-imam Kwan-im-kauw. Mereka boleh pergi bersama, tapi di puncak Hek-coa-san mereka harus berusaha sendiri-sendiri dan siapa yang dapat berhasil merampas patung, dialah yang berhak!

Tadinya para tokoh Kwan-im-kauw keberatan, tapi karena mereka kini sudah tahu bahwa ketiga tokoh Thang-la atau Thang-la Sam- sian itu sebabnya ingin mendapatkan patung hanya untuk menangkan perlombaan di antara mereka bertiga, maka akhirnya mereka setuju. Di samping itu, juga untuk menebus malu karena dulu menuduh Huo Mo-li mencuri patung, padahal tidak berdosa.

Mereka pikir, dari pada patung berada di tangan Tok-kak-coa yang jahat, lebih baik terjatuh ke dalam tangan seorang dari pada ketiga dewa Thang-la itu yang tentu hanya akan memiliki untuk beberapa lama saja. Pula, belum tentu patung akan terjatuh ke dalam tangan Huo Mo-li, karena mereka sengaja mengajak murid- murid kepala hingga berjumlah enam orang!

Diajaknya Huo Mo-1i hanya untuk menambah semangat! Maka mereka beramai-ramai lalu berangkat. Huo Mo-li mengajak Lian Eng yang telah memiliki kepandaian yang lumayan juga.

Setelah mendaki puncak Hek-coa-san dan tiba di depan gua pertapaan Tok-kak-coa, imam-imam dari Kwan-im-kauw itu berteriak memanggil tuan rumah keluar. Tapi tidak terdengar jawaban sesuatu dari dalam gua yang gelap itu.

Kim Bok Sianjin menjadi tidak sabar dan berteriak keras. “Hei, kakek jahat, maling rendah! Kau keluarlah agar kita bisa membuat perhitungan. Jangan bersembunyi saja seperti laku seorang pengecut!”

Lain-lain imam Kwan-im-kauw ikut berteriak-teriak karena marah dan gemas, tapi Huo Mo-li hanya berdiri agak jauh sambil memandang ke arah gua dengan tajam.

Akhirnya Kim Bok Sianjin hilang sabarnya. Ia mencabut pedang dan hendak menerjang ke dalam gua, tapi Kim Hwa Sianli mencegah sutenya itu,

“Jangan sembrono, Kim Bok sute, Tok-kak-coa lihai dan curang sekali. Lebih baik kita pakai akal dan memaksa dia keluar.”

Setelah melarang adiknya berlaku sembrono, ketua Kwam-im- kauw yang banyak pengalaman itu lalu memerintah murid- muridnya kumpulkan kayu kering dan tumpuk kayu itu di mulut gua. Kemudian ia nyalakan api dan sebentar saja kayu-kayu kering itu terbakar. Asap tebal bergulung-gulung masuk ke dalam gua.

“Tok-kak-coa! Kalau kau tidak mau keluar, terpaksa kami akan bikin kau mati tercekik asap di dalam guamu sendiri!” Kim Hwa Sianli berseru dengan suaranya yang nyaring.

Untuk beberapa lama semua orang diam dan memperhatikan kalau-kalau dari dalam gua ada orang keluar. Tapi ternyata tidak ada gerakan sesuatu. Tiba-tiba terdengar bunyi desis tajam keluar dari dalam gua dan sebentar saja mulut gua itu penuh dengan puluhan ular kecil dan besar yang menerjang keluar! Banyak di antara mereka yang mati terpanggang api, tapi banyak pula yang dapat lolos dan merayap keluar sambil menyemburkan hawa beracun ke arah penyerang- penyerangnya! Barisan ular ini demikian nekat seakan-akan di belakang mereka ada yang mengatur!

“Mundur!” teriak Kim Hwa Sianli sambil loncat ke belakang.

Kemudian keenam imam Kwan-im-kauw itu menggunakan senjata-senjata rahasia dan batu untuk menyerang dan disambitkan ke arah barisan ular, sehingga karena sambitan mereka memang jitu dan keras, sebentar saja, banyaklah ular yang pecah kepalanya dan mati.

Sementara itu, Huo Mo-li yang berpikiran cerdik dan tajam, diam- diam memberi perintah kepada muridnya dengan gerak-gerik jari tangan supaya murid itu menyelidik ke arah belakang gua karena ia bercuriga kalau-kalau penghuni gua itu dapat keluar dari belakang.

Lian Eng mengerti maksud gurunya, maka gadis itu diam-diam meloncat ke pinggir gua dan menghilang di balik pohon. Tak seorangpun mendengar perintah ini sehingga tidak ada yang tahu.

Setelah semua ular dapat dibunuh, tiba-tiba dari atas pohon terdengar suara orang tertawa keras bagaikan seekor burung hantu yang besar, tubuh Tok-kak-coa melayang turun menghadapi semua tamunya.

“Ha, ha, ha! Entah ada apakah maka malam ini guaku mendapat kehormatan begini banyak orang-orang gagah? Dan imam-imam dari Kwan-im-kauw ternyata hanya gagah dan suci di luarnya saja. Tidak tahunya mereka hanya orang-orang rendah yang hanya berani berlaku gagah terhadap ular-ular peliharaanku yang tak berdaya!”

Huo Mo-li dengan sekali gerakan tubuh telah berdiri di depan Tok- kak-coa.

“Tok-kak-coa! Jangan kau banyak rewel. Hayo serahkan patung Kwan-im Pouwsat padaku kalau kau mencari selamat!”

Tok-kak-coa tertawa ha, ha, hi, hi dan pandang para imam Kwan- im-kauw.

“Kalian orang-orang Kwan-im-kauw memang tolol. Orang macam Huo Mo-li ini kalian bawa ke sini? Ha, ha! Seandainya patung dapat dirampasnya, apakah kalian kira setan api ini mau menyerahkannya kepada kalian? Ha, ha!”

“Berikan patung itu!” Huo Mo-li membentak dan mengirim serangan dengan tangan kiri.

Tok-kak-coa cukup tahu akan kehebatan kedua lengan Huo Mo- li, maka ia berlaku hati-hati sekali. Ia cabut keluar tongkatnya yang lihai dan melayani Huo Mo-li dengan sengit. Sebentar saja kedua tokoh persilatan yang sangat lihai itu bertempur seru dan keduanya hanya merupakan dua gunduk sinar yang berputaran dan bayang-bayang mereka bergerak- gerak di atas tanah karena tersinar api yang masih menyala di mulut gua!

Sementara itu, malam telah berganti subuh dan keadaan yang gelap pekat mulai terganti warna keabu-abuan yang suram.

Ke enam imam Kwan-im-kauw hanya menonton pertempuran itu. Tadinya Cin Hwa Sianli hendak maju mengeroyok Tok-kak-coa, tapi Kim Bok Sianjin yang telah merasakan kelihaian Tok-kak-coa, mencegah sucinya.

“Biarlah Huo Mo-li bereskan si jahat itu, kita perlu menyimpan tenaga kalau-kalau nanti Huo Mo-li berkeras hendak membawa patung kita.”

Kedua sucinya menganggukkan kepala dan mereka puji kecerdikan sute mereka. Mereka juga curiga dan menyangka bahwa Huo Mo-li tentu takkan mau menyerahkan patung itu kepada mereka.

Beng Beng Hoatsu di sebelah kiri dan Hwat Kong Tosu di sebelah kanan yang sama-sama mengintai dan menonton pertempuran itu, kesima dan kagum melihat kehebatan Huo Mo-li menyerang Tok-kak-coa. Ternyata dalam beberapa tahun ini, kepandaian Huo Mo-li telah maju pesat. Sementara itu, Lian Eng dengan mata tajam memeriksa keadaan hutan di belakang gua, tapi ia tidak dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ia memeriksa terus dan kini ia dapat berjalan lebih mudah karena malam telah mulai menghilang, terganti fajar yang suram-suram.

Tiba-tiba ia melihat bayangan orang lari cepat ke depan. Lian Eng segera bersembunyi di balik pohon dan mengintai.

Bayangan itu adalah seorang pemuda yang gerak-geriknya cukup gesit. Di tangan pemuda itu terpondong sebuah bungkusan sutera yang membuat hati Lian Eng berdebar. Tak salah lagi, itu tentu bungkusan sebuah patung! Maka ia segera mengejar dengan mengeluarkan gin-kangnya yang tinggi.

Pemuda itu bukan lain ialah Siauw Liong yang mendapat tugas dari gurunya untuk menyembunyikan patung Dewi Kwan-im. Guru dan murid itu tadinya memang berada dalam gua ketika para penyerang itu tiba.

Setelah para imam Kwan-im-kauw membakar kayu dan menyerang gua dengan asap, Tok-kak-coa lalu mengatur barisan ularnya menyerbu keluar, sedangkan ia sendiri dengan membawa patung curiannya mengajak muridnya keluar dari sebuah pintu rahasia di belakang gua.

Ia perintahkan Siauw Liong untuk membawa pergi patung itu dan menyembunyikan di suatu tempat, sedangkan ia sendiri karena merasa marah lalu menemui para tamunya yang menuntut kembalinya patung Dewi Kwan-im. Lian Eng terus saja mengikuti Siauw Liong dan ia heran sekali melihat pemuda itu menuju ke sebuah air terjun. Air terjun itu tidak besar, tapi karena telah ratusan tahun menjatuhkan air, maka dibawahnya telah merupakan sebuah kolam yaag lebar dan dalam.

Agaknya orang telah sengaja memperdalam kolam itu dengan menggali tanah dan batunya, hingga kolam itu dapat digunakan untuk mandi. Siauw Liong berdiri di pinggir kolam, lalu ia membuka bungkusan sutera tadi.

Benar sebagaimana dugaan Lian Eng, dari dalam kantung sutera itu ia mengeluarkan sebuah patung emas yang besar dan indah. Siauw Liong dengan sayangnya membolak-balikkan patung itu dengan tangannya hingga tubuh patung itu berkilauan.

Kemudian pemuda itu melemparkan ke tengah-tengah kolam! Memang dasar kolam itu merupakan tempat penyimpanan yang baik sekali.

Tapi sebelum ia melepaskan patung itu, tiba-tiba tubuh Lian Eng berkelebat dan langsung gadis ini mengirim pukulannya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar patung!

Siauw Liong kaget sekali karena serangan itu datangnya tiba-tiba dan cepat tak terduga. Akan tetapi, ia juga bukan seorang pemuda lemah. Dengan cepat pula ia dapat mengangkat tangan untuk menangkis pukulan itu, tapi inilah kesalahannya. Ia tidak tahu bahwa pukulan Lian Eng ini mengandung tenaga Huo-mo- kang yang lihai. Ketika lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lian Eng, ia merasa lengannya itu kesemutan dan panas sekali hingga patung di tangan lain itu dengan mudah dapat terampas oleh Lian Eng. Sebelum Siauw Liong hilang kagetnya, Lian Eng telah kirim tendangan kilat yang berbahaya sekali ke arah perutnya!

Tidak ada jalan lain bagi Siauw Liong untuk menyelamatkan diri selain harus menjatuhkan diri ke belakang dengan berjumpalitan. Tapi karena tadi ia telah memutar tubuh ketika menghadapi Lian Eng sehingga kini kolam itu berada di belakangnya, maka tidak ampun lagi ia jatuh ke dalam air hingga air kolam yang jernih itu muncrat ke atas!

Lian Eng tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan lari sambil membawa patung Dewi Kwan-im, setelah memasukkan patung itu ke dalam kantung sutera itu!

Siauw Liong marah sekali. Ia segera berenang ke pinggir dan cepat mengejar. Dengan menggunakan lwee-kangnya yang terlatih, ia berteriak keras memberitahukan suhunya.

“Suhu! Patung itu telah dibawa lari gadis cilik bertangan api!” setelah berteriak begini ia cepat mengejar Lian Eng yang turun gunung dengan cepat.

Siauw Liong cukup cerdik. Tadi suhunya telah memberi tahu bahwa penyerang-penyerang yang datang adalah imam-imam dari Kwan-im-pai dan di antara mereka terdapat seorang wanita lihai bernama Huo Mo-li yang mempunyai tangan api! Maka ketika ia merasa betapa pukulan lengan Lian Eng panas dan lihai, ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu murid dari wanita bertangan api itu.

Oleh karena itu, maka dalam pemberitahuannya ia sengaja menyebut demikian agar suhunya dapat mengerti.

Mendengar teriakan muridnya, Tok-kak-coa terkejut sekali. Tapi cepat otaknya yang tajam mencari akal. Ia segera loncat mundur dan menuding ke arah Huo Mo-li.

“Ha, ha! Setan Api Wanita, kau ternyata licin sekali! Sementara menyerang aku di sini, diam-diam kausuruh muridmu mencuri patung itu!”

Kemudian si jahat dari timur itu memandang kepada para imam Kwan-im-kauw dan tertawa besar. “Kalian imam Kwan-im-kauw memang benar-benar tolol! Kalian datang mencari patung atau hendak memusuhi aku? Patungmu telah dicolong oleh murid Huo Mo-li, dan kalian masih saja berdiri seperti patung mati!”

Kim Bok Sianjin segera berkata kepada Huo Mo-li, “Huo Pouwsat. Lekas kau panggil kembali muridmu itu.”

Tapi Huo Mo-li hanya menjawab singkat, “Yang dapat merampas berhak memilikinya!”

“Hm, begitukah kelakuan seorang tokoh dari Thang-la yang gagah perkasa?” Cin Hwa Sianli menyindir. “Patung sudah terjatuh dalam tanganku, kalau kau mau ambil kembali, kau harus dapat menjatuhkan aku!” Huo Mo-li menantang.

“Hm, tidak sangka tabiatmu seperti ini! Pinni selalu mendengar bahwa Thang-la Sam-sian, ketiga tokoh Thang-la itu adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang jarang bandingannya di dunia ini!” Kim Hwa Sianli turun menegur.

“Siapa bilang gagah perkasa?” Kim Bok Sianjin mencela. “Ke tiga setan dari Thang-la itu kesemuanya orang-orang tidak baik dan tak dapat dipercaya. Ke tiganya pembohong besar dan palsu!”

Panas hati Huo Mo-li mendengar ini. “Jangan kausebut-sebut Thang-la Sam-sian sesuka hatimu!” bentaknya keras.

Tok-kak-coa tertawa bergelak. Ia senang sekali bahwa muslihatnya berhasil dan imam-imam Kwan-im-pai itu telah mulai ribut dengan Huo Mo-li.

“Ya, ya! Kim Bok Sianjin jangan berani-berani sebut Thang-la Sam-sian sesuka hati. Siapa orangnya yang berani mempermainkan mereka? Apa lagi kalian imam-imam dari Kwan- im-pai, lebih baik pulang saja dan terima nasib, jangan berani main-main di depan Thang-la Sam-sian! Ha, ha!”

Diobor macam ini, ketua Kwan-im-pai menjadi berkobar dan dengan teriakan keras mereka segera terjang Huo Mo-li. Tapi pada saat itu dari kanan kiri keluarlah Beng Beng Hoatsu dan Hwat Kong Tosu dengan berbareng. Setelah loncat keluar barulah mereka saling lihat dan tertawa besar.

“Ha, ha! Sungguh tak nyana nama kita diinjak-injak orang di sini!” kata Beng Beng Hoatsu.

“Huo Mo-li! Kauteruskan memberi hajaran kepada si jahat dari timur itu, biarlah kami berdua mencoba kelihaian imam-imam dari Kwan-im-pai yang berani memandang rendah Thang-la Sam- sian!”

Huo Mo-li girang sekali melihat munculnya dua orang itu, maka dengan gemas ia lalu maju menyerang pula kepada Tok-kak-coa yang merasa terkejut dan cepat-cepat membela diri.

Sedangkan ke enam imam Kwan-im-pai itu karena sudah terlanjur dan menganggap bahwa kedua jago tua dari Thang-la itu hendak membela Huo Mo-li yang ternyata bersalah dan melarikan patung mereka, lalu dengan nekat maju mengeroyok Beng Beng Hoatsu dan Hwat Kong Tosu. Ketiga murid kepala Kwan-im-pai membantu Kim Bok Sianjin mengeroyok Beng Beng Hoatsu, sedangkan Kim Hwa Sianli berdua dengan Cin Hwa Sianli menerjang Hwat Kong Tosu.

Tak perlu dijelaskan lagi betapa lihainya kedua Sianli dari Kwan- im-kauw itu yang memiliki kepandaian tinggi. Apa lagi dengan maju berbareng, maka Hwat Kong Tosu tidak berani berlaku sembarangan. Ia berseru keras dan tongkat bambunya dikerjakan dengan cepat sambil mengeluarkan tipu-tipu mujijat dari Ouw- coa-tung-hwat guna melindungi diri dan balas menyerang. Kedua Sianli itu dengan tangan kanan putar pedang dan tangan kiri ayun kebutan, menyerang dengan teratur dan bergantian maka sebentar saja sepasang pedang dan sepasang kebutan telah merupakan sinar bergulung-gulung menjadi satu dengan sinar tongkat bambu yang hitam bagaikan ular hidup menyambar- nyambar.

Juga ketiga murid kepala dari Kwan-im-kauw bukanlah lawan ringan karena kepandaian mereka sedikitnya sudah mencapai dua pertiga bagian dari ilmu pedang Kwan-im-pai. Maka dengan kekuatan mereka disatukan lalu ditambah lagi dengan Kim Bok Sianjin, mereka berempat ini merupakan lawan tangguh bagi Beng Beng Hoatsu yang tertawa bergelak-gelak dan putar po- kiamnya terus saja keluarkan ilmu pedangnya Sin-liong-kiam-sut yang lihai!

Sinar pedangnya yang panjang dan meluncur ke sana ke mari melayani keempat pedang lawannya bagaikan seekor naga sakti sedang berlaga hingga keempat lawannya berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka.

Sungguh hebat petempuran di atas Gunung Hek-coa-san pada waktu fajar tengah menyingsing itu. Kekuatan kedua pihak berimbang dan tadinya mereka saling hantam hanya lebih condong kepada saling mencoba kepandaian dan mengukur ketinggian ilmu belaka, tapi setelah bertanding ratusan jurus belum juga dapat mendesak lawan, kedua pihak mulai bersungguh-sungguh, kalau perlu membinasakan lawan di depannya! Huo Mo-li yang bertempur melawan Tok-kak-coa mengerahkan tenaga dan ilmu untuk menjatuhkan si jahat dari timur itu. Tapi Tok-kak-coa adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah berpengalaman, pula ilmu silatnya sangat curang dan banyak akal muslihat hingga Huo Mo-li beberapa kali hampir tertipu maka Dewi Api itu bersilat lebih hati-hati.

Apa pula karena beberapa kali Tok-kak-coa mengeluarkan senjata beracun yang menyambar ke arah Huo Mo-li dan hampir saja berhasil melukai Huo Mo-li, maka wanita perkasa itu makin berlaku waspada. Kehati-hatiannya ini menguntungkan Tok-kak- coa karena ia memang sudah payah menahan pukulan-pukulan Huo Mo-li yang dilancarkan dengan tenaga Huo-mo-kang yang lihai sekali!

<>

Mari kita tengok kembali para taruna remaja yang ribut memperebutkan patung di lereng gunung!

Lian Eng si gadis gagu dengan mengempit patung Dewi Kwan-im terus saja lari di sepanjang lereng bukit dengan cepatnya. Ia merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya, maka ia makin mempercepat larinya. Maksudnya hendak mencari jalan pulang ke Thang-la, tapi karena memang belum pernah melalui gunung itu, ia sesat jalan dan menjadi bingung harus mengambil jalan mana!

Tiba-tiba dari jurusan depan tampak seorang pemuda tanggung lari cepat ke arahnya. Lian Eng terkejut, tapi ia sudah tak ada kesempatan bersembunyi lagi. Ia berlaku nekat dan bahkan memapaki.

Setelah mereka bertemu, Lian Eng segera kenali pemuda itu yang bukan lain ialah Tiong Li, murid Si Tabib Dewa yang dulu pernah bertemu dengannya di puncak tempat tinggal suhunya. Kebaikan hati Tiong Li yang dulu ingin sekali melihat ia disembuhkan, masih berkesan dalam hati gadis gagu itu. Maka kini setelah bertemu dengan Tiong Li, ia tersenyum manis dan mengangkat tangan tanda memberi salam.

Untuk sejenak Tiong Li ragu-ragu dan heran melihat gadis cantik itu, tapi setelah Lian Eng tersenyum dan tampak lesung pipit manis di pipi kirinya ingatlah Tiong Li akan gadis gagu murid Huo Mo-li. Wajahnya lalu menunjukkan muka girang dan Tiong Li segera menggerak-gerakkan tangan yang maksudnya bertanya dari mana gadis itu datang.

Karena sudah lelah sekali dan girang hati bertemu dengan pemuda yang sangat dipercayanya itu, Lian Eng segera membuka kantung sutera dan keluarkan patung Dewi Kwan-im, lalu dengan sibuk kedua tangan berikut sepuluh jarinya bergerak- gerak menceritakan betapa ia berhasil merampas patung itu dari murid Tok-kak-coa dan betapa kini subonya sekarang bertempur di atas puncak bukit.

Dalam bercerita ini selain menggunakan gerak tangan. Lian Eng juga membuat corat-coret di atas tanah dengan telunjuknya yang lancip untuk membuat gambar atau menulis huruf. Tiong Li melihat gerak-gerik gadis ini merasa terharu sekali dan tiba-tiba teringatlah ia bahwa menurut kata suhunya, di dalam patung itu tersimpan semacam obat yang demikian mujijat hingga mungkin sekali dapat sembuhkan Lian Eng dari sakitnya!

Maka ia segera menunjuk ke arah leher dan mulut Lian Eng, lalu sedapat-dapatnya menceritakan maksudnya, tapi ia lalu teringat lagi bahwa Lian Eng dapat mendengar dan mengerti omongan orang! Demikianlah, dengan serba kaku dan kikuk, Tiong Li lalu tersenyum dan mengulangi maksudnya, kini dengan berkata.

“Nona, dalam patung ini terdapat semacam obat. Jika kita bisa membuka lubang rahasia dan mendapatkan obat itu, maka akan terdapat kemungkinan untuk menyembuhkan penyakitmu.”

Mendengar ini, wajah Lian Eng menjadi pucat dan sebentar pula berwarna merah. Ternyata ia menjadi sangat terharu dan dadanya berdebar keras.

Ia hampir tak percaya akan kata-kata pemuda itu, maka untuk menjelaskannya, ia menunjuk ke arah leher dan mulutnya. Maksudnya hendak bertanya apakah yang dikatakan penyakit oleh pemuda itu ialah penyakit gagu yang dideritanya?

Tiong Li dapat menangkap maksud ini, maka dengan wajah berseri ia berkata dengan tetap.

“Betul, nona! Menurut suhuku, obat di dalam patung ini sangat mujijat dan barangkali dapat mengobati gagumu, karena sesungguhnya kau gagu karena semacam penyakit di tenggorokanmu.”

Mendengar ini, dengan wajah berseri Lian Eng serahkah patung itu kepada Tiong Li dengan kedua tangannya.

Tiong Li lalu memeriksa patung itu dan mencari-cari barangkali ada semacam pintu kecil. Tapi usahanya sia-sia. Ia pencet sana- sini, dibantu pula oleh Lian Eng yang sudah tidak sabar dan ikut meraba-raba dan memencet di seluruh tubuh patung, tapi lubang rahasia itu tidak juga dapat ditemukan.

Ketika kedua muda-mudi itu sedang bingung dan tidak sabar meraba-raba patung Dewi Kwan-im hingga asyiknya Tiong Li sampai lupa kepada suhunya, tiba-tiba Kiang Cu Liong si Tabib Dewa tiba di situ. Ia heran melihat kedua anak muda itu memegang patung Dewi Kwan-im yang banyak menimbulkan ribut itu, maka cepat ia menegur muridnya.

Barulah Tiong Li teringat dan ia berdiri dengan muka merah sambil menceritakan kepada suhunya bahwa Lian Eng murid Huo Mo-li berhasil mendapatkan patung.

“Suhu, kami sedang bingung dan tak sabar mencari lubang yang suhu katakan dulu, tapi ternyata sia-sia!”

Kiang Cu Liong tertawa. “Biarlah saja, nanti aku yang mengambil. Tapi coba ceritakan, bagaimana nona ini bisa mendapatkan patung ini?” Dengan singkat Tiong Li menuturkan kembali cerita yang diketahuinya dari Lian Eng tadi. Ia menuturkan betapa Huo Mo-li sekarang sedang berkelahi dengan Tok-kak-coa di atas puncak, dan bahwa imam-imam dari Kwan-im-pai juga berada di sana.

Mendengar ini, berubahlah wajah Kiang Cu Liong.

“Aah, tentu terjadi keributan hebat di sana!” Ia memandang ke arah puncak.

Kemudian dengan cepat ia mengambil patung itu lalu menggunakan tenaga lwee-kang yang tinggi menepuk-nepuk kaki patung sebelah kanan. Ternyata bahwa lubang rahasia itu berada di punggung patung dan pintu kecil lubang itu jika ditutup dapat mengunci sendiri, sedangkan pencetannya berada di sebelah dalam hingga untuk membukanya hanya dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga lwee-kang yang sangat tinggi untuk menepuk dengan tangan hingga tenaga itu menembus ke dalam dan menggencet per yang dapat membuka pintu itu! Sambungan pintu dibuat sedemikian halusnya hingga jika sudah tertutup tak tampak bekas dan sambungannya.

Setelah ditepuk beberapa kali oleh Kiang Cu Liong, maka terbukalah pintu di punggung patung. Tabib Dewa itu lalu merogoh ke dalam dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain sutera warna merah.

Ia lalu menutup kembali pintu rahasia itu dan membuka bungkusan sutera merah. Ternyata di dalamnya terdapat akar semacam jinsom, yakni akar yang bentuknya seperti orok kecil, berkaki dan bertangan. Tapi anehnya, kalau jinsom biasanya berwarna putih dan kuning maka jinsom ini berwarna merah darah!

“Nona, kau bersiaplah! Aku akan mencoba menyembuhkan kau, kalau Yang Berkuasa menghendaki, kau akan sembuh.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar