Nona Berbunga Hijau Jilid 3

Jilid 3

6. Kembalinya Budak Pelarian.

Wang Tun makin mendongkol. Ditinggalkannya pekerjaannya dan ia menghampiri Cin Kek Tosu dengan langkah lebar dan sikap mengancam. “Kau masih pura-pura bertanya? Katanya negara orang Han adalah negara besar, orang-orangnya adalah orang-orang pandai, tidak tahunya tiada bedanya dengan bangsa penjilat. Kalian datang hanya untuk menyenangkan hatinya para bangsawan dan para tuan tanah. Apa peduli kalian akan budak-budak yang hidup tersiksa? Siksaan yang diderita para budak kalian anggap tontonan yang menyenangkan, ya? Hayo lekas minggat dari sini, jangan sampai kesabaranku hilang. Kalau terjadi begitu, jangan salahkan Wang Tun kalau sampai lehermu patah-patah.”

Diam-diam Cin Kek Tosu merasa terharu, juga mendongkol melihat kecongkakan pandai besi ini. Namun ia harus akui bahwa dalam ucapan kasar tadi terkandung kebenaran. “Kawan, sebetulnya aku mencari baja yang baik untuk bahan membuat pedang. Kulihat bahan baja yang kau tempa itu amat baik, maka kalau kau mau memberi untuk bahan pedang aku mau menukarnya dengan apa yang kau minta.”

“Setan, kau malah hendak mencuri dan membujuk aku menjadi pencuri? Wang Tun biarpun budak hina dina kurang makan, belum begitu rendah untuk mencuri barang orang lain. Tahu?”

Cin Kek Tosu menarik napas panjang, kagum sekali. “Sukar mencari orang sejujur engkau, segagah engkau, akan tetapi juga sebodoh engkau.”

“Keparat, kalau tidak pergi kupatahkan batang lehermu.”

“Cobalah kalau bisa,” Cin Kek Tosu menantang karena ia ingin menyaksikan gerakan dan tenaga orang yang diam-diam menimbulkan rasa suka dihatinya ini.

“Kau. kau menantang?” Terbayang keheranan dalam pandang mata Wang Tun. Ia

melangkah maju dan kedua lengan tangannya yang kuat berotot itu sudah bergerak maju hendak mencekik leher tosu tua kurus di depannya, akan tetapi ia turunkan lagi tangannya dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Tidak, aku tidak mau menjadi pengecut, hanya berani menyerang seorang kakek kurus selemah engkau. Pergilah!” Wang Tun kembali ke tempat kerjanya dan menempa besi lagi dengan kuatnya untuk menghilangkan kegemasan hatinya.

Cin Kek Tosu tertawa, makin suka kepada pemuda sederhana ini. Ia melihat sebatang tombak di dekat situ, diambilnya tombak ini dan dengan mudah ia membekuk dan membelit-belitkan besi itu ke lengannya.

Wang Tun menghentikan pekerjaannya dan memandang dengan mata terbelalak. “Kau mempunyai ilmu sihir...... seperti pendeta-pendeta Lama. !” serunya.

“Bukan ilmu sihir, orang muda. Melainkan ilmu mempergunakan tenaga secara baik. Oleh karena itu aku tadi berani menantangmu untuk mencoba tenagamu kepadaku.

Kau takkan menang.” “Betulkah? Kalau begitu, coba kau menerima pukulanku, hendak kulihat sampai bagaimana kuat tanganmu.”

Wang Tun meloncat maju dan tangannya yang besar melayang mengirim pukulan ke arah dada tosu itu. Akan tetapi hampir saja ia terjungkal karena pukulannya yang ia lakukan dengan sekuat tenaga itu mengenai angin belaka dan tahu-tahu kakek itu sudah berada di sebelah kanannya. Ia membalik dan memukul lagi bertubi-tubi sampai lima kali, akan tetapi sia-sia belaka.

“Kau curang! Kenapa tidak membiarkan aku memukulmu?”

“Ini namanya ilmu silat, orang muda. Ilmu silat mengajar orang supaya jangan sampai terpukul oleh lawan.”

“Kalau begitu, balaslah memukul!”

Cin Kek Tosu tersenyum. Sambil mengelak sekali lagi ia berkata, “Coba kau terima tamparan ini.” Dan tangan kirinya menampar pundak Wang Tun.

Wang Tun berseru kesakitan dan terguling roboh. Ia merasa seakan tadi ditumbuk oleh sebuah toya besi yang amat kuat. Ia menjadi penasaran marah. Tangannya bergerak dan sebuah pisau belati telah berada ditangannya. Tanpa banyak cakap lagi ia menyerbu, pisau itu bergerak dan sinar kebiruan meluncur ke arah dada Cin Kek Tosu.

Tosu itu mengeluarkan seruan kaget, cepat mengelak dan ketika tangannya menyambar, pisau itu sudah terampas olehnya. Wang Tun menubruk, tapi sebuah dorongan tangan kiri tosu itu lagi-lagi membuat ia tercengang. Pemuda itu tidak segera berdiri, hanya memandang dengan mata terbelalak keheranan. Ia melihat kakek itu memegang belatinya, bukan untuk balas menyerangnya melainkan untuk diamat- amati secara seksama sambil berkali-kali mengeluarkan seruan kagum.

“Baja bagus..... luar biasa. ” Ditekan-tekannya pisau itu, dikerahkannya tenaga

untuk membuat pisau itu patah atau melengkung, namun sia-sia. Pisau itu terbuat dari pada bahan yang benar-benar kuat luar biasa.

Wang Tun tertawa dan merayap bangun. “Biarpun kau sekuat seratus ekor lembu yak, tidak nanti kau dapat membuat pisau itu patah,” katanya.

Cin Kek Tosu memandang kepadanya.

“Orang muda, dari mana kau memperoleh bahan baja sehebat ini?”

“Sukar. carinya sukar, orang tua yang gagah. Akan tetapi, betapun baiknya pisau

itu, menghadapi orang sepandai engkau, tiada gunanya. ” Pemuda itu menarik napas

panjang dan mukanya membayangkan kekecewaan hatinya. Baru sekarang ia tahu bahwa dia adalah seorang yang tidak ada artinya. Menghadapi seorang kakek tua kurus lemah saja ia kalah dan tidak berdaya sama sekali. “Dengar orang muda. Mari kita berjanji dan mengadakan pertukaran. Kau carikan bahan baja seperti ini untukku dan aku akan memberi pelajaran ilmu berkelahi seperti yang kupergunakan mengalahkan kau tadi kepadamu. Bagaimana?”

Wang Tun girang sekali. “Bagus, aku suka sekali. Akan tetapi ketahuilah, bahan baja itu adanya hanya di dasar sungai, merupakan pasir-pasir biru yang hanya seperseratus bagian daripada pasir-pasir di dasar sungai. Untuk membuat pisau itu saja, aku mengumpulkan pasir-pasir biru itu selama berbulan-bulan.”

“Aku membutuhkan bahan untuk membuat pedang,” kata kakek itu. “Carikanlah, biar sampai berapa lama akan kunanti dan selama itu pula kau boleh belajar ilmu silat kepadaku.”

Demikianlah, selama setengah tahun lebih Wang Tun belajar ilmu silat dari Cin Kek Tosu dan sedikit demi sedikit ia mengumpulkan pasir biru itu. Setelah cukup banyak untuk membuat sebatang pedang pendek, selesai pula Cin Kek Tosu mengajarnya dan pada waktu itu Wang Tun telah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai yang cukup kuat.

Demikian pula riwayat singkat bagaimana Wang Tun mengaku sebagai murid Cin Kek Tosu. Tosu ini lalu kembali ke Kun-lun-pai dan bahan baja yang biru itu dibuatnya menjadi sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan, amat tajam dan kuat mengalahkan semua bahan logam yang bagaimanapun kerasnya.

Kemudian ketika ia mendengar riwayat Wang Sin, hatinya tergerak dan biarpun sudah amat tua, ia menyediakan tenaga untuk memimpin pemuda putera Wang Tun itu untuk mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai. Malah dengan suka rela ia memberikan pedang sinar biru yang dulu bahannya ia dapatkan dari Wang Tun kepada pemuda Tibet ini sehingga Wang Sin memperoleh ilmu silat pedang yang luar biasa.

Waktu berjalan amat cepatnya dan lima tahun terlewat sudah selama Wang Sin belajar ilmu silat di Kun-lun. Dia memang berbakat baik dan berkemauan keras. Susioknya (paman guru) Ong Bu Khai dan suhunya Cin Kek Tosu, merasa amat kagum melihat pemuda ini tiada hentinya siang malam berlatih diri sehingga sebentar saja sudah melampaui kepandaian Ong Hui, malah sudah dapat menyamai tingkat Ong Bu Khai sendiri.

Melihat watak yang baik dari Wang Sin, diam-diam Ong Bu Khai timbul niatan untuk mengambil mantu pemuda Tibet ini. Dengan terus terang ia merundingkan hal ini dengan suhengnya, Cin Kek Tosu yang juga merasa setuju dan girang sekali bahwa sutenya tidak memiliki watak tinggi hati seperti kebanyakan orang Han yang memandang suku bangsa-suku bangsa lain lebih rendah derajatnya dari pada tingkat bangsa mereka sendiri.

Adapun hubungan antara Wang Sin dan Ong Hui juga akrab. Ong Hui memang seorang gadis lincah yang peramah dan jujur. Juga gadis ini menaruh simpati kepada pemuda Tibet yang telah mengalami hidup penuh penderitaan ini. Setelah Wang Sin menjadi saudara seperguruannya, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang berjiwa gagah dan berwatak baik, sayang agak pendiam. Di pihak Wang Sin, semenjak pertama bertemu memang ia menaruh kekaguman terhadap gadis ini. Hal ini adalah wajar. Di tempatnya yang dahulu, orang-orang perempuan merupakan makhluk lemah yang selalu hanya menjadi permainan laki- laki.

Maka melihat Ong Hui yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, siapa orangnya tidak menjadi kagum? Malah sering kali sebelum matang ilmu silatnya, ketika mula-mula sedang belajar seringkali ia mendapat petunjuk dan bantuan gadis ini sehingga timbul kasih sayang dan hormatnya kepada sumoi (adik seperguruan) ini.

Biarpun kalau menurut tingkat, Ong Hui lebih dulu belajar daripadanya dan terhitung suci (kakak seperguruan), akan tetapi karena dia adalah murid Cin Kek Tosu yang menjadi kakak seperguruan ayah gadis itu, maka ia menjadi lebih tua kedudukannya dan menyebut sumoi kepada Ong Hui. Sebaliknya gadis itu menyebut suheng.

Tidak bisa dibilang bahwa dua orang muda ini mengandung hati saling mencintai, terutama di pihak Wang Sin, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa mereka saling suka dan menaruh simpati. Wang Sin yang pendiam tak pernah menceritakan hubungannya dengan Ci Ying kepada orang lain, akan tetapi sebetulnya tak pernah ia dapat melupakan Ci Ying. Yang menjadi kenangan malam menjadi impian.

Pada suatu hari Wang Sin dipanggil oleh suhunya dan ia menjadi agak heran melihat suhunya sudah duduk di situ bersama susioknya, menanti kedatangannya. Wajah mereka berisi dan pandangan mata mereka kepadanya membuat hatinya berdebar karena tidak seperti biasa. Tentu ada sesuatu yang amat penting, pikirnya. Setelah ia maju berlutut dengan hormat, suhunya yang sudah tua sekali itu mengurut-urut jenggot sambil berkata.

“Wang Sin, muridku. Kau telah lima tahun belajar di sini dan pinto harus mengaku bahwa kami merasa puas melihat ketekunanmu. Karena itu, pinto hadiahkan pedang sinar biru itu kepadamu. Sebetulnya bukan hadiah karena sesungguhnya pedang itu tadinya ayahmu yang mencari bahannya, maka sudah semestinya pinto kembalikan kepadamu. Pergunakanlah pokiam ini baik-baik, jangan sekali-kali kau pergunakan untuk menurutkan nafsu belaka. Tentu kau masih ingat akan semua nasehat pinto.”

Berdebar hati Wang Sin. Ucapan ini sekaligus memperingatkan dia bahwa tentu dia sudah akan diperbolehkan turun gunung, kembali ke Tibet untuk membalas dendam, eh. salah, seperti yang dinasehatkan oleh suhunya, soal balas dendam itu hanya

akibat, yang terutama adalah menolong para budak dari penindasan. “Segala nasehat suhu akan tetap teecu ingat dan taati,” jawabnya tegas.

“Wang Sin,” kata lagi tosu itu, “karena usiamu sudah lebih dari cukup dan mengingat sudah sepatutnya kalau kau mempunyai teman hidup, pinto dan susiokmu sudah bersepakat untuk menjodohkan kau dengan sumoimu. Kalian akan menjadi suami isteri yang cocok sekali.”

Bukan main kagetnya hati Wang Sin mendengar ini, apalagi ketika ia melihat susioknya memandang kepadanya sambil mengangguk-angguk membenarkan kata- kata suhunya itu. Inilah suatu kejadian yang amat langka, malah terhitung aneh dan tak masuk akal baginya. Dia, seorang bekas budak, hendak dijodohkan dengan Ong Hui? Ia telah ditolong oleh Ong Bu Khai.

Di dalam lubuk hatinya ia menganggap susioknya ini seperti tuan penolongnya, seperti tuan besar, Ong Hui seperti nona muda. Mana ia pantas menjadi suami Ong Hui? Jodohnya yang paling tepat adalah seorang budak pula, Ci Ying. Teringat kepada Ci Ying ia lalu menundukkan mukanya yang tadi merah, sekarang berubah pucat.

“Wang Sin, kau tidak lekas menghaturkan terima kasih susiokmu, calon mertuamu?” Cin Kek Tosu berkata lagi, tertawa melihat muridnya tunduk kemalu-maluan.

Sambil berlutut Wang Sin berkata, suaranya terharu.

“Teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada suhu dan susiok yang sudah demikian baik terhadap diri teecu yang miskin dan yatim piatu. Sesungguhnya kalau tidak ada suhu dan susiok, entah menjadi apa orang macam teecu ini, oleh karena itu, sampai matipun teecu takkan dapat melupakan budi suhu berdua dan akan selalu mentaati perintah suhu dan susiok. Hanya saja..... tentang perjodohan. ” Pemuda

itu ragu-ragu dan tidak berani melanjutkan ucapannya.

“Ada apa dengan perjodohan? Lanjutkan, jangan takut dan ragu,” kata Cin Kek Tosu ramah.

Dengan kepala masih tunduk Wang Sin menjawab. “Sesungguhnya ..... teecu. telah

bertunangan, ditunangkan oleh ayah semenjak kecil. Dan tunangan teecu itu. Ci

Ying. entah kemana. Setelah oleh ayah ditunangkan, bagaimana teecu bisa

menerima ikatan jodoh lain?”

Mendengar ini, Ong Bu Khai mengerutkan keningnya. Baru sekarang ia tahu akan hal ini dan mengerti pula ia kenapa lima tahun yang lalu pemuda itu bersikap kurang ajar ketika melihat Ong Hui yang disangkanya Ci Ying tunangannya itu.

“Ah, kiranya gadis yang hilang itu tunanganmu?” katanya. “Wang Sin, kau memang betul sekali menyatakan hal ini kepada kami. Memang seorang anak harus berbakti terhadap pesan orang tua, juga harus mempunyai watak setia. Akan tetapi gadis tunanganmu itu lenyap tidak meninggalkan bekas.

Selama ini, belum pernah aku mendengar tentang dia, biarpun diam-diam aku ikut menyelidiki untuk mencari gadis yang tadinya kusangka hanya adik misanmu itu. Usiamu sudah dua puluh lebih, demikianpun anakku sudah cukup usia, tidak bisa menanti lagi. Andaikata tunanganmu itu sudah tidak berada lagi di dunia ini seperti kukhawatirkan, apakah kau juga tidak menerima ikatan jodoh lain?”

Wang Sin bingung. Memang iapun sudah bersangsi apakah Ci Ying masih hidup? Ke mana mencarinya? Sudah lima tahun tiada kabar ceritanya tentang gadis itu masih hidup. Susioknya sudah begitu baik kepadanya, tidak saja ia berhutang budi malah boleh dibilang berhutang jiwa karena tanpa bantuan susioknya sukarlah hidup merdeka di daerah Tibet. Kalau sekarang ikatan jodoh itu ia tolak, bukankah itu berarti ia membalas kebaikan dengan penghinaan? Ia menjadi bingung, hatinya masih berat terhadap Ci Ying.

Menolak sukar menerimapun sulit.

“Wang Sin, kau tidak usah ragu-ragu. Baiknya diatur begini,” kata pula Ong Bu Khai. “Kau menikah dengan anakku dan kalau kelak ternyata Ci Ying masih hidup dan ia mau melanjutkan ikatan jodohnya denganmu, kau boleh menikah lagi dengan dia.”

Kembali Wang Sin terkejut mendengar ini. Memang iapun tahu bahwa pada waktu itu, menikah dengan lebih dari dua orang gadis adalah wajar, yakni bagi kaum bangsawan dan mungkin orang-orang Han. Akan tetapi bagi seorang bekas budak seperti dia, benar-benar merupakan hal yang amat ganji dan aneh. Betapapun juga, terhadap pemecahan persoalan jodoh ini ia tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ia berkata.

“Teecu hanya dapat mentaati semua perintah susiok dan suhu.”

“Bagus!” Cin Kek Tosu berseru girang. “Wang Sin perjalananmu kelak ke selatan bukannya perjalanan mudah dan kau memerlukan seorang pembantu yang kuat dan boleh dipercaya. Hanya sumoimu yang dapat menjadi kawan seperjalanan yang tepat. Akan tetapi kalau kalian belum menikah, hal itu bukan merupakan sesuatu yang patut dan baik. Karena itu, sebelum kau turun gunung mengembara ke Tibet, lebih baik kau melangsungkan perjodohanmu lebih dulu dengan Ong Hui.”

Demikianlah, secara sederhana dan hanya diramaikan oleh para penduduk di sekitar pegunungan Kun-lun-san, dirayakan perjodohan antara Wang Sin dan Ong Hui. Dan pada malam harinya, Ong Hui menangis di dalam kamar penganten.

“Mengapa kau menangis, sumoi?” tanya Wang Sin perlahan.

Mula-mula Ong Hui tidak menjawab, malah tangisnya makin menjadi.

“Sumoi, apakah.... apakah sedih hatimu karena pernikahan ini? Tidak sukakah kau......

?”

Ong Hui menggeleng kepala dan menyusut air matanya.

“Aku berjanji......” katanya terputus-putus, “aku.... akan mencari Ci Ying.   mencari

dia untukmu.    ”

Wang Sin terkejut, juga terharu. Tidak disangkanya bahwa gadis ini sudah tahu akan hal ini. Tentu susioknya yang berterus terang kepada gadisnya. Memang aneh watak orang-orang kang-ouw ini. Dengan terharu Wang Sin memegang tangan isterinya.

“Harap kau tidak menaruh hati cemburu. Pertunanganku dengan Ci Ying adalah pertunangan semenjak kecil, oleh orang tua kami. Kini Ci Ying sudah lenyap dan sebagai gantinya aku mendapatkan kau. Aku tidak menyesal, malah girang sekali, karena. karena aku cinta padamu Hui-moi, mencinta semenjak pertama kali aku

melihatmu. ” Ong Hui menarik napas panjang, lega dan bahagia.

Sebagai isterimu, aku akan membantumu, suamiku. Membantumu mengangkat kehidupan saudara-saudara di Tibet, membantumu mencari Ci Ying cici. ”

Suasana menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan mendatangkan kebahagiaan bagi dua suami isteri baru itu.

******

Semenjak itu, selama lima tahun itu telah terjadi perubahan di dusun Loka, dusun sebelah utara sungai Yalu-cangpo itu. Tuan tanah Yang Can sudah mulai tua dan tidak lagi dibantu oleh puteranya karena Yang Nam sudah menikah dengan puteri seorang bangsawan dari ibukota Lasha dan pindah ke sana karena berkat pertolongan mertuanya Yang Nam mendapat kedudukan pula di sana.

Akan tetapi, perubahan yang banyak terjadi hanya di dalam rumah tangga tuan tanah itu. Nasib para budak tetap saja buruk seperti dulu, tetap mereka diperas dan bekerja seperti binatang ternak. Kalau di dalam rumah tuan tanah sudah lupa akan peristiwa lima tahun yang lalu, mereka ini, para budak masih ingat dan sering kali mereka menarik napas panjang kalau mereka teringat akan keluarga Ci Ying dan Wang Sin.

Pada suatu pagi, para budak sudah sibuk bekerja di sawah. Hari itu panen dimulai dan keadaannya tidak ada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika peristiwa pembasmian dua keluarga itu mulai terjadi. Tiada bedanya.

Para budak bekerja mati-matian dan di pinggir sawah nampak tukang pukul-tukang pukul dan pendeta-pendeta Lama menjaga dan mengawasi, untuk mencegah para budak bekerja lambat atau mencuri hasil panen. Juga Thiat-tung Hwesio, si pendeta bertongkat besi, masih tetap berjaga di situ, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, memanggul tongkat besinya dan diam tak bergerak seperti sebuah patung yang menakutkan.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari sebelah timur datang dua ekor kuda yang ditunggangi oleh sepasang orang muda. Kejadian yang ganjil ini tentu saja menarik perhatian orang. Para budak sampai berani melupakan pekerjaan mereka dan para tukang pukul memandang pula ke arah dua orang penunggang kuda itu.

Setelah dua orang penunggang kuda itu dekat, terdengar seruan-seruan perlahan di antara para budak.

“Wang Sin. bukankah dia itu Wang Sin.”

Memang, seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Wang Sin. Mudah saja mengenal wajahnya yang tampan dan keras penuh garis-garis yang yang membuat ia kelihatan gagah, tubuhnya yang makin tegap berisi. Akan tetapi dia sekarang mengenakan pakaian Han dan dipinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua adalah isterinya, Ong Hui yang cantik jelita dan bersikap gagah pula. Setelah para budak mengenalnya, semua tidak memperdulikan lagi pekerjaan mereka, yang jauh datang berlari dan berkumpullah para budak menjadi gerombolan, penuh keheranan, kekaguman, dan kecemasan. Bagaimana pemuda yang telah berhasil melarikan diri, membebaskan diri dari mereka ini sekarang datang kembali?

Demikian mereka bertanya-tanya.

Sebaliknya para tukang pukul dan hwesio yang tua, yang masih mengenal Wang Sin, menjadi terheran dan marah bercampur gelisah. Mau apakah pemuda setan ini sekarang tiba-tiba muncul? Toya, tongkat, dan golok dipegang erat-erat, para antek tuan tanah itu siap menghadapi segala kemungkinan. Malah beberapa orang di antara mereka sudah gatal-gatal tangan untuk menangkap pemuda yang telah melarikan diri dan berdosa kepada tuan tanah maupun kepada pendeta kepala itu.

Sementara itu, ketika Wang Sin melihat para budak, mengenal banyak wajah-wajah lama di antara wajah budak-budak baru, tak tertahan lagi dua titik air mata menuruni pipinya. Namun ia memaksa sebuah senyum lebar dan tangan kanannya ia angkat, dilambaikan. “Selamat bertemu kembali saudara-saudaraku yang tercinta.”

Beberapa orang petani sudah meninggalkan sawah dan hendak lari menjemputnya, akan tetapi sekarang para antek tuan tanah yang melihat betapa budak-budak itu melalaikan pekerjaan mereka, segera bertindak. Tendangan, pukulan dan makian menghujani budak-budak itu. Terdengar jeritan kesakitan dan para budak itu dengan panik kembali ke pekerjaan masing-masing.

Akan tetapi seorang budak perempuan yang bertubuh kurus kering tak dapat bangun setelah terkena tendangan kaki Thiat-tung Hwesio yang marah sekali, matanya melotot lebar, tongkat besinya sudah diayun-ayun mengancam para budak.

Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau disertai bentak lembut. “Keparat keji!” dan tubuh Ong Hui sudah melompat dari atas kudanya, menyerbu para centeng yang sedang menghajar hamba-hamba tani. Dalam segebrakan saja dua orang kaki tangan tuan tanah roboh terpukul lehernya dan yang seorang lagi ditendang lambungnya.

Para centeng lain menjadi marah dan kaget melihat terjangan nyonya muda cantik ini. Sambil berteriak-teriak marah lima orang centeng dengan golok atau tongkat di tangan mengurung Ong Hui yang juga sudah mencabut pedangnya.

“Anjing-anjing srigala! Setelah aku datang, tidak bisa nyonya besarmu membiarkan kalian berbuat sewenang-wenang!” seru Ong Hui sambil memutar pedangnya yang berkelebatan cepat dan kuat sekali. Antek-antek tuan tanah itu adalah sebangsa manusia tiada gunanya, pandainya hanya menjilat majikan, gagahnya hanya kalau menghadapi hamba-hamba tani yang lemah, setiap hari kerjanya hanyalah berlagak gagah-gagahan dan menyiksa para budak.

Sekarang menghadapi amukan Ong Hui yang gagah perkasa, mana mereka sanggup melayani? Baru belasan jurus saja, dua di antara lima orang tukang pukul sudah roboh mandi darah dan yang tiga lalu berteriak-teriak ketakutan.

“Losuhu, tolong. !” Thiat-tung Hwesio melompat maju mengayunkan tongkat besinya dan tiga orang tukang pukul itu segera melompat mundur dan melarikan diri. Memang sebangsa pengecut baru kelihatan belangnya kalau sudah menghadapi keadaan genting dan berbahaya bagi mereka.

Thiat-tung Hwesio lihai sekali. Dia bertenaga besar dan toyanya yang berat itu menyambar-nyambar mengeluarkan angin. Dalam pertemuan pertama antara toya dan pedang di tangan Ong Hui, nyonya muda ini tergetar tangannya, maka cepat ia menarik kembali pedangnya, menyelusup ke kiri dan mengirim serangan cepat menusuk ke arah lambung pendeta itu. Inilah gerak tipu Giok-wi-yauw (Sabuk Kumala Melilit Pinggang), sebuah jurus ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat yang indah dan lihai.

Thiat-tung Hwesio tidak hanya bertenaga besar tetapi dia telah mendapat latihan dari Thouw Tan Hwesio, Lama yang berkepandaian tinggi, maka tentu saja ilmu silatnya juga lumayan. Menghadapi serangan yang cepat dan tidak terduga dari samping ini ia tidak gugup, cepat ia miringkan tubuh dan memalangkan toya melindungi lambungnya.

Kembali dua senjata bertemu yang mengakibatkan Ong Hui merasa telapak tangannya menjadi panas. Nyonya muda ini tidak gentar, segera menggunakan kelincahannya untuk mengirim serangan-serangan selanjutnya.

Wang Sin melihat bahwa isterinya akan sukar mengalahkan hwesio kosen itu, tidak tinggal diam dan cepat ia melompat sambil memutar pedangnya.

“Thiat-tung Hwesio pendeta keparat. Sekarang tiba saatnya aku Wang Sin membalas dendam!” Pedang di tangan orang muda ini menyambar dan kagetlah hati hwesio itu. Tidak disangkanya bahwa Wang Sin masih hidup dan lebih-lebih di luar dugaannya pemuda itu sekarang memiliki kepandaian yang begini lihai. Sambaran pedang di tangan pemuda itu cepat dan kuat sekali. Dalam tangkisan toyanya menghadapi pedangnya amat berbahaya. Namun ia masih membuka mulut besar.

“Ha-ha-ha, budak hina dina. Baik sekali kau mengantarkan diri, tidak susah-susah aku mencari. Ha-ha!” Suara ketawanya terpaksa berhenti ketika pedang di tangan Wang Sin dan isterinya berkelebatan merupakan tangan-tangan maut yang berlumba merenggut nyawanya. Hwesio ini memutar tongkatnya dan berusaha memukul runtuh pedang dua orang lawannya menghandalkan tenaganya.

Akan tetapi, Ong Hui adalah puteri seorang tokoh Kun-lun-pai yang cerdik. Tidak mau ia mengadu senjatanya dengan tongkat musuh, sedangkan Wang Sin yang memiliki tenaga besar tidak takut menghadapi toya itu.

Di lain saat hwesio itu sudah tidak mempunyai kesempatan untuk tertawa sama sekali. Ia didesak hebat dan hanya sanggup bertahan saja sambil main mundur, tiada kesempatan lagi baginya untuk membalas serangan dua orang lawannya yang gagah.

7. Membasmi Tuan Tanah atau Mati. Para hamba tani yang tadinya ketakutan diamuk kaki tangan tuan tanah, sekarang berdiri menonton dengan mata terbelalak kagum. Tidak ada lagi antek-antek tuan tanah di situ, kesemuanya lari ketakutan untuk melapor kepada majikan mereka, maka para hamba tani itu tidak takut untuk meninggalkan sawah. Maka sekarang terbangun semangat mereka ketika melihat betapa seorang bekas kawan mereka, Wang Sin, sekarang dengan gagahnya berani melawan Thiat-tung Hwesio, malah kelihatan mendesak hwesio yang mereka semua amat benci itu.

“Kawan-kawan, kenapa kita diam saja? Wang Sin telah datang mari kita bantu dia!” teriak seorang kakek dengan semangat meluap dan gembira. Mendengar ini, mereka bersorak dan majulah puluhan orang yang bekerja di bagian itu sambil mengamang- amangkan tinju, cangkul, pikulan, batu, dan alat-alat lain dengan sikap mengancam.

Bagaikan arus gelombang, mereka mendatangi tempat pertempuran. Empat orang tukang pukul yang tadi roboh oleh Ong Hui dan belum tewas akan tetapi belum sempat melarikan diri karena luka mereka, mereka memandang dengan mata terbelalak ke arah gelombang para budak ini. Mereka seperti mendapat firasat akan datangnya malapetaka, apalagi ketika para budak itu sudah datang dekat dan mereka melihat sinar kebencian memancar keluar dari mata para budak itu.

Seorang budak yang membawa arit, yaitu seorang perempuan setengah tua yang bertubuh kurus sekali menghampiri seorang antek yang tadi terkena pukulan Ong Hui. Dengan mata melotot penuh kebencian ia mengangkat aritnya yang tajam. Perempuan ini teringat akan puteranya yang dulu disiksa sampai mati oleh antek tuan tanah ini dan sekarang tiba saatnya untuk membalas dendam yang sudah ia tahan bertahun- tahun lamanya.

Anjing tuan tanah itu memekik ketika sabit diayun ke arah kepalanya. Ia berusaha mengelak, akan tetapi karena tadinya terkena pukulan Ong Hui dan membuat seluruh tubuhnya lemas, elakannya kurang cepat dan “crakkk!” ujung arit itu menembus kulit dan daging pundak, menghantam tulang punggungnya.

“Aduuhhh....... ampunnnn..... nenek Namal...... ampunkan aku. ” Ia merengek-

rengek dan terdengar suara mengejek dari nenek itu, diikuti oleh suara ketawa para hamba tani lainnya. Kembali arit itu diayun “crak-crak-carak!” Darah menyembur keluar dan terdengar anjing tuan tanah itu melolong-lolong kesakitan dan ketakutan.

Pekik dan jerit pengecut para tukang pukul yang tiga orang lagi segera menyusul kawannya ketika para hamba tani mendatangi mereka dan menghujankan senjata- senjata kepada empat orang tukang pukul yang apes itu. Akan tetapi tidak lama, karena sebentar saja tubuh mereka sudah hancur lebur, habis dihajar oleh puluhan orang yang rata-rata menyimpan sakit hati dan dendam yang amat besar turun temurun.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati Thiat-tung Hwesio melihat hal ini. Permainan tongkatnya kacau balau dan ujung pedang Wang Sin sudah melukai pahanya, membuat celananya penuh darah. Para hamba bersorak girang dan mereka ini tiada ubahnya seperti harimau-harimau yang haus darah. Mereka mendesak maju hendak membantu Wang Sin dan isterinya. Mereka tidak kenal takut dan sama sekali tidak mau mundur ketika tongkat hwesio itu yang disapukan ke belakang membuat dua orang hamba terjungkal roboh dengan kaki luka- luka. Mereka maju terus.

Sakit hati dan dendam yang ditahan-tahan bisa membuat orang menjadi kejam hati. Kebencian yang meluap-luap dapat membuat orang mata gelap. “Tangkap pendeta cabul ini!” teriak seorang wanita muda dengan rambut riap-riapan dan mata berputaran penuh kebencian.

“Jangan bunuh dulu, siksa biar dia minta-minta ampun.” “Potong sedikit-sedikit dagingnya.”

“Kubur dia hidup-hidup.” “Bakar dia.”

Demikianlah teriakan-teriakan para hamba tani, laki-laki dan perempuan, kakek- kakek, nenek-nenek, dan kanak-kanak. Mendengar teriakan-teriakan ini, wajah hwesio itu menjadi pucat sekali dan diam-diam ia memeras otak mencari hafalan doa- doa selamat yang pernah ia pelajari sebagai seorang pendeta. Akan tetapi karena selama ini kerjanya hanya menurutkan nafsunya menjadi kaki tangan tuan tanah Yang Can, ia sudah lupa lagi akan semua doa.

Rasa takut dan ngerinya membuat ia tidak dapat bertahan lagi menghadapi pedang Wang Sin dan Ong Hui. Ujung pedang Ong Hui lagi-lagi mencium pundaknya dan sekali pedang Wang Sin menyambar darah mengucur dari dadanya.....

“Mati aku. !” Thiat-tung Hwesio mengeluh ketika ia terhuyung roboh. Puluhan

pasang tangan hamba tani menyambutnya dan di lain saat tubuhnya sudah diseret- seret ke tengah sawah seperti seekor babi hutan yang baru saja ditangkap untuk disembelih beramai-ramai.

Melihat semangat para hamba tani bangkit, Wang Sin gembira. Apalagi ketika melihat dari kanan kiri, hamba-hamba tani yang lain datang pula berlari-lari untuk berkumpul sehingga mereka merupakan serombongan hamba tani yang jumlahnya seratus orang lebih, hatinya menjadi makin gembira.

Ternyata bahwa para kaki tangan tuan tanah di bagian lain segera melarikan diri meninggalkan pekerjaan ketika mendengar bahwa Wang Sin datang bersama seorang wanita Han yang cantik dan mengamuk.

“Kawan-kawan, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk menghancurkan tuan tanah Yang Can. Aku, Wang Sin yang kalian sudah kenal, dan ini isteriku, Ong Hui, kami sudah bertekad untuk membasmi tuan tanah Yang Can dan membebaskan kalian dari penindasan. Siapa ikut?” Para hamba tani bersorak dan semua mengacungkan tangan yang kini sudah berlumur darah, darah empat orang centeng dan darah Thiat-tung Hwesio, di mana mereka bercucuran air mata.

Wang Sin membawa kepalan tangan kirinya ke muka untuk menghapus dua butir air matanya sendiri. “Bagus, mari kita serbu tuan tanah Yang Can dan kaki tangannya!”

Demikianlah, dipimpin oleh Wang Sin dan Ong Hui, mereka ini merupakan sepasukan orang-orang yang nekad, yang pada saat itu hanya mengenal satu tekad : Membasmi Tuan Tanah atau Mati!

Sementara itu, Yang Can sudah bersiap sedia. Ia terkejut setengah mati ketika melihat kaki tangannya berlari-lari mendatangi dengan muka pucat melaporkan segala kejadian. Hampir ia tidak dapat percaya ketika mendengar laporan bahwa Thiat-tung Hwesio juga sudah tewas di tangan Wang Sin. Thiat-tung Hwesio amat gagah, bagaimana bisa tewas di tangan pemuda hina itu?

“Lekas beritahukan Thouw Tan Losuhu dan panggil semua pendeta lama untuk membantu!” teriaknya dengan muka pucat.

Thouw Tan Hwesio, Lama jubah kuning yang bertubuh tinggi besar, tokoh pertama di dusun Loka dan dianggap sebagai manusia dewa, menjadi marah bukan main mendengar bahwa Wang Sin datang membuat ribut. Apalagi ketika mendengar betapa Wang Sin sudah membunuh Thiat-tung Hwesio, kemarahannya memuncak.

“Bocah ingusan itu berani membunuh seorang pendeta di sini? Biarkan dia datang, lihat akan pinto patahkan lehernya!”

Ucapan hwesio ini sombong sekali, akan tetapi tidak aneh kalau dia menyombong. Thouw Tan Hwesio bukanlah orang sembarangan. Dia menjadi kepala pendeta di kuil Loka adalah karena pengangkatan dari kuil pusat di Lasha. Dan sudah tidak asing lagi, bahwa pendeta yang datang dari Lasha tentulah orang gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi, baik dalam bidang ilmu silat maupun ilmu kebatinan dan agama.

Tentu saja mendengar tentang diri Wang Sin, dia memandang rendah. Apa sih kelihaian seorang pemuda yang baru menekuni ilmu selama lima tahun. Biarpun dididik oleh orang sakti, tidak mungkin akan dapat melawannya. Apalagi di situ terkumpul banyak murid-muridnya dan kaki tangan tuan tanah yang rata-rata juga memiliki kepandaian silat.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati tuan tanah Yang Can ketika ia mendengar bahwa Wang Sin dan isterinya orang Han itu kini menyerbu ke dusunnya diikuti oleh seratus lebih budak-budak yang kini telah memberontak. Dari kaget ia menjadi marah bukan main. Saking marahnya tuan tanah ini merenggut topi dari kepalanya, dan membanting-banting topinya di atas tanah.

“Setan jahanam! Keparat Laknat! Bunuh budak Wang Sin itu bersama siluman wanita yang dibawanya. Tangkap semua budak dan beri rangketan lima puluh kali setiap orang, jangan beri makan sampai tiga hari!” Kemudian ia menghadap Thouw Tan Hwesio sambil berkata. “Losuhu, tolonglah kami, harap jangan biarkan orang-orang hina itu menginjak-injak kehormatan kita.”

Thouw Tan Hwesio yang sedang menghadapi meja, sedang dijamu hidangan- hidangan lezat dan arak wangi, tertawa bergelak sampai tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak-gerak. “Ha-ha-ha, jangan khawatir jangan khawatir. Sekali pinceng

menggerakkan tongkat, akan remuk batok kepala orang berdosa Wang Sin itu. Dua kali pinceng menggerakkan tongkat, siluman perempuan itu takkan dapat bernyawa lagi!”

Baru saja ia berkata demikian, di luar terdengar sorak sorai ramai di susul pekik yang riuh rendah. Para budak yang dipimpin Wang Sin dan Ong Hui telah tiba di situ dan sudah mulai “perang” melawan antek-antek tuan tanah.

Tentu saja para budak yang tidak bisa ilmu silat itu bukan tandingan para anjing tuan tanah, akan tetapi mereka berjumlah banyak, bersemangat tinggi dan sudah nekat.

Apalagi di situ terdapat Wang Sin dan Ong Hui yang mengamuk bagaikan dua ekor naga sakti. Pedang suami isteri ini berkelebatan dan sukar ditahan. Karena para kaki tangan tuan tanah yang hanya berjumlah tiga puluh orang itu mulai terdesak mundur.

Beberapa orang di antara mereka sudah roboh oleh pedang Wang Sin dan Ong Hui, atau roboh oleh serbuan para budak yang sudah nekat dan tidak takut mati itu. Tentu saja di pihak para pemberontak sudah banyak pula yang roboh dikemplang toya atau dibacok golok.

Pertempuran makin hebat, para pemberontak makin mendesak dan mulai mendekati gedung besar tempat tinggal tuan tanah Yang Can. Keadaan amat mengancam bagi keselamatan keluarga tuan tanah itu.

Pada saat keadaan sedang ramai-ramainya, tiba-tiba dari samping gedung itu berlari seorang kakek yang terbungkuk-bungkuk dan tangannya meraba-raba ke depan. Ia nampak bingung dan mulutnya keluar kata-kata penuh gairah.

“Wang Sin pulang, Wang Sin pulang. mana anakku Ci Ying?” Lalu ia berlari ke

depan, tersandung jatuh, berdiri lagi dan berteriak-teriak. Ci Ying......! Ci Ying. !

Kesinilah kau. !”

Semua orang yang sedang bertempur, baik dari pihak para budak maupun pihak tuan tanah, tidak memperhatikan atau memperdulikan orang ini. Akan tetapi ketika Wang Sin mendengar suara ini, ia cepat menengok sambil melompat mundur dari kepungan lawan. Bukan main kaget dan terharunya ketika melihat bahwa orang itu adalah ayah Ci Ying.

“Paman Ci Leng. !” serunya sambil menubruk maju melihat orang tua itu lagi-lagi

tersandung dan terguling roboh sehingga ia masih sempat memeluknya.

Wang Sin merasa kasihan sekali. Bagaimana kakek ini sekarang menjadi begini rusak tubuhnya dan buta matanya? Ci Leng memeluk Wang Sin sambil meraba-raba pundak dan muka orang muda itu, mulutnya tertawa lebar. “Wang Sin ..... ah, kau benar Wang Sin. aku mendengar

kau datang bersama seorang wanita cantik, tentu dia Ci Ying. mana dia?”

Tertikam hati Wang Sin mendengar ini. Tidak boleh disalahkan orang tua ini. Memang tentu saja semua orang pun mengharapkan dia kembali bersama Ci Ying, karena bukankah dia dahulunya melarikan diri bersama gadis itu?

“Bukan paman, bukan Ci Ying. ” katanya lemah.

Naik sedu sedan putus asa di kerongkongan kakek itu.

“Bukan Ci Ying.....? Habis siapa dia..... dan mana Ci Ying. ?”

Belum sempat Wang Sin menjawab, terdengar bentakan nyaring, “Budak hina, kau berani kembali mengantarkan nyawa?”

Wang Sin kaget mendengar sambaran angin yang amat kuat. Cepat ia mengayun pedangnya ke belakang sambil melompat meninggalkan Ci Leng. “Traangggg. !”

Tangannya tergetar dan ia kaget melihat tongkat di tangan penyerangnya tidak patah seperti tongkat-tongkat lain ketika bertemu dengan pedang pusakanya. Ketika ia memandang, ternyata bahwa penyerangnya itu bukan lain adalah Thouw Tan Hwesio, si pendeta jubah kuning yang dulu amat ia takuti.

“Pendeta keparat, aku kembali untuk membasmi setan-setan macam-macam engkau!” seru Wang Sin yang cepat melakukan serangan. Di lain saat kedua orang ini sudah bertempur hebat dan segera Wang Sin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian pendeta kepala ini benar-benar hebat dan masih jauh di atas tingkat kepandaiannya sendiri. Ketika ia melirik dan melihat isterinya pun didesak oleh tujuh orang pendeta murid Thouw Tan Hwesio, diam-diam ia mengeluh.

Sementara itu, para budak masih terus menerjang maju, berkelahi dan bergumul melawan kaki tangan tuan tanah. Pekik kemarahan dan jerit kesakitan bercampur aduk membuat keadaan di situ makin kacau dan mengerikan. Yang Can sendiri bersama keluarganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri di dalam gedung.

Ci Leng yang tidak dapat melihat lagi, ketika mendengar bahwa anaknya tidak ikut Wang Sin datang, menangis tersedu-sedu dan menjadi putus harapan.

Lima tahun ia menguatkan diri, menahan segala macam siksaan, dipukuil, dihina, dicokel matanya, akan tetapi ia masih hidup karena memang ia ingin hidup, ingin anaknya datang kembali menolong dan membalaskan dendam untuknya. Benar saja Wang Sin kembali dan melakukan pembalasan, akan tetapi Ci Ying, anaknya, calon isterinya Wang Sin, kenapa tidak datang? Itu tentu hanya satu artinya, yaitu Ci Ying anaknya itu sudah mati.

“Ci Ying......! Ci Ying. !” Kakek buta ini menangis. Seorang tukang pukul yang kebetulan berada di dekat situ, melihat Ci Leng menjadi meluap kemarahannya. Inilah orangnya yang menjadi biang keladi sampai sekarang Wang Sin datang menggerakkan semua budak untuk memberontak.

“Anjing buta, mampuslah dulu kau!” serunya sambil mengayun golok membacok ke arah leher Ci Leng. Orang tua ini maklum bahwa dia yang dimaki dan hendak diserang, akan tetapi ia sudah tidak mempunyai nafsu untuk hidup, maka tanpa takut sedikitpun ia menanti datangnya maut.

Pada saat golok itu hampir menyentuh leher Ci Leng, terdengar jerit melengking yang amat tinggi dan nyaring, jerit yang membuat semua orang merasakan bulu tengkuknya berdiri. Malah hebatnya, jerit ini membuat banyak orang menggigil karena mengandung pengaruh yang mujijat. Bahkan Wang Sin dan Ong Hui sendiri sampai melompat mundur ketika merasakan goncangan hebat dalam dada mereka mendengar jerit itu.

Lebih hebat lagi, terdengar suara “krakk!” dan tukang pukul yang tadi menyerang Ci Leng, telah terlempar dengan kepala remuk. Di lain saat orang-orang melihat Ci Leng telah dipeluk oleh seorang perempuan cantik yang menangis dan mendekap kepala orang buta itu ke dadanya.

“Ayah...... ayah. !” wanita itu menangis sambil mengeluh.

“Ci Ying. ” Wang Sin terbelalak dan girang, akan tetapi ia harus cepat mengelak

karena kembali Thouw Tan Hwesio sudah menyerangnya. Juga Ong Hui sudah dikeroyok lagi. Nyonya muda ini sudah lelah sekali dan pundaknya sudah terpukul toya, maka geraknya amat lambat dan ia terancam bahaya besar. Keadaan Wang Sin tidak lebih baik, ia didesak habis-habisan oleh Thouw Tan Hwesio yang lihai.

“Ci Ying datang .....! Ci Ying datang !” Para budak meningkat semangat bertempur

mereka melihat kedatangan Ci Ying. Mereka mengamuk terus biarpun sudah banyak di antara mereka yang tewas.

Ketika pertempuran sudah berlangsung lagi hebat dari pada tadi, kini tak seorangpun dapat memperhatikan Ci Ying. Gadis ini masih seperti dulu, lima tahun yang lalu, masih cantik manis. Hanya pakaiannya yang kini sudah berganti seperti pakaian wanita Han. Rambutnya digelung tinggi, membuat wajahnya makin manis dipandang.

Senyumnya yang dulu masih membayang di bibirnya dan pipinya masih tetap kemerahan dihias lesung pipit di sebelah kiri. Akan tetapi kalau orang melihat sepasang matanya, ia akan menjadi kaget sekali. Mata ini luar biasa sekali, tajam dan mempunyai sinar yang aneh, malah menyeramkan.

Ci Leng menggerak-gerakkan pelupuk matanya yang buta dan dari mata yang sudah bolong itu mengalir air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum. “Ci Ying anakku

....., syukurlah kau masih hidup. ”

Kakek ini terengah-engah, memeluk anaknya erat-erat dan di lain saat ia telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anaknya. Rupa-rupanya karena selama bertahun-tahun menderita sengsara dan mempertahankan diri untuk hidup karena ingin bertemu kembali dengan anaknya, setelah sekarang bertemu, kegirangan luar biasa menyebabkan kakek ini tidak kuat menahan dan jantungnya menjadi pecah mendatangkan kematiannya,

“Ayah .... Ayah. !” Ci Ying meraung-raung, akan tetapi hanya sebentar saja ia

menangis. Tiba-tiba ia terdiam dan meletakkan tubuh ayahnya di atas tanah. Kemudian bangkit berdiri, memutar tubuh dan sepasang matanya yang aneh itu menyapu-nyapu semua orang di situ. “Ayah, kau telah dibikin buta, disiksa, dibunuh

.... lihat, lihat baik-baik ayah. Anakmu akan membasmi mereka!”

Tubuhnya mencelat ke tengah pertempuran, sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Hebat sepak terjangnya. Sekali mengulurkan tangan ia menyerang dua orang tukang pukul. Dua orang itu dengan penuh kengerian mengangkat senjata mereka, seorang membacok dengan golok dan yang kedua mengemplang dengan toya besi.

Akan tetapi Ci Ying tidak mempedulikan serangan ini. Tangan kirinya menyampok golok yang segera terpental patah dan toya yang mengemplang pundaknya tidak ditangkis, akan tetapi terpental ketika mengenai pundak. Di lain saat kedua tangannya sudah menyambar, tepat dua orang itu kena dicengkeram lehernya dan sekali remas terdengar suara keras dan tulang leher dua orang itu patah-patah. Tubuh mereka

terkulai tak bernyawa lagi.

Sambil mengeluarkan lagi pekik mengerikan, Ci Ying melemparkan dua mayat itu ke arah tukang pukul-tukang pukul yang lain. Hebatnya, lemparan ini mengandung tenaga luar biasa kuatnya sehingga sekali gus dua orang tukang pukul dan seorang budak yang kena tertumbuk dua mayat itu terjungkal tak dapat bangun lagi.

Kembali dia melompat maju dan menangkap dua orang tukang pukul yang sekali gus ia bunuh dalam cengkeraman kedua tangannya yang lihai. Terdengar suara keras dan ternyata sekarang sebuah lengan tangan dari masing-masing tukang pukul telah .....

putus terlepas dari pundak karena dibetot oleh Ci Ying. Dengan dua buah lengan ini ia lalu mengamuk ke kanan kiri dan dalam sekejap mata saja roboh enam orang tukang pukul lagi yang mengeroyok Ong Hui yang sudah kepayahan.

Melihat Wang Sin didesak oleh hwesio tinggi besar, Ci Ying melemparkan dua buah lengan itu ke arah pertempuran. Terdengar suara angin bersiut dan Wang Sin cepat mengelak sambil menangkis dengan tangan kiri. Alangkah terkejutnya ketika ia merasa lengan tangan kirinya itu menjadi sakit dan linu sekali. Bukan main, bagaimana Ci Ying bisa memiliki tenaga demikian hebat dan kepandaian demikian lihai?

“Ci Ying.    !” Ia berseru girang, kaget dan ngeri.

“Hi, hi, hi Wang Sin. Serahkan saja anjing budak bangkotan ini kepadaku!”

Adapun Thouw Tan Hwesio yang juga menangkis lengan itu dengan toyanya, merasa pula betapa telapak tangannya pedas. Ia kaget sekali dan jerih, akan tetapi serangan Ci Ying sudah tiba secara mendadak sehingga terpaksa ia melayani wanita aneh ini. Tahu-tahu Ci Ying sudah menggunakan senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk merah yang bergerak-gerak lemas bagaikan ular, akan tetapi jangan dipandang ringan sabuk sutera ini karena setiap ujung sabuk tidak kurang ganasnya dari pada seekor ular beracun. Sabuk ini digerakkan dengan tenaga lweekang yang mujijat, di samping dapat menotok urat-urat kematian, juga sabuk ini telah direndam racun yang hebat dan berbahaya sehingga andaikata pukulan sabuk dapat ditahan oleh ahli lweekang, namun pengaruh racun tetap saja merupakan ancaman maut.

Melihat dua ujung sabuk itu dengan ganasnya menyambar ke arah kepala dan dadanya, Thouw Tan Hwesio kaget sekali dan cepat ia memutar toyanya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi kali ini ia bertemu tandingan. Toyanya adalah senjata yang keras dan kaku, mana bisa mempengaruhi senjata sabuk sutera yang lemas.

Di lain saat toyanya sudah dilibat dan begitu Ci Ying membetot, hampir saja toya itu terlepas dari tangannya. Dalam kekagetannya, Thouw Tan Hwesio mengeluarkan seruan keras dan kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan, sedangkan keringat dingin membasahi mukanya.

Ci Ying mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil menarik sabuknya dan mengelak ke belakang, kemudian ujung sabuknya kembali menyambar untuk menyambut kaki yang menendang, Thouw Tan Hwesio cepat-cepat menahan tendangannya. Celakalah kalau sampai kakinya kena terlibat.

Segera keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing dan bertempur seru, akan tetapi selalu hwesio itu berada di pihak terdesak oleh permainan sabuk yang amat aneh dan ganas sekali itu. Melihat ini, Wang Sin timbul kegembiraannya, dan cepat ia melompat dan menggerakkan pedangnya membantu Ci Ying.

Melihat majunya pemuda ini Thouw Tan Hwesio menjadi khawatir sekali. Ia memutar toyanya dan tiba-tiba mulutnya kemak-kemik dan di lain saat ia berseru dengan suara keras dan amat berpengaruh. “Rebahlah kalian!”

Hebat sekali suara Thouw Tan Hwesio ini. Dia adalah seorang ahli hoat-sut (sihir) yang merupakan ilmu hitam dan yang biasanya dipergunakan para pendeta Lama untuk mempengaruhi dan menakut-nakuti para budak. Seruan itu adalah semacam ilmu sihir yang pengaruhnya merampas semangat orang, membuat orang menurut akan kehendak yang menjalankan ilmu ini.

Wang Sin ketika mendengar seruan ini, tanpa dapat ditahan lagi lalu terhuyung dan hampir roboh. Andaikata dia hanya menghadapi hwesio itu seorang diri, tentu dalam keadaan seperti itu ia akan dapat diserang dan mengalami kecelakaan. Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya hati Thow Tan Hwesio ketika melihat Ci Ying tertawa terkekeh-kekeh menghadapi serangannya dengan ilmu hitam tadi.

“Hi, hi, hi, anjing tua bangkotan, jangan membadut di depanku!” Dan Ci Ying terus menyerang sambil berkata kepada Wang Sin. “Wang Sin, mundurlah. Biarkan aku merampas kepala anjing gundul ini.” Wang Sin tidak berani maju lagi. Ia menoleh dan melihat isterinya masih mengamuk dan dikeroyok lagi oleh beberapa orang hwesio dan tukang pukul, ia melompat dan membantu isterinya. Semangat suami isteri ini bangkit kembali melihat datangnya bantuan Ci Ying yang lihai.

Mereka tidak menghiraukan luka-luka mereka dan dalam beberapa jurus telah merobohkan pula empat orang hwesio murid Thouw Tan Hwesio. Para budak juga terus menyerbu, malah sekarang sudah mulai memasuki ruangan sebelah dalam gedung keluarga tuan tanah Yang Can.

Tuan tanah Yang Can ketika melihat keadaan yang amat berbahaya itu, telah mempersiapkan kuda dan berlari dari pintu belakang. Tuan tanah yang pengecut ini tidak memperdulikan lagi nasib keluarganya. Dengan sepuluh orang tukang pukul sebagai pelindung, ia melompat ke atas kuda dan melarikan diri.

“Tuan tanah keparat lari!” teriak Wang Sin. “Tahan dia jangan sampai lolos!”

Besama-sama isterinya, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya dan mengejar. Akan tetapi sepuluh orang tukang pukul menghalangi mereka dan kuda yang ditunggangi oleh Yang Can sudah mulai kabur.

Tiba-tiba kuda itu meringkik dan roboh, membawa tuan tanah itu roboh bersama. Ternyata sebuah pisau belati telah dilontarkan oleh Ci Ying dan tepat menancap di leher kuda itu. Melihat tuan tanah yang dibencinya itu hendak lari, Ci Ying mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa. Sebuah ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kiri Thouw Tan Hwesio membuat hwesio itu memekik kesakitan dan melepaskan toya, akan tetapi tangan kanan yang memegang toya masih digerakkan, mengayun toya ke arah leher Ci Ying.

Anehnya, Ci Ying sama sekali tidak mengelak, menerima saja gebukan ini. Benar- benar hebat gadis ini. Toya yang menghantam lehernya terpental dan sebelum Thouw Tan Hwesio hilang kagetnya, lengan kanannya sudah kena dicengkeram sampai patah tulangnya. Ia menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi tidak sempat mengelak ketika ujung sabuk merah menyambar dan melilit lehernya.

Hwesio tinggi besar ini kaget sekali. Tangan kanannya sudah patah dan tidak dapat digerakkan. Dengan tangan kiri ia merenggut sabuk yang melibat leher, ditarik- tariknya sekuat tenaga namun sia-sia. Sabuk itu membalut leher makin erat, ia terhuyung dan roboh, namun bagaikan ular hidup sabuk merah itu membelit terus sampai akhirnya kedua matanya melotot dan lidahnya keluar. Ia menghembuskan napasnya dalam keadaan mengerikan setelah kaki tangannya berkelonjotan.

Sambil tertawa mengerikan Ci Ying melompat dan mengejar Yang Can. Tuan tanah ini ketika roboh dari kuda, dengan ketakutan merangkak-rangkak hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba lehernya ditangkap orang dan tubuhnya diangkat ke atas.

Sekelebatan ia melihat wajah Ci Ying yang cantik akan tetapi dengan sinar mata yang membuat rambut kepalanya sampai berdiri saking takutnya. Sinar mata itu bukan sinar mata manusia lagi, melainkan sinar mata iblis yang haus darah. Ia memekik- mekik sampai lehernya kering dan tidak ada suara lagi keluar dari lehernya ketika Ci Ying menyeretnya ke depan mayat Ci Leng.

8. Keganasan Calon Isteri Tercinta.

Pada saat itu, semua budak di dusun Loka ternyata sudah ikut berontak dan menyerbu rumah tiga orang tuan tanah yang lain. Tidak terdapat banyak perlawanan pada tuan tanah yang lain itu karena semua pendeta Lama mementingkan tuan tanah Yang Can untuk mereka lindungi.

Tuan-tuan tanah yang lain itu siang-siang sudah melarikan diri, meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Kini para budak sudah menggabungkan diri dengan budak- budak tuan tanah Yang Can sehingga kekuatan mereka benar-benar tak dapat dibendung oleh para tukang pukul yang biasanya galak-galak dan kejam-kejam.

Akan tetapi, ketika melihat sepak terjang Ci Ying, semua pemberontak menjadi ngeri. Wang Sin dan Ong Hui yang sudah kehabisan lawan karena tukang pukul-tukang pukul yang masih hidup sudah pada melarikan diri cepat-cepat dari tempat pertempuran, kinipun memandang ke arah Ci Ying.

Gadis ini menyeret tuan tanah Yang Can dan melemparkannya ke depan mayat Ci Leng. Kemudian sambil terisak-isak gadis ini menyambar sebuah kursi, lalu ia mengangkat mayat ayahnya dan mendudukkan mayat itu di atas kursi.

Yang Can sudah menggigil seluruh tubuhnya, mukanya menyaingi muka mayat itu pucatnya dan ia mendeprok di atas tanah tidak bergerak lagi.

Setelah puas menangis di depan mayat ayahnya yang sekarang duduk di kursi dengan kepala disandarkan ke belakang sehingga seperti sedang berdongak, Ci Ying membentak tuan tanah itu. “Hayo berlutut memberi hormat kepada tuan besar Ci Leng!”

Sambil berkata demikian tangannya mendorong pundak sampai tuan tanah itu roboh terguling. Dengan ketakutan hebat Yang Can lalu merangkak dan berlutut di depan mayat Ci Leng, mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tiada hentinya meminta ampun.

“Ayah, ini musuh besarmu, anjing hina dina Yang Can minta ampun atas semua perbuatannya yang keji kepadamu. Ayah, sukakah kau mengampuninya?” Ci Ying berkata lagi sambil memandang ayahnya. Sikapnya demikian sungguh-sungguh seperti sedang bicara dengan seorang hidup dan hal ini membuat semua orang yang berada di sini melongo dan ngeri.

Mayat Ci Leng masih lemas, belum kaku dan karena disandarkan tanpa ada yang memegangnya, tiba-tiba kepalanya terkulai ke kiri, Ci Ying cepat menahan tubuh ayahnya supaya jangan terguling dan membenarkan letak duduknya.

“Ah, jadi kau tidak mau mengampuninya, ayah? Baik, anak akan mengambil jantungnya untuk ayah dahar.” Mendengar ini, Wang Sin sendiri sampai menjadi pucat mukanya. Tidak salah lagi, gerak gerik dan omongan gadis yang menjadi tunangannya itu menandakan bahwa Ci Ying sudah miring otaknya. Tiba-tiba gadis itu yang sudah menggerakkan tangan, tertawa bergelak melihat Yang Can menggigil minta-minta ampun.

“Ayah, biar dia merasai penderitaanmu lebih dulu.” Setelah berkata demikian, begitu tangan kirinya bergerak dengan dua jari dibuka, sepasang mata tuan tanah itu telah ia korek keluar. Yang Can menjerit melolong-lolong kesakitan, dari dua matanya yang bolong keluar darah.

Bukan main ngerinya. Sambil tertawa-tawa Ci Ying membawa dua biji mata itu kepada ayahnya dan memasukkan dua biji mata itu ke dalam rongga mata ayahnya yang sudah bolong. “Biar matanya menggantikan matamu, ayah,” katanya lagi, suaranya nyaring tinggi dan masih merdu, akan tetapi mengandung pengaruh yang membuat orang merasa bulu tengkuknya meremang.

“Anjing hina, sekarang berikan jantungmu kepada ayah!” Tangan kanannya bergerak dengan jari-jari terbuka dan. sekali tusuk tangannya itu telah masuk ke dalam dada

Yang Can dan di lain saat tangan itu sudah membetot keluar sebuah benda kecil kemerahan yang berlepotan darah.

Itulah jantung Yang Can. Tubuh tuan tanah itu berkelonjotan tapi hanya sebentar, karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. Dadanya terbuka lebar dan darah membanjir di lantai itu.

Ci Ying mengambil sebuah meja, dan menaruh jantung manusia di atas meja yang dipasang di depan mayat ayahnya. Kemudian matanya menyambar ke sana-sini, lalu tubuhnya mencelat dan di lain saat ia telah menghampiri dua orang tukang pukul yang masih rebah merintih-rintih. Dua kali tangannya bekerja dan leher tukang pukul itu telah ia tabas hancur dan putus hanya dengan tangan kosong. Ia membawa dua kepala itu dan ditaruhkan di atas meja pula.

Melihat ini, semua orang merasa ngeri. Wang Sin dan Ong Hui terkejut bukan main. Dengan tangan kosong sekali tabas memutuskan leher orang inilah kepandaian yang selain mengerikan, juga luar biasa lihainya. Saking heran dan seram, mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya mengikuti Ci Ying dengan pandangannya.

Sambil tertawa Ci Ying masih mencari tukang pukul-tukang pukul yang belum mati dan seperti tadi, ia memutus leher mengambil kepala orang sampai sebentar saja meja itu penuh kepala tukang-tukang pukul dan pendeta-pendeta Lama yang belasan jumlahnya.

“Itulah Thai-lek Pek-kong-jiu. ” bisik Ong Hui, suaranya gemetar. Gadis ini adalah

puteri seorang jagoan, sudah banyak ia menghadapi pengalaman-pengalaman hebat, sudah sering ia melihat orang-orang pandai dan ilmu-ilmu yang lihai, akan tetapi baru kali ini dia menghadapinya dengan hati berdebar ngeri. Ia pernah mendengar dari ayahnya tentang ilmu pukulan Thai-lek Pek-kong-jiu yang amat lihai, yang membuat tangan orang menjadi sekuat baja, setajam golok. Maka melihat perbuatan Ci Ying, tanpa terasa lagi ia mengeluarkan ucapan itu. Biarpun ia hanya berbisik di dekat suaminya, namun ternyata Ci Ying mendengarnya juga. Gadis ini cepat memutar tubuh dan sepasang matanya liar menentang Ong Hui. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya menyambar ke arah Ong Hui dengan tangan mencengkeram.

Ong Hui kaget, cepat mengelak ke kanan. Ia merasai dinginnya hawa pukulan yang lewat di dekat lehernya, membuat ia bergidik. “Berbahaya. ” katanya dalam hati.

Sementara itu, Ci Ying kelihatan heran melihat serangannya tidak berhasil. Dikeluarkannya sabuk merahnya yang lihai dan ia hendak menyerang lagi. Akan tetapi Wang Sin melompat maju dan mencegat.

“Ci Ying, jangan !”

Mendengar suara Wang Sin, gadis ini menengok dan agaknya baru ia teringat bahwa Wang Sin berada di situ. Ia ragu-ragu dan sambil memandang ke arah Ong Hui dengan mata liar penuh ancaman, ia bertanya.

“Siapa dia ?”

Wang Sin bingung. Kalau keadaan Ci Ying tidak seperti itu, tentu ia akan mengaku terus terang malah hendak bicara dengan jelas mengapa ia sampai menikah dengan gadis lain. Akan tetapi di situ banyak orang, pula keadaan Ci Ying demikian menyeramkan, ia khawatir akan terjadi hal-hal lebih hebat kalau berterus terang.

“Dia dia orang sendiri, Ci Ying, bukan musuh.”

Ci Ying tersenyum mengejek dan melempar rasa ejekan kepada Ong Hui. “Hemmm, baiknya ada tunanganku ini yang mengingatkan. Baiklah, melihat muka tunanganku, aku bebaskan kau dari kewajiban mengantar roh ayah.”

Sebelum Ong Hui yang menjadi marah sekali itu sempat menjawab, seperti orang diingatkan, Ci Ying berpaling kepada Wang Sin, memegang tangannya dan berkata girang, “Ah, hampir aku lupa, Wang Sin. Cita-cita kita sejak dulu belum juga terlaksana. Sekarang selagi ayah masih duduk di sana, mari kita langsungkan perkawinan kita di depan ayah.” Ia menarik tangan Wang Sin, diajak bersembahyang di depan mayat ayahnya.

Wang Sin menjadi pucat. Tak terasa lagi ia merenggut tangannya, terlepas dari pegangan Ci Ying. Gadis itu memandangnya dengan kerling dan senyum seperti dulu ketika mereka masih berada di situ. Manis dan menarik. Ternyata gadis ini masih belum kehilangan sifat-sifat cantiknya masih menarik dan manis. Hanya sepasang matanya itu saja yang membuat jantung Wang Sin berdenyut tak enak. Sepasang mata yang membayangkan sinar aneh menakutkan. Apa yang sudah terjadi atas diri gadis ini?”

Melihat keraguan Wang Sin, Ci Ying bertanya, “Wang Sin, kanda Wang Sin yang baik, kenapa kau ragu-ragu?”

Wang Sin bingung tak dapat menjawab. Akhirnya ia menarik napas panjang dan bertanya, “Ci Ying, alangkah berubahnya engkau. Apakah yang sudah terjadi dengan dirimu? Bagaimana kau tahu-tahu bisa memiliki kepandaian sehebat ini?”

Ci Ying tertawa, masih merdu dan nyaring, akan tetapi kembali jantung Wang Sin berdenyut aneh mendengar suara ketawa yang seram ini. Setelah tertawa bergelak tanpa menjawab pertanyaan Wang Sin, Ci Ying tiba-tiba mengangkat kedua tangannya, memandang kepada semua budak yang berdiri di situ sambil berseru, “Hai, kawan-kawan semua! Hayo kalian semua berlutut dan memberi hormat kepada tuan besar Ci Leng, ayahku!”

Para budak tidak ada yang berani membantah. Serentak mereka menjatuhkan diri berlutut, bahkan di antaranya ada yang mulai menangis untuk menyatakan kesedihan karena kematian Ci Leng. Wang Sin sendiri yang menaruh hormat kepada orang tua itu, tanpa ragu-ragu lalu berlutut pula memberi hormat. Ci Ying menangis dan tertawa bergantian seperti orang gila, kemudian ia berkata.

“Wang Sin, ketika aku melarikan diri, aku diculik oleh anjing-anjing tuan tanah. Kemudian aku ditolong oleh Cheng Hoa Suthai yang selanjutnya membawaku ke Heng-toan-san dan aku menjadi muridnya. Guruku itu setuju aku turun gunung membasmi para tuan tanah, dan setuju pula aku menikah denganmu, dengan siapa saja yang ku suka. Aku hanya suka kepadamu seorang Wang Sin. Sekarang mari kita bersumpah di depan ayah untuk menjadi suami isteri seperti yang kita cita-citakan dulu.”

Wang Sin sudah mengambil keputusan untuk memutuskan tali perjodohannya dengan Ci Ying, gadis yang sekarang berubah menjadi wanita menyeramkan ini. Ia tahu bahwa tidak akan mungkin ia mengawini gadis ini disamping isterinya. Maka dengan suara gemetar saking tegang hatinya akan tetapi dengan pandangannya jujur ia berkata.

“Hal itu tak mungkin dilakukan, Ci Ying, karena ”

“Apa katamu? Karena apa ? Hayo katakan, kenapa kau menolak?” Suara Ci Ying

berubah beringas, penuh ancaman.

“Karena karena aku sudah menikah! Dia itu, Ong Hui puteri suhuku, dialah

isteriku,” jawab Wang Sin sambil menunjuk ke arah Ong Hui.

Ci Ying menengok dan memandang Ong Hui yang tentu saja kelihatan jelas karena dia ini tidak ikut berlutut seperti semua orang yang berada di situ. Melihat bahwa isteri Wang Sin adalah wanita yang tadi hendak diserangnya, kekagetan hati Ci Ying berubah menjadi kemurkaan hebat. Mukanya yang tadi berubah agak pucat mendengar jawaban Wang Sin, kini menjadi merah dan matanya makin liar berapi.

“Hei, kau berani merampas kekasihku? Kau sudah bosan hidup!” Sambil mengeluarkan pekik keras, tubuh Ci Ying mencelat dan ia mengirim serangan ke arah dada Ong Hui.

Wang Sin yang sudah menaruh hati khawatir dan sudah siap siaga, melompat maju dan cepat menangkis. Serangan Ci Ying tadi hebat sekali, sampai-sampai Wang Sin yang menangkis dari samping terpental mundur tiga langkah dengan lengan terasa sakit. Akan tetapi pukulan Ci Ying itupun meleset tidak mengenai Ong Hui yang sudah meloncat ke kiri.

Semenjak tadi, muka Ong Hui yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Sebetulnya ia merasa amat kasihan kepada Ci Ying yang sudah ia dengar riwayat hidupnya dari Wang Sin. Semenjak dulu iapun sudah siap sedia dan rela untuk membiarkan suaminya itu menikah dengan Ci Ying kalau mereka dapat saling bertemu kembali. Hanya sama sekali ia tidak mengira bahwa Ci Ying tunangan suaminya itu ternyata demikian ganas wataknya. Betapapun juga ia mengenal aturan maka ia merasa berat hatinya seperti tertikam pedang ketika mendengar tuduhan Ci Ying bahwa ia telah merampas kekasih orang.

“Enci Ci Ying. , sudah lama kami mencari-carimu. Kau menikahlah dengan dia

kalau kau menghendaki....., aku. aku biarlah aku pergi kalau kau tidak suka menjadi

saudara tuaku. ” Setelah berkata demikian, dengan isak ditahan nyonya muda ini

membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

“Hui-moi. !” Wang Sin memanggil isterinya. Ketika Ong Hui tidak menoleh dan

juga tidak kembali ia melompat mengejar. Tiba-tiba angin bersiut di pinggir kanannya dan tahu-tahu Ci Ying sudah berdiri menghadang di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan mulut tersenyum mengejek.

“Dia telah merampas hak orang lain dan sekarang pergi dengan aman, aku tidak turun tangan membunuh ia, juga sudah amat baik baginya.”

:Ci Ying, dia.... dia isteriku. ” kata Wang Sin dengan hati terpukul.

“Hemmm, kalau aku. apamukah? Sungguh rendah, dapat yang baru lupa yang lama.

Apa kau hendak mengingkari janji lama yang diadakan oleh orang-orang tua kita?”

Wang Sin tidak dapat menjawab, ia bingung. Ia melihat bayangan isterinya sudah jauh sekali. Kembali ia hendak mengejar, akan tetapi dengan sekali dorong di pundaknya Ci Ying dapat menahannya, membuat Wang Sin hampir terjengkang. Orang muda ini kaget sekali dan maklum bahwa Ci Ying sudah memiliki kepandaian yang luar biasa dan ia takkan dapat melawannya.

“Akan tetapi dia..... dia sudah mengandung. Ci Ying, kau kasihanilah dia. ”

Wajah Ci Ying yang cantik itu berubah ketika sinar matanya kembali menjadi liar. Ia bertolak pinggang dan suaranya penuh ancaman. “Wang Sin, hanya ada dua jalan kalau kau hendak kembali kepada kuntilanak itu. Pertama kau bunuh aku kalau kau bisa, dan kedua aku akan mencari dia dan membunuh dia dan anaknya!”

Inilah kata-kata yang hebat, yang membuat jantung Wang Sin berdebar keras. Tak dapat ia mengambil keputusan di saat itu. Hati kecilnya berkata bahwa dalam hal ini, dialah yang salah. Ci Ying hanya menuntut haknya sebagai akibat dari ikatan jodoh yang lalu. Dia maklum akan hal ini maka ketika ia hendak dinikahkan dengan Ong Hui dahulu, dia sudah ragu-ragu dan sudah berterus terang kepada Ong Hui dan ayahnya. Akhirnya dia menerima karena dia berpengharapan kalau Ci Ying masih hidup, ia dapat mengawini tunangannya itu disamping Ong Hui.

Siapa kira bahwa Ci Ying benar-benar masih hidup dan gadis ini tidak rela membiarkan dia menikah dengan wanita lain. Siapa kira Ci Ying sudah begini berubah, membuat cintanya yang dahulu lenyap. Cinta kasihnya yang dulu terhadap Ci Ying telah diganti dengan cinta kasih terhadap Ong Hui, terhadap isterinya, ibu dari calon anaknya.

“Wang Sin, di mana semangatmu?” Ci Ying menegur. “Bukankah kau kembali untuk menolong kawan-kawan dan saudara-saudara kita? Benar kita sudah berhasil membasmi tuan tanah-tuan tanah dan kaki tangannya di Loka, akan tetapi bukankah musuh besar kita yang utama, si anjing Yang Nam, masih hidup?”

Wang Sin sadar mendengar ini. Baiklah, pikirnya, urusan penting ini diselesaikan dulu. Kelak mudah dia menyusul isterinya. Adapun tentang perjodohannya dengan Ci Ying, perlahan-lahan ia dapat menyadarkan gadis ini bahwa ikatan jodoh itu tidak mungkin dilanjutkan mengingat bahwa dia sudah mempunyai isteri lain, malah sudah hampir menjadi seorang bapak. Akan ia ceritakan perlahan-lahan kepada Ci Ying tentang pertemuannya dengan Ong Hui dan mengapa ia sampai menikah dengan gadis Han itu.

Setelah kembali memikirkan nasib kawan-kawannya, para budak itu, bangkit kembali semangat Wang Sin dan ia dapat melupakan kebingungannya karena urusan pribadinya. Ia melihat semua budak dari dusun Loka sudah berkumpul di tempat itu dan segera ia mendengar laporan mereka.

Ternyata bahwa semua tuan tanah telah melarikan diri berikut keluarga mereka, dilindungi oleh beberapa orang tukang pukul, pendeta dan alat-alat negara yang ikut melarikan diri ke utara. Dusun Loka sudah kosong ditinggalkan, yang ada hanya sisa para budak yang tidak tewas dalam pertempuran.

“Nak Wang Sin dan Ci Ying, kalian telah menolong kami dari penindasan para tuan tanah di Loka, untuk itu kami merasa beruntung dan berterima kasih sekali. Impian yang sudah berabad-abad dimimpikan oleh para budak hari ini menjadi kenyataan. Akan tetapi, harap kalian tidak kepalang tanggung menolong kami,” kata seorang budak tua yang bersemangat dan tadi ikut bertempur mati-matian.

“Apa maksudmu paman tua?” tanya Wang Sin.

“Masih ada tuan tanah dan kaki tangannya yang berhasil melarikan diri,” jawab budak itu. “Sudah dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan melaporkan diri ke Lasha.

Kejadian hari ini di Loka tentu takkan dibiarkan begitu saja oleh pembesar-pembesar di Lasha, juga kematian pendeta-pendeta Lama yang membantu tuan-tuan tanah tentu takkan dibiarkan oleh pendeta-pendeta kepala di sana. Pembalasan tentu akan segera tiba dan sukar dibayangkan apa yang akan terjadi kalau bala tentara dan para pendeta itu datang membalas dendam ke sini,”

“Takut apa?” tiba-tiba Ci Ying berseru keras mengagetkan semua orang. “Biarkan mereka datang akan kuganyang satu demi satu?” Wang Sin mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya.

“Tidak bisa begitu, Ci Ying. Kau dan aku mungkin bisa menjaga diri dan melakukan perlawanan. Akan tetapi bagaimana dengan kawan-kawan yang lemah ini? Kalau pembalasan dari Lasha datang jumlah mereka tentu akan lebih banyak dan tidak dapat kita membiarkan kawan ini menjadi korban.”

Ci Ying hendak membantah, akan tetapi setelah ia mulai berbaik kembali dengan tunangannya ini, tidak mau ia bertengkar. Ia tertawa dan berkata. “Kanda Wang Sin yang baik, terserah kau yang urus. Sebagai istrimu aku menurut saja.”

Kecut-kecut hati Wang Sin mendengar ini, akan tetapi ia tidak dapat membantah, hanya tersenyum saja. Lalu ia menghadapi semua budak dan berkata, suaranya keras dan nyaring.

“Kawan-kawan semua! Urusan menghadapi musuh kalian serahkan saja kepada aku dan Ci Ying. Sekarang harap kalian suka memenuhi permintaanku ini. Lebih dulu kalian urus semua jenazah kawan-kawan kita yang gugur, kubur baik-baik dan rawat yang terluka. Kemudian kumpulkan semua harta milik tuan tanah dan bagi-bagi yang rata. Setelah itu kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan carilah penghidupan baru di tanah timur di mana kalian akan terbebas dari penghisapan dan penindasan tuan tanah yang kejam. Biar aku dan Ci Ying menjaga keamanan kalian sampai kalian dapat keluar dari tapal batas Tibet.”

Semua budak setuju dan beramai-ramai mereka lalu bekerja siang malam. Permintaan Wang Sin ini dapat diselesaikan dalam waktu dua hari dan pada hari ketiga berangkatlah mereka itu, lebih dari tiga ratus orang budak, berbondong-bondong melarikan diri ke timur.

Setelah mengawal rombongan pengungsi ini selama dua hari, Ci Ying lalu berkata kepada Wang Sin. “Cukup, kita tidak boleh mengawal terus. Kita harus kembali!”

“Kenapa?” tanya Wang Sin kaget.

“Kita harus mengejar ke Lasha. Anjing Yang Nam masih belum mampus!” Ketika menyebut nama ini matanya memancarkan sinar kilat.

Wang Sin mengangguk. “Kau betul, setelah sampai di sini, sebelum membasmi Yang Nam, tugas kita belum selesai. Membasmi pohon jahat harus dengan akar-akarnya, dan di antara semua musuh kita, Yang Nam paling busuk.” Sama sekali dia tidak menyangka bahwa sebetulnya adanya Ci Ying mengajak dia kembali ke barat untuk menyerbu ke Lasha, sebetulnya karena gadis ini khawatir kalau-kalau Wang Sin hendak menyusul Ong Hui.

Wang Sin lalu mengumpulkan para pengungsi dan berkata.

“Sekarang kalian boleh melanjutkan perjalanan dan sebaiknya dilakukan secara berpencar. Kalau terlalu banyak bergerombol bisa menimbulkan kecurigaan dan juga lebih mudah terdapat jejak kalian kalau ada pengejaran.” Wang Sin maklum bahwa nasib para budak ini belum tentu baik semua. Ada bahaya mereka bertemu orang jahat atau dapat dikejar oleh kaki tangan tuan tanah. Maka kalau berpencar, setidaknya bukan semua yang akan celaka.

Para budak kecewa akan tetapi tak dapat membantah. Ketika mereka berkemas terdapat keributan tentang kawan-kawan yang terluka. Mereka saling menolak, keberatan kalau harus membawa kawan-kawan yang terluka berat dan tidak dapat berjalan sendiri.

Memang, dalam penderitaan dan menghadapi bahaya orang-orang dapat bersatu padu dan saling membela, akan tetapi sekali keluar dari bahaya, sifat mementingkan diri sendiri timbul dan masing-masing hendak menyelamatkan diri dan keluarga sendiri.

Wang Sin menjadi bingung melihat kegaduhan ini. Di antaranya para budak, yang terluka berat dan harus ditolong ada tiga puluh orang lebih. Mereka hendak berpencaran dan saling menolak untuk membawa kawan-kawan terluka. Bagaimana baiknya?

“Coba kumpulkan mereka yang terluka berat ke sini!” tiba-tiba Ci Ying yang tidak sabar lagi membentak.

Semua orang lalu sibuk, mengangkuti mereka yang terluka berat, dikumpulkan di lapangan. Yang luka-luka berat ini menyedihkan sekali keadaannya. Mereka terluka karena bacokan senjata tajam dan keluhan mereka menimbulkan sedih dalam hati.

“Selain tiga puluh satu orang ini, yang lain-lain dapat berjalan sendiri?” tanya Ci Ying.

“Bisa!” jawab para budak serampak.

Tiba-tiba Ci Ying meloncat dan tubuhnya berkelebat seperti burung walet menyambar ke sana ke mari, tangannya kiri kanan digerakkan ke arah orang-orang yang terluka berat.

“Ci Ying. !!” Wang Sin berseru kaget sekali melihat gadis itu sekali pukul

membunuh orang yang terluka itu satu demi satu. Ia juga melompat hendak mencegah, akan tetapi gerakan Ci Ying luar biasa cepatnya, pukulan tangannya ampuh sekali sehingga dalam beberapa menit saja tiga puluh satu orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi.

“Ci Ying, apa yang kaulakukan ini?” kata Wang Sin, suaranya gemetar karena ia menahan marahnya.

Ci Ying tersenyum manis padanya. “Dibawa pergi, tidak seorangpun mau melakukannya. Ditinggal di sini, akan mati kelaparan. Tertangkap tuan tanah, akan mati disiksa. Bukankah lebih baik mati begini, tidak menderita?” jawaban ini tenang saja seakan-akan membunuh tiga puluh satu orang itu hanya soal kecil tak berarti saja.

Kemudian ia berteriak kepada semua orang. “Hayo kubur mereka lalu lanjutkan perjalanan kalian!” Semua budak yang tadinya menjadi pucat karena ngeri, tidak berani membantah perintah nona yang hebat itu. Cepat mereka mengubur mayat tiga puluh satu orang kawan mereka itu, lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan ketakutan, khawatir kalau-kalau dapat dikejar tuan tanah.

“Kanda Wang Sin, mari kita kembali, menuju ke Lasha.”

Ketika mengucapkan kata-kata, sikap Ci Ying sudah berubah lagi, lemah lembut dan manis. Sepasang mata dan senyumnya membayangkan cinta kasih mesra. Ia malah menggandeng lengan tangan Wang Sin untuk diajak pergi. Orang muda itu menurut saja, berkali-kali menarik napas panjang. Tak dapat disangkal lagi, setelah Ci Ying bersikap manis seperti ini, terbayanglah hubungan mesra di waktu mereka masih remaja dahulu dan harus ia akui bahwa sebetulnya cinta kasih pertama yang bersemi di dalam hatinya masih belum mati.

“Kanda Wang Sin, kau kenapa menghela napas?” tanya Ci Ying, bibirnya tetap tersenyum akan tetapi matanya yang jeli memandang penuh selidik.

Wang Sin tidak mau kalau disangka ia menyedihkan perpisahannya dengan isterinya. Ia tidak mau membangkitkan cemburu di dalam hati gadis ini yang sekarang berubah menjadi seorang berwatak aneh. Ia hendak menyadarkan gadis ini perlahan-lahan.

“Ci Ying, aku bingung melihat perubahan pada dirimu. Terhadap tuan tanah kau berlaku kejam, itulah sudah semestinya dan aku mengerti karena kita memang sejak lahir di dunia selalu menderita sengsara karena mereka. Akan tetapi tadi. kau

membunuh kawan-kawan sendiri yang terluka begitu saja seperti orang membunuh tikus. ah, benar-benar aku tidak mengerti!”

“Membunuh orang-orang luka yang tidak ada harapan lagi, untuk menolong banyak orang yang masih sehat, bagaimana bisa dibilang kejam? Apalagi kalau diingat pembunuhan itu untuk menolong keselamatan mereka dan diri sendiri, lebih-lebih bukan kejam namanya. Kejam adalah tuan-tuan tanah dan kaki tangannya yang membunuh orang untuk kesenangan diri sendiri.”

“Menolong diri sendiri?” tanya Wang Sin heran.

“Tentu saja. Kalau mereka tidak dibunuh, perjalanan terlambat dan kita terpaksa mengawal terus. Kalau kita mengawal terus, kita tidak akan bergerak leluasa dan bebas kalau terjadi pertempuran. Tentu kita menjadi rugi dan terancam.”

“Eh, kenapa begitu?”

Ci Ying cemberut. “Kau carilah sendiri. Hayo kita percepat jalan, sudah gatal-gatal tanganku untuk mencekik leher jahanam Yang Nam dan membetot keluar jantungnya.”

Wang Sin tidak berkata-kata lagi, melainkan mengerahkan tenaga untuk mengimbangi kecepatan larinya gadis itu yang bergerak ringan sekali. Diam-diam hatinya mengeluh. “Ganas....... ganas. ”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar