Jilid 05
“Bangsat penculik hina dina!” Dengan gemas Ong Kai menyerang ke arah leher penjahat itu. Terkejutlah penjahat itu dan cepat ia berkelit. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong tubuh gadis itu, gerakannya tidak leluasa lagi dan terpaksa melepaskan tubuh gadis itu.
Ong Kai cepat menyambar tubuh orang yang dilepas ke bawah dan secepat kilat ia menepuk pundak gadis tadi yang lalu dapat bergerak kembali. Gadis ini lalu berteriak-teriak minta tolong dan mundur sampai ke dinding, melihat pertempuran yang terjadi antara penjahat yang menculiknya dan penolong yang gagah ini. Ong Kai melayani penjahat dengan bertangan kosong, sedangkan penjahat itu yang ternyata masih muda, menggunakan goloknya untuk menyerang penghalang dan pengganggunya.
Sementara itu, teriakan gadis tadi telah membangunkan penghuni rumah dan beberapa orang, termasuk ayah ibu gadis tadi, berlari keluar. Akan tetapi mereka hanya dapat memeluk anak gadis mereka dan selanjutnya menonton pertempuran itu dengan wajah pucat ketakutan.
Penjahat yang telah kepergok itu lalu berlaku nekad dan mengamuk sambil memutarmutarkan goloknya menyerang dengan nekad. Ong Kai berlaku waspada dan hati-hati. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari dalam usahanya mengelakkan serangan golok, dan sengaja mempermainkan penjahat itu.
Gadis yang hampir terculik itu beserta kedua orang tuanya dan beberapa orang pelayan, melihat pertempuran dengan mata terbelalak. Selama hidup mereka belum pernah melihat pertempuran sehebat ini dan diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa penolong yang tinggi besar dan gagah itu melayani penjahat yang memegang golok dengan tangan kosong belaka!
“In-kong (tuan penolong), pergunakanlah pedangmu!” tiba-tiba gadis itu berteriak kepada Ong Kai. Suaranya merdu dan nyaring hingga Ong Kai tersenyum sambil berpaling kepadanya. Ketika kedua matanya memandang wajah gadis itu, ia tercengang dan dadanya berdebar aneh! Gadis itu memiliki sepasang mata dan mulut semanis mendiang tunangannya! Maka ketika teringat akan tunangannya yang juga tewas karena terculik penjahat- penjahat cabul, timbul marahnya dengan hebat. Dengan menggeram, ketika golok penjahat itu menyerang lagi, ia membalas dengan sebuah tendangan kilat hingga golok itu terlepas dari pegangan si penjahat dan sebelum penjahat itu sempat melarikan diri, sebuah pukulan mampir di pundaknya membuat penjahat itu roboh pingsan!
“Ikat ia, lekas! Ikat dan bawa ke kantor tihu!” Ayah gadis itu memerintah kepada para pelayannya yang segera berlari-lari mencari tambang besar dan beramai-ramai mengikat tangan penjahat itu yang tak dapat bergerak lagi!
Gadis itu lalu menghampiri Ong Kai dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda ini sambil berkata, “In-kong, budimu sungguh besar dan selama hidupku aku takkan melupakan pertolonganmu ini.”
Ong Kai menjadi bingung, Untuk mengangkat bangun ia harus menyentuh pundak gadis itu dan hal ini tak dapat dilakukannya, takut dianggap kurang sopan. Maka dalam bingungnya, iapun lalu berlutut di depan gadis itu sambil berkata, “Siocia! Janganlah kau berlutut kepadaku. Aku takkan berdiri sebelum kau bangun juga.”
Gadis itu memandang dengan mata yang bening dan bersinar jujur. Ia makin kagum melihat wajah Ong Kai yang walaupun berkulit hitam akan tetapi cukup gagah. Melihat betapa penolongnya itupun ikut berlutut, ia tersenyum lalu bangun berdiri. Juga kedua orang tuanya lalu menjura dan menghaturkan terima kasih kepada Ong Kai.
“Siapa nama in-kong dan bagaimana dapat melihat penjahat itu?” tanya ayah si gadis yang memandang dengan kagum.
Bingung juga Ong Kai mendengar pertanyaan ini. Ia datang ke situ memang sengaja dan dengan maksud hendak mencuri harta orang yang bertanya kepadanya! “Siauwte hanya kebetulan saja bertemu dengan penjahat itu dan menjadi curiga melihat gerak-geriknya, maka siauwte lalu mengejarnya dan mengintainya.” Walaupun jawaban ini kurang jelas, akan tetapi ia rasa tidak menyimpang dari kebenaran, oleh karena memang secara kebetulan ia bertemu dengan penjahat itu dan memang ia merasa curiga lalu mengintainya! Kemudian ia melanjutkan jawabannya, “Siauwte she Ong bernama Kai dan siauwte sedang merantau bersama-sama dengan seorang sumoi dan seorang suheng yang tinggal di rumah penginapan.”
Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun dua orang yang tidak lain adalah Siok Lan dan Tan Hong.
“Nah, itu mereka datang!” kata Ong Kai kepada tuan rumah dan gadisnya. Semua orang memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum dan Ong Kai lalu memperkenalkan Tan Hong dan Siok Lan.
Ketika mendengar bahwa Ong Kai telah menolong puteri tuan rumah dan agaknya diperlakukan dengan hormat dan manis, baik oleh tuan rumah, maupun oleh gadis yang bernama Lai Hwa Eng itu, diam-diam Siok Lan dan Tan Hong saling lirik dan tersenyum. Kedua pemuda ini kembali dari mencuri harta, lalu membawa uang itu di dalam kantung dan menanti di tempat yang telah dijanjikan. Akan tetapi, setelah menanti beberapa lama belum juga mereka melihat Ong Kai, keduanya lalu pergi menyusul ke rumah yang menjadi bagian Ong Kai untuk dicuri uangnya, dan di situ mereka melihat betapa Ong Kai sedang beramahtamah dengan tuan rumah! Hampir saja Ong Kai lupa bahwa ia telah menjadi tamu orang di waktu tengah malam! Ia agaknya lupa pulang oleh karena ia merasa kerasan dan senang berada di dekat Hwa Eng. Kalau Tan Hong dan Siok Lan tidak mengajaknya pergi, mungkin ia akan bercakap-cakap terus sampai pagi. Setelah mendapat pesan dari hartawan yang bernama Lai Kin Tek itu agar supaya ketiga orang muda itu besok pagi suka datang mampir, ketiga orang muda pendekar itu lalu melompat ke atas genteng diikuti pandangan kagum oleh pihak tuan rumah.
“Ah ... Ong-sute! Bagaimana kau ini? Mana pendapatanmu dan barang apakah yang sudah kau ambil dari rumah hartawan Lai?” Tan Hong menggoda.
Ong Kai hanya tersenyum. “Aku tidak diberi kesempatan oleh mereka.“ Jawabnya.
“Ah ... ! Mana Ong-suheng tega mencuri barang-barang Lai-siocia yang cantik jelita itu!” Siok Lan ikut menggoda.
Ong Kai tak dapat menjawab godaan ini dan hanya tertawa malu.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Kalau aku tidak salah lihat, sebaliknya bahkan Ong-sute yang kecurian!”
“Apa maksudmu?” tanya Ong Kai dengan heran, akan tetapi Tan Hong hanya tertawa sambil melanjutkan perjalanannya menuju ke kampung untuk membagi-bagi hasil curiannya dan hasil curian Siok Lan. Juga Siok Lan merasa tidak mengerti lalu bertanya, “Hong-ko, apa maksudmu? Ong-suheng kecurian apa?”
“Ha, ha! Ong-sute memiliki apa yang pantas dan berharga untuk dicuri selain hatinya? Ia telah kecurian hatinya dan pencurinya tidak lain tentu Lai-siocia!”
Siok Lan juga tertawa gelid an Ong Kai pura-pura marah. “Sudahlah! Kalau kalian tetap menggodaku, aku takkan ikut ke desa-desa. “
Siok Lan dan Tan Hong tetap tertawa dan demikianlah, malam hari itu mereka bekerja membagi-bagi uang pendapatan mencuri dengan tertawa-tawa dan dalam suasana gembira.
Pada keesokan harinya, mereka memenuhi permintaan Lai Kin Tek dan mengunjungi rumah keluarga Lai yang kaya itu. Mereka disambut dengan gembira dan disuguhi masakanmasakan lezat dan mahal. Berkali-kali tuan rumah menyatakan kekaguman dan terima kasihnya dan Lai Hwa Eng sendiri bahkan turut menyambut tamu-tamunya karena di situ terdapat Siok Lan. Kedua orang gadis ini cepat dapat bergaul dengan mesra bagaikan dua orang sahabat lama. Siok Lan suka kepada Hwa Eng yang selain peramah, juga tidak malumalu dan pandai bercerita serta mempunyai pengertian ilmu surat yang membuatnya kagum. Sebaliknya, tiada habisnya Hwa Eng bertanya tentang ilmu silat yang dikaguminya kepada pendekar wanita ini.
Pada suatu saat Hwa Eng disuruh ibunya mengajak Siok Lan ke dalam kamar. Ibu Hwa Eng lalu menyuruh anaknya pergi meninggalkannya dengan Siok Lan berdua! Baik Siok Lan maupun Hwa Eng merasa heran sekali, melihat sikap orang tua ini. Setelah Hwa Eng meninggalkan kamar, nyonya Lai lalu berkata kepada Siok Lan, “Nona, harap kau tidak menganggap kami terlalu sembrono. Akan tetapi sayapun hanya mendapat perintah dari suamiku, yakni dapatkah kau memberi keterangan berapa usia Ong- enghiong dan apakah ia telah mempunyai tunangan?”
Siok Lan diam-diam merasa geli dan juga girang karena pertanyaan ini saja ia dapat menduga bahwa nyonya rumah ini ingin mengambil menantu Ong Kai si muka hitam yang telah menolong puterinya! Untung ia mengetahui tentang diri Ong Kai yang seperti kakaknya sendiri, maka ia lalu menuturkan segala hal ichwal pemuda itu, bahkan menuturkan pula betapa tunangan pemuda itu telah terbunuh hingga mereka bertiga sekarang melakukan perjalanan untuk mencari pembunuh dan membalas dendam. Nyonya Lai makin tertarik dan merasa kasihan, maka ia lalu minta kepada Siok Lan untuk suka menjadi perantara dalam hal ini. Siok Lan menyanggupi dan hendak menyampaikan hal ini kepada ayahnya yang menjadi guru dan wali pemuda yang telah kehilangan kedua orang tuanya itu, dan hendak menyampaikan pula kepada orang yang berkepentingan sendiri. Ia menyatakan bahwa sekembali mereka bertiga dari perantauan, hal ini akan segera diselesaikan. Tentu saja nyonya rumah menjadi girang sekali dan meyatakan terima kasihnya.
Ketika ketiga orang anak muda itu hendak minta pamit, keluarga Lai lalu menawarkan bantuan berupa uang untuk bekal mereka. Ong Kai mewakili kawan-kawannya menjawab, “Tak usah, Lai-lopeh, kami bertiga tidak perlu uang bekal. Kalau lopeh suka mengorbankan sedikit uang untuk menderma kepada rakyat miskin yang menderita korban banjir, itu sudah berarti sama dengan memberi sumbangan kepada kami.”
Bukan main heran hati Lai Kin Tek mendengar ucapan ini dan ketika melihat wajah ketiga orang pendekar muda ini kesemuanya tersenyum sebagai tanda bahwa ucapan Ong Kai ini memang cocok dengan suara hati yang lain, ia menjadi kagum dan timbullah perasaan hormatnya kepada ketiga orang itu. Bukan saja mereka ini masih muda dan gagah perkasa, akan tetapi juga berhati mulia dan dermawan! Pikiran ini makin mendorong keinginan hatinya untuk mengambil menantu Ong Kai!
***
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lagi, akhirnya ketiga orang pendekar muda itu tiba di kaki Gunung Pek-hoa-san yang tinggi dan penuh dengan hutan belukar dan liar. Bukit ini sukar sekali dinaiki karena tidak terdapat jalan maupun lorong menuju ke atas. Akan tetapi berkat ginkang mereka yang sempurna, Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan dapat juga mendaki ke atas.
Ketika mereka tiba di pinggir sebuah hutan liar, tiba-tiba ketiga orang muda ini terkejut dan heran melihat dua orang kakek duduk berhadapan di bawah sebatang pohon siong besar. Ketika mereka mendekat ternyata kedua orang kakek itu sedang enak-enak bermain catur!
Keadaan kedua kakek ini aneh sekali. Yang seorang adalah seorang tua berusia sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh kurus tinggi dan rambutnya yang masih hitam itu beriap-riapan sampai ke pundak. Akan tetapi pakaiannya terbuat dari kain yang ditambaltambal hingga nampak aneh sekali, karena pakaian ini seperti terbuat dari bahan yang puluhan macam hingga berkembang-kembang aneh dan ramai! Kedua kakinya telanjang hingga ia nampak seperti seorang pengemis jembel. Sambil memperhatikan biji-biji catur, ia sering kali menggaruk-garuk rambut di kepalanya seakan-akan di atas kepalanya banyak terdapat kutu rambut yang gatal!
Juga kakek yang seorang lagi tak kalah aneh. Usianya juga sudah sangat tinggi, mungkin lebih dari tujuh puluh tahun. Rambut di kepalanya sudah putih berkilat bagaikan benang-benang perak, akan tetapi mukanya yang penuh dan gemuk itu seperti muka kanakkanak, begitu segar dan kemerah-merahan! Kepalanya bundar dan rambutnya diikalkan ke atas, diikat dengan tali terbuat dari kulit pohon yang kasar. Tubuhnya gemuk pendek dan bajunya tebal sekali, berwarna biru dan sudah luntur. Sepasang kakinya memakai sepatu yang bawahnya terbuat daripada besi dan kelihatan sangat berat. Seperti lawannya bercatur, kakek ini menatap biji-biji catur dengan penuh perhatian dan dengan kening dikerutkan seakan-akan ia menghadapi persoalan yang amat rumit!
Kedua orang kakek itu sama sekali tidak memperdulikan ketiga orang muda yang datang mendekati mereka. Tan Hong dan kedua orang kawannya yang berpandangan tajam dapat menduga bahwa kedua orang kakek ini tentu orang-orang berilmu tinggi yang mengasingkan diri di situ.
Baik Tan Hong maupun Ong Kai, keduanya adalah penggemar permainan catur yang pada masa itu sedang populer dan banyak digemari orang. Bahkan kedua pemuda ini boleh disebut ahli-ahli yang pandai bermain catur. Pernah kedua orang muda itu di waktu senggang bermain catur di sebuah rumah penginapan dan keduanya mempunyai kepandaian seimbang. Maka tak mengherankan apabila mereka kini lalu mendekati kedua kakek itu untuk menonton pertandingan catur di tempat sunyi ini. Sebaliknya, Siok Lan yang tidak mengerti akan permainan ini, setelah memandang sebentar dengan tak mengerti, lalu menjadi bosan dan oleh karena semenjak pagi mereka belum makan hingga merasa lapar sekali, gadis ini lalu masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan yang dapat dimakan.
Tanpa disengaja dan secara otomatis, kedua orang pemuda itu lalu berdiri di belakang kedua kakek itu, Tan Hong berdiri di belakang kakek yang berbaju tambal- tambalan dan Ong Kai berdiri di belakang kakek yang berambut putih. Baru saja kedua orang kakek itu menggerakkan biji-biji catur mereka dua kali, maklumlah kedua anak muda ini bahwa kedua kakek itu adalah pemain-pemain catur yang baru saja dapat bermain dan permainan mereka amat lemah sekali! Gerakan-gerakan yang mereka buat adalah gerakan yang ngawur dan lemah, akan tetapi oleh karena kepandaian mereka yang dangkal itu berimbang, maka pertandingan itupun berjalan lama dan ramai juga. Agaknya oleh karena berada di pegunungan dan jarang melihat ahli-ahli catur di kota, kedua kakek ini tidak mendapat kemajuan dalam permainan mereka.
Pada saat itu tiba giliran kakek berambut putih yang harus menggerakkan biji caturnya. Akan tetapi sampai lama ia tidak dapat mengambil keputusan harus menggerakkan yang mana, oleh karena agaknya Raja biji caturnya terancam oleh Gajah lawan. Kakek ini menggigit jari telunjuknya dan memandang ke arah papan catur dengan bingung.
Melihat keraguan dan kebingungan kakek di depannya itu, Oang Kai menjadi tidak sabar dan tanpa disengaja ia berkata, “Gerakkan Kuda ke kiri menjaga serangan Gajah dari depan Raja!” Ong Kai sebetulnya tidak sengaja hendak menasehati kakek itu, akan tetapi jalan pikirannya telah menggerakkan lidahnya hingga tanpa disengaja ia mengeluarkan suara hatinya melalui mulut!
Untuk sesaat kedua kakek itu tak bergerak, juga tidak memandang kepada pemuda yang berkata-kata tadi. Kemudian, kakek berambut putih itu berkata, “Ha, benar juga! Gerakan bagus!” Ia menengok dan memandang kepada Ong Kai dengan kedua mata berseri, lalu ia menggerakkan Kudanya menghadang di depan Rajanya hingga Gajah lawannya tak dapat menyerang!
Sebaliknya, kakek yang seperti pengemis jembel itupun mengangkat kepala memandang ke arah Ong Kai. Pemuda ini terkejut sekali dan dadanya berhenti berdetak untuk sesaat ketika melihat betapa dari kedua mata si jembel tua itu bersinar pandangan tajam yang seakan-akan menembusi kepalanya! Kakek jembel ini menjadi marah dan sikapnya tiada ubahnya seperti seorang anak kecil yang diganggu permainannya hingga menjadi kalah! Tan Hong juga melihat kemarahan kakek ini kepada Ong Kai, maka ia buru-buru berkata, “Majukan Prajurit di kiri mengancam Kuda!”
Kini kakek jembel itu menatap kembali ke atas papan catur, dan tak lama kemudian ia tertawa terkekeh dengan girang, lalu mengangkat muka memandang Tan Hong dengan girang dan menggerakkan biji caturnya menurut petunjuk Tan Hong! Tiba giliran kakek berambut putih itu yang menatap wajah Tan Hong dengan tajam dan marah hingga Tan Hong menjadi tercengang dan kaget! Ia maklum bahwa nesehatnya kepada kakek jembel tadi telah membuat kakek berambut putih itu marah sekali kepadanya! Memang kakek berambut putih itu marah oleh karena ia tidak tahu bagaimana harus menolong Kudanya yang kini terancam bahaya maut!
Ong Kai dan Tan Hong yang berdiri berhadapan di belakang kedua kakek itu saling pandang dan dari sinar mata mereka yang berpandangan, mereka lalu membuat persetujuan untuk melanjutkan bantuan masing-masing oleh karena sudah kepalang tanggung dan agar jangan sampai kedua kakek itu menjadi marah kepada mereka! Maka Ong Kai lalu cepat berkata, “Balas mengancam Gajah dengan majukan Prajurit kanan ke depan!”
Setelah memperhatikan papan caturnya kakek berambut putih itu merasa bahwa gerakan ini memang tepat untuk membalas ancaman lawan pada Kudanya, maka sambil tertawa girang ia memajukan Prajurit menurut petunjuk Ong Kai!
Demikianlah, secara bergiliran Tan Hong dan Ong Kai memberi petunjuk hingga boleh dikata kedua anak muda itulah yang bermain catur, sedangkan kedua orang kakek itu hanya menjadi penggeraknya saja! Akan tetapi, gerakan- gerakan tepat yang ditunjukkan oleh kedua anak muda itu membuat mereka benar-benar kagum dan girang hingga keadaan yang tadinya sunyi kini berubah menjadi ramai karena suara tertawa kedua kakek itu. Suara ketawa jembel tua itu seperti burung hantu, sedangkan suara kakek berambut putih itu berkakakan seperti suara ular besar mengakak!
Oleh karena kedua anak muda yang cerdik itu memang maklum bahwa kakek kakek yang kalah pasti akan marah sekali kepada penasehat lawan sedangkan hal ini berbahaya sekali oleh karena mereka maklum akan kehebatan kakek- kakek ini, maka mereka sengaja bermain hati-hati sekali dan membuat permainan ini berakhir remis! Setelah biji-biji catur kedua pihak habis dan tinggal seorang Raja saja kedua kakek itu tertawa senang. Si jembel berkata, “Ha, ha, kakek penuh uban! Kali ini kau tidak dapat mengalahkan aku!” Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh lagi.
Sebaliknya, orang tua berambut putih itupun tertawa dan berkata, “Lo-kai (pengemis tua), kaupun tidak bisa mengalahkan aku!”
Pada saat itu, Siok Lan satang sambil membawa banyak sekali buah ang-co dan buahbuah lain yang lezat nampaknya karena warnanya yang kuning kemerah- merahan itu menandakan bahwa buah-buah itu matang di atas pohon! Gadis ini merasa heran sekali mendengar suara kedua orang kakek itu tertawa girang, maka ia lalu menghampiri tempat itu sambil membawa buah-buahnya.
“Bagus, bagus, perut kita memang sudah lapar sekali!” kata si jembel sambil mengulurkan tangan dan mengambil beberapa tangkai buah dari tangan Siok Lan.
“Memang, sudah semenjak pagi tadi kita belum makan apa-apa! Permainan catur ini biarpun menarik hati, akan tetapi membuat orang lupa waktu dan lupa makan!” menjawab si rambut putih yang juga mengulurkan tangannya dan tahu-tahu iapun sudah mengambil beberapa butir buah dari tangan Siok Lan!
Perbuatan kedua kakek ini sekaligus membuat ketiga anak muda itu melongo keheranan! Harus diketahui bahwa gadis itu berdiri di tempat yang agak jauh hingga jangankan baru mengulurkan tangan, biarpun bangun berdiri dan menjangkau dengan tubuh dibongkokkan kedepanpun orang belum dapat mengambil buah itu dari jarak yang sedikitnya masih ada setombak itu. Akan tetapi, entah dengan cara bagaimana, kedua kakek itu tidak pindah dari tempat duduk, dan hanya mengulurkan tangan, dan buah- buah itu telah berada di tangan mereka!
Sambil makan buah, kedua kakek itu memandang kepada penasehat masing-masing. “Kalian makanlah, bukankah perutmu lapar juga?” kata mereka hampir bersamaan.
“Aku mendengar cacing perutmu berteriak-teriak dan mengeluh-ngeluh ketika kau berdiri di belakangku tadi!” kata si jembel kepada Tan Hong.
“Dan perut si muka hitam ini membikin sakit telingaku karena selalu berkeruyuk dengan bising!” kata si rambut putih kepada bekas lawannya sambil menunjuk Ong Kai.
Kedua anak muda itu saling pandang, lalu ikut tertawa dan menerima buah dari tangan Siok Lan. Sebaliknya, gadis itu telah mengisi perutnya di dalam hutan tadi hingga ia telah merasa kenyang dan tidak ikut makan.
Tiba-tiba si jembel berkata kepada Tan Hong, “Aku si jembel tua tidak biasa menerima kebaikan orang tanpa balas. Kau telah membelaku hingga aku tidak dikalahkan oleh si kakek uban ini, maka marilah kau ikut padaku sebentar untuk menerima upah.” Tan Hong menjawab, “Maaf locianpwe, Teecu tidak biasa menerima upah dari apa yang teecu lakukan. “
Tiba-tiba kakek jembel itu memandangnya dengan melotot, “Apa katamu? Aku tidak biasa menerima bantahan, mengerti!” Dengan gerakan cepat sekali tangannya meluncur ke depan dan sebelum Tan Hong dapat mengelak, tahu-tahu lengan kanannya telah dipegang dengan erat sekali. Tan Hong mengerahkan lweekangnya, mencoba meloloskan diri, akan tetapi makin ia kerahkan tenaga, makin eratlah pegangan tangan si jembel itu.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Tak kusangka kaupun telah memiliki kepandaian lumayan juga. Mari kau ikut aku!” Tan Hong tahu-tahu merasa dirinya melayang dari atas tanah, oleh karena kakek jembel itu telah menarik tubuhnya dan dibawa lari ke dalam hutan!
Si kakek ubanan tertawa gelak hingga suara ketawanya yang keras itu memenuhi hutan dan bergema keras sekali.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Si jembel membuat aku merasa malu! Mari, mari, muka hitam, kaupun ikut aku sebentar untuk menerima hadlah atas petunjuk-petunjukmu tadi!”
Ong Kai memang berotak cerdik, maka ia dapat menangkap maksud kakek ini dan ia mengikuti kakek itu masuk ke dalam hutan, biarpun ia telah mengerahkan ilmu kepandaiannya berlari cepat, namun masih saja ia tertinggal jauh oleh kakek yang hanya jalan biasa itu!
Melihat keadaan ini, Siok Lan yang tidak mengerti asal mula perkara yang membuat kedua suhengnya seakan-akan menjadi pelepas budi, diam-diam merasa khawatir. Terutama sekali ia merasa khawatir akan keselamatan Tan Hong, maka segera ia mengangkat kaki dan mengejar ke arah Tan Hong dibawa lari oleh si jembel tadi! Ketika ia sampai di tengah hutan, ia melihat betapa Tan Hong duduk berlutut di depan kakek jembel itu yang kini telah memegang pedang Gin-kiam kepunyaan Tan Hong. Gadis ini terkejut hingga tak terasa pula ia mencabut pedangnya.
Tiba-tiba si jembel tua itu berpaling ke arahnya dan biarpun gadis itu mengintai dari balik pohon, agaknya si jembel telah melihatnya karena si jembel tua itu berkata keras-keras, “Eh ... ! Gadis! Kau mengejar kemari dengan pedang di tangan. Ha ..., Ha! Tentu kau cinta kepada pemuda ini dan hendak membelanya bukan?”
Tan Hong terkejut dan memandang. Ketika melihat bahwa Siok Lan telah berada di situ sambil memegang pedang, pemuda itu menjadi terkejut dan girang. Benarkah dugaan si jembel ini? Dan aneh sekali, ketika mendengar ucapan yang tepat mengenai jantungnya itu, Siok Lan lalu berlari pergi keluar dari hutan!
“Locianpwe, betulkah dugaan locianpwe tadi?” tanyanya penuh harap.
“Ha ... ,ha ..., ha ... ! Anak muda, kau hanya pandai main catur, akan tetapi tak pandai mengukur hati seorang gadis manis! Sudahlah, sekarang kauperhatikan gerakan- gerakanku. Aku hendak mengajarmu ilmu pedang Sin- hong-kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) yang hanya delapan belas jurus banyaknya. Perhatikan baik-baik dan catat semua gerakannya di dalam otakmu yang pandai main catur itu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggerakkan pedang perak dengan gerakan perlahan dan lambat sekali hingga Tan Hong dapat mengikuti dan mengingat semua gerakannya. Ia merasa bahwa gerakan-gerakan itu biasa saja dan sama sekali tak dapat melawan ilmu pedang Bok- san-kiam-sut yang telah dimilikinya. Setelah menghabiskan delapan belas jurus dengan gerakan lambat, si jembel lalu berkata, “Nah! Sekarang kau saksikanlah bagaimana harus memainkannya.” Tiba-tiba saja tubuh si jembel itu berkelebat dan sinar pedang lalu menutupi tubuhnya dengan gerakan cepat sekali hingga mata Tan Hong menjadi kabur! Kakek jembel itu masih memainkan ilmu pedang seperti tadi, akan tetapi kini ia menggunakan gerakan cepat dan ternyata bahwa ilmu pedang itu memang hebat!
Tan Hong menjadi girang sekali dan setelah kakek selesai bermain pedang, ia lalu menerima kembali pedangnya dan meniru gerakan-gerakan kakek itu. Otaknya memang cerdas dan mudah saja baginya untuk mengingat semua gerakan kakek jembel tadi.
“Bagus, bagus! Kau telah dapat memahaminya cepat sekali, pantas saja ilmu main caturmu juga hebat. Nah, kau latihlah baik-baik karena delapan belas jurus ini saja sudah cukup untuk menumpas seluruh penjahat dan perampok yang merajalela di daerah utara!”
Tan Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, “Locianpwe, bolehkah teecu mengetahui namamu yang mulia?”
“Di daerah utara aku disebut Pembasmi Perampok oleh karena aku memang benci sekali kepada perampok- perampok jahat yang tidak kenal perikebajikan dan perikemanusiaan. Sebenarnya aku adalah Lui Song yang dijuluki orang Raja Pengemis!”
Terkejutlah Tan Hong mendengar nama ini. Jadi inikah pendekar tua yang telah mengamuk dan membasmi para perampok di utara hingga kedua saudara Ang dan Ciauw Lek juga lari karena takut kepadanya. Pantas saja, karena ia memang luar biasa hebatnya! Pernah juga ia mendengar dari suhunya nama si Raja Pengemis yang dipuji-puji karena kehebatan ilmunya dan ia merasa beruntung bahwa kini dapat berjumpa dengan orang tua ini, bahkan telah diberi pelajaran ilmu pedang! Ia lalu berlutut lagi dan menyatakan terima kasihnya.
“Dan kau bukankah Gin-kiam Gi-to si Maling Budiman?”
Tan Hong terkejut dan khawatir, karena bukankah kakek itu menyatakan paling benci kepada perampok? Akan tetapi oleh karena ia tidak merasa pernah melakukan kejahatan yang melanggar perikemanusiaan, ia tidak takut.
“Locianpwe sungguh berpemandangan tajam, teecu memang benar Tan Hong yang disebut orang Maling Budiman,” jawabnya.
“Ha ... ,ha ..., ha ... ! Sungguh lucu! Di utara aku membasmi kawanan perampok dan maling, sebaliknya di sini aku menerima murid secara tidak langsung yang pekerjaannya juga menjadi maling! Ha, ha, ha! Tapi aku telah mendengar tentang pekerjaanmu yang mulia itu. Kalau tidak, tentu kau takkan dapat bertemu dengan aku dalam keadaan selamat!”
Raja Pengemis itu lalu mengajak Tan Hong kembali ketempat mereka bermain catur tadi. Tan Hong melihat bahwa Ong Kai dan Siok Lan telah menanti di situ lagi, akan tetapi kakek berambut putih tadi tidak berada di situ lagi. Melihat wajah Ong Kai yang berseri-seri, tiba-tiba Raja Pengemis tertawa dan berkata kepada si muka hitam, “Ha, ha, muka hitam! Apakah untuk petunjuk-petunjukmu yang telah kau berikan kepada Kim Liong Hoatsu, kau telah diberi hadiah?”
Ong Kai yang maklum bahwa kakek jembel itu bukan orang sembarangan, lalu menjawab sambil memberi hormat, “Teecu telah menerima sedikit petunjuk dari orang tua itu. “
“Ha ..., ha ..., ha ..., bagus! Sekarang tak perlu kalian takuti lagi kedua hwesio tersesat. Naiklah ke sebelah kiri gunung ini, dan di lereng sebelah belakang akan kalian dapatkan musuh-musuh yang kalian cari-cari!” Setelah berkata demikian, si kakek jembel lalu pergi dari situ dengan tindakan kaki lebar.
Mendengar nama Kim Liong Hoatsu, terkejutlah Tan Hong.
“Ong-sute, benarkah kakek rambut putih tadi Kim Liong Hoatsu, pangcu dari sekalian penjahat di liok-lim?” tanyanya kepada Ong Kai.
“Demikianlah menurut pengakuan orang tua hebat itu.” Kemudian Ong Kai menuturkan bahwa ketika ia ikut orang tua itu memasuki hutan, kakek berambut putih itu lalu menurunkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Ngo- lian-ciang-hwat atau Ilmu Silat lima Teratai yang mempunyai gerakan delapan belas jurus dan yang merupakan ilmu silat tinggi. Kakek berambut putih itu dengan aneh sekali mengetahui tentang perbuatannya ketika menolong puteri keluarga lai, bahkan berkata, “Muka hitam, perbuatanmu di rumah keluarga lai itu boleh dipuji dan selanjutnya kau harus selalu mengulurkan tangan menolong sesama hidup. Ngo-lian-ciang-hwat ini hanya sekedar sebagai penambah pengertian, asal kau suka melatih diri baik-baik kau tak usah takut kepada segala macam penjahat. O, ya. Keluarga Lai mempunyai maksud baik terhadap kau, jangan kau menolak!” Kemudian kakek itu lalu berkelebat dan pergi!
Tan Hong merasa girang mendengar ini, dan iapun lalu menuturkan pengalamannya. Jika kedua pemuda itu bercakap-cakap dengan girang, adalah Siok Lan selalu menundukkan muka dan tidak mau ikut bicara. Tan Hong lalu menghampiri gadis itu yang tak berani memandang kepadanya, dan berkata halus, “Sumoi ... harap kau maafkan orang tua tadi yang bicara secara sembarangan. Memang orang-orang berilmu tinggi kadang-kadang mempunyai adat dan tingkah laku yang aneh. “
Oleh karena sikap Tan Hong yang tepat dan baik ini, hilanglah perasaan malu yang mengganggu hati Siok Lan, wajahnya berseri kembali dan bibirnya tersenyum ketika ia berkata, “Perduli apa aku akan segala kakek-kakek yang memberi upah orang dengan sedikit ilmu silat? Yang kupikirkan adalah pernyataan Kim Liong Hoatsu terhadap Ong-suheng tadi, bahwa keluarga Lai mempunyai maksud baik terhadap Ong-suheng. Alangkah tepatnya ucapan itu sehingga tiada habisnya aku heran mengapa kakek rambut putih itu dapat mengetahuinya!”
“Eh! Apa maksudmu?” tanya Ong Kai dengan heran. Juga Tan Hong ingin sekali tahu. Sementara itu, Siok Lan merasa bahwa ia telah bicara terlalu banyak, maka ia lalu menyambung, “Ah, tidak apa-apa. Aku tidak boleh menceritakan hal ini sebelum tugas kita selesai. Marilah kita melanjutkan perjalanan menurut petunjuk kakek jembel tadi!”
Mendengar ucapan ini, Ong Kai yang cerdik dapat menduga apakah yang disebut “maksud baik keluarga Lai” itu, maka diam-diam hatinya berdebar girang dan perasaan bangga bercampur malu membayang pada wajahnya yang hitam. “Sudahlah, jangan mengobrol saja di sini, mari kita pergi mencari musuh-musuh kita!” katanya.
Tan Hong hanya tersenyum oleh karena pemuda inipun dapat menduga maksud baik keluarga Lai itu. Mereka bertiga lalu melanjutkan pendakian di bukit yang tinggi dan berbahaya ini tanpa mengalami kesukaran berkat kepandaian mereka yang tinggi. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Raja Pengemis, mereka menuju ke lereng gunung sebelah kiri mencari-cari tempat tinggal Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio.
Bhok Kong dan Kom Kong Hwesio telah berhasil bertemu dengan kawan mereka Ti Bong Hosiang yang hebat dan tidak kalah jahatnya dengan mereka dan mengajak hwesio ini ke Pek-hoa-san untuk menghadapi serbuan lawan. Dengan adanya Ti Bong Hosiang, mereka berdua tidak takut akan datangnya pembalasan dari si Garuda Sakti, Maling Budiman, dan yang lain-lain.
Demikianlah ketika Bok-san Sam-hiap mendaki lereng sebelah kiri dari bukit Pek-hoasan, tiba-tiba mereka melihat kedua musuh mereka dan seorang hwesio lain lagi yang bertubuh tinggi besar berdiri di depan sebuah gua menanti mereka dengan sikap menantang!
“Bagus sekali! Kalian tiga tikus kecil telah datang mengantar kematian!” Kim Kong Hwesio menyindir dan tersenyum menghina. Hwesio tinggi besar itu memandang ke arah Siok Lan tanpa berkedip, menyatakan kekagumannya melihat kecantikan gadis itu, hingga Siok Lan merasa marah dan gemas sekali.
“Bhok Kong dan Kim Kong, hwesio cabul tersesat!” Ong Kai memaki marah. “Ternyata kalian juga telah mendatangkan seorang keparat lain untuk membantumu!”
“Aduh, musuh-musuhmu ini benar-benar muda dan tabah!” tiba-tiba Ti Bong Hosiang berkata kepada kedua kawannya dengan suaranya yang parau. “Anak-anak muda!
Ketahuilah, aku adalah tamu kedua sahabat ini dan namaku Ti Bong Hosiang. Apakah benar-benar kalian bertiga ini memusuhi Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio? Sungguh aneh, bukankah ini berarti kalian mencari kesukaran dan kematian sendiri? Sayang, sayang, terutama nona ini, sayang sekali kalau sampai mendapat luka!” Setelah berkata demikian, ia pandang wajah Siok Lan dengan mulut menyeringai menjemukan.
Akan tetapi ketiga anak muda itu sama sekali tidak memperdulikan omongan Ti Bong Hosiang, ketiga anak muda itu sudah merasa marah dan benci sekali hingga pada saat itu juga mereka telah mencabut senjata masing-masing.
“Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio. Tak perduli kalian akan dibantu oleh siapa juga, saat ini kami pasti akan mengirimkan nyawa kalian yang kotor!” kata Tan Hong sambil melangkah maju.
“Ha, ha, ha! Gin-kiam Gi-to maling rendah, kau sungguh sombong! Mengapa kau tidak ajak Lo Cin Ki si tua bangka itu ke sini? Apakah ia telah mampus kena pukulan dulu?” Kim Kong Hwesio berkata menyindir sambil mengeluarkan kebutannya yang ampuh, demikian pula Bhok Kong Hwesio.
“Hwesio bangsat, lihat pedang!” tiba-tiba Siok Lan berseru keras dan maju menyerang, oleh karena gadis ini tidak tahan lagi mendengar nama ayahnya dihina. Kim Kong Hwesio tertawa menghina dan menyambut serangan Siok Lan dengan kebutannya. Ong Kai berseru keras dan menyerbu pula, membantu sumoinya mengeroyok Kim Kong Hwesio yang hebat.
Tan Hong juga tidak mau menyia-nyiakan waktu dan segera maju menyerang dan ia diterima oleh Bhok Kong Hwesio yang memainkan kebutannya dengan sengit. Hwesio ini teringat akan kekalahannya dulu terhadap Lo Cin Ki dan kini hendak menebus kekalahan itu kepada anak-anak muda ini. Dengan menggeram keras ia putar kebutannya sedemikian rupa hingga Tan Hong harus berlaku hati-hati sekali untuk menghadapinya.
Memang sesungguhnya, ketiga orang anak muda ini telah berlaku terlalu berani mencari kedua orang musuh besar itu bertiga saja. Sedangkan dulu, ketika Lo Cin Ki ikut turun tangan, tiga dewa dari Pek-hoa-san ini masih sukar sekali dikalahkan, dan hanya setelah mengeroyok Beng Kong Hwesio berdua bersama Siok Lan, barulah Tan Hong dan Siok Lan berhasil mengalahkan hwesio itu. Sekarang Lo Cin Ki tidak berada di situ, sedangkan kedua orang hwesio tangguh itu mendapat bantuan seorang hwesio lain! Akan tetapi, berkat ketabahan dan ketangkasan mereka, sedikitpun mereka tidak merasa takut dan menyerang dengan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga!
Tan Hong yang menghadapi Bhok Kong Hwesio seorang diri, segera merasa betapa berat dan tangguh lawannya ini, labih tangguh daripada mendiang Beng Kong Hwesio. Sedangkan dulu ketika menghadapi Beng Kong Hwesio, pemuda ini masih berada di pihak yang terdesak, apalagi kini menghadapi Bhok Kong Hwesio yang memainkan hudtimnya dengan cara luar biasa sekali. Tan Hong harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menahan semua serangan yang dilancarkan secara bertubi- tubi dan dilakukan sambil tertawa menyindir!
Sedangkan Ong Kai dan Siok Lan yang bekerja sama, hanya dapat menangkis dan mempertahankan diri saja dari desakan Kim Kong Hwesio yang berkepandaian lebih tinggi daripada Bhok Kong! Untung kedua orang anak muda ini mendapat didikan ilmu pedang dari seorang guru, maka gerakan-gerakan mereka dapat sesuai dan cocok sekali hingga merupakan sebuah pertahanan yang kuat juga dan agaknya takkan mudah dapat dikalahkan. Keadaan ketiga anak muda itu benar-benar terdesak dan berbahaya, sedangkan Ti Bong Hosiang sama sekali belum bertindak apa-apa, hanya berdiri menonton sambil tersenyum. Kalau hwesio yang berkepandaian amat tinggi, lebih tinggi daripada Bhok Kong atau Kim Kong ini maju pula menyerang, pasti Tan Hong dan kawan-kawannya takkan kuat mempertahankan diri lebih lama lagi!
Bhok Kong Hwesio merasa gemas sekali setelah beberapa lama menyerang belum juga dapat menjatuhkan Tan Hong yang benar-benar memiliki ilmu pedang cukup sempurna dan pertahanan yang sangat kuat. Pedang perak di tangan anak muda ini berputar cepat merupakan benteng putih yang sukar ditembus oleh hudtimnya. Sebaliknya Tan Hong menjadi sibuk juga oleh karena serbuan hwesio itu benar-benar tak memungkinkan ia melakukan serangan balasan. Tiba-tiba Tan Hong teringat akan pelajaran Sin- hong Kiam-sut yang baru saja dipelajarinya dari Raja Pengemis. Ia lalu bermaksud mempergunakan ilmu pedang baru ini, dan sambil berseru keras tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya yang dipergunakan untuk menyerang sambil melompat ke atas. Gerakan ini tak terduga sama sekali dan ketika Tan Hong memutar pedang dengan gerakan aneh melakukan gerak tipu Burung Hong Pentang Sayap dan menyerang pundak kiri dan kanan lawannya dengan gerakan cepat, hampir saja pundak kanan Bhok Kong Hwesio tertusuk! Pendeta ini terkejut sekali dan melompat mundur dengan wajah pucat. Tan hong merasa gembira bahwa jurus pertama dari Sin-hong Kiam-sut ternyata telah berhasil baik, maka ia lalu menyusul dengan serangan ke dua, yakni tipu gerakan Burung Hong Mematuk Ular, jurus ke lima dari Sin-hong Kiam-sut. Pedangnya yang dipakai menusuk tenggorokan musuh bergerak ke depan dan tidak seperti gerakan ilmu pedang lain yang menusuk langsung dan cepat, gerakan ini dibarengi dengan ujung pedang yang digetar-getarkan hingga membingungkan lawan yang tidak tahu ke mana pedang itu hendak ditusukkan! Ketika pedang telah mendekati leher dan Bhok Kong Hwesio sudah mengangkat hudtimnya untuk melihat ujung pedang, ternyata bahwa tusukan pada leher itu hanyalah gertakan belaka karena sebenarnya ujung pedang diturunkan ke bawah dan langsung menusuk ulu hati!
Kembali Bhok Kong Hwesio dikejutkan oleh tipu silat yang aneh ini, dan untuk kedua kalinya ia terpaksa mengelak sambil melompat ke samping, akan tetapi secepat kilat Tan Hong sudah melayang ke atas dan mengirim tusukan ke arah kepala lawan dan kaki kirinya menendang pundak dari atas. Inilah gerak tipu Burung Hong Menyambar Rumput. Hampir saja serangan ini berhasil oleh karena Bhok Kong Hwesio kena tertipu oleh serangan pedang Tan Hong yang menuju ke kepalanya dan sama sekali tidak menduga akan datangnya tendangan kaki kiri itu. Hwesio ini tadinya telah merasa girang oleh karena tusukan pedang Tan Hong telah dapat ditangkisnya dengan hudtim, bahkan ujung kebutan itu dipakai untuk melibat pedang lawan untuk dirampas, akan tetapi ketika ia merasa sambaran yang menuju ke pundaknya, ia menjadi terkejut sekali oleh karena tahu-tahu ujung kaki Tan Hong yang hendak menendang jalan darah di pundaknya telah datang dekat sekali! !! Terpaksa ia melepaskan libatan hudtim dari pedang lawannya dan membuang dirinya ke belakang untuk mengelak tendangan yang cukup berbahaya itu!
Tan Hong makin bersemangat dan melakukan serangan dengan Sin-hong Kiam-sut bertubi-tubi. Benar-benar Bhok Kong Hwesio terdesak hebat oleh karena hwesio ini sama sekali tidak mengenal ilmu pedang yang hebat ini. Hal ini diketahui baik oleh Ti Bong Hosiang, maka hwesio ini merasa tidak enak untuk tinggal diam saja. Ia lalu mencabut keluar sebatang tongkat kepala ular dan berkata kepada Bhok Kong Hwesio, “Bhok-bengyu mundurlah biar pinceng menghadapi bocah ini. “
Bho Kong Hwesio bernapas lega dan melompat mundur. Ia merasa gemas dan heran sekali oleh karena tidak tahu darimana pemuda itu mendapatkan ilmu pedang demukian aneh dan hebatnya. Diam-diam ia merasa kagum sekali, dan maklum bahwa ilmu pedang yang berturut-turut digerakkan oleh pemuda itu dan yang hampir saja mencelakakannya bukanlah Bok-san Kiam-hoat. Ia lalu memandang ke arah Kim Kong Hwesio yang masih dikeroyok oleh Siok Lan dan Ong Kai dilihatnya bahwa biarpun suhengnya itu mendesak hebat, namun pertahanan kedua murid Bok-san-pai itu amat kuat dan sukar sekali dirobohkan. Maka ia lalu memutar hudtimnya dan menyerbu sambil berkata, “Hai, anjing-anjing kecil, bersedialah untuk mampus!” Ia lalu menyerang Siok Lan oleh karena tahu bahwa gadis ini adalah puteri Lo Cin Ki dan ia hendak membalas sakit hatinya oleh karena kekalahannya terhadap si Garuda Sakti dulu itu kepada puterinya! Terpaksa Siok Lan meninggalkan Kim Kong Hwesio menyambut serangan Bhok Kong Hwesio. Tadinya gadis ini terkejut sekali hingga mukanya menjadi pucat ketika mendengar bentakan Bhok Kong Hwesio yang tadi ia lihat bertempur melawan Tan Hong. Dengan sangat khawatir ia menyangka bahwa Tan Hong telah kena dirobohkan, akan tetapi ketika ia mengerling dan mengetahui bahwa pemuda itu sedang bertempur melawan hwesio tinggi besar itu, ia bernapas lega dan menyambut serangan Bhok Kong Hwesio dengan penuh semangat!
Tadinya Bhok Kong Hwesio bermaksud keji, yakni hendak menawan gadis itu hiduphidup untuk dipermainkan, akan tetapi begitu mereka bertempur, terpaksa ia membuang jauhjauh pikiran kotor itu, karena ilmu pedang gadis ini hampir sama hebatnya dengan Bok- san Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tan Hong untuk mempertahankan diri. Pedang gadis inipun berputar cepat merupakan benteng baja yang sukar ditembus, hingga jangankan hendak menawan hidup-hidup dan mempermainkan, kalau ia tidak mengerahkan kepandaiannya pasti
ia akan terdesak. Terpaksa Bhok Kong Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga hingga akhirnya Siok Lan menjadi sibuk sekali untuk mempertahankan diri. Gadis ini telah mulai lelah oleh karena ia harus terus menerus memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan hudtim yang berbahaya itu. Keringat mulai membasahi keningnya, akan tetapi setapakpun ia tidak mundur dan seujung rambutpun ia tidak menjadi takut atau bingung. Dengan menggigit bibir, ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, dan mengambil keputusan untuk bertahan sampai detik terakhir! Tentu saja kenekatan gadis ini telah memperkuat pertahanannya lagi hingga untuk sementara waktu Bhok Kong Hwesio tak berdaya dan belum dapat mengalahkannya walaupun ia terus menerus mendesak keras.
Yang paling berat dan berbahaya kedudukannya adalah Ong Kai. Pemuda ini menghadapi lawan terberat dari Pek- hoa Sam-sian dan tadi ketika masih ada Siok Lan yang membantunya, mereka berduapun hanya dapat mempertahankan diri saja. Sekarang Siok Lan dipaksa menghadapi Bhok Kong Hwesio dan ia ditinggal seorang diri menghadapi amukan Kim Kong Hwesio. Tentu saja ia menjadi sibuk dan beberapa kali ujung kebutan lawannya hampir saja merobohkannya. Ia teringat akan pelajaran Ngo-lian-ciang-hwat yang diturunkan oleh Kim Liong Hoatsu kepadanya baru-baru ini. Celakanya ilmu silat yang dipelajarinya itu adalah ilmu silat tangan kosong dan tak dapat dimainkan dengan pedang di tangan! Akan tetapi Ong Kai memang berotak cerdik dan mempunyai banyak akal. Sambil melompat mundur menghindarkan diri dari sabetan kebutan Kim Kong Hwesio, ia berseru, “He ... hwesio tua busuk! Kalau kau memang jantan simpanlah kebutan lalatmu itu dan mari kita berkelahi dengan tangan kosong! Aku merasa benci, bosan dan jijik melihat kebutan lalatmu yang bau bangkai itu!”
Kim Kong Hwesio menyangka bahwa pemuda muka hitam itu sengaja menggunakan akal dengan kata-kata keji untuk memancing supaya ia menjadi marah. Maka ia tertawa dan berkata, “Cacing! Kalau mau mampus selalu berkelejetan dulu! Kau juga anjing kecil muka hitam yang sudah menghadapi maut menjual banyak tingkah! Kau lebih senang mati di bawah kepalan tanganku daripada di bawah hudtimku? Baik, baik! Aku akan membikin kau mampus dengan sekali pukul!” Hwesio itu lalu menyimpan hudtimnya yang diselipkan di belakang punggung sedangkan Ong Kai juga menyimpan pedangnya dan memasang kuda-kuda.
Sekali lagi Kim Kong Hwesio tertawa mengejek, kemudian tiba-tiba tubuhnya meloncat maju dan menubruk mengirim serangan maut! Ong Kai mengelak ke kiri balas menyerang hingga tak lama kemudian mereka berkelahi kembali dengan lebih hebat, walaupun kini keduanya tidak memegang senjata. Mula-mula Ong Kai mainkan ilmu silat Bok-san-pai, akan tetapi baru dua puluh jurus saja mereka berkelahi, ketika Kim Kong Hwesio memukul dadanya dan Ong Kai menanti, tahu-tahu tangan yang memukul itu ubah mencengkeram dan berhasil memegang lengan tangan Ong Kai yang menangkis! Kim Kong Hwesio tertawa menyeramkan sebaliknya Ong Kai terkejut sekali karena merasa betapa lengan tangannya sakit. Ia tak berdaya melepaskan cengkeraman ini dan tahu bahwa kematiannya telah membayang di depan mata. Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran silat Ngolian-ciang-hwat dan ia segera memutar tubuhnya dan oleh karenanya lengan yang terpegang ikut terputar. Kemudian sambil berseru keras ia ulurkan tangan kirinya menotok ke arah lambung lawannya sambil menggerakkan lengan yang terpegang itu ke arah ibu jari tangan Kim Kong yang memegang. Hwesio ini cepat mengulur tangan untuk menangkap tangan kiri Ong Kai, tahu-tahu totokan itu ditarik kembali dan kini jari-jari tangan Ong Kai menyerang ke atas hendak menusuk matanya! Kim Kong Hwesio terkejut sekali dan sebelum ia dapat bertahan, tahu-tahu tangan kanan Ong Kai yang tadi dipegang secara aneh telah terlepas!
Inilah kehebatan ilmu silat Ngo-lian-ciang-hwat yang mempunyai bagian lemas dan keras, kuat dan tahan lama bagaikan bunga teratai dan licin pula, sesuai dengan namanya Ngo-lian-ciang-hwat, Ilmu Silat Tangan Kosong Lima Teratai! Biarpun gerakan Ngo-lianciang-hwat tadi telah menggirangkan hati Ong Kai karena telah melepaskan dirinya daripada bahaya maut, akan tetapi pada pergelangan lengan tangannya nampak bekas pegangan Kim Kong Hwesio yang membuat kulit lengannya menjadi merah dan matang biru! Bulu romanya berdiri membayangkan nasibnya apabila ia tidak dapat segera melepaskan diri tadi. Maka dengan marah ia lalu balas menyerang, kini mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat Ngo- lianciang-hwat yang baru dipelajarinya. Kim Kong Hwesio sangat heran melihat gerakan pemuda hitam itu. Inilah ilmu silat yang belum pernah dilihatnya dan ketika Ong Kai telah menyerangnya dengan Ngo-lianciang-hwat sebanyak sebelas jurus, telah dua kali kepalan Ong Kai berhasil memasuki pertahanan Kim Kong. Sekali menghantam pundaknya dan yang kedua kali memukul pahanya. Biarpun berkat kehebatannya pukulan itu tidak mendatangkan luka, akan tetapi cukup membuat Kim Kong Hwesio menjadi terkejut, marah, dan juga takut, hingga ia berkelahi dengan lebih hati-hati dan tidak sembarangan mendesak secara membabi buta seperti tadi!
Sementara itu, Tan Hong yang menghadapi Ti Bong Hosiang benar-benar merasa bahwa kepandaian hwesio ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Kim Kong Hwesio. Tongkat kepala ular di tangan hwesio tinggi besar ini luar biasa hebatnya dan gerakannya menyambar-nyambar bagaikan seekor ular hidup yang sukar sekali diduga gerakannya. Sayang sekali bahwa Sin-hong Kiam-sut yang baru dipelajarinya, belum terlatih lama dan sempurna. Karena bila ilmu pedang ini telah ia latih secara sempurna dan mendalam, agaknya ia akan dapat mengimbangi permainan tongkat hwesio itu. Akan tetapi, karena ilmu pedang itu belum dipahami secara mendalam, dan tingkat kepandaian hwesio itu memang masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, Tan Hong terdesak hebat dan terkurung oleh sinar tongkat yang menyerang dari semua jurusan dengan sangat berbahaya. Keadaan Tan Hong, seperti juga keadaan dua orang kawannya, benar- benar terdesak dan berbahaya sekali!
Pada saat yang berbahaya itu, dua orang kakek dengan kecepatan seperti terbang mendaki bukit Pek-hoa-san. Mereka ini tidak ialah Lo Cin Ki si Garuda Sakti Kuku Seribu dan yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang berjenggot putih panjang dan berpakaian putih pula. Tosu ini adalah Cin Cin Tojin atau suhengnya, yakni guru dari Tan Hong!
Cin Cin Tojin yang sudah lama tidak bertemu dengan sutenya, pada suatu hari datang mengunjungi sute itu dan mendapatkan Lo Cin Ki dalam keadaan luka oleh musuh. Setelah mendengar penuturan Lo Cin Ki tentang peristiwa itu dan bahwa kini Tan Hong, Siok Lan dan Ong Kai bertiga sedang pergi mencari Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio, Cin Cin Tojin merasa sangat khawatir.
“Kedua hwesio sesat itu dapat merobohkan kau, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya. Kalau Tan Hong dan puteri serta muridmu pergi mencari dan bertemu dengan mereka, apakah itu tidak terlalu berbahaya?” katanya.
Lo Cin Ki menghela napas. “Habis apa dayaku? Aku harus memulihkan kembali tenagaku, dan kulihat muridmu Tan Hong itu memiliki kepandaian cukup tinggi.”
Cin Cin Tojin menggelengkan kepalanya yang sudah penuh dengan uban. “Kau terlalu percaya kepada anak- anak muda, sute! Marilah kita susul ke Pek-hoa-san, dan mudah-mudahan saja kita masih belum terlambat.”
Oleh karena Lo Cin Ki memang telah hampir sembuh dan orang tua inipun mengkhawatirkan keadaan puterinya, maka kedua pendekar tua ini lalu berangkat ke Pek-hoasan dengan cepat. Dan kedatangan mereka memang pada saat yang tepat sekali oleh karena ketiga orang muda itu justeru sedang terancam bahaya maut!
“Bhok Kong dan Kim Kong pendeta rendah budi! Marilah kita membuat perhitungan terakhir!” Lo Cin Ki berseru dan bukan main girang ketiga anak muda itu mendengar suara yang amat dikenalnya ini! Apalagi ketika Tan Hong melihat bahwa suhunya juga datang, maka ia lalu cepat-cepat melompat keluar dari lapangan pertandingan dan berlutut di depan Cin Cin Tojin sambil memanggil, “Suhu!”
“Orang she Lo! Kau belum mampus? Baiklah, sekarang kami akan bikin mampus kamu!” Kim Kong Hwesio tidak gentar melihat kedatangan Lo Cin Ki oleh karena ia mengandalkan tenaga bantuan Ti Bong Hosiang yang hebat. Akan tetapi, ketika Ti Bong Hosiang melihat kedatangan Cin Cin Tojin, hwesio ini merasa terkejut dan menjura, “Eh, kiranya Cin Cin To-yu ikut datang pula.”
Cin Cin tojin membalas pemberian hormat itu dan bertanya, “Sahabat Ti Bong! Bagaimana menurut pandanganmu, apakah kepandaian muridku tidak terlalu mengecewakan?”
Kembali Ti Bong Hosiang terkejut karena tidak disangkanya sama sekali bahwa Tan Hong adalah murid tosu pendekar itu. Juga Bhok Kong dan Kim Kong merasa terkejut mendengar bahwa tosu yang ikut datang ini adalah guru Tan Hong. Sedangkan pemuda itu saja sudah demikian tangguh, apalagi gurunya! Akan tetapi, oleh karena maklum bahwa Lo Cin Ki tentu takkan melepaskan mereka begitu saja, dan bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dihindarkan lagi, Kim Kong Hwesio tertawa menyindir, “Hm ..., si Garuda Sakti datang membawa jagoan. Baik, hendak kulihat sampai di mana hebatnya jago ini!” Sambil berkata demikian, Kim Kong Hwesio lalu maju dan menghantam dada Cin Cin Tojin dengan hudtimnya! Cin Cin Tojin tersenyum dan mengelak sambil melangkah mundur.
“Aduh, galak benar hwesio ini!” katanya dan iapun menyambut serangan berikutnya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. “Bhok Kong, terimalah kematianmu dengan tenang!” Lo Cin Ki membentak dan menyerang Bhok Kong Hwesio yang segera menyambut dengan hudtimnya.
Tan Hong tidak tinggal diam dan ia lalu menyerang Ti Bong Hosiang lagi dengan penuh ketabahan oleh karena sekarang guru dan susioknya berada di situ. Melihat serbuan
Tan Hong, Siok Lan dan Ong kai juga tidak tinggal diam dan membantunya hingga tak lama kemudian Ti Bong Hosiang dikeroyok tiga oleh Bok-san Sam-hiap itu!
Sebetulnya Ti Bong Hosiang biarpun jahat namun ia masih merasa segan dan hormat kepada Cin Cin Tojin yang ternama dan sakti, maka tadi ia telah merasa ragu-ragu untuk membantu kedua hwesio itu. Akan tetapi kini melihat serbuan ketiga orang muda itu, ia lalu berkata keras, agaknya dengan maksud supaya terdengar oleh Cin Cin Tojin, “Anak-anak muda, kalian hendak mencoba kepandaian? Baiklah, biar pinceng saksikan kehebatan anak-anak muda sekarang!” Dengan ucapan tersebut ia bermaksud bahwa ia tidak mengambil sikap bermusuhan, hanya melayani ketiga anak-anak muda itu secara “main- main” belaka. Akan tetapi, setelah ia menghadapi ketiga anak muda itu, ia tidak mendapat kesempatan untuk main- main lagi, oleh karena biarpun kepandaian mereka ini ratarata rendah tingkatnya, namun kini digabung menjadi satu merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan! Apalagi ketika Tan Hong lagi-lagi mengeluarkan Sin-hong Kiam-sutnya, segera Ti Bong Hosiang dapat didesak. Hwesio ini timbul marahnya dan ia lalu mengeluarkan serangan-serangan berbahaya tanpa segan-segan lagi.
Sementara itu, Bhok Kong Hwesio yang melawan Lo Cin ki menjadi sibuk dan tak berdaya, hingga pada saat yang tepat, pedang jago tua itu berhasil menusuk lambungnya dan tepat menembus jantung hingga Bhok Kong tak sempat berteriak lagi. Hwesio yang jahat ini roboh mandi darah dan tewas di saat itu juga!
Kim Kong Hwesio memang sudah repot menjaga desakan Cin Cin Tojin yang benar-benar tangguh dan yang memainkan ujung lengan baju hingga mengeluarkan angin pukulan dingin, kini melihat betapa Bhok Kong Hwesio telah tewas, semangatnya sebagian besar telah melayang pergi dan permainan silatnya menjadi kalut. Kalau Cin Cin Tojin mau dengan mudah saja ia dapat menewaskan hwesio ini, akan tetapi oleh karena Cin Cin Tojin telah melakukan pantangan dan tidak mau membunuh, maka tosu ini lalu melompat mundur sambil berkata kepada sutenya, “Sute, mari kaulayani musuhmu ini!” Kemudian tosu itu hanya berdiri menjadi penonton saja. Ketika ia melihat ke arah ketiga anak muda yang mengeroyok Ti Bong, hampir saja ia mengeluarkan teriakan heran. Ia lalu memandang kepada Tan Hong dengan penuh perhatian. Dari manakah anak itu mendapat gerakan-gerakan macam itu? Demikian tosu ini berpikir dengan bingung dan heran melihat gerakan pedang Tan Hong yang memainkan ilmu silat pedang Sin-hong Kiam-sut!
Ti Bong Hosiang benar-benar terdesak oleh kurungan Tan Hong bertiga. Hwesio ini merasa gemas dan malu dan mencoba untuk balas mendesak, akan tetapi Bok-san Kiam- hwat bukanlah ilmu pedang sembarangan. Apalagi sekarang dimainkan dengan hebatnya oleh tiga orang anak muda secara berbareng dalam kerja sama yang kompak dan cocok serta saling bantu hingga makin sibuklah Ti Bong Hosiang. Akhirnya dengan sebuah gerak tipu Air Hujan Tertiup Angin, ujung pedang Tan Hong berhasil melukai pundaknya dan darah mengucur membasahi jubah pendeta itu. Ti Bong Hosiang melompat mundur dan berkata sambil menahan kemarahannya, “Sudahlah! Aku yang tua telah menerima pelajaran dari yang muda, kalau ada kesempatan baik, kelak bertemu pula!” Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat, Ti Bong Hosiang telah lenyap di balik pohon-pohon!
Sementara itu. Lo Cin Ki telah mendesak hebat dengan pedangnya kepada Kim Kong Hwesio yang hanya mampu menangkis sambil bertindak mundur, agaknya mencari kesempatan untuk melarikan diri. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk menang, apalagi setelah melihat betapa Ti Bong Hosiang yang diandalkan itu telah lari pula. Akan tetapi Lo Cin ki tidak memberi kesempatan kepadanya dan ke”tika Kilm Kong Hwesio semakin kalut permainan silatnya, dengan sekali ayun, putuslah kebutan di tangan Kim Kong Hweslo dan sebelum Kim Kong Hwesio hilang kagetnya tahu-tahu si Garuda Sakti telah melayang dan tepat menendang sambungan lutut Kim Kong Hwesio! Kwesio itu tak kuasa menahan tubuhnya lagi dan ia roboh terlentang tak berdaya. Lo Cin Ki menggerakkan pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar Ong Kai berseru, "Suhu, biarkan teecu yang membalas sakit hati ini." Dan pemuda muka hitam ini dengan marah lalu melompat mengirim bacokan ke arah leher musuhnya! Kim Kong Hwesio berusaha miringkan kepala, akan tetapi terlambat. Pedang Ong Kai yang digerakkan dengan kuat telah mengenai lehernya dan putuslah leher hwesio cabul yang Jahat Itu. Dengan mata merah menahan turunnya air mata karena terharu dan sedih mengingat akan kematian tunangannya Ong Kai lalu berlutut di depan Lo Cin Ki dan Cin Cin Tojin menghaturkan terima kasih. Kemudian, iapun mengucapkan terima kasih kepada Tan Hong dan Siok Lan yang telah membantunya hingga pembalasan dendam ini terlaksana baik. Cin Cin Tojin lalu bertanya kepada muridnya, “Tan Hong, dari mana kau mendapatkan ilmu pedang Sin-hong Kiam-sut itu?"
Tan Hong memandang kepada suhunya dengan kagum. Ternyata pandangan mata suhunya itu tajam sekali, Ia lalu menuturkan pengalamannya di kaki-gunung tadi dan ketika mendengar bahwa murid masing-masing telah menerima petunjuk dari Raja Pengemis dan Kim Liong Hoat-su, baik Cin Cin Tojin maupun Lo Cin Ki saling pandang dengan heran. Dua orang kakek itu termasuk orang-orang tingkat tinggi yang jarang sekali mau muncul di dunia kang-ouw, apalagi Kim Liong Hoatsu yang bertapa di Kim-liong san, sedangkan si Raja Pengemis biasanya hanya bergerak di utara saja.
"Sekarang kita harus kubur kedua mayat ini baik-baik," kata Cin Cin Tojin yang merasa kasihan juga melihat mayat kedua hwesio itu. "Kita boleh membenci kejahatan mereka, akan tetapi tubuh-tubuh mereka yang hanya menjadi alat ini harus kita kembalikan kepada asalnya
-oo0dw0oo-