Jilid 07

Seorang kakek berusia lima puluh tujuh tahun, berdiri di bawah pohon menyilangkan kedua tangan di atas dada dan pandangan matanya tak pernah berkedip, mengikuti semua gerakan pemuuda itu. Kakek ini pun tinggi besar dan gagah perkasa, dan ada kelembutan ketika dia tersenyum gembira sambil mengangguk-anggukkan kepala, nampak puas sekali melihat gerakan silat pemuda itu. Angin pukulan pemuda itu menyambar-nyambar, menggerakkan pakaian dan rambut Si Kakek, juga membuat ujung ranting pohon dengan daun- daunnya bergoyang-goyang, membuat daun-daun kuning rontok.

Mereka adalah Sin-tiauw Liu Bhok Ki muridnya, Si Han Beng. Seperti kita ketahui, Si Rajawali Sakti Liu Bhok Ki itu membawa muridnya ke puncak Kim-hong-san di lembah Sungai Huang-ho, dimana dia menggembleng muridnya dengan penuh ketekunan. Kalau saja Han Beng seorang anak biasa, tentu tidak mungkin dalam waktu lima tahun akan mampu menguasai ilmu-ilmu silat tinggi gurunya itu dengan baik. Akan tetapi, setelah minum darah "anak naga", Han Beng bukan lagi seorang anak biasa. Di dalam tubuhnya mengalir tenaga sakti yang amat hebat, bahkan pada dasarnya jauh lebih kuat daripada tenaga sakti gurunya sendiri! Percampuran antara racun darah ular itu dan racun dari pukulan dan goresan kuku Ban-tok Mo-Ii telah menciptakan suatu kekuatan yang amat dahsyat di dalam diri dan dengan bekal ini, di samping, cerdikan dan bakatnya, maka tidak sukar bagi Han Beng untuk menyerap dan menguasai ilmu-ilmu dari Liu Bhok Ki, Si Rajawali Sakti. Dan apa yang di latihnya di pagi hari itu adalah ilmu simpanan dari gurunya, yaitu silat Hun-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali terbang) yang mengangkat tinggi nama besar Liu Bhok Ki sebagai Sin tiauw (Rajawali Sakti). Selain ilmu silat pa¬ling hebat dari Liu Bhok Ki ini, juga Han Beng telah mewarisi ilmu- ilmu silat lainnya, termasuk ilmu memainkan sabuk atau ikat pinggang sebagai senjata. Setelah selesai berlatih Hui tiauw Sin-kun, Han Beng lalu berhenti mengdap suhunya. Dia duduk di atas tanah, sedangkan gurunya kini duduk di atas sebuah batu besar di bawah pohon itu dan kakek itu kelihatan gembira sekali.

"Bagus, Han Beng muridku. Sungguh latihanmu tadi amat baik, tiada cacatnya sedikitpun. Itulah Hui tiauw Sin-kun yang kau mainkan dengan sempurna. Dan ketahuilah bahwa dengan ilmu silat itu aku dijuluki orang Sin-tiauw. Akan tetapi, engkau lebih pantas berjuluk Sin-Iiong (Naga Sakti), mengingat bahwa di tubuhmu mengalir darah naga."

"Semua hasil yang teecu capai ini berrkat bimbingan Suhu. Terima kasih atas semua kebaikan Suhu kepada teecu."

"Bagus! Kalau engkau ingat budi berarti engkau tentu tidak akan melupakan janjimu sebagai syarat menjadi muridku dahulu. Masih ingatkah engkau siapa yang harus kaucari dan kau hancurkan hidupnya untuk membalaskan dendam gurumu ini?"

"Masih Suhu. Mereka adalah Coa Siang Lee, keturunan ketua Hek-houw-pang di Ta-bun-cung dekat Poyang di utara Sungai Huang-ho, dan istennya yang bernama Sim Lan Ci."

"Bagus sekali, muridku. Dengan demikian tidak akan sia-sia aku meendidikmu selama lima tahun ini. Akan tetapi kini telah lima tahun engkau menjadi muridku dan seluruh ilmu yang kumi telah kuberikan kepadamu, bukan hanya ilmu silat, juga ilmu pengobatan cara untuk menjatuhkan Sim Lan dengan pengaruh obat, kalau engkau gagal menggunakan cara yang wajar. Dan sudah tiba janjiku kepada Sin-ciang Kai-ong untuk menyerahkan engkau kepadanya agar engkau menerima didikan dari nya selama lima tahun pula."

Han Beng memberi hormat. "Teecu mentaati semua perintah Suhu. Akan tetapi sebelum berpisah, teecu  mempunyai sebuah permintaan kepada Suhu, dan teecu harap Suhu suka meluluskan permintaan teecu ini."

Liu Bhok K i tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau mempunyai permintaan? Apakah itu, muridku? Terus terang saja, aku tidak mempunyai pusaka apa pun. Sabukku ini pun sabuk biasa, dan pusakaku hanyalah ilmu-ilmu yang sudah kuberikan kepadamu. Aku tidak melihat. "

"Ada pusaka yang amat teecu inginan dari Suhu." "Eh? Pusaka, yang mana itu? Katakanlah, tentu akan 

kuberikan kepadamu, muridku."

"Benarkah? Apa yang teecu minta han Suhu berikan kepada teecu?"

"Tentu saja! Engkau satu-satunya yang terdekat dengan aku, Han Beng, dan terus terang saja, aku merasa puas mempunyai murid seperti engkau. Katakan, pusaka apakah itu yang kau maksudkan?"

"'Dua buah kepala itu, Suhu."

Sepasang mata pendekar itu terbelalak. "Hahhhhh. ? 

Dua dua buah kepala itu? Kepala Coa Kun Tian dan Phang Hui Cu? Mau mau apa engkau dengan dua buah kepala 

itu? Untuk apa kauminta?" "Untuk teecu kuburkan, Suhu."

"Ahhh " Liu Bhok Ki meloncat turun dari atas batu, tubuhnya menggiggil, mukanya merah dan dia mengepal kedua tangannya, memandang kepada Han Ben 

"Si Han Beng! Apa maksudmu dengan itu? Engkau hendak menguburkan di buah kepala itu? Engkau hendak membuat  aku melupakan dendamku? Dengan demikian, berarti bahwa engkau telah melupakan janjimu, tidak akan melaksanakan pembalasan sakit hatiku terhadap Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci?"

Han Beng memberi hormat, sikapnya tetap tenang, tanda bahwa pemuda remaja berusia tujuh belas tahun ini tentu mempunyai batin yang kuat, mampu menahan perasaan sehingga dia selalu bersikap tenang, tidak dipengaruhi perasaan.

"Harap Suhu jangan salah sangka. Apa yang telah teecu janjikan kepada Suhu, pasti teecu penuhi, hanya berhasil atau tidak kita sama melihat saja nanti. Teecu ingin agar dua buah kepala itu dikubur, karena sungguh tidak tepat sekali apa yang Suhu lakukan selama ini terhadap dua buah kepala itu. Suhu menyiksa diri sendiri dan menyiksa dua buah kepala yang tidak berdosa.

"Aku menyiksa diri? Bodoh kau! jusru aku membalas dendam sakit hati, aku merasa puas melihat mereka itu! Dan kaubilang dua buah kepala itu tidak berdosa? Mereka telah menghancurkan kehahagiaan hidupku, dan kau masih mengatakan mereka tidak berdosa?"

"Harap Suhu tenang agar dapat berpikir secara luas dan mendalam, Suhu. Teecu melihat betapa Suhu menyiksa diri sendiri dengan adanya dua buah kepala itu. Dengan adanya mereka, Suhu akan setiap saat teringat dan menderita sakit hati. Di dunia ini, tidak ada kedukaan yang tidak akan lenyap dihapus waktu, Suhu. Akan tetapi Suhu selalu meghadapi dua buah kepala itu sehingga setiap saat teringat dan berduka, bukankah itu berarti Suhu menyiksa diri sendiri? Dan tentang dosa kedua buah kepala itu, benarkah dua buah kepala itu yang berdosa? Bukankah perbuatan itu dimulai dari pikiran dan hati, sedangkan badan hanya melakukan saja keinginan batin? Jelas bahwa dua buah kepala itu hanya sebagian saja dari badan, maka tidak berdosa setelah mati Suhu. Mengapa  Suhu menyiksa dan menghukum badan yang tidak bersalah apa-apa? Badan yang sudah mati sama dengan tanah, disiksa bagaimanapun tidak akan merasakan apa-apa lagi. Hati teecu merasa penasaran sekali karena apa yang dilakukan Suhu ini sungguh kejam, sungguh tidak berperikemanusiaan seningga tidak selayaknya dilakukan seorang pendekar gagah perkasa seperti Suhu."

Wajah yang tadinya merah itu kini berubah pucat, matanya terbelalak, tapi dia masih marah sekali. "Kau kau bilang 

aku kejam dan tidak berprikemanusiaan? Andaikata benar begitu, itu hanya sebagai hukuman saja terhadap mereka berdua. Apakah mereka berdua itu tidak kejam dan tak mengenal perikemanusiaan dengan perbuat zina mereka yang menghancurkan kebahagiaan hidupku?"

"Suhu, kalau orang lain mengganggu ta dengan kekejaman, apakah kita pun harus membalasnya dengan kekejaman?

Kalau sudah begitu, lalu siapa yang kejam dan siapa yang tidak? Siapa yang jahat dan siapa pula yang baik? Siapa penjahat dan siapa pula pendekar?"

Liu Bhok Ki yang tadinya marah besar,seketika merasa tubuhnya lemas dan dia pun menjatuhkan diri terduduk di atas batu, termenung dengan muka pucat seperti patung. Dia merasa seperti lolosi seluruh otot dan urat di tubuhnya.

Han Beng sambil berlutut memberi tinat. "Suhu, maafkan teecu, bukan teecu kurang ajar dan ingin melawan dan membantah Suhu, melainkan karena perasaan cinta dan. hormat teccu unuk menghentikan perbuatan Suhu yang tidak layak ini. Teecu yakin Suhu seorang yang berjiwa pendekar dan gagah perkasa bukan seorang yang berjiwa rendah, kejam dan tidak berperikemanusiaan." "Sudahlah......... sudahlah. kauambil dua buah kepala 

itu dan kaukubur mereka , sudah, jangan bicara lagi"

Han Beng memberi hormat sekali lagi, "Terima kasih, Suhu." Dia lalu bangkit dan memasuki pondok, sejenak mengamati dua buah kepala itu, yang satu berada di dalam botol arak dan yang sebuah lagi tergantung dan terayun-ayun di tengah ruangan. Melihat betapa dua buah kepala itu mulutnya seperti tersenyum akan tetapi matanya tanpa cahaya memandang jauh seperti pandang orang berduka, dia bergidik. Cepat turunkannya kepala Coa KunTian itu dan dikeluarkannya kepala Phang Hui kemudian dia membungkus dua buah pala itu menjadi satu dalam sehelai kain putih, dan membawanya keluar. Dia memang sudah merencanakan untuk mengubur dua buah kepala itu di bawah kohon cemara di puncak Pegunungan Kin-hong-san, maka kini dia membawa Dua buah kepala itu ke sana. Digalinya sebuah lubang yang dalamnya satu setengah meter, di antara dua batang pohin delima di bawah naungan cemara yang tinggi. Kemudian, dengan hati-hatti dan penuh hormat dia meletakkan buntalan dua buah kepala itu ke dalam lubang dan mulutnya berbisik, "Harap Ji-wi kini dapat mengaso dengan tenang dan maafkanlah apa yang diperkuat oleh guruku selama ini."

Pada saat itu, Liu Bhok Ki menangis ketika dari balik sebuah batu besar dia mengintai dan melihat muridnya mengubur kedua buah kepala itu. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa kini dia tidak memiliki apa-apa lagi.Kini baru terasa olehnya betapa dua buah kepala itu menjadi milik satu- satunya baginya, bahkan dua buah kepala itu yang membuat dia masih berani menghapi hidup, merasakan suka dan duka dari kehidupan ini melalui kedua buah kepala itu. Dari dua buah kepala itu" dapat merasakan kepuasan dan kemanisan balas dendam, juga merasakan kedukaan karena putus cinta, merasai cemburu yang menggerogoti hatinya kemudian manisnya pembalasan terha mereka. Dan kini, dua buah kepala yang seolah-olah menangisi hidupnya siang malam itu telah diambil darinya dikuburkan. Dan dia merasa seolah-olah  baru sekarang dia kematian isteri tercinta, seolah-olah melihat jenazah isterinya dikubur dan bahwa selamanya dia akan kehilangan isterinya itu! Maka tak tertahankan lagi, dia menangis sampai air matanya bercucuran membanjiri kedua pipinya. Dia menahan diri agar tangisnya tidak sampai terdengar oleh muridnya, dan cepat-cepat dia pergi dari situ, kemudian sesenggukan di dalam pondoknya.

Setelah selesai mengubur dua buah kepala itu, menguruknya dengan tanah dan menaruh sebongkah batu besar depan kuburan, Han Beng lalu kembali ke pondok untuk berkemas. Dia melihat suhunya duduk bersila di tengah ruangan pondok itu sambil memejamkan dua matanya. Melihat ini, dia tidak berani mengganggu dan dia lalu memasuki kamarnya, mengumpulkan pakaian dan membungkusnya menjadi sebuah buntalan. Diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia pun keluar dari dalam kamar. Suhunya masih duduk bersila seperti tadi, kedua mata terpejam. Han Beng tetap tidak berani mengganggu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut didepan suhunya, menanti sampai orang tua itu sadar dari samadhinya.

Lebih dari tiga jam Han Beng berlutut di depan gurunya, dengan penuh kesabaran dia menanti sampai suhunya bangun dari samadhinya. Sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau kehilangan kesabaran. Kalau suhunya tidak sadar sampai sehari semalam pun, dia akan tetap menunggu, karena dia harus berpamit dari gurunya sebelum meninggalkan tempat itu. Gurunya selama ini amat dikasihinya, dan menjadi pengganti orang tuanya. Sin-tiauw Lin Bhok Ki bagi Han Beng merupakan guru, orang tua, juga sahabat. Di dalam dunia ini, hanya orang tua itulah satu-satunya manusia yang dekat dengannya. Karena itu, bagaima mungkin dia meninggalkan gurunya ini tanpa pamit?

Akhirnya, terdengar gurunya berkata "Han Beng " Han Beng cepat mengangkat mukanya, memandang kepada suhunya yang sudah membuka mata dan tersenyum kepadanya. Han Beng mengamati wajah gurunya dan dia pun merasa jantungnya seperti ditusuk karena terharu, Wajah itu membayangkan kedukaan mendalam, bahkan nampak jauh lebih tua dibandingkan kemarin! Seolah-olah ada awan kedukaan hebat yang menyelubungi wajah itu, namun mulut itu tersenyum kepadanya! Dia merasakan adanya suatu pertentangan di dalam batin gurunya, dan dia berpikir bahwa hal itu tentu muncul karena ulahnya meminta dua buah kepala dan yang telah dikuburkannya. Diam-diam dia merasa dosa kepada gurunya.

"Han Beng, tahukah engkau betapa permintaanmu yang telah kululuskan tapi seolah-olah mencabut semangat hidupku? Aku merasa betapa hidupku menjadi kosong tak berarti, seolah-olah dua buah kepala itu pergi membawa seluruh semangatku."

Han Beng semakin terharu dan dia daipun memberi hormat sambil berlutut.

"Suhu, ampunkan teecu karena sesungguhnya bukan demikian maksud teecu, melainkan untuk menolong Suhu terbebas daripada penderitaan batin."

Gurunya tersenyum, senyum yang amat mengharukan karena senyum itu amatlah pahitnya. "Tidak mengapa, Han Beng. Salahku sendiri. Ketahuilah bahwa tanpa kusadari, aku telah terikat secara batiniah kepada dua buah kepala ftu, seolah-olah dua buah kepala itu tirnjadi pengganti isteriku yang tercinta. Dan sekarang setelah berpisah, aku merasa kehilangan sekali. Akan tetapi biarlah, mungkin engkau benar, setelah aku mengalami kepahitan yang sedemikian hebat ini, mungkin lambat laun Sang Waktu akan menjadi penyembuh yang mujizat. Hanya pesanku kepadamu, Han Beng, karena engkau masih muda, hati-hatilah, terutama terhadap wanita. Jangan mudah menyerahkan hati cintamu, dan andaikata  engkau tidak dapat mengelak lagi dan jatuh cinta jangan engkau mengikatkan batinmu padanya agar kalau sekali waktu ia meninggalkanmu, kalau ia melakukan penyelewengan dengan pria lain, hatmu tidak akan hancur binasa! Kalau batinmu tidak terikat oleh seorang wanita sewaktu ia menyeleweng dengan pria lain, engkau akan menerimanya den penuh kesadaran dan keikhlasan, sadar bahwa cinta antara pria dan wanita dak dapat bertepuk tangan sebelah, lau ia jatuh cinta kepada pria lain, arti cintanya padamu sudah luntur engkau tidak mungkin dapat memaksanya untuk tetap mencintaimu dan jangan menoleh kepada pria lain."

Han Beng yangbaru berusia tujuh belas tahun itu sudah dapat menangkap apa yang dimaksudkan suhunya, dan dia pun maklum bahwa suhunya sedang menderita goncangan hebat dalam batinnya sehingga ucapannya itu condong ke arah pelampiasan duka dan penghiburan diri ndiri. Betapapun juga, dia dapat merasakan kebenaran. Memang, ikatan mendatangkan derita sengsara batin karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan per¬lahan dan kalau hati terikat, maka perpisahan itu akan mendatangkan rasa sengsara dan duka.

Han Beng lalu berpamit kepada gurunya yang merasakan keharuan karena dia harus berpisah dari murid yang disayangnya ini. Baru saja dia kehilang dua buah kepala yang menjadi pengganti isterinya, kini dia harus berpisah lagi dari muridnya yang tersayang. Namun, dia melihat kenyataan bahwa perpisahan itu memang tidak dapat dihindarkan lagi.

“Pergilah, Han Beng. Masih ingat engkau ke mana harus mencari gurumu yang baru, yaitu Sin-ciang Kai-ong Jangan lupa, carilah dia di daerah Propinsi Hok-kian. Di sana dia menjadi raja jembel dan siapapun tentu akan mengenalnya dan dapat menunjukkan mana engkau dapat menemuinya. Sam kan salamku kepadanya!" Han Beng lalu berangkat, mengendong buntalan pakaiannya di punggung dan melangkah dengan tegap dan ringan menuruni bukit Kim-hong-san. Ketika dia tiba di lereng yang berhutan, tiba-tiba muncul seorang yang memakai kedok mukanya, berpakaian serba hitam tanpa banyak cakap lagi orang ini dah menyerangnya dengan membabi-buta, Melihat gerakan orang itu, Han Beng terkejut karena selain gerakannya ringandan gesit sekali, juga pukulan-pukulannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat! Dia pun cepat mengelak. Setelah beberapa kali mengelak dan menangkis dia mendapat kenyataan bahwa orang itu memang memiliki sin-kang yang amat kuat. Dia meloncat jauh belakang.

"Heiiiii, berhenti dulu, Sobat! Mengapa engkau menyerangku dan apakah kesaahanku padamu?"

Sebagai jawaban, orang itu hanya meloncat dan menyerangnya lagi, kini lebih hebat lagi. Pukulannya merupakan serangan maut karena tangan yang menyambar ke arah kepalanya itu mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apalagi kepala manusia! Dia pun mulai merasa asaran oan segera di tangkisnya pukul itu dengan lengannya sambil mengerahkan sin-kang di tubuhnya.

"Dukkk!" Penyerang itu terdorong mundur dan giranglah hati Han Beng melihat kenyataan bahwa dalam hal tenaga sin- kang, dia masih lebih unggul sedikit. Hal ini membesarkan hatinya dan dia pun mulai balas menyerang! Akan tetapi, betapa gesitnya gerakan orang itu dan agaknya, semua jurus seranganan tidak membuat orang itu menjadi gugup dan bahkan dapat mengimbanginya dengan serangan-serangan balasan yang tak kalah hebatnya!

Mereka berkelahi dengan sungg sungguh, dan Han Beng sudah mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya selama lima tahun itu, namun tidak ada yang dapat menembus  benteng pertahanan lawannya itu. Dia merasa penasaran sekali dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, Han Beng lalu mengeluarkan jurus simpanannya, ya ituilmu silat Hui-tiauw Sin-kun. Akan tetapi, kembali dia tertegun karena orang itu agaknya mengenal pula ilmu silatnya ini dan dengan mudah dapat mengelak dengan tepat sekali. Padahal ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun ini gerakan amat cepat dan tidak terduga-duga. Bagaimana mungkin orang ini dapat mengelak sedemikian mudahnya? Tentu sudah mengenal ilmu silatnya ini. Sudah mengenal! Hanya gurunya yang mengenalnya. Han Beng meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran sebuah tendangan dan dia mengamati orang itu Perawakannya, tinggi besar! Ah, siapa lagi kalau bukan gurunya? Biarpun memakai topeng dan mengenakan pakaian hitam, namun bentuk tubuh itu bentuk tubuh gurunya, dan lebih meyakinkan lagi, orang itu mengenal semua ilmu ulatnya! Tahulah dia bahwa gurunya sendiri yang agaknya hendak mengujinya, maka dia pun ingin menyenangkan hati gurunya dan menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan Hui-tiauw Sin-kun dengan sebaik mungkin!

Didesak sehebat itu, orang bertopeng itu pun mulai memainkan ilmu silat yang sama. Terjadilah serang- menyerang yang amat seru, dan dalam pertandingan ini, Han Beng merasa betapa biarpun dia menang sedikit dalam hal tenaga sakti, namun dia kalah matang dalam gerakan silatnya.

"Plak-plak!" Dua kali kedua tangan mereka bertemu dan tubuh orang bertopeng itu terdorong ke samping, akan tetapi tangannya sempat meluncur dan tahu-tahu buntalan pakaian Han Beng dapat direnggutnya lepas dari punggung pemuda itu!

Han Beng menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, tcccu mengaku kalah!" Orang itu berhenti, merenggut topengnya dan ternyata Liu Bhok Ki. Dilemparnya buntalan itu kepada Han Beng dan dia mengusap keringatnya yang membasahi muka dan leher, lalu menarik napas panjang.

"Siapa bilang kau kalah? Aku hanya menang sedikit dalam hal kematanj ilmu silat kita, akan tetapi kalau engkau berkelahi sungguh-sungguh, aku takkan kuat bertahan. Lihat, tubuhku sudah berkeringat. Han Beng, engkau hati-hatilah di dalam perjalananmu, jangan sembarangan mempergunakan Hui- tiauw Sin-kun kalau tidak terdesak sekali. Juga jangan engkau terlalu ringan, tangan melukai, apalagi membunuh orang.

"Semua petunjuk dan nasihat Suhu sudah tertanam dalam ingatan teecu dan tentu teecu akan mentaatinya."

"Nah, pergilah cepat, muridku, pergilah sebelum kedukaan sempat menyentuh hatiku karena perpisahan ini!" si Liu Bhok K i terdengar keras. Han Beng maklum akan kepedihan hati gurunya, maka dia pun segera bangkit berdiri, memberi hormat sekali lagi lalu pergi dari situ dengan langkah lebar memasuki hutan agar cepat lenyap dari pandang mata gurunya.

ooooOOOOoooo

Sinar matahari pagi mulai mengusiri ibut-kabut yang menyelubungi dusun Ki-hyan-tung.Burung-burung dan ayam jantan menyambut sinar matahari dengan kicau dan kokok mereka saling berrsahutan dan penuh keriangan.Lampu- lampu yang tergantung di depan rumah-rumah kecil di dusun itu sudah mu¬tu dipadamkan, dan sebagai gantinya, nampak asap mengepul dari dapur. Para ibu sudah mulai memasak air, siap membuatkan minuman hangat dan sarapan untuk keluarganya. Di sana-sini terdengar teriakan ibu-ibu yang tidak sabar kepada anak-anaknya, tangis anak kecil dan teriakan anak-anak yang nyaring, gerutu para ayah dengan suara parau. Sinar matahari mulai menghidupkan dusun it bukan saja menggugah para penduduknya untuk mulai bekerja, dan  burung-burung juga segala macam binatang, akan tetapi juga menggugah pohon-pohon besar kecil setelah mereka ini terlelap dan dingin. Para petani mulai mempersiapkan diri untuk bekerja di sawah ladang menanti sarapan sekedarnya, setiddkn minuman untuk menghangatkan perut, yang sudah berpuasa semalam suntuk.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan sekelompok orang yang berpakaian perajurit seragam masuk ke dalam perkampungan itu di atas kuda mereka. Jumlah mereka ada lima puluh orang dikepalai seorang komandandan bersama dua orang pembantunya. Begitu memasuki dusun, mereka mengambil sikap mengurung, menjaga di semua penjuru, terutama di empat pintu dusun.

Mendengar derap kaki banyak kuda memasuki perkampungan mereka, para petani saling pandang dengan muka berubah. Entah siapa yang membisikkah lebih dahulu, akan tetapi kini mereka semua berbisik dengan muka ketakutan. 

"Hek-i-wi. !"

Hek-i-wi (Pasukan Pakaian Hitam) sudah amat terkenal dan amat ditakuti oleh orang-orang di pedusunan. Hek-i-wi adalah pasukan yang perajuritnya berpakaian serba hitam dan tugas mereka Adalah mencari dan mengumpulkan tenaga-tenaga dari rakyat jelata untuk di jadikan tenaga pekerja membangun terusan Besar. Karena pasukan Hek-i-ki menduduki tempat yang tinggi dan kekuasaan yang mutlak, bahkan para komandannya diberi hak untuk bertindak terhadap rakyat yang membangkang, maka tentu saja mereka amat ditakuti, kekuasaan memang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi manusia. Sekali memegang kekuasaan, orang akan lupa diri dan meremehkan orang lain.

Dari kekuasaan ini timbul bermacam perbuatan yang buruk dan jahat. Orang-orang yang merasa khawatir kalau-kaiau dia  akan diambil dan dijadikan pekerja paksa, tidak segan-segan untuk melakukan penyuapan atau penyogokan kepada para komandan dan perajurit pasukan Hek-i-wi ! Bukan hanya menyogok dengan harta milik, bahkan ada pula yang menyerahkan anak gadisnya kalau mereka melihat betapa komandan pasukan atau para perwiranya tertarik kepada anak gadisnya itu. Biarpun pemerintah sediri mengambil kebijaksanaan untuk mengaji para pekerja, namun dalam pelaksanaannya, gaji-gaji itu tertahan dilenyap entah di tangan yang mana antara ribuan petugas itu,dan para pekerja itu bekerja tanpa digaji, bahkan ransum mereka pun dikurangi sehingaa banyak di antara mereka yang mati kelelahan atau kelaparan. Hal ini makin menakutkan rakyat sehingga biar yang miskin sekalipun, selalu ingin menghindarkan diri agar jangan sampai diambil dan dipaksa untuk bekerja di Terusan itu.

Begitu nama Hek-i-wi dibisikan, para penduduk dusun Ki- hyan-tung jadi geger! Para ibu menangis, anak-anak bersembunyi di kolong-kolong di kakus-kakus dengan tubuh menggigil para gadis yang bersembunyi karena mereka mendengar betapa perajurit Hek-i-Wi itu kasar dan mata keranjang, tak pernah melewatkan dan membiarkan saja seorang gadis dusun tanpa diganggunya. Dan para pria dusun itu berserabutan lari keluar dari rumah dengan maksud melarikan diri keluar dari dusun agar tidak ketahuan dan tidak tertangkap. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka melihat betapa dusun itu telah dikepung dan mereka yang mencoba melarikan diri bertemu dengan cambuk-cambuk yang melecut dan tendangan kaki bersepatu yang kuat dan membuat mereka roboh terrguling! Suasana menjadi semakin gempar.

"Semua penduduk dusun ini keluar dan berkumpul di sini!" berkali-kali beberapa orang perwira berseru dengan suara lantang.

"Yang melarikan diri atau melawan akan dibunuh!" "Laki-laki di sini dan semua perempuan dan kanak-kanak di sebelah sana!"

Dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan, semua penghuni terpaksa keluar dari rumah dan tempat persembunyian mereka. Mereka sudah medengar betapa beberapa buah dusun dibakar oleh Hek-i-wi hanya untuk memaksa para penghuninya keluar dari tempat persembunyian mereka!

Setelah semua orang berkumpul, yang pria berkelompok dikiri, yang wanita bersama anak-anak berkelompok di kanan, komandan pasukan itu berseru, "Kalian jangan takut! Kami melaksana tugas dari pemerintah untuk memberi pekerjaan kepada kalian. Kalian akan digaji dan diberi makan cukup! Juga para wanita yang terpilih akan mendapat pekerjaan dan hidup yang menyenangkan!!

Kini para pembantu komandan ini melakukan pemilihan. Pria-pria muda dan kuat, segera dipisahkan dan kedua tangan mereka dipasang borgol dengan rantai panjang. Dan segera lima puluh orang lebih pria diborgol dengan rantai yang sambung menyambung, dan ada lima belas wanita muda, baik gadis maupun sudah menikah, dipilih pula dan mereka ini dipaksa untuk memisahkan diri, lalu disuruh naik ke dalam sebuah gerobak yang sudah dipersiapkan. Para wanita menangis, baik mereka yang dibawa maupun mereka yang ditinggalkan. Para gadis dan wanita muda itu sudah Mendengar bahwa mereka yang terpilih itu akan mendapatkan pekerjaan, akan tetapi pekerjaan yang hina dan mereka akan dipaksa melayani para perajurit seperti pelacur! Dan mereka yang sudah dibawa pergi, belum pernah ada yang kembali ke dusun mereka. Juga jarang sekali ada pria yang kembali ke dusun telah mereka terpilih untuk bekerja di terusan.

Dengan diiringi jerit tangis, baik dari mereka yang menjadi tawanan maupun dari mereka yang ditinggal, pasukan Hek-i- wi itu menggiring para ta¬wanan keluar dari dusun itu. Bunyi  cambuk mereka meledak-ledak untuk menakut nakuti mereka, dan untuk memaksa mereka yang hendak mogok untuk terus berjalan. Bagaikan sekumpulan hewan ternak yang baru dibeli, lima puluh orang laki-laki dusun itu digiring keluar dari dusun mereka, meninggalkan keluarga, rumah dan dusun mereka, mungkinuntuk selamanya.

Menurut peraturan pemerintah pada waktu itu, tidak ada kerja paksa, ya ada ialah kerja wajib di mana rakyat dikenakan wajib bekerja membuat Terusan itu selama seratus hari, dan ini pun diberi gaji dan makan. Ada pula diterima wanita yang bekerja dan digaji, namun secara suka rela, untuk bekerja di dapur umum pembuatan Terusan. Akan tetapi, sudah menjadi penyakit umum bahwa pelaksanaan suatu perintah lalu menyimpang daripada asalperitah itu sendiri. Kerja wajib menjadi keja paksa, gaji dikebiri bahkan dihilangkan sama sekali, wanita-wanita dikumpulkan dan dipaksa bekerja, bukan dengan pembuatan Terusan melainkan demi pemuasan nafsu binatang mereka!

Tak dapat disangkal bahwa di antara para petugas terdapat pula orang -orang bersih dan yang benar-benar melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Akan tetapi apakah artinya susu secangkir kalau dimasukkan ke dalam kolam yang penuh dengan air kotoran? Takkan nampak keputihan dan kebersihan susu, bahkan akan ikut menjadi kotor! Yang sedikit itu akan lenyap terselimuti yang banyak.

Komandan pasukan Hek-i-wi yang memasuki dusun Ki- nyan-tung ini bernama Bak Lok Sek, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh imggi besar dan gagah perkasa, bertelinga gajah dan dia memiliki ilmu silat liang-to (sepasang golok) yang amat dahsyat sehingga ditakuti banyak orang. Juga dua orang perwira yang membantuya merupakan orang-orang pilihan dengan ilmu silat tinggi. Bahkan pasukan yang dipimpin oleh Ban Lok Sek ini merupakan pasukan pilihan, terdiri dari Prajunt-perajurit yang pandai ilmu silat. Dengan pasukan istimewanya ini, Ban lok Sek seolah-olah  menjadi raja kecil yang dapat memaksakan kehendaknya sesuka hatinya, tanpa ada yang berani menentangnya. Karena terbukti babhwa pasukan pimpinan Ban Lok Sek ini yg selalu berhasil membawa banyak tenaga baru yang patuh, maka atasannya tidak terlalu memusingkan tentang berita bahwa Ban Lok Sek dan pasukannya yang kejam terhadap rakyat.

Orang-orang dusun yang dijadikan seperti tawanan itu terhuyung-huyung berjalan di bawah ancaman cambuk- cambuk yang kadang-kadang menyentuh kulit dan menggigit, debu mengepul bawah kaki kuda-kuda yang ditungg pasukan itu, dan di tengah-tengah pasukan itu terdengar isak tangis para wanita yang berhimpitan di dalam gerobak yang ditarik dua ekor kuda. Mereka yang ditinggalkan, yaitu kakek-kakek, nenek-nenak, wanita yang tidak terpilih, kanak-kanak, berkelompok di dalam dusun dan mereka itu menangis dan ratap, menangisi anak, suami, ayah, isteri atau puteri mereka yang dijadikan tawanan.

Ketika rombongan pasukan berkuda tiba di luar dusun, tiba- tiba terjadi kekacauan di barisan depan. Semua perajurit segera memacu kuda untuk melihat apa yang terjadi, dan mereka itu terkejut dan marah sekali melihat berapa orang kawan mereka sudah terjungkal dari atas kuda, dan kelihatan ada lima orang laki-laki gagah perkasa mengutik dengan pedang mereka. Agaknya amukan lima orang pria perkasa itulah yang membuat terjungkalnya lima orang prajurit terdepan. Mereka adalah jago-jagoan dari Siauw-lim-pai! Seperti kita ketahui, kuil Siauw hm-si dibakar dan banyak pendekar Siauw-lim-pai yang tewas dalam pertempuran besar ketika Siauw-lim-si diserbu oleh pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai melakukan perlawanan dengan hati duka karena ketua mereka telah membakar diri sampai tewas untuk memprotes tindakan pemerintah itu, dan hanya ada enam orang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dalam keadaan luka-luka. mereka lalu bergabung dengan para murid Siauw-lim-pai yang kebetulan berada di luar kuil dan Tidak ikut terbasmi. Para murid yang berhasil lolos itu dipimpin oleh Lie  Koan Tek, pendeta Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, semenjak terjadi pembakaran kuil itu, Para pendekar Siauw lim pai hidup seorang buruan, berpencar dan Thian Hwesio sendiri, sute dari ketua Siauw-lim -pai yang membakar diri, bersembunyi di daerah selatan.

Lima orang laki-laki yang kini menyerbu pasukan yang menawan penduduk dusun Ki-nyan-tung, adalah para pendekar Siauw-lim-pai yang kebetulan lewat di dekat dusun itu. Mereka melihat apa yang terjadi dan marahlah para pendekar ini, lalu mereka mencabut pedang dan menyerang pasukan pemerintah yang bertindak sewenang-wenang itu. Biar para pendekar ini telah kehilangan kuil dan pusat asrama mereka, namun mereka sama sekali tidak kehilangan watak kependekaran mereka,, dan dengan penuh semangat mereka menyerang pasukan untuk membela para penduduk dusun yang dijadikan tawanan itu. Tentu perwira perajurit menjadi marah melihat betapa beberapa orang kawan mereka roboh dengan luka berat, bahkan ada yang tewas. Mereka lalu menyerbu dan mengepung, mengeroyok lima orang pendekar itu dengan senjata golok dan teriak mereka, juga komandan Ban Lok Sek bersama dua orang perwira pembantunya yang lihai, sudah terjun ke dalam pertempuran itu. Lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu terkejut ketika melihat Gerakan sepasang golok di tangan komandan itu! Mereka mengenal ilmu golok pasangan dari Siauw-lim-pai!

"Engkau murid Siauw-lim-pai!" bentak seorang di antara para pendekar Siau-lim-pai! Bentak seorang diantara para pendekar.

Ban Lok Sek tertawa dan mendengus dengan penuh ejekan. "Huh, siapa murid Siaw-lin pai yang memberontak? Memang pernah aku mempelajari ilmu golok dari Siauw-lim- pai, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku murid Siauw lim- pai!" berkata demikian, dia mendesak orang yang menjadi lawannya. Juga dua orang perwira pembantunya menggerakkan golok mereka dan dibantu oleh pulahan orang  perajurit, betapapun lihainya lima orang pendekar Siauw-Iim- pai itu, mereka mulai terdesak hebat! Namun, dengan gigih mereka melakukan perlawanan, memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh dari ancaman puluhan batang senjata yang menyambar-nyambar ganas. Karena banyaknya pengeroyok lima orang pendekar itu sukar untuk dapat membalas. Mereka tidak memperoleh kesempatan lagi, dan terpak hanya membela diri saja tanpa tanpa membalas. Mereka berlima akhirnya te kena bacokan-bacokan dan mulai menderita luka-luka, walaupun luka ringan karena mereka memang memiliki tubuh yang kuat terlindung kekebalan, gerakan lincah dan juga putaran pedang mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan maut.

Bagaimanapun juga, kalau dilanjutkan tak lama lagi tentu lima orang pendekar itu akan roboh dan tewas di bawah pengeroyokan demikian banyaknya lawan. Mereka maklum akan hal ini, namun mereka tidak merasa gentar. Jiwa kependekaran mereka membuat mereka pantang mundur dalam menghadapi kejahatan dan penindasan. Mereka hendak menolong orang-orang dusun itu dengan taruhan nyawa mereka sendiri.

Dalam keadaan yang amat berbahaya itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar. Pemuda ini bukan lain adalah Han Beng. Dari jauh sudahdia tertarik oleh suara hiruk pikuk yang bertempur. Biarpun dia sudah menerima pesan suhunya agar tidak mencampuri urusan orang lain, namun hatinya tertarik dan dia cepat berlari menuju ke arah suara keributan itu. Dan dia melihat puluhan orang dusun yang dibelenggu dan diikat dengan rantai panjang, melihat pula belasan orang wanita muda yang berhimpitan di dalam gerobak, dan lima orang gagah yang keroyok oleh puluhan orang perajurit dan lima orang itu telah menderita luka-luka. Melihat ini, Han Beng yang cerdik segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia sendiri ketika masih kecil, lima tahun yang lalu, terpaksa harus lari mengungsi bersama ayah ibunya, karena ayahnya takut dijadikan pekerja paksa  oleh pasuka pemerintah. Kini, lihat betapa puluhan orang petani belenggu, dan wanita-wanita muda ditawan, dia dapat menduga bahwa tentu para petani itu akan dijadikan pekerja paksa. Dan lima orang gagah itu tentulah orang-orang berhati pendekar yang hendak membela puluhan orang petani itu.

"Berhenti ! Harap hentikan perkelahian ini!" Han Beng 

membentak sambil mengerahkan khi-kangnya. Suaranya melengking nyaring, mengejut semua orang dan lima orang pendekar Siauw lim pai itu mendapatkan kesempatan untuk berloncatan mundur karena para pengeroyok mereka terkejut dan menahan senjata.

"Ciang-kun, kenapakah orang-orang itu diborgol dan 

wanita-wanita itu tawan? Hendak dibawa ke manakah mereka, dan apa kesalahan mereka?" tanya Han Beng kepada Ban Lok Sek yang berpakaian perwira walaupun juga seragamnya itu berwarna hitam.

"Mereka ditangkap untuk dijadikan pekerja paksa membuat Terusan, dan wanita-wanita itu akan mereka perkosa, dan kami berlima mencoba untuk menolong para tawanan!" seorang pendekar Siauw lim pai cepat memberi keterangan agar pihak pasukan tidak sempat berbohong. Mendengar ini, Ban lok Sek yang sudah marah sekali karena ada orang berani mencampuri, menggerakkan sepasang goloknya dan menudingkan golok kanan ke arah muka Han Beng.

"Bocah sombong, jangan mencampuri Urusan pemerintah! Mereka itu akan diberi pekerjaan sebagai wajib kerja dan Lima orang penjahat ini hendak memberontak dan menentang pemerintah! Apakah engkau juga hendak memberontak berhadap kami pasukan pemerintah?"

"Hemmm, kalau hendak memberi pekerjaan kepada para petani, bukan demikian caranya. Bukan seperti hewan digiring ke pejagalan! Dan wanita-wanita itu, mereka menangis, berarti mereka pergi karena kalian paksa " "Bunuh pemberontak ini!" bentak Ban Lok Sek marah. Seorang perwira pembantunya yang lihai dalam pcrmainan silat pedang, sudah menerjang Han Beng dengan tusukan pedang kearah pemuda remaja itu. Dia memandang rendah kepada Han Beng karena biarpun pemuda itu bertubuh tinggi besar, namun wajahnya masih menunjukkan bahwa dia masih remaja. Tusukan pedang itu cerpat sekali, hanya nampak sinar pedang kelebatan ke depan, menyambar kearah dada Han Beng.

Han Beng melihat berkelebatnya sinar pedang ke arah dada. Dengan tenang dia miringkan tubuhnya sehingga sinar pedang itu meluncur ke sisi tubuhnya dan sekali melangkah ke belakang, telah menjauhkan diri. Akan tetapi, luputnya serangan pertama itu membuat Perwira menjadi penasaran dan dia pun membalikkan pedangnya, kini pedang berubah menjadi sinar yang membabat arah leher Han Beng! Tahulah Han Beng bahwa orang ini memang bersungguh-sungguh menyerangnya untuk membunuhnya. Dia sudah merendahkan tubuh, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan begitu pedang lewat, tangannya mendorong ke depan. Tangan itu tidak mencapai dada lawan, namun perwira itu rasa betapa ada tenaga yang hebat disertai angin mendorong dadanya sehigga dia hampir terjengkang, terhuyung-huyung ke belakang! Terkejutlah perwira itu dan dia pun sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi mengenal orang lihai. Dia tidak lagi berani memandang rendah dan sambil mengeluarkan seruan dahsyat dia menyerang lagi ke depan sambil memutar pedangnya. Namun, Han Beng menyambutnya dengan memutar tangan dan sebelum pedang dapat menyentuhnya, lebih dulu Han Beng sudah mengetuk lengan yang memegang pedang dari samping. Pedang itu terlepas dan tangan Han Beng meluncur terus penampar ke arah pundak kanan lawan.

"Plakkk!" Perwira itu terjungkal dan tidak bangkit kembali karena roboh pingsan. Melihat ini, Ban Lok Sek terkejut juga marah. Dia lalu berteriak kepada perwira pembantu yang ke dua, lalu dia sendiri menggerakkan sepasang goloknya menerjang dan menyerang Han Beng dibantu oleh perwira ke dua yang memegang sebatang ruyung, masih dibantu lagi oleh beberapa orang perajurit.

Lima orang pendekar Siauw-lim menjadi gembira dan semangat mereka bangkit kembali melihat betapa permuda yang baru datang ini ternyata lihai sekali. Mereka yang sudah luka-luka kembali memutar pedang mereka mengamuk. Karena kini Ban Lok Sek pembantu ke dua sedang mengeroyok Han Beng sedangkan pembantu pertama masih pingsan, maka para pendekar Siauw-lim pai itu tidak menemukan lawan berarti dan biarpun dikeroyok oleh puluhan orang perajurit, mereka itu dapat membabat mereka sehingga banyak di antara para perajurit yang roboh. Melihat betapa lima orang pendekar itu mengamuk Han Beng segera berseru, "Saudara-saudara harap membebaskan para tawanan dan melindungi mereka!"

Melihat betapa pemuda remaja yang amat lihai itu sama sekali tidak kelihatan terdesak oleh para pengeroyoknya bahkan masih sempat mengingatkan mereka, lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu lalu meninggalkan pasukan yang sudah mulai gentar itu, dan membebaskan para tawanan pria dan wanita, lalu mengawal mereka kembali ke dalam dusun.

Sementara itu, Han Beng dikeroyok oleh puluhan orang perajurit, dipimpin oleh Ban Lok Sek sendiri bersama seorang perwira pembantunya. Han Beng mengamuk membagi-bagi tamparan dan tendangan dan para pengeroyok itu s¬perti sekawanan semut mengeroyok seekor jengkerik. Banyak pengeroyok yang terlempar ke sana-sini, ada yang mengerang kesakitan, ada yang pingsan, ada pula yang mampu bangkit dan mengeroyok kembali. Akan tetapi tidak seorang pun yang tewas. Han Beng tidak biasa membunuh orang. Biarpun gurunya seorang yang keras hati dan bertangan besi, namun  Han Beng tidak mewarisi watak gurunya itu. Dia tidak mengenal para pengeroyok ini, bertemu pun satu kali, bagaimana mungkin dia begitu mudah membunuh orang? Biarpun mereka ini bertindak kejam terhadap rakyat dusun itu, namun mereka ini bagaimanapun juga hanyalah petugas pelaksana saja.Yang menjadi biang keladi adalah atasan mereka, dan dalam hal tindakan setempat itu, tentu panglima dan perwira yang memimpin mereka ini yang tidak benar!

Tiba-tiba Han Beng mengeluar suara melengking dan tubuhnya mencelat ke atas seperti terbang saja dan dari atas, tubuhnya menukik turun dan luncur ke arah kepala Ban Lok Sek perwira pembantunya! Perwira pembantu yang memegang ruyung itu terkejut, menghantamkan ruyungnya ke atas mengararah kepala pemuda yang meluncur dari atas bagaikan seekor burung rajawali marah itu. Memang, Han Beng yang dikeroyok banyak orang itu dan tidak ingin membunuh para pengeroyok dan hanya ingin menghajar dua orang pimpinan itu, telah menggunakan satu jurus dari Hui- Tiauw Sin-kun yang membuat tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika tubuhnya meluncur bawah, dia melihat datangnya serangan ruyung dari bawah. Disambutnya ruyung itu dengan telapak tangan dan membalik, menghantam ke arah kepala perwira itu sendiri! Perwira itu terkejut, berteriak dan cepat miringkan kepalanya.

”Desssss!" Pundaknya masih terkena hantaman ruyungnya sendiri dan dia pun roboh pingsan dengan tulang pundak retak!

Melihat ini, Ban Lok Sek marah bukan main dan sepasang goloknya sudah putar cepat menyerang Han Beng sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus- jurusnya yang paling ampuh. Han Beng mengelak sambil berloncatan ke sana-sini, kedua tangannya menangkis dari kanan kiri pula, sikapnya seperti seekor burung rajawali yang menggunakan kelincahan gerakannya dan kedua sayap untuk menampar dari kanan kiri. Tiba-tiba, dengan kecepatan kilat,  Han Beng berhasil menendang tangan kiri pimpinan pasukan itu dan golok yang dipegangnya terlepas karena tangannya seperti remuk terkena tendangan. Tangan Han Beng menyambut dan memukul ke arah golok yang terlepas dan. golok itu meluncur bagaikan anak panah menuju ke tubuh Ban Lok Sek.

"Cappp!" Tanpa dapat dihindarkan lagi, golok itu sudah menembus dada Ban Lok Sek yang mengeluarkan teriakan parau dan tubuhnya roboh mandi darah oleh goloknya sendiri. Han Beng agak bergidik. Baru sekali ini dia membunuh orang dan dia terbelalak memandang. Pada saat itu, sebatang tombak menusuknya dari belakang, meluncur ke arah lambungnya. Karena Han Beng masih memandang kepada mayat Ban Lok Sek dengan bengong, kewaspadaannya lenyap dan dia tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancamnya. Baru setelah ujung tombak itu merobek baju dan sedikit kulitnya, dia terkejut dan dongan gerkan otomatis dia miringkan tubuh sambil mengerahkan tenaganya untuk melindungi lambung yang tertusuk.

Biarpun tombak itu menjadi menyeleweng namun kulit lambungnya berikut sedikit daging di bawah kulit telah robek dan darah pun membasahi bajunya. Han Beng menendang dan pemegang tombak itu terlempar sampai lima meter terbanting keras, tak mampu bangkit kembali.

Melihat betapa pemuda remaja yang lihai itu telah terluka dan darah membasahi bajunya, para perajurit menjadi bersemangat seperti gerombolan ikan mencium darah. Mereka berteriak-teriak dan menghujankan senjata pada tubuh Han Beng. Betapapun lihainya, dikeroyok oleh puluhan orang yang haus darah ini, Han Beng yang tidak ingin membunuh mereka, menjadi repot juga!

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, anjing- anjing hina sungguh tak tahu malu, mengeroyok orang pemuda yang tidak ingin membunuh mereka!" Dan muncullah  seorang kakek yang pakaiannya tambal tambalan dan berkembang-kembang akan tetapi bersih, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, memegang sebatang tongkat butut! Dengan gaya seperti seorang memukuli segerombolan anjing dengan tongkat, pengemis tua itu mengamuk, tongkatnya menggebuk sana-sini dan setiap kali tongkatnya bergerak, pasti ada pingsan yang kena hantam, atau punggung, semua senjata yang mencoba untuk menangkis, terpental beterbangan dan sebentar saja para perajurit itu menjadi kacau balau, banyak yang mengusap punggung atau pinggul sambil berteriak-teriak kesakitan! Melihat munculnya kakek yang lihai itu, Han Beng merasa gembira bukan main. Dia segera mengenal pakaian dan tongkat itu, dia segera menggerakkan kaki tangan menendang dan menampar merobohkan beberapa orang mengeroyok.

"Suhu !" teriaknya.

"Ehhh?" Gembel tua itu menghentikan gerakan tongkatnya dan menoleh.Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang perajurit untuk membacokkan golok mereka, yang seorang membacok kepala yang kedua membacok pinggang. Kakek itu agaknya tidak melihat datangnya dua serangan ini. Setelah golok itu menyambar dekat sekali, baru dia menggerakkan tangan kirinya menyambut golok yang membacok pinggang, menerima golok itu dengan tangan kosong, sedangkan yang menyambar kepalanya dibiarkannya saja!

"Takkk!" Golok itu tepat mengenai kepala, akan tetapi terpental dan bakkan terlepas dan tangan Si pemegng; sedangkan kakek itu hanya mengususap kepalanya seperti yang kegatalan. Adapun golok yang disambut tangan kirinya, seperti terjepit baja dan pemilik golok mencoba untuk membetot dan menariknya, namun sia-sia. Ketika kakek tiba- tiba melepaskan golok itu sambil mendorongnya, tentu saja pemilik golok itu terjengkang dan kepalanya terbentur batu sehingga dia pingsan ketika. "Heiii, jangan ngawur! Aku tidak mempunyai murid seperti engkau! Muridku berada bersama Sin-tiauw Liu Bhok Ki, di puncak Kim-hong-san!"

"Anak itu adalah teceu sendiri, Suhu! Teecu adalah Sie Han Neng, murid Suhu Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang sedang mencari Suhu untuk memenuhi janji antara Suhu berdua!"

"Heh? Benarkah? Aku pun sedang mencarimu! Dan kita bertemu di sini, ha-ha-ha-ha! Mari kita hajar anjing-anjing ini!"

Han Beng semakin gembira dan bersama gurunya yang baru itu dia mengamuk, dan makin banyak pula perajurit yang roboh. Belasan orang sisa perajurit yang melihat ini, menjadi gentar dan mereka pun melarikan diri, meninggalkan teman- teman yang terluka dan pingsan.

Kakek itu memang Sin-ciang Kai-ong. Hatinya girang bukan main melihat calon muridnya yang kini telah menjadi seorang pendekar muda remaja yang hebat! Setelah semua perajurit melarikan diri, meninggalkan mereka yang luka atau pingsan, dia lalu mengajak murid itu memasuki dusun Ki-nyan-tung.

Lima orang pendekar Siauw-lim-pai segera memberi hormat kepada Sin-cia Kai-ong dan Han Beng, memperkenalkan diri mereka sebagai murid-murid Siauw-lim- pai yang membela rakyat yang hendak dijadikan pekerja paksa. Sin-cia Kai-ong mengangguk-angguk dan mengacungkan jempol tangan kanannya.

"Hebat! Aku sudah mendengar tentang dibakarnya Siauw- lim-si oleh pasukan pemerintah. Sungguh pemerinta seperti dipimpin orang-orang buta, ti dak tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah perkumpulan yang amat baik dan besar dan dapat bermanfaat sekali bagi kemajuan pemerintah. Hemmm, biarpun Siauw-lim-si telah terbakar, namun murid-muridnya tak pernah kehilangan kegagahannya! Han Beng, kaulihat baik- baik dan contohlah para pendekar Siauw lim-pai ini. Biarpun mengalami kepahit an bahkan pusat mereka dihancurka pemerintah, mereka tidak pernah kehilangan semangat dan jiwa kependekaran mereka!"

Setelah berunding, lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu lalu mengatur agar seluruh penghuni Ki-nyan-tung itu mengungsi dan berpencaran, pindah ke lain dusun-dusun agar terhindar dari balas dendam pasukan pemerintah kelak. Sedangkan Sin-ciang Kai-ong lalu mengajak Han Beng meninggalkan tempat itu Dan mulai hari itu, Raja Jembel ini mulai menggembleng Han Beng sebagai muridnya yang disayangnya.

oooOOooo

Gadis berusia lima belas tahun itu cantik mungil. Wajahnya yang berdagu runcing itu amat manisnya, dengan ku¬lit yang putih kemerahan, hanya memakai bedak tipis, dan merah pipinya bukan karena gincu melainkan karena sehat bagaikan setangkai bunga yang belum mekar. Bibirnya juga merah basah tanpa pemerah bibir. Alisnya seperti dilukis, melengkung indah melindungi sepasang mata yang bersinar terang lincah, sepasang mata yang memandang dunia ini dengan penuh gairah, mata yang bening jeli bagaikan sepasang bintang. Pakaiannya indah, bahkan mewah dari sutera mahal, berkembang kuning dengan dasar merah muda, warna kesukaan gadis remaja itu.

Gadis yang memiliki bentuk tu ramping dengan pinggang kecil, tubuh yang belum matang benar, sedang tumbuh namun sudah menjanjikan tubuh yang indah padat berisi dengan kulit putih mulus, ia bukan lain adalah Giok Cu! Seperti telah diceritakan bagian depan, Giok Cu dibawa pergi oleh .Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu ke tempat tinggal iblis betina itu di tepi kotaCe touw di Propinsi Shantung, hidup sama wanita itu dan belasan orang pelayan wanita yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena Giok Cu seorang anak perempuan yang cantik manis, cerdik dan bocah jenaka, nakal manja, juga berbakat sekali dalam ilmu silat, pandai ketika diajar ilmu surat, maka gurunya semakin lama semakin sayang padanya, apalagi karena Ban-tok Mo-li Phang Bi cu telah kehilangan puteri tunggalnya, yaitu Sim Lan Ci, yang tidak menurut dan nekat menikah dengan Coa Siang Lee putera ketua Hek-houw-pang, Ban-Tok Mo-li melihat Giok Cu sebagai pengganti puterinya, la bukan hanya menganggap Giok Cu sebagai murid, melainkan seperti puteri kandungnya sendiri! Karena ia takut kehilangan Giok Cu seperti ia kehilangan Lan Ci, maka begitu menjadi muridnya, Giok Cu telah dipasangi racun dengan tusukan jarum di lengan kirinya, di bawah siku. Tusukan jarum yang sudah diberi obat beracun itu meninggalkan bekas titik merah seperti tahi lalat kecil di bawah siku lengan kiri, dan tanda merah itu akan lenyap kalau Giok Cu kehilangan keperawanannya, dan akibatnya dalam satu bulan Gadis itu pun akan kehilangan nyawanya Bila! Ban-tok Mo-li sengaja memasang racun ini pada diri muridnya agar muridnya itu tidak berdekatan dan tidak menikah dengan pria sehingga selama akan berada didekatnyal la tidak rela kalau muridnya itu menjadi milik orang lain. Memang, jalan pikiran seorang iblis betina seperti Ban-tok Mo-li memang aneh dan tidak lumrah manusia biasa. Cinta kasihnya penuh dengan nafsu mementingkan diri sendiri, penuh dengan keakuan. Orang yang cintanya hari menjadi alat untuk memuaskan dan menyenangkan dirinya.

Ketika dipasangi racun titik merah itu, Giok Cu baru berusia sepuluh tahun. Ia tidak tahu apa-apa, maka pemasangan itu tidak dipedulikan benar. Bahkan ketika ia mulai remaja, sampai berlima belas tahun, ia masih belum memusingkan tanda tahi lalat merah itu. tetap lincah jenaka dan rajin belai sehingga seusia itu, ia telah pandai menulis sajak dan tentang ilmu silatnya bukan hanya semua pelayan wanita rumah gurunya itu tidak ada yang mampu menandinginya, bahkan di antara kawan-kawan gurunya, yaitu orang-orang kang-ouw, tidak ada yang berani memandang rendah dan mengenal ia  sebagai seorang gadis remaja yang ganas dan kedua tangan yang mungil itu dapat menyebar maut dengan mudah!

Giok Cu bagaikan setangkai bunga yang hidup di rawa- rawa yang kotor dan beracun. Gurunya, yang menganggapnya seperti puteri sendiri, amat memanjakannya. Akan tetapi, pergaulan gurunya adalah dengan orang-orang kang-ouw, orang-orang kasar dan kejam, palsu dan bahaya. Gurunya tidak pernah mau bergaul dengan rakyat jelata yang dipandangnya amat rendah. Banyak tokoh sesat berdatangan ke rumah gurunya, berkunjung dan mereka itu kadang-kadang berpesta pora melampaui batas! 

Bahkan gurunya yang biasanya nampak angkuh dan dingin itu, kalau sudah bertemu seorang rekan yang menyenangkan hati, sikap tidak tahu malu, bahkan tidak segan-segan untuk bercumbu di depan siapapun, bahkan di depan Giok Cu! Karena semua ini, kadang-kadang di dalam hati Giok Cu timbul rasa benci dan muak! Bagaikan setangkai bunga, Giok Cu seperti bunga teratai, biarpun hidup di rawa berlumpur, tetap bersih berseri! Hal ini adalah karena ketika ikut dengan Ban tok Mo-li, ia telah berusia sepulu tahun dan ia sudah diajar kesusilaan oleh mendiang ayahnya, seorang lurah di Kong- cung. Pelajaran yang diterima dari ayah ibunya itu telah mengakar dibatinnya sehingga kini, walaupun pergaulannya dengan orang-orang kang-ouw yang kasar dan kadang- kadang cabul, ia tidak sampai ketularan penyakit itu.

Pada waktu itu, Ban-tok Mo-li sedang menjamu kunjungan belasan orang rekannya, yaitu tokoh-tokoh dunia sesat. Di antara para tokoh sesat itu terdapat beberapa orang tokoh muda yang pandang matanya membuat Giok Cu merasa muak. Mata mereka itu seolah-olah hendak menelannya bulat- bulat kalau memandang kepadanya,bahkan ada yang seperti menelusuri dan meraba-raba dengan pandang mata mereka! Mula-mud Giok Cu memang merasa bangga dari sengaja ia menggoda dengan sikapnya yang lincah Jenaka sehingga mereka menjadi semakin terpesona. Giok Cu sengaja  menggerak-gerakkan tubuhnya, meliak-liuk dan menonjolkan dadanya yang sudah mulai membusung, mengobral senyumnya yang amat manis sehingga para tokoh sesat muda itu seperti tergila-gila. Akan tetapi, lama-kelamaan Giok Cu menjadi bosan juga dan siang hari itu ia meninggalkan rumah gurunya, meninggalkan para tamu yang sedang dijamu itu untuk pergi ke tepi laut yang berada tak jauh dari kota itu. 

Ceng-touw memang terletak di tepi laut, menghadapi Lautan Kuning. Bahkan selama lima tahun ini, Giok Cu berkenalan dengan seorang kakek nelayan yang pandai sekali berenang. Kakek itu saling kepadanya dan ia mengajarkan ilmu bermain di dalam air kepada Giok Cu. Kini Giok Cu juga pandai sekali berenang, menyelam ke dalam air bahkan pandai menangkap ikan begitu saja di dalam air, menyambar dengan kedua tangannya! Kini kakek itu telah meninggal dunia, setahun yang lalu dan Giok Cu meerasa kehilangan. Namun, ia telah mewarisi ilmu di dalam air yang diajarkan kakek nelayan itu dan seringkali para nelayan sendiri merasa kagum kalau melihat Giok Cu berenang, menyelam di menangkap ikan! Tidak ada seorangpun di antara para nelayan itu, yang sejak kecil berkecimpung di lautan, dapat mengatasi Giok Cu dalam hal bermain dalam air.

Pantai itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun. Para nelayan sudah berangkat sejak pagi tadi, layar mereka ada yang nampak dari pantai itu, merupakan titik-titik hitam kecil. Kala para nelayan sedang berada di tengah lautan, pantai itu memang sunyi. Kalau para nelayan pulang, barulah ramai pantai itu menjadi seperti pasar di mana orang-orang dari kota berdatangan untuk membeli ikan yang masih segar.

Giok Cu duduk di atas pasir yang lembut putih kekuningan. Angin laut bertiup kencang, membuat rambutnya awut-awutan. Bau air laut segar dan melegakan dada. Giok Cu menghirup udara dalam-dalam, merasa dadanya mekar dan hawa sejuk hangat memasuki paru-parunya. Ia bangkit berdiri dan  mengatur pernapasan seperti diajarkan oleh mendiang kakek nelayan.

la berdiri tegak, kedua kaki agak terpentang, lalu ia mengembangkan kedua tangan dari depan ke atas sambil menarik napas sebanyaknya sampai kedua paru-parunya penuh sesak, dadanya mengembang besar. Setelah paru- parunya tidak dapat menampung lagi, dengan kedua tangan tetap di atas, ia menahan napas, kemudian mengerahkan tenaga untuk menekan dada dan mengembangkan perutnya. Dadanya mengempis dan perutnya mengembang, seolah-olah hawa yang berada di dadanya itu turun ke perut! Ia lakukan ini beberapa kali, kemudian ia mengempiskan perut mengembangkan dada kembali dan mengeluarkan napas perlahan-lahan sampai habis sama sekali, sampai kedua paru- parunya kempis sama sekali. Diulangnya beberapa kali, lalu ia mengambil napas dengan cara yang sebaliknya. Ketika menarik napas, ia bukan mengembangkan dada melainkan mengembangkan perutnya, seolah-olah hawa itu disedotnya ke dalam perut sampai sepenuhnya. Kemudian, ia menarik napas dan "mengoper" hawa di perut itu naik ke dada, turun lagi dan akhirnya pun membuang napas perlahan-lahan seperti tadi, dari perut.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar