Jilid 02
“Kurang ajar! Apakah kaukira kau cukup berharga untuk berkenalan dengan aku? Aku tidak sudi berkenalan dengan segala maling! Sekarang rasakanlah kehebatan pedangku!” Sambil berkata begitu, nona itu lalu mencabut pedangnya dan mengirim serangan hebat, lupa akan ucapannya tadi yang memandang rendah Tan Hong karena sekarang iapun maklum bahwa maling kecil ini mempunyai kepandaian tinggi dan amat tangguh!
Kini Tan Hong yang sibuk mengelak ke sana ke mari karena ilmu pedang nona itu benar-benar luar biasa dan jauh lebih hebat daripada sekalian lawan yang pernah dijumpainya! Ia tahu bahwa kalau ia bertahan terus, ia tentu akan roboh, maka apa boleh buat, ia mengambil keputusan hendak lari!
Pada saat itu, terdengar suara orang, “Lan-ji, jangan kau menyerang orang yang bertangan kosong dengan mempergunakan senjata!”
Gadis itu melompat mundur dengan muka malu, sementara itu Tan Hong diam-diam memuji kehebatan orang yang baru datang itu, karena ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya!
“He, anak muda, bukankah kau Gin-kiam Gi-to?” tiba- tiba orang yang baru datang itu bertanya. Tan Hong membalikkan tubuh dan memandang. Ternyata orang itu adalah seorang tua dan ketika ia melihat lebih teliti, alangkah heran dan terkejutnya karena orang ini tidak lain adalah orang tua yang berpantun di dalam kamar tadi! Bajunya masih baju sasterawan yang lebar dan besar itu dan lagaknya masih lemah lembut seperti seorang sasterawan tulen. Dan yang membuatnya makin terkejut lagi adalah ketika ia melihat bahwa tangan orang itu memegang sebatang pedang yang tidak lain adalah pedangnya sendiri yang dicuri orang tadi!
Tan Hong tidak berani berlaku sembrono karena maklum bahwa ia menghadapi seorang tokoh yang berilmu tinggi, maka ia lalu memberi hormat dan berkata, “Siauwte yang rendah dan bodoh dengan tak sengaja telah mengganggu cianpwee, kini tak lain hanya menanti jatuhnya hukuman!”
“Ha, ha, ha, anak muda. Kau terlalu merendah. Setelah dapat menghadapi anakku sampai sekian lamanya, boleh diukur ketinggian ilmu silatmu. Nah, ini terimalah pedangmu kembali dan coba kauhadapi ilmu pedang anakku, hendak kulihat sampai di mana kehebatan Gin- kiam Gi-to!” Setelah berkata demikian, orang tua itu menggerakkan jari-jari tangannya dan tahu-tahu pedang Tang Hong sudah melayang terus meluncur ke arah dada pemuda itu! Tan Hong tahu bahwa orang sedang menguji kepandaiannya, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan sambil merendahkan diri dan berhasil menyambut gagang pedangnya sendiri yang hendak makan tuan! Ia merasa betapa besar tenaga sentilan jari itu dan makin kagumlah dia!
“Lan-ji, sekarang seranglah lawanmu ini. Tapi berhati- hatilah, kalau tidak kau akan kalah!”
Panas hati gadis itu mendengar kata-kata pujian ayahnya terhadap maling itu, maka ia lalu maju menerjang dengan pedangnya. Sinar pedangnya berkelip-kelip bagaikan bintang berpindah di angkasa hingga Tan Hong terpaksa menggunakan pedangnya menangkis. Bunga api memancar keluar dari perbenturan kedua senjata tajam itu.
Tak lama kemudian kedua orang muda-mudi itu telah bertempur dengan hebat sekali. Keduanya sama kuat dan sama gesit, bahkan ilmu pedang mereka mempunyai gerakan-gerakan yang banyak persamaannya. Tan Hong makin kagum dan gadis itupun kini tahu akan kehebatan Tan Hong hingga ia tidak berani memandang rendah lagi. Setelah bertempur sampai seratus jurus lebih, tanpa ada yang terdesak, tiba-tiba tukang obat itu berseru, “Sudah cukup, tahan!”
Kedua anak muda itupun menaati perintah ini.
Tan Hong terkejut sekali karena tadipun ia melihat betapa gerakan pedang gadis itu mempunyai dasar-dasar yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Bok-san Kiamhwat.
Ia lalu menundukkan kepalanya lagi dengan penuh hormat dan berkata, “Benar, siauwte yang bodoh adalah murid Cin Cin Tojin. Mohon maaf bahwa siauwte tidak mengenal locianpwe. “
“Ha, ha, ha, anak muda. Memang, kalau belum bertempur, takkan mengenal orangnya sendiri. Cin Cin Tojin adalah suhengku.”
Bukan main terperanjatnya Tan Hong mendengar bahwa gurunya masih kakak seperguruan orang tua ini. Ia teringat akan penuturan suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang sute, adik seperguruan yang berilmu tinggi, bahkan yang menurut pengakuan suhunya memiliki kepandaian di atas suhunya sendiri. Segera Tan Hong menjatuhkan diri berlutut, “Ampunkan teecu, bukankah susiok ini yang bernama Lo Cin Ki dan terkenal dengan nama Jian-jiauw-sin-eng (Garuda Sakti Berkuku Seribu)?”
Kakek itu tertawa lagi terbahak-bahak, “Benar, akulah orang she Lo itu, bagaimana dengan suhumu? Dan siapakah namamu, anak muda?”
“Teecu bernama Tan Hong.“ Kemudian ia menuturkan keadaan suhunya ketika ia turun gunung, menceritakan bahwa suhunya kini telah menghentikan kebiasaannya merantau dan menetap di puncak Bukit Kwi-hong-san untuk bertapa.
Si Garuda Sakti menghela napas. “Pekerjaanmu ini baik juga, akan tetapi berbahaya. Baiklah aku tak usah ikut campur dengan pekerjaan yang telah kau pilih dan kauanggap baik itu. Bagiku segala perbuatan itu baik saja, asal ditujukan untuk kebaikan. Kau telah mengambil obat yang keliru dan kalau kau menghendaki obat untuk menolong penduduk di Cin-tong, pergunakanlah obat ini!”
Lo Cin Ki lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Tan Hong. Dengan muka merah karena malu, Tan Hong menerima obat itu dan ia tidak berani membawa kantong- kantongnya. Akan tetapi, susioknya hanya mengambil kembali jin-som yang tidak perlu dibawa itu dan menambahkan obat dan uang seratus tail lagi sambil berkata, “Terus terang saja, kami bukanlah orang kaya yang dapat menyumbangkan uang. Akan tetapi, biarlah dengan sedikit uang ini aku dapat membantu melancarkan pekerjaanmu itu!”
Bukan main rasa malunya Tan Hong, karena susioknya itu berkata dengan setulus ikhlas hati. Ia menerima pemberian itu dan setelah menghaturkan terima kasih, ia lalu berdiri dan memberi hormat kepada gadis tadi, “Mohon dimaafkan kekasaranku.”
Gadis itu memandang dengan masih marah, akan tetapi ayahnya berkata, “Siok Lan, kau harus memberi hormat kepada suhengmu ini!” Terpaksa Siok Lan menjura pula, tapi tak berkata sesuatu. Hatinya masih mendongkol dan panas, dan ia merasa malu mempunyai seorang suheng pemaling!
Tan Hong dapat menyelami perasaan gadis itu, maka dengan hati berat dan menyesal ia lalu melompat pergi untuk menjalankan kebiasaannya membagi-bagi uang dan juga obat yang didapatnya dari susioknya itu.
Seperti biasa, setelah membagi-bagikan hasil curiannya Tan Hong lalu pergi ke sebuah tempat yang sunyi untuk beristirahat. Akan tetapi kalau biasanya ia terus merebahkan diri di mana saja untuk tidur setelah bekerja semalam suntuk, kali ini ia tidak dapat tidur. Ia duduk di bawah sebatang pohon besar karena tak bisa mendapatkan kuil atau gubuk kosong, maka ia duduk saja sambil melamun! Bayangan nona Lo Siok Lan yang cantik jelita dan gagah itu tak pernah meninggalkan ruang matanya. Ia amat tertarik kepada gadis itu tiada habisnya ia mengaguminya. Akan tetapi, ia masih merasa sakit hati, apabila teringat olehnya ucapanucapan dan pandangan mata gadis itu yang ditujukan kepadanya dengan secara sangat menghina. Siok Lan yang menarik hati dan yang dikaguminya itu memandang amat rendah kepadanya!
Tan Hong lalu teringat akan keadaan dirinya sendiri. Siapa orangnya yang takkan memandang rendah dan menghinanya? Lihat saja keadaan tubuhnya yang kurus kering tak terawat dan pakaiannya yang kotor lagi usang serta penuh tambalan itu! Pemuda apakah dia ini? Dan ia adalah seorang maling pula. Takkan ada orang yang tidak akan menghina dan memandang rendah padanya karena ia seorang pencuri atau pemaling, biar maling budiman sekalipun! Tan Hong teringat kepada orang tuanya yang meninggal dalam keadaan sangat menyedihkan. Hatinya terharu. Ah, betapapun juga ia tak dapat melepaskan diri dari ikatan pekerjaan yang sudah menjadi idaman hatinya, yakni menolong mereka yang kelaparan. Ia tak dapat melupakan keadaan keluarganya, tak dapat melupakan kesengsaraan dan penderitaannya ketika ia kelaparan dulu! Tak dapat ia melupakan kekejaman dan kekikiran kepala kampung she Thio dulu! Orang-orang hartawan yang menumpuk makanan dan uang itu tak mau mengulurkan tangan kepada fakir miskin. Baik, ia akan mengambil makanan dan uang itu dengan jalan mencuri dan setelah itu membagikannya kepada mereka yang kelaparan! Biarlah, ia tidak memperdulikan keadaan sendiri asal ia dapat menolong orangorang yang kini menderita sebagaimana yang telah dideritanya dulu, mereka yang terancam bahaya maut kelaparan, maut yang mengambil jiwa kedua orang tuanya dulu!
Akan tetapi, kembali bayangan Siok Lan yang manis dengan pandangan mata menghina itu terbayang di depan matanya dan tiba-tiba Tan Hong merasa lemah dan bersedih hati. Ia lalu menundukkan muka dan menyembunyikan kepalanya di dalam pelukan kedua tangannya yang memeluk lutut. Disandarkannya punggungnya pada batang pohon besar itu dan akhirnya dapat juga ia tertidur dalam keadaan duduk!
Tiongkok selatan masih terus dilanda banjir hingga persediaan bahan makanan rakyat makin menipis dan kesensaraan makin memuncak. Di mana-mana bahaya kelaparan mengamuk dan merajalela hingga jumlah korban yang tewas akibat kelaparan makin banyak.
Tentu saja, bahaya kelaparan itu tidak dapat mempengaruhi atau mengganggu kesenangan hidup para hartawan dan pembesar yang telah mempunyai persediaan bahan makanan bertumpul-tumpuk di dalam gedung- gedung mereka yang besar. Bahkan, keadaan ini menguntungkan bagi mereka, mendatangkan keuntungan yang bukan sedikit! Kalau dulu mereka membeli bahan makanan yang kini ditumpuk itu dengan harga murah, kini mereka dapat menjualnya dengan harga puluhan kali lipat daripada harga pembelian. Tidak ada perdagangan yang lebih menguntungkan daripada menumpuk dan menyimpan bahan makanan ini! Mudah dan mendatangkan untung besar. Syaratnya hanya modal uang besar dan gudang yang luas! Datangnya setan kelaparan yang merupakan bahaya maut bagi ratusan ribu rakyat miskin ini, bagi para hartawan yang kikir dan licin itu merupakan datangnya dewa-dewa rejeki yang sekali pukul dapat memperlipat- gandakan kekayaan mereka! Dan untuk menutupi kejahatan yang bagi mereka bukan merupakan kejahatan, akan tetapi yang mereka dengungkan sebagai hasil kecerdikan dan kepandaian dagang mereka itu, mereka sengaja memberi sekedar hadlah kepada para handai-taulan yang sebetulnya tak memerlukan sumbangan oleh karena keadaan mereka tak begitu mengkhawatirkan. Sumbangan ini hanya untuk mempropagandakan bahwa mereka adalah orang-orang dermawan besar!
Bahkan, banyak kota-kota besar mendirikan sebuah panitia penolong korban banjir yang terdiri daripada orang- orang kaya dan pembesar-pembesar. Mereka mencari sumbangansumbangan daripada hartawan yang ingin “mendapatkan nama” ini, menuliskan nama para hartawan pada papan di depan gedung panitia agar diketahui oleh umum. Kepalsuan yang menjemukan ini masih belum seberapa hebat, yang lebih celaka lagi ialah bahwa pendapatan hasil sumbangan yang berupa uang dan bahan makanan ini sebagian besar “tersesat” dan “salah jalan” masuk ke dalam kantong-kantong para pengurusnya! Dan bagian yang sangat kecil itu barulah diberikan kepada korban-korban banjir menurut pilihan para pengurus panitia sendiri yang tentu saja mengadakan pilihan sesuka hatinya, berdasarkan sesuatu yang mereka anggap menguntungkan mereka pula! Maka, bukan hal yang dilebih-lebihkan atau isapan jempol belaka apabila diceritakan di sini bahwa dalam masa sukar itu, banyak anak-anak perempuan “ditukarkan” dengan beberapa kati bahan makanan!
Di dalam kota Seng-koan yang besar dan ramai juga terdapat sebuah panitia macam ini. Pengurus panitia adalah orang-orang yang dianggap paling berpengaruh di dalam kota itu dan penasehatnya tentu saja pembesar setempat yang berpengaruh. Oleh karena itu di daerah Seng-koan ini seringkali terjadi kekacauan dan perampokan yang dilakukan dengan nekad oleh orang-orang yang hampir mati kelaparan, maka sebagai penjaga dan pelindung panitia ini, diangkatlah tiga orang pembesar yang menjadi cabang atas atau jagoan kota Seng-koan. Tiga orang pendekar ini dijuluki Seng-koan Sam-eng atau Tiga Orang Pendekar dari Sengkoan. Akan tetapi, oleh karena sepak terjang mereka yang tidak sesuai dengan sikap pendekar- pendekar, terlampau membanggakan kepandaian mereka dan tidak segan-segan memukul dan menindas orang-orang yang lemah, maka julukan mereka itu diam-diam dirobah oleh orang-orang menjadi Seng-koan Sam-kwi atau Tiga Setan dari Seng-koan! Setelah diangkat menjadi pengurus dan pelindung Panitia Penolong Korban Banjir, ketiga jagoan ini lalu mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan pemerasan dan perampasan berkedok “minta sumbangan”.
Pada suatu hari, terlihat banyak orang berkerumun di depan sebuah toko yang menjual hasil bumi. Ternyata bahwa telah terjadi percekcokan antara pemilik toko yang bernama Gui San dan seorang di antara Seng-koan Sam- kwi. Gui San adalah seorang pedagang muda yang berdarah panas dan juga mempunyai hati berani dan tabah, oleh karena biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi ia pernah belajar silat di bawah pimpinan orang pandai. Ia baru beberapa bulan tinggal di Seng-koan, maka ia belum kenal betul akan kehebatan Seng-koan Sam-kwi dan berani melawan ketika seorang di antara tiga jagoan ini datang minta sumbangan dengan paksa.
“Orang menyumbang harus berdasarkan hati rela dan suka, sama sekali tidak mungkin diharuskan dan ditentukan besar jumlah sumbangannya! Biarpun menyumbang sedikit, asal memberinya dengan senang dan rela hati, seharusnya diterima dengan baik. Mana ada aturan minta sumbangan dengan secara paksa?” Gui San berkata dengan suara keras sambil bertolak pinggang menghadapi Ban Hui, saudara termuda daripada Seng-koan Sam-kwi.
Ban Hui bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam dan adatnya keras sekali. Mendengar ucapan orang yang disertai muka merengut dan marah, iapun menjadi marah sekali. Sambil menuding dengan jari telunjuknya ke arah hidung Gui San, Ban Hui memaki, “Orang She Gui, jangan kau membuka mulutmu yang lebar dan busuk itu! Kau harus tahu bahwa sekarang ini musim apa? Kau adalah seorang pedagang, maka apa artinya bagimu menderma seratus kantong gandum untuk mereka yang sengsara karena banjir? Kau hidup terlalu kikir hingga kelak kau akan mati seperti seekor anjing! Kau tak mau menderma dan menolong mereka yang menderita, apakah kau hendak makan semua gandummu itu? Betapapun kaya dan kikirmu, yang kau makan tiap hari tak lebih hanya semangkok saja! Apa kau mau mati ditimbuni kekayaanmu?”
Bukan main marahnya Gui San mendengar orang memaki-makinya. “Ban Hui! Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak perduli akan segala gertak sambalmu! Jangan kau pura-pura menjadi orang budiman dan berhati pengasih! Ketahuilah, aku hendak menyumbang sepuluh kantong gandum adalah terbit dari hati kasihanku kepada mereka yang menderita, Biarpun hanya sepuluh kantong gandum, akan tetapi hendak kuberikan dengan tulus ikhlas. Sedangkan kau ini apa? Kau mengeluarkan kata-kata seakan-akan kau seorang dewata yang berhati suci murni, akan tetapi semua orang tahu bahwa ke kantong siapa semua sumbangan itu lari? Ban hui, jangan kau menjual lagak di sini, aku bukan anak kecil. Sepak terjangmu sudah kuketahui betul-betul. Pendeknya, aku hanya mau menyumbang sepuluh kantong gandum kepada panitia, kau sebagai pesuruh panitia tinggal mau terima atau tidak. Kalau mau terima, baik. Kalau tidak mau, tidak apa!”
Ban Hui membelalakkan kedua matanya dan mukanya yang hitam itu menjadi hitam lagi! “Bangsat rendah, kau harus dihajar tahu adat!” Setelah berkata begitu, Ban Hui melompat dan menyerang dengan pukulan Thai-san-ap-teng (Bukit Thai-san Menimpa). Gui San yang berhati tabah itu cepat mengelak dan tiba-tiba ia mengangkat sebuah bangku dan hendak memukul kepala si muka hitam dengan bangku itu. Wajahnya merah, matanya berapi-api! Melihat hal ini, orang-orang yang berkerumun di situ dan yang mengkhawatirkan keselamatan Gui San, segera datang mencegah dan memisahkan. Kedua orang itu masih bersitegang tidak mau mengalah dan menyudahi perkara itu sampai di situ saja. Pada waktu mereka masih meronta- ronta dalam pegangan orang banyak, tiba-tiba terdengar bentakan orang.
“Eh, eh, ada apa ini?”
Semua orang mundur karena yang membentak ini adalah seorang pendek kecil, akan tetapi yang mempunyai sikap dan gaya yang sangat gagah. Inilah Ban Siauw, saudara kedua daripada Seng-koan Sam-kwi, seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan yang sikapnya lebih halus daripada kedua saudaranya, akan tetapi semua orang tahu bahwa dibalik sikap yang halus itu, bersembunyi sifat seekor serigala yang jahat dan kejam.
Ketika mendengar duduknya persoalan, Ban Siauw memandang kepada Gui San dengan tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan pandangan yang menakutkan.
“Gui-congsu, kau benar-benar gagah berani. Tak kusangka bahwa di kota kita ini telah datang seorang jagoan berilmu tinggi! Sekarang baiklah diatur begini saja, congsu. Soal sumbangan ini adalah soalnya orang banyak, dan bukanlah menjadi kehendak kami sendiri. Kita telah bertemu dan belum saling berkenalan, maka aku persilahkan kepadamu untuk datang ke gedung panitia pada besok pagi. Di sana kami akan mengadakan sambutan selayaknya dan hendak minta pengajaran darimu. Mari kita berkenalan sambil mengukur kepandaian masing-masing. Dan sebagai iseng-iseng saja, kalau congsu tak dapat mengalahkan kami, congsu harus menyerahkan dua ratus kantong gandum. Sebaliknya kalau kami tak dapat mengalahkan congsu, maka biarlah congsu tak usah mengeluarkan sesuatu untuk menyumbang, sebaliknya kami akan datang ke sini memohon maaf dan mengirimkan bingkisan. Bagaimana, congsu! Setuju atau tidak?”
Memang sifat si pendek ini sangat lihai. Ia dapat melihat bahwa orang she Gui ini berhati keras dan mudah marah, maka sengaja pada akhir kata-katanya ia menggunakan kalimat pertanyaan “setuju atau tidak” ia terang-terangan ditantang orang dan kalau ia menolaknya, maka ia akan dianggap penakut dan pengecut hingga akan menjadi bahan tertawaan penduduk Seng-koan. Apalagi pada saat itu terdapat banyak orang menyaksikan pertengkaran ini, maka ia lalu berkata, “Kalian Seng-koan Sam-kwi sudah kudengar tentang kehebatan namamu. Hari ini aku Gui San tanpa sebab telah digangu, bahkan ditantang, maka terpaksa aku melupakan kebodohanku sendiri dan biarlah besok pagi aku datang.”
Ban Siauw tertawa girang dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus!! Beginilah sikap seorang pendekar yang sekali bicara tentu takkan menarik kata-katanya kembali. Bagaikan ludah yang telah dijatuhkan ke atas tanah takkan dijilat lagi!” Kemudian si pendek ini menggunakan kefasihan lidahnya untuk menyindir dan mencegah agar orang she Gui itu tidak bermuka tebal untuk membatalkan kesanggupannya.
Setelah kedua orang she Ban itu meninggalkan tempat itu, maka banyak orang menyesalkan peristiwa ini dan memberi nasehat kepada Gui San agar supaya pedagang muda itu berlaku hati-hati, karena Seng-koan Sam-kwi terkenal jahat dan kejam. Akan tetapi Gui San yang berhati tabah itu tidak memperlihatkan sikap takut, maka diam- diam semua orang menjadi ingin tahu sampai dimana kepandaian orang ini. Tentu saja mereka ini sebagian besar memihak Gui San dan mengharapkan mudah-mudahan orang she Gui ini dapat mengalahkan dan memberi hajaran kepada Seng-koan Sam-kwi.
Berita tentang akan diadakannya pibu (adu kepandaian) itu tersiar cepat di seantero negeri, hingga terdengar juga oleh Tan Hong yang kebetulan lewat di kota itu. Pemuda ini tertarik juga dan ingin sekali menyaksikan pibu yang disertai taruhan dua ratus kantong gandum itu! Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah berada dalam arus orang yang berbondong-bondong menuju ke gedung panitia penolong korban banjir.
Di depan gedung itu telah didirikan sebuah panggung luitai yang cukup tinggi hingga terlihat oleh semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Para pengurus (panitia) yang telah terdiri dari hartawan-hartawan dan pembesar- pembesar setempat telah pula mendengar tentang pibu ini. Mereka menganggapnya lucu dan merekapun merasa marah kepada orang she Gui yang menolak untuk menyumbang, yakni menurut laporan Seng-koan Sam-kwi, maka mereka lalu datang menonton juga.
Tak lama kemudian, dari jurusan selatan, datanglah Gui San yang bertindak dengan langkah lebar dan dada terangkat. Melihat kedatangan orang muda yang tabah dan berani ini semua penonton menoleh dan memandangnya. Suara mereka terdengar seperti suara sarang lebah di obrak- abrik.
Ban Siauw lalu berdiri di atas panggung dan menyambut kedatangan Gui San dengan tertawa lebar dan berseru keras. “Gui-congsu yang gagah, silahkan naik ke panggung!”
“Baik!” jawab Gui San dengan gagah perkasa, lalu ia melompat ke atas panggung dengan gerakan Burung Walet Menyambar Hujan. Gerakan ini kelihatan indah benar dan tubuhnya seperti melayang ke atas panggung. Para penonton yang tidak mengerti ilmu silat lalu bertepuk tangan riuh rendah menyambut demonstrasi ini.
Akan tetapi, melihat cara melompat Gui San ini, diam- diam Tan Hong merasa khawatir, karena ia maklum bahwa Gui San lebih banyak memiliki ketabahan daripada kepandaian. Juga Ban Siauw yang berkepandaian tinggi dapat mengukur kepandaian lawan dari caranya melompat itu, maka ia tersenyum sinis dan berkata sambil menjura memberi hormat, “Bagaimana, Gui-congsu. Apakah kau tetap bersedia menyumbangkan dua ratus gandum apabila kau kalah?”
Wajah Gui San memerah, karena merasa betapa ia dipandang rendah oleh lawan, seolah-olah ia telah memastikan bahwa ia pasti akan kalah!
“Aku telah datang dan kata-kata yang telah kuucapkan sebagai seorang laki-laki takkan kutarik lagi.”
“Ha, ha, ha! Sungguh kita beruntung sekali mendapat warga kota yang begini gagah!” kata Ban Siauw sambil memandang ke sekitar tempat pertandingan itu, seakan- akan kata-katanya ini merupakan suatu lelucon. Kemudian ia menghadapi Gui San kembali dan sikapnya tiba-tiba menjadi angkuh, lalu ia berkata lagi, “Orang she Gui! Kaudengarlah baik-baik! Kami Seng-koan Sam-eng tidak biasa dihina orang, juga kami tidak suka berlaku curang! Oleh karena itu, maka akan janggal dan tidak adil apabila aku sendiri atau twako (kakak ketua) maju menghadapimu, maka biarlah adikku Ban Hui yang termuda dan terbodoh di antara kami bertiga, maju melayanimu. Kalau ia kalah, berarti kami sendiri yang kalah, dan kalau dia menang, kau harus menepati janji, membayar kekalahanmu dengan dua ratus kantong gandum!” “Seng-koan Sam-kwi! Sudahlah jangan banyak bicara seperti perempuan. Siapa yang hendak maju, aku tidak perduli, karena aku adalah seorang tamu yang diundang! Apa saja yang hendak dihidangkan oleh tuan rumah, akan kulayani dengan baik!”
Secara diam-diam Tan Hong merasa simpati kepada Gui San, sekalipun ia mudah marah, akan tetapi benar-benar pemberani yang jujur.
“Jiko, kau mundurlah! Tanganku sudah gatal-gatal!” kata Ban Hui tiba-tiba dengan angkuhnya dan segera naik ke atas panggung. Ban Siauw tertawa bangga, lalu mengundurkan diri.
“Nah, orang she Gui. Kemarin kita tidak mendapat kesempatan banyak. Sekarang kauperlihatkanlah kesombonganmu!” Sembari berkata demikian, Ban Hui melemparkan baju luarnya ke bawah panggung dan langsung menghadapi lawannya dengan dadanya yang bidang dan kuat dan lengannya yang besar bertolak pinggang.
“Baik, kau hati-hatilah!” kata Gui San yang lalu menyerang dengan kepalan kanannya. Ban Hui menangkis sambil mengerahkan tenaganya akan tetapi ketika lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Gui San, ia mengetahui bahwa orang she Gui itupun memiliki tenaga besar. Mereka lalu bertempur dengan serunya, akan tetapi sebagaimana telah dapat diduga oleh Tan Hong, dan juga dapat diduga oleh Ban Siauw ketika melihat gerak lompatan Gui San tadi ke atas panggung ternyata bahwa pedagang muda itu masih kalah dalam hal kegesitan dan kepandaian ginkang. Sedangkan Ban Hui sebagai saudara termuda dari Seng-koan Sam-kwi yang terkenal, tentu saja memiliki kepandaian cukup tinggi hingga dalam saat yang pendek sekali ia dapat mendesak lawannya dengan pukulan bertubi- tubi dengan gerakannya yang cepat. Gui San kini hanya dapat bersilat sambil mundur dan menangkis atau mengelak, hingga tidak sempat membalas!
Melihat kelemahan lawannya, sambil menyerang dan mendesak, Ban Hui mengeluarkan lagaknya yang memuakkan. Ia tertawa terbahak-bahak sambil mengejek lawannya. “Hai, orang she Gui! Mana kepandaianmu yang amat kau sombongkan itu? Sudahlah, kau menyerah saja dan cepat serahkan dua ratus karung gandum itu daripada kepalamu nanti kena kupukul sampai picak!”
Gui San menjadi marah sekali hingga gerakannya makin kalut. Ia terus terdesak mundur sehingga akhirnya ketika ia mengelak dari sebuah pukulan ke arah dadanya, kakinya menginjak tempat kosong di pinggir panggung! Pukulan Ban Hui masih tetap mengenai pundaknya dan akhirnya tubuhnya terbanting ke bawah panggung!
Para pengurus pertandingan itu bersorak-sorak dan tertawa geli melihat hal ini yang mereka anggap lucu juga, sebaliknya para penonton yang terdiri dari penduduk kota Sengkoan merasa kecewa sekali. Kendatipun demikian mereka tentu tidak berani memperlihatkan sikap menentang kepada Seng-koan Sam-kwi, maka merekapun lalu bertepuk tangan memuji.
Dengan lagak sombong Ban Hui lalu menjura memberi hormat kepada orang sekelilingnya dengan lagak sebagai seorang jagoan besar yang baru saja menang berkelahi. Kemudian ia mendapat sebuah pikiran yang terbit dari adat sombongnya.
“Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang terhormat! Dengan jatuhnya orang she Gui itu, bukan berarti satu keuntungan bagiku, akan tetapi panitialah yang untung karena mendapat tambahan sumbangan sebanyak dua ratus karung gandum! Kami bertiga Seng-koan Sameng selalu berusaha untuk mengumpulkan barang sumbangan sebanyak mungkin, demi kepentingan para korban banjir yang menderita sengsara! Maka, pertunjukkan kali ini anggaplah sebagai hiburan dan apabila di antara saudara-saudara sekalian ada yang berminat hendak naik di atas panggung ini, kami silahkan! Akan tetapi syaratnya harus bertaruh, demi kepentingan panitia yang berusaha membantu para korban berdasarkan perikemanisiaan yang luhur!”
Mendengar kata-kata ini, panitia pertandingan bertepuk tangan menyatakan kegembiraannya. Penonton saling pandang dan saling berbisik. Tapi siapakah orangnya yang berani naik ke panggung untuk main-main dengan Tiga Setan dari Seng-koan itu?
Karena Ban Siauw mendapat firasat yang kurang baik, maka ia lalu naik ke panggung menggantikan adiknya. “Saudara-saudara sekalian, mungkin kata-kata adikku tadi kurang tepat dan juga kurang adil. Karena siapakah yang berani melawan dia yang tinggi besar itu? Bahkan Gui- congsu sendiripun tidak bisa melawannya! Aku mempunyai usul lain yang lebih bagus dan menarik. Lihat tubuhku yang kecil pendek ini. Nah, sekarang siapa saja yang berani naik ke panggung ini, diperbolehkan memukul aku dengan tangan kosong. Sekali pukul harus membayar sepuluh karung gandum! Ayoh, siapa mau ikut serta?”
Di antara penonton banyak yang mendongkol melihat kesombongan ini, akan tetapi biarpun ada yang ingin memukul juga, siapa orangnya yang berani mencoba-coba? Kalau yang dipukul tidak apa-apa, pemukulnya akan mendapat malu dan mengeluarkan sepuluh karung gandum tiap pukulan. Sedangkan andaikata pemukulnya dapat melukai dan membinasakan Ban Siauw, apakah hal ini tidak akan menimbulkan permusuhan hebat? Dan siapakah gerangan yang berani bermusuhan dengan mereka?
Semua orang dapat menduga bahwa tak seorangpun yang akan berani menantangnya. Tetapi tanpa dinyana tiba- tiba seorang dari penonton yang berdiri didepan, terdengar berteriak, “Aku hendak mencoba!”
Semua orang memandang dan mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba hitam menaiki panggung. Ia tidak melompat sebagaimana biasanya seorang ahli silat menaiki panggung, akan tetapi mengambil jalan memutar dan menaiki panggung melalui anak tangga yang dipasang untuk para hartawan. Dengan demikian, pemuda itu menuju ke panggung sambil melewati tempat duduk para hartawan dan pembesar. Sikapnya sopan sekali, tampak ketika ia lewat di dekat para hartawan itu, ia menundukkan kepala memberi hormat ke kanan dan ke kiri dengan tubuh setengah membungkuk.
Pemuda itu adalah Tan Hong dan munculnya secara mendadak itu menimbulkan bermacam-macam tafsiran. Tak seorangpun yang berada di situ yang pernah melihat pemuda ini. Wajah Tan Hong yang kurus dan pakaiannya yang usang penuh tambalan itu tidak mendatangkan kesan yang mengagumkan, maka semua penonton hanya tertawa geli dan menganggap bahwa pemuda itu tentullah seorang pemuda terlantar yang telah berubah ingatannya karena menderita kelaparan!
Juga Ban Siauw merasa kurang senang melihat bahwa yang naik itu adalah seorang yang lebih tepat disebut jembel. “He, anak muda! Kau naik ke sini mau mengapa?” tanyanya dengan sombong sambil menahan amarahnya.
“Apalagi kalau bukan hendak memenuhi usulmu tadi!” Ban Siauw tertawa keras dan mengejek, “Jembel muda! Kau sendiri agaknya telah tiga hari tiga malam belum makan. Apakah orang seperti kau ini pula kelak dapat memberikan sumbangan sepuluh karung gandum sebagai taruhan, andaikata kau kalah?”
Semua orang tertawa mendengar kata-kata ini, lebih- lebih lagi di antara para hartawan yang bertubuh gemuk tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang gendut menahan tertawanya. Akan tetapi serta merta wajahnya menjadi pucat dan tertawanya lenyap berganti dengan kebingungan ketika ia merasa bahwa kantong uang emas yang tadi digantung di bawah bajunya telah lenyap! Ia meraba-raba di sekeliling tubuhnya, akan tetapi benar-benar kantong uangnya telah tak ada! Tak seorangpun melihat kebingungannya ini dan iapun tidak berani membuat ribut, karena merasa malu dan ragu-ragu karena kalau-kalau kantong uangnya itu ketinggalan di rumah. Maka ia lalu menonton lagi, akan tetapi kini tak sanggup tertawa seperti tadi, karena kegembiraannya telah ikut lenyap bersama dengan lenyapnya kantong berharga itu!
Sekalipun ia telah dihina dengan perkataan yang tak wajar oleh Ban Siauw di muka penonton banyak itu, namun Tan Hong tetap tersenyum dan dengan tenang ia mengeluarkan kantongnya yang berwarna kuning dari balik bajunya. Kantongnya itu kini telah berisi barangbarang yang berat dan ketika ia membuka tutupnya dan menumpahkan isinya ke atas panggung, Ban Siauw melongo. Ternyata isi kantong itu adalah uang emas dan perak yang banyak sekali jumlahnya!
“Kawan pendek! Aku tidak punya beras, akan tetapi agaknya uangku ini sudah cukup untuk membeli gandum sebanyak ribuan karung!” “Boleh, boleh, dibayar uang juga boleh!” kata Ban Siauw. Sementara itu, tidak hartawan gemuk itu saja yang kelihatan bingung, akan tetapi empat orang hartawan lainnya lebih bingung lagi, karena kehilangan uang bekalnya yang banyak jumlahnya itu yang telah dicuri orang dari kantong baju mereka! Kini melihat betapa pemuda jembel itu membawa uang demikian banyaknya, mereka sangat curiga, akan tetapi apakah buktinya untuk memperkuat kecurigaan mereka?
Tan Hong tersenyum. “Sabar, kawan! Segala taruhan harus jangan berat sebelah! Dengarlah, kalau kau dan dua orang saudaramu yang terkenal dengan sebutan Tiga Setan dari Seng-koan itu dapat merobohkanku di atas panggung ini, seperti yang telah dilakukan oleh adikmu terhadap orang gagah she Gui tadi, kau boleh ambil semua uangku ini!”
“Akan tetapi, bagaimana kalau kalian setan bertiga ini dapat kurobohkan? Apakah taruhanmu?”
Suara para penonton terdengar riuh rendah bagaikan lebah dibubarkan, mendengar tantangan pemuda aneh ini.
Ban Siauw tercengang, karena tak menyangka akan mendapat pertanyaan macam ini. Tapi ia sudah yakin pasti akan menang menghadapi pemuda jembel yang kurus ini, maka ia lalu tertawa terkekeh-kekeh. “Ha, ha, ha, memang kau ini orang aneh. Siapa menyangka kau mempunyai harta sebanyak ini? Tentu kau seorang begal! Akan tetap, tidak apalah! Uang ini dapat kami gunakan nanti untuk menolong korban banjir! Sekarang kau sebutkan sendiri, anak muda! Jika kau dapat mengalahkan kami, apakah yang kau hendaki?”
“Berapa banyak gandum yang dimiliki oleh panitia ini?” tanya Tan Hong. Ban Siauw memikir-mikir sebentar, lalu berkata, “Ada dua ribu karung lebih.”
“Nah, demikian saja, kawan pendek. Kalau kau dengan kedua orang saudaramu dapat kurobohkan, kalian harus memberikan gandum itu semuanya kepadaku.”
“Apa?” Ban Siauw terkejut dan heran. “Untuk apa dua ribu karung gandum itu bagimu?”
“Tak perlu kauketahui! Pokoknya begini, uang ini jumlahnya menurut perkiraanku cukup untuk membeli semua gandum itu, maka sudah adil apabila aku minta kau pertaruhkan semua gandum itu. Dan apabila aku menang, tidak saja gandum itu harus diberikan kepadaku, akan tetapi kau harus menyediakan kereta dan tenaga untuk mengangkut gandumgandum itu ke dusun-dusun yang menderita akibat banjir itu dan di bawah pengawasanku membagi-bagikan semua bahan makanan itu kepada penduduk dengan adil!”
Mendengar ini tidak saja Ban Siauw dengan kedua orang saudaranya yang masih berada di atas panggung itu saja yang memandang dengan mata terbelalak, tetapi semua penonton demikian pula.
“Orang ajaib! Apakah kau tidak main-main? Apakah kau gila? Memang semua gandum itu akan disumbangkan kepada para korban banjir!” kata Ban Kok, saudara tertua dari Seng-koan Sam-eng.
Tan Hong mengeluarkan ejekan dari hidungnya. “Hah! Apakah kaukira aku tidak tahu kwalitet orang-orang yang kau sebut panitia penolong ini? Sudahlah, tak perlu aku membongkar rahasia busuk yang kalian jalankan, pendeknya, kau sanggup atau tidak menerima tantangan dan syarat-syaratku?” “Bolehlah! Sebagai manusia sombong kau memang harus diberi pelajaran!” kata Ban Hui dari tadi menahan rasa gemasnya. Kemudian ia berkata kepada kedua saudaranya. “Biarlah aku menghajar jembel muda yang kurang ajar ini. Twako, simpanlah dulu uangnya itu agar nanti ia tidak lari pergi!”
Akan tetapi Tang Hong cepat mengambil semua uangnya dan dimasukkannya ke dalam kantongnya kembali dan berkata, “Sabar dulu kawan. Aku belum kalah! Dan uang ini belum menjadi hakmu!” Ia lalu membawa kantong kuning itu ke pinggir panggung dan menggantungkan kantongnya pada sebuah tiang. Kemudian ia berkata kepada semua penonton, “Saudara-saudara sekalian menjadi saksi. Kalau aku kalah, aku takkan banyak bicara lagi. Uang ini akan kuberikan kepada pengurus-pengurus curang ini. Akan tetapi, kalau aku menang, uang inipun akan kubagi-bagikan kepada para korban banjir!”
Para penonton bersorak-sorai dengan riuhnya. Mereka memuji dan kagum kepada pemuda yang aneh ini.
Tiba-tiba Gui San lalu menghampiri panggung, lalu berkata dengan kerasnya, “Bagus, kalau kau menang, akupun akan menyumbangkan lima ratus karung gandum yang terbaik!”
“Akupun menyumbang dua ratus karung!” kata salah seorang penonton yakni seorang hartawan yang telah tahu akan kecurangan panitia tersebut, tetapi tidak berani berkata apa-apa karena takut menghadapi Seng-koan Sam-eng yang selalu mendapat perlindungan para pembesar dari segala macam kecurangan yang pernah mereka perbuat.
“Akupun dua ratus karung!” “Dan aku seratus!” Masih banyak terdengar suara orang berkumandang meyambut yang diikuti suara riuh dari penonton lainnya yang tak ikut menyumban, tapi ikut merasa gembira.
“Ha, ha, ha! Jangan ribut dulu. Apakah kaukira jembel kurus ini akan dapat mengalahkan Seng-koan Sam-eng?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan para pembesar dan hartawan itu berkata keras.
Kata-katanya ini terdengar oleh semua penonton dan mereka menjadi terdiam, karena mereka baru ingat bahwa pemuda itu akan berhadapan dengan tiga jago terkuat dari Sengkoan! Kini mereka merasa khawatir dan memandang ke arah Tan Hong dengan ragu-ragu.
Tan Hong berlaku tenang, lalu ia menghampiri Ban Hui yang berdiri bertolak pinggang dengan gagahnya. Kedua kakaknya sudah turun dari panggung untuk memberi kesempatan kepadanya untuk menghadapi pemuda jembel itu.
“Kaukah yang hendak melawanku?” tanya Tan Hong. “Ya, bersiaplah untuk menerima pukulanlu yang akan
membuat kau berguling-guling ke bawah panggung!” kata
Ban Hui sambil memasang kuda-kuda.
“Majulah, dan lebih baik kauajak kedua kakakmu maju bersama, karena kalau kau maju sendiri, dalam lima jurus kau pasti akan terlempar ke luar panggung!”
Semua penonton menjadi heran dan menganggap pemuda itu berlaku berani dan sombong. Mendengar ini Ban Hui menjadi marah tiada terhingga.
“Bangsat sombong! Untuk kesombonganmu ini, aku takkan membuat kau menggelinding ke bawah panggung, tetapi aku akan membuat kauroboh untuk selamanya!” serunya dan ia lalu menyerang dengan hebat. Tan Hong cepat mengelak dengan gerakan lemas sambil menghitung, “Jurus ke satu!” Penonton mulai bersorak dan Ban Hui segera mengirim serangan kedua.
“Jurus ke dua!” kata Tan Hong sambil melompat ke pinggir, hingga kembali serangan Ban Hui mengenai tempat kosong.
Melihat gerakan Tan Hong yang sangat cepat itu, hingga tak terlihat olehnya, Ban Hui mulai terkejut dan ia tak berani memandang ringan lagi. Ia lalu menyerang lagi dan kini sekali
serang kedua tangannya bergerak maju, karena ia telah menggunakan gerak tipu Siluman Membawa Mustika Biru. Akan tetapi, Tan Hong menganggap serangan ini sebagai permainan anak-anak saja. Dengan kedua tangannya ia menangkis serangan kedua kepalan lawannya itu sambil menghitung “jurus ke tiga!”
Ban Hui terkejut bukan main karena ketika tangannya beradu dengan tangan pemuda itu, ia merasa terdorong sangat kerasnya hingga hampir saja jatuh ke bawah panggung. Untung di dalam terhuyung-huyung ia dapat menangkap tiang, menyebabkan ia tidak sampai jatuh ke bawah!
“Eh, hati-hati! Baru tiga jurus! Jangan tergesa-gesa turun ke bawah!” kata Tan Hong. Dengan perasaan kagum, semua penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorak.
Tak terkatakan marahnya Ban Hui mendengar ejekan ini. Mukanya menjadi merah, matanya menyinarkan pandangan mengandung ancaman maut dan giginya digertakkannya sedangkan hidungnya kembang-kempis. Ia lalu berseru keras dan menubruk maju dalam serangan maut. Dengan sepenuh tenaga ia menggunakan tangan kanannya memukul kepala Tan Hong dari atas dan tangan kirinya menyodok ke arah lambung pemuda itu! Baik serangan tangan kanan, maupun sodokan tangan kiri ini kalau mengenai sasaran, pasti akan mendatangkan maut! Sambil menghitung “jurus ke empat!” Tan Hong memiringkan kepala mengelak dari pukulan tangan kanan lawan, sedangkan sodokan tangan kiri Ban Hui tidak ditangkis atau dielakkannya, tapi secepat kilat ditangkapnya tangan itu lalu ditariknya ke belakang! Tanpa ampun lagi, tubuh Ban Hui terdorong ke belakang dan roboh telungkup mencium lantai panggung!
“Nah, nah ... dalam jurus ini kau mencium lantai panggung, tapi dalam jurus ke lima kau akan mencium tanah di bawah panggung!” Tan Hong mengejek lagi sedangkan para penonton karena girangnya tertawa geli dan bertepuk tangan dengan riuhnya!
Pada saat itu, Ban Kok dan Ban Siauw yang melihat betapa adik mereka dipermainkan lawannya, lalu melompat ke atas panggung dengan sikap mengancam.
“Aah, dua iblis tua ini sungguh cerdik! Rupanya kau tahu bahwa adikmu akan benar-benar terlempar ke luar panggung!” kata Tan Hong sambil bergurau, tapi ia tetap waspada.
“Bangsat hina dina! Bersedialah untuk mampus!” teriak Ban Siauw dengan geramnya dan ia segera maju menyerang bersama dengan kakaknya. Sedangkan Ban Hui juga melompat bangun dan ikut menyerang.
“Ah, ha, bagus! Tiga iblis sekarang kemasukan setan dan mengamuk. Bagus!” Tan Hong mempergunakan kegesitannya yang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan dapat menyusup di antara sekian banyak kepalan dan tendangan yang dilancarkan dengan hebat dan bertubi-tubi ke arahnya. Semua penonton kini tidak berani bersorak lagi karena mereka merasa sangat khawatir sekali melihat keadaan Tan Hong. Siapa orangnya yang dapat bertahan menghadapi keroyokan ketiga iblis itu? Mereka menonton pertempuran itu sambil menahan napas.
Tan Hong yang sedari tadi merasa sangat benci dan gemas kepada Seng-koan Samkwi ini lalu memperlihatkan kepandaiannya. Ketika tubuhnya melayang berputar-putar melakukan serangan pembalasan dengan gerak tipu terhebat dari ilmu silat Ngo-heng Lianhwat, maka terdengar pekik kesakitan. Ternyata Ban Hui serta Ban Siauw kena terdorong roboh! Masih untung bagi kedua orang itu, karena Tan Hong tak bermaksud mencelakakan mereka, maka serangan yang seharusnya dilakukan dengan kepalan kedua tangannya itu dirobah menjadi dorongan dengan tangan terbuka, hingga kedua orang itu walaupun berguling-guling di atas panggung, namun tidak menderita luka-luka, hanya kepala mereka saja bengkak-bengkak karena beradu dengan papan yang keras!
Kini riuh rendahlah sambutan penonton! Ketiga saudara Ban itu bertambah marah dan bersamaan dengan itu mereka mencabut pedang mereka.
“Bangsat rendah! Kalau hari ini kami tidak dapat membunuh kau, jangan panggil kami Seng-koan Sam-eng lagi!” teriak Ban Kok.
“Baik! Mulai hari ini kalian akan kusebut Seng-koan Sam-ti (Tiga Babi dari Sengkoan).” Tentu saja hinaan ini menimbulkan suara tertawaan dari penonton. Mendengar hinaan ini ketiga saudara Ban itu makin bertambah marah. Pedang mereka bergerak seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tan Hong. Dalam kemarahannya itu, ketiga orang ini lupa akan kesopanan berpibu. Seharusnya mereka tidak boleh menyerang lawan yang belum mengeluarkan senjata, akan tetapi oleh karena mereka sedang marah dan juga oleh karena mereka maklum bahwa Tan Hong adalah seorang lawan yang tangguh, maka mereka sengaja mendahuluinya tanpa mengenal malu!
Melihat kenekatan mereka ini, timbul marah dalam hati Tan Hong. “Baik, kalian mencari celaka sendiri!”
Tiba-tiba terlihat sinar berkilauan ketika pemuda itu tahu-tahu telah memegang sebatang pedang berwarna putih seluruhnya dan sekali putar saja pedangnya, maka ketiga senjata musuhnya dapat ditangkis semua.
“Kau ... kau Gin-kiam Gi-to?” ujar Ban Kok setelah ia melihat pedang ini.
“Matamu awas juga, orang she Ban!” jawab Tan Hong sambil memutar pedangnya balas menyerang. Mendengar nama ini ketiga Seng-koan Sam-eng tiba-tiba menjadi sangat gentar, maka permainan pedang mereka menjadi kacau- balau. Apalagi ketika Tan Hong mengubah gerakan pedangnya yang semula hanya mempertahankan diri saja, kini menjadi ganas menyerang dengan tipu-tipu berbahaya, ketiga pengeroyok itu menjadi terdesak dan terkurung oleh sinar pedang Tan Hong.
Pada saat yang tepat, Tan Hong berseru keras, “Lepaskan pedangmu!” Dan terdengar jerit kesakitan dari ketiga orang pengeroyok ini, disusul dengan terlepasnya pedang mereka dari tangan masing-masing. Lengan kanan mereka telah terluka oleh guratan pedang yang memanjang dari siku sampai ke tangan. Luka ini biarpun tidak berbahaya, namun karena telah mengiris kulit, darah keluar banyak juga.
“Seng-koan Sam-eng, biarlah ini menjadi pelajaran bagi kalian bertiga! Lain kali kalau kau bertiga masih menggunakan kepandaian untuk melakukan pemerasan dan korupsi berkedok sebagai panitia, akan kutujukan pedangku ini ke arah lehermu!” Setelah memberi peringatan ini kepada ketiga jagoan yang kini telah mati kutunya itu, Tan Hong lalu menghadapi para hartawan yang duduk dengan mata terbelalak heran dan tercengang itu, ia lalu menujukan kata-katanya kepada semua penonton, “Cu-wi sekalian! Daerahmu ini sedang terserang bahaya banjir hingga timbul bahaya kelaparan di kalangan penduduk miskin. Sudah sepatutnyalah apabila saudarasaudara sekalian mengulurkan tangan membantu meringankan beban penderitaan mereka. Saudara sekalian harus sadar dan ingat sekalian gandum dan beras yang tiap hari memasuki perut kita dan membuat tetap tinggal hidup, adalah hasil jerih payah dan tetesan peluh para kaum tani yang justeru pada waktu ini menjadi korban banjir! Bayangkan saja, kita di sini makan enak sekenyang-kenyangnya dan gandum serta beras kita bertumpuk-tumpuk di gudang sampai membusuk, sedangkan mereka yang dulu menanam dan menghasilkan semua gandum dan beras itu, kini menderita kelaparan! Apakah ini adil? Memang kalian berhak atas segala bahan makanan itu yang telah kalian beli, akan tetapi ingatlah lagi, andaikata kaum tani itu semua mati kelaparan karena tak makan, hingga tak ada seorang jua yang akan mengerjakan sawah ladang, apakah yang harus kita lakukan kelak? Apakah saudara sekalian terutama para hartawan, bisa mengerjakan sawah ladang itu? Maka, pergunakanlah kesempatan ini untuk membalas jasa para petani. Ayoh, siapa yang hendak menyumbang lagi?”
Orang-orang menyambut ucapan ini dengan riuh gembira dan banyak lagi lainnya yang menyumbang dengan suka rela. Maka Tan Hong lalu mengumpulkan semua sumbangan itu, dan setelah semua dikumpulkan, maka jumlah gandum yang sudah terkumpul menjadi tiga ribu karung lebih! Semua bahan makanan dan uang yang ada lalu diangkut dengan gerobak yang ada di kota itu dan yang sengaja dikerahkan untuk pengangkutan istimewa ini.
Maka berangkatlah gerobak-gerobak itu menuju ke daerah banjir, diikuti oleh Tan Hong dan orang-orang yang menaruh minat, yang kebanyakan terdiri dari mereka yang telah menyumbang. Juga Seng-koan Sam-eng dengan lengan terbalut ikut pula mengantar.
Para korban banjir yang tinggal berkelompok-kelompok dalam gubuk-gubuk kecil di pinggir sawah, menerima kedatangan para penolong ini dengan sangat girangnya. Gandum lalu dibagi rata dan semua penderita banjir menerima sumbangan gandum dan uang. Orangorang menjadi terharu ketika melihat betapa wajah para korban banjir itu menerima sumbangan ini dengan air mata berlinang, karena bahan makanan yang mereka terima hari ini benar-benar merupakan penyambung nyawa keluarga mereka, dan mereka menjadi sangat heran, karena sumbangan yang diberikan pada mereka yang menderita dengan suka rela, tanpa minta syarat seperti yang biasa berlaku dari si kaya pada mereka! Akhirnya para korban banjir mengetahui ketika mendengar bahwa semua ini adalah berkat sepak terjang Gin-kiam Gi-to. Kemudian bersama-sama mereka lalu maju berlutut di depan Tan Hong!
Akan tetapi Tan Hong tidak mau menerima kehormatan ini, bahkan ia lalu berkata, “Saudara-saudara sekalian! Jangan berterima kasih kepadaku, karena aku tidak memberi apa-apa kepada kalian. Berterima kasihlah kepada para dermawan dari Seng-koan, dan juga kepada Seng-koan Sam-eng, karena semenjak hari ini ketiga orang ini akan benar-benar menolong saudara sekalian dengan jujur dan adil!” Mendengar ucapan pemuda yang tahu membawa diri ini, semua orang dari Seng-koan menjadi terharu, bahkan Seng- koan Sam-eng sendiri merasa seakan-akan muka mereka mendapat tamparan hebat dan mereka lalu insyaf akan kekeliruan mereka yang sudah-sudah. Mereka telah menyombongkan diri sebagai jagoan-jagoan yang tak terkalahkan, sama sekali tidak ingat bahwa di dunia ini tidak ada orang yang terpandai dan segala kepandaian pasti ada yang melebihi. Maka diam-diam mereka berjanji dalam hati hendak merobah tabiat mereka.
Pembagian gandum dan uang itu berlangsung sehari penuh, karena daerah yang dilanda banjir itu banyak jumlahnya. Setelah semua tempat dikelilingi dan gandum serta uang telah habis dibagikan sama sekali, Tan Hong lalu berkata kepada semua orang, “Saudara sekalian. Sekarang, setelah kalian melihat sendiri cara pembagian yang adil, jujur dan tanpa syarat, saya percaya bahwa lain kali Panitia Penolong Korban Banjir akan dapat bekerja lebih aktif dan jujur. Apabila terdapat kecurangan-kecurangan, aku akan kembali dan akan memberi pelajaran kepada mereka yang bersalah itu! Akan tetapi aku percaya penuh kepada Seng- koan Sam-eng yang tentu akan menjaga jangan sampai terjadi kembali hal demikian, bukan?”
“Kami akan menjaga, taihiap!” kata Ban Kok dengan terharu.
Setelah itu, Tan Hong lalu meninggalkan Seng-koan, diikuti oleh pandangan mata kagum dari seluruh penduduk.
***
Ketika Tan Hong yang melanjutkan perjalanannya memasuki sebuah rimba belantara, ia berjalan perlahan sambil termenung. Bayangan nona Lo Siok Lan yang selama ini tak pernah meninggalkan bayangan matanya, kini sangat mempengaruhi otaknya, setelah ia merasa kesunyian seorang diri di dalam hutan yang luas itu. Bahkan kini perasaannya seolah-olah ia melihat wajah Siok Lan yang sebenarnya muncul di mana-mana, di tempat- tempat mana yang dilaluinya. Tiba-tiba saja wajah yang jelita dan gagah itu terbayang di sela-sela daun-daun hijau dan di antara kembang-kembang merah.
“Ah, aku sudah menjadi gila!” Tan Hong mengoceh pada dirinya di bawah sebatang pohon untuk beristirahat. Akan tetapi, makin celaka, setelah ia berhenti dan duduk, bayangan Siok Lan makin jelas kelihatan dan makin bertambah hebat menggoda pikirannya! Ia lalu melompat bangun dari duduknya dan melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba kedua matanya terbelalak, hatinya berdebar kegirangan dan penuh harapan ketika ia menujukan pandangan matanya ke arah gerombolan pohon. Di situ muncul tubuh seorang wanita dengan pedang di tangan. Sesaat lamanya, wajah wanita itu dalam pandangan Tan Hong kelihatan seperti wajah Siok Lan itu berubah menjadi wajah seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih yang sedang berduka, pada wajahnya yang muram itu dapat diterka bahwa ia dalam kesusahan.
Akan tetapi, ketika wanita itu melihat Tan Hong, wajahnya berubah menjadi bengis dan sekali melompat saja ia telah berada di depan Tan Hong terus membentak, “Sobat, berhenti dulu!”
Tan Hong jadi terperanjat dan melihat gerakan wanita ini, menunjukkan bahwa ia memiliki kepandaian yang cukup baik. Ia memandang wanita itu dengan rasa kagum dan lalu bertanya, “Apakah perlunya Toanio menahan perjalananku?” Wanita itu memandang ke arah pakaian Tan Hong dan ketika melihat bahwa Tan Hong tidak berbekal bungkusan pakaian atau barang lain, jelas nampak perubahan pada mukanya yang menjadikan ia kecewa. Kemudian setelah ia melihat gagang pedang dari perak yang tersembul keluar di belakang punggung Tan Hong, maka ia lalu berkata, “Anak muda, kalau kau ingin melanjutkan perjalananmu denga selamat, serahkanlah pedangmu itu kepadaku!”
“Eh, mengapa begitu? Pedang ini adalah senjata untuk melindungi diriku apabila aku diserang oleh binatang buas di dalam hutan. Kalau pedang ini kau minta, dengan apakah aku dapat melindungi diri lagi?”
Mendengar jawaban ini, wanita itu memandang Tan Hong dengan tajam. “Kalau kau perlu memakai senjata juga, pakailah pedangku ini, dan sebagai gantinya pedangmu itu harus kauberikan kepadaku, mengerti!”
Tan Hong memandang pedang wanita itu, ternyata pedang itu adalah pedang yang telah berkarat dan buruk sekali, agaknya seringkali digunakan untuk membelah kayu! Tanpa disadarinya Tan Hong tertawa geli.
“Eh, eh, Toanio kau ini sedang main-main atau benar- benar hendak merampok?”
“Jangan banyak bicara!” hardiknya. “Kauserahkan pedang itu atau tidak!” Sambil berkata demikian, wanita itu mengancam dengan ujung pedangnya yang telah tumpul itu!
“Bagaimanakah kiranya, jika aku tak mau memberikannya?”
“Akan kupaksa!” kata wanita, lalu maju menyerang dengan pedang tumpulnya. Akan tetapi serangan ini membuat Tan Hong hampir berseru terkejut karena pedang yang telah tumpul ini dengan tepat sekali menyerang ke arah jalan darahnya! Ah, tak disangkanya bahwa wanita ini adalah ahli tiam-hwat (ilmu menotok jalan darah) maka, ia segera mengelak dengan cepat. Serangan kedua dan ketiga menyusul cepat dan semua serangan tertuju ke arah jalan darah yang berbahaya.
“Hebat benar!” Tan Hong memuji dan iapun segera mencabut pedangnya untuk mempertahankan diri karena ternyata wanita ini betul-betul tangguh. Segera mereka bertempur dengan seru. Tan Hong bersilat dengan hati-hati dan penuh cermat. Ia kagum juga melihat ilmu pedang wanita ini benar-benar hebat, lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Seng-koan Sam-eng! Maka ia melawan dengan hati-hati dan waspada. Ia masih belum dapat menduga mengapa wanita ini ingin sekali memiliki pedangnya. Sebaliknya, ketika ia melihat bahwa pemuda ini bukan makanan empuk, wanita ini kelihatannya sangat kesal dan menyerang kembali dengan nekad. Seakan-akan ia seorang yang telah terlanjur berbuat suatu kesalahan yang tak mungkin dapat dimaafkan lagi!
Melihat kenekatan wanita ini, Tan Hong lalu memperlihatkan kepandaiannya, berkelahi dengan menggunakan ilmu pedang Ngo-heng Lian-hoan Kiam- hwat yang memiliki gerakan luar biasa. Sebentar saja wanita ini sudah sangat terdesak oleh serangan Tan Hong yang bertubi-tubi itu, hingga akhirnya pedang tumpulnya itu terlempar jauh lepas dari genggamannya. Baiknya tubuh wanita ini tidak cedera atau luka oleh pedang Tan Hong.
Anehnya, setelah menderita kekalahan, wanita itu tiba- tiba menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Tan Hong mengerutkan alisnya dan menyimpan pedangnya. “Toanio, kau sangat aneh. Kepandaian dan kiam-hoat (ilmu pedang) mu cukup tinggi, akan tetapi mengapa kau ingin merampas pedangku? Apakah kau suka kepada pedangku ini?”
Mendengar suara Tan Hong yang sopan dan lemah lembut, wanita ini mengangkat mukanya lalu memandang, “Eng-hiong, aku ... aku tadi memang sengaja hendak merampas pedangmu. “
“Mengapa demikian?”
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Bukan karena aku suka pedang orang lain, tetapi aku tertarik karena yang kau miliki pedang yang berharga yang mana gagangnya terbuat daripada perak!”
Tan Hong tercengang dan ia memandang penuh perhatian. Ternyata pakaian wanita itu compang-camping dan penuh tambalan, menandakan bahwa ia seorang miskin, sedangkan wajahnya yang kurus pucat menandakan pula bahwa wanita ini tentu terkena penyakit kelaparan! Tiba-tiba, Tan Hong merasa terharu.
“Toanio ... kau hanya ingin mendapat sedikit perak ini? Sampai demikian besar minat kau untuk memiliki perak?” pertanyaan ini dikeluarkan dengan perlahan dan ragu-ragu.
Wajah wanita itu memerah karena malu. “Bukan untukku sendiri taihiap, sungguh mati, bukan untukku sendiri, tapi untuk anak-anakku!”
Tan Hong makin tertarik dan kasihan. Melihat pandangan pemuda itu, wanita tadi lalu menuturkan keadaannya dengan suara pilu, “Aku adalah seorang janda she Yo dan ditinggal mati suamiku dengan tiga orang anak masih kecil-kecil. Rumah dan sawah kami habis dilanda air bah. Tidak ada orang yang suka menolong kami, karena mereka yang merasa kasihan kepada kami itu adalah para pengungsi yang senasib dengan kami, sedangkan untuk mengisi perut mereka sendiripun mereka tak mampu. Sebaliknya para kaum mampu, hanya mau menolong kami dengan syarat-syarat kejinya!”
Tan Hong mengangguk-angguk mengerti.
“Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang janda seperti aku? Justeru karena anakanakku menderita kelaparan dan aku tidak bisa mencarikan makannya dengan cara yang wajar, maka terpaksalah aku mencoba merampok. Akan tetapi dasar nasibku malang dan nasib anak-anakku yang harus mati kelaparan, karena pertama-tama aku mencoba merampok, aku langsung berhadapan dengan kau, dengan orang yang jauh lebih tinggi ilmu silatnya dariku dan yang memiliki pedang perak ajaib, dengan gampang mengalahkanku! Taihiap, bunuh sajalah aku agar tamat riwayatku yang penuh derita ini. Aku tidak sanggup pulang ke rumah dengan tangan kosong dan melihat anak-anakku mati kelaparan!” Nyonya janda Yo itu lalu menangis terisak-isak.
Tan Hong menghela napas dalam-dalam. Lagi-lagi seorang korban bencana banjir! Tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Nyonya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, apa sukarnya mencarikan pekerjaan untuknya?
“Toanio, jangan kau bersedih. Selama nyawa masih dikandung badan, tak boleh sekali-kali kita berputus asa. Aku mempunyai kenalan baik di kota Seng-koan, marilah kau dan anak-anakmu kuantarkan ke sana agar kau dapat tertolong.”
-oo0dw0oo-