Nona Berbunga Hijau Jilid 4

Jilid 4

9. Kembang Hijau Batu Kumala.

Ketika hari menjadi malam, dua orang muda ini tiba di sebuah padang rumput yang di sana sini ditumbuhi beberapa batang pohon. Di waktu musim salju, tempat ini penuh salju dan pohon-pohon itu gundul tak berdaun. Baiknya waktu itu musim salju sudah lewat dan biarpun tidak gemuk tanah di situ ditumbuhi rumput hijau dan pohon-pohon itu mengeluarkan daun. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon dan duduk di atas rumput yang lunak.

Dari jauh terdengar menguaknya beberapa ekor binatang yak dan mengembiknya kambing-kambing yang berkeliaran. Itulah binatang peliharaan tuan tanah di Loka yang dalam keributan tadi telah lari cerai berai.

“Tunggu aku mencari susu dan makanan!” kata Ci Ying. Tubuhnya berkelebat dan sebentar saja ia lenyap dari dari depan Wang Sin. Orang muda ini kagum sekali. “Dia begitu hebat kepandaiannya. Benar-benar mengherankan. Aku yang berlatih siang malam dibawah pimpinan suhu yang pandai, ternyata masih kalah jauh olehnya, padahal dia dahulu seorang gadis lemah,” pikirnya.

Tak lama gadis ini pergi. Ia telah kembali lagi membawa sebuah paha domba yang gemuk dan di lain tangan memegang sebuah tempat minum yang tadi dibawanya, penuh dengan susu murni yang segar. Ia tertawa-tawa gembira dan lagaknya kembali sebagai Ci Ying lima tahun yang lalu.

“Kanda Wang Sin. Aku memanggangkan daging domba yang gemuk dan memanaskan susu yang segar untukmu.”

Timbul lagi kegembiraan Wang Sin melihat sikap gadis ini. Ah, kalau saja Ci Ying seterusnya seperti ini, seperti dahulu lagi. Mudah mengajaknya berunding.

“Aku membuat apinya,” katanya sambil tertawa. Melihat pemuda itu sudah mau tersenyum, Ci Ying makin gembira.

Wang Sin membuat api unggun sedangkan gadis itu memotong-motong daging domba. Entah dari mana dapatnya, ia mengeluarkan bumbu-bumbu dari dalam saku bajunya. Tak lama kemudian tercium bau sedap daging domba dipanggang dan segera kedua orang muda yang sudah lapar itu makan daging panggang dengan air susu.

Nikmat sekali rasanya, apalagi dimakan di bawah sinar bulan yang sudah muncul di langit yang bersih cerah.

Hawa malam itu sangat dingin. Ci Ying merebahkan diri di atas rumput dengan kepala di atas pangkuan Wang Sin. Pemuda itu tidak menolak dan membiarkan saja Ci Ying menaruh kepalanya di atas paha. Sebentar saja Ci Ying tertidur dengan senyum manis di bibirnya.Wang Sin memandang wajah manis di pangkuannya itu yang nampak luar biasa cantiknya di bawah sinar bulan. Kembali ia menarik napas panjang.

“Alangkah cantik manisnya Ci Ying sayang sekali ia berubah menjadi seorang

berhati ganas.” Kemudian ia melamun, teringat akan pengalaman-pengalaman Ci Ying dahulu. Belum sempat ia mendengarkan cerita Ci Ying semenjak mereka berpisah. Bagaimana nasib bocah kecil yang dulu dibawa oleh gadis ini? Besok akan kutanyakan dia dan perlahan-lahan akan kujelaskan tentang pernikahanku dengan Ong Hui, demikian pikir Wang Sin.

Dengan pikiran ini ia menjadi lega. Ia menyandarkan tubuhnya pada batang pohon. Dilihatnya tubuh Ci Ying bergerak seperti kedinginan ketika angin bertiup. Ia melepas baju luarnya dan menyelimuti gadis itu.

“Kanda Wang Sin. ” gadis itu berbisik perlahan tanpa membuka matanya. Kiranya

dia sedang bermimpi, Wang Sin lalu memeramkan matanya dan saking lelahnya ia tertidur sambil bersandar pada pohon. Api unggun masih menyala, lidah api mobat mabit (bergoyang-goyang) tertiup angin. Wang Sin telah menaruh sebatang cabang kering yang besar sehingga dalam waktu dua tiga jam api itu takkan padam.

Tiba-tiba Wang Sin terkejut ketika mendengar suara berisik. Ia membuka matanya dan segera melompat bangun ketika melihat Ci Ying tertawa-tawa sambil bergerak- gerak ke sana ke mari. Dia sedang dikeroyok tiga orang laki-laki tinggi besar yang wajahnya tidak kelihatan nyata dalam sinar yang suram itu. Api unggun sudah hampir padam sedangkan bulan bersembunyi di balik awan hitam yang tebal.

Sebelum ia sempat bergerak, terdengar suara “Krakkk!” disusul jerit mengerikan. Ternyata seorang pengeroyok telah kena dihantam dadanya oleh tangan kiri Ci Ying sehingga ia terjungkal roboh di dekat api unggun. Sambil melayani lawan yang dua orang lagi, Ci Ying tertawa dan kakinya menyambar. Tubuh orang itu terlempar dan

...... jatuh ke atas api yang masih marong dan merah.

Orang itu berkelojotan, Wang Sin mengkirik. Cepat ia melompat dan menggunakan kakinya menyingkirkan orang yang mulai terbakar itu dari atas api unggun. Siapa pun juga itu, tidak tega ia melihat orang dibakar hidup-hidup.

“Kanda Wang Sin, kau sudah bangun? Lihat aku robohkan dua ekor kadal busuk ini!” kata Ci Ying. Cepat sekali sabuk merahnya bergerak-gerak seperti ular dan dua orang yang bersenjata golok itu repot sekali menghadapi desakan Ci Ying yang lihai. Bagi mereka, ujung sabuk merah itu berubah menjadi belasan, membuat mata mereka kabur dan permainan golok mereka kacau.

Padahal menurut penglihatan Wang Sin, ilmu golok dua orang itu tidak lemah, bahkan cepat dan kuat sekali. Pada waktu sebuah golok menyambar leher Ci Ying dan golok kedua menusuk perutnya, gadis itu menggunakan ujung sabuknya melibat golok pertama dan kakinya menendang golok kedua yang mengancam perut. Hebat sekali gerakan gadis ini. Tangkisan golok menggunakan tendangan kaki membuktikan bahwa tingkat kepandaiannya memang sudah tinggi, kalau tidak demikian tidak nanti dia berani menendang golok yang sedang menusuk perutnya.

Golok terpental dan tendangan susulan tepat mengenai perut orang yang gemuk. “Blukkk!” Perut yang besar seperti perut kerbau itu terkena ciuman ujung sepatu Ci Ying mengeluarkan suara seperti tambur dipukul. Orangnya terjengkang dan tidak bangun lagi. Adapun orang ketiga yang goloknya terkibat, mencoba untuk membetot senjatanya, akan tetapi sia-sia. Malah tiba-tiba goloknya itu terbang terlepas dari tangannya, terayun-ayun dibelit ujung sabuk dan alangkah kaget ia melihat goloknya sendiri itu membalik dan “terbang” ke arah kepalanya. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi golok itu yang dipegangi oleh libatan sabuk terus mengejarnya dan akhirnya “Crakkk!” kepalanya terbela oleh goloknya sendiri.

“Hi-hi-hi, baru kalian merasa kelihaian nonamu!” Ci Ying tertawa girang. Golok rampasan di ujung sabuknya itu ia gerak-gerakan lagi, kini menyambar kepada dua orang yang lain yang sudah ia robohkan lebih dulu. Terdengar bunyi “crakk-crakk!” dua kali dan kepala dua orang inipun terbelah dua.

Wang Sin hendak mencegah sudah tidak keburu lagi. Apalagi ia sedang terkejut mendengar datangnya suara kaki kuda dan kaki orang yang banyak sekali, disertai teriakan-teriakan marah. Tiba-tiba angin besar bertiup dan api unggun yang sudah kehabisan umpan itu padam, tinggal bunga apinya yang berterbangan ke sana sini mendatangkan penglihatan yang amat indah. Keadaan menjadi gelap sekali dan angin bertiup makin keras sampai hampir tidak tertahan lagi.

Wang Sin bertiarap dan di lain saat ia meraba muka Ci Ying yang ternyata juga sudah bertiarap dekat sekali dengannya. Muka gadis itu begitu dekat sampai ia dapat merasai napas yang hangat dan bau yang harum. Hatinya berdebar lagi seperti tadi ketika gadis itu tertidur di atas pangkuannya. Benar aneh, ganas dan lihai sekali, pikirnya.

“Hi-hi, kanda Wang Sin. Bagaimana kau melihat jurus-jurusku tadi?” Gadis itu berkata kuat-kuat karena suara angin membuat orang sukar bicara dan takkan terdengar kalau tidak berteriak. “Kau mau tahu namanya? Ketika aku robohkan orang pertama, itulah jurus Hek-mo-to-sim (Iblis Hitam Menyambar Hati), ketika aku menendang perut kerbau gemuk itu aku menggunakan jurus tendangan Toat-beng-twi (Tendangan Merenggut Nyawa) dan yang terakhir tadi sabuk merahku bergerak merampas golok dengan jurus Iblis Terbang Mencari Mayat. Bagus, bukan?”

Wang Sin bergidik. Sudah banyak ia mendengar ilmu-ilmu silat di dunia Kang-ouw dari suhunya, juga dari Ong Hui, akan tetapi belum pernah ia melihat jurus-jurus yang demikian ganas dan lihai, malah juga nama jurus-jurus itupun mengerikan.

“Memang lihai......” jawabnya, “akan tetapi. terlalu ganas. Ci Ying, kenapa kau

bunuh orang-orang itu, malah kau membunuh secara demikian mengerikan?” Iapun harus bicara keras untuk melawan riuhnya suara angin ribut.

“Apa kau bilang? Bicara dekat telingaku sini!” Ci Ying mendekatkan mukanya sehingga mulut Wang Sin sampai menempel di pipinya, dekat telinga. Jantung Wang Sin berdebar dan mukanya terasa panas saking jengahnya.

“Eh, bibirmu kok panas amat?” Ci Ying berseru.

Wang Sin menjauhkan mukanya akan tetapi, Ci Ying menempelkannya lagi. “Biarlah, panaspun tidak apa. Lekas kau bilang, apa yang kaukatakan tadi.” Wang Sin mengulangi kata-katanya. “Hi-hi, kau bilang ganas? Kau anggap aku keji membunuh tiga ekor kadal busuk itu? Kanda Wang Sin, tahulah kau siapa mereka itu? Mereka adalah sebangsa srigala- srigala hitam.”

Wang Sin kaget. Pernah ia mendengar tentang orang-orang yang berkeliaran di daerah itu, orang-orang jahat sekali yang tidak segan melakukan kejahatan macam apapun juga. Kadang-kadang menjadi saudagar-saudagar, bisa juga menjadi pencuri kuda, perampok atau penculik. Orang-orang begini disebut srigala hitam.

Ia sekarang mengerti mengapa Ci Ying membunuh mereka, akan tetapi kalau ia ingat akan cara keji yang dipergunakan gadis itu, ia berkata perlahan. “Membunuh orang- orang jahat memang tugas orang gagah, hanya cara kau membunuh mereka itu terlalu ganas.”

Rambut Ci Ying terlepas dari sanggulnya karena tiupan angin yang amat keras. Rambut itu menyambar-nyambar muka Wang Sin, mendatangkan rasa geli dan gatal. Sia-sia saja ia mencoba untuk menyingkirkan rambut itu karena amat banyak dan panjang. Di saat itu juga ia mencium bau harum yang keluar dari rambut panjang itu. Ci Ying di dalam gelap cepat mengetahui ini, dengan tertawa kecil ia menyingkap rambut dan membetulkan lagi.

“Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku kalau sampai aku terjatuh ke dalam tangan kadal-kadal itu? Lebih ganas lagi mereka!”

Wang Sin tadinya tidak mau melayani gadis ini berbicara, hatinya sudah tak senang dan marah menyaksikan gadis ini begitu ganas dan kejam. Akan tetapi suara gadis ini menimbulkan ingin tahunya.

“Bagaimana?” tanyanya singkat.

Suara Ci Ying berubah dingin ketika menjawab. “Hemm, kalau mereka tidak kubunuh dan sampai aku dapat tertawan, mereka itu bertiga, mungkin dengan konco-konconya yang lebih banyak lagi, akan mempermainkan diriku sampai mereka merasa bosan, kalau sudah bosan mereka akan menjual diriku kepada siapa juga yang berani membayar. Huh!”

Merah muka Wang Sin dan kembali ia bergidik. Sebagai seorang gadis, bagaimana Ci Ying bisa bicara tentang hal ini demikian terang-terangan terdengarnya tanpa malu- malu. Ia makin tak puas.

Angin ribut masih terus mengamuk sehingga kedua orang muda itu belum berani bangun, masih bertiarap di atas rumput. Sampai lama mereka diam saja. Kemudian Wang Sin yang mengetahui keadaan gadis itu mengajukan pertanyaan.

“Ci Ying, dulu kau pergi membawa anak kecil itu, di mana sekarang?” Gadis itu menghela napas. “Kau maksudkan Wang Tui? Ah, dia telah mati.” “Mati?” Suara Wang Sin mengandung iba, “Bagaimana dia sampai mati?” “Aku ditangkap anjing-anjing hina dan anak itu hanyut terus dalam perahu. Bagaimana lagi kalau tidak mati?”

Wang Sin dapat menduga apa yang terjadi kemudian. “Lalu kau ditolong oleh orang yang menjadi gurumu, bukan? Orang macam apakah gurumu itu Ci Ying.

“Orang macam apa? Guruku adalah Cheng Hoa Suthai, ratu dari Heng-toan-san. Siapa tidak mengenalnya?” kata Ci Ying bangga. Wang Sin diam saja, ia anggap ucapan gadis ini sombong. Mana ada ratu di Heng-toan-san?

“Kanda Wang Sin, masih ingatkah kau ketika dahulu kau suka bernyanyi untukku ketika kau menggembala domba-domba? Sekarang angin ribut masih mengganas, tidak dapat kita duduk dengan enak. Supaya tidak membosankan dan mengusir hawa dingin, maukah kau bernyanyi untukku seperti dulu lagi?”

Hati Wang Sin sebetulnya sudah dingin, akan tetapi ia merasa tidak enak juga kalau ia bersikap terlalu kaku kepada bekas tunangannya ini. Apalagi bau rumput di bawa mukanya dan keadaan di situ mengingatkan dia akan penghidupan masa lalu, lalu membuka mulut bernyanyi.

Nyanyian yang merupakan keluhan para budak yang hidupnya tertindas. Suaranya keras dan nyaring. Nyanyian ini membangkitkan kembali semangatnya dan membuat ia merasa lebih dekat dengan Ci Ying malah menghidupkan lagi cinta kasih terhadap gadis itu.

“Wahai, Himalaya yang tinggi. Ahoi, Yalu-cangpo yang panjang. Dapatkah kalian memberi jawaban? Kedua tanganku kuat bekerja berat. Tapi tiada seperseratus hasilnya.

Menjadi bagianku!

Aku punya mulut.

Tak dapat mengeluarkan suara hati. Telingaku disusur tuli.

Mataku disusur buta.

Aku punya nyawa.

Tak lebih berharga seekor domba! Wahai, Himalaya sembunyikan aku dipuncak-puncakmu!

Ahoi, Yalu-cangpo, lenyapkan aku di muaramu!”

Setelah selesai bernyanyi, Wang Sin melihat gadis itu telah merebahkan kepala di atas dadanya sambil memeluknya. Ia makin terharu dan mengira bahwa gadis itu tentu menangis. Di dalam gelap itu mana ia tahu bahwa Ci Ying sama sekali tidak menangis malah tersenyum? Agaknya bagi gadis ini yang sudah menjadi keras hati, tidak ada lagi watak untuk menangis. Karena terharu dan mengingat akan nasib gadis yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai seorangpun di dunia yang dapat memikirkannya kecuali dia sendiri, Wang Sin mengelus-elus kepala Ci Ying, cinta kasih yang lama terpendam sekarang timbul kembali. “Ci Ying, jangan berduka, jangan kau menangis. Aku kan sudah berada di sampingmu?” katanya perlahan.

Ci Ying tidak menjawab, agaknya memperhatikan sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara berbisik, sama sekali di dalam suara ini tidak ada tanda-tanda bekas menangis. “Kanda Wang Sin, tahukah kau bahwa telah datang banyak orang?”

“Aku tahu. Tadi sebelum datang angin ribut aku mendengar suara kaki orang dan kuda.”

“Kita telah dikurung oleh belasan orang.”

Wang Sin terkejut dan tubuhnya bergerak hendak bangun. Angin ribut telah mereda. Akan tetapi Ci Ying menahannya untuk rebah terus.

“Perlu apa ribut-ribut ? Kita perlu mengaso, lebih baik kita tidur dulu. Di dalam gelap mereka takkan menyerang. Andaikata menyerang juga, dengan kepandaian kita berdua, apa yang kita takuti? Kau lihat, besok terang tanah aku akan menghajar mereka dan kita merampas dua ekor kuda.” Gadis itu tertawa perlahan.

Terpaksa Wang Sin rebah kembali, akan tetapi dia tidak bisa tidur. Musuh mengepung, jumlah mereka belasan orang, Inilah berbahaya! Bagaimana Ci Ying bisa enak-enak tidur? Ia bangun duduk dan melihat gadis itu benar-benar sudah pulas dengan kepala rebah di pangkuannya.

Napas gadis itu perlahan dan rata, tanda sudah pulas. Dia sendiri tidak dapat tidur dan duduk diam melakukan siulan (samadhi) seperti yang ia pelajari dari gurunya untuk mengumpulkan semangat dan tenaga.

Menjelang pagi ia sudah dapat melihat bayangan-bayangan orang dan benar seperti ucapan Ci Ying malam tadi, ada belasan orang yang berdiri merupakan pagar mengurung mereka. Dia menghitung. Enam belas orang dan di tangan tiap orang terlihat golok besar. Tiga orang yang malam tadi dibunuh Ci Ying sudah tidak kelihatan mayatnya lagi. Mungkin diambil oleh kawan-kawannya.

Agak jauh dari situ tampak segerombolan kuda diikat pada pohon. Dia tidak dapat melihat jelas muka belasan orang itu, hanya dari bayangan mereka ia tahu bahwa mereka semua adalah laki-laki yang bertubuh tinggi besar.

Sementara itu, enam belas orang yang mengurung ketika melihat gadis tidur pulas dengan kepala di pangkuan seorang pemuda, mengeluarkan seruan marah. Mereka mulai bergerak maju dan mengurung makin rapat.

Wang Sin melihat ini menjadi khawatir. Ia hendak menurunkan kepala Ci Ying dari atas pangkuannya agar ia dapat melompat berdiri untuk menghadapi keroyokan mereka itu. Akan tetapi hebatnya ketika ia mengangkat kepala gadis itu, ternyata tidak bergeming. Kepala itu terasa amat berat olehnya dan tak dapat didorong turun.

“Ci Ying..... Ci Ying...... bangunlah! Mereka mulai mengancam. !” katanya di dekat

telinga gadis itu. Gadis itu mengeluarkan suara lirih, menggeliat dan mengangkat dua lengannya ke atas. Dengan belakang tangan kiri ia menutupi mulutnya yang menguap kecil. “Aiiihhh, enaknya aku tidur. ” katanya lirih, matanya disipitkan dan mulutnya

tersenyum. Bertahun-tahun baru kali ini aku tidur nyenyak.” Ia lalu mengulur tangannya mengusap dagu Wang Sin yang licin.

Wang Sin menjadi kaget dan jengah sendiri. Bagaimana gadis ini begitu tak tahu malu, di depan banyak orang asing membelai-belainya? Perlahan ia mendorong tangan gadis itu dan berkata. “Ci Ying, orang-orang mulai mengurung rapat dan hendak menyerang. Kita harus siap sedia!”

Akan tetapi gadis itu malah meramkan matanya kembali lalu berkata sambil tersenyum. “Sepagi ini sudah banyak kadal berkeliaran, sungguh menjemukan!”

Ketika tiga orang malam tadi terbunuh, keadaan hanya remang-remang, maka semua orang itu tidak melihat jelas bagaimana kawan-kawan mereka terbunuh dan siapa di antara dua orang muda itu yang membunuh. Sekarang mendengar gadis itu memaki kadal kepada mereka, tentu saja mereka menjadi marah sekali.

Seorang di antara mereka, yang berkumis panjang, mengangkat golok dan berseru memberi komando. “Tangkap yang betina, bikin mampus yang jantan!”

Wang Sin mendongkol sekali. Sikap dan kata-kata semua orang itu seakan-akan sedang mengurung dua ekor atau sepasang binatang hutan saja. Ia kembali hendak melompat, akan tetapi tetap saja ia tidak kuat menurunkan kepala Ci Ying yang masih meramkan mata sambil tersenyum manis.

Pada saat itu, belasan orang itu sudah mendesak maju dan di antara mereka sudah mengangkat golok hendak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan kedua tangan Ci Ying bergerak. Sinar perak berkelebat dan tahu-tahu terdengar jerit- jerit kesakitan.

Lalu empat orang di antara para penyerbu itu roboh terjengkang, berkelonjotan dan diam tak bergerak lagi. Ternyata di tenggorokan mereka sudah menancap sebatang jarum perak.

Selagi semua pengeroyok tertegun, Ci Ying sudah melompat bangun sambil tertawa mencabut sabuk suteranya.

“Kanda Wang Sin, kau lihat baik-baik ujung sabukku!” kata Ci Ying tertawa dan tiba- tiba sinar merah berkelebat ke depan. Tahu-tahu ujung sabuknya yang kanan kiri sudah menyerang. Dua orang yang diserang mencoba untuk menyabet sabuk itu dengan golok mereka. Akan tetapi gerakan sabuk ini terlalu cepat bagi mereka sehingga yang nampak hanya sinarnya. Sabetan golok mereka meleset dan tanpa dapat dicegah lagi, kedua ujung sabuk itu telah menotok jalan darah di dekat leher.

“Auukkk!” Dua orang itu melepaskan golok dan memuntahkan darah segar, tubuh mereka terguling dan napas mereka empas-empis. Kagetnya para penyerang itu bukan kepalang. Dalam dua kali gerakan saja berkuranglah mereka dengan enam orang anggauta. Si Kumis Panjang tahu bahwa wanita cantik di depannya ini bukan sembarangan orang maka sambil melintangkan golok ia berseru menahan kawan-kawannya jangan maju, kemudian ia merangkapkan kedua tangannya ke dada sambil menghadapi Ci Ying dan bertanya.

“Nona muda yang gagah siapakah dan dari partai mana? Harap sudi memberi tahu agar kami tidak salah tangan menyerang orang segolongan!”

Ci Ying mengeluarkan suara mengejek, “Apa matamu buta dan kau tidak melihat ini?” Ia menunjuk ke arah kepala sendiri di mana terdapat sebuah penghias rambut terbuat dari perak dan batu permata hijau, merupakan setangkai bunga berwarna hijau.

Terdengar seruan-seruan kaget dan si kumis panjang itupun pucat. “Cheng-hoa-pai

....!” Memang Cheng Hoa Suthai, guru Ci Ying, adalah pendiri dari partai yang ia beri nama Cheng-hoa-pai (Partai Bunga Hijau) yang ia ambil dari namanya. Tak seorangpun sebetulnya mengetahui siapa nama asli Cheng Hoa Suthai.

Ia mendapat panggilan Cheng Hoa Suthai adalah karena rambutnya selalu dihias bunga hijau, biarpun ia sudah menjadi seorang pendeta. Karena banyak pengikut dan anak muridnya, maka ia mendirikan Cheng-hoa-pai yang berkedudukan di Heng-toan- san.

Cheng-hoa-pai ini terkenal sekali di dunia kang-ouw, anak-anak murid Cheng-hoa-pai adalah wanita-wanita yang selalu berwatak ganas dan berilmu tinggi, maka nama partai itu ditakuti orang. Apalagi oleh para penjahat karena biarpun ganas dan kejam, harus pula diakui bahwa yang dimusuhi oleh Cheng-hoa-pai memang sebagian besar adalah penjahat-penjahat. Hal ini bukan berarti bahwa partai ini, adalah partai bersih.

Bagi Cheng-hoa-pai, tidak ada istilah baik maupun buruk, pendeknya yang menghalangi dan menentang, mereka ganyang semua, baik maupun buruk. Adanya nama ini ditakuti sebagian besar oleh kalangan penjahat, mudah pula dimengerti, Cheng-hoa-pai adalah perkumpulan wanita dan banyak di antaranya yang cantik- cantik, tentu saja membuat orang-orang jahat suka datang mengganggu. Maka banyaklah orang jahat yang sudah menjadi korban keganasan Cheng-hoa-pai.

Demikianlah, tidak mengherankan apabila si kumis panjang itupun menjadi pucat ketika mengenal bunga hijau di rambut Ci Ying. Akan tetapi ia kelihatan bersangsi. Dia sudah banyak mendengar tentang Cheng-hoa-pai.

Anak-anak murid atau anggauta-anggauta Cheng-hoa-pai biasanya mempunyai hiasan kembang hijau yang hidup dan yang memakai kembang hijau dari batu kumala hanyalah Cheng Hoa Suthai sendiri dan beberapa orang anak murid yang bertingkat tinggi, yang sudah berusia tua. Masa gadis remaja ini sudah memakai kembang tiruan? Jangan-jangan gadis ini hanya mendapatkan di jalan lalu dipakai dan dipergunakan untuk menggertak.

“Nona..... nona dari Cheng-hoa-pai ....? Akan tetapi. ” Ia menggagap. Ci Ying belum lama turun gunung. Ia tahu bahwa orang belum mengenalnya, maka menjadi sangsi dan mengira dia membohong. Sambil tertawa sabuk merahnya bergerak, meluncur ke depan, ke arah si kumis panjang. Orang ini kaget sekali dan melangkah mundur, namun tiba-tiba golok di tangannya terbetot secara tiba-tiba sehingga terlepas dari pegangannya. Ia melihat ujung sabuk merah yang membetot goloknya itu membawa goloknya terbang.

Sekali menggerakkan tangan gadis itu membuat golokanya terlempar ke udara, kemudian gerakan kedua menggetarkan ujung sabuk yang menyambar ke arah golok ditengah-tengah. “Krakk!” Golok itu patah menjadi dua kena dipecut oleh sabuk.

“Hebat !” seru si kumis panjang. Ia sudah mendengar akan kelihaian Cheng Hoa

Suthai bermain kebutan atau hudtim, dan permainan sabuk inipun menunjukkan bahwa gadis ini luar biasa lihainya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh kawan-kawannya, yang kesemuanya dengan dia tinggal sepuluh orang itu.

“Siauwjin (hamba yang rendah) mempunyai mata tapi tidak melihat Gunung Thaisan di depan mata. Hamba sekonco telah membikin marah lihiap (pendekar wanita), mohon lihiap sudi memberi ampun.” Kata si kumis panjang dengan muka ketakutan.

Kembali Ci Ying mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. “Hemmm, sebelum dihajar mana kalian bisa melihat orang. Kalian sudah kurang ajar, sekarang aku mau membunuh kalian semua. Kalian mau apa?” Sambil berkata demikian, nona ini melangkah maju, sikapnya mengancam.

“Ampun, lihiap.... ampun. !” Suara minta ampun dari sepuluh orang ini riuh rendah.

Benar-benar hebat dan mengherankan sekali. Sepuluh orang ini adalah bangsa kasar yang biasanya tidak takut pada setan sekalipun, dapat membunuh orang tanpa berkedip, dapat menyiksa orang sampai mati sambil tertawa-tawa. Akan tetapi menghadapi Ci Ying mereka minta ampun.

Melihat ini Ci Ying kelihatan gembira sekali. “Hi-hi-hi-hi, aku mau bunuh kalian. Akan kubeset kulit dadamu seorang demi seorang, kucabut jantungmu untuk diberikan kepada srigala-srigala liar. Hi-hi-hi!”

Seperti ayam-ayam makan padi di tanah, sepuluh orang itu mengangguk-anggukkan kepala sampai jidat mereka berdarah membentur batu, minta ampun dengan suara mohon dikasihani.

Wang Sin melompat bangun. “Ci Ying kauampunkan mereka!” Suaranya keren, ia menahan kemarahannya karena tidak tahan melihat sikap Ci Ying yang amat ganas itu.

Ci Ying menengok kepadanya dan wajah yang tadinya keren itu berubah lembut. “Kau menghendaki demikian kanda Wang Sin? Baiklah, aku ampuni jiwa sepuluh ekor kadal ini, akan tetapi aku tidak bisa mengampuni matanya yang tidak melihat orang.” Ia memutar tubuh dan membentak. “Bekas-bekas bangkai! Hayo kalian copot mata kirimu dan berikan kepadaku. Baru aku mau ampuni kalian!” 10. Hwesio Murtad dari Tibet.

Wang Sin hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Sepuluh orang itu terlalu girang kalau hanya menerima hukuman seperti itu, dianggap amat ringan. Dengan cepat mereka hampir berbareng menggunakan telunjuk menusuk mata kiri masing-masing, mencokelnya keluar dan berganti-ganti menyerahkan biji mata mereka itu kepada Ci Ying. Gadis ini sambil tertawa-tawa menerima sepuluh buah biji mata itu dan memasukkannya ke dalam kantong jarum rahasia.

“Kalian boleh pergi. Bawa pergi bangkai-bangkai yang bau ini dan tinggalkan dua kuda terbaik lengkap dengan perbekalan jalan!”

Sepuluh orang itu sambil menggunakan tangan kiri menutupi mata kiri yang sudah bolong dan mengalirkan darah, tergesa-gesa pergi dari situ membawa mayat sembilan orang dan meninggalkan dua ekor kuda besar yang paling baik. Sebelum pergi, tidak lupa mereka menjura menghaturkan terima kasih kepada Ci Ying.

Hebat pemandangan ini. Wang Sin sampai merasa betapa kedua kakinya menggigil. Orang lain boleh takut setengah mampus kepada Ci Ying, akan tetapi dia tidak.

Dalam pandangannya, gadis itu masih tetap Ci Ying yang dahulu, tunangannya yang lincah jenaka. Mengapa sekarang berubah begini?

“Ci Ying, kau benar-benar mengerikan. Untuk apa kau simpan sepuluh mata itu?” tanyanya, suaranya masih gemetar.

Ci Ying tertawa, lalu mengambil sebotol minyak dari sakunya. Dengan muka tersenyum ia menuang isi botol ke dalam kantong sehingga sepuluh buah mata itu terendam minyak yang berwarna merah.

“Kau tidak tahu. Dengan obat ini kesepuluh buah mata itu menjadi keras seperti gundu-gundu beling yang indah. Selain indah untuk permainan, juga berguna untuk dijadikan senjata am-gi (senjata gelap). Bukankah lebih bagus dari segala macam pelor besi ? Hi-hi-hi!”

“Kau terlalu ganas, Ci Ying, terlalu kejam kepada mereka. ”

“Mereka orang-orang jahat!”

“Biarpun begitu, cukup kau mengancam dan menakuti mereka, agar mereka mengubah hidup menjadi orang-orang baik.”

“Heh, tidak ada orang baik di dunia ini, semuanya jahat. Yang baik hanya kita, eh, kanda Wang Sin, yang tidak hanya kau dan aku!” Inilah “filsafat” yang selalu diajarkan oleh Cheng Hoa Suthai ketua Cheng-hoa-pai. Semua anggota Cheng-hoa- pai menganggap bahwa di dunia ini hanya sendiri yang baik. Orang-orang lain semua jahat, karena harus dimusuhi, dibasmi dan kalau perlu dibunuh.

Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Sekarang perjalanan dapat dilakukan dengan cepat karena mereka sudah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan yang sudah sering kali dipergunakan orang menjelajah daerah pegunungan itu. Mula-mula Wang Sin berpikir bahwa nanti kalau dia dan Ci Ying sudah berhasil membunuh Yang Nam, ia akan menjauhkan diri dari gadis ini, untuk kembali ke Kun- lun, mencari isterinya.

Akan tetapi makin lama melakukan perjalanan dengan Ci Ying, makin tahulah ia akan sifat gadis ini dan hatinya menjadi terharu. Ci Ying sebetulnya masih seperti dulu, lincah jenaka. Hanya saja, ada pengaruh aneh yang meliputi diri gadis ini dan pengaruh ini seperti penyakit dan kadang-kadang datang kadang-kadang pergi. Kalau lagi waras, gadis ini tiada bedanya dengan Ci Ying tunangannya dulu. Akan tetapi kalau “kumat”, wah, benar mengerikan. Watak lincah jenaka berubah menjadi dingin keras, kehalusan berubah kekasaran, seorang dewi berubah menjadi seorang siluman betina.

Ia dapat menduga bahwa ini tentu akibat dari pelajarannya, akibat dari hubungannya dengan Cheng-hoa-pai dan diam-diam ia menaruh kasihan. Akan tetapi dalam keadaan bagaimanapun juga, sedang waras atau sedang gila, gadis itu tetap baik kepadanya dan selalu menunjukkan cinta kasih yang amat besar. Bagaimana ia tega untuk meninggalkan gadis ini?

Dalam hal ilmu silat, ia kalah jauh. Ia mengerti bahwa hal ini bukan sekali-kali karena ia kalah rajin belajar, melainkan karena orang yang menggembleng diri Ci Ying memiliki kesaktian luar biasa, memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada guru-gurunya di Kun-lun-pai. Diam-diam ia sering bergidik kalau memikirkan bagaimana hebatnya kepandaian dari Cheng Hoa Suthai orang yang menjadi guru Ci Ying, yang menjadi ketua Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san

Hari masih pagi sekali ketika dua orang muda ini sudah tiba di luar kota Lasha. Dari jauh sudah nampak bangunan-bangunan yang tinggi dan megah. Mereka menjadi kagum dan terpesona. Sampai lama mereka menghentikan kuda dan memandang ke depan, merasa seperti mimpi. Sudah semenjak kecil mereka mendengar hebatnya pemandangan di kota Lasha. Kota tempat tinggal para dewa.

******

Pada masa itu, Tibet masih diperintah oleh seorang raja. Akan tetapi, biarpun Tibet merupakan kerajaan, namun sebetulnya yang berkuasa adalah para pendeta Lama. Mereka ini besar sekali pengaruhnya dan tidak ada keputusan raja dikeluarkan tanpa lebih dulu minta persetujuan dari para pendeta-pendeta kepala.

Sudah terkenal sampai ke daratan Tiongkok bahwa di Lasha ini adalah kedungnya ilmu-ilmu yang aneh dan bahwa para pendeta Tibet ini banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kabarnya Tat Mo Couwsu banyak meninggalkan kitab-kitab yang tinggi luar biasa di daerah ini yang menjadi kedungnya agama Buddha.

Tempat inilah merupakan “stasiun”, tempat agama Buddha menyeberang dari India ke Tiongkok, maka tidak mengherankan apabila di situ terdapat banyak sekali pendeta- pendeta yang pandai. Raja yang masih muda seakan-akan hanya boneka di tangan para pendeta kepala. Sudah jamak di dunia ini bahwa segala keadaan adalah dwipura. Ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk. Bukan hanya jamak, memang sudah seharusnya demikian menurut hukum Im-Yang. Tidak ada Im, mana bisa ada Yang? Tidak ada sebutan tinggi, mana bisa muncul sebutan rendah?

Kalau manusia tidak mengenal apa itu artinya buruk, mana bisa mengenal pula artinya baik? Dua sifat bertentangan, Im dan Yang inilah yang menghidupkan sesuatu yang menjadi sumber dari pada pengertian kita sehingga timbullah pengertian untuk mengenal, membedakan, dan karenanya panca indera kita dapat dipergunakan.

Demikian pula kehidupan di kalangan para pendeta Lama. Sungguhpun mereka itu semenjak kecil dijejali ajaran-ajaran agama yang selalu mengutamakan kebaikan melulu, namun dasar manusia ada yang baik tentu ada yang buruk. Kalau semua manusia baik, dunia tidak sekacau sekarang ini, tentu berubah menjadi taman sorgaloka.

Bukan hanya terdapat perbedaan-perbedaan, malah di antara pendeta-pendeta yang sudah tinggi tingkatnya, timbul bermacam aliran. Memang banyak terdapat pendeta- pendeta Lama yang betul-betul penganut agama yang amat saleh, beribadat dan taat sehingga merupakan orang-orang alim yang menyucikan diri.

Akan tetapi, tidak kurang-kurang pula banyaknya yang tersesat, menyeleweng dari ajaran agama atau lebih tegas menyelewengkan agama menjadi ilmu-ilmu setan atau ilmu-ilmu hitam. Malah banyak diantaranya yang begitu rendah sampai mau menjadi penjilat-penjilat para bangsawan untuk dapat mengecap kenikmatan duniawi sepuas- puasnya dan sekenyang-kenyangnya.

Seperti telah diketahui, putera tuan tanah Yang Can di Loka, yaitu Yang Nam, setelah menikah dengan puteri seorang berpangkat di Lasha, dia mendapat kedudukan pangkat yang lumayan. Di Lasha pada waktu itu, seperti di kota-kota besar lain di negara yang belum sempurna keadaannya, kemuliaan seseorang ditentukan oleh pangkat dan hartanya. Kalau ia berpangkat, apa pula berharta, mulialah dia. Besarlah pengaruh dan kekuasaannya.

Yang Nam adalah putera tuan tanah yang kaya raya, maka dengan menggunakan hartanya, amat mudah baginya untuk menarik bantuan para pendeta Lama yang silau matanya oleh emas untuk menjadi pelindungnya. Malah ia berhasil pula mempengaruhi Thu Bi Tan, seorang di antara “empat besar” yaitu empat orang guru besar di antara pendeta Lama yang dianggap paling pandai dan paling tinggi kedudukannya.

Memang banyak di antara para hwesio yang menyeleweng, akan tetapi selama ini, empat orang guru besar itu tetap dapat menjaga kesucian diri. Hanya setelah Yang Nam pindah ke Lasha dan diam-diam mengadakan perhubungan dengan Thu Bi Tan, hwesio kepala ini akhirnya kena dipengaruhi dan merupakan pelindung Yang Nam. Makin besarlah kekuasaan Yang Nam setelah semua orang mengetahui bahwa orang muda ini adalah “sahabat baik” Thu Bi Tan yang ditakuti orang.

Ketika Yang Nam mendengar tentang kejadian di Loka, di mana ayahnya dan antek- anteknya tewas oleh Ci Ying dan Wang Sin, ia terkejut setengah mati. Sambil berlutut ia menangis di depan Thu Bi Tan Hwesio, menceritakan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya di Loka. Sebetulnya, Yang Nam lebih banyak merasa takut dari pada berduka, karena ia maklum bahwa tentu dua orang bekas budak itu akan mengetahui bahwa ia telah pindah ke Lasha dan mencarinya untuk membalas dendam.

“Sudahlah, Taijin, jangan berduka. Mati hidup bukan milik raga kita dan ayahmu sudah mati biarlah ia mendapat tempat yang tenteram. Adapun dua orang pemberontak itu, biar mereka berkepala tiga berlengan enam, ada pinceng yang akan menangkapnya agar kau dapat menghukumnya,” kata Thu Bi Tan menghibur.

Akan tetapi ketika mendengar dari para hwesio yang dapat melarikan diri dari Loka ke Lasha betapa banyak pula pendeta dikepalai Thouw Tan Hwesio terbinasa di Loka, Thu Bi Tan Hwesio menjadi marah sekali. Tidak hanya dia seorang yang marah, malah tiga orang pendeta kepala yang lain diam-diam merasa tak senang.

Mereka dapat mengerti kalau ada budak yang memberontak dan membunuh tuan tanah, akan tetapi membunuh pendeta-pendeta, itulah keterlaluan, pikir mereka. Tentu saja para pendeta kepala kerjanya hanya bersembahyang di dalam kelenteng ini tidak tahu akan sepak terjang murid-murid mereka yang menyeleweng itu.

Biasanya tiga orang pendeta kepala yang lain, adalah orang-orang yang beribadat dan tidak mudah marah, akan tetapi kali ini mereka tidak membantah ketika Thu Bi Tan Hwesio memberi tugas kepada seorang murid kepala yang bernama Ga Lung Hwesio untuk membawa beberapa orang saudara dan melakukan pengejaran serta menangkap dua orang muda yang telah mengamuk di Loka itu.

Ga Lung Hwesio adalah seorang pendeta gemuk yang berilmu tinggi. Kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada Thouw Tan Hwesio dan dia merupakan murid nomor satu Thu Bi Tan Hwesio, Peribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari” terbukti kebenarannya di sini. Karena Thu Bi Tan Hwesio menjadi “sahabat” Yang Nam, tentu saja murid-murid ini bukan hanya sekedar bersahabat, malah boleh dibilang dia menjadi antek pembesar muda itu.

Kalau di Loka Yang Nam dahulu mengandalkan Thouw Tan Hwesio, maka di Lasha ia mempunyai Ga Lung Hwesio sebagai pengawal pribadinya. Maka terdengar perintah guru besar ini kepada muridnya. Diam-diam Yang Nam lalu cepat menghujani Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya dengan hadiah-hadiah dan janji-janji muluk sambil dibisiki supaya kalau sukar menangkap hidup, dua orang muda yang mengamuk di Loka itu “dibereskan” saja yang artinya dibunuh.

Demikianlah, Wang Sin dan Ci Ying yang telah tiba di luar kota Lasha, tiba-tiba melihat lima orang hwesio datang dengan langkah lebar dan cepat. Melihat gerakan kaki lima orang hwesio yang amat ringan ini, diam-diam Wang Sin dan Ci Ying terkejut dan dapat menduga bahwa yang datang ini adalah orang-orang dengan kepandaian tinggi.

“Kanda Wang Sin, kita telah disambut. Tapi jangan takut, aku akan menghadapi mereka!” kata Ci Ying, sikapnya memandang rendah sekali. “Ci Ying, musuh kita hanya Yang Nam. Jangan mencari gara-gara dengan para hwesio di sini.” Wang Sin memperingatkan akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek.

Lima orang hwesio itu bukan lain adalah Ga Lung Hwesio yang memimpin empat orang sutenya. Baru saja hendak berangkat mencari dua orang muda yang mengamuk di Loka, mereka sudah mendengar laporan mata-mata di luar tembok kota bahwa yang mereka cari sudah datang. “Bagus,” kata Ga Lung Hwesio, anjing-anjing sudah datang tinggal menggebuk saja!”

Lalu bersama empat orang sutenya, ia berlari keluar kota untuk menghadang Wang dan Ci Ying.

Melihat bahwa pasangan muda mudi itu benar-benar masih amat mudah, Ga Lung Hwesio menjadi heran sekali. Masa Thouw Tan Hwesio sampai kalah oleh dua orang muda ini?

“Apakah kalian yang bernama Wang Sin dan Ci Ying, dua orang bekas budak yang menimbulkan huru-hara di Loka?” tanya Ga Lung Hwesio sambil mengangkat muka dengan sikap angkuh.

Dengan tenang Wang Sin menjawab. “Betul.” Akan tetapi Ci Ying tertawa dan menyambung, “Hwesio cebol, kalau nonamu yang membikin huru-hara di Loka, kau mau apa?”

Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Mendengar makian ini ia dapat menindas perasaan marahnya dan ia hanya tersenyum.

“Orang-orang muda suka besar kepala, mengira di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Ah, anak-anak yang masih hijau, lekas kalian turun dan berlutut. Pincengan tidak akan menggunakan kekerasan, hanya akan menggiring kalian ke kota di mana kalian akan dihadili.”

“Hwesio sialan, siapa sudi dengar omonganmu yang busuk? Menyingkirlah biar kami lanjutkan perjalanan!” bentak Ci Ying, tangan kirinya bergerak dan lima benda bundar mengkilap menyambar ke arah jalan darah berbahaya di tubuh Ga Lung Hwesio dan adik-adik seperguruannya. Itulah serangan gelap yang amat cepat dan sukar dikelit. Akan tetapi dengan tenang lima orang hwesio itu menggerakkan tangan dan lima buah benda bundar itu sudah dapat mereka tangkap dengan telapak tangan.

Ga Lung Hwesio melihat benda itu dengan keningnya berkerut. Dengan tongkatnya yang kecil panjang, tongkat terbuat dari sebangsa bambu kuning, ia mencongkel tanah di depannya kakinya, melempar benda itu ke dalam tanah dan menguruknya lagi dengan ujung tongkat.

Sambil mengeluarkan seruan kaget, empat hwesio yang lain juga mengikuti perbuatan ini, lalu kelimanya mengucapkan doa-doa pendek sambil merangkap kedua tangan ke depan dada. Kemudian Ga Lung Hwesio membuka matanya, memandang Ci Ying sambil membentak.

“Bocah keji! Dari mana kau mendapatkan mata manusia itu?” “Orang-orang telah dengan suka rela. menyumbangkan sebelah matanya kepadaku, semua ada sepuluh biji. Sekarang kalian lima orang hwesio sinting membuang lima biji, harus ditukar dengan sebelah mata kalian?” jawab Ci Ying sambil mendelikkan matanya.

Dua orang hwesio mengeluarkan seruan keras, tak dapat menahan kemarahannya. Serentak mereka melompat ke depan, seorang menubruk Ci Ying dan yang seorang lagi menubruk Wang Sin untuk menyeret dua orang muda itu turun dari kuda.

Sambaran mereka ini hebat sekali, tangan kanan mencengkeram ke arah pundak dan tangan kiri dihantamkan kepada punggung kuda.

Wang Sin yang merasai datangnya angin pukulan yang amat keras, kaget bukan main. Ia melompat ke arah lain sambil menggulingkan tubuh, hampir saja ia roboh terguling kalau tidak lekas-lekas ia menggunakan tangannya mendorong tanah, sehingga ia dapat berdiri tegak lagi.

Adapun Ci Ying sambil mengeluarkan suara nyaring, dengan ringan sekali tubuhnya melompat dari atas kuda menghindarkan cengkeraman, akan tetapi tidak seperti Wang Sin, sambil melompat sabuk merahnya meluncur ke arah leher lawan merupakan serangan balasan yang sekali gus mengarah urat kematian.

Terdengar suara keras ketika tangan kiri dua orang hwesio itu mengenai punggung kuda. Dua ekor binatang itu meringkik hebat, melompat jauh dan berlari keras. Akan tetapi baru beberapa belas meter mereka lari, sekali lagi mereka meringkik dan terguling roboh berkelonjotan terus mati. Kiranya hajaran tangan kiri dua orang hwesio tadi telah meremukkan isi perut mereka.

Adapun hwesio yang menyerang Ci Ying, ketika melihat datangnya ujung sabuk mengarah jalan darah di lehernya, kembali mengeluarkan seruan keras, tangan kanannya yang luput mencengkeram tadi ditarik untuk menangkap ujung sabuk dan merampasnya. Akan tetapi, Ci Ying lihai sekali.

Sekali sendal ujung sabuknya melejit dan lolos dari cengkeraman malah dapat memecut lengan hwesio itu yang cepat mundur dengan seruan kaget. Kulit lengannya itu pecah dan biarpun tak mendatangkan luka berbahaya tetap saja terasa amat sakit.

Di lain saat Ci Ying sudah tertawa ha-ha-ha-hi-hi sambil mengobat-abitkan sabuknya. “Mari, mari, cucuku gundul, mari kalau hendak menerima hajaran nenekmu!” katanya.

Dua orang hwesio itu memuncak kemarahannya. Dengan geram mereka mengeluarkan senjata mereka, sebuah toya yang besar dan berat. Langsung mereka menerjang maju, seorang menyerang Wang Sin yang kedua menyerang Ci Ying.

Wang Sin sudah menarik pedangnya dan segera ia bertempur dengan hwesio itu.

Diam-diam ia mengeluh karena selain toya lawannya amat kuat tidak terpatahkan pedang mustikanya, juga tenaga lawannya ini besar sekali, membuat telapak tangannya sakit-sakit tiap kali senjatanya menangkis toya. Ia segera mengeluarkan semua kepandaiannya, mainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat cepat. Benar juga, setelah ia menggunakan kecepatannya, ia dapat mengimbangi lawan. Di lain pihak, sambil tertawa-tawa mengejek, Ci Ying melayani dan mempermainkan hwesio kedua. Toya adalah sebuah senjata yang kaku dan keras, maka menghadapi senjata sabuk yang amat lemas dan digerakkan dengan amat cepat secara aneh, hwesio itu segera terdesak hebat.

Harus diakui bahwa dalam hal tenaga dalam, Ci Ying masih tidak mampu menangkan hwesio ini yang sudah memiliki pengalaman dan latihan puluhan tahun. Akan tetapi Ci Ying mewarisi ilmu silat yang aneh dan ganas. Setiap pukulan merupakan tangan maut yang mengarah jalan darah-jalan darah yang paling berbahaya, tidak mengherankan apablia hwesio lawannya menjadi bingung dan kacau permainan toyanya.

“Hi-hi-hi, hwesio bau. Orang macam kau biar ada sepuluh, mana bisa melawan aku? Konco-koncomu itu apa jerih menghadapi aku? Biar mereka maju bersama!” tantangnya, sombong dalam kemenangannya.

Melihat seorang saudaranya menghadapi Wang Sin sudah cukup dan dapat mendesak, hwesio-hwesio itu tidak mau membantu. Akan tetapi melihat saudaranya yang terdesak oleh Ci Ying mereka gelisah.

Akan tetapi Ga Lung Hwesio dan empat orang adik seperguruannya ini adalah

hwesio-hwesio berkedudukan tinggi di Tibet, mana mereka sudi mengeroyok ? Hanya setelah mendengar tantangan Ci Ying, seorang di antara mereka menjadi panas hati dan mendapatkan kesempatan selagi lawan menantang, ia segera melompat maju memutar tongkatnya.

“Bocah ganas, lihat toya!” serunya sambil menyerang dengan hebat.

Ci Ying diam-diam sudah siap sedia. Melihat hwesio itu maju, ia tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak kembali lima biji mata yang masih berada di kantongnya, ia sambitkan kepada hwesio itu, mengarah lima jalan darah di tubuhnya. Jarak antara mereka hanya tiga empat meter, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan mendesak ini.

“Makan ini!” seru Ci Ying. Sebetulnya, menurut sopan santun dunia persilatan, menyerang secara menggelap merupakan pantangan besar. Oleh karena itu, setiap kali hendak membuka serangan, orang selalu membentak dan setiap kali menggunakan senjata rahasia, selalu didahului dengan seruan agar lawan bersiap sedia. Akan tetapi Ci Ying yang licik sekali berseru setelah senjata rahasianya menyambar lawan.

Bukan main kagetnya hwesio ini. Hwesio pertama yang tahu kawannya diserang secara menggelap, hendak mencegah dengan mengirim serangan ke arah kepala Ci Ying, akan tetapi ia terlambat. Lima buah benda itu sudah dilontarkan dan dengan cekatan Ci Ying sudah dapat mengelak dari serangannya.

Hwesio yang menghadapi ancaman maut dari lima butir biji mata itu, melempar diri ke belakang untuk menghindarkan serangan, akan tetapi dua butir biji mata yang menyambar lutut kiri dan bawah pusarnya sukar dikelit dan agaknya ia akan segera mendapat celaka. Pada saat itu terdengar bentakan keras dan sebatang tongkat kecil panjang meluncur memapak dua butir biji mata itu sehingga terdengar suara “tak-tak” dan biji mata itu terlempar ke pinggir, tidak mengenai sasaran. Itulah tongkat dari Ga Lung Hwesio yang dilontarkan untuk menangkis.

Hwesio yang baru saja terbebas dari bahaya maut, melompat bangun dengan muka pucat. Keringat dingin membasahi jidatnya. Ia bersyukur bahwa suhengnya sudah bergerak cepat dan dapat menyelamatkan nyawanya.

Ia memungut tongkat itu dan menyerahkan kepada Ga Lung Hwesio dengan sinar mata terima kasih. Kemudian ia menerjang Ci Ying, memaki. “Setan licik, kau benar- benar ganas dan pantas menjadi penghuni neraka!”

Hi-hi-hi, hwesio bau. Suruh kawanmu yang dua lagi maju. Itu hwesio cebol mana berani?”

Ga Lung Hwesio hanya tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali dimaki oleh gadis itu. Akan tetapi sutenya seorang lagi marah lalu memutar toya dan menyerbu sehingga di lain saat Ci Ying sudah dikeroyok tiga. Tentu saja Ci Ying menjadi repot sekali.

Melawan seorang hwesio saja, ia dapat mengimbangi dan menang di atas angin hanya karena ia mengandalkan kecepatannya pada hal ia kalah tenaga. Apalagi sekarang dikeroyok tiga. Lebih-lebih lagi kegelisahannya ketika melihat Wang Sin sudah repot sekali dan dalam jurus berikutnya Wang Sin terkena serampangan kakinya. Ia mencoba untuk melompat, akan tetapi kurang cepat dan tulang keringnya terkena hajaran toya sampai patah tulangnya.

Orang muda itu mengeluh dan melompat jauh menggunakan satu kakinya yang belum terluka. Hwesio itu hendak mengejar, akan tetapi Ci Ying keburu melompat jauh menghadang di depan Wang Sin sambil berseru.

“He, hwesio tengik! Kawanku sudah terluka dan kalah, kau masih mendesak terus, apakah tua bangkotan tidak malu menghina yang muda?”

Mendengar ucapan ini, hwesio itu melengak dan otomatis ia bergerak mundur. Tentu saja, sebagai seorang yang berkedudukan tinggi ia pantang sekali dianggap “yang tua menghina yang muda”, ia ragu-ragu dan menengok ke arah Ga Lung Hwesio sambil menanti keputusan.

“Bocah ganas, apakah setelah kawanmu terluka kau masih tidak mau menyerah?” tanya Ga Lung Hwesio.

Ci Ying cerdik sekali, akan tetapi ia maklum bahwa kali ini ia tidak berdaya. Maka ia sengaja hendak mengulur waktu dan tidak mau menyerah secara mentah-mentah. “Hwesio cebol, siapa sudi menyerah? Kawanku terluka, akan tetapi, aku belum kalah, kau tahu?”

“Kalau begitu, kami akan merobohkan kau lebih dulu!” seru hwesio yang tadi hampir menjadi korban senjata rahasia dan ia melompat maju dengan serangannya, diikuti dua orang kawannya. Mereka bertiga yang tadi mengeroyoknya hendak cepat-cepat mengalahkan Ci Ying, maka begitu menerjang mereka menggunakan tongkat mereka mainkan jurus yang paling ampuh.

Ci Ying cepat mengelak sambil mengebut dengan sabuknya, “Cih, tak tahu malu! Tiga monyet bangkotan mengeroyok seorang nona muda. Mana di dunia kang-ouw ada macam aturan itu? Tebal muka!”

Tiga orang hwesio itu menjadi bohwat (tak berdaya). Mereka merasa malu sekali dan terpaksa mereka menahan senjata mereka.

“Kau sendiri yang tadi menantang minta dikeroyok!” seorang di antara mereka mencoba untuk membentak.

“Celaka, aku bicara main-main, kiranya kalian kakek-kakek tua begitu tidak tahu malu menggunakan kesempatan orang muda main-main lalu mengeroyok sungguh- sungguh.”

Ci Ying memang sejak dulu berwatak lincah jenaka dan pandai bicara. Sekarang menghadapi ancaman pihak yang lebih kuat, keganasannya bersembunyi dan muncullah sifat-sifatnya dahulu yang cerdik.

Melihat tiga orang sutenya nampak bengong, Ga Lung Hwesio tertawa sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah. “Sute sekalian mundurlah. Biar pinceng menghadapinya seorang lawan seorang.”

Ci Ying melihat akalnya berhasil membuat ia tidak akan dikeroyok lagi. Apa pula yang maju adalah hwesio cebol gemuk ini. Yang lain-lain boleh lihai, akan tetapi si cebol gemuk ini mana bisa main silat dengan baik?

Ia cepat menghampiri Ga Lung Hwesio dan menyerang dengan serentak. “Bagus! Siapa kalah dalam pertempuran ini berarti haknya kalah dan harus mundur. Janji orang gagah tak dapat ditarik kembali!”

Para hwesio itu melengak. Siapa yang berjanji? Benar-benar seorang bocah yang licik sekali, lihai ilmu silat dan mulutnya. Akan tetapi Ga Lung Hwesio yang sudah melihat ilmu silat Ci Ying, tanpa ragu-ragu lagi berkata, “Baiklah, siapa kalah berarti pihaknya kalah. Majulah!”

Ci Ying tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Sabuknya menyerang cepat, mengarah jalan darah yang-goat-hiat dan kin-ceng-hiat. Anehnya Ga Lung Hwesio tidak mengelak mundur, bahkan melangkah setindak dan menyodokkan tongkatnya ke arah leher nona itu. Gerakan tongkatnya yang kecil panjang itu cepat bukan main, tahu-tahu sudah mengancam leher Ci Ying.

Gadis ini terkejut. Kalau dia melanjutkan serangannya, sebelum ujung-ujung sabuknya mengenai tubuh lawan, lebih dulu ia akan “dimakan” tongkat. Terpaksa ia mengelak sambil menggerakkan sabuknya lagi, sekali gus menotok ke arah iga dan pergelangan tangan Ga Lung Hwesio. Gerakannya indah dan cepat lagi ganas, membuat hwesio pendek gemuk itu mengeluarkan seruan memuji. Akan tetapi secepat-cepatnya Ci Ying, ia masih kalah cepat oleh hwesio murid kepala Tibet itu. Tongkat sudah diputar lagi, sekali gus menangkis dua ujung sabuk. Ci Ying menggetarkan sabuknya hendak membelit tongkat, namun lawannya sudah menarik kembali tongkatnya dan di lain saat ia sudah berjongkok dan dua kali ujung tongkatnya menusuk sambungan lutut kedua kaki Ci Ying.

Gadis itu berseru kesakitan dan roboh terguling. “Ikat gadis liar ini!” seru Ga Lung Hwesio kepada seorang sutenya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan Wang Sin sudah berdiri dengan sebelah kaki pincang.

Orang muda ini menghadang dengan sikap gagah, pedang melintang di dada sambil berseru. “Jangan kurang ajar! Siapa berani mengganggu Ci Ying akan menjadi makanan pedangku!”

11. Pembalasan Para Pendeta Lama.

Ga Lung Hwesio tertawa dan tongkatnya digerakkan, Wang Sin menangkis dengan pedangnya, mengerahkan tenaganya.

“Tranggg. !” Pedangnya terlepas dan terlempar jauh dengan cepat, meluncur

merupakan sinar kebiruan dan dia sendiri segera roboh ketika tongkat hwesio pendek itu menotok pundaknya.

Selagi lima orang hwesio itu kegirangan karena melihat dua orang muda yang mengamuk sudah tertawan, tiba-tiba mereka kaget karena sinar biru dari pedang Wang Sin yang terlempar tadi terhenti di tengah jalan dan tahu-tahu sudah disambar oleh tangan seorang wanita yang berusia lima puluh tahun lebih.

Wanita ini berpakaian serba putih seperti seorang pendeta, tangan kirinya memegang kebutan merah dan tangan kanan memegang seuntai tasbeh. Tasbeh inilah yang tadi diputar dan “menangkap” pedang yang sedang terbang itu.

Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya melihat wanita ini menjadi kaget karena di rambut kepala wanita ini terdapat sekuntum bunga hijau yang mengeluarkan sinar gemilang. Mereka teringat akan bunga hijau yang menghias kepala Ci Ying dan tahulah mereka siapa orangnya yang telah datang ini.

Akan tetapi Ga Lung Hwesio pura-pura tidak mengenalnya dan segera menjura dengan hormat. Sebagai seorang hwesio, melihat pendeta dari aliran agama lain, ia berlaku hormat.

“Omitohud. ada saudara datang tidak keburu menyambut karena gangguan anak-

anak muda. Harap toyu sudi memaafkan pinceng berlima.”

Nenek itu mengeluarkan suara dingin sambil memandang tajam. “Hwesio-hwesio bangkotan menindas orang-orang muda, sungguh tak tahu malu!”

“Suthai, bikin mampus mereka. Mereka telah menghina muridmu!” kata Ci Ying yang girang sekali melihat kedatangan nenek itu yang bukan lain adalah gurunya, Cheng Hoa Suthai ketua dari Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san. Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya sudah mendengar kehebatan nenek tua Cheng-hoa- pai ini, akan tetapi karena belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, mereka tidak takut. Adalah karena mendengar ucapan Ci Ying tadi mereka menjadi khawatir sekali kalau-kalau nenek itu terlalu memihak murid sendiri, maka Ga Lung Hwesio cepat menjawab.

“Kiranya Cianpwe adalah ketua dari Cheng-hoa-pai yang ternama. Harap cianpwe suka mempertimbangkan urusan ini. Semua adalah kesalahan muridmu sendiri yang telah membunuh sute Thouw Tan Hwesio dan banyak pendeta-pendeta lain. Dia memberontak di Loka dan. ”

“Ci Ying, kenapa kau membunuh keledai-keledai gundul di Tibet?” tanya Cheng Hoa Suthai kepada muridnya. Pertanyaan ini terdengar keren, akan tetapi dengan menggunakan sebutan “keledai gundul” berarti dia telah memaki para hwesio di Tibet yang agaknya tak diindahkan olehnya.

Ci Ying sudah mengenal baik watak gurunya. Nenek ini amat ganas dan kejam hatinya, akan membunuh setiap orang tanpa berkejap mata. Akan tetapi dia amat pantang untuk menodai nama baik Cheng-hoa-pai dan berlaku keras kepada murid- muridnya. Setiap orang murid harus menjunjung tinggi nama baiknya Cheng-hoa-pai. Siapa melanggar berarti mati. Maka dengan suara tetap ia menjawab.

“Suthai telah mengerti bahwa teecu pergi hendak membalas sakit hati kepada tuan tanah di Loka yang telah menyiksa teecu dan semua budak, malah sudah membunuh ayah. Manusia binatang macam tuan tanah itu sudah sepatutnya dibasmi, bukan?”

Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk sambil melirik tajam ke arah lima orang hwesio itu. “Memang lebih dari patut dibasmi sekeluarganya berikut antek-anteknya!”

Ci Ying tersenyum. “Nah, teecu hanya berhasil membunuh tuan tanah yang tua berikut antek-anteknya di Loka, sedangkan yang muda sudah pindah ke Lasha, para pendeta bangkotan palsu di Loka membantu tuan tanah, kiranya bangkotan ini yang berkepala gundul berpakaian pendeta, juga menjadi kaki tangan mereka. Mereka inipun pantas dibasmi!”

Terkejut hati Ga Lung Hwesio mendengar ini dan melihat wajah Cheng Hoa Suthai berubah keras, mereka siap sedia.

“Pantas. pantas sekali dibasmi. Eh, hwesio-hwesio Tibet yang tahu malu,

perbuatan kalian membantu tuan-tuan tanah jahat benar-benar tidak cocok dengan kedudukan kalian. Apakah Su Thai Losu (Empat Guru Besar Tua) di Lasha akan membiarkan saja penyelewengan kalian?”

Mendengar sebutan ini, Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya dengan girang dapat menduga bahwa nenek yang lihai ini masih gentar terhadap guru-guru besar mereka, maka Ga Lung Hwesio segera menjawab.

“Cianpwe, pinceng dan sute-suteku ini adalah murid-murid Su Thai Losu, malah guru-guru pinceng yang menitahkan pinceng menangkap dua orang pemberontak ini. Harap Cianpwe ketahui bahwa dosa mereka ini besar sekali tidak saja mengacau malah merendahkan nama besar guru-guru kami. Pinceng berjanji akan membawa dua orang muda ini supaya menerima pengadilan di Lasha.”

“Hwesio bau! Kau tidak melihat aku, ya? Kau kira aku takut kepada empat keledai tua di Lasha? Rebahlah kau!” Cepat sekali gerakan tangan Cheng hs, tahu-tahu pedang biru sudah melayang ke arah Ga Lung Hwesio sedangkan tasbeh dan kebutannya bergerak ke arah empat orang hwesio yang lain.

Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat sinar biru menyambar dadanya, ia menangkis dengan tongkat. Terdengar suara keras dan bunga api berhamburan, akan tetapi pedang itu sudah dapat ditangkisnya sehingga menyeleweng dan menancap sampai ke gagangnya di atas tanah. Sedangkan dia sendiri mundur tiga langkah dengan kedua tangan merasa tergetar hebat.

Wajahnya menjadi pucat, apalagi ketika ia melihat betapa empat sutenya berturut- turut terjungkal, tak dapat menahan serangan Cheng Hoa Suthai. Dua orang yang terpukul tasbeh patah-patah tulang iganya sedangkan yang dua orang lagi terkena sambaran kebutan, terlepas sambungan tulang pundaknya.

Ga Lung Hwesio terkejut sekali. Keempat orang sutenya itu sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi sekali serang saja Cheng Hoa Suthai sudah dapat merobohkan mereka. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya nenek ini.

Akan tetapi karena marah sekali, Ga Lung Hwesio menjadi nekad. Ia memutar tongkatnya lalu menyerbu sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya.

Sebagai seorang berkedudukan tinggi, yaitu menjadi ketua partai, Cheng Hoa Suthai memiliki keangkuhan. Terhadap orang-orang yang tingkatnya lebih rendah, dia tidak mau terlalu mendesak. Sekali turun tangan ia harus berhasil dan tidak sudi mengulangi lagi. Kalau Ga Lung Hwesio tidak menyerangnya, dia tentu mengampuni hwesio ini karena tadi ia sudah menyerang hwesio ini dengan lontaran pedang Wang Sin dan hwesio itu sudah dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi sekarang Ga Lung Hwesio menyerangnya, maka bangkitlah kemarahannya. Begitu melihat tongkat Ga Lung Hwesio menyambarnya, kebutan di tangan kiri bergerak menggulung ujung tongkat. Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya bertempur. Melihat senjatanya kena terlibat, ia mengerahkan tenaga untuk membetot akan tetapi tongkat itu seakan-akan telah tertanam buluh kebutan menjadi akar-akarnya, tak dapat ditarik kembali.

Dan pada saat itu tiba-tiba Cheng Hoa Suthai mengendurkan kebutannya, sehingga oleh tenaga yang dilepas tiba-tiba ini, Ga Lung Hwesio hampir terjengkang ke belakang. Di saat itu bayangan putih berkelebatan, ialah tasbeh di tangan kanan Cheng Hoa Suthai yang menyambar ke arah kepalanya.

“Celaka. !” seru Ga Lung Hwesio sambil melepaskan tongkatnya dan menjatuhkan

diri kebelakang. “Melihat muka Su Thai Losu, aku mau mengampuni jiwa anjingmu!” terdengar ketua Cheng-hoa-pai itu berkata dengan suara dingin, gerakan tasbehnya diturunkan dan sebagai pengganti kepala hanya pundak Ga Lung Hwesio saja yang “dimakan” tasbeh, “Krakkk!” patahlah pundak kiri hwesio itu yang menjerit kesakitan terus roboh tak berdaya lagi.

Cheng Hoa Suthai menghampiri muridnya dan menotok lutut untuk membebaskan totokan tongkat Ga Lung Hwesio tadi. Ci Ying segera melompat dan berlutut di depan gurunya, girang bukan main.

“Siapa pemuda yang membantumu itu?” tanya Cheng Hoa Suthai, menunjuk ke arah Wang Sin.

Dengan muka merah akan tetapi dengan suara nyaring, Ci Ying mengaku terus terang. “Suthai, dia itulah Wang Sin tunanganku yang pernah teecu tuturkan kepada suthai dulu.”

Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk. “Kita pergi dari sini. Ajak tunanganmu itu bersama.”

“Tetapi Suthai, teecu belum berhasil membunuh Yang Nam, tuan tanah muda yang paling kurang ajar di dunia ini. ” bantah Ci Ying.

“Jangan membantah! Dengan kepandaianmu menghadapi ke lima ekor anjing ini saja tidak bisa menang apalagi menghadapi Su Thai Losu? Jangan mimpi. Pulang!”

Ci Ying tidak berani membantah. Kalau gurunya saja gentar menghadapi pendeta- pendeta kepala di Lasha, dia sendiri bisa berbuat apakah? Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menghampiri Wang Sin dan memondong tubuh tunangannya itu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Di lain saat gurunya telah berkelebatan di sampingnya dan nenek ini agaknya tidak tega melihat muridnya harus memondong laki-laki yang tentu berat, maka diulurnya tangannya dan tiba-tiba Ci Ying merasa tubuhnya ringan sekali dan kakinya bergerak maju seperti terbang.

Yang paling tidak enak hatinya adalah Wang Sin. Karena sebelah kakinya pincang dan tulangnya patah, ia terpaksa harus dipondong oleh Ci Ying. Ia mengeluh perlahan dan hal ini dikira oleh Ci Ying karena sakit di kakinya. Murid ini lalu minta gurunya berhenti untuk memeriksa luka di kaki Wang Sin.

“Hemmm, tulangnya patah,” kata Cheng Hoa Suthai. Tanpa banyak cakap lagi nenek ini lalu menyambung tulang patah itu dan memberi obat, dan lenyaplah rasa nyeri, diam-diam Wang Sin makin berterima kasih kepada Ci Ying dan gurunya.

Tanpa bantuan Ci Ying di Loka saja, dia dan isterinya sudah gagal dan besar kemungkinan akan berkorban nyawa dan tadi untuk kedua kalinya, tanpa ada Cheng Hoa Suthai kiranya tak dapat disangsikan lagi ia akan tewas di tangan hwesio Tibet. Makin tidak enak hatinya karena tahu bahwa makin sukarlah ia melepaskan diri dari ikatan Ci Ying. ******

Enam belas tahun kemudian .............................

Pegunungan Kun-lun merupakan barisan gunung yang panjang dan luas sekali. Di puncak ini tersebar tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang banyak, akan tetapi yang merupakan pusat dari pada partai persilatan Kun-lun-pai berada di puncak paling timur yang menjadi sumber atau mata air dari sungai Cin-sa dan puncak ini yang menjadi tapal batas antara pegunungan Kun-lun dan Bayangkara.

Di pusat ruangan ini pula duduk guru besar dari partai Kun-lun-pai bernama To Gi Couwsu yang sudah sangat tua. Sudah belasan tahun tosu tua ini tidak menguruskan lagi keramaian dunia dan hanya bertapa di puncak gunung. Murid-murid dan cucu- cucu muridnya cukup banyak untuk mengurus semua kewajiban dan menjaga nama baik Kun-lun-pai sehingga partai persilatan ini mempunyai nama besar yang amat harum di dunia kang-ouw, ditakuti orang jahat disegani orang gagah.

Tidak seperti biasanya pada hari itu di dalam markas besar Kun-lun-pai, di ruangan lian-bu-thia (ruang belajar silat) nampak tosu-tosu kepala berkumpul, duduk di kursi- kursi yang diatur memutari ruangan itu. Para anak murid lain berdiri di belakang, menonton sambil memanjangkan leher agar dapat melihat lebih jelas ke tengah ruangan.

Di kursi kepala duduk To Gi Couwsu yang sudah amat tua, duduknya tegak dan di tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang tak pernah berpisah dari badannya. Tosu ini sudah begitu tua sehingga untuk berjalan saja ia harus dibantu oleh tongkatnya.

Di tengah ruangan itu terdengar angin mendesir-desir dan berkelebatannya bayangan putih yang meloncat ke sana ke mari. Itulah hawa pukulan yang dahsyat, menandakan bahwa di ruangan itu ada seorang yang sedang bermain silat dengan hebatnya.

Ketika bayangan itu berhenti bersilat, baru dapat dilihat bahwa dia adalah seorang gadis muda berusia kurang lebih enam belas tahun, berpakaian serba putih, berwajah cantik berkulit putih. Pakaian gadis ini sederhana sekali, akan tetapi hal ini malah menonjolkan kecantikannya yang wajar.

Setelah ia berhenti bersilat, para tosu kepala ruangan itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara pujian.

“Sumoi benar-benar telah mencapai kemajuan yang pesat,” kata mereka. Akan tetapi To Gi Couwsu menggeleng-gelengkan kepalanya nampak tidak puas.

“Bi Hong, coba kau mainkan ilmu pedangmu biar dinilai oleh para suhengmu,” kata To Gi Couwsu, suaranya perlahan dan lambat seperti orang lelah.

Bi Hong, gadis cantik itu, memberi hormat kepada gurunya lalu menjurus kepada para tosu yang duduk mengitari tempat itu, belasan orang banyaknya. “Suheng sekalian harap jangan mentertawakan permainan pedang siauwmoi yang masih buruk,” katanya. Di lain saat tangan kanannya bergerak dan tampak sinar kuning emas berkelebat, disusul oleh gulungan sinar pedang yang ternyata telah dimainkan dengan amat dahsyatnya. Apalagi yang dimainkan adalah sebuah pedang pusaka dari Kun-lun-pai, yaitu Kim-Hui-Kiam (Pedang Emas Terbang) yang dihadiahkan oleh To Gi Couwsu kepada muridnya ini, cepat dan dahsyat sampai tubuh gadis itu lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang kuning emas.

Para anak murid Kun-lun-pai yang masih belum tinggi tingkatnya, yang menonton di belakang sambil berdiri, menjadi kabur pandangannya dan mereka memuji dengan penuh kekaguman dan kebanggaan. Bukankah gadis itu murid Kun-lun-pai yang patut mereka banggakan?

Setelah mainkan jurus-jurus yang sulit, tiba-tiba gadis itu berseru, “Suhu, teecu mohon diijinkan menggerakkan jurus terakhir!”

To Gi Couwsu menganggukkan kepalanya dan tahu-tahu sinar pedang itu melesat keluar ruangan, melampaui kepala para anak murid Kun-lun-pai yang berdiri di luar. Semua orang mengikuti sinar pedang ini dan melihat betapa dengan gerakan amat indah, gadis itu telah mainkan jurus terakhir dari Kun-lun Kiam-hoat yang disebut Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus yang amat sukar dimainkan karena banyak orang harus memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi dan kesempurnaan menggerakkan pedang.

Ketika semua orang sedang ternganga kagum, gadis itu sudah turun kembali dan di tangan kirinya ia memegang seekor burung yang kedua sayapnya telah ia sabet putus dengan pedangnya. Burung gereja itu tadi sedang terbang dan burung inilah yang menjadi sasaran jurus Hui-kiam-kan-goat tadi sehingga putus kedua sayapnya.

Burung itu kini mencicit di atas telapak tangan kiri Bi Hong, tidak dapat terbang lagi. Semua tosu kepala yang duduk di situ kembali memuji.

“Siancai. hebat ilmu pedang sumoi.”

Akan tetapi lagi-lagi To Gi Couwsu, guru kepala Kun-lun-pai, menggeleng-gelengkan kepalanya dan tanpa berkata apa-apa ia menggapai kepada Bi Hong supaya mendekat. Setelah gadis itu menghampirinya, tosu ini lalu mengambil burung gereja dari tangan gadis itu, mengelus-elusnya penuh kasih sayang, dan memeriksa kedua sayap yang sudah tidak berbulu lagi.

“Kau harus bersabar tiga puluh hari lebih, menanti sayapmu tumbuh, burung. ”

katanya perlahan lalu memasukkan burung yang tak bersayap itu ke dalam kantong bajunya yang lebar.

“Bi Hong, apa yang kauperlihatkan tadi indah dilihat, akan tetapi belum ketahuan bagaimana kalau menghadapi lawan. Coba kau minta twa-suhengmu untuk menguji,” kata pula To Gi Couwsu dengan suaranya yang perlahan dan tenang.

Gadis itu nampak gembira sekali. Cepat ia menghampiri seorang tosu, murid paling tua di Kun-lun-pai, berusia lima puluh tahun lebih. Di antara semua murid To Gi Couwsu, yaitu para tosu di Kun-lun-pai, dia inilah yang paling tinggi ilmu silatnya, juga paling alim dan selalu mengutamakan kebajikan dan berwatak sabar sekali seperti gurunya.

Gadis itu menjura kepada tosu ini dan berkata sambil tersenyum. “Twa-suheng, di antara para suheng, hanya kau yang selalu menolak untuk menguji kebodohan siauwmoi. Sekarang atas perintah suhu, siauwmoi harap twa-suheng tidak berlaku pelit lagi.”

Lee Kek Tosu menarik napas panjang lalu berdiri dari tempat duduknya. “Suhu yang memerintah siapapun tak boleh menolak. Siauwmoi, kepandaianmu tinggi, darahmu panas, pinto seorang tua lemah mana bisa menangkan kau?”

Bi Hong tertawa dan dengan sikap yang manja ia menarik tangan tosu itu ke tengah ruangan, diikuti senyum para tosu lain. Setelah sampai di tengah ruangan itu, Bi Hong berkata. “Suheng yang baik, harap kau menaruh kasihan kepadaku dan jangan menurunkan tangan besi.”

Gadis itu pintar sekali. Ia maklum bahwa di antara semua tosu yang menjadi suhengnya, twa-suheng ini adalah orang yang paling pandai, maka ia sengaja hendak menjajal kepandaiannya sendiri dengan tangan kosong dan kemudian baru menggunakan pedang. Sebelum tosu itu menjawab, ia sudah menerjang maju sambil berkata, “Twa-suheng, awas, siauwmoi mulai menyerang!”

Bi Hong yang maklum akan kelihaian twa-suhengnya, tidak mau membuang waktu dengan jurus-jurus biasa, melainkan segera menyerang dengan jurus-jurus yang paling lihai dari Kun-lun Ciang-hoat. Mula-mula ia membuka serangannya dengan gerak tipu Kong-ciak-khai-peng (Merak Membuka Sayap) lalu diteruskan dengan Pai-bun- twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Gerakannya cepat dan bertenaga sekali ketika tangan kanannya mendorong ke arah dada twa-suhengnya.

“Bagus!” Lee Kek Tosu memuji ketika merasa betapa sambaran angin dorongan ini amat kuat tanda lweekang dari adik seperguruannya sudah mencapai tingkat tinggi. Dengan sigapnya ia miringkan tubuh, tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan serangan To-tui-kim-ciang (Merobohkan Lonceng Emas), disabetkan dengan jari tangan miring ke arah leher gadis itu.

Bi Hong cepat mengelak dan mengebutkan tangan kirinya. Ia merasai betapa pukulan tangan twa-suhengnya amat berat membuat tangannya tergetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah jauh. Maka ia lalu menggunakan kelincahan tubuhnya menerjang dengan mempercepat gerakannya.

Namun dengan tenang sekali tosu itu menghadapinya dan demikianlah, dalam serang menyerang selama belasan jurus kelihatan perbedaan antara mereka. Si tosu bersikap tenang, gerak geriknya lambat tapi mantap dan bertenaga penuh. Sebaliknya Bi Hong bergerak cepat sekali sehingga ia dapat mengimbangi twa-suhengnya dan menutup kekurangannya dalam kekalahan tenaga lweekang.

Makin lama gerakan Bi Hong makin cepat, pukulan-pukulannya makin berbahaya dan setelah berlangsung empat puluh jurus lebih, gadis ini sudah bukan main-main atau berlatih lagi melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Di lain pihak, tosu itu masih tenang saja dan selalu menjaga agar jangan sampai ia kesalahan tangan melukai sumoinya.

“Cukup, ganti dengan pedang,” terdengar To Gi Couwsu berkata. Keduanya melompat mundur, wajah Bi Hong merah sekali namun suhengnya masih biasa saja. Gadis ini diam-diam merasa penasaran bagaimana setelah menyerang sehebat- hebatnya ia masih belum dapat mendesak suhengnya yang berlaku lambat-lambatan itu. Harus ia akui bahwa dalam ilmu silat tangan kosong suhengnya itu terlalu tangguh baginya. Ia boleh dibilang sudah jauh di bawah angin dan kini ia hendak menebus kekalahannya dengan pedang.

“Suhu sudah memerintahkan, mari keluarkan pedangmu, suheng,” katanya sambil menghunus Kim-hui-kiam.

Si tosu tua tertawa. “Sudah kukatakan tadi, sumoi. Kau lihai dan darahmu panas, mana pinto bisa mengatasimu?” Ucapan ini sabar sekali kedengarannya dan dengan gerakan lambat tosu ini mencabut sebatang pedang dari balik bajunya.

Pedang ini biasa saja kelihatannya, malah tidak bersinar dan kelihatan kotor. Logam yang dijadikan pedang ini kelihatan seperti batu saja. Namun Bi Hong sudah tahu bahwa pedang twa-suhengnya itu adalah pedang pusaka yang tidak kalah ampuhnya dari Kim-hui-kiam dan disebut Toan-kang-kiam (Pedang pemotong baja).

“Twa-suheng, lihat pedang!” bentak Bi Hong dan pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan orang. Tosu itu menangkis, terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berhamburan. Di lain saat keduanya sudah sudah bertempur hebat. Seperti juga tadi, gerakan-gerakan Bi Hong lincah dan teguh penjagaannya.

Biarpun demikian, diam-diam Lee Kek Tosu terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang sumoinya ini benar-benar hebat dan sudah mewarisi dari ilmu pedang Kun-lun-pai. Harus ia akui bahwa biarpun dengan lweekangnya ia dapat menahan, namun untuk menjatuhkan sumoinya ini bukanlah soal mudah lagi baginya.

Setelah lewat seratus jurus, ia melompat mundur, menghela napas panjang dan berkata, “Hebat. hebat sekali kiam-hoatmu, sumoi. Pinto merasa girang sekali dan

bangga.”

Juga semua tosu memuji gadis ini yang cepat menjura sambil berkata. Twa-suheng terlalu mengalah. Semua yang siauwmoi dapatkan ini semata-semata berkat kemurahan hati suhu yang mulia dan para suheng yang berbudi.”

To Gi Couwsu menggerak-gerakan tongkatnya di atas lantai. Bi Hong, twa-suhengmu berkali-kali mengingatkan kepadamu, apakah kau masih tidak sadar?”

Bi Hong terkejut, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. “Suhu, teecu mohon penjelasan.”

“Eh, bocah bodoh. Suhengmu berkali-kali mengatakan darahmu panas, itulah peringatan yang harus kau ingat betul. Kalau kau tidak terlalu panas darah, kalau kau ingat akan pelajaran lweekang dan menekan perasaan, dapat berlaku tenang seperti suhengmu, kau malah lebih kuat dari pada twa-suhengmu. Menghadapi lawan ringan kau dapat berlaku sesukamu menurut perasaan, akan tetapi sekali berhadapan dengan lawan berat, darah panasmu akan merugikan gerakan-gerakanmu. Kenapa kau begitu bernafsu dalam gerakan-gerakanmu?”

Tiba-tiba Bi Hong menangis. “Maaf, suhu. Teecu terlalu bernafsu karena selalu teringat akan musuh-musuh besar yang belum terbalas. Teecu ingin segera turun gunung untuk membalas sakit hati, ingin membasmi orang-orang yang telah membunuh Kong-kong dan membikin ibu mati karena duka.”

To Gi Couwsu menarik napas panjang, terbayanglah semua peristiwa enam belas tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat tosu tua ini terpaksa menerima lagi seorang murid, padahal tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri karena terlalu tua.

Gadis itu Wang Bi Hong, bukan lain adalah puteri dari Ong Hui. Seperti telah diceritakan di bagian depan setelah bersama suaminya menyerbu ke Loka dan bertemu dengan Ci Ying yang membencinya.

Ong Hui mengalah dan pergi meninggalkan suaminya, kembali ke rumah ayahnya di Kun-lun-san. Sambil menangis sedih, ia menuturkan semua pengalamannya kepada ayahnya dan supeknya, Cin Kek Tosu. Ayahnya menghela napas panjang.

“Hui-ji, semua ini kesalahanku. Sudah tahu Wang Sin mempunyai seorang tunangan, aku setengah memaksanya untuk menjadi mantuku. Biarlah, aku akan mencari dia dan tentu dia bisa menerima usulku untuk disamping tunangannya itu, mempunyai isteri kedua.”

“Tidak usah, ayah. Enci Ci Ying tidak rela melihat dia mempunyai isteri lain,” kata Ong Hui sambil menyusut air matanya.

Cin Kek Tosu membanting kakinya, “Kurang ajar anak itu! Mana bisa dia menyia- nyiakan isterinya yang sudah hampir mempunyai anak? Pinto yang akan menghajarnya, kalau kelak dia tidak mau kembali kepadamu.”

Demikianlah, Ong Hui melewatkan hari-hari yang sunyi di atas gunung dengan hati selalu mengandung kedukaan hebat. Beberapa bulan kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Wang Bi Hong. Semenjak melahirkan anak, tubuhnya menjadi lemah dan sering kali sakit. Ini semua disebabkan oleh penderitaan batinnya yang amat berat.

Beberapa bulan kemudian, terjadilah serbuan hebat ke gunung itu. Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya, dikawani oleh Thu Bi Tan Hwesio sendiri yang berilmu tinggi menyerbu ke situ.

Hwesio-hwesio Tibet ini datang untuk membalas dendam atas kematian Thouw Tan Hwesio dan karena mereka tahu bahwa Wang Sin adalah murid Cin Kek Tosu.

Mereka lalu mencari ke gunung itu dan terjadilah pertempuran hebat antara hwesio- hwesio Tibet itu melawan Cin Kek Tosu yang dibantu oleh sutenya, Ong Bu Khai, ayahnya Ong Hui. Ong Bu Khai dan Cin Kek Tosu adalah jago-jago Kun-lun-san yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, Cin Kek Tosu sudah amat tua dan pula enam orang lawannya adalah hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi, maka keduanya tidak dapat menandingi mereka. Biarpun melakukan perlawanan mati-matian dan dengan gagah, akhirnya dua orang jago tua ini tewas di tangan Thu Bi Tan dan keponakan- keponakan muridnya.

Untung bagi Ong Hui yang sakit-sakitan ia terlalu lemah untuk melakukan perlawanan. Andaikata dia tidak sedang sakit, tentu nyonya muda ini tidak akan melihat saja ayah dan supeknya menghadapi para penyerbu itu dan tentu iapun akan mengalami nasib serupa, tewas di tangan para hwesio Tibet. Karena tubuhnya lemah, ia tidak membantah ketika ayahnya menyuruh dia melarikan diri bersama puterinya yang baru berusia beberapa bulan itu.

Sambil menangis sedih, nyonya muda ini membawa anaknya melarikan diri naik seekor keledai. Tujuannya adalah puncak Kun-lun di mana berdiri pusat Kun-lun-pai, tempat tinggal susiok-couwnya, yaitu To Gi Couwsu yang masih terhitung supek dari ayahnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar