Jilid 6 (Tamat)
15. Bercinta dengan Puteri Musuh besar
Pertempuran antara Ga Lung Hwesio dan Bi Hong lebih ramai kelihatannya karena jalannya lebih cepat. Hal ini adalah karena kelihaian ilmu pedang Bi Hong memang terletak kepada kecepatan dan kelincahannya. Ilmu pedangnya memang tidak ada bedanya dengan suhengnya, akan tetapi kalau Bi Hong dapat mewarisi kecepatannya adalah Lee Kek Tosu mewarisi kekuatannya.
Inipun tidak aneh kalau diingat bahwa waktu yang dipergunakan oleh Lee Kek Tosu lebih lama dan tosu inipun lebih kuat ilmu batinnya, maka tentu saja memiliki lweekang yang lebih dalam. Dengan kecepatan gerakan pedangnya Bi Hong dapat membuat Ga Lung Hwesio menjadi sibuk sekali. Dalam jurus ke tujuh puluh ujung pedang Bi Hong yang berkelebat-kelebat seperti kilat menyambar telah berhasil melukai ujung pundak kiri Ga Lung Hwesio.
Bukan main marah, kaget dan penasaran rasa hati hwesio ini. Ia mengempos semangatnya, mengerahkan lweekangnya dan pandangannya menjadi amat tajam menusuk, mulutnya bergerak-gerak dan sambil melayani serangan-serangan Bi Hong, ia berkata, suaranya halus dan manis seperti seorang ibu membujuk anaknya.
“Nona Wang Bi Hong, kau tentu lelah. lelah sekali. Untuk apa bertempur terus?
Lebih baik mengaso..... ah, nyamannya angin, enaknya mengaso dan tidur. ”
Inilah ilmu yang disebut “merampas semangat” atau semacam ilmu hypnotisme yang menguasai semangat dan pikiran orang. Suaranya lemah lembut dan manis, sungguh jauh bedanya dengan mata yang berubah seperti mata setan itu.
Bi Hong tidak tahu mengapa musuhnya bicara seperti itu, akan tetapi ia benar-benar merasa lelah dan ingin sekali mengaso. Hanya karena merasa heran akan sikap musuhnya, ia mempertahankan diri dan mencoba untuk membantah kehendak pikirannya.
“Nona, bukankah kita sudah bertempur seratus jurus lebih?” kembali hwesio itu bertanya dengan suara halus.
Entah mengapa, di luar kehendaknya mulut Bi Hong menjawab. “Betul, seratus jurus lebih.” Sambil berkata demikian, ia masih mengirim tusukan yang dapat ditangkis oleh hwesio itu. Bi Hong merasa bahwa tangkisan itu tidak bertenaga, maka ia girang sekali dan terus mendesak.
Ia tidak tahu bahwa karena tenaga lweekangnya dikerahkan untuk menjalankan ilmu “merampas semangat” itu, maka tentu saja tenaga Ga Lung Hwesio menjadi banyak berkurang.
“Kalau begitu, tentu enak mengasoh, bukan?” hwesio itu menyusul pertanyaannya cepat-cepat.
“Yah..... tentu enak sekali. ” jawab Bi Hong dan otomatis ia memperlambat
serangannya, merasa lelah dan ingin mengaso.
“Kalau begitu mengasohlah, duduklah, tidurlah. ” suara Ga Lung Hwesio itu
mendesak dan mempunyai pengaruh luar biasa besarnya.
Lee Kek Tosu sudah berpengalaman luas, mendengar pula suara-suara ini dan tahulah ia apa yang akan dilakukan oleh Ga Lung Hwesio terhadap sumoinya. Ia melihat gerakan sumoinya makin lemah dan bukan main gelisahnya.
“Sumoi, jangan dengarkan dia. Lawan terus!” Ia berseru dan karena perhatiannya terpecah inilah maka dia membuka lowongan dalam pertahanan sinar pedangnya. Lawannya Ge Khan Hwesio yang berilmu tinggi melihat lowongan ini. Tadinya hwesio ini biarpun memiliki tenaga yang lebih besar, merasa bingung karena biarpun ia berada di pihak yang mendesak, namun pertahanan pedang lawannya amat kuat dan tidak dapat ditembus oleh toyanya.
Sekarang, pada saat tosu itu mengkhawatirkan keselamatan sumoinya dan memecahkan perhatian, kelihatan lowongan itu. Cepat toyanya menyambar ke depan, dan. lambung Lee Kek Tosu sudah terkena sodokan toya dengan tepat sekali. Tosu
itu mengeluarkan jerit tertahan, mukanya pucat dan tubuhnya terdorong ke belakang. Dengan tangan kiri ia menekan lambungnya lalu mulutnya dipentang dan darah segar tersembur keluar.
Ge Khan Hwesio tertawa terbahak, akan tetapi tiba-tiba berseru kesakitan. Ketika ia sedang tertawa karena girang tadi, Lee Kek Tosu yang sudah menderita luka hebat sekali, setelah memuntahkan dara segar lalu mengayunkan tangannya yang memegang pedang.
Pedang meluncur bagaikan naga terbang menyambar ke arah tenggorokan Ge Khan Hwesio. Inilah gerak tipu Sin-liong-hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya), sebuah jurus terakhir dari ilmu pedangnya yang amat lihai. Jurus ini memang dipelajari untuk dipergunakan pada saat terakhir setelah menderita luka untuk membalas lawan.
Ge Khan Hwesio melihat berkelebatnya sinar pedang cepat miringkan tubuh, namun tetap saja pedang itu mengenai pundak kirinya, amblas dibawah tulang pundak sampai menembus ke belakang. Biarpun tidak binasa karena luka itu, harus diakui bahwa rasa sakitnya luar biasa sekali dan merupakan luka yang cukup hebat.
Ge Khan Hwesio terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ge Bun Hwesio yang cepat menolong suhengnya itu. Adapun Lee Kek Tosu sendiri sudah roboh dan tewas tak lama kemudian. Isi perutnya telah rusak oleh sodokan toya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.
Sementara itu, ketika Bi Hong tadi sudah hampir terjatuh ke dalam pengaruh sihir Ga Lung Hwesio, tiba-tiba suhengnya memberi ingat. Ia kaget dan mengempos semangat untuk melawan pengaruh itu sambil mempercepat gerakan pedangnya. Namun Ga Lung Hwesio juga memperhebat tenaga batinnya, lalu berkata keras.
“Nona, kau lelah sekali. Kau sudah tidak kuat lagi. Kau duduklah!”
Seperti ada dua tangan yang tidak kelihatan menekan pundak Bi Hong. Gadis ini tidak dapat mempertahankan diri lagi, tubuhnya tiba-tiba terasa lemah tidak bertulang agaknya dan otomatis mendengar seruan ini ia lalu jatuh duduk di atas tanah dengan pedang masih di tangannya. Ga Lung Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia cepat melangkah maju untuk menjatuhkan pukulan maut dengan tongkat bambunya.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking keras dan tinggi, suara aneh sekali, yang bukan seperti suara manusia, lebih menyerupai suara seruling yang ditiup dengan tenaga luar biasa dan dengan nada yang amat tinggi. Berbareng dengan suara itu, tanpa terlihat oleh mata semua orang, dua butir batu kecil sekali menyambar dan sebutir menyambar tongkat Ga Lung Hwesio menahan serangan maut tongkat itu, yang sebutir lagi menotok jalan darah di tengkuk Bi Hong.
Sambaran batu kecil yang tidak kelihatan pada tongkat amat hebat karena tiba-tiba Ga Lung Hwesio merasa tongkatnya tertolak balik ke arah dirinya. Ia mengira bahwa gadis yang diserangnya masih bisa menangkis. Akan tetapi totokan batu pada tengkuk gadis itu lebih lihai. Begitu terkena sambaran batu pada jalan darah di tengkuknya, sekali gus Bi Hong sadar dari pengaruh ilmu sihir Ga Lung Hwesio.
Seperti disiram air dingin gadis itu sadar dari keadaannya yang lemah tadi. Ia melihat hwesio musuhnya itu sedang melangkah dua tindak ke belakang sambil mengawasi tongkatnya dengan mata heran.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bi Hong. Dengan pekik dahsyat gadis ini lalu meloncat, menggunakan gerakan Sin-wan-teng-ki (Monyet Sakti Loncat Cabang) disusul dengan gerak tangan Giok-li-sia-niau (Dewi Memanah Burung) pedangnya meluncur ke depan mengirim tusukan maut.
Ga Lung Hwesio yang sedang terkejut dan heran, mana bisa menduga datangnya serangan ini? Ia terkejut akan tetapi tahu-tahu pedang itu telah menikam hulu hatinya. Ia memekik dan ketika pedang ditarik kembali, tubuhnya terjengkang roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga.
Ge Bun Hwesio sedang memondong suhengnya, Ge Khan Hwesio yang terluka berat di pundaknya. Melihat Ga Lung Hwesio tewas, Ge Thun Hwesio dengan marah maju hendak menyerang Bi Hong. Akan tetapi lagi-lagi sebuah batu kecil memukul pergelangan tangannya.
“Traaanggg...!” Toya yang dipegangnya terlepas. Hwesio ini kaget sekali dan tidak jadi menyerang melainkan menyambar mayat Ga Lung Hwesio, kemudian bersama Ge Bun Hwesio yang memondong tubuh Ge Khan Hwesio, mereka lari cepat-cepat meninggalkan tempat itu menuju ke Lasha.
Bi Hong tidak memperdulikan mereka. Musuh besarnya hanyalah Ga Lung Hwesio dan tiga orang hwesio lain itu bukan musuhnya. Akan tetapi ia terkejut dan sedih sekali ketika menengok ke arah suhengnya dan melihat tosu itu sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia menubruk tosu itu dan menangis sedih.
“Twa-suheng kau....... kau telah mengorbankan nyawa untukku. ” Ia ingat bahwa
tadi lawan twa-suhengnya juga terluka hebat, pedang suhengnya menancap di dada lawan itu yang tubuhnya dibawa pergi oleh hwesio lain. Ia menduga bahwa lawan twa-suhengnya itupun tewas.
Setelah menangis sedih, gadis itu lalu berlutut dengan kedua tangan dibentangkan ke atas, ia berkata.
“Kong-kong, ibu....., supek-couw. , aku telah berhasil membunuh Ga Lung Hwesio.
Seorang musuh besar yang menyebabkan kematian kalian dan menebus dosa. Hwesio jahat yang menghina Kun-lun-pai telah berkurang satu. Hanya tinggal seorang lagi. Thu Bi Tan si keparat!” Setelah berdoa demikian ia lalu menangisi lagi mayat twa- suhengnya.
Pada saat itu, terdengar suara orang batuk-batuk dan muncullah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, berwajah tampan gagah dan bertubuh kekar. “Aduh, kasihan!” kata pemuda itu sambil memandang dan tidak berani terlalu mendekati nona itu.
Sinar mata pemuda itu yang tadinya berseri, dan wajahnya yang membayangkan kegembiraan, untuk sedetik menjadi lembut. “Nona, apakah dia ayahmu?”
Mendengar suara orang, Bi Hong menengok dan memandang pemuda itu melalui air matanya. Akan tetapi mendengar orang bertanya apakah yang mati itu ayahnya, sekaligus membuat dia teringat akan ayah bundanya, ibunya sudah mati dan ayahnya tidak tahu di mana adanya. Tadinya masih ada twa-suhengnya yang amat baik kepadanya seperti ayah sendiri, sekarang dia benar-benar merasa sebatang kara sehingga pertanyaan ini memancing keluar air matanya lebih deras.
Pemuda ini menduga bahwa si tosu adalah ayah nona itu karena tadi ia mendengar nona itu berdoa kepada kong-kong, ibu dan supek-couw, tanpa menyebut ayahnya. Maka ia menduga yang tewas adalah ayah nona itu. Sekarang melihat nona itu makin sedih, dugaannya makin kuat. Ia berlutut dan berkata menghibur.
“Nona, setiap orang takkan terluput dari pada kematian. Ada lahir dan mati, maka soal kematian adalah wajar dan tidak perlu disedihkan. Yang penting adalah cara manusia mati. Sekelebatan tadi aku melihat bahwa kau dan ayahmu bertempur melawan orang- orang berkepala gundul. Tentu mereka itu orang jahat dan kalau ayahmu tewas dalam melawan orang jahat, boleh dibilang matinya itu mati sebagai orang gagah. Tidak perlu penasaran.”
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada menghibur dan amat halus penuh perasaan, maka sedikit banyak dapat menghibur juga hati Bi Hong. Ia menyusuti air matanya lalu berkata. “Dia bukan ayahku, dia twa-suhengku. Aku berduka karena twa-suheng telah tewas dalam membela urusanku, dia tewas karena aku. Siapa tidak menjadi sedih dan terharu?”
Pemuda itu mengangguk-angguk, diam-diam heran sekali bagaimana seorang nona muda belia ini menjadi saudara seperguruan seorang kakek tua. Akan tetapi mulutnya berkata memuji, “Kalau begitu lebih sempurna lagi matinya. Mati dalam membela orang lain hanya dapat dilakukan oleh orang gagah dan mulia. Lebih baik kau segera menguburnya nona, dan mari aku membantumu.”
Tiba-tiba Bi Hong meloncat berdiri. Ia makin bernafsu untuk segera mengejar hwesio- hwesio itu dan memasuki Lasha untuk mencari Thu Bi Tan Hwesio dan sekalian membalaskan kematian twa-suhengnya. Akan tetapi pemuda ini tidak dikenalnya dan bagaimana dia bisa muncul di tempat sunyi ini. “Siapakah kau?” tanyanya sambil meraba gagang pedang.
Pemuda itu nampak terkejut melihat nona itu meraba gagang pedang. “Aku. aku
seorang pelancong, nona. Namaku Yalu Sun. Bolehkah aku ketahui siapa nona dan kenapa bersama totiang ini sampai bertempur dengan hwesio di tempat ini?” Melihat pemuda itu terkejut ketika ia meraba gagang pedang dan melihat sikap dan gerak gerik pemuda itu seperti seorang yang lemah, Bi Hong tidak menaruh banyak perhatian. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sepotong emas, lalu memberikan potongan emas itu kepada si pemuda sambil berkata.
“Saudara, kau tolonglah aku, kuburkan jenazah suhengku ini di sini. Terimalah sedikit hadiah ini dariku. Aku sendiri hendak cepat-cepat mengejar hwesio-hwesio jahat itu untuk membalaskan kematian twa-suheng.”
Pemuda itu mengerutkan kening dan memandang potongan emas di tangan nona itu tanpa menggerakkan tangan untuk menerimanya. Ia menggelengkan kepala lalu berkata, “Sudah semestinya sesama manusia saling menolong di tengah jalan. Aku akan mengurus penguburannya, nona, dan aku tidak membutuhkan hadiah. Yang perlu hanya mengenal namamu dan nama totiang ini agar kalau ada orang lewat dan bertanya, aku dapat menjawab dan tidak timbul persangkaan yang bukan-bukan.”
Muka Bi Hong menjadi merah. Ia merasa jengah menghadapi orang yang bersikap begini baik, tidak mau menerima hadiah emas. Padahal jarang ada orang yang menolak hadiah sebanyak itu.
Dengan bersyukur ia menjura sambil berkata, “Aku Wang Bi Hong, merasa berterima kasih kepadamu, saudara Yalu Sun. Namamu akan selalu kuingat dan biarlah lain waktu aku akan mendapat kesempatan untuk membalas budimu ini.”
Pemuda itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dan pada saat itu, hati Bi Hong berdebar aneh. Entah bagaimana, dalam saat itu si pemuda kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pandangan matanya dan ia makin berterima kasih.
“Jangan sungkan-sungkan nona Bi Hong. Aku hanya mewakili kau mengurus jenazah, akan tetapi dia ini, dia telah mengorbankan nyawa untukmu. Totiang ini jauh lebih
baik daripadaku.” Ia balas menjura dan berdiri memandang seperti orang termenung ketika nona itu membalikkan tubuh dan mempergunakan ilmu lari cepat melesat ke arah kota Lasha.
Kemudian ia menarik napas panjang dan mulai menggali tanah dengan. sepuluh
jari tangannya. Kalau saja Bi Hong berada di situ tentu gadis ini akan melongo keheranan melihat betapa jari tangan dapat dipergunakan seperti cangkul dan dapat membongkar tanah keras demikian mudahnya. Hanya seorang yang memiliki lweekang tinggi sekali yang mampu bekerja seperti itu.
Padahal kejadian ini tidak perlu mendatangkan keheranan kalau saja orang tahu bahwa pemuda ini, Yalu Sun namanya, adalah ahli waris tunggal dari ToTek Cinjin yang berjuluk Pek-kong Kiam-sian, tokoh sakti yang aneh jarang keduanya.
Biarpun di ibukota Tibet pada waktu itu sudah bukan merupakan pemandangan asing lagi kalau melihat orang-orang Han, namun sekiranya bukan pada hari itu Bi Hong memasuki Lasha, tentu ia akan menarik perhatian orang juga. Orang-orang Han yang terdapat di kota Lasha adalah orang-orang pria adapun wanitanya biarpun ada juga, yakni keluarga-keluarga para pendatang bangsa Han, namun jarang keluar dari rumah. Apalagi Bi Hong merupakan seorang gadis muda cantik dan gagah membawa-bawa pedang. Pasti menimbulkan kecurigaan.
Akan tetapi untung baginya, hari itu adalah hari istimewa. Hal ini dapat dilihat ketika ia memasuki pintu gerbang kota Lasha, selain dia juga banyak terdapat orang-orang Han, malah ada juga beberapa orang wanita tua yang nampaknya gagah dan orang- orang perantauan atau orang kang-ouw. Maka penjaga pintu gerbang juga tidak bercuriga kepoadanya, malah seperti terhadap para tamu bangsa Han yang lain, penjaga-penjaga itu menjura dengan hormat sambil mulutnya mengucapkan dalam bahasa Tibet. “Selamat datang di Lasha.”
Bi Hong dapat merasai keramaian ini maka ia lalu mengikuti orang-orang Han yang berbondong-bondong menuju ke suatu tempat. Di antara rombongan ini terdapat banyak pula orang-orang suku bangsa lain, akan tetapi semua kelihatan gagah dan orang-orang yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh.
Memang ada kejadian luar biasa di Lasha. Hari itu seorang tuan tanah kaya raya sedang merayakan pesta pernikahan seorang puterinya, dan selain tuian tanah kaya, dia juga seorang bangsawan yang menduduki pangkat tinggi. Karena calon mantunya adalah ahli silat, seorang murid Cheng-hoa-pai, tentu saja tamu-tamunya terdiri dari ahli-ahli silat dari barat dan timur, maka munculnya banyak orang kang-ouw di situ bukan soal yang mencurigakan.
Siapakah yang mengadakan pesta? Bukan lain ialah Yang Nam, bekas putera tuan tanah di Loka yang kini sudah menjadi seorang bangsawan di Lasha. Dan siapa mantunya? Dia adalah. Kalisang, pemuda kasar pemarah tapi gagah yang pernah
dijumpai Bi Hong dan suhengnya, ketika pemuda ini bertempur dengan Ga Lung Hwesio beberapa bulan yang lalu.
Siapakah sebetulnya pemuda gagah itu dan bagaimana dia bisa menjadi mantu Yang Nam? Untuk mengetahui semua ini, baiklah kita mundur dulu dan berkenalan dengan pemuda itu yang bernama Kalisang.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Wang Sin dan Ci Ying telah mendapat pertolongan tepat pada waktunya oleh Cheng Hoa Suthai ketika kedua orang muda itu terancam bahaya di tangan Ga Lung Hwesio dan kawan-kawannya. Kemudian mereka diajak oleh ketua Cheng-hoa-pai itu ke Heng-toan-san.
Wang Sin tidak dapat membantah lagi, pertama karena sudah timbul lagi kasih sayangnya yang dahulu kepada Ci Ying, kedua karena dia merasa kasihan dan berat untuk meninggalkan tunangannya, dan ketiga karena ada tekanan dari Cheng Hoa Suthai yang lihai. Malah ia tidak dapat membantah lagi ketika di Heng-toan-san ia dikawinkan dengan Ci Ying oleh partai itu.
Wang Sin hidup cukup senang di Heng-toan-san. Dia dan isterinya tinggal di lereng bukit dekat puncak, karena Cheng-hoa-pai yang tidak pernah mempunyai anggauta pria, merasa tidak enak kalau di situ terdapat seorang laki-laki. Akan tetapi biarpun tidak tinggal di tempat ketua Cheng-hoa-pai, hubungan antara mereka dengan Cheng Hoa Suthai amat dekat, malah Ci Ying dan Wang Sin dapat memperdalam ilmu silatnya di bawah petunjuk ketua itu sendiri.
Setahun setelah mereka menikah, Ci Ying melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Kalisang. Wang Sin dan Ci Ying adalah orang-orang Tibet asli, maka tentu saja anak mereka juga diberi nama Tibet, biarpun pakaian mereka dan bahasa mereka adalah bahasa Han karena mereka hidup di lingkungan Cheng-hoa-pai.
Cheng Hoa Suthai amat mencinta Kalisang yang dianggap sebagai cucunya sendiri. Malah nenek ini sendiri yang memberi gemblengan kepada Kalisang setelah bocah ini agak besar. Kalisang ternyata memiliki tubuh yang amat kuat, sayang kecerdasan otaknya sedang-sedang saja maka dalam hal ilmu silat, ia tidak bisa mewarisi kelihaian Cheng Hoa Suthai.
Betapapun juga, karena menjadi muridseorang pandai, ilmu silatnya sudah amat jauh kalau dibandingkan dengan ahli-ahli silat kebanyakan. Dia sudah menjadi seorang pemuda yang tangguh, kuat dan lihai ilmu silatnya. Semenjak masih kecil, sudah kelihatan nyata bahwa anak ini memiliki watak yang amat keras, akan tetapi jujur dan tidak kenal takut.
Ketika Kalisang berusia enam belas tahun, ibunya menceritakan pengalamannya dahuluketika masih menjadi budak di Loka. Bercerita tentang kekejaman tuan-tuan tanah dan tentang kesengsaraan para budak. Mendengar penuturan ibunya tentang pengalaman-pengalaman pahit getir yang dialami ayah bundanya, darah Kalisang mendidih dan dengan marah ia berkata keras.
“Ibu kenapa tidak kita sapu bersih saja anjing-anjing tuan tanah itu?” Ibunya tersenyum, girang melihat semangat puteranya.
“Sudah dilakukan oleh ayah bundamu, Kalisang.” Lalu ia berbicara tentang pembasmian terhadap tuan tanah dan begundal-begundalnya di Loka. “Sayang sekali putera tuan tanah yang bernama Yang Nam sudah pindah ke Lasha maka ia terluput dari hukuman.”
“Kenapa tidak disusul ke Lasha, ibu?” desak Kalisang.
Ci Ying menggeleng kepala. “Berbahaya sekali. Bahkan Suthai sendiri menyatakan terlalu berbahaya untuk menyerang ke Lasha. Di sana berkumpul pendeta-pendeta Lama yang sakti dan sukar dilawan.”
Setelah mendengar penuturan ibunya, beberapa malam Kalisang tidak dapat tidur. Ibu dan ayahnya adalah orang gagah. Dia sendiri putera tunggal mereka, masa ia akan berpeluk tangan saja melihat bahwa seorang musuh besar masih hidup enak-enak di Lasha?
Para pendeta Lama itu menurut ibunya juga merupakan pelindung-pelindung tuan tanah, jadi mereka juga jahat, perlu dibasmi. Kalau aku tidak memperlihatkan kepandaian dan menyerang ke Lasha, apakah pantas aku menjadi putera ayah ibu dan murid ketua Cheng-hoa-pai? Demikian pikirnya dan pada malam hari yang amat sunyi, pemuda ini diam-diam meninggalkan orang tuanya lalu melakukan perjalanan cepat ke Lasha untuk mencari Yang Nam dan kaki tangannya.
Demikianlah, dalam perjalanan ke Lasha, pemuda yang baru berusia enam belas tahun dan sudah memiliki keberanian luar biasa itu bertemu dengan Ga Lung Hwesio dan kawan-kawannya sehingga terjadi pertempuran dan ia ditolong Bi Hong dan Lee Kek Tosu. Karena wataknya yang keras dan sedikit memiliki kesombongan ibunya, Kalisang bersikap kasar terhadap Bi Hong dan melanjutkan perjalanannya ke Lasha dengan tabah, sedikitpun tidak gentar biar dia sudah tahu akan kelihaian para pendeta di Lasha.
Karena dia sendiri seorang Tibet, pandai berbahasa Tibet, maka gerak geriknya dan air mukanya sebagai orang Tibet banyak menolongnya, membuat ia dengan mudah dapat memasuki Lasha tanpa menimbulkan kecurigaan. Dengan mudah ia dapat menyelidik di mana tempat kediaman Yang Nam. Setelah mendapat tahu bahwa Yang Nam telah menjadi seorang pembesar di kota itu, ia sama sekali tidak takut dan pada suatu malam ia meloncat ke atas genteng dan mengunjungi gedung Yang Nam.
Malam itu terang bulan, akan tetapi di langit terdapat beberapa kelompok awan putih sehingga kadang-kadang bulan teraling awan. Mempergunakan kesempatan selagi puteri malam bersembunyi, Kalisang melompat tembok yang mengurung gedung besar itu, lalu melompat ke dalam.
Ternyata ia tiba di taman bunga di belakang gedung. Karena bulan muncul pula dari balik awan, ia cepat menyelinap di balik gerombolan pohon bunga, bersembunyi dan memperhatikan keadaan di situ. Benar-benar taman bunga itu indah sekali. Pelbagai macam bunga dari timur sengaja didatangkan dan ditanam di taman itu.
Sayup-sayup Kalisang mendengar suara orang di sebelah depan. Ia berindap-indap menghampiri dan alangkah kagetnya ketika ia melihat dua bayangan hitam melompat dari balik pohon dan langsung menyerbu ke depan di mana terdapat seorang nona muda bersama bujangnya.
Nona itu berpakaian indah dan wajahnya demikian cantik, membuat Kalisang melongo saking kagum dan herannya. Belum pernah Kalisang selama hidupnya melihat seorang gadis demikian cantiknya. Akan tetapi melihat gerak gerik dua bayangan itu, ia mengkhawatirkan keselamatan gadis itu dan bersiap-siap sedia untuk menolongnya.
Akan tetapi dua bayangan yang ternyata adalah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu, agaknya tidak bermaksud mencelakakan si gadis dan bujangnya. Mereka tidak mencabut senjata dan begitu tiba di situ, sebelum gadis dan bujangnya sempat berteriak, dua orang itu bergerak cepat dan gadis itu bersama bujangnya sudah ditotok roboh.
Seorang di antara mereka lalu memondong tubuh gadis cantik itu sambil berkata. “Nona jangan takut, kami hanya ingin menahan kau sebentar untuk minta uang tebusan kepada ayahmu yang kaya raya. Ha-ha-ha.” Dua orang itu setelah berhasil menculik gadis tadi, sambil tertawa-tawa hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba muncul Kalisang yang memegang pedangnya di tangan sambil membentak marah. “Anjing-anjing hina dina! Lepaskan nona itu!” Sambil berseru demikian ia sudah menyerang dengan pedangnya kepada orang yang memondong gadis tadi.
Bukan main kagetnya dua orang penculik itu. Mereka menyangka bahwa yang muncul tentulah kaki tangan tuan tanah atau pembesar pemilik gedung. Mereka cukup maklum bahwa di tempat ini mereka tidak boleh main-main. Sekali perbuatan mereka ketahuan, akan celakalah mereka karena banyak terdapat pendeta-pendeta yang pandai.
“Angin ribut, lari!” bentak orang kedua sambil menarik tangan kawannya. Orang yang memondong gadis tadi juga tahu diri. Kalau sudah ketahuan, tidak mungkin mereka bisa membawa pergi gadis yang diculiknya. Dengan marah ia lalu melontarkan tubuh gadis itu ke arah pemuda yang sedang menyerangnya.
Kalisang terkejut. Ditariknya kembali pedang yang sudah ia serangkan, lalu cepat tangan kirinya diulur untuk menjambret baju gadis itu sehingga tidak terbanting jatuh. Akan tetapi ketika ia sudah menurunkan gadis itu ke tanah, dua orang penjahat tadi sudah lari menghilang di luar tembok. Kalisang tidak mengejar melainkan cepat ia membebaskan gadis itu dan pelayannya dari totokan.
Begitu terbebas dari totokan, gadis itu tertawa manis dan memandang kepada Kalisang dengan sinar mata penuh kekaguman. Sama sekali ia tidak kelihatan takut. “Ah, kau gagah sekali, telah bisa mengusir penjahat dan membebaskan totokan. Entah bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu!” katanya.
Berdebar aneh jantung Kalisang melihat gadis itu tertawa begitu manisnya dengan sinar mata berseri-seri menatap wajahnya. Ia tiba-tiba menjadi bingung dan kikuk. “Aku..... aku. hanya kebetulan melihat kejahatan itu, mana bisa aku
mendiamkannya saja? Sayang mereka keburu pergi, kalau tidak, belum puas hatiku sebelum memenggal leher mereka. Bedebah-bedebah itu!”
“Kau memang hebat! Siapa namamu dan. eh, bibi, di mana kau? Lekas beritahukan
ayah!” Nona itu menengok dan melihat pelayan masih berjongkok sambil gemetar seluruh tubuhnya, ia tertawa. “Penjahat-penjahat sudah pergi, kenapa kau masih ketakutan?”
16. Syarat Ikatan Jodoh.
Pelayan-pelayan itu menunjuk kepada Kalisang yang membawa pedang dengan menggigil ketakutan. “Bibi yang bodoh, tuan muda ini adalah penolong kita, kau mau samakan dia dengan orang-orang jahat? Hayo pergi beritahukan ayah!”
Setelah berkata demikian, dengan ramah dan tanpa malu-malu lagi gadis itu menarik tangan Kalisang. “Akupun pernah belajar silat, akan tetapi tidak tahu tentang ilmu menotok. Kau bisa membebaskan totokan tadi, tentu kau pandai ilmu menotok!” Sifat gadis itu masih kekanak-kanakan akan tetapi polos dan amat ramah, sungguh membuat Kalisang tercengang girang, dan juga jengah. “Kakakku yang gagah, aku bernama Kiang, siapakah kau? Dan kau malam-malam datang ke sini benar-benar amat kebetulan sekali. Kau dari mana, putera siapa?”
Kalisang terpaksa duduk di atas bangku ke mana gadis itu menariknya. Setelah menyimpan pedangnya, ia lalu berkata, suaranya agak gemetaran.
“Namaku Kalisang, aku..... aku. ”
Gadis itu bersorak girang. “Sudah kuduga. Kau tentu bangsaku sendiri, biarpun pakaianmu seperti orang Han, akan tetapi mukamu adalah muka bangsaku. Ah, aku girang sekali, Kalisang. Baru sekarang aku melihat seorang pemuda bangsa kita yang gagah. Biasanya, yang pandai ilmu silat hanyalah pendeta-pendeta Lama yang berwajah buruk dan sudah kakek-kakek.”
Kembali gadis itu tertawa dan sekali lagi jantung pemuda itu berjungkir balik dalam dadanya. Dalam pandang matanya, gadis ini cantik sekali, manis dan menarik hati sikapnya yang lincah jenaka dan peramah. Di Lain saat, semua maksud hatinya yang membawanya ke kota Lasha, telah dilupakan sama sekali.
Di lain saat, pemuda yang keras hati dan berani ini sudah duduk di atas bangku, sejajar dengan nona yang mengaku bernama Kiang itu dan bicara ke barat ke timur dengan asyiknya seperti dua orang sahabat baik, bicara tentang ilmu silat. Si nona tersenyum-senyum dan Kalisang berseri wajahnya.
Tak lama kemudian dari dalam gedung terdengar suara ribut-ribut dan muncullah banyak orang menuju ke taman bunga. Yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki setengah tua berpakaian indah seperti seorang pembesar, diikuti oleh seorang wanita cantik yang bermuka agak pucat seperti orang dalam kegelisahan. Di belakang mereka, dengan toya-toya besar di tangan berjalan beberapa orang pendeta Lama dan di belakang sekali ada belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti ahli-ahli silat, mereka ini adalah tukang pukul.
“Anakku. ” Wanita cantik itu berseru girang ketika melihat nona Kiang sedang
duduk mengobrol dengan seorang pemuda dan berada dalam keadaan sehat.
Tadi ia gelisah bukan main ketika mendengar laporan pelayan bahwa di taman datang orang-orang jahat yang hendak menculik nonanya. Sebelum pelayan itu bercerita lebih lanjut, Yang Nam pembesar yang menjadi ayah nona itu, bersama isterinya dan dilindungi oleh pendeta-pendeta kosen dan kaki tangannya, segera berlari-lari ke taman bunga.
Melihat anaknya sehat dan tidak apa-apa, nyonya itu memeluk dan menangis kegirangan. Juga Yang Nam kelihatan girang sekali. Dalam pernikahannya dengan puteri Lasha itu, dia hanya mempunyai seorang anak, malah dari selirnya ia tidak mempunyai lain anak. Maka kasih sayangnya terhadap Yang Kiang, puterinya itu, luar biasa besarnya.
“Ayah, ibu. dia ini Kalisang, dialah yang menolong aku dan mengusir dua orang
penjahat yang menculikku tadi. Penjahat-penjahat itu hendak menculikku dan minta uang tebusan dari ayah. Baiknya dia ini, eh, kakak Kalisang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, datang mengusir mereka.”
Dengan sikapnya yang lincah dan suaranya yang ramai gadis ini lalu menceritakan pengalamannya tadi. Wajah Kalisang menjadi merah karena dalam penuturannya itu gadis itu melebihkan secara keterlaluan dan memuji-mujinya setinggi langit.
Yang Nam memandang kepada Kalisang dengan wajah berseri. Biarpun dia seorang berpangkat dan hartawan besar, juga jauh lebih tua dari pada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu telah menolong puterinya, ia tidak ragu-ragu lagi menjura dengan hormat dan berkata.
“Budi tuan penolong yang besar takkan dilupakan oleh aku Yang Nam dan keluargaku ”
Baru saja dia menyebutkan namanya, tiba-tiba wajah Kalisang berubah pucat dan seperti kilat cepatnya pemuda ini mencabut pedangnya lalu berteriak. “Kau bernama Yang Nam? Bagus! Hari ini sakit hati ayah Wang Sin dan ibu Ci Ying terbalas.
Siaplah untuk mati!”
Ia lalu menyerang dengan tusukan dahsyat ke arah dada pembesar itu. Serangan itu demikian cepatnya sehingga para pendeta dan tukang pukul yang mengiringkan Yang Nam dan tidak menduga jelek, tidak keburu melindungi tuan mereka. Akan tetapi, Yang Nam bukanlah orang lemah.
Semenjak mudanya ia sudah belajar ilmu silat, maka begitu mendengar bentakan pemuda itu dan melihat berkelebatnya pedang, ia sudah membanting tubuhnya ke kanan. Ia lolos dari serangan akan tetapi terhuyung-huyung karena terlalu keras ia membanting diri. Kalisang mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar jerit dan Yang Kiang telah berlari, menghadangnya. Gadis itu dengan muka pucat memandangnya, mengangkat dada dan berkata.
“Kakak Kalisang, kau tidak boleh membunuh ayah!” teriaknya dengan mata terbelalak.
Menghadapi Yang Kiang, Kalisang menjadi lemas. “Dia. dia musuh besar ayah ibuku!” jawabnya.
“Tidak.... tidak kalau kau memaksa, lebih baik kau bunuh aku lebih dulu. Marilah,
kau bunuh aku lebih dulu!” tantang gadis itu dengan air mata bercucuran.
Kalisang terpukul hatinya. Begitu bertemu dengan gadis ini, semangatnya terbetot dan setelah tadi mengobrol dengan senangnya ia sudah jatuh hati. “Aku. aku tidak bisa
membunuhmu..... melukaimu saja aku tidak mau. ”
“Kakak Kalisang, apakah. apakah kau suka kepadaku?” Ditanya secara terang-terangan didepan orang banyak, wajah Kalisang menjadi merah sekali. Akan tetapi dia seorang pemuda yang berani, jujur dan tidak peduli akan orang lain. Ia mengangguk.
“Aku suka padamu, nona Kiang!”
“Kalau begitu, jangan kau bunuh ayahku. Kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri dan setanku akan selalu mengejar-ngejarmu selama kau hidup.”
Kalisang menjadi pucat mendengar ini. “Tidak..... tidak. ”
“Berjanjilah, kau takkan membunuh ayahku. Hayo, berjanjilah, baru aku senang dan suka padamu.” Gadis itu mendesak sambil memegang kedua tangan pemuda itu.
“Aku berjanji. ” Kalisang menundukkan kepalanya. Betapapun besar semangatnya
untuk membunuh musuh-musuh ayah bundanya, menghadapi gadis ini, mati kutunya.
Sementara itu, para pendeta dan tukang pukul yang tadi melongo dan kaget sekali melihat sikap pemuda itu, putera Wang Sin dan Ci Ying, lebih heran melihat sikap puteri majikan mereka terhadap pemuda itu. Sekarang mereka sadar dari kaget dan heran, maka serentak maju dengan sikap mengancam sambil menggerakkan senjatanya.
“Bagus, bocah setan. Jadi kau anak dari pemberontak Wang Sin dan Ci Ying? Syukur kau sudah datang, tak usah kami mencari jauh-jauh!” bentak seorang pendeta yang cepat menggerakkan toyanya memukul kepala Kalisang. Pemuda itu cepat menangkis dengan pedangnya, namun tetap saja ia mundur tiga langkah karena pukulan toya itu ternyata mengandung tenaga yang hebat sekali.
Diam-diam Kalisang terkejut dan maklum bahwa ia berada dalam bahaya besar. Baru seorang pendeta saja sudah begini kuat, apalagi di situ banyak terdapat pendeta- pendeta Lama dan tukang-tukang pukul, kalau mereka itu maju semua, celakalah ia.
Tiba-tiba Yang Kiang menarik tangan Kalisang dan dia sendiri berdiri di depan Kalisang, melindungi pemuda itu.
“Mundur semua! Mundur kalian, jangan mengganggu dia seujung rambutpun!” Dengan kedua mata terbelalak gadis itu dengan sikap gagah melindungi Kalisang. Tentu saja pendeta kaki tangan tuan tanah menjadi kaget dan tidak berani turun tangan terhadap puteri majikan mereka itu.
Karena bingung tidak tahu harus berbuat apa, mereka hanya bisa memutar tubuh dan memandang kepada Yang Nam minta keputusan. Juga Yang Kiang kini menatap wajah ayahnya, sinar matanya penuh permohonan akan tetapi agak menantang.
Memang anak ini semenjak kecil dimanja sekali sehingga ia tidak takut ayah bundanya.
Yang Nam adalah seorang cerdik. Ia maklum bahwa anaknya jatuh hati kepada pemuda itu. Dia sendiri sejak tadi memandang Kalisang dan di dalam hatinya ia harus mengakui bahwa Kalisang adalah seorang pemuda Tibet yang gagah dan tampan, jarang dicari bandingannya di Lasha.
Kalau aku mengambil dia sebagai mantu, pikirnya, tentu aku akan terbebas dari pada ancaman dari pihak Wang Sin dan Ci Ying. Selama ini ia selalu ketakutan karena maklum bahwa dua orang itu tentu akan mencarinya. Akhirnya ia mengambil keputusan dan ia tertawa bergelak, mengherankan semua orang.
“Kalisang bagus sekali bahwa kau adalah putera Wang Sin dan Ci Ying. Kau tahu, diwaktu masih kecil, dua orang tuamu adalah kawan-kawanku bermain-main. Ha-ha- ha, sekarang mereka sudah mempunyai putera begini gagah. Bagus, kita orang-orang sendiri, mari, nak. Mari kita masuk ke dalam dan bercakap-cakap.”
Ia lalu membubarkan semua pendeta dan kaki tangannya, lalu digandengnya sebelah tangan Kalisang. Karena pemuda itupun digandeng sebelah tangannya oleh Yang Kiang, ia tidak berani melawan. Apalagi ia terheran-heran melihat sikap Yang Nam dan diam-diam dia merasa ragu-ragu apakah orang yang begini ramah, ayah dari seorang gadis seperti Yang Kiang, bisa menjadi seorang jahat.
Demikianlah, dengan bujukan dan kata-kata manis dari Yang Nam, dan terutama sekali karena hatinya sudah jatuh betul-betul kepada Yang Kiang, akhirnya Kalisang menerima ikatan jodoh antara dia dan Yang Kiang.
“Dalam hal ini, aku harap Taijin (panggilan untuk pembesar) suka memberitahukan kepada ayah dan ibu,” katanya.
“Tentu saja, tentu saja. Bahkan gurumu Cheng Hoa Suthai yang mulia, akan kukirim undangan.”
Segera Yang Nam menulis surat kepada Wang Sin dan pemuda itupun menulis surat kepada ayah bundanya, menceritakan semua pengalamannya. Pendeta-pendeta pandai dikirim ke Cheng-hoa-pai membawa surat itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya Wang Sin membaca surat ini. Akan tetapi setelah berunding masak-masak dengan isterinya, ia menghela napas dan berkata.
“Kalau dipikir-pikir, belum tentu Yang Nam jahat seperti ayahnya. Dahulu itu adalah di masa ia masih muda, karena terlampau dimanja, mungkin ia ketularan sifat ayahnya. Sekarang setelah menjadi orang tua, agaknya ia berubah sikapnya. Kalau ia jahat, mana ia sudi mengambil mantu anak kita?”
Ci Ying mengangguk-angguk. “Betapapun juga, kita harus mengajukan syarat.” Setelah mereka berunding, suami isteri ini mengajukan syarat bahwa ikatan jodoh mereka setuju asal Yang Nam mau berjanji untuk memperbaiki nasib kehidupan semua budak di Tibet.
Yang Nam menerima syarat ini dan berjanji akan membujuk pemerintahnya untuk melindungi nasib para budak. Surat menyurat antara mereka ini terjadi berbulan-bulan dan akhirnya ditetapkan hari kawinnya dan pada hari pernikahan itu, suami isteri Wang Sin dan Ci Ying akan datang ke Lasha, bahkan Cheng Hoa Suthai juga akan datang berkunjung. Ga Lung Hwesio dan kawan-kawannya yang bertemu dengan Bi Hong di tengah jalan, adalah utusan terakhir yang pergi untuk menyambut suami isteri itu dari Heng- toan-san. Akan tetapi Wang Sin menyuruh mereka pulang lebih dulu dan berjanji akan segera menyusul bersama isterinya dan ketua Cheng-hoa-pai.
Tentu saja ia tidak mau melakukan perjalanan bersama para pendeta Lama. Hal ini tidak enak bagi ketua Cheng-hoa-pai. Maka pertempuran di tengah jalan itupun tidak diketahuinya.
******
Kita kembali mengikuti perjalanan Bi Hong yang berhasil memasuki kota Lasha dan bersama orang-orang yang hendak bertamu pada pesta pernikahan di gedung Yang Nam ia menuju ke tempat keramaian itu. Ditelan dalam gelombang manusia yang menjadi tamu, Bi Hong juga ikut masuk ke ruangan depan gedung.
Dia sengaja masuk ke situ ketika melihat betapa di tempat keramaian ini penuh dengan pendeta-pendeta Lama yang menduduki tempat tersendiri di pojok kiri. Tentu di antara mereka terdapat musuh besarnya, Thu Bi Tan, pikirnya.
Para penyambut juga menyambut tanpa curiga dan mempersilakan duduk di antara tamu-tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw. Kebetulan sekali Bi Hong duduk di dekat seorang wanita tua, maka tanpa membuang banyak waktu lagi ia lalu mengajak wanita itu berbicara. Dengan pandai gadis ini mengaku sebagai puteri seorang penjual obat keliling dan ia menanyakan kepada wanita itu apakah di antara para hwesio yang hadir ada yang bernama Thu Bi Tan Hwesio. Wanita tua itu nampak kaget.
“Thu Bi Tan losuhu? Tentu saja ada. Dia seorang di antara Su Thai Losu di sini, seorang pendeta lama yang memiliki kedudukan besar. Masa ia tidak hadir?”
Dengan sikap menghormat nenek ini menunjuk ke arah seorang hwesio, tua tinggi besar yang duduk di deretan paling muka. Di deretan ini duduk empat orang hwesio tua, kesemuanya mengenakan jubah pertapaan yang indah, memakai topi hwesio dan memegang tongkat-tongkat besar, sikap mereka agung dan angker.
Melihat musuh besarnya duduk di situ, Bi Hong yang sudah berbulan-bulan menyimpan dendam, menjadi panas hatinya dan tidak dapat menahan sabar lagi. Apalagi kalau ia ingat betapa twa-suhengnya juga sampai tewas dalam usaha membalas dendam. Ia menjadi nekad dan tidak memperdulikan segala apa lagi. Dengan cepat ia melompat ke tengah ruangan dan di lain saat ia sudah menghadapi Thu Bi Tan Hwesio.
“Apakah kau yang bernama Thu Bi Tan Hwesio?” tanyanya dalam bahasa Tibet.
Hwesio itu terkejut dan heran, akan tetapi sebagai seorang yang mempunyai kedudukan tinggi ia hanya tersenyum dan menjawab tenang. “Benar dan kau ini anak siapa dan apa kehendakmu?” Semua tamu kaget bukan main melihat ada seorang gadis muda begini berani mati bersikap tidak sopan terhadap guru besar itu. Apalagi ketika mereka mendengar suara gadis itu nyaring berseru.
“Thu Bi Tan, aku datang dari tempat yang ribuan lie jauhnya sengaja hendak mencarimu dan menantangmu. Berdirilah dan mari kita bertempur untuk membereskan perhitungan lama!”
Thu Bi Tan menjadi marah. Gadis ini benar-benar kurang ajar, pikirnya. Orang mencari dia untuk bertempur, inilah tidak aneh dan sudah ratusan kali ia menghadapi musuh. Akan tetapi gadis begini muda, pula menantangnya di depan ratusan orang, dalam tempat pesta pula, benar-benar keterlaluan. Ia membanting ujung tongkatnya di lantai dan bangkit berdiri dengan mata melotot.
Pada saat itu Yang Nam buru-buru lari menghampiri dan menjura kepada Thu Bi Tan. “Mohon losuhu suka mengalah dan bersabar demi mengingat saat bahagia ini.” Hwesio itu mengangguk.
Kemudian tuan rumah itu memutar tubuhnya memandang Bi Hong. Ia tercengang melihat kecantikan gadis yang masih muda ini. “Nona, apa maksudmu membikin ribut dan mengacau tempat pesta kami?” tegurnya.
Bi Hong menjadi malu hati. Ia memang tidak tahu siapa Yang Nam, tidak tahu bahwa sebetulnya yang berdiri di depannya juga musuh besar ayahnya ketika dahulu.
Ia balas menjura dan berkata, “Harap tuan maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya adalah tamu yang tak diundang dan kedatanganku bukan menjadi tamu, melainkan untuk mencari hwesio ini. Setelah bertemu, aku menantangnya dan ini merupakan urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut paut dengan tuan atau orang lain. Kurasa Thu Bi Tan Hwesio yang sudah berani membunuh-bunuhi orang, tidak akan takut menghadapi tantanganku sebagai akibat dosa-dosanya.”
Thu Bi Tan marah bukan main. “Siluman betina, kau siapa dan apa sebabnya kau berani kurang ajar kepada pinceng?”
“Hemm, hwesio jahat, Ingatkah kau belasan tahun yang lalu ketika kau menyerbu Kun-lun-san dan membunuh beberapa orang tokoh Kun-lun-pai?”
Hwesio itu tertawa bergelak. Ha-ha-ha, kukira siapa, tidak tahunya hanya seorang budak Kun-lun. Ha-ha-ha, bocah andaikata To Gi Couwsu sendiri yang datang mencari pinceng, akupun tidak takut. Apalagi kau!”
“Majulah, biar aku mengadu nyawa denganmu!” bentak Bi Hong.
Yang Nam berkata perlahan. “Losuhu, harap jangan merusak suasana pesta. Tidak boleh ada pertempuran di ruang ini.”
“Yang-taijin, biar pinceng membereskan pengacau cilik ini di luar. He, bocah! Kalau kau memang hendak berkenalan dengan kelihaian Thu Bi Tan, mari keluar!” Dengan langkah tegap dan sikap gagah, Bi Hong mendahului hwesio itu keluar ke halaman depan rumah gedung itu. Di halaman depan tadinya banyak orang menonton keramaian, sekarang mereka mundur keluar karena takut.
Bi Hong menanti musuhnya besarnya di tengah halaman yang luas, pedangnya sudah berada di tangannya. Ia maklum bahwa musuhnya tentulah orang pandai, akan tetapi ia sudah nekad hendak membalas dendam, sama sekali tidak takut.
Bi Hong memandang penuh kebencian kepada hwesio yang sudah membunuh kong- kongnya, supek-couwnya, dan yang sudah menjadi gara-gara kematian ibunya itu, begitu melihat hwesio itu sudah datang di depannya, segera ia membuka serangan sambil membentak. “Jahanam, lihat pedang!”
Tadinya Thu Bi Tan Hwesio tentu saja memandang rendah kepada nona muda ini. Biarpun murid Kun-lun-pai, kalau hanya seorang gadis muda, sampai dimanakah kepandaiannya maka berani melawan dia? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan kematian Ga Lung Hwesio yang katanya juga diserang oleh seorang nona muda, maka ia membentak.
“Tahan dulu! Apakah pembunuhan terhadap Ga Lung Hwesio baru-baru ini dilakukan olehmu?”
Bi Hong tertawa. “Betul, dan sekarang aku akan mengirim kau menyusul setan Ga Lung Hwesio!”
Thu Bi Tan kaget dan juga marah sekali. Kalau sudah dapat mengalahkan murid keponakannya itu maka kepandaian nona ini tidak boleh dipandang ringan. Ia membentak keras dan toyanya bergerak cepat, namun Bi Hong tidak gentar. Dengan lincah ia mengelak lalu balas menikam sehingga dilain saat mereka sudah terlibat dalam pertempuran yang hebat.
Dalam mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai, To Gi Couwsu menyesuaikan ilmu dengan bakat pada di Bi Hong, maka gadis ini menerima sari pelajaran “lembek” yang mendasarkan kelincahan dan kelemasan, berpegang kepada huikang (lweekang) yang mengutamakan kehalusan dan meminjam tenaga lawan. Sedangkan lawannya, Thu Bi Tan Hwesio adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga dahsyat sekali.
Maka Bi Hong dapat menghadapi lawannya ini dan setiap kali toya menyambar yang tak dapat dielakkan lagi, pedangnya lalu menempel toya lawan dan mencuri tenaga serangan lawan untuk balas menyerang. Thu Bi Tan beberapa kali kaget sekali karena toyanya yang diserangkan dengan tenaga sepenuhnya, seperti amblas dan hilang bertemu dengan tenaga yang menghisap, malah tiba-tiba pedang lawan muda yang menempel toyanya dapat menyelinap dari bawah toya dan melakukan serangan mendadak.
Ia kaget sekali karena tidak pernah disangkanya bahwa lawan semuda ini ternyata sudah memiliki kepandaian tinggi dan kecerdikan seorang ahli. Akan tetapi, Thu Bi Tan sudah berpengalaman, jauh lebih berpengalaman kalau dibandingkan dengan Bi Hong. Segera ia dapat melihat bahwa biarpun ilmu pedang gadis itu lihai dan cepat, namun tenaganya kurang dan gerakannya biarpun sempurna kurang terlatih sehingga masih kurang isi. Kalau ia mendesak dengan ujung toyanya dibarengi pukulan ujung lengan bajunya yang kiri, ia percaya akan dapat menjatuhkan gadis ini dalam waktu yang tidak berapa lama.
“Bocah, lihatlah kelihaian kakekmu!” Sambil berkata demikian, hwesio itu mengubah gerakan toyanya, kini dimainkan dengan tangan kanan, diputar cepat seperti kitiran angin menahan semua serangan pedang sedangkan tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang itu lalu menotok-notok ke arah jalan darah di bagian tubuh yang berbahaya.
Sekejap saja keadaan berubah. Kalau tadi mereka masih saling serang, sekarang keadaan Bi Hong terdesak sekali. Gadis itu merasa betapa pedangnya menghadapi dinding baja yang amat kuat, yang dibentuk oleh putaran toya lawan, sedangkan serangan ujung baju yang kadang-kadang menyambar dari balik dinding baja ini benar-benar membuat ia repot kewalahan sekali. Pada saat yang malang baginya, ujung lengan baju itu berhasil menotok pergelangan tangan kanannya, disusul sambaran kaki ke arah lututnya.
Bi Hong mengeluarkan keluhan tertahan, pedangnya terlepas jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan biarpun ia sudah meloncat untuk menghindarkan sambaran kaki ke arah lututnya yang akan mencelakakannya, tidak urung betisnya kena ditotol ujung sepatu dan ia roboh terguling.
Sementara itu, para tamu yang terdiri dari ahli-ahli silat yang sudah memburu keluar dan menonton pertandingan. Bahkan Yang Nam dan Kalisang juga terdapat di antara mereka.
Kalisang yang melihat bahwa gadis yang mengacau adalah gadis yang dulu menolongnya ketika ia menghadapi Ga Lung Hwesio, diam-diam terkejut dan berkhawatir sekali. Sekarang melihat gadis itu roboh dan Thu Bi Tan hendak mengirim pukulan maut, ia lupa diri dan melompat ke depan.
“Thu Bi Tan Losuhu, jangan bunuh dia!” Ia lalu menghampiri Bi Hong dan berkata halus.
“Nona, Thu Bi Tan Losuhu amat lihai bukan lawanmu. Harap kau tahu diri dan mundur. Betapapun juga kau takkan menang. Lebih baik hilangkan semua permusuhan dan kau menjadi tamu kami yang terhormat. Untuk apa menanam permusuhan dan saling mendendam?”
Bi Hong adalah seorang gadis yang tidak mengenal takut. Ia sudah melompat berdiri lagi. Betisnya mengucurkan darah akan tetapi hanya terasa sakit, tidak merupakan luka berat. Cepat ia menyambar pedangnya kembali dan ia membentak.
“Siapa membutuhkan pertolonganmu? Manusia sombong, menyingkirlah kau. Aku belum mati, berarti belum kalah!” Bi Hong menggunakan kata-kata Kalisang sendiri yang marah-marah ketika dahulu ia tolong bersama suhengnya. Merah wajah Kalisang. “Nona, kau takkan menang!”
“Huh! Begitu anggapanmu? Lihat!” Secepat kilat gadis yang nekad ini sudah menyerang lagi kepada Thu Bi Tan Hwesio. Terpaksa Kalisang menarik napas panjang dan mundur. Bi Hong terheran melihat pemuda itu berada di situ dan berpakaian sebagai mempelai, akan tetapi ia tidak perduli akan hal itu dan menyerang makin hebat pada musuh besarnya.
“Ho-ho-ho, siluman cilik. Kau benar-benar sudah bosan hidup,” bentak Thu Bi Tan Hwesio dan menggunakan siasatnya seperti tadi. Sebentar saja Bi Hong kembali terdesak, malah lebih hebat lagi karena luka kecil di betisnya sedikitnya memperlambat gerakan kakinya.
Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, ia tidak dapat mengelak lagi ketika ujung lengan baju hwesio itu menotok pundak kirinya. Bi Hong terhuyung mundur, wajahnya pucat. Ia tahu bahwa sambungan tulang pundak kirinya terlepas. Akan tetapi sambil menggigit bibir menahan sakit ia maju lagi mengirim serangan maut. Diam-diam Thu Bi Tan Hwesio terkejut dan kagum.
Bocah ini benar-benar ulet dan nekad, kalau tidak segera dirobohkan bisa mendatangkan kekacauan hebat, pikirnya. Maka kedua tangannya bekerja makin cepat, tangan kirinya mengirim totokan-totokan ke arah jalan darah yang mematikan.
Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi nyaring yang diucap seperti orang bersajak.
“Yang terlembut,
dapat menembus yang terkeras. Yang tak berujud,
dapat memasuki benda berujud Karena ini diketahui bahwa, tidak bertindak ada gunanya.
Mengajar tanpa berkata. Berguna tanpa bertindak.
Di kolong langit jarang yang mencapainya!”
Inilah kata-kata dalam kitab To-tek-keng, kitab para tosu penganut agama To. Dasar pelajaran ilmu silat dari Kun-lun-pai memang berhubungan erat dengan pelajaran Agama To, karena sebagian besar guru besarnya adalah pendeta-pendeta To. Maka ilmu pedang Kun-lun-pai juga intisarinya diambil dari sajak-sajak dan kitab-kitab suci agama To. Tentu saja bagi orang lain sajak itu tidak ada artinya untuk ilmu silat, akan tetapi tidak demikian bagi Bi Hong.
17. Kepergian Pahlawan Jantan Para Budak.
Gadis ini semenjak kecil hidup di Kun-lun-pai di antara para tosu, tentu saja ia hafal akan isi kitab-kitab sucinya. Mendengar ini sadar dan tahu bagaimana harus menghadapi keganasan lawannya. Terbukalah matanya sejak tadi ia memang salah siasat. Ia dibikin bingung oleh terputarnya toya di tangan kanan lawannya, toya yang diputar-putar seperti kitiran yang mengeluarkan angin mengaung seakan-akan harimau hendak menerkam. Sejak tadi pedangnya selalu sibuk ia pergunakan untuk menghadapi dinding baja dari tosu itu, maka pertahanannya terhadap serangan totokan ujung lengan kiri lawannya menjadi amat lemah.
Setelah mendengar suara itu, tiba-tiba Bi Hong mengubah ilmu silatnya. Kalau tadi ia menggunakan delapan puluh prosen dari tenaga dan perhatiannya untuk menghadapi toya dan hanya dua puluh prosen untuk menghadapi tangan lawan sekarang tiba-tiba ia balik.
Ia hampir tidak perdulikan gerakan toya lawan itu dan mencurahkan semua kegesitan dan perhatiannya kepada lengan baju itu. Ia menggerakkan pedang dengan cepat ketika lengan baju menyambar dan pada saat yang tepat, pedangnya berkelebat menembus tangan kiri lawannya.
“Celaka. !” Thu Bi Tan Hwesio mengeluh dengan kaget sekali. Cepat-cepat ia
menarik lengan kirinya dan biarpun ia dapat menyelamatkan pergelangan tangannya, tidak urung jari kelingking tangan kirinya terbabat putus berikut ujung lengan bajunya.
Bi Hong girang sekali melihat hasil serangannya dan ia mendesak hebat. Luar biasa sekali ilmu silat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Kalau tadi Bi Hong terdesak hebat, sekarang hanya karena melihat cara-caranya sendiri yang keliru dan dapat mengubah, dalam sedetik saja ia sudah dapat menebas putus kelingking kiri lawan dan balas mendesaknya dengan hebat sekali.
Thu Bi Tan Hwesio bukan orang bodoh. Ia cepat dapat menenangkan hatinya yang kaget dan cepat ia mengubah ilmu silatnya. Kini toyanya tidak hanya diputar melindungi diri seperti tadi, melainkan diputar untuk menyerang, malah ia menggunakan kedua tangan untuk memutarnya.
Makin lama lingkaran toya makin luas dan angin menyambar makin hebat. Toya itu sudah berputar-putar seperti sebuah roda besar yang hendak menggilas hancur tubuh gadis itu.
Bi Hong kaget sekali dan kembali keadaan berubah. Ia terdesak hebat dan sibuk sekali menangkis gulungan sinar toya yang menindihnya itu. Makin lama ia makin mundur dan jalan keluar makin sempit.
Akan tetapi suara seperti tadi terdengar lagi. “Tiga puluh ruji berpusat pada roda. Dari tanah lempung membuat jembangan. Pada tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!”
Kata-kata inipun adalah ayat-ayat dari kitab To-tek-kheng yang menunjukkan bahwa pada kekosongan itulah terletak kegunaannya, karena apa artinya roda kalau hanya ada lengkungannya di luar? Juga jembangan takkan ada artinya kalau tidak ada “kekosongan” di dalamnya. Bagi orang lain sajak ini tidak ada artinya, namun bagi Bi Hong berarti sekali. Tadi ia sibuk menghadapi ilmu toya yang diputar-putar merupakan lingkaran-lingkaran besar yang menutup semua jalannya, akan tetapi begitu mendengar ini, ia segera teringat bahwa ia terlampau memperhatikan gulungan sinar toya yang melingkar-lingkar.
Begitu mendengar sajak itu, Bi Hong cepat menggerakkan pedang dan menyerang hebat ke arah tengah-tengah lingkaran.
Thu Bi Tan Hwesio terkejut sekali. Ia mengeluarkan teriakan kaget dan marah, namun tetap saja ujung pedang Bi Hong berhasil melukai pangkal lengannyasehingga mengeluarkan banyak darah. Setelah dua kali melihat bahwa sajak-sajak itu ternyata membantu Bi Hong, hwesio ini terperanjat dan kemarahannya memuncak.
“Bangsat, kau dulu kubikin habis!” Ia melompat dan menyerang seorang pemuda yang berdiri di antara para penonton. Pemuda itu bukan lain adalah Yalu Sun dan melihat hwesio menerjang keluar, para penonton menjadi geger, dan cepat-cepat lari mundur.
Pada saat itu, dari luar datang tiga orang tamu. Begitu toya Thu Bi Tan Hwesio menyambar, Yalu Sun melangkah mundur. Hwesio yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikan apa-apa lagi, toyanya terus menghantam dan hampir saja mengenai kepala seorang nenek tua.
Dengan senyum mengejek nenek ini tenang-tenang saja mengangkat tangan kiri dengan dua jari terbuka, dijepitnya toya itu dan dilain saat Thu Bi Tan Hwesio sudah teruyung ke belakang sampai lima tindak ketika toyanya didorong oleh nenek itu.
Semua orang terheran-heran, akan tetapi tanpa memperdulikan sesuatu nenek itu terus berjalan masuk, diikuti oleh dua orang yakni sepasang suami isteri yang setengah tua dan nampaknya gagah sekali.
“Ayah .... ibu. !’ Kalisang menyambut dan pihak tuan rumah juga juga buru-buru
menyambut. Nenek itu ternyata Cheng Hoa Suthai ketua dari Cheng-hoa-pai. Thu Bi Tan Hwesio juga mengenalnya maka ia menjura dan berkata.
“Harap suthai sudi memaafkan karena tadi dalam mengejar seorang bangsat pinceng hampir kesalahan tangan.”
Akan tetapi Cheng Hoa Suthai tidak meladeninya dan duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Yang Nam maju dan menyambut Wang Sin dan Ci Ying dengan ramah tamah sekali.
Akan tetapi sebelum tamu baru ini sempat bercakap-cakap, tiba-tiba Thu Bi Tan Hwesio sudah berseru marah dan menyerang lagi pemuda yang masih berdiri di situ dengan senyum tenang. Serangannya hebat mengarah kepala, akan tetapi lebih hebat lagi sambutan pemuda itu.
Dengan tangan kiri ia menyambut toya, ditangkapnya lalu digentakkan ke kiri. Tubuh Thu Bi Tan Hwesio terbawa dan terguling roboh. Pada saat itu, Bi Hong sudah melompat maju dan sekali pedangnya disabetkan, leher Thu Bi Tan Hwesio sudah putus. Suami isteri yang datang bersama Cheng Hoa Suthai tadi adalah Wang Sin dan Ci Ying. Mereka dengan bingung memandang Bi Hong. Wajah Wang Sin menjadi agak pucat dan Ci Ying juga memandang dengan mata terbelalak.
Tangannya otomatis menyentuh lengan suaminya, dan biarpun keduanya tidak mengucapkan sepata perkataan, hati mereka sama-sama terkejut melihat seorang gadis yang wajahnya serupa benar dengan wajah Ong Hui. Siapakah gadis ini? Demikian pikir mereka dengan hati berdebar.
Sementara itu, melihat Thu Bi Tan Hwesio sudah menggeletak tak bernyawa lagi di depan kakinya, tiba-tiba Bi Hong menangis dan berkata nyaring sambil berdongak ke atas.
“Kong-kong Ong Bu Khai! Supek-couw Cin Kek Tosu! Ibu Ong Hui, kalian lihatlah, aku telah berhasil mengirim roh musuh besar kita kepada kalian!” Kemudian nona ini menangis tersedu-sedu.
Terdengar teriakan menyayat hati dan Wang Sin sudah melompat ke depan Bi Hong terus memeluknya. Gadis itu tentu saja kaget sekali dan hendak menggerakkan tangan memukul, akan tetapi Wang Sin cepat berkata. “Anakku.... kau. kau anak Ong
Hui....? Ah, kalau begitu, akulah ayahmu nak. ”
Wajah Bi Hong menjadi pucat, tubuhnya menggigil. Ia masih tidak percaya dan membentak. “Kau siapa?”
“Namaku Wang Sin, aku ayahmu. apakah ibumu tak pernah memberitahu?”
Mendengar ini, Bi Hong lalu memeluk ayahnya sambil berkata. “Ayah. anakmu Bi
Hong setengah mati mencari kau. ”
“Bi Hong anakku. Di mana ibumu....? Mengapa kau tadi..... kau sebut ibumu. ”
Tiba-tiba Bi Hong merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan ayahnya, lalu melompat mundur. Wajahnya masih pucat akan tetapi matanya menatap wajah ayahnya dengan sinar kemarahan.
“Ayah, kalau betul kau suami mendiang ibuku, kenapa kau meninggalkan ibu? Kenapa kau tidak muncul sampai ibu meninggal karena duka? Kenapa kau diam saja ketika Kong-kong dibunuh Thu Bi Tan Hwesio si keparat ini. Ayah, apa artinya ini semua? Kenapa kau malah tak pernah. tak pernah menengok aku?”
Wang Sin menundukkan mukanya. “Aku salah. aku bersalah, anakku. Sekarang kau
turut aku, dia itu dia. ibu tirimu,” ia menuding ke arah Ci Ying, lalu ke arah
Kalisang. “Dan dia itu, yang sekarang akan menjadi penganten, dia itu adik tirimu. Bi Hong mulai sekarang ayahmu akan merawatmu.”
Tiba-tiba Bi Hong mengeluarkan suara ketawa, suara ketawa yang menegakkan bulu roma karena suara itu lebih banyak menangis daripada tertawa. “Huh, jadi kau meninggalkan ibu, lupa anak isteri, karena. karena perempuan ini? Jadi kau menyia- nyiakan ibu untuk menikah lagi? Ayah, biarpun aku anakmu, aku harus katakan bahwa kau bukan seorang berjiwa gagah!”
“Tutup mulutmu, setan!” terdengar teriakan nyaring dan sesosok tubuh melompat cepat. Tahu-tahu sebatang pedang berkelebat ke arah leher Bi Hong. Melihat bahwa yang menyerangnya adalah wanita yang disebut ibu tirinya. Bi Hong bangkit marahnya, cepat menangkis dengan pedangnya dan di lain saat dua orang wanita garang ini sudah saling serang dengan hebatnya.
Selagi Wang Sin dan semua orang kebingungan melihat peristiwa yang berlarut-larut menjadi makin hebat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa aneh dari Cheng Hoa Suthai dan nenek ini tahu-tahu sudah melayang dan dengan kedua tangannya menyerang kepala seorang pemuda yang bukan lain adalah Yalu Sun.
Pemuda ini terkejut dan mengelak sambil membentak. “Nenek tua apa kau sudah gila tiada hujan tiada angin menyerangku?”
“Huh-huh, kau tentu takkan tinggal diam kalau gadis itu kalah. Lebih baik aku menghalangimu lebih dulu.”
Memang nenek ini tadi sudah melihat gerakan Yalu Sun dan maklum akan kelihaian bocah itu. Ia tahu pula bahwa kalau bocah itu turun tangan membela Bi Hong, muridnya takkan menang. Maka sebelum hal itu terjadi, ia sengaja menyerang lebih dulu.
Siapa kira, serangannya gagal dan pemuda itu ternyata lebih lihai dari pada dugaannya semula. Dengan marah ia lalu mengeluarkan senjatanya, yaitu sebuah tasbeh di tangan kanan dan sebuah kebutan merah di tangan kiri. Dengan sepasang senjatanya ini, Cheng Hoa Suthai menyerang Yalu Sun.
Pemuda itu kaget sekali melihat kehebatan si nenek, cepat ia mencabut pedang Pek- kong-kiam yang selalu ia sembunyikan di balik baju, lalu memutar pedangnya dengan tenaga menyambut. Cheng Hoa Suthai menggerakkan kebutan merahnya dengan tenaga Im-jiu, sedangkan tasbehnya dengan tenaga Yang-kang. Kedua senjata ini menyambar-nyambar, angin yang menyambar dari senjata itu sangat dahsyat.
Akan tetapi Yalu Sun yang telah menerima warisan ilmu pedang dari Pek-kong Kiam- sian, dengan tenang menyambut semua serangannya, bahkan dapat balas menyerang tak kalah hebatnya. Melihat dua pertandingan silat tinggi ini, semua tamu menjadi gembira dan tegang, karena tidak mereka sangka-sangka di tempat ini mereka akan disuguhi pertandingan yang demikian hebat.
Orang yang paling bingung adalah Wang Sin. Yang seorang isterinya, yang seorang lagi anaknya. Bagaimana dia tidak menjadi bingung? Di samping kebingungannya, iapun gelisah dan menyesal bukan main, insyaf bahwa kejadian hari ini adalah akibat dari sikapnya yang kurang jantan ketika dahulu menghadapi Ci Ying.
Apalagi mendengar bahwa Ong Hui mati karena berduka memikirkannya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. Ia menghampiri tempat pertempuran itu. Melihat Wang Sin maju, Bi Hong berseru. “Ayah, kau mau membantu dia? Baik, kau bunuhlah anakmu ini!”
Ci Ying membentak. “Mau membantu anakmu? Boleh kau serang aku!”
Wang Sin mencoba untuk memisah mereka, katanya. “Ci Ying.... Bi Hong.....
kasihanilah aku, sudahilah pertempuran ini. ”
Akan tetapi mana mau dua jago betina berhenti? Keduanya panas hati dan keduanya hendak saling bunuh. Bukannya berhenti, malah pertempuran makin hebat.
“Sudahlah.... sudahlah Ci Ying. Ong Hui, kalian semenjak dulu tidak mau
bersatu. aku yang bodoh dan berdosa, biar aku menebus dosa. Ong Hui, kau
tunggulah, aku!” Dan dengan pedangnya, orang gagah ini menusuk dadanya sendiri sampai hampir tembus. Ia memekik dan roboh mandi darah.
“Wang Sin. !” Ci Ying memburu dan menjerit.
“Ayah. !” Bi Hong melempar pedangnya dan loncat menubruk.
Kalisang membelalakkan matanya, lalu menubruk sambil menjerit pula. Tiga orang itu menangis dan mendekati tubuh Wang Sin.
Wang Sin membuka matanya, terengah-engah. Melihat tiga orang itu berlutut dan menangis, ia berkata terputus-putus.
“Ci Ying.... Bi Hong..... setelah aku mati.... janganlah. jangan kalian bermusuhan
lagi. ”
Ci Ying sesenggukan. Bi Hong menangis terisak-isak. “Berjanjilah. ” Wang Sin mendesak.
Dua orang itu saling pandang, tak dapat menjawab karena kebencian masih meracuni hati.
“Berjanjilah.... kalau kalian tidak .... mau menurut.... aku takkan mati meram. ”
Bi Hong menggelengkan kepala. “Aku akan, menurut ayah. Aku. aku takkan
memusuhi..... dia. ”
“Ci Ying berjanjilah..... dia sudah yatim piatu, apa... masih masih benci padanya?”
Ci Ying yang lebih dulu menjawab. “aku berjanji, pesanmu. ”
Wang Sin menarik napas panjang, kelihatan lega sekali. Ia memandang puteranya, tersenyum. “Ci Ying kulihat Yang Nam berubah baik. kau langsungkan pernikahan
anak kita.... jangan lupa syarat-syarat yang kita ajukan dahulu.... harus dipenuhi....
kasihan para budak.... sudahlah selamat semua.... aku pergi. ” Orang gagah yang menjadi buah bibir sebagai seorang pahlawan jantan para budak di Tibet itu menghembuskan napas yang terakhir diiringi tangisan Ci Ying, Bi Hong dan Kalisang.
Yang Nam melihat ini segera maju dan menghibur, lalu mengurus jenazah itu dibawa ke dalam. Sementara itu pertempuran antara Cheng Hoa Suthai dan Yalu Sun masih berlangsung terus dengan hebatnya. Mereka berdua tidak memperdulikan akan semua kejadian di situ.
Sebetulnya Yalu Sun merasa tidak enak sekalipun ingin menghentikan pertempuran akan tetapi mana dia bisa? Cheng Hoa Suthai yang selama ini belum pernah menemukan tandingan, sekarang menghadapi pemuda itu ia tidak mampu merobohkannya, sudah menjadi penasaran dan marah sekali, menyerang dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk keluar dari kalangan pertandingan. Mereka sudah bertempur selama tiga ratus jurus lebih dan Yalu Sun mulai terdesak.
Tiba-tiba terkesiur angin dan tahu-tahu di dekat pertempuran sudah berdiri seorang kakek tua yang bertubuh jangkung kurus. Kakek ini mengelus-elus jenggotnya yang sudah panjang, lalu berkata halus.
“Cheng Hoa, sampai tua kau masih saja galak sekali!” Ia menghela napas dan mengebutkan tangan kirinya. Ujung bajunya menyambar ke tengah pertempuran dan dua orang yang sedang bertanding itu terhuyung mundur dan perkelahian mereka terhenti.
“Suhu. ” Yalu Sun berseru girang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Kau.....?” kata Cheng Hoa Suthai dan. aneh sekali, wajah nenek itu menjadi merah
seperti orang malu, akan tetapi matanya memancarkan sinar ganjil, seperti orang yang tiba-tiba teringat akan sesuatu yang mesra. “Jadi dia ini muridmu? Lihai sekali kau, makin tua makin hebat!”
“Cheng Hoa, pertempuran kali ini sebetulnya menggirangkan, sayang terjadi peristiwa menyedihkan dengan kematian mantu muridmu.”
Pada saat itu, Ci Ying, Bi Hong, dan Kalisang juga sudah keluar dan semua mata memandang kakek yang baru datang ini dengan heran. Cheng Hoa Suthai lalu memperkenalkan kakek itu kepada Ci Ying.
“Dia ini.... dia Pek-kong Kiam-sian To Tek Cinjin, dia dahulu..... dia dahulu....
suhengku.” Tentu saja nenek ini malu untuk mengaku bahwa sebenarnya kakek ini dahulu adalah kekasihnya. Mereka berpisah karena watak Cheng Hoa Suthai yang amat galak sehingga terjadi percekcokan yang memisahkan mereka.
Cheng Hoa Suthai memandang kepada Yalu Sun dan berkata kagum. “Orang muda, kau tidak memalukan menjadi muridnya.”
To Tek Cinjin tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya, memandang Ci Ying dan berkata. “Muridmu ini juga hebat, biarpun galak seperti kau tapi dapat memaafkan anak tirinya. Ci Ying, ketika kau ditolong oleh gurumu, ingatkah kau akan bocah yang dulu kau bawa minggat dari Loka? Dia itulah bocah itu. Aku tidak tahu namanya, maka kuberi nama Yalu Sun.”
Ci Ying terkejut dan memandang kepada pemuda itu. Lalu ia terisak dan berlari maju, memegang kedua tangan Yalu Sun. “Kau.... kau Wang. !”
Yalu Sun melongo, tidak tahu apa artinya ini semua. Dengan ringkas Ci Ying lalu menuturkan riwayatnya ketika masih bayi, bagaimana orang tuanya terbunuh oleh kaki tangan tuan tanah Yang Can dan bagaimana ia membawa anak itu melarikan diri. Mendengar ini, Yalu Sun menjatuhkan diri di depan Ci Ying dan berkata sambil menangis. “Kalau begitu, kau sudah menolong jiwaku. banyak terima kasih atas
semua budimu, bibi. ”
Semua orang terharu melihat adegan ini dan tidak ada orang yang membuka suara. Maka amat jelas kedengaran suara Pek-kong Kiam-sian ketika ia berkata.
“Dunia ini merupakan tempat ujian bagi manusia, juga tempat hukuman. Siapa tidak kuat pasti tergoda dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Makin besar penyelewengannya makin besar pula hukumannya. Namun betapapun besar penyelewengannya, asal orang itu dapat sadar, insaf, dan bertobat kembali ke jalan benar, dia boleh dibilang manusia berbahagia. Kasihanilah orang yang tidak menyadari kesalahan sendiri dan terus membuta dan tidak tahu bahwa dia menindak ke jalan sesat, menganggap diri sendiri baik dan menimpakan semua kesalahan kepada orang-orang lain. Permusuhan antara Yang Nam dan Wang Sin disudahi dengan pengikatan jodoh anak-anaknya, itulah baik sekali. Semoga selanjutnya masing-masing akan dapat bekerja sama demi kebahagiaan orang-orang yang patut ditolong. Dan kau, Bi Hong. Gurumu To Gi Couwsu adalah suteku sendiri, maka kau adalah murid keponakanku. Kau sudah membunuh hwesio-hwesio Tibet, akan tetapi hal ini adalah karena Thu Bi Tan Hwesio dan Ga Lung Hwesio atas kehendak mereka sendiri telah menyerbu ke Kun-lun dan membunuh Cin Kek Tosu dan Ong Bu Khai. Maka dengan pembalasan ini, hutang piutang sudah lunas.”
Setelah berkata demikian, kakek ini memandang ke arah para hwesio Tibet dengan mata berpengaruh. Adapun Bi Hong ketika mendengar bahwa kakek itu adalah supeknya sendiri lalu memberi hormat.
Dari golongan hwesio yang berkedudukan tinggi, berdiri seorang hwesio yang sudah tua, bertubuh kurus dan bersikap agung. “Omitohud, apa yang To-yu katakan tiada salahnya. Baru sekarang pinceng beramai tahu bahwa sute Thu Bi Tan telah membinasakan orang-orang Kun-lun-pai. Biarlah hutang nyawa, bayar nyawa, semua sudah ditentukan oleh Karma masing-masing. To-yu suka menghabiskan sampai di sini saja, pinceng mengucapkan banyak terima kasih.”
Diam-diam To Tek Cinjin kagum sekali dan ia berkata kepada muridnya.
“Yalu Sun, Bi Hong, marilah kau ikut pinto kembali ke Kun-lun-san.” Dua orang muda itu tidak membantah, setelah berpamitan kepada Ci Ying yang menjadi terharu sekali. Kedua orang muda itu lalu mengikuti Pek-kong Kiam-sian kembali ke timur. Pernikahan dilangsungkan dan semenjak saat itu, terjadi perubahan besar bagi para budak di Tibet. Kalisang mendapat pangkat di Lasha dan pemerintahan mengeluarkan undang-undang supaya para tuan tanah lebih memperhatikan nasib para budak.
Adapun Ci Ying, dia bertindak sebagai pemeriksa. Dia berkelana di Tibet untuk memeriksa apakah perintah ini dijalankan baik-baik oleh para tuan tanah di dusun- dusun sehingga nasib para budak agak terjamin.
Akan tetapi usia manusia terbatas. Setelah orang-orang seperti Ci Ying dan Kalisang meninggalkan dunia ini, siapa lagi yang memperdulikan nasib para budak? Tuan tanah, mereka mempunyai pegangan sendiri bahwa tanpa memeras para budak, kekayaan mereka takkan bertambah dengan mudah.
Bagi mereka, mengeluarkan modal setail harus mendapat keuntungan sepuluh tail, biarpun dengan jalan apa juga, kalau perlu menindas para budak agar mereka bekerja lebih hebat dengan mendapat upah lebih rendah. Selama sistem tuan tanah dan perbudakan belum hapus dari muka bumi, selama itu pula nasib para budak, para buruh tani akan tergencet.
Banyaknya peluh yang keluar dari badan tidak cukup untuk memuaskan dahaga, untuk mengenyangkan kelaparan, untuk menyelimuti tubuh yang telanjang. Beberapa puluh tahun kemudian, kembali para budak di Tibet mengalami penindasan, kembali tuan-tuan tanah menjadi raja kecil dengan begundal-begundalnya berikut pendeta- pendeta yang hanya bersih kulit kepalanya, namun kotor hatinya.
Rakyat kecil tetap menderita. Akan tetapi Tuhan bersifat Adil, pasti akan tiba saatnya si penderita menang, si penindas hancur.
TAMAT