Jilid 04
Hwat Kong Tosu, kakek pertapa yang tinggi kurus dan berilmu tinggi setelah membawa muridnya, Souw Cin Ok, kembali ke Hong-lun-san, lalu ia berpesan kepada Souw Cin Ok untuk menjaga tempat pertapaannya dan ia sendiri lalu turun gunung untuk mulai dengan perantauannya mencari patung Dewi Kwan- im yang tercuri itu, sekalian mencari seorang murid yang cocok dan yang berbakat baik. Tapi, tidak mudah baginya untuk mencari murid yang sebaik Siauw Ma atau Lian Eng, dan lebih tidak mudah lagi baginya untuk mencari patung yang hilang itu karena ia tidak tahu siapa yang mencurinya.
Dengan menubruk sana-sini seperti laku seorang buta, Hwat Kong Tosu mendatangi segala maling dan perampok yang terkenal lihai dan menggunakam kepandaiannya untuk menangkap mereka itu lalu dipaksa mengaku, kalau-kalau mereka itu yang mencuri patung. Tapi tak seorangpun di antara para maling dan perampok cabang atas itu mencuri patung Dewi Kwan-im hingga Hwat Kong Tosu merasa bosan sendiri.
Sebaliknya, sepak terjangnya itu menggegerkan kalangan liok-lim karena belum pernah para tokoh persilatan itu mendengar nama Hwat Kong Tosu dan tahu-tahu kakek pertapa yang luar biasa itu turun gunung mengaduk-aduk dan mengacaukan kalangan kang- ouw tanpa pilih bulu.
Tapi apakah yang dapat mereka lakukan terhadap orang tua yang kosen dan lihai itu? Banyak jagoan-jagoan yang tadinya merasa diri lihai dan belum pernah terkalahkan, ternyata merupakan anak-anak kecil yang tak berdaya jika berhadapan dengan Hwat Kong Tosu!
Pada suatu hari, Hwat Kong Tosu ke luar dari sebuah hutan di mana tinggal seorang perampok besar yang baru saja ia datangi dan ia paksa untuk memberi keterangan perihal patung itu hingga terjadi pertempuran di situ. Tapi sebagaimana biasa, perampok itu dan semua anak buahnya dibikin jatuh bangun dan tak perdaya sama sekali menghadapi Hwat Kong Tosu hingga mereka menyerah.
Tapi sekali lagi Hwat Kong Tosu kecewa karena dari situpun ia tak mendapat keterangan apa-apa. Maka dengan hati kesal ia keluar dari hutan dan menuju ke sebuah kota yang ramai, ialah kota Bun-an-kwan. Ia masuk ke dalam sebuah kedai dan pesan arak seguci besar.
Melihat seorang berpakaian tosu menghadapi guci arak besar seorang diri dan minum arak dari mulut guci begitu saja, orang- orang menjadi heran, tapi karena mereka dapat menduga bahwa tosu itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak berani mengganggu. Hwat Kong Tosu sebenarnya bukan orang peminum arak, tapi karena sudah berbulan-bulan ia merantau tanpa hasil apa-apa, murid tak dapat, patungpun tak dapat, ia hendak hibur hatinya yang kesal dengan arak wangi.
Tiba-tiba seorang anak perempuan muncul dari dalam. Ia adalah puteri seorang pembesar yang kebetulan lewat di kota itu dan bermalam di rumah penginapan yang menjadi satu dengan kedai arak itu. Anak perempuan ini wajahnya manis dan sikapnya gembira.
Sepasang matanya yang jeli memandang bebas dan berani kepada segala apa yang tampak. Melihat seorang kakek tinggi kurus dengan jenggot putih panjang sampai ke perut duduk seorang diri dan minum arak dari mulut guci besar, ia menjadi heran dan mendekati. Jenggot yang panjang dan putih itu mengherankan anak itu, maka tak heran pula ia berkata, “Kakek, jenggotmu bagus sekali!”
Hwat Kong Tosu tunda minumnya dan pandang anak perempuan itu lalu tertawa gembira. “Ha, ha, ha, ha!” Tapi kemudian ia tenggak lagi mulut gucinya.
“Kakek tua, kau mabok!” anak itu berkata lagi dan memandang Hwat Kong Tosu dengan tersenyum geli.
Hwat Kong Tosu turunkan gucinya yang hampir kosong itu di atas lantai, lalu ia pandang anak perempuan itu dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh,
“Betul, kau betul, nak. Aku memang mabok, mabok sekali. Aku telah terlalu kenyang akan kekotoran dunia sampai menjadi mabok!”
Anak perempuan itu memandang bingung karena ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata orang tua aneh itu. Seorang perempuan yang berpakaian pelayan keluar dari dalam dan memanggilnya.
“Ang-siocia, ibumu mencari-carimu.”
Pemudi kecil itupun segera lari masuk ke dalam, tinggalkan Hwat Kong Tosu yang segera tenggak araknya lagi.
Tiba-tiba dari luar masuk seorang pertapa lain yang usianya juga sudah sangat tua, barangkali tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun. Pertapa ini rambutnya diikat ke atas dan pakaiannya yang bersih itu tersulam setangkai kembang teratai di bagian dada.
“Pantas saja kau mabuk kekotoran dunia karena kau suka usilan dan ganggu orang, toyu!” Pertapa yang baru datang itu tegur Hwat Kong Tosu.
Hwat Kong Tosu turunkan gucinya yang kini telah kosong sama sekali dan pandang pertapa itu dengan heran. Ia tahu bahwa orang tua ini adalah pemimpin Kwan-im-pai karena ia kenal dari sulaman teratai di dadanya, dan ia tahu pula bahwa imam Kwan- im-pai ini tentu berilmu tinggi, tandanya ia tadi telah mendengar ucapannya biarpun belum sampai ke situ! Maka ia lalu berdiri dari tempat duduknya dan menjura.
“Apakah sahabat dari Kwan-im-kauw yang mulia hendak memberi petunjuk sesuatu kepada pinto?”
“Hwat Kong Tosu, ternyata kau bermata tajam. Kalau kau tahu bahwa pinceng datang dari Kwan-im-kauw, kau tentu tahu pula siapakah pinceng ini.”
Hwat Kong Tosu memandang sejenak, lalu dongakkan mukanya ke atas dan tertawa keras. “Ha, ha! Tidak tahunya orang nomor tiga dari Kwan-im-pai, sungguh beruntung sekali aku yang tua dan pikun hari ini dapat bertemu dengan Kim Bok Sianjin!”
Pertapa itu yang memang bukan lain adalah ketua ketiga dari Kwan-im-kauw yaitu Kim Bok Sianjin, juga tertawa menyeramkan. “Kalau kau sudah tahu siapa aku, tentu tahu pula mengapa hari ini aku datang mencarimu, sahabat baik!” katanya.
Hwat Kong Tosu memandang ke atas dan dengan mata berseri ia menjawab, “Kalau tidak salah, tentu gara-gara patung yang hilang itu, bukan?”
“Ha, ha, ha! Kau jujur dan mudah diajak urusan, toyu. Biarlah lain kali saja pinceng menghaturkan terima kasih dan penghormatan dengan mengunjungi tempat tinggalmu.
“Sekarang karena pinceng banyak urusan yang harus diselesaikan, maka mohon kau sahabat baik berlaku murah hati. Keluarkan barang itu dan berikan pada pinceng, tentu pinceng akan segera pergi dan tidak akan mengganggu pula.”
Hwat Kong Tosu mendengar ini lalu menghela napas dan jatuhkan diri di atas kursi lagi, kemudian tanpa menjawab permintaan Kim Bok Sianjin ia panggil pelayan dengan suara keras.
Pelayan yang memang tidak berada jauh dari situ lalu datang berlari dengan muka takut-takut.
“Ambilkan arak seguci lagi!” perintah Hwat Kong Tosu kepada pelayan itu.
Pelayan memandangnya dengan mata terbelalak. Selama hidupnya belum pernah ia melihat, bahkan mendengarpun belum, seorang dapat menghabiskan seguci arak seorang diri. Apa lagi kalau orang itu kini minta tambah seguci lagi! Selain heran, iapun khawatir, karena seguci saja harganya sudah puluhan tail, apa lagi kalau dua guci besar.
Melihat keraguan pelayan itu, Hwat Kong Tosu rogoh saku bajunya yang lebar dan longgar, dan keluarkan sepotong emas kuning yang beratnya lima tail! Ia berikan emas itu kepada si pelayan yang menerimanya dengan tambah heran, lalu ia timang- timang dan periksa dengan teliti potongan emas itu takut kalau palsu.
“Emas tulen, jangan kau main lambat-lambatan. Hayo ambil arakku seguci!” Hwat Kong Tosu membentak hingga pelayan itu terkejut dan lari terbirit-birit hingga pertapa tua tinggi kurus itu tertawa bergelak-gelak.
Kim Bok Sianjin melihat bahwa Hwat Kong Tosu tidak memperdulikannya, menjadi tak senang lalu berkata lagi.
“Hwat Kong Toyu, bagaimanakah jawabanmu?”
Hwat Kong menghela napas lagi. “Mengapa begitu tergesa-gesa, kawan? Mari, duduklah dahulu!”
Dan ia sahut sebuah bangku kayu dan lempar bangku itu ke depan Kim Bok Sianjin. Aneh bangku itu biarpun hanya terbuat dari pada kayu biasa, namun ketika jatuh di atas lantai yang keras ia segera tertancap sampai setengah lebih!
Kim Bok Sianjin pandang bangku itu dan tertawa ha-ha-hi-hi, lalu sambil berkata, “Terima kasih, toyu, kau baik sekali!” Ia gunakan telapak tangan menepuk bangku dan ketika ia angkat telapak tangannya, ternyata bangku itu telah menempel dan tercabut ke atas dan tergantung di bawah telapak tangannya seakan-akan tertempel erat! Kemudian ia turunkan bangku itu dan duduk dengan tenang.
Hwat Kong Tosu melihat demonstrasi kekuatan lwee-kang yang lihai ini dengan tersenyum karena ia tahu bahwa tenaga lwee- kang Kim Bok Sianjin sungguh tidak berada di bawah tenaganya sendiri.
Sementara itu datang tiga orang dari dalam dan mereka itu dengan susah payah menggotong seguci besar arak. Dua orang memikul dan seorang bantu menggotong!
“Bagus, bagus!” kata Hwat Kong Tosu setelah orang-orang itu turunkan guci arak di depannya, lalu dengan tangan kiri ia memegang bibir guci dan menyentak ke atas. Guci itu seperti terangkat oleh tangan yang tidak tampak, melayang ke atas dan ketika Hwat Kong Tosu lonjorkan telapak tangan yang terbuka di bawah guci, maka guci itu terletak di atas tangannya dengan tak tergoyang sedikitpun!
“Kim Bok Sianjin! Sebelum kita berurusan, marilah kautemani aku minum dulu,” katanya dan dengan perlahan ia lemparkan guci arak yang besar itu ke arah Kim Bok Sianjin.
Tapi tokoh ketiga dari Kwan-im-pai ini dengan senyum sindir terima guci itu dengan tangannya, guci itu tertolak kembali dengan cepat ke arah Hwat Kong Tosu, diikuti jawabannya. “Maaf, kami dari Kwan-im-kauw dilarang karma minum arak!”
Hwat Kong Tosu tertawa bergelak-gelak dan entah kapan mengambilnya, tapi tahu-tahu tongkat bututnya telah berada di tangan kanan dan kini ia gunakan tongkat itu untuk menyambut guci arak yang terlempar cepat ke arah kepalanya. Ujung tongkatnya menempel di bawah guci dan sekali ia gerakkan tangannya maka guci yang penuh arak itu terputar-putar di atas ujung tongkatnya!
Para pelayan kedai arak dan para tamu yang kebetulan minum di ruang itu, memandang adu tenaga yang luar biasa ini dengan terheran-heran dan kesima. Kini melihat betapa Hwat Kong Tosu dengan tongkat dapat permainkan guci yang berat itu bagaikan seorang main-main dengan guci kecil yang ringan, maka mau tak mau mereka berteriak memuji.
Hwat Kong Tosu memandang kepada mereka yang memuji itu dengan tersenyum, lalu ia turunkan tongkatnya hingga guci arak itu terletak di atas tanah dengan tidak tumpah sedikitpun araknya. Ia lalu berkata kepada orang-orang itu.
“Pinto telah bosan minum, nah, sekarang kalian minumlah arak ini karena tamuku tidak mau minum pula.”
Lalu ia berkata kepada pelayan. “Hai, pelayan! Kalau uangku lebih, maka lebihnya itu simpanlah saja untuk bayar makanan yang kauberikan kepada mereka yang datang makan tapi tak kuat membayar!” Kemudian ia berkata kepada Kim Bok Sianjin, “Aku memang makin tua makin sial. Kini ditambah kesialan lagi karena tahu-tahu kau datang menuduh aku mencuri patung!”
“Hwat Kong toyu, siapa yang menuduh? Kalau tidak ada orang yang memberitahu, mana pinceng berani menuduh buta tuli padamu?”
“Eh, eh, ada pula yang memberi tahu? Siapakah dia?” “Yang memberi tahu kami ialah Huo Mo-li!”
Tiba-tiba Hwat Kong Tosu berdongak ke atas dan tertawa keras, hingga suara ketawanya yang bergelak-gelak itu menggema di semua ruang kedai arak itu.
“Ha, ha, ha!” Hwat Kong Tosu tertawa terus sampai kedua matanya mengeluarkan air mata yang turun berbutir-butir dan besar-besar. “Kau kena dibohongi setan api itu! Yang mencuri bukan aku, tapi si malas Beng Beng Hoatsu! Ha, ha, ha!”
“Beng Beng Hoatsu? Ah, pinceng tidak percaya!” Kim Bok Sianjin ragu-ragu sambil memandang tajam.
“Kau percaya Huo Mo-li, mengapa tidak percaya padaku.”
“Huo Mo-li ketika berkata kepada kedua suciku, tidak dalam keadaan mabok, sebaliknya kau baru saja minum seguci arak. Kalau kau tidak bohong, bersumpahlah!” Hwat Kong Tosu tertawa lagi. “Kau seperti anak kecil saja, orang setua aku disuruh bersumpah. Aku tidak biasa bersumpah. Bicaraku benar atau bohong adalah urusanku sendiri, orang boleh percaya atau tidak, masa bodoh!”
“Kalau kau benar-benar tidak mengambil, tentu kau berani bersumpah. Tapi kalau kau yang mengambil dan tidak mau mengaku berarti kau takut padaku!”
Mendengar kata-kata ini, Hwat Kong Tosu bangun berdiri dan memandang wajah Kim Biok Sianjin dengan sungguh-sungguh.
“Kim Bok Toyu, jangan kau bicara seenakmu saja.”
“Biarlah, karena patung itu penting sekali bagi kami. Baik dengan halus maupun dengan kasar, aku harus minta kembali patung itu darimu.”
“Eh, eh, agaknya kau sengaja mau menguji tongkatku yang butut ini?” kata Hwat Kong Tosu, lalu dengan menyeret tongkatnya ia berjalan terseok-seok ke arah luar kedai yang lega.
Kim Bok Sianjin mengikutinya dengan tenang sambil berkata.
“Kalau perlu, biarlah aku merasai kelihaian Ouw-coa-koai-tung yang terkenal darimu.”
Hwat Kong Tosu memalangkan tongkatnya yang lapuk dan kecil di depan dada lalu berkata, “Baik, baik……. Memang akupun ingin mencoba kelihaian Kwam-im-pai dengan kiam-sutnya yang lihai.” Kim Bok Sianjin lalu cabut pedangnya dan tanpa sungkan- sungkan lagi ia loncat menerjang. Hwat Kong Tosu gerakkan tongkatnya dan sebentar saja mereka bertempur dengan hebat sekali.
Orang-orang yang semenjak tadi mendengar dan melihat mereka bercekcok, kini menjadi ketakutan. Ada juga beberapa orang yang tabah melihat pertempuran hebat itu dari tempat aman. Beberapa orang mendekat, tapi segera mundur lagi dengan kaget dan terkejut ketika mereka merasa sambaran angin pedang dan tongkat merobek pakaian mereka!
Biarpun ilmu pedang Kim Bok Sianjin sangat lihai, tapi mana ia dapat melawan gerakan Ouw-coa-koai-tung-hwat yang luar biasa dan tak terduga gerakannya itu. Mereka bertempur puluhan jurus dengan cepatnya hingga tubuh mereka tertutup sinar pedang dan tongkat, tapi perlahan-lahan Kim Bok Sianjin mulai terdesak dan terkurung sinar tongkat hingga ia hanya berada di pihak mempertahankan diri saja tanpa mampu balas menyerang lagi.
Hwat Kong Tosu memang seorang tua yang berwatak jenaka, hingga ia mempermainkan Kim Bok Sianjin. Kalau ia mau, maka sejak tadi ia sudah dapat robohkan lawannya, atau sedikitnya membuat pedang lawan terpental, tapi ia sengaja permainkan lawan dengan mengurungnya makin hebat.
Pada saat itu, dari dalam keluarlah anak perempuan yang manis dan yang tadi menegur Hwat Kong Tosu. Melihat ramai-ramai itu, anak perempuan tadi segera lari keluar dan melihat. Dengan beraninya ia mendekati kedua kakek yang sedang bertempur itu. Hal ini ternyata menolong Kim Bok Sianjin karena kedua orang tua itu cukup berhati mulia untuk tidak mencelakakan seorang anak perempuan. Mereka perlambat gerakan senjata mereka dan kurangi tenaga hingga angin pukulan tidak akan mencelakakan anak perempuan itu.
Kini anak itu dapat melihat tubuh kedua kakek itu yang berloncat- loncatan ke sana ke mari sambil gerak-gerakkan pedang dan tongkat. Kim Bok Sianjin yang merasa kalah segera ambil kesempatan itu untuk loncat mundur, sedangkan anak perempuan itu bersorak-sorak gembira.
“Kakek, kau pandai sekali menari!” katanya kepada Hwat Kong Tosu.
Hwat Kong Tosu tertawa girang. “Dia lebih pandai dariku,” katanya sambil menunjuk ke arah Kim Bok Sianjin hingga pertapa itu merasa tersindir lalu berkata dengan muka merah dan suara sungguh-sungguh.
“Hwat Kong Tosu! Jangan kaupermainkan aku. Betul-betulkah kau tidak ambil patung kami?”
“Ah, kau sungguh menjemukan!” Hwat Kong Tosu bersungut- sungut. “Biarlah aku bersumpah agar kau puas. Aku tidak ambil patung itu.”
“Itu bukan bersumpah namanya,” Kim Bok Sianjin mencela. “Kakek jenggot panjang! Apakah kau mencuri? Ah, kalau begitu kau jahat!” Anak perempuan itu memandangnya dengan benci dan takut.
Hwat Kong Tosu buru-buru menjawab, “Tidak, anak, sungguh aku tidak pernah mencuri.”
“Kalau begitu, kenapa tidak berani bersumpah?” anak itu bertanya.
Hwat Kong Tosu memandang ke arah Kim Bok Sianjin deagan mata melotot.
“Baiklah, biar aku bersumpah, kalau aku ambil patung itu, biar aku tidak selamat! Tapi sumpahku ini tidak berlaku untuk perbuatanku yang belum kulakukan, ingat!”
Kim Bok Sianjin tampak puas. “Dan benarkah Beng Beng Hoatsu yang mencurinya?”
“Untuk hal ini aku tak sudi bersumpah. Betul atau tidaknya kau selidikilah sendiri, itu urusanmu!”
Setelah menjura, Kim Bok Sianjin lalu tinggalkan tempat itu. Hwat Kong Tosu pandang anak perempuan itu dengan wajah berseri.
“Kakek, aku girang, kau bukan pencuri. Kau pandai sekali menari tongkat!”
“Anak baik, maukah kau belajar menari tongkat dari aku?” Anak itu berseru girang, “Mau……! Mau……!”
“Kalau kau mau, hayo berlutut dulu dan angkat aku menjadi suhumu.”
Anak perempuan itu segera jatuhkan diri berlutut dan menyebut “Suhu!” dengan suaranya yang nyaring dan merdu. Hwat Kong Tosu tertawa bergelak-gelak karena girangnya.
Pada saat itu dari dalam lari keluar beberapa orang, di antaranya seorang berpakaian seperti orang berpangkat yang berseru, “Hong Cu! Ke sini kau!”
Orang berpangkat itu adalah ayah anak perempuan itu dan yang lain-lain adalah pegawai dan pelayannya.
Ang Hong Cu, anak perempuan itu, mendengar panggilan ayahnya, lalu berdiri dan hendak menghampiri, tapi pada saat itu tiba-tiba ia terbetot ke atas oleh Hwat Kong Tosu, dan sekali gerakkan tangannya, pertapa tua itu telah loncat ke atas dan lenyap di atas genteng sambil pondong muridnya!
Semua orang berteriak-teriak, tapi tiba-tiba dari atas genteng terdengar suara Hwat Kong Tosu.
“Tai-jin jangan kaget dan cemas, puterimu berbakat menjadi muridku. Sepuluh tahun kemudian ia pasti kembali dan menjadi seorang yang berguna!” Kemudian sunyi senyap dan ketika beberapa pengawal yang pandai loncat tinggi mengejar ke atas genteng, pertapa itu dan muridnya telah lenyap!
Kedua orang tua Ang Hong Cu dan para pelayan hanya bisa menangis sedih, tapi akhirnya ayah Hong Cu dapat menetapkan hati dan melarang orang-orang menangis.
“Pertapa itu bukanlah sembarang orang. Ia seorang berilmu tinggi. Kurasa Hong Cu memang berjodoh untuk menjadi murid seorang berilmu tinggi. Biarlah kita bersembahyang saja siang malam kepada Thian agar Hong Cu mendapat berkah keselamatan,” demikian katanya kepada isterinya.
Hwat Kong Tosu ajak muridnya merantau dan mulailah ia menggembleng muridnya itu dengan pelajaran-pelajaran silat tinggi. Biarpun belum pernah mempelajari ilmu silat, namun Hong Cu benar-benar berbakat dan otaknya tajam sekali, hingga suhunya menjadi sangat girang.
Memang lebih baik mengajar seorang murid yang belum mengerti apa-apa dalam hal ilmu silat hingga sebagai buku masih kosong dan dapat dilukisi apa saja yang indah menurut kehendak si pelukis. Kalau murid sudah dikotori oleh pelajaran dari lain cabang, agak sukarlah untuk dapat memahami sedalamnya pelajaran ilmu silat tinggi seperti yang diajarkan oleh Hwat Kong Tosu.
Tentu saja, kalau murid yang diajarnya itu tadinya telah mempelajari ilmu silat lain yang tinggi dan bersih hal itu tidak menjadikan halangan. Bagaimanapun juga, kebersihan Hong Cu yang tadinya belum mengenal sedikitpun ilmu silat itu, membuat ia dapat lebih asli lagi menerima warisan ilmu silat yang lihai dari Hwat Kong Tosu!
<>
Marilah kita ikuti perjalanan Beng Beng Hoatsu yang pergi merantau untuk mencari patung Dewi Kwan-im, diikuti oleh muridnya yang baru, yakni Siauw Ma. Anak muda yang tadinya beradat keras dan ingin menang selalu ini mendapat guru yang tepat karena Beng Beng Hoatsu adalah seorang kakek aneh yang adatnya juga keras sekali, tapi ia sangat jujur.
Dengan sikapnya yang galak itu maka Siauw Ma menjadi tunduk dan Beng Beng Hoatsu berusaha keras untuk menggembleng muridnya menjadi orang pandai karena pertapa pendek gemuk ini tidak mau kelak muridnya sampai kalah oleh murid lain orang.
Sambil merantau ia tidak lupa untuk selidiki patung yang lenyap itu, dan ia juga mendengar tentang sepak terjang Hwat Kong Tosu yang hantam kromo dan bikin keder semua kalangan liok-lim. Ia merasa geli melihat sepak terjang kawannya itu tapi tentang patung Dewi Kwan-im ia tidak sangat pentingkan.
Yang terpenting baginya ialah mendidik Siauw Ma, karena menurut anggapannya, jika Siauw Ma menjadi pandai, maka kelak mudah saja untuk merampas patung itu dari tangan siapa juga! Berbulan-bulan kemudian Beng Beng Hoatsu merasa bosan juga merantau karena sedikitpun ia tidak mendengar tentang patung yang hilang. Sebaliknya ia mendengar berita yang menggemparkan kalangan kang-ouw, yakni bahwa Kelenteng Gak-im-tong di kota Swi-ciang kabarnya didatangi seorang sai- kong dan pertapa ini mengusir semua penghuni kelenteng, bahkan membunuh ketua kelenteng itu.
Hal ini membuat kalangan kang-ouw merasa marah karena kelenteng itu adalah kelenteng paderi wanita dan yang tinggal di situ semuanya ialah para nikouw dan ketuanya juga seorang pertapa wanita.
Beng Beng Hoatsu mendengar bahwa telah ada beberapa orang gagah dari kalangan kang-ouw karena merasa penasaran, lalu mendatangi kelenteng yang sekarang diduduki seorang diri oleh sai-kong jahat itu, tapi mereka semua tak mampu jatuhkan pendeta yang sangat lihai itu, hingga di kalangan kang-ouw masih ramai orang bicarakan hal ini dengan penasaran dan secara kebetulan Beng Beng Hoatsu mendengar pula hal ini.
Siauw Ma yang berhati keras dan berdarah panas, mendengar hal yang tidak adil ini lalu mendesak suhunya untuk pergi ke kota itu dan “membereskan” sai-kong yang demikian jahatnya.
“Suhu, menurut pikiran teecu, kalau seorang pertapa yang biasanya harus menjadi contoh dari manusia suci, sampai berlaku sekejam itu, ia harus dienyahkan dari muka bumi ini!” kata Siauw Ma dengan bernapsu. Beng Beng Hoatsu tertawa bergelak-gelak sambil pandang muridnya dengan sepasang matanya yang bundar itu terputar- putar.
“Kau ini seperti anak harimau yang baru keluar saja. Kaukira kau sanggup menandingi sai-kong jahat itu?”
“Mengapa tidak sanggup, suhu? Kalau aku tidak sanggup membasmi pendeta jahat seperti itu, teecu bukan murid Beng
Beng Hoatsu yang termashur sakti dan adil!”
Memang, biarpun ia kasar, Siauw Ma sebenarnya cerdik dan dapat mengetahui watak dan hati orang. Jawabannya itu dengan tidak langsung membakar hati Beng Beng Hoatsu, hingga orang tua itu sekali lagi tertawa besar.
“Baiklah, mari kita pergi ke kota Swi-ciang. Mari kita lihat, orang macam apa sai-kong itu!”
Beng Beng Hoatsu sengaja berjalan cepat sekali hingga Siauw Ma harus kerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mengejar suhunya! Selama beberapa bulan itu, kepandaian gin- kang dan Hwie-heng-sut yang dimilikinya telah maju pesat sekali dan jauh jika dibandingkan dengan dulu.
Di samping memperdalam gin-kang dan lwee-kang, iapun tekun mempelajari Ilmu Silat Naga Sakti, kepandaian yang luar biasa ciptaan Beng Beng Hoatsu. Ketika secara iseng-iseng ia mainkan ilmu silat meniru gerak-gerik semua lukisan di dinding gua Huo Mo-li dulu, Beng Beng menegurnya marah, “Jangan mainkan ilmu silat busuk tiada berguna itu.”
Semenjak itu ia tidak berani lagi main-main dengan Ilmu Silat Huo- mo-kun-hwat yang ia hanya tahu sedikit karena dulu menggosok- gosok dinding gua Huo Mo-li.
Karena guru dan murid itu lari cepat, maka tidak sampai setengah hari mereka memasuki gerbang dinding kota Swi-ciang dan masuk ke dalam kota dengan tenang. Mudah saja mereka cari kelenteng Gak-im-tong dan ternyata kelenteng berada di ujung kota dan di bagian yang sunyi karena jauh dari tetangga.
Kelenteng itu dari luar tampak sunyi sekali, tapi sayup sampai terdengar suara yang parau dan besar sedang membaca liam- keng, yakni semacam doa yang diucapkan dengan keras. Siauw Ma yang tidak sabar menanti lebih lama segera membetot ujung lengan baju suhunya dan mereka berdua masuk ke dalam pekarangan kelenteng itu.
Kini suara liam-keng terdengar nyata dan ketika ia memperhatikan suara itu, Siauw Ma menjadi terkejut sekali, karena syair yang dibacakan oleh suara itu sekali-kali bukanlah syair doa, tapi syair kacau balau yang isinya menyindir mereka berdua. Ia mendengarkan dengan lebih teliti.
Di antara kata-kata yang isinya makian kotor terdapat kata-kata yang menyindir bahwa ada naga gemuk pendek bersama seekor ular kecil berhati panas datang, dan bahwa mereka berdua, ular dan naga itu barangkali sudah bosan hidup dan ingin tahu betapa rasanya masuk ke neraka!
Siauw Ma merasa disindir dan ia menjadi marah sekali, sama sekali ia tidak ingat bahwa tanpa melihat sudah dapat mengerti keadaan mereka dan tahu akan kedatangan mereka menyatakan betapa lihainya orang di dalam kelenteng itu. Ia lupa segala bahaya dan hendak meloncat ke dalam.
Tapi tiba-tiba lengan tangannya terpegang oleh gurunya dan tubuhnya di tarik ke belakang. Betul saja, dari sebelah kiri kelenteng menyambar sebuah batu besar yang beratnya ratusan kati, tepat menyambar di mana Siauw Ma tadi berdiri.
Sebelum batu itu jatuh kembali, tiba-tiba berkelebat bayangan kecil dan seorang anak muda kira-kira berusia tigabelas tahun loncat menyambut batu itu!
Kemudian ia berdiri menghadapi Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma sambil tertawa-tawa. Anak muda itu bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, mulutnya besar dan sepasang matanya mengeluarkan sinar nakal.
Setelah tertawa sekali lagi dengan suara nyaring, anak itu lalu lempar batu ke arah Siauw Ma dan berkata, “Kau sambutlah batu ringan ini!”
Dari sambaran angin yang mendahului batu itu, Siauw Ma maklum bahwa batu itu sangat berat, tapi ia cukup waspada dan tenang. Ia tanam kakinya dengan kuda-kuda yang kuat dengan gerakan yang disebut Tanam Pilar Besi, lalu kedua tangannya menyambut batu itu. Dengan cepat ia barengi gerakan batu itu kemudian potong tenaga batu ke atas hingga sebentar saja batu itu sudah berada dalam sebelah tangannya dan diangkat tinggi di atas kepala.
“Kau terimalah kembali!” Katanya dan ia ayun batu itu kembali kepada anak itu.
Dengan ketawa lebar anak itu gunakan tangan kiri untuk tolak batu itu keluar dan batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah, mengeluarkan debu mengepul ke atas. Kedua kaki Siauw Ma ternyata juga sudah melesak ke dalam tanah sedalam kira-kira satu dim! Dari kenyataan ini dapat diukur sampai di mana tenaga lemparan anak kecil itu!
“Siauw Liong, jangan ganggu tamu! Dia adalah sahabat baikku!” tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam dan Siauw Ma melihat seorang kakek gundul yang luar biasa berjalan keluar dengan sebatang tongkat di tangan.
Kakek ini sungguh luar biasa. Tubuhnya tinggi bongkok, mukanya persegi dan totol-totol hitam. Di atas kepalanya yang gundul licin itu tumbuh sebuah daging jadi yang menyerupai tanduk, tepat di tengah-tengah batok kepala, kira-kira satu dim! Mulutnya yang lebar selalu menyeringai!
Pakaiannya juga aneh, dari sutera putih dan hanya merupakan kain yang lebarnya dua kaki tapi panjang sekali, dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya dari leher sampai ke bawah lutut. Tongkat di tangannya tak kalah ganjilnya, karena tongkat itu berwarna hitam kemerah-merahan dan bentuknya menyerupai ular yang sedang pentang mulut dan julurkan lidah!
Kalau benda itu diperiksa lebih teliti, barulah orang tahu bahwa itu sebenarnya adalah seekor ular tulen yang sudah mati dan kering, dan tubuh ular itu demikian kaku dan keras hingga dapat digunakan sebagai senjata yang ampuh. Inilah Tok-kak-coa Si Ular Tanduk Beracun!
Melihat orang ini, untuk seketika Beng Beng Hoatsu berdiri ternganga, tapi ia lalu memandang dengan wajah berseri, kemudian sambil putar-putar kedua biji matanya ia berdongak dan ketawa keras.
“Kukira setan dari mana yang mendiami kelenteng ini, tidak tahunya si jahat dari timur! Pantas saja sekalian anak-anak dari kang-ouw itu tak mampu membekukmu. Ah, ular jahat, kau makin lama makin jahat saja!”
Tok-kak-coa melebarkan mulutnya hingga ia menyeringai menyeramkan, dan sepasang matanya yang kecil itu merupakan dua buah garis panjang berkeriput.
“Beng Beng, sudah lama tak bertemu kau makin gemuk menjijikkan! Eh, muridmu ini boleh juga, hampir sama baiknya dengan Siauw Liong! Sayang ia agaknya bodoh.” Lalu Si Ular Tanduk Beracun itu tertawa ha, ha, hi, hi mendatangkan rasa mendongkol, gemas, dan marah campur takut di hati Siauw Ma.
“Beng Beng, sahabat baik. Mari masuk ke istanaku, mari, mari! Aku ada arak wangi untukmu dan muridmu. Masuklah!”
Siauw Ma ragu-ragu, tapi suhunya bertindak masuk tanpa ragu- ragu, bahkan dengan senyum di mulut. Setelah tiba di dalam, Beng Beng Hoatsu berkata kepada Siauw Ma.
“Siauw Ma, hayo kau memberi hormat kepada Tok-kak-coa si setan tua ini.”
“Hi, hi, hi, hi! Bukankah benar kataku tadi bahwa muridmu memang tolol?” Tok-kak-coa mengejek, dan Beng Beng Hoatsu juga tertawa.
“Sebut saja susiok padanya, karena biarpun kelihatannya seperti mayat hidup, namun aku masih lebih tua dari padanya!” kata Beng Beng Hoatsu.
Siauw Ma mengangguk-anggukkan kepala lagi dan kini menyebut, “Susiok!”
“Bangunlah, bangunlah!”
Tok-kak-coa berkata sambil memegang tangan Siauw Ma. Pegangan itu keras, maka Siauw Ma maklum bahwa orang aneh ini sedang menguji tenaganya, karena itu ia segera mengumpulkan tenaganya hingga tubuhnya menjadi keras bagaikan batu!
Ketika orang tua itu mengangkat pundak yang dipegangnya, maka tubuh Siauw Ma terangkat naik dengan keadaan masih berlutut. Ia seolah-olah berubah menjadi sebuah patung batu yang sedang berlutut!
Tok-kak-coa menurunkan lagi tubuh anak muda itu, lalu sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada Beng Beng Hoatsu.
“Bagus, bagus! Tidak malu aku mempunyai keponakan macam ini, Ha, ha, ha!” Kemudian orang tua bongkok kurus itu berteriak ke arah belakang.
“Hei! Siauw Liong! Kau sembunyi di mana? Ke marilah kau!”
Dari belakang muncullah anak laki-laki yang tadi menggoda Siauw Ma. Sepasang matanya memancarkan kenakalan dan tidak malu-malu.
Siauw Liong terpaksa maju berlutut dan ia hanya mengangguk- anggukkan kepala karena tidak tahu harus menyebut apa.
“Teecu harus memanggil bagaimana, suhu?” Siauw Liong berpaling dan memandang gurunya.
“Siauw Liong, aku telah menerima penghormatan murid supekmu, hayo kini kauwakili aku memberi hormat kepada supekmu.” Siauw Liong gunakan kedua matanya yang bersinar tajam untuk menatap wajah Beng Beng Hoatsu, kemudian dengan alis mata bergerak-gerak hingga menambah kecakapan dan kegagahan wajahnya ia berkata kepada suhunya.
“Suhu, apakah kau kalah pandai dari kakek ini?”
Suhunya tertawa. “Aaaah….. Beng Beng Hoatsu lihai sekali, ilmu pedangnya Naga Dewa jarang bandingannya di dunia ini….., tapi aku kalah pandai darinya? Hi-hi-hi-hi….. jangan kau khawatir, muridku….. gurumu lebih lihai lagi! Bukankah begitu, Beng Beng, sahabatku?”
“Memang, kau lihai sekali, Tok-kak-coa, lihai dan licin. Terutama tentang muslihat dan akal bulus, aku takkan menang dari kau!”
Siauw Liong lalu maju ke hadapan Beng Beng Hoatsu dan menjura dalam sambil menyebut.
“Supek…….”
Ia tidak mau berlutut karena anggapannya, untuk apa berlutut kepada seorang yang kalah lihai dari suhunya?
“Dan ini adalah murid supekmu, kepandaiannya boleh juga!”
“Teecu telah berkenalan dengan kepandaiannya, suhu!” kata Siauw Liong, dan ketika Siauw Ma menjura ke arahnya tanda salam, ia sengaja buang muka ke samping, sama sekali tidak pandang sebelah mata! Bukan main panas hati Siauw Ma, tapi Beng Beng Hoatsu bahkan tertawa bergelak-gelak.
“Ha, ha, ha! Ular jahat, kau mendapat seorang murid yang cocok dan cerdik.”
Tok-kak-coa tahu dirinya disindir. Memang ia tidak setuju melihat sikap muridnya ini, tapi ia sangat sayang kepada Siauw Liong yang semenjak berusia tiga tahun telah dipeliharanya.
Anak itu dimanja luar biasa olehnya dan boleh dibilang tiada semacam pun permintaan anak itu yang tidak dipenuhi. Apa lagi ketika ternyata bahwa Siauw Liong sangat cerdik dan bakatnya dalam ilmu silat hebat sekali, makin sayanglah guru itu kepada muridnya. Karena rasa sayangnya ini, ia tidak mau tegur muridnya ketika Siauw Liong bersikap kurang hormat kepada Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma.
“Duduklah, duduklah…….” Demikian ia mempersilahkan Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang lebar.
“Kebetulan sekali, aku dan muridku baru saja selesai memasak. Ha, ha, ha! Beng Beng, mari kita pesta besar! Memang mulutmu sedang mujur, datang-datang kaurebut sebagian dari hidangan kami yang lezat! Hi-hi-hi!”
Beng Bang Hoatsu hanya tersenyum dan berkata, “Keluarkan semua hidanganmu!” Memang Beng Beng Hoatsu telah lama kenal kepada Si Ular Tanduk Berbisa itu. Berpuluh tahun yang lampau ia dan Tok-kak- coa pernah menjagoi daerah timur Tiongkok. Tok-kak-coa disebut si jahat dari timur dan tak seorangpun di kalangan kang-ouw yang berani menghalangi segala sepak terjang ular berbisa yang lihai itu.
Juga tak seorangpun ditakuti oleh Tok-kak-coa kecuali kepada Beng Beng Hoatsu ia menaruh segan dan hormat. Ia tak pernah mengganggu Beng Beng Hoatsu setelah mereka pernah bentrok dan bertempur sampai sehari semalam lamanya.
Keduanya mendapat luka, tapi keduanya tak dapat disebut kalah atau menang! Kepandaian mereka memang seimbang.
Setelah pertempuran itu mereka saling menaruh segan dan kagum dan diam-diam mereka perhebat latihan dan memperdalam kepandaian. Kini berpuluh tahun telah lewat dan mereka bertemu di tempat itu, masing-masing merasa curiga karena tahu bahwa masing-masing telah mendapat kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka. Beng Beng Hoatsu tahu benar bahwa si jahat dari timur itu kini tidak dapat disamakan dengan dulu di waktu mudanya.
Ia mendengar bahwa Tok-kak-coa telah mempelajari segala macam ilmu yang ada hubungannya dengan racun ular hingga ia mendapat sebutan Tok-kak-coa. Dulu ia tidak begitu mendesaknya, karena memang kejahatan Tok-kak-coa hanya terbatas kepada ingin berkuasa dan ingin menjadi orang yang paling ditakuti dan paling disegani, sedangkan kejahatannya hanya berupa perampokan harta saja.
Ia hanya membunuh orang-orang dalam pertempuran yang adil, dan sama sekali tidak mau mengganggu orang-orang lemah. Karena inilah maka ia lebih terkenal di kalangan kang-ouw di mana ia selalu menjagoi dan menjatuhkan tiap orang kang-ouw yang mulai terkenal kegagahan dan namanya.
Beng Beng Hoatsu juga tahu bahwa makin tua, Tok-kak-coa makin lihai dan licin dan ia maklum pula betapa curangnya orang tua ini. Karena itu ia berlaku waspada, namun di luar, ia berlaku pura-pura tak acuh dan sembrono.
Tok-kak-coa lalu berkata kepada Siauw Liong yang berdiri di situ. “Muridku yang baik, supekmu datang, maka kita harus menjamu dia. Coba keluarkan masakan daging naga dan daging kilin yang kita masak tadi!”
Siauw Liong tersenyum dan sambil mengerlingkan mata ke arah Siauw Ma, ia mengangguk dan pergi ke belakang. Beng Beng Hoatsu tersenyum-senyum saja tapi diam-diam Siauw Ma hatinya berdebar karena ia merasa curiga.
“Tok-kak-coa! Kau terlalu sungkan, kami bukan tamu yang harus dijamu, sebenarnya tak perlu kau repot-repot. Kedatanganku ini sebenarnya hendak mencari seorang sai-kong jahat yang kabarnya telah mengusir semua nikouw dan dengan paksa merampas kelenteng. Bahkan kabarnya ia telah membunuh ketua kelenteng. Di manakah sai-kong itu?” Beng Beng Hoatsu pura-pura memandang ke langit-langit kelenteng yang berukiran burung- burung hong indah, tapi sebenarnya ujung matanya dengan tajam mengerling dan menatap wajah Tok-kak-coa.
Kakek tua tinggi bongkok itu tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal, hingga Siauw Ma memandangnya dengan kening berkerut karena ia sungguh tak mengerti orang aneh ini yang begitu mudah tertawa.
“Beng Beng! Tak kusangka kau makin tua makin tolol. Pantas saja muridmu juga tolol, karena rupanya kauberi pelajaran tentang ketololan padanya! Sai-kong yang manakah yang kaucari? Orang yang membunuh ketua kelenteng dan mengusir semua penghuni kelenteng bukan lain ialah aku sendiri!”
Beng Beng Hoatsu tidak terkejut mendengar ini karena memang ia sudah menduga sebelumnya. Kini ia hanya tundukkan kepala dan dari bawah, sinar ke dua matanya menyambar tajam.
“Hm, si jahat dari timur agaknya telah lupakan kegagahannya dan tua-tua berubah menjadi pengecut!” kata-kata ini sangat pedas dan Siauw Ma tahu bahwa suhunya mulai marah, maka iapun siap sedia menghadapi segala kemungkinan.
Tapi Tok-kak-coa yang dimaki dengan pedas ini hanya sebentar saja memandang wajah Beng Beng Hoatsu dengan tajam dan untuk saat sebentar itu dari kedua matanya yang sipit seakan- akan memancar cahaya api yang membakar kulit! Kemudian ia tersenyum dan berkata perlahan, seperti kepada diri sendiri. “Haya….. Beng Beng masih belum kenal betul siapa sebetulnya Tok-kak-coa dan orang macam apakah adanya aku!” Kemudian ia menghadapi Beng Beng Hoatsu dan berkata tajam.
“Beng Beng! Untuk kata-katamu itu saja sudah cukup alasan bagiku, untuk mengadu nyawa denganmu, tapi kau adalah sahabatku, dan kita sedang menghadapi pesta besar! Nanti saja kalau kita sudah selesai makan, kita bereskan urusan ini lebih lanjut.”
Pada saat itu Siauw Liong masuk membawa baki besar dengan beberapa buah mangkok besar terisi masakan yang masih mengepulkan uap. Beng Beng Hoatsu teringat akan sopan santun dan kewajiban seorang tamu, maka iapun mengangguk dan berkata.
“Baiklah, mari kita makan dulu!”
Siauw Liong lalu taruh semua mangkok besar itu di atas meja, lalu cepat ia loncat ke dalam dan keluarkan sebuah guci arak yang besar sekali dan penuh dengan arak wangi. Dari perbuatan ini saja dapat diukur sampai di mana kehebatan tenaga anak kecil itu!
Ketika Siauw Liong dengan tersenyum-senyum manis buka tutup semua mangkok, mata Siauw Ma terbelalak karena terkejut dan jijik! Ternyata yang disebut daging naga adalah masakan yang terdiri dari ular-ular kecil yang masih utuh, bercampur dengan kelabang yang ke merah-merahan dan seakan-akan masih hidup mengambang di atas kuah! Yang disebut daging kilin adalah kalajengking dan ulat yang dagingnya kehijau-hijauan. Masih ada beberapa macam masakan lain, tapi semuanya terbuat dari pada daging binatang-binatang berbisa!
Siauw Ma rasakan wajahnya mengeluarkan keringat dingin dan kerongkongannya seakan-akan ada yang cekik hingga ia sukar bernapas. Diam-diam ia keluarkan potongan perak dari saku bajunya.
Tok-kak-coa tertawa bergelak-gelak melihat laku Siauw Ma. Ia ternyata telah tahu apakah yang dikeluarkan oleh Siauw Ma dari sakunya, karena ia berkata di antara suara tawanya.
“Anak tolol, kau masih tidak percaya? boleh, cobalah dengan potongan perak itu dan lihatlah sendiri bahwa semua yang dihidangkan adalah barang tulen!”
Karena sudah terlanjur mengeluarkan potongan perak dari sakunya dan sudah diketahui oleh tuan rumah, terpaksa Siauw Ma tanpa malu-malu lagi celupkan perak itu ke dalam kuah dan ketika ia angkat perak itu, benda yang tadinya putih bersih kini telah menjadi ke hijau-hijauan!
“Suhu, makanan ini beracun!” Siauw Ma bangun dari duduknya dengan kaget.
Beng Beng Hoatsu gunakan tangannya untuk pegang dan tekan pundak muridnya hingga Siauw Ma duduk kembali. Sementara itu, dengan sumpitnya, Siauw Liong dan Tok-kak-coa telah ambil potongan-potongan daging binatang berbisa itu ke dalam mangkok dan Tok-kak-coa berkata,
“Hayo, Beng Beng, makanlah. Kalau dingin kurang sedap!” Dan si jahat dari timur itu tertawa menyeringai.
Siauw Ma pandang suhunya dengan khawatir, tapi dengan tenang sekali Beng Beng Hoatsu gunakan sumpitnya jepit seekor ular kecil yang berwarna hijau dan taruh itu ke dalam mangkoknya.
Kini Siauw Liong sambil tertawa dan mata bersinar gembira berkata kepada Siauw Ma, “Dan kau, tak beranikah kau makan suguhan kami? Benar-benarkah kau begitu penakut?” ejeknya.
Siauw Ma menjadi penasaran dan hatinya terasa panas. Ia pandang suhunya dan orang tua ini gerakkan jari tangannya dan tahu-tahu sebutir obat pulung putih telah menggelinding ke dalam mangkok Siauw Ma yang masih kosong.
“Kau makanlah, Siauw Ma. Daging ini enak sekali, bisa bikin tubuh kuat dan sehat!”
Karena percaya kepada suhunya, maka Siauw Ma lalu jepit seekor kelabang yang bentuknya lebih kecil dari pada ular, dan ia paksa hatinya usir rasa jijik.
“Hi, hi, hi, hi!” Si jahat dari timur tertawa, lalu berkata sambil gerak- gerakkan sumpitnya. “Mari, mari! Mari makan……” kemudian ia jepit ular di mangkoknya dan sekali pentang mulut, ular itu telah lenyap ke dalam mulut dan dikunyah dengan enaknya!
Mendengar betapa gigi Tok-kak-coa menggayem tulang ular hingga berbunyi “kretak-kretik” dan nampak orang tua itu makan sambil meram melek karena nikmatnya, hampir saja Siauw Ma tak dapat menahan rasa jijiknya.
Tapi ia melihat Siauw Liong juga menggigit ularnya di bagian ekor hingga putus dan makan ekor itu dengan enaknya, sama enaknya kalau ia makan ekor dari ikan yang lezat. Ia melirik suhunya, dan Beng Beng Hoatsu juga tanpa ragu-ragu lagi menggigit putus ularnya dan makan potongan bagian kepala ular itu.
Tidak ada jalan lain bagi Siauw Ma. Ia meramkan matanya dan dengan mengeraskan hati ia menggigit sepotong dari pada kelabang di dalam mangkoknya.
Pada saat ia menggigit kelabang itu, ia membuka matanya karena terheran sekali. Ternyata kelabang yang digigitnya rasanya enak sekali! Lebih enak dari pada daging ayam atau ikan laut. Gurih dan manis, dan sedikitpun tidak mengandung bau amis.
Entah mengapa, kulit kelabang yang tebal dan kasar itu sama sekali tidak keras, bahkan lunak dan pulen sekali. Maka iapun lalu terus makan dengan enaknya, karena perutnya memang lapar.
Ia melihat betapa obat yang menggelinding ke dalam mangkoknya itu mencair merupakan air yang berwarna putih seperti tepung. Karena tahu bahwa obat itu adalah pemunah racun, maka tiap kali ia celupkan sepotong daging yang hendak dimakannya, jadi ia menggunakan obat itu seperti bumbu atau seperti pengganti kecap saus tomat!
Sebentar saja Beng Beng Hoatsu sudah menghabiskan seekor ular kecil, dua kelabang dan tiga kalajengking, sedangkan Siauw Ma telah menghabiskan dua ekor kelabang dan seekor ular!
Sementara mereka makan minum yang diseling dengan percakapan gembira dari kedua orang tua itu yang membicarakan masa lalu dengan penuh kegembiraan seakan-akan dua orang sahabat lama yang baru berjumpa, tahu-tahu hari telah mulai gelap. Siauw Liong menunda sumpitnya dan menyalakan dua batang lilin besar di kamar itu.
Akhirnya mereka selesai juga makan minum. Siauw Liong membawa mangkok dan sumpit ke belakang, dibantu Siauw Ma. Kini Siauw Liong tidak begitu menghina jika ia memandang Siauw Ma, tapi tetap saja ia tidak mau mengajak tamunya bicara.
Setelah mangkok sumpit dicuci bersih dan ditaruh di dalam sebuah keranjang, kedua anak muda itu kembali ke dalam kamar dan duduk di belakang suhu masing-masing. Ternyata kedua guru itu sedang bercakap-cakap dengan suara mulai sengit.
“Beng Beng! Kuulangi kata-kataku tadi. Kau sungguh-sungguh tolol seakan akan belum tahu aku ini orang macam apa!” “Tak perlu kau putar lidah, Tok-kak-coa. Katakan saja dengan ringkas mengapa kaulakukan perbuatan biadab itu!”
Tiba-tiba kedua orang tua itu diam tak bergerak sambil pasang telinga, tapi Siauw Liong dan Siauw Ma tidak mendengar sesuatu.
“Nah, lihatlah saja, Beng Beng. Kalau mereka itu sudah datang, baru kau tahu barangkali!” kata Tok-kak-coa dengan perlahan, lalu ia bersila di atas bangku dan meramkan matanya.
Beng Beng Hoatsu berpaling kepada muridnya dan memesan,
“Jangan kau bergerak dari tempatmu!” sebelum muridnya mengangguk, pendeta gemuk pendek inipun bersila dan meramkan mata sambil menaruh kedua tangan di atas paha!
Siauw Ma terheran dan memandang ke arah Siauw Liong, tapi anak ini tak mengacuhkan semua itu, agaknya kelakuan suhunya itu tidak aneh baginya. Malahan anak itu mengambil sejilid buku dari laci meja dan mulai membaca dengan asyiknya!
Siauw Ma makin heran, tapi tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di atas genteng kelenteng! Ia terkejut ketika mendengar bahwa yang datang di atas genteng sedikitnya ada enam orang.
Tentu mereka itu bermaksud jahat! Ia memandang suhunya yang masih bersila dengan anteng, juga Tok-kak-coa duduk diam seperti Beng Beng Hoatsu, maka hati Siauw Ma menjadi khawatir juga. Ketika ia mengerling Siauw Liong, ternyata anak muda itu masih membaca bukunya dengan anteng. Diam-diam Siauw Ma mencela Siauw Liong yang dianggapnya tidak hati-hati atau masih rendah kepandaiannya hingga ada begitu banyak orang di atas genteng masih juga belum tahu!
Tiba-tiba seperti sedang melamun atau main-main, tangan kanan Siauw Liong meraba-raba mencari potongan-potongan tulang ular sisa makan tadi, sedangkan matanya tetap membaca buku. Kemudian tangan kanannya terayun ke atas dan terdengar bunyi “pletak, pletak” ketika genteng itu tertembus oleh peluru tulang yang dilempar oleh Siauw Liong!
Siauw Ma kagum sekali, karena walaupun ia dapat meniru perbuatan itu, namun ia kagum akan kecerdikan anak itu dan alangkah hebatnya Siauw Liong yang dapat menyerang tanpa berhenti membaca bukunya!
Tapi sambitan tulang itu agaknya dapat dikelit oleh orang-orang di atas genteng, karena tidak menimbulkan akibat apa-apa. Sebaliknya, dari atas genteng lalu terdengar suara makian dan bentakan.
“Siluman ular jahat! Keluarlah kau, jangan gunakan senjata rahasia menyerang secara gelap. Kau rasakanlah pembalasan kami!”
Kemudian genteng tampak terbuka dan beberapa belas piauw dan pelor besi menyambar turun dengan keras sekali ke arah Tok- kak-coa dan Beng Beng Hoatsu! Hampir saja Siauw Ma berteriak kaget karena ia melihat kedua orang tua itu sama sekali tidak bergerak. Senjata-senjata rahasia itu tepat sekali mengenai sasaran dan terdengar suara “tak-tik- tok” dan kesudahannya hebat sekali dan di luar dugaan Siauw Ma.
Kepala Tok-kak-coa yang licin gundul itu ketika terpukul oleh pelor dan piauw, semua senjata-senjata kecil dari besi itu membal kembali seakan-akan menghantam sebuah bola besi yang keras! Tak sedikitpun kulit kepala yang licin itu terluka.
Dan Beng Beng Hoatsu lebih hebat lagi karena piauw yang menghantam kepalanya patah-patah sedangkan pelor besi yang bulat itu menempel di kepalanya dan telah menjadi gepeng!
Siauw Ma merasa kagum bukan main, juga Siauw Liong tersenyum-senyum dengan wajah bersinar karena setelahnya melihat kelihaian orang-orang tua itu. Dari kenyataan ini maka tak dapat disangsikan pula bahwa tenaga lwee-kang dari kedua orang ini sudah mencapai puncak kesempurnaan dan di atas dunia ini mungkin hanya ada beberapa orang saja!
Dari atas genteng terdengar seruan seseorang, “Kawan-kawan, gelombang besar!”
Ini adalah kata-kata rahasia yang berarti bahwa lawan sangat kuat dan mereka hendak lari, tapi tiba-tiba Tok-kak-coa membuka matanya lalu berkata perlahan.
“Perlahan dulu, pinto perlu mendengar keteranganmu!” Kemudian Tok-kak-coa menggerakkan tangan kanannya ke atas. Ini adalah ilmu pukulan Hong-ciang-kang atau Ilmu Telapak Tangan Angin. Pukulan ini dilakukan dengan tenaga lwee-kang yang hebat hingga dari telapak tangan orang tua itu bertiup angin ke atas, memukul seorang dari pada penyerbu-penyerbu itu. Maka terdengarlah suara keluhan seseorang.
“Siauw Liong, bawa orang itu ke sini,” kata Tok-kak-coa kepada muridnya.
Pendengarannya yang tajam sekali dapat mendengar bahwa penjahat-penjahat lain telah lari ketakutan sambil meninggalkan pemimpin mereka yang terpukul itu. Sebentar saja Siauw Liong telah masuk ke dalam ruangan itu kembali sambil menyeret seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Orang itu ternyata pingsan!
Beng Beng Hoatsu juga telah membuka matanya dan ia memandang laki-laki itu. Setelah melempar orang tinggi besar itu di hadapan suhunya, Siauw Liong duduk kembali di tempatnya tadi.
Si jahat dari timur mengulur tangannya dan sekali tepuk saja orang itu siuman kembali. Ia memandang dengan mata liar ke sekelilingnya, ketika ia memandang wajah Tok-kak-coa ia menjadi pucat dan berdiri diam seperti patung. Ia mengerti bahwa tak mungkin ia melarikan diri, juga tak mungkin melawan, maka ia diam saja menanti nasibnya. “Siapakah kau dan mengapa kau berkali-kali datang membawa kawan-kawanmu untuk membunuhku?” Tok-kak-coa bertanya dengan suara parau.
“Berkali-kali kami sudah memberi tahu padamu, tapi kau masih bertanya lagi. Aku telah kau tangkap, mau bunuh boleh saja. Buat apa banyak cakap?”
“Sekali ini saja kauberitahu padaku. Aku telah lupa lagi.”
Si jahat dari timur menjawab dengan bujukannya. Laki-laki itu menghela napas, kemudian berkata juga.
“Aku adalah Lok Kung. Kami datang untuk membunuhmu, untuk menebus sakit hati sumoi kami yang kaubunuh dan yang kelentengnya kau rampas!”
Tok-kak-coa tertawa bergelak-gelak.
“Oh, ya kini aku ingat lagi. Kenapa kau menuntut balas? Sumoimu itu sudah selayaknya dibunuh dan semua nikouw di sini sudah selayaknya pula dibasmi.
“Aku hanya membunuh pemimpinnya dan usir semua nikouw, boleh dibilang perbuatanku itu masih murah hati sekali! Tidak tahukah kau bahwa sumoimu itu telah melanggar pantangan keras dari aturan orang-orang suci?
“Ia dan para muridnya telah melakukan perbuatan cabul di dalam kelenteng ini, telah menculik pemuda-pemuda dan dikeram di sini. Perbuatan ini sungguh sangat menyuramkan nama para pendeta umumnya dan sangat mengotori kelenteng yang suci. Tak pantaskah mereka dibunuh?”
“Apa hubungannya semua itu dengan kau? Tak usah kau turut campur urusan pribadi orang lain. Kau memang ular berbisa yang kejam dan ganas!”
“Hi, hi, hi, hi! Tak tahukah aku bahwa kau juga menjadi kekasih para nikouw di sini? Kaupun harus mati. Tapi kau tak boleh mati di sini. Hayo kau minggat!”
Tok-kak-coa menuding ke arah dada laki-laki itu dan entah mengapa, laki-laki tinggi besar itu seakan-akan terdorong oleh pukulan keras dan ia terjengkang roboh sambil muntahkan darah segar! Kemudian tanpa pamit lagi ia loncat keluar dan lari dengan sempoyongan, diikuti suara ketawa ha, ha, hi, hi dari Tok-kak-coa.
Beng Beng Hoatsu putar-putar kedua matanya dan memandang kepada si jahat dari timur, kemudian iapun tertawa,
“Aah, benar-benar aku tolol, si jahat dari timur masih tetap seperti dulu. Pinto telah salah sangka. Nah, kalau begitu perkenankan kami berdua guru dan murid tinggalkan tempat ini!”
Tapi tiba-tiba, seperti tadi, mereka berdua diam dan kali ini pada wajah kedua jago tua itu nampak ketegangan.
“Hm, yang datang kali ini bukanlah orang sembarangan,” Beng Beng Hoatsu berkata perlahan dan mereka berdua seperti tadi pula bersila di atas bangku sambil meramkan mata. Siauw Liong pandang wajah Siauw Ma dengan heran karena kali ini mereka berdua tidak mendengar sesuatu. Juga ketika tiba-tiba di atas genteng terdengar suara orang padahal mereka belum mendengar suara kakinya, maka berdebarlah hati mereka karena maklum betapa tinggi ilmu gin-kang tamu yang sekarang ini. Orang di atas genteng itu berkata halus.
“Ah, tidak tahu bahwa Tok-kak-coa toyu yang tinggal di sini. Toyu, maafkan pinceng telah berani mengganggu tempatmu. Perkenankanlah pinceng bertemu dengan Beng Beng Hoatsu!”
Kedua jago tua yang sedang duduk bersila itu membuka mata berbareng dan saling pandang dengan heran. Kemudian terdengar suara ketawa dari Tok-kak-coa dan ia berkata perlahan kepada Beng Beng Hoatsu, “Nah, nah! Sekarang kau yang dicari orang! Entah kesalahan apa yang telah kau perbuat, anak tua yang nakal!”
Kemudian ia berdongak dan berkata kepada orang yang berkata dari atas genteng tadi. “Hei, tamu yang di atas genteng, turunlah saja jangan banyak pakai peradatan. Beng Beng Hoatsu ada di sini!”
Siauw Ma dan Siauw Liong dengan hati berdebar mencurahkan semua perhatian untuk melihat tamu yang lihai itu. Tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang kakek tua telah berdiri dalam kamar itu! Kakek ini usianya telah tujuhpuluh lebih dan di bagian dadanya terdapat lukisan setangkai bunga teratai. “Oh, kiranya Kim Bok Sianjin yang sudi singgah di pondokku yang bobrok ini,” si jahat dari timur berkata. “Silahkan duduk.”
Kim Bok Sianjin, tokoh ketiga dari Kwan-im-kauw itu mengangkat kedua lengan dan menjura juga kepada Beng Beng Hoatsu. Sikapnya sangat lembut dan menghormat dan penuh kesopanan, berbeda dengan sikap Beng Beng Hoatsu dan Tok-kak-coa yang berandalan.
“Maaf kalau pinto mengganggu ji-wi. Pinto terpaksa malam- malam datang karena urusan yang hendak pinto bicarakan dengan Beng Beng Hoatsu adalah penting sekali.”
“Kim Bok Sianjin, kau bicaralah,” kata Beng Beng Hoatsu tanpa banyak komentar lagi.
Kim Bok Sianjin melirik ke arah Tok-kak-coa dan Beng Beng Hoatsu yang sudah dapat menduga bahwa kedatangan imam Kwan-im-kauw ini tentu ada hubungan dengan soal hilangnya patung Kwan-im Pouwsat, lalu berkata,
“Kim Bok toyu, bicaralah di sini saja. Siluman ular ini adalah sahabat sendiri.”
“Hi, hi, hi, hi! Kim Bok Sianjin terlalu sungkan, seperti gadis kampung membicarakan lamaran orang saja, ha, ha, ha!” kata Tok-kak-coa dengan geli.
Kim Bok Sianjin yang adatnya sopan merasa tidak senang mendengar olok-olokan kasar ini, tapi karena ia datang di situ sebagai tamu, maka ia menahan kemarahan hatinya. “Baiklah kalau kau menghendaki demikian, Beng Beng Hoatsu. Kedatangan pinto malam-malam dan jauh-jauh mencarimu tak lain ialah hendak mengharap kebijaksanaanmu untuk menjauhi godaanmu kepada kami. Harap malam ini juga serahkan patung kami kepadaku agar kubawa kembali ke Kwan-im-bio!”
Tiba-tiba terdengar Tok-kak-coa tertawa keras sekali. Kali ia benar-benar tertawa karena geli hati hingga suara ketawanya bukan ha, ha, hi, hi lagi, tapi ia tertawa ngakak seperti suara burung gagak atau suara ular besar hingga terdengar, “kak, kak, kak, kak…..!” Ia ketawa keras terpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya yang kempis.
“Ha, ha, ha…..! Beng Beng……. kau….. mencuri patung……!! Hi, hi, hi…… alangkah lucunya! Eh, pendeta gendut, kau sungguh tak tahu malu! Datang-datang menuduh aku berbuat jahat, tidak tahunya kau sendiri mencuri patung! Ha, ha, ha!”
Beng Beng Hoatsu hanya tersenyum menghadapi godaan ini, dan ia berkata kepada Kim Bok Sianjin.
“Dengan alasan apakah kau menuduh aku mencuri patungmu? Siapa yang menyaksikan aku lakukan perbuatan itu?”
Kim Bok Sianjin memandang tak senang. “Apakah Beng Beng toyu tidak mau mengaku?”
“Katakanlah dulu siapa yang memberi tahu padamu.”
“Yang memberi tahu adalah Hwat Kong Tosu. Dia yang bilang kepadaku bahwa kau yang ambil patung itu.” Kini Beng Beng Hoatsu yang putar-putar kedua matanya dan berdongak sambil tertawa keras.
“Dan kau percaya padanya?”
Kim Bok Sianjin memandang dengan mata marah. “Mengapa tidak? Ia tidak pernah membohong!”
Lagi-lagi Beng Beng Hoatsu tertawa geli. “Aku juga tak pernah membohong! Kau telah ditipunya. Akulah yang tahu siapa orangnya yang mencuri patungmu!”
Maka heranlah Kim Bok Sianjin. “Siapa? Siapa, katakanlah.” “Yang mencuri patungmu bukan lain ialah Huo Mo-li!” “Kurang ajar!” Tiba-tiba Kim Bok Sianjin marah sekali.
Ia banting kaki kirinya dan Siauw Ma serta Siauw Liong terpental dari tempat duduknya ke atas beberapa dim tingginya! Seantero kamar seakan-akan tergetar dan ada gempa bumi. Demikian hebatnya tenaga Kim Bok Sianjin, tokoh ketiga dari Kwan-im-pai itu.
“Apa artinya ini? Kau bilang Huo Mo-li yang curi, Huo Mo-li bilang Hwat Kong Tosu yang curi sedangkan Hwat Kong Tosu berkata bahwa kau yang curi patung kami! Apa artinya ini? Kalian memang pembohong semua!”
Wajah kakek tua dari Kwan-im-pai, ini demikian menyesal, kecewa, dan mendongkol hingga agaknya ia mau menangis. Hal ini mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tok-kak-coa dan Beng Beng Hoatsu yang tertawa semakin keras! Bahkan Siauw Ma dan Siauw Liong saling pandang dan ikut tertawa geli, hingga Kim Bok Sianjin, makin marah saja.
“Diam! Mengapa tertawa seperti orang gila?”
Ia membentak dengan wajah marah. Di kelentengnya ia disujuti dan ditaati semua murid yang ratusan jumlahnya, tapi di sini, berhadapan dengan dua orang tua dan dua orang kanak-kanak saja, ia dijadikan buah tertawaan!
Dengan masih tertawa, Tok-kak-coa berkata padanya, “Kim Bok Sianjin! Ini malingnya! Kenapa tidak lekas kaugetok kepalanya? Itu dia, patungnya disembunyikan di bawah perutnya yang gendut!”
Terang ini adalah olok-olok yang kasar, maka Kim Bok Sianjin membentak padanya, “Tok-kak-coa! Kau ini anak kecil atau orang gila?”
Tok-kak-coa makin keras ketawanya.
“Kim Bok Sianjin, pada hakekatnya kita semua ini hanya anak- anak kecil yang sudah terlalu lama bermain-main dengan nakal di dunia, dan tentang gila manusia manakah yang tidak gila? Hanya gilamu dan gilaku lain, aku gila tertawa dan kau gila menangis dan marah-marah. Ha, ha, ha, ha hi, hi, hi, hi!”
Beng Beng Hoatsu berkata kepada Kim Bok Sianjin. “Kim Bok toyu. Kau lebih baik pulanglah saja dan carilah patung itu di tempat lain. Aku tidak mencuri patungmu, mungkin lain waktu aku akan mencurinya.”
Mendengar kata-kata ini, makin besar rasa curiga Kim Bok Sianjin. Ia tidak sudi pulang dengan tangan kosong. “Aku tidak percaya!” katanya berkeras kepala.
Tiba-tiba Tok-kak-coa berkata dengan wajah sungguh-sungguh kepada Beng Beng Hoatsu, “Beng Beng, kawanku! Buat apakah patung emas macam itu? Kembalikanlah saja, kalau kau butuh emas, sahabatmu ini jelek-jelek masih sanggup memberimu! Kasihanilah Kim Bok Sianjin dan saudara-saudaranya, lebih baik kau kembalikan saja.”
Inilah keistimewaan Tok-kak-coa. Ia pandai sekali main sandiwara dan pandai mengubah wajahnya dari geli hati menjadi sungguh- sungguh hingga siapa saja yang melihat wajahnya dan mendengar kata-katanya tentu percaya penuh.
Beng Beng Hoatsu tidak heran mendengar kata-kata ini karena ia tahu sampai di mana kecurangan dan kelicinan si jahat dari timur itu, maka ia hanya berkata.
“Kalau kalian tidak percaya padaku terserahlah!”
“Kalau dengan jalan baik kau tidak mau mengembalikan, terpaksa pinceng melupakan kebodohan sendiri dan pakai jalan kekerasan!” kata Kim Bok Sianjin. Siauw Ma tak dapat menahan sabar lagi karena mendengar suhunya disangka mencuri patung. Tanpa kesadaran lagi ia berdiri dan membentak.
“Orang dari manakah berani mati menghina suhuku? Suhu tak pernah mencuri patung!”
Kim Bok Sianjin berpaling dan memandang wajah Siauw Ma dengan marah, tapi sinar matanya melembut kembali.
“Bagus, kau setia kepada suhumu.”
Beng Beng Hoatsu tersenyum girang melihat ketabahan Siauw Ma, tapi ia membentak, “Siauw Ma, kau duduk saja di tempatmu!”
Dengan hati mendongkol Siauw Ma duduk kembali, mulutnya cemberut.
“Kim Bok Sianjin! Kalau kau hendak memberi pelajaran kepadaku, terpaksa aku melayanimu,” kata Beng Beng Hoatsu dengan mata terputar.
“Bagus sekali. Tontonan hebat! Hayo Siauw Liong, nyalakan lima lilin besar di ruang silat! Hayo Beng Beng dan kau Kim Bok ikut aku ke belakang, di sana ada ruang adu silat yang lebar sekali. Mari, mari!”
Tanpa banyak cakap lagi mereka menuju ke belakang di mana Siauw Liong telah mendahului mereka dan telah memasang lima buah lilin besar hingga tempat itu menjadi terang sekali. Siauw Ma diam-diam juga mengikuti dari belakang. Kim Bok Sianjin kencangkan ikat pinggangnya. Ia tahu bahwa Beng Beng Hoatsu lihai, tapi karena yakin bahwa pendeta itu yang ambil patungnya, maka ia hendak kerahkan seluruh kepandaiannya, kemudian ia pasang kuda-kuda dan menanti. Beng Beng Hoatsu sambil tersenyum simpul memasuki gelanggang dan berkata.
“Kim Bok Sianjin. Silahkan!”
Kim Bok Sianjin buka serangannya dengan pukulan Lima Teratai Hanyut, ilmu pukulan dari Kwan-im-pai yang hebat karena di dalam serangan ini terdapat tiga kali pukulan tangan dan dua kali tendangan kaki.
Tapi Beng Beng Hoatsu dengan tenang sekali keluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan Sin-liong-kun-hwat atau Ilmu Silat Naga Sakti. Tubuhnya lincah dan biarpun perawakannya gemuk pendek, setelah bersilat dengan Sin-liong-kun-hwat, ia melesat ke sana ke mari dan bergerak cepat bagaikan seekor naga mengamuk. Adapun ilmu silat Kwan-im-pai sebetulnya berdasarkan pat-kwa-kun yang langkahnya menurutkan garis- garis pat-kwa hingga pertahanannya kuat sekali.
Tapi kali ini ia menghadapi Beng Beng Hoatsu yang mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri sedangkan di waktu mencipta ilmu silat itu ia telah perhatikan dan menjaga segala kemungkinan dari serangan berbagai macam cabang persilatan, hingga Ilmu Silat Naga Sakti boleh dibilang telah direncanakan untuk menghadapi lawan yang menggunakan ilmu silat apapun juga. Setelah saling mencurahkan tenaga dan kepandaian dan saling gempur selama seratus jurus lebih, dengan perlahan tapi tentu Kim Bok Sianjin mulai terdesak mundur. Dalam marahnya ketua ketiga dari Kwan-im-kauw itu cabut po-kiamnya.
Tapi inilah kesalahannya. Kalau ia tidak cabut pedang dan ajak Beng Beng Hoatsu bertempur dengan tangan kosong, mungkin ia masih dapat bertahan puluhan jurus lagi.