Jilid 03
“Hai, siapakah di antara kalian yang menjadi ketua Thang-la? Katakanlah aku hendak bicara,” ucapnya terdengar angkuh, agaknya imam itu tidak merasa lebih rendah tingkatnya dari pada ke tiga orang itu.
“Jawab dulu pertanyaanku, apakah betul kau seorang imam Kwan-im-pai?” Huo Mo-li yang adatnya tidak sabaran balas bertanya.
“Benar, aku adalah pendeta tingkat ketiga dari Kwan-im-pai!” jawab imam itu. “Di manakah ketua Pegunungan Thang-la?”
“Nanti dulu, kau jawab dulu pertanyaanku!” Beng Beng Hoatsu memotong. “Kau ternyata imam dari Kwan-im-pai dan tingkatmu tinggi juga! Siapakah namamu!”
Biarpun Beng Beng Hoatsu berkata memuji, tapi suaranya menyatakan bahwa ia memandang ringan sekali dan bertanya seakan-akan kepada seorang anak kecil. Tapi imam itu menjawab juga, biarpun keningnya dikerutkan tanda tak senang hati. “Aku tak perlu memberitahukan nama, cukup kalian ketahui bahwa aku adalah seorang pendeta Kwan-im-pai tingkat ketiga. Biarkan aku bertemu dengan ketua pegunungan ini!”
“Eh, eh! Tidak sabar amat! Ada apakah kau hendak bertemu dengan dia?” Hwat Kong Tosu ikut memajukan pertanyaan.
Imam asing itu menujukan matanya yang tajam kepada Hwat Kong. Melihat tosu yang tinggi kurus dengan jenggot panjang putih sampai ke perut itu, timbul dugaannya bahwa inilah barangkali ketua Thang-la.
“Kaukah ketua Thang-la? Kalau betul, hayo kau cepat ambilkan patung kami dan kembalikan itu padaku!”
Tentu saja Hwat Kong Tosu memandang heran.
Beng Beng Hoatsu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan ia menggoda Hwat Kong Tosu, “Ah, jadi kau tua bangka masih menginginkan barang indah! Kau mencuri patung?? Ha, ha, ha!”
“Patung apakah itu hingga kau sampai capaikan diri mencuri?” Huo Mo-li bertanya kepada Hwat Kong.
Hwat Kong memandang imam itu dengan melotot lalu berpaling kepada dua orang yang menggodanya.
“Ah, barangkali imam ini sudah miring otaknya! Siapa yang mencuri patungnya? Hm, karena ia telah menyangka aku mencuri patung, maka timbul keinginanku untuk mencurinya! Kudengar patung itu tingginya sampai tiga kaki dan seluruhnya terbuat dari pada emas murni dan sepasang matanya dari dua butir mutiara yang jarang bandingannya karena warnanya indah dan besar sekali!”
Imam itu mendengar orang memakinya otak miring, tentu saja menjadi makin marah, dan mendengar Hwat Kong tahu bahwa patung Dewi Kwan-im yang hilang itu terbuat dari pada emas, ia makin curiga. Dengan cepat sekali tahu-tahu sepasang pedangnya telah berada di kedua tangannya. Ia menuding dengan pedang kirinya ke arah Hwat Kong dan memaki.
“Bangsat tua! Tentu kau yang mencuri patung kami. Hayo kau kembalikan itu kepadaku, kalau tidak lekas-lekas kau ambil dan kauberikan padaku, jangan kau menyesal kalau sepasang pedangku ini takkan memberi ampun dan putuskan tulang leher kedua kawanmu ini!”
“Eh, eh! Lihat, imam ini benar-benar telah gila!” Hwat Kong berkata lagi dan Beng Beng Hoatsu berdua Huo Mo-li tertawa nyaring sambil menunjuk-nunjuk imam itu.
Pendeta Kwan-im-pai atau Kwan-im-kauw itu memuncak marahnya dan dengan teriakan keras ia maju dan gunakan kedua pedangnya menyerang dengan berbareng ke arah tubuh Hwat Kong dari dua jurusan! Inilah ilmu pedang sepasang dari Kwan- im-pai yang lihai. Tapi kali ini imam itu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan tiga dewa dari Thang-la!
“Ha, ha! Ia mau penggal kepala kita!” Hwat Kong berkata sambil tertawa kepada kedua kawannya, kemudian ketika sepasang pedang itu menyambar ke arah tubuhnya, entah bagaimana cara menangkisnya imam itu sendiri tidak tahu, tapi tahu-tahu kedua sin-kiamnya itu terpukul oleh sebatang tongkat kecil tapi yang mengeluarkan tenaga demikian hebatnya hingga sepasang pedangnya terpental dan terlepas dari pegangannya!
Sebelum imam itu dapat hilang kagetnya tahu-tahu Hwat Kong menangkap batang lehernya dengan tangan kiri dan sambil ayun tubuh imam itu Hwat Kong Tosu berkata kepada Beng Beng Hoatsu.
“Nah, terimalah algojo yang hendak memotong lehermu ini!”
Tubuh imam itu dilempar ke arah Beng Beng Hoatsu dan pertapa gemuk pendek itu sambil tertawa bergelak-gelak gunakan tangan kiri menjambret leher imam itu dan seperti yang dilakukan oleh Hwat Kong Tosu tadi, iapun putar-putar tubuh itu dan setelah ayun beberapa kali, ia lemparkan kepada Huo Mo-li, sambil berkata,
“Huo Mo-li, sudah siapkah kau untuk dipotong lehermu?” Tubuh itu terlempar cepat ke arah Huo Mo-li.
Wanita luar biasa ini tidak sudi pegang tubuh imam itu, maka ia gunakan tangan kiri menolak keras dan angin tenaga tolakannya yang penuh kekuatan Huo-mo-kang itu membuat tubuh imam itu terpental sebelum menyentuh tangannya!
Imam yang malang itu tadi hanya merasa pusing dan matanya berkunang karena Hwat Kong Tosu dan Beng Beng Hoatsu telah memegang batang lehernya dengan ilmu cengkeraman Eng- jiauw-kang yang sempurna, tapi setelah kena pukulan angin Huo- mo-kang, ia menjerit keras dan tubuhnya terpental kembali ke arah Hwat Kong!
Tongkat di tangan Hwat Kong berkelebat dan ujung tongkat itu dapat menahan tubuh yang terpental keras hingga tubuh itu tertahan lalu jatuh ke tanah yang tertutup salju dan imam itu merintih-rintih.
Untung sekali ia mempunyai latihan ilmu tenaga dalam yang cukup tinggi dan iapun telah meyakinkan ilmu weduk hingga tubuhnya cukup kuat. Kalau tidak demikian, ia tentu mampus terkena angin pukulan Huo-mo-kang itu!
Imam itu merayap bangun dan memandang ke arah tiga orang itu berganti-ganti dengan tajam. Kemudian ia menjura.
“Maaf tidak melihat orang-orang pandai di depan mata. Setelah mendapat pelajaran dari cu-wi, bolehkah mengetahui julukan cu- wi yang gagah?”
Hwat Kong mengelus-elus jenggotnya yang putih dan tersenyum.
“Kau mencari penyakit sendiri. Mau tahu nama kami? Nah, orang tua gemuk pendek tak berguna itu adalah Beng Beng Hoatsu!”
Beng Beng Hoatsu tertawa dan sepasang matanya berputaran ketika ia memandang kepada imam itu dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Huo Mo-li,
“Dan bidadari yang cantik jelita ini bukan lain ialah Huo Mo-li!” Huo Mo-li tidak tersenyum kepada imam itu, tapi memandang dengan penuh ejekan.
“Imam kecil tak tahu diri! Masih untung kami tidak turunkan tangan jahat. Kalau tidak, jiwamu tentu telah berlutut di depan Giam-lo- ong!
Tahukah siapa orang tua tinggi kurus ini? Dia adalah Hwat Kong Tosu. Kalau kau bicara dengan kami, suruhlah kakek gurumu ke sini! Kau orang sombong dan kasar ini tak berharga untuk bicara dengan kami. Nah, pergilah!”
Imam itu mengeluarkan keringat dari jidatnya ketika mendengar nama ketiga orang itu. Baru sekarang ia tahu bahwa ia berhadapan dengan tiga tokoh cianpwe yang namanya pernah menggemparkan kalangan persilatan.
Dan tadi ia telah berlaku berani mati dan sombong! Dengan gugup ia membungkuk dan cepat pungut sepasang pedangnya yang terpental tadi, lalu angkat kaki berlari secepat mungkin meninggalkan tempat berbahaya itu!
Ketiga dewa atau iblis Thang-la tertawa nyaring dan suara tertawa itu mengikuti imam itu turun gunung hingga imam dari Kwan-im- kauw itu makin ketakutan dan percepat larinya.
Setelah imam itu pergi jauh, Hwat Kong berkata kepada Huo Mo- li dan Beng Beng Hoatsu,
“Kalian telah mendapat murid, tapi jangan kalian sombong. Lihat saja nanti, akupun akan mencari seorang murid yang lebih hebat dari pada kedua muridmu. Kita sama-sama lihat saja nanti, siapakah di antara kita yang paling pandai mendidik. Sepuluh tahun kemudian kita ajak ketiga murid kita bertemu di sini dan kita boleh adu ilmu kepandaian mereka! Setujukah kalian?”
Beng Beng Hoatsu menyambut gembira. “Baik, baik! Sepuluh tahun kemudian kita adu murid-murid kita. Kita sendiri sudah terlalu tua untuk main-main kepalan, tapi kalau perlu, rasanya kepalanku masih cukup keras!”
Huo Mo-li perdengarkan ketawa sindir. “Kaukira kepalanku kalah keras?”
Hwat Kong Tosu mencela, “Ah, kalian memang orang-orang keras kepala dan berdarah panas. Hendak dimulai lagi percekcokan yang tadi? Kalau memang kita masih penasaran untuk menentukan kepandaian siapa yang tertinggi dan terlihai, aku ada jalan untuk mengujinya!”
“Coba katakan usulmu, kau memang selalu paling banyak akal busuk!” kata Beng Beng Hoatsu.
“Dengarkah kau tadi tentang tuduhan imam jahat dari Kwan-im- kauw? Ia menuduh bahwa seorang di antara kita mencuri patung kelentengnya.
“Sepanjang pendengaranku, patung Dewi Kwan-im yang berada di dalam Kelenteng Kwan-im-bio dan yang dipuja-puja oleh orang- orang Kwan-im-kauw, adalah sebuah patung yang betul-betul indah dan jarang terdapat keduanya. Dan selain itu, Kwan-im- kauw terkenal sebagai perkumpulan agama yang kuat dan berpengaruh karena ketua-ketua Kwan-im-pai kabarnya sangat lihai.”
“Apanya yang lihai? Imam tadi tidak becus apa-apa!” Huo Mo-li mencela.
“Yang tadi hanya tingkat ketiga saja. Tapi biarpun tingkatnya baru ketiga, kurasa lwee-kangnya sudah boleh juga, kalau tidak, mana bisa tahan pukulan Huo-mo-kangmu?
“Juga anggauta perkumpulan agama itu banyak sekali dan patung itu terjaga kuat. Mengapa sampai lenyap dan ada yang curi? Tentu pencurinya bukan sembarang orang.
“Nah, mari kita berlomba. Kita pergi mencari patung Dewi Kwan- im itu, siapa yang bisa mendapatkan dan mempertahankan selama sepuluh tahun boleh dianggap yang paling lihai di antara kita bertiga. Setujukah?”
“Dan apa taruhannya?” Beng Beng Hoatsu bertanya.
“Kau selalu hendak bertaruh! Tapi, aku teringat sesuatu. Bukankah tadi imam busuk itu menanyakan ketua Pegunungan Thang-la? Nah, siapa yang menang dalam perlombaan mencari patung Dewi Kwan-im ini, dia berhak menjadi Ketua Thang-la dan yang lain harus tunduk kepada ketua!”
Mendengar usul ini, Huo Mo-li yang sifatnya tidak mau kalah merasa setuju. Ia ingin benar menjadi ketua dan kedua orang tua lihai itu tunduk padanya! “Aku setuju. Kita berlomba mencari dan mendapatkan patung tapi bagaimanapun juga, sepuluh tahun kemudian kita harus menguji kepandaian murid-murid kita di sini.”
Sementara itu, Siauw Ma dan Lian Eng yang semenjak tadi melihat segala peristiwa itu, merasa gembira dan kagum. Mereka tidak saling iri lagi karena tahu bahwa guru masing-masing memang cukup lihai dan sama-sama aneh adatnya.
Hanya Souw Cin Ok yaug merasa agak kecewa karena harus berpisah dari cucunya. Tapi melihat kehebatan Huo Mo-li, iapun terhibur juga dan mengharap saja dalam hatinya supaya Lian Eng kelak hanya mewarisi ilmu kepandaian saja dan jangan mewarisi adat yang aneh dan keras dari setan api wanita itu!
Setelah semua setuju untuk sepuluh tahun kemudian mengadakan pertemuan dengan murid masing-masing di atas puncak itu, mereka lalu bubar. Huo Mo-li mengajak Lian Eng masuk ke dalam guanya.
Beng Beng Hoatsu bawa Siauw Ma pulang ke puncak Harimau Salju dan setelah pesan kepada pelayannya untuk menjaga puncak, ia ajak Siauw Ma turun gunung untuk mulai mencari patung Dewi Kwan-im.
Hwat Kong Tosu juga kembali ke gunungnya bersama Souw Cin Ok dan ia menyuruh muridnya itu menjaga tempat pertapaannya karena iapun langsung turun gunung untuk mulai dengan perlombaan itu dan sekalian mencari murid. Sebaliknya Huo Mo-li yang memang cerdik dan licin, ia tidak mau turun gunung tapi berdiam saja di guanya mengajar Lian Eng dalam ilmu silat karena ia hendak melihat Lian Eng menjadi murid terlihai di antara murid-murid lain.
Adapun tentang patung Dewi Kwan-im, ia pikir tak perlu sibuk mencari ke mana-mana karena nanti saja kalau ia mendengar bahwa seorang dari pada kedua pertapa itu telah berhasil mendapatnya ia bisa datang ke guanya dan curi patung itu!
Sebenarnya apakah patung Dewi Kwan-im yang dicari-cari oleh imam dari Kwan-im-kauw itu? Dan mengapa imam itu menyangka ketua Gunung Thang-la yang mencurinya?
<>
Marilah kita melihat sebentar keadaan di Kuil Kwan-im-bio yang terletak di perbatasan Sin-kiang, sebuah kuil atau kelenteng yang sangat besar dan mewah.
Di sebelah utara Tibet, yakni di Pegunungan Kun-lun-san bagian ujung barat, terdapat sebuah puncak bukit yang disebut Kwan-im- san. Puncak ini terletak di perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet, dan pegunungan yang menjadi bagian dari Kun-lun-san ini disebut juga Pegunungan Kokoshili oleh orang-orang Tibet. Di Puncak Kwan-im-san inilah letaknya kuil atau Kelenteng Kwan- im-bio yang besar dan megah.
Kelenteng ini dahulu didirikan oleh orang-orang Han yang hendak meluaskan penyebaran agama yang mereka anut, yakni penganut-penganut atau pemuja-pemuja Dewi Kwan-im Pouwsat, ke dalam daerah Tibet yang terkenal fanatik menganut Agama Buddha dan terkenal mempunyai banyak buddha hidup yang disebut Lhama. Ternyata agama baru ini tidak dapat memasuki Tibet karena Bangsa Tibet sudah terlalu kukuh dan kuat kepercayaannya terhadap agama lama mereka.
Tapi Kelenteng Kwan-im-bio itu dilanjutkan oleh para penganut Kwan-im-kauw dan bahkan dijadikan pusat karena agama itu di pedalaman Tiongkok juga tidak mempunyai banyak penganut. Tempat ini dijadikan markas besar di mana para pendeta-pendeta menjadi utusan-utusan untuk menyebar agama itu ke seluruh daerah.
Pendiri dari Kwan-im-kauw atau sucouw mereka adalah Bu Su Sianjin yang telah lama meninggal dunia. Kini tiga orang muridnya yang melanjutkan usahanya.
Tiga orang murid ini merupakan pendeta-pendeta tingkat pertama dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali. Berkat kerajinan tiga pendeta inilah maka ilmu silat Kwan-im-pai mendapat kemajuan pesat hingga tidak sia-sia almarhum Bu Su Sianjin menaruh kepercayaan kepada tiga orang muridnya ini.
Ketiga ketua Kwan-im-kauw ini, atau yang disebut kauw-cu (ketua agama) adalah orang-orang yang alim dan betul-betul mencari jalan kesucian dengan perantaraan kesucian Kwan-im Pouwsat yang mulia. Yang pertama adalah seorang wanita bernama Kim Hwa Sianli, kedua juga seorang wanita bernama Cin Hwa Sianli, dan yang ketiga seorang laki-laki bernama Kim Bok Sianjin. Ke tiga ketua ini mempunyai banyak anak murid, dan murid-murid inipun sebagian besar sudah berusia tinggi dan telah mempunyai murid- murid lagi.
Menurut taksiran, ke tiga ketua Kwan-im-kauw itu telah berusia delapanpuluh tahun lebih, sedangkan murid-murid mereka rata- rata berusia enampuluh tahun. Karena itu, tidak heran bahwa imam yang mencari patung ke Pegunungan Thang-la dan yang mengaku bertingkat tiga, juga sudah tua, karena murid-murid tingkat ketiga semuanya berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun.
Jumlah seluruh imam yang berdiam dalam kelenteng itu lebih dari seratus orang belum terhitung yang sedang berada di luar karena tugas menyebar agama di lain daerah.
Karena itulah maka nama Kwan-im-kauw cukup terkenal dan berpengaruh, pertama karena ketuanya memegang teguh disiplin dan peraturan keras menjaga nama baik kelenteng, kedua karena semua imam adalah orang-orang berilmu tinggi.
Di depan dan belakang kelenteng terdapat empang-empang yang indah karena penuh dengan bunga teratai. Bunga teratai terkenal sebagai bunga suci, terutama bagi penganut Kwan-im-kauw yang memuja Kwan-im Pouwsat karena bunga teratai adalah tempat dewi suci itu bersemayam. Di tengah ruang besar terdapat sebuah empang kecil yang tak terisi air tapi di situ terdapat beberapa belas bunga teratai emas murni yang bercahaya mengkilap! Daun-daun dan bunga-bunga teratai itu semuanya terbuat dari pada emas yang terukir indah sehingga kelihatannya begitu hidup seolah-olah daun dan bunga tulen yang diwarnai emas.
Dan di tengah-tengah empang itu, dikelilingi bunga-bunga teratai emas terdapat sebuah-patung emas bermata mutiara, patung Dewi Kwan-im duduk bersila di atas sebuah bunga teratai! Daun- daun dan bunga-bunga emas itu memang indah, tapi kalau dibanding dengan patung itu, semua itu tidak ada artinya, karena patung itu merupakan hasil seni yang luar biasa dan buatannya demikian halus, emasnya demikian murni, hingga tak ternilai harganya!
Di luar empang, menghadap ke arah patung Dewi Kwan-im itu, dipasang meja sembahyang yang besar dan di atas meja terdapat tujuh batang lilin yang selalu menyala, tak kenal siang maupun malam. Di sinilah para imam itu bermuja samadhi dan bersembahyang kepada Kwan-im Pouwsat, dewi kebajikan yang mereka puja.
Selain paderi-paderi lelaki, di situ terdapat juga nikouw-nikouw atau pendeta-pendeta perempuan, murid-murid dari Kim Hwa Sianli dan Cin Hwa Sianli dan kesemuanya rata-rata memiliki ilmu silat Kwan-im-pai yang lihai. Dan para nikouw inilah yang siang malam dengan bergilir menjaga di sekeliling patung Dewi Kwan- im itu. Tapi, hal yang tak terduga-duga dan aneh telah terjadi. Pada suatu malam beberapa bulan yang lalu, patung itu telah dapat tercuri orang dan lenyap!
Padahal malam hari itu di sekeliling patung duduk bersila beberapa puluh pendeta laki-laki perempuan yang bermuja samadhi sambil menjaga. Setelah menjelang tengah malam, entah mengapa, semua pendeta itu tak dapat bergerak dan seakan-akan dalam keadaan terkena pengaruh ilmu sihir yang mujijat.
Mereka seolah-olah tertidur dalam keadaan setengah sadar. Dengan samar-samar mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu patung itu telah lenyap dari situ!
Sebelum bayangan orang ajaib itu lenyap, terdengar suara ketawanya yang menyeramkan dan disusul kata-katanya yang diucapkan dengan keras dan parau.
“Hei, para imam tolol Kwan-im-kauw! Kalau kalian merasa penasaran dan hendak mencari patung ini, datanglah ke puncak Pegunungan Thang-la!” kemudian suara itu hilang berikut bayangan orang dan patung Dewi Kwan-im yang dicurinya!
Tentu saja hal itu menimbulkan heboh besar dalam Kelenteng Kwan-im-bio. Harus diketahui bahwa yang pada malam hari itu menjaga di situ, sebagian besar adalah anak-anak murid ke tiga ketua Kwan-im-pai, yakni tokoh-tokoh kedua yang ilmu kepandaian tinggi. Namun pencurian itu bisa dilakukan demikian sempurna dan semua pendeta di situ sama sekali tidak berdaya, bahkan pencuri itu dengan kurang ajar dan beraninya telah memberitahukan tempat tinggalnya!
Setelah diselidiki oleh Kim Hwa Sianli, Cin Hwa Sianli, dan Kim Bok Sianjin bertiga ketua kwan-im-pai menyelidiki dengan teliti, ternyata bahwa pencuri itu telah menggunakan semacam obat bubuk yang merupakan racun halus dan pengaruhnya membuat orang tak sadar seperti mabok!
Entah bagaimana pencuri itu bisa sebarkan obat bubuk itu ke arah semua pendeta yang sedang bersamadhi tanpa diketahui oleh mereka! Ini menandakan bahwa pencuri itu bukanlah sembarang orang dan memiliki gin-kang yang tinggi sekali.
“Sepanjang pengetahuanku, yang memiliki obat tidur aneh ini tidak ada keduanya tentu si tabib dewa Kiang Cu Liong. Tapi untuk apa ia lakukan hal ini?
“Sedangkan ia terkenal sebagai seorang aneh yang menjalankan dharma berata dan mengembara ke mana-mana tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Tapi mengapa pencuri itu mengaku bertempat tinggal di Puncak Pegunungan Thang-la?” Kim Bok Sianjin utarakan pendapatnya.
“Di Thang-la sejauh yang kuingat, hanya tinggal Beng Beng Hoatsu, ada juga Hwat Kong Tosu yang tinggal di Hong-lun-san, sebelah utara tapi termasuk puncak Pegunungan Thang-la juga. Apakah seorang di antara nereka yang mencurinya? Tapi mereka adalah orang-orang luar biasa yang berilmu tinggi, aku tidak percaya mereka mau mengganggu kita,” Cin Hwa Sianli utarakan kesangsiannya.
“Lupakah kalian bahwa Huo Mo-li juga tinggal di puncak Thang- la?” tiba-tiba Kim Hwa Sianli berkata.
“Apa? Setan api wanita itu?” kedua adik seperkumpulan itu bertanya.
Kim Hwa Sianli mengangguk. “Mereka bertiga ini disebut Thang- la Sam-sian atau Tiga Dewa dari Thang-la, dan kalau benar seorang dari mereka mengambil patung kita, tentu Huo Mo-li itulah yang melakukannya!
Setelah mengadakan perundingan dengan masak, lalu diambil keputusan oleh Kim Hwa Sianli.
“Kita jangan sembrono dalam menuduh seseorang, apa lagi kalau orang itu satu di antara ke tiga Dewa Thang-la itu! Mereka bukanlah orang sembarangan dan kita lebih baik jauhkan diri dari mereka dan tidak mencari keributan. Biarpun pencuri itu telah mengaku bahwa ia tinggal di Thang-la, tapi obat bubuk yang ia gunakan sungguh mencurigakan.
“Lebih baik kita juga mencari si tabib dewa dan menanyakan hal ini kepadanya. Tapi sebelum jelas siapa yang mencurinya, tak perlu kita sendiri turun tangan. Lebih baik kita menyuruh anak murid kita untuk menyelidiki ke Gunung Thang-la.” Demikianlah, maka lalu dipilih seorang anak murid tingkat tiga untuk menyelidiki di atas Thang-la dan sebagian lagi pergi mencari Kiang Cu Liong Si Tabib Dewa yang tak tentu tempat tinggalnya itu. Dan kebetulan sekali penyelidik yang diutus menyelidiki di atas Pegunungan Thang-la telah bertemu dengan ketiga tokoh Thang-la itu dan berlaku agak kurang hormat hingga ia dipermainkan oleh Thang-la Sam-sian!
Dengan menderita luka dalam dan malu sekali, anak murid Kwan- im-pai itu lari menuju pulang. Dan semenjak saat itu, maka tertanamlah bibit permusuhan di antara Kwan-im-kauw dan ke tiga tokoh Thang-la itu!
<>
Lian Eng si gadis gagu mendapat gemblengan hebat dan pelajaran silat dengan tak kenal lelah oleh Huo Mo-li. Setan api wanita itu memang seorang yang keras hati dan Lian Eng biar pun gagu, namun ternyata berotak cerdik sekali serta kerajinannya tak kalah dengan subonya.
Setelah mempelajari dasar-dasar Huo-mo-kun-hwat yang luar biasa untuk beberapa bulan, otaknya yang tajam sudah dapat menangkap sari-sari dasar ilmu silat itu. Maka mulailah ia diajak oleh gurunya untuk mempelajari lukisan-lukisan di dinding yang dulu digosok bersih oleh Siauw Ma.
Huo Mo-li jika bicara dengan muridnya menggunakan bahasa campuran, yaitu dengan mulut dan jari tangan, maka Lian Eng dapat menangkapnya dengan jelas sekali. Sebaliknya gadis gagu itu sekali saja gerakkan tangannya, gurunya segera dapat mengerti maksudnya.
“Lian Eng, kau jangan memandang rendah ukiran-ukiran di dinding ini. Ukiran-ukiran ini kubuat dengan susah payah selama sepuluh tahun lebih. Semua lukisan dinding ini jika digabung menjadi satu merupakan pelajaran Ilmu Silat Huo-mo-kun-hwat yang lengkap, yaitu mengenai pokok-pokoknya saja karena pecahannya akan datang dengan sendirinya jika telah hafal pokok-pokoknya.
“Jangan kira kau akan mempelajari dengan mudah semua ukiran ini tanpa memahami dasar-dasarnya lebih dulu. Huo-mo-kun- hwat berdasarkan kegesitan dan selalu berusaha mendahului gerakan lawan. Kalau lawan cepat, kita harus lebih cepat lagi. Kalau lawan terlalu cepat bagi kita dan memiliki gin-kang yang lebih sempurna, kita harus menggunakan gerakan lambat tapi keras.
“Pendeknya, gerakan kita harus seperti gerakan setan api, lihatlah nyala api yang berkobar di dalam ruang dalam itu. Ia bisa bergerak sangat cepat atau sangat lambat menurut bagaimana keadaan di luar.
“Tapi, cepat atau lambat, selalu didorong dengan tenaga hebat dan panas! Juga gerakan kita kalau didorong dengan tenaga Huo- mo-kang, sama saja dengan gerakan api.”
Demikian Huo Mo-li memberi pelajaran kepada murid tunggalnya yang dimengerti baik oleh Lian Eng. Kemudian Lian Eng diberi pelajaran permulaan melatih ilmu silat menurut lukisan-lukisan di dinding itu dan mulai mempelajari ilmu mujijat Huo-mo-kang! Untuk melatih ini, ia mula-mula harus menyabetkan tangannya melalui api yang menyala. Karena ia menggerakkan tangannya dengan cepat memotong nyala api itu, maka tidak merasa panas dan kulitnya hanya sekejap saja tersentuh api hingga tidak meninggalkan bekas.
Tapi lama-kelamaan gurunya menyuruh ia memperlambat gerakan tangannya hingga api itu agak lama memanggang tangannya. Setelah itu tangan yang dipanggang itu diberi obat yang digosokkan sampai masuk melalui lubang-lubang di kulit. Lambat laun Lian Eng dapat menahan dan menaruh tangannya di dalam nyala api tanpa terbakar!
Setelah berlatih berbulan-bulan gadis gagu itu mulai belajar mencuci kaki tangan dengan nyala api yang keluar dari kawah di dalam ruang gua itu tanpa terganggu sedikitpun. Untuk dapat mandi api seperti yang dilakukan gurunya, ia masih harus berlatih deagan giat beberapa tahun, karena ia harus dapat menggunakan lwee-kangnya sampai ke rambut-rambutnya, agar rambut itu jangan habis dimakan api!
Untuk mempelajari kegesitan atau gin-kang, gurunya mengajak Lian Eng ke luar gua dan di atas sebuah puncak yang terdapat banyak burung. Huo Mo-li menangkap burung itu dengan pukulan Huo-mo-kangnya, lalu muridnya disuruh meloncat menubruk burung yang dilepas. Mula-mula hal ini sukar sekali, tapi karena Lian Eng pernah mempelajari silat dari kakeknya, Souw Cin Ok, dan pernah pula sebulan lebih dilatih pelayan dan kedua manusia salju dari Beng Beng Hoatsu, ia telah memiliki kepandaian yang lumayan juga dan dasar-dasarnya sudah cukup kuat, maka kini mempelajari ilmu luar biasa yang diturunkan oleh Huo Mo-li kepadanya, ia tidak mengalami banyak kesukaran.
Tak lama kemudian, ia telah berhasil tiap kali tubruk pasti dapat menangkap burung yang hendak terbang itu. Dengan demikian, maka kecepatan gerakan tubuhnya sudah melebihi kecepatan burung yang hendak terbang!
Setelah Lian Eng telah mulai berani mempermainkan nyala api dengan kedua tangannya seolah-olah orang bermain-main air saja, ia mulai memiliki tenaga Huo-mo-kang.
Pada suatu pagi Huo Mo-li ajak muridnya keluar untuk mencoba ilmunya Huo-mo-kang. Di atas mereka banyak burung-burung warna putih dan beterbangan rendah. Huo Mo-li gunakan tangan kiri memukul ke atas, dan berseru.
“Turun!”
Benar saja, seekor burung yang dibidik kepalan tangannya itu seakan-akan kena pukul dan bergulingan ke bawah! Huo Mo-li tangkap burung itu yang ternyata tidak mati karena memang sengaja dipukul untuk menjatuhkannya saja. Kemudian ia lepaskan burung itu dan memerintah muridnya, “Pukul!” Lian Eng mengerti maksud gurunya, maka ia segera kerahkan tenaga dalamnya ke arah tangan kanan dan pukulkan itu dengan jari-jari terbuka ke arah burung yang telah terbang dan berada kira-kira satu tombak di atasnya! Hebat sekali akibatnya.
Terdengar suara “Buk!” yang keras dan burung itu terpental lalu jatuh ke tanah dengan bulu-bulunya rontok dan dadanya yang berkulit putih kini menjadi matang biru! Burung itu mati seketika itu juga.
Gurunya memuji, “Bagus… bagus!”
Tapi pada saat itu juga terdengar seruan merdu dan halus, “Siancai….. siancai….. kepandaian yang tinggi, luar biasa, dan ganas. ”
Ketika Huo Mo-li dan Liang Eng memandang, ternyata yang datang adalah seorang pendeta wanita yang berpakaian hijau gelap dan di dadanya terdapat sulaman dua tangkai bunga teratai. Pendeta itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan wajahnya tampak alim dan agung serta bibirnya selalu tersenyum ramah dan sabar hingga sekali lihat saja dapat mendatangkan rasa hormat dan senang dalam hati.
Huo Mo-li tahu bahwa nikouw itu berkepandaian boleh juga karena dapat datang ke situ tanpa ia ketahui, sungguhpun hal ini baru dapat terjadi karena ia tadi terlampau girang dan curahkan semua perhatian kepada muridnya. Nikouw itu angkat kedua lengan dan memberi hormat lalu berkata dengan halus,
“Maafkanlah pinni jika mengganggu kalian guru dan murid yang lihai. Kalau mata pinni tidak salah lihat dan kalau pikiran pinni tidak salah terka, bukankah pinni menghadap di depan Dewi Api dari Thang-la yang sangat sakti dan terhormat?”
Biarpun kata-kata nikouw itu sangat halus dan penuh hormat hingga membikin Lian Eng merasa suka, tapi Huo Mo-li yang melihat bahwa nikouw itu hanya memakai tanda lukisan dua tangkai bunga teratai, ia tidak memandang sedikitpun juga. Ia tahu bahwa nikouw itu hanya anak murid tingkat dua saja dan ia tak perlu mengacuhkan.
“Kau murid siapakah?” tanyanya karena ia tahu dari Hwat Kong Tosu bahwa Kwan-im-pai mempunyai tiga orang ketua.
Nikouw itu tetap bersikap hormat. “Pinni yang bodoh adalah murid dari Cin Hwa Sianli subo,” jawabnya.
“Cin Hwa Sianli itu ketua yang ke berapakah?” tanya pula Huo Mo-li.
“Guruku adalah ketua kedua dari Kwan-im-pai,” jawab nikouw itu. Huo Mo-li perdengarkan ketawa menyindir.
“Hm, ketua kedua dari Kwan-ia-pai mengutus kau datang ke sini ada perlu apakah?” Nikouw itu tetap sabar. “Pinni diutus mintakan maaf atas kelancangan murid tingkat tiga yang berani berlaku kurang ajar kepada Pouwsat.”
Nikouw itu sengaja menyebut Huo Mo-li dengan sebutan Huo Pouwsat atau Dewi Api, karena sekali-kali ia tidak berani menyebut Mo-li atau Setan Perempuan.
“Kalau kami tidak maafkan padanya, tentu sekarang ia telah berada di neraka! Nah, kau pergilah, jangan mengganggu kami lebih jauh.”
Tapi nikouw itu tetap berdiri membungkuk dan tidak mau pergi. “Eh, eh, kau tidak juga pergi?” tanya Huo Mo-li gemas.
“Pinni diutus untuk menghaturkan maaf dan untuk memohon kemurahan Pouw¬sat untuk mengembalikan patung Kwan-im Pouwsat dari kelenteng kami.”
Huo Mo-li merah mukanya dan sepasang matanya yang jeli dan indah itu memancarkan sinar api.
“Kau juga berani menuduh aku?”
Ia segera maju dan menggerakkan tangan kirinya ke pundak nikouw itu untuk mendorong. Tapi nikouw itu telah mewarisi kepandaian Cin Hwa Sianli sampai tingkat yang cukup tinggi, maka dengan cepat ia berkelit. Huo Mo-li makin marah hingga kedua lengan tangannya berubah merah. Lian Eng terkejut melihat perubahan subonya itu karena ia tahu bahwa dalam keadaan demikian maka tenaga Huo Mo-li yang lihai telah menguasai sepenuhnya di kedua tangan gurunya dan pukulan yang dilakukan oleh tangan itu adalah pukulan maut belaka!
Huo Mo-li menyerang lagi, tapi kembali nikouw itu dapat berkelit karena telah menggunakan gerak ilmu silat Kwan-im-pai yang lihai. Setelah diserang dua kali, nikouw itupun balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya, tapi air mukanya tetap tenang dan sabar.
Huo Mo-li merasa terlalu rendah untuk membinasakan seorang murid tingkat dua dari Kwan-im-pai, maka ia segera kerahkan gin- kang dan lwee-kangnya hingga sebentar saja ia telah dapat mengurung nikouw itu. Baru saja belasan jurus, nikouw itu telah merasa pening dan tiba-tiba jari tangan Huo Mo-li berhasil menepuk pundaknya!
Tepukan itu perlahan saja, tapi cukup membuat nikouw itu sempoyongan mundur dengan muka pucat karena ia merasa sakit sekali di dada sebelah kanan. Ia tahu bahwa ia telah mendapat luka dalam yang cukup berat, maka ia menjura sambil menahan sakit dan berkata.
“Terima kasih atas kemurahan hati Pouwsat, dan pasti budi ini akan pinni sampaikan kepada ketiga kauw-cu kami.”
Huo Mo-li tersenyum sindir. “Kau tidak akan mati, jangan khawatir! Tapi kalau dalam waktu tiga kali duapuluh empat hari kau tidak sampai ke kelentengmu, aku tidak tanggung akan keselamatan jiwamu. Kalau kauw-cu dari kelentengmu penasaran dan tetap hendak mencari patung di sini, janganlah suruh muridnya, tapi datang saja sendiri!”
Kemudian ia balikkan tubuh dan ajak Lian Eng pergi dari situ. Nikouw itupun segera lari turun untuk pulang dan memberi laporan kepada guru-gurunya.
Lian Eng diam-diam merasa tak senang dan terkejut melihat watak gurunya yang ternyata kejam dan keras. Diam-diam timbul rasa tak suka kepada gurunya itu. Tapi Huo Mo-li bersikap baik sekali padanya hingga gadis gagu itu lama-lama lenyap rasa tidak sukanya.
Melihat betapa hebat dan tinggi ilmu silat gurunya, maka Lian Eng perhebat ketekunannya dan ia mulai mempelajari lukisan dinding itu dengan lebih teliti karena tahu bahwa ilmu silat yang diukir itu benar hebat.
Ia pelajari ukiran pertama dan cocokkan itu dengan pelajaran lisan yang didapat dari gurunya. Dengan bantuan lukisan itu, ia dapat melakukan gerak yang sempurna. Kadang-kadang Lian Eng sampai lupa makan tidur karena rajinnya mempelajari dinding itu hingga sering kali gurunya menegurnya.
Beberapa bulan telah lewat pula dan kini kepandaian Lian Eng sudah maju pesat. Tapi belum juga ia memiliki tenaga yang cukup kuat untuk menolak batu besar penutup gua Dewi Api, maka jika gurunya keluar gua dan menutup batu itu ia hanya berada di dalam gua seorang diri dan tekun mempelajari lukisan-lukisan di dinding.
Pada suatu hari, ketika ia asyik mempelajari gerak yang keduapuluh tiga, tiba-tiba batu penutup gua itu terbuka. Gurunya sedang keluar, maka tadinya Lian Eng menyangka bahwa gurunya telah kembali hingga dengan wajah girang ia meloncat keluar untuk menyambutnya.
Tapi alangkah kagetnya ketika melihat dua orang pendeta perempuan yang berpakaian putih memasuki pintu gua itu. Dua orang pendeta itu berusia tinggi, lebih dari tujuhpuluh tahun, sedangkan wajah mereka agung dan keren.
Rambut mereka digelung ke atas dalam bentuk bunga teratai dan pada baju bagian dada terlukis setangkai teratai besar. Di punggung mereka tampak gagang po-kiam dan di tangan kanan memegang sebuah hud-tim, yaitu kebutan pertapa yang berbulu putih.
Lian Eng berdiri memandang dengan tak bergerak kepada dua pendeta wanita itu. Kedua pendeta itu ketika melihat Lian Eng segera menghampiri dan seorang di antara mereka bertanya dengan suara halus.
“Eh, nona yang baik, di manakah perginya Huo Mo-li? Apakah dia gurumu?” Lian Eng menggeleng-gelengkan kepala, tanda bahwa ia tidak tahu ke mana perginya gurunya, kemudian menganggukkan kepala sebagai jawaban bahwa ia benar murid dari Huo Mo-li.
Kedua pendeta itu saling pandang, dan seorang lagi berkata, “Nona, kau belum jawab pertanyaan kami.”
Lian Eng merasa mendongkol sekali. Ia sudah menjawab mengapa dianggap belum? Tiba-tiba timbul marahnya karena terang sekali kedua wanita tua ini hendak mempermainkannya.
Sudah terang ia seorang anak gagu bagaimana disuruh bicara? Maka ia lalu duduk dan buang muka!
“Hm, hm, gurunya setan, muridnyapun iblis!” seorang di antara mereka memaki.
Tentu saja Lian Eng merasa marah sekali mendengar betapa ia dan gurunya dimaki orang. Ia berdiri dan dengan banting-banting kaki gunakan jari telunjuk menuding keluar yang maksudnya ia marah dan mengusir orang-orang itu. Tapi kedua pendeta itu tidak mengerti, hanya menganggap gadis kecil itu mempermainkan mereka.
“Suci, mari kita geledah saja ke dalam. Agaknya iblis perempuan itu bersembunyi di dalam.”
“Sumoi, untuk apa mencari keributan?” Kim Hwa Sianli mencegah adiknya. “Ah kita hanya ingin mencari patung kita yang hilang. Hayolah, suci, jangan ladeni anak gila ini!”
Keduanya lalu bertindak ke dalam, tapi tiba-tiba Lian Eng loncat menghadang di depan mereka dengan tolak pinggang!
Kedua pertapa wanita itu tersenyum geli dan tidak ladeni gadis itu terus saja maju melangkah, tapi sungguh tak dinyana, tiba-tiba Lian Eng itu kirim pukulan Huo-mo-kangnya!
Cin Hwa Sianli yang berada di depan terkena langsung oleh angin pukulan Lian Eng. Ia merasa betapa satu tenaga yang kuat dan panas menyambarnya dengan hebat sekali, maka ia berseru kaget dan menangkis dengan kebutannya.
Angin pukulan Lian Eng yang telah dapat menjatuhkan burung yang terbang di atas itu tertangkis punah oleh hud-tim Cin Hwa Sianli, tapi tak urung kebutan itu telah rontok beberapa helai bulunya!
Tentu saja hal ini mengagetkan kedua ketua Kwan-im-pai itu karena tidak mereka sangka bahwa gadis kecil ini mempunyai kelihaian sehebat itu! Cin Hwa Sianli meloncat maju menyerang tapi sucinya yang khawatir kalau-kalau sumoinya salah tangan melukai gadis kecil itu, segera membetot baju adiknya dan berkata,
“Mundurlah kau, sumoi!”
Kemudian ia sendiri maju, Lian Eng menyambut dengan pukulan Huo-mo-kang lagi. Tapi Kim Hwa Sianli sudah siap hingga ia dapat berkelit sambil membongkokkan diri ke samping lalu terus maju menyambar Dengan jari tangan kirinya ia menotok pundak Lian Eng hingga gadis itu berdiri kaku dan dia seperti sebuah patung.
“Hayo sumoi, kita mengadakan penyelidikan sebentar untuk mencari patung kita, nanti kita lepaskan gadis lihai ini.”
Mereka lalu menggeledah ke dalam gua dan mereka heran sekali melihat betapa dalam gua yang diselimuti salju di puncak itu bisa terdapat api bernyala-nyala yang keluar dari dalam kawah. Mereka memeriksa dengan teliti, tapi tak berhasil menemukan patung yang mereka cari-cari.
Dengan kecewa dan menyesal mereka keluar. Kecewa karena patung yang dicari tidak ketemu, dan menyesal karena kalau ternyata bahwa Huo Mo-li bukan pencurinya, maka berarti mereka mendapat seorang musuh baru yang tangguh dan lihai sekali!
Ketika tiba di luar, mereka kaget sekali karena gadis kecil yang tadi ditotok, sekarang telah duduk di atas bangku dengan senang sambil makan paha seekor burung. Paha itu mentah, tapi gadis itu makan dengan tampak lezat sekali. Selain gadis itu, di situ tidak tampak orang lain!
Kim Hwa Sianli segera menghampiri Lian Eng dan berkata dengan suara halus, “Nona kecil, nanti katakan kepada gurumu bahwa kami menyesal sekali telah mengganggu tempat tinggalnya dan sampaikan pernyataan maaf kami.” Lian Eng hanya memandang dengan mata tajam, dan tiba-tiba dari belakang kedua pendeta wanita itu terdengar orang berkata dengan suara merdu,
“Aduh enaknya! Menghina anak kecil, masuk tempat orang tanpa permisi, bisakah dibikin habis begitu saja?”
Kim Hwa Sianli dan Cin Hwa Sianli cepat memutar tubuh dan mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik berdiri sambil tersenyum menghina. Mereka kagum sekali melihat kecantikan Huo Mo-li. Biarpun mereka telah mendengar tentang kecantikan Setan Api Wanita itu, namun baru kali ini mereka melihat dengan mata sendiri.
“Hm, kalian ini bukankah ketua dari Kwan-im-pai?”
Kim Hwa Sianli menjura dan membenarkan pertanyaan Huo Mo- li yang lalu berkata lagi.
“Bagus betul perbuatan ketua-ketua Kwan-im-pai. Kalian sungguh tidak pandang mata kepada orang lain. Apa kausangka semua orang harus tunduk dan takut kepada Kwan-im-pai? Yang manakah di antara kalian bernama Cin Hwa Sanli?”
Cin Hwa Sianli maju setindak, “Apakah maksudmu menanyakannya? Pinni sendirilah bernama Cin Hwa!”
Huo Mo-li pandang pendeta wanita itu dengan tajam. Biarpun wajah Cin Hwa Sianli menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang tinggi ilmu batinnya dan telah dapat mengekang segala nafsu dunia, namun sinar matanya tidak selembut Kim Hwa Sianli. “Jadi nikouw yang datang dua bulan yang lalu itu adalah muridmu? Dan sekarang kau sendiri datang mau apa? Kenapa kau geledah-geledah guaku tanpa permisi? Bagaimana kalau kau mencuri sesuatu dari guaku?”
Karena sedih dan menyesal telah kehilangan patung Dewi Kwan- im dan mencari tanpa hasil, maka Cin Hwa Sianli kini menjadi marah mendengar ia dituduh mencuri!
“Siapa yang sudi mencuri barang-barangmu? Hm, kami datang sebaliknya hendak mencari barang kami yang dicuri oleh orang rendah!”
Huo Mo-li memandang marah. “Mengapa dicari dalam guaku?”
Melihat kedua orang itu telah bersitegang, Kim Hwa Sianli maju dan angkat kedua tangan memberi hormat, lalu berkata dengan hormat, “Harap toanio sudi memaafkan kekeliruan kami dan biarlah lain kali kalau ada kesempatan kami akan memperbaiki kesalahan terhadap toanio ini. Sumoi, marilah kita pergi.”
Tapi Huo Mo-li berkata dengan suara garang,
“Sudah suruh murid datang mengacau lalu diri sendiri datang melanggar kesopanan, mau pergi begitu saja? Tak mungkin….. tak mungkin!”
Cin Hwa Sianli menjadi gemas dan berkata keras, “Habis kau mau apa?” Huo Mo-li memandangnya dengan mata bersinar. “Kau jauh-jauh telah datang ke sini, maka mau tidak mau aku harus menyambutmu. Ingin aku mencoba kelihaian ketua dari Kwan-im- pai yang mempunyai murid-murid yang tak becus apa-apa!”
“Kau menantang bertanding?” Cin Hwa Sianli bertanya. “Kalau kau berani!” jawab Huo Mo-li.
Dengan sekali gerak saja Cin Hwa Sianli telah cabut pedang dengan tangan kanan dan kebutannya telah pindah ke tangan kiri, lalu sambil berkata, “Kalau begitu, aku si tua bangka tidak baik kalau menolak ajakanmu. Bersiaplah kau, Huo Mo-li!”
Sambil berkata demikian, kebutan di tangan kirinya bergerak ke arah muka Huo Mo-li, tapi gerakan ini hanya untuk mengelabui mata lawan saja, karena yang sebenarnya menyerang hebat adalah pedang di tangan kanannya! Karena maklum bahwa lawannya ini lihai sekali, Cin Hwa Sianli membuka serangan dengan langsung mengeluarkan ilmu yang mematikan dan berbahaya.
Tapi dengan tenang dan mudah sekali Huo Mo-li berkelebat ke samping dan menghindarkan serangan itu, kemudian iapun balas menyerang dari samping dengan pukulan yang hebat. Melihat lawannya begitu bergebrak sudah mengeluarkan gerakan mematikan, iapun tidak berlaku sungkan lagi. Pukulannya dari samping ini adalah gerakan Setan Api Menjilat Air yang mengandung tenaga Huo-mo-kang penuh. Sekiranya terkena pukulan ini, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan lwee-kang yang cukup sempurna, Cin Hwa Sianli tentu takkan dapat menahannya. Tapi pertapa wanita itu gin-kangnya juga sudah cukup tinggi maka cepat sekali ia meloncat menyingkir dari pukulan itu.
Angin pukulan yang keluar dari lengan tangan Huo Mo-li menyambar dinding batu dan sebagian dinding itu tergempur! Alangkah kaget dan kagumnya ke dua ketua Kwan-im-pai itu melihat kehebatan pukulan Huo Mo-li.
Sebaliknya Huo Mo-li sendiri melihat betapa lawannya cukup gesit dan ternyata pukulan pertamanya bahkan merusak dinding guanya sendiri, ia segera meloncat keluar dan menantang.
“Cin Hwa! Kau memang gagah, marilah keluar dari gua dan bertempur sampai seribu jurus dengan aku!”
Cin Hwa Sianli tidak takut dan menyusul keluar, di belakangnya menyusul pula Kim Hwa Sianli. Lian Eng merasa gembira melihat perkelahian itu dan diam-diam iapun keluar dari gua dan duduk di atas tanah yang tertutup salju sambil bersandar ke batu karang guanya.
Begitu melihat lawannya telah datang menyusul segera Huo Mo- li menyerang bertubi-tubi dengan Huo-mo-kun-hwat yang luar biasa gerakannya itu.
Biarpun di tangan kanannya ada pedang mustika dan di tangan kirinya ada kebutan dan kedua senjata itu dapat dimainkan dengan lihai, namun menghadapi serangan-serangan Huo Mo-li yang hebat, Cin Hwa Sianli terdesak juga!
Lebih-lebih ketika setelah bertempur puluhan jurus ia berhasil menggunakan pedangnya menyabet pinggang Huo Mo-li tapi terpental dan tidak mempan, hatinya menjadi gentar. Ia tidak sangka bahwa selain lihai ilmu silatnya, Setan Api Wanita itupun bertubuh kebal dan dapat menahan sabetan pedangnya!
Padahal jelas tampak bahwa baju Huo Mo-li di bagian pinggang telah robek karena sabetannya tadi. Ia mana tahu bahwa di sebelah dalam dari pakaian luarnya, Huo Mo-li mengenakan baju wasiat yang terbuat dari pada serat yang diambil dari semacam rumput salju yang jarang terdapat.
Huo Mo-li sengaja memperlihatkan kesaktiannya untuk mengacaukan pikiran lawan. Benar saja, setelah melihat bahwa Huo Mo-li tak dapat terluka oleh pedangnya, maka permainan silat Cin Hwa Sianli menjadi kendur dan pada suatu saat Huo Mo-li berhasil kirim pukulan yang tepat mengenai pundak kanan pendeta wanita itu.
Cin Hwa Sianli terlempar beberapa tombak jauhnya dan ia roboh tak berkutik lagi. Biarpun ia dapat menahan sakit dan sedikitpun tidak mengeluarkan keluhan, akan tetapi lukanya cukup hebat dan sambungan tulang pundaknya telah terlepas!
Huo Mo-li yang melihat bahwa lawannya biarpun terluka tapi tidak akan tewas, segera loncat maju hendak kirim pukulan kedua, tapi pada saat ia angkat tangannya, tiba-tiba ia merasa tangan itu sakit dan pada lengannya terasa panas, perih dan ngilu sekali!
Ia turunkan tangannya dan melihat bahwa pada lengan bagian atas tangan itu telah mengucurkan darah. Ia tahu dirinya telah terkena serangan senjata rahasia, maka ia menghadapi Kim Hwa Sianli dengan marah.
“Bukan lakunya seorang gagah untuk menyerang dengan curang dan diam-diam!” teriaknya dan siap untuk menyerang.
Kim Hwa Sianli menjura.
“Maaf, toanio. Kepandaianmu sungguh hebat dan sumoiku bukan tandinganmu, juga pinni sendiri takkan dapat melawanmu. Tapi setelah kau menang, tak perlu kau turunkan tangan membunuh sumoiku. Itupun bukan lakunya seorang gagah. Aku menyerangmu dengan Kwan-im-ciam hanya dengan maksud menolong jiwa sumoi yang hendak kaubunuh tadi.”
Huo Mo-li terkejut ketika tahu bahwa yang melukai lengannya adalah Kwan-im-ciam, semacam jarum halus yang tentu saja karena runcing dan halusnya, dapat menembus lubang-lubang kecil di antara pakaian wasiatnya, dan ia tahu pula bahwa jarum itu dapat memasuki jalan darah dan berjalan perlahan dengan darah menuju ke jantung! Dan mendengar kata-kata Kim Hwa Sianli yang mencelanya karena hendak membunuh Cin Hwa Sianli, ia merasa bahwa kata-kata itu memang benar, maka ia hanya tundukkan muka. Kim Hwa Sianli tarik keluar sebungkus obat dari kantung jubahnya dan berkata lagi.
“Toanio, kita tak pernah bermusuhan, maka mengapa harus saling bunuh? Adikku telah terluka olehmu, begitu pula murid kami, dan kau telah terluka oleh jarumku.
“Bukan pinni hendak katakan bahwa pinni lebih pandai darimu, toanio. Tapi dengan kedua pihak telah terluka, maka kita telah saling bayar utang. Biarlah persoalan ini habis sampai di sini saja. Ini terimalah obat ini, jika kaucampur obat ini dengan air dan tempelkan pada luka di lenganmu, pasti jarum itu akan dapat disedot keluar.”
Huo Mo-li biarpun mengaku bahwa Kim Hwa Sianli bicara benar, namun adatnya yang keras dan angkuh tak dapat ditaklukkan. Ia berkata dengan senyum pahit.
“Aku sudah salah tangan melukai muridmu dan sumoimu, kini kau melukai aku, apakah anehnya? Kalau sampai aku mati karena luka ini, apakah halangannya? Yang kusesalkan adalah kesembronoanmu dan murid-muridmu. Yang curi patungmu adalah Hwat Kong, tapi kalian kejar-kejar aku. Hm, sungguh tolol!”
Mendengar ini, Kim Hwa Sianli girang sekali.
“Oh, jadi Hwat Kong Tosu kah yang lakukan perbuatan itu? Terima kasih, terima kasih atas keteranganmu, toanio. Nah, ini, pakailah obatku agar kau lekas sembuh dari pengaruh jarum itu!” “Bawalah obatmu dan pergilah cepat! Kalau terlalu lama kau di sini, mungkin aku tak dapat menahan sabar lebih lama. Pergilah kau dan bawa sumoimu!”
Huo Mo-li tidak mau terima obat itu bahkan mengusir. Kim Hwa Sian-li tidak menjawab lagi, lalu angkat sumoinya dan setelah menjura sekali lagi, ia berkelebat turun gunung sambil panggul tubuh sumoinya yang terluka.
Setelah kedua pendeta wanita itu pergi, barulah Huo Mo-li periksa luka di tangannya. Ternyata luka yang kecil sekali dan bekas tempat di mana jarum halus itu menerobos masuk ke dalam lengannya, terdapat tanda merah dan rasanya gatal dan panas.
Ketika ia meraba-raba, ternyata jarum halus itu telah memasuki lengan tangannya dan berada di dekat tulang lengan! Ia tidak tahu bagaimana harus mencabut jarum itu, maka dengan nekat ia hendak membedah lengannya untuk ambil jarum yang berbahaya dari daging lengannya.
Lian Eng lari menghampiri gurunya dengan khawatir. Dengan gerak tangan dan jari ia bertanya yang maksudnya begini.
“Bagaimanakah luka di lenganmu? Berbahayakah?” Wajah gadis kecil itu tampak bingung.
“Jangan khawatir, muridku. Marilah kita masuk ke dalam gua dan aku akan coba keluarkan jarum terkutuk ini!” jawab gurunya.
<> Tapi sebelum mereka memasuki gua, tiba-tiba dari lereng bukit terdengar suara kelenengan nyaring dan ketika mereka memandang, tampaklah seorang anak laki-laki berusia paling banyak tigabelas tahun mendaki puncak sambil memikul pikulan keranjang tukang obat. Ternyata anak itu dapat panjat puncak Dewi Api dengan cepat dan kepandaiannya ringankan tubuh sudah mengagumkan.
Huo Mo-li heran melihat anak itu berani naik ke puncak, tapi ketika ia melihat seorang tua dengan kepala besar dan tubuh kecil jalan di belakang anak itu sambil memikul keranjang besar di mana dipasangi kelenengan yang berbunyi nyaring itu, tahulah ia bahwa anak kecil itu tentu pembantu atau murid tukang obat itu.
Ia perhatikan tindakan kaki tukang obat itu yang walaupun tampaknya berjalan seenaknya namun cepat sekali telah bisa menaiki puncak. Maka tergeraklah hati Huo Mo-li, lebih-lebih ketika orang tua kepala besar itu tujukan tindakannya ke arah guanya. Setelah orang tua aneh itu berada di depannya, dengan sikap sambil lalu ia berkata dengan suaranya yang besar dan dalam.
“Huo Mo-li. mengapa berada di luar gua?”
Kaget juga hati Setan Api Wanita itu mendengar orang telah tahu julukannya. Sebelum ia menjawab, tampak wajah tukang obat itu terkejut dan memandangnya dengan tajam, lalu berkata lagi.
“Heran, heran! Huo Mo-li sampai menderita luka!” Makin heranlah Huo Mo-li, maka ia segera bertanya tanpa banyak upacara lagi.
“Orang tua aneh, siapakah kau maka kenal namaku dan tahu bahwa aku menderita luka?”
“Aku tukang obat biasa dan kerjaku mengobati orang yang membutuhkan obat! Tentu saja aku kenal kau karena siapa lagi kalau bukan Huo Mo-li yang berada di atas puncak ini? Tentang lukamu, aku bukanlah tukang obat kalau tidak mengetahui apakah orang yang kuhadapi itu sakit atau tidak!”
Huo Mo-li teringat sesuatu. Orang ini aneh sekali dan agaknya memiliki kepandaian tinggi, tukang obat yang berilmu tinggi di dunia ini setahunya hanya seorang, yaitu Kiang Cu Liong yang disebut. Tukang Obat Dewa.
“Apakah kau setan obat she Kiang?” tanyanya dengan sengaja menyebut setan karena ia tidak mau mendewa-dewakan Kiang Cu Liong.
Tukang obat yang berwajah aneh dan kepalanya yang besar itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.
“Aku memang Kiang Cu Liong! Huo Mo-li kebetulan sekali aku datang pada saat kau menderita luka.”
“Apa katamu? Kebetulan mengapa?”
Kiang Cu Liong tertawa lagi. “Kebetulan sekali, karena aku dapat menolongmu dan mengeluarkan jarum itu dari lenganmu.” “Eh, bagaimana kau bisa tahu aku terluka oleh jarum?”
“Hem, Huo Mo-li, jangan kauanggap tidak ada orang lain yang lebih pintar darimu. Aku tadi bertemu dengan ketua Kwan-im- kauw yang menggendong sumoinya. Siapa lagi kalau bukan dia yang sanggup lukai kau? Dan lukamu tentu karena jarumnya Kwan-im-ciam.”
Sebenarnya Kiang Cu Liong hanya melihat Kim Hwa Sianli menggendong adiknya turun dari puncak itu, dan ia tidak menemuinya, tapi karena ia memang cerdik, ia dapat menduga tepat sekali.
Tapi ia tidak tahu akan watak Huo Mo-li yang angkuh dan tidak sudi menerima pertolongan orang, maka alangkah herannya ketika Huo Mo-li menjawab dengan wajah muram.
“Kiang Cu Liong, jangan kau anggap aku tidak bisa keluarkan jarum ini sendiri. Aku tidak pernah menerima pertolongan orang dengan cuma-cuma!”
Untuk sesaat tukang obat she Kiang itu berdiri bengong, tapi ia segera tertawa bergelak.
“Siapa ingin menolong orang dengan cuma-cuma? Dengar Huo Mo-li, aku tadi bilang kebetulan karena kedatanganku ialah hendak minta pertolonganmu! Maka, sekarang kita bisa saling tolong hingga tidak ada di antara kita yang menerima pertolongan cuma-cuma!” “Pertolongan apa?” Huo Mo-li bertanya dengan hati tertarik, karena kalau saling tolong itulah lain lagi soalnya.
“Aku membutuhkan beberapa potong mutiara salju yang hanya dapat diketemukan di atas puncak ini, yaitu cairan salju yang terpanggang oleh api kawah kemudian membeku lagi dan setelah beberapa tahun mencair dan membeku maka menjadi potongan karang putih keras yang disebut mutiara salju. Aku butuh beberapa potong untuk dipakai bahan obat semacam penyakit yang berbahaya. Berilah padaku beberapa potong mutiara salju itu dan aku akan bantu kau mengeluarkan jarum itu.”
“Hm, kalau begitu, baiklah.”
Huo Mo-li lalu gulung lengan bajunya yang tadi ia turunkan kembali melihat ada orang datang.
Kiang Cu Liong lalu keluarkan sepotong besi yang bentuknya melengkung seperti besi kaki kuda dan ternyata besi itu mengandung kekuatan sembrani yang kuat sekali. Ia tempelkan besi itu di atas luka di lengan Huo Mo-li, lalu gunakan jari tangannya mengetuk-ngetuk ke arah belakang jarum yang mengeram dalam lengan itu.
Tak lama kemudian, setelah jarum yang di dalam lengan itu terdorong oleh ketukannya dan disedot oleh besi sembrani, ia lepaskan besi itu dan ternyata jarum itu telah tampak keluar sedikit dari kulit Huo Mo-li! Dengan mudah saja kakek kepala besar itu mencabut jarum Kwan-im-ciam dan tertawa senang. Ia lalu simpan jarum itu ke dalam kotak obatnya. Kemudian ia gunakan obat untuk dipoleskan di bekas luka itu hingga Huo Mo-li merasa lengannya dingin dan enak.
“Nah, ayoh kau kuantar mengambil mutiara salju yang kaubutuhkan itu,” kata Huo Mo-li kemudian, dan mereka berdua lalu tinggalkan tempat itu dan berpesan kepada murid masing- masing untuk menanti sebentar.
Pemuda kecil yang tadi datang bersama Kiang Cu Liong adalah pemuda yang sangat cakap. Kulit mukanya putih bersih, bibirnya merah dan matanya sangat tajam dan jujur sinar matanya. Daun telinganya lebar hingga ia tampak tampan dan gagah. Setelah melihat gurunya pergi dengan Huo Mo-li, ia mendekati Lian Eng yang masih berdiri di situ.
Ia berdiri di depan gadis cilik itu sambil memandang tajam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kemudian ia menggerakkan jari telunjuknya ke arah dadanya sendiri dan membungkuk lalu menggunakan jari telunjuk menulis di atas salju yang berbunyi.
“Namaku Tiong Li.”
Melihat bahwa pemuda itu tahu bahwa ia tidak bisa bicara, maka Lian Eng menjadi girang. Dulu ia pernah diajar menulis oleh kakeknya dan tahu pula arti tiap huruf yang tidak begitu sukar. Maka iapun segera menulis namanya sendiri di atas salju.
Dengan menggerakkan jari-jari tangan, Tiong Li menceritakan kepada Lian Eng bahwa semenjak kecil ia ikut suhunya merantau dan ketika Lian Eng bertanya kepadanya ia belajar apa, Tiong Li menjawab bahwa ia diajar memilih daun-daun dan akar obat, diajar pula cara mengobati.
Melihat gerakan yang menceritakan hal ini, Lian Eng tersenyum manis dan tiba-tiba ia menunjuk ke atas. Beberapa ekor burung terbang rendah di atas mereka. Lian Eng segera mengumpulkan tenaganya dan dengan pukulan Huo-mo-kang is menjatuhkan seekor burung.
Burung itu masih hidup tapi dadanya terpukul angin pukulan itu hingga menjadi biru dan ia pukul-pukulkan sayapnya kesakitan. Lian Eng lalu ambil burung itu dan diberikan kepada Tiong Li dan minta pemuda itu coba mengobati luka burung yang terpukul tadi!
Tiong Li tadinya terkejut sekali melihat kehebatan ilmu pukulan gadis gagu itu, tapi kini ia mengerti maksudnya, ialah gadis itu hendak menguji kepandaiannya memberi obat. Dengan segera ia periksa dada burung tadi dan jidatnya yang lebar dan putih halus itu berkerut ketika ia melihat betapa dada itu matang biru oleh angin pukulan Lian Eng.
Ia cepat mengambil selembar daun obat dari keranjangnya lalu meremas-remasnya dalam tangan kiri. Setelah ia meremas sedikit salju ke dalam tangan kanannya, ia lalu mencampur hancuran daun itu dengan salju, lalu memupukkan ramuan obat itu di dada burung tadi sambil mengurut-urut tubuh burung dengan jari-jari tangannya yang cekatan dan halus. Aneh sekali, tak lama kemudian burung itu tampak segar kembali dan ketika Tiong Li melempar burung itu ke atas, maka binatang itu sambil cecowetan dapat terbang kembali!
Lian Eng berjingkrak memuji, ia senang sekali melihat kepandaian Tiong Li. Tapi pemuda kecil itu dengan gerakan tangannya mencela perbuatan Lian Eng yang dianggap kejam telah melukai burung tadi.
Lian Eng tidak senang melihat celaan ini dan ia menunjuk ke atas sambil menantang kepada Tiong Li untuk menangkap seekor burung yang sedang terbang.
Pemuda itu tersenyum dan berkata kepada diri sendiri.
“Hm, kaukira hanya kau saja yang pandai menangkap burung?”
Ia tadinya menyangka bahwa gadis itu adalah gagu dan tuli, tapi ia tidak tahu sama sekali bahwa Lian Eng hanya gagu saja dan dapat mendengar baik, bahkan dapat mengerti kata-kata biasa. Mendengar pemuda itu berkata demikian, Lian Eng menjadi makin penasaran dan mendesak pemuda itu memperlihatkan kepandaiannya.
Tiong Li menjadi heran dan bertanya, “Kau mengerti dan dapat mendengar kata-kataku?”
Lian Eng mengangguk.
Tiong Li menjadi tertarik sekali dan mendekati gadis itu. “Coba kaubuka mulutmu agar kulihat!”
Bukan main marahnya Lian Eng ketika pemuda itu menyuruhnya membuka mulut. Disangkanya pemuda itu hendak memperolok- oloknya, maka ia loncat mundur sambil memandang marah.
“Jangan kau salah sangka. Aku hendak melihat tenggorokanmu dan mengetahui apakah yang menyebabkan kau tidak bisa bicara. Aku tidak bermaksud buruk!”
Mendengar ini, lenyaplah kemarahan Lian Eng, tapi sebaliknya ia menjadi malu. Mukanya merah dan ia tetap tidak mau membuka mulutnya untuk diperlihatkan kepada pemuda itu!
Segera ia mendesak kembali kepada Tiong Li untuk menangkap burung karena ia hendak saksikan apakah selain pandai mengobati, pemuda itupun mempunyai kepandaian lain pula.
Tiong Li segera pungut salju lembek dan berdongak memandang ke arah burung-burung yang sedang terbang. Ia menuding ke arah burung yang terbang paling tinggi, lalu ia ayun tangan melempar salju lembek yang dikepal itu ke atas.
Benar saja, kepalan salju lembek itu tepat menempel ke sayap burung hingga burung itu tak dapat terbang lagi lalu jatuh terputar- putar ke bawah! Tiong Li pungut burung itu dan memperlihatkannya kepada Lian Eng untuk membuktikan bahwa burung itu sama sekali tidak menderita luka. Kemudian ia lepaskan salju itu dan burung itu terbang kembali ke udara. Lian Eng girang sekali melihat kepandaian ini maka ia segera meniru-niru. Untuk dapat melempar salju lembek itu demikian keras, dibutuhkan tenaga lwee-kang yang tinggi. Tapi dalam hal ilmu lwee-kang, Lian Eng tak usah kalah oleh Tiong Li, maka sebentar saja ia pun sudah dapat menembak jatuh seekor burung.
Kalau ia bisa bersuara, Lian Eng tentu bersorak karena girang dan gembira. Tapi karena ia gagu, ia hanya bisa berloncat-loncatan dengan muka berseri-seri!
Tiong Li juga ikut berloncatan-loncatan girang hingga mereka sambil berpegang tangan menari-nari di atas salju.
Pada saat itu dari puncak turun Huo Mo-li dan Kiang Cu Liong. Kedua guru ini melihat murid mereka demikian gembira dan dapat bergaul baik, ikut pula gembira. Huo Mo-li berkata, “Muridmu tidak tercela!”
“Tapi muridmu tidak kalah hebat,” jawab Kiang Cu Liong.
Kemudian Kiang Cu Liong bertanya mengapa Huo Mo-li sampai dapat bertempur dengan ketua Kwan-im-pai. Huo Mo-li lalu ceritakan tentang patung Dewi Kwan-im yang lenyap dicuri orang dan bahwa ketua Kwan-im-pai menuduh dia yang mencurinya.
Mendengar ini Kiang Cu Liong merasa kecewa sekali, tapi kemudian ia tertawa bergelak-gelak ketika Huo Mo-li bercerita bahwa Setan Api Wanita itu bersama Beng Beng Hoatsu dan Hwat Kong Tosu membuat perlombaan, untuk mencuri atau memiliki patung yang hilang itu dalam sepuluh tahun. “Huo Mo-li, ketahuilah. Sebenarnya aku sendiri dari sini hendak pergi ke Kwan-im-bio dan hendak pinjam patung itu sebentar, baik dengan secara berterang maupun dengan jalan mencurinya sebentar untuk kemudian dikembalikan lagi.”
Huo Mo-li memandangnya heran. “Kau juga ingin memiliki patung itu? Untuk apakah emas dan mutiara itu bagimu?”
“Jangan salah sangka. Aku tidak ingin emas maupun permata. Yang kuingin ialah sebuah benda yang tersembunyi di dalam patung itu. Dulu ketika patung itu dibuat, seorang ahli obat dari barat yang berilmu tinggi telah menyimpan beberapa jinsom yang jarang terdapat dan yang mujijat khasiatnya di dalam patung itu.
“Jinsom itu adalah simpanan dalam istana Raja Mongol dan ketika beberapa orang asing datang hendak merampas jinsom itu, maka oleh orang berilmu itu lalu disimpan di dalam patung emas Kwan- im Pouwsat. Maka karena kalian bertiga telah berlomba, anggaplah aku sebagai orang keempat yang mengikuti perlombaan ini! Kalian hendak rebut patung itu hanya untuk main- main belaka, tapi aku lain lagi.
“Kalau tidak salah, selain jinsom yang kusebutkan tadi, di situ tersimpan pula buku ilmu obat-obatan dari orang berilmu itu. Sayang bahwa patung itu telah dicuri orang hingga agak sukarlah bagi kita untuk mencarinya.”
“Menuruti ketua Kwan-im-kauw, yang mencuri patung itu memberi tahu bahwa jika orang hendak mendapatkan kembali patung Dewi Kwan-im, maka harus dicari ke atas pegunungan ini. Heran, siapakah orangnya yang begitu kurang ajar?” Huo Mo-li berkata gemas.
Kiang Cu Liong putar-putar otak dalam kepalanya yang besar itu, tapi ia juga tak dapat menerka siapa.
“Tentu orang itu seorang yang berkepandaian tinggi dan seorang yang suka main-main atau memang berwatak curang. Kalau mau mencari orang palsu dan curang dan berkepandaian tinggi, di dunia ini selain Tok-kak-coa si Ular Tanduk Beracun, siapa lagi!”
“Apa? Kaumaksudkan si iblis dari timur itu?” tanya Huo Mo-li dengan kaget karena iapun pernah mendengar Tok-kak-coa sebagai seorang yang sangat jahat dan sangat lihai di daerah timur.
“Mungkin dia, siapa tahu? Baiklah kita mencari jalan kita masing- masing. Kemudian tukang obat dewa itu menghampiri muridnya.”
“Tiong Li,” katanya lalu menunjuk ke arah Lian Eng. “Ingatlah, di kelak kemudian hari gadis cilik ini akan menjadi pendekar wanita yang jarang tandingannya.”
“Tapi kasihan sekali, suhu, dia menderita sakit gagu. Bukankah suhu dapat menolongnya? Karena ia tidak tuli, suhu, dia bisa mendengar dengan baik!”
Suara Tiong Li memohon kepada gurunya itu terdengar oleh Lian Eng hingga gadis itu menundukkan kepada dengan terharu. Tapi Kiang Cu Liong berkata. “Tak usah kauceritakan, akupun sudah tahu bahwa ia menderita sakit tenggorokan dan membuatnya tak bisa bicara. Tapi, aku tak berdaya. Kalau ia sudah mencapai usia duapuluh tahun, barangkali baru aku dapat menolongnya, kecuali jika obat ajaib yang kucari itu dapat ditemukan. Obat itu dapat menyembuhkan segala penyakit!”
Kemudian si Tabib Dewa itu mengajak muridnya turun gunung dengan cepat setelah berkata kepada Huo Mo-li, “Selamat berpisah dan sampai berjumpa pula!”
Huo Mo-li berkata kepada Lian Eng, “Muridku, mereka itu adalah orang-orang baik, ingatlah ini! Mungkin di kemudian hari kau masih harus berurusan dengan mereka. Juga kepandaian mereka itu tidak berada di bawah kita.”
Lian Eng mengerti maksud gurunya dan semenjak itu ia mempelajari ilmu silat dengan lebih rajin lagi.
<>