Maling Budiman Berpedang Perak Jilid 1

Jilid 01

“Tangkap, tangkap! Maling, maling!!!” Di malam yang gelap gulita itu terpecahlah kesunyian oleh suara teriakan- teriakan di atas dan di bawah rumah gedung Thio Wan-gwe (hartawan Thio). Sesosok bayangan hitam melayang ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa gesitnya. Bayangan ini bertubuh sedang dan agak tinggi kurus, pakaiannya serba hitam dan pada mukanya terdapat kedok terbuat daripada saputangan sutera hitam yang menutup bagian muka dari bawah mata ke bawah. Matanya yang tidak tertutup mengeluarkan sinar tajam, melirik ke sana ke mari. Di punggungnya nampak gagang sebuah pedang. Dan pada saat itu ia menggendong dua buah kantong kain yang besar dan berat.

“Tangkap! Tangkap maling!!” Terdengar lagi teriakan dan beberapa orang penjaga gedung Thio Wan-gwe yang memiliki kepandaian silat tinggi mengejar ke atas genteng dengan pedang atau golok di tangan.

Akan tetapi, baru saja mereka menginjak genteng, maling itu telah mendahului menyerang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk memegang dua kantong besar yang digendongnya di pundak. Gerakannya cepat dan tak terduga hingga seorang penjaga kena hantam dadanya hingga roboh di atas genteng, menyebabkan beberapa buah genteng pecah dan menerbitkan suara hiruk-pikuk. Kawan-kawannya yang berjumlah lima orang segera mengepung, akan tetapi sebelum mereka dapat menggunakan senjata untuk menyerang, maling yang berkepandaian tinggi itu telah melompat ke atas wuwungan.

Dua orang penjaga cepat mengeluarkan senjata piauw, lalu menggerakkan tangan mereka. Empat batang piauw menyambar ke arah punggung maling yang melarikan diri itu. Akan tetapi sungguh mengagumkan, tanpa menoleh lagi, bagaikan di punggungnya terdapat mata yang melihat datangnya senjata-senjata rahasia itu, si maling mengelak ke samping dan ketika sebatang piauw menyambar dekat, ia gerakkan tangan kanannya menangkap piauw itu tanpa melihat! Betapa tinggi ilmu silatnya, serta ketajaman pendengarannya!

Sebatang piauw menyambar lagi dan kini maling itu memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar hebat. Ia ayunkan piauw dari tangannya, yakni piauw yang ditangkapnya tadi ke arah piauw yang melayang ke arah dirinya hingga kedua batang senjata rahasia itu saling berbenturan dan jatuh di atas genteng!

Sebelum para penjaga itu dapat menyerang lagi, si maling yang hebat ini telah dapat melompat jauh dan menghilang dalam gelap! Para penjaga masih mencoba untuk mengejar dan mencari-cari, tetapi malam sangat gelap hingga tak mungkin mereka dapat mengejar seorang maling yang memiliki kepandaian demikian tinggi itu. Terpaksa mereka kembali ke gedung Thio Wan-gwe dan mendapatkan hartawan itu masih berdiri gemetar di dalam kamarnya sambil memandang ke arah sebuah lukisan di atas dinding.

Lukisan itu adalah lukisan sebuah pedang tajam dan dibuat dengan tinta hitam dan dilukis mempergunakan jari telunjuk saja. Biarpun demikian, namun pedang itu nampak indah hingga mudah difahami bahwa pelukisnya mencoba untuk melukis sebuah pedang putih, baik gagang maupun pedangnya. Inilah tanda dari Gim-kiam Gi-to, si Maling Budiman Berpedang Perak! Tanda ini sudah banyak dikenal orang terutama golongan orang-orang hartawan yang banyak menumpuk harta benda.

Yang paling mengherankan adalah tempat di mana maling itu menggambar, yakni di dinding sebelah atas yang tingginya tidak kurang daripada dua tombak! Orang-orang biasa takkan dapat menduga bagaimana orang dapat melukis di tempat setinggi itu tanpa mempergunakan tangga atau alat pemanjat lain, akan tetapi seorang ahli silat tinggi akan dapat mengerti dan mengagumi bahwa orang yang melukisnya tentu memiliki kepandaian Pek-houw-yu-chong (Cecak Bermain di Tembok). Dengan ilmu kepandaian ini, si pelukis dapat merayap di tembok seperti seekor cecak! Dan ilmu kepandaian ini hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli lweekeh yang memiliki lweekang dan khikang tinggi!

Melihat tanda gambar ini, para penjaga gedung Thio Wan-gwe diam-diam bersyukur karena pencuri yang sangat terkenal itu tidak melakukan kekejaman kepada mereka dan yang kena dirobohkannya hanya seorang saja, itupun tak sampai mendapat luka parah. Baru mereka percaya bahwa pencuri itu terkenal sebagai Maling Budiman yang jarang sekali mau melukai orang, kecuali kalau terpaksa sekali.

Tidak saja di rumah keluarga Thio Wan-gwe yang ribut dan gempar, akan tetapi semenjak saat itu sampai pagi, banyak orang-orang merasa heran dan bingung disertai kegirangan besar, tidak seperti kebingungan dalam gedung Thio Wan-gwe, mereka ini adalah penghuni gubuk-gubuk dan pondok-pondok di dusun-dusun dekat kota tempat tinggal Thio Wan-gwe itu merasa girang oleh karena pada malam hari itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja mereka mendapatkan beberapa potong perak yang beratnya sampai empat lima tail menggeletak begitu saja di atas pembaringan mereka yang bobrok! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena perak itu dapat dijadikan uang untuk penyambung nyawa keluarga mereka untuk beberapa bulan lamanya! Segera mereka ini menjatuhkan diri berlutut dan memuji nama Tuhan Yang Maha Murah yang telah mengirim utusan untuk menolong mereka. Dan orang- orang yang mengalami hal ini adalah beberapa puluh keluarga di malam hari itu! Mereka sama sekali tak pernah mendengar atau menduga bahwa di atas genteng mereka yang telah bocor itu melayang bayangan orang yang gesit bagaikan burung dan yang memasuki tiap gubuk tua untuk dengan diam-diam meletakkan uang-uang perak dan potongan-potongan perak itu di atas pembaringan penghuninya!

Inilah maling budiman yang tadi mencuri dua kantong uang perak dari dalam gedung Thio Wan-gwe. Maling budiman ini datang di gedung Thio Wan-gwe tanpa permisi dan pergi tanpa pamit, demikian juga ia memasuki rumah- rumah rakyat miskin tanpa mengetuk pintu dan pergi tanpa memberitahukan pula!

Setelah dua kantong perak itu habis, Maling Budiman lalu melipat dua kantongnya yang telah kosong dan memasukkan kedua kantong kain itu ke dalam saku bajunya, lalu ia berlari dengan cepatnya menuju ke sebuah kuil tua yang telah rusak dan kosong di luar kampung, tak jauh dari kota tempat tinggal Thio Wan-gwe.

Ia melompat masuk ke dalam kuil dan duduk di atas lantai yang kotor. Lalu dilepaskannya kedok sutera hitam dari mukanya. Pada saat itu fajar telah mulai menyingsing hingga nampak wajahnya yang kurus, tetapi yang memiliki potongan cukup tampan. Ia menghela napas lega laksana seorang pekerja yang telah menunaikan tugasnya dengan baik, lalu merebahkan tubuhnya di atas lantai begitu saja. Tak lama kemudian iapun tertidur pulas!

Siapakah orang aneh yang menuntut pekerjaan lebih aneh lagi ini? Mengapa ia melakukan pekerjaan yang dari satu sudut dianggap buruk dan jahat, akan tetapi dipandang dari sudut lain dapat juga disebut baik hingga iapun mendapat julukan bertentangan? Sebutan Maling Budiman memang terdengar janggal dan lucu. Maling tetap maling dan termasuk penjahat berdosa, akan tetapi Budiman adalah satu sifat yang hanya dimiliki oleh seorang yang menjunjung tinggi kebaikan!

***

Pada beberapa belas tahun yang lalu, di daerah selatan Tiongkok mengalami serangan bencana alam yang maha dahsyat. Musim kering tahun itu benar-benar hebat, untuk berbulan-bulan tak setitik airpun jatuh membasahi bumi sedangkan panasnya tak terperikan lagi. Tanah sampai pecah-pecah dan retak-retak karena panas yang membakarnya dan semua sumur menjadi kering. Bahkan sungai-sungai pada kering sehingga penderitaan rakyat bukan main hebatnya. Semua tanaman-tanaman mengering dan mati sebelum menghasilkan buah. Kalau saja ini terjadi pada tahun-tahun yang lalu masih tidak seberapa hebat, oleh karena penduduk masih mempunyai simpanan sedikit makanan yang mereka sengaja sediakan seperti yang biasa mereka lakukan tiap tahun dalam menghadapi musim kering. Akan tetapi celakanya, panen yang lalu hampir habis oleh serangan belalang yang datang dari utara hingga memenuhi udara.

Rakyat di daerah selatan menjerit-jerit dan mereka hidup amat sengsara. Bibir-bibir manusia mengering dan kulit bibir mereka pecah-pecah. Mata menjadi merah karena hawa terlampau panas. Hewan ternak banyak yang mati kepanasan dan kehausan.

Penduduk telah melakukan berbagai macam usaha, bahkan mereka telah melakukan sembahyang di mana- mana untuk meminta hujan. Setelah keadaan mereka betul- betul genting yang mencapai puncaknya, datanglah hujan bagaikan dicurahkan dari langit! Jutaan manusia menyambut hujan pertama dengan sangat bersyukur kepada Illahi. Semua orang keluar dari rumahnya menengadah ke langit dengan kedua tangannya menampung dan mulut ternganga lebar untuk merasai kenikmatan air yang turun dari sorga dan yang menjadi pelindung mereka itu!

Kaum tani sambil bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi mengerjakan sawah ladang mereka. Semua beriang gembira, walaupun mereka rata-rata hanya dapat makan sehari sekali. Hati mereka penuh pengharapan baik untuk panen yang akan datang. Tanah yang tadinya merekah dan retak-retak menjadi tertutup kembali dan nampak kerbau- kerbau yang sudah kurus karena kehabisan rumput itu kini menarik bajak di sawah sambil menggoyang-goyang ekor. Agaknya binatang-binatang ini dapat juga merasakan pengharapan yang memancar keluar dari setiap mata manusia.

Akan tetapi, semua itu ternyata hanya merupakan mimpi belaka. Hujan turun terus, makin hari makin besar dan akhirnya, ketika semua benih sudah ditanam dan orang- orang menanti tumbuh dan suburnya benih itu menjadi bahan makanan mereka, hujan turun bagaikan samudera telah berpindah ke langit! Air mengalir terus tiada hentinya hingga semua tanah digenangi air! Sungai meluap-luap dan air mengalir cepat mengamuk, menerjang, menyeret segala apa yang berada di depan yang menghalangi alirannya. Rumah-rumah, tanaman-tanaman, manusia, hewan dan apa saja dibawa hanyut!

Mayat manusia mengapung di mana-mana. Manusia- manusia kecapaian menggeletak di dalam gubuk-gubuk tinggi dan di atas gunung-gunung telah menjadi mayat. Hebat dan ngeri bukan kepalang!

Amukan alam yang memperlihatkan kekuasaannya ini terasa sekali oleh penduduk dusun Giam-hok-ceng. Biarpun dusun itu agak tinggi letaknya hingga rumah-rumah mereka tidak sampai terbawa hanyut, namun semua sawah lading telah habis digenangi merupakan danau yang lebar dan luas mengerikan. Persediaan makanan telah habis dan tiap hari pasti ada orang mati kelaparan. Jerit tangis terdengar dimana-mana dan keluh kesah menjulang setinggi langit, membawa rasa kecewa, manusia-manusia yang mulai menuduh bahwa Tuhan tidak adil!

Di dalam sebuah rumah yang tak patut disebut rumah lagi, lebih pantas disebut kandang manusia miskin, dua tubuh manusia laki-laki dan wanita yang hanya merupakan kerangka-kerangka terbungkus kulit belaka, rebah bersanding di atas tikar buruk. Keduanya adalah suami isteri she Tan yang sudah menjadi mayat, korban kelaparan! Di dekat dua mayat itu, seorang anak laki-laki berusia lima tahun menangis terisak-isak, karena suara tangisnya sudah hampir habis, tenggorokkannya kering dan sakit karena semenjak pagi ia menangis tiada hentinya. Berkali-kali anak itu memanggil-manggil ayah dan ibunya, akan tetapi ayah- bundanya diam tak bergerak seakan-akan sama sekali tidak mau memperdulikan nasib putera tunggal mereka yang bernama Tan Hong.

“Ayah ... ibu ... bangunlah ... aku lapar, minta makan. Ibuuu ... !” suara Tan Hong parau dan hanya keluar sebagai bisikan belaka, sedangkan matanya tak dapat mengeluarkan air mata lagi. Ia masih terlampau kecil hingga kematian baginya masih merupakan teka-teki.

Telah berhari-hari ia hanya mengisi perutnya dengan sedikit gandum kering, dan ayah ibunya bahkan sama sekali tidak makan karena makanan yang sedikit mereka dapatkan, selalu diberikan kepadanya. Akhirnya kedua orang tuanya tertidur dan tidak mau bangun lagi, sedangkan di dalam gubuk itu tak terdapat sedikitpun makanan lagi dan semenjak kemarin perutnya belum diisi apa-apa! Oleh karena rasa lapar yang membuat perutnya terasa perih dan tubuhnya lemas itu tak tertahankan lagi, Tan Hong lalu bangun berdiri dan mencari-cari di dalam gubuk, kalau-kalau masih ada sisa-sisa makanan yang dapat dimakannya. Segala kaleng dan kertas dibuka dan dibolak- balikkan, akan tetapi usahanya sia-sia. Tan Hong menjadi bingung, ia mulai mengeluh dan menangis lagi sambil memeluki tubuh ibunya.

Kemudian timbul pikirannya untuk minta makanan kepada tetangga, seperti yang telah dilakukan beberapa kali oleh ibunya. Ia bangun dan berdiri lagi, dan tiba-tiba kepalanya terasa pening, tanah yang dipijaknya seolah-olah berputar-putar dan bergoyang-goyang.

“Aduh ... ibu ... aduh ... !” Ia terhuyung-huyung, rasa perih di perutnya ditahan dengan tangan kiri yang ditekankannya ke perutnya yang kempis itu, tangan kanan meraba-raba ke depan agar ia jangan menabrak sesuatu, kedua kakinya terhuyung-huyung maju dan dengan mata kabur ia mencari pintu untuk keluar.

Ketika ia tiba di pintu gubuk tetangganya yang terdekat, ia disambut dengan suara tangis riuh rendah yang keluar dari pintu itu. Ia membelalakkan kedua matanya dan menjenguk ke dalam. Ternyata seluruh keluarga tetangga itu sedang menangisi mayat-mayat yang membujur di atas balai-balai. Mati karena kelaparan pula!

Tan Hong mundur ketakutan. Tubuhnya yang hanya tulang terbungkus kulit dan dibalut oleh sisa-sisa kain lapuk yang menutupi sebagian badannya, terseok-seok bergerak maju lagi dengan segala daya upayanya. Kini ia menuju ke sebuah rumah besar. Ia tahu bahwa rumah itu adalah milik Thio-chungcu (Pak Lurah Thio) yang mempunyai banyak beras dan gandum. Sebetulnya semenjak kecil ia sangat takutnya kepada kepala kampung ini, bahkan baru mendengar namanya saja ia sudah menggigil. Dulu tiap kali ia menangis, asal ibunya menyebut nama Thio-chungcu, ia menjadi ketakutan dan tak berani menangis lagi!

Akan tetapi, rasa lapar melenyapkan takutnya. Ia pernah mendengarkan ibunya bercerita bahwa Thio-chungcu adalah seorang yang mempunyai gandum terbanyak di dalam dusun itu. Maka, selain minta kepada Thio-chungcu, kepada siapa lagi ia dapat minta makanan? Tubuh kecil kurus itu terhuyung-huyung di atas jalan yang sunyi mati itu dan di sepanjang perjalanan menuju ke rumah Thio- chungcu, ia mendengar suara tangis di kanan kiri jalan, tangis anak-anak yang sebayanya keluar dari dalam rumah- rumah gubuk. Jelas terdengar olehnya suara mereka itu mengeluh dan merengek-rengek, “Ayah ... perutku lapar ... “ “Ibu ... makan, perutku perih sekali ... “

Suara-suara ini menusuk-nusuk hati dan telinga Tan Hong, menikam ulu hatinya dan terukir dalam-dalam di sanubarinya. Suara-suara itu merupakan suara maut yang mengejar-ngejarnya, maka tiba-tiba Tan Hong memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berlari. Berlari pergi dari suara-suara itu, menuju ke rumah gedung Thio-chungcu!

Rumah gedung Thio-chungcu itu dikelilingi dinding tebal dan tinggi, dan di depannya terdapat pintu gerbang dari jeruji besi. Tan Hong mendorong-dorong pintu yang berat itu dan akhirnya ia berhasil juga membukanya setelah menggeser dan melepaskan palangnya dari luar dengan jalan memasukkan lengannya yang kecil kurus di sela-sela jari-jari besi itu.

Akan tetapi, baru saja ia melangkahkan kaki memasuki ambang pintu, tiba-tiba dari dalam terdengar salak anjing yang menyeramkan dan tak lama kemudian, dua ekor anjing yang gemuk-gemuk dan tinggi besar berlari keluar sambil menggonggong keras. Tan Hong menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Cepat-cepat ia mundur dan berlari keluar kembali dari pintu gerbang itu. Kedua anjing yang galak itu masih tetap menggonggong dan memperlihatkan gigi, akan tetapi setelah mereka melihat bahwa Tan Hong telah keluar dari pintu gerbang, mereka tak menggonggong lagi dan lari kembali sambil menggoyang-goyangkan ekornya.

Thio-chungcu yang bertubuh gemuk seperti anjing- anjingnya itu keluar dari dalam gedungnya, mendengar suara gong-gongan anjing dan sambil tertawa senang ia berkata, “Bagus, bagus! Kalau ada maling masuk, serbu dan gigitlah sampai mampus! Hah, menyebalkan benar! Begitu kecil sudah belajar menjadi pencuri!” Kepala kampung itu lalu masuk kembali ke dalam rumahnya, diikuti oleh dua anjingnya yang menggerak-gerakkan ekornya.

Tan Hong memperhatikan kepala kampung itu dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Entah bagaimana, ketika mendengar kata-kata kepala kampung itu, timbullah hawa panas yang membuat seluruh tubuhnya serasa terbakar! Kepalanya berdenyut-denyut dan kedua tangannya dikepalkan.

Baru setelah kepala kampung dan kedua ekor anjingnya masuk kembali ke dalam rumah, Tan Hong merasakan kembali keletihan dan keperihan perutnya. Ia berjalan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dan kepalanya mulai terasa pening lagi. Pandangan matanya kabur hingga terpaksa ia memejamkan matanya sambil berjalan terus sedapat mungkin. Akhirnya, tubuh yang kecil itu tidak kuat lagi berjalan dan ia terguling roboh di pinggir jalan. Ia menahan keperihan perutnya dengan mengangkat kedua lutut ke dada hingga perutnya seperti dilipat dan ditekan oleh lutut. Ia meringkuk dalam keadaan demikian di pinggir jalan, dan merasa betapa enaknya rebah di situ seperti ini! Lenyap rasa pusing di kepalanya, bahkan rasa lapar yang tadinya mendatangkan rasa sakit dan perih di perutnya, kini lenyap dan yang terasa hanyalah kekosongan belaka. Kosong dan lemah ...

Dan ketika nyawa anak kecil itu telah mulai menjadi bosan tinggal di tubuh yang tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya ini, nyawa yang telah siap untuk meninggalkan tubuh kurus kering yang menggeletak melingkar di pinggir jalan, tiba-tiba nampak seorang kakek yang memegang tongkat berdiri di dekatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Ya Tuhan, kesenangan apakah yang pernah kauberikan kepada anak ini hingga sekarang dia harus menderita sehebat ini?”

Kemudian, kakek tua yang berambut panjang dan yang diikat ke atas kepala dengan sehelai pita putih, membungkuk dan mengangkat tubuh Tan Hong ke pundaknya. Setelah itu, ia lalu berjalan cepat meninggalkan dusun Giam-hok-ceng.

Kemudian ternyata bahwa kakek ini adalah Cin Cin Tojin, seorang tosu pengembara yang tidak tertentu tempat tinggalnya. Seorang tosu yang amat terkenal karena ketinggian ilmu silatnya, hingga di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Sin-kiam atau Pedang Sakti.

Cin Cin Tojin belum pernah mempunyai murid, akan tetapi ketika melihat keadaan Tan Hong yang amat menyedihkan ini, ia menjadi kasihan dan menolongnya. Kemudian ia melihat bahwa sebenarnya anak itu mempunyai bakat yang baik sekali, maka ia lalu mengambil anak itu sebagai murid tunggalnya.

Bertahun-tahun lamanya Tan Hong ikut suhunya berkelana. Ia mempelajari ilmu silat dari suhunya itu hingga setelah dewasa, delapan bagian kepandaian Cin Cin Tojin telah dapat diwarisinya. Di sepanjang perantauannya, Tan Hong melihat kesengsaraan rakyat jelata, hingga timbul perasaan kasihan di dalam hatinya. Pengalaman dan penderitaannya ketika masih kecil menggores dalam-dalam di kalbunya, terutama peristiwa ketika ia berdiri di depan pintu gerbang rumah Thio-chungcu, tak dapat ia lupakan. Kini setelah ia dewasa dan merantau bersama suhunya, dimana-mana ia banyak melihat hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar model Thio-chungcu ini. Orang yang menumpuk harta benda sampai berlebih-lebihan di dalam gudang mereka, tanpa memperdulikan sedikitpun kepada rakyat kecil yang mati kelaparan. Ia merasa marah dan gemas sekali kepada mereka ini. Memang benar bahwa banyak pula terdapat hartawan-hartawan yang berhati dermawan dan mengenal perikemanusiaan hingga seringkali mengulurkan tangan menolong dan memberi sumbangan kepada orang-orang yang menderita kesengsaraan, akan tetapi dibandingkan dengan jumlah mereka yang kikir dan kedekut, maka hanya beberapa orang dermawan saja yang tidak ada artinya.

Setelah ikut merantau dan belajar silat selama tiga belas tahun, Cin Cin Tojin lalu menetap di puncak Bukit Kwihong-san, karena merasa tua dan bosan merantau. Ia lalu memberi izin kepada muridnya untuk merantau seorang diri dan kepada muridnya ini ia memberi banyak nasehat dan petuah, serta memberinya pula sebatang pedang bergagang perak dan berwarna putih berkilauan.

Semenjak itu, dalam usia delapan belas tahun, Tan Hong mulai dengan perantauannya seorang diri dan ia mulai mengerjakan maksud dan cita-cita yang selalu terkandung di dalam hatinya, yakni mencuri uang hartawan-hartawan untuk kemudian pada waktu itu juga dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin di dusun-dusun! Tiap kali ia melakukan pencurian dalam sebuah gedung hartawan, ia selalu meninggalkan tanda gambar pedangnya hingga dalam waktu yang pendek ia sudah terkenal oleh karena tak pernah ia dapat ditangkap, berkat kepandaiannya yang amat tinggi. Ia lalu mendapat julukan Gin-kiam Gi-to, si Maling Budiman Berpedang Perak!

Demikianlah, dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan selama dua tahun itu, selain mendapatkan nama besar, ia dibenci oleh golongan yang dirugikan, dipuja-puja oleh golongan yang ditolongnya.

Dan sebagaimana telah dituturkan pada permulaan cerita ini, sebagaimana biasanya, setelah berhasil mencuri kantong besar uang perak dari gedung Thio Wan-gwe, seorang hartawan yang kaya raya, akan tetapi teramat kikirnya, Tan Hong lalu membagi-bagikan uang itu sampai habis kepada para penduduk dusun yang miskin. Kemudian, setelah “pekerjaannya” itu beres, baru ia mencari tempat peristirahatan di dalam sebuah kuil rusak yang tiada penghuninya lagi.

***

Kota Wi-ciu di mana Thio Wan-gwe yang dijadikan korban oleh Tan Hong itu tinggal, adalah sebuah kota besar yang cukup ramai, dan di kota itu banyak terdapat hartawan-hartawan besar.

Ketika Thio Wan-gwe mendapat giliran didatangi oleh si Maling Budiman, sebetulnya hartawan ini bukanlah merupakan korban pertama di kota itu. Sebelum Thio Wan- gwe, sudah ada dua orang hartawan lain yang disikat hartanya oleh Tan Hong, akan tetapi oleh karena kedua orang hartawan ini memang mempunyai hati dermawan dan dari tanda gambar di dinding itu mereka tahu bahwa sedikit uang mereka yang dicuri oleh Maling Budiman itu yang akan dibagikan kepada orang-orang miskin, maka mereka tidak mau membuat banyak ribut hingga orang- orang lain tidak mengetahuinya.

Akan tetapi, Thio Wan-gwe seorang hartawan yang sangat kikir. Maka, setelah orang mencuri dua kantong uang peraknya yang amat disayangi melebihi dari jiwanya sendiri, ia lalu melaporkan hal pencurian ini kepada pembesar setempat, bahkan lalu mengumpulkan kaki tangan dan jago-jagonya untuk menyelidiki dan mencari maling yang telah mencuri hartanya itu.

Pembesar setempat yang juga telah mendengar tentang sepak terjang Gin-kiam Gi-to, segera mengerahkan tenaga untuk berusaha menangkap maling terkenal ini, agar ia dapat berbuat jasa besar dan dipuji oleh atasannya. Dan pada keesokan harinya setelah terjadi pencurian itu, ia mengumpulkan seluruh kepala penjaga dan jagoan-jagoan yang ada di kota Wi-ciu untuk berunding. Pembesar itu tidak hanya mendatangkan para petugas, tapi juga mengundang para kauw-su (guru-guru silat), para piauwsu (pengantar-pengantar barang) yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan To Tek Hosiang, ketua kuil Kim-ci-tang dipanggil juga, oleh karena semua orang tahu bahwa hwesio (pendeta Agama Buddha) ini memiliki kepandaian tinggi.

“Cu-wi (tuan-tuan sekalian),” kata pembesar itu setelah semua orang berkumpul dan arak telah dihidangkan. “Kami mengumpulkan cu-wi di sini untuk bersama-sama merundingkan soal pencurian-pencurian yang mulai merajalela di kota kita. Cu-wipun tentu maklum pula bahwa yang melakukan pencurian ini adalah Gin-kiam Gi-to yang terkenal itu. Oleh karena dia sekarang telah berani mengacau dan menganggu ketenteraman kota kita, maka sudah sewajarnya dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menangkapnya!”

Beberapa saat semua yang hadir diam saja. Bermacam- macam pikiran timbul di hati masing-masing. Ada yang merasa sangsi dan takut menghadapi Maling Budiman yang terkenal itu. Ada yang setuju dan ada pula yang kurang setuju. Akhirnya To Tek Hosiang berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang botak itu.

“Memang pendapat tai-jin ini benar. Dia harus dapat ditangkap untuk membersihkan Wi-ciu daripada kekacauan dan kejahatan.”

“Maafkan, tai-jin,” kata seorang tinggi kurus, yakni ketua piauw-kiok (perusahaan pengawal barang antaran) di kota itu yang cukup terkenal dan bernama Kwee Seng. “Menurut pendapatku, agaknya kurang sempurna kalau kita mengganggu maling luar biasa ini. Siauwte (hamba) telah kenyang merantau dan bertemu dengan orang-orang di dunia kangouw dan liok-lim (para perampok dan penjahat), dan karenanya siauwte mengerti bahwa di dunia liok-lim terdapat tiga macam atau tiga tingkat cara melakukan perampokan dan pencurian. Pertama, mencuri dan merampok bukan untuk diri pribadi dan hasilnya diberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan pertolongan. Kedua, mencuri dan merampok semata-mata berdasarkan pekerjaannya oleh karena perbuatan itu mereka anggap sebagai tugas pekerjaan. Ke tiga, mencuri untuk mengumpulkan kekayaan dan mempersenang diri sendiri. Di antara ketiga tingkat ini, tingkat pertama dianggap sebagai sempurna dan bahkan dianggap sebagai perbuatan terpuji dan yang sudah selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar! Demikianlah anggapan kalangan liok-lim. Maka oleh karena Gin-kiam Gi-to ini sepanjang yang siauwte dengar, selalu membagi-bagikan hasil pencuriannya kepada fakir miskin, dia termasuk golongan pertama yang dianggap oleh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar yang bijaksana! Inilah sebabnya maka ia disebut Maling Budiman. Kalau sekarang kita bertindak memusuhinya, apakah hal ini tidak akan mendatangkan musuh dari pihak liok-lim?”

Semua orang terdiam mendengar ucapan ini, akan tetapi To Tek Hosiang lalu berdiri dan berkata dengan suara nada tinggi, “Ucapan Lim-piauwsu memang ada betulnya, akan tetapi pandangan ini tidak adil. Mungkin oleh karena pekerjaan Lim-piauwsu, maka ia mengajukan alasan seperti itu. Menurut pendapat pinceng (aku) bahkan sebaliknya. Biarpun Gin-kiam Gi-to seorang pendekar, akan tetapi ia harus memakai aturan juga. Kalau memang ia membutuhkan uang untuk menolong orang-orang lain, mengapa ia harus mencuri di kota kita? Kalau dia memang mengerti aturan kang-ouw, mengapa ia memandang rendah kepada kita dan berbuat sesuka hatinya, seakan-akan di kota ini tidak ada orang yang berani menentangnya? Dia mempunyai kewajiban sebagai seorang Maling Budiman, akan tetapi kitapun mempunyai tugas sebagai penduduk Wi-ciu dan sebagai orang-orang yang diharapkan oleh penduduk untuk menolak datangnya bahaya kekacauan!”

Semua orang setuju dengan pendapat ini dan setelah mengadakan perdebatanperdebatan dan perundingan yang cukup hangat, akhirnya diputuskan untuk mengadakan penjagaan secara gotong-royong pada malam hari. Oleh karena di antara semua orang di situ yang memiliki kepandaian tertinggi adalah To Tek Hosiang dan Lim- piauwsu, maka kedua orang ini diangkat menjadi kepala penjaga.

Pada siang hari itu juga banyak penyelidik disebar di sekeliling kota Wi-ciu untuk mencari jejak Maling Budiman itu. Dan pada malam harinya, penjagaan diatur dengan diamdiam hingga tidak kentara bahwa di atas wuwungan rumah para hartawan telah diadakan penjagaan keras.

Menjelang tengah malam, Tan Hong kembali melakukan pekerjaannya. Tubuhnya bergerak ringan dan gesit melalui genteng-genteng rumah dan ia berhenti di atas genteng rumah Lie Wan-gwe yang tinggi. Setelah memandang ke sekeliling dan tak melihat sesuatu yang mencurigakan, si Maling Budiman ini lalu melompat turun dengan gerakan melayang yang indah dan cepat.

Para penjaga yang berada di atas genteng Lie Wan-gwe kebetulan sekali adalah To Tek Hosiang sendiri dan beberapa orang pembantunya. Mereka telah melihat kedatangan Maling Budiman, akan tetapi dari tempat persembunyiannya To Tek Hosiang memberi tanda agar kawan-kawannya jangan bergerak dulu. Ia hendak menanti sampai maling itu telah menyelesaikan pekerjaannya dan hendak dihadang ketika keluarnya dari rumah yang menjadi sasarannya, agar mereka dapat menangkap basah maling itu!

Tak lama kemudian, Tan Hong telah berhasil mengambil uang perak sebanyak dua kantong penuh dan dengan cepat ia melompat ke atas genteng kembali. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika melihat betapa di atas genteng berdiri seorang hwesio gundul dan lima orang lain yang kesemuanya memegang sebatang pedang. Hwesio itu berdiri memegang sebatang toya yang panjang dan berat.

“Ha, maling sombong! Kau menyerahlah agar pinceng tak usah mengotorkan tangan. Dosamu telah bertumpuk- tumpuk dan sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk menebus dosa itu. “ Tan Hong tersenyum dan menjawab, “Hwesio, mengurus dosamu sendiripun kau tak sanggup, apapula mengurus dosa orang lain? Kalau kau memang hendak menangkapku, lakukanlah jika kau berani.”

Setelah berkata demikian, Tan Hong lalu melompat tinggi melewati kepala dua orang pembantu To Tek Hosiang dan langsung melompat ke wuwungan lain! Alangkah terkejut dan kagumnya To Tek Hosiang melihat kepandaian loncat yang hebat ini, maka iapun segera mengejar sambil membentak, “Maling rendah, kau hendak lari ke mana?”

To Tek Hosiang adalah seorang tokoh dari Houw-san dan memiliki ilmu silat yang tinggi, maka ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya sudah cukup sempurna. Sekali tubuhnya melayang, ia cepat dapat mengejar Tan Hong dan mengirim serangan dari belakang dengan toyanya!

Tan Hong mendengar desiran angin pukulan toya menyambar, akan tetapi ia tidak menjadi gugup. Dengan memiringkan tubuh, ia dapat mengelak serangan ini dan sebelum To Tek Hosiang dapat menyerang lagi, tubuh pemuda ini telah melayang lagi jauh sekali dan menghilang di dalam gelap.

To Tek Hosiang menghela napas dan memuji, “Sungguh hebat! Sayang orang sehebat dia menjadi maling!”

Demikianlah, malam itu kembali Tan Hong berhasil mendapatkan dua kantong penuh berisi uang perak dan langsung dibagi-bagikan secara diam-diam kepada orang- orang miskin yang tinggal di dalam gubuk tua, hingga untuk kesekian kalinya, pada malam hari itu terdapat satu orang yang merasa marah dan menyesal karena kehilangan banyak uang, tapi terdapat puluhan orang lain yang mengucap syukur kepada Tuhan oleh karena mereka mendapatkan uang perak secara tiba-tiba!

Setelah menyelesaikan pekerjaannya untuk malam itu, Tan Hong kembali ke kuil tempat persembunyiannya untuk beristirahat. Sama sekali ia tidak menduga bahwa tempat persembunyian ini telah diketahui oleh para penyelidik. Seperti biasa, setelah membuka kedoknya, ia lalu tidur dengan enak di atas lantai.

Matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasiki ruang di mana Tan Hong tidur. Sinar matahari itu masuk dari jendela dan lambat laun bergerak naik hingga akhirnya sinar penuh itu menimpa muka Tan Hong. Panas matahari menyengat kulit muka Tan Hong hingga pemuda itu terjaga dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan-lahan dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa di dalam ruang itu terdapat orang-orang lain yang berdiri mengurungnya sambil menatap wajahnya dengan pandangan tajam. Mereka itu tidak lain ialah To Tek Hosiang, Lim-piauwsu dan pembesar-pembesar lain kota Wi-ciu!

Semenjak tadi mereka mengurung kuil rusak itu, akan tetapi, oleh karena tidak terlihat Tan Hong muncul, mereka diam-diam lalu menghampiri dan mendapatkan pemuda yang sedang tidur nyenyak itu diatas lantai!

Kawanan penjaga keamanan kota itu hendak maju menangkap, akan tetapi To Tek Hosiang dan Lim-piauwsu mencegah mereka. Baik To Tek Hosiang maupun Lim- piauwsu merasa heran dan juga terharu melihat keadaan pemuda yang menjadi maling itu. Sungguh di luar dugaan bahwa maling besar yang tiap malamnya menggondol pergi dua kantong uang perak yang beratnya lebih dari lima ratus tail itu kini menggeletak tidur di atas lantai begitu saja dalam keadaan sangat sederhana, bahkan menyedihkan. Sebuah bantalpun ia tidak punya! Pakaiannya yang berwarna hitam itu telah usang, bahkan telah banyak tambalan di sana-sini. Maling Budiman ini sama sekali tidak mempunyai bungkusan pakaian atau barang-barang lain kecuali pedangnya yang terselip di pinggangnya. Keadaannya tiada ubahnya dengan seorang pengemis atau orang terlantar. Tubuhnya kurus dan pada mukanya yang kurus dan tampan itu terdapat garis-garis yang hanya terdapat pada muka orang yang telah banyak menderita kesengsaraan hidup!

Keadaan ini meragukan hati To Tek Hosiang. Sebenarnya, mudah saja baginya dan bagi kawan-kawannya untuk menangkap dan mengikat maling yang sedang tidur itu, akan tetapi tiba-tiba timbul rasa kasihan di dalam hatinya dan ia merasa malu untuk menyerang seorang yang sedang tidur nyenyak!

Sebaliknya, ketika melihat betapa dirinya telah terkurung, Tan Hong tidak menjadi gugup atau bingung. Ia menggeliat dan menguap, lalu menatap wajah To Tek Hosiang dengan tajam dan bibirnya tersenyum, akan tetapi sebagaimana biasa, senyumnya tidak membayangkan kegembiraan hati.

“Hwesio, mengapa kau tidak lekas-lekas menangkapku selagi aku masih tidur tadi? Sekarang setelah aku bangun kalian belum tentu dapat menawanku, bukankah itu sayang sekali?” Tiba-tiba ia menyambar pedangnya dan melompat berdiri menghadapi mereka dengan muka tenang dan tabah.

“Anak muda, kau masih begini muda dan memiliki kepandaian lumayan, mengapa kau telah tersesat dan menjadi seorang siauw-jin (orang rendah)? Dan mengapa kau malam tadi begitu pengecut, hingga tidak sesuai dengan sikapmu sekarang yang pemberani?” “Hwesio, dengarlah. Aku tidak tahu apakah artinya siauw-jin dan apa artinya kuncu (orang budiman) pada jaman seburuk ini! Kalau kau dan semua orang mau menyebutku siauw-jin, biarlah, aku tidak merasa dirugikan. Dan kau anggap aku pengecut karena malam tadi aku tidak berani menghadapimu dan tidak melakukan perlawanan, bahkan terus melarikan diri? Inilah sebabnya ; pertama- tama aku memegang teguh dan memenuhi peraturan yang telah ada semenjak dunia berkembang, bahwa seorang maling atau pencuri adalah seorang pengambil barang orang lain tanpa diketahui oleh orang itu dan seorang pencuri bukanlah seorang perampok yang mempergunakan kekerasan. Pencuri hanya akan membela diri dan selalu mencari kesempatan pertama untuk melarikan diri, oleh karena keperluanku hanya untuk mengambil barang dan bukan untuk bertempur. Inilah sebab pertama, dan sebab ke dua ialah oleh karena kalian ini bukan musuh-musuhku dan tidak pernah bermusuhan dengan aku, maka aku tidak hendak bertempur dengan kalian!”

To Tek Hosiang menggeleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seenakmu saja. Bukankah kau yang disebut Gin-kiam Gi-to?”

Tan Hong mengangguk. “Itulah hadlah yang diberikan orang kepadaku.”

“Nah, sekarang kaudengarlah nasehat dan turutlah demi kebaikanmu sendiri. Kami takkan mengganggumu dan akan melupakan segala perbuatanmu yang telah mengacau kota kami, asal saja kau suka berjanji bahwa mulai hari ini kau takkan melakukan pekerjaan mencuri lagi. “

Tiba-tiba sepasang mata Tan Hong yang biasanya mengeluarkan pandangan acuh tak acuh itu terkilatlah pandangan marah. “Hwesio! Kau ini siapakah, maka berani melarang dan menentukan jalan hidupku? Kau mempunyai hak apakah maka berani melarangku mencuri?”

“Pinceng bukan orang luar biasa, hanya seorang hwesio sederhana yang bernama To Tek Hosiang dan mengepalai kuil di Wi-ciu. Akan tetapi pinceng berhak memberi nasehat kepada setiap orang yang berjalan sesat, sesuai dengan kedudukan pinceng sebagai seorang pemeluk agama. Kau berjanjilah, dan kami semua akan mengampunimu. Kalau tidak, terpaksa kami akan menangkapmu dan menyerahkan kepada yang berwajib.”

“To Tek Hosiang berkata benar, dan sudah sepatutnya kalau kau mendengar nasehatnya,” kata Lim-piauwsu dengan suara halus. “Aku adalah seorang piauwsu yang telah banyak bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh liok-lim, maka aku merasa sayang sekali apabila seorang muda seperti kau ini menjadi seorang maling.”

Tan Hong mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, “Hm, hm, kata-kata usang membosankan! Kalian semua menaruh kasihan kepadaku, tanpa sebab tertentu menaruh perhatian besar akan nasibku, akan tetapi tengoklah!” Jari telunjuknya menuding ke arah jauh, “Lihatlah mereka itu, rakyat miskin yang mati kelaparan, yang telanjang kedinginan! Mengapa kalian tidak mempergunakan rasa kasihan yang kalian tujukan kepadaku itu kepada mereka? Kalian pura-pura menjadi baik dengan memberi nasehat- nasehat indah kepadaku, tapi pernahkah kalian memikirkan nasib mereka yang terlantar, nasib para jembel yang berkeliaran ke sana ke mari tanpa makan dan tanpa pakaian di luar kulit? Siapa sudi menerima nasehat-nasehatmu? Aku tetap hendak menjadi pencuri, kalian mau apa?”

Mendengar ucapan sombong ini semua penjaga keamanan itu menjadi marah. Tiga orang muda dengan pedang di tangan maju menubruk, akan tetapi sekali menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya saja, sudah cukup membuat ketiganya terjungkal!

“Mundur semua, biar aku menangkap Gin-kiam Gi-to!” teriak To Tek Hosiang.

“Nanti dulu, losuhu, biarlah aku mencoba kepandaiannya dulu,” kata Lim-piauwsu yang merasa kagum melihat gerakan Tan Hong dan timbul keinginan hatinya untuk menguji.

“Boleh, boleh, majulah!” Tan Hong menantang. “Siapa saja yang hendak menangkapku, majulah! Tapi ingat dan camkanlah bahwa bukan aku yang menghendaki permusuhan. Aku Tan Hong hanya bertempur melawan kalian! Ayoh, siapa hendak menonjolkan kepandaian, majulah!”

Melihat sikap dan ucapan anak muda yang gagah dan berani itu, semua orang merasa tertegun dan sangsi. Hanya Lim-piauwsu dan To Tek Hosiang saja yang mempunyai keinginan untuk mencoba kepandaian Maling Budiman ini dan kalau mungkin menangkapnya.

Lim-piauwsu lalu melangkah maju. Oleh karena ia mengingat akan pekerjaannya sebagai pengantar dan pengawal barang berharga yang dikirim dan dipercayakan di bawah penjagaannya, maka ia selalu berhati-hati dalam menghadapi seorang tokoh dari golongan perampok maupun pencuri dan tak ingin mananam bibit permusuhan yang hanya akan menimbulkan kesukaran dan rintangan bagi perusahaannya. Oleh karena itulah, dalam menghadapi Tan Hong, ia sengaja tidak mengeluarkan senjatanya.

Melihat piauwsu itu maju tanpa membawa senjata, Tan Hong juga tidak mau mengeluarkan senjatanya dan bersiap sedia sambil memasang kuda-kuda. “Awas kepalanku, anak muda!” Lim-piauwsu mulai menyerang dengan gerak tipu Cio-po-thian-keng atau Batu Meledak Langit Gempur, sebuah tipu pukulan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya hingga merupakan serangan berbahaya. Tan Hong melihat gerakan ini maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maka ia tidak berani menangkis, hanya mengelak ke samping mempergunakan kelincahan tubuhnya, lalu membarengi dengan serangan balasan yang dilakukan dengan tangan miring, yakni dengan gerak tipu Puja Kwan Im Dengan Tangan Miring (Heng-pai Kwan-im). Serangannya ini tidak kalah hebatnya, akan tetapi oleh karena maksud dari Lim- piauwsu memang hendak menguji kekuatan dan kepandaian Tan Hong, piauwsu itu tidak mengelak, bahkan menggunakan tangannya menangkis. Dua buah tangan beradu dan bukan main terkejutnya Lim-piauwsu ketika pukulan yang tertangkis itu demikian berat dan kuatnya hingga pasangan kuda-kuda kakinya menjadi teranjak mundur sampai tiga langkah!

Lim-piauwsu yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran dengan tokohtokoh berilmu tinggi, maklum bahwa tenaga lwekang anak muda ini lebih tinggi daripada tenaganya sendiri maka ia lalu mengeluarkan ilmu silat Ho-kun (Ilmu Silat Burung Ho) yang menjadi ilmu kebanggaannya. Gerakannya menjadi lincah, kedua tangannya berkembang merupakan umpan, akan tetapi kalau umpan ini dimasuki lawan, kedua kepalan tangan yang dipentang itu akan melancarkan serangan dari kanan kiri yang sukar ditangkis atau dihindari. Tan Hong telah mengalami gemblengan hebat dari Cin Cin Tojin, dan ilmu silatnya telah mencapai tingkat yang tinggi, maka pertunjukan ilmu silat Ho-kun yang dikeluarkan oleh Lim- piauwsu ini sama sekali tak membingungkannya. Dengan tiba-tiba pemuda ini merobah gerakannya dan kini ia memainkan ilmu Silat Rajawali Sakti yang mempunyai gerakan lebih cepat lagi, menyambar-nyambar dari atas sambil mempergunakan gerakan ginkang yang tinggi hingga dalam waktu yang singkat Lim-piauwsu telah terdesak sekali.

Belum ada empat puluh jurus, mereka bertempur Lim- piauwsu telah terdesak tanpa dapat membalas hingga diam- diam piauwsu ini heran dan kagum sekali karena belum pernah ia menghadapi lawan yang dapat membuatnya tidak berdaya dalam pertempuran sedemikian pendek! Ia lalu melompat ke belakang sambil berseru, “Hebat sekali!”

Tan Hong tidak mengejar, hanya berdiri menghadapi semua orang dengan sikap waspada. Ia tak hendak mendesak lawan, dan hanya akan melawan mati-matian apabila dia sendiri yang terdesak.

To Tek Hosiang maju sambil melintangkan toyanya. “Maling muda, benar-benar kau tidak mau menyerah dan menurut nasehatku?”

“Hwesio, kaumajulah. Aku Tan Hong sekali mengeluarkan ucapan, hanya akan dapat dirobah setelah aku menggeletak tak berdaya!”

“Anak sombong! Keluarkan senjatamu!”

Tan Hong maklum bahwa hwesio itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka tanpa ragu-ragu lagi, iapun lalu menghunus pedangnya dan semua orang terpesona melihat pedang yang putih berkilauan karena tajamnya. Inilah Gin- kiam atau Pedang Perak yang telah amat terkenal. Gagang pedang itu terbuat seluruhnya daripada perak putih berkilat dan di ujung gagangnya digantungi rambu-rambu merah. Setelah melihat pemuda itu mengeluarkan pedangnya, To Tek Hosiang lalu menyerang dengan toyanya sambil berseru keras, “Lihat toya!”

Tan Hong berlaku waspada dan tenang. Dari sambaran angin senjata toya itu, ia dapat menduga bahwa To Tek Hosiang memiliki tenaga lwekang yang tak boleh dipandang ringan, maka cepat ia mengelak sambil melompat ke kiri. Akan tetapi gerakan To Tek Hosiang benar-benar cepat. Biarpun serangannya yang ditujukan ke arah dada lawannya itu dapat dielakkan, namun toyanya diteruskan dari samping dan merupakan sapuan ke arah kaki Tan Hong dengan cepat dan kuat! Tan Hong juga memperlihatkan ketangkasan dan kecepatannya. Dengan satu gerakan ia berhasil melompat ke atas dan menghindarkan diri dari sambaran toya. Sebelum tubuhnya turun kembali, Tan Hong membarengi dengan tusukan pedangnya ke arah tenggorokan lawan dalam gerak tipu Elang Merah Meyambar Kelinci.

To Tek Hosiang juga cepat menangkis lalu menyerang kembali. Hwesio ini memiliki ilmu toya yang luar biasa sekali dan belum pernah ia dikalahkan orang selama ia menjagoi di daerah timur waktu mudanya. Maka bukan kepalang herannya ketika ia melihat betapa pemuda ini dapat menghadapinya dengan baik, bahkan dapat mengimbangi serangan-serangannya.

Orang-orang yang menonton pertempuran ini menahan napas. Tubuh Tan Hong yang berpakaian warna hitam telah lenyap dan hanya nampak bayangan hitam saja berpusing-pusing diliputi sinar pedang yang putih gemilang. Sebaliknya, sinar toya To Tek Hosiang memanjang dan menderu mengeluarkan angin bagaikan gelombang dahsyat menyambar-nyambar. Kalau hendak diukur kepandaian mereka, memang sukar dipastikan mana yang lebih unggul, karena cabang persilatan mereka memang berlainan. Masing-masing mempunyai gerak dan tipu tersendiri dan memiliki keistimewaan masing-masing pula. Tentu saja, Tan Hong kalah pengalaman dan kalah latihan. Sebaliknya, jelas nampak dari gerakan tubuh mereka bahwa Tan Hong masih menang dalam hal ginkang, sedangkan tenaga mereka agaknya berimbang.

Sudah diakui oleh seluruh kaum persilatan bahwa pedang yang baik adalah raja sekalian senjata, oleh karena pedang ini tidak berat dan cukup panjang sedangkan bagi seorang ahli apabila pedang telah berada di tangan, maka pedang itu seakan-akan telah berubah menjadi anggauta tubuh yang bergerak sekehendak hatinya.

Kini kedua orang ini bertempur mati-matian dan oleh karena kepandaian mereka berimbang, maka Tan Hong yang memegang pedang mendapat keuntungan dari perbedaan senjata ini. To Tek Hosiang memainkan sebuah toya yang besar dan berat, oleh karena itu ia memerlukan tenaga yang lebih besar. Ditambah pula usianya yang sudah lanjut, maka setelah bertempur seratus jurus lebih, hwesio itu mulai merasa lelah dan peluh mulai keluar dari keningnya. Sebaliknya Tan Hong masih segar bugar dan serangan-serangannya makin gencar dan rapat.

Karena merasa bahwa makin lama makin lemah, To Tek Hosiang lalu mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat. Ia menerjang sambil menggeram keras dan tiba-tiba diputarnya toyanya dari kanan ke kiri menerjang leher Tan Hong. Akan tetapi, sambaran toyanya ini diikuti oleh gerakan membalikkan toya dan kini dengan gagang toya, hwesio itu menotok ke arah ulu hati Tan Hong dengan kecepatan luar biasa! Inilah gerakan Bintang Api Jatuh dari Langit yang berbahaya sekali oleh karena sodokan ini sesungguhnya dilakukan di luar dugaan lawan yang hanya menjaga datangnya serangan pertama yang nampaknya lebih berbahaya.

Akan tetapi Tan Hong yang selalu berlaku hati-hati dan tidak mau memandang rendah setiap gerakan lawan, cepat menjaga dadanya dengan gerakan Seng-siok-hut-si atau Musim Panas Kebut Kipas. Pedangnya berputar-putar menjadi sinar bundar di depan dada dan ujung toya To Tek Hosiang terpukul ke samping. Saat itu digunakan oleh Tan Hong untuk mengirim pukulan kilat dengan tangan kiri ke arah dada lawannya! To Tek Hosiang masih sempat memiringkan tubuhnya, akan tetapi pukulan itu masih saja mengenai pundaknya. Tubuh hwesio itu mundur ke belakang untuk mempertahankan dirinya agar tidak sampai roboh dan melangkah cepat ke belakang lima langkah lebih!

Dengan wajah merah karena malu, To Tek Hosiang lalu berkata, “Gin-kiam Gi-to! Memang kau gagah perkasa dan hebat. Baiklah, kali ini pinceng mengaku telah berlaku kurang hati-hati, hingga dapat kaukalahkan. Akan tetapi, apabila benar-benar kau seorang pendekar sejati, pinceng undang kau datang pada tanggal lima belas bulan depan untuk minta pengajaran sekali lagi!”

“To Tek Hosiang, biarpun kau ini sudah tua, akan tetapi hatimu masih muda dan bersemangat!” jawab Tan Hong. “Baiklah, kalau kau masih ada keinginan untuk main-main lagi dengan aku, pada hari itu aku akan datang mengunjungi kelentengmu.”

Biarpun di luarnya tampak berseri, akan tetapi di dalam hatinya To Tek Hosiang merasa marah serta malu yang tiada terperikan. Dia adalah seorang tokoh Houw-san, yang sudah ulung dan sangat dikenal orang sebagai seorang ahli silat kalangan tinggi yang jarang mendapat tandingan, akan tetapi sekarang ternyata dia tidak berhasil menangkap seorang maling yang masih demikian muda, bahkan ia dapat dikalahkan! Kalau hal ini terjadi di luar setahu orang lain, masih belum apa-apa, akan tetapi di situ terdapat banyak saksi di antaranya Lim-piauwsu sendiri. Ini adalah suatu hal yang sungguh-sungguh memalukan.

Maka setelah mendengar jawaban Tan Hong, hwesio ini lalu melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Juga Tan Hong lalu menjura kepada semua orang dan kemudian tubuhnya melayang ke atas genteng dan lenyap dari pandangan! Lim-piauwsu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sungguh istimewa dan luar biasa! Jarang bisa menemukan seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat itu. Mudah-mudahan saja dia pergi meninggalkan kota kita dan jangan mengganggu lagi di sini.”

Dan kata-katanya ini memang benar, oleh karena Tan Hong yang menganggap bahwa setelah dirinya dimusuhi oleh para pendekar di kota Wi-ciu, merasa bahwa sudah tiba waktunya untuk pindah ke kota lain. Ia tidak ingin menanam bibit permusuhan yang makin mendalam di hati para pendekar itu.

***

Ketika dalam perantauannya Tan Hong tiba di kota Biauw-men, ia mendengar betapa dalam sebuah dusun berjangkit penyakit menular yang berbahaya. Banyak penduduk mati karena penyakit ini dan masih banyak pula yang rebah tak berdaya, menanti datangnya maut.

Tan Hong yang biasanya hanya menolong orang dengan membagi-bagikan uang hasil curiannya, kini melihat malapetaka yang menimpa dusun itu, menjadi bingung. Apakah yang bisa ia lakukan untuk menolong mereka selain memberi uang seperti biasa? Orang kena penyakit tidak hanya membutuhkan uang, tapi juga membutuhkan pengobatan!

Oleh karena inilah, maka pada suatu malam, ketika ia sedang mencari-cari gedung mana yang hendak dijadikan korban, ia berdiri termangu di atas genteng sebuah rumah yang cukup tinggi dan besar. Di depan rumah ini terdapat merk yang ditulis dengan huruf besar dan menyatakan bahwa itu adalah sebuah toko obat. Melihat besarnya rumah itu, dapat diduga bahwa pemilik toko itu tentulah seorang yang kaya raya pula. Maka Tan Hong lalu mengambil keputusan untuk menjadikan rumah ini korbannya. Kali ini ia tidak hanya hendak mencuri uang, akan tetapi juga hendak mengambil obat-obatan sebanyak mungkin untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang dusun yang sedang ditimpa bencana itu!

Dengan mudah ia melompat turun ke dalam rumah itu. Ketika ia sedang menghampiri sebuah jendela kamar yang masih terang, tiba-tiba ia merasa pundaknya seperti ditepuk orang! Tan Hong cepat membalikkan tubuh dan bersiap sedia, akan tetapi aneh, ia tidak melihat apaapa! Boleh jadi hanya angina yang meniup dari belakang, pikirnya. Ia lalu menghampiri jendela itu dan pada saat itu ia mendengar suara orang berpantun dari dalam kamar. Hatinya merasa heran karena siapakah orangnya yang masih berpantun seorang diri pada tengah malam ini?

Ketika ia mengintai ke dalam kamar, terlihat olehnya seorang laki-laki tua berpakaian seperti seorang sasterawan atau yang juga biasa dipakai oleh ahli-ahli obat sedang duduk pada sebuah kursi yang dapat digoyang-goyangkan ke depan dan ke belakang. Orang itu duduk dengan enaknya, tangan kanannya memegang sebuah buku yang sedang dibacanya, dan tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja untuk memberi irama pada ucapan pantunnya. Kemudian orang itu berhenti membaca kitab kuno itu dan menguap, lalu berkata seorang diri, cukup keras hingga terdengar juga oleh Tan Hong.

“Segala macam penyakit timbul, obat-obat yang dibutuhkan hingga membikin kaya orang dagang obat saja! Sesudah sakit mencari obat, sebelum sakit tak mau menjaga diri, diobati juga apa artinya? Lebih baik menjaga diri sebelum sakit, ini sama sempurnanya dengan berpikir masak dulu sebelum berbuat!”

Setelah berkata demikian, orang tua itu meniup api lilin di atas meja hingga kamarnya menjadi gelap dan terdengarlah suara di pembaringan dijatuhi tubuh orang.

Diam-diam Tan Hong mengakui kebenaran ucapan tukang obat itu dan iapun pernah mendengar pernyataan suhunya, Cin Cin Tojin, bahwa segala macam penyakit datangnya tidak lain ialah dari mulut. Kalau orang dapat menjaga baik-baik dan memilih dengan teliti barang apa yang hendak dimasukkan ke dalam mulut, dan menjaga dengan teliti pula, suara apa yang hendak dikeluarkan oleh mulut, orang demikian itu akan selamat dan bahagia selama hidupnya!

Kemudian Tan Hong teringat akan maksud kedatangannya. Ia tersenyum geli, karena tukang obat itu benar-benar telah membuat ia termenung dan hampir lupa akan maksud kedatangannya. Ia lalu mencari-cari dan memasuki toko dari atas genteng. Ternyata di situ tidak terdapat banyak uang hingga ia hanya mendapatkan paling banyak lima puluh tail perak yang berada di laci meja toko. Uang ini ia keduk semua dan dimasukkan ke dalam sebuah kantong yang memang selalu ia bawa. Ia lalu mulai mencari-cari obat apa yang harus diambilnya? Di situ terdapat beratus-ratus macam obat yang berupa akar, daun- daunan, buahbuahan, kembang-kembang kering, malah banyak pula terlihat binatang-binatang kecil yang sudah kering seperti cecak, kodok dan binatangbinatang lain lagi yang sudah dikeringkan. Tan Hong benar-benar menjadi bingung karena ia tidak tahu harus mengambil yang mana. Ia lalu teringat akan obat jin-som, semacam akar yang amat mahal karena sukar di dapat dan yang terkenal sebagai raja obat dan kabarnya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Maka ia mulai mencari-cari dan menggeledah semua lemari dan meja dagangan. Akhirnya dapat juga ia menemukan seperti kecil akar yang bentuknya seperti jin- som yang pernah dilihatnya. Tanpa banyak pikir lagi ia memindahkan semua benda ini dari dalam peti ke dalam kantongnya.

Setelah itu, ia lalu keluar dari toko itu dan melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika melihat bahwa di atas genteng telah menanti seorang berpakaian serba hitam pula, berdiri dengan tegap, tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang tajam!

“Maling hina dina! Sudah puaskah kau dengan hasil- hasil curianmu?” Orang itu membentak dan Tan Hong merasa makin heran dan kaget karena setelah bersuara orang itu dapat dikenal bahwa ia adalah seorang gadis muda!

Tan Hong merasa maludan tak perlu melayani gadis itu lebih lama, maka ia lalu melompat ke wuwungan lain dengan cepat. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia mendengar sambaran angina dan tahu-tahu gadis itu sudah mengejar dan menghadang pula di depannya! Mungkinkah gadis ini memiliki kepandaian ginkang sedemikian tingginya? Tan Hong lalu memandang dengan penuh perhatian dan pada saat ia menatap wajah gadis itu, terjadi sesuatu dalam dada kirinya. Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak dan kedua matanya memandang kagum. Dalam pandangannya, gadis itu sangat cantik jelita, dan gagah pula!

“Maling hina! Kaukira akan dapat melarikan diri dariku? Kembalikan dulu uang dan obat yang kaucuri dari tokoku, baru aku akan pikir-pikir apakah kau dapat diampuni atau tidak!”

Tan Hong merasa mendongkol juga mendengar kesombongan ini, pula ia memang sangat tertarik dan ingin menguji sampai di mana ketinggian ilmu pedang nona cantik ini. Maka ia lalu menggerakkan tangan kanannya ke pundak untuk mencabut keluar gin-kiam atau Pedang Peraknya. Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi pucat oleh karena pedangnya itu telah lenyap dari sarungnya! Ia teringat akan tepukan yang terasa pada pundaknya tadi, maka cepat ia memandang kepada gadis itu dengan tajam. Gadis inikah yang mempermainkannya dan yang telah mencuri pedangnya? Sampai demikian tinggikah ilmu ginkangnya hingga dapat mencuri pedang dari pundaknya tanpa diketahuinya?

Sementara itu, gadis berbaju hitam itu membentak, “Kau hendak melawanku? Cabutlah senjatamu dan rasailah gempuranku!” Ketika melihat bahwa Tan Hong tak mengeluarkan senjata, gadis itu segera memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya, lalu berkata, “Kau tidak memiliki senjata? Baiklah, kau lihat! Untuk menghadapi seorang maling semacam kau saja aku tak perlu mempergunakan senjata!”

Mendengar ucapan ini tahulah Tan Hong bahwa yang mencuri pedangnya bukanlah nona ini, maka ia makin terkejut oleh karena tak pernah dalam sangkaannya bahwa di rumah obat itu terdapat demikian banyak orang pandai. Baru nona ini saja sudah memiliki kegesitan yang mengagumkan, apalagi pencuri pedangnya tadi! Ia makin tertarik dan hendak mengenal nona ini lebih dekat lagi.

“Maaf, nona. Aku tidak menyangka bahwa kau adalah pemilik obat itu. Akan tetapi dengarlah, biarpun andaikata aku tahu, tetap aku hendak mengambil obat dan uang ini untuk keperluan penduduk di dusun sebelah barat yang sedang menderita sakit itu. Kalau kau rela memberikan, terima kasih. Sebaliknya kalau kau hendak memaksa aku mengembalikan obat dan uang yang sudah kucuri ini, jangan kauharapkan?”

“Maling, kalau begitu aku harus mengambilnya sendiri!” Setelah berkata demikian, nona itu maju menyerang dengan sengitnya.

Kembali Tan Hong dibuat kagum dan heran melihat gerakan gadis ini, karena pukulannya benar-benar mempunyai isi tenaga lwekang yang hebat dan kegesitannya mengagumkan pula. Ia cepat berkelit dan oleh karena tangan kirinya memanggul kantong maka gerakannya menjadi kurang leluasa. Ia lalu menurunkan kantong itu di atas genteng, lalu maju lagi dan kini ia dapat mengimbangi kegesitan gadis itu. Setelah bertempur agak lama, maka kekaguman Tan Hong meningkat karena ternyata bahwa gadis itu benar-benar lincah sekali. Gerakannya gesit dan tenaganya cukup mengagetkan, bahkan gerakangerakannya tidak banyak bedanya dengan ilmu silatnya sendiri! Berkali-kali ia terdesak karena ia berkelahi dengan setengah hati sebab ia kuatir kalau-kalau melukai kulit yang halus itu, sebaliknya gadis itu berkelahi dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Tan Hong makin tertarik dan kagum. Ia menahan sebuah serangan dengan kebutan tangannya, lalu berkata, “Nona, tahan dulu!” Gadis itu berdiri sambil bertolak-pinggang. “Eh, maling kecil, mengapa kau menahan gerakanku?”

“Nanti dulu nona. Ilmu silatmu sangat tinggi.

Sebenarnya siapakah kau ini?”

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar