Bab 24 (Tamat)
Segera Raja Couw Seng-ong memerintahkan Seng Tek Sin memimpin pasukan besar, digabungkan dengan angkatan perang negeri Tan, Coa, The dan Khouw, lalu pergi menyerang ke negeri Song dan terus mengepung kota Bian-ip. Raja Song Seng-kong jadi khawatir sekali, segera memerintahkan Su-ma Kong-sun Kouw pergi memberitatahukan pada Raja Chin Bun- kong sambil minta pertolongannya.
Tatkala Raja Chin menerima kabar itu, Chin Bun-kong segera mengumpulkan semua panglima perangnya, untuk diajak berunding dengan cara bagaimana mereka bisa menolong negeri Song.
”Saat ini di antara negeri-negeri yang ada, memang negeri Couw yang paling tangguh,” kata Sian Cin. ”Sekian lama kita belum pernah menghadapinya, karena Tuanku berhutang budi kepadanya, hingga kurang pantas jika kita menyerang dia lebih dulu. Tetapi sekarang Raja Couw sudah mengerahkan pasukan perangnya menyerang ke negeri Song, dialah yang lebih dahulu membuat huru-hara. Ini seumpama Tuhan telah memberi alasan pada Tuanku untuk menyerangnya! Maka kita katakan saja karena kita akan menentramkan Tiong-goan, terpaksa
kita perangi dia! Tegasnya hamba berani katakan untuk menjadi jago, inilah saatnya!”
”Seandainya aku hendak menyingkirkan serangan yang mengancam negeri Cee dan negeri Song, aku harus bagaimana?” tanya Chin Bun-kong.
”Couw baru saja mendapatkan negeri Co dan baru mengadakan perserikatan dengan We,” kata Ho Yan. ”Justru kedua negeri itu Cu-kong bermusuhan, maka jika kita mengerahkan angkatan perang menyerang negeri Co dan We, niscaya Couw memindahkan tentaranya dan
datang akan menolong Co dan We, dengan demikian negeri Cee dan Song akan terbebas dari serangannya.”
Raja Chin Bun-kong setuju pada pendapat Sian Ci dan Ho Yan, segera dia beritahukan hal itu pada Kong-sun Kouw, bagaimana ikhtiarnya harus dilaksanakan, dan dia perintahkan Su-ma itu segera pulang untuk memberitahukan pada Raja Song supaya menjaga kotanya dengan keras. Kong-sun Kouw pamit dan terus berangkat.
Sekalipun Chin Bun-kong sudah mengambil putusan akan menggunakan kekuatan angkatan perangnya melawan Couw, tidak urung pikirannya masih khawatir, karena dia tahu jumlah tentaranya lebih sedikit dibanding jumlah tentara Couw. Kemudian dengan menurut usul Tio Swi, Chin Bun-kong hingga jumlah tentaranya bisa ditambah. Dia mengangkat Kiok Kok menjadi kepala perangnya.
Kiok Kok sangat pandai mengatur pasukan perang, di bawah pimpinannya belum berapa lama pasukan perang Chin sudah berubah jauh sekali, hingga semua panglima merasa senang sekali pada Kiok Kok ini dan dengan senang tunduk di bawah perintahnya.
Pada tahun Ciu Siang-ong ke-20 di musim Cun, Raja Chin Bun-kong menyiapkan pasukan perangnya untuk menyerang ke negeri Co dan negeri We.
Kiok Kok memberi saran lebih baik meminjam jalan pada negeri We supaya bisa melabrak negeri Co, jika negeri We tidak meluluskannya, boleh dilabrak lebih dulu. Kemudian baru menyerang ke negeri Co. Chin Bun-kong setuju pada usul Kiok Kok ini, lalu dia mengirim utusan untuk membicarakan urusan meminjam jalan pada Raja We.
Di antara pembesar negeri We, ada Tay-hu Goan Soan yang memberi saran pada rajanya,
supaya meluluskan permintaan Raja Chin itu, sebab dulu Raja We yang telah almarhum sudah pernah menunjukan kelakuan tidak manis pada Raja Chin, sekarang jika permintaannya ditolak, tentu Raja Chin punya alasan untuk melabrak negeri We.
Tetapi Raja We Seng-kong tidak setuju pada usul Goan Soan, dia berkata, ”Aku dengan Raja Co sudah menurut kepada Raja Couw, jika aku memberi jalan pada Raja Chin untuk melabrak negeri Co, aku khawatir aku bisa menyenangkan Raja Chin, tetapi lebih dulu sudah membuat gusar Raja Couw. Lagi pula kau harus ingat, dimarahi oleh Raja Chin kita masih punya
andalan Raja Couw, tetapi jika dimusuhi Raja Couw pada siapa kita harus bersandar?”
Begitulah Raja We langsung mengambil keputusan dan menolak permintaan Raja Chin. Chin Bun-kong marah sekali pada Raja We, segera dia kerahkan pasukan perangnya akan menyerang negeri itu. Sesudah menyeberang di sungai Hong-ho, pasukan perang Chin telah berjalan sampai di
tegalan Ngo-lok. Di sana Chin Bun-kong menghela napas dan berkata, ”Ha, di sinilah bekas
tempat Kay Cu Cui memotong pahanya!”
Sehabis mengucapkan perkataan itu, Raja Chin yang budiman jadi terharu dan mengucurkan air matanya. Sedang di antara panglima perangnya banyak juga yang ikut merasa sedih.
”Kita harus merampas tempat ini!” seru Gui Cun. ”Kita harus membalas rasa malu Cu-kong dulu! Ayo, maju, mengapa harus bersedih!”
”Bu Cu punya bicara benar sekali!” kata Sian Cin. ”Hamba bersedia memimpin pasukan tentara untuk mengambil tanah Ngo-lok ini.”
”Aku pun hendak membantumu!” kata Gui Cun pada Sian Cin.
Chin Bun-kong meluluskan itu permohonan anak buahnya itu. Segera dua panglima itu memajukan kereta perangnya. Sian Cin memerintahkan tentaranya membawa bendera, yang dipesan harus menancapkannya di suatu tempat yang tinggi, yaitu di gunung atau di atas pohon-pohon di dalam hutan.
Gui Cun yang tidak mengerti maksud Sian Cin, dengan heran bertanya, ”Setahuku tentara bergerak harus secara diam-diam, tetapi sekarang disengaja disebarkan bendera, apa mau sengaja agar musuh tahu dan mengatur persiapan? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud!”
”Negeri We biasanya menurut pada negeri Cee,” kata Sian Cin yang memberi keterangan, ”tapi pada belakangan ini Raja We sudah mengubah haluannya dan menaluk pada negeri Couw, kelakuannya itu telah membuat rakyat negerinya banyak yang merasa tidak senang, hingga senantiasa mereka mengharap supaya di antara negeri-negeri di Tiongkok ini ada yang datang melabrak pada negeri We. Sekarang Cu-kong kita hendak meneruskan usaha almarhum Raja Cee Hoan-kong, maka kita tidak boleh menunjukan kelemahan kita, hanya
lebih dulu kita harus menang gertak.”
Keterangan itu membuat Gui Cun jadi girang dan memuji kepintaran Sian Cin. Di daerah
Ngo-lok, ketika rakyat mendengar kabar tentara Chin hendak datang menyerang, semua telah jadi sangat kebingungan, mereka naik ke atas kota. Mereka mendapat kenyataan di sana banyak sekali bendera perang berkibar-kibar di gunung dan di hutan, hingga mereka menduga pasti pasukan perang musuh sangat besar jumlahnya, hingga semua jadi amat ketakutan.
Sebelum tentara Chin datang menyerang, rakyat negeri We yang tinggal di dalam dan di luar kota Ngo-lok semua telah berebut melarikan diri, meski pembesar yang menjaga di situ sudah mencegah dengan keras, tetapi percuma saja, maka waktu pasukan Chin sampai di situ, tidak seorang pun yang berani menghalangi, hingga dengan gampang kota Ngo-lok dapat direbut.
Chin Bun-kong jadi girang sekali sudah mendapatkan kota itu, dia lalu meninggalkan panglima tua, Kiok Pouw Yang, dengan sejumlah tentara menjaga di situ, sedang pasukan besar dimajukan terus untuk menyerang kota Gian-beng.Tiba-tiba Kiok Kok mendapat sakit yang berbahaya.
Chin Bun-kong jadi kebingungan, dia sendiri langsung pergi menjenguk Kiok Kok. ”Hamba menerima budi Cu-kong yang sudah menyerahkan tanggung jawab besar pada hamba,” kata Kiok Kok pada ChinBun-kong, ”sebenarnya memang hamba hendak
menghabiskan kekuatan tenaga dan otak hamba untuk membela kemuliaan negeeri Chin, tetapi tidak disangka takdir Allah tidak bisa dilawan, karena hamba khawatir kali ini penyakit hamba ini akan membawa kebinasaan.”
”Oh, jangan kau begitu kecil pengharapan, menteriku,” kata Chin Bun-kong dengan terharu. ”Kau harus berobat betul, supaya penyakitmu bisa lekas sembuh.”
”Tidak, Cu-kong, aku rasa penyakitku tidak bisa baik kembali. Tetapi aku punya satu pembicaraan yang hendak disampaikan pada Cu-kong, aku harap Cu-kong suka memperhatikannya.”
”Baik, aku memperhatikannya.”
”Maksud Cu-kong manyatakan perang pada Co dan We, sebenarnya untuk mengalahkan Couw. Jika mau mengalahkan Couw, harus berperang dengan menggunakan tipu-muslihat
yang jitu, dan bila hendak berperang dengan menggunakan tipu, mau tak mau harus berserikat
dulu dengan Cee dan Cin. Akan tetapi Cin tempatnya jauh sekali sedangkan Cee dekat, maka lebih dulu Cu-kong harus segera perintahkan seorang utusan untuk mengadakan persahabatan dengan Raja Cee. Saat ini Raja Cee sedang membenci Raja Couw, jadi bissa dipastikan dia ingin berserikat dengan Chin. Manakala sudah mendapatkan Cee, niscaya We dan Co jadi ketakutan dan minta berdamai, kemudian baru pererat hubungan Cu-kong dengan Cin. Ini hamba rasa tipu-muslihat yang sempurna untuk menaklukan Couw.”
”Betul, aku setuju sekali dengan pendapatmu,” kata Chin Bun-kong dengan girang. Sesudah mengucapkan berbagai nasehat untuk menghibur hati Kiok Kok, barulah Chin Bun-
kong permisi untuk berpisah, dan segera dia kirim utusan untuk berserikat dengan Raja Cee, dengan alasan karena ingin meneruskan perserikatan seperti di zaman almarhum Cee Hoan- kong, yaitu bersama-sama mengeluarkan tenaga untuk melabrak negeri Couw.
Waktu itu Raja Cee Hauw-kong sudah wafat, rakyat negeri Cee telah mengangkat adik Cee Hauw-kong, yaitu Kong-cu Poan yang menjadi raja, yang memakai gelar Cee Ciauw-kong. Raja Cee Ciauw–kong yang baru duduk bertahta ini memang sangat benci pada Raja Couw, karena Raja Couw sudah mendengarkan hasutan Raja Louw dan telah membuat Cee menderita kerugian besar, maka dia pun sudah berniat hendak berserikat dengan Raja Chin untuk melawan Raja Couw. Sekarang kebetulan sekali Raja Chin mengirim utusan untuk minta berserikat, tentu saja dia terima dengan sangat girang.
Sementara itu Raja We Seng-kong yang mendapat kabar kota Ngo-lok sudah jatuh ke tangan orang-orang Chin, dia jadi khawatir sekali, lalu dia perintahkan putra Leng Sok yang bernama Leng Ji, pergi menghadap pada Raja Chin Bun-kong untuk minta berdamai.
Chin Bun-kong tidak meluluskan permintaan damai itu.
”Sesudah terancam bahaya Raja We baru minta berdamai, itu pasti bukan dengan setulus hatinya, aku tetap akan menyerang negeri We.” kata Raja Chin.
Leng Ji segera kembali dan memberi kabar pada Raja We Seng-kong. Ketika itu di dalam kota Couw-kiu tersiar kabar, bahwa balatentara Chin sudah hampir sampai, hingga boleh dibilang seluruh penduduknya jadi sangat ketakutan. Melihat keadaan semakin gawat, Leng Ji memberi saran pada Raja We.
”Amarah Raja Chin sedang berkobar, hingga membuat rakyat negeri jadi sangat khawatir, maka lebih baik Tuanku keluar kota untuk menyingkir dulu buat sementara waktu. Apabila Raja Chin sudah mengetahui Tuanku sudah keluar, niscaya dia tidak akan datang menyerang
Couw-kiu, dan kemudian baru minta berdamai pula padanya. Dengan berlaku begini, hamba
rasa daerah kita bisa menjadi sentausa.” kata Leng Ji.
Raja We Seng-kong menghela napas, kemudian dia berkata, ”Raja We almarhum sudah tidak memegang aturan dan memusuhi Pangeran Chin yang sedang mengembara, sementara aku kurang cerdas, aku sudah tidak meluluskan pasukan Raja Chin yang cuma mau meminjam
jalan untuk lewat saja, maka ini hari sampai kejadian seperti ini, juga telah membuat rakyat
merasakan kesusahan. Ah, sudahlah, aku pun tidak punya muka untuk tinggal di dalam negeri!”
Segera urusan pemerintahan negeri dia serahkan pada adiknya, Siok Buk, dan Tay-hu Goan Soan, sedang dia pergi menyingkirkan diri dan tinggal di tanah Siang-ngiu. Tetapi hatinya masih penasaran, dia lantas perintahkan Tay-hu Sun Yan pergi minta pertolongan pada negeri Couw.
Waktu itu di musim Cun bulan Ji-gwe (dua). Pada saat itu Kiok Kok penyakitnya semakin berat, dia telah meninggal di perkemahannya. Chin Bun-kong jadi sedih sekali atas meninggalnya kepala perang yang pintar itu, dia lantas perintahkan orang mengantarkan
jenazah Kiok Kok untuk dibawa pulang ke negeri Chin. Untuk menggantikan jabatan Goan- swe, Chin Bun-kong segera mengangkat Sian Cin, yang sudah berjasa merebut kota Ngo-lok dengan cara begitu gampang.
Chin Bun-kong mau menghancurkan negeri We, tetapi keinginannya itu segera dicegah oleh Sian Cin. ”Jangan, hamba rasa tidak pantas apabila kita berbuat begitu,” demikian kata Sian Cin. ”Sebenarnya kedatangan kita ini hendak menolong negeri Cee dan Song, supaya mereka terluput dari ancaman negeri Couw. Sekarang bahaya yang mengancam mereka belum dapat disingkirkan, jika kita hancurkan negeri We, ini bukan tugas seorang bijaksana hendak membela lemah dan kasihan pada yang kecil. Meskipun We dianggap tidak memegang
aturan, tetapi tokh rajanya sudah keluar dari negaranya, jadi mau apa kita, sekarang terserah
kita! Sekarang lebih baik pindahkan pasukan perang kita ke sebelah Timur untuk melabrak negeri Co, nanti waktu angkatan perang Couw datang menolong We, kita sudah ada di Co.”
Chin Bun-kong setuju pada usul tersebut, maka segera dia perintahkan tentaranya berangkat ke negeri Co. Sekarang tentara Chin telah mengepung negeri Co dengan ketat. Raja Co Kiong-kong jadi sangat khawatir, lalu mengumpulkan semua menterinya untuk berunding.
”Kedatangan angkatan perang Raja Chin untuk membalas sakit hatinya karena dulu telah
ditertawakan karena tulang iga,” kata Hi Hu Ki. ”Sekarang kemarahannya sedang menggebu-
gebu, pasti kita tidak bisa menahan serangannya. Hamba bersedia menjadi utusan untuk
menerima dosa dan minta berdamai, untuk menolong kesusahan rakyat negeri.”
”Raja Chin menolak permintaan damai Raja We, masakan dia mau menerima permintaan kita?” kata Co Kiong-kong putus harapan.
”Hamba dengar, ketika Raja Chin keluar mengembara dan lewat di negeri Co, dengan diam- diam Hi Hu Ki telah memberi makanan dan minuman,” kata Tay-hu I Long,
”Sekarang kita mohon padanya untuk menjadi utusan kita. Perbuatan Hi Hu Ki perbuatan menjual negeri, harap Tuanku jangan luluskan permintaannya. Lebih baik Tuanku bunuh saja Hu Ki, hamba sudah sedia sebuah tipu untuk mengundurkan tentara Chin.” ”Hu Ki bekerja pada negeri dengan tidak setia, seharusnya memang dia dihukum mati,” kata Raja Co dengan marah. ”Cuma saja aku ingat dia pembesar turunan, aku bebaskan dari hukuman mati dan cuma pecat dia dari jabatannya!”
Mendengar Raja Co Kiong-kong mengeluarkan putusan tersebut, dengan paras berduka Hi Hu Ki menghaturkan terima kasih karena dia diberi ampun dari hukuman mati, dan segera dia keluar dari istana, terus pulang ke rumahnya. Begitulah sejak saat itu dia menutup pintu
rumahnya dan tidak ikut campur urusan negara lagi.
Sesudah Hi Hu Ki pergi dari istana, Raja Co lalu bertanya I Long tipu apa yang dia hendak
gunakan. ”Raja Chin mengandalkan kegagahannya, pasti sikapnya sombong sekali,” demikian kata I Long, ”apabila hamba berpura-pura membuat surat rahasia, dan hamba janjikan akan menyerahkan kota, tetapi lebih dulu diperintahkan tentara kita dengan bersenjata panah bersembunyi di pinggir kota, jika beruntung mendustai Raja Chin, dan dia sampai masuk ke dalam kota, pintu kota harus segera ditutup dan terus membarenginya dengan melepas anak panah, pasti dia akan binasa.”
Raja Co Kiong-kong setuju dengan tipu dan rencana itu, lalu memerintahkan I Long segera menjalankan siasatnya. Hampir saja Raja Chin Bun-kong terjebak ke dalam tipu-muslihat I Long, karena ketika dia menerima surat menyerah dari I Long, segera juga dia hendak masuk ke dalam kota. Tetapi untung Sian Cin yang cerdik mencegahnya, seraya berkata, ”Tenaga tentara Co masih utuh, mana boleh langsung percaya dia mau menyerah, maka biarlah hamba mencoba dulu padanya.”
Segera Sian Cin memilih di antara serdadunya yang wajahnya hampir mirip seperti Raja Chin Bun-kong, lalu diperintah menyamar dan kopiah Raja Chin dipakaikan, kemudian prajurit itu masuk ke dalam kota. Put Te memohon untuk menjadi kusir keretanya, permohonan itu diluluskan.
Pada waktu sore, benar saja di atas kota Co tertancap bendera tanda menyerah, sedang pintu kota pun sudah terbentang. Raja Chin palsu dengan diiringkan oleh lima ratus tentaranya baru masuk kira-kira separoh jalan, sekonyong-konyong terdengar suara pintu ditutup secara tiba- tiba, berbareng dengan itu segera menyambar anak pamah banyak sekali. Mereka buru-buru hendak mundur kembali, tetapi sudah terlambat, karena pintu kota sudah ditutup rapat.
Sungguh kasihan sekali Put Te bersama kira-kira tiga ratus serdadu Chin telah binasa.
Kejadian itu dalam keadaan sudah gelap, hingga orang Co mengira Raja Chin yang telah binasa. Sedang I Long yang merasa tipu-muslihatnya sudah berhasil bagus, telah mengeluarkan tingkah angkuh di hadapan rajanya.
Setelah tiba saat terang, sesudah orang Co memeriksa mayat orang yang binasa, barulah mereka mendapat kenyataan, Raja Chin itu palsu adanya. Sedang serdadu Chin yang belum masuk ke dalam kota dan beruntung bisa melarikan diri, lalu menghadap pada Raja Chin dan menceritakan apa yang telah terjadi. Raja Chin Bun-kong sangat gusar pada orang Co, sekarang melihat perbuatan orang Co yang curang, dia jadi semakin marah, lalu
memerintahkan tentaranya melabrak kota lebih hebat lagi.
I Long lalu mengajukan tipu baru pada Raja Co, yaitu menggeletakan bangkai serdadu Chin di atas kota, apabila temannya melihat, niscaya jadi terharu dan tidak melabrak dengan sungguh-sungguh hati, dan jika sampai lewat pula beberapa hari, penolong dari Couw pasti sudah datang. Ini tipu untuk mengecoh hati tentara Chin. Kembali Raja Co Kiong-kong merasa setuju dan segera menjalankan tipu itu. Tatkala balatentara Chin melihat di atas kota banyak bangkai digantung di galah, semua jadi sangat terharu, hingga tidak berhentinya menghela napas dan menyatakan pilu hatinya.
Chin Bun-kong memanggil Sian Cin, dan bertanya, ”Dengan melihat kekejian orang-orang
Co, aku khawatir hati tentara kita bisa jadi berubah, sekarang harus digunakan akal apa?”
”Kuburan orang-orang Co semuanya ada di luar pintu kota sebelah Barat,” sahut Sian Cin, ”sekarang kita pecah sebagian tentara dan dirikan pesanggrahan dengan berbaris di tanah kuburan, seolah-olah menunjukkan hendak membongkar kuburan itu. Melihat hal ini, pasti orang-orang Co yang ada di dalam kota jadi ketakutan, lantaran ketakutan mereka menjadi kalut, dan kemudian kita boleh lantas menggunakan kesempatan yang baik itu.”
Chin Bun-kong jadi girang, lalu memerintahkan tentaranya menyiarkan kabar, bahwa kuburan orang-orang Co hendak digali. Agar orang Co percaya dengan kabar itu, Chin Bun-kong memerintahkan Ho Mo dan Ho Yan memimpin pasukan tentara mendirikan pesanggrahan di pekuburan bangsa Co, di sana disediakan banyak pacul, pancong dan lain-lain perabot untuk menggali tanah.
Kabar ini membuat orang-orang Co jadi panik, karena katanya, telah ditentukan besok tengah hari tentara Chin hendak menggali dan mengeluarkan semua tengkorak dari kuburan orang- orang Co.
Apa yang Sian Cin telah duga, betul juga tidak meleset, karena orang di dalam kota ketika mendengar kabar ini, semua merasakan hatinya seperti hancur. Raja Co Kiong-kong segera memerintahkan orang berteriak dari atas kota, untuk minta supaya orang orang Chin tidak membongkar kuburan leluhur mereka, karena sekarang mereka hendak menyerah dengan sesungguhnya.
Sian Cin memerintahkan orangnya memberi jawaban, jika semua mayat tentara Chin diurus dengan baik dan diantarkan ke pesanggrahan Chin, semua kuburan orang Co baru tidak jadi digali. Raja Co minta waktu tiga hari untuk mengurus beres mayat-mayat, permintaan itu diluluskan oleh Sian Cin. Benar saja Raja Co Kiong-kong memerintahkan orang-orangnnya mengangkat semua mayat yang menggletak di atas kota, di dalam tiga hari, semua mayat sudah dimasukkan ke dalam peti mati dan dimuatkan di atas kereta lalu diantarkan ke markas tentara Chin.
Tetapi Sian Cin sudah menetapkan siasatnya, dia perintahkan Ho Mo, Ho Yan, Loan Ci dan Tan Sin, masing-masing memimpin pasukan tentara pergi bersembunyi di empat penjuru, untuk menunggu jika ada orang Co yang membuka pintu kota mengeluarkan peti mayat,
mereka harus secara serempak menyerang ke dalam kota.
Setelah sampai hari yang ke empat, Sian Cin perintah orangnya berteriak dari bawah kota minta dikembalikan semua mayat tentara Chin. Orang Co dari atas kota lantas menyahut, ia minta balatentara Chin yang mengepung kota dimundurkan dulu lima li jauhnya, baru mereka mau mengeluarkan semua mayat yang sudah dimasukkan ke dalam peti dengan rapi.
Sian Cin memberi tahu Raja Chin Bun-kong, yang lantas mengeluarkan perintah untuk mengundurkan tentaranya lima li jauhnya. Empat penjuru pintu kota segera dibuka, dari sana didorong keluar peti-peti mayat. Tetapi baru saja peti mayat dikeluarkan satu per tiga bagian, sekonyong-konyong terdengar suara meriam, berbareng dengan itu balatentara Chin yang bersembunyi di empat penjuru langsung bergerak maju. Mulut kota sudah tertutup oleh peti mayat, hingga pintunya tidak bisa ditutup. Balatentara Chin menggunakan kesempatan saat sedang kalut, segera menyerang masuk ke dalam kota. Waktu itu justru Raja Co Kiong-kong berada di atas kota, dia jadi sangat bingung ketika melihat bahaya hebat sedang mengancam itu. Gui Cun dari luar kota melihat raja itu, dengan sekali lompat dia sudah sampai di atas kota dan menawan Raja Co Kiong-kong.
I Long buru-buru turun dari atas kota hendak kabur, tetapi bertemu dengan Tan Kiat, yang
lantas menangkapnya dan membunuhnya. Chin Bun-kong lalu memimpin semua panglima
dan tentaranya masuk ke dalam kota. Segera Gui Cun datang menyerahkan Raja Co, sedang Tan Kiat menyerahkan kepala I Long, begitu pun panglima semua datang menyerahkan apa yang mereka dapatkan.
Chin Bun-kong memerintahkan mengambil daftar nama menteri-menteri negeri Co, lalu dia periksa dengan teliti. Tiga ratus nama pembesar tercatat di dalam daftar itu, yang satu persatu lantas ditangkap, hingga tidak ada satu orang pun yang bisa meloloskan diri.
Tetapi Chin Bun-kong merasa sangat heran, sebab dalam daftar itu tidak ada teercatat nama Hi Hu Ki, padahal dia pembesar yang ternama.
Dengan perantaraan orang Co Chin Bun-kong mendapat keterangan, bahwa nama Hi Hu Ki sudah dikeluarkan dari daftar pembesar negeri dan telah dilepas menjadi rakyat negeri biasa, lantaran dia memberi saran pada Raja Co supaya menyerah pada Chin. Chin Bun-kong jadi sangat marah pada Co-pek, lalu ia damprat dengan sengit. Tetapi Raja yang sudah tidak berdaya itu tinggal tunduk saja tidak berani menyahut. Segera Raja Chin Bun-kong memerintahkan orangnya memenjarakan Raja Co di pesanggrahan besar, sesudah menang perang dengan negeri Couw, baru mau diperiksa lebih jauh kesalahannya. Sedang tiga ratus pembesar Co, semua dihukum mati, harta bendanya dirampas untuk dibagi-bagikan pada tentara Chin.
Oleh karena Chin Bun-kong ingat berhutang budi pada Hi Hu Ki, yaitu waktu dia kelaparan di negeri Co, pembesar itu sudah memerlukan menyuguhi makanan padanya, maka sebagian tempat di pintu kota sebelah Utara di sana terletak rumah Hi Hu Ki, dia larang keras tentaranya tidak boleh ada yang mengganggu, manakala ada yang berani merusakkan milik kaum Hi, meski hanya selembar rumput atau secabang pohon, orang yang membantah perintah itu akan segera dijatuhi hukuman potong kepala.
Kemudian Raja Chin membagikan pekerjaan pada semua panglima perangnya, yaitu sebagian disuruh menjaga kota, dan sebagian lagi ikut dia kembali ke pesanggrahan besar.
Tetapi siapa sangka Gui Cun dan Tan Kiat merasa iri hati melihat rajanya sampai begitu mengindahkan Hi Hu Ki, mereka khawatir kelak bekas menteri Co itu diberi jabatan yang lebih besar dari mereka. Bagitulah pada malam harinya sesudah minum arak dan mabuk- mabukkan, mereka berdua lalu memimpin tentaranya pergi mengepung rumah Hi Hu Ki dan terus dibakar.
Dengan hanya sebentar saja api berkobar-kobar menjilat ke kian-kemari, Gui Cun dan Tan Kiat menggeledah hendak membunuh Hi Hu Ki. Celakanya balok uwungan rumah telah roboh dan menimpa dada Gui Cun, hingga di situ juga dia muntah-muntah darah, apabila dia tidak bertenaga besar dan tidak keburu Tan Kiat datang menolonginya, pasti dia sudah mati terbakar.
Hi Hu Ki telah terluka berat, untung isterinya sempat menggendong anaknya yang baru berusia lima tahun, Hi Lok namanya, pergi melarikan diri ke kebun belakang dan masuk merendam diri di dalam empang yang kotor, dengan demikian baru bisa meluputkan diri dari bahaya.
Esok harinya ketika diusut dan dicari keterangan, telah ketahuan pelakunya Gui Cun dan Tan Kiat, merekalah yang sudah melakukan perbuatan kejam itu, hingga Raja Chin Bun-kong jadi
marah sekali. Dia menjatuhkan hukuman pada dua panglima itu. Tetapi Tio Swi tidak setuju
dengan putusan hukuman itu, dia berkata pada Raja Chin.
”Gui Cun dan Tan Kiat pembesar yang berjasa, bukan saja mereka sudah ikut saat Cu-kong mengembara sembilan belas tahun lamanya, tetapi ketika menyerang kota raja Co, mereka pun telah berjasa besar, maka hamba rasa pantas untuk kesalahannnya itu, kali ini diberi ampun.” kata Tio Swi.
Chin Bun-kong menolak permohonan Tio Swi.
”Jika ada menteri yang berjasa berani melanggar perintah, niscaya dia tidak bisa memerintah dengan adil.” kata Chin Bun-kong.
Akhirnya sesudah Tio Swi membujuk lebih jauh, serta memberi saran jika mau dibunuh
biarlah bunuh Tan Kiat seorang saja, tumpahkan semua kedosaan pada Tan Kiat sendiri, Gui Cun boleh dibebaskan dari hukuman mati dan diganti dengan hukuman lain, sebab sayang sekali Gui Cun yang begitu gagah perkasa dan boleh dibilang macannya negeri Chin kalau sampai dibunuh. Dengan begitu barulah Chin Bun-kong merubah putusannya, yaitu Tan Kiat dihukum potong kepala, Gui Cun diturunkan pangkatnya, sedang Hi Hu Ki yang telah meninggal dunia lantaran lukanya, jenazahnya diurus dengan upacara kebesaran, anak- isterinya diberi hadiah.
Begitulah lantaran Chin Bun-kong memegang aturan dengan keras dan adil, semua panglima dan tentaranya sangat mengindahkannya, hingga semua melakukan pekerjaannya dengan hati- hati betul.
Pada tahun Ciu Teng-ong ke-2, menteri negeri The, Kong-cu Song, telah membunuh Raja The Leng-kong, karena Raja The telah menghina Kong-cu Song. Lalu dia bersekongkol dengan menteri yang lain mengangkat adi Raja The Leng-kong, Kong-cu Kian, menggantikan
menjadi raja, yaitu yang disebut Raja The Siang-kong. Kemudian dia mengirim utusan untuk minta berserikat dengan Raja Chin, supaya Raja Chin bisa melindungi negeri The.
Couw Cong-ong yang merasa gemas sekali pada negeri The, dengan menggunakan alasan hendak melabrak menteri durhaka yang sudah membinasakan rajanya, dia perintahkan Kong- cu Eng Ce memimpin satu pasukan perang pergi menyerang negeri The.
Atas permintaan Raja The, Raja Chin memerintahkan Sun Lim Hu memimpin pasukan perang pergi menolong The. Panglima Couw yang mengetahui Raja Chin mengirim bala-bantuan, lalu memindahkan tentaranya menyerang ke negeri Tan, sebab Raja Tan juga bersekutu
dengan negara Chin. Sebelum tentara Chin datang menolong The, Raja Tan sudah keburu berdamai dengan negeri Couw. Pada Lain tahun, yaitu tahun Ciu Teng-ong ke-3, Raja Couw Cong-ong memimpin sendiri pasukan besarnya pergi menyerang negeri The.
Di pihak Chin juga mengirim bala bantuan yang dipimpin oleh Kiok Koat. Ketika berkecamuk perang, pihak Couw yang mendapat kekalahan. Tetapi Raja Couw Cong-ong
masih saja penasaran, lain tahun kembali dia kerahkan tentaranya menyerang negeri The. Raja The merasa kewalahan, apa boleh buat dia lantas menjatuhkan hukuman mati pada Kong-cu Song, lalu minta berdamai dengan Raja Couw. Raja Couw Cong-ong meluluskan permohonan Raja The, dia lantas menetapkan perserikatan dengan Raja Tan dan Raja The.
Pada tahun Ciu Teng-ong ke-9, pangkat Su-ma di negeri Tan, He Tin Si namanya, telah
membunuh Raja Tan Leng-kong, sebab rajanya sudah menginginkan ibu Su-ma yang disebut
He-ki. Kemudian dia mengangkat putera Tan Leng-kong, Pangeran Ngo menjadi raja, yaitu yang disebut Tan Seng-kong. Tetapi bukan meneruskan persahabatan dengan Raja Couw, malah Raja Tan berbalik berserikat dengan negeri Chin. Raja Couw Cong-ong waktu mengetahui apa yang telah terjadi di negeri Tan, dia jadi marah sekali lalu dia pimpin tentaranya pergi menyerang negeri Tan.
Waktu itu Raja Tan Seng-kong tidak ada di negerinya, dia sedang pergi ke negeri Chin untuk menetapkan perserikatan dengan Raja Chin. Sedang rakyat negeri Tan banyak yang benci pada He Tin Si, maka sebelum tentara Tan mengatur persediaan untuk menangkis serangan Raja Couw, rakyat Tan sudah keburu membuka pintu kota dan menyilahkan tentara Couw masuk ke dalam kota raja Tan.
Raja Couw Cong-ong melarang keras semua tentaranya tidak boleh mengganggu milik rakyat negeri Tan, siapa yang melanggar larangan itu akan dihukum mati. Segera dia tangkap He Tin Si dan dihukum mati dengan ditarik tubuhnya oleh dua ekor kerbau. Raja Couw melihat He-ki begitu cantik, dia hendak mengambilnya untuk dijadikan gundiknya, tetapi langsung dicegah oleh beberapa menterinya, yang mengatakan bahwa He-ki itu bukan perempuan baik-baik, malah mirip seorang pelacur yang bisa menyebabkan negara jadi kacau, karena dicegah dia urungkan niatnya, dia lantas menyerahkan He-ki untuk isteri Siang-lo, satu panglima Couw yang sudah berusia tua dan tidak punya isteri.
Kemudian Raja Couw Cong-ong memeriksa peta bumi negeri Tan, dia masukkan negeri Tan menjadi tanah jajahan negeri Couw, lalu dia angkat Kong-cu Eng Ce menjadi pembesar di Tan, semua pembesar negeri Tan dia bawa pulang ke kota Teng-touw. Raja Couw memusnahkan negeri Tan, sebagian besar pembesar Couw menyatakan girang hatinya, negeri-negeri di sebelah Selatan banyak yang mengirim utusan memberi selamat, cuma ada satu pembesar Couw, Sin Siok Si namanya, dia diam saja tidak berkata apa-apa. Raja Couw Cong-ong merasa heran melihat kelakuan Sin Siok Si ini, lalu dia panggil menghadap dan ditanya apa sebabnya dia tidak memberi selamat atau ikut menyatakan girang.
”Apakah Tuanku sudah pernah mendengar tentang orang menuntun kerbau lewat di sawah?” tanya Sin Siok Sie.
”Belum, aku belum mendengarnya.”
”Seseorang menuntun kerbau dan mengambil jalan di sawah milik orang lain, celaka dia sudah menginjak tanaman padi orang , lalu orang yang pemilik sawah jadi marah lantas merebut kerbaunya. Sekarang hamba mohon bertanya, jika perkara itu dibawa ke hadapan Tuanku, bagaimanakah Tuanku akan memberi putusan?”
”Menuntun kerbau melewati sawah orang lain, dan merusak padi tidak seberapa banyak, jika sampai kerbaunya dirampas, ini keterlaluan sekali. Apabila aku yang memutuskan perkara ini, aku hanya akan memarahi orang yang menuntun kerbau dan lantas membayar kerugian kerbaunya yang telah menginjak padi milik orang lain. Bagaimana, apakah kau pikir keputusanku itu adil atau tidak?” ”Dalam perkara orang menuntun kerbau Tuanku bisa memberi keputusan begitu adil, tetapi
mengapa dalam perkara negeri Tan, Tuanku mengambil putusan begitu ruwet? Dosa He Tin
Si cuma karena dia membunuh rajanya sendiri, tidak pantas negerinya dimusnahkan. Jika Tuanku sudah menjatuhkan hukuman atas dosanya itu sudah cukup, bagaimana boleh mengambil orang punya negeri? Apakah ini bukan seperti tukang sawah merebut kerbau orang? Maka cara bagaimana mau menyuruh hamba memberi selamat?”
Raja Couw Cong-ong membanting kaki dan berkata, ”Aha, hampir saja aku melakukan perbuatan yang tidak adil, baik kau yang mengingatkannya!”
”Jika Tuanku merasa ucapan hamba benar, baiklah Tuanku mengambil putusan seperti mengembalikan orang punya kerbau,” kata Sin Siok Si.
”Ya, tentu aku akan berbuat begitu.” sahut Raja Couw.Raja Couw Cong-ong segera menyuruh semua menteri negeri Tan pulang ke negaranya, dia suruh mereka menyambut kembali raja mereka, kemudian baru memerintahkan Kong-cu Eng Ce pulang ke negeri Couw.
Raja, menteri dan rakyat negeri Tan merasa bersyukur sekali pada kebaikan Raja Couw Cong- ong, selain Raja Tan pergi menghaturkan terima kasih, juga dia menetapkan perserikatan dengan Raja Couw. Pada tahun Ciu Teng-ong ke-10, lantaran diancam oleh Raja Chin, Raja The ketakutan, lalu mengadakan perserikatan dengan negeri Chin. Raja Couw Cong-ong yang mendapat kabar menjadi gusar, dia menduga ini kali bakal memaklumkan perang besar pada Raja Chin, maka dia kerahkan seluruh pasukan perangnya pergi menyerang ke negeri The.
Apa yang Raja Couw Cong-ong duga benar saja terjadi, karena Raja The minta pertolongan, Raja Chin mengirim pasukan perangnya yang besar jumlahnya membantu Raja The. Tetapi kedatangan pasukan perang Chin sudah terlambat, karena Raja Couw Cong-ong sudah memukul kota Raja The, hingga Raja The minta ampun dan menyerah kepada Raja Couw. Meski demikian tidak urung pasukan Chin dan pasukan Couw telah berpapasan di gunung
Go-san di bilangan kota Pit-shia. Di situ berlangsung peperangan besar, dalam peperangan itu Couw Cong-ong sudah bisa membalas kekalahannya yang dulu, yaitu dia sudah bisa membuat pasukan perang Chin mendapat kerusakan sangat besar.
Setelah sampai tahun Ciu Teng-ong ke-12 musim Cun bulan tiga, Leng-i Sun Siok Go, karena terserang penyakit berat telah meninggal dunia. Meninggalnya perdana menteri ini membuat Raja Couw Cong-ong sedih sekali, dia kuburkan jenazah perdana menterinya dengan upacara yang sangat agung. Kemudian dia angkat Kong-cu Eng Ce menggantikannya menjadi Leng-i. Kepala perang di negeri Chin, Sun Lim Hu, ketika mendapat kabar Leng-i Sun Siok Go meninggal dunia, dia langsung memimpin tentaranya menyerang ke negeri The. Tetapi dia tidak terus menyerang ke kota raja The, cuma melakukan perampasan di luar kota dan langsung kembali ke negaranya, seolah-olah hanya menggertak supaya Raja The ketakutan dan minta berserikat lagi dengan negara Chin.
Raja The buru-buru mengirim utusan kepada Raja Couw untuk memberi tahu apa yang telah diperbuat oleh panglima Chin itu. Raja Couw Cong-ong mengadakan perundingan dengan menteri-menterinya, dan diambil keputusan untuk membalas gangguan tentara Chin, Raja Couw mengerahkan pasukan perangnya menyerang negeri Song, sebab Song masih sahabat Raja Chin yang paling kekal. Penyerangan Raja Couw ditangkis dengan bersungguh-sungguh hati oleh Raja Song, hingga Song bisa menahan serangan Raja Couw sampai sembilan bulan lamanya. Tetapi akhirnya karena Raja Song yang minta pertolongan, Raja Chin tidak bisa mengirim pasukan perangnya, terpaksa Raja Song menyerah juga kepada Raja Couw. Sehabis menaklukkan negeri Song, selang tidak berapa lama Raja Couw Cong-ong terserang sakit hebat, penyakitnya semakin hari semakin berat, akhirnya Raja Couw Cong-ong wafat. Waktu itu putra Raja Couw Cong-ong meski baru berusia sepuluh tahun diangkat menjadi raja, disebut Raja Couw Kiong-ong.
Demikianlah riwayat Raja Cee Hoan-kong, Raja Song siang-kong, Raja Chin Bun-kong, Raja Cin Bok-kong dan Raja Couw Cong-ong, atau yang disebut Ngo Pa (Lima Raja Jagoan) di zaman Cun Ciu. Sesudah zaman Cun Ciu disebut zaman Cian-kok Cit Hiong (Tujuh Raja
Jago di Zaman Cian-kok). Sehabis zaman Cian-kok baru sampai pada zaman Cin-si Hong-tee, di sini Kerajaan Ciu baru musnah dan berdiri Kerajaan Cin. Waktu di zaman Cun Ciu banyak sekali negeri-negeri, tetapi yang kuat memusnahkan yang lemah, yang besar menelan yang kecil, hingga semakin lama jumlah negara jadi semakin sedikit, sampai pada zaman Cian-kok hanya tinggal tujuh negara besar.
Ketujuh negara besar itu di zaman Cian-kok ialah negara: Cin, Couw, Yan, Cee, Han, Tio dan Gui. Raja negeri Cee dulu orang she Kiang, tetapi waktu itu telah direbut oleh orang she Tian. Negri Han, Tio dan Gui asalnya sebenarnya negeri Chin, karena di kemudian hari di negeri Chin timbul kekacauan besar, hingga negeri itu hancur oleh tiga panglima perangnya yang berkuasa besar dalam urusan tentara, yaitu panglima she Han, Tio dan Gui, dan begitulah masing-masing memakai she (marga) untuk menamakan negara mereka. Sedang negara Cin, Couw dan Yan masih raja turunan dulu.
Di antara ketujuh negara itu, negara Cin yang paling kuat, maka akhirnya Cin-lah yang memusnahkan ke-enam negara menjadi negara Cin yang besar, begitulah Cin-si Hong-tee bisa menjadi Kaisar di Tiong-kok dan mendirikan Kerajaan Cin-tauw. Dialah yang membangun
Tembok Besar atau Ban-li-tiang-shia atau Tembok Seribu Li. Maka berakhirlah kisah Cun
Ciu Ngo Pa atau Lima Jagoan di Zaman Cun Ciu ini.
Tamat.